agama dan kebudayaan orang hakka di singkawang...

236
AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG Memuja Leluhur dan Menanti Datangnya Rezeki

Upload: dothuan

Post on 04-Aug-2019

242 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAngMemuja Leluhur dan Menanti Datangnya Rezeki

Page 2: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara

Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimak-

sud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)

tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimak-

sud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)

tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama

10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Page 3: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng

memuJA LeLuHur dAn menAnTi dATAngnyA reZeKi

M. Ikhsan Tanggok

Page 4: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANGMemuja Leluhur dan Menanti Datangnya Rezeki

Copyright© M. Ikhsan Tanggok

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesiaoleh Penerbit Buku Kompas, 2015

PT Kompas Media NusantaraJl Palmerah Selatan 26-28

Jakarta 10270

E-mail: [email protected]

KMN:

Perancang sampul: A. Novi Rahmawanta

Hak cipta dilindungi oleh Undang UndangDilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

vii + 228 hlm.; 14 cm x 21 cmISBN: 978-979-709-???-?

Isi di luar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Page 5: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

v

dAFTAr iSi

Agama dan Kebudayaan Orang Hakka di Singkawang | iiiMemuja Leluhur dan Menanti Datangnya Rezeki | iii

PendAHuLuAn | 1 Upacara dan Pendekatan Tukar-Menukar | 4

1. SeJArAH OrAng HAKKA di SingKAwAng | 15 Masuknya Orang Hakka ke Singkawang | 17 Orang Hakka di Singkawang | 22 1. Daerah Seribu Kelenteng |24 2. Isi Pekong atau Kelenteng | 29 3. Fungsi Pekong atau Kelenteng 31 4. Yayasan Sosial Kematian | 32 Kondisi Ekonomi Orang Hakka | 36

2. KeLuArgA dAn KeKerAbATAn | 40 Panggilan untuk Anggota Keluarga | 43 Sebutan Kakek dan Cucu | 47 Sistem Warisan | 48

Page 6: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

Kekerabatan Orang Hakka | 50 Pemberian Nama | 54 Pantangan dalam Memilih Jodoh | 58 Lamaran | 59 Tukar Cincin, Mas Kawin, dan Uang Tetek | 61 Menjelang Pelaksanaan Pernikahan | 62 Setelah Acara Pernikahan | 65 Adat Menetap Setelah Menikah | 67

3. KOSmOLOgi, AgAmA, dAn mAgi | 69 Agama-agama Tradisional Orang China | 77 Kosmologi Orang Hakka | 83 Agama Orang Hakka | 93 Pemujaan kepada Tuhan Allah | 98 Pemujaan pada Dewa-dewa Rumah Tangga | 101 Toleransi Keagamaan | 110 Praktik Magi Orang Hakka | 117

4. PemuJAAn LeLuHur | 121 Upacara Pemujaan Leluhur | 125 Memakaikan Baju | 127 Kasur dan Kelambu | 131 Altar dan Perlengkapannya | 132 Membakar Kertas Uang | 138 Peti Mati | 140 Memasukkan Jenazah ke Peti Mati | 143 Sumbangan | 147 Upacara Malam Pemberangkatan Jenazah | 152 Bosong Pertama | 157 Bosong Kedua dan Tugasnya | 159 Bosong Ketiga | 163

Page 7: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

vII

DAFTAR ISI

Upacara Pemberangkatan Jenazah | 168 Perjalanan Menuju Makam | 175 Upacara Penguburan | 177 Upacara Setelah Jenazah Dimakamkan | 181 Upacara Satu Tahun | 186 Ching Ming atau Ceng Beng | 193 Sembahyang Rebutan | 195 Fungsi Upacara Pemujaan Leluhur | 201 Makna Upacara Pemujaan Leluhur | 204

5. KeSimPuLAn | 206

Daftar Kepustakaan | 215Daftar Istilah | 220Tentang Penulis | 226

Page 8: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
Page 9: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

1

PendAHuLuAn

Pemujaan terhadap leluhur adalah salah satu ciri masyarakat China, baik di daratan China maupun di luar

China, tidak terkecuali orang China Hakka di Singkawang, Kalimantan Barat. Praktik-praktik yang dilakukan, pada prinsipnya, tidak jauh berbeda antara China daratan dan China peranakan sehingga pemujaan leluhur yang dilakukan oleh orang China peranakan sering dipandang sebagai contoh kebudayaan orang China, meskipun terdapat sedikit perbedaan akibat pengaruh keyakinan yang berbeda dan kebudayaan lokal tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan.

Praktik pemujaan leluhur ini dapat dilakukan di ling-kungan keluarga dengan menyediakan tempat pemujaan di dalam rumah ataupun di luar, yaitu di tempat-tempat pemujaan leluhur milik sesama marga (kelenteng dan rumah abu milik sesama marga) dan di kuburan leluhur (Freedman, 1967: 85-86). Di tempat-tempat seperti ini, anggota keluarga berkumpul untuk melakukan upacara, baik sesuai waktu berdasarkan kalender China, melalui kesepakatan bersama antar-anggota keluarga, atau pada waktu-waktu yang belum ditentukan sebelumnya seperti kematian. Pemujaan leluhur ini melambangkan kesatuan antara anggota keluarga yang

Page 10: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

hidup dan yang mati, yang diwajibkan untuk saling memberi atau tolong-menolong untuk mempertebal tali persaudaraan di antara mereka.

Pendekatan yang digunakan untuk melihat pemujaan leluhur dalam masyarakat China Hakka di Singkawang menggunakan teori Marcel Mauss (1967). Dalam teorinya, Mauss menemukan prinsip tukar-menukar prestasi atau saling memberi untuk mewujudkan keteraturan dan integrasi dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, dia juga melihat bahwa saling tukar dan kontrak-kontrak bukan saja terjadi antara manusia dan manusia, melainkan juga antara manusia dan makhluk suci (gaib) yang mempunyai hubungan dengan mereka. Dengan mengacu pada pendapat Mauss ini, upacara pemujaan leluhur yang dipraktikkan dalam masyarakat China dapat juga dilihat sebagai bentuk tukar-menukar pemberian sebagai alat untuk menjalin hubungan baik antara yang hidup dan yang sudah meninggal serta mempererat hubungan kekeluargaan.

Buku ini menunjukkan bahwa praktik upacara pemujaan terhadap leluhur yang dilakukan oleh orang-orang Hakka di Singkawang pada dasarnya ingin memberikan penghormatan kepada leluhur yang telah berjasa membesarkan dan membuat mereka sukses dalam hidup. Selain itu, juga bermaksud untuk menghidupkan kembali dan melestarikan hubungan kekerabatan antara anggota keluarga yang hidup dan yang telah meninggal, terutama kerabat yang didasarkan pada garis keturunan ayah, dalam hal ini dibebankan kepada anak laki-laki. Oleh karena itu, peranan anak laki-laki dalam upacara pemujaan leluhur menjadi besar, yaitu selain berfungsi sebagai penerus garis keturunan, juga untuk meneruskan tradisi leluhur, terutama pemujaan leluhur yang diwariskan secara turun-temurun dalam lingkungan keluarga. Meskipun demikian, bukan berarti anak perempuan yang sudah menikah dan masuk marga suaminya tidak

Page 11: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

3

PENDAHULUAN

diperbolehkan melakukan pemujaan terhadap leluhurnya. Mereka tidak diperkenankan oleh anak laki-laki membantu membiayai kegiatan upacara, kecuali anak laki-laki itu kurang mampu secara ekonomi. Pertimbangannya, selain anak laki-laki khawatir keberuntungan dari leluhur jatuh ke tangan anak perempuan, juga untuk menjaga nama baik anak laki-laki di mata anak perempuan atau tetangga.

Pemujaan ini selain sebagai bentuk keinginan anggota keluarga untuk mendapatkan pertolongan, perlindungan, dan restu, juga merupakan wujud bakti (xiao) anggota keluarga terhadap leluhur mereka. Pemujaan leluhur berfungsi untuk memberikan penghormatan kepada leluhur yang berjasa selama hidup dan juga sebagai bentuk tukar-menukar pemberian atau prinsip timbal balik yang bersumber dari kosmologi mereka (orang Hakka), sebagaimana teori tukar-menukar pemberian yang dibentuk oleh Marcel Mauss, dan dilakukan secara resmi dalam kegiatan upacara. Berdasarkan prinsip tersebut, setiap kebaikan (berupa pemujaan yang dilakukan secara berulang pada waktu-waktu tertentu: pemberian makanan, minuman, dan kebutuhan-kebutuhan leluhur lainnya) diyakini akan dibalas oleh leluhur di masa yang akan datang.

Buku ini juga bermaksud menjelaskan keyakinan orang Hakka tentang leluhur mereka yang diyakini masih tetap hidup di dunia lain dan tetap memberikan bimbingan dan perlindungan terhadap anggota keluarga mereka yang masih hidup di dunia. Sebagaimana dikatakan oleh Suparlan (1991: 1-27), pengertian sistem keyakinan tidak dapat dipisahkan dari kosmologi atau cara-cara orang memahami masyarakat mereka dan dunia yang mereka tentukan. Kosmologi ini meliputi konsep-konsep mengenai alam, tempat manusia di dunia dan hubungannya dengan kesatuan yang menghidupkan alam, keyakinan kepada pencipta, kekuatan

Page 12: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

4

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

spiritual, dan berbagai perantara antara yang hidup dan yang sudah meninggal.

Buku ini juga ingin menjelaskan kegiatan atau praktik upacara pemujaan leluhur yang dilakukan oleh orang-orang Hakka di Singkawang dengan menyatakan pendapat-pendapat tentang tujuan upacara-upacara yang mereka lakukan, makna, fungsi, dan mencoba menganalisis alasan mereka melakukan upacara pemujaan tersebut. Fokusnya adalah menggambarkan dan menganalisis upacara pemujaan leluhur yang dilakukan oleh orang-orang Hakka dalam lingkungan keluarga di rumah-rumah, yayasan sosial kematian (dilakukan saat salah seorang anggota keluarga meninggal), dan di kuburan (saat dan setelah upacara pemakaman, Ceng Beng, dan sembahyang rebutan atau Ka Chi).

upacara dan Pendekatan Tukar-menukarIstilah upacara dalam buku ini diartikan sebagai sarana

yang dapat menjembatani hubungan antara dunia nyata dan dunia tidak nyata, dan yang menghidupkan kembali hubungan-hubungan yang terputus antara yang hidup dan yang telah meninggal. Jika dalam sebuah upacara objek pemujaan1 adalah leluhur, maka upacara dapat dipandang sebagai alat atau sarana untuk menghubungkan antara pemuja (anggota keluarga yang masih hidup yang berperan sebagai pelaku-pelaku upacara) dan roh-roh leluhur mereka yang diyakini masih tetap hidup di dunia lain. Selain itu, juga sebagai sarana bagi anggota keluarga yang masih hidup untuk tukar-menukar pemberian dengan anggota keluarga yang sudah meninggal serta diresmikan dalam kegiatan upacara.

1 Durkheim mengatakan, pemujaan bukanlah semata-mata kumpulan upacara pencegahan yang dilaksanakan oleh manusia dalam keadaan tertentu. Pemujaan adalah suatu sistem upacara, pesta, dan ragam upacara yang mempunyai karakteristik yang selalu diulang-ulang secara periodik. Pemujaan adalah memenuhi keinginan penganutnya secara periodik untuk mempererat dan memperkuat ikatan mereka dengan hal-hal yang sakral sebagai tempat mereka bergantung.

Page 13: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

5

PENDAHULUAN

Upacara dalam hal ini adalah bentuk formal dari asas timbal balik atau saling tukar pemberian tersebut. Oleh karena itu, untuk memahami dan menjelaskan upacara, khususnya upacara pemujaan leluhur dan upacara-upacara terkait dalam masyarakat Hakka, yang menjadi sasaran penelitian adalah dengan menggunakan pendekatan tukar-menukar pemberian prestasi (barang-barang yang ditukarkan) yang ada dalam kebudayaan suku bangsa Hakka di Singkawang.

Marcel Mauss2 dalam bukunya menyatakan bahwa tidak ada kegiatan yang dilakukan oleh manusia yang bebas dari pamrih, semuanya dilakukan dengan mengharapkan balasan dari apa yang mereka berikan kepada orang lain (1992: 146-147). Pendapat Mauss ini juga diikuti dan didukung oleh Sahlins, yang menyatakan bahwa pertukaran sepenuhnya (tanpa pamrih) akan mengakibatkan habisnya kewajiban yang satu terhadap yang lain untuk saling memberi hadiah secara timbal balik (dalam Baal, 1998: 200). Lebih lanjut, Mauss mengatakan bahwa pemberian prestasi yang dilakukan oleh manusia dan membalas pemberian tersebut yang kelihatan sukarela, pada dasarnya tidaklah sukarela, tapi bersifat kewajiban dan sanksi pelanggaran bersifat pribadi (1992: 4). Oleh karena itu, setiap pemberian harus dilihat sebagai bentuk dari tukar-menukar pemberian prestasi yang mengharapkan balasan atau imbalan yang seimbang dari pemberiannya.

Sesuatu yang saling dipertukarkan dilihat Mauss sebagai prestasi (prestation)3, yaitu nilai barang menurut sistem-sistem makna yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dan bukan nilai harfiahnya. Menurut Mauss, prestasi yang dipertukarkan adalah prestasi menyeluruh

2 Buku The Gift, Forms and Functions Exchange in Achaic Societies (1967) karya Marcel Mauss diterjemahkan oleh Parsudi Suparlan dengan judul Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran dalam Masyarakat Kuno, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1992.

3 Prestasi adalah istilah dari Marcel Mauss untuk menunjukkan benda yang saling dipertukarkan.

Page 14: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

6

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

karena tukar-menukar melibatkan keseluruhan aspek kehidupan dan berlaku di antara kelompok-kelompok, dan bukan di antara individu-individu secara pribadi (lihat Suparlan, 1992: xix). Kata prestasi ini dapat juga digunakan untuk memberi makna pada sesuatu atau serangkaian benda yang diberikan secara sukarela atau karena kewajiban, atau sebagai pemberian dalam rangka tukar-menukar pemberian hadiah. Apa yang saling dipertukarkan dilihat Mauss tidak selamanya berbentuk benda, harta kekayaan, dan barang yang bernilai ekonomi, tapi dapat juga berbentuk penghormatan, penghiburan, upacara, bantuan militer, perempuan, anak-anak, dan lain-lain (lihat dalam Marcel Mauss, 1992: 4).

Mauss juga menjelaskan bahwa suatu pemberian hadiah sama dengan pemberian mana atau sari kehidupan dari orang yang memberi kepada orang yang menerima. Dengan diterimanya suatu benda yang diberikan dapat diartikan orang yang menerima telah mendapat sari kehidupan dari yang memberi atau sama artinya dengan diri orang yang memberi itu. Dengan demikian, orang yang menerima pemberian itu tidak dapat menolaknya karena itu sama artinya dengan menghina orang yang memberi. Itu sebabnya suatu pemberian harus dibalas dengan pemberian kembali kepada orang yang memberi hadiah.

Mauss melihat tukar-menukar pemberian prestasi tidak sama dengan barter dalam masyarakat yang sudah berkembang maju. Tujuan tukar-menukar pemberian prestasi tersebut bukan untuk kepentingan ekonomi seperti halnya barter dan perdagangan, melainkan untuk kepentingan moral. Sasaran tukar-menukar pemberian prestasi adalah untuk menciptakan persahabatan di antara dua orang yang saling tukar itu. Prinsip tukar-menukar pemberian prestasi juga berbeda dengan sedekah karena orang yang menerima sedekah tidak dituntut untuk membalas kembali kepada orang yang memberi sedekah. Orang yang memberikan

Page 15: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

7

PENDAHULUAN

sedekah hanya mengharapkan ganjaran atau pahala dari Tuhan.

Menurut Suparlan, prinsip tukar-menukar prestasi itu mempunyai tiga ciri, yakni: (1) pengembalian benda yang diterima tidak dilakukan saat hadiah itu diterima, tapi pada waktu yang berbeda sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku; kalau pemberian imbalan diberikan saat yang sama itu namanya barter. (2) Pengembalian pemberian hadiah yang diterima tidak berupa barang yang sama dengan yang diterima, tapi dengan benda berbeda yang mempunyai nilai sedikit lebih tinggi dari hadiah yang diterima atau setidak-tidaknya sama. (3) Benda-benda pemberian yang diterima tidak dilihat sebagai benda dalam nilai harfiahnya, tapi sebagai mana atau prestasi karena benda-benda tersebut dipercayai berisikan mana atau kekuatan gaib yang oleh Mauss digolongkan dalam suatu kategori yang dinamakannya prestation atau prestasi (Suparlan, 1992: xx).

Tukar-menukar pemberian prestasi yang terjadi antara manusia dan manusia atau antara manusia dan roh orang yang sudah meninggal atau antara anggota keluarga yang masih hidup dan roh-roh leluhur mereka terwujud dalam bentuk upacara. Yang dibangun dalam upacara yang didasarkan pada prinsip tukar-menukar prestasi ini adalah memperkuat ikatan persahabatan, menciptakan integrasi di antara sesama manusia yang saling tukar prestasi, dan antara manusia yang hidup dan yang sudah meninggal―karena yang sudah meninggal masih dianggap sebagai bagian dari anggota keluarga dan masyarakat oleh yang hidup―dan mewujudkan serta mempertahankan keteraturan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Dalam banyak upacara, terutama upacara pemujaan leluhur dalam keluarga dan masyarakat Hakka di Singkawang, dijumpai makna simbol-simbol upacara yang diambil dari mite, selain pengertian yang diberikan oleh para

Page 16: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

8

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

pelaku upacara dan orang-orang yang dipandang ahli dalam upacara pemujaan leluhur. Salah satunya adalah makna pemecahan buah semangka ketika jenazah orang meninggal akan diberangkatkan dari rumah duka ke kuburan yang didasarkan pada cerita Li Shih Min (Nio, 1961: 186).4 Tradisi ini tidak hanya dijumpai dalam masyarakat China Hokkian di Jawa, tapi juga dalam beberapa keluarga orang Hakka di Singkawang.

Cerita mengenai Kaisar Li Shih Min berjalan ke neraka ini telah memperkuat keyakinan orang China tentang roh-roh orang meninggal atau kehidupan leluhur mereka di dunia tidak nyata yang dapat dilihat dalam kegiatan upacara atau upacara pemujaan leluhur. Sebagaimana dikatakan oleh Wallace bahwa upacara pada dasarnya adalah usaha untuk mewujudkan keyakinan-keyakinan para pelaku upacara. Mereka (pelaku-pelaku upacara) membuktikan apa yang diyakini dalam bentuk rangkaian tindakan simbolis dan dalam bentuk pemberian sesajian makanan, korban binatang untuk dewa-dewa, roh-roh, maupun roh-roh leluhur (1966: 100). Oleh karena itu, ada kaitan antara upacara yang dilakukan oleh individu-individu maupun sekelompok orang dan keyakinan-keyakinan mereka terhadap hal-hal gaib (termasuk roh-roh dan roh-roh leluhur) yang mereka yakini memiliki kekuasaan dan kemampuan yang melebihi dari kemampuan manusia. Roh-roh atau roh-roh leluhur yang diyakini masih tetap hidup di dunia lain dan tetap memberikan bimbingan kepada keluarganya yang masih hidup juga dapat mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan pemujaan terhadap leluhur dengan upacara sebagai perantara pemuja dengan yang dipuja.

4 Makna buah semangka ini diambil dari cerita Kaisar Li Shih Min yang berjalan-jalan ke neraka dan tidak menemukan buah semangka di sana. Maksud pemecahan semangka dalam upacara kematian atau pemakaman ialah untuk dikirim ke raja akhirat melalui orang meninggal, dengan harapan perjalanan roh orang meninggal ke akhirat tidak mengalami hambatan.

Page 17: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

9

PENDAHULUAN

Sumber dari keyakinan tersebut berasal dari kosmologi atau cara-cara orang memahami masyarakat dan dunia seperti yang mereka tentukan (lihat Suparlan, 1991: 1).

victor Turner juga melihat adanya hubungan yang erat antara li dan jen dalam ajaran Konfusius. Jika li diartikan sebagai upacara, maka jen diartikan sebagai cinta kasih, kebaikan, kemanusiaan, hubungan antara manusia dan manusia, dan solidaritas atau rasa kebersamaan. Jen dapat juga dilihat sebagai rasa kemanusiaan atau sebagai ungkapan sosial dalam komunitas tanpa struktur, sedangkan li (upacara atau sopan santun) dapat dilihat sebagai struktur (lihat Turner, 1974: 284).

Apa yang dikatakan Turner mengenai hubungan li dan jen juga erat kaitannya dengan pendapat McCreery (dalam Scupin, 2000: 286) dan Clarke (2000: 275) mengenai hubungan perasaan xiao atau bakti seorang anak terhadap orang tua yang masih hidup dan yang sudah meninggal menurut konsep li yang terdapat dalam ajaran Konfusius. Dalam ajaran Konfusius (SuSi) dapat dijumpai keterangan bahwa ketika Konfusius ditanya oleh muridnya tentang kesalehan (filial piety) atau bakti, dia menjawab, “Orang tua ketika mereka masih hidup layanilah (peliharalah) mereka sesuai dengan li; ketika mereka meninggal, kuburkanlah mereka sesuai dengan li; dan berikan sesembahan (makanan atau korban) dan yang lainnya sesuai dengan li.” Dalam arti yang sederhana, li dapat dimaknai sebagai “ritual” atau “upacara”, dalam arti yang lebih luas adalah “sopan santun” sesuai dengan tingkah laku yang sebenarnya seperti yang terjadi dalam upacara-upacara pemujaan leluhur dalam keluarga dan masyarakat China, baik di China maupun di luar China. Melaksanakan li (upacara) berarti melakukan xiao (bakti), dan tidak melaksanakan li berarti tidak melaksanakan xiao terhadap leluhur atau put xiao. Arti yang lebih luas dari bo xiao (Mandarin) atau put haw (dialek Hokkian) adalah

Page 18: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

10

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

berdosa atau bersalah kepada orang tua atau leluhur mereka yang sudah meninggal.

Dalam upacara, khususnya pemujaan leluhur, ada kalanya diperlukan berbagai perantara yang dapat menghubungkan pemuja dengan objek yang dipuja. Perantara dapat berupa dukun (tathung) atau dalam bentuk lain seperti ahli fengsui5 (seseorang yang ahli meramal tata letak bangunan dan tempat pemakaman), atau seorang perantara antara anggota keluarga yang hidup dan roh-roh leluhur mereka untuk memeriksa letak kuburan leluhurnya atau memeriksa mengapa keluarga yang hidup selalu mendapatkan kesulitan (sakit, miskin, atau gagal dalam usaha).

Jika letak kuburan tidak sesuai dengan fengsui, sehingga membuat kehidupan leluhurnya tidak bahagia di dunia lain, ahli fengsui dapat memperbaikinya agar kehidupan leluhur di dunia lain serta keluarga yang ada di dunia kembali hidup dalam keteraturan. Sebagaimana dikatakan oleh Mary Douglas bahwa manusia dalam rumah tangga orang China akan memperoleh nasib baik apabila rumah, kuburan, dan makanan leluhur diatur sesuai dengan fengsui. Untuk mengetahui nasib baik dan buruk dalam kebudayaan orang China dapat diketahui melalui ahli fengsui. Ahli

5 Fengsui sering diterjemahkan sebagai angin dan air. Fengsui adalah ilmu tentang ramalan (mengenai tata letak bangunan dan tempat pemakaman). Mengenai baik dan buruk, menguntungkan dan merugikan, membahagiakan dan menyengsarakan. Fengsui tidak hanya bersifat ramalan, tapi juga cara logis untuk memberitahukan masa yang akan datang berdasarkan sesuatu yang gaib. Acuan fengsui adalah ajaran Lao Tse (lahir 604 SM) yang terdapat dalam kitab Tao Te Ching dan dikembangkan lebih lanjut oleh para pengikut Konghucu (551-479 SM), seperti Min Che (bahasa Mandarin) atau Bing Cu (bahasa Hokkian). Dalam perkembangannya, fengsui tidak semata-mata digunakan oleh orang China yang beragama Tao, tapi juga Konghucu. Menurut ahli fengsui, apabila tanah pemakaman atau perkuburan leluhur kita dalam keadaan “baik” (sesuai dengan fengsui), maka generasi yang akan datang akan menikmati keberuntungan besar dan kesehatan yang baik. Gambaran dari suatu yang ajaib ini telah dicatat oleh pengarang The Secret Theory of Geomancy yang menghubungkan bagaimana Zhu Yuan Zhang (Kaisar Cu Goan Ciang) berhasil menjadi kaisar pertama dinasti Ming, segera setelah ayahnya yang seorang nelayan menguburkan kakeknya di tempat yang dikenal sebagai “Gua bagi Para Raja” atau tempat yang baik berdasarkan fengsui yang baik (Evelyn Liv, Orientasi dan Manfaat Hong Sui, Jakarta, PT. Central Kumala Sakti, tanpa tahun, hal. 12).

Page 19: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

11

PENDAHULUAN

fengsui mempunyai kedudukan yang penting dalam sistem kepercayaan orang China yang sejalan dengan upacara pemujaan leluhur (1966: 103-104), baik China daratan maupun perantauan.

Margery Wolf juga menjelaskan bahwa langkah utama yang harus dilakukan oleh keluarga China dalam membangun rumah baru (termasuk kuburan) adalah memanggil ahli fengsui (geomancer) karena dia yang dapat mencarikan atau menetapkan tempat yang cocok untuk membangun rumah atau kuburan seseorang. Jika rumah atau kuburan dibangun di tempat yang tidak cocok atau tidak bagus, maka kehidupan orang yang menempatinya, bahkan keturunan selanjutnya, juga kurang baik (1968: 24-25). Dalam hal ini, ahli fengsui tidak semata-mata berfungsi menentukan tempat yang baik untuk membangun rumah, tapi juga menentukan lokasi pemakaman yang baik, yang mereka lakukan melalui serangkaian upacara.

Fengsui sebagai hasil pemikiran orang China kuno menggabungkan unsur Taoisme, Konfusianisme, Buddhisme (Tridharma), teori keseimbangan dan kesatuan Ying dan Yang, takhayul, dan citarasa. Dalam penataan ruang dan tempat tinggal, fengsui semakin disempurnakan oleh intuisi, imajinasi, dan interpretasi dari ahli fengsui itu sendiri. Ahli fengsui mengupayakan pernikahan seseorang sesuai dengan fengsui agar kehidupan mereka bahagia, umur panjang, memperoleh kesehatan dan kesuksesan di masa depan (Yun 2000: 14). Sebaliknya, ahli fengsui juga mengupayakan letak kuburan seseorang sesuai dengan fengsui agar dapat memberikan kesejahteraan bagi yang menempatinya dan memberikan keselamatan dan kemakmuran bagi anak cucu yang masih hidup.

Bagi orang Hakka di Singkawang, ahli fengsui tidak semata-mata berfungsi sebagai penentu lokasi pembangunan rumah dan tempat pemakaman, tetapi juga meramal apa

Page 20: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

12

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

yang terjadi dengan roh leluhur seseorang yang ada di dunia lain, sebagai perantara atau penghubung antara pemuja dan roh-roh leluhur yang dipuja, dan dapat juga berperan sebagai loya (bahasa Hokkian) atau tathung (bahasa Hakka) atau dukun, yang dapat menyembuhkan atau mengobati penyakit dan mengembalikan kondisi yang tidak teratur menjadi teratur, seperti peranan dukun dalam masyarakat Jawa sebagaimana diteliti oleh Geertz (1981: 116-151) dan Suparlan (1991: 9). Sebagai imbalan dari pertolongan yang diberikan oleh ahli fengsui atau tathung, anggota keluarga orang yang meninggal memberikan upah yang dapat dilihat sebagai saling memberi hadiah antara anggota keluarga dan ahli fengsui.

Peranan ahli fengsui (dapat juga disebut sinsang) dalam upacara pemujaan leluhur atau bosong, terutama yang dilakukan secara resmi dalam upacara kematian orang Hakka, tidak saja berfungsi memimpin upacara, tapi juga mengundang roh-roh leluhur, seluruh dewa-dewa yang menguasai alam ini, untuk hadir dan mencicipi makanan yang telah dihidangkan oleh pemuja, roh-roh jahat, roh-roh baik, roh-roh leluhur. Mereka semua diminta untuk tidak mengganggu perjalanan orang meninggal ke kuburan, meringankan siksaan di neraka (siksaan dari dewa-dewa penjaga neraka atas perintah Thian akibat dari perbuatan yang bersangkutan), serta melindungi anak cucunya di dunia.

Pemujaan leluhur dalam buku ini diartikan sebagai kegiatan upacara dengan mempersembahkan batangan hio, makanan atau korban, kertas uang, dan barang-barang keperluan lain kepada leluhur dan dilakukan oleh anggota keluarga yang masih hidup. Sebagaimana dikatakan oleh Willmott, leluhur dipuja karena mereka diyakini masih tetap hidup di dunia roh serta masih tetap memberikan bimbingan, pertolongan, dan perlindungan kepada keluarga yang masih hidup (1960: 199). Sementara Abraham mengatakan

Page 21: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

13

PENDAHULUAN

bahwa leluhur dipuja karena mereka adalah pendahulu dari anggota keluarga atau anak cucu mereka yang hidup dan kepada mereka anggota keluarga memohon pertolongan, perlindungan, dan bimbingan (Abraham 1966: 63).

Sebaliknya, leluhur, sebagaimana keyakinan orang China umumnya, masih tetap bergantung pada pemberian dari anggota keluarga mereka, berupa makanan atau korban dan barang-barang kebutuhan lain untuk kehidupan leluhur di dunia lain atau dunia roh. Oleh karena itu, anggota keluarga yang masih hidup bertanggung jawab memenuhi kebutuhan hidup leluhur mereka, kalau tidak leluhur akan datang kembali mengambil apa yang mereka butuhkan. Sakit, gila, miskin, gagal dalam usaha, dan nasib buruk diyakini sebagai pemberian dari leluhur yang mungkin marah pada keturunan akibat tidak diperhatikan (Bloomfield 1986: 58). Karena itu, anggota keluarga yang masih hidup sangat memperhatikan kehidupan leluhur agar mereka tidak mendatangkan keburukan atau malapetaka bagi keluarga.

Roh-roh orang yang meninggal atau roh-roh leluhur juga membutuhkan penghormatan dan pemujaan dari anak-anak dan cucu-cucu mereka yang masih hidup agar mereka bahagia dan senang, terutama karena masih mendapat perhatian dari keturunannya. Namun, keturunannya juga membutuhkan dukungan dan bimbingan dari leluhur agar hidup mereka di dunia memperoleh keselamatan dan rezeki yang banyak. Anak keturunan dari yang meninggal meyakini bahwa kasih sayang itu dapat diberikan oleh leluhurnya, sebagaimana juga pemeliharaan dan perlindungan yang mereka (leluhur) berikan sewaktu masih hidup akan berlangsung sampai sesudah mereka meninggal (lihat Baker 1972: 74), selama anggota keluarga yang hidup masih mengingat dan memperhatikan kehidupan mereka di dunia lain.

Selain faktor keyakinan terhadap keberadaan leluhur yang masih tetap hidup di dunia roh dan sebagai seorang

Page 22: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

14

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

pendahulu dari keturunannya, sebagaimana disebutkan di atas, leluhur juga dipuja karena faktor xiao (bahasa Mandarin) atau haw (bahasa Hokkian) atau hakfa (bahasa Hakka) yang berarti bakti seorang anak terhadap orang tuanya atau leluhurnya yang sudah meninggal. Baker mengatakan, dalam ajaran Konfusius yang berlaku dalam keluarga dan masyarakat China, xiao mengacu pada hubungan anak dan ayah, hubungan atas bawah atau hubungan yang tinggi dengan yang rendah, dan juga diperluas dalam bentuk hubungan sosial lain (Baker 1979: 102). Umumnya orang China mengharapkan anaknya dapat xiao (berbakti) kepada orang tua serta leluhur mereka, baik saat mereka masih hidup maupun setelah meninggal, dan bukan bu xiao, put haw, atau mo hakfa, atau tidak berbakti terhadap orang tua.

Antara keyakinan terhadap keberadaan leluhur di dunia roh, sebagai pendahulu dari anak cucu yang masih hidup yang patut dihormati dan perasaan xiao atau bakti terhadap leluhur, semua itu bersatu dalam diri seseorang atau anggota keluarga sebagai pelaku-pelaku upacara atau pemuja sehingga menjadi pendorong bagi mereka untuk melakukan upacara pemujaan leluhur. Ketiganya ini juga dapat memengaruhi sikap dan tindakan anggota keluarga dalam upacara, serta perlengkapan-perlengkapan atau alat-alat upacara yang mereka pergunakan.

Page 23: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

15

1

SeJArAH OrAng HAKKA di SingKAwAng

Singkawang merupakan salah satu kotamadya atau pemerintahan kota di Kalimantan Barat. Letaknya lebih

kurang 145 kilometer arah utara kota Pontianak. Sebutan Singkawang berasal dari bahasa Hakka, Shan Kheu Yong. Shan artinya gunung, Kheu artinya mulut sungai, dan yong berarti lautan. Shan Kheu Yong artinya daratan yang diapit oleh gunung, sungai, dan lautan. Sebutan ini kemudian berubah menjadi “Singkawang”. Tidak jelas kenapa istilah Shan Kheu Yong berubah menjadi Singkawang. Dulu (tahun 2002) Singkawang masuk dalam wilayah Kabupaten Sambas. Namun, karena ada pemekaran kabupaten, Singkawang memisahkan diri dan menjadi sebuah kotamadya.

Para pendatang sering menyebut kota Singkawang sebagai kota “amoi” (sebutan untuk gadis-gadis China dan Hakka) karena banyak gadis Hakka di kota ini bekerja di semua sektor pekerjaan. Bahkan, ada yang menyebutnya sebagai “Hongkongnya Indonesia”.

Page 24: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

16

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Luas Kota Singkawang sekitar 37,43 kilometer persegi. Sebagian besar lahan di Singkawang digunakan untuk pertanian dan sisanya untuk pertokoan. Tanah di Singkawang terdiri dari lahan datar dan pegunungan. Lahan datar dipergunakan untuk pertanian, sementara lahan pegunungan dipergunakan untuk pengairan. Daerah pegunungan juga dimanfaatkan tanah dan batunya untuk kepentingan pembangunan jalan raya, dan sebagian wilayahnya dijadikan tempat pemakaman. Umumnya yang bekerja di daerah pegunungan adalah orang-orang Madura, baik sebagai petani, pekerja batu, peternak, maupun buruh. Ada juga sebagian kecil orang Dayak di Singkawang yang tinggal di pegunungan, umumnya mereka bekerja sebagai petani.

Salah satu gunung yang ada di Singkawang adalah Gunung Kulor. Di kaki gunung ini ada sebuah kelenteng yang tidak terlalu besar. Menurut informasi masyarakat setempat, kelenteng ini adalah kelenteng tertua di Singkawang. Kelenteng ini cukup banyak didatangi orang untuk beribadah dan pemujaan kepada dewa-dewa. Namun, ada juga yang meminta nomor togel. Letaknya yang indah di kaki gunung membuat kelenteng sering menjadi lokasi wisata.

Berdasarkan data statistik Pemerintahan Kota Singkawang tahun 2011, jumlah penduduk Singkawang 246.306 jiwa, dengan mayoritas orang Hakka atau Khek (42 persen) dan selebihnya orang Melayu, Dayak, Tio Ciu, Jawa, dan pendatang lainnya. Menurut agama yang dianut, berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2003, penduduk kota Singkawang yang beragama Islam 73.929 orang, Katolik 11.997 orang, Protestan 5.912 orang, Hindu 2.765 orang, Buddha 56.332 orang, dan lainnya 687 orang. Jumlah keseluruhan penduduk kota Singkawang berdasarkan agama yang dianut adalah 151.622 jiwa.

Di Singkawang ada suku bangsa yang dianggap penduduk asli dan dianggap pendatang. Yang dianggap penduduk

Page 25: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

17

SEJARAH ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

asli adalah mereka yang hidup sekian puluh generasi di Singkawang, mereka adalah suku bangsa Melayu dan Dayak. Adapun suku bangsa China atau orang Indonesia peranakan China, termasuk suku bangsa Hakka, meskipun sudah berada di Singkawang sejak abad ke-17 masih sering dipandang pendatang seperti Jawa, Madura, Bugis, Batak, dan Sunda.

masuknya Orang Hakka ke SingkawangTidak dapat diketahui secara pasti kapan orang China,

terutama suku bangsa Hakka, datang ke Singkawang. Namun, dari catatan perjalanan seorang Inggris, Earl (1971: 35), ke Kalimantan Barat, terutama ke Monterado (sekitar 30 kilometer dari kota Singkawang atau sekitar 110 km dari kota Pontianak), yaitu tempat perantau China menambang emas, menyebutkan bahwa saat kedatangannya dari Singapura dengan kapal laut pada abad ke-18, dia telah menjumpai beberapa rumah orang China, di samping orang Melayu dan Dayak yang sangat sederhana di Singkawang. Kota Singkawang pada waktu itu belum berbentuk kota, tapi lebih menyerupai desa dengan rumah penduduk yang masih jarang. Meskipun demikian, Singkawang sudah dijadikan oleh orang-orang China sebagai pusat perdagangan hasil bumi dari Monterado yang diangkut dengan kuda sebagai salah satu alat transportasi.

Earl juga menjelaskan, di Monterado pada masa itu sudah banyak orang China, khususnya orang Hakka, yang melakukan penggalian emas dan hasilnya mereka perjualbelikan di Singkawang dan kota-kota lain di Kalimantan Barat. Umumnya yang datang dari China adalah laki-laki (tidak ada satu pun wanita) lalu mereka kawin dengan wanita setempat (orang Dayak) dan anaknya dianggap sebagai peranakan China. Saat itu imigran China terus berdatangan ke Monterado, dan mereka yang tidak bekerja sebagai penambang emas langsung ke Singkawang menjadi pedagang.

Page 26: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

18

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Earl juga menjelaskan bahwa pada masa itu orang Belanda sudah ada di Sambas dan menjalin hubungan dengan kesultanan Sambas. Sebagai utusan raja Singapura, Earl bertemu dengan Lo Fong Pak dalam rangka kerja sama perdagangan antara Singapura dan Monterado. Kedatangan Earl disampaikannya kepada pemimpin Belanda di Sambas ketika dia bersama utusan lainnya (termasuk juru bahasanya) berkunjung ke kesultanan Sambas (sepulang dari Menterado). Namun, pemimpin Belanda tersebut tidak senang karena hubungan antara Belanda (berkedudukan di Sambas) dan Lo Fong Pak (yang mempunyai pusat penambangan emas di Monterado dan Mandor) sedang tidak harmonis akibat persaingan ekonomi.

Kelompok migran terbesar di Kalimantan Barat (Kalbar) adalah orang China. Mereka terdiri atas berbagai suku bangsa, seperti Hakka, Teochiu, Canton, dan Hainan. Hampir semua orang China di Kalbar datang dari provinsi China di sebelah selatan, yaitu dari Guangdong, dan hanya sedikit orang Hokkian dari Fujian. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Hakka, Teochiu, Canton, dan Hainan sehingga di antara mereka tidak saling mengerti. Contoh, orang Hakka tidak dapat berkomunikasi dengan orang-orang Teochiu. Namun, karena mayoritas pendatang China adalah orang Hakka, maka dalam pergaulan sehari-hari menggunakan bahasa Hakka sebagai bahasa pengantar.

Menurut Mary Somers Heidhues, yang dimaksud dengan Hakka adalah logat atau cara bicara sekelompok orang China yang berasal dari China bagian Selatan, umumnya dari Provinsi Guangdong, dan sebagian kecil mereka pindah ke Provinsi Guangxi dan Sichuan (Heidhues, 2003: 37). Orang Hakka yang ada di Kalimantan Barat, khususnya Singkawang, diduga berasal dari provinsi-provinsi tersebut, yang datang (diperkirakan abad ke-17) untuk mencari emas di daerah-daerah pedalaman Kalimantan Barat.

Page 27: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

19

SEJARAH ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Dua suku bangsa China yang paling besar di Kalimantan Barat adalah Teochiu dan Hakka. Orang Teochiu datang dari daerah pantai bagian selatan dari Provinsi Guangdong, yaitu di sekitar pelabuhan Swatau (Shantau). Adapun orang-orang Hakka pertama kali didatangkan oleh Sultan Sambas dari daerah berbukit pedalaman Provinsi Guangdong atau dari dataran rendah yang lebih miskin di Provinsi Guangdong. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok suku bangsa dan bahasa yang berbeda-beda.

Orang-orang Hakka ini juga ada di Provinsi Fujian (Tingzhou), tapi hanya sedikit dari mereka yang berimigrasi ke Kalimantan Barat pada abad ke-17. Orang Hakka yang banyak berimigrasi ke Kalimantan Barat berasal dari pedalaman Provinsi Guangdong. Mereka membentuk kongsi-kongsi untuk kepentingan bisnis, terutama emas, di daerah pedalaman Kalimantan Barat. Sebagaimana dikatakan oleh Heidhues (2003: 64), salah satu kongsi yang cukup terkenal di Kalimantan Barat adalah Lanfang Kongsi. Pendirinya ialah Lo Fong Pak (bahasa Hakka) atau Luo Fangbo (bahasa Mandarin), pada abad ke-17. Dia tidak hanya berhasil mendirikan kongsi-kongsi, tapi juga menjadi gubernur untuk orang-orang China di Kalimantan Barat yang berpusat di Mandor (sekitar 100 km dari Pontianak). Monterado dan Mandor pada masa itu cukup terkenal karena merupakan pusat penggalian emas dan orang-orang China dari berbagai suku bangsa terpusat di sana. Adapun Singkawang hanya menjadi kota perdagangan, dan bukan daerah penghasil hasil bumi seperti Monterado dan Mandor.

Perbedaan antara orang Hakka dan orang Teochiu tidak terlalu mencolok karena keduanya adalah orang China Han. Kedua kelompok ini berbahasa China bagian selatan. Namun, di Singkawang, kedua suku bangsa ini ada yang hanya menguasai salah satu bahasa saja, yaitu bahasa Hakka atau bahasa Teochiu. Orang-orang Hakka ini membuka wilayah baru di negeri China

Page 28: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

20

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

pada masa lalu, yaitu di daerah pertanian yang tidak begitu subur. Kadang kala mereka dibantu oleh kelompok minoritas setempat. Apabila mereka tidak mendapat keuntungan di daerah yang mereka buka, mereka siap membuka wilayah lain yang mereka anggap lebih subur dan menjanjikan penghasilan yang banyak, termasuk pindah ke luar China. Oleh karena itu, mereka disebut Hakka (dalam bahasa Mandarin, kejia) yang artinya “tamu” (Heidhues, 2003).

Di Kalimantan Barat, mereka juga dikenal sebagai pelopor atau perintis dalam membuka wilayah baru (Heidhues, 2003: 95). Ada sedikit perbedaan antara orang Hakka dan Teochiu di Singkawang. Orang Hakka atau Kek terpusat di daerah pedalaman dan bekerja sebagai penambang, petani, atau pedagang kecil. Sementara itu, orang-orang Teochiu terpusat di daerah kota dan bekerja sebagai pedagang. Namun, saat ini perbedaan itu tidak tampak lagi karena banyak orang Hakka yang kemudian tinggal di kota dan menjadi pedagang, sementara banyak juga orang Teochiu yang tinggal di pedalaman dan bekerja sebagai petani.

Saat ini orang-orang Teochiu (berdasarkan dokumen-dokumen zaman kolonial dan juga informasi dari orang-orang Hakka di Kalimantan Barat) sering disebut “Hoklo” (dalam bahasa Mandarin Fulao) yang merupakan kelompok terbesar di antara orang-orang China di Pontianak dan daerah-daerah di bagian selatan kota Pontianak. Sementara orang-orang Hakka adalah kelompok suku bangsa China yang terbesar di bagian utara kota Pontianak, seperti Kabupaten Sambas, kota Singkawang, khususnya di Mandor dan Monterado sebelum pecahnya perang antara orang-orang China dan suku bangsa Dayak pada tahun 1967.6 Namun, setelah peperangan

6 Pada tahun 1967 diberitakan, saat itu tentara menghasut kelompok pribumi untuk berperang melawan orang-orang China di Kalimantan Barat. Seorang sarjana mencatat peristiwa tersebut. Pemerintah mengatakan bahwa itu terjadi secara spontan, tapi sebenarnya tidak. Akibat tuduhan tersebut, semua orang China yang tinggal di pedalaman Kalimantan Barat terancam. Tuduhan tersebut disebabkan selama masa kampanye konfrontasi dengan

Page 29: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

21

SEJARAH ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

itu, kelompok orang Hakka tidak lagi tinggal di Mandor dan Monterado karena di antara mereka ada yang lari ke Singkawang, Sambas, dan Pontianak. Di tempat yang baru itu mereka membuka usaha atau menjadi pedagang, petani, dan pekerjaan lain sehingga menimbulkan persaingan di antara mereka sendiri dan dengan masyarakat setempat.

Kelompok suku bangsa China di Kalimantan Barat berdasarkan sensus tahun 1930 adalah sebagai berikut: Hakka 38.313 orang, Teochiu 21.699 orang, Cantonese 2.961 orang, Hokkian 2.570 orang, dan lain-lain 1.257 orang. Dari jumlah total 66.800 orang tersebut, 16.669 orang di antaranya lahir di China (Heidhues, 2003: 31) dan 50.131 lahir di Kalimantan Barat. Pada tahun 1994, penduduk China di Kalimantan Barat meningkat menjadi 427.184 orang.7 Namun, dalam sensus tersebut orang China tidak lagi dikelompokkan berdasarkan suku bangsa, tapi orang China secara keseluruhan.

Saat ini, orang-orang Teochiu sebagian besar terdapat di Kabupaten Pontianak dan Pemerintah Kota Pontianak. Sementara itu, orang-orang Hakka atau Kek, sebagaimana orang-orang nonsuku bangsa China menyebutnya, sebagian besar terdapat di Kota Singkawang dan Kabupaten Sambas. Jumlah populasi orang Hakka terbesar ada di Singkawang. Bahkan, di daerah ini orang-orang Hakka masih kuat mempertahankan kebudayaan leluhur meskipun mereka dilahirkan dan dibesarkan di Singkawang serta tidak pernah ke China.

Malaysia, Pemerintah Indonesia memberikan dukungan kepada sayap kiri, yaitu Pasukan Gerilyawan Rakyat Sarawak (PGRS) yang sebagian besar anggotanya orang-orang China (lihat dalam Konflik Etnis di Kalimantan Barat, Jakarta, Institut Studi Informasi, 1998; lihat juga dalam Tangdililing, Masyarakat Keturunan Cina di Kalimantan Barat (tesis S-2), Jakarta, Universitas Indonesia, 1984).

7 Data diambil dari Kalimantan Barat Dalam Angka 1994, tapi di dalamnya tidak dijelaskan jumlah orang China yang masih warga negara asing. WNA di Singkawang saat ini umumnya tidak menetap, mereka datang ke Singkawang hanya selama 1 atau 2 minggu, kemudian kembali lagi ke negara asal mereka, seperti Hongkong dan Taiwan.

Page 30: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

22

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Orang Hakka di SingkawangSingkawang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang

Hakka. Menurut informasi yang didapatkan dari Halim, seorang peranakan Hakka yang bermarga Lim, di Singkawang sekitar abad ke-13 sudah ada orang-orang China, baik itu suku bangsa Hakka maupun suku bangsa lainnya, tetapi jumlahnya belum banyak. Namun, setelah terjadi bentrok antara militer Indonesia dan Pemberontakan Gerakan Rakyat Sarawak (PGRS) pada tahun 1967, saat itu orang-orang China Indonesia diisukan terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI), mereka diusir dari Monterado (daerah Mandor Kalimantan Barat) oleh militer dan orang-orang Dayak. Banyak dari mereka kemudian pindah ke Singkawang. Mulai saat itulah Singkawang ramai oleh orang China, yang sebagian besar adalah orang Hakka (lihat Lontaan, 1975).

Di Singkawang mereka membangun tempat tinggal dan pusat-pusat bisnis, terutama toko, untuk berdagang. Lama-kelamaan, populasi mereka bertambah, dan sekarang jumlahnya sudah mencapai 50 persen dari total jumlah penduduk. Mereka yang tinggal di daerah pasar umumnya menggeluti dunia perdagangan, dan mereka yang tinggal di daerah pedalaman (jauh dari kota) umumnya menggeluti bidang pertanian, kerajinan, peternakan, dan buruh kasar. Dan, bagi mereka yang tinggal di daerah pantai bekerja sebagai nelayan modern dan tradisional. Mereka yang menggeluti dunia perdagangan, ekonominya tergolong menengah ke atas, sementara yang menggeluti pekerjaan di luar dunia perdagangan, umumnya ekonomi mereka menengah ke bawah, bahkan ada yang hidup di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data dari kantor BPS Kota Singkawang dan kantor BPS Jakarta (tahun 2004), orang yang digolongkan miskin jika total penghasilannya Rp 160.491 per bulan per orang (untuk daerah perkotaan Singkawang) dan Rp 103.400 per bulan per orang (untuk daerah pedesaan Singkawang).

Page 31: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

23

SEJARAH ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Orang-orang Melayu di Singkawang umumnya bertempat tinggal di daerah pantai yang terletak di bagian barat Singkawang, sementara itu orang Dayak umumnya tinggal di daerah pedalaman dan pegunungan yang terletak di bagian timur Singkawang. Adapun orang Hakka tinggal di daerah pasar dan sebagian di pedalaman, berdampingan dengan orang Dayak, dan hanya sebagian kecil dari mereka yang hidup di daerah pantai. Di daerah pantai mereka bekerja sebagai nelayan, bahkan banyak di antara mereka bekerja sama dengan orang-orang Melayu mencari ikan di laut atau orang Melayu menjadi kuli atau anak buah orang Hakka. Sebaliknya, ada juga orang Hakka yang menjadi anak buah orang Melayu. Mereka hidup rukun dan tidak pernah berkelahi.

Dari segi jumlah, orang-orang Hakka di Singkawang dapat dikatakan sebagai kelompok mayoritas, tetapi dari segi sosial ekonomi mereka bisa digolongkan sebagai kelompok minoritas. Secara ekonomi mereka dapat digolongkan kelompok miskin,8 bahkan lebih miskin dari suku bangsa lain di wilayah itu. Contohnya Pak Sumin, yang sudah 20 tahun menjadi dukun (loya), tetapi hidupnya tetap saja miskin. Rumahnya sangat sederhana dibandingkan rumah lain. Kelompok orang Hakka miskin ini umumnya tinggal di desa dan bekerja sebagai petani, nelayan, tukang kayu, penjual tahu, serta pekerja upahan (Poerwanto, 1990: 221). Salah satu cara yang mereka lakukan untuk keluar dari kemiskinan adalah dengan menjual atau mengawinkan anak perempuan mereka dengan orang-orang Taiwan. Mereka berharap, apabila dibawa ke Taiwan, anak perempuan dapat membantu perekonomian mereka di Singkawang. Anak perempuan yang

8 Sosok orang Hakka miskin di Singkawang dapat kita lihat di buku karya Wilson Tjandinegara, wartawan foto majalah bulanan Sinergi terbitan Jakarta berjudul "Bayangan Air Mata dari Taman Firdaus: Potret Kehidupan Orang China Melarat di Kalimantan Barat", 2002. Selain itu juga dapat dilihat dalam majalah mingguan Tempo (25 Maret 2001).

Page 32: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

24

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

kawin dengan laki-laki Taiwan ini ada yang berhasil dan ada juga yang tidak berhasil mempertahankan perkawinannya.9

Dilihat dari segi sosial budaya, orang Hakka yang ada di wilayah ini masih kuat mempertahankan kebudayaan leluhurnya. Ini dapat dilihat dalam perayaan hari-hari besar, seperti perayaan menyambut tahun baru Imlek atau kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan penutupan tahun baru Imlek, yaitu perayaan Cap Go Meh, yang selalu mereka ramaikan dengan “barongsai”, “liong” (permainan naga), atraksi tathung (dukun) atau loya, dan pembakaran petasan serta kembang api. Pada masa Orde Baru, perayaan Imlek dan Cap Go Meh ini tetap mereka rayakan, tetapi hanya dalam lingkungan sendiri dan tidak dipertontonkan di muka umum karena dapat dianggap melanggar peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah (lihat Inpres No. 14/1967). Dalam acara pernikahan dan kematian juga demikian, mereka masih kuat mempertahankan tata cara sehingga upacara pernikahan dan kematian yang mereka lakukan mempunyai corak tersendiri yang berbeda dengan suku bangsa lain (Tangdililing, 1982: 121). Meskipun demikian, dalam upacara pernikahan mereka sudah tidak lagi menggunakan pakaian tradisional China, tetapi pakaian yang bercorak modern, dengan wanita memakai gaun putih panjang dan laki-laki memakai jas lengkap.

1. daerah Seribu Kelenteng Agama yang dipeluk orang Hakka di Singkawang

bermacam-macam, mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Buddha (termasuk Buddha Mahayana dan Tridarma), dan Konghucu. Namun, agama Buddha dan Konghucu yang

9 Umumnya, wanita Hakka yang menikah dengan orang Taiwan masih berusia di bawah 17 tahun, sedangkan orang Taiwan yang mencari Istri di Singkawang umumnya sudah berusia lanjut.

Page 33: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

25

SEJARAH ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

paling banyak mereka yakini.10 Ini terlihat dengan banyaknya tempat ibadah atau kelenteng yang tersebar di seluruh desa, hampir menyamai jumlah masjid. Menurut catatan BPS Pemerintahan Kota Singkawang tahun 2003, jumlah masjid di Singkawang 94 buah, surau 48, musala 4, gereja 22, kapel 7, pura tidak ada, wihara (kelenteng) 8, dan cetya (pekong) 73 buah. Jumlah ini terus bertambah hingga sekarang.

Ketua Majlis Tridharma menginformasikan, untuk wilayah Singkawang, Bengkayang, dan Sambas, jumlah kelenteng di Singkawang sebanyak 65 buah (Tridharma), wihara Buddha 10 buah (di luar Tridharma), Tempat Ibadah Tridharma (TITD) yang ada di rumah-rumah berjumlah 126 buah, yayasan sosial kematian 36 buah, 133 marga (dalam bahasa Hakka disebut siang), dan 15 lokasi tanah pemakaman orang Hakka yang tersebar di beberapa desa dan kecamatan.11

Melihat banyaknya kelenteng, yayasan sosial kematian, serta orang yang berkunjung ke makam leluhur pada hari-hari tertentu, misalnya hari raya Ceng Beng (untuk bersih kuburan dan sembahyang kepada leluhur di kuburan), dapat diduga bahwa praktik-praktik pemujaan leluhur masih banyak dilakukan oleh peranakan China, khususnya orang Hakka,12 di wilayah ini. Tidak hanya itu, dengan banyaknya

10 Berdasarkan catatan Biro Statistik Pemerintahan Kota Singkawang tahun 2001, jumlah orang yang menganut agama Buddha 56.332 orang, menempati urutan kedua setelah agama Islam 73.929 orang. 99% dari penganut Buddha adalah peranakan Cina. Sebagian besar dari mereka diperkirakan menganut agama Buddha Tridharma (Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme). Dalam statistik tahun 2001 dan 2002 belum ada kolom agama Konghucu meskipun Konghucu sudah diakui sebagai agama yang setara dengan agama lain (lihat Kepres No. 6/2000). Diduga, di kepres tersebut belum ada petunjuk pelaksanaannya sehingga pihak statistik tidak berani mengadakan kolom agama Konghucu.

11 Luas tanah untuk 1 pekuburan 2 hektar, jadi untuk 15 pekuburan yang ada di Singkawang luasnya 30 hektar, atau ¼ wilayah Singkawang diperuntukkan untuk tanah pekuburan orang China. Hanya ada 4 pekuburan yang berdasarkan marga. Pekuburan di kampung umumnya bercampur untuk semua marga dan agama, kecuali Islam. Adapun tanah pekuburan di dekat kota Singkawang cenderung dipisah berdasarkan agama.

12 Umumnya yang datang ke kuburan adalah orang Hakka yang berasal dari Singkawang. Ini diketahui dari keterangan salah seorang narasumber yang bernama Bong Wei Kong (Ketua Agama Buddha Tridharma di Singkawang). Dia cukup mengenal orang-orang Hakka dan

Page 34: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

26

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

rumah ibadah yang masih bercorak kebudayaan Hakka dan tersebar di setiap desa di Singkawang, sejak dulu Singkawang sudah dikenal dengan julukan “wilayah seribu kelenteng”, yaitu tempat orang-orang Hakka melakukan ibadah dan pemujaan terhadap tokoh-tokoh penting atau orang meninggal yang dianggap setengah dewa, dewa-dewa, roh-roh, dan roh leluhur.

Kelenteng-kelenteng tersebut ada yang berukuran besar dan kecil, baik yang ada di tengah kota maupun di pinggir kota Singkawang. Kelenteng-kelenteng itu ada yang belum lama dibangun dan juga ada yang berusia ratusan tahun. Kelenteng-kelenteng terus dibangun walaupun pada masa Orde Baru sempat dilarang dan hanya diperbolehkan memperbaiki saja. Masyarakat boleh membangun kelenteng asal namanya diubah menjadi wihara atau masuk dalam organisasi agama Buddha.

Jika diperhatikan, wihara yang dibangun pada masa Orde Baru bukan bercorak wihara, tapi bercorak kelenteng. Agar suatu kelenteng dapat memenuhi syarat untuk disebut wihara, maka diletakkanlah sebuah patung Buddha di samping patung-patung yang menjadi kepercayaan orang Hakka, misalnya patung Konghucu, Lao-tse, dan patung-patung lain seperti Dewi Kwan Im (dewi kasih sayang) yang sering kali dipuja secara bersama-sama. Hal ini berlaku di seluruh Indonesia, termasuk Singkawang.

Kelenteng atau Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) atau pekong-pekong13 ada yang dibangun oleh dan atas dasar

bukan orang Hakka di Singkawang. Dia mengatakan, 90% peranakan China di Singkawang adalah orang Hakka.

13 Orang Hakka di Singkawang membedakan kelenteng dan pekong. Bangunan kelenteng besar, sedangkan pekong kecil. Kelenteng tempat memuja dewa-dewa umum, seperti dewa bumi, dewa rezeki, dewi Kwan Im, dewa-dewa pahlawan perang, dan dewa-dewa lain, sedangkan pekong tempat untuk memuja dewa khusus atau orang yang dianggap setengah dewa, seperti Lo Pong Pak, gubernur orang China pada abad ke-17 di Kalimantan Barat yang kemudian gambar atau patungnya dipuja di dalamnya, di samping memuja dewa-dewa lain. Pekong sering kali dikelompokkan ke dalam Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD). Dalam kehidupan sehari-hari orang Hakka sering menyebut kelenteng sebagai pekong.

Page 35: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

27

SEJARAH ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

swadaya bersama (gotong royong) masyarakat Hakka dan non-Hakka, ada yang dibangun oleh kelompok marga, atau dibangun atas dasar kesamaan marga dan kesamaan tempat tinggal. Ada juga karena seseorang mendapat rezeki banyak (bisa orang yang tinggal di Singkawang atau di luar Singkawang), dan sebelumnya yang bersangkutan sudah berniat jika usahanya berhasil akan membangun sebuah kelenteng atau melalui mimpi, seperti dia harus mengeluarkan hartanya untuk pembangunan kelenteng atau pekong. Orang Hakka di Singkawang menyebut kelenteng atau wihara dengan sebutan pekong. Pekong-pekong ini ada yang berukuran besar dan umumnya milik bersama dan ada yang kecil, yang umumnya dimiliki keluarga atau milik satu marga. Marga Lim, misalnya, juga memiliki sebuah kelenteng atau pekong yang mereka gunakan untuk tempat pemujaan.

Pembangunan pekong atau kelenteng tidak hanya didasarkan pada gotong royong sesama orang Hakka di Singkawang, tapi juga ada bantuan dari pemerintah daerah. Bantuan untuk satu rumah ibadah dari pemerintah daerah adalah Rp 5 juta untuk setahun. Sebenarnya Pemerintahan Kota Singkawang telah menganggarkan dana dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBD) sebesar Rp 7 juta per tahun, tapi yang disetujui hanya Rp 5 juta. Jumlah ini tidak cukup, karena itulah setiap panitia pembangunan rumah ibadah di Singkawang harus meminta bantuan dari masyarakat. Sejumlah orang Hakka mengatakan bahwa mereka tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah untuk membangun rumah ibadah, semuanya berasal dari swadaya mereka. Menurut informasi, para pengusaha Hakka

Seolah-olah mereka tidak begitu mempersoalkan perbedaan antara kelenteng dan pekong. Claudine Salmon, penulis buku Klenteng-Klenteng Masyarakat China di Jakarta (1985), tidak membedakan antara kelenteng dan pekong, keduanya sama dan hanya sebutannya yang berbeda (wawancara dengan Claudine Salmon, Paris, 16 Juli 2003). Roh leluhur tidak ada di pekong, tapi dapat dipanggil melalui perantara dewa-dewa di pekong.

Page 36: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

28

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

asal Singkawang yang membuka usahanya di Jakarta banyak membantu pembangunan pekong atau kelenteng ini.14

Pekong yang dimiliki secara pribadi ini umumnya digunakan untuk memuja dewa-dewa tertentu, misalnya dewa kera sakti. Dewa-dewa ini tidak hanya sekadar dipelihara, dipuja, tapi juga dimanfaatkan oleh seseorang untuk mengobati penyakit, memberikan phu (jimat) kepada orang yang membutuhkannya. Orang yang bekerja seperti ini disebut tathung atau dukun. Tathung di Singkawang berjumlah tidak kurang dari 150 orang. Tathung menggunakan pekong sebagai tempat pengobatan. Ketika hendak melakukan pengobatan, minta jimat, ataupun meminta nomor, seseorang harus memuja dewa-dewa yang dipelihara oleh tuan rumah atau orang yang bertindak sebagai dukun.

Pada masa Orde Reformasi, banyak warga yang mendirikan kelenteng atau pekong karena izin lebih mudah. Jumlah kelenteng atau pekong di Singkawang hampir menyamai jumlah masjid dan melebihi jumlah gereja. Di Singkawang, hampir setiap hari atau paling tidak seminggu sekali kita bisa melihat perayaan peringatan ulang tahun kelenteng atau pekong. Biasanya dipertunjukkan barongsai atau kesenian Hakka lainnya. Orang-orang Islam di Singkawang hadir dalam acara itu sambil menikmati makanan yang telah disediakan.15 Izin keramaian dan keamanan juga sudah harus beres. Informasi dari

14 Salah seorang ketua panitia pembangunan Kelenteng Alianyang di Singkawang menyatakan bahwa dana 1 miliar rupiah untuk pembangunan kelenteng dengan mudah dia dapatkan dengan cara mengumpulkan sumbangan dari para pengusaha. Menurut dia, seorang pengusaha ada yang menyumbang mulai dari 20 juta rupiah hingga 50 juta rupiah. Bagi dia, uang sebesar itu mudah didapat asalkan yang menjalankan sumbangan tersebut adalah orang yang dapat dipercaya. Kepercayaan bagi orang Cina sangat penting, bahkan kedudukan teman yang dapat dipercaya dapat mengalahkan seorang saudara (lihat Chen, 1985).

15 Umat Islam yang datang dalam acara ulang tahun pekong atau kelenteng disediakan makanan halal. Panitia sengaja mengajak tukang masak dari Melayu Singkawang. Sementara untuk orang-orang Hakka dan Dayak yang bukan beragama Islam disediakan hidangan dari babi, selain minuman dan kacang goreng. Jumlah yang hadir dapat mencapai 500 orang, bahkan lebih. Sekitar 20 orang di antaranya adalah orang Melayu dan Dayak. Di sini terlihat persatuan suku bangsa di Singkawang cukup baik, di mana penganut Islam sudah tidak tabu datang di pesta-pesta orang Hakka.

Page 37: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

29

SEJARAH ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

panitia penyelenggara Cap Go Meh di Singkawang, pertengahan Februari 2003, izin keramaian mencapai Rp 30 juta.

Untuk mengadakan acara ulang tahun kelenteng, panitia meminta sumbangan kepada para pengusaha, selain donatur-donatur tetap orang China, serta sumbangan-sumbangan yang sifatnya tidak mengikat. Biasanya permintaan sumbangan ini dilakukan ke rumah-rumah dan toko-toko. Sumbangan yang diberikan bervariasi, mulai dari Rp 5 ribu sampai dengan Rp 100 ribu. Menurut informasi, biasanya dalam satu hari ada empat sampai lima orang yang datang meminta sumbangan untuk kepentingan kelenteng atau pekong, seperti untuk memperbaiki pekong atau kelenteng dan kepentingan sosial lainnya, seperti kematian dan perayaan tahun baru.

2. isi Pekong atau KelentengAda dua corak pekong atau kelenteng di Singkawang,

yakni Tridharma dan non-Tridharma. Di Tridharma berisi: dua patung penjaga pintu kelenteng (hun shen) yang ditempatkan pada kiri-kanan pintu kelenteng, meja tempat sembahyang (altar sembahyang) yang di atasnya ada hio dan hiolo (tempat menancapkan hio), dua pasang lilin merah yang selalu menyala, bambu chiamsi dan dua buah sinkau (untuk meramal), patung dewi Kwan Im, Lao-tze, Konfusius, Buddha, Kwankong (panglima perang), dewa bumi, dewa rezeki dan lain-lain yang mereka puja, beduk kecil untuk memanggil dewa-dewa dan sekaligus pemberitahuan bahwa ada orang yang akan melakukan sembahyang atau pemujaan. Di halaman kelenteng terdapat tempat pembakaran kertas uang (sinti atau siukim) dan altar atau tempat sembahyang pada Tuhan, sering kali hanya berbentuk hiolo.

Page 38: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

30

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Kertas uang (simbol uang) untuk sembahyang kepada leluhur

Kelenteng non-Tridharma isinya tidak jauh berbeda dengan kelenteng Tridharma. Di kelenteng non-Tridharma tidak terdapat patung Lao-tze, Konfusius, dan Buddha untuk dipuja. Yang sering dijumpai adalah dewa utama, seperti dewa bumi, karena diyakini oleh masyarakat Hakka dapat memberikan keselamatan, seperti dewa Sun Go Kong.

Kedua kelenteng ini adalah milik bersama karena dibangun oleh masyarakat. Pekong milik anggota marga dan anggota keluarga umumnya disebut pekong, bentuknya lebih kecil dari pekong atau kelenteng milik bersama. Pekong milik anggota keluarga ini dapat dibagi dua kelompok, yakni pekong yang ditempatkan di rumah sebagai pelindung anggota keluarga dari pengaruh roh-roh yang tidak baik dan pekong yang ditempatkan di kuburan, sebagai tempat dewa pelindung bagi orang meninggal yang ada di kuburan dari gangguan roh-roh jahat. Dewa yang menjaga kuburan ini disebut tuapekong. Jika roh orang meninggal yang ada di kuburan diganggu oleh roh-roh jahat, maka kehidupan mereka

Page 39: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

31

SEJARAH ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Klenteng Kaliasih Singkawang.

di dunia lain menjadi tidak tenang, dan akibatnya kehidupan anggota keluarga di dunia juga menderita. Sebagai balasan bagi pertolongan dewa penjaga kuburan, setiap anggota keluarga yang akan melakukan upacara sembahyang atau pemujaan di kuburan, misalnya melakukan sembahyang saat Ceng Beng (sembahyang di kuburan leluhur), terlebih dahulu mempersembahkan makanan, minuman, buah-buahan, dan melakukan pemujaan terhadap dewa tuapekong sebagai tanda minta izin kepada tuapekong (dewa penjaga kuburan) untuk melakukan sembahyang pada leluhur mereka.

3. Fungsi Pekong atau KelentengBerdasarkan pengamatan penulis, ada empat fungsi

pekong atau kelenteng di Singkawang: Pertama, sebagai tempat orang-orang China, khususnya Hakka, melakukan sembahyang, yaitu memuja dewa-dewa pekong, setiap hari, setiap tanggal 1 dan 15 Imlek dan hari-hari besar orang China. Kedua, sebagai tempat bagi orang-orang China dari berbagai suku bangsa untuk saling bertemu. Ketiga, sebagai tempat berlindung atau tinggal bagi para dewa-dewa pekong atau kelenteng dari kehujanan, kedinginan, dan kepanasan. Menurut keyakinan orang Hakka, dewa-dewa itu tidak ubahnya seperti manusia, mereka dapat merasa lapar, haus, panas, dan dingin. Keempat, sebagai pelindung bagi anggota masyarakat yang ada di sekitar pekong atau kelenteng dari pengaruh roh-roh jahat atau pengaruh lainnya. Sebab, di dalam pekong atau kelenteng ada dewa-dewa yang dapat melindungi dan menolak pengaruh roh-roh jahat.

Page 40: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

32

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Selain itu, juga ada dewa rezeki yang dapat dimintai pertolongannya untuk mendatangkan rezeki bagi anggota keluarga dan masyarakat, atau mendatangkan kemakmuran. Selama orang masih membutuhkan pertolongan dewa-dewa pekong, maka selama itu pula pekong atau kelenteng itu ada. Sebagai balasan, anggota masyarakat menghormati, memuja, dan mempersembahkan makanan kepada mereka.

4. yayasan Sosial KematianYayasan sosial kematian adalah sebuah organisasi sosial

yang bertugas mengurus persoalan kematian. Yayasan ini ada di Singkawang, Pontianak, Sambas, Ketapang, dan seluruh kabupaten di Kalimantan Barat, yang terbanyak di Singkawang dan Pontianak.

Dalam bahasa Hakka, yayasan ini disebut khiau kung sa. Jumlahnya di kota Pontianak pada tahun 1984 sebanyak 49 dan di Kota Singkawang 4 buah. Semua yayasan kematian yang ada di Kalimantan Barat bernaung di bawah yayasan induk di kota Pontianak, yaitu Yayasan Bakti Suci (YBS) (Tangdililing, 1984: 85). Sebelum Orde Baru, YBS ini bernama Yayasan Bakti Suci Bagian Agama Konghucu. Namun, pada awal 1990-an, saat pemerintah "alergi" dengan agama Konghucu, yayasan ini disebut Yayasan Bakti Suci saja. Begitu juga dengan tempat pemakaman, papan nama makam yang tertulis agama Konghucu diminta oleh aparat keamanan untuk diganti dengan nama lain. Sampai sekarang, Yayasan Bakti Suci tidak berubah namanya walaupun agama Konghucu sudah disetarakan dengan agama-agama lain oleh pemerintah. Sebagian pengurus yayasan ingin mengembalikan YBS dengan namanya semula, tapi karena pengaruh kalangan orang China yang pro-Orde Baru dan orang China yang beragama non-Konghucu kuat, usaha itu tidak berhasil.

Page 41: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

33

SEJARAH ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Menurut pengamatan penulis, sebagian besar yayasan kematian itu dibentuk atas dasar marga, terutama marga-marga yang jumlah populasinya cukup besar, seperti marga Lim, Bong, dan Kim. Jadi, jika warga marga Lim meninggal, pengurusan jenazahnya akan diserahkan kepada yayasan kematian yang bermarga Lim. Jarang sekali pengurusannya diserahkan kepada marga lain. Akan tetapi, bila marga yang populasinya sedikit meninggal, biasanya pengurusan jenazah diserahkan ke yayasan yang dibentuk tidak didasarkan marga.

Peti mati dan meja (altar) tempat meletakkan perlengkapan untuk pemujaan pada orang mati (leluhur).

Yayasan sosial kematian mempunyai dua fungsi, yaitu mengurus masalah kematian warga masyarakat China, termasuk orang Hakka, dan membantu keluarga tidak mampu yang ditimpa kematian. Sebagaimana yang dikatakan Fung Long, narasumber penulis di Singkawang, keluarga yang tidak mampu membayar urusan kematian, tapi dia anggota yayasan kematian (membayar iuran setiap bulan), maka saat meninggal dia akan dibantu oleh yayasan. Begitu juga untuk keluarga miskin yang tidak mampu membeli peti mati, pihak yayasan akan membantu menyediakannya.

Page 42: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

34

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Yayasan sosial kematian mempunyai ketua yang disebut fai fa chin dan terbagi atas beberapa kelompok. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang ketua yang disebut fai cong. Tugas fai fa chin adalah mengatur segala sesuatu yang diperlukan oleh anggota keluarga yang meninggal yang sudah menjadi anggota yayasan. Fasilitas yang disediakan antara lain mobil jenazah dan pakaian berkabung16 untuk keluarga yang ditinggalkan, yang disebut sin sam hu (Tangdililing, 1984: 85). Pakaian, mobil jenazah, dan barang-barang milik yayasan harus dikembalikan kepada pihak yayasan jika upacara kematian sudah selesai.

Bangunan yayasan terdiri dari: 1. Ruang utama yang cukup besar, digunakan untuk

meletakkan jenazah, peti mati, dan upacara untuk keluarga.

2. Sebuah gudang, digunakan untuk menyimpan peralatan, seperti meja, kursi, alat untuk menandu peti mati, pakaian berkabung, dan alat-alat upacara kematian lainnya.

3. Ruangan kantor, digunakan untuk urusan administrasi yayasan kematian.

4. Dua kamar kecil untuk keperluan petugas yayasan dan tamu-tamu yang datang.

Yayasan juga mempunyai beberapa pegawai dengan fungsi masing-masing. Mereka dibayar sesuai dengan kemampuan keuangan pihak yayasan. Hal yang cukup menarik bagi penulis, beberapa yayasan tidak terlalu memperhatikan asal suku atau agama pegawainya, tapi betul-betul berdasarkan keahlian dan keuletan dalam bekerja. Penulis menemukan

16 Pakaian berkabung untuk anak (laki-laki dan perempuan) berwarna putih, cucu berwarna biru, dan cicit berwarna kuning. Pembagian warna ini untuk membedakan saja. Dengan melihat warna pakaian, para tamu dapat mengetahui siapa yang datang dan jumlah generasi dari orang yang meninggal. Pakaian berkabung ini terbuat dari bahan belacu.

Page 43: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

35

SEJARAH ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

beberapa karyawan yayasan di Singkawang dan Pontianak bukan berasal dari China, melainkan orang Melayu yang beragama Islam. Mereka bekerja sebagai sopir yang mengantarkan jenazah ke kuburan.

Yayasan sosial kematian biasanya terdiri dari empat kelompok, yakni kap, zat, phiang, dan then. Fai cong sebagai kepala kelompok bertugas mengoordinir pelaksanaan pemakaman anggota kelompoknya. Tugas kelompok dilakukan secara bergilir, tidak didasarkan pada wilayah, tetapi menurut kematian yang terjadi di kalangannya (Tangdililing, 1984: 85). Sistem pembagian tugas semacam ini dipandang cukup adil dan bijaksana sehingga mereka dapat menerima dan melaksanakannya.

Sistem kerja yayasan tidak terlalu memberatkan anggotanya karena setiap ada anggota yang meninggal, anggota lain ikut membantu dengan memberikan sumbangan yang besarannya sudah ditetapkan pihak yayasan. Namun, apabila ada pihak luar ingin menyumbang, pihak yayasan tidak menolak karena akan meringankan beban anggota keluarga yang ditinggalkan. Besaran sumbangan yang sudah ditentukan hanya disetor saat ada anggota yang meninggal. Jika ada anggota ingin menyumbang lebih besar dari sumbangan pokok juga tidak ditolak. Sumbangan dari anggota yayasan digunakan sepenuhnya untuk keperluan upacara kematian hingga proses penguburan. Sisa dananya akan diserahkan ke yayasan untuk uang simpanan dan digunakan untuk keperluan upacara kematian berikutnya. Yang jelas, pihak yayasan akan mengatur segala urusan kematian para anggotanya sehingga pihak keluarga tidak terbebani dengan persoalan keuangan untuk keperluan upacara.

Biaya pengurusan kematian sampai penguburan sekitar Rp 15 juta. Sudah termasuk peti mati Rp 4 juta dan tanah makam (berukuran 2 meter x 6 meter) yang memiliki fengsui dengan harga berkisar Rp 300 ribu- Rp 400 ribu per

Page 44: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

36

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

meter. Untuk tanah pemakaman yang tidak memiliki fengsui harganya Rp 100 ribu-Rp 200 ribu per meter. Bagi yang sama sekali tidak mampu untuk membeli tanah pemakaman, pihak yayasan membebaskan orang tersebut dar biaya tanah pemakaman dan peti mati.

Bagi orang Hakka di Singkawang, yayasan ini juga berfungsi membantu anak-anak yatim. Bantuan itu berupa pemeliharaan dan pemberian beasiswa (Tangdililing, 1984: 88). Meskipun demikian, anak-anak yang mendapat bantuan jumlahnya tidak banyak karena mereka banyak dipelihara dan dibiayai oleh pihak keluarga sendiri.

Apa yang dilakukan oleh pengurus yayasan terhadap anggotanya juga tidak terlepas dari prinsip tukar-menukar pemberian prestasi, yaitu setiap anggota wajib membayar iuran dan yayasan akan membantu apabila ada anggota keluarga mereka yang meninggal. Tidak hanya itu, pengurus yayasan juga membantu memelihara dan membersihkan makam di tanah milik yayasan. Pihak keluarga akan menambah biaya iuran untuk pengurusan tersebut. Bagi anggota keluarga yang akan membangun makam leluhurnya, yayasan juga membantu mencarikan tukang bangunan.

Kondisi ekonomi Orang HakkaOrang Hakka di Singkawang tinggal dalam kelompok

mereka. Umumnya di daerah pasar dan sekitarnya. Mereka yang tinggal di pasar sebagian besar menjadi pedagang. Beberapa dari mereka ada yang sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Salah satu yang saya kenal dan menjadi narasumber saya adalah Dalemonte, S.H.. Pekerjaan selain pedagang adalah penyiar radio, makelar tanah, dan lain-lain, tapi mereka tetap tinggal di pasar. Sebenarnya pada masa lalu mereka juga berdagang, tetapi karena saingan

Page 45: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

37

SEJARAH ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

bertambah dan keterbatasan modal, terpaksa usaha dagang diberhentikan sementara.

Ada juga yang karena keterbatasan modal berjualan kecil-kecilan dengan meja kecil di depan rumah. Hasilnya terkadang mampu menyekolahkan anaknya hingga kuliah. Di antara orang-orang Hakka masih banyak yang beranggapan pendidikan anak cukup sebatas sekolah menengah atas, selanjutnya anak ikut membantu usaha orang tua atau keluarga yang telah mapan, bahkan memulai usaha kecil-kecilan. Tidak sedikit juga yang mengadu nasib ke Jakarta, bekerja pada keluarga yang telah berhasil.

Setiap tahun, biasanya saat sembahyang kubur atau sembahyang kepada leluhur, bulan 3 Imlek, mereka pulang ke Singkawang untuk ikut bersembahyang atau melakukan pemujaan leluhur di kuburan-kuburan orang tua maupun kakek atau nenek mereka. Begitu juga pada hari raya Imlek, mereka pulang ke Singkawang untuk merayakan bersama keluarga sekaligus bersembahyang pada Tuhan, dewa-dewa di pekong atau kelenteng dan di rumah-rumah.

Ada pandangan menarik dari orang-orang Hakka di Singkawang tentang saudara atau teman-teman mereka yang pulang setiap tahun atau setengah tahun sekali untuk sembahyang kepada leluhur. Karena mereka yang pulang mempersembahkan sesajian yang cukup banyak, membakar uang kertas yang banyak, maka mereka dikatakan memiliki leluhur yang dikuburkan di tempat dengan fengsui yang cukup baik sehingga keturunannya di dunia memperoleh rezeki yang banyak.

Bagi yang memiliki dana terbatas atau tidak bisa meninggalkan pekerjaannya biasanya mereka mengutus saudara laki-laki untuk pulang saat sembahyang di kuburan. Sementara itu, saudara-saudara yang tidak pulang

Page 46: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

38

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

memberikan dana untuk keperluan sembahyang, jadi mereka tetap menyumbang.17

Selain pedagang, banyak juga yang bekerja sebagai petani, nelayan, dan peternak, seperti peternak babi dan ayam, terutama mereka yang tinggal di pinggir kota. Kebanyakan dari mereka beternak babi, dan jarang dijumpai orang Hakka di Singkawang beternak sapi dan kambing. Mungkin karena orang Hakka di sini banyak, maka pilihan terbaik mereka adalah beternak babi yang akan mereka jual di kota Singkawang dan Pontianak. Di Singkawang ada pasar khusus babi, tetapi ada juga pedagang yang berkeliling.

Mereka juga bekerja sebagai petani yang menanam padi dan sayur-sayuran. Padi umumnya dipergunakan untuk keperluan sendiri, sedangkan sayuran dijual ke pasar. Penulis banyak menjumpai gadis-gadis Hakka, yang sering disebut "amoi", yang berjualan tahu di sekitar kota Singkawang menggunakan sepeda atau berjalan kaki. Tahu-tahu itu ditempatkan di keranjang. Pukul 05.00 biasanya mereka sudah keluar rumah untuk menjajakannya. Pekerjaan ini mereka lakukan untuk membantu ekonomi orang tua.

Mereka yang bekerja sebagai petani umumnya miskin karena sawah-sawah mereka dikelola secara tradisional sehingga penghasilannya pun kurang memuaskan. Apalagi kalau terjadi banjir besar. Pada awal 2003 dan 2005 Singkawang dilanda musibah banjir, semua sawah tenggelam, tempat-tempat ternak, rumah, dan toko-toko juga digenangi air. Semua sawah gagal panen.

Apabila kita pergi ke daerah pinggiran kota Singkawang, kita akan menjumpai banyak rumah orang Hakka yang masih berdinding dan beratapkan daun nipah atau rumbia,

17 Orang Hakka takut kalau mereka sampai melupakan waktunya sembahyang kepada leluhur. Mereka takut dengan kutukan leluhur yang akan berakibat pada yang hidup, seperti sakit, usaha gagal, dan rumah tangga berantakan (lihat Nio, 1960, Bloomfield, 1983) atau dianggap tidak berbakti kepada orang tua (put xiao) atau put haw.

Page 47: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

39

SEJARAH ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

yang dibuat dengan cara yang sangat sederhana. Bahkan ada yang masih berlantaikan tanah. Saat melakukan penelitian di Singkawang, penulis menjumpai orang tua berusia di atas 70 tahun masih bekerja sebagai pembuat rumbia. Atap-atap rumah ini dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-sehari. Dia tidak mempunyai anak yang dapat membantu penghidupannya. Ini adalah salah satu usaha yang dia lakukan untuk membiayai hidupnya sendiri.

Berdasarkan laporan Kependudukan Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Kependudukan Kota Singkawang pada bulan November 2003, jumlah penduduk miskin di kota Singkawang sebanyak 28.364 jiwa, dengan 6.322 keluarga. Menurut pengamatan penulis, data ini tidak sepenuhnya mencerminkan jumlah orang yang miskin di Singkawang, termasuk orang Hakka. Mungkin saja banyak orang miskin (jika dilihat dari tempat tinggalnya) yang didatangi petugas statistik di rumahnya, tetapi mereka tidak mau menjelaskan jumlah pendapatan per hari dan per bulan. Jumlah orang Hakka yang miskin di Singkawang lebih besar jika dibandingkan dengan orang-orang non-Hakka. Penulis melihat faktor pendidikan tidak mendukung karena banyak di antara mereka yang tidak tamat sekolah dasar sehingga mereka tidak bisa membuka lapangan kerja sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka bekerja apa saja sehingga hampir semua lapangan kerja yang ada di Singkawang terdapat orang Hakka.

Sebagaimana yang telah disebutkan, orang-orang Hakka yang hidup di pusat kota (sebagai pedagang) umumnya tingkat perekonomiannya menengah ke atas, sedangkan yang tinggal jauh dari kota, khususnya di pedesaan, tingkat perekonomiannya menengah ke bawah. Orang-orang Hakka yang bekerja sebagai pedagang atau pengusaha sebagian besar terkonsentrasi di Kelurahan Melayu, Pasiran, Condong, dan Roban. Adapun orang-orang Hakka yang bekerja sebagai

Page 48: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

40

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

petani sebagian besar tinggal di Kelurahan Sungai Wie, Roban, dan Kuala. Luas daerah pertanian di Singkawang (termasuk perkebunan) lebih kurang 1.011 hektar (Tangdililing, 1984). Menurut informasi yang ditemukan di lapangan, sebagian besar tanah pertanian di Singkawang digarap oleh petani-petani Hakka. Ini dapat kita lihat pada pagi hari, saat para petani orang Hakka banyak yang membawa dagangannya (terutama sayur) ke pasar ketimbang orang-orang non-Hakka. Beberapa dari para petani orang Hakka ini berhasil mengelola lahan pertaniannya sehingga dapat meningkatkan perekonomian.

Page 49: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

41

2

KeLuArgA dAn KeKerAbATAn

Sistem keluarga merupakan sistem kemasyarakatan di China. Ada lima macam pertalian kemasyarakatan

tradisional orang China, dan ini juga mengacu pada ajaran-ajaran Konfusius, yaitu pertalian antara penguasa dan kawula, ayah dengan anak, kakak dengan adik, suami dengan istri, dan sahabat dengan sahabat. Tiga di antaranya merupakan pertalian keluarga dan lainnya bukan, tapi dapat dipahami sebagai pertalian keluarga. Pertalian antara penguasa dan kawula dapat dipahami dengan hubungan antara anak dan ayah, dan pertalian antara sahabat dan sahabat dapat dianggap sebagai pertalian antara kakak dan adik. Berdasarkan alasan yang sama, berkembang pula pemujaan leluhur dalam keluarga. Di dalam suatu keluarga orang China, yang dipuja biasanya orang pertama yang membangun keluarga tersebut (Fung Yu-lan, 1990: 26-27). Dengan demikian, keluarga adalah wadah dan dasar bagi

Page 50: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

42

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

berkembangnya pemujaan leluhur dalam keluarga dan masyarakat China.

Sistem keluarga tradisional orang China tersebut dijadikan acuan oleh orang Hakka di Singkawang karena nenek moyang mereka juga berasal dari China. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di dalam keluarga dan masyarakat Hakka di Singkawang, ada dua bentuk keluarga orang Hakka di Singkawang, yaitu keluarga inti (suatu keluarga yang terdiri dari seorang suami, istri, dan anak-anak mereka) dan keluarga luas (keluarga inti yang ditambah dengan beberapa orang, baik sekerabat maupun bukan).

Masyarakat Hakka di Singkawang masih banyak yang berbentuk keluarga luas, yakni anak laki-laki yang telah menikah dan masih tinggal bersama orang tua dan adik-adiknya yang belum menikah. Adapun keluarga poligami (satu keluarga dengan dua istri dan anak-anak mereka) tidak dijumpai.

Meskipun masih ada yang berbentuk keluarga inti, banyak yang sudah tidak lengkap karena alasan bekerja di daerah lain setelah menamatkan sekolah. Namun, untuk anak-anak dari keluarga yang sangat miskin, meski masih sekolah, mereka tidak lagi menggantungkan diri kepada orang tua. Mereka sudah dapat menutupi kebutuhannya sendiri dari hasil berjualan sebelum atau sesudah pulang sekolah. Kasus-kasus semacam itu banyak dijumpai di Singkawang, khususnya yang tinggal di pinggir kota Singkawang. Orang tua mereka bekerja sebagai petani, nelayan, dan buruh kasar, oleh karena itu, untuk memenuhi ekonomi keluarga, terpaksa anak-anak yang masih sekolah membantu orang tua.

Di lingkungan masyarakat Hakka di Singkawang, masih banyak kita jumpai suatu keluarga yang terdiri atas tiga generasi, yaitu kakek, anak, dan cucu. Satu keluarga yang terdiri dari empat hingga lima generasi sudah jarang dijumpai karena orang-orang yang sudah tua, yang tidak sanggup lagi

Page 51: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

43

KELUARGA DAN KEKERABATAN

mengurus diri sendiri, umumnya ditempatkan di yayasan panti jompo yang khusus menampung orang-orang China di Singkawang (di Kelenteng Roban). Hal ini berlaku bagi yang mampu. Setiap bulan atau setiap tahun, anak-anak atau cucu-cucu membayar biaya perawatan ke yayasan tersebut. Namun, bagi mereka yang secara ekonomi tidak mampu, orang tua harus tinggal bersama anak laki-laki yang telah menikah, terutama anak tertua, dan hidup dalam satu rumah bersama anak-anak dan cucu-cucunya.

Ada beberapa narasumber saya yang masih tinggal bersama anak dan cucunya. Walaupun sudah berusia 65 tahun ke atas, mereka masih kuat berjalan, mengayuh sepeda, dan menggunakan kendaraan bermotor. Mereka umumnya sudah tidak bekerja lagi, dan biaya hidup sehari-hari ditanggung anak-anaknya. Mereka tinggal di rumah anak tertua, tapi ada beberapa narasumber saya yang tinggal di rumah anak bungsu.18

Alasan mereka adalah anak bungsu lebih perhatian dan menantu mereka cukup baik. Keluarga luas yang banyak dijumpai di Singkawang adalah keluarga yang masih sekerabat, yaitu suami, istri, anak-anak, dan kakek atau nenek yang tinggal bersama. Adapun keluarga luas yang tidak sekerabat adalah ketika di dalam keluarga inti ada orang lain yang tidak ada ikatan kekerabatan tinggal bersama keluarga tersebut. Contohnya adalah mereka yang mampu menyewa beberapa pembantu untuk dipekerjakan sebagai pengasuh anak, tukang masak, dan tukang cuci. Biasanya ini dilakukan keluarga pedagang yang sibuk sehingga anak-anaknya tidak ada yang mengurus.

Salah satu keluarga luas yang pernah saya tumpangi adalah keluarga Akiang (40). Dia mempunyai istri dan dua anak. Akiang adalah anak bungsu. Ibunya yang masih

18 Orang Hakka yang berusia lanjut dapat tinggal di rumah anak tertua, kedua, atau anak bungsu. Kebudayaan orang Hakka tidak ketat mengatur masalah ini. Biasanya berdasarkan kebaikan anak-anak atau menantunya.

Page 52: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

44

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

hidup memilih tinggal bersamanya. Kakak laki-lakinya yang belum menikah juga ikut tinggal bersama. Selain keluarga sekerabat, ada juga dua pembantu rumah tangga yang tinggal di rumahnya dan diperlakukan seperti kerabat sendiri. Mereka bukan orang Hakka, tapi orang Jawa. Akiang dan istrinya adalah penjual emas di pasar. Bila bekerja, anak-anak mereka diurus oleh pembantu.

Salah satu ciri keluarga inti orang Hakka di Singkawang adalah keluarga inti yang tidak lengkap, yaitu sebagian anggota keluarganya yang sudah dewasa dan belum kawin merantau di daerah lain untuk mencari pekerjaan. Baru pada hari-hari besar, seperti Imlek, Cap Go Meh, dan Ceng Beng, mereka pulang ke Singkawang. Dengan demikian, saat perayaan itu tidak hanya terjadi kegiatan ritual, tapi juga melepas rindu.

Panggilan untuk Anggota KeluargaOrang Hakka di Singkawang mempunyai nama panggilan

tersendiri untuk menyebut anggota keluarga dekat dan jauh, dan itu berbeda dengan yang digunakan oleh masyarakat non-China atau non-Hakka di Singkawang. Setiap anggota keluarga dekat dipanggil dengan sebutan tersendiri sehingga kita dapat mengetahui siapa yang dimaksud sekaligus menyangkut hak dan kewajibannya.

Untuk orang tua laki-laki disebut asu, arti sebenarnya adalah adik ayah, tapi orang Hakka Singkawang cenderung menganggap itu sebagai ayah. Adapun ibu disebut mama, yang menunjukkan adanya pengaruh dari luar. Kewajiban orang tua adalah membesarkan, mendidik, dan memberikan teladan yang baik kepada anak-anaknya. Sebaliknya, ego berkewajiban menghormati, mematuhi segala perintah, menjaga nama baik, dan memuja serta memberi makan roh-rohnya jika mereka sudah meninggal. Jika masih hidup, orang tua yang menjaga anak-anaknya, tapi setelah meninggal,

Page 53: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

45

KELUARGA DAN KEKERABATAN

anak-anaknyalah yang memikul tanggung jawab meneruskan tradisi leluhur mereka.

Dalam panggilan sehari-hari, kakak laki-laki disebut sesuai dengan statusnya sebagai anak keberapa dalam keluarga. Nama panggilan untuk kakak laki-laki dan perempuan tidak sulit dihafal karena sebutannya mengikuti hitungan angka-angka dalam bahasa Hakka, seperti: 1 (jit), 2 (nyi), 3 (sam), 4 (shi), 5 (eng), 6 (liuk), dan seterusnya. Hanya abang tertua saja yang tidak mengikuti aturan hitungan huruf atau angka dalam bahasa Hakka, yaitu tai ko. Tai mengandung arti pertama dan yang paling besar. Saudara kandung laki-laki yang kedua disebut nyi ko, yang ketiga sam ko, keempat disebut shi ko, kelima disebut eng ko, keenam liuk ko, dan seterusnya. Sebutan-sebutan tersebut hanya dapat kita jumpai dalam kehidupan keluarga. Bagi orang lain yang tidak tahu dia anak keberapa dari suatu keluarga dapat memanggil dengan sebutan “ko” yang artinya abang.

Kewajiban di antara saudara laki-laki adalah saling membantu saat mengalami kesusahan. Salah satu contohnya adalah Bong Wei Kong, pedagang obat yang sukses. Adik laki-lakinya belum memiliki usaha sendiri sehingga dia mempekerjakannya di toko obat miliknya. Adiknya diperlakukan layaknya pegawai lain, juga mendapatkan upah. Beberapa adiknya yang sudah berpengalaman berdagang obat diberi modal untuk membuka usaha sendiri.

Sebagai balasannya, Bong Wei Kong berhak mendapatkan penghormatan dari adik-adiknya. Mereka berkewajiban memperhatikan saran-saran yang diberikan Bong Wei Kong. Dan, jika usaha Bong Wei Kong gagal, adik-adiknya wajib membantu agar usaha kakaknya bangkit kembali.

Saudara tertua berkewajiban membimbing dan mena-sihati adik-adiknya, sebaliknya adik-adiknya berkewajiban menghormati kakaknya. Jika orang tua telah meninggal, anak laki-laki tertua berkewajiban meneruskan tradisi leluhur.

Page 54: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

46

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Saudara kandung perempuan paling tua disebut tai che, kedua nyi che, ketiga sam che, keempat shi che, kelima nge che, dan seterusnya. Namun, jika tidak mengetahui, kita dapat memanggilnya dengan sebutan che atau che-che atau kakak. Panggilan ini dipandang lebih bersahabat, seperti halnya sebutan untuk abang.

Kewajiban saudara kandung perempuan tidak ubahnya seperti kewajiban saudara kandung laki-laki. Jika saudara kandung perempuan kaya, sedangkan saudara lainnya miskin sehingga tidak sanggup menyelenggarakan sembahyang di kuburan orang tua mereka, maka saudara perempuan yang kaya ini wajib membantu. Sebaliknya, jika saudara perempuan miskin dan saudara laki-laki kaya, maka saudara laki-laki berkewajiban membantu saudara perempuan mereka meskipun saudara perempuannya sudah menikah. Walaupun demikian, bantuan saudara laki-laki kepada saudara perempuan tidak sama dengan bantuan yang diberikan untuk saudara sekandung laki-laki.

Abang atau adik dari ayah disebut paman. Dalam keluarga Hakka di Singkawang, paman dari pihak ayah, baik kakak atau adik ayah, mempunyai istilah sendiri. Paman tertua disebut tai pak, kedua nyi pak, ketiga sam pak, dan seterusnya berdasarkan hitungan angka. Adik ayah yang laki-laki disebut asu’, adik ayah yang paling besar dipanggil tai asu, nomor dua nyi asu, dan yang bungsu disebut shei su.

Kewajiban paman terhadap keponakan dalamnya (anak dari adik atau kakak laki-lakinya) sama dengan kewajiban ayah kepada anak-anaknya. Sementara kewajiban paman terhadap keponakan luarnya (anak dari adik atau kakak perempuannya) tidak terlalu besar sebab marganya sudah berbeda. Dalam kebudayaan orang Hakka, sesama marga memiliki ikatan kekerabatan yang kuat dan ada kewajiban untuk saling menghormati.

Page 55: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

47

KELUARGA DAN KEKERABATAN

Jika paman berkewajiban memperhatikan dan mem-bimbing keponakan dalamnya, maka kewajiban keponakan dalam adalah memberikan penghormatan kepada pamannya. Dan, apabila pamannya meninggal, keponakan dalam juga wajib melakukan pemujaan kepada roh pamannya. Hubungan antara paman dan keponakan dalam juga didasarkan pada prinsip saling memberi.

Kuburan orang Hakka di Singkawang.

Saudara laki-laki ibu disebut mu kiw. Yang paling tua dipanggil tai kiw, nyi kiw, sam kiw, shi kiw, dan yang paling kecil disebut kiw. Tidak ada kewajiban untuk melakukan pemujaan leluhur terhadap mu kiw karena bukan termasuk leluhur.

Saudara perempuan ayah disebut aku. Yang paling tua dipanggil tai aku, nyi aku, sam aku, dan seterusnya menurut perhitungan angka, dan yang bungsu dipanggil aku saja. Saudara ibu yang perempuan disebut adji. Tertua dipanggil tai aji, kedua nyi aji, ketiga sam aji, dan yang paling kecil disebut aji. Bagi orang yang tidak tahu, dia dapat memanggilnya dengan sebutan aji saja. Sehari-hari di kalangan masyarakat

Page 56: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

48

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Hakka sering terdengar panggilan aji untuk seorang wanita Hakka. Ini bukan nama sebenarnya, tapi sebutan atau nama yang berlaku antarkerabat mereka sendiri.

Keponakan atau anak dari abang atau adik laki-laki disebut cit ji, dan keponakan atau anak dari saudara perempuan disebut ngoi sang. Kewajiban cit ji terhadap paman sama dengan kewajiban anak terhadap ayahnya, yaitu menghormati dan mematuhi perintah pamannya. Sebaliknya, paman juga berkewajiban membimbing, mendidik, mem-besarkan, bahkan membiayai sekolah keponakan jika orang tua mereka tidak mampu. Penghormatan yang diberikan keponakan terhadap paman acap diwujudkan dengan memanggil paman dengan sebutan khusus, yakni pak atau apak dan bibi dipanggil aku. Mereka tidak menyebut langsung nama paman atau bibinya, tapi dengan panggilan yang berlaku dalam sistem kekerabatan orang Hakka.

Sebutan Kakek dan CucuKakek dan adik-adiknya dari pihak ayah disebut akung,

yang lebih tua disebut pa kung, yang lebih muda disebut su kung. Sementara nenek dan adik-adiknya dari pihak ayah disebut apo, yang tua disebut pa po. Kakek dari pihak ibu disebut chia kung, dan nenek dipanggil chia po.

Kakek berkewajiban memberikan nasihat kepada cucunya, dan cucu wajib mendengar dan mematuhi nasi hat kakeknya. Jika kakek meninggal, maka cucu-cucu berke-wajiban melakukan pemujaan pada roh kakeknya. Pemujaan dapat dilakukan bersama orang tuanya di kuburan.

Dalam masyarakat Hakka, ayah tiri disebut ki pusu’ dan ibu tiri she me atau ki mu. Kedudukan dan tanggung jawab ayah atau ibu tiri tidak ubahnya dengan ayah atau ibu kandung. Bedanya hanyalah di antara mereka berlainan marga. Anak atau saudara tiri tidak mempunyai keharusan melakukan

Page 57: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

49

KELUARGA DAN KEKERABATAN

pemujaan terhadap orang tua tirinya apabila mereka sudah meninggal, tapi juga tidak dilarang.

Suami dari kakak perempuan dipanggil chi cong, semen-tara dari adik perempuan disebut moi she. Panggilan ini digunakan karena dianggap kurang sopan jika kita menyebut nama sebenarnya.

Baik cucu laki-laki maupun cucu perempuan disebut sun. Cicit disebut set. Namun, ada juga para nenek dan kakek yang memanggil cucu-cucunya dengan nama asli mereka untuk menghindari kesalahan jika jumlah cucu dan cicitnya banyak. Kewajiban cucu adalah menghormati kakek dan nenek selama mereka hidup, dan menghormati atau memuja roh-roh mereka setelah mereka meninggal. Sebaliknya, kakek dan nenek wajib memberikan bimbingan kepada para cucunya sampai mereka dewasa dan dapat berdiri sendiri. Mereka akan bahagia jika menyaksikan cucu-cucunya berhasil dan menjadi kaya karena dapat meningkatkan wibawa atau status kakek atau nenek di masyarakat.

Sistem warisanAnak perempuan dalam kebudayaan orang Hakka di

Singkawang tidak mendapat warisan dari orang tuanya walaupun belum menikah. Namun, saat orang tuanya masih hidup, jika memiliki harta, anak perempuan ini dapat minta sesuatu, seperti rumah, mobil, dan sebagainya. Pemberian ini tidak dapat dipandang sebagai pembagian harta, hanya tanda kasih sayang.

Dalam kebudayaan orang Hakka yang masih menganut sistem kekerabatan patrilinial (berdasarkan garis keturunan ayah), anak perempuan yang telah menikah akan keluar dari rumah dan hidup bersama suami dan mertuanya. Sejak saat itu, anak perempuan tidak lagi mempunyai kewajiban untuk melakukan pemujaan terhadap orang tuanya yang sudah

Page 58: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

50

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

meninggal. Kewajiban tersebut dialihkan kepada orang tua suaminya. Namun, jika anak perempuan tetap ingin melakukan pemujaan pada leluhurnya, tidak dilarang.

Aturan kekerabatan dalam keluarga Hakka di Singkawang tidak terlalu ketat. Ini dapat dilihat dalam beberapa kasus yang saya temui di lapangan. Ada anak perempuan yang sudah menikah tetap melakukan pemujaan di kuburan dua kali setahun. Namun, tidak dia lakukan sendiri, tapi bersama saudara laki-laki.19

Berkaitan dengan harta, ada beberapa kasus yang saya temukan di Singkawang, di mana anak wanita dapat memegang atau memimpin cabang perusahaan orang tuanya sebelum orang tua meninggal. Sedangkan anak laki-laki memimpin perusahaan yang lain. Walaupun beberapa anak cabang perusahaan sudah dikuasai anak-anaknya, orang tua tetap menjadi presiden dari beberapa perusahaan tersebut. Keputusan tertinggi tetap berada di tangan orang tua, dan anak-anak hanya mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh orang tua.

Anak perempuan menganggap bahwa diserahkannya salah satu anak perusahaan kepadanya bukan berarti perusahaan itu sepenuhnya menjadi miliknya, tetapi lebih bersifat sementara untuk membantu meringankan pekerjaan orang tuanya. Namun, ada indikasi bahwa dia telah meminta bagian dari harta orang tuanya walaupun menurut aturan dia tidak berhak. Anak perempuan dapat memohon kepada orang tuanya untuk kepemilikan harta, dan jika orang tuanya mengizinkan, anak laki-laki tidak berhak melarang karena selama orang tua masih hidup harta sepenuhnya berada di

19 Umumnya orang Hakka di Singkawang, khususnya anak laki-laki, tidak mengizinkan adik wanita atau kakak wanita mereka yang sudah menikah atau yang belum menikah datang sendirian ke kuburan untuk sembahyang terhadap roh orang tua mereka, kecuali orang yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki yang berhak mengurus roh orang tuanya. Hal ini karena ada kekhawatiran dari pihak laki-laki rezeki yang diberikan orang tua mereka yang telah meninggal akan lari ke anak perempuan. Pada hakikatnya, anak wanita yang sudah menikah tidak dilarang melakukan pemujaan terhadap roh orang tuanya yang sudah meninggal.

Page 59: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

51

KELUARGA DAN KEKERABATAN

tangan orang tua dan ketentuan atas pembagian harta pun sepenuhnya menjadi wewenang orang tua.

Menurut beberapa narasumber, harta dapat dibagi walaupun orang tua masih hidup, yakni saat orang tua menganggap dirinya sendiri sudah tidak sanggup meneruskan pekerjaannnya. Menurut mereka itulah jalan keluar yang terbaik sebab kalau pembagian harta dilakukan sesudah mereka meninggal, maka akan menimbulkan banyak persoalan di antara anak-anak. Pembagian di antara anak tidak sama, sesuai dengan keinginan orang tua. Bisa saja anak laki-laki yang paling muda mendapat bagian paling banyak dibanding anak laki-laki lainnya. Ini semua didasarkan atas penilaian orang tua yang lebih tahu sikap dan tingkah laku anak-anaknya.

Istri dari ayah tidak mendapat pembagian harta, dan statusnya sama dengan anak perempuan. Seorang ayah yang sudah pensiun masih dapat pembagian harta, terutama untuk keperluan hidupnya di masa tua. Jika suaminya masih hidup, istri tinggal bersama suaminya untuk mengurus yang bersangkutan. Ada juga di antara mereka yang tinggal bersama anak tertua dan segala keperluannya diurus oleh anaknya. Harta yang masih dimiliki orang tua (setelah dibagi) diurus oleh anak tertua.

Istri muda (tidak resmi) dari ayah sama statusnya dengan istri pertama, yaitu tidak mendapatkan pembagian harta walaupun dia mempunyai anak laki-laki. Anak laki-lakinya akan mendapat pembagian harta jika harta dibagi saat orang tuanya masih hidup. Namun, jika pembagian harta dilakukan saat orang tuanya sudah meninggal, maka anak dari istri kedua tidak akan mendapat bagian karena harta sepenuhnya dikuasai anak tertua dari istri pertama.

Anak dari istri kedua yang mendapatkan harta hanya anak laki-laki saja, sedangkan anak perempuan tidak. Status ini sama dengan anak perempuan dari istri pertama. Sebab, dia akan mendapat harta dari suaminya jika telah menikah. Jika belum menikah, saat orang tuanya meninggal, dia dapat

Page 60: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

52

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

tinggal bersama kakak laki-laki yang mereka anggap baik dan menyenangkan.

Apabila dalam sebuah keluarga tidak mempunyai anak laki-laki dan hanya mempunyai anak perempuan, maka harta orang tua jatuh ke anak perempuan. Pembagian harta di antara mereka berdasarkan sistem kekeluargaan karena tidak ada aturan khusus yang menjadi patokan. Pembagian harta sangat ditentukan oleh orang tua dan besarannya acap tidak sama rata antara anak pertama dan lainnya.

Kekerabatan Orang HakkaKerabat ialah orang yang bertalian satu dengan lainnya

berdasarkan ikatan darah. Sistem kekerabatan adalah serangkaian aturan yang mengatur penggolongan orang-orang sekerabat, yang melibatkan adanya berbagai tingkat hak dan kewajiban di antara orang-orang yang dianggap sekerabat dan membedakannya dari hubungan orang-orang yang tidak sekerabat (Suparlan, 2004: 44). Kerabat perkawinan menjadi kerabat karena perkawinan, bukan karena hubungan darah. Hubungan keturunan antara orang tua dan anaklah yang merupakan ikatan pokok dari kekerabatan (Keesing, 1976: 240).

Salah satu corak sistem kekerabatan adalah patrilineal, yakni orang-orang yang dianggap satu keturunan adalah mereka yang berasal dari ayah yang sama atau mendasarkan keturunannya dari garis ayah. Salah satu suku bangsa di dunia yang mendasarkan keturunannya melalui garis ayah adalah China. Adapun mereka yang menggunakan prinsip matrilineal masih mengacu pada kebudayaan China masa prasejarah (Poerwanto, 1990: 351) atau tradisi leluhur mereka.

Dalam sistem kekerabatan patrilineal dikenal marga atau klen. Klen adalah kelompok keturunan, bukan badan resmi

Page 61: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

53

KELUARGA DAN KEKERABATAN

yang setiap anggotanya mengaku keturunan dari seorang leluhur, tapi tidak dapat menelusuri garis keturunan yang sebenarnya (Keesing, 1976: 550). Meskipun demikian, klen atau marga tetap dipakai untuk memudahkan mengenal seseorang.

Dalam masyarakat China, kita juga mengenal klen atau marga yang dikenal dengan sebutan tse atau she atau siang (dialek Hakka). She dalam nama orang China belum dianggap lengkap sebelum diikuti dengan nama sebenarnya. Nama orang China harus terdiri atas dua bagian. Bagian pertama disebut she dan yang kedua adalah nama pribadi seseorang (Nio, 1960: 1). Contoh she yang hanya terdiri dari satu kata saja: Tan, Lim, Li, Nio, Jo, Gan, dan Te. Contoh she rangkap: Su-ma, Su-to, Ao-jang, Sang-koan, dan He-hou. Di belakang nama she adalah nama pribadi seseorang. Contoh: Bong Wie Kong, nama she adalah Bong dan nama sebenarnya Wie Kong. Lim Soi Liong, nama she-nya Lim dan nama sebenarnya Soi Liong. Ada juga nama pribadi seseorang yang hanya terdiri atas satu suku kata, dan dimulai dari nama pribadinya baru nama she-nya, contohnya: Sa Pui (orang Hakka di Singkawang). Nama pribadinya Sa dan nama she-nya Pui. Ada juga orang Hakka yang mencampurkan nama she dengan nama yang umum dipakai orang di luar suku bangsa China, dan nama she lalu ditulis di belakang nama pribadi, misalnya Setiawan Lim, nama she-nya Lim dan nama pribadinya Setiawan.

Kesimpulannya adalah apabila seseorang menggunakan she rangkap yang terdiri atas dua suku kata, maka nama orang China paling banyak terdiri atas empat suku kata, yaitu nama she-nya dua suku kata dan nama pribadinya dua suku kata juga. Dan apabila menggunakan she tunggal, maka namanya paling banyak terdiri atas tiga suku kata. Di Indonesia, umumnya nama orang China terdiri atas tiga suku kata. Sering kali nama she dicampurkan dengan nama yang sering dipakai di Indonesia. Nama marga (she) di Indonesia

Page 62: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

54

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

kadangkala diletakkan di depan atau di belakang nama pribadi. Bagi masyarakat Hakka di Singkawang umumnya, nama she diletakkan di depan nama pribadi, contoh Bong Wei Kong, Bong Li Thiam, Bong Chi Nen.

Selain sebagai nama keluarga, she juga berfungsi sebagai nama sendiri. Jika dalam satu wilayah hanya ada satu nama she, maka orang tersebut cenderung dipanggil dengan nama she-nya daripada nama pribadinya. Tidak jarang juga ada yang memandang she sebagai nama suku karena she tertentu di satu wilayah jumlahnya cukup besar.

Dalam kebudayaan orang China, she yang sama bukan berarti selalu ada ikatan kekeluargaan. Ini terjadi apabila seseorang diangkat anak, maka dia harus mengikuti she keluarga angkatnya. Pada zaman feodal di China, banyak budak yang menggunakan she tuannya sebagai she-nya sendiri. Ada kaisar di China yang saking sayang kepada pembantunya hingga memperbolehkan pembantunya menggunakan she miliknya (Nio, 1960: 3), atau budak tersebut sudah dianggap bagian dari keluarga mereka.

She juga mempunyai arti. She Tan misalnya mempunyai arti “kain”, “nama negeri”, dan banyak lagi. She juga mempunyai sejarah mengenai bagaimana ia terbentuk, misalnya she Tan. Sejarahnya adalah kerajaan Ciu telah memberikan kepada Shun dan keturunannya tanah Than atau negeri Tan. Oleh karena itu, keturunan Shun memakai nama she dari nama negeri (Tan) tersebut. Demikian juga dengan she Lim. Keturunan Pi Kan, yaitu Yin, bersembunyi di gunung yang berhutan, maka kata Lim yang diartikan sebagai hutan dipergunakan sebagai she keturunan selanjutnya.

Di kalangan orang Hakka di Singkawang, istilah she sering disebut siang (bahasa Hakka), yang artinya sama dengan she. Nama-nama China dari orang Hakka di Singkawang juga tidak terlepas dari siang karena siang merupakan sebuah identitas dan dapat membantu seseorang untuk mengetahui

Page 63: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

55

KELUARGA DAN KEKERABATAN

leluhurnya, bahkan sampai lima generasi sebelumnya. Berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari Bong Wei Kong (tokoh agama Buddha Tridharma di Singkawang), di Singkawang ada sekitar 133 siang. Siang yang terbesar jumlah populasinya ialah siang Bong dan yang terkecil adalah siang Fui.

Di antara siang yang sama belum tentu ada persatuan, bahkan sering kali terjadi perselisihan. Menurut pengamatan penulis, perselisihan itu disebabkan persaingan bisnis dan politis.

Singkawang didominasi oleh siang Bong, tapi di antara mereka sendiri tidak mudah dipersatukan. Hal ini juga terjadi pada siang lain. Meski demikian, mereka saling menghormati. Mereka beranggapan bahwa satu marga adalah bersaudara. Sesama saudara harus saling menghormati dan saling membantu, begitu juga dengan sesama marga. Hal ini mengacu pada ajaran Konfusius tentang San Kang (tiga hubungan), yaitu hubungan raja dengan menteri, orang tua dengan anak, dan saudara tua dengan yang lebih muda.

Pemberian nama Saat memberikan nama, seorang ayah memilih nama

yang mempunyai arti terpandang dari sudut kesusilaan, kepandaian, kegagahan, dan sebagainya, khususnya untuk nama anak laki-laki. Ada juga yang mengambil kata yang bertalian dengan kecantikan, keharuman, kelemah-lembutan untuk nama yang diberikan kepada anak perempuan. Nama Kho Kim Jin misalnya dapat diartikan sebagai berikut: Kho ialah nama keluarga, Kim artinya emas, dan Jin artinya kemanusiaan. Dengan demikian Kim Jin dapat diartikan sebagai kemanusiaan emas. Untuk nama perempuan, seringkali dipakai nama bunga, misalnya bunga teratai (Lian), bunga anggrek (Lan) dan sebagainya, dengan ditambah

Page 64: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

56

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

sebuah kata keterangan, jika nama bunga itu hanya terdiri dari satu suku kata saja. Contoh: nama seorang gadis Ong Kim Lian, Kim Lian artinya teratai mas. Andaikata nama bunga tersebut terdiri dari dua suku kata, maka tidak ditambah nama keterangan, seperti nama bunga Bo-tan dan bunga Cui-Sian misalnya, dapat dipergunakan tanpa penyertaan sebuah kata keterangan, seperti pada nama Jap Bo Tan dan Han Cui Sian. Dalam kedua nama wanita ini, kata-kata Jap dan Han adalah nama keluarga, bukan nama pribadi (Nio, 1960: 7).

Pemberian nama keluarga pada orang China dimaksudkan agar seseorang dengan mudah dapat mengenali saudara-saudaranya sampai dengan beberapa generasi. Misalnya seseorang yang mempunyai nama keluarga Lim menghendaki keturunannya sampai generasi kelima dapat saling mengenali sanak keluarganya, maka diambillah nilai-nilai kemanusiaan yang terdiri atas lima suku kata, yaitu Djin (kemanusiaan), Gi (kebajikan), Li (upacara), Ti (pengetahuan), dan Sin (kepercayaan). Untuk memudahkan, keturunan generasi pertama memakai nama pribadi Djin sebagai nama tengah sehingga bernama Lim Djin. Untuk generasi kedua diharuskan memakai nilai kemanusiaan Konfusius yang kedua (Gi) sebagai nama tengah. Dengan demikian, cucu pada generasi ketiga bisa menggunakan nama Lim Gi Siang, Lim Gi Bun, dan seterusnya (Hariyono, 1994: 89).

Dalam sebuah perusahaan keluarga China sering kali seorang pemimpin perusahaan mengambil stafnya dari kalangan keluarga mereka sendiri. Sebagai contoh, ada beberapa perusahaan China di Jakarta yang presiden direkturnya berasal dari Singkawang, dan hampir 70 persen stafnya masih ada hubungan kerabat. Hal ini juga terjadi di Taiwan, di mana 98 persen perusahaan milik orang China adalah perusahaan yang didasarkan atas manajemen keluarga (lihat Chen, 1985: 26) dan sulit dimasuki oleh

Page 65: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

57

KELUARGA DAN KEKERABATAN

manajemen modern. Hal ini juga terkait dengan kewajiban keluarga sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Ada juga nama China yang diberikan berdasarkan “phe dji”—”delapan huruf”. Phe dji ialah delapan huruf mengenai tahun, bulan, tanggal, dan jam kelahiran. Phe dji dapat juga berarti ramalan mengenai nasib yang didasarkan atas nama seseorang. Atas dasar keterangan kelahiran (jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun) tersebut ditetapkanlah sebuah nama yang sesuai bagi kebahagiaan anak yang baru lahir. Untuk memberikan nama dimintalah pertolongan seorang sinshe yang ahli melihat phe dji seseorang, dan nama itu diberikan dengan memeriksa anasir-anasir kelahiran yang bersangkutan (Nio, 1960: 12). Pemberian nama dengan memeriksa phe dji tidak hanya berlaku di China, tapi juga di Indonesia. Di Singkawang, misalnya, di kalangan orang Hakka banyak keluarga yang memberikan nama anaknya tidak saja berdasarkan pada ajaran Konfusius seperti yang banyak dilakukan oleh orang China, tapi juga berdasarkan phe dji seseorang.

Contohnya Akiang, narasumber penulis yang tinggal di Singkawang. Saat kelahiran anak pertamanya yang dia beri nama Cun Cun, sama sekali tidak didasarkan pada ajaran Konfusius, tapi phe dji. Upacara pemberian nama ditentukan oleh sinshe20. Untuk itu dia harus menggunakan jasa sinshe dan melakukan upacara. Jika nama sudah diberikan berdasarkan phe dji dan ternyata anak itu sakit-sakitan, keluarga dapat memanggil sinshe untuk meneliti kembali nama yang sudah diberikan karena mungkin ada kesalahan perhitungan dan pemberian nama. Jika ada kesalahan, nama yang sudah diberikan dapat diganti.

20 Sinshe sama artinya dengan sinsang. Sinsang adalah orang yang ahli mengobati dan meramal nasib seseorang. Di Singkawang, sinsang disebut bosong, selain ahli dalam upacara pengurusan jenazah, dia juga ahli pengobatan. Ada juga sinshe yang hanya ahli mengobati, tapi tidak ahli dalam hal lain.

Page 66: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

58

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Di kalangan orang Hakka di Singkawang, ada dua bentuk nama, yaitu nama yang berlaku di kalangan keluarga dan yang berlaku di sekolah atau KTP. Dari sekitar 500 murid Sekolah Menengah Ekonomi Atas Pertiwi di Singkawang, 99 persen siswanya adalah orang Hakka dan hanya sekitar 0,5 persen saja yang menggunakan nama Hakka. Nama yang mereka gunakan sebagian besar mengambil nama-nama yang dipakai oleh orang Jawa. Mungkin pada masa Orde Baru, banyak orang Jawa yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Di antara mereka juga mengambil nama-nama dari Alkitab jika beragama Kristen Protestan dan Katolik. Hal yang sama juga berlaku bagi orang Dayak yang tinggal di Singkawang.

Di lingkungan masyarakat, anak-anak orang Hakka cenderung menggunakan nama Hakka yang diberikan orang tua mereka. Begitu juga di lingkungan keluarga, seorang ibu atau ayah memanggil anaknya dengan nama Hakka. Oleh karena itu, banyak orang tua yang tidak tahu nama anaknya yang digunakan di sekolah umum. Di KTP mereka juga menggunakan nama Indonesia, bukan nama yang umum digunakan orang Hakka.

Namun, ada juga yang mempertahankan identitas nama aslinya. Purwanto (1990: 358) menyebutkan, ada dua cara yang dilakukan oleh orang Hakka agar identitas nama aslinya tidak hilang. Pertama, pada nama baru yang dipilihnya terkandung identitas nama asli mereka. Contoh, Lim Sioe Thiam mengganti nama menjadi Muslim, Tjung Djie Hin mengganti nama menjadi Sujiaman. Ada juga yang mengganti namanya dengan tidak menghilangkan nama siang-nya, misal Setiawan Lim. Lim adalah nama marganya agar identitas kechinaannya tidak hilang.

Berdasarkan penjelasan itu ada dua fungsi pemberian nama China bagi orang Hakka, yakni agar dengan mudah dapat mengenali seseorang masih sekerabat atau tidak (dilihat dari pencantuman nama marga di depan nama mereka). Fungsi

Page 67: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

59

KELUARGA DAN KEKERABATAN

kedua agar seseorang dapat bertingkah laku sesuai dengan nama yang diberikan padanya, seperti jin (kemanusiaan, artinya menyayangi orang lain) dan lan (bunga anggrek, yang mempunyai sifat lemah lembut atau penurut).

Bagi orang Hakka, pemberian nama yang cocok untuk seseorang juga terkait dengan kebaikan dan keselamatan orang yang mempunyai nama tersebut. Orang yang mempunyai nama yang cocok dengan dirinya, akan selalu memperoleh kebahagiaan.

Setelah selesai, orang yang memakai jasanya memberikan hadiah kepada sinshe berupa angpau yang besarannya tergantung keinginan orang yang memberinya.

Pantangan dalam memilih JodohPada zaman dahulu, dalam memilih jodoh orang Hakka

mempunyai batasan-batasan. Perkawinan terlarang bagi orang yang memiliki nama keluarga yang sama. Namun, saat ini perkawinan yang memiliki nama she yang sama tapi bukan kerabat dekat (misalnya saudara sepupu) dibolehkan, meski ada juga beberapa keluarga yang masih mempertahankan larangan tersebut. Perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang masih kerabat, tetapi dari generasi yang lebih tua, dilarang (misalnya, seorang laki-laki kawin dengan saudara kandung atau saudara sepupu ibunya). Sebaliknya, perkawinan seorang wanita dengan anggota keluarga dari generasi yang lebih tua dapat diterima. Alasannya, seorang suami tidak boleh lebih muda atau rendah tingkatannya karena suami adalah pemimpin rumah tangga. Dengan alasan itu, tercakup juga persoalan ekonomi dari pihak-pihak yang akan menikah. Biasanya laki-laki yang kaya dapat menikahi wanita miskin, sebaliknya laki-laki miskin tidak dapat menikahi wanita kaya atau wanita dari keluarga kaya karena status laki-laki lebih rendah dari wanita dalam hal ekonomi.

Page 68: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

60

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Larangan lain adalah adik perempuan tidak boleh mendahului kakak perempuannya kawin. Larangan ini juga berlaku bagi saudara sekandung laki-laki, tapi adik perempuan boleh mendahului kakak laki-lakinya kawin. Dalam kaitan ini berlaku prinsip pemberian prestasi dari adik yang akan kawin kepada kakak yang didahului. Bentuknya berupa hadiah tertentu.21

Perkawinan sesama she atau siang pada awalnya terlarang bagi masyarakat Hakka di Singkawang, tapi setelah jumlah wanita semakin bertambah, zaman semakin maju, dan pendidikan mereka semakin tinggi, sesuatu yang terlarang pun semakin diabaikan sehingga terjadi pergeseran kebudayaan. Mulai abad ke-20 banyak orang Hakka melakukan perkawinan sesama siang. Meskipun demikian, banyak juga di antara orang tua yang masih menghindarkan anak-anak mereka melakukan perkawinan sesama siang (Poerwanto, 1990: 277). Mereka masih meyakini bahwa perkawinan sesama siang tidak baik dan menganggap itu sama artinya kawin dengan saudara sendiri. Akibatnya, berdasarkan keyakinan mereka, anak hasil dari perkawinan tersebut dapat menjadi cacat, bodoh, gila, atau kelainan lainnya.

LamaranSama dengan tradisi di daratan China, acara lamaran

orang Hakka di Singkawang selalu dilakukan pihak laki-laki yang diwakili oleh seorang perantara. Moinyin (perantara) datang ke keluarga perempuan untuk melamar. Kalau lamaran diterima, mereka (keluarga laki-laki dan perempuan) menentukan hari pertunangan, alat-alat yang digunakan, dan hari pelaksanaannya. Mas kawin juga harus ditentukan saat

21 Tradisi semacam ini tidak hanya berlaku bagi kalangan orang China di Indonesia, tapi juga suku bangsa selain China, misalnya Jawa, Sunda, dan Betawi. Tidak diketahui secara pasti suku bangsa yang pertama memunculkan tradisi ini.

Page 69: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

61

KELUARGA DAN KEKERABATAN

itu juga. Setelah ditentukan, pihak perempuan mengundang pihak laki-laki untuk diperkenalkan kepada keluarga perempuan yang telah berkumpul, dipimpin oleh moinyin. Satu hari sebelum tunangan, pihak laki-laki menyerahkan perlengkapan tunangan kepada pihak perempuan. Tradisi ini disebut “mengantar uang”.

Dalam masyarakat Hakka di Singkawang, yang ditunjuk untuk meminang adalah seorang wanita (moi nyin pho) yang dituakan dari keluarga laki-laki. Dia tidak hanya sekadar melamarkan seorang gadis, tapi juga berfungsi sebagai wali dari pihak laki-laki. Karena yang dilamar adalah wanita, maka wanita pulalah yang dianggap pantas untuk melamar dan menjadi wali.

Dalam hal ini, ada dua moi nyin: moi nyin pho (pho artinya nenek) dan moi nyin kung (kung artinya kakek). Namun, dalam urusan perkawinan moi nyin kung kurang difungsikan. Seorang moi nyin harus memiliki keinginan mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan seluk-beluk perkawinan, ramah, pandai mengambil hati, pintar membujuk atau menyanjung anak gadis keluarga yang didatangi dan anak laki-laki dari keluarga yang mengutusnya (Poerwanto, 1990: 279).

Pada tahun 1990-an, di kalangan orang Hakka sering terjadi perkawinan pasangan yang belum saling kenal. Apabila moi nyin diutus oleh pihak laki-laki untuk melamar wanita yang belum mengenal laki-laki itu, pihak wanita akan meminta moi nyin datang kembali di waktu lain karena pihak wanita akan membicarakannya terlebih dahulu. Keputusan tidak sepenuhnya di tangan orang tua. Anaklah yang akan menentukan siapa yang pantas menjadi suaminya. Pada kedatangan moi nyin berikutnya dapat diketahui apakah lamaran itu diterima atau ditolak. Umumnya penolakan terjadi bila phe ji—catatan hari lahir, si sang nyat nyit atau waktu-hari-bulan, yang artinya tempat dan waktu kelahiran

Page 70: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

62

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

kedua mempelai—tidak cocok.22 Jika pasangan sudah saling kenal, maka moi nyin hanya cukup satu kali datang ke tempat wanita (Poerwanto, 1990: 280) karena keputusan lamaran diterima atau tidak sudah dapat diketahui saat itu juga. Apabila lamaran diterima, maka berikutnya dilakukan pertunangan.

Saat meminang, barang-barang yang diantarkan pihak laki-laki kepada pihak wanita di antaranya adalah kalung, cincin, dan anting. Perhiasan ini dimasukkan ke sebuah kotak yang ditutup kain merah (simbol kebahagiaan). Bagi orang yang tidak mampu, tidak diharuskan menyerahkan perhiasan-perhiasan tersebut (Tangdililing, 1984: 122), tapi berdasarkan kemampuan mereka. Selain perhiasan, juga diserahkan buah pinang dan satu tandan pisang hijau yang belum matang. Ini adalah suatu tradisi yang dimaksudkan supaya rezeki orang yang menikah bertambah banyak, seperti banyaknya buah pisang dan pinang dalam satu pohon.

Acara pertunangan juga didasarkan pada prinsip tukar-menukar prestasi, di mana pihak laki-laki menyerahkan sejumlah hadiah kepada pihak wanita, kemudian pihak wanita menyerahkan wanita yang mau dikawini kepada pihak laki-laki. Pihak laki-laki harus membayar jasa yang diberikan moi nyin. Semakin kaya pihak laki-laki semakin besar imbalan yang diterima moi nyin.

Tukar Cincin, mas Kawin, dan uang TetekTukar cincin adalah nama lain dari pertunangan yang

dilakukan secara resmi di depan sanak keluarga dan masyarakat. Sebelumnya ada pemberitahuan tertulis di kertas merah. Undangan ini disertai dengan gula-gula dan disampaikan kepada segenap keluarga, teman, dan kenalan.

22 Biasanya saat kedatangan pertama moi nyin ke rumah wanita, pihak wanita meminta phe ji anak laki-laki yang akan dicocokkan dengan phe ji wanita. Jika phe ji keduanya tidak cocok, pihak wanita dapat menolak lamaran pihak laki-laki.

Page 71: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

63

KELUARGA DAN KEKERABATAN

Acara tukar cincin orang-orang Hakka berbeda dengan suku lain.

Umumnya peristiwa tukar cincin hanya dilakukan oleh kedua pihak di depan tukang foto untuk membuktikan bahwa mereka sudah bertunangan.

Setelah tukar cincin, tentunya kedua pihak mulai menyadari bahwa mereka telah mempunyai ikatan. Artinya, mereka tidak boleh berbuat sesuatu yang dapat menggagalkan ikatan pertunangan. Diharapkan pula mereka berdua bisa mempersiapkan diri untuk memasuki masa pernikahan yang tidak lama lagi.

Emas kawin diberikan dalam bentuk perhiasan emas (cincin, gelang, dan kalung). Juga diantarkan sejumlah uang, yang disebut “uang tetek”. Orang Melayu di Singkawang menyebutnya “uang asap”. Uang ini dipandang sebagai pengganti dari biaya yang telah dikeluarkan orang tua saat membesarkan anaknya. Dalam praktiknya, uang ini digunakan untuk membiayai pelaksanaan upacara pernikahan.

Setelah lamaran, tahap selanjutnya adalah merundingkan hari perkawinan. Orang tua pihak laki-laki kemudian mengantarkan angpau (uang tetek dan emas kawin kepada keluarga perempuan). Namun, ada sebagian orang Hakka yang menolak pemberian uang tetek ini karena selain mampu secara finansial, juga ada keyakinan bahwa menerima uang tetek sama artinya dengan menjual anak gadisnya kepada pihak laki-laki.

menjelang Pelaksanaan PernikahanBeberapa hari sebelum pernikahan, pihak laki-laki

mengantarkan lagi barang-barang lain, seperti radio, televisi, dan tempat tidur. Barang-barang tersebut merupakan “mas kawin” (mengambil istilah Islam), di luar perhiasan yang sudah diantarkan saat meminang. Pihak wanita juga

Page 72: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

64

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

menyediakan barang-barang yang akan digunakan untuk keperluan mereka nantinya, tapi tidak dituntut seandainya mereka tidak mampu.

Orang Hakka baru dianggap dewasa bila mereka telah menikah karena mulai ada tuntutan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain (keluarga). Seseorang akan menjadi calon ayah atau ibu yang selanjutnya leluhur bagi anak-anak dan cucu-cucunya. Perkawinan berarti menciptakan keluarga baru, memperluas ikatan kekerabatan yang didasarkan garis keturunan ayah atau patrilinial.

Upacara perkawinan orang Hakka di Singkawang tergantung pada agama yang dianut. Setiap agama mempunyai aturan tersendiri dalam perayaan perkawinan. Selain agama, kebudayaan suku bangsa China yang berbeda-beda juga memengaruhi. Karena itu, upacara perkawinan orang China di Indonesia berbeda satu dengan lainnya. Upacara perkawinan orang China totok berbeda dengan upacara perkawinan orang China peranakan. Begitu juga dengan upacara pernikahan orang Hakka dan orang Teochiu, meskipun sama-sama tinggal di Kalimantan Barat.

Perkawinan yang sering dijumpai adalah perkawinan sesama suku Hakka atau Kek. Terjadi pula perkawinan antara orang Hakka dan wanita Teochiu, tapi sedikit karena jumlah orang Teochiu di Singkawang cukup kecil. Namun, jarang dijumpai perkawinan antara orang Hakka dan Melayu sebab keyakinan mereka berbeda. Umumnya, laki-laki Melayu menikahi wanita Hakka, dan kecenderungannya wanita Hakka mengikuti agama suaminya.

Bagi yang ekonominya menengah ke atas, upacara perkawinan bisa dilakukan secara besar-besaran dan diadakan di gedung, serta mengundang ribuan orang. Agar orang muslim dapat hadir, makanan yang halal dan tidak halal dipisahkan.

Page 73: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

65

KELUARGA DAN KEKERABATAN

Namun, apabila yang menikah orang China dari Taiwan dengan amoi (panggilan untuk gadis orang Hakka) Singkawang, upacara pernikahan tidak diadakan secara besar-besaran. Pasangan itu mengenakan baju pengantin23, menyewa mobil sedan untuk bersembahyang di pekong agar para dewa dan leluhur merestui pernikahan. Kemudian, mereka dibawa keliling kota dengan mobil yang sudah dihiasi kembang agar para kerabat dan teman-teman dapat menyaksikan pernikahan mereka. Setelah itu berfoto bersama di studio foto. Foto ini dikenal sebagai foto kawin. Lalu mempelai pulang ke hotel dan sudah dianggap sah sebagai suami istri. Upacara besar-besaran biasanya dilakukan di Taiwan, di tempat laki-laki Taiwan itu menetap.

Pada hari pernikahan, pengantin pria didampingi oleh wali (moi nyin) mendatangi rumah pengantin wanita. Orang tua mempelai wanita sudah siap menunggu di depan pintu rumah untuk menyambut calon menantu. Ketika calon suami datang, sang gadis mengenakan sloyor (sejenis kain tipis yang digunakan untuk menutup muka), tetapi ini hanya terjadi pada tahun 1660-an dan sekarang sudah menggunakan pakaian pengantin modern. Setibanya di rumah calon mempelai wanita, calon suami menyembah sujud kepada orang tua mempelai wanita, sebagai bentuk penghormatan. Setelah disambut, mempelai pria segera membuka sloyor calon istri.

Sebelum berangkat ke rumah calon mempelai perempuan, calon suami bersembahyang di depan meja abu leluhur atau di kelenteng untuk memuja dan melaporkan segala kegiatan yang akan dilakukan. Hal ini dilakukan supaya leluhur merestui pernikahan. Menurut keyakinan mereka,

23 Wanita memakai gaun putih yang panjang dan laki-laki berjas lengkap warna hitam. Gaun pengantin ala Barat dan jas biasanya disewa di suatu tempat penyewaan. Di Singkawang hampir tidak dijumpai lagi gaun pengantin ala Cina, yaitu ciok tau (dialek Hokkian).

Page 74: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

66

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

pernikahan yang tidak mendapat restu dari leluhur dapat mengakibatkan rumah tangga tidak harmonis.

Setelah penyambutan selesai, mempelai wanita makan bersama dengan adik-adik dan semua saudara iparnya. Calon suami menyaksikan bersama orang tua wanita. Selesai makan, calon istri meminta maaf dan melakukan sembah sujud (berlutut sambil mencium kaki) kepada orang tuanya. Saat itu orang tuanya memberikan kado yang dibungkus kain atau kertas merah. Di sini juga berlaku prinsip tukar-menukar prestasi, anak dan menantu memberikan penghormatan kepada orang tua dan orang tua memberikan angpau. Penghormatan juga diberikan kepada paman dan bibi. Kemudian adik-adik memberi sembah sujud kepada pengantin wanita, dan pengantin wanita menyerahkan angpau kepada adik-adiknya. Sembah sujud yang dilakukan itu, selain memberikan penghormatan kepada pihak-pihak yang bersangkutan, juga dimaksudkan sebagai doa agar kehidupannya selalu mendapat restu dari Tuhan atau Thian atau Shang Ti.

Setelah acara berfoto di studio foto selesai, pengantin menuju rumah keluarga pihak laki-laki. Sudah disiapkan kamar yang dipenuhi hiasan berwarna merah sebagai tempat tinggal mereka selanjutnya. Selain melambangkan kebahagiaan, warna merah juga mengandung doa semoga pengantin mendapat kebahagiaan, rezeki, keturunan, dan keluarganya terlindung dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Setelah Acara Pernikahan Setelah acara pernikahan selesai, istri akan mengikuti

suaminya untuk tinggal di rumah orang tua suami. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa istri itu tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan orang tuanya. Jalinan antara anak dan orang tua tetap berlangsung. Hanya saja selama

Page 75: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

67

KELUARGA DAN KEKERABATAN

tiga hari, terhitung sejak hari pertama setelah pernikahan, wanita tersebut tidak diperkenankan kembali ke rumah orang tuanya. Setelah hari ketiga, ia (anak wanita) baru boleh datang ke rumah orang tuanya, dan untuk selanjutnya setiap saat ia bisa saja datang, baik sendiri maupun bersama suaminya.

Menurut tradisi orang Hakka, apabila setelah tiga hari pengantin wanita dan lelaki tidak datang ke rumah orang tua perempuan, maka pada hari-hari berikutnya apabila mereka ingin berkunjung, mereka harus diantar oleh orang lain meskipun berdekatan. Tradisi semacam ini, menurut narasumber penulis, sudah jarang dijumpai di kalangan masyarakat Hakka di Singkawang, kecuali di tahun '60-an. Akan tetapi, masih ada orang Hakka yang mempertahankan dan mematuhi tradisi yang berlaku dari leluhur mereka. Namun, karena sudah banyak yang berpindah agama dari agama tradisional Konghucu ke agama Kristen dan Katolik, tradisi perkawinan pun banyak yang berubah, dan lebih banyak mengacu pada tradisi yang dikembangkan gereja.

Di kalangan orang Hakka, adat menetap setelah menikah adalah di lingkungan keluarga suami. Hal yang sama juga dilakukan sebagian besar orang-orang peranakan China di Indonesia dan orang China dari Taiwan yang menikahi gadis-gadis Hakka di Singkawang. Setelah menikah, mereka membawa istrinya ke Taiwan, dan pulang ke tempat orang tua istri hanya saat tahun baru atau hari besar lain.

Penjelasan di atas adalah gambaran tentang pernikahan antara orang Hakka atau Teochiu dan suku China lain. Jika gadis Hakka kawin dengan laki-laki Taiwan24, maka cara-cara

24 Perkawinan antara gadis Hakka di Singkawang dan laki-laki Taiwan sering terjadi. Perkawinan ini biasanya tidak didasarkan atas suka sama suka, tapi sering dipaksa oleh orang tua perempuan agar anaknya bisa bahagia karena mereka menganggap laki-laki Taiwan mempunyai kemampuan dalam bidang ekonomi. Banyak di antara mereka yang hidup berkecukupan setelah menikah dengan orang Taiwan sehingga dapat mengirimkan uang untuk biaya hidup orang tuanya di Singkawang, bahkan ada juga yang membangunkan rumah untuk orang tuanya.

Page 76: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

68

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

perkawinannya berbeda dengan pernikahan yang dilakukan oleh orang Hakka di Singkawang. Laki-laki Taiwan datang ke Singkawang dengan tujuan mencari gadis Singkawang untuk dijadikan istri. Orang Taiwan menyampaikan maksudnya ke pihak hotel yang lalu menghubungi moinyin yang sudah mereka kenal.

Selanjutnya moinyin berkeliling kampung, mencari gadis-gadis Hakka yang mau dikawinkan. Setelah dipertemukan dan ada persetujuan di antara keduanya, pernikahan pun disepakati. Pihak laki-laki mengeluarkan sejumlah uang untuk mengurus surat-surat pernikahan dan menyerahkan sejumlah uang kepada orang tua wanita.

Setelah urusan surat-surat dianggap selesai, laki-laki dan perempuan itu kemudian memakai pakaian resmi untuk menikah: perempuan memakai gaun warna putih dan laki-laki memakai jas lengkap. Setelah itu mereka diantar ke studio foto untuk melakukan tukar cincin sekaligus berfoto, ditemani moi nyin, menggunaka mobil sedan yang dihiasi dan disewa khusus. Sebelumnya pengantin mampir ke kelenteng untuk meminta restu kepada dewa-dewa kelenteng dan roh-roh leluhur (biasanya tempat pemujaan sementara dibuatkan di rumah). Setelah berfoto, pengantin wanita diperbolehkan tinggal bersama penganti pria pilihannya di hotel sembari menunggu proses kepulangannya ke Taiwan. Mereka sudah sah dianggap suami istri, karena itu si wanita harus bersedia dibawa suaminya ke Taiwan.

Adat menetap Setelah menikahTempat tinggal setelah menikah bagi orang China adalah di

rumah keluarga suami. Ini sesuai dengan tradisi orang China itu sendiri, yaitu hanya anak laki-laki tertua yang menjadi ahli waris dan yang akan meneruskan pemujaan terhadap leluhur (lihat Yang, 1961: 15). Anak lelaki selanjutnya tidak

Page 77: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

69

KELUARGA DAN KEKERABATAN

terikat lagi dengan ketentuan ini. Mereka bebas memilih, menetap dengan keluarga istri (uxorilokal), keluarga sendiri (virilokal), atau tinggal di rumah sendiri yang baru (neolokal) (vasanty, dalam Koentjaraningrat, 1993: 363). Hal yang sama juga berlaku untuk orang Hakka di Singkawang, setelah menikah anak wanita tinggal di rumah orang tua suami sampai mereka mampu memiliki tempat tinggal sendiri.

Bagi orang Hakka, perceraian dapat terjadi ketika istri pertama tidak mau tinggal bersama istri kedua. Dalam kebudayaan orang Hakka, seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri, tapi kenyataannya banyak yang memiliki istri lebih dari satu (tidak resmi).

Page 78: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

70

3

KOSmOLOgi, AgAmA, dAn mAgi

Dalam kosmologi orang China, kekuasaan tertinggi di alam terletak di langit atau sering disebut dewa langit

atau Thian (Tuhan) yang sangat dihormati. Dia dianggap menciptakan segalanya serta penentu kebahagiaan dan nasib manusia. Aturan-aturan yang ada di dunia berasal dari langit dan harus dipatuhi oleh manusia. Jika tidak, maka akan terjadi ketidakteraturan di alam ini (Yun, 2000: 20).

Menurut kosmologi orang China, semua manusia mempunyai hubungan erat secara pribadi dengan kosmos sehingga terlihat betapa bervariasinya hubungan-hubungan itu dalam kehidupan sehari-hari. Mereka meyakini manusia dan alam (alam yang lebih luas) dihubungkan oleh Tao. Segala sesuatu yang ada di alam ini ada dalam kesesuaian dengan Tao. Tao diterjemahkan sebagai “jalan” atau “cara”. Ajaran Tao telah membuat alam selaras dengan jalan hidup manusia. Konsep Tao berkembang dari pemikiran China kuno tentang kosmos atau alam.

Page 79: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

71

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

Orang China mengamati bagaimana alam menjalani siklus yang teratur serta bagaimana hasil pertanian dan nasib mereka bergantung pada alam. Manusia dan alam mengikuti hukum yang sama, artinya mengikuti jalan Tao. Sebagai sebuah prinsip, Tao berasal dari keseimbangan, satu kesatuan yang harmonis dari unsur-unsur yang saling berlawanan. Sebagai sebuah proses, Tao juga menjadi suatu perubahan yang teratur dan bersiklus, seperti musim panas berubah menjadi musim dingin, dan musim dingin kembali menjadi musim panas. Dengan memahami prinsip Tao, ahli fengsui dapat mengupayakan keseimbangan agar tercipta keharmonisan antara manusia dan alam, mewujudkan alam yang tidak teratur menjadi teratur. Ahli fengsui juga dapat berfungsi menjadi perantara antara manusia dan roh-roh, dewa-dewa, serta roh-roh leluhur (Yun, 2000: 19).

Semua peraturan manusia harus sesuai dengan Tao, dan orang pertama yang terkait dengan norma-norma ini ialah kaisar, yang diyakini mewakili langit dan bumi. Kebijakan pemerintah akan mendapat pujian dari rakyat jika kebijakan tersebut sejalan dengan Tao. Kalau negara diperintah dengan baik, orang akan berkata bahwa langit (Thian) telah memerintah negara itu. Untuk menjaga keselamatan negara, kaisar berkewajiban mempersembahkan korban kepada dewa langit melalui upacara-upacara pemujaan di tempat-tempat yang telah ditentukan, seperti Tian An Men (di Beijing, China) dan di kuil-kuil.

Menurut kosmologi China, seorang kaisar yang memimpin dunia bukan didasarkan atas prestasi yang mereka peroleh, melainkan pada anugerah yang dilimpahkan oleh dewa langit kepadanya. Begitu juga pemimpin atau kepala pemerintahan di dunia, tidak saja didasarkan atas usaha keras dan prestasinya, tapi juga atas pemberian leluhur yang sudah meninggal. Untuk mewujudkan rasa terima kasih itu, mereka harus melakukan pemujaan dengan menyuguhkan korban

Page 80: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

72

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

agar dewa langit dan leluhur tidak marah (Creel, 1959: 15). Dari sini lahir konsep pemujaan leluhur pada orang China karena mereka beranggapan bahwa leluhur atau roh nenek moyang senantiasa hidup di langit dan memberi petunjuk bagi kehidupan keturunan mereka di dunia dan mereka dianggap wakil dari langit atau Thian (Tuhan). Jika langit atau Thian diyakini menguasai alam dan seisinya dalam lingkup yang luas (tanpa batas), maka leluhur diyakini menguasai keturunannya dan memberikan bimbingan dalam lingkup yang lebih kecil, yaitu sebatas pada hubungan kekerabatan.

Berdasarkan kosmologi China, alam semesta ini diisi elemen baik dan buruk. Baik mencerminkan sifat yang dan buruk mencerminkan sifat yin, seperti diungkap dalam kitab klasik Taoisme (Tao Te Ching), sebagaimana dikutip oleh McCreery (dalam Scupin, 2000: 289), bahwa “Tao melahirkan satu dan satu melahirkan dua”. Yang dimaksud dengan kata “dua” adalah yang dan yin, yang mengatur dunia, baik dunia nyata maupun tidak nyata. Yang dan yin adalah dua aspek yang saling berlawanan dan sama-sama memengaruhi segala aspek kehidupan manusia. Yang bersifat terang, aktif, laki-laki, panas, kering, dan positif, sedangkan Yin bersifat gelap, pasif, perempuan, teduh, basah, dan negatif. Dengan adanya interaksi ini lahirlah alam dan seisinya. Mereka saling melengkapi, tapi hubungan mereka berjenjang. Yang selalu dianggap lebih besar daripada yin, seperti laki-laki yang selalu mendominasi dalam masyarakat patrilinial (McCreery dalam Scupin, 2000: 289; Yun, 2000: 19). Meskipun yang dan yin selalu berlawanan, jika mereka bersatu, mereka menjadi harmonis. Yang dan yin saling membutuhkan, misalnya tanpa “dingin”, maka tidak akan ada konsep “panas”. Tanpa “baru” tidak akan ada konsep “lama”. Tanpa “hidup” tidak akan ada konsep “mati”. Yin berada dalam yang dan yang berada dalam yin. Kadang kala yang diartikan sebagai langit, sebagai

Page 81: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

73

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

simbol dari yang suci atau sakral, dan yin diartikan dengan bumi, simbol dari yang profan (Jochim, 1986: 25).

Terdapat dalam unsur alam yang baik tersebut atau cerminan dari unsur yang, tapi bersifat tidak nyata ialah roh-roh leluhur, roh-roh selain roh-roh leluhur, dan dewa-dewa, seperti dewa bumi, Tso Chun (dewa dapur), Dewi Kwan Im atau Guan Yin, Dewa Kuan Kong atau Guan Gong, Tin Hau, dan lain-lain yang menjadi pelindung orang China, dan selalu dipuja. Dari semua dewa ini, Kwan Im sebagai tokoh Buddha, Kuan Kong atau Guan Gong dianggap sebagai tokoh Confusius, dan Tin Hau sebagai dewi Tao. Semua roh-roh dan dewa-dewa tersebut dikelompokkan oleh orang China sebagai shen, yakni roh atau jiwa.

Adapun unsur alam yang tidak baik dan merupakan cerminan dari unsur yin yang bersifat tidak nyata ialah kwei, yang dikenal sebagai hantu atau siluman. Mereka inilah penyebab berbagai masalah yang dapat mengganggu kehidupan manusia, menghuni rumah-rumah, dan membawa malapetaka pada keluarga yang diganggunya (Bloomfield, 1986: 38-40). Dalam kepercayaan orang China, roh-roh leluhur dapat berbuat jahat, mengganggu keluarga mereka dan orang lain jika keluarga mereka tidak memperhatikannya.

Berdasarkan keyakinan orang China, salah satu cara untuk menghindarkan manusia dari pengaruh tidak baik yang datang dari roh-roh leluhur adalah memakamkan leluhur sesuai dengan aturan fengsui, yaitu menentukan tempat pemakaman, melakukan pemujaan leluhur secara terus-menerus, serta mencukupi kebutuhan leluhur. Cara lain dengan menempatkan Bhat Gwa atau pat kwa (kaca atau gambar yang memiliki delapan sisi dan setiap sisi mewakili mata angin di tempat-tempat yang dianggap ahli fengsui memiliki pengaruh jahat atau tempat masuknya pengaruh jahat, seperti di atas pintu masuk agar roh-roh jahat tidak dapat mengganggu anggota keluarga yang ada

Page 82: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

74

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

di dalam rumah (Lip, tt: 23; Bloomfield, 1985: 15). Bisa juga menggunakan phu atau jimat yang mereka dapat dari loya atau dukun dan ahli fengsui.

Penjelasan sifat yang dan yin di atas sejalan dengan pendapat de groot tentang yang dan yin yang juga dapat diartikan sebagai jiwa. de groot berpendapat, yin merupakan bagian dari jiwa (disebut p’o), yang dapat berubah menjadi kwei (hantu-hantu). yin dapat mendatangkan kemalangan jika anggota keluarganya yang masih hidup tidak melakukan upacara untuk memuja dan mempersembahkan korban. Jika p’o ditempatkan di suatu tempat dengan baik, dipelihara, dipuja, dan dipersembahkan korban, p’o akan beristirahat dengan tenang dan memperoleh kehidupan yang baik di dunia roh. Jika sebaliknya, p’o tidak dapat beristirahat dengan tenang, ia dapat berbuat sesuatu yang tidak diinginkan manusia. Sementara itu, yang juga bagian dari jiwa (disebut hun atau shen), akan mengasihi, melindungi keturunan, dan keluarga-keluarga mereka dari segala bahaya (de groot, 1901: 63). Oleh sebab itu, secara alami keduanya selalu dipertentangkan dan berlawanan.

De Groot (1901: 62-63) dan Fitzgrald (1957: 43-44) menjelaskan bahwa manusia mempunyai dua jiwa, yaitu jiwa binatang yang disebut p’o, yang diciptakan saat manusia masih berada di dalam perut, dan shen, jiwa yang lebih tinggi dari p’o. Saat manusia meninggal, tugas kedua jiwa itu berbeda. P’o tinggal di kuburan bersama-sama jenazah dan memakan makanan yang dihidangkan oleh keluarga di kuburan. Ketika tubuh hancur dimakan tanah, kekuatan p’o berangsur-angsur hilang dan masuk ke neraka. P’o melangsungkan hidupnya di dunia arwah atau roh. Lebih lanjut De Groot (1901: 64) menjelaskan:

Shen atau Hun, jiwa yang lebih tinggi, saat seseorang meninggal naik ke suatu tempat, yaitu tempat Shang Ti, Tuhan yang maha esa, untuk tinggal di istananya, seperti

Page 83: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

75

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

kehidupan seorang bangsawan di sebuah kerajaannya di dunia. Saat berada di langit, Shen yang juga disebut roh leluhur menjadi kuat atau memiliki kemampuan yang luar biasa dan menjadi dewa yang memiliki sifat suka membantu orang, terutama kepada keturunannya yang masih hidup di dunia.

Apa yang dikatakan oleh De Groot dan Fitzgrald secara tidak langsung telah membagi roh ke dalam dua kelompok, yaitu p’o dan Shen atau hun. Kebaikan, perlindungan, dan rezeki yang diberikan leluhur seperti yang diyakini oleh sebagian orang Hakka selama ini tidak lain datang dari Shen atau hun karena dia bersifat dermawan, mempunyai kekuatan dan kekuasaan. Namun, orang Hakka di Singkawang menyebut kedua roh ini sebagai leluhur dan tidak mengelompokkannya.

P’o dan hun diyakini dapat menerima korban yang dipersembahkan oleh keluarga. P’o tetap tenang di kuburan meskipun dia makan dari pemberian keluarga. Jika makanan yang diberikan ini terputus, dia akan meninggalkan kuburan dan muncul lagi sebagai kwei, yaitu seperti orang yang sangat lapar, berhati dengki, serta memusuhi semua manusia yang hidup. Orang akan takut jika p’o menjadi seperti seorang manusia yang kuat. Untuk mengatasi hal itu, p’o harus dibujuk dengan menyuguhkan korban. Tidak ubahnya seperti p’o, shen, setelah kehidupan berakhir, juga tidak bisa menikmati kebahagiaan jika korban-korban yang dipersembahkan kepada leluhur tidak diteruskan oleh keluarganya yang masih hidup. Jika ini terjadi, shen atau hun juga akan menjadi hantu atau kwei. Agar shen dan p’o dapat hidup tenang di dunia mereka masing-masing, keluarga dan keturunannya di dunia harus menjaga hubungan baik itu dengan melakukan serangkaian upacara dan pemujaan leluhur.

Apa yang dikatakan De Groot mengenai jiwa atau roh juga didukung oleh Hugh Baker dan John L. McCreery.

Page 84: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

76

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Mereka mengatakan bahwa di masa Dinasti Shang (1600-1050 SM) telah ditemukan tulisan-tulisan yang terdapat di tulang-tulang yang menyatakan tentang asal-usul orang China. Tulisan tersebut menceritakan tentang raja-raja Shang yang melakukan pemujaan dan mempersembahkan korban kepada leluhur mereka (Baker, 1979: 72; McCreery, dalam Scupin, 2000: 286). Hugh Baker menyatakan bahwa pada masa itu (Dinasti Shang) orang-orang menganggap leluhur yang mereka puja telah memiliki kekuatan yang tidak ubahnya seperti kekuatan para dewa. Tulisan di tulang-tulang tersebut menggambarkan tentang leluhur mereka:

munculnya kekuatan dari leluhur itu dimulai saat dia meninggal. Kemudian dia diubah (oleh Tuhan) bentuknya menjadi roh, kekuasaannya tidak terbatas dan maha luas. dalam hal makan dan minum, terutama korban yang dipersembahkan padanya, dia masih bergantung kepada keturunannya, namun dia dapat mewujudkan apa yang menjadi keinginan keturunannya atau keluarganya yang masih hidup di dunia (baker, 1979: 73).

Aktivitas roh leluhur tidak sama dengan aktivitas dewa-dewa dalam kepercayaan orang Yunani. Roh leluhur tidak sama seperti Tuhan Yang Maha Kuasa, ada di mana-mana. Namun, dalam upacara pemujaan, roh leluhur dipandang dekat dengan manusia, terutama dengan keluarga (Baker, 1979: 73). Sukses dalam berburu, bertani, berperang, berdagang, dan kegiatan lain dipandang sebagai pemberian dan petunjuk leluhur. Pendapat Baker ini sejalan dengan pendapat Bloomfield, yang mengatakan bahwa musibah yang menimpa keluarga dipandang sebagai hukuman atau sanksi yang diberikan leluhur kepada keluarganya yang masih hidup (Bloomfield, 1986: 58). Oleh sebab itu, sebagian besar keluarga orang China takut dengan sanksi yang diberikan

Page 85: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

77

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

oleh leluhur. Untuk menghindari hal itu, maka pemujaan, pemberian korban, dan makanan dilakukan.

Hugh Baker mengatakan, ungkapan yang ada di tulang-tulang menunjukkan bahwa leluhur para raja-raja pada masa dinasti Shang memiliki kekuatan layaknya seorang raja. Mereka (leluhur) dipandang penting oleh keturunannya untuk dijadikan petunjuk bagi keluarganya di dunia (1979: 72). H.G. Creel sependapat dengan Baker bahwa raja-raja Shang meyakini apa yang mereka peroleh di dunia (kekuasaan sebagai raja) merupakan pemberian leluhur yang ada di dunia lain dan rakyat biasa tidak mungkin mendapatkannya karena mereka bukan keturunan raja (Creel, 1953: 25).

Hugh Baker (1979: 73) menambahkan, dalam kosmologi China, dunia kehidupan setelah meninggal merupakan duplikat dari dunia nyata. Roh-roh tidak ubahnya manusia hidup, memiliki kebutuhan yang sama dengan manusia.25. Sejalan dengan itu, James Thayer Addison (dalam Baker, 1972: 74) memberikan pernyataan sebagai berikut:

roh-roh leluhur umumnya dipandang sebagai orang yang masih membutuhkan pemberian; mereka senang diper-sem bahkan sesuatu, untuk kelangsungan hidup mereka di dunia lain, mereka menggantungkan diri terhadap ke-luarga yang masih hidup. meskipun keyakinan ini jarang ter bukti secara nyata, dan tidak mengambil bentuk dalam kehidupan, namun itu terungkap dalam praktik-praktik upacara pemujaan leluhur.

Lin Yun juga menyatakan bahwa dalam kosmologi China dikenal adanya energi, yang disebut dengan ch’i. Ch’i dapat diterjemahkan dengan “napas” atau “energi” atau roh. Ch’i merupakan faktor penting yang dapat memengaruhi kehidupan manusia (Yun, 2000: 20; Skinner, 1997: 15).

25 Umumnya generasi muda etnis Cina di Singkawang tetap mengikuti praktik pemujaan leluhur di kuburan, mengikuti orang tua mereka. Namun, mereka tidak tahu asal-usul makna dan fungsi pemujaan leluhur.

Page 86: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

78

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Dalam diri manusia, ch’i merupakan roh atau kekuatan vital yang dapat menggerakkan tubuh atau kekuatan yang membuat manusia dapat bergerak dan berbicara. Ch’i ada dalam diri manusia sejak manusia lahir sampai meninggal (Yun, 2000: 22). Ch’i dalam kasus ini tidak ubahnya seperti darah yang selalu ada dan mengalir dalam diri manusia.

Agama-agama Tradisional Orang ChinaAgama tradisional orang China adalah agama-agama

yang ada di China sebelum lahirnya Lao-tse (604 SM), dan Konfusius (551-479 SM) serta agama-agama yang didasarkan pada ajaran Lao-tse, Konfusius, dan Buddha. Untuk menjelaskan agama tradisional orang China, saya mengutip pendapat Jochim (1986: 14) yang menyatakan bahwa keyakinan keagamaan orang China dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition). Tradisi besar ditandai dengan praktik-praktik dan keyakinan-keyakinan keagamaan yang berasal dari sumber-sumber tertulis, seperti kitab-kitab suci yang menjadi sumber dari ajaran agama-agama. Dalam tradisi besar ini tercakup Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme, yang saling melengkapi dan dijadikan pedoman kehidupan sehari-hari orang China. Konfusianisme lebih menekankan nilai-nilai etika kehidupan, yaitu keserasian hubungan antar-manusia, termasuk hubungan manusia dengan roh leluhurnya. Taoisme lebih menekankan keserasian hubungan antara manusia dan alam, dan Buddhisme lebih menekankan pada kehidupan setelah meninggal.

Adapun “tradisi kecil” dikenal dengan sebutan folk religion atau “agama rakyat.” Sebelum tiga ajaran di atas, masyarakat China terlebih dahulu mengenal “agama rakyat” yang mereka jadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana dikatakan oleh Jochim (1986: 14) bahwa “agama rakyat”

Page 87: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

79

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

orang China secara sederhana dapat ditandai dengan praktik-praktik dan keyakinan-keyakinan keagamaan yang tidak tertulis dari yang dipraktikkan masyarakat tradisional China. Jochim (1986: 14) menambahkan bahwa untuk mengetahui konsep keberagamaan orang China, pengetahuan kita tentang tiga ajaran atau “tradisi besar” harus ditambah dengan pengetahuan tentang little tradition atau folk religion.

Pendapat Jochim tentang tradisi besar dan kecil berbeda dengan pendapat Robert Redfield (1960). Dia mengajukan sepasang konsep yang kemudian banyak digunakan dalam kajian-kajian tentang kehidupan keberagamaan masyarakat di berbagai negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Konsep tersebut menggambarkan bahwa dalam suatu peradaban terdapat “tradisi besar” (great tradition) dan “tradisi kecil” (little tradition). Dia mengartikan tradisi besar sebagai tradisi orang-orang yang suka berpikir dan jumlah mereka sangat sedikit. Adapun tradisi kecil adalah tradisi sebagian besar masyarakat yang menerima apa adanya tradisi dari generasi sebelumnya tanpa memikirkan secara mendalam. Meskipun Jochim dan Redfield berbeda dalam mengartikan konsep tradisi di atas, tapi dalam menjelaskan agama orang China, Jochim juga mengacu pada konsep tradisi besar dan kecil yang diajukan oleh Redfield. Jika agama tradisional orang China dilihat dari pengertian sepasang konsep tradisi yang dikembangkan Redfield, maka hanya sedikit saja dari mereka yang menganut paham Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme yang masuk dalam kelompok tradisi besar karena sebagian besar dari mereka masuk ke dalam kelompok tradisi kecil.

Di Indonesia, orang-orang China yang menganut paham Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme secara bersama-sama dimasukkan dalam kelompok agama Buddha Tridharma atau sam kaw atau “tiga ajaran”. Tempat ibadahnya adalah kelenteng. Pada zaman Orde Baru diganti namanya menjadi

Page 88: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

80

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Wihara Tridharma. Di Wihara Tridharma ada tiga tokoh utama yang disembah, yaitu: Lao-tse, Konfusius, dan Sidharta Gautama. Selain itu juga ditempatkan patung dewa-dewa lain, seperti dewa bumi, pertanian, dewi Kwan Im (dewi kasih sayang), Kwan Kong (panglima perang). Tokoh-tokoh setempat yang selama hidupnya memberikan jasa besar bagi masyarakat juga ikut disembah dan difungsikan sebagai orang setengah dewa. Fungsi kelenteng ini tidak hanya sebagai tempat beribadat, tapi juga tempat meramal nasib.

Dalam pandangan dunia, khususnya orang China, dimensi spritual adalah dunia lain yang keberadaannya bersamaan dengan dunia nyata. Dari sini muncul kepercayaan tentang makhluk halus yang jumlahnya tidak jauh berbeda dengan aspek kehidupan. Nilai-nilai duniawi termasuk kekayaan, kebahagiaan, dan kesetiaan, memiliki dewa pelindung. Begitu juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan alam, seperti sungai, gunung, dan danau dipuja karena kekuatan spiritualnya (Jochim, 1986: 15). Oleh karena itu, di mana saja mereka berada, bahkan di toko-toko mereka, disediakan tempat suci untuk memuja para dewa pelindung yang dianggap berjasa pada keluarganya.

Di samping itu, banyak orang China menganggap bahwa ada makhluk-makhluk spiritual di antara orang-orang China yang masih hidup. Beberapa dari pendeta Buddha mereka pandang memiliki kesempurnaan rohani yang tinggi sehingga mereka dianggap sang Buddha hidup. Begitu juga dengan para petapa dari pengikut-pengikut ajaran Tao yang telah berhasil mencapai tujuannya serta menyatakan diri sebagai manusia yang dapat mengajarkan kesalehan dan melarang kejahatan, mereka pandang sebagai orang yang memiliki kemampuan luar biasa dan dapat dimintai pertolongannya, serta dapat juga dianggap orang setengah dewa (Jochim, 1986: 14).

Page 89: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

81

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

Penghormatan pada dewa-dewa dan roh-roh merupakan unsur utama dalam semua hubungan dengan makhluk-makhluk spiritual. Pemujaan terhadap roh-roh dan dewa-dewa ini dilakukan dalam bentuk upacara pai-pai (bai-bai). Upacara dalam masyarakat China biasanya dimulai dengan menyampaikan sesaji berupa lilin, pembakaran hio, dan mempersembahkan makanan, sekalipun upacara tersebut tujuannya untuk membujuk roh-roh jahat. Sesajian disampaikan untuk mengenyangkan serta menenangkan roh-roh jahat. Sebaliknya, tatkala tujuan dari sesaji adalah untuk pemujaan, sesaji tersebut disampaikan dengan penuh kesopanan dan keramahan, disertai sujud tiga kali di depan patung dewa atau roh yang dipuja, untuk melambangkan kesalehan yang tulus.

Sekarang, meskipun pai-pai dapat dilakukan oleh seseorang dengan cara mereka sendiri, banyak dari aktivitas keagamaan tidak terlepas dari bantuan pendeta-pendeta Tao yang terkenal, pendeta-pendeta Buddha, dan pendeta-pendeta Buddha perempuan. Mereka memiliki banyak keahlian, seperti ahli nujum, ahli fengsui, dukun-dukun yang

Page 90: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

82

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

dapat mengendalikan roh-roh untuk kepentingan pribadi dan kelompok, serta perantara antara manusia dan objek yang dipuja. Mereka umumnya bekerja pada seseorang atau keluarga yang membutuhkan bantuan, dan tidak berada dalam keanggotaan keagamaan atau lembaga keagamaan yang tetap (Jochim, 1986: 15). Di Singkawang, dikenal dengan istilah Tathung (dukun).

Biasanya hanya orang-orang tertentu dari pengikut Taois, Konfusius, Buddhis, serta pendeta-pendeta Buddhis, pendeta wanita Buddhis yang mengerti ajaran-ajaran Taois, Konfusius dan Buddhis, sedangkan masyarakat biasa umumnya tidak mengerti. Bahkan, apa yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti praktik keagamaan dalam keluarga dan di tempat-tempat ibadah, tidak lain hanyalah sekadar tradisi yang diwariskan turun-temurun. Hal ini juga terjadi dalam masyarakat China di Indonesia.

Salah satu ciri dari agama Buddha Tridharma adalah meyakini banyak roh dan dewa. Dewa-dewa yang cukup dikenal dalam masyarakat China yang menganut agama Buddha Tridharma adalah Tu-ti atau Tu-ti-kong (dewa bumi), di Indonesia dikenal dengan sebutan Tuapekong, Ch’eng-huang (dewa kota), atau Wu-tao (dewa penjaga lima penjuru alam). Salah satu fungsinya adalah penjaga pintu masuk neraka (Yang, 1970: 31). Oleh sebab itu, dalam upacara kematian, dewa-dewa mendapat pemujaan khusus dari keluarga agar roh orang yang meninggal mendapat kemudahan dalam memasuki neraka sebagai tempat pengadilan.

Praktik-praktik upacara pemujaan leluhur yang berkembang dalam masyarakat China merupakan bagian dari upacara keagamaan mereka, terutama mengacu pada ajaran-ajaran Konfusius yang terkait dengan xiao atau bakti seorang anak terhadap orang tuanya. Demikian juga dengan

Page 91: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

83

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

keyakinan-keyakinan lokal, seperti mengorbankan seekor kambing dalam masyarakat Hakka.

Mencius, murid dari Konfusius, mengatakan, “Dosa yang paling besar dari semua dosa-dosa manusia adalah tidak mempunyai anak laki-laki yang diperuntukkan meneruskan garis keturunan dan melangsungkan pemujaan terhadap leluhurnya” (dikutip dari McCreery dalam Scupin, 2000: 286). Sebagaimana dikatakan McCreery, masyarakat China tradisional adalah masyarakat patrilineal, di mana nama keluarga yang diturunkan ke anak laki-laki dan perempuan berasal dari pihak ayah, dan bukan dari pihak ibu. Ketika anak perempuan menikah, mereka meninggalkan keluarga dan bergabung dengan keluarga suami. Kewajiban menantu wanita adalah melayani mertua dan memuja leluhur suaminya. Anak laki-laki berkewajiban meneruskan garis keturunan keluarganya (McCreery dalam Scupin, 2000: 286). Namun, dalam perkembangannya di Singkawang, kebudayaan ini mengalami sedikit perubahan karena pengaruh kebudayaan lokal.

Prinsip ini cukup kuat mengakar dalam masyarakat pertanian di China. Aset berupa tanah diserahkan kepada generasi berikutnya. Generasi yang lebih muda (yang masih hidup) berkewajiban menghormati dan memuja generasi yang lebih tua (yang sudah meninggal), memberikan makanan dan minuman. Sebagai balasannya, generasi yang lebih muda mendapatkan kehidupan yang baik di dunia, perlindungan dan pendidikan sejak kecil, mendapatkan emas kawin (untuk anak wanita), dan mendapat warisan (anak laki-laki) (McCreery dalam Scupin, 2000: 286).

Semua ini menunjukkan bahwa pengaruh leluhur masih tetap ada pada anggota keluarga yang masih hidup, terutama pada anggota keluarga patrilineal. Pemujaan leluhur dan persembahan korban yang dilakukan tidak hanya dipandang

Page 92: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

84

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

sebagai bakti terhadap leluhur mereka, tapi juga didasari oleh kasih sayang.

Kosmologi Orang HakkaDalam kosmologi orang Hakka di Singkawang, alam

dilihat sebagai wadah dan isinya terdiri dari benda-benda nyata dan benda-benda tidak nyata (gaib) sebagai unsur-unsurnya yang dihidupkan oleh berbagai kekuatan yang mereka kenal dengan sebutan dewa-dewa dan roh-roh. Alam mempunyai suatu pusat, oleh orang Hakka disebut Thian (Tuhan Yang Maha Esa). Thian mempunyai kekuasaan cukup luas yang meliputi seluruh alam ini. Oleh karena itu, orang Hakka memuja Thian dengan menghadap ke langit sebelum mereka memuja dewa-dewa dan roh-roh leluhur. Pemujaan terhadap Thian harus didahulukan karena dia dipandang sebagai pencipta segala yang ada di dunia.

Dalam kitab li khi (kitab atau buku upacara) dikatakan bahwa “segala sesuatu yang ada di dunia nyata maupun tidak nyata berasal dari langit (Thian) dan semua manusia berasal dari leluhur”. Artinya, manusia mempunyai pendahulu yang melahirkan dan membesarkan mereka. Langit, sebagaimana dikatakan oleh C. K. Yang, adalah kekuatan yang maha tinggi di dunia yang secara langsung menggerakkan dunia nyata dan gaib. Ada pembagian di dunia tidak nyata, yaitu pada tingkat tertinggi dari roh-roh dan berada di bawah Thian adalah dewa-dewa (shen), yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu. Pada tingkat yang lebih rendah adalah roh-roh (p’o) dan hantu-hantu (kuei) yang berkuasa atas benda-benda secara umum dalam dunia tidak nyata (1961: 23-23).

Berdasarkan kosmologi orang Hakka, setiap unsur alam dihidupkan dan dikuasai oleh salah satu dari berbagai jenis kekuatan yang menguasai unsur-unsur alam tersebut. Alam ini diisi dan merupakan perpaduan hal-hal yang baik

Page 93: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

85

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

dan yang buruk, sesuai dengan kekuatan yang menghidupi unsur-unsur kehidupan, pertumbuhan, dan kemakmuran. Dalam bentuk tidak nyata, oleh orang Hakka dikenal sebagai roh-roh dan dewa-dewa pelindung keluarga dan manusia. Ada dewa-dewa pelindung yang selalu mereka puja, seperti dewa pelindung empat penjuru alam semesta (shi kok thian-ti), dewa dapur (tso cun) atau dewa yang mengawas kehidupan dalam rumah tangga, dewa bumi (tua pe kong), dewa murah rezeki, dewa pelindung keluarga (sun go kong, kwan kong). Ada juga yang dalam bentuk roh, seperti roh-roh leluhur. Menurut ajaran Konfusius, “empat penjuru alam dan lautan bersaudara bersatu”. Setiap penjuru alam dan lautan tersebut diyakini memiliki penguasa, yang disebut dewa-dewa. Oleh karena itu, mereka harus dihormati, diperhatikan, diberi makan, dan dipuja dalam upacara-upacara, khususnya upacara kematian.

Roh-roh tersebut juga dianggap dapat menghidupkan sesuatu atau menambah kekuatan dalam diri manusia. Contohnya jelangkung, benda yang tidak bernyawa, dibuat oleh manusia, tapi dapat mempunyai kekuatan jika diisi oleh roh-roh. Demikian juga dengan manusia, mereka dapat mempunyai kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya ketika tubuh mereka dimasuki roh yang memiliki kekuatan. Orang ini disebut tathung atau dukun.

Dewa-dewa dan roh-roh dipandang orang Hakka memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan manusia. Jika kekuatan ini menghidupkan salah satu unsur di dalam alam, maka unsur tersebut bertambah kekuatannya. Kekuatan di dunia tidak nyata juga mempunyai sifat baik dan buruk. Jika salah satu unsur di alam ini, seperti manusia, diisi oleh kekuatan baik, maka dia akan menjadi baik. Begitu juga sebaliknya.

Berdasarkan kosmologi orang Hakka yang juga mengacu pada ajaran Tao yang dipelopori oleh Lao-tse (lahir 604 SM) dan dikembangkan lebih lanjut oleh Konfusius (551-479 SM),

Page 94: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

86

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

ketidakteraturan (dapat berupa sakit) pada diri manusia tidak semata-mata disebabkan oleh gangguan dari roh-roh jahat di luar diri manusia, tapi juga oleh tidak seimbangnya unsur Im atau yin (bumi, buruk, gelap) dan Yang (langit, baik, terang) dalam diri manusia. Keduanya harus diseimbangkan agar seseorang dapat menjadi teratur atau sembuh dari penyakitnya. Untuk mengetahui penyebab seseorang sakit, diperlukan bantuan seorang dukun atau ahli fengsui. Mereka dapat menyeimbangkan kedua unsur tadi sehingga seseorang bisa menjadi teratur kembali.

Pengaruh Im dan Yang tidak hanya terdapat dalam diri manusia, tapi juga di dalam rumah, tempat usaha, kuburan, dan lain-lain. Jika ketidakseimbangan antara Im dan Yang terdapat di kuburan, dapat berpengaruh pada orang yang meninggal, seperti ketidaktenangan roh-roh mereka. Akibatnya, juga akan berpengaruh pada kehidupan keluarga yang masih hidup. Pemujaan dan pemberian makan kepada leluhur adalah salah satu usaha untuk menyeimbangkan pengaruh baik dan buruk tersebut.

Menurut keyakinan orang Hakka (di antaranya Fung Long dan Sanjaya), sakitnya seseorang dapat disebabkan oleh gangguan. Hal ini dapat diketahui melalui orang pintar atau dukun. Apabila seseorang sakit akibat namanya tidak cocok dengan dirinya, maka dukun akan menyuruh orang tuanya mengganti nama anaknya dengan nama yang akan dipilihkan oleh dukun (dapat juga disebut sinsang). Dukun harus mengetahui jam, hari, tanggal, dan tahun kelahiran si anak lalu mencocokkan dengan kitab tongsi (kitab ramalam). Setelah nama yang cocok ditemukan, dukun akan menyuruh orang tuanya mengadakan upacara penggantian nama.

Melalui perantaraan dewa-dewa, roh-roh leluhur, dan roh-roh orang setempat, seseorang juga dapat memberikan pertolongan kepada orang lain, seperti tathung atau dukun. Tathung adalah manusia biasa sehingga dia tidak dapat

Page 95: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

87

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

menolong orang lain tanpa bantuan dari roh-roh dan dewa-dewa. Melalui kesurupan, roh-roh itu dipanggil untuk masuk ke dalam dirinya. Setelah itu seorang tathung menjadi kuat dan dapat memberikan bantuan kepada orang lain. Salah satu bantuan dari tathung adalah agar seseorang terhindar dari gangguan roh-roh jahat. Untuk itu dia menggunakan jimat atau phu yang mereka buat sendiri. Sebagai balasannya, orang yang menerima phu membayar tathung atas dasar sukarela.

Di dalam jimat itu, seperti yang diyakini orang Hakka, ada suatu kekuatan yang dapat membuat roh-roh jahat tidak dapat mengganggu seseorang. Phu ini tidak hanya disimpan di kantong baju, celana, dan dompet sebagai penjaga dirinya, tapi dapat juga digantung di pintu rumah (dalam bentuk secarik kertas kuning atau merah yang ditulis dalam bahasa Mandarin) sebagai penjaga rumah. Kekuatan seseorang akan lenyap bila jimat itu hilang atau tidak lagi menempel di tubuhnya. Kekuatan jimat juga akan hilang apabila jimat atau phu dibawa ke tempat-tempat yang kotor, seperti tempat pelacuran. Tidak hanya manusia, tapi kendaraan (motor atau mobil) yang dibekali dengan phu dapat terhindar dari niat jahat pencuri. Jimat menjadi kuat apabila dimasuki roh-roh yang memberikan kekuatan padanya, sebagaimana diceritakan oleh Min.

Kendaraan bermotor saya dibekali dengan phu sehingga terhindar dari pencurian. dengan demikian, saya tidak khawatir meninggalkan kendaraan saya yang sudah terkunci di tempat ramai. Phu tersebut saya dapat dari seorang tathung yang cukup terkenal di kota Singkawang bernama Sun Hew. di samping itu, phu juga berfungsi menjaga diri saya dari gangguan roh-roh jahat, baik dikirim oleh orang lain yang mempunyai niat jahat kepada saya, maupun bukan.

Page 96: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

88

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Menurut beberapa orang Hakka, manusia lahir sudah dibekali dua hal, yaitu nasib dan sifat. Nasib dan sifat adalah pemberian Tuhan yang dibawa sejak manusia lahir. Nasib bisa diubah asalkan manusia banyak berbuat baik dalam hidupnya. Berbuat baik dapat berupa rajin sembahyang atau membantu orang yang sedang dalam kesusahan. Jika nasib dapat diubah oleh manusia itu sendiri, sebaliknya sifat tidak. Sifat misalnya pemarah, angkuh, pemalas, dan sebagainya. Nasib seseorang dapat diketahui melalui ahli ramal yang pandai dalam bidang ini.

Beberapa orang Hakka meyakini bahwa nasib seseorang dapat juga disebabkan oleh perbuatan orang tuanya (karma) yang harus ditanggung anaknya. Jika orang tuanya senang berbuat baik, maka anaknya akan menjadi orang baik. Sebaliknya, jika orang tuanya senang berbuat jahat, maka anaknya juga mempunyai nasib yang kurang baik. Orang Hakka selalu melihat kejadian masa sekarang dengan mengacu pada masa lalu. Masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang selalu ada keterkaitannya. Kalau kita menginginkan anak keturunan kita menjadi orang yang baik, mereka harus dibina mulai dari sekarang.

Nasib seseorang juga dapat diketahui ketika ia sudah tua, saat sudah tidak sanggup lagi bekerja. Jika seseorang pada masa mudanya hidup dengan banyak harta, setelah tua hartanya dihabiskan oleh anak-anaknya hingga menjadi miskin, oleh orang Hakka kasus ini disebut soi atau nasib sial. Sebaliknya, jika seseorang di masa mudanya miskin, tapi karena anak-anaknya dapat membalas budi dengan memelihara dan merawat mereka dengan baik, maka nasib seseorang dikatakan bagus di masa tua dan tidak baik di masa muda. Orang Hakka menyebutnya hokki (mendapat keberuntungan).

Orang Hakka juga meyakini bahwa orang miskin tidak semata-mata disebabkan oleh nasib dan kurang maksimalnya

Page 97: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

89

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

seseorang dalam mencari rezeki, tapi dapat juga disebabkan oleh kerakusan leluhur di masa lalu karena rezeki yang semestinya milik anak-anaknya sudah dihabiskannya sebelum dia (leluhur mereka) meninggal. Dengan demikian, tidak ada lagi kesempatan bagi anak cucu untuk menikmati kekayaan tersebut.

Selain nasib yang sudah ditentukan oleh Tuhan, orang Hakka (sebagaimana juga dinyatakan oleh Bloomfield yang penulis kutip pada bab pendahuluan untuk kasus orang China umumnya) juga meyakini bahwa orang yang kehidupannya makmur dan usahanya lancar merupakan simbol dari kehidupan orang tua atau leluhur mereka di dunia roh yang bahagia dan berkecukupan. Kegagalan dalam usaha, kemiskinan, dan nasib buruk yang selalu menimpa manusia diyakini sebagai tanda dari kehidupan orang tua atau leluhur mereka di dunia lain yang menderita, yang dapat mengakibatkan keturunan mereka di dunia juga menderita. Agar leluhur dapat hidup tenang di dunia lain diperlukan perhatian khusus dari keluarga yang hidup. Perlakuan khusus tersebut dapat berupa pemujaan dengan mempersembahkan makanan dan minuman kepada roh-roh leluhur. Kebahagiaan leluhur di dunia roh tergantung dari usaha yang dilakukan oleh keturunannya di dunia.

Orang Hakka juga percaya adanya suatu kekuatan di luar Tuhan atau Thian yang dapat dijadikan pegangan dalam hidup jika mereka mendapat masalah, yakni thok atau ci thok. Mereka menganggap Thian itu jauh, dan mereka mencari wakil-wakil Thian di dunia ini agar dapat menghubungkannya kepada Thian.

Di kalangan orang Hakka Singkawang saya menemukan beberapa kasus. Salah satunya adalah toko yang menjual barang-barang keramik. Di tokonya ada sebuah tempat pemujaan (liu fun) untuk dewa Sun Go Kong. Sang pedagang mengatakan, pada masa lalu usahanya kurang lancar, lalu dia

Page 98: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

90

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

pergi ke seorang tathung (dukun) yang memelihara dewa tersebut untuk membantunya dan sampai sekarang usahanya maju pesat. Oleh sebab itu, sebelum membuka dan setelah menutup toko, dia harus sembahyang atau memberikan penghormatan kepada dewa sebagai bentuk ucapan terima kasih atas pertolongan dewa tersebut.

Orang Hakka di Singkawang percaya bahwa roh orang yang meninggal tidak langsung masuk surga, tapi terlebih dahulu masuk ke neraka untuk mempertanggungjawabkan dosa-dosa mereka. Setelah dosa terhapus, baru mereka masuk ke surga atau terlahir kembali, yaitu diberi kesempatan memperbaiki kesalahan mereka, sebagaimana keyakinan orang China umumnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Durkheim bahwa jika seseorang meninggal jiwanya akan meninggalkan tubuhnya. Setelah masa berkabung keluarga berakhir, jiwanya kembali menitis dan menjadi kelahiran baru (1967: 248).

Orang Hakka juga beranggapan, surga tidak ubahnya seperti dunia, orang yang meninggal juga membutuhkan rumah, perabot, kendaraan, uang, dan hiburan. Ini terlihat dari upacara kematian, orang yang meninggal dibuatkan rumah-rumahan, tempat tidur, dan kendaraan. Semuanya menyimbolkan peralatan yang akan leluhur mereka gunakan di surga nanti serta kertas uang (duplikat dari uang). Setelah jenazah dikuburkan, semua peralatan yang terbuat dari kertas ini dibakar di dekat kuburan, yang artinya dikirimkan untuk keperluan orang yang meninggal di dunia lain.

Kepercayaan terhadap neraka sama artinya dengan percaya terhadap adanya kehidupan setelah meninggal. Dalam ajaran Konghucu (kitab SuSi) kita tidak menemukan penjelasan seperti apa neraka dan surga. Salah seorang murid dari Konghucu pernah bertanya tentang kehidupan setelah mati, dan dia menjawab: “Pelajarilah dirimu terlebih

Page 99: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

91

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

dahulu, nanti kamu akan mengetahui seperti apa kehidupan setelah meninggal itu.”

Pada umumnya orang China, termasuk orang Hakka di Singkawang, mempunyai pendapat sendiri soal surga dan neraka. Neraka mereka gambarkan sebagai tempat hukuman bagi orang-orang yang banyak berbuat jahat selama hidup. Karena itu, mereka harus dihukum sesuai dengan kejahatan yang mereka perbuat di dunia.

Dalam kosmologi orang China, keadaan di neraka disusun menurut struktur seperti yang ada di dunia. Jika di dunia memiliki penguasa, demikian juga di neraka. Mereka (orang-orang China) tampaknya tidak membedakan antara neraka dan akhirat. Penguasa di neraka disebut dengan “raja”, yang mengambil istilah raja yang ada di dunia. Mereka meyakini bahwa neraka dikuasai oleh seorang raja yang bernama Yen Lo Wang. Raja neraka atau akhirat ini mempunyai pegawai, tidak ubahnya seperti kaisar yang memiliki menteri-menteri sebagai pembantunya. Jika di sebuah kerajaan banyak pegawai yang dapat “disuap” atau disogok, hal yang sama juga berlaku di neraka, yaitu tidak sedikit pegawai-pegawai neraka yang mau disuap (Nio, 1961: 54).

Pembantu-pembantu Yen Lo Wang ini digambarkan memiliki wajah yang menyeramkan. Ada yang mukanya seperti anjing, kerbau, kambing, dan monyet yang menakutkan. Merekalah yang bertugas menyeret roh orang-orang meninggal yang selama hidup banyak berbuat jahat ke hadapan Yen Lo Wang untuk diadili. Mereka juga bertugas memindahkan roh orang-orang yang banyak berbuat kesalahan dari satu tempat ke tempat yang lain atau dari satu ruang hukuman ke ruang hukuman lain, sesuai dengan hukuman yang telah ditetapkan Yeng Lo Wang.

Untuk menjelaskan keadaan sebenarnya di neraka, Nio Joe Lan mengutip pendapat Wu Cheng En dalam sebuah novelnya yang berjudul Hsi Yu Chi. Dalam novel tersebut diceritakan

Page 100: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

92

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

tentang kunjungan Kaisar Li Shih Min dari kerajaan Tang (618-907 M) ke neraka. Kunjungan ini dilakukan oleh kaisar, tentu saja dengan terlebih dahulu meninggal. Setibanya di akhirat atau neraka ia disambut oleh raja Yen Lo Wang. Diantar oleh raja neraka, kaisar diajak melihat-lihat keadaan neraka yang terdiri atas 10 bagian (Nio, 1961: 55; Blomfield, 1985: 42). Tidak jelas dengan maksud 10 bagian ini, apakah sepuluh ruangan ataukah 10 tempat penyiksaan. Fung Long, narasumber penulis di Singkawang, menafsirkan 10 bagian itu dengan 10 ruang penyiksaan. Kesepuluh ruangan itu ditempati oleh roh-roh orang yang meninggal sesuai dengan hukuman yang dikenakan kepadanya. Jika kesalahan orang tersebut di dunia banyak, rohnya mulai disiksa di ruang pertama dan seterusnya sampai ke ruangan 10. Jika kesalahan seseorang sedikit, rohnya langsung dimasukkan ke ruangan kesepuluh. Setelah penyiksaan selesai, rohnya dapat langsung lahir kembali.

Meskipun sudah melihat-lihat neraka, Kaisar Li Shih Min juga akan dimasukkan ke sana. Namun, karena pegawai-pegawai neraka bersimpati pada Kaisar Li Shih Min, mereka mengubah usia Kaisar dalam buku catatan umur di akhirat. Dengan demikian, umur kaisar bertambah dari umur semula yang telah ditetapkan dan belum sampai waktunya Kaisar diperiksa oleh raja neraka atau mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia. Para pegawai neraka kemudian mengirimkan kaisar ke dunia untuk menikmati sisa umurnya.

Saat akan pulang ke dunia, kaisar bertanya kepada pegawai-pegawai di neraka, “Barang apakah yang tidak ada di neraka?” Penjaga menjawab, “Barang yang tidak ada di neraka adalah buah semangka.” Untuk membalas kebaikan mereka, kaisar berjanji akan mengirimkan buah tersebut ke neraka setelah tiba di dunia. Setelah kaisar Li Shih Min tiba kembali ke dunia, dicarinya orang yang dapat membawa semangka ke neraka. Untuk melakukan tugas tersebut, orang itu harus

Page 101: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

93

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

rela meninggal walaupun waktu dia untuk meninggal belum tiba. Orang yang diinginkan kaisar telah ditemukan, dan buah semangka lalu dikirimkan untuk pegawai-pegawai neraka (Nio, 1961: 56). Tradisi pengiriman buah semangka ini terus berlangsung di kalangan orang China sampai sekarang, yang diresmikan dalam upacara kematian.

Pengaruh cerita Li Shih Min ini cukup besar di kalangan orang-orang Hakka di Singkawang. Saat jenazah akan diberangkatkan ke kuburan, pihak keluarga biasanya membanting semangka di depan pintu, dengan maksud agar buah ini dikirimkan ke para pegawai neraka. Makna lain pengiriman buah ini, selain meneruskan tradisi leluhur, juga terkandung maksud “menyogok” para pegawai neraka agar roh yang meninggal mendapat kemudahan dan keringanan dalam pengadilan di neraka.

Untuk menggambarkan alam neraka, di beberapa kelenteng dan pekong di Singkawang, terutama di tembok-temboknya, dilukiskan gambar-gambar keadaan roh-roh orang yang sedang disiksa di dalam neraka, seperti orang yang sedang dipotong lidahnya. Ini artinya, semasa hidupnya orang tersebut senang membicarakan orang lain. Ada juga lukisan yang menggambarkan orang yang sedang dipotong tangannya, artinya di masa hidupnya dia senang mencuri. Lukisan-lukisan ini mengajak para pemuja yang datang ke kelenteng untuk berbuat baik dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang jahat.

Gambaran orang China tentang neraka sejalan dengan teori jiwa oleh De Groot (1910: 64). Dalam teorinya, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya (lihat dalam bab 1), De Groot membagi roh-roh orang yang meninggal ke dalam dua bagian: Shen atau hun dan p’o. Apabila seseorang meninggal, maka shen akan naik ke langit dan tinggal bersama Shang Ti (Tuhan), sedangkan p’o tinggal di kuburan bersama tubuh orang yang meninggal. P’o inilah yang membutuhkan

Page 102: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

94

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

pemberian dan pemujaan dari keluarga yang masih hidup, sedangkan shen sebagai jiwa yang lebih tinggi dari p’o tidak membutuhkan pemujaan, tetapi memiliki sifat kasih sayang, melindungi, dan dermawan. Setelah tubuh manusia hancur dimakan tanah, p’o kehilangan tempat tinggal dan akan masuk ke neraka.

Orang Hakka berkeyakinan bahwa tidak mungkin roh-roh leluhur dapat membantu keturunan mereka di dunia jika hidup mereka sendiri di dunia lain tersiksa. Oleh karena itu, dalam upacara pemujaan leluhur selalu kita dengar mantra-mantra yang diucapkan oleh para pemuja ataupun pemimpin upacara yang memohon kepada Thian agar kehidupan leluhur mereka bahagia dan diringankan siksanya.

Agama Orang HakkaAgama yang mereka anut masih diselimuti oleh keyakinan

pada roh-roh dan dewa-dewa (keyakinan animisme) serta kekuatan magi. Meskipun dalam kenyataannya sebagian besar telah menganut agama Buddha, mereka masih tetap meyakini agama tradisionalnya, yaitu gabungan antara Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme.

Sebagian besar orang Hakka di Singkawang (lebih kurang 60 persen) menganut agama Buddha, Buddha Tridharma, dan Konghucu. Sebanyak 99 persen kelenteng di Singkawang adalah kelenteng yang bercorak Tridharma, di dalamnya terdapat patung Lao-tze, Konghucu, dan Buddha yang dipuja. Kemudian ada patung-patung dewa lain, seperti Kwan Kong (dewa perang), yang juga ikut dipuja.

Walaupun sebagian besar secara resmi menganut agama Buddha dan sebagian kecil menganut agama Katolik dan Kristen, banyak di antara mereka yang menyatakan diri menganut agama Konghucu. Meski demikian, di antara mereka ada yang dengan tegas menyatakan bahwa Konghucu

Page 103: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

95

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

bukanlah agama, melainkan filsafat dan etika kehidupan keluarga. Beberapa tokoh agama di Singkawang yang saya wawancarai mengatakan bahwa antara Konfusianisme dan Taoisme sulit dipisahkan sebab kedua ajaran itu lahir di wilayah yang sama dengan perbedaan waktu yang tidak begitu lama. Adapun Buddhisme, menurut mereka, masih dapat dipisahkan dari Konfusianisme dan Taoisme karena Buddhisme tidak lahir di China, tapi di India. Ajarannya dapat masuk ke China karena dibawa oleh para pedagang China yang pulang dari India dan mempelajari agama Buddha di sana. Meskipun demikian, dalam praktik keagamaan orang Hakka, ketiga ajaran ini saling melengkapi dan selalu dijadikan acuan dalam kehidupan sehari-hari.

Dilihat dari sudut pandang keyakinan agama, orang Hakka dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu mereka yang taat menjalankan ibadah dan yang tidak taat. Bagi yang taat, mereka rajin datang ke kelenteng, yang disebut juga wihara saat Ce It dan Cap Go atau setiap tanggal 1 dan 15 tiap bulan berdasarkan tahun Imlek (tahun yang didasarkan peredaran bulan) untuk melakukan sembahyang atau pemujaan pada dewa-dewa kelenteng atau pekong. Tujuannya untuk memohon kepada dewa-dewa kelenteng agar melindungi mereka dan mengabulkan permintaan sesuai dengan apa yang mereka inginkan.

Ada juga yang datang ke kelenteng atau pekong setiap hari, tapi jumlahnya tidak banyak. Selain setiap tanggal 1 dan 15 tiap bulannya, hari raya Imlek dan Cap Go Meh juga dilakukan mereka untuk sembahyang di kelenteng. Pada hari raya Cap Go Meh, toko-toko yang menjual alat-alat sembahyang akan panen rezeki. Beberapa narasumber mengatakan, sembahyang ke kelenteng atau pekong adalah kewajiban yang diwariskan secara turun-temurun. Di kelenteng atau pekong, mereka bisa minta apa saja kepada dewa-dewa dan leluhur.

Page 104: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

96

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Bagi yang tidak taat, mereka masih tetap melakukan sembahyang ke kelenteng satu tahun sekali saat tahun baru Imlek, termasuk sembahyang pada tanggal 15 bulan pertama Imlek (Cap Go Meh) atau penutupan hari raya Imlek. Di kalangan muda (termasuk mereka yang masih pelajar), sudah banyak yang menganut agama Katolik dan Kristen, tapi tradisi China, seperti perayaan tahun baru Imlek (setiap tahun), masih tetap dirayakan, dalam bentuk-bentuk yang sudah disesuaikan dengan agama yang mereka yakini. Mereka mengatakan, perayaan tahun baru Imlek bukanlah milik salah satu agama, melainkan milik orang China pada umumnya, tidak peduli apakah mereka menganut agama Konghucu, Buddha, Katolik, atau Kristen. Adapun bagi mereka yang sudah menganut agama Islam (jumlahnya sangat kecil), mereka sudah meninggalkan kebudayaan China dan mengikuti kebudayaan orang Melayu serta menjalankan agama Islam sepenuhnya.

Beberapa orang Hakka ada yang senang datang ke tempat-tempat keramat atau suci, seperti di desa Roban. Di situ terdapat sebuah batu besar yang diyakini masyarakat Hakka sebagai tempat tinggal seorang dato (kakek). Dato ini menurut keyakinan mereka dapat mengabulkan permintaan, menyembuhkan penyakit, dan dapat pula memberikan seseorang nomor yang dapat dijadikan taruhan untuk berjudi. Karena banyak di antara mereka yang menang setelah datang ke sini, orang Hakka lainnya juga mencoba meminta nomor dengan melakukan pemujaan terhadap batu besar tersebut dan memberikan persembahan makanan kepada sang dato.

Dato diyakini masyarakat setempat berasal dari roh orang Melayu yang beragama Islam, dan roh orang Dayak yang non-Islam, dan telah lama meninggal. Sebelum meninggal, dia memiliki ilmu yang banyak, termasuk ilmu hitam. Roh dato dapat dipanggil oleh tathung (dukun) untuk mengobati karena dukun secara pribadi memeliharanya agar

Page 105: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

97

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

dapat selalu bersama dan setiap saat bisa dimintai bantuan. Apabila roh dato ini masuk dalam diri seseorang, maka orang itu dapat kesurupan dan apa saja yang dimohonkan padanya dapat dilayani.

Di beberapa pekong di Singkawang, ada patung yang mereka agungkan, disebut To Pe Kong. Di Malaysia disebut Tua Pe Kong dan di China disebut Tuti Kong (dewa bumi). Menurut keyakinan orang Hakka di Singkawang, setiap jengkal tanah yang ada di bumi ini ada yang menguasainya. Di setiap desa atau kota ada sebuah pekong untuk memuja To Pe Kong yang dianggap penguasa di desa atau di kota tersebut. Jika seseorang memiliki masalah, dia dapat mendatangi pekong untuk meminta bantuan pada Tua Pe Kong atau dewa bumi.

Andaikata kita mendirikan bangunan di satu wilayah (desa atau kota), misalnya rumah ibadah atau pekong atau kelenteng, maka roh yang kita puja, yang kita anggap menguasai daerah itu, juga akan bertempat tinggal di kelenteng tersebut. Kalau kita sembahyang di sana, berarti kita memuja dia. Jika pendiri pekong itu meninggal, namanya akan dijadikan nama pekong tersebut. Fotonya juga akan diletakkan di altar sembahyang di salah satu ruangan di pekong tersebut. Kepadanya disuguhkan makanan, dinyalakan hio dan lilin, serta disediakan minuman, dan orang tersebut dipuja oleh masyarakat sekitar karena dianggap orang setengah dewa. Jika seseorang yang sering memuja dan minta perlindungan kepada pekong tersebut pindah ke tempat lain, dalam waktu-waktu tertentu dia akan kembali ke sana untuk bersembahyang. Sebab, ada keyakinan orang Hakka, jika kita sembahyang di salah satu pekong atau kelenteng dan ternyata bisnisnya semakin baik, berarti kita cocok sembahyang di kelenteng tersebut.

Page 106: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

98

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Pada hari-hari raya, seperti Imlek dan Cap Go Meh,26 pemujaan terhadap bermacam-macam dewa, termasuk pemujaan leluhur, bergabung menjadi satu. Orang yang datang ke pekong—setelah membeli alat-alat sembahyang, seperti lilin, hio, kertas uang untuk dewa, dan kertas uang untuk leluhur—sembahyang dan memuja semua patung-patung dewa yang ada di pekong tersebut, termasuk memuja Thian. Setelah itu mereka membakar kertas uang untuk dipersembahkan kepada para dewa. Ketika berpindah ke pekong lain, mereka juga melakukan hal yang sama. Menurut salah seorang yang penulis wawancarai, sekali sembahyang dia menghabiskan uang Rp 5.000 hingga Rp 15.000. Jadi, untuk sembahyang tahun baru, dalam satu hari dia bisa sembahyang tiga kali, maka dia akan menghabiskan uang sebesar Rp 30.000 hingga Rp 45.000.

Sebagaimana layaknya orang China, orang Hakka di Singkawang juga percaya pada chiamsi (batangan bambu yang digunakan untuk melihat keberuntungan atau ramalan) dan sinkaw (terbuat dari kayu atau tembaga yang menyerupai pinang dibelah dua, fungsinya untuk membenarkan ramalan chiamsi). Setelah sembahyang di pekong atau kelenteng, mereka biasanya mengambil chiamsi dan sinkaw di atas altar sembahyang. Kemudian mereka kembali duduk bersimpuh di depan altar sembahyang. Bisa duduk, tapi bisa pula berdiri, mereka kemudian mengguncang batangan chiamsi yang ada di kaleng. Setelah batangan chiamsi keluar, orang itu mengambil dua buah sinkaw dan melambungnya setinggi 1

26 Cap Go Meh artinya 15 hari setelah perayaan tahun baru Imlek. Perayaan Cap Go Meh ini juga sering disebut perayaan penutupan tahun baru Imlek (lihat Nio Joe Lan, 1960). Di Singkawang, perayaan Cap Go Meh ini tidak hanya dilakukan dengan sembahyang kepada Tuhan, dewa, dan roh leluhur, di pekong atau di kelenteng, tapi juga diramaikan dengan pertunjukan keahlian para tathung (dukun), seperti kebal saat menusuk mulut, hidung, dan pipi dengan besi tajam tanpa merasa sakit, dan juga memakan binatang hidup-hidup dan tumbuhan. Tathung yang mempertontonkan kebolehannya tidak kurang dari 400 tathung yang tersebar di seluruh kota Singkawang. Perayaan Cap Go Meh di Singkawang merupakan perayaan Cap Go Meh terbesar di Indonesia. Orang-orang yang menyaksikan perayaan ini berasal dari sekitar Singkawang dan mancanegara.

Page 107: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

99

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

meter dan dibiarkan jatuh di lantai. Jika jatuh dalam keadaan tengkurap dan telentang, maka ramalan yang tertulis di salah satu batang bambu tadi disetujui oleh dewa. Namun, jika kedua sinkaw jatuh dalam keadaan tengkurap atau dalam keadaan terbuka, berarti dewa tidak setuju atas chiamsi yang telah didapatkan tadi. Jika ini terjadi, harus dilakukan pengguncangan ulang. Hal yang sama juga dilakukan pada sinkaw.

Apabila antara chiamsi dan sinkaw sudah cocok, maka batang chiamsi yang diperoleh dicocokkan dengan kertas chiamsi. Di kertas yang berukuran 5 cm x 20 cm sudah tertulis terjemahan dari batangan chiamsi. Apa yang harus kita lakukan, sesuai dengan pertanyaan kita, sudah tertulis di kertas tersebut dan ini bisa dijadikan pedoman bagi pemuja untuk bertindak dalam kehidupan sehari-hari.

Ada perbedaan yang terjadi di kelenteng-kelenteng di Singkawang dan kelenteng Sam Po Kong di Semarang. Di Singkawang, sebagian besar pemuja yang menggunakan chiamsi dan sinkaw adalah orang-orang China yang beragama non-Islam, tapi di kelenteng Sam Po Kong di Semarang, tidak hanya orang-orang Indonesia peranakan China, tapi juga orang-orang Jawa yang beragama Islam.

Pemujaan kepada Tuhan Allah Orang China umumnya memuja Tuhan Allah di pekong

atau kelenteng. Istilah Tuhan Allah ini tampaknya merupakan percampuran antara bahasa Melayu (Tuhan) dan bahasa Arab (Allah) yang mempunyai arti yang sama, yaitu Tuhan. Orang-orang China peranakan di Jawa yang umumnya adalah orang Hokkian menyebut Tuhan Allah dengan sebutan Thi Kong. Di kalangan orang-orang China atau orang-orang Hokkian peranakan yang menyatakan beragama Konghucu menyebutnya Thian atau Siang Tee. Di dalam cerita-cerita

Page 108: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

100

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

rakyat, ia sering dijumpai dengan sebutan Giok Hong Siang Tee, yang umumnya dipakai di kalangan pengikut ajaran Tao. Tuhan Allah ini dipandang sebagai penguasa tertinggi yang menguasai langit, bumi, dan seisinya (Willmott, 1960: 207).

Masyarakat Hakka di Singkawang juga mengenal dan memuja Tuhan Allah. Pada hari raya Imlek, khususnya saat hari raya Cap Go Meh, Tuhan Allah bersama dewa-dewa lain dipuja di dalam dan di luar pekong atau kelenteng. Biasanya di halaman terbuka yang luas dibuatkan altar tempat pemujaan secara bertingkat. Tingkat paling atas adalah altar tempat pemujaan Tuhan Allah, dan altar yang lebih rendah sampai ke tanah adalah altar untuk dewa bumi yang diyakini sebagai wakil dari Tuhan Allah di bumi.

Saat menjelang perayaan Cap Go Meh, mereka juga mengeluarkan patung Tua Pek Kong bersama altar yang ada di dalam pekong untuk ditempatkan tidak jauh dari altar Tuhan Allah dan dewa-dewa lain. Pemujaan terhadap Tua Pek Kong, dilakukan setelah memuja Tuhan Allah dan dewa-dewa lain. Mereka juga sering membuat sebuah altar yang diletakkan tidak jauh dari tempat pemujaan Tua Pek Kong, yang digunakan untuk melakukan pemujaan pada roh leluhur.

Tuhan Allah berbeda dengan dewa-dewa dan roh-roh. Jika dewa-dewa dan roh-roh dapat dilunakkan hatinya dengan menyuguhkan berbagai makanan supaya mereka dapat membantu manusia, Tuhan Allah tidak karena dia tidak butuh makan. Oleh karena itu, sembahyang pada Tuhan Allah cukup dengan menyalakan beberapa batang hio dan lilin saja. Meskipun begitu, orang-orang Hakka sering terlihat menyuguhkan makanan di altar tempat sembahyang Tuhan Allah. Namun, itu bukanlah untuk Tuhan Allah, melainkan untuk para pembantunya, seperti dewa-dewa. Orang China Hakka di Singkawang meyakini bahwa Tuhan Allah mempunyai pembantu, seperti dewa-dewa.

Page 109: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

101

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

Di Singkawang, khususnya di pekong atau di kelenteng, tempat sembahyang kepada Tuhan Allah ini terdapat di halaman depan pekong atau kelenteng. Pada hari-hari tertentu, misalnya saat Imlek dan Cap Go Meh, orang-orang Hakka yang datang ke pekong melakukan sembahyang kepada Tuhan Allah di luar pekong. Setelah itu mereka masuk ke pekong untuk sembahyang kepada dewa-dewa dan leluhur.

Jika di pekong atau di kelenteng, pemujaan terhadap Tuhan Allah dilakukan di halaman depan. Pemujaan terhadap Tuhan Allah yang dilakukan di rumah pribadi biasanya dilakukan di halaman dan sangat sederhana, yaitu cukup dengan membakar beberapa batang hio dan menghadap ke langit. Beberapa orang yang penulis wawancarai menyatakan bahwa sebelum melakukan sembahyang di kelenteng atau pekong, mereka juga harus mempersembahkan hio kepada dewa Hun Sen (dewa penjaga pintu) yang ada di samping kiri dan kanan pintu masuk pekong atau kelenteng (berupa patung binatang) agar mereka tidak mengganggu dan sekaligus minta izin pada mereka.

Banyak penafsiran kenapa hio selalu ditancapkan di sebelah kiri pintu masuk rumah. Seorang tua (Fu Long) yang berusia 70 tahun menjelaskan bahwa kiri adalah lambang dari laki-laki, penerus garis keturunan, dan kanan adalah simbol untuk wanita. Kalau seorang laki-laki meninggal, maka pekong (tempat pemujaan dewa yang ditugaskan untuk menjaga orang yang ada di kuburan) ditempatkan di sebelah kiri kuburan, posisinya tidak ubahnya seperti letak tempat menancapkan hio di depan pintu masuk. Dan jika yang meninggal itu adalah wanita, maka pekongnya (tempat tinggal dan sekaligus tempat memuja dewa Tuapekong) diletakkan di sebelah kanan kuburan. Begitu juga untuk menancapkan hio di tempat hio setelah melakukan sembahyang, juga harus dilakukan dengan tangan kiri. Jika yang sembahyang

Page 110: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

102

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

atau pemuja itu adalah wanita, dia harus menancapkan hio dengan tangan kanan. Dengan adanya pekong di setiap kuburan dengan sendirinya kita dapat mengetahui apakah yang meninggal itu laki-laki atau perempuan.

Pemujaan pada Tuhan Allah dan Tuapekong (wakil dari Tuhan Allah di dunia) tidak terlepas dari prinsip tukar-menukar pemberian. Tuhan Allah dan Tuapekong dipuja sekaligus dipersembahkan makanan dan minuman. Namun, Tuhan Allah dan Tuapekong dimintai pertolongan dan perlindungannya. Pertolongan yang diberikan Tuhan Allah berupa perlindungan secara umum, sementara perlindungan yang diberikan Tuapekong untuk melindungi orang yang meninggal atau roh-roh leluhur dari gangguan roh-roh jahat. Mereka meyakini roh-roh jahat dapat masuk ke dalam kubur dan mengganggu kehidupan orang yang meninggal sehingga kehidupan orang yang meninggal menjadi tidak tenang.

Pemujaan pada dewa-dewa rumah TanggaKwan Im dikenal masyarakat China yang menganut

agama Buddha dan Buddha Tridharma sebagai dewi kasih sayang. Sebab, dia diyakini dapat mengasihi dan memberikan pertolongan kepada orang yang percaya padanya. Tidak hanya itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Willmott (1960: 206), Kwan Im juga diyakini orang China sebagai dewi yang mampu mengabulkan doa-doa, khususnya doa-doa dari wanita untuk anak-anak dan untuk kesejahteraan keluarga mereka.

Keluarga yang merasa mendapatkan pertolongan dari dewi Kwan Im akan mewujudkan rasa terima kasih dengan memujanya, kadang kala meminta kepada loya (dukun) atau tathung untuk memindahkan dewi Kwan Im dari kelenteng ke rumahnya. Mulai saat itu, keluarga dapat melakukan pemujaan kapan saja mereka mau atau membutuhkannya.

Page 111: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

103

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

Keberadaan dewi Kwan Im di rumah tidak hanya berfungsi sebagai dewi kasih sayang dan penyelamat untuk semua orang yang yakin kepadanya, tapi juga sebagai pelindung dan penyelamat anggota keluarga.

Tempat pemujaan atau altar dewi Kwan Im biasanya dibuat dengan bentuk yang lebih indah dan mewah, tidak seperti tempat pemujaan dewa dapur, dan biasanya berbentuk sebuah meja yang diletakkan di ruang tamu atau di ruangan tersendiri (sering kali juga di lantai dua rumah). Meja tersebut diletakkan di dekat dinding dan di dinding tersebut ditempelkan gambar dewi Kwan Im. Meja tersebut dialas dengan kain merah, di atasnya ada tempat hio, ada 2 batang lilin atau lampu listrik yang berwarna merah yang selalu menyala atau dinyalakan saat akan sembahyang, 1 atau 2 gelas air teh, buah-buahan (jeruk dan apel) yang ditempatkan di dalam piring, dan beberapa batang hio di atasnya. Pemujaan untuk dewi Kwan Im tidak ubahnya seperti pemujaan pada leluhur, tapi seringkali dijumpai pemujaan untuk dewi Kwan Im juga didahului dengan pemujaan pada Tuhan di luar rumah atau di halaman rumah.

Di Singkawang, hampir setiap kelenteng atau pekong yang penulis datangi menempatkan gambar dewi Kwan Im di dinding rumah, tepatnya di bagian atas altar. Banyak pemuja yang datang ke rumah ibadah hanya tahu bahwa dewi Kwan Im adalah dewi kasih sayang dan penyelamat anggota keluarga. Bagi mereka tidak penting mengetahui sejarahnya, yang lebih penting mengetahui fungsi dewi tersebut. Hubungan antara dewi Kwan Im dan para pemujanya tidak jauh berbeda dengan hubungan antara Thian dan Tuapekong dengan pemujanya, yaitu hubungan yang didasarkan pada prinsip tukar-menukar, yaitu para pemuja memuja dewi Kwan Im sekaligus memohon sesuatu padanya, sebaliknya dewi Kwan Im memberikan pertolongan dan perlindungan pada mereka.

Page 112: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

104

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Berikutnya adalah Kwan Kong, pahlawan terkenal dalam masyarakat China yang dianggap dewa perang. Kwan Kong diyakini sebagai panglima perang yang berani dan mampu melumpuhkan musuh-musuhnya (Willmott, 1960: 206). Kwan Kong juga diyakini dapat membuat orang menjadi berani sekaligus sukses dalam berusaha. Umumnya setiap kelenteng di Indonesia menempelkan foto Kwan Kong di dinding kelenteng atau di atas altar sembahyang untuk dipuja dan memohon pertolongan. Tidak hanya di kelenteng atau pekong, gambar Kwan Kong ini juga dapat dijumpai di rumah-rumah orang.

Tempat pemujaan untuk Kwan Kong dijadikan satu dengan tempat pemujaan dewi Kwan Im, kecuali pekong atau kelenteng itu memiliki ruang pemujaan yang cukup besar sehingga dapat menempatkan banyak altar sembahyang untuk dewa-dewa kelenteng atau pekong.

Kwan Kong sering dianggap sebagai dewa pelengkap dari dewa atau dewi yang dipuja. Jika dalam suatu rumah dewa atau dewi utamanya yang dipuja adalah dewi Kwan Im, sering kali keluarga melengkapi pemujaan itu dengan menambahkan dewa-dewa lain, yang mereka pandang dapat membantu memberikan pertolongan kepada keluarga selain dewi Kwan Im.

Fungsi Kwan Kong dalam kehidupan keluarga juga sebagai dewa pelindung dan pemberi rezeki bagi anggota keluarga yang memujanya. Hubungan Kwan Kong dengan para pemujanya (terutama orang-orang Hakka) juga didasarkan pada prinsip timbal balik atau saling memberi.

Selanjutnya dewa dapur. Dewa ini dikenal dengan sebutan Tsou Chun. Ia dikenal dalam mitologi China sebagai wakil dewa langit (dewa tertinggi atau Thian) yang ada di bumi. Setiap menjelang tahun baru Imlek, dia diyakini naik ke langit untuk melaporkan perbuatan setiap orang dalam keluarga di dunia selama 1 tahun (Nio, 1961: 142; Freedman

Page 113: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

105

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

dalam Lessa dan vogt, 1979: 400). Oleh orang China di Jawa umumnya, setiap dewa dapur akan naik menemui dewa langit mulutnya diolesi madu. Ini menyimbolkan agar dewa dapur melaporkan hal-hal yang baik-baik saja. Sementara di China, saat dewa dapur akan naik ke langit, warga memakan permen untuk tujuan yang sama.

Adapun bagi orang-orang Hakka, saat dewa dapur diyakini akan naik ke langit, mereka melakukan upacara dengan menyalakan beberapa batang hio, menyuguhkan sesajian makanan, dan melakukan pemujaan. Pemujaan terhadap dewa dapur ini tidak ubahnya pemujaan terhadap leluhur di depan altar leluhur. Tempat dewa dapur adalah di dapur dekat tempat masak keluarga, yang kadang hanya berupa tempat batang hio (hiolo), tapi kadang keluarga menempatkannya di altar tempat pemujaan dewa-dewa lain. Tempat pemujaan dewa dapur, dari pengamatan penulis selama ini, tidak selalu mewah.

Selama dewa dapur berada di langit, orang Hakka yang masih berpegang teguh pada tradisi leluhur membersihkan tempat pemujaan dewa dapur agar saat turun dari langit, dia senang melihat tempatnya bersih. Semua perbuatan keluarga akan dicatat oleh dewa dapur. Oleh karena itu, orang Hakka selalu memperlakukan dewa dapur dengan baik.

Apa yang dilakukan oleh orang Hakka terhadap dewa dapur juga didasarkan pada prinsip timbal balik. Dewa dapur dipuja, disediakan makanan, dan dibersihkan tempatnya. Sebaliknya, dia diharapkan melaporkan hal-hal yang baik kepada Thian tentang kehidupan anggota keluarga. Jika dewa dapur melaporkan hal-hal yang tidak baik mengenai anggota keluarga di dunia, dikhawatirkan Thian (dewa langit) akan marah dan menghukum anggota keluarga tersebut.

Selain Tuapekong, Kwan Im, Kwan Kong dan dewa dapur, orang Hakka di Singkawang juga meyakini dewa Sun Go Kong sebagai dewa penjaga rumah tangga. Karena fungsinya dapat

Page 114: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

106

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

menjaga, melindungi, dan memberikan pertolongan kepada anggota keluarga, dia juga dibuatkan tempat pemujaan di rumah, dipelihara, disuguhkan makanan dan minuman, dan dipuja setiap pagi dan sore atau saat mereka (orang-orang Hakka) membuka dan menutup tempat usahanya.

Dalam mitologi orang China, dewa Sun Go Kong atau kera sakti ini dikenal sebagai dewa yang baik dan senang membantu orang yang menginginkan pertolongannya. Karena kebaikan dan kesaktian yang dimilikinya, dia dikukuhkan sebagai Buddha. Bagi orang Hakka, dewa ini tidak hanya dapat mengobati orang sakit, tapi juga dapat menjaga rumah dan tempat usaha dari gangguan roh-roh jahat. Beberapa pengusaha keramik yang penulis wawancarai mengatakan bahwa mereka memelihara dewa Sun Go Kong di rumah dan di tempat usaha untuk menjaga keselamatan keluarga dan tempat usaha (supaya usahanya maju dan tidak mengalami gangguan dan kerugian). Dewa Sun Go Kong ini diambil dari seorang tathung (Pak Sun Hew di Singkawang). Beberapa orang Hakka yakin keberhasilan usaha mereka juga tidak terlepas dari pertolongan dewa Sun Go Kong. Oleh karena itu, memujanya setiap pagi dan sore adalah bentuk ucapan terima kasih terhadap pertolongan yang diberikan.

Hubungan antara orang-orang Hakka dan dewa Sun Go Kong juga didasarkan pada hubungan timbal balik. Dewa Sun Go Kong dipelihara, dibuatkan tempat pemujaannya, diberi makan, minum dan dipuja setiap pagi dan sore, sebaliknya dewa tersebut membalas kebaikan seseorang dengan memberikan perlindungan dari gangguan roh-roh jahat, kesehatan, dan memajukan usahanya.

Penulis mengutip pendapat Willmott (1960: 199) yang membagi unsur-unsur penting dari tingkah laku upacara pemujaan dewa-dewa dan roh leluhur yang dilakukan oleh orang-orang China di rumah-rumah ke dalam empat bagian:

Page 115: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

107

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

• Altar (tempat sembahyang atau tempat menyuguhkan makanan kepada roh-roh dan dewa-dewa). Altar sangat bervariasi, mulai dari meja yang sederhana sampai tempat-tempat suci yang mahal sesuai dengan kemampuan setiap keluarga. Altar keluarga itu diletakkan di sebuah toko, di ruang tamu, atau di rumah ibadah yang dibikinkan khusus untuk itu. Di setiap altar diletakkan tempat hio (hiolo). Begitu juga batangan-batangan hio, biasanya diletakkan bersama tempat kembang, dan hiasan-hiasan.

• Mempersembahkan hio. Setelah sebatang atau lebih hio (biasanya 3 batang) dinyalakan, pemuja berdiri di depan altar sambil menggenggam hio dengan kedua tangannya. Kemudian hio tersebut diangkat setinggi muka atau kepala, lalu diturunkan kembali. Hal itu dilakukan berulang sampai tiga kali. Saat itu mereka berdoa, memuja, memohon, serta meminta kepada yang dipuja. Doa-doa, pujian, serta permohonan diucapkan tanpa bersuara dengan mimik sedih atau dengan berserah diri. Upacara dinyatakan selesai apabila hio yang dipegang telah ditancapkan di hiolo.

• Bersujud. Tata cara upacara ini dikenal di Barat dengan sebutan “kowtow”. Pemuja berlutut di depan altar dan menundukkan kepala ke tanah. Hal tersebut dilakukan beberapa kali (umumnya 3 kali) menurut situasi dan kondisi. Lalu pemuja berdiri dan menundukkan kepala beberapa kali, setelah itu upacara dianggap selesai.

• Upacara Memberikan Makanan. Pemberian makanan ini dimulai dengan yang sederhana, seperti menyuguhkan air teh dan nasi putih, kebanyakan menyuguhkan buah, dan menyediakan makanan yang jenis dan banyaknya tergantung keinginan anggota keluarga. Ketika makanan yang disediakan

Page 116: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

108

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

itu sudah siap, dewa-dewa dan roh-roh leluhur diundang. Biasanya dengan sembahyang atau berdoa sambil mempersembahkan hio yang sudah dinyalakan. Sebagai perantara diundanglah Tao Pek Kong (dewa bumi atau tanah, di Malaysia disebut tua pe kong) yang juga sering disebut “roh umum” untuk datang pada acara-acara pesta atau sembahyang pemujaan leluhur. Setelah kira-kira 15 sampai 30 menit atau sampai habisnya hio yang dibakar, pemuja meyakini bahwa makanan itu telah dicicipi oleh roh-roh halus. Setelah upacara selesai, makanan tersebut bisa dimakan oleh anggota keluarga atau dibagikan kepada tetangga dekat, teman-teman, atau para tamu.

Apa yang dikemukakan Willmott di atas dapat juga ditemukan dalam masyarakat Hakka di Singkawang. Namun, masih banyak hal yang perlu ditambahkan mengenai upacara pemujaan pada dewa-dewa dan roh-roh yang dilakukan oleh keluarga-keluarga Hakka di Singkawang, di antaranya:

• Sebelum keluarga melakukan sembahyang atau pemujaan kepada dewa-dewa rumah tangga dan roh-roh leluhur, terlebih dahulu mereka sembahyang kepada Thian (Tuhan) di halaman rumah. Pemujaan dilakukan dengan memegang beberapa batang hio (3 batang) yang sudah menyala, menghadap ke halaman terbuka (membelakangi pintu depan rumah) dengan maksud meminta izin kepada Tuhan untuk melakukan pemujaan kepada dewa-dewa rumah tangga dan roh leluhur. Doa ini diucapkan tanpa suara dengan mengangkat 3 batang hio setinggi muka dan diturunkan lagi, diulangi 3 kali, diakhiri dengan menancapkan 1 batang hio ke tanah untuk dipersembahkan kepada dewa bumi, 1 batang ditancapkan di sebelah kiri pintu masuk untuk

Page 117: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

109

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

dipersembahkan kepada dewa pintu (setiap rumah orang Hakka memiliki tempat menancapkan hio di samping kiri pintu masuk), dan 1 batang ditancapkan di altar tempat sembahyang untuk dipersembahkan kepada roh leluhur. Dipersembahkan kepada dewa bumi agar dia dapat melindungi keluarga dari gangguan roh-roh jahat yang ada di bumi. Dipersembahkan kepada dewa pintu agar dapat menjaga keluarga dari masuknya roh-roh jahat ke dalam rumah. Dipersembahkan kepada leluhur agar dapat memberi berkah, perlindungan, dan rezeki yang banyak pada keluarganya yang masih hidup. Dipersembahkan kepada Tuhan untuk memberikan ucapan terima kasih karena telah memberikan kehidupan.

• Altar sembahyang keluarga (bisa untuk memuja dewa-dewa rumah tangga dan leluhur) biasanya dialasi kain merah, di atasnya diletakkan hiolo, segelas air teh, kadang juga disuguhkan anggur, nasi, jeruk mandarin, apel, 2 batang lilin merah yang menyala, foto orang tua yang meninggal (ukuran 20 x 20 cm dan harus hitam putih), dan lain-lain sesuai keinginan keluarga. Setelah orang tuanya dimakamkan, altar ini tidak lagi ditempatkan di rumah, dan anggota keluarga hanya melakukan sembahyang di kuburan. Karena umumnya orang Hakka di Singkawang tidak lagi menyediakan altar sembahyang di rumah, maka untuk melakukan pemujaan leluhur dilakukan di kuburan. Tradisi ini, menurut Fu Long atau Fung Long (narasumber penulis), sudah hilang sejak tahun '60-an. Tradisi menghilangkan atribut kebudayaan China semakin menguat pasca-pemberontakan PGRS PARAKU tahun 1967, gerakan anti-China terjadi di mana-mana di Kalimantan Barat. Berbeda dengan di

Page 118: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

110

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Jawa, tradisi menyediakan tempat pemujaan leluhur atau altar sembahyang untuk anggota keluarga di rumah masih tetap ada (wawancara, 25 Maret 2003 di Singkawang). Tradisi ini berbeda dengan kebudayaan orang China di Jawa, umumnya orang Hokkian, masih dijumpai tempat pemujaan leluhur di rumah-rumah setelah kematian orang tua atau kakek dan nenek.

• Mempersembahkan hio. Setelah perlengkapan sembahyang tersedia di altar, anak laki-laki tertua menyalakan hio, yang diikuti anak-anak yang lebih muda, untuk melakukan pemujaan. Jika keluarga itu menyediakan tempat pemujaan roh leluhur di rumah, berarti pemujaan itu ditujukan untuk roh leluhur. Namun, jika tidak, berarti pemujaan itu diperuntukkan untuk para dewa rumah tangga. Beberapa narasumber penulis mengatakan, dewa-dewa yang dipuja itu tidak hanya pelindung keluarga, tapi juga dijadikan perantara antara manusia dan roh leluhurnya.

• Selesai sembahyang, makanan yang dihidangkan, seperti daging babi atau ayam, dimasak dan dimakan bersama oleh keluarga atau dibagikan kepada tetangga dan kerabat. Buah-buahan tetap disimpan di altar selama beberapa hari karena awet. Setelah itu mereka berbincang santai. Pembicaraan seputar bisnis antarkeluarga dan hal-hal lain seperti politik.

Andaikata sembahyang atau pemujaan kepada leluhur dilakukan di kuburan orang tua atau kakek dan neneknya, bentuk sesembahannya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan di rumah meski persembahannya lebih banyak dan upacara sembahyang dipimpin oleh pemimpin upacara (bosong) dari orang Hakka sendiri, kalau memang masih

Page 119: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

111

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

ada kaitan dengan upacara kematian. Untuk upacara ceng beng dan Shi Khu (bulan 3 dan 7 Imlek) biasanya tidak menggunakan bosong, tapi oleh anggota keluarga.

Hubungan antara pemuja dan bosong juga didasarkan pada prinsip tukar-menukar pemberian prestasi. Bosong membantu para pemuja memimpin upacara atau menghubungkan antara roh-roh leluhur dan keturunannya, sebaliknya pemuja atau anak cucu dari yang meninggal memberikan hadiah atau membayar jasa yang diberikan oleh bosong. Meskipun tidak ditentukan jumlahnya, bayaran itu bersifat wajib. Orang yang membayar tidak sesuai dengan jasa yang diberikan bosong akan merasa malu. Akan tetapi, bila jumlah yang diberikan lebih besar, dia akan selalu dikenang, dan untuk bantuan berikutnya bosong akan memberikan jasa lebih besar lagi. Oleh karena itu, semakin besar jasa yang diberikan bosong, semakin besar pula bayaran yang akan dia terima. Semakin banyak permintaan pemuja yang terkabul, semakin besar pula bayaran yang diberikan kepada bosong.

Toleransi KeagamaanDengan melihat agama-agama orang Hakka di Singkawang,

kita dapat menggambarkan ciri-ciri umum keagamaan orang-orang China di luar Singkawang. Bentuk-bentuk toleransi keagamaan sangat berbeda antara satu daerah dan daerah lain, walaupun mereka memiliki suku bangsa yang sama, yaitu suku bangsa Hakka, atau sesama suku bangsa Teochiu, ataupun sesama Hokkian. Misalnya orang Hokkian yang berada di Jawa berbeda dengan orang Hokkian di Kalimantan dan Medan. Hal ini dipengaruhi oleh kebudayaan setempat di mana mereka berada, terutama kebudayaan lokal yang telah mengambil bagian dalam kehidupan keberagamaan mereka. Begitu juga dalam upacara penguburan jenazah, mereka tidak hanya mengambil dari tradisi Taoisme, Konfusianisme,

Page 120: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

112

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

dan Buddhisme, tapi juga dari tradisi lokal. Ini menunjukkan bahwa orang China mudah menyesuaikan diri terhadap tradisi agama-agama di luar agama yang mereka yakini atau agama lokal.

Yang penulis maksud toleransi keagamaan di sini adalah usaha yang dilakukan oleh orang Hakka di Singkawang dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan agama di luar mereka, keikutsertaan mereka dalam kelompok-kelompok keagamaan dan organisasi sosial, sehingga mereka dapat diterima di semua kalangan, baik dalam kelompok sendiri (kalangan orang Hakka) maupun di luar kelompok mereka.

Secara umum, toleransi keagamaan orang China banyak ditulis oleh para sarjana, di antaranya Olga Lang (1946: 290-291) dan Willmott (1960: 182-183). Kedua sarjana ini menyatakan bahwa toleransi beragama itu tidak hanya semata-mata didasarkan pada adanya perbedaan dan persamaan antara agama yang satu dan agama yang lain, tapi juga pada adanya rasa penghormatan yang tulus terhadap semua agama yang ada. Ciri-ciri semacam ini juga dapat dijumpai di kalangan orang Hakka di Singkawang. Berikut ini beberapa contoh mengenai toleransi beragama yang dipraktikkan oleh seorang Hakka yang diambil dari beberapa pengamatan langsung, wawancara, dan pergaulan dengan Akong (Bong Wie Kong) yang berusia 50 tahun. Dia menjelaskan praktik toleransi beragama yang dilakukannya.

Ayah Akong dan istrinya adalah penganut Buddha Tridharma. Dia adalah tokoh penting dalam organisasi keagamaan tersebut. Apabila ditanya mengenai agama yang dipeluknya, secara tegas dia mengatakan menganut agama Konghucu karena anggota keluarganya masih tetap mempertahankan tradisi pemujaan leluhur yang merupakan bagian dari ajaran san kang (tiga hubungan, yaitu atasan dengan bawahan, suami dengan istri, dan ayah dengan anak) dari Konghucu. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya,

Page 121: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

113

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

ayah Akong bekerja sebagaimana layaknya orang Hakka di Singkawang, yaitu berdagang obat tradisional. Dia mempunyai 3 anak: 1 laki-laki dan 2 perempuan. Semua anaknya, baik yang masih SD, SMP, maupun SMA, dimasukkan ke sekolah Katolik. Tujuannya bukan untuk menyuruh anaknya masuk agama Katolik, melainkan karena kualitas pendidikan dan disiplin sekolah cukup baik. Selain itu, ayah Akong juga tidak melarang anak-anaknya mengikuti perayaan agama Katolik, tapi di rumah dia mendidik anak-anaknya dengan agama yang diyakini dan tetap memerintahkan anaknya untuk selalu hormat kepada orang tua dan leluhur atau memuja roh-roh leluhur mereka.

Pada tahun baru Imlek dan hari raya Cap Go Meh, Akong mengajak anak-anaknya bersembahyang atau melakukan pemujaan kepada Thian (Tuhan), dewa-dewa, roh-roh suci, dan roh-roh leluhur di kelenteng, sekaligus merayakan bersama keluarga di rumah serta mengunjungi sanak keluarga. Mereka menganggap Imlek dan Cap Go Meh adalah hari raya yang telah dilestarikan sejak nenek moyang dahulu dan harus diteruskan oleh generasi akan datang atau sekarang.

Sebagai bentuk mempertahankan tradisi leluhurnya, Akong bersama keluarganya tetap melaksanakan pemujaan leluhur di kuburan. Saat sembahyang satu tahun setelah kematian orang tua perempuannya, ayah Akong bersama anak-anak, istri, dan keluarga dari adik laki-lakinya berangkat ke kuburan (sekitar pukul 04.00 subuh) untuk melakukan sembahyang atau pemujaan pada roh orang tua mereka.

Setelah upacara selesai, semua makanan yang dipersembahkan kepada roh leluhur dibawa pulang dan dimakan bersama anggota keluarga. Mereka menganggap makanan yang baru dipersembahkan kepada leluhur itu dapat mengeratkan hubungan kekeluargaan antara yang hidup dan yang meninggal. Makanan tersebut dianggap suci

Page 122: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

114

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

karena sudah dimakan oleh roh-roh leluhur yang mereka anggap suci. Beginilah cara Akong menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada anak-anaknya. Meski dipersilakan mempelajari agama lain di sekolah, anak-anak sama sekali tidak meninggalkan agama yang diajarkan dan dijalankan orang tuanya.

Berbeda dengan keluarga Akong, tetangganya, keluarga Dalemonte, adalah penganut Katolik. Pekerjaannya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Para pegawainya orang Melayu Singkawang yang beragama Islam. Sama dengan Akong, dia juga menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik. Ini menunjukkan bahwa orang Hakka tidak semuanya beragama Buddha dan Konghucu.

Setiap bulan 3 tahun Imlek dan bulan 7 tahun yang sama (Ching Ming atau Ceng Beng) dan pada hari sembahyang untuk roh-roh yang tidak memiliki keluarga di dunia atau shiku atau sembahyang rebutan (bulan 7 Imlek, yang juga berlaku di daerah-daerah lain di Indonesia dan China umumnya), mereka masih mengunjungi kuburan orang tua, kakek dan nenek mereka, untuk membersihkan dan sembahyang kepada roh-roh leluhur mereka. Tidak hanya itu, dia juga merayakan Imlek dengan menyediakan makanan-makanan tahun baru dan sembahyang ke kelenteng. Dia mengatakan, apa yang dilakukannya tidak ada kaitan dengan agama karena hanya sekadar kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Anak-anaknya pun juga melakukan hal yang sama dan sama sekali tidak bertanya kenapa tradisi ini tetap dipertahankan.

Romo William Chang di Gereja Katedral Pontianak, yang juga seorang Hakka yang lahir di Sambas, mengatakan bahwa agama Katolik tidak melarang orang-orang China melestarikan adat istiadat yang sudah turun-temurun dipraktikkan dan juga tidak melarang orang China melakukan praktik pemujaan leluhur (wawancara 14 Oktober 2002).

Page 123: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

115

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

Adapun agama Kristen melarang penganutnya melakukan pemujaan leluhur, sebagaimana yang dinyatakan oleh Suh Sung Min (2001: 35), penyebar Injil dari Gereja Presbyterian Korea, yang menulis buku Injil dan Penyembahan Nenek Moyang. Bagi Suh Sung Min, pemujaan leluhur tentu saja dilarang oleh Injil karena sama artinya dengan memuja dewa atau patung, bukan menyembah Tuhan. Injil tidak membenarkan pemujaan selain Tuhan.

Berbeda dengan Akong dan Dalemonte, William adalah penganut agama Kristen yang taat. Meski menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Katolik, dia kuat dengan pendiriannya sebagai penganut Kristen. Dia menganggap bahwa apa yang dilakukan teman-temannya yang masih memuja roh-roh dan dewa-dewa adalah suatu perbuatan irasional, dan itu adalah bentuk dari penyembahan berhala. Dengan tegas dia mengatakan bahwa dia tidak memuja, tapi menghormati leluhur karena leluhur telah membesarkan keturunannya, membuat keturunannya menjadi berhasil. Dia masih merayakan Imlek, tetapi dengan bentuk lain, yaitu datang ke gereja dan bersembahyang kepada Tuhan Yesus untuk menyatakan terima kasih atas apa yang telah diberikan Tuhan selama ini .

Penulis juga mewawancarai seorang pendeta (orang Dayak) agama Protestan di daerah Menjalin (Mempawah Hulu), Kabupaten Landak, yang melarang pemujaan kepada leluhur, pada dewa-dewa, roh-roh, dan orang-orang yang didewakan. Bagi dia, perbuatan itu adalah perbuatan tahyul dan salah satu bentuk dari penyembahan berhala. Bagi dia, apa yang dilakukan oleh orang-orang China, khususnya orang Hakka atau suku bangsa apa pun yang masih memuja suatu kekuatan selain Tuhan, dianggapnya salah menurut ajaran Protestan (wawancara tanggal 1 Januari 2003 di Menjalin). Meskipun dalam ajaran Protestan melarang penganutnya melakukan pemujaan leluhur, Pak William

Page 124: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

116

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

masih tetap melaksanakan pemujaan leluhur di kuburan leluhurnya, terutama saat perayaan Ceng Beng. Bagi dia ini bukanlah pemujaan, melainkan mendoakan dan mengenang jasa-jasa leluhur. Dengan demikian, pemujaan leluhur dapat ditafsirkan lain oleh keluarga yang melakukannya.

Amui, penganut Buddha Tridharma, di KTP-nya tercantum beragama Buddha, tapi ketika saya tanya agamanya, dengan tegas menjawab penganut Konghucu sejati. Dia menjelaskan, agama Buddha yang tercantum di KTP-nya itu adalah pemberian pemerintah karena waktu itu agama Konghucu tidak diakui pemerintah dan tidak boleh dicantumkan di KTP (wawancara 5 Februari 2003). Dalam kehidupan sehari-hari dia melestarikan ajaran Konghucu dan terkadang ajaran Tao, khususnya pada upacara-upacara tertentu, seperti perayaan Cap Go Meh. Namun, hal-hal yang menyangkut kehidupan setelah mati, Amui mengambil ajaran Buddha. Oleh karena itu, dia dikenal sebagai tokoh agama Buddha Tridharma karena tidak terlepas dari ketiga ajaran tersebut.

Tampaknya pendapat Jochim (dalam Redfield, 1956) mengenai great tradition dan little tradition masih berlaku dalam masyarakat Hakka di Singkawang. Keduanya masih diyakini sebagian besar orang Hakka dan telah dijadikan pedoman dalam kehidupan mereka.

Meski di antara Akong, Dalemonte, William, dan Amui menganut agama di luar agama Konghucu, pemujaan terhadap leluhur tidak mereka tinggalkan. Bagi mereka, pemujaan leluhur tidak semata-mata bersembahyang, tapi juga mengucapkan terima kasih atas apa yang diberikan oleh leluhur selama mereka hidup. Tanpa usaha keras mereka (leluhur) tidak mungkin anak-cucunya dapat menjadi orang sukses. Pemberian dan kerja keras yang diberikan oleh leluhur harus dibalas dengan melakukan pemujaan, mempersembahkan makanan dan minuman kepada mereka

Page 125: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

117

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

(leluhur) dengan cara berulang-ulang di waktu-waktu tertentu.

Orang Hakka di Singkawang tidak hanya toleran terhadap agama-agama yang dianut orang-orang Hakka lainnya, seperti Buddha, Katolik, Protestan, tetapi juga terhadap agama Islam. Pak Akong misalnya sering mengajak saya ke tempat orang Islam yang meninggal, ke undangan maulidan, atau pernikahan dan sunatan. Banyak orang Melayu yang mengatakan bahwa Pak Akong sering memenuhi undangan orang Islam yang mengadakan perayaan atau kematian. Sebagai balasannya, apabila orang Hakka mengadakan ulang tahun pekong atau kelenteng, mereka juga mengundang orang-orang yang beragama Islam untuk makan bersama. Agar orang Islam yang diundang tidak merasa ragu memakan makanan yang disediakan orang-orang Hakka (karena mengandung babi), maka mereka menggunakan tukang masak dan pelayan yang beragama Islam.

Orang Hakka di Singkawang tidak terlalu fanatik dengan agama yang mereka yakini. Ini terlihat dalam pemilihan sekolah untuk anak-anaknya. Sebelumnya sudah saya katakan bahwa banyak orang Hakka di Singkawang yang menganut agama Konghucu, agama Buddha, dan agama Buddha Tridharma, tetapi memilih sekolah Katolik sebagai tempat anaknya menuntut ilmu. Bagi mereka, sekolah apa pun tidak menjadi masalah asalkan memiliki disiplin dan berkualitas. Mungkin keyakinan ini juga yang membuat sebagian orang Hakka di Singkawang tertarik untuk menyekolahkan anaknya ke Sekolah Menengah Ekonomi Syafiuddin. Sekolah ini merupakan Yayasan Islam, jumlah muridnya mencapai 600 orang. Menurut keterangan kepala sekolahnya, 95 persen siswa di sekolah ini adalah orang China Hakka dan tidak beragama Islam. Mereka diajarkan agama Islam, dan nilai pelajaran agama yang mereka peroleh sering kali lebih tinggi dari nilai yang diperoleh siswa yang beragama Islam.

Page 126: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

118

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Mereka ini tidak hanya diajarkan tentang Islam, tapi juga dilibatkan dalam kepanitiaan untuk memperingati hari-hari besar Islam. Apabila perayaan hari besar Islam itu diadakan di masjid-masjid, mereka juga ikut mendengarkan ceramah Islam yang diberikan oleh ustaz-ustaz di masjid. Hal yang sama juga sering dilakukan di sekolah dan mereka cukup aktif mengikuti perayaan hari besar Islam tersebut.

Bagi mereka, agama apa pun baik. Meski belajar Islam di sekolah, itu tidak membuat mereka melupakan agama tradisional, yaitu Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme, serta kepercayaan terhadap dewa-dewa lokal. Yang jelas, pengetahuan mereka tentang Islam semakin mendalam dan toleransi terhadap agama lain cukup tinggi.

Praktik magi Orang HakkaOrang Hakka meyakini di dunia ini banyak ilmu hitam

yang dapat mencelakakan orang lain. Biasanya menggunakan dukun sebagai perantara, yang disebut tathung, tapi juga dapat menggunakan dukun di luar orang Hakka dengan perjanjian dosa ditanggung oleh orang yang memesan. Ilmu hitam ini tidak hanya diperoleh dari dukun orang Hakka, tapi juga dukun orang Dayak. Dukun orang Dayak dipilih karena dikenal memiliki ilmu hitam yang sangat hebat. Orang yang terkena ilmu hitam orang Dayak sulit diobati, kecuali yang mengobati adalah juga dukun orang Dayak.

Bagi orang Hakka, perselisihan dalam bisnis dan organisasi dapat menimbulkan permusuhan. Apabila tidak bisa dengan cara-cara baik, perselisihan dapat diselesaikan menggunakan makhluk-makhluk tidak nyata. Cara ini dianggap paling aman untuk membalas sakit hati atau dendam karena sulit dibuktikan pelakunya. Penggunaan ilmu hitam ini dilakukan dukun dengan mengadakan upacara. Alat-alat yang digunakan adalah telur, kembang, paku dan

Page 127: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

119

KOSMOLOGI, AGAMA, DAN MAGI

jarum, hio, darah ayam, dan darah anjing. Jarum atau paku dikirim ke orang yang menjadi sasaran sehingga masuk ke dalam tubuh tanpa kelihatan. Tubuh orang ini akan menjadi sakit, seperti ditusuk jarum atau paku, yang tidak dapat disembuhkan dengan cara medis, kecuali melalui dukun. Dukun akan mengeluarkan barang-barang dari dalam tubuh orang tersebut. Untuk mengeluarkan barang-barang ini, orang Hakka biasanya menggunakan dukun orang Dayak karena mereka dianggap mampu mengatasi masalah ini. Ada yang melakukan pengobatan dengan memanggil roh-roh yang mereka pelihara, tapi ada juga yang tidak, cukup dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki.

Agar orang tidak terkena ilmu hitam atau sudah terkena tapi tidak untuk yang kedua kalinya, tathung akan memberikan alat untuk menangkal atau menghindari dari serangan itu. Alat-alat itu berupa jimat atau phu yang ditulis di secarik kertas tipis berwarna kuning atau hijau. Tulisannya menggunakan hurup kanji, yang ditulis oleh dukun saat dia kemasukan roh-roh halus.

Jimat tersebut dapat ditempel di depan pintu masuk agar roh-roh jahat tidak bisa masuk ke rumah atau disimpan di dompet, kantong baju, dan celana sebagai pelindung diri. Cermin juga dapat digunakan sebagai jimat yang khusus dipasang di atas pintu rumah. Jika dukun atau ahli fengsui mengatakan bahwa di bagian tertentu di rumah dapat memberikan pengaruh yang tidak baik, maka dia dapat menyuruh pemilik rumah memasang cermin di tempat tersebut sebagai penangkal pengaruh buruk.

Orang yang akan membalas dendam juga dapat melakukan sendiri, tapi harus berguru kepada orang lain atau dukun agar memiliki kemampuan layaknya seorang dukun. Ilmu yang dipelajari berupa ilmu kebal sehingga tidak dapat dilukai senjata tajam. ilmu yang dapat membuat orang bisa

Page 128: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

120

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

menghilang, terbang, dan lain-lain sesuai keinginan orang bersangkutan.

Konsep Orang Hakka mengenai dunia gaib dan kedudukan manusia serta hubungannya dengan dunia gaib merupakan konsep yang dipinjam dari kebudayaan orang China dan dari kebudayaan lokal, seperti Dayak dan Melayu. Dapat disimpulkan bahwa mungkin konsep asli dalam agama orang Hakka adalah tathung, walaupun konsep ini juga dikenal dalam suku bangsa Hokkian di Jawa dan Medan dengan sebutan loya, yang fungsinya mengobati orang sakit. Adapun sebagian tathung di Singkawang tidak difungsikan untuk mengobati, tapi pertunjukan kekuatan atau kemampuan ilmu, terutama ilmu kekebalan tubuh. Sementara itu, konsep dato mereka pinjam dari orang Melayu. Dato artinya roh orang-orang selain orang Hakka, yang dapat difungsikan untuk membantu pengobatan. Dalam hubungannya dengan pengobatan, jelas agama orang Hakka bermuatan magi karena selalu menggunakan dukun yang dalam praktiknya selalu menggunakan kekuatan dewa-dewa dan roh-roh.

Praktik-praktik magi orang Hakka di Singkawang juga tidak dapat dipisahkan dari prinsip tukar-menukar atau saling memberi. Mereka menggunakan dukun sebagai perantara dengan roh-roh jahat untuk kepentingan pribadi dan kelompok atau untuk balas dendam terhadap musuhnya. Sebagai balasannya, dukun mendapat bayaran yang besar. Selain itu, antara dukun dan roh-roh jahat yang mereka gunakan juga menggunakan prinsip timbal balik, seperti persembahan makanan dan minuman dalam upacara. Ini sebagai salah satu usaha untuk membujuk roh-roh jahat agar mau membantu melaksanakan praktik perdukunan.

Page 129: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

121

4

PemuJAAn LeLuHur

Pemujaan leluhur mempunyai arti yang banyak, sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman orang yang

mengartikannya. Tomedi, salah satu narasumber penulis di Singkawang, menyatakan bahwa pemujaan leluhur adalah sembahyang atau menghormati leluhur. Caranya dengan menggunakan hio dan mempersembahkan makanan dan minuman. Tempatnya dapat dilakukan di rumah, yayasan sosial kematian, dan kuburan. Dalam pemujaan tersebut, kita dapat memohon pertolongan dan keselamatan pada leluhur.

Orang Hakka meyakini leluhur dapat menerima semua pemberian dari anggota keluarga, termasuk kertas uang yang dibakar dan dikirimkan untuk keperluan mereka di dunia lain. Di sisi lain, pandangan tersebut juga pernah diungkapkan oleh penulis peranakan China sekitar tahun '60-an yang mengatakan bahwa:

“… Keluarga yang masih hidup tidak mengetahui secara pasti apakah yang mereka persembahkan pada leluhurnya saat melakukan pemujaan leluhur, baik di rumah ataupun di kuburan, diterima atau tidak makanan tersebut. namun,

Page 130: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

122

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

apa yang mereka persembahkan pada leluhurnya itu adalah merupakan sebuah tanda bahwa anggota keluarga yang hidup masih ingat kepada leluhur atau anggota keluarga yang sudah meninggal. roh-roh orang yang meninggal pada dasarnya ada, mereka harus diasumsikan dapat melihat sesuatu yang diberikan oleh anggota keluarga mereka, atau bisa mengetahui bahwa anggota keluarga mereka di dunia masih mengingat mereka” (nio, 1940: 217).

Pendapat Nio dapat memberikan pembenaran terhadap keyakinan para pemuja yang terus-menerus memuja dan mempersembahkan makanan dan minuman kepada leluhurnya meskipun mereka tidak dapat melihatnya. Wujud dari keyakinan tersebut terlihat dalam kegiatan pemujaan leluhur yang dilakukan oleh anggota keluarga orang Hakka di rumah-rumah (saat upacara kematian) dan di kuburan.

Beberapa orang Hakka berkeyakinan bahwa leluhur tidak hanya dipuja, disuguhkan berbagai makanan yang mereka sukai, tapi juga dapat dimintai pertolongannya, misalnya memberikan rezeki yang banyak, perlindungan, dan petunjuk bagi anggota keluarga yang sedang mendapat kesulitan. Leluhur tersebut dapat dimintai pertolongannya melalui upacara pemujaan leluhur. Salah seorang di antara pemuda Hakka (Cong Min) yang telah saya mintai pendapatnya mengatakan:

Saya melakukan pemujaan leluhur di altar keluarga karena saya adalah anak laki-laki tertua dari keluarga, dan itulah rasa hormat yang saya berikan pada leluhur, tidak lebih dari itu. Jika saya memiliki masalah yang besar dan sulit untuk dipecahkan, maka saya pergi ke kuburan leluhur dan memohon kepada mereka agar dapat membantu memberikan jalan keluar terhadap persoalan-persoalan yang saya hadapi. Sebelum meminta sesuatu pada leluhur, terlebih dahulu saya menyalakan hio dan melakukan pemujaan pada mereka (wawancara, 2 Januari 2003).

Page 131: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

123

PEMUJAAN LELUHUR

Ada juga di antara mereka (orang Hakka) yang saya wawancarai menyatakan bahwa jika mereka mempunyai masalah yang sulit untuk dipecahkan, mereka pergi ke pekong atau kelenteng dan memohon pertolongan kepada dewa-dewa di kelenteng atau dapat juga menggunakan bantuan dewa-dewa untuk menyampaikan permohonan kepada leluhur mereka. Dalam hal ini, dewa-dewa di pekong dan di kelenteng (biasanya diwujudkan dalam bentuk patung) berfungsi sebagai perantara antara pemuja dan roh-roh leluhurnya. Sebagai imbalan, biasanya mereka membawa buah-buahan ke pekong dan kelenteng dan membakar kertas uang (kertas untuk sembahyang pada leluhur) untuk roh leluhur dan dewa-dewa pekong atau kelenteng.

Orang Hakka menyebut pemujaan leluhur dengan sebutan “sembahyang leluhur” atau sembahyang kepada leluhur, tapi ada juga yang menyebutnya “penghormatan pada leluhur”. Alasannya, kegiatan upacara itu tidak ubahnya seperti sembahyang kepada Tuhan, hanya saja objek serta alat-alat upacara yang digunakan berbeda.

Bagi mereka, pemujaan atau sembahyang pada leluhur itu tidak terbatas tempatnya, bisa di rumah (di depan meja abu atau altar khusus yang dibuat untuk pemujaan leluhur), di kelenteng, kuburan, di rumah abu, dan di mana saja yang dianggap pantas asalkan nama leluhur yang dipuja ditulis di sebuah kertas kuning dan ditempelkan di tempat pemujaan. Dengan demikian, walaupun seseorang tinggal di Hongkong, tapi kuburan leluhurnya di Singkawang, dia masih dapat melakukan pemujaan kepada leluhurnya dari tempat tinggalnya. Namun, di antara mereka menganggap bahwa tempat yang paling baik melakukan pemujaan leluhur adalah di kuburan leluhur karena lebih dekat dengan orang yang dipuja. Oleh karena itu, mereka yang memiliki kemampuan secara ekonomi mengharuskan pulang ke Singkawang setiap

Page 132: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

124

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

tahun saat perayaan Ching Ming untuk melakukan pemujaan di kuburan leluhur.

Jika dilihat pendapat orang Hakka di Singkawang mengenai tempat pelaksanaan pemujaan leluhur tersebut, maka hal itu secara tidak langsung menambahkan pendapat Maurice Freedman, yang membagi tempat pemujaan leluhur menjadi dua bagian, yaitu di rumah-rumah milik keluarga dan tempat pemujaan leluhur milik sesama marga (kelenteng atau pekong milik sesama marga) (dalam Lessa dan vogt, 1979: 401). Berdasarkan pengamatan saya, dan informasi yang didapat dari tokoh-tokoh agama Buddha dan Konghucu di Singkawang, tempat-tempat pemujaan leluhur yang disediakan untuk anggota keluarga di rumah sudah tidak lagi ditemukan dan mereka umumnya melakukan pemujaan leluhur di kuburan-kuburan leluhur sebanyak dua kali dalam setahun. Berdasarkan keyakinan beberapa orang Hakka, kalau kita tidak dapat melakukan pemujaan leluhur dengan rutin (setiap hari) di rumah dan merawat meja sembahyang (membersihkan dan menyediakan makanan untuk leluhur), maka dapat berdampak kurang baik bagi kehidupan anggota keluarga karena roh-roh leluhur dapat marah dengan anggota keluarga yang masih hidup.

Roh dari orang yang baru saja meninggal dapat dikatakan sebagai leluhur (tidak termasuk roh anak kecil atau yang tidak memiliki keturunan) karena dia masuk ke dalam dunia para leluhur yang meninggal sebelumnya. Oleh karena itu, pemujaan kepada roh orang yang meninggal tidak ubahnya seperti pemujaan yang dilakukan kepada roh-roh leluhur yang meninggal sebelumnya, cuma saja bentuk upacara dan perlengkapan yang digunakan lebih besar dari upacara pemujaan leluhur yang terdahulu yang secara rutin dilakukan dalam lingkungan keluarga dan sesama marga.

Page 133: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

125

PEMUJAAN LELUHUR

upacara Pemujaan LeluhurUpacara-upacara yang akan saya jelaskan di bawah ini

ter kait langsung dengan pemujaan leluhur yang dilakukan oleh orang-orang Hakka di Singkawang, baik saat salah seorang anggota keluarga mereka meninggal, upacara sete-lah kematian, maupun pemujaan leluhur yang rutin dua kali dalam satu tahun mereka lakukan di kuburan leluhur mereka.

Saya akan menjelaskan upacara pemujaan leluhur ini dari upacara kematian karena upacara pemujaan leluhur dilakukan orang Hakka setelah ada kematian keluarga. Upacara kematian ialah upacara-upacara yang dilakukan oleh anggota keluarga sejak salah seorang keluarganya meninggal sampai proses pemakaman jenazah.

Sebelumnya telah dikemukakan tentang yayasan sebagai suatu organisasi yang mengurus kematian, maka pada bagian ini akan dijelaskan upacara kematian, baik dilakukan di rumah atau di yayasan sosial kematian. Pada upacara kematian, simbol putih, hitam, dan biru atau warna gelap menjadi simbol penting. Istilah putih dalam bahasa Hoklo ialah pek se dan menurut bahasa Hakka adalah phek si.

Page 134: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

126

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Warna putih, biru, dan hitam melambangkan kedukaan atau belangsungkawa dari keluarga yang ditinggalkan.

Untuk mengetahui apakah di sebuah rumah ada kematian atau tidak, dapat dilihat dari atribut kematian yang dipasang oleh orang Hakka di depan rumahnya. Atribut kematian itu di antaranya adalah bendera putih dari kertas (ukuran 20 x 30 cm) yang dipasang di pagar rumah (Tangdililing, 1983: 126-128) atau kain putih yang menutup pintu depan rumah. Selama jenazah masih berada di rumah, kain putih tetap menutupi pintu rumah keluarga.

Kursi dan meja untuk kepentingan tamu yang datang di-siap kan, dan menggunakan warna putih. Warna merah seolah tabu dalam kematian, kecuali orang yang meninggal itu sudah berusia di atas 70 tahun. Peti matinya boleh dicat merah. Artinya, anggota keluarga sudah merasa bahagia karena orang tua mereka dapat mencapai umur panjang. Dengan umur panjang, seseorang dapat menyaksikan keluar ganya berhasil. Meskipun demikian, perlengkapan upacara kematian lainnya, seperti baju berkabung, tutup kepala, dan topi masih tetap menggunakan kain putih atau berwarna gelap.

Orang Hakka menganggap warna merah sebagai warna penolak bala, roh-roh jahat, dan jenis kekuatan jahat lainnya. Banyak orang Hakka yang menempelkan kain atau kertas merah di pintu masuk rumah mereka saat menyambut tahun baru Imlek. Fungsinya untuk menolak roh-roh jahat agar tidak masuk ke rumah dan mengganggu anggota keluarga mereka. Kain atau kertas merah tersebut diganti saat Imlek di tahun berikutnya. Hal-hal yang dilakukan oleh anggota keluarga orang Hakka sebelum upacara kematian adalah sebagai berikut:

memakaikan bajuSaat orang tua akan meninggal, atau sekarat, anak-

anaknya mulai membersihkan badan orang tuanya dengan

Page 135: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

127

PEMUJAAN LELUHUR

kain putih yang terlebih dahulu dibasahi air yang disediakan secara khusus untuk keperluan membersihkan jenazah.

Menurut informasi dari Fu Long (narasumber penulis), pada masa lalu, air yang digunakan diambil dari hulu sungai karena air tersebut dianggap bersih dari kotoran. Sekarang, tradisi semacam itu sudah banyak ditinggalkan karena sulit mencari air bersih. Jadi, saat ini air yang digunakan tergantung dari kemudahan untuk mendapatkan air bersih.

Setelah selesai dibersihkan, anak-anaknya memakaikan baju dan celana untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan tergantung keinginan dan selera dari yang bersangkutan. Di China, orang yang akan meninggal dan yang telah meninggal biasanya dipakaikan pakaian yang bercorak kebudayaan China, baik laki-laki maupun perempuan (De Groot, 1910: 53). Di Singkawang pada tahun '60-an, pakaian orang yang meninggal juga masih seperti di China, tapi karena pergeseran zaman dan pengaruh kebudayaan lokal, tradisi semacam itu kini sudah jarang kita jumpai.

Toko penjual perlengkapan sembahyang di Singkawang

Page 136: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

128

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Pakaian ini sudah dipersiapkan anak-anaknya sebelum orang tua meninggal, terutama orang tua yang berusia lanjut. Namun, jika ada yang meninggal mendadak (meninggal dalam usia muda), pakaiannya dapat dibeli di tempat bosong yang juga menyediakan perlengkapan kematian. Jika yang meninggal adalah laki-laki, akan dipakaikan baju lengan panjang (biasanya berwarna putih), celana dalam, celana panjang (biasanya berwarna hitam), kaus kaki, kaus tangan, dan sepatu. Ada juga yang dipakaikan jas lengkap berwarna hitam. Sementara itu, jika yang meninggal adalah wanita akan dipakaikan pakaian berwarna putih atau agak gelap. Dia juga dipakaikan kaus kaki dan sepatu sebagaimana layaknya orang hidup. Ini dapat dilihat sebagai bentuk penghormatan anggota keluarga terhadap yang meninggal atau roh-roh leluhur mereka.

Pakaian ini dapat dibeli di toko khusus yang menjual perlengkapan kematian27 atau dapat juga pakaian yang disenangi saat dia hidup. Ini menunjukkan adanya persamaan dangan tradisi orang Hokkian di Pulau Jawa, pakaian untuk jenazah biasanya diambil dari pakaian favorit atau pakaian yang digunakan saat mereka menikah (Nio, 1960: 189). Oleh karena itu ada keharusan anggota keluarga orang China, khususnya orang Hakka, untuk menyimpan pakaian kawin anggota keluarganya di tempat yang baik agar dapat digunakan lagi saat mereka meninggal.

Hal ini berbeda dengan pakaian orang China di China pada akhir abad ke-19. Pakaian tersebut dirancang khusus menyerupai pakaian orang-orang China pada masa lampau. Pakaian tersebut juga berbeda antara orang biasa dan pegawai kerajaan atau pegawai pemerintahan. Pakaian itu

27 Di Singkawang perlengkapan kematian dijual di toko perlengkapan sembahyang atau di rumah Sinsang, yaitu orang yang bertugas mengurus masalah kematian. Biasanya barang-barang tersebut sedikit lebih mahal jika yang meninggal adalah keluarga yang tergolong mampu. Barang-barang seperti ini tidak boleh ditawar karena dianggap tabu.

Page 137: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

129

PEMUJAAN LELUHUR

dibagi dalam dua bagian: bagian dalam terbuat dari kain sutera yang berwarna keabu-abuan dan bagian luarnya terdiri dari jas panjang berwarna coklat yang menyerupai pakaian sehari-hari orang-orang China pada masa lampau (De Groot 1892: 52). Aturan mengenai pakaian ini ditetapkan dalam kitab Li Ki, kitab yang memuat tata cara tentang upacara. Kitab Li Ki juga memuat ajaran Konghucu.

Tidak jauh berbeda dengan De Groot, di Singkawang jika yang akan meninggal adalah orang kaya, maka orang tersebut juga dipakaikan jas dan dasi. Setelah itu keluarga lain menunggu kapan orang tuanya akan meninggal. Akan tetapi, mereka masih tetap berharap agar orang tuanya tidak jadi meninggal. Sebagaimana kasus yang terjadi pada Jeki (narasumber), seperti yang diceritakannya:

Saat orang tua laki-laki saya sakit dan kemudian meninggal dikenakan pakaian rapi, tapi dua hari kemudian orang tua saya hidup kembali. Pakaian yang sudah dipakaikan tersebut saya buka bersama adik-adik saya dan disimpan. empat tahun setelah kejadian tersebut, orang tua saya meninggal lagi dan pakaian yang disimpan tersebut dipakaikan lagi. Saat itulah saya dan adik-adik saya meyakini bahwa pakaian yang dipakaikan saat orang tua akan meninggal dapat memperpanjang umurnya, dan bukan sebaliknya mendoakan dia meninggal.

Apa yang dilakukan orang Hakka dalam kasus Jeki tidak ubahnya seperti kepercayaan orang China zaman dahulu, pakaian yang dipakaikan saat orang meninggal tidak sembarang pakaian, tapi simbol dari baju panjang umur. Jika pakaian tersebut dipakaikan saat orang akan meninggal, ini bukan berarti anggota keluarga mendoakan orang tua agar cepat meninggal, tapi agar orang tersebut bisa hidup kembali atau tidak jadi meninggal (Lihat, Nio, 1961: 190).

Page 138: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

130

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Salah seorang narasumber penulis (Ayong) mengatakan, ketika seorang laki-laki mengembuskan napas terakhir (meninggal), dia akan dipakaikan dua pasang pakaian baru, tapi jika wanita diberi tiga pasang pakaian yang dipakaikan secara berlapis-lapis. Tradisi ini berlaku di kalangan masyarakat Hakka pada tahun '60-an, tetapi setelah itu jarang dijumpai lagi.

Aturan-aturan yang menyangkut urusan kematian dan upacara kematian tidak memiliki aturan baku atau sesuai dengan petunjuk pihak yayasan kematian setempat (dalam bentuk buku pedoman), tetapi lebih mengacu pada keinginan anggota keluarga. Oleh karena itu, ada hal-hal yang sepenuhnya diserahkan kepada yayasan sosial kematian, sementara hal-hal yang menyangkut keyakinan dan tradisi sepenuhnya diserahkan kepada keluarga.

Orang Hakka di Sarawak (Malaysia) memiliki sedikit perbedaan dengan orang-orang Hakka di Singkawang dalam urusan kematian. Di Sarawak, tubuh orang yang akan meninggal tidak dibersihkan terlebih dahulu, tidak dipakaikan pakaian, tapi ditunggu sampai orang tersebut betul-betul meninggal. Untuk membuktikan apakah sudah meninggal atau belum, salah seorang keluarganya (anak laki-laki tertua) naik ke atap rumah membawa baju orang yang meninggal tersebut untuk dikibas-kibaskan ke langit agar roh orang yang meninggal dan hidup kembali. Jika hal itu telah dilakukan dan ternyata orang yang meninggal tidak hidup kembali, maka keluarganya dapat memastikan orang tersebut benar-benar meninggal (Chang, 1993: 84). Jadi, untuk membuktikan apakah seseorang sudah benar-benar meninggal masih digunakan cara-cara tradisional sesuai keyakinannya. Tradisi ini tentu saja sangat berbeda dengan tradisi orang Hakka di Singkawang, walaupun sama-sama suku Hakka.

Page 139: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

131

PEMUJAAN LELUHUR

Pakaian yang dipakaikan saat keluarga akan meninggal juga dilandasi oleh prinsip tukar-menukar pemberian prestasi. Pakaian yang dipakaikan pada orang yang akan atau yang sudah meninggal tidak hanya sekadar menutupi tubuhnya atau untuk menghormatinya sebagaimana layaknya orang yang masih hidup, tapi juga untuk meminta pada Tuhan (Thian) agar yang akan meninggal tidak menjadi meninggal karena mereka masih sangat mencintai. Dengan pakaian yang dipakaikan pada orang yang sudah meninggal, mereka masih berharap bantuan Thian agar yang meninggal dapat hidup kembali dan bersatu dengan keluarganya.

Kasur dan KelambuSetelah orang yang meninggal dibersihkan badannya,

dipakaikan pakaian, keluarga harus mempersiapkan kasur, tikar dari pandan, dan kelambu berwarna putih. Setelah dibaringkan di kasur, baru ditutup dengan kelambu berwarna putih. Jenazah akan berada di situ sampai hari baik untuk dimasukkan ke peti mati.

Sebelum jenazah diletakkan di kasur, lantai dialasi dengan tikar pandan. Di depan kelambu jenazah, di samping kiri dan kanan peti mati juga dialasi tikar yang berfungsi sebagai tempat anak-anak dan cucu-cucu duduk sambil membakar kertas uang (siukim). Di depan jenazah juga dibentangkan sebuah tikar pandan, yang fungsinya untuk anggota keluarga yang melakukan sembahyang atau pemujaan kepada orang tua mereka.

Hampir tidak pernah saya jumpai keluarga Hakka yang saat anggota keluarganya meninggal menggunakan permadani sebagai alas untuk meletakkan jenazah ataupun untuk sanak keluarga yang duduk melakukan sembahyang atau pemujaan serta pembakaran kertas uang. Bagi mereka, permadani adalah simbol kekayaan karena harganya mahal,

Page 140: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

132

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

padahal keluarga yang berkabung, menurut tradisi orang China, tidak boleh menggunakan barang-barang mewah. Dalam kitab SuSi (kitab yang empat), yaitu kitab yang memuat ajaran-ajaran Konghucu, dikatakan bahwa Konfusius pernah berkata kepada murid-muridnya: “Apabila orang tua kamu meninggal, lakukanlah upacara sesederhana mungkin, dan jangan berlebihan, yang penting tunjukkan rasa sedih yang mendalam.” Di bagian lain Konfusius juga mengatakan bahwa: “Di dalam upacara, dari pada mewah mencolok, lebih baik dilakukan dengan cara sederhana."

Dalam upacara duka, daripada meributkan perlengkapan upacara, lebih baik ada rasa sedih yang benar (dalam lun gi, jilid III A: 4/3). Oleh karena itu, sikap kesederhanaan yang ditunjukkan oleh orang-orang Hakka di Singkawang dalam pengurusan jenazah orang tua atau dalam upacara kematian mengacu pada ajaran Konfusius. Cuma saja, kalau ditanya landasan mereka melakukan upacara tersebut, mereka menjawab: “Hanya mengikuti tradisi nenek moyang.” Mereka tidak tahu ajaran Konghucu. Tidak selamanya orang Hakka melaksanakan upacara kematian dengan cara sederhana karena ada bagian-bagian tertentu yang mereka lakukan dengan cara besar-besaran, seperti makanan dan minuman yang dipersembahkan untuk orang meninggal (jika yang meninggal orang kaya). Makanan yang dipersembahkan kepada orang yang meninggal, khususnya makanan kesukaan orang tuanya selagi hidup, dapat dipandang sebagai bentuk bakti anak , dan bukan suatu yang berlebihan.

Altar dan PerlengkapannyaSalah satu perlengkapan upacara kematian adalah altar

sembahyang. Oleh karena itu, harus dipersiapkan oleh keluarga agar penghormatan atau pemujaan dapat dilakukan dengan baik tanpa suatu hambatan. Altar ini tidak hanya

Page 141: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

133

PEMUJAAN LELUHUR

untuk pihak keluarga, tapi juga untuk tamu atau sahabat dekat.

Setelah dimandikan, dipakaikan, dibaringkan di kasur atau tikar, dan dipasangkan kelambu, di depan jenazah diletakkan altar sembahyang untuk memberikan penghormatan terakhir. Di atas altar diletakkan foto hitam putih yang dibingkai berukuran 20 x 20 cm. Foto hitam putih melambangkan duka cita dan cocok digunakan untuk kematian. Semua simbol-simbol kebahagiaan, seperti cincin emas, gelang, kalung, anting-anting, dan sejenisnya tidak digunakan saat berkabung.

Di depan foto ada tempat menancapkan hio (hiolo). Setelah selesai melakukan pemujaan dengan hio yang telah dinyalakan, hio tersebut ditancapkan di hiolo yang bentuknya menyerupai gelas. Di bagian luar hiolo biasanya diukir dengan gambar dua ekor naga (Nio, 1961: 233-234). Menurut Ong Hean-Tatt, naga atau lung adalah simbol kekaisaran, penyabar, dan binatang ini dianggap dapat membawa keberuntungan (1996: 56-57) bagi yang menggunakannya. Jadi, gambar dua ekor naga tersebut juga mengandung makna timbal balik, yakni agar para pemuja memperoleh keberuntungan atau rezeki yang banyak.

Hiolo dapat diisi sedikit abu yang diambil dari dapur (terutama dapur yang menggunakan kayu bakar), pasir, atau beras supaya hio mudah ditancapkan. Dalam waktu satu hingga dua minggu hiolo sudah dipenuhi dengan abu dari pembakaran hio. Oleh pihak keluarga orang Hakka, abu ini tidak dibuang, tapi dikubur di dekat kuburan leluhur. Namun, ada juga yang membuangnya. Jadi, tidak semua orang Hakka menganggap abu dari pembakaran hio ini sakral. Orang Hakka sering menyebut abu dari pembakaran hio sebagai abu leluhur karena di dalamnya terkandung doa keluarga untuk para leluhur.

Page 142: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

134

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Abu yang berasal dari pembakaran jenazah, khususnya orang-orang China, merupakan abu leluhur karena abu tersebut berasal dari pembakaran jenazah leluhur mereka. Sebab, ada juga orang China beragama Buddha yang jenazahnya dibakar (atas permintaan yang bersangkutan). Abu dari pembakaran jenazah ini disimpan di rumah (diletakkan di atas meja sembahyang atau) atau di rumah abu (tempat menyimpan abu leluhur), dan pada saat-saat tertentu (setiap bulan 3 dan 7 atau tanggal 1 Imlek), keluarga datang ke tempat ini untuk bersembahyang kepada leluhur mereka. Namun, di Singkawang tidak ada satu pun orang Hakka yang meninggal yang jenazahnya dibakar walaupun dia beragama Buddha karena tidak ada tempat pembakaran jenazah. Keluarga Bong Wei Kong yang saya wawancarai mengatakan bahwa mereka tidak tega melihat jenazah orang tua, kakek, atau nenek mereka dibakar sehingga mereka lebih senang menguburkannya. Selain itu, tanah untuk tempat penguburan di Singkawang masih banyak dan harganya murah, kecuali yang dianggap memiliki fengsui baik. Di kota-kota besar, tanah tempat menguburkan jenazah cenderung mahal dan tidak dapat dijangkau oleh warga China yang ekonominya lemah.

Selain itu juga ada dua batang lilin yang ditancapkan di samping kiri dan kanan meja. Untuk pemujaan terhadap orang yang meninggal (jenazah masih ada di rumah), digunakan lilin berwarna putih, tetapi untuk sembahyang pada leluhur bukan saat kematian, digunakan lilin merah. Namun, jika yang meninggal berusia di atas 60 tahun digunakan lilin merah sebab keluarga merasa bahagia karena orang tuanya sudah diberi usia panjang dan dapat menyaksikan keberhasilan anak, cucu, dan cicitnya ketika hidup.

Lilin-lilin tersebut harus tetap menyala selama jenazah masih ada di rumah atau di yayasan sosial kematian karena menyimbolkan roh dari orang yang meninggal tetap hidup

Page 143: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

135

PEMUJAAN LELUHUR

di antara keluarganya. Menurut keyakinan mereka, yang meninggal itu adalah badannya, sedangkan rohnya tetap hidup dan masih ada di lingkungan keluarga. Jika lilin yang menyala habis terbakar, harus segera digantikan dengan lilin lain sampai jenazah dibawa ke kuburan.

Di atas altar sembahyang, tepatnya di depan foto dan di belakang hiolo, ada sebuah papan yang dicat hitam, berukuran 10 x 30 cm, di papan tersebut tertulis nama, tempat dan tanggal lahir, tanggal meninggal, marga, jumlah keturunan yang laki-laki, dan sifat dari orang yang meninggal. Di kalangan orang China di Jawa dan orang Hakka di Singkawang, papan tersebut disebut sinci (tablet atau papan arwah), atau shen wei28

(Mandarin). Menurut Freedman (1967: 85), papan arwah tersebut diyakini oleh orang China sebagai tempat tinggal roh. Jika sedang melakukan pemujaan kepada leluhurnya, fokusnya adalah pada papan arwah atau shen wei di atas altar.

Di Singkawang, nama orang yang meninggal tidak diukir di papan, tapi hanya ditulis di selembar kertas kuning dengan tinta hitam dan ditempelkan di papan arwah tersebut (menyerupai shen wei tapi belum ditulis nama orang yang meninggal). 100 hari setelah penguburan, nama orang meninggal diukirkan ke nisannya. Kertas kuning yang dianggap sebagai papan arwah dan dibakar di samping kuburan setelah proses penguburan selesai. Artinya dikirim ke akhirat bersama orang yang meninggal. Jadi, tidak ada papan arwah yang sesungguhnya seperti yang ada di China dan di Jawa. Tradisi menyimpan papan arwah di atas meja sembahyang keluarga di rumah sudah jarang dijumpai dalam masyarakat Hakka di Singkawang.

28 Shen wei (papan arwah) dibuat dari kayu berukuran 10 x 40 cm. Di permukaan kayu diukir nama orang yang meninggal, tanggal kematiannya, dan nama keturunannya yang laki-laki. Papan arwah ini dapat dibeli di tempat bosong dan tempat menjual alat-alat atau perlengkapan sembahyang.

Page 144: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

136

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Di atas altar juga disediakan makanan dan minuman untuk dipersembahkan kepada orang meninggal. Makanan dan minuman tersebut di antaranya nasi, ikan, daging dan hati babi, ayam, kue apam, buah-buahan seperti pisang raja, jeruk mandarin, dan minuman seperti air teh, kopi, arak putih dan makanan kesukaan orang tua mereka selagi hidup. Agar roh leluhur merasa enak memakan, maka disediakan juga sedikit garam di altar. Mempersembahkan makanan dan minuman ini tidak mempunyai aturan khusus, tapi sesuai dengan keinginan dan kemampuan keluarga dan mengacu pada kebiasaan orang tua semasa hidup. Sebagai contoh, jika di masa hidup orang tuanya senang minum kopi, maka saat dia meninggal juga dihidangkan kopi, begitu juga untuk makanan lain. Menyediakan makanan dan minuman untuk roh-roh ini juga didasarkan pada prinsip timbal balik atau tukar-menukar pemberian. Makanan dan minuman yang diberikan tersebut diharapkan dibalas oleh orang yang meninggal atau leluhur di masa yang akan datang. Balasan tersebut berupa perlindungan dan keselamatan untuk keluarga.

Menurut pengamatan saya, makanan dan minuman yang dipersembahkan kepada orang yang meninggal digolongkan dalam dua bentuk: Pertama, makanan dan minuman yang dipersembahkan tidak hanya sekadar makanan dan minuman saja, tapi merupakan simbol yang dapat ditafsirkan oleh anggota keluarga yang hidup sesuai dengan pengetahuan dan keyakinannya. Contohnya jeruk Mandarin (impor dari China), warnanya kuning agak keemasan dam harganya sedikit lebih mahal dari jeruk lokal. Dapat ditafsirkan sebagai emas. Emas bagi orang Hakka diyakini sebagai simbol kekayaan atau murah rezeki. Keluarga berharap dengan mempersembahkan jeruk Mandarin mereka tidak jatuh miskin setelah kematian orang tua mereka, tapi menjadi atau semakin kaya. Dengan demikian, di dalam jeruk Mandarin terkandung dua makna,

Page 145: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

137

PEMUJAAN LELUHUR

yaitu sebagai simbol yang dapat diinterpretasi dan sebagai doa bagi keluarga. Ini juga mengacu pada dimensi eksegetik arti simbol, sebagaimana yang dikatakan oleh Turner (1982), yaitu arti simbol menurut apa yang dikatakan narasumber asli. Kedua, makanan dan minuman yang dipersembahkan itu bukan merupakan simbol, melainkan lebih mengacu pada makanan yang disukai orang tua saat hidup dan keinginan anggota keluarga sesuai kemampuannya. Tentu saja makanan yang dipersembahkan ini tidak memiliki arti apa-apa, sekadar membahagiakan dan memberikan penghormatan kepada orang tua.

Pihak keluarga juga mempersembahkan kertas siukim, yaitu kertas tipis yang berwarna kuning emas dan di tengah-tengahnya berwarna merah, ukurannya bervariasi: 10 x 10 cm, 20 x 20 cm, dan 3 x 5 cm. Bagi orang orang Hakka di Singkawang, kertas ini adalah simbol dari uang29 yang akan dipersembahkan kepada orang tuanya yang meninggal untuk keperluan di dunia lain. Agar dapat dikirimkan ke dunia lain, kertas ini dibakar. Sebagian orang Hakka menafsirkan pembakaran kertas uang ini sebagai penebus dosa mereka terhadap orang tua.

Setelah jenazah dibersihkan, diberi pakaian, dibaringkan, dimasukkan ke dalam kelambu, dan disediakan meja sembahyang, anak laki-laki tertua melakukan pemujaan terhadap roh orang tuanya dengan menyalakan 3 batang hio. Tidak hanya melakukan pemujaan, tapi anak-anak dari yang meninggal juga melakukan pai (sujud) tiga kali di depan peti mati (Jochim, 1986: 14). Sanak saudara tidak diwajibkan bersujud di depan peti mati, tetapi hanya memuja dengan beberapa batang hio atau boleh tidak menggunakan hio.

29 Kertas uang bukanlah uang sebenarnya, melainkan simbol dari uang. Kertas uang atau sintin ini ada yang dibakar dalam bentuk lembaran dan dalam lipatan. Kertas uang yang dilipat hingga menyerupai emas batangan nilainya lebih besar dari yang tidak dilipat. Oleh karena itu, banyak keluarga yang rajin melipat uang, setelah itu baru dikirimkan kepada orang tuanya di dunia lain dengan cara dibakar di dekat jenazah atau di kuburan.

Page 146: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

138

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Jika yang meninggal adalah golongan orang kaya, upacara dilakukan secara besar-besaran. Persembahan makanan di altar cukup banyak dan terkesan mewah. Pemberian makanan kepada orang meninggal adalah salah satu bentuk dari tukar-menukar pemberian antara anggota keluarga yang masih hidup dan yang sudah meninggal, dengan mengharapkan balasan dari orang yang meninggal. Tentu saja balasan yang mereka harapkan lebih besar dari pemberian.

membakar Kertas uangMembakar kertas uang artinya membakar kertas yang

disimbolkan sebagai uang. Kertas tipis berwarna kuning yang disebut siukim atau sintin atau kertas uang adalah duplikat uang yang dapat dibeli di toko yang menjual perlengkapan sembahyang, misalnya di kelenteng. Orang Hakka yakin bahwa semakin banyak duplikat uang dan siukim atau sintin dibakar, semakin bahagia kehidupan leluhur di akhirat dan semakin makmur kehidupan keluarga di dunia.

Di samping kanan jenazah, ada sebuah tempayan berukuran sedang untuk tempat anak atau cucu perempuan membakar kertas uang dan abu pembakaran kertas uang tersebut. Selama jenazah masih berada di rumah duka atau rumah pribadi, mereka terus membakar kertas uang dan abunya dimasukkan ke tempat abu. Pembakaran kertas uang, menurut keyakinan mereka, tidak boleh berhenti karena api yang menyala dari pembakaran tersebut merupakan simbol semangat atau roh leluhur mereka yang diyakini tetap hidup. Jika pembakaran terputus, maka semangat orang tuanya akan berhenti (sesuatu yang tidak diinginkan keluarga karena dapat berdampak tidak baik bagi kehidupan mereka). Dengan alasan itu, maka anak dan cucu secara bergantian membakar kertas walaupun harus berjaga semalam suntuk

Page 147: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

139

PEMUJAAN LELUHUR

selama tujuh atau delapan malam, atau selama jenazah masih berada di rumah atau yayasan sosial.

Membakar kertas uang adalah tugas anak, cucu, dan menantu perempuan, dan jarang dilakukan oleh anak laki-laki kecuali jika dilakukan di kuburan, dapat dilakukan oleh anak laki-laki. Demikian juga tugas melipat kertas uang (duplikat uang) dibebankan pada anak, menantu, dan cucu perempuan.

Fungsi lain pembakaran kertas uang di dekat peti mati adalah untuk menjaga jenazah dari gangguan hal-hal yang dapat membahayakan jenazah. Jangan sampai ada binatang yang melangkahi peti mati karena dianggap tabu. Selain itu, fungsi lainnya adalah untuk memberikan bekal uang kepada yang meninggal agar dia tidak miskin di dunia lain. Berdasarkan keyakinan orang Hakka, roh-roh leluhur juga memiliki kebutuhan sebagaimana layaknya orang yang masih hidup. Dengan mempersembahkan kertas uang, keluarga juga berharap agar yang meninggal dapat memberikan rezeki yang banyak kepada mereka. Pembakaran kertas uang ini dapat juga diartikan sebagai doa. Bagi yang hidup agar mereka hidup bahagia di dunia dan berkecukupan, sebaliknya bagi yang meninggal agar bahagia di dunia lain dan tidak mengalami kekurangan sedikit pun.

Peti mati Setelah dimandikan, jenazah dimasukkan ke peti mati.

Peti ini biasanya terbuat dari kayu besi (belian), berbentuk agak melengkung dan dicat, serta diusahakan jangan sampai berlubang. Orang yang meninggal tapi orang tuanya masih hidup, peti matinya dicat hitam (fung-bu). Namun, jika orang tuanya telah meninggal, petinya dicat merah (fung-zet). Bagi orang Hakka, tidak baik meninggal mendahului orang tua meskipun meninggal adalah urusan Tuhan. Biasanya peti

Page 148: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

140

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

mati itu bertuliskan nama yayasan sosial kematian yang ditugaskan mengurus jenazah (Tangdililing, 1983: 127).

Untuk mendapatkan peti mati, anggota keluarga harus meng hubungi tempat penjualan atau tempat pembuatan peti mati yang ada di satu wilayah. Menurut Halim, sesepuh masya-rakat Singkawang dan salah seorang yang bermarga Lim, peti mati itu harganya tidak ada yang standar. Jika yang meninggal dari keluarga mampu, maka peti matinya juga dipilih yang mahal atau sesuai dengan kemampuannya. Menurut kepercayaan orang Hakka, berapa pun harga yang ditawarkan oleh penjual peti anggota keluarga harus membelinya dan tidak boleh menawar. Menurut orang Hakka, terutama pak Lim, menawar peti mati dianggap tabu. Untuk kalangan keluarga yang mampu harga peti mati bisa mencapai Rp 30 juta, dan untuk keluarga yang tidak mampu biasanya pihak yayasan kematian (jika yang meninggal itu masuk dalam kelompok yayasan kematian) memberikan kepada pihak keluarga yang ditimpa musibah. Namun, menurut Fung Long, seorang narasumber penulis, jarang keluarga yang mau menerima pemberian itu, walaupun mereka tergolong miskin, karena menerima pemberian tersebut dapat dipandang hina atau rendah oleh masyarakat, kecuali keluarga yang meninggal itu benar-benar miskin, tidak mempunyai keturunan, dan tidak ada keluarga lain yang dapat membantu.

Menurut tradisi orang Hakka di Singkawang, peti mati ini biasanya dijual dengan harga yang menggunakan angka 6 (enam) sebagai angka akhir. Contohnya harga peti mati tersebut Rp 3.600.000; Rp 5. 766.000; Rp 25.366.000 dan sebagainya. Menurut Chang (1993: 132-134), 6 (enam) adalah angka khusus untuk duka cita atau angka kematian dan tidak boleh digunakan untuk yang lain kecuali dalam keadaan ditimpa musibah. Angka-angka lain seperti angka 8 (delapan) adalah angka kesenangan dan tidak cocok untuk digunakan dalam kematian. Kalau salah penggunaan

Page 149: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

141

PEMUJAAN LELUHUR

angka akan berakibat buruk bagi yang menggunakannya dan mengganggu ketenangan hidup yang meninggal di alam lain dan kehidupan anggota keluarga di dunia, sebagaimana diceritakan oleh Pak Lim:

Saat orang tua saya mati, saya juga menggunakan angka enam saat membeli peti matinya. Angka enam ini diyakini sebagai angka keramat atau suci. Jika orang melanggarnya, dikhawatirkan dapat mendatangkan malapetaka bagi kehidupannya di dunia dan dapat memengaruhi kehidupan orang yang meninggal di dunia lain (dunia roh-roh). Angka 8 atau 9 adalah angka keberuntungan, maka nomor polisi kendaraan saya juga menggunakan angka-angka tersebut sehingga tidak ditimpa musibah.

Setelah dibeli, peti mati tersebut terlebih dahulu harus dicat dan ditutup lubang-lubangnya yang kira-kira dapat mengeluarkan bau yang kurang enak. Waktu untuk mengecat atau merapikan peti mati ini sangat memungkinkan, karena biasanya jenazah baru dikuburkan pada hari ke-6-ke-8, dan ada kemungkinan lebih, tergantung dari perhitungan hari baik menurut ilmu fengsui (ilmu tata letak bangunan dan pemakaman). Ada juga peti mati yang ketika dibeli sudah dicat oleh perusahaan pembuat peti mati. Jika yang meninggal usianya masih muda dan tidak punya banyak waktu untuk dibaringkan di rumah atau di yayasan kematian, maka peti mati yang dibeli di tempat penjualan peti mati biasanya dipilih yang sudah dicat, terutama cat hitam dan bisa juga cat coklat.

Orang Hakka berkeyakinan bahwa sebaiknya kita membuatkan tempat jenazah sebagus mungkin untuk orang yang meninggal supaya orang yang meninggal merasa senang tinggal di sana. Sebaliknya, orang yang meninggal juga dapat membalas kebaikan anggota keluarganya atau anak-anaknya yang berbuat baik kepadanya.

Page 150: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

142

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

memasukkan Jenazah ke Peti matiSetelah jenazah dan peralatan atau perlengkapan untuk

sembahyang telah disiapkan, keluarga dibantu oleh ahli fengsui menentukan hari baik memasukkan jenazah ke peti (kongsoi), sebagaimana penentuan hari baik untuk penguburan (Nio, 1961: 184; Chang, 1993: 84). Hal ini terkait keyakinan keluarga bahwa jika tidak dilakukan pada hari baik, kehidupan orang yang meninggal di dunia lain menjadi sengsara, dan keluarga yang ditinggal akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan, seperti sakit atau menjadi miskin.

Penentuan hari baik memasukkan jenazah ke dalam peti, orang Hakka menyerahkan sepenuhnya kepada bosong, yakni petugas yang mengurus jenazah sampai dengan penguburan. Ada juga bosong yang berprofesi sebagai loya atau tathung (dukun). Untuk menentukan hari baik, bosong meminta informasi pada anggota keluarga mengenai nama, tanggal lahir, dan hari lahir orang yang meninggal.

Anak tertua menancapkan paku pada peti jenazah dengan mulut.

Page 151: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

143

PEMUJAAN LELUHUR

Setelah ditemukan hari baik, jenazah tidak langsung dimasukkan, tapi harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari dewa langit (Thian) dan dewa bumi (tuapekong)30 dengan cara melambung dua keping popai atau sinkaw dalam upacara yang disebut nyiblian (masuk peti). Apabila dewa menyetujui waktu yang ditentukan bosong melalui sinkaw yang dilambungkan tadi, maka pelaksanaan memasukkan jenazah diteruskan, tetapi apabila tidak, waktunya harus ditentukan kembali dengan melambungkan sinkaw sampai kedua keping sinkaw tersebut jatuh dalam posisi telentang dan telungkup, yang artinya dewa setuju.

Upacara untuk memasukkan jenazah ke dalam peti dilakukan dengan cara sederhana, yaitu mempersiapkan alat-alat upacara yang diletakkan di atas meja sembahyang untuk pemujaan terhadap orang yang meninggal dan meja sembahyang untuk memuja tuapekong. Pemujaan ini dilakukan oleh bosong dan diikuti oleh keluarga. Setelah selesai, barulah jenazah dimasukkan ke peti. Jadi, bosong dalam hal ini tidak hanya sekadar memimpin upacara, menentukan hari baik, tapi juga berfungsi sebagai orang yang menciptakan keteraturan dalam menguburkan jenazah. Sebagai imbalan dari pertolongan bosong, keluarga memberikan upah. Besar-kecilnya upah tergantung kemampuan orang yang memberi.

Sebab, bosong akan menanyakan sio dan usia anggota keluarga dan kerabat yang ingin menyaksikan upacara ini (Nio, 1961: 191-193).31 Kemudian dicocokkan dengan sio

30 Di Cina dikenal dengan sebutan tutikong dan beberapa kelenteng di Indonesia masih menggunakan kata tersebut. Sebagian besar orang Cina atau orang Hakka di Singkawang dan orang Cina di Malaysia menyebutnya tuapekong.

31 Sio adalah nama-nama tahun yang disimbolkan dengan 12 ekor binatang. Sejak zaman purba bangsa Cina menghitung jarak waktu dengan kesatuan yang terdiri dari 60 tahun. Tiap kesatuan itu terdiri dari 5 x 12 tahun. Kedua belas tahun ini dilambangkan dengan seekor binatang. Sehingga setiap pergantian tahun, berganti pula binatang yang menyimbolkannya. Kedua belas binatang tersebut adalah tikus, kerbau, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, kera, ayam, anjing, dan babi dan dinamakan Cap Ji Shio atau dua belas sio (Nio, 1961: 191).

Page 152: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

144

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

orang yang meninggal. Bila cocok akan diizinkan melihat, tapi jika tidak, dia tidak diizinkan melihat karena akibatnya akan kembali kepada orang tersebut, misalnya sakit secara terus-menerus selama hidupnya atau pikirannya terganggu. Tidak semua orang dapat menyaksikan proses memasukkan jenazah ke peti meskipun orang tersebut adalah anaknya.

Upacara memasukan peti mati ke kuburan.

Setelah jenazah dimasukkan, peti segera ditutup, tetapi hanya bagian badannya saja. Bagian kepala atau muka masih diperlihatkan kepada anak-anak atau cucu-cucu yang hadir. Setelah semuanya menyaksikan, peti ditutup dan dipaku oleh bosong atau pembantu bosong.

Memaku penutup peti mati juga harus hati-hati dan ada tata caranya. Memaku peti harus dimulai oleh orang yang dituakan di marganya dan diikuti oleh generasi yang lebih muda. Setelah selesai akan diteruskan oleh pembantu bosong. Setelah ditutup peti tidak boleh dibuka kembali karena dianggap tabu. Keputusan untuk menutup peti harus didasarkan pada kesepakatan keluarga, dan keputusan akhir ditentukan oleh anak laki-laki tertua karena dialah yang

Page 153: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

145

PEMUJAAN LELUHUR

bertanggung jawab meneruskan tanggung jawab orang tua untuk memuja leluhur mereka.

Kemudian peti diletakkan di lantai tanpa dialas tikar dan ditutup dengan kain hitam. Di depan peti mati disediakan meja sembahyang untuk anggota keluarga dan di atasnya disediakan hiolo, 2 batang lilin putih yang dinyalakan, daging babi, ayam, ikan, dan buah-buahan untuk dipersembahkan kepada yang meninggal, serta makanan dan minuman kesukaannya.

Keluarga atau kerabat yang datang harus melakukan pemujaan atau sering disebut dengan memberikan “penghormatan terakhir kepada yang meninggal”. Caranya cukup sederhana, yaitu dengan menyalakan 2 atau 3 batang hio yang sudah disediakan di atas altar tersebut, kemudian diangkat setinggi kepala dan diturunkan lagi setinggi dada sebanyak tiga kali. Selesai memuja atau memberikan penghormatan, hio ditancapkan di tempat hio atau hiolo. Datang ke tempat orang meninggal untuk memberikan penghormatan terakhir juga didasarkan pada prinsip timbal balik karena mereka juga berharap andaikata dia atau keluarganya meninggal akan dikunjungi oleh keluarga yang mereka kunjungi tersebut. Dengan demikian, mengunjungi keluarga yang ditimpa musibah adalah kewajiban dan membalas kunjungan tersebut juga kewajiban.

Meletakkan jenazah atau peti mati tidak bisa sembarang, tapi harus mengacu pada aturan yang berlaku dalam kebudayaan Hakka. Orang Hakka di Singkawang dan juga orang Teochiu di Pontianak meyakini bahwa jika yang meninggal itu laki-laki, maka jenazahnya harus diletakkan di sebelah kiri pintu masuk rumah atau yayasan sosial kematian, dan jika yang meninggal itu seorang perempuan, maka jenazah harus diletakkan di sebelah kanan pintu masuk. Bagi orang Hakka di Singkawang, kiri adalah simbol laki-laki dan kanan adalah simbol perempuan.

Page 154: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

146

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

SumbanganSumbangan adalah uang yang diberikan oleh tamu kepada

keluarga orang yang meninggal. Di depan pintu masuk rumah tersebut atau di yayasan sosial kematian, disediakan meja lengkap dengan petugas yang akan mencatat sumbangan yang diberikan oleh para keluarga dekat, jauh, maupun sahabat-sahabat yang meninggal. Sumbangan itu dapat berupa uang atau spanduk ucapan belasungkawa yang ditulis dalam huruf Mandarin (kiuk). Ada juga ucapan belasungkawa yang disampaikan melalui koran-koran lokal. Sumbangan berupa uang dimasukkan dalam amplop berwarna biru atau putih, yang menyimbolkan duka cita, dan tidak boleh menggunakan amplop berwarna merah yang menyimbolkan kebahagiaan. Amplop berwarna merah hanya boleh digunakan untuk menempatkan uang hadiah pernikahan, ulang tahun, dan lain-lain. Uang sumbangan tersebut dipergunakan untuk keperluan upacara kematian, termasuk membayar upah orang-orang yang membantu serta membayar perlengkapan kematian, seperti peti mati, penggali lubang kubur, mobil jenazah dan keperluan lain.

Besar kecilnya sumbangan ini tidak ditentukan, tergantung keikhlasan orang yang menyumbang. Data penyumbang dapat diketahui dari catatan daftar penyumbang dan biasanya diumumkan di papan sehingga orang lain dapat mengetahui siapa yang menyumbang dan berapa besarnya. Sumbangan ini tidak mesti diantar langsung oleh orang yang menyumbang, tapi boleh dititipkan kepada orang lain atau keluarga dekat.32 Ketika menyerahkan sumbangan tersebut,

32 Selama saya melakukan penelitian di Singkawang, saya pernah satu kali dititipkan uang oleh seseorang di Jakarta untuk gurunya yang meninggal di Singkawang pertengahan tahun 2002. Sumbangan itu berupa uang yang dimasukkan ke dalam amplop putih, dan di dalam amplop tersebut ditulis nama orang yang menyumbang. Sampai di rumah duka uang tersebut saya sampaikan kepada petugas khusus yang mencatat sumbangan. Nama penyumbang dan besar sumbangannya dia catat dalam sebuah buku sumbangan dengan menggunakan bahasa Mandarin (Cina).

Page 155: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

147

PEMUJAAN LELUHUR

petugas sumbangan akan menanyakan nama penyumbang dan jumlah sumbangan tersebut. Apa yang dilakukan oleh orang Hakka ini adalah untuk memudahkan mereka membalas pemberian jika anggota keluarga yang memberi sumbangan itu mengalami hal yang sama di masa yang akan datang atau untuk mengetahui berapa besar sumbangan yang diberikan. Hal ini berbeda ketika ada warga Melayu di Singkawang yang meninggal, sumbangan hanya dimasukkan ke tempat yang telah disediakan atau menitip pada salah satu keluarga yang meninggal. Asal sumbangan tidak perlu dicatat.

Selain uang, orang juga dapat menyumbangkan spanduk atau kiuk. Spanduk ini berisi bahwa seseorang ikut berduka cita atas kematian orang lain atau sahabatnya. Biasanya para menantu laki-laki juga ikut memberikan kiuk berwarna merah dengan tulisan hitam, sedangkan menantu wanita memberikan kiuk berwarna hitam dengan tulisan kuning atau putih dan ditulis dalam bahasa Mandarin (aksara China). Di samping menantu, kiuk juga berasal dari sahabat-sahabat orang yang meninggal. Di kiuk tersebut juga dituliskan siapa yang menyumbang, baik nama perorangan maupun nama perusahaan. Jika yang meninggal itu memiliki banyak kenalan, sahabat, atau seorang guru yang memiliki banyak murid, maka sumbangan kiuk-nya banyak. Kiuk ini digantung di depan rumah duka atau di depan yayasan sosial kematian (jika jenazah diurus oleh yayasan sosial kematian) sehingga terlihat oleh tamu-tamu. Saat jenazah dibawa ke kuburan, kiuk ini juga ikut dibawa dengan menempelkan atau mengikatkannya di depan mobil-mobil tamu yang ikut mengantarkan jenazah ke kuburan. Selesai upacara penguburan, kiuk dibawa pulang ke rumah untuk disimpan oleh keluarga.

Setelah tamu yang datang menyampaikan sumbangan, barulah mereka menuju meja sembahyang (altar) di depan

Page 156: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

148

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

peti mati untuk melakukan penghormatan atau pemujaan terakhir kepada orang yang meninggal. Atau bisa saja ia memberikan penghormatan terlebih dahulu, dengan menggunakan hio, setelah itu baru menyerahkan sumbangan. Tamu datang tapi tidak membawa sumbangan tidak menjadi masalah, tapi memberikan penghormatan atau pemujaan pada yang meninggal tetap dilakukan. Pemujaan dianggap selesai setelah hio yang sudah dinyalakan ditancapkan di hiolo. Tamu yang beragama Kristen dan Islam yang datang, boleh tidak melakukan penghormatan, sebagaimana tamu yang beragama Buddha dan Konghucu. Pemujaan yang dilakukan oleh tamu yang datang tidak dianggap sebagai pemujaan leluhur, tapi dianggap sebagai memberi penghormatan terakhir kepada orang yang meninggal, sedangkan untuk orang yang masih ada ikatan kekeluargaan, selain dianggap sebagai penghormatan, juga sebagai pemujaan terhadap leluhurnya.33

Salah seorang tamu yang hadir saat Chang Chung Liu meninggal (10 Maret 2002) di Singkawang mengatakan kepada penulis, dia datang dari Jakarta hanya ingin melakukan penghormatan terakhir pada ayah Chang Chung Liu (86) dan memberikan sedikit sumbangan untuk meringankan beban anggota keluarganya sebab almarhum Chang Chung Liu adalah gurunya di sekolah dasar. Apa yang dia lakukan ini adalah sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada almarhum gurunya.

Apa yang dilakukan oleh orang Hakka dengan memberikan sumbangan pada keluarga sahabat mereka yang meninggal, dapat juga dilihat sebagai bentuk tukar-menukar

33 Ada perbedaan antara tamu yang melakukan pemujaan dengan anak dari yang meninggal dalam melakukan pemujaan. Tamu melakukan pemujaan boleh menggunakan hio atau tidak, dan dilakukan dengan berdiri. Sedangkan anak dari yang meninggal melakukan pemujaan dengan dengan menggunakan hio yang telah dinyalakan dengan api lilin, dilakukan sambil berdiri, berlutut dan sujud beberapa kali di depan meja sembahyang orang tuanya.

Page 157: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

149

PEMUJAAN LELUHUR

pemberian yang dilakukan secara resmi (pemberian itu dicatat). Pemberian ini diharapkan akan dibalas kembali oleh yang menerima saat orang yang memberi sumbangan ditimpa musibah yang sama. Tidak hanya itu, ada orang yang memberikan sumbangan dan penghormatan karena semasa hidup mereka pernah ditolong oleh orang yang meninggal. Jadi, memberikan sumbangan pada keluarga yang ditimpa musibah kematian tidak hanya dilihat sebagai ikut meringankan beban, tapi dapat juga dilihat sebagai balas jasa yang diberikan oleh yang meninggal sebelumnya. Oleh karena itu, tidak ada sumbangan yang diberikan tanpa pamrih dan tidak ubahnya seperti hadiah atau kado yang diberikan saat upacara pernikahan, semuanya mengharapkan balasan. Di Singkawang, khususnya dalam masyarakat Hakka, tidak hanya upacara pernikahan saja orang dapat mengumpulkan sumbangan atau hadiah, tapi juga dalam upacara kematian. Apa yang dilakukan oleh orang Hakka dengan membantu saudara-saudara mereka yang ditimpa musibah kematian telah menunjukkan bahwa pemujaan leluhur (terutama dalam upacara kematian) adalah salah satu cara untuk mempersatukan dan memupuk solidaritas di antara mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Turner (1974: 33) bahwa upacara (sebagaimana yang juga terdapat dalam masyarakat Ndebu) merupakan mekanisme dasar untuk mencapai solidaritas (pendapat yang sama juga sudah penulis kutip dalam bagian pertama) antar sesama manusia.

Jika seorang anak meninggal, di bawah usia 17 tahun, maka mereka langsung dimakamkan. Adapun jika berumur antara 40 sampai di atas 60 tahun biasanya menunggu hari baik (minimal tujuh hari) atau kedatangan anggota keluarga barulah dimakamkan.

Berdasarkan kebudayaan orang Hakka di Singkawang, jika orang yang berusia 20 sampai dengan 30 tahun meninggal, biasanya dibaringkan di rumah atau yayasan

Page 158: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

150

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

sosial kematian selama 3 hari, golongan usia 40 tahun sampai 50 tahun dibaringkan selama 5 hari, dan golongan usia di atas 50 tahun dibaringkan di rumah atau yayasan sosial kematian selama 7 hari. Ini dimaksudkan supaya anak-anaknya yang bepergian jauh bisa hadir sebelum dikubur.

Usia orang yang meninggal juga ada kaitannya dengan besar kecilnya upacara yang dilakukan. Bagi orang yang meninggal dalam usia muda (di bawah 60 tahun), upacara yang dilakukan sederhana, tapi jika yang meninggal di atas 60 tahun, upacara dilakukan besar-besaran karena mereka menganggap bahwa meninggal di usia tua itu dipandang bagus, dan dapat mendatangkan keuntungan yang besar bagi anggota keluarga.

Dalam kebudayaan orang Hakka, jika orang tuanya sudah menginjak usia 60 tahunan, biasanya anak-anak sudah membelikan peti mati. Maksudnya, bukan mendoakan orang tua mereka mati, tapi sebaliknya mendoakan agar orang tua mereka panjang umur. Peti mati ini disimpan dengan baik, maka saat tanggal 1 dan 15 setiap bulan tahun Imlek, keluarga menyalakan lilin dan hio serta melakukan sembahyang di depan peti mati tersebut.

upacara malam Pemberangkatan Jenazah Pada malam hari menjelang pemberangkatan jenazah,

terlebih dahulu dilakukan upacara sinpuk yang dipimpin oleh bosong. Upacara ini dapat dilakukan tepat pukul 24.00 hingga pukul 03.00, atau sekitar pukul 06.00 sampai pukul 09.00. Jika upacara dilakukan pada malam hari, jenazah langsung dibawa ke kuburan, tapi jika pada malam hari tidak dilakukan upacara, maka dilakukan upacara terlebih dahulu pada pagi hari, baru jenazah dibawa. Upacara ini merupakan penghormatan terakhir yang dilakukan keluarga. Tujuannya untuk memuja dan mendoakan yang meninggal agar

Page 159: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

151

PEMUJAAN LELUHUR

mendapat hidup yang baik dan memperoleh kebahagiaan di dunia lain. Keluarga juga berharap agar orang yang meninggal selalu membantu keluarga di dunia. Dalam masyarakat Hokkian di Jawa, upacara ini disebut Maisong, yaitu upacara malam pemberangkatan jenazah. Upacara ini dilakukan apabila keluarga atau anak-anak Anda yang meninggal sudah berkumpul semua.

Sebelum melakukan upacara, keluarga mempersiapkan dua meja atau altar. Altar pertama dipergunakan untuk tempat pemujaan leluhur dan dewa-dewa dan altar kedua dipergunakan untuk tempat pemujaan orang yang meninggal. Di meja pertama disediakan perlengkapan sembahyang atau pemujaan, yang terdiri dari hiolo atau hionglupat, hio yang telah dinyalakan, dua batang lilin merah atau lilin putih yang sudah dinyalakan, buah-buahan, arak, air putih, dan air teh yang ditempatkan di dalam gelas, hio yang belum dinyalakan, dan siukim atau sintin yang digunakan untuk leluhur mereka dan dewa-dewa. Di bawah meja sembahyang ada dua ekor ayam betina dan bebek jantan yang kakinya diikatkan ke kaki meja. Menurut narasumber saya, bebek dan ayam digunakan oleh bosong untuk memperkuat ilmunya dan sebagai bentuk persembahan kepada dewa-dewa yang menjadi peliharaan bosong.

Di bawah meja juga disediakan kertas tipis berwarna putih berukuran 50 x 100 cm (20 lembar). Kertas ini kemudian digulung dan diikatkan di kaki meja sembahyang atau digantungkan di bawah kaki meja. Kertas ini disimbolkan sebagai uang yang akan dipergunakan oleh yang meninggal untuk membayar utang pada Sang Pencipta atau Thian. Menurut keyakinan sebagian orang Hakka di Singkawang, saat lahir ke dunia, manusia dipinjami uang oleh Thian (Tuhan) untuk keperluan hidup di dunia, dan saat mereka mati uang tersebut harus dikembalikan lagi pada Thian. Oleh sebab itu, saat upacara berlangsung kertas

Page 160: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

152

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

uang tersebut harus dipersembahkan pada dewa-dewa dan Thian, kemudian dibakar sebagai simbol bahwa kertas uang tersebut dikirimkan pada dewa-dewa dan Thian.

Di meja kedua juga disediakan perlengkapan sembahyang seperti di meja pertama, tetapi ditambah dengan sajian korban daging babi, ayam, ikan, hati babi, hionglupat, sinci atau papan arwah, air putih, teh, dan arak yang ditaruh dalam gelas, buah-buahan, dan makan-makanan kesukaan yang meninggal. Hidangan ini sesuai dengan kemampuan keluarga.34

Selain perlengkapan upacara di atas, juga dipersembahkan babi dan kambing yang belum dipotong-potong. Babi dan kambing tersebut disembelih terlebih dahulu (dengan cara menusuk perut atau lehernya dengan pisau) baru diletakkan di suatu tempat (dibuatkan tempat di depan rumah menyerupai bangku. Di mulutnya dimasukkan sebuah jeruk Mandarin (warna kuning). Jeruk ini, oleh masyarakat Hakka di Singkawang dikenal dengan sebutan kit, yaitu simbol atau lambang pemurah rezeki. Keluarga berharap, setelah kematian orang tuanya, rezeki anak keturunannya yang hidup semakin bertambah, dan bukan sebaliknya semakin berkurang. Ada sedikit perbedaan dengan apa yang dilakukan di Taiwan. Oang-orang China di sana menggunakan nanas matang yang warnanya sudah kekuning-kuningan (lihat Ahern, 1973: 130). Nanas, menurut keyakinan orang Hakka, sama maknanya dengan jeruk, yaitu simbol murah rezeki bagi keluarga yang masih hidup.

Kambing berwarna hitam dan babi berwarna putih yang dipersembahkan pada dewa bumi tersebut terlebih dahulu

34 Makanan yang disediakan di meja kedua atau di meja untuk persembahan pada orang yang meninggal, di samping makanan yang berlaku umum untuk setiap orang yang meninggal, juga disediakan makanan khusus kesukaan orang yang meninggal. Hanya keluargalah yang tahu apa makanan yang menjadi kesukaan orang yang meninggal di masa hidupnya. Jika semasa hidupnya yang hidup senang makan duren, maka duren juga dihidangkan untuknya saat dia meninggal atau saat diadakan upacara pemujaan.

Page 161: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

153

PEMUJAAN LELUHUR

dicukur bulunya sedangkan kepalanya tidak dikuliti. Maksud pencukuran bulu adalah agar hewan-hewan tersebut menimbulkan bau yang dapat mengundang roh-roh dan dewa-dewa untuk datang memakan hewan yang dihidangkan tersebut (memakan baunya kambing, bukan dagingnya).

Sebagaimana dikatakan oleh Fung Long (narasumber), roh-roh tidak memakan daging binatang yang kita persembahkan kepada mereka, tapi memakan sari atau bau binatang-binatang tersebut. Menurut dia, hanya keluarga yang mampu saja yang dapat menyediakan korban seekor kambing dan babi saat upacara kematian. Untuk keluarga yang tidak mampu cukup dengan sebagian kecil dagingnya saja yang dapat dibeli di tempat pemotongan hewan babi.

Kedua binatang ini dipajang di depan rumah. Kambing dipajang di sebelah kanan pintu masuk dan babi di sebelah kiri pintu. Hal ini berbeda dengan upacara kematian yang dilakukan masyarakat China di Taiwan, yang dipersembahkan pada dewa dan leluhur hanya babi saja (Ahern, 1973: 131). Hal ini menunjukkan bahwa disetiap daerah, tata cara dan perlengkapan upacara kematian yang digunakan berbeda.

Selesai upacara, daging babi dan kambing ini dibagi-bagikan kepada orang yang membutuhkan. Pada tahun '60-an, daging babi dan kambing ini tidak dibagi-bagikan, tapi dimasak atau dibikin sop, lalu pihak keluarga mengundang orang yang dekat atau orang yang membantu pemakaman untuk makan bersama di rumah. Dapat juga dibagi-bagikan ke rumah-rumah tetangga dekat. Ini menunjukkan bahwa persembahan ini dapat juga digunakan untuk kepentingan sosial dan mengeratkan hubungan.

Page 162: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

154

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Upacara mengelilingi peti jenazah untuk keluarga ...

Dalam upacara, peti mati ditutupi dengan kain putih dan di sampingnya dihiasi dengan kembang plastik agar tidak menimbulkan ketakutan. Kembang ini merupakan pemberian dari anak, cucu, dan cicit perempuan. Saat upacara berlangsung, kembang-kembang ini dibawa oleh anak, cucu, dan cicit berjalan mengelilingi peti mati dan altar atau meja persembahan makanan dan korban. Tujuannya agar orang yang meninggal tahu bahwa kembang-kembang tersebut ialah pemberian dari anak, cucu dan cicitnya.

Setelah semua perlengkapan upacara dianggap cukup, peti mati dibawa keluar oleh pembantu upacara dan diletakkan di belakang meja pemujaan atau altar sembahyang. Peti mati tersebut diletakkan di atas dua bangku35 yang disediakan oleh yayasan sosial kematian. Mengeluarkan peti mati dari dalam rumah harus hati-hati dan jangan sampai menyentuh pintu sebab dianggap tabu dan mendatangkan malapetaka bagi keluarga yang hidup atau dianggap kurang baik untuk orang yang meninggal.

35 Bangku-bangku ini umumnya sudah disediakan dari yayasan kematian. Bangku ini terbuat dari kayu dan dicat hitam atau sama sekali tidak dicat

Page 163: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

155

PEMUJAAN LELUHUR

Saat peti mati dikeluarkan dari dalam rumah, anak-anak, cucu-cucu, dan cicit (berlutut yang beralaskan tikar pandan) di depan meja sembahyang untuk leluhur sambil menundukkan kepala dan menunjukkan wajah sedih. Mereka tidak mengenakan sandal, memakai kaus putih lengan pendek dan celana panjang hitam untuk anak perempuan dan laki-laki, baju kaus biru dan celana panjang berwarna hitam untuk cucu.

Setelah yakin peti mati sudah diletakkan dengan betul, anak-anak, cucu-cucu, dan cicit yang berada dalam posisi berlutut diperintahkan oleh pembantu bosong untuk bersiap-siap memulai upacara. Peserta upacara terlebih dahulu dibagikan hio yang sudah dinyalakan untuk melakukan pemujaan terhadap Shi Kok Thian Ti (dewa yang menjaga empat penjuru alam) dan roh leluhur mereka (termasuk roh orang yang baru meningga). Pemujaan dilakukan dengan mengangkat hio dan kemudian menurunkan tepat di depan muka (dapat juga diangkat sampai ke atas kepala) sebanyak tiga kali dengan kedua tangan. Selesai pemujaan, pembantu bosong mengambil semua hio dari tangan pemuja dan menancapkannya ke hiolo. Dan, upacara pemujaan dinyatakan selesai. Pemujaan ini dimaksudkan untuk meminta izin kepada Shi Kok Thian Ti, roh-roh, dan roh-roh leluhur untuk melaksanakan upacara hang cui (pemberangkatan jenazah ke tempat pemakaman yang telah ditentukan ) dan agar upacara tersebut berjalan lancar.

bosong Pertama Upacara hang cui dipimpin oleh tiga bosong dan

dilakukan bergiliran. Mereka terdiri dari dua bosong senior dan satu bosong yunior (murid bosong senior). Setelah peti mati dikeluarkan dari rumah, perlengkapan upacara sudah lengkap, dan peserta upacara sudah siap, bosong yunior

Page 164: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

156

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

memakai baju seragam lengkap dengan tutup kepalanya, menandakan upacara akan segera dimulai. Baju bosong menyerupai baju tradisional orang China, berukuran besar dan menggunakan sabuk dari kain yang diikatkan di perut. Bosong yunior mengambil alat musik breng-brengan dari atas meja sembahyang untuk dimainkan saat upacara, yang dilengkapi dengan tongkat pemanggil atau pemandu roh untuk dikibas-kibaskan ke kiri, kanan, dan ke atas dengan menggunakan tangan kanan.

Memainkan alat musik saat upacara kematian.

Bosong yunior lalu memulai upacara dengan mengucapkan mantra-mantra, sambil membunyikan breng-brengan, dan mengibaskan tongkat. Mantra-mantra yang berisikan doa ini dia ucapkan dengan irama yang indah. Walaupun diucapkan dalam bahasa Hakka atau bahasa lokal, banyak di antara mereka yang tidak paham dengan isi mantra tersebut. Bunyi mantra-mantra tersebut adalah sebagai berikut:

Page 165: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

157

PEMUJAAN LELUHUR

“Shi kok thian ti, shi thi tong thian, shi phong thian kung, shi phong tuti shinna, shi phong hoi nyambong, nyi phun lin phun, song thai chi kung, loyya-loyya.” Artinya: “Hari ini kami melakukan upacara, wahai dewa dewa empat penjuru langit, bukakanlah pintu empat penjuru langit, dewa empat penjuru laut, dewa-dewa bumi, dewa-dewa penguasa laut, roh-roh baik dan jahat, roh-roh leluhur, hadirlah semuanya di sini dan memakan makanan yang kami persembahkan untuk kalian semua, kemudian lindungilah roh orang yang meninggal ini, ringankan siksaannya, lindungi juga anak cucunya di dunia dan makmurkan hidup mereka.”

Sambil membaca mantra, bosong menundukkan kepala untuk menghormati para dewa, leluhur, dan orang yang meninggal. Gerakan ini langsung diikuti peserta upacara, anak laki-laki, dan cucu-cucu dari yang meninggal yang berdiri di belakang bosong. Setelah beberapa kali membaca mantra, menundukkan kepala, diiringi alat musik breng-brengan, dia lalu bergerak mengelilingi meja sembahyang dan peti mati diikuti peserta upacara. Di depan meja sembahyang dia berhenti dan menundukkan kepala. Mengelilingi meja sembahyang (altar) dan peti mati di bawah pimpinan bosong yang diikuti peserta upacara disebut hangli, artinya berkeliling untuk memuja dewa langit, bumi, dan roh-roh leluhur.

Ketika mengelilingi meja sembahyang dan peti mati, bosong mengibas-ngibaskan sebuah bambu kecil yang ujungnya diikatkan rambu-rambuan yang terbuat dari kertas. Panjang bambu ini kira-kira 1 meter dan berfungsi untuk mengusir roh jahat. Sebagaimana orang hidup yang akan bepergian, orang meninggal juga tidak menginginkan dalam perjalanannya ke kuburan mengalami gangguan roh-roh jahat yang diyakini orang Hakka dapat membuat kehidupan roh-roh leluhur mereka di dunia roh atau di dalam kubur menjadi tidak tenang atau tidak bahagia.

Page 166: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

158

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Dalam memimpin upacara, bosong yunior dibantu bosong senior. Bosong yunior memimpin upacara sambil memainkan alat musik dan membacakan mantra-mantra, dan bosong senior duduk di samping meja sembahyang mengikuti upacara dengan memukul gong kecil mengikuti irama musik (breng-brengan). Saat memukul gong, bosong senior36 juga membacakan mantra-mantra, yang isinya tidak jauh berbeda dengan mantra-mantra yang diucapkan oleh bosong yunior.

Setelah lebih kurang satu jam memimpin upacara hang cui, bosong senior dan yunior berhenti memimpin upacara dan alat perlengkapan upacara diletakkan di meja sembahyang. Sementara menunggu pergantian antarbosong yunior dan senior, upacara diistirahatkan sejenak dan peserta tetap berlutut di depan meja sembahyang. Saat istirahat, peserta upacara tidak dilarang berbicara. Meskipun demikian, mereka tetap menunjukkan wajah sedih, dan sikap penuh kesederhanaan. Konghucu (551-479 SM) mengatakan: “Dalam upacara berkabung hendaklah ditunjukkan rasa sedih yang mendalam dan bukan kegembiraan” (lihat dalam kitab SuSi: 225). Sikap yang ditunjukkan oleh orang Hakka dalam melakukan upacara kematian atau berkabung dapat dilihat sebagai cerminan dari ajaran Konghucu.

bosong Kedua dan TugasnyaSetelah bosong pertama (yunior) selesai memimpin

hangcui, upacara diteruskan oleh bosong kedua (senior) dengan bentuk yang sedikit berbeda. Selain memimpin upacara, bosong senior juga membacakan surat jalan untuk orang yang meninggal. 36 Bosong yunior dan bosong senior membacakan syair dengan saling jawab sehingga suasana

menjadi ramai, terutama dengan bantuan alat musik yang dibunyikan mereka. Bosong yunior membacakan syair dan bosong senior menjawab. Begitu seterusnya sampai upacara selesai. Hal ini dilakukan karena upacara harus dihadiri semua anggota keluarga. Jika tidak, akan berdampak tidak baik bagi anggota keluarga yang tidak hadir, seperti sakit, gagal usaha, dan lain-lain. Bosong menganggap orang yang meninggal tidak bisa melihat upacara yang dilakukan keluarga, tapi hanya mendengarkan.

Page 167: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

159

PEMUJAAN LELUHUR

Surat jalan ialah surat yang akan dibawa dan digunakan oleh roh orang yang meninggal saat akan masuk ke neraka. Menurut keyakinan sebagian orang Hakka di Singkawang, untuk masuk ke neraka, penjaga akan menanyakan surat jalan yang dibikin di dunia. Apabila dilengkapi dengan surat jalan, maka proses masuk ke neraka tidak mengalami kesulitan. Namun, jika tidak, maka dia akan kesulitan dan menjadi roh yang bergentayangan. Ibarat orang hidup yang sedang bepergian, jika tidak dilengkapi dengan surat jalan akan mengalami kesulitan di perjalanan.

Untuk melanjutkan upacara, bosong kedua bergerak dari tempat duduknya menuju meja sembahyang. Dia langsung mengenakan pakaian bosong yang tersedia di meja sembahyang tersebut. Bosong kedua kemudian memulai upacara dengan membacakan surat jalan untuk orang meninggal yang ditulis dengan tinta hitam di kertas kuning tipis (sin tin) atau kertas uang atau dianggap duplikat dari uang.

Saat membacakan surat jalan, bosong mengetokkan kayu kecil menyerupai stempel ke meja sembahyang, maksudnya membangunkan roh yang sedang tidur (roh orang mati) agar dia mendengarkan mantra-mantra yang dibacakan oleh bosong. Kemudian bosong melanjutkan pembacaan mantra sambil menggetokkan kembali kayu tersebut ke atas altar. Jika orang hidup menggunakan surat jalan yang dibubuhi oleh tanda tangan dan stempel, maka orang yang meninggal juga harus demikian supaya dia tidak mengalami kesulitan di perjalanan dan bisa sampai dengan selamat ke tempat tujuan di dunia lain.

Saat surat jalan dibacakan, anak, cucu, dan cicit berlutut mendengarkan. Mereka menundukkan kepala dan mengikuti upacara dengan khusuk. Begitu juga dengan para pembantu rumah tangga dari orang yang meninggal juga khusuk di barisan bagian belakang walaupun tidak ada hubungan kekeluargaan. Saya yakin hanya sedikit yang mereka (anak

Page 168: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

160

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

dan cucu) pahami karena bahasa yang digunakan oleh bosong banyak mengandung nilai-nilai sastra yang cukup tinggi. Bahasa yang digunakan sebagian besar bahasa Hakka (bahasa lokal di daerah Singkawang) yang cukup halus dan dicampur dengan bahasa Mandarin.

Terlihat bosong senior menundukkan kepala beberapa kali untuk memberikan penghormatan kepada Shi Kok Thian Ti agar merestui upacara ini. Setelah itu, dia melanjutkan pembacaan surat jalan dan menggetokkan kayu di atas meja. Setelah selesai, surat tersebut dilipat dan diletakkan di atas meja sembahyang. Di akhir upacara surat jalan dibakar, yang artinya dikirimkan bersama orang yang meninggal sebagai bekal di perjalanan. Surat jalan adalah bukti bahwa dia pergi ke dunia lain dengan resmi dan bukan pendatang gelap.

Tugas bosong selanjutnya adalah mempersembahkan tongkat xiao, yakni sepasang tongkat yang terbuat dari bambu berwarna hitam, berdiameter setengah sentimeter, dengan panjang sekitar 100 sentimeter, dan di ujungnya diikatkan kain putih. Setiap anak laki-laki membawa sepasang tongkat ini saat upacara, terutama saat mengelilingi peti mati dalam upacara malam pemberangkatan jenazah. Tongkat xiao ini akan ditancapkan di samping kuburan setelah proses upacara pemakaman selesai. Tongkat xiao adalah tongkat bakti, yaitu sebagai bukti bahwa anak akan tetap berbakti kepada orang tuanya walaupun mereka sudah meninggal.

Setelah membacakan surat jalan, bosong mengambil tongkat xiao di atas meja sembahyang. Tongkat xiao tersebut dipersembahkan kepada orang meninggal dengan membacakan mantra-mantra, yang menyatakan bahwa tongkat tersebut adalah tanda bakti anak laki-laki kepada orang tuanya. Demikianlah isi pembacaan mantra yang dibacakan oleh bosong saat mempersembahkan tongkat xiao kepada leluhur. Mantra-mantra tersebut berbunyi sebagai berikut:

Page 169: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

161

PEMUJAAN LELUHUR

“Wahai orang yang meninggal (atau menyebut namanya) sekarang ini anak-anak Anda berdiri di depan Anda dan mempersembahkan tongkat xiao ini kepada Anda. Tongkat ini bukanlah tongkat yang sesungguhnya, tapi merupakan simbol bakti seorang anak pada orang tuanya atau pada anda yang sudah meninggal. Meskipun Anda sudah meninggal, Anak-anak Anda masih tetap mematuhi perintah orang tuanya yang diwujudkan dalam bentuk upacara.”

Sebelum dan setelah jenazah dimasukkan ke peti mati, anak-anak dan cucu-cucu perempuan membakar kertas uang di samping peti mati sambil berjaga menunggui jenazah (sebagaimana disebutkan di atas). Hal yang sama juga dilakukan oleh anak-anak dan cucu-cucu saat peti mati akan diberangkatkan ke kuburan.

Saat mempersembahkan kepada Shi Kok Thian Ti, kertas uang dalam satu ikatan tersebut digantungkan di ujung tongkat xiao. Saat menggantungkan ke ujung tongkat xiao, bosong berkata-kata dalam bahasa Hakka, menjelaskan maksud dari persembahan kertas uang (putih tipis), yang disimbolkan uang tersebut untuk digunakan oleh leluhur mereka di dunia lain. Sementara itu, peserta upacara yang berlutut di belakang bosong menundukkan kepala, khusuk mendengarkan bosong.

Setelah itu bosong mengelilingi meja sembahyang dan peti mati (hangli) seperti yang dilakukan oleh bosong pertama atau bosong yunior. Setelah dua-tiga kali mengelilingi peti mati dan meja sembahyang, bosong diikuti para peserta masuk ke dalam rumah sambil membacakan mantra dan membunyikan alat musik breng-brengan, lalu keluar lagi menuju tempat diadakannya upacara. Di luar rumah, tepatnya di belakang meja atau altar sembahyang, bosong dan para peserta berdiri melingkari tumpukan kertas yang akan dibakar. Kertas yang dibakar adalah surat jalan, surat nama-nama anggota keluarga atau miang sithan, kertas

Page 170: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

162

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

uang pengembalian utang kepada Maha Pencipta, dan kertas sintin. Sementara kertas-kertas dibakar, bosong dan peserta upacara kembali ke meja sembahyang untuk mengakhiri upacara. Selama upacara berlangsung, alat musik breng-brengan selalu dibunyikan oleh bosong dan pada akhir upacara alat musik tersebut dibunyikan dengan kencang sekali, menandakan upacara akan segera berakhir.

Ada perbedaan antara bosong pertama dengan bosong kedua dalam memimpin upacara. Jika bosong pertama memulai upacara dengan membunyikan alat musik breng-brengan atau lo pat, bosong kedua memulai upacara dengan membacakan surat jalan untuk orang yang meninggal yang telah dihapalkan oleh bosong. Maksudnya agar para pegawai pemerintahan di akhirat mengetahui dengan jelas tamu yang datang dan asal-usulnya.

bosong KetigaSetelah bosong kedua selesai memimpin upacara, segera

digantikan oleh bosong ketiga. Bosong ketiga tidak memakai seragam, tapi hanya memakai baju yang biasa dia pakai sehari-hari. Di pinggangnya dibaluti dengan kain putih, yang menandakan bahwa dia juga ikut belasungkawa layaknya anggota keluarga.

Bosong ketiga maju ke depan altar sembahyang untuk dewa langit, bumi, dan roh leluhur untuk melanjutkan upacara. Upacara dimulai dengan membacakan mantra-mantra yang melaporkan kepada shi kok thian ti (dewa penjaga di empat penjuru alam) dan orang yang meninggal tentang anggota keluarga yang ikut dalam upacara dengan menyebutkan satu per satu nama mereka. Dimulai dengan menyebutkan nama anak laki-laki tertua. Setiap kali nama anggota keluarga disebutkan oleh bosong untuk memastikan apakah dia hadir atau tidak, pembantu bosong yang berdiri di

Page 171: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

163

PEMUJAAN LELUHUR

samping meja sembahyang menjawab “ju” (hadir). Andaikata ada di antara anggota keluarga yang tidak hadir karena belum tiba atau ada halangan, pembantu bosong atau anggota keluarga yang lain akan tetap menjawab “ju .”37

Setelah melakukan pemujaan, tiga anak laki-laki tersebut kembali berlutut di depan meja sembahyang, sementara pembantu bosong mengambil tiga mangkok kosong di atas meja sembahyang untuk diserahkan kepada mereka. Lalu, ketiga mangkok ini diisi sedikit arak untuk dipersembahkan kepada dewa-dewa. Cara mempersembahkannya dilakukan dengan mengangkat tiga mangkok itu sebanyak tiga kali setinggi kepala (yaitu mempersembahkan dengan cara sopan santun). Selesai dipersembahkan, mangkok-mangkok tersebut diambil kembali oleh pembantu bosong dan isinya dituang ke gelas kosong yang ada di atas meja sembahyang. Mantra yang dibacakan oleh bosong dalam mengiringi persembahan arak tersebut adalah sebagai berikut:

“Wahai Shikok Thianti (dewa empat penjuru langit dan bumi) saat ini anak-anak dari orang yang meninggal mempersembahkan minuman arak, maka minumlah pemberian ini, tapi dewa-dewa jangan mengganggu kami dalam perjalanan ke kuburan, dalam proses pemakaman dan lindungi orang yang meninggal serta anak keturunannya di dunia.”

Dalam mantra ini terlihat adanya perjanjian antara manusia dan dewa-dewa yang didahului dengan pemberian arak (minuman yang nilainya tinggi). Tentu saja balasan yang diharapkan oleh manusia dari dewa akan lebih besar dari pemberian yang mereka berikan pada dewa-dewa saat pelaksanaan upacara.

37 Hal ini dilakukan karena upacara harus dihadiri semua anggota keluarga. Jika tidak, akan berdampak tidak baik bagi anggota keluarga yang tidak hadir, seperti sakit atau gagal usaha. Bosong menganggap orang yang meninggal tidak bisa melihat upacara yang dilakukan keluarga, tapi hanya mendengarkan.

Page 172: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

164

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Selesai mempersembahkan arak, ketiga anak laki-laki itu lalu mempersembahkan kertas uang. Tata cara yang dilakukan dalam mempersembahkan kertas uang tidak jauh berbeda dengan tata cara saat mempersembahkan mangkok berisikan arak. Karena kertas uang ini hanya terdiri dari satu bundelan (yang terdiri dari ratusan lembar), maka dipegang bersama oleh ketiga anak laki-laki tersebut, dan dipersembahkan secara bersama-sama pula. Setelah kertas uang ini dipersembahkan kepada roh-roh leluhur, kertas uang tersebut kemudian diletakkan di atas meja sembahyang atau altar sembahyang untuk dibakar di akhir upacara.

Setelah itu pembantu bosong mengambil sepiring buah-buahan (jeruk mandarin, apel, dan pir ) dan menyerahkan buah-buahan tersebut kepada ketiga anak laki-laki tadi. Ketiganya secara bersama-sama menyambut piring tersebut dan mempersembahkannya kepada dewa-dewa. Persembahan buah-buahan tersebut tidak ubahnya seperti persembahan kertas uang yang dilakukan sebelumnya.

Selesai mempersembahkan arak, kertas uang, dan buah-buahan, bosong memerintahkan ketiga anak laki-laki tersebut pindah ke meja kedua. Sama dengan di meja pertama, ketiga anak laki-laki itu juga duduk berlutut. Saat berlutut, bosong memerintahkan pembantunya membagikan mangkok kosong kepada setiap anak laki-laki yang selanjutnya diisi arak untuk mempersembahkannya kepada orang tuanya yang meninggal. Caranya sama dengan apa yang mereka lakukan di meja pertama. Dalam upacara kematian, anak laki-laki tidak semata-mata mempersembahkan arak kepada orang tua mereka yang sudah meninggal, tapi juga daging babi, ikan, buah-buahan, dan kertas uang. Setelah mempersembahkan semua barang-barang tersebut, ketiga orang anak laki-laki tersebut melakukan pemujaan (pai pai) sambil berlutut dengan cara tangan kanan menggenggam tangan kiri lalu diangkat setinggi kepala dan diturunkan

Page 173: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

165

PEMUJAAN LELUHUR

kembali. Gerakan ini diulangi tiga kali. Setelah itu mereka berdiri dan melakukan hal yang sama seperti saat berlutut dan mengakhirinya dengan menundukkan kepala sebanyak tiga kali ke meja sembahyang. Setelah itu mereka kembali ke tempat semula, yaitu duduk berlutut di depan meja sembahyang untuk dewa langit dan bumi.

Setelah anak laki-laki, giliran berikutnya adalah anak-anak perempuan dan para menantu yang diperintahkan oleh bosong untuk maju ke meja sembahyang untuk leluhur dan melakukan hal yang sama seperti yang telah dilakukan anak laki-laki. Namun, ada sedikit perbedaan tata cara, yaitu pada anak perempuan langsung menyuguhkan arak dan makanan yang ada di altar sembahyang, tidak lagi melakukan pemujaan menggunakan batangan hio. Akan tetapi, proses-proses yang lain tetap dilakukan sebagaimana yang dilakukan oleh anak laki-laki sebelumnya.

Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, dalam kebudayaan orang Hakka di Singkawang, anak perempuan yang sudah menikah, termasuk suami dan anak-anaknya, diperbolehkan melakukan pemujaan terhadap roh leluhurnya atau roh orang tuanya. Ini bertolak belakang dengan kebudayaan orang China yang tidak mewajibkan, bahkan tidak membolehkan anak perempuan yang sudah menikah melakukan pemujaan pada orang tuanya, karena tanggung jawab pemujaan hanya ada di tangan anak laki-laki, sedangkan anak perempuan berkewajiban melakukan pemujaan kepada leluhur suaminya (Yang, 1960: 60). Meskipun membolehkan anak perempuan yang sudah menikah ikut dalam upacara pemujaan leluhur, beberapa keluarga orang Hakka di Singkawang tidak mengizinkan anak perempuan yang sudah menikah dan menantu laki-lakinya membantu keuangan untuk urusan upacara kematian karena ada rasa khawatir dari anak laki-laki bahwa keberuntungan dari orang tua mereka yang meninggal akan

Page 174: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

166

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

lari ke menantu laki-laki dan bukan ke anak laki-laki.38 Akan tetapi, menantu boleh memberikan ucapan belasungkawa dalam bentuk spanduk atau kiuk. Warna kiuk yang diberikan harus disesuaikan dengan posisi seseorang dalam keluarga, jika menantu (laki-laki dan perempuan), kiuk yang diberikan berwarna biru, sedangkan untuk anak perempuan yang sudah menikah, kiuk yang diberikan harus berwarna putih, tapi tidak wajib. Ini menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam anggota keluarga orang Hakka dan tingkat-tingkatan tersebut diperjelas dalam simbol-simbol tertentu.

Tidak hanya anak laki-laki dan perempuan yang mempunyai kesempatan mempersembahkan makanan dan minuman kepada orang tuanya yang meninggal, tapi juga cucu dan cicit (kalau yang meninggal sudah mempunyai cicit). Akan tetapi, cucu dan cicit hanya mempersembahkan arak. Setelah cucu, baru menantu laki-laki tertua, dan orang yang dituakan di dalam marganya juga diperintahkan oleh bosong untuk mempersembahkan arak kepada leluhur dan orang yang meninggal. Menantu laki-laki adalah orang terakhir yang mendapat kesempatan untuk mempersembahkan arak kepada roh-roh leluhur dan mertuanya yang meninggal.

Pada akhir upacara malam pemberangkatan jenazah, anak laki-laki diminta bosong untuk berlutut di samping peti mati, memohon agar roh keluar dari tubuh orang tuanya. Caranya dengan melemparkan sebuah mangkok yang terbuat dari tanah ke bawah peti mati. Kemudian anak laki-laki kembali ke barisan semula (dalam barisan keluarga) dan bosong memerintahkan peserta upacara untuk melepaskan

38 Ada sebagian orang Hakka di Singkawang yang meyakini bahwa roh leluhur dapat memberikan rezeki atau kekayaan pada keluarganya, terutama pada anak laki-laki. Oleh karena itu, anak laki-laki harus berbuat baik kepada roh orang tuanya supaya orang tuanya selalu memberikan bantuan. Anak perempuan dan menantu laki-laki tidak diharuskan melakukan pemujaan karena adanya kekhawatiran orang tua mereka yang meninggal akan memberikan kasih sayang kepada anak perempuan atau menantu laki-laki. Meskipun memang ada keluarga yang memberi tugas pada menantu laki-laki tertua untuk memayungi papan arwah dan hionglupat (tempat hio) yang dibawa anak laki-laki tertua saat upacara.

Page 175: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

167

PEMUJAAN LELUHUR

topi berkabung (untuk anak laki-laki) dan tutup kepala dan baju berkabung (untuk anak perempuan atau menantu perempuan) yang menandakan upacara selesai dilaksanakan. Pakaian tersebut mereka kumpulkan dalam suatu tampah (tempat menampi beras), dan pakaian tersebut akan dipakai kembali untuk upacara pemakaman.

Apa yang dilakukan keluarga dalam upacara pemberangkatan jenazah ini tidak terlepas dari kegiatan tukar-menukar pemberian prestasi yang mengharapkan balasan dari apa yang mereka berikan. Roh-roh jahat dan dewa-dewa diundang, diberi minum dan makanan, agar mereka dapat memberikan perlindungan dan pertolongan kepada orang yang memujanya. Tujuan lainnya agar roh-roh dan dewa-dewa tersebut tidak mengganggu roh orang yang baru saja meninggal atau menghambat perjalanannya menuju dunia lain. Roh-roh dan dewa-dewa ini diperlakukan sebagai tamu kehormatan, yang diundang secara khusus. Sebaliknya, orang yang mengundang juga harus menggunakan pakaian khusus untuk menghormati tamu-tamu tersebut. Mauss (1992: 19) mengatakan bahwa manusia tidak saja melakukan kontrak dengan roh-roh, tapi juga dengan dewa-dewa. Mereka dipandang sebagai pemilik dari kekayaan di dunia. Tukar-menukar dengan mereka adalah suatu keharusan, jika tidak melakukannya dianggap berbahaya. Apa yang dikatakan Mauss ini juga ada dalam keyakinan sebagian besar orang Hakka di Singkawang, dan ini terlihat dari tindakan-tindakan mereka (anggota keluarga dari orang yang meninggal) saat upacara kematian, baik dilakukan di rumah (sebelum jenazah dikuburkan) maupun di kuburan.

Page 176: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

168

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

upacara Pemberangkatan JenazahUpacara pemberangkatan jenazah dilakukan oleh anggota

keluarga yang ditinggal meninggal orang tua, kakek, atau neneknya dan dipimpin oleh bosong. Dilakukan di halaman rumah atau di yayasan kematian, jika jenazah diurus oleh pihak yayasan sosial kematian. Dilakukan di rumah berarti orang tersebut meninggal di rumah, dan jdilaksanakan di yayasan sosial kematian jika orang tersebut tidak meninggal di rumah atau rumahnya terlalu kecil. Beberapa keluarga Hakka di Singkawang masih menganggap tabu jika orang yang meninggal di luar rumah atau meninggal secara tidak wajar, jenazahnya disemayamkan di rumah karena akan membawa malapetaka ke rumah.

Upacara pemberangkatan jenazah ini dikenal dengan sebutan sancong atau soncong. Dilakukan pada pagi hari sebelum jenazah diberangkatkan ke kuburan. Upacara ini tidak jauh berbeda dengan upacara sinpuk yang dilakukan pada malam hari, atau upacara malam pemberangkatan jenazah. Upacara ini adalah upacara terakhir bagi anggota keluarga atau perpisahan antara anggota keluarga dengan orang tuanya yang telah meninggal.

Sementara itu, semua perlengkapan upacara yang terdiri dari dua meja untuk mempersembahkan makanan kepada para dewa dan kepada orang yang meninggal, serta peti mati yang dihias dengan kembang telah dipersiapkan sebelumnya. Di atas peti mati telah disiapkan baki yang terbuat dari tanah, menyerupai cobek. Baki diletakkan di atas peti mati. Di atas baki dilintangkan tiga sampai empat batang kayu (seperti sumpit untuk makan mi), di atas sumpit diletakkan piring kecil yang dibalik dan lilin merah. Alat ini disebut sesat, yang artinya penangkal gangguan atau jimat, terutama gangguan dari roh-roh jahat.

Page 177: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

169

PEMUJAAN LELUHUR

Saat jenazah diangkat dan hendak diberangkatkan, sesat dipecahkan di tanah oleh bosong, dengan maksud agar orang-orang yang bertugas membawa peti mati ke kuburan dan orang-orang yang membantu proses pemakaman tidak mengalami gangguan dari roh-roh halus. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang China Hokkian di Pulau Jawa, saat jenazah akan diberangkatkan ke kuburan, mereka tidak membanting sesat, tapi membanting buah semangka sampai pecah, yang diyakini untuk membahagiakan penjaga neraka.

Di samping sesat, di atas peti mati juga disediakan semtupuk kertas uang untuk dipersembahkan kepada para dewa yang menguasai empat penjuru alam. Setelah upacara selesai, siukim dikirimkan kepada dewa-dewa dengan cara dibakar. Bagi orang Hakka, dewa-dewa itu penting untuk dihormati karena dianggap penguasa alam dan seisinya ini.

Sebelum upacara dimulai, peti mati ditutupi kain biru muda dan diberi tulisan China. Di depan meja sembahyang dihamparkan tikar pandan untuk tempat duduk keluarga saat melakukan pemujaan.

Sebelum upacara dimulai, anak laki-laki, perempuan, dan cucu-cucu berdiri di barisan paling depan, tapi ketika upacara akan dimulai, anak laki-laki berada di barisan paling depan, anak perempuan di barisan kedua, cucu-cucu berdiri di barisan ketiga, sementara cicit-cicit (jika ada) di barisan paling belakang. Ini adalah susunan yang berlaku dalam upacara kematian, baik di rumah, yayasan sosial kematian, dan di kuburan.

Tugas menantu tertua dalam upacara kematian adalah memayungi hionglupat (tempat hio dan papan arwah) ketika upacara dilaksanakan. Di samping itu, dia juga melakukan pemujaan pada roh mertuanya, yaitu setelah semua anak dan cucu melakukan pemujaan.

Page 178: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

170

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Setelah keluarga duduk rapi di tikar, upacara segera dimulai. Anak laki-laki bangkit dari duduk dan mengambil topi berkabung39 di samping meja sembahyang untuk leluhur. Topi berkabung itu dipakai selama upacara. Hal yang sama juga dilakukan anak perempuan, tapi hanya tutup kepala yang terbuat dari kain putih. Anak wanita dan menantu perempuan memakai pakaian berkabung dari kain putih. Sementara cucu perempuan mengenakan tutup kepala berwarna biru, cucu laki-laki tidak memakai topi berkabung dan ikat kepala.

Setelah semua anak dan cucu mengenakan topi, tutup kepala, dan pakaian berkabung, mereka kembali ke barisannya. Mereka membentuk barisan yang berjenjang, yaitu anak laki-laki di barisan pertama, anak perempuan di barisan kedua, cucu di barisan ketiga, cicit di barisan keempat, dan pembantu rumah tangga di barisan kelima. Anak tertua dari yang meninggal berada di tengah-tengah, diapit oleh anak laki-laki kedua dan ketiga (jika anak laki-laki tunggal, maka dia sendiri yang ada dibarisan paling depan). Anak pertama bertugas membawa hionglupat, anak kedua membawa gambar orang tuanya yang meninggal, dan anak ketiga membawa tongkat xiao (tongkat bakti). Di samping atau di belakang anak laki-laki tertua ada menantu laki-laki dari anak perempuan yang paling tua yang tugasnya memayungi hionglupat yang dibawa oleh anak laki-laki tertua tersebut. Jika anak laki-laki tertua tidak ada (meninggal atau berada di tempat yang jauh), maka tugas untuk membawa hionglupat dialihkan ke anak laki-laki kedua. Jika tidak ada anak laki-laki, tugas tersebut dialihkan ke cucu laki-laki tertua (cucu dalam).

39 Topi berkabung untuk laki-laki terbuat dari bambu sebagai bingkainya dan dilapisi kain kelambu seperti kawat nyamuk. Lingkaran topi berkabung ini dililiti kain putih. Topi berkabung ini biasanya dijual di tempat-tempat penjualan alat-alat sembahyang dan kadang juga sudah disiapkan atau dijual di tempat bosong.

Page 179: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

171

PEMUJAAN LELUHUR

Bosong segera memulai upacara dengan mengambil breng-brengan atau chau bong khi40 lalu membaca mantra dalam bahasa Hakka, meminta izin kepada dewa yang ada di langit dan di bumi untuk melaksanakan upacara tersebut. Dia juga mengharapkan agar yang meninggal dapat diterima rohnya di akhirat, dan lancar dalam perjalanannya ke alam lain. Antara musik dan mantra-mantra harus sejalan karena membacakan mantra harus diikuti dengan musik, yaitu musik breng-brengan yang dimainkan sendiri oleh bosong, diikuti bosong lain (bosong senior) yang memukul gong. Dalam mantranya, bosong juga meminta agar keluarga yang ditinggal meninggal oleh orang tuanya memperoleh rezeki yang banyak, usaha lancar, dan terhindar dari segala gangguan roh halus. Sebagai perantara pemuja dengan yang dipuja, bosong juga harus memberikan penghormatan kepada dewa langit dan bumi karena mereka adalah penguasa langit dan bumi. Bosong membacakan mantra-mantra yang berbunyi:

“Wahai para dewa dan roh-roh leluhur dari orang yang meninggal, izinkanlah kami melakukan upacara untuk memberangkatkan jenazah. Kami mengharapkan agar perjalanan jenazah ini ke tempat pemakaman tidak dipersulit. Usirlah roh-roh jahat agar tidak menghalangi perjalanan kami ke tempat pemakaman.”

Setiap anggota keluarga yang mengelilingi peti mati mengambil kertas uang di atas peti mati dan melemparkannya ke tempat pembakaran di samping peti mati, kecuali anak laki-laki tertua, anak laki-laki yang membawa gambar dan tongkat xiao karena saat mengelilingi meja atau altar sembahyang dan peti mati dia sedang membawa hionglupat (tempat hio atau hiolo dan shin wei atau papan arwah).

40 Alat untuk memanggil roh orang yang meninggal supaya dia menurut perkataan bosong, dan ikut dalam upacara pemberangkatan jenazah. Alat ini terbuat dari cabang bambu berdiameter 1 cm dan panjang 2 m. Di ujung bambu digantungkan sebuah alat yang terbuat dari kertas tipis, mirip ekor layang-layang. Alat ini dikibas-kibaskan ke kiri dan ke kanan dan dibawa oleh bosong mengelilingi meja sembahyang dan peti mati.

Page 180: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

172

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Setelah dua kali mengelilingi peti mati, bosong menyuruh anak tertua yang sedang membawa hionglupat berlutut di depannya. Anak laki-laki tertua menyodorkan hionglupat (tempat hio) yang dia bawa kepada bosong. Bosong kemudian membacakan mantra-mantra yang meminta kepada Shi Kok Thian Ti (dewa yang menjaga empat penjuru langit dan bumi) agar dalam perjalanan membawa jenazah ke kuburan tidak mendapat gangguan dan terlindung dari segala bahaya. Keluarga yang ditinggal meninggal oleh orang tuanya sangat khawatir roh orang tuanya mendapat gangguan di dalam perjalanannya menuju kuburan dan menuju akhirat (dunia lain). Dalam pandangan mereka, jika roh orang tuanya mendapat gangguan dalam perjalanan, akibatnya dapat memengaruhi kehidupan keturunannya yang masih hidup. Sekitar satu menit bosong membacakan mantra, setelah itu anak laki-laki tertua tersebut disuruh berdiri lagi dan melanjutkan perjalanan mengelilingi meja sembahyang dan peti mati dengan dipimpin oleh seorang bosong.

Menurut Fung Long (Tomidi), seorang narasumber, seorang anak laki belum dapat dikatakan berbakti secara sesungguhnya jika dia belum dapat menangis saat mendengarkan mantra yang dibacakan oleh bosong (Wawancara, Singkawang, 23 Desember 2002). Saat itulah dia dapat menunjukkan rasa bakti pada orang tuanya.

Seusai membacakan mantra kepada anak laki-laki tertua, bosong melanjutkan perjalanannya mengelilingi meja sembahyang dan peti mati yang diikuti oleh peserta upacara. Sementara itu, anak laki-laki tertua menyerahkan hionglupat kepada adik laki-lakinya yang nomor dua, dan bosong kembali menyuruh anak laki-laki kedua berlutut di depannya sambil membawa hionglupat untuk dibacakan mantra, seperti yang dilakukannya pada anak laki-laki tertua. Perbedaannya, jika anak laki-laki tertua dibacakan mantra tepat di bagian kepala orang yang meninggal, anak laki-laki kedua dibacakan

Page 181: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

173

PEMUJAAN LELUHUR

di bagian kaki orang yang meninggal. Setelah itu, hionglupat diserahkan kepada adik laki-lakinya. Pembacaan mantra pada anak laki-laki ketiga sama dengan anak laki-laki pertama, yaitu di bagian kepala orang yang meninggal. Mantra-mantra yang dibacakan untuk anak kedua dan ketiga tidak jauh berbeda dengan pembacaan mantra-mantra untuk anak yang pertama.

Makna penyerahan hionglupat dari anak pertama ke anak berikutnya menunjukkan pergantian kepengurusan untuk melanjutkan pemeliharaan abu leluhur dari anak laki-laki tertua ke anak laki-laki kedua dan ketiga. Adapun anak perempun tidak diperkenankan membawa hionglupat dan memelihara abu leluhur karena mereka dianggap tidak dapat meneruskan garis keturunan, terutama setelah menikah mereka masuk ke marga suami.

Setelah selesai membacakan mantra-mantra di depan hionglupat, upacara dilanjutkan dengan mengelilingi peti mati dan dua meja sembahyang. Anak, cucu, dan cicit yang ikut dalam upacara tersebut terus melemparkan lembaran kertas uang setiap mereka melewati tumpukan kertas yang dibakar sebelumnya. Setelah satu atau dua kali mengelilingi meja sembahyang dan peti mati sambil membaca mantra-mantra bosong memberhentikan upacara41 dengan membunyikan alat musik breng-brengan dengan sangat kencang.

Anak-anak, cucu-cucu, dan cicit yang ikut mengantar ke kuburan mengenakan pakaian berkabung lengkap, seperti yang mereka lakukan saat mengikuti upacara malam pemberangkatan jenazah dan upacara menjelang pemberangkatan jenazah. Anak laki-laki memakai pakaian putih dan topi berkabung, anak perempuan memakai pakaian putih dan tutup kepala putih, cucu memakai pakaian warna biru, cucu perempuan memakai pakaian biru dan tutup

41 Bosong memberhentikan upacara dan para peserta bubar tanpa harus menunggu perintah dari bosong.

Page 182: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

174

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

kepala biru, cicit memakai pakaian putih dan ikat kepala kuning, dan menantu memakai pakaian putih, ikat kepala putih dan ada tanda merah sedikit di ikat kepalanya. Semua warna-warna ini memiliki makna.

Setelah selesai, para pembantu upacara segera mengangkat peti mati ke dalam mobil yang sudah menunggu di depan rumah.

Kepada setiap orang yang akan mengantar ke kuburan dibagikan handuk putih berukuran kecil yang diikatkan benang merah atau kain merah. Maknanya bahwa orang-orang yang mengantarkan jenazah ke kuburan ikut belasungkawa.

Apa yang dilakukan keluarga saat upacara memberangkatkan jenazah ke kuburan juga didasarkan pada prinsip tukar-menukar pemberian atau timbal balik, di mana makanan dan minuman yang dipersembahkan kepada dewa-dewa, roh-roh leluhur, dan roh orang yang meninggal, tidak diberikan dengan cuma-cuma, tapi mengharapkan pembalasan. Bahkan, apa yang dipersembahkan oleh keluarga dalam upacara pemberangkatan jenazah belum banyak dibanding dengan harapan mereka terhadap orang yang mereka puja.

Perjalanan menuju makamPerjalanan menuju ke makam harus didasarkan pada

aturan-aturan. Mobil pertama membawa menantu; mobil kedua membawa peti mati; mobil ketiga membawa anak-anak, cucu, dan cicit; keempat membawa rombongan musik, dan seterusnya, termasuk yang menggunakan kendaraan bermotor yang merupakan teman dekat.

Umumnya mobil yang digunakan untuk mengantarkan jenazah ke makam adalah truk terbuka, kecuali kendaraan yang digunakan para tamu. Dalam jarak sekitar 1 km sudah

Page 183: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

175

PEMUJAAN LELUHUR

bisa diketahui iringan-iringan ini sebab suara musik, yang terdiri dari breng-brengan, beduk, dan gong yang dimainkan oleh grup musik lokal yang dikelola oleh yayasan sosial kematian daerah setempat sudah terdengar.

Para menantu di mobil pertama menaburkan siukim yang berukuran 5 x 10 cm di sepanjang jalan yang akan dilewati jenazah untuk memberitahu bahwa ada jenazah yang mau lewat menuju makam dan meminta izin kepada roh-roh jahat agar tidak mengganggu perjalanan jenazah. Menantu juga menjatuhkan tiga batang hio yang sudah dinyalakan, berukuran kecil yang diikat tali merah, di setiap jembatan yang dilewati. Fungsinya sama dengan kertas siukim. Biasanya, setiap melewati jembatan, pembawa jenazah berhenti sejenak untuk menghormati roh-roh yang menunggu jembatan, tapi sekarang sudah jarang dilakukan karena jenazah dibawa dengan mobil dan tidak lagi berjalan kaki seperti yang dilakukan orang Hakka pada tahun '50-an.

Sepanjang perjalanan membawa jenazah ke kuburan, musik yang oleh Chang Pat Poh (1993: 88) dianggap musik tradisi agama Buddha terus dimainkan sampai jenazah tiba di pemakaman. Kelompok musik ini terdiri dari orang dewasa dan anak-anak. Mereka memakai seragam (kuning) yang sudah disiapkan oleh yayasan sosial kematian. Musik ini hampir sama fungsinya dengan kertas kuning yang dihamburkan oleh para menantu di sepanjang jalan menuju ke kuburan, yaitu sebagai informasi bahwa ada warga Hakka yang meninggal.

Jalan yang sudah dilewati oleh mobil jenazah dan rombongan pengantar dilarang untuk dilewati lagi dalam perjalanan pulang sebab mereka meyakini bahwa roh orang yang meninggal akan mengikuti mereka kembali ke rumah dan dapat menganggu ketenangan keluarga. Ini juga salah satu sebab mereka tidak lagi membuat meja sembahyang di rumah.

Page 184: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

176

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Setibanya di kuburan, peti mati diturunkan dan diletakkan di atas lubang kuburan yang sudah di gali. Sementara itu, kepada para pengantar jenazah, setibanya di kuburan dibagikan dua buah jeruk mandarin dan segelas air mineral. Jeruk mandarin yang berwarna kuning menyimbolkan murah rezeki. Pemberian dua buah jeruk dan segelas air mineral ini dapat dipandang sebagai hadiah karena telah ikut mengantar jenazah ke makam.

Perjalanan menuju ke tempat pemakaman tidak lepas dari prinsip tukar-menukar, di mana roh-roh yang ada di sepanjang perjalanan dihormati, diberi kertas uang, dan hio, sebaliknya roh-roh tersebut juga diminta untuk tidak mengganggu roh orang meninggal yang menuju tempat pemakaman. Jika roh-roh itu tidak dihormati dan disogok dengan kertas uang, mereka diyakini akan mengganggu roh orang yang meninggal di kuburannya sehingga kehidupan roh menjadi tidak tenang dan keluarga yang hidup tidak bahagia.

upacara PenguburanUpacara penguburan dilakukan oleh keluarga dipandu

seorang bosong sejak peti mati akan dimasukkan ke lubang kuburan sampai penimbunan peti mati selesai. Upacara ini umumnya dilakukan pada pagi hari setelah jenazah dibawa mengelilingi pasar dan kampung.

Setelah tiba di kuburan, peti mati dikeluarkan dari mobil jenazah. Keluarga membentuk sebuah barisan: anak-anak berada di barisan pertama, cucu di barisan kedua, dan cicit di barisan ketiga. Pada barisan anak, anak laki-laki tetap berada di barisan depan dan anak perempuan di barisan kedua. Anak laki-laki tertua bertugas membawa hionglupat, anak laki-laki kedua bertugas membawa foto orang tuanya, dan anak laki-laki ketiga membawa tongkat xiao. Bosong lalu

Page 185: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

177

PEMUJAAN LELUHUR

memerintahkan mereka berjalan mendekati makam yang telah disiapkan, diiringi dengan musik yang dimainkan oleh kelompok musik lokal. Setibanya di depan lubang kuburan, hionglupat dan foto diletakkan di depan lubang kubur, sementara tongkat xiao ditancapkan ke tanah, berdekatan dengan hionglupat dan foto.

Di samping foto dihiasi dengan bunga yang dibawa oleh cucu dan cicit. Hionglupat diletakkan di depan foto, dan di samping kiri kanannya ditancapkan beberapa batang hio oleh pembantu upacara. Di depan kuburan disediakan makanan, buah-buahan, dan air untuk roh orang yang meninggal. Anak laki-laki dan perempuan yang berlutut di depannya tidak henti-hentinya mengacung-acungkan kedua tangan, sambil menundukkan kepala untuk melakukan pemujaan khusus untuk meletakkan semua perlengkapan upacara, tapi diletakkan di atas tanah.

Seusai meletakkan foto, hionglupat, dan menancapkan tongkat xiao di tanah, pembantu upacara menancapkan beberapa batang hio yang telah dinyalakan di tanah (di samping kiri kuburan jika yang meninggal laki-laki dan di samping kanan jika yang meninggal perempuan) untuk menghormati atau memuja tuapekong, yaitu penunggu tanah kuburan yang nantinya berfungsi menunggu kuburan orang yang meninggal.

Sejak peti mati diletakkan di atas lubang kuburan (yang dilintangi kayu balok), bosong telah mulai melangsungkan upacara dengan melantunkan mantra dan membunyikan breng-brengan. Pembantu upacara membakar kertas uang dan abunya dimasukkan ke lubang kuburan. Mantra yang dibacakan oleh bosong saat jenazah akan diturunkan ke lubang kubur adalah:

Wahai Thian (Tuhan), dewa-dewa di empat penjuru langit, empat penjuru bumi, roh-roh orang yang terdahulu dan roh-roh leluhur, pada hari ini kami akan mengadakan

Page 186: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

178

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

upacara pemakaman almarhum Chang Chung Liu, tolong roh orang yang meninggal dimudahkan perjalanannya menuju akhirat, diringankan siksaannya dan bahagiakan hidupnya di dunia lain. Kami juga memohon agar anak keturunan almarhum Chang Chung Liu dilindungi dari segala bahaya, dimudahkan usahanya dan dimurahkan rezekinya.

Seusai membacakan beberapa mantra, pembantu upacara mulai menurunkan peti mati ke lubang kuburan dengan tambang. Lubang berukuran 2 meter, lebar 1,5 meter, dan panjang 2 meter. Salah seorang pembantu upacara turun ke lubang kuburan untuk memeriksa apakah letak peti mati sudah baik atau belum. Jika belum baik, maka posisinya akan diatur kembali. Baik atau tidaknya letak peti mati di lubang kuburan sedikit banyak akan memengaruhi kehidupan yang meninggal di dunia lain dan juga kehidupan keluarga mereka di dunia, terutama jika dillihat dari sudut pandang ilmu fengsui.

Jika posisi peti mati sudah dipandang baik, peserta upacara berlutut (di depan lubang) dengan mengangkat ujung bajunya ke langit. Kemudian bosong mengambil sebuah baki berisi sekitar 3 ons beras putih yang dicampur dengan puluhan keping uang logam. Sambil mengucapkan mantra, uang dan beras tersebut disebar di atas lubang kuburan dan peserta upacara (pihak keluarga) yang duduk di samping lubang. Para peserta menyambut penyebaran uang dan beras tersebut dengan ujung baju yang dipakainya. Uang yang didapat tersebut disimpan di laci meja atau lemari di rumah agar keluarga tidak kehabisan uang atau agar uangnya bertambah banyak. Adapun beras yang didapat dimasukkan ke tempat beras agar keluarga tidak kehabisan beras atau berasnya bertambah terus. Masyarakat China di Jawa, ada yang menggunakan biji jagung dan yang didapat

Page 187: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

179

PEMUJAAN LELUHUR

ditanam di pinggir kuburan.42 Mantra yang diucapkan bosong saat menyebar uang logam dan beras adalah:

"Ini beras dan uang kami sebar (hamburkan), sebaran pertama untuk para dewa dan roh-roh leluhur, sebaran kedua untuk orang yang meninggal, dan sebaran yang ketiga untuk anak cucu. Semoga dengan disebarnya beras dan uang ini, anak cucu di kemudian hari tumbuh berkembang dengan baik dan memperoleh rezeki yang banyak seperti berkembangnya beras ketika dimasak."

Dalam uang dan beras terkandung makna simbolik, yaitu harapan keluarga agar ekonomi mereka setelah ditinggal meninggal salah seorang anggota keluarga yang mereka hormati semakin meningkat. Tradisi menyebarkan beras dan uang logam ini serupa dengan tradisi upacara penguburan yang dilakukan oleh orang Hakka di Sarawak, Malaysia, (Chang 1993: 85) dan oleh orang China Hokkian di Jawa.

Selesai penebaran beras dan uang, peti mati mulai ditimbun tanah. Sebelum ditimbun, peti tersebut ditutup kain putih, dan ketika akan ditimbun, kain putih diangkat. Upacara penimbunan peti dimulai dari anak laki-laki tertua diikuti anak laki-laki nomor dua, ketiga, dan seterusnya dilanjutkan dengan anak perempuan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Seusai peti mati ditimbun, foto orang meninggal diletakkan di atas timbunan tanah kuburan sebelum dibawa pulang dan digantung di dinding rumah.

Setelah upacara selesai, foto orang tua dibawa ke rumah anak laki-laki tertua dan digantung di dinding rumahnya sehingga tamu dapat melihatnya.43 Hionglupat ditinggalkan di

42 Saat kunjungan keluarga pada hari ke-7 setelah penguburan, keluarga akan melihat apakah jagung yang mereka tanam tumbuh baik atau tidak. Jika tumbuh baik, pertanda bahwa rezeki anggota keluarga setelah ditinggal orang tuanya akan bagus, tapi jika sebaliknya, maka rezeki keluarga tidak bagus (lihat Nio, 1961: 188), dan anggota keluarga akan segera memanggil ahli fengsui untuk memeriksa apa kesalahan dari proses penguburan.

43 Ini berbeda dengan kebudayaan orang Cina di Jawa, foto orang yang meninggal diletakkan di meja sembahyang keluarga (Willmott, 1960; Yang, 1961; Ahern, 1975). Meja ini dibuat untuk melakukan pemujaan terhadap roh orang tua. Tradisi pemujaan leluhur di rumah

Page 188: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

180

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

kuburan dan di sinci (papan arwah) yang dibawa anak tertua bersama-sama hionglupat dipindahkan ke nisan kuburan (nisan sementara) orang meninggal setelah 100 hari usia kematiannya (dihitung dari hari pertama jenazah dikuburkan, bukan dari hari pertama dia meninggal). Adapun orang China yang tinggal di Jawa (suku Hokkian), sebagaimana dikatakan oleh Willmott (1960: 199), hionglupat dan sinci dibawa ke rumah dan diletakkan di meja sembahyang keluarga di ruang tamu. Setiap saat (pagi dan sore, dan hari-hari besar berdasarkan tahun Imlek) keluarga dapat melakukan pemujaan roh orang tuanya dan roh leluhur lainnya dan tradisi ini berlaku sampai sekarang. Namun, bagi kalangan orang Hakka di Singkawang, tradisi ini sudah tidak lagi dilakukan, dan pemujaan leluhur cukup dilakukan di kuburan saja. Perbedaan upacara penguburan antara orang Hakka di Singkawang dan orang Teochiu di Pontianak juga banyak. Perbedaan itu tampak dari tata cara upacara dan alat-alat yang digunakan. Bagi orang Teochiu di Pontianak, upacara mengelilingi peti (hangli) dilakukan ketika peti akan dimasukkan ke lubang kuburan, sedangkan orang Hakka di Singkawang, hangli dilakukan ketika jenazah masih berada di rumah duka.

upacara Setelah Jenazah dimakamkanSetelah jenazah dimakamkan, upacara pemujaan leluhur

dilakukan di kuburan. Upacara setelah pemakaman adalah sebagai berikut: (1) Kunjungan keluarga ke kuburan pada hari ketiga setelah penguburan (sam can), (2) kunjungan keluarga pada hari ketujuh atau minggu pertama (tew cit) setelah penguburan, (3) kunjungan keluarga ke kuburan pada minggu kedua (nyi cit), (4) kunjungan keluarga ke kuburan pada minggu ketiga (san cit), (5) kunjungan keluarga ke kuburan pada minggu keempat (si cit), (6)

sudah jarang dijumpai di Singkawang karena orang Hakka hanya melakukan pemujaan leluhur di kuburan atau di tempat ibadah atau diwakilkan kepada dewa.

Page 189: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

181

PEMUJAAN LELUHUR

kunjungan keluarga ke kuburan pada minggu kelima (en cit), (7) kunjungan keluarga ke kuburan pada minggu keenam (liuk cit), (8) kunjungan keluarga ke kuburan pada minggu ketujuh (jan cit), (9) kunjungan keluarga ke kuburan pada hari keseratus setelah penguburan (pa’ nyit), dan (10) kunjungan keluarga ke kuburan saat satu tahun setelah penguburan (tui ni). Setelah satu tahun usia kematian seseorang, keluarga baru dibolehkan melakukan sembahyang Ching Ming (membersihkan kuburan sekaligus sembahyang terhadap leluhur atau orang tua di kuburan) pada bulan ketiga tahun Imlek dan sembahyang shi khu (sembahyang terhadap leluhur di kuburan dan memberi makan roh-roh yang tidak diperhatikan keluarganya) pada bulan ketujuh atau sembahyang rebutan, yang juga berdasarkan tahun Imlek.

Upacara pemujaan leluhur yang dilakukan di kuburan mulai hari ketiga sampai dengan 49 hari atau tujuh minggu setelah kematian umumnya memiliki pola yang sama, yakni pada pagi keluarga pergi ke kuburan dengan membawa sesajian makanan untuk roh orang tuanya atau leluhurnya. Sesajian itu berupa makanan favorit orang tuanya semasa hidup, buah-buahan, kertas uang yang setelah upacara dibakar, dan hio yang digunakan untuk sembahyang pada leluhur maupun kepada pada tuapekong.

Upacara dapat dimulai dengan menghidangkan makanan dan minuman, oleh anak-anak perempuan sesampainya di kuburan. Makanan dan minuman diletakkan di atas altar. Anak laki-laki bertugas menurunkan makanan dan alat-alat perlengkapan upacara dari kendaraan. Setelah makanan dihidangkan, anak laki-laki berdiri di bagian paling depan dan anak perempuan di belakang. Mereka mengambil hio dan menyalakannya.

Anak laki-laki tertua meminta izin kepada tuapekong untuk sembahyang sekaligus menyuguhkan makanan. Minta izin artinya melakukan pemujaan kepada tuapekong (dewa

Page 190: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

182

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

bumi). Mereka bersembahyang sendiri-sendiri karena dalam upacara ini tidak ada pemimpin seperti halnya upacara sebelum jenazah dimakamkan. Upacara dinyatakan selesai bila peserta telah menancapkan batangan hio yang mereka gunakan (hiolo). Sambil menunggu roh orang tua memakan hidangan yang dipersembahkan (mereka meyakini sepenuhnya bahwa roh orang tua atau leluhur akan memakan sari makanan yang mereka persembahkan), peserta upacara membakar kertas uang di atas atau di samping kuburan.

Untuk membuktikan apakah roh orang tuanya sudah memakan hidangan yang disuguhkan, anak tertua melambungkan sinkaw (alat untuk bertanya kepada roh). Kedua sinkaw dilambung ke atas dan apabila jatuh dalam keadaan terlentang dan tertutup menandakan bahwa roh sudah selesai makan. Namun, jika keduanya jatuh dalam keadaan tertungkup atau keduanya terlentang berarti rohnya belum selesai makan. Jika roh orang tua atau leluhur belum selesai makan, makanan yang dipersembahkan tidak boleh diambil untuk dibawa pulang. Jika makanan diambil saat roh leluhur belum selesai makan, maka dia akan marah. Orang Hakka sangat takut jika roh-roh leluhur marah karena dapat berakibat tidak baik bagi keluarga. Keyakinan orang Hakka terhadap roh leluhur ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Bloomfield (1986: 58) bahwa kemarahan roh dapat menyebabkan kehidupan rumah tangga menjadi berantakan, rezeki sulit, atau sakit-sakitan dan jauh dari keberuntungan.

Setelah diyakini bahwa roh-roh sudah memakan makanan yang dihidangkan, keluarga lalu mengemasi makanan tersebut untuk dibawa pulang. Makanan seperti daging babi, ayam, dan lainnya dimasak oleh anggota keluarga dan dimakan bersama-sama. Namun, ada juga yang diserahkan kepada tetangga yang kurang mampu. Makanan ini tidak semata-mata berfungsi membantu orang lain, tapi juga dapat mengeratkan hubungan kekerabatan. Menurut pengamatan

Page 191: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

183

PEMUJAAN LELUHUR

saya, di beberapa keluarga ada yang menganggap bahwa makanan bekas yang dimakan oleh roh-roh nilainya lebih tinggi dari makanan biasa.44

Di Jawa, upacara tujuh hari setelah penguburan dinamakan upacara balik to, artinya meja dibalik atau bahwa proses mengurus upacara kematian telah selesai. Saat sembahyang, orang-orang Hokkian di Jawa dan Jakarta mengirimkan rumah-rumahan, perabot rumah tangga, patung-patung yang terbuat dari kain yang menyimbolkan pelayan-pelayan untuk roh leluhur, bahkan ada juga yang mengirimkan mobil-mobilan dari kertas. Di samping itu, dikirimkan juga tandu dan perahu untuk mengantarkan roh orang yang meninggal ke dunia lain atau akhirat. Pembuat barang-barang ini di Jakarta disebut tukang “kecoa”. Kepada orang yang meninggal ditanya apakah untuk pergi ke dunia lain akan menggunakan tandu atau perahu. Jika perahu yang dipilih maka di dalam perahu diletakkan boneka atau patung sebagai simbol pelayan roh di sana. Terakhir, semua alat-alat itu dibakar di dekat kuburan yang artinya dikirimkan ke dunia lain (Nio, 1961: 188). Di Singkawang, tradisi semacam ini tidak dijumpai, orang Hakka hanya melakukan sembahyang biasa di kuburan orang tuanya pada hari ke tujuh tersebut.

Upacara tujuh hari sampai dengan 49 hari ini juga didasarkan pada prinsip tukar-menukar antara roh-roh leluhur dengan keluarga yang masih hidup. Keluarga mempersembahkan makanan dan minuman pada roh-roh leluhur yang diresmikan dalam upacara, sedangkan roh-roh leluhur diminta untuk mengabulkan segala permohonan mereka. Pada kesempatan yang sama, mereka meminta

44 Sama dengan makanan yang telah dipersembahkan kepada dewa-dewa dalam upacara Imlek dan Cap Go Meh, dan bahan-bahan hiasan nilainya lebih tinggi daripada makanan dan barang hiasan yang tidak dipersembahkan kepada roh leluhur dan dewa. Harga jeruk bali di pasaran satu pasang sekitar 30 ribu rupiah, tetapi apabila sudah dipersembahkan kepada leluhur harganya bisa mencapai 1 juta rupiah. Jeruk ini dijual dalam acara pelelangan seusai upacara Cap Go Meh. Begitu pula dengan alat-alat lainnya.

Page 192: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

184

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

kepada Tuhan agar roh-roh leluhur hidup bahagia di dunia lain, sebaliknya mereka juga memohon pada Tuhan agar kehidupan mereka di dunia bahagia, terhindar dari segala bahaya, usaha mereka mengalami kemajuan, dan lain-lain.

Dalam upacara 100 hari dimakamkan, semua anak laki-laki, perempuan, cucu-cucu datang ke kuburan untuk melakukan pemujaan pada leluhur mereka. Upacara ini tidak ubahnya seperti upacara tiga hari, tujuh hari, dua minggu, tiga minggu, empat minggu, lima minggu, enam minggu, dan tujuh minggu yang dihitung sejak jenazah dikuburkan.

kuburan orang Hakka di Singkawang.

Akan tetapi, pada upacara 100 hari ini, keluarga melakukan penancapan sinci atau papan arwah di kuburan, yang diyakini sebagai tempat tinggalnya roh. Penancapan sinci pada upacara 100 hari ini menandakan bahwa makam sudah boleh dibangun sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga. Sesuai dengan bentuk kuburan orang Hakka umumnya yang ada di wilayah tersebut. Nama orang yang meninggal yang tertulis di sinci dipindahkan ke nisan yang

Page 193: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

185

PEMUJAAN LELUHUR

dibangun dengan semen. Di depan nisan dibuatkan meja yang terbuat dari semen atau batu yang fungsinya untuk meletakkan tempat hio dan tempat menghidangkan sesajian kepada roh.

Bagi keluarga yang mempunyai kemampuan dalam bidang ekonomi, biasanya makam yang dibangun untuk orang tuanya cukup mewah dan biaya pembangunannya mencapai ratusan juta rupiah. Menurut beberapa narasumber yang saya wawancarai, biaya pembuatan satu buah kuburan orang Hakka berkisar Rp 50 juta sampai Rp 100 juta, bahkan ada yang melebihi Rp 100 juta. Meskipun demikian, tidak sedikit kuburan orang Hakka di Singkawang yang dibangun secara sederhana, tapi bentuk umum makam tetap sama, yaitu seperti umumnya kuburan orang China di Indonesia. Membangun kuburan ini harus sesuai dengan ilmu fengsui karena jika tidak kehidupan orang yang meninggal di dunia lain menjadi tidak bahagia dan keluarga di dunia menjadi menderita.

Kuburan orang Hakka di Roban, Sinkawang.

Page 194: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

186

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Makam adalah tempat terakhir bagi kehidupan seseorang di dunia, dibuat seindah atau sesederhana mungkin. Menurut logika juga tidak masalah sebab orang yang meninggal sudah tidak dapat lagi menikmati keindahan tersebut. Namun, keyakinan orang yang hidup membuat hal itu berubah, kuburan tidak hanya dipandang sebagai tempat roh orang meninggal yang harus dibuat seindah mungkin, tapi juga terkait dengan status sosial keluarganya.

Kunjungan keluarga ke kuburan orang tuanya pada hari ke-100 tidak hanya untuk melakukan upacara pemujaan kepada leluhur dan mempersembahkan makanan pada roh orang tuanya, tapi juga sebagai dasar peletakan batu pertama untuk membangun kuburan. Peletakan batu utama itu ditandai dengan menancapkan sinci di atas timbunan tanah kuburan. Inilah cikal bakal pembangunan batu nisan untuk orang meninggal. Di batu nisan tertulis nama orang yang meninggal, marga, jumlah anak laki-laki, dan sifatnya tersebut. Papan arwah tidak lagi berbentuk papan biasa, tapi sudah dibuat dengan semen dan menjadi satu dengan batu nisan yang diukir sesuai dengan model makam orang Hakka umumnya di Singkawang.

Tidak ubahnya seperti upacara lain, dalam upacara 100 hari ini keluarga juga berharap agar roh leluhur dapat membalas kebaikan keluarganya tersebut, terutama yang berhubungan dengan perlindungan dan agar usaha mereka di dunia lancar dan mendapat keuntungan yang lebih banyak lagi. Besar-kecilnya pelaksanaan upacara tidak terlepas dari prinsip tukar-menukar pemberian.

upacara Satu Tahun Kunjungan keluarga satu tahun ke kuburan orang

tuanya setelah kematian disebut upacara tui ni. Upacara ini tidak ubahnya seperti upacara-upacara lain. Dalam

Page 195: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

187

PEMUJAAN LELUHUR

pemujaan, mereka memohon sesuatu kepada orang tua dan mengharapkan agar orang tuanya dapat memberikan perlindungan, kesehatan, dan rezeki yang banyak pada mereka.

Sebelum melakukan upacara, keluarga melakukan berbagai persiapan, yaitu mempersiapkan makanan yang akan dipersembahkan seperti: kepala, hati, daging, dan kaki babi45 daging ayam, ikan, jeruk, apel, dan makanan lain yang menjadi kesukaan orang tuanya di masa hidup. Begitu juga arak, teh, dan air mineral. Alat-alat perlengkapan sembahyang, seperti hio, kertas uang (sin tin), dan lilin merah. Alat-alat keperluan rumah tangga, pakaian, surat jalan, seperti duplikat paspor, dan lain-lain yang dianggap penting bagi keluarga untuk keperluan leluhur mereka di dunia lain.

Kuburan orang Hakka di Roban, Sinkawang.

45 Harga babi di Singkawang cukup mahal, satu ekor ukuran besar dijual 3 sampai 4 juta rupiah. Babi yang digunakan untuk upacara biasanya berukuran besar. Untuk itu, orang yang kurang mampu hanya menggunakan daging babi yang dibeli secara eceran di pasar.

Page 196: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

188

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Alat-alat upacara disimpan di rumah anak laki-laki tertua, dan satu hari sebelum upacara semua anggota keluarga harus berkumpul di rumah anak laki-laki tertua.

Pada pukul 04.00, saya diajak Pak Bong Wei Kong bersama keluarganya ke kuburan orang tuanya dengan membawa perlengkapan upacara yang diperlukan. Di kuburan, seorang bosong yang dipesan sudah menunggu untuk memimpin upacara. Bosong yang memimpin upacara tui nyan atau tui ni ini adalah bosong yang memimpin upacara saat kematian orang tua Bong Wei Kong. Sampai di kuburan, anak laki-laki menurunkan perlengkapan upacara dari mobil dan meletakkannya di depan kuburan. Tugas anak perempuan adalah mengatur makanan dan alat-alat sembahyang yang akan dipersembahkan pada roh orang tuanya. Saat anak perempuan mengatur perlengkapan upacara di kuburan, bosong menaburkan sintin di atas dan di sekeliling kuburan. Kertas kuning ini sebagai tanda bahwa kuburan ini sudah dikunjungi keluarganya. Sebelum memulai upacara, saya melihat Bong Wei Kong bersembahyang di kuburan kakeknya. Ini untuk memohon izin kepada kakek neneknya bahwa keluarga akan melakukan upacara satu tahun kematian orang tua Bong Wei Kong.

Termasuk dalam perlengkapan upacara adalah kertas uang (sin tin) untuk dipersembahkan kepada tuapekong dan nyun ci, kertas uang untuk dipersembahkan kepada tuapekong. Kertas uang ini ada dua jenis, tidak dilipat dan dilipat. Kertas uang yang tidak dilipat dimasukkan ke sebuah amplop besar yang ditulis nama anak yang telah mengirimkan untuk roh orang tua atau leluhurnya. Amplop itu juga dilengkapi dengan segel. Kertas uang yang dilipat (nilainya lebih tinggi dari yang tidak dilipat dan menyerupai emas batangan) dimasukkan ke karung plastik putih besar atau ke siong pau (koper tempat pakaian dan uang yang terbuat dari dus). Ukuran siong pau panjang 70 cm, lebar 50

Page 197: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

189

PEMUJAAN LELUHUR

cm, dan tinggi 30 cm. Setiap siong pau mewakili satu anak. Begitu juga kertas uang yang dimasukkan ke dalam coi pau (amplop berisikan kertas uang berukuran 30 x 30 cm), setiap amplop mewakili satu anak.

Tiga gelas air teh, satu piring buah-buahan (jeruk, apel, pisang), dan sepasang lilin merah yang dinyalakan untuk pemujaan kepada tuapekong diletakkan di tempat pemujaan tuapekong di samping kuburan. Adapunkepala, kaki, dan daging babi, daging ayam, buah-buahan, nasi, 2 gelas arak, 1 gelas teh, dipersembahkan untuk orang yang meninggal. Kepada tuapekong tidak dipersembahkan daging dan nasi, karena dia dianggap orang suci yang hanya memakan buah-buahan. Sementara roh orang yang meninggal bukan tergolong orang suci, maka dia boleh makan daging dan nasi, tidak ubahnya seperti orang hidup.

Setelah perlengkapan upacara selesai dipersiapkan, bosong dan peserta upacara duduk menghadap pekong. Bosong kemudian meminta izin kepada tuapekong untuk melakukan upacara tui ni atau tui nyan. Bosong juga meminta izin kepada tuapekong untuk mengundang roh orang meninggal untuk menikmati makanan dan mendengarkan permohonan anak-anaknya. Meminta izin dilakukan dengan menyalakan tiga batang hio dan melakukan pemujaan terhadap tuapekong. Peserta menancapkan batangan hio di tempat pemujaan tuapekong, yang menandakan bahwa proses pemujaan atau minta izin selesai dilakukan.

Untuk mengetahui apakah tuapekong mengizinkan atau tidak, bosong melambung dua buah po pai (seperti uang logam). Jika permukaan uang logam itu jatuh dengan sisi yang sama, upacara belum bisa diizinkan, maka bosong melempar lagi po pai sampai kedua uang logam itu jatuh dalam sisi yang berbeda, baru upacara boleh dilaksanakan.

Setelah minta izin dan memohon kepada tuapekong, bosong pindah ke makam yang dituju diikuti oleh semua

Page 198: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

190

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

keluarga. Di depan batu nisan dan makanan yang telah disediakan, anak-anak dan cucu-cucu bersembahyang yang diakhiri dengan menancapkan hio di hiolo di altar sembahyang.

Bosong membuka kertas kuning berisi nama anak dan cucu-cucu yang ikut dalam upacara tersebut. Nama-nama itu dibacakan di depan batu nisan, maksudnya memberitahukan kepada yang meninggal mengenai orang-orang yang ikut dalam upacara. Selain itu, bosong memohon kepada Thian agar dosa-dosa yang meninggal diringankan dan rohnya cepat dilahirkan kembali ke dunia. Kelahiran kembali dikenal dalam agama Buddha dengan istilah tumimba lahir.

Bosong mengatakan bahwa tempat dari roh orang yang meninggal itu di neraka.46 Dalam kosmologi orang Hakka, neraka itu terdiri dari 10 ruangan, dan setiap ruangan memiliki penjaga. Untuk menentukan masuk di ruangan apa, terlebih dahulu diadakan sidang pengadilan di akhirat. Di setiap ruangan, roh manusia akan disiksa sesuai dengan dosanya. Setelah selesai menempati ruangan kesepuluh, roh manusia dilahirkan kembali ke dunia dalam bentuk lain. Saat membacakan keadaan yang terjadi di neraka, pembantu bosong meminta setiap anak (dimulai dari anak laki-laki tertua) maju ke depan altar sembahyang untuk mempersembahkan arak kepada roh orang tua atau leluhurnya. Setelah itu, arak tersebut dimasukkan ke gelas kosong47 di atas altar sembahyang.

46Orang Hakka di Singkawang, khususnya yang menganut agama Konghucu dan Buddha Tri Dharma, meyakini bahwa di bawah tanah ada sebuah dunia, yaitu dunia untuk orang yang meninggal. Mereka menyebutnya dunia akhirat, dan di situ terdapat neraka sebagai tempat orang meninggal sebelum dia mengalami proses kelahiran kembali. Keyakinan ini diduga berasal dari ajaran Buddha mengenai kehidupan setelah meninggal. Dalam ajaran Konghucu atau Tao, konsep dunia setelah kehidupan ini tidak dijelaskan secara panjang lebar.

47Jumlah gelas kosong di atas meja sesuai dengan jumlah anak yang dimiliki oleh orang yang meninggal. Setiap anak menuangkan arak ke gelas kosong tersebut untuk orang tuanya. Setiap gelas tidak diisi penuh, hanya sekitar 1 cm dari dasar gelas. Orang Hakka mengartikan ini sebagai simbol memberi minum kepada orang tuanya yang meninggal.

Page 199: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

191

PEMUJAAN LELUHUR

Lalu, anak laki-laki tertua mengelilingi kuburan sembari menebar beras di sekelilingnya. Ini artinya agar roh orang tua atau leluhur tidak kekurangan makanan di dunia lain. Kalau leluhur kekurangan makan, dia akan kesulitan. Kesulitan membuat hidupnya menderita di dunia lain, akibatnya anggota keluarga yang masih hidup juga menderita.

Selesai menaburkan beras di sekeliling kuburan, anak-anak dan cucu-cucu kembali berkumpul di depan batu nisan sambil menunggu bosong menancapkan lilin merah yang sudah dinyalakan di sekeliling kuburan. Kenapa harus menggunakan lilin merah dan tidak menggunakan lilin putih sebab yang meninggal sudah berusia di atas 80 tahun. Orang meninggal yang sudah berusia di atas 80 tahun sudah dianggap mencapai karier48 tertinggi dalam hidupnya. Apabila yang meninggal di bawah usia 60 tahun, pemujaan harus menggunakan lilin putih dan hio bergagang hijau, bukan merah karena yang meninggal dianggap belum mencapai karier tertentu dalam hidupnya dan belum sempat melihat keberhasilan anak cucunya.

Selesai menancapkan lilin merah, bosong kembali memimpin upacara. Saat ini, bosong membagi-bagikan coi pau (amplop ukuran besar berisikan nyun ci, kertas uang) kepada anak dan mantu perempuan. Di setiap coi pau ditempelkan kertas kuning yang bertuliskan nama anak dan mantu yang mempersembahkan coi pau tersebut. Lalu, anak laki-laki tertua, diikuti oleh anak-anak yang lain, mempersembahkan siong pau atau hap pau, koper tempat uang yang terbuat dari kardus hitam. Isi koper adalah: pakaian yang terdiri dari duplikat pakaian luar dan dalam, sepatu, kaus kaki, nyun ci, dan kertas uang. Sama dengan coi pau, siong pau juga dipersembahkan oleh setiap anak dan menantu perempuan, dan ditempeli kertas kuning yang bertuliskan nama anak

48 Yang dimaksud dengan “karier” adalah seseorang yang meninggal telah berhasil membesarkan anaknya sampai dewasa, bekerja, kawin, dan mempunyai cucu yang banyak.

Page 200: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

192

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

yang mempersembahkannya. Setiap anak (adik-adik Bong Wei Kong) telah mengirimkan satu koper kertas uang (sintin) untuk leluhur mereka. Seperti orang hidup yang bepergian jauh, mereka membutuhkan koper untuk tempat pakaian. Demikian juga dengan orang meninggal bepergian jauh, dia juga membutuhkan koper untuk tempat menyimpan pakaian. Oleh sebab itu, koper menjadi sesuatu yang penting untuk dikirimkan kepada roh-roh leluhur.

Kertas uang dan koper tersebut lalu ditumpuk di depan makam dan dibakar. Tujuannya adalah untuk dikirimkan kepada roh leluhur mereka di dunia lain. Semakin banyak kertas uang yang dikirim, diyakini semakin terpenuhi kebutuhan orang tua mereka di dunia lain dan semakin bahagia kehidupan mereka. Sebaliknya, keluarga juga berharap, dengan mempersembahkan kertas uang dan keperluan lain leluhur mereka dapat melindungi dan memperhatikan.

Bosong meminta keluarga berkumpul kembali di depan kuburan. Saat ini struktur upacara sudah tidak diperhatikan lagi. Tidak ada proses pemujaan lagi, bosong hanya melaporkan kepada orang yang meninggal bahwa upacara tui ni atau tui nyan selesai dilaksanakan. Setelah itu, bosong ke tempat pemujaan tuapekong untuk melaporkan bahwa upacara tui ni telah selesai dilaksanakan. Selesai melapor kepada tuapekong, anak perempuan segera mengambil gelas berisi arak yang telah dipersembahkan kepada roh orang tua atau leluhurnya untuk ditumpahkan ke tempat pembakaran kertas. Orang Hakka atau keluarga Bong Wei Kong mengartikan ini sebagai pemberian kepada roh orang tua mereka. Tidak hanya itu, nasi yang disediakan untuk roh leluhur saat upacara juga ditumpahkan sedikit ke tempat pembakaran kertas uang, yang maksudnya sama dengan arak.

Setelah melaksanakan upacara satu tahun, berarti proses perkabungan selama satu tahun dianggap selesai. Menurut

Page 201: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

193

PEMUJAAN LELUHUR

teori, sebagaimana disebutkan oleh Konfusius, anak laki-laki tertua harus berkabung selama tiga tahun, dan selama perkabungan itu, dia tidak boleh memakai pakaian mewah. Namun, ini sudah tidak dilakukan lagi oleh orang Hakka di Singkawang. Setelah upacara satu tahun, mereka biasanya sudah dapat melaksanakan kegiatan atau pekerjaan biasa dan boleh memakai pakaian mewah. Anggota keluarga sekarang dibolehkan melaksanakan upacara Ceng Beng atau Ching Ming (pada bulan ketiga Imlek) dan Shi Ku (pada bulan ketujuh Imlek atau sembahyang rebutan) di tempat yang telah disepakati.

Pelaksanaan upacara satu tahun setelah kematian ini tidak ubahnya dengan upacara pemakaman dan upacara-upacara setelah kematian yang pada dasarnya dilandasi oleh prinsip tukar-menukar pemberian prestasi. Salah satu contohnya adalah memberikan kertas uang dan tempat penyimpanannya agar uang yang dikirimkan dapat disimpan dengan baik dan apabila uang tersebut mau digunakan dapat diambil dari brankasnya. Benda-benda yang dipersembahkan kepada leluhur dalam upacara satu tahun, lebih banyak dari upacara tujuh sampai 49 hari dan 100 hari, dengan harapan balasan yang mereka terima juga lebih besar dari pemberian yang mereka berikan.

Ching ming atau Ceng bengCeng Beng (dialek Hokkian) atau Ching Ming (bahasa

Mandarin) merupakan salah satu hari besar yang dirayakan oleh masyarakat China di seluruh dunia. Ching Ming artinya bersih dan terang, tidak ubahnya seperti ketika orang China melakukan sembahyang pada Thian (Tuhan), dewa-dewa dan leluhur saat menjelang Sin-cia atau tahun baru Imlek. Menjelang Imlek, mereka membersihkan rumah dan meja sembahyang dari berbagai kotoran (Marcus, 2002: 108). Sementara saat pelaksanaan Ching Ming, orang China tidak membersihkan

Page 202: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

194

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

rumah atau tempat sembahyang, tapi mengunjungi makam orang tua, kakek dan nenek atau leluhur mereka, membersihkannya dan melakukan pemujaan di sana. Inilah makna sesungguhnya upacara Ching Ming atau Ceng Beng.

Hari raya ini berhubungan dengan perubahan alam di daratan China, yaitu saat terjadinya pergantian musim, dari musim salju ke musim semi. Oleh karena itu dinamakan Ching Ming atau Ceng Beng, dalam logat Hokkian berarti segar dan terang. Perayaan ini jatuh pada tanggal 1 dan 3 Imlek, dirayakan pada tanggal 5 April dan biasa juga disebut Sembahyang Sedranan, dalam kebiasaan orang China di Jawa.

Pada zaman dahulu, hari raya Ceng Beng ini ditandai dengan hari yang cerah. Saat upacara Ceng Beng, keluarga membawa saji-sajian yang diletakkan di atas kuburan leluhur, memasang hio, lilin, serta bersembahyang untuk keluarga yang telah meninggal (Chang, 1993: 38). Anggota keluarga yang berhalangan hadir melakukan sembahyang di rumah. Di kalangan masyarakat Hakka di Singkawang, jika anggota keluarga berhalangan mengikuti upacara di kuburan, mereka dapat membiayai keberangkatan anggota keluarga lain dan menitipkan kertas uang serta dana untuk keperluan sembahyang keluarga itu.

Menurut beberapa narasumber saya di Singkawang, di antaranya Bong Wie Kong dan Fung Long, sembahyang Ceng Beng baru bisa dilakukan apabila usia kematian telah mencapai satu tahun atau telah dilakukan upacara satu tahun di kuburannya. Tidak jelas alasannya, tetapi beberapa narasumber menyebutkan, sebelum satu tahun, keluarga belum selesai masa berkabungnya.

Makna lain dari sembahyang Ceng Beng adalah mengingatkan seseorang pada leluhurnya yang dekat dan jauh, dan secara moral mendorong yang bersangkutan untuk melakukan penghormatan terhadap mereka. Selain itu, ikut bertanggung jawab atas kehidupan leluhurnya di dunia lain

Page 203: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

195

PEMUJAAN LELUHUR

sebagaimana tanggung jawab leluhurnya untuk membesarkan dan membuat keturunannya berhasil dalam usahanya.

Makna sosial perayaan Ceng Beng dapat meningkatkan perekonomian masyarakat, tidak saja masyarakat Hakka di Singkawang, tapi juga masyarakat non-Hakka. Selama perayaan Ceng Beng (sekitar 2 minggu), pemesanan kamar di hotel-hotel di Singkawang meningkat. Bahkan, beberapa hotel sempat menaikkan harga kamar selama waktu pelaksanaan sembahyang Ceng Beng.

Penghasilan para penjual alat-alat sembahyang juga meningkat. Beberapa pedagang di pasar Singkawang mengatakan, mereka panen rezeki karena penjualan meningkat saat Ceng Beng, perayaan tahun baru Imlek, dan Cap Go Meh. Alat-alat sembahyang sangat dibutuhkan setiap orang yang akan melakukan pemujaan pada leluhur mereka dan dewa-dewa yang mereka yakini dapat memberikan pertolongan.

Para pedagang jeruk Mandarin juga kebanjiran rezeki karena jeruk adalah salah satu jenis buah-buahan yang banyak digunakan oleh para pemuja. Saat perayaan hari-hari besar orang China ini, impor jeruk mandarin dari Taiwan dan Hongkong meningkat. Dengan demikian, perayaan Ceng Beng tidak hanya sekadar upacara pemujaan leluhur yang dilakukan secara rutin setiap tahun oleh setiap keluarga orang Hakka, tapi juga mempunyai peran yang cukup besar terhadap peningkatan perekonomian masyarakat, khususnya perekonomian masyarakat Singkawang.

Sembahyang rebutan Sembahyang rebutan dalam bahasa Mandarin dikenal dengan

sebutan Zhong Yuan Jie, yaitu sebuah perayaan keagamaan yang juga terjadi di dalam masyarakat China. Perayaan ini jatuh pada tanggal 15 bulan tujuh tahun Imlek (atau sekitar bulan

Page 204: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

196

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

September). Sembahyang ini juga sering disebut sebagai pesta bulan ke-7 tahun Imlek. Di Sarawak dikenal dengan sebutan Yu Lan Hui (Chinese All Souls’ Day) (Chang, 1993:50), di Indonesia “sembahyang rebutan”, di kalangan masyarakat Hokkian di Jawa disebut sembahyang “Cio Ko, atau dalam agama Buddha dikenal dengan sebutan hari “ulambana” (Marcus, 2002:151). Sementara di Singkawang dikenal dengan sebutan “sembahyang kubur”, yang dalam bahasa Hakka disebut sembahyang Shi Ku atau sembahyang pada bulan ketujuh Imlek.

Sembahyang Shi Ku ini berasal dari tradisi Taois dan Buddhis. Bagi para pengikut Taois dalam sembahyang Shi Ku ini ada sebuah pesta untuk memberi makan roh-roh yang lapar (dalam bahasa Melayu Malaysia sering disebut sembahyang hantu), tetapi para pengikut Buddhis menganggap sembahyang ini adalah untuk memperingati dan mendoakan roh-roh yang tidak memiliki keluarga di dunia. Pada masa lampau, para pengikut Taois melakukan perayaan Zhong Yuan Jie atau Shi Ku ini selama satu bulan penuh. Mereka meyakini bahwa pada bulan ini pintu-pintu neraka dibuka lebar-lebar untuk memberikan kesempatan kepada roh-roh yang belum terlahir kembali dan roh-roh yang bergentayangan untuk turun ke bumi dan membaurkan diri dengan manusia di dunia untuk menikmati makanan yang disediakan oleh manusia dan barang-barang kebutuhan lainnya.

Roh-roh atau hantu-hantu yang lapar tersebut disebabkan oleh beberapa hal; orang yang meninggal tidak mempunyai keturunan yang dapat mengurusnya (Marcus, 2002:150), orang meninggal secara tidak wajar, orang yang meninggal berstatus janda atau duda (Yang, 1961), dan orang yang meninggal usianya sudah ratusan tahun, sehingga keturunannya sudah tidak ada lagi. Kuburannya tidak ada yang mengurus, sedangkan generasi muda keturunan mereka sekarang sudah tidak kenal lagi dengannya.

Page 205: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

197

PEMUJAAN LELUHUR

Tujuan dari sembahyang Shi Ku ini tidak hanya untuk memberi makan roh-roh yang lapar dan tidak diurus keluarganya, tapi yang lebih penting adalah mendoakannya agar cepat mengalami proses kelahiran kembali dan bersedekah pada roh. Dengan demikian roh-roh tersebut dapat memperbaiki diri menjadi lebih sempurna (wawancara dengan Fung Long, di Singkawang, September 2002).

Sembahyang Shi Ku ini juga dilakukan oleh sebagian besar orang Hakka di Singkawang. Namun, setelah melaksanakan sembahyang atau pemujaan leluhur di kuburan dan membakar kertas uang, mereka juga secara bersamaan melakukan sembahyang pada roh-roh yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan mereka. Menurut keyakinan mereka bahwa pada hari itu roh-roh yang tidak diurus49 oleh sanak keluarganya di dunia keluar dari neraka dan mencari makan di dunia. Karena tidak diurus, mereka sangat lapar sehingga diizinkan oleh raja neraka keluar dari neraka untuk mencari makanan di dunia. Menurut keyakinan orang Hakka di Singkawang, jika manusia tidak menyediakan makanan untuk roh-roh yang lapar tersebut, mereka dapat menjadi “hantu bergentayangan” dan dapat mengganggu kehidupan manusia. Fung Long, narasumber, mengatakan, hantu-hantu yang bergentayangan identik dengan hantu preman. Di sini dia menyamakan hantu-hantu itu dengan preman di dunia nyata. Preman umumnya senang mengganggu orang lain jika perutnya sedang lapar atau kebutuhannya tak terpenuhi. Agar tidak mengganggu manusia, maka hantu-hantu lapar ini harus diberi makan. Di kalangan orang China di Jawa, roh-roh yang tidak diurus oleh keluarganya ini masuk dalam kelompok King Ho Ping (Moerthiko, 1980: 183), yaitu roh-

49 Roh yang tidak diurus, menurut beberapa narasumber, adalah roh orang yang tidak mempunyai keturunan, roh orang yang meninggal secara tidak normal (akibat tabrakan, tenggelam, dibunuh), orang tua yang anaknya tidak berbakti, tidak menikah, dan meninggal saat anak-anak. Roh-roh inilah yang selama satu tahun sekali diizinkan oleh penjaga neraka untuk keluar dan mencari makan di dunia.

Page 206: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

198

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

roh orang meninggal yang tidak mempunyai sanak famili lagi di dunia, dan tidak diurus olah keluarganya. Oleh sebab itu, di setiap kelenteng di Jawa dan sebagian kelenteng di Singkawang ada sebuah altar khusus untuk memuja King Ho Ping supaya mereka tidak mengganggu orang yang hidup.

Di Jawa, upacara sembahyang ini dikenal dengan sebutan sembahyang Cio-Ko atau “sembahyang rebutan” (Willmott, 1960; Marcus, 2002: 147) karena setelah selesai sembahyang, makanan yang tersisa diperebutkan oleh peserta upacara. Mereka beranggapan, mendapat sisa makanan dari hantu-hantu adalah sebuah keberuntungan. Sembahyang Shi Ku atau Cio Ko ini dilakukan pada pertengahan bulan 7 Imlek, tapi sejak tanggal 1 bulan 7 mereka sudah mulai mencari hari yang bagus50 untuk melakukan sembahyang di kuburan orang tua atau leluhur mereka. Di Jawa, sebagaimana ditulis oleh Marcus (2002: 147), pelaksanaan sembahyang Cio Ko dilakukan pada tanggal 29 atau 30 bulan 6 (Lak-Gwee), tepatnya pada pukul 18.00 atau 19.00. Tempat pelaksanaannya biasanya di lapangan atau di depan pekong atau kelenteng.

Di Singkawang umumnya orang melakukan sembahyang Shi Ku mulai tanggal 1 sampai tanggal 15 bulan 7 Imlek. Biasanya mulai tanggal 1 sampai dengan tanggal 14 makam-makam orang yang meninggal yang masih mempunyai sanak famili ramai dikunjungi orang untuk melakukan sembahyang kepada leluhurnya. Baru pada tanggal 15 bulan 7, orang melakukan sembahyang untuk roh-roh yang tidak diurus keluarganya atau tidak memiliki keluarga.

Tempat pelaksanaan tidak ditentukan secara khusus, ada yang melakukannya di lapangan di halaman depan pekong atau kelenteng, dan ada juga yang di tanah lapang jauh dari kuburan, tapi tidak ada yang melakukannya di rumah. Di

50 Hari baik untuk melakukan sembahyang di kuburan leluhur dapat dilihat melalui kalender Cina, yakni kalender Imlek. Bagi orang yang memiliki kemampuan atau pengetahuan, dia dapat menentukan hari baik melalui perhitungan tanggal dan melalui pelemparan sin kaw.

Page 207: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

199

PEMUJAAN LELUHUR

halaman pekong atau kelenteng diletakkan sebuah meja besar di atasnya disediakan berbagai macam makanan dan alat-alat sembahyang, seperti sepasang lilin kecil berwarna merah yang dinyalakan, sebuah gelas berisi beras untuk menancapkan hio (hiolo), tiga piring manisan, buah-buahan, tiga cangkir teh, dan makanan lain yang mereka anggap layak untuk dipersembahkan pada roh-roh lapar tersebut.

Setelah perlengkapan upacara cukup, mereka melakukan sembahyang dipimpin oleh pemimpin upacara. Sembahyang atau pemujaan dilakukan dengan cara setiap peserta menyalakan beberapa batang hio, kemudian hio-hio tersebut diangkat setinggi kepala untuk menandakan bahwa mereka sedang melakukan pemujaan. Mereka memohon kepada Thian atau Tuhan agar dapat mengangkat roh-roh ini ke tempat yang dianggap layak dan mendoakan agar roh-roh ini cepat mengalami proses kelahiran kembali. Mereka juga mengundang para roh untuk menikmati makanan yang telah dihidangkan. Setelah itu, roh-roh diminta pulang ke tempat mereka semula dan jangan bergentayangan di dunia.

Selesai melakukan sembahyang, peserta upacara menancapkan hio yang dia gunakan untuk sembahyang ke hiolo, yang artinya upacara telah selesai dilakukan. Setelah itu, makanan yang dipersembahkan di altar dibuang ke tanah, dan diperebutkan oleh peserta upacara. Apa yang mereka dapat dari hasil rebutan tersebut mereka bawa pulang atau disimpan di rumah. Itu adalah simbol dari keberuntungan karena makanan yang dihidangkan untuk roh-roh dan alat-alat perlengkapan upacara dipandang sakral dan memiliki nilai yang lebih tinggi dari barang-barang atau makanan biasa. Semakin banyak barang yang mereka dapat dari hasil rebutan tersebut, diyakini semakin banyak keberuntungan yang akan mereka peroleh dalam hidup ini, itulah makna terpenting dari “sembahyang rebutan” tersebut. Makna sosialnya adalah mereka dapat berkumpul dalam satu

Page 208: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

200

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

tempat untuk tujuan sama dan para anggota dari berbagai marga mendapat kesempatan untuk merekatkan hubungan sosial di antara sesama marga. Di samping itu, upacara ini juga mendidik generasi muda untuk memperhatikan roh-roh yang bukan leluhur mereka dan saling tolong-menolong atau saling memberi antara yang hidup dan yang meninggal.

Di antara orang Hakka yang menganut agama Buddha di Singkawang (terutama Buddha Tridharma) mengaitkan sembahyang rebutan dengan hari “ulambana” atau hari kasih sayang, yaitu mengirimkan doa kepada roh-roh yang bergentayangan agar mereka cepat lahir kembali. Untuk kepentingan sosial, sembahyang Shi Ku ini sering diwujudkan dalam bentuk sumbangan sembako kepada masyarakat yang kurang mampu.

Ada juga orang Hakka yang tidak mengaitkan sembako ini dengan agama, melainkan murni didasarkan pada kasih kepada sesama manusia. Biasanya satu paket sumbangan berupa lima kilogram beras. Saat sembahyang ka chi ini (pada awal sampai pertengahan bulan ketujuh Imlek) tidak sedikit sumbangan beras51 yang datang dari orang China, khususnya orang Hakka asal Singkawang yang tinggal di Jakarta. Bahkan, menurut informasi dari yayasan kelenteng di Singkawang, beras sumbangan tersebut mencapai 2-3 ton. Dengan demikian, kegiatan ini kita bagi menjadi dua, yaitu pertama, sisi ritual, di mana hanya terbatas pada lingkungan mereka (orang-orang Hakka yang menganut agama Konghucu dan Buddha Tridharma) yang melaksanakannya, dan kedua, sisi sosial, yaitu membagi beras untuk orang-orang yang tidak mampu.

Mengacu pada upacara Shi Ku di atas, dapat kita katakan bahwa orang China, khususnya sebagian besar dari mereka

51 Orang Cina dari Jakarta menyumbangkan beras dalam bentuk uang yang mereka kirimkan ke salah satu agen beras di Singkawang. Panitia pembagian beras mengambil beras ke agen tersebut dan membagikannya kepada masyarakat yang membutuhkan. Kebiasaan ini juga dilakukan oleh kelenteng-kelenteng di Jakarta dan Jawa.

Page 209: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

201

PEMUJAAN LELUHUR

orang Hakka di Singkawang, tidak hanya melakukan pemujaan pada leluhur yang masih ada ikatan kekerabatan, tapi juga memuja leluhur atau roh-roh yang sama sekali tidak ada hubungan kekerabatan. Apa yang mereka lakukan ini bukan didasarkan atas xiao (bakti) kepada leluhur, tapi lebih didasarkan pada rasa takut atas gangguan dari roh-roh yang tidak diurus keluarganya, yang menurut keyakinan mereka, jika tidak diberi makan dapat mengganggu kehidupan manusia. Hal ini tidak ubahnya seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang Jawa dengan upacara bersih desa, yaitu mengadakan upacara agar desa mereka terhindar dari gangguan makhluk halus atau roh-roh jahat.

Apa yang dilakukan oleh orang-orang Hakka saat sembahyang Shi ku ini tidak semata-mata dilihat sebagai kegiatan pemujaan leluhur dan pemujaan pada roh-roh yang bukan leluhur mereka, tapi juga bentuk dari kegiatan tukar-menukar pemberian prestasi antara orang-orang Hakka dan roh-roh leluhur dan roh-roh orang lain yang tidak diurus oleh keluarga mereka. Roh-roh ini diberi makan, dan diharapkan tidak mengganggu orang lain dan roh-roh leluhur orang lain. Apa yang dilakukan orang Hakka ini pada dasarnya juga ingin menciptakan keteraturan atau keharmonisan (mengacu pada prinsip yang dan ying dalam ajaran Lau-tse) dalam keluarga dan masyarakat. Tidak ubahnya seperti upacara ceng beng atau ka chi, upacara Shi ku ini juga merupakan kewajiban dari orang yang masih hidup untuk membantu roh-roh agar tidak menderita. Hal ini mengikuti pada ajaran Konghucu mengenai khuncu, yaitu manusia budiman yang selalu membantu dan memperhatikan penderitaan orang lain.

Fungsi upacara Pemujaan Leluhur52

52 Sebenarnya fungsi pemujaan leluhur di bagian ini adalah intinya saja. Sebenarnya secara tersurat sudah saya jelaskan di bab empat dan dalam penjelasan mengenai upacara kematian pada bab lima. Misalnya ketika saya menjelaskan fungsi anak laki-laki dalam upacara pemujaan leluhur, artinya saya juga menjelaskan fungsi pemujaan leluhur yang

Page 210: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

202

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Upacara pemujaan leluhur dalam keluarga dan masyarakat Hakka di Singkawang mempunyai fungsi sebagai berikut:

a. Mempersatukan atau mempertemukan anggota keluarga, baik yang dekat maupun yang jauh. Keluarga dekat dan jauh artinya keluarga yang masih ada hubungan kerabat dengan yang meninggal, baik yang tinggal dalam satu kota maupun di luar kota, keluarga yang tinggal dalam satu pulau, maupun di luar pulau bahkan keluarga yang tinggal di luar negeri (khususnya anak laki-laki harus ditunggu kepulangannya). Menunggu keluarga dari jauh hadir juga merupakan alasan jenazah dibiarkan dalam waktu lama baru dikuburkan (paling cepat tujuh hari hingga 14 hari).

b. Mempersatukan sahabat dan kenalan orang yang meninggal. Dalam upacara kematian, tidak hanya keluarga dari yang meninggal dipersatukan, tapi juga para sahabat, kenalan, dan tetangga juga hadir untuk memberikan penghormatan terakhir kepada orang yang meninggal.

c. Mempersatukan keluarga yang hidup dan yang meninggal. Dalam upacara kematian, yang di dalamnya juga terdapat upacara pemujaan leluhur, tidak hanya keluarga yang dapat berkumpul dalam satu tempat,, tapi juga yang meninggal. Roh-roh diundang untuk mencicipi makanan yang dihidangkan. Dalam upacara pemujaan leluhur, tidak hanya roh orang yang meninggal, tapi juga roh-roh lain dan dewa-dewa juga diundang untuk mencicipi hidangan.

d. Meningkatkan status anggota keluarga yang hidup. Jika keluarga itu kaya atau orang yang meninggal itu dulunya kaya biasanya upacara kematian dilakukan secara besar-besaran, seperti membeli peti mati yang mahal atau membeli

dilakukan oleh anak laki-laki. Contoh lain, ketika saya menjelaskan bahwa daging korban dibagi-bagikan pada tetangga (lihat bab lima) yang berfungsi merekatkan hubungan sosial, menyuruh orang madura membersihkan (memotong rumput) kuburan (juga dibab kelima), pada dasarnya saya telah menjelaskan fungsi pemujaan leluhur.

Page 211: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

203

PEMUJAAN LELUHUR

tanah pemakaman dengan feng sui baik. Secara sosial agar status keluarga menjadi meningkat di mata masyarakat. Namun, keluarga seringkali mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah untuk memamerkan kekayaan, melainkan rasa bakti keluarga terhadap orang yang mereka cintai, terutama kepada orang tua mereka. Apa yang mereka persembahkan dalam upacara belumlah dipandang besar jika dibandingkan dengan pengorbanan yang diberikan oleh orang tua mereka saat membesarkan dan membuat anak-anaknya menjadi berhasil, baik dalam bidang pendidikan, usaha, maupun dalam membimbing anak keturunannya.

e. Mendoakan dan memohon perlindungan. Dalam upacara kematian atau upacara pemujaan terhadap yang mati, keluarga mendoakan agar yang meninggal tidak mengalami hambatan dalam perjalanan ke akhirat. Tingkah laku dalam upacara semua diarahkan ke sana, seperti menghormati dewa-dewa yang ada di sepanjang perjalanan ke kuburan. Tujuannya adalah agar dewa-dewa tidak mengganggu saat jenazah dibawa menuju ke tempat pemakaman. Mengirimkan surat jalan kepada orang yang meninggal yang dibuat oleh tathung atau sinsang juga berfungsi untuk memudahkan perjalanan orang meninggal menuju akhirat. Menurut keyakinan orang Hakka, jika orang meninggal tidak dilengkapi dengan surat jalan, maka dia tidak akan diizinkan oleh penguasa akhirat untuk tinggal di sana, dan dianggap penduduk ilegal.

Dalam upacara kematian itu keluarga memohon kepada yang meninggal untuk tetap melindungi yang hidup, memberikan rezeki, dan tidak mengganggu kehidupan keluarga di dunia. Orang Hakka berkeyakinan jika roh kembali ke rumah, kecuali jika diundang dalam upacara tertentu akan mengganggu kehidupan keluarga. Dengan alasan itu, orang Hakka tidak membuat tempat pemujaan leluhur di rumah,

Page 212: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

204

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

seperti dalam masyarakat China Hokkian di Jawa dan orang China di China, Taiwan, dan Hongkong.

f. Tukar-menukar pemberian prestasi. Upacara-upacara keagamaan orang Hakka, tidak semata-mata berfungsi sebagai sarana bagi keluarga yang hidup untuk melakukan pemujaan dan berhubungan dengan leluhur mereka serta sesama keluarga yang hidup, tapi juga berfungsi sebagai sarana untuk melakukan kegiatan tukar-menukar pemberian prestasi. Pemberian dari keluarga adalah barang-barang murah tapi disimbolkan sebagai barang-barang mewah dengan harga yang tinggi, seperti rumah-rumahan, mobil-mobilan dari kertas, kertas uang, dan barang kebutuhan hidup lainnya. Mereka berharap balasan dari leluhur bisa lebih besar dari pemberian yang mereka berikan tersebut. Tujuan dari tukar-menukar prestasi adalah untuk menciptakan dan memperkuat hubungan antara yang hidup dan yang meninggal.

makna upacara Pemujaan LeluhurPemujaan leluhur merupakan upacara yang penting

bagi keluarga dan masyarakat Hakka di Singkawang. Sebab, hampir semua upacara yang dilakukan orang Hakka sejak lahir sampai meninggal terdapat pemujaan leluhur. Hanya saja kapasitasnya di setiap upacara berbeda. Dari pengamatan saya di lapangan, kapasitas pemujaan leluhur yang terbesar ada pada upacara kematian, upacara setelah kematian, dan Ceng Beng. Adapun upacara-upacara lain, seperti menyambut kedatangan tahun baru Imlek dan Cap Go Meh, porsinya lebih kecil dari upacara kematian.

Mengapa orang Hakka melakukan pemujaan leluhur? Tentu saja setiap orang yang ditanya akan memberikan jawaban yang berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang dia miliki. Di antara makna pemujaan

Page 213: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

205

PEMUJAAN LELUHUR

leluhur tersebut adalah: pertama, pemujaan leluhur itu adalah memberikan penghormatan kepada leluhurnya. Dia layak dihormati karena telah membesarkan anak-anaknya hingga dewasa dan dapat berdiri sendiri. Kedua, agar tidak dibedakan dari masyarakat yang lain, karena apabila dianggap tidak hormat dan berbakti pada leluhur, dapat menurunkan derajatnya di mata masyarakat. Ketiga, menjaga roh leluhur agar tidak menjadi roh yang kelaparan dan serba kekurangan, karena pemujaan leluhur berarti memberi makan leluhurnya dan mencukupi segala kebutuhannya. Keempat, membuat leluhurnya bahagia, yang sebaliknya akan membahagiakan kehidupan keluarga. Kelima, takut terhadap kutukan dari leluhur jika tidak diperhatikan. Kutukan leluhur dapat membuat kehidupan anak, terutama anak laki-laki, menjadi miskin, sakit-sakitan, dan kehidupan rumah tangga tidak harmonis. Dengan melakukan pemujaan leluhur, berarti leluhur dimohon untuk memperhatikan keturunannya dan memberikan bimbingan. Dan keenam, melakukan upacara pemujaan leluhur dengan menyediakan makanan lengkap untuk dipersembahkan kepada leluhurnya, dapat meningkatkan status sosial keluarga karena masyarakat akan menganggap keluarga tersebut keluarga yang mampu.

Anak laki-laki tertua dalam upacara pemujaan leluhur diposisikan sebagai orang terpenting. Semua anak laki-laki (selain anak laki-laki pertama) diposisikan sebagai orang yang lebih penting dari anak perempuan. Hal ini dapat dilihat dalam proses upacara pemujaan leluhur orang Hakka di Singkawang, anak laki-laki selalu berada di barisan pertama, anak perempuan, mantu laki-laki, dan perempuan di barisan kedua, cucu di barisan ketiga, dan cicit di barisan paling belakang. Ini artinya bagi masyarakat China, termasuk masyarakat Hakka di Singkawang, anak laki-laki adalah pewaris harta orang tuanya, dan memikul tanggung jawab orang tua untuk meneruskan tradisi leluhur.

Page 214: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

206

Makna lain adalah menghindarkan seseorang dari rasa bersalah kepada leluhur. Orang melakukan pemujaan leluhur berarti dia melaksanakan tanggung jawabnya sebagai anak yang berbakti terhadap orang tuanya. Berbakti, tidak hanya dilakukan saat orang tua masih hidup, tapi juga saat mereka sudah meninggal karena orang Hakka berkeyakinan bahwa meskipun leluhur sudah tidak ada di dunia, mereka masih tetap memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap keluarga selama mereka (leluhur) diperhatikan kehidupannya di dunia lain.

Gambar 21.Upacara hangli (mengelilingi petijenazah) saat akan memasukkan peti mati ke lubang kubur. Dipimpin oleh bosong dan diikuti oleh anak-anak, mantu dan cucu-cucu. Sumber Foto Chang Pat Foh.

Page 215: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

207

5

KeSimPuLAn

Sebagian besar orang Hakka di Singkawang menganut agama Buddha. Namun, dalam kesehariannya mereka

juga masih mempraktikkan ajaran Konghucu dan Tao. Ketiga ajaran ini saling mengisi dan melengkapi dan dijadikan pedoman hidup. Sebagian besar kelenteng di Singkawang bercorak Tri Dharma, ini artinya kelenteng-kelenteng tersebut dapat difungsikan oleh umat Tao, Konghucu, dan Buddha untuk melakukan ibadah secara bersama. Ini menunjukkan bahwa orang Hakka di Singkawang sangat toleran terhadap agama-agama di luar keyakinan mereka.

Meskipun orang Hakka sudah tinggal di Singkawang sejak abad ke-17, kebudayaan leluhur mereka masih tetap dilestarikan sampai sekarang. Sebagai contoh, setiap diadakannya perayaan Cap Go Meh (tanggal 15 bulan pertama tahun Imlek) di kota Singkawang, tidak kurang dari 700 tathung mempertunjukkan kesaktiannya di depan ribuan turis dari berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara. Tidak hanya itu, tradisi pemujaan atau penghormatan kepada leluhur juga masih tetap dilestarikan. Ini terlihat saat

Page 216: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

208

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

perayaan Ceng Beng atau Ching Ming, mereka yang merantau banyak yang pulang ke Singkawang untuk mengunjungi dan bersembahyang di kuburan leluhur.

Untuk memahami agama dan kebudayaan orang Hakka di Singkawang, khususnya pemujaan leluhur dalam keluarga dan masyarakat Hakka di Singkawang, keluarga menjadi perhatian dalam studi ini sebab inti dari upacara ini adalah mempersatukan keluarga dekat dan jauh dan pelaksanaannya dilakukan dalam keluarga. Keluarga dalam kebudayaan orang Hakka di Singkawang memiliki peranan penting dalam upacara pemujaan leluhur karena dilakukan setelah orang pertama yang membangun keluarga tersebut meninggal dan peristiwa ini melibatkan seluruh anggota keluarga. Tanggung jawab pemujaan leluhur dibebankan kepada anak laki-laki atau anggota keluarga yang didasarkan pada garis keturunan ayah. Anak laki-laki dalam hal ini tidak hanya berfungsi melangsungkan garis keturunan, melestarikan tradisi leluhur, tapi juga menjaga hubungan baik antar-anggota keluarga yang masih hidup dan leluhur melalui upacara pemujaan.

Dalam kebudayaan orang Hakka di Singkawang, bukan anak laki-laki saja yang dapat melakukan pemujaan leluhur, melainkan juga anak wanita yang sudah menikah, menantu, dan anak-anaknya. Bagi orang Hakka, hal ini merupakan suatu keberuntungan karena upacara pemujaan leluhur bukan saja dapat memperkuat ikatan persaudaraan antarsesama marga, melainkan juga mempererat hubungan antarmarga. Sebagaimana pendapat Turner (1974: 33) yang saya jelaskan sebelumnya, melalui upacara, komunitas-komunitas desa yang berbeda dapat dipersatukan. Ini sesuai juga dengan pendapatnya mengenai upacara orang Ndebu di Afrika: “Dalam mempertahankan unit sosial yang paling luas, pada dasarnya masyarakat Ndebu berpindah ke sistem upacara.”

Page 217: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

209

KESIMPULAN

Dalam masyarakat Hakka di Singkawang, jika anak wanita memiliki kemampuan ekonomi dibandingkan anak laki-laki, maka anak wanita wajib membantu kakak atau adik laki-laki dan orang tua. Jika orang tuanya meninggal, anak perempuan juga mempunyai kewajiban membiayai upacara pemujaan leluhur dan pelaksanaannya tetap dibebankan kepada anak laki-laki.

Upacara pemujaan leluhur berfungsi untuk meneruskan garis keturunan dan agar ikatan kekerabatan antara anggota keluarga yang hidup dan yang meninggal dapat dibangun kembali sehingga kewajiban tolong-menolong di antara keduanya dapat terus berlangsung. Terputusnya hubungan antara yang hidup dan yang meninggal (roh-roh leluhur) dapat berdampak tidak baik bagi kehidupan leluhur yang ada di dunia tidak nyata dan bagi kehidupan keluarga di dunia karena keluarga yang hidup dan yang meninggal masih membutuhkan pertolongan dari pihak lain. Oleh sebab itu, kepulangan sebagian besar orang Hakka ke Singkawang setiap tahunnya untuk melakukan upacara ceng beng bukan semata-mata didorong oleh perasaan xiao atau bakti terhadap leluhur, melainkan didorong keinginan untuk meminta pertolongan, perlindungan, bimbingan, dan berkumpul dengan anggota keluarga lain.

Jika dilihat dari teori tukar-menukar pemberian prestasi oleh Marcel Mauss (1967; 1992) sebagaimana disebutkan sebelumnya, upacara pemujaan leluhur yang dilakukan oleh orang-orang Hakka di Singkawang dapat dilihat sebagai suatu kegiatan tukar-menukar pemberian antara anggota keluarga yang masih hidup dan keluarga yang sudah meninggal dan dilakukan secara resmi. Hal ini terlihat dalam upacara yang mereka lakukan, yaitu mempersembahkan makanan, minuman, dan alat-alat kebutuhan hidup lainnya, yang diyakini untuk keperluan leluhur di dunia lain. Sebaliknya, leluhur diyakini dapat membalas pemberian tersebut

Page 218: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

210

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

dengan balasan yang melebihi dari pemberian yang mereka terima. Balasan kebaikan dari leluhur, sebagaimana diyakini orang Hakka, dapat diterima pada waktu-waktu lain atau di kemudian hari.

Hakikat pemujaan leluhur dalam masyarakat Hakka adalah untuk mendapatkan keselamatan dan restu dari leluhur. Pemujaan pada dasarnya ingin mendapatkan keselamatan atau kepercayaan diri. Tanpa itu, perasaan khawatir selalu menghantui seseorang atau keluarga yang masih hidup. Dengan melakukan pemujaan, kepercayaan diri semakin meningkat karena kehidupan seseorang dan apa pun yang mereka kerjakan diyakini selalu berada dalam perlindungan dan petunjuk leluhur. Selain itu, karena ingin mendapatkan restu dan berterima kasih kepada leluhur. Mendapatkan restu dari leluhur adalah penting karena tanpa restu, segala macam perbuatan di dunia diyakini tidak mendapatkan hasil yang baik sesuai dengan harapan. Hal ini terlihat dalam berbagai kegiatan upacara di rumah dan di kuburan-kuburan leluhur. Demikian juga apabila akan melakukan suatu pekerjaan, membuka usaha baru, atau akan melakukan perjalanan jauh selalu meminta restu kepada roh leluhur.

Saya juga telah menunjukkan bahwa perasaan berbakti (xiao) atau haw anak atau keluarga terhadap orang tua atau leluhur, keinginan untuk membuat kehidupan leluhur di dunia lain (dunia tempat tinggalnya para roh-roh leluhur) menjadi bahagia, keinginan untuk mendapatkan perlindungan, pertolongan dari leluhur, dan keinginan agar leluhur mereka memberikan kehidupan yang lebih baik di dunia, semua ini menjadi faktor penting dalam mendorong seseorang untuk melakukan pemujaan terhadap roh-roh leluhur mereka. Hal-hal ini dapat dilihat pada tindakan-tindakan dalam upacara pemujaan leluhur yang mereka lakukan di rumah (saat upacara kematian, hari raya Imlek dan Cap Go Meh),

Page 219: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

211

KESIMPULAN

di yayasan sosial kematian (ketika pengurusan jenazah keluarga yang meninggal diserahkan kepada pihak yayasan sosial kematian) dan di kuburan (saat penguburan jenazah, upacara setelah jenazah dikuburkan, seperti upacara 1 minggu sampai upacara 7 minggu (hari ke-49), hari ke-100, 1 tahun, Cheng Beng dan Shi Ku). Pembakaran kertas uang, perlengkapan sehari-hari untuk leluhur, pakai-pakaian, sepatu-sepatuan, paspor (bukan sebenarnya) dan lain-lain saat upacara Ceng Beng atau Ching Ming di kuburan leluhur, adalah salah satu contoh untuk membahagiakan kehidupan leluhur. Tentu saja pemberian ini tidak dilakukan dengan cuma-cuma, semuanya mengharapkan balasan atau pamrih dari leluhur, terutama pertolongan dan perlindungan.

Dalam buku ini, saya juga telah menunjukkan bahwa orang Hakka masih meyakini bahwa roh leluhur tetap hidup di dunia lain setelah kematiannya. Mereka juga meyakini bahwa kehidupan leluhur di dunia lain tidak ubahnya seperti kehidupan manusia di dunia. Jika manusia hidup membutuhkan makanan, pakaian, hiburan, tempat tinggal yang layak, uang yang cukup, kendaraan dan lain-lain, maka leluhur mereka di dunia lain juga demikian. Keyakinan seperti inilah yang menghendaki mereka mengirimkan segala keperluan yang dibutuhkan oleh leluhur agar kehidupan mereka di dunia lain menjadi bahagia tanpa ada kekurangan sedikit pun. Berdasarkan keyakinan orang Hakka, leluhur tidak boleh dibiarkan hidup sengsara, seperti roh-roh yang kelaparan yang tidak diurus oleh anak-anaknya karena mereka akan menderita dan dapat menganggu kehidupan keluarga mereka dan orang lain. Agar roh-roh ini tidak mengganggu kehidupan keluarga atau orang lain, perlu diseimbangkan, atau kondisi yang tidak teratur dikembalikan menjadi teratur dengan cara mengundang mereka, melakukan pemujaan, memberi mereka makan dan melengkapi segala keperluan mereka. Semuanya ini

Page 220: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

212

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

didasarkan pada prinsip tukar-menukar pemberian atau timbal balik untuk mewujudkan keteraturan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mauss dan Suparlan dalam penjelasan sebelumnya.

Saya juga telah menunjukkan bahwa dalam keluarga dan masyarakat Hakka di Singkawang, leluhur tidak hanya sekadar dipuja, diperhatikan, diberi makan dan minum, tapi juga dijadikan pedoman moral bagi kehidupan keluarga. Sebab, mereka berkeyakinan, meskipun leluhur mereka sudah meninggal, roh-rohnya masih dapat mengawasi dan memperhatikan kehidupan keluarganya di dunia sebagaimana layaknya ketika mereka masih hidup. Karena merasa diawasi (meskipun tidak terlihat), keluarga takut untuk berbuat hal-hal yang dapat membuat roh-roh leluhur marah. Kemarahan atau kutukan dari roh-roh leluhur diyakini akan memberikan dampak negatif bagi kehidupan keluarga yang hidup. Oleh karena itu, sepatutnya dihindarkan agar hidup anggota keluarga di dunia menjadi baik dan teratur.

Orang-orang Hakka di Singkawang tidak semata-mata meyakini dan memuja leluhur mereka, tapi mereka juga meyakini dan memuja dewa-dewa, roh-roh orang-orang yang dianggap setengah dewa, roh-roh orang lain, bahkan banyak di antara mereka yang memuja dan memberikan perhatian khusus pada roh-roh dari tokoh-tokoh lokal yang dapat memberikan manfaat kepada mereka. Dewa-dewa roh-roh, orang-orang suci yang dianggap setengah dewa, tidak semata-mata dipuja, diberi makanan, minuman, dan kebutuhan hidup lainnya, tapi juga dimintai pertolongannya untuk melindungi keluarga, memohon rezeki yang banyak, keberhasilan dalam usaha, dan memberikan angka atau nomor yang tepat (togel) untuk mereka. Hal yang sama juga berlaku pada leluhur, di mana mereka meyakini bahwa leluhur tidak hanya berfungsi melindungi keluarga, tapi juga dapat memberikan nomor yang tepat, seperti togel. Oleh karena itu, pemujaan terhadap

Page 221: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

213

KESIMPULAN

dewa, roh-roh orang yang dianggap setengah dewa, dan roh-roh leluhur sering kali diakhiri dengan meminta nomor togel (tidak untuk semua keluarga orang Hakka).

Dewa-dewa yang dapat memberikan pertolongan kepada keluarga orang Hakka saat mereka membutuhkan pertolongan, mereka buatkan tempat pemeliharaannya di rumah dan di tempat mereka membuka usaha agar dewa-dewa selalu menjaga keselamatan dan memberi rezeki atau memajukan usaha orang yang memeliharanya. Sebagai konsekuensinya, mereka diberi makan dan dipuja setiap hari atau setiap buka toko dan tutup toko. Jika ini tidak dilakukan, dewa-dewa dan roh-roh yang dipelihara akan marah, yang dapat membawa akibat buruk bagi pemuja dan usaha bisnisnya. Perkembangan keyakinan kepada dewa-dewa di kalangan orang Hakka di Singkawang bukan hanya terkait dengan persoalan-persoalan ekonomi, melainkan juga dipengaruhi oleh kondisi politik nasional. Jika pada masa Orde Baru keyakinan seperti ini sulit berkembang karena pemerintah membatasi penonjolan dan ekspresi agama dan kebudayaan orang China (lihat Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967), tetapi pada masa Orde Reformasi keyakinan mereka bisa berkembang dengan pesat karena pemerintah tidak lagi membatasi agama dan kebudayaan orang China sehingga pembangunan pekong atau kelenteng. Dengan demikian, tidak jarang saat peresmian kelenteng atau pekong baru, panitia pembangunan mengundang bupati atau wali kota, pejabat Departemen Agama setempat, dan pejabat-pejabat lain di wilayah setempat.

Hubungan orang Hakka dengan dewa-dewa dan roh-roh orang yang dianggap setengah dewa yang mereka puja dapat juga dilihat sebagai hubungan yang didasarkan pada prinsip timbal balik. Dewa-dewa yang mereka yakini tinggal di pekong-pekong atau kelenteng-kelenteng dan di tempat-tempat pemujaan yang mereka buat di rumah tidak semata-

Page 222: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

214

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

mata mereka puja dan beri makan dan minum, tapi juga mereka mintai pertolongannya ketika menemukan kesulitan. Oleh karena itu, keberhasilan mereka dalam berusaha bukan didasari semata-mata oleh keahlian mereka dalam berdagang, melainkan atas pertolongan para dewa-dewa dan roh-roh leluhur mereka. Atas dasar itu, agama orang Hakka di Singkawang masih diselimuti oleh keyakinan terhadap roh-roh leluhur dan dewa-dewa.

Orang-orang Hakka di Singkawang, tidak semata-mata melakukan pemujaan leluhur saat upacara kematian, penguburan, setelah penguburan dan Ceng Beng, tapi juga saat upacara shi ku. Dan, upacara shi ku di Singkawang berbeda dengan upacara shi ku di China dan Jawa. Umumnya upacara shi ku di China dan di Jawa hanya dilakukan sembahyang atau pemujaan serta memberi makan roh-roh yang bukan termasuk anggota keluarga mereka di halaman kelenteng atau lapangan terbuka dan tidak melakukan sembahyang di kuburan leluhur. Namun yang terjadi di Singkawang berbeda dengan apa yang terjadi di China dan Jawa, orang Hakka di Singkawang (saat upacara kha Ci atau sembahyang rebutan)tidak semata-mata memuja dan memberi makan roh-roh orang lain yang lapar, tapi juga memuja dan memberi makan roh-roh leluhur mereka di kuburan, sebagaimana layaknya saat upacara Ceng Beng.

Upacara pemujaan leluhur yang dilakukan oleh orang-orang Hakka di Singkawang dewasa ini, pada dasarnya merupakan warisan tradisi orang-orang China di masa lampau yang diwariskan secara turun-temurun melalui anak laki-laki. Anak laki-laki yang tidak melakukan pemujaan leluhur dapat dianggap put-haw atau tidak berbakti dan dosa besar. Atas dasar itu pula pemujaan leluhur ini selalu ada dan dilaksanakan oleh orang-orang China di mana saja mereka berada, untuk mewujudkan harmoni antara yang hidup dan yang mati, atau antara dunia nyata dan dunia

Page 223: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

215

KESIMPULAN

tidak nyata sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Confucius (551 SM). Orang Hakka di Singkawang ada yang menganut agama Konghucu, Tao, Buddha, Katolik, Kristen, dan Islam. Namun, sebagian besar mereka menganut agama Tao, Konghucu dan Buddha. Meskipun ada yang menganut agama Tao, Konghucu, Buddha, Katolik dan Kristen, mereka masih melaksanaakan upacara pemujaan leluhur saat tibanya hari raya Ceng Beng dan shi ku (sembahyang rebutan). Kecuali bagi mereka yang sudah beragama Islam, mereka sudah tidak lagi melaksanakan pemujaan leluhur, sebagaimana layaknya agama-agama lain. Jumlah mereka yang beragama Islam cukup kecil jika dibandingkan mereka yang memeluk agama lain. Mereka yang masuk Islam umumnya karena perkawinan antara wanita Hakka dengan lelaki Melayu.

Simbol-simbol upacara pemujaan leluhur dalam mayarakat Hakka (antara lain jeruk mandarin dan kertas uang) tidak memiliki pengertian tunggal, tapi jamak sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman orang yang menginterpretasikannya. Meski demikian, pengertiannya selalu mengacu pada kebaikan dan murah rezeki bagi orang yang mengartikannya.

Jika dibandingkan antara tahun 1960-an dan saat ini, ada suatu perubahan dalam masyarakat Hakka di Singkawang, terutama dalam hal pemujaan leluhur. Pada tahun '60-an tempat pemujaan leluhur masih dilakukan di rumah, tapi sekarang orang-orang Hakka cenderung melakukan di kuburan leluhur mereka saat Ceng Beng dan Siku (sembahyang rebutan). Bagi mereka, tempat yang baik untuk melakukan pemujaan adalah di makam leluhur karena lebih dekat pada leluhur yang dipuja.

Page 224: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

216

dAFTAr KePuSTAKAAn

Abraham, W. E., 1966, The Mind of Africa, Chicago, University of Chicago Press.

Ahern, Emily M., 1973, The Cult of the Dead in a Chinese Village, Stanford, California, Stanford University Press.

Atkinson, Paul dan Hammersley, Martyn, 1994, “Ethnography and Participant Observation”, dalam Denzin dan Lincoln, ed., Handbook of Qualitative Research, California, SAGE Publications, Inc.

Baal, J. van, 1988, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970) (Diterjemahkan dari buku: Geschiedenis en Groei van de Theorie der Culturele Anthropologie ( 1970 oleh Drs. J.Piry), Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.

Baker, Hugh D R., 1979, Chinese Family and Kinship, New York, The Macmillan Press LTD.

Bloomfield, Frena, 1986, Di Balik Sukses Bisnis Orang China (Diterjemahkan dari buku: Chinese Belief, oleh Sang Saka Gotra), Jakarta: Sang Saka Gatra.

Chang Pat Foh, 1993, Chinese Festivals Customs & Practices in Sarawak, Sarawak Malaysia, Lee Ming Press Co.

Chen, Chi-nan, 1985, “Fang and Chia-tsu: The Traditional Chinese Family Structure”, The Study of Sinology, 3, 1.

Ch’u, Tung-tsu, 1984, The Chinese Law and Society, Taipei: Lin Ging Publishing Co.

Clarke, Ian, 2000, “Ancestor Worship and Identity: Ritual, Interpretation, and Social Normalization in the Malaysian Chinese Community”, Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, volume 2, Oktober, hal. 273-295.

Page 225: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

217

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Creel, H.G., 1953, Chinese Thought from Confucius to Mao Tse-Tung, Chicago, The University of Chicago Press.

Comber, Leon, 1963, Chinese Ancestor Worship in Malaya, Singapore: Eastern University Press LTD.

Colson, E., 2000, “Ancestral Spirits and Social Structure Among the Plateau Tonga” International Archives of Ethnography, volume XLvII, Leiden, E.J. Brill. Hal. 1-90.

Constable, Nicole, 1996, Guest People: Hakka Identity in China and Abroad (editor), Seattle and London, University of Washington Press.

Creel, H.G, 1953, Chinese Thought from Confucius to Mao Tse-Tung, Chicago: The University of Chicago Press.

Danandjaja, James, 1997, Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain, Jakarta, PT. Pustaka Utama Grafiti.

Dean, Kenneth, 1910, Taoist Ritual and Popular Cults of Southeast China, Princeton, New Jersey, Princeton University Press.

De Groot, J.J.M., 1910, The Religious System of China, 6 vols, Leiden.Douglas, Mary, 1987, “Alam Pemikiran Primitif” (Diterjemahkan dari

Terjemahan) dalam Robertson, Roland, ed., Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: Rajawali Pers.

Dore, Henry, S.J., 1987, Chinese Customs, Singapore, Graham Brash Publishers.

Earl, George Windsor, 1837 The Eastern Seas, or Voyages and Adventures in the Indian Archipelago, London, W.H. Allen, repr, Singapore, Oxford University Press, 1971.

Eliade, Mircea, 1987, The Encyclopedia of Religion, volume 1, New York: Macmillan Publishing Company.

Feuchtwang, Stephan, 2001, Popular Religion in China: The Imperial Metaphor, Great Britain, Curzon Press.

Freedman, Maurice, 1958, Lineage Organization in Southeastern China, University of London: The Athlone Press.

-----------, 1967, Social Organization: Essays Presented to Raymond Firth, Frank Cass & Co. LTD.

-----------, 1970, Family and Kinship in Chinese Society (Editor Maurice Freedman), Stanford, California, Stanford University Press.

-----------, 1979, “Ritual Aspects Of Chinese Kinship” dalam William A. Lessa dan Evon Z. vogt (Eds),New York: Philadelphia, San Francisco, London: Harper & Row, Publishers.

Firth, Raymond, 1975, Symbols: Public and Private, Ithaca New York: Cornell University Press.

Page 226: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

218

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Fortes, Mayer, 1960, “Oedipus and Job in West African Religion” dalam Charles Leslie (editor),Anthropology of Folk Religion, New York: vintage Books.

Fung, Yulan, 1984, Short History of Chinese Philosophy, New York: The Free Press.

Geertz, Clifford, 1974, The Interpretation of Cultures: Selected Essays, London: Hutchinson & CO Publisher, LTD.

Gennap, Arnold van, 1909, The Rites of Passage, (Trans.By. Monika B.vizedom and Gabrielle L. Coffee (trans.), London: Routledge and Kegan Paul.

Gluckman, Max, 1937, “Mortuary Customs and the Belief in Survival after Death among the South-Eastern Buntu” Buntu Studies, 11 June.

Goldschmids, Walte, 1971, Exploring the Ways of Mankind, New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Hamilton, Gary (Editor), 1996, Menguak Jaringan Bisnis China Di Asia Timur Dan Tenggara (Diterjemahkan dari buku: Business Networks and Economic Developmen in East and Southeast Asia, oleh Alexander Irwan Ph.D), Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Heidhues, Somers, Mary, 2003, Golddiggers, Farmers, and Traders in the “Chinese Districts”of West Kalimantan, Indonesia, Ithaca, New York, Southeast Asia Program.

Hsu, Francis L. K., 1948, Elder the Ancestors’ Shadow, New York: A Classic Study of Chinese Ancestor Worship.

Jochim, Christian, 1986, Chinese Religions a Cultural Perspective, New Jersey, Prentice-Hall, Inc.

Lessa, William A dan Evon Z. vogt, 1979, Reader in Comparative Religion: An Anthropological Approarch (fourth Edition), New York, Harper & Row.

Keesing, Roger M., 1975, Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective, New York: Holt, Rinehart and Winston.

Levy, Marion J.Jr., 1972, “Functional Analysis: Structure Functional analysis”, dalam David L. Sills (ed.), International Encyclopedia of the Social Sciences. vol. 6. New York: The Macmillan Company & The Free Press, hal. 21-28.

Lin, Te, 2000, Mitologi China (Diterjemahkan dari buku: Chinese Myths, oleh Zulfan Pad Aris), Jakarta, Intimedia & Ladang Pustaka.

Liv, Evelyn, tt, Orientasi & Manfaat Hong Sui, Jakarta, PT. Central Kumala Sakti.

Lontaan, J.U., 1974, Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, Pemda Kalbar.

Page 227: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

219

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Lumbun, Gayus T., 2002, Confucianisme dan Lingkungan Hidup Budaya Hukum Masyarakat Pasiran, Jakarta, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program Pascasarjana.

Mastuhu & M. Deden Ridwan (editor), 1998, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan AntardisiplinIlmu, Jakarta, Pusjarlit dan Nuansa.

Marcus A.S., 2002, Hari-Hari Raya China, Jakarta, Marwin.Mauss, Marcel, 1992, Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di

Masyarakat Kuno Diterjemahkan dari buku: The Gift, Forms and Functions Exchange in Archaic Society, oleh Parsudi Suparlan dan juga diberi kata pengantar)Jakarta,Yayasan Obor Indonesia.

Moerthiko, 1980 Riwayat Klenteng, Vihara, Lithang, Tempat Ibadah Tridharma Se Jawa, Semarang, Sekretariat Empeh Wong Kam Fu.

Morris, Brian, 2003, Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer (diterjemahkan dari buku: Anthropological Studies of Religion: An Introductory text, oleh Imam Khoiri), Yogyakarta, AK Group.

Nelson, H. G. H., 1973, Ancestor Worship and Burial Practices, Religion and Ritual in Chinese Society, editor: Arthur P. Wolf, Stanford, Stanford University Press.

Nio, Joe Lan, 1961,Peradaban China Selayang Pandang, Jakarta: Keng Po.Ong Hean-Tatt

1996, Simbolisme Hewan China (diterjemahkan dari Chinese Animal Symbolisms, oleh Lie Huan), Jakarta: Kesaint Blanc.

Pandian, Jacob, 1991 Culture, Religion, and the Sacred Self, New Jersey: Prentice Hall

Poerwanto, Hari, 1988, Orang Khek di Singkawang, Jakarta: Universitas Indonesia, tesis S3.

Redfield, Robert, 1960,The Little Community and Peasant Society and Culture, Chicago: University of Chicago Press.

Robertson, Roland (Editor), 1988 Agama Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (Diterjemahkan dari buku: Sociology of Religion, oleh: Achmad Fedyani Saifuddin dan diberi kata pengantar oleh: Parsudi Suparlan), Jakarta, Rajawali.

Scupin, Reymmond (editor), 2000 Religion and Culture: An Anthropological Focus, New Jersey, Upper Saddle River.

Setiawan, 1990, Dewa-Dewa Kelenteng, Semarang, Yayasan Klenteng Sampookong.

Skinner, William G, 1979Golongan Minoritas China, Golongan Etnis China di Indonesia (Jakarta: 1981), ed. Mely.G. Tan.

Skinner, Stephen, 1997, Feng Shui: Ilmu Tata Letak Tanah Dan Kehidupan China Kuno (Terjemahan dari buku; Feng Shui), Semarang: Dahara Prize.

Page 228: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

220

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Smith, Seymour, Charlotte, 1986, Macmillan Dictionary of Anthropology, London and Basingstoke, Macmillan Press Ltd.

Spradley, James P., 1998, Metode Etnografi (terjemahan dari The Ethnographic Interview, oleh Misbah Zulfa Elizabeth), Yogya, PT. Tiara Wacana Yogya.

Suparlan, Parsudi, 1985, “Struktur Sosial, Agama, dan Upacara: Geertz, Hertz, Cunningham, Turner, dan Levi-Strauss”, dalam Bulletin Antropologi: Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM, hal. 3-10.

1989 “Sistem Kekerabatan, Keluarga, dan Peranan Pria Dalam Keturunan”, Berita Antropologi, Jurusan Antropologi FISIP UI.

1991, The Javanese Dukun, Jakarta, Peka Publication.1994, Metodologi Penelitian Kwalitatif (diktat), Jakarta, Program Kajian

Wilayah Amerika Program Pascasarjana Universitas Indonesia.Suwarto, T., Tan Yuan-ka, Jonathan, 1998, “The Ancestor veneration

Rites of the Contemporary Malaysia Chinese Community and Inculturation”, East Asian Pastoral Review, volume 35 Number 3/4, hal. 321-325.

Tangdililing, A.B., 1983, Masyarakat Keturunan China di Kalimantan Barat,Jakarta,Universitas Indonesia, tesis sarjana S-2.

Turner, victor, 1980 The Forest of Symbols, Aspects of Ndebu Ritual, Ithaca dan London: Cornell University Press.

1987, Ritual Process: Structure and Anti-Structure, Ithaca, New York: Cornell University Press.

vasanty, Puspa dalam Koentjaraningrat, 1993 Kebudayaan Orang China di Indonesia”, Manusia danKebudayaan di Indonesia, Jakarta: Jambatan.

Wallace, Anthony, 1966, Religion: An Anthropological View, New York: Random House.

Willmott, Earl, Donald, 1960 The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, Ithaca, New York, Cornell University Press.

Winangun, Wartaya, Y. W., 1990, Masyarakat Bebas Struktur, Jakarta: Pustaka Filsafat.

Wolf, Margery, 1968, The House of Lim, New York: Meredith Corporation.

Yang, C.K., 1970, Religion in Chinese Society, London: University of California Press

Yun, Lin, 2000, Feng Shui Tibet, Jakarta: Harmoni.

Page 229: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

221

dAFTAr iSTiLAH

AAku : Bibi.Akung : Kakek dari sebelah ayah.Altar : Meja sembahyang Angpao : Hadiah atau uang yang dimasukkan ke amplop merah.

CCap Go (Shi Wu) : Tanggal 15, sembahyang Cap Go adalah sembahyang

yang dilakukan setiap tanggal 15 Imlek, di rumah dan di pekong atau kelenteng.

Ce it : Tanggal 1, sembahyang Ce it adalah sembahyang yang dilakukan setiap tanggal 1 Imlek, di rumah, di pekong atau kelenteng.

Ceng Beng : Sembahyang pada bulan 3 Imlek atau bersih kuburan atau sembahyang di kuburan leluhur.

Chi Cong : Abang ipar.Chi Kiw : Abang istriChi Ji : Adik istri.Chau Bong Khi : Breng-brenganChiam Si (Jian shi) : Batangan bambu (panjang kira-kira 20 cm, lebar 1

cm dan tebal kira-kira 1 milimeter) bertuliskan huruf

Page 230: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

222

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Mandarin, isinya tentang ramalan untuk seseorang. Setiap kelenteng biasanya memiliki Chiam Si.

Ch’I : Napas, energi.Cia atau Jiaatau jiazu : Keluarga.Cit ji : Keponakan dari saudara laki-laki.Coi Pau : Amplop besar berisikan kertas uang.

DDelapan Kebajikan : Bakti, rendah hati, satria, dapat dipercaya, susila,

kebenaran, suci hati dan tahu malu.FFai fa chin : Ketua yayasan kematian dalam masyarakat Hakka.Fang : Cabang, hubungan anak dengan ayah.Fengsui : Air dan angin, suatu geomansi China tentang letak yang

membawa keberuntungan bagi manusia.Fung Zet : Warna merah.

GGemreng : Sejenis alat musik, sebanyak dua buah, sebesar piring

untuk makan, terbuat dari tembaga dan dimainkan saat upacara kematian.

HHakka atau Khek : Nama salah satu suku bangsa ChinaHan : Nama sebuah dinasti di ChinaHio : Xiang, lidi merah atau hijau yang digunakan untuk

sembahyang.Hiong : Sembahyang dengan menggunakan hio.Hiolo (xiang lu) : Tempat menancapkan hio atau hiong lu pat.

IImlek : Sistem penanggalan berdasarkan peredaran bulan atau

kalender China.It Kwi Sam Khao (yi gui san kou) : Sekali berlutut, tiga kali menunduk.

Ini adalah tindakan dalam upacara pemujaan leluhur.Jay Sin Ya : Cai Shen Ya, nama dewa kekayaan atau rezeki.Ju : Hadir atau ada.

Page 231: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

223

DAFTAR ISTILAH

KKa Chi : Sama dengan Ceng Beng, yaitu membersihkan kuburan

leluhur dan melakukan pemujaan atau sembahyang kepada mereka.

Khiang Thay Kong : Jiang Tai Gong, seorang negarawan yang sangat

bijaksana.Khiau kung : Yayasan Kematian.Konghucu : Confucius (551-479 SM), seorang guru filsafat dan

dianggap nabi oleh para penganut agama Konghucu. Dia juga dianggap sebagai dewa pelindung pendidikan.

Kit : Sering juga disimbolkan dengan jeruk atau simbol keberuntungan.

Kiuk : Kain spanduk ucapan belasungkawa.Kipusu : Ayah tiri.Ko : Abang.Koan Tee Kun : Guan Sheng Di Jun, dewa perang.Kue ku : Semacam kue yang terbuat dari tepung terigu.Kue Moho : Semacam kue yang terbuat dari tepung terigu, tanpa

telur, bentuknya menyerupai kembang, berwarna merah muda, dan bagian tengahnya yang mekar berwarna putih.

Kwan Im : Dewi Welas Asih.Kwei : Hantu-hantu.

LLeluhur : Orang yang sudah mati, yang masih dapat ditelusuri

secara garis keturunan.Li : Ritual atau upacara atau kesopananLiong : Naga terbuat dari kertas dan kain, dimainkan saat hari

raya orang China.MMiang Si Than : Daftar nama-nama anggota keluargaMoi she : Adik ipar.Moi yen : Perantara dalam pertunanganMoi nyin pho : Nenek yang ditugaskan untuk melamar gadis.Moi nyin kung : Kakek yang ditugaskan melamar gadis.

Page 232: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

224

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Mu Kiw : Paman dari sebelah ibu.

NNenek moyang : Orang yang sudah meninggal, tapi tidak lagi dapat

ditelusuri secara garis keturunan.Nyiche : Kakak wanita yang kedua.Nyun Ci : Kertas uang untuk leluhur.

PPai-pai : Upacara sederhana.Pak : Paman.Pakung : Kakek yang paling tua.Pekong : Tempat sembahyang atau tempat memuja dewa-dewa,

termasuk dewa bumi.Pemujaan leluhur : upacara yang dilakukan dengan cara menyuguhkan

korban, makanan, dan minuman kepada roh-roh anggota keluarga yang sudah meninggal.

Phe dji : Delapan huruf tentang tahun, bulan, dan tanggal.Pheksi : Warna putih.Phu : Adalah jimat, yang digunakan sebagai menolak roh-roh

jahat yang akan mengganggu manusia. Jimat ini didapat dari dukun orang China atau orang Hakka, terbuat dari kertas kuning tipis dan ditulis dengan huruf Mandarin. Jimat ini bukan ditulis oleh manusia biasa dalam keadaan sadar tapi oleh dukun yang sedang dalam kesurupan.

P’o : Sebutan untuk roh manusia yang sudah meninggal. Roh-roh yang baik disebut Shen dan roh-roh yang jahat disebut kwi.

SSamkauw : San Jiao, tiga ajaran: Taoisme, Konfusianisme, dan

Buddhisme.Samseng : Tiga jenis binatang yang mewakili darat, air, udara.Shan Kheu Yong : Nama lain (istilah Hakka) dari Singkawang.Shen atau Hun : Roh yang lebih tinggi kedudukannya.Shi Ku : Pemujaan atau sembahyang dan memberi makan roh-

roh yang tidak memiliki sanak keluarga di dunia. Shi Ku

Page 233: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

225

DAFTAR ISTILAH

sama artinya dengan sembahyang rebutan karena selesai sembahyang, makanan yang dipersembahkan kepada roh-roh diperebutkan, sebagai simbol keberuntungan.

Shi kok Thian Ti : Dewa-dewa penjaga di empat penjuru alam.Siang atau she : MargaSin Kaw : Terbuat dari kayu, bentuk dan besarnya seperti buah

pinang dibelah dua, dicat dengan warna merah dan kadangkala berwarna hitam. Sin Kaw ini digunakan untuk mengetahui apakah sesuatu yang kita lakukan itu mendapat persetujuan dari dewa-dewa dan roh-roh. Jika alat ini dilambung setinggi 1 meter dan kedua-duanya jatuh dalam keadaan telentang, berarti dewa-dewa tidak menyetujui keinginan kita dan jika satu buah sin kaw jatuh dalam keadaan terlentang atau terlungkup dan satunya lagi jatuh dalam keadaan terlungkup, berarti dewa menyetujui keinginan kita. Bisa juga digunakan untuk membuktikan kebenaran batang Chiam Si yang kita dapatsetelah melakukan penggoncangan untuk tujuan meramal nasib.

Sinpuk : Upacara malam pemberangkatan jenazah.Sinse : Sinsang atau dukun.Siong Pau atau Hap Pau : Duplikat koper tempat kertas uang dan pakaian.Siukim : Kertas tipis warna kuning emas untuk sembahyang dan

dipersembahkan kepada roh atau dewa.Sinci : Dapat diartikan sebagai papan arwah. Orang China

meyakini bahwa di papan tersebutlah arwah atau roh orang yang meninggal tinggal. Di papan tersebut dituliskan nama orang yang meninggal, marganya, jumlah anak laki-lakinya dan sifat dari orang yang meninggal, seperti pemalu, pendiam, pemarah, sombong, baik hati dan sebagainya.

Sintin : Kertas uang untuk dipersembahkan pada dewa-dewa.Sukung : Kakek dari sebelah ayah yang paling muda.Sun : Cucu.SuSi : Kitab yang empat atau Empat Kitab Konfusianisme.

TTai che : Kakak wanita paling tua.

Page 234: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

226

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

Taiko : Abang yang paling tua.Taipak : Paman yang paling tua.Tao : JalanTaoisme : Ajaran-ajaran Lao-tse (604 SM).Teochiu : Nama salah satu suku bangsa China.Tathung : Sama dengan loya (dialek Hokkian) atau dukun yang

dapat mengobati atau memberi jimat.Thian : TuhanTua Pe Kong : Tho Te Kong, dewa bumi.Tui nyan atau Tui ni : Upacara seratus hari.

WWu Xing : Lima pengertian, suara, organ, dll.

YYang : Langit, terang, bersih.Yin : Bumi, gelap, kotor.

XXiao : (Mandarin) artinya berbakti ke pa da orang

tua, baik yang sudah mening gal maupun yang masih hidup. Sa ma artinya dengan Haw (dialek Hokkian).

Page 235: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

227

TenTAng PenuLiS

M. IkhsanTanggok lahir di Desa Sungai Purun Besar, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, 29 November

1966. Pendidikan SD diselesaikan di Sungai Purun Besar tahun 1981, SMP di Sungai Pinyuh Kabupaten Pontianak tahun 1984, dan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Pontianak tahun 1987. Setelah menyelesaikan Pendidikan Guru Agama, pindah ke Jakarta dan melanjutkan studi di Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1987 dan selesai pada 1992. Pada tahun 1999 menyelesaikan studi Magister di Pasca sarjana Universitas Indonesia. Tahun 2005 menyelesaikan pendidikan Doktor dalam bidang Antropologi di Universitas Indonesia. Tahun 2003 mendapatkan beasiswa DAAD (dari Pemerintah Jerman) untuk studi kepustakaan dan penyelesaian penulisan disertasi doktor di Institut fur Ethnologie der Universitat Gottingen Germany dan Leiden University. Dari 1994 sampai dengan sekarang menjadi dosen tetap di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan mengajar mata kuliah agama Shinto, Tao, Konghucu dan antropologi agama di Jurusan Perbandingan Agama dan Sosiologi Agama. Dari tahun 2007

Page 236: AgAmA dAn KebudAyAAn OrAng HAKKA di SingKAwAng …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40952/1/M.IKHSAN... · Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun

228

AGAMA DAN KEBUDAYAAN ORANG HAKKA DI SINGKAWANG

sampai dengan sekarang, menjadi Guru Besar (Profesor) dalam bidang Antropologi Agama di Fakultas Ushuluddin (Theology), Universitas Islam Negeri “Syarif Hidayatullah” Jakarta.

Buku-bukunya yang sudah diterbitkan antara lain Jalan Keselamatan Melalui Agama Konghucu (2000); Menembus Birokrasi Indonesia (2004); Politik Lokal dan Pembelajaran Politik (2004); Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (2004); Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru (2010); dan Mengenal Lebih Dekat Agama Konghucu di Indonesia (2005). Dari 1992-sekarang telah menulis 62 artikel di koran, majalah, dan jurnal ilmiah baik di dalam maupun luar negeri.

M. Ikhsan Tanggok