aditha p. wijayanti - 0806364403

Upload: aditha-pewe

Post on 08-Jul-2015

1.055 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH PEMBERIAN INFUSA BIJI JINTAN HITAM (Nigella sativa L.) TERHADAP PERKEMBANGAN JANIN PADA MENCIT BUNTING

SKRIPSI

ADITHA PUSPO WIJAYANTI 0806364403

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI EKSTENSI DEPARTEMEN FARMASI DEPOK JULI 2011

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH PEMBERIAN INFUSA BIJI JINTAN HITAM (Nigella sativa L.) TERHADAP PERKEMBANGAN JANIN PADA MENCIT BUNTING

SKRIPSIDiajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

ADITHA PUSPO WIJAYANTI 0806364403

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI EKSTENSI DEPARTEMEN FARMASI DEPOK JULI 2011

iii

iv

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Sarjana Farmasi di Departemen Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Penyusunan skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya bantuan dari segala pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih kepada segala pihak yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan dukungan kepada penulis selama menjalankan penelitian dan penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Ibu Santi Purna Sari, S.Si., M.Si., Apt., selaku pembimbing pertama skripsi dan Bapak Dr. Dadang Kusmana, M.S., selaku pembimbing kedua skripsi yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama dalam penelitian dan penyusunan skripsi. 2. 3.Ibu Prof. Dr. Yahdiana Harahap M.S., selaku Ketua Departemen Farmasi FMIPA Universitas Indonesia.

Ibu Dra. Azizahwati, M.S., Apt., selaku Ketua Program Ekstensi Departemen Farmasi FMIPA UI.

4.

Ibu Dr. Nelly D. Leswara, M.Sc., Apt., selaku pembimbing akdemik yang telah memberikan bimbingan, sarat, dan nasehat kepada penulis selama penulis menjalankan kuliah di Ekstensi Farmasi.

5.

Ibu Dr. Retnosari Andrajati, M.S., selaku Kepala Laboratorium Farmakologi Departemen Farmasi FMIPA UI yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian di Laboratorium Farmakologi.

6.

Seluruh staf pengajar dan karyawan di Departemen Farmasi FMIPA UI, terutama untuk Pak Surya yang telah banyak membantu di kandang.

v

7.

Orang tua, kedua kakak, dan Tante Ani tersayang yang senantiasa mencurahkan kasih sayang, doa, perhatian dan kesabarannya serta memberikan dukungan moriil dan materiil selama ini.

8.

Teman-teman seperjuangan di Laboratorium Farmakologi serta teman-teman Ekstensi Farmasi UI angkatan 2008 atas kebersamaan, kerjasama, bantuan moril dan dukungannya selama penelitian.

9.

Wicha, Tori, Diti, Vicky, Ajeng dan Tyas atas nasehat, dukungan doa dan semangatnya.

10. Pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan balasan atas segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak yang membantu. Penulis menyadari skripsi ini tidak luput dari kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai evaluasi. Penulis juga berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Penulis

2011

vi

vii

ABSTRAK

Nama Program Studi Judul

: Aditha Puspo Wijayanti : Farmasi : Pengaruh Pemberian Infusa Biji Jintan Hitam (Nigella sativa L.) Terhadap Perkembangan Janin Pada Mencit Bunting

Jintan hitam (Nigella sativa L.) mengandung senyawa timokinon yang diketahui dapat menyebabkan relaksasi otot polos pada uterus sehingga dapat mengakibatkan peningkatan pendarahan haid dan dapat menyebabkan abortus spontan pada kehamilan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian infusa biji jintan hitam terhadap perkembangan janin pada mencit bunting. Hewan uji yang digunakan yaitu mencit betina bunting galur DDY berjumlah 24 ekor yang dibagi dalam empat kelompok secara acak. Kelompok I (kelompok kontrol normal) hanya diberikan larutan karboksimetilselulosa (CMC) 0,5%. Kelompok II, II, dan IV merupakan kelompok uji yang diberikan infusa biji jintan hitam dengan dosis berturut-turut 2,34 g/kg bb, 4,68 g/kg bb, dan 9,36 g/kg bb mencit. Perlakuan diberikan secara per oral setiap hari mulai dari hari ke-6 sampai dengan hari ke-15 masa kebuntingan. Mencit bunting dilakukan pembedahan pada hari ke-18 masa kebuntingan untuk dikeluarkan janinnya. Hasil penelitian menunjukan bahwa infusa biji jintan hitam yang diberikan pada induk mencit yang sedang bunting tidak memberikan pengaruh yang bermakna terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin mencit dilihat dari kondisi fisik janin, seperti mata, telinga, ekor, jari, pendarahan pada kulit, serta struktur tulang belakang.

Kata kunci xiv + 71 halaman Daftar Pustaka

: Jintan hitam, Janin mencit, Nigella sativa L., Organogenesis : 14 gambar; 27 lampiran; 17 tabel : 36 (1965-2011)

viii

ABSTRACT

Name Study Program Title

: Aditha Puspo Wijayanti : Pharmacy : The Effect Of Black Cumin Seeds (Nigella sativa L.) Infusa On The Development Of Mices Fetuses

Black cumin (Nigella sativa L.) contain thymoquinone that are known to cause relaxation of smooth muscle of the uterus that can lead to increased menstrual bleeding and can cause spontaneous abortion on pregnancy. The aims of this study was to determine the effect of black cumin seeds infusa on fetal development of pregnant mice. This study was used 24 pregnant female mices strain DDY were divided into four groups randomly. Group I (normal control group) was only given a solution of carboxymethylcellulose (CMC) 0.5%. Group II, II, and IV are the test group that were given black cumin seeds infusa with consecutive doses of 2,34 g/kg body weight, 4,68 g/kg body weight, and 9,36 g/kg body weight. Treatment was given orally every day, from day-6 until day-15th of gestation period. Pregnant mice should have been surgeried on the 18th day of gestation period to take out the fetus. The results showed that there were not any significant effect on growth and development of fetal mice saw from the physical condition of the fetus, such as eyes, ears, tails, fingers, skin bleeding, and spinal structures from giving of black cumin seeds infusa to the pregnant mice.

Key word

: Black cummin seeds, Fetal mice, Nigella sativa L., Organogenesis

xiv + 71 pages Bibliography

: 27 appendix; 14 pictures; 17 tables : 36 (1965-2011)

ix

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL.................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS......................................... HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... KATA PENGANTAR.................................................................................. LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.................... ABSTRAK................................................................................................... ABSTRACT................................................................................................. DAFTAR ISI................................................................................................ DAFTAR GAMBAR................................................................................... DAFTAR TABEL....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................... 1.1 Latar Belakang......................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian..................................................................... 1.3 Hipotesis.................................................................................. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 2.1 Jintan Hitam (Nigella sativa L.)............................................... 2.1.1 Klasifikasi Tanaman...................................................... 2.1.2 Nama Lain..................................................................... 2.1.3 Deskripsi........................................................................ 2.1.4 Kandungan Kimia.......................................................... 2.1.5 Kegunaan....................................................................... 2.1.6 Penelitian....................................................................... 2.2 Mencit....................................................................................... 2.2.1 Vagina............................................................................ 2.2.2 Uterus............................................................................. 2.2.3 Ovarium......................................................................... 2.3 Teratogenik................................................................................ BAB 3 METODE PENELITIAN............................................................ 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian................................................... 3.2 Alat........................................................................................... 3.3 Bahan....................................................................................... 3.4 Cara Kerja................................................................................ 3.5 Pengawinan Mencit................................................................. 3.6 Pelaksanaan Percobaan............................................................ 3.7 Pembedahan............................................................................. 3.8 Pengamatan Fisik Terhadap Janin Mencit............................... 3.9 Pengamatan Terhadap Tulang Belakang................................. 3.10 Pengolahan Data...................................................................... i iii iv v vii viii ix x xii xiii xiv 1 1 2 2 3 3 3 3 3 4 4 5 5 7 8 9 9 14 14 14 14 15 16 16 17 17 18 18

BAB 4 PEMBAHASAN........................................................................... 4.1 Berat Badan Induk Mencit....................................................... 4.2 Jumlah Janin Hidup dan Resorpsi............................................x

19 20 21

4.3 4.4 4.5 4.6 4.7

Jumlah Janin Berdasarkan Jenis Kelamin................................ Panjang Janin........................................................................... Berat Badan Janin.................................................................... Berat Plasenta.......................................................................... Pengamatan Morfologi dan Tulang Belakang Janin................

23 24 25 26 27 31 31 31 32

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN.................................................... 5.1 Kesimpulan.............................................................................. 5.2 Saran........................................................................................ DAFTAR ACUAN......................................................................................

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 3.1 3.2 3.3 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10

Halaman Tanaman jintan hitam (Nigella sativa L.)......................................... 35 Serbuk biji jintan hitam..................................................................... 35 Siklus reproduksi pada mencit (siklus estrus)................................... 36 Mikroskop binokuler......................................................................... 36 Sumbat vagina................................................................................... 37 Grafik peningkatan berat badan rata-rata induk mencit bunting....... 37 Grafik jumlah rata-rata janin hidup................................................... 38 Grafik jumlah rata-rata janin berdasarkan jenis kelamin.................. 38 Grafik panjang rata-rata janin........................................................... 39 Grafik berat badan rata-rata janin..................................................... 39 Grafik berat plasenta rata-rata.......................................................... 40 Uterus mencit setelah pembedahan................................................... 40 Janin mencit yang sudah dikeluarkan dari uterus............................. 41 Pengamatan tulang rangka janin mencit........................................... 41

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 3.1 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13 4.14 4.15

Halaman Panjang siklus, lama birahi, dan waktu ovulasi pada beberapa hewan........................................................................................ 10 Perlakuan pada masing-masing kelompok............................... 18 Berat badan rata-rata induk mencit.......................................... 21 Jumlah rata-rata janin hidup..................................................... 23 Jumlah resorpsi........................................................................ 23 Jumlah rata-rata janin berdasarkan jenis kelamin..................... 24 Panjang rata-rata janin.............................................................. 26 Berat badan rata-rata janin....................................................... 27 Berat plasenta rata-rata............................................................. 28 Presentase jumlah janin mencit yang mengalami cacat janin... 29 Jumlah janin hidup .................................................................. 42 Jumlah janin dengan jenis kelamin jantan .............................. 42 Jumlah janin dengan jenis kelamin betina .............................. 43 Berat badan rata-rata janin .................................................. 43 Panjang rata-rata janin ............................................................ 44 Berat plasenta rata-rata ........................................................... 44 Janin yang mengalami resorpsi................................................ 44

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman 1 Hasil identifikasi/determinasi biji jintan hitam............................. 45 2 Perhitungan dosis bahan uji.......................................................... 46 3 Pembuatan infusa biji jintan hitam............................................... 47 4 Uji kenormalan menurut Saphiro-Wilk terhadap data berat badan induk mencit bunting.......................................................... 48 5 Uji homogenitas varians menurut Lavene terhadap data berat badan induk mencit bunting.......................................................... 49 6 Uji ANOVA terhadap data berat badan induk mencit bunting........................................................................................... 50 7 Uji kenormalan menurut Saphiro-Wilk terhadap data jumlah janin hidup.................................................................................... 51 8 Uji homogenitas varians menurut Lavene terhadap data jumlah janin hidup.................................................................................... 52 9 Uji Kruskal-Wallis terhadap data jumlah janin hidup.................. 53 10 Uji kenormalan menurut Saphiro-Wilk terhadap data jumlah janin jantan.................................................................................... 54 11 Uji homogenitas varians menurut Lavene terhadap data jumlah janin jantan.................................................................................... 55 12 Uji Kruskal-Wallis terhadap data jumlah janin jantan.................. 56 13 Uji kenormalan menurut Saphiro-Wilk terhadap data jumlah janin betina.................................................................................... 57 14 Uji homogenitas varians menurut Lavene terhadap data jumlah janin betina.................................................................................... 58 15 Uji ANOVA terhadap data jumlah janin betina............................ 59 16 Uji kenormalan menurut Saphiro-Wilk terhadap data berat badan janin.................................................................................... 60 17 Uji homogenitas varians menurut Lavene terhadap data berat badan janin.................................................................................... 61 18 Uji Kruskal-Wallis terhadap data berat badan janin..................... 62 19 Uji kenormalan menurut Saphiro-Wilk terhadap data panjang janin.............................................................................................. 63 20 Uji homogenitas varians menurut Lavene terhadap data panjang janin............................................................................................... 64 21 Uji Kruskal-Wallis terhadap data panjang janin........................... 65 22 Uji kenormalan menurut Saphiro-Wilk terhadap data berat plasenta......................................................................................... 66 23 Uji homogenitas varians menurut Lavene terhadap data berat plasenta......................................................................................... 67 24 Uji Kruskal-Wallis terhadap data berat plasenta.......................... 68 25 Uji kenormalan menurut Saphiro-Wilk terhadap data jumlah resorpsi.......................................................................................... 69 26 Uji homogenitas varians menurut Lavene terhadap data jumlah resorpsi.......................................................................................... 70 27 Uji Kruskal-Wallis terhadap data jumlah resorpsi....................... 71

xiv

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Jintan hitam (Nigella sativa L.) merupakan tanaman yang berasal dari kawasan Mediteranian, yang kini banyak ditemukan di Afrika Utara dan sebagian Asia seperti India. Jintan hitam atau yang lebih dikenal dengan sebutan Habbatussauda adalah obat tradisional berbentuk biji hitam yang telah dikenal ribuan tahun yang lalu dan digunakan secara luas oleh masyarakat India, Pakistan, Mesir, dan negara-negara timur tengah lainnya untuk mengobati berbagai macam penyakit. Sejak tahun 1960, sudah terdapat lebih dari 200 penelitian di berbagai universitas di seluruh dunia yang telah menemukan manfaat pengobatan dari Jintan hitam (Yuniyanto, 2010). Ilmuwan di Eropa menyatakan bahwa jintan hitam memiliki efektifitas antibakteri dan antijamur. Para ilmuwan imunobiologi dan kanker menemukan bahwa jintan hitam dapat merangsang sumsum tulang dan sel-sel kekebalan tubuh untuk meningkatkan produksi interferon serta melindungi sel-sel normal terhadap virus yang merusak sel, juga menghancurkan sel-sel tumor (Raza, Asif, dan Yasin, 1999). Jintan hitam memang bukan tanaman asli Indonesia, namun banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dari jintan hitam membuat masyarakat Indonesia mulai memilih jintan hitam sebagai pengobatan alternatif untuk berbagai penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jintan hitam memiliki beberapa aktivitas biologis antara lain antikanker, antiangiogenik, antioksidan, dan peroksidasi lipid, juga memiliki aktivitas antivirus (Zaher, Ahmed, dan Zerizer, 2008). Tidak banyak ditemukan penelitian mengenai efek samping ataupun toksisitas dari penggunaan jintan hitam. Banyak yang menganggap jintan hitam dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan dapat digunakan secara bebas. Jintan hitam memiliki berbagai kandungan yang dapat digunakan sebagai nutrisi tambahan pada ibu hamil (Yuniyanto, 2010), namun ada juga penelitian yang

Universitas Indonesia

2

mengatakan bahwa jintan hitam dapat menimbulkan aborsi jika dikonsumsi oleh wanita hamil (Gilani, Jabeen, Khan, 2004). Terdapat suatu penelitian yang mengatakan bahwa jintan hitam telah lama digunakan sebagai bahan untuk menggugurkan kandungan (Gilani, 2004). Ekstrak air panas jintan hitam dalam dosis besar dapat menyebabkan aborsi pada ibu hamil. Ekstrak metanol dari jintan hitam dengan dosis 2 gram / kg bb secara signifikan menimbulkan induksi feotal resorption pada tikus hamil (Velmurugan, 2007). Selain itu, jintan hitam juga memiliki efek antifertilitas sehingga penggunaannya tidak dianjurkan pada wanita yang merencanakan kehamilan atau sedang hamil (Amarouch et al., 2000). Jintan hitam mengandung senyawa timokinon yang dapat merelaksasi otot polos, termasuk pembuluh darah pada uterus sehingga dapat meningkatkan pendarahan pada saat haid dan menyebabkan aborsi pada kehamilan. (Moghaddasi, 2011). Oleh karena itu, penggunaan jintan hitam sebagai obat perlu diperhatikan karena mungkin dapat menimbulkan efek samping seperti efek toksik dan teratogenik. Efek teratogenik dari ekstrak biji jintan hitam belum banyak diteliti dan hingga saat ini masih jarang ditemukan suatu publikasi mengenai pengujian efek teratogenik dari jintan hitam. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian infusa biji jintan hitam terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin pada mencit bunting. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan bagi masyarakat, terutama wanita hamil, dalam mengkonsumsi jintan hitam untuk pengobatan penyakit.

1.2 Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian infusa biji jintan hitam terhadap perkembangan janin pada mencit bunting.

1.3 Hipotesis Pemberian infusa biji jintan hitam pada mencit betina bunting akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin mencit.

Universitas Indonesia

3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jintan Hitam (Nigella sativa L.) 2.1.1 Klasifikasi Tanaman (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979) Tanaman jintan hitam diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi Sub divisi Kelas Bangsa Suku Marga Jenis : : : : : : : Spermatophytae Angiospermae Dicotyledoneae Ranunculales Ranunculaceae Nigella Nigella sativa L.

2.1.2 Nama Lain Nama lain jintan hitam di antaranya adalah Kalonji (bahasa Hindi), Kezah (Hebrew), Chamushka (Rusia), Habbatussauda (Arab), Siyah daneh (Persian), atau Fennel Flower / Black Carraway / Nutmeg Flower / Roman Coriander / Black Seed (Inggris).

2.1.3 Deskripsi Jintan hitam merupakan salah satu jenis dari marga Nigella yang memiliki kurang lebih 14 jenis tanaman yang termasuk dalam suku Ranunculaceae yang di antaranya adalah: Nigella arvensis, Nigella ciliaris, Nigella damascena, Nigella hispanica, Nigella integrifolia, Nigella nigellastrum, Nigella orientalis, dan Nigella sativa (Yunianto, 2010). Jintan hitam merupakan jenis tanaman bunga, tumbuh setinggi 20-50 cm, berbatang tegak, dan berkayu. Daun runcing, bercabang, bergaris, daunnya

Universitas Indonesia

4

kadang-kadang tunggal atau bisa juga majemuk dengan posisi tersebar atau berhadapan. Pada permukaan daunnya terdapat bulu halus. Tumbuhan jintan hitam memiliki bunga yang bentuknya beraturan. Bunga ini kemudian menjadi buah berbentuk bumbung atau buah kurung berbentuk bulat panjang. Bunganya menarik dengan warna biru pucat atau putih, dengan 5-10 mahkota bunga. Buahnya keras seperti buah buni, berbentuk besar, menggembung, berisi 3-7 ruang yang berisi banyak biji atau benih yang sering digunakan sebagai rempahrempah. Memiliki rasa pahit yang tajam dan bau yang menyengat. Banyak digunakan terutama pada permen dan minuman keras. Bijinya berwarna hitam pekat, agak keras, limas ganda dengan kedua ujungnya meruncing, limas yang satu lebih pendek dari yang lain, panjang 1,5 mm sampai 2 mm, lebar lebih kurang 1 mm. Permukaan luar berwarna hitam kecoklatan, hitam kelabu sampai hitam, berbintik-bintik, kasar, berkerut, kadangkadang dengan beberapa rusuk membujur atau melintang. Pada penampang melintang biji terlihat kulit biji berwarna coklat kehitaman sampai hitam, endosperm berwarna kuning kemerahan, kelabu, atau kelabu kehitaman, lembaga berwarna kuning pucat sampai kelabu (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979).

2.1.4 Kandungan Kimia Kandungan yang terdapat di dalam biji jintan hitam adalah saponin, melantin, nigelin, nigellon, dan timokinon. Jintan hitam kaya akan glukosa, xylosa dan arabinosa. Selain itu, jintan hitam mengandung karoten yang akan diubah menjadi vitamin A oleh hati dan juga arginin yang sangat baik untuk kesehatan (Moghaddasi, 2011).

2.1.5 Kegunaan Minyak essensial jintan hitam memiliki aktivitas diuretik, antihipertensi (Amarouch, et al., 2000), antiinflamasi, analgesik (Al-Ghamdi, 2001),

Universitas Indonesia

5

antimikroba (Toama, El-Alfy, dan El-Fatatry, 1974), hepatoprotektif, antidiabetes (Ahirwar, Sharma, Jhade, dan Gupta, 2009). Jintan hitam dipercaya dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh dan merupakan nutrisi bagi sel otak yang berguna untuk meningkatkan daya ingat dan kecerdasan. Jintan hitam diketahui memiliki efek sitotoksik (Toama, El-Alfy, dan ElFatatry, 1974) serta memiliki aktivitas proteksi terhadap penurunan kadar hemoglobin dan jumlah leukosit pada mencit yang diinduksi cisplatin (Ahirwar, Sharma, Jhade, dan Gupta, 2009).

2.1.6 Penelitian Penelitian in vitro dan in vivo telah dilakukan pada ekstrak dan minyak jintan hitam. Pada tahun 1997, ditemukan efek angiogenesis jintan hitam terhadap sel kanker payudara, prostat, dan melanoma. Jintan hitam memiliki efek sitotoksik pada mastocytoma cell line (P815), sel karsinoma dari monyet dan hati domba. Penelitian ini menunjukkan bahwa minyak dan ekstrak etil asetat dari jintan hitam mempunyai aktivitas sitotoksik pada sel P815 yang lebih besar jika dibandingkan dengan ekstrak butanolnya (Mbarek et. al., 2007). Pemberian ekstrak n-heksana jintan hitam dapat menormalkan konsentrasi serum glukosa dan kolesterol yang tinggi pada tikus diabetes (Khanam dan Dewan, 2008). Jintan hitam memiliki efek yang menguntungkan pada glukosa darah puasa, kolesterol total, dan kolesterol LDL. Jintan hitam terbukti bermanfaat dalam pencegahan dan pengobatan sindrom resistensi insulin (Ahmad, Nasiruddin, Khan, dan Haque, 2008). Minyak jintan hitam juga memiliki aktivitas antimikroba . Senyawa dalam jintan hitam yang aktif melawan bakteri adalah Timohidrokin yang terbukti aktif melawan bakteri Gram positif (Toama, El-Alfy, dan El-Fatatry, 1974). Penelitian jintan hitam terhadap beberapa isolat klinik bakteri yang resisten terhadap sejumlah antibiotik, memberikan hasil bahwa jintan hitam memiliki aktivitas antibakteri yang lebih tinggi terhadap bakteri Gram positif daripada bakteri Gram negatif (Salman, Khan, dan Shukla, 2008).

Universitas Indonesia

6

2.2 Mencit Mencit (Mus musculus) adalah anggota Muridae (tikus-tikusan) yang berukuran kecil. Mencit bersifat penakut dan fotofobik. Cenderung berkumpul dengan sesamanya dan lebih aktif pada malam hari dibandingkan siang hari. Mencit dewasa memiliki berat badan sekitar 25 40 gram untuk betina dan 20 40 gram untuk jantan. Mencit mencapai umur dewasa dengan sangat cepat, masa kebuntingannya sangat pendek dan berulang-ulang dengan jumlah anak yang banyak pada setiap kebuntingan, dengan masa kebuntingan 19 21 hari. Mencit merupakan hewan mamalia yang memiliki daur pembiakan beberapa kali dalam setahun, yang disebut poliestrus. Mencit yang siap kawin, merupakan mencit yang tengah berada dalam fase estrus (Taylor, 1986). Pada kebanyakan vertebrata dengan pengecualian primata, kemauan menerima hewan-hewan jantan terbatas selama masa yang disebut estrus atau berahi. Selama estrus, hewan-hewan betina secara fisiologis dan psikologis dipersiapkan untuk menerima hewan-hewan jantan, dan perubahan-perubahan struktural terjadi di dalam organ assesori seks betina. Hewan-hewan monoestrus menyelesaikan satu siklus estrus setiap tahun, sedangkan hewan-hewan poliestrus menyelesaikan dua atau lebih siklus estrus setiap tahun apabila tidak diganggu dengan kehamilan. Siklus estrus adalah siklus reproduksi yang berlangsung pada hewan nonprimata betina dewasa seksual yang tidak hamil. Pada mencit, siklus estrus terdiri atas beberapa fase utama yaitu fase diestrus, fase proestrus, fase estrus, dan fase metestrus. a. Fase diestrus, adalah fase yang ditandai dengan adanya sel-sel epitel berinti dalam jumlah yang sangat sedikit dan leukosit dalam jumlah yang sangat banyak. Lamanya fase ini kurang lebih 55 jam. b. Fase proestrus, adalah fase yang ditandai dengan adanya sel-sel epitel berinti berbentuk bulat, leukosit tidak ada atau sangat sedikit. Lamanya fase ini kurang lebih 18 jam.

Universitas Indonesia

7

c. Fase estrus, adalah fase yang ditandai dengan adanya sel-sel epitel menanduk yang sangat banyak, dan beberapa sel epitel dengan inti yang berdegenerasi. Lamanya fase ini kurang lebih 25 jam. d. Fase metestrus adalah fase yang ditandai dengan adanya sel-sel epitel menanduk dan leukosit yang banyak. Lamanya fase ini kurang lebih 8 jam. Fase-fase siklus estrus dapat didentifikasi dengan membuat apusan vagina. Pengamatan terhadap sitologi apusan vagina dapa dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya. Aplikasi uji apusan vagina dapat digunakan untuk menentukan aktivitas estrogenik suatu bahan. Pada saat hewan berada pada fase diestrus, maka pada saat itu hewan-hewan tersebut tidak aktif secara seksual. Semua hewan mamalia betina kecuali primata tingkat tinggi, kopulasi hanya dimungkinkan berlangsung pada periode tertentu di dalam setiap siklus estrusnya. Periode dimana secara psikologis dan fisiologis hewan betina bersedia menerima pejantan dinamakan berahi atau estrus. Ketika berahi, seekor betina berada pada status psikologis yang berbeda secara jelas dibandingkan dengan sisa periode di luar berahi di dalam siklus. Pejantan biasanya tidak menunjukkan perhatian seksual pada betina di luar masa berahi, dan bila pejantan akan mengawini betina di luar masa berahi, maka hewan betina akan menolak. Manifestasi berahi ditimbulkan oleh hormon seks betina, yaitu estrogen yang dihasilkan oleh folikel-folikel ovarium. Pemberian estrogen secara eksogen pada hewan betina dapat menimbulkan berahi pada hampir setiap saat selama periode siklus estrus, bahkan pada hewan betina yang diovariektomi. Banyak hewan ketika berahi menjadi sangat aktif, contohnya babi dan sapi pada saat berahi akan berjalan empat atau lima kali lebih banyak jika dibandingkan dengan sisa masa siklusnya. Aktivitas yang tinggi ini disebabkan oleh estrogen. Tikus yang berada di dalam kandang berlari secara spontan jauh lebih banyak ketika berahi dibandingkan selama diestrus. Siklus estrus berhubungan erat dengan perubahan organ-organ reproduksi yang berlangsung pada hewan betina, seperti vagina, uterus, dan ovarium (Adnan, 2010).

Universitas Indonesia

8

2.2.1 Vagina Selama masa estrus atau berahi atau perkembangan folikel yang maksimal, serviks mensekresi lendir dalam jumlah terbesar dan tercair. Lendir serviks memiliki pH 6,6 sampai dengan 7,5, dan pH ini kira-kira tetap stabil sepanjang siklus. Sperma tetap dapat hidup dalam serviks, jauh lebih baik dibandingkan di dalam vagina yang hanya dalam beberapa jam saja sperma sudah tidak dapat bergerak. pH vagina bersifat alkalis tetapi di antara individu menunjukkan variasi yang luas dan juga terdapat variasi yang luas di dalam siklus. Pada sapi, pH vagina bervariasi antara 7,5 sampai dengan 8,5. Pada semua spesies hewan yang telah diselidiki (sapi, kuda, dan tikus), vagina menjadi lebih alkalis selama fase tidak berahi (diestrus bagi hewan nonprimata) dan menjadi lebih asam selama berahi. Pada tikus dan mencit, perubahan-perubahan yang berlangsung pada vagina meliputi perubahan histologi epitel yang tergambar pada saat dilakukan pengamatan apusan vagina. Epitel vagina secara siklik dirusak dan dibentuk kembali selama siklus, bervariasi dari bentuk skuama berlapis hingga kuboid rendah. Tipe-tipe epitelium yang mendominasi preparat apusan vagina memberikan petunjuk mengenai epitel vagina sedang distimulasi atau tidak oleh estrogen. Perubahan-perubahan histologi vagina terjadi pada semua mamalia betina selama siklus estrus. Teknik preparat apusan vagina sangat bermanfaat terutama pada species yang memiliki siklus estrus pendek (mencit dan tikus), karena pada species ini , histologi vagina dapat mencerminkan kejadian-kejadian pada ovarium dengan tepat. Betina dengan siklus panjang menunjukkan variasi individu yang sangat nyata dan menyebabkan aplikasi teknik apusan vagina kurang tepat dan kurang berguna.

2.2.2 Uterus Bila dilakukan pengamatan terhadap perubahan-perubahan histologi dan morfologi uterus selama siklus, maka akan ditemukan bahwa ukuran maupun

Universitas Indonesia

9

histologi uterus tidak pernah statis. Perubahan yang sangat nyata terjadi di endometrium dan kelenjarnya. Selama fase folikuler dari siklus estrus, kelenjar uterus sederhana dan lurus dengan sedikit cabang. Penampilan kelenjar uterus ini menandakan untuk stimulasi estrogen. Selama fase luteal, yakni saat progesteron beraksi terhadap uterus, endometrium bertambah tebal secara mencolok. Diameter dan panjang kelenjar meningkat secara cepat, menjadi bercabang-cabang dan berkelok-kelok.

2.2.3 Ovarium Puncak peristiwa siklus estrus adalah pecahnya folikel dan terlepasnya ovum dari ovarium. Pada sapi, 75% mengalami ovulasi 12 sampai dengan 14 jam setelah berahi berakhir, yang lain mengalami ovulasi lebih awal, yaitu 2,5 jam sebelum berahi berakhir. Pada wanita akan mengalami ovulasi kira-kira hari ke 14 dari siklus. Pada beberapa hewan, variasi saat ovulasi tidak jelas. Hampir mayoritas kelinci tanpa memperhatikan bangsanya, ovulasi terjadi 10 sampai dengan 11 jam setelah kopulasi atau sesudah injeksi dengan hormon yang menginduksi ovulasi. Pada tikus dan mencit, panjang siklus dan saat ovulasi sangat konstan pada setiap macam strain.

Universitas Indonesia

10

Tabel 2.1 Panjang siklus, lama berahi, dan waktu ovulasi pada beberapa hewan (Nalbandov, 1990) Hewan Kuda Sapi Babi Domba Kambing Marmot Hamster Mencit Tikus Siklus (hari) 19-23 21 21 16 19 16 4 4 4-5 Berahi 4-7 hari 13-17 jam 2-3 hari 30-36 jam 39 jam 6-11 jam 20 jam 10 jam 13 atau 15 jam Waktu Ovulasi Sehari sebelum sampai sehari sesudah berahi 12 15 jam sesudah akhir berahi 30-40 jam sesudah berahi mulai 18 26 jam sesudah berahi mulai 9 19 jam sesudah berahi mulai 10 jam sesudah berahi mulai 8 12 jam sesudah berahi mulai 2 3 jam sesudah berahi mulai 8 atau 10 jam sesudah berahi mulai

2.3 Teratogenik Teratogenik (teratogenesis) adalah pembentukan cacat bawaan. Teratogenik merupakan istilah medis yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti membuat monster (Teratos yang berarti monster, dan genesis yang berarti generation atau birth). Dalam istilah medis, teratogenik berarti terjadinya perkembangan tidak normal dari sel selama kehamilan yang menyebabkan kerusakan pada embrio sehingga pembentukan organ-organ berlangsung tidak sempurna (terjadi cacat lahir). Kelainan ini sudah diketahui selama beberapa lama dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi baru lahir (Lu, 1995) Beberapa zat kimia diketahui merupakan penyebab dari embriotoksik, beberapa zat bersifat letal dan zat-zat lainnya dapat menimbulkan kelainan pada janin. Malformasi janin tersebut dikenal dengan sebutan terata dan zat kimia yang menimbulkan terata disebut zat teratogen atau zat teratogenik. Jadi, teratogen adalah bahan yang dapat menyebabkan atau berpengaruh terhadap malformasi atau kelainan fisiologis janin.

Universitas Indonesia

11

a. Radiasi ion (senjata atom, radioiodine, dan terapi radiasi). Radiasi ion dapat menyebabkan perubahan dalam struktur kimia basa nitrogen. Sel dalam embrio berkembang dengan cepat dan menjadi lebih rentan terhadap kerusakan DNA. b. Logam-logam seperti Metilmerkuri dapat meningkatkan risiko cerebral palsy dan gangguan neurologis lainnya. Logam-logam lainnya, seperti timah dan kadmium, dapat merusak fungsi enzim yang berperan dalam pembentukan energi. Hal ini dapat menyebakan kematian sel atau gangguan sel reproduksi, dan menyebabkan gangguan pada perkembangan janin. c. Komponen kimia obat dan lingkungan seperti 13-Cis-retinoicacid, isotretinoin, aminopterin, hormon-hormon androgen, busulfan, kaptopril, enalapril, dan sebagainya. Efek teratogenesis dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya : a. Kemampuan obat berpindah melalui sawar darah Obat-obat yang bersifat lipofil dan tidak mudah terionisasi akan lebih mudah untuk menembus sawar darah. Obat yang bersifat basa cenderung terperangkap dalam sirkulasi darah janin. b. Efek farmakologis Obat-obat tertentu, seperti kortikosteroid dalam dosis yang besar, akan memberikan efek farmakologis yang lebih kuat secara langsung kepada janin. c. Waktu terjadinya pemaparan Efek teratogenik yang terjadi akan berbeda pada setiap waktu pemaparan. Pada 2 minggu pertama konsepsi, akan memberikan efek menyeluruh atau tidak sama sekali. Trimester pertama (10 minggu pertama/organogenesis) merupakan masa yang paling beresiko besar terhadap perkembangan janin. Obat yang diberikan pada trimester kedua dan ketiga dapat mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan fungsional janin atau efek toksik pada jaringan janin. Jika obat diberikan sesaat sebelum kelahiran, dapat memberikan efek samping pada saat kelahiran atau pada neonatus setelah kelahiran. Obat yang teratogenik yang dihentikan pemakaiannya sebelum konsepsi dapat tetap ada di tubuh selama organogenesis. Mekanisme kerja teratogen masih belum jelas. Selain itu, teratogen dikatakan berpotensial dapat menimbulkan efek teratogen atau tidak, tergantung

Universitas Indonesia

12

dari beberapa faktor, seperti mekanisme bioaktivasi, kestabilan metabolit reaktif, kemampuan teratogen menembus sawar plasenta, dan kemampuan jaringan embrio menawarkan racun. Mekanisme kerja dari teratogen yang telah diketahui, di antaranya (Lu, 1995) : a. Gangguan terhadap Asam Nukleat Zat pengalkil, antimetabolit, dan intercalating agent, merupakan contoh zat-zat yang mempengaruhi replikasi dan transkripsi asam nukleat, atau translasi RNA. Beberapa zat ini ada yang telah berada dalam bentuk aktif dan ada juga yang masih memerlukan bioaktivasi, seperti aflatoksin dan talidomid. Karbon tetraklorida dan nitrosamin, meskipun menghasilkan metabolit yang reaktif namun bentuknya sangat tidak stabil sehingga tidak dapat mencapai embrio dan bukan merupakan teratogen yang kuat. b. Kekurangan pasokan energi dan osmolaritas Teratogen tertentu dapat mempengaruhi pasokan energi yang dipakai untuk metabolisme dengan cara mengurangi persediaan substrat atau bertindak sebagai analog atau antagonis vitamin, asam amino esensial, dan lainnya. Selain itu, hipoksia dan zat penyebabnya, dapat bersifat teratogen. Dalam keadaan hipoksia, oksigen yang berperan dalam proses metabolisme berkurang dan dapat menyebabkan ketidakseimbangan osmolaritas. Hal ini dapat menyebabkan edema dan hematoma, dan dapat menyebabkan kelainan bentuk dan iskemia jaringan. c. Penghambatan enzim Penghambat enzim, seperti 5-fluorourasil, dapat menyebabkan cacat janin karena mengganggu diferensiasi dan pertumbuhan sel melalui penghambatan timidilat sintase. Contoh lainnya yaitu 6-Aminonikotinamid yang menghambat Glukosa-6-fosfatdehidrogenase. d. Lainnya Hipervitaminosis A dapat menyebabkan kerusakan ultrastruktural pada membran sel embrio hewan pengerat. Faktor fisika yang dapat menyebabkan cacat meliputi radiasi, hipotermia dan hipertermia, serta trauma mekanik. Efek teratogenik yang paling lazim adalah abortus spontan, malformasi bawaan, perlambatan pertumbuhan janin dan perkembangan mental, karsinogenesis, dan mutagenesis.

Universitas Indonesia

13

Tikus, kelinci, mencit, dan hamster merupakan hewan yang biasa dipakai dalam uji teratogenik. Hewan-hewan ini mudah diperoleh, penanganannya mudah, jumlah anaknya cukup besar, dan masa kehamilannya pendek. Babi juga merupakan hewan yang dapat digunakan untuk uji teratogenik karena secara filogenetik babi mirip dengan manusia. Hewan lain seperti anjing dan kucing juga digunakan oleh beberapa peneliti. Hewan coba harus muda, dewasa, dan sehat. Untuk bahan uji sekurang-kurangnya diberikan tiga tingkatan dosis, dosis tertinggi harus menyebabkan gejala keracunan pada beberapa induk dan/atau janin, dan dosis terendah tidak boleh menampakkan efek buruk. Bahan uji harus diberikan lewat jalur yang sama dengan jalur pemberian pada manusia. Zat yang dimasukkan lewat mulut biasanya diberikan dengan menggunakan sonde lambung. Pada penelitian teratologi rutin, zat kimia biasanya diberikan selama periode organogenesis, suatu periode yang paling rentan untuk embrio. Hewan bunting harus diperiksa setiap hari untuk melihat tanda-tanda nyata keracunan. Janin biasanya diambil melalui pembedahan kira-kira sehari sebelum perkiraan hari kelahiran. Prosedur ini dimaksudkan untuk menghindari kanibalisme dan memungkinkan penghitungan yang diresorpsi dan kematian janin. Pengamatan yang dilakukan terhadap janin yaitu jumlah korpora lutea, jumlah inplantasi, jumlah resorpsi, jumlah janin yang mati, jumlah janin yang hidup, jenis kelamin janin yang hidup, berat janin yang hidup, panjang janin yang hidup (diukur dari ujung kepala sampai ujung kaki), dan kelaianan pada janin yang hidup. Setiap janin diperiksa cacat luarnya. Sekitar dua pertiga sampel janin diambil secara acak, diwarnai dengan merah alizarin dan diperiksa ada tidaknya kelainan tulang belakang. Sisanya diperiksa cacat viseranya setelah difiksasi dalam cairan Bouin dan diiris dengan silet. Pada hewan yang lebih besar seperti anjing, babi, dan primata bukan manusia, struktur tulang belakang dapat diperiksa dengan sinar-X bukan dengan pewarnaan. Pemeriksaan toksikan yang diduga mempengaruhi sistem saraf pusat atau sistem genitourinaria janin dilakukan setelah janin lahir, tumbuh dan berkembang. Uji neuromotor dan perilaku dapat digunakan untuk mendeteksi efek SSP. Hal ini mencakup sikap tubuh, kegiatan motorik, koordinasi, ketahanan, penglihatan,

Universitas Indonesia

14

pendengaran, kemampuan belajar, respon terhadap lingkungan asing, perilaku kawin, dan tingkah perilaku maternal.

Universitas Indonesia

15

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi Departemen Farmasi dan Laboratorium Biologi Reproduksi dan Perkembangan Hewan dan Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA UI selama lebih kurang empat bulan yaitu dari bulan Januari 2011 April 2011.

3.2 Alat Alat-alat yang digunakan yaitu spidol, kaca objek, pipet tetes, timbangan analitik, timbangan hewan, alat bedah, sonde lambung, kapas lidi, wadah perendam janin, kaca pembesar, penggaris, kain flanel, termometer air, mikroskop binokuler, dan alat-alat gelas.

3.3 Bahan 3.3.1 Bahan Uji Biji jintan hitam (Nigella sativa L.) yang diperoleh dari Badan Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor kemudian dideterminasi di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Cibinong. Sertifikat determinasi dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.3.2 Hewan Uji Mencit betina galur DDY (Deutschland Denken Yoken) yang belum pernah kawin berumur lebih kurang 4 6 minggu dengan berat rata-rata 20 - 30 mg, sebanyak 24 ekor yang diperoleh dari LIPI Cibinong.

Universitas Indonesia

16

3.3.3 Bahan Kimia Alkohol 95%, NaCl fisiologis, pewarna giemsa, larutan merah alizarin, aquades, CMC, gliserin, dan KOH 1% dan 2%.

3.4 Cara Kerja 3.4.1 Persiapan Hewan Uji Mencit betina diaklimatisasi dalam kandang karantina di Laboratorium Farmakologi FMIPA UI dengan tujuan mengadaptasikan mencit terhadap lingkungan yang baru. Mencit betina yang diikutsertakan dalam percobaan adalah mencit yang belum pernah kawin dan sehat dengan ciri-ciri mata merah jernih, bulu tidak berdiri dan tingkah laku normal.

3.4.2 Penentuan Dosis Infusa Biji Jintan Hitam Dosis ditentukan berdasarkan dosis yang digunakan pada manusia yaitu tiga kali dalam sehari, masing-masing 600 mg. Dosis untuk mencit diperoleh dengan mengalikan dosis manusia dengan faktor konversi. Faktor konversi dari manusia ke mencit 20 gram adalah 0,0026, kemudian dikalikan dengan faktor farmakokinetik sebesar 10. Sehingga dosis yang digunakan adalah 2,34 g/kg bb mencit (dosis 1), 4,68 g/kg bb mencit (dosis 2), 9,36 g/kg bb mencit (dosis 3).

3.4.3 Pembuatan Infusa Biji Jintan Hitam Infusa biji jintan hitam dibuat dengan cara mencampurkan 2,808 gram serbuk dengan 28,08 ml aquadest, kemudian direbus dalam air panas selama 15 menit setelah suhu mencapai 90C. Selagi panas, saring infusa dengan menggunakan kain flanel, adkan infusa sebanyak 28,08 ml. Sediaan disuspensikan sesuai dosis yang digunakan menggunakan CMC (carboxymethylcellulose) 0,5 % sebagai suspending agent. Pembuatan suspensi bahan uji dibuat dari penimbangan bahan untuk dosis tertinggi yaitu 9,36 g/kg bb

Universitas Indonesia

17

mencit (dosis 3). Dosis 2,34 g/kg bb mencit (dosis 1) dan dosis 4,68 g/kg bb mencit (dosis 2) diperoleh dengan cara mengencerkan dari dosis 3. Suspensi bahan uji baru dibuat apabila akan diberikan pada hewan uji. Suspensi bahan uji yang telah siap kemudian diberikan per oral ke hewan uji dengan volume sesuai dengan berat badan. Untuk keterangan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.

3.5 Pengawinan Mencit Pengawinan mencit dilakukan dengan cara menyatukan mencit jantan dan mencit betina dalam satu kandang dengan perbandingan mencit jantan dan mencit betina 1 : 1. Pengawinan mencit dilakukan ketika mencit betina tengah berada dalam fase estrus. Mencit betina dikatakan telah kawin apabila pada keesokan harinya ditemukan sumbat vagina dan pada saat ditemukannya sumbat vagina (vaginal plug) dinyatakan sebagai hari ke-0 masa kebuntingan mencit (Taylor, 1986). Fase estrus mencit dapat diperiksa dengan membuat apusan vagina dari mencit betina yang akan dikawinkan. Apusan vagina dapat dibuat dengan cara memutarkan kapas lidi yang telah dibasahi dengan NaCl fisiologis pada bibir vagina mencit sebanyak 2-3 kali. Kemudian kapas lidi diusapkan ke kaca preparat dengan membentuk 3 garis sejajar. Kaca preparat difiksasi dalam alkohol absolut selama 5 menit kemudian dimasukkan dalam pewarna giemsa selama 15 menit. Cuci kaca preparat dengan menggunakan air yang mengalir kecil, keringkan lalu periksa dengan menggunakan mikroskop.

3.6 Pelaksanaan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL), yang digunakan untuk merancang pengelompokan hewan uji. Percobaan menggunakan 24 ekor mencit betina bunting yang dibagi secara acak ke dalam 4 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor. Penentuan jumlah

Universitas Indonesia

18

mencit pada setiap kelompok dihitung berdasarkan rumus Federer, yaitu (n-1) (t1) 15, dimana n menunjukkan jumlah ulangan minimal dari tiap perlakuan dan t menunjukkan jumlah perlakuan.

Tabel 3.1. Perlakuan pada masing-masing kelompokNo I II III IV Kelompok Kontrol Normal Dosis 1 Dosis 2 Dosis 3 Jumlah Mencit (ekor) 6 6 6 6 Perlakuan Selama 10 Hari Masa Bunting (hari ke-6 sampai dengan 15) diberikan larutan CMC 0,5% diberikan infusa biji jintan hitam dosis 2,34 g/kg bb mencit per hari diberikan infusa biji jintan hitam dosis 4,68 g/kg bb mencit per hari diberikan infusa biji jintan hitam dosis 9,36 g/kg bb mencit per hari Hari ke-18 Pembedahan Pembedahan Pembedahan Pembedahan

3.7 Pembedahan Setelah masa kebuntingan mencit memasuki hari ke-18, dilakukan pembedahan terhadap mencit untuk dikeluarkan janinnya. Sebelum dilakukan pembedahan, mencit betina terlebih dahulu dimatikan dengan cara dislokasi leher. Uterus dikeluarkan dengan cara membedah pada bagian abdomen ke arah atas membentuk huruf V sampai terlihat uterus yang berisi janin, kemudian janin dikeluarkan dengan memotong uterus dan plasenta.

3.8 Pengamatan Fisik Terhadap Janin Mencit Janin yang telah dikeluarkan dari uterus, dihitung jumlahnya pada masingmasing bagian uterus, jumlah yang hidup dan mati, juga diamati ada atau tidaknya yang mengalami resorpsi. Setelah itu, janin dikeringkan dengan kertas tissue lalu berat badan masing-masing janin diukur panjangnya, ditimbang dan dilakukan pemeriksaan terhadap jenis kelamin janin. Pengamatan fisik secara visual dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kecacatan janin. Janin dikatakan cacat lahir apabila kelopak matanya sudah

Universitas Indonesia

19

terbuka, jumlah dan bentuk jari tidak normal, bentuk ekor yang tidak lurus, dan terdapat bercak-bercak biru di tubuhnya.

3.9 Pengamatan Terhadap Tulang Belakang Janin difiksasi dalam Alkohol 95% selama satu minggu. Kemudian dipindahkan ke dalam larutan KOH 1% selama 2 hari lalu direndam dengan larutan alizarin merah dan dibiarkan selama tiga hari, sambil sesekali digoyang sampai janin menjadi transparan dan akan terlihat tulang yang berwarna merah. Janin dipindahkan ke dalam larutan KOH 2% selama 1 hari lalu simpan janin dalam larutan gliserin murni. Pengamatan dilakukan terhadap tulang punggung, tulang kaki dan jari-jari kaki.

3.9.10 Pengolahan Data Data diolah secara statistik menggunakan SPSS 17.0. Analisis yang digunakan adalah uji distribusi normal (uji Shapiro-Wilk), uji homogenitas (uji Levene), lalu dilanjutkan dengan analisis varian (ANAVA) satu arah jika data dinyatakan terdistribusi normal dan homogen. Bila terdapat perbedaan bermakna, maka untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Jika data dinyatakan tidak terdistribusi normal atau homogen, maka dilakukan uji nonparametrik dengan uji Kruskal Wallis. Bila terdapat perbedaan bermakna, maka untuk mengetahui perbedaaan antarperlakuan dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.

Universitas Indonesia

20

BAB 4 PEMBAHASAN

Pada penelitian ini digunakan hewan uji mencit betina galur DDY yang belum pernah kawin dan sehat dengan ciri-ciri mata berwarna merah dan jernih, bulu tidak berdiri serta aktif. Penggunaan mencit yang belum pernah kawin didasarkan pada kemungkinan anak generasi pertama mencit lebih banyak daripada generasi berikutnya (Arifin, Delvita, dan Almahdy, 2007). Mencit bunting yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan cara mengawinkan 1 ekor mencit jantan dengan 1 ekor mencit betina. Apabila keesokan harinya telah ditemukan sumbat vagina (Gambar 4.1), maka mencit tersebut dinyatakan berada pada hari ke-0 masa kebuntingan. Terkadang, ditemukannya sumbat vagina pada mencit tidak menjamin mencit tersebut akan bunting (terjadi kehamilan semu). Hal ini dapat terjadi karena pada saat pengawinan, mencit tidak berada dalam fase estrus atau fase estrus pada mencit tersebut tidak teratur (Arifin, Delvita, dan Almahdy, 2007). Kemudian mencit bunting dikelompokan secara Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan dibagi ke dalam empat kelompok, satu kelompok kontrol normal dan tiga kelompok variasi dosis. Masing-masing kelompok terdiri dari 6 mencit. Mencit-mencit bunting diberikan sediaan uji selama masa kebuntingan hari ke-6 sampai dengan hari ke-15, karena pada masa ini mencit sangat rentan terhadap senyawa teratogen yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Periode ini dikatakan periode kritis kehamilan karena pada periode ini mulai terjadi pembentukan organ-organ janin seperti mata, otak, jantung, dan lainnya (Yatim, 1996). Berat badan mencit juga selalu dipantau setiap harinya sampai hari ke-18 masa kebuntingan. Pada umumnya, mencit akan melahirkan secara normal pada hari ke-19 sampai hari ke-21 masa kebuntingan, namun pada penelitian ini mencit bunting dilakukan pembedahan (laparaktomi) pada hari ke-18 masa kebuntingan untuk mencegah terjadinya kelahiran secara normal karena induk mencit

Universitas Indonesia

21

cenderung akan memakan janin yang cacat, mati atau hampir mati jika lahir secara normal (Wilson dan Fraser, 1978). Setelah dilakukan pembedahan terhadap induk mencit, janin dikeluarkan dari uterus, dipisahkan dari plasentanya dan dibersihkan dari lendir-lendir yang menempel. Kemudian janin diperiksa jenis kelaminnya, diukur panjangnya, dan ditimbang berat badan juga berat plasentanya.

4.1 Berat Badan Induk Mencit Penimbangan berat badan induk mencit dilakukan untuk mengetahui efek dari infusa biji jintan hitam terhadap induk mencit. Hasil pengamatan terhadap berat badan induk mencit dapat dilihat dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Berat badan rata rata induk mencit bunting (gram)Kelompok Perlakuan KN D1 D2 D3 6 33,20 35,05 33,25 34,27 7 34,37 35,15 33,75 35,32 8 35,15 35,97 34,12 36,68 9 36,17 37,33 34,97 38,12 10 37,12 38,10 36,20 38,73 Hari kebuntingan ke 11 37,98 39,45 37,37 39,97 12 40,03 40,55 38,75 38,64 13 41,45 42,03 39,27 40,86 14 43,88 42,90 40,77 42,72 15 46,10 45,33 43,30 43,32 16 47,12 46,87 46,00 46,12 17 48,05 47,88 46,83 46,72 18 58,70 52,50 48,15 45,65 Rata-rata SD 40,62 4,97 41,47 4,93 39,45 2,56 40,55 4,55

Keterangan tabel :

KN larutan CMC 0,5%; D1 infusa biji jintan hitam 2,34 g/kg bb mencit; D2 infusa biji jintan hitam 4,68 g/kg bb mencit; D3 infusa biji jintan hitam 9,36 g/kg bb mencit

Peningkatan berat badan induk mencit dapat dilihat dengan lebih jelas pada Gambar 4.2. Kenaikan berat badan induk mencit tidak terlihat jelas pada hari ke-6 sampai hari ke-8 masa kebuntingan. Berat badan induk mencit cenderung akan meningkat pada hari ke-14 sampai hari ke-18 masa kebuntingan. Kenaikan berat badan ini disebabkan karena berkembangnya janin dan volume cairan amnion yang meningkat. Plasenta, selaput amnion dan jumlah janin juga mempengaruhi peningkatan berat badan induk (Guyton, 1983).

Universitas Indonesia

22

Berdasarkan analisa statistik terhadap berat badan rata-rata induk mencit, infusa biji jintan hitam tidak memberikan perbedaan secara bermakna terhadap perubahan berat badan induk mencit baik pada kontrol normal, dosis 1, dosis 2 maupun dosis 3 (Lampiran 6). Jintan hitam memiliki kandungan gula seperti xylosa dan arabinosa yang bermanfaat sebagai tambahan nutrisi. Kandungan gula dalam jintan hitam seharusnya dapat meningkatkan berat badan induk mencit dan dapat memberikan nutrisi bagi janin mencit sehingga dapat dihasilkan janin dengan berat badan yang besar, meningkat untuk setiap tingkatan dosis, namun jintan hitam juga mengandung banyak serat dan banyak dimanfaatkan untuk program diet (Moghaddasi, 2011). Adanya kandungan serat dalam jintan hitam yang memungkinkan induk-induk mencit tidak mengalami kenaikan berat badan yang bermakna meskipun tengah bunting. Berat badan induk mencit tidak hanya dipengaruhi oleh sumber makanan yang masuk ke dalam tubuh tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi fisik induk mencit dan kondisi lingkungan mencit. Faktor stres pada waktu penelitian mungkin berpengaruh terhadap hasil penelitian, sebab perlakuan diberikan pada saat mencit dalam keadaan bunting selama 10 hari (hari ke-6 sampai dengan hari ke-10 masa kebuntingan).

4.2 Jumlah Janin Hidup dan Resorpsi Pemeriksaan terhadap janin dilakukan dengan cara mengeluarkan janin pada hari ke-18 masa kebuntingan dengan cara pembedahan. Jumlah janin hidup dan juga jumlah resorpsi yang terjadi dapat diamati dengan cara dilakukannya pembedahan. Pengamatan terhadap jumlah janin hidup dapat dilihat dalam Tabel 4.2.

Universitas Indonesia

23

Tabel 4.2 Jumlah rata-rata janin hidup Kelompok Perlakuan Kontrol Normal (CMC 0,5%) Dosis 1 (2,34 g/kg bb mencit) Dosis 2 (4,68 g/kg bb mencit) Dosis 3 (9,36 g/kg bb mencit) Hasil selengkapanya dapat dilihat pada Tabel 4.9. Jumlah Rata-rata Janin Hidup (ekor) SD 8,50 2,26 8,67 3,45 7,00 2,76 7,00 1,67

Terjadi penurunan jumlah janin hidup pada dosis 2 dan pada dosis 3 terhadap kontrol normal dan dosis 1. Jumlah janin hidup pada kontrol normal juga lebih kecil jika dibandingkan pada dosis 1, namun setelah dilakukan analisa statistik, infusa biji jintan hitam ini tidak memberikan pengaruh yang bermakna terhadap jumlah janin hidup (Lampiran 9). Pengamatan terhadap jumlah resorpsi dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Jumlah resorpsi Kelompok Perlakuan Kontrol Normal (CMC 0,5%) Dosis 1 (2,34 g/kg bb mencit) Dosis 2 (4,68 g/kg bb mencit) Dosis 3 (9,36 g/kg bb mencit) Hasil selengkapanya dapat dilihat pada Tabel 4.15. Jumlah Resorpsi (ekor) 3 6 4 9

Resorpsi ditemukan dalam bentuk gumpalan berwarna merah kehitaman yang tertanam pada uterus. Pembentukan resorpsi disebabkan karena adanya pengaruh senyawa berbahaya selama masa organogenesis. Pada masa

Universitas Indonesia

24

organogenesis tidak ada lagi sifat totipotensi, yaitu kemampuan jaringan untuk memperbaiki kerusakan yang ada, dan janin akan mati karena tidak dapat berkembang lagi (Lu, 1995). Resorpsi merupakan kondisi spontan yang terjadi pada mencit selama kebuntingan. Tidak hanya pada mencit-mencit dalam kelompok perlakuan dosis, tetapi resorpsi juga ditemukan pada mencit-mencit kelompok perlakuan normal. Resorpsi bisa saja terjadi karena selama perlakuan induk mencit mengalami stres atau induk mencit mengalami penurunan kesehatan yang tidak teramati. Jintan hitam mengandung Timokinon yang diduga dapat menyebabkan relaksasi otot polos pada uterus sehingga menyebabkan peningkatan pendarahan pada saat haid dan dapat menyebabkan aborsi janin jika diberikan dalam dosis yang cukup besar pada usia trimester pertama kehamilan (Moghaddasi, 2011). Hal ini yang memungkinkan penggunaan jintan hitam dengan dosis 3 menimbulkan resorpsi dengan jumlah terbanyak. Berdasarkan hasil penelitian yang ada, jumlah resorpsi banyak terjadi pada kelompok perlakuan dosis 3, tetapi jumlah resorpsi pada kelompok perlakuan dosis 2 lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan dosis 1. Oleh karena itu, tingkatan dosis tidak mempengaruhi jumlah resorpsi. Analisa statistik pada jumlah resorpsi menyatakan tidak adanya perbedaan secara bermakna meskipun terlihat adanya peningkatan jumlah resorpsi jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan kontrol normal.

4.3 Jumlah Janin Berdasarkan Jenis Kelamin Pengamatan terhadap jumlah janin berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Universitas Indonesia

25

Tabel 4.4 Jumlah rata-rata janin berdasarkan jenis kelamin Kelompok Perlakuan Jenis Kelamin Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jumlah Rata-rata Janin (ekor) SD 3,50 0,84 4,83 1,67 4,33 2,07 4,33 2,34 3,50 1,38 3,50 2,59 3,33 1,21 3,67 1,03

Kontrol Normal (CMC 0,5%)

Dosis 1 (2,34 g/kg bb mencit)

Dosis 2 (4,68 g/kg bb mencit)

Dosis 3 (9,36 g/kg bb mencit)

Hasil selengkapanya dapat dilihat pada Tabel 4.10 dan Tabel 4.11.

Jenis kelamin pada janin mencit dapat ditentukan dengan cara melihat jarak antara lubang anus dengan lubang kelamin. Janin betina memiliki jarak antara lubang anus dan kelamin sebesar 1 mm dan janin jantan memiliki jarak 2 mm (Taylor, 1986). Jumlah janin betina terlihat paling banyak pada kelompok perlakuan kontrol normal dan mengalami penurunan pada dosis 1, 2, dan 3. Pada dosis 1 memiliki jumlah janin jantan yang lebih banyak jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya. Berdasarkan analisa statistik, infusa biji jintan hitam tidak memberikan pengaruh yang bermakna terhadap jenis kelamin janin mencit, baik jantan maupun betina (Lampiran 12 dan 15). Berdasarkan hasil penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 4.4, jumlah janin betina di hampir setiap kelompok perlakuan lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah janin jantan. Diduga, jintan hitam mengandung senyawa yang dapat membentuk suasana asam dalam vagina sehingga sperma X (pembawa sifat perempuan) akan dapat bertahan lebih lama dalam vagina dan bergerak lebih aktif

Universitas Indonesia

26

membuahi sel telur dalam vagina. Sehingga dihasilkan janin betina dengan jumlah yang lebih banyak. Setelah dianalisa dengan menggunakan metode Kruskal-Wallis, menunjukkan bahwa pemberian tingkatan dosis 1nfusa jintan hitam tidak memberikan perbedaan yang bermakna terhadap jumlah janin berdasarkan jenis kelamin.

4.4 Panjang Janin Pengamatan terhadap panjang janin dilakukan dengan menggunakan penggaris, diukur dari dahi hingga pangkal ekor dan hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.5. Penurunan panjang tubuh merupakan efek teringan dari senyawa teratogenik dan merupakan parameter yang sensitif yang menandakan adanya hambatan pada pertumbuhan janin. Panjang rata-rata janin pada penelitian ini tidak memiliki perbedaan yang bermakna setelah dilakukan analisa statistik (Lampiran 21).

Tabel 4.5 Panjang rata-rata janin Kelompok Perlakuan Kontrol Normal (CMC 0,5%) Dosis 1 (2,34 g/kg bb mencit) Dosis 2 (4,68 g/kg bb mencit) Dosis 3 (9,36 g/kg bb mencit) Hasil selengkapanya dapat dilihat pada Tabel 4.13. Panjang Rata-rata Janin (cm) SD 2,50 0,20 2,67 0,17 2,79 0,24 2,67 0,14

4.5 Berat Badan Janin Sama halnya dengan panjang tubuh, berat badan janin merupakan parameter penting untuk mengetahui pengaruh senyawa asing terhadap

Universitas Indonesia

27

perkembangan janin. Hasil pengamatan terhadap berat badan janin dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Berat badan rata-rata janin Kelompok Perlakuan Kontrol Normal (CMC 0,5%) Dosis 1 (2,34 g/kg bb mencit) Dosis 2 (4,68 g/kg bb mencit) Dosis 3 (9,36 g/kg bb mencit) Hasil selengkapanya dapat dilihat pada Tabel 4.12. Berat Badan Rata-rata Janin (gram) SD 1,2790 0,25 1,3693 0,22 1,4791 0,40 1,3536 0,18

Berat badan janin mencit yang normal pada umumnya antara 1,2 gram 1,4 gram (Wilson dan Wark0,20any, 1965). Berdasarkan penelitian terhadap berat badan janin mencit ini, diperoleh berat badan rata-rata janin mencit di setiap kelompok perlakuan masih berada dalam rentang berat badan janin pada umumnya. Hasil berat badan rata-rata janin pada kelompok perlakuan kontrol normal lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan dosis 1, dosis 2, dan dosis 3. Berat badan rata-rata janin pada dosis 2 lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya dan berat badan rata-rata janin pada dosis 3 tidak lebih tinggi jika dibandingkan dengan dosis 2. Berdasarkan analisa statistik yang telah dilakukan, tidak ada perbedaan secara bermakna yang dipengaruhi oleh infusa biji jintan hitam ini terhadap berat badan rata-rata janin mencit (Lampiran 18).

4.6 Berat Plasenta Tujuan dari pengamatan terhadap plasenta adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh Jintan hitam terhadap distribusi nutrisi dari induk mencit kepada janin yang dikandungnya. Data plasenta yang diperoleh dalam penelitian

Universitas Indonesia

28

ini tidak lengkap pada setiap kelompok perlakuan karena beberapa induk mencit tidak dilakukan pembedahan tetapi melahirkan secara normal. Hal ini dikarenakan adanya kesalahan dalam menentukan hari ke-0 masa kebuntingan. Pengamatan terhadap berat plasenta rata-rata dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Berat plasenta rata-rata Kelompok Perlakuan Kontrol Normal (CMC 0,5%) Dosis 1 (2,34 g/kg bb mencit) Dosis 2 (4,68 g/kg bb mencit) Dosis 3 (9,36 g/kg bb mencit) Hasil selengkapanya dapat dilihat pada Tabel 4.14. Berat Plasenta Rata-rata (gram) SD 0,0357 0,01 0,0766 0,02 0,0498 0,11 0,0380 0,02

Berdasarkan analisa statistik berat plasenta rata-rata yang ada, infusa jintan hitam tidak berpengaruh dan tidak memberikan perbedaan yang bermakna terhadap berat plasenta (Lampiran 24). Data plasenta yang terkumpul selama penelitian ini tidak lengkap. Tidak semua janin mencit dapat diperoleh data plasentanya. Hal ini disebabkan karena selama penelitian diperoleh beberapa induk mencit yang tidak melahirkan melalui proses pembedahan tetapi melahirkan secara normal. Induk mencit yang melahirkan secara normal akan langsung memakan plasenta ketika membersihkan janin yang telah lahir, oleh karena itu data berat plasenta tidak dapat diukur. Kelahiran mencit secara normal ini kemungkinan bukan disebabkan karena pemberian infusa biji jintan hitam. Belum pernah ditemukan penelitian yang menyatakan bahwa jintan hitam dapat mengakibatkan kelahiran prematur. Kelahiran mencit secara normal ini mungkin terjadi karena adanya kesalahan peneliti dalam menghitung masa kebuntingan mencit terutama dalam menentukan hari ke-0 masa kebuntingan.

Universitas Indonesia

29

4.7 Pengamatan Morfologi dan Tulang Belakang Janin Keadaan fisik diamati untuk mengetahui ada tidaknya kelainan morfologi janin. Pengamatan fisik dilakukan terhadap daun telinga, mata, jari-jari kaki, dan ekor. Janin dikatakan cacat apabila janin memiliki daun telinga dan mata yang sudah terbuka ketika lahir, jari-jari yang melekat satu sama lain dan jumlahnya tidak normal, juga bentuk ekor yang tidak lurus. Janin kemudian direndam dalam larutan merah alizarin untuk dilakukan pengamatan terhadap bentuk tulang yang membentuk rangka secara umum. Sebelum direndam dalam larutan merah alizarin, janin direndam dalam larutan KOH 1% agar jaringan otot janin menjadi transparan. Larutan merah alizarin akan membuat tulang rangka berwarna merah karena zat warna dalam larutan merah alizarin akan mengikat kalsium pada matriks tulang sehingga menyebabkan terbentuknya warna merah pada tulang.

Tabel 4.8 Presentase jumlah janin mencit yang mengalami cacat janinJenis Cacat Janin Kelompok Perlakuan Mata Terbuka 0% 0% 0% 0% Daun Telinga Terbuka 0% 0% 0% 0% Jumlah dan Bentuk Jari 0% 0% 0% 0% Bentuk Ekor 0% 0% 0% 0% Kelainan Tulang 0% 0% 0% 0%

Pendarahan 0% 0% 0% 0%

Kontrol Normal (CMC 0,5%) Dosis 1 (2,34 g/kg bb mencit) Dosis 2 (4,68 g/kg bb mencit) Dosis 3 (9,36 g/kg bb mencit)

Hasil pengamatan kondisi fisik janin tidak menunjukkan adanya kelaianan pada janin-janin yang diamati. Janin memiliki jari-jari yang lengkap dan tidak menyatu satu sama lain, daun telinga dan mata janin tidak terbuka, dan ekor janinjanin yang diamati berbentuk lurus. Begitu juga dengan hasil pengamatan terhadap kerangka janin tidak menunjukkan adanya kelainan pada semua janin yang diamati. Semua janin memiliki jumlah dan susunan tulang rangka yang normal. Janin-janin yang

Universitas Indonesia

30

diamati memiliki 7 ruas tulang servikal, 13 ruas tulang toraks, dan 6 ruas tulang lumbal yang menyusun tulang belakang. Tulang-tulang yang membentuk anggota tubuh bagian depan terdiri dari 5 ruas tulang distal, 4 ruas tulang proksimal, dan 4 ruas tulang metakarpal. Anggota tubuh bagian belakang janin-janin mencit terdiri dari 5 ruas tulang distal, 4 ruas tulang proksimal dan 5 ruas tulang metatarsal (Taylor, 1986). Hasil pengamatan terhadap susunan tulang belakang janin dapat dilihat pada Gambar 4.6. Senyawa dalam jintan hitam yang diduga memberikan efek yang tidak diinginkan terhadap janin adalah timokinon, yang merupakan komponen utama dalam biji jintan hitam (Moghaddasi, 2011). Timokinon tidak banyak ditemukan dalam infusa biji jintan hitam dan akan mencapai kadar tertinggi dalam air apabila dilakukan ekstraksi dengan air selama 12 hari (Gillani, 2004). Timokinon merupakan senyawa yang sukar larut dalam air dan sangat mudah larut dalam alkohol dingin (The Merck Index, 1968). Oleh karena itu, senyawa timokinon dalam penelitian ini tidak tertarik secara optimal jika dilakukan dengan metode infusa dan akan tertarik dengan lebih optimal jika menggunakan metode maserasi. Tidak optimalnya senyawa timokinon yang tertarik dalam infusa ini mengakibatkan infusa biji jintan hitam yang digunakan penelitian ini tidak memberikan pengaruh yang bermakna terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin mencit. Pembuatan bahan uji dengan metode infusa pada penelitian ini dilakukan atas dasar cara penggunaan jintan hitam yang sering dilakukan oleh masyarakat pada umumnya, yaitu dengan cara menyeduh jintan hitam dengan menggunakan air panas.

Universitas Indonesia

31

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan Infusa biji jintan hitam yang diberikan pada induk mencit bunting dengan dosis 2,34 g/kg bb, 4,68 g/kg bb, dan 9,36 g/kg bb mencit tidak memberikan pengaruh yang bermakna terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin mencit.

5.2 Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap janin-janin mencit dengan melakukan pengamatan terhadap morfologi organ-organ dalam janin seperti jantung, paru-paru, hati, dan ginjal. Selain itu perlu dilakukan penelitian dengan jumlah populasi yang lebih banyak agar dapat terlihat dengan lebih jelas lagi pengaruh pemberian infusa biji jintan hitam terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin mencit.

Universitas Indonesia

32

DAFTAR ACUAN

Abdallah, N.M., E.N.A. Noaman, H.M. Eldesouky, H.E. Mohamed. (2008). Freshly Crushed Black Seed Showed Good Protective Effect During Tumour Induction and Radiotherapy in JASMR, 3 (1), 1 9. Abdulelah, H.A.A., B.A.H. Zainal-Abidin. (2007). In Vivo Anti-malarial Tests of Nigella sativa (Black Seed) Different Extracts, American Journal of Pharmacology and Toxicology, 2 (2), 46-50. Adnan. (2010). Siklus Reproduksi. Malang : Departemen Biologi Fakultas Matematikadan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negri Malang. Ahirwar, D., N. K. Sharma, D. Jhade and S. Gupta. (2009). Medicinal Pharmacology Potential of Nigella sativa: A Review. Ethnobotanical Review, 13, 946-955. Amarouch, Hassar M., Settaf A., Lacaille-Dubois M.A., Zaoui A., Cherrah Y. (2000). Diuretic and hypotensive effects of Nigella sativa in the spontaneously hypersensitive rat. Therapie, 55 (3) , 379-382. Arifin, Helmi, Vivin Delvita, Almahdy A. (2007). Pengaruh Pemberian Vitamin C terhadap Fetus pada Mencit Diabetes. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, 12 (1), 32-40. Farmakope Indonesia (edisi IV). (1995). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 9. Gilani, Anwar-ul Hassan, Qaiser Jabeen, Muhammad Asad Ullah Khan. (2004). A Review of Medicinal Uses and Pharmacological Activities of Nigella sativa. Pakistan Journal of Biological Sciences, 7 (4), 441 451. Guyton, A. C. (1983). Textbook of Medical Physiologi (Edisi V). (A. Dharma dan P. Lukmanto, Penerjemah). Jakarta : EGC, 32. Haryono, Agus, Suatma, Noor Widyastuti. (2008). Efek Toksik Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) pada Mencit (Mus musculus) Swiss Webster. Jurnal Biotika, 5, 1. Hutapea, J. R. (1994). Inventaris Tanaman Obat Indonesia III. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Universitas Indonesia

33

Imron,

A.

Tamyis

Ali.

(2008).

Estrus.

29

September

2010.

http://cyberbiology.blogspot.com . Khanam, M and Dewan, Z.F. (2008). Effects of The Crude and The n-hexane Extract of Nigella sativa Linn. (kalajira) upon Diabetic Rats. Bangladesh J Pharmacol, 4, 17-20. Kumolosasi, Andreanus A. Soemardji, Komar Ruslan W., Hasti Yuliani. (2004). Efek Teratogenik Ekstrak Etanol Kulit Batang Pule (Alstonia scholaris R.Br) pada Tikus Wistar. Jurnal Matematika dan Sains, 9 (2), 223-227. Loomis, Ted A. (1978). Toksikologi Dasar (Edisi 3). Semarang : IKIP Semarang Press, 242 248. Lu, Frank C. (1995). Toksikologi Dasar, Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko (Edisi 2). Jakarta: Universitas Indonesia, 154 168. M, Sharrif Moghaddasi. (2011). Nigella sativa Traditional Usages. Advances in Environmental Biology, 5 (1), 5-16. Materia Medika Indonesia (Jilid 3). (1979). Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Mbarek, L.A., H.A. Mouse, N. Elabbadi, M. Bensalah, A. Gamouh, R. Aboufatima, A. Benharref, A. Chait, M. Kamal. (2007). Anti-tumor Properties of Blackseed (Nigella sativa L.) Extracts. Brazilian Journal of Medical and Biological Research, 40, 839-847. Najmi, Ahmad, Mohammad Nasiruddin, Rahat Ali Khan, Shahzad F. Haque. (2008). Effect of Nigella sativa Oil on Various Clinical and Biochemical Parameters of Insulin Resistance Syndrome. Int. J. Diab. Dev. Ctries, 28 (1). Nalbandov, A. V. (1990). Fisiologi Reproduksi Pada Mamalia dan Unggas. Jakarta : Universitas Indonesia, 40-45. R., Velmurugan, N. S. Jeganathan. (2007). Post Coital Antifertility Activity of Nigella sativa. Asian Journal of Chemistry, 19 (6), 4936-4938. Ragheb, Ahmed, Ahmed Attia, Wahid Shehab Eldin, Fawzy Elbarbry, Sana Gazarin, Ahmed Shoker. (2009). The Protective Effect of Thymoquinone, an Anti-oxidant and Anti-inflammatory Agent, against Renal Injury: A Review. Saudi J Kidney Dis Trasnpl, 20 (5), 741-752.

Universitas Indonesia

34

Raza A., A. R. Asif, G. Yasin. (1999). Review Uses of Nigella sativa (Ranunculaceae) : A Traditional Medicine. International Journal of Algiculuture and Biology, 1 (3), 184 187. Salman, Mohd Tariq, Rahat Ali Khan, Indu Shukla. (2008). Antimicrobial activity of Nigella sativa Linn. seed oil against multi-drug resistant bacteria from clinical isolates. Natural Product Radiance, 7 (1), 10-14. Setyawati, Iriani. (2009). Morfologi Janin Mencit (Mus muculus L.) setelah Pemberian Ekstrak Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Jurnal Biologi, 13 (2), 41 44. Syarif, Rezki Amriati. (2011). Jintan Hitam. 5 Mei 2011. http://fitokimiaumi.wordpress.com. Taylor, Pamela. (1986). Practical Teratology. London : Academic Press, 3-24,83. The Merck Index An Encyclopedia Of Chemical And Drugs (Eight Edition). (1968). New York : Merck & Co., Inc. Toama, Mohamed A., Taha S. El-Alfy, Hamed M. El-Fatatry. (1974). Antimicrobial Activity of the Volatile Oil of Nigella sativa Linn. Seeds, Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 225-226. Waynforth, H. B. (1980). Experimental and Surgical Technique in The Rat. London : Academic Press. Wilson, J. G., Josef Warkany. (1965). Teratology Principles and Techniques. Chicago : The University of Chicago Press, 80-82. Wilson, J. G., F. G. Fraser. (1978). Handbook of Teratology. New York : Plenum Press, 15-20. Yatim, W. (1996). Reproduksi dan Embriologi (Edisi II). Bandung : Tarsito, 5458. Yuniyanto, Muhammad. (2010). Meracik Sendiri Ramuan Herbal Nabi. Solo : Pustaka Arafah, 77-88. Zaher, Kawther S., W.M. Ahmed, Sakina N. Zerizer. (2008). Observations on the Biological Effects of Black Cumin Seed (Nigella sativa) and Green Tea (Camellia sinensis). Global Veterinaria, 2 (4), 198-204.

Universitas Indonesia

35

(Sumber : http://fitokimiaumi.wordpress.com) Gambar 2.1 Tanaman jintan hitam (Nigella sativa L.) (Syarif, 2011)

Gambar 3.1 Serbuk biji jintan hitam

Universitas Indonesia

36

Keterangan :

(a) = fase diestrus, (b) = fase proestrus, (c) = fase estrus, (d) = fase metestrus. Tanda panah pada gambar (c) menunjukkan sel tanduk (sel yang sudah tidak berinti), yang merupakan ciri dari fase estrus.

Gambar 3.2 Siklus reproduksi pada mencit (siklus estrus)

Gambar 3.3 Mikroskop binokuler

Universitas Indonesia

37

Gambar 4.1 Sumbat vagina

Gambar 4.2 Grafik peningkatan berat badan induk mencit

Universitas Indonesia

38

Keterangan : KN = kontrol normal (larutan CMC 0,5%); D1 = infusa biji jintan hitam dosis 2,34 g/kg bb mencit; D2 = infusa biji jintan hitam dosis 4,68 g/kg bb mencit; D3 = infusa biji jintan hitam dosis 9,36 g/kg bb mencit.

Gambar 4.3 Grafik jumlah rata-rata janin hidup

Keterangan :

KN = kontrol normal (larutan CMC 0,5%); D1 = infusa biji jintan hitam dosis 2,34 g/kg bb mencit; D2 = infusa biji jintan hitam dosis 4,68 g/kg bb mencit; D3 = infusa biji jintan hitam dosis 9,36 g/kg bb mencit.

Gambar 4.4 Grafik jumlah rata-rata janin berdasarkan jenis kelamin

Universitas Indonesia

39

Keterangan : KN = kontrol normal (larutan CMC 0,5%); D1 = infusa biji jintan hitam dosis 2,34 g/kg bb mencit; D2 = infusa biji jintan hitam dosis 4,68 g/kg bb mencit; D3 = infusa biji jintan hitam dosis 9,36 g/kg bb mencit.

Gambar 4.5 Grafik panjang rata-rata janin

Keterangan : KN = kontrol normal (larutan CMC 0,5%); D1 = infusa biji jintan hitam dosis 2,34 g/kg bb mencit; D2 = infusa biji jintan hitam dosis 4,68 g/kg bb mencit; D3 = infusa biji jintan hitam dosis 9,36 g/kg bb mencit.

Gambar 4.6 Grafik berat badan rata-rata janin

Universitas Indonesia

40

Keterangan : KN = kontrol normal (larutan CMC 0,5%); D1 = infusa biji jintan hitam dosis 2,34 g/kg bb mencit; D2 = infusa biji jintan hitam dosis 4,68 g/kg bb mencit; D3 = infusa biji jintan hitam dosis 9,36 g/kg bb mencit.

Gambar 4.7 Grafik berat plasenta rata-rata janin

Gambar 4.8 Uterus mencit setelah pembedahan

Universitas Indonesia

41

Gambar 4.9 Janin mencit yang sudah dikeluarkan dari uterus

Keterangan : a = janin mencit kontrol normal (CMC 0,5%), b = janin mencit dosis I (2,34 g/kg bb mencit), c = janin mencit dosis II (4,68 g/kg bb mencit), d = janin mencit dosis III (9,36 g/kg bb mencit)

Gambar 4.10 Pengamatan tulang rangka janin mencit

Universitas Indonesia

42

Tabel 4.9 Jumlah janin hidup Mencit 1 2 3 4 5 6 Jumlah Janin (ekor)Keterangan tabel :

Kelompok Perlakuan KN 6 12 7 7 9 10 51 D1 6 6 13 13 6 8 52 D2 6 8 2 8 8 10 42 D3 8 8 8 8 6 4 42

KN larutan CMC 0,5%; D1 infusa biji jintan hitam 2,34 g/kg bb mencit; D2 infusa biji jintan hitam 4,68 g/kg bb mencit; D3 infusa biji jintan hitam 9,36 g/kg bb mencit

Tabel 4.10 Jumlah janin dengan jenis kelamin jantan Mencit 1 2 3 4 5 6 Jumlah Janin (ekor)Keterangan tabel :

Kelompok Perlakuan KN 3 5 3 3 4 3 21 D1 2 2 5 7 4 6 26 D2 4 6 2 3 3 3 21 D3 3 5 4 4 2 2 20

KN larutan CMC 0,5%; D1 infusa biji jintan hitam 2,34 g/kg bb mencit; D2 infusa biji jintan hitam 4,68 g/kg bb mencit; D3 infusa biji jintan hitam 9,36 g/kg bb mencit

Universitas Indonesia

43

Tabel 4.11 Jumlah janin dengan jenis kelamin betina Mencit 1 2 3 4 5 6 Jumlah Janin (ekor)Keterangan tabel :

Kelompok Perlakuan KN 2 7 4 4 5 7 30 D1 4 4 8 6 2 2 26 D2 2 2 0 5 5 7 21 D3 5 3 4 4 4 2 20

KN larutan CMC 0,5%; D1 infusa biji jintan hitam 2,34 g/kg bb mencit; D2 infusa biji jintan hitam 4,68 g/kg bb mencit; D3 infusa biji jintan hitam 9,36 g/kg bb mencit

Tabel 4.12 Berat badan rata rata janin Kelompok Perlakuan KN D1 D2 D3Keterangan tabel :

Mencit ke 1 2 3 4 5 6

Berat Badan Rata-rata (gram) SD 1,2790 0,25 1,3693 0,22 1,4791 0,40 1,3536 0,18

1,2702 1,0600 1,0009 1,6085 1,1837 1,5653 1,4662 0,9517 1,3804 1,3861 1,4648 1,5663 1,0375 1,3238 2,1482 1,5757 1,6088 1,1807 1,2700 1,2235 1,6589 1,3259 1,1905 1,4530

KN larutan CMC 0,5%; D1 infusa biji jintan hitam 2,34 g/kg bb mencit; D2 infusa biji jintan hitam 4,68 g/kg bb mencit; D3 infusa biji jintan hitam 9,36 g/kg bb mencit

Universitas Indonesia

44

Tabel 4.13 Panjang rata rata janin Kelompok Perlakuan KN D1 D2 D3Keterangan tabel :

Mencit ke 1 2,68 2,73 2,75 2,75 2 2,49 2,33 2,71 2,58 3 2,27 2,75 3,25 2,83 4 2,66 2,66 2,80 2,75 5 2,23 2,73 2,71 2,45 6 2,65 2,80 2,53 2,63

Panjang Rata-rata (cm) SD 2,50 0,20 2,67 0,17 2,79 0,24 2,67 0,14

KN larutan CMC 0,5%; D1 infusa biji jintan hitam 2,34 g/kg bb mencit; D2 infusa biji jintan hitam 4,68 g/kg bb mencit; D3 infusa biji jintan hitam 9,36 g/kg bb mencit

Tabel 4.14 Berat plasenta rata rataKelompok Perlakuan KN D1 D2 D3Keterangan tabel :

Mencit ke 1 0 0 0 0 2 0,1011 0,1440 0,2266 0 3 0 0,0858 0 0 4 0 0,1055 0 0 5 0 0,1243 0 0,1230 6 0,113 0 0,0723 0,1047

Berat Plasenta Rata-rata (gram) SD 0,1116 0,01 0,1149 0,02 0,1494 0,11 0,1139 0,02

KN larutan CMC 0,5%; D1 infusa biji jintan hitam 2,34 g/kg bb mencit; D2 infusa biji jintan hitam 4,68 g/kg bb mencit; D3 infusa biji jintan hitam 9,36 g/kg bb mencit

Tabel 4.15 Janin yang mengalami resorpsiMencit ke Kelompok Perlakuan 1 KN D1 D2 D3 Keterangan tabel : 1 1 0 0 2 0 0 1 0 3 0 0 0 0 4 0 1 1 0 5 1 1 2 4 6 1 3 0 5 Jumlah Janin (ekor) 3 6 4 9

KN larutan CMC 0,5%; D1 infusa biji jintan hitam 2,34 g/kg bb mencit; D2 infusa biji jintan hitam 4,68 g/kg bb mencit; D3 infusa biji jintan hitam 9,36 g/kg bb mencit

Universitas Indonesia

45

Lampiran 1. Hasil identifikasi / determinasi biji jintan hitam

Universitas Indonesia

46

Lampiran 2. Perhitungan dosis bahan uji Dosis yang digunakan merupakan dosis empiris yaitu dosis yang digunakan di masyarakat sebesar 600 mg serbuk biji Jintan Hitam sebanyak 3x dalam sehari. Dosis empiris untuk manusia = 3 x 600 mg = 1800 mg sehari Hasil konversi untuk mencit : Dosis I (dosis empiris) = 1800 mg x 0,0026 x 10 = 46800 mg / mencit = 46,8 g / mencit = 70,2 mg / 30 gram bb mencit = 2,34 g / kg bb mencit Dosis II (2 kali dosis empiris) = 2 x 1800 mg x 0,0026 x 10 = 140,4 mg / 30 gram mencit = 4,68 g / kg bb mencit Dosis III (4 kali dosis empiris) = 4 x 1800 mg x 0,0026 x 10 = 280,8 mg / 30 mencit = 9,36 g / kg bb mencit

Universitas Indonesia

47

Lampiran 3. Pembuatan Infusa biji jintan hitam Infusa biji jintan hitam dibuat dengan merebus serbuk biji jintan hitam dalam air pada suhu 90C selama 15 menit (Farmakope Indonesia Edisi IV, 1995). Infusa yang akan dibuat yaitu larutan uji dosis III (9,36 g / kg bb mencit atau 280,8 mg / g bb mencit). Pemberian infusa untuk tiap ekor mencit sebesar 1 ml sebanyak 4 ekor mencit setiap harinya, sehingga estimasi kebutuhan infusa dosis III adalah 10 ml per hari. Jumlah mencit yang diberikan infusa per hari = 4 ekor, masing-masing 1 ml Dosis III Dosis II ( dari dosis III) Dosis I ( dari dosis III) = 4 ml = x 4 ml = 2 ml = x 4 ml = 1 ml

Total infusa yang harus dibuat = 7 ml, dibulatkan menjadi 10 ml. Perhitungan jumlah simplisia yang dibutuhkan : 280,8 mg x 10ml/1ml = 2808 mg serbuk biji jintan hitam Infusa biji jintan hitam ini dibuat dengan cara mencampurkan serbuk dengan air sebanyak 10 kali berat simplisia, yaitu 28,08 ml. Kemudian dipanaskan di atas penangas air pada suhu 90C selama 15 menit sambil sesekali diaduk. Selagi panas, infusa disaring dengan menggunakan kain flanel, cukupkan hingga 10 ml. Infusa biji jintan hitam tidak stabil dan mudah mengendap. Karena itu, perlu dicampurkan dengan CMC 0,5%.

Universitas Indonesia

48

Lampiran 4. Uji kenormalan menurut Saphiro-Wilk terhadap data berat badan induk mencit bunting Tujuan : Mengetahui apakah data berat badan induk mencit bunting pada tiap kelompok terdistribusi normal atau tidak. Hipotesis : H0 normal Ha : Data berat badan induk mencit bunting pada tiap kelompok tidak terdistribusi normal Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikansi 0,05 maka H0 diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak Shapiro-Wilk Kelompok Perlakuan Berat Badan Induk Kontrol Normal Dosis I Dosis II Dosis III Statistik .856 .853 .910 .922 Derajat Kebebasan 6 6 6 6 Signifikansi .177 .165 .434 .521 : Data berat badan induk mencit bunting pada tiap kelompok terdistribusi

Keputusan : Data berat badan induk mencit bunting terdistribusi normal

Universitas Indonesia

49

Lampiran 5. Uji homogenitas varians menurut Lavene terhadap data berat badan induk mencit bunting Tujuan : Mengetahui kesamaan varian dari data berat badan induk mencit bunting pada tiap kelompok Hipotesis : H0 Ha : Data berat badan induk mencit bunting pada tiap kelompok bervariasi : Data berat badan induk mencit bunting pada tiap kelompok tidak

homogen bervariasi homogen Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikansi 0,05 maka H0 diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak Statistik Lavene 1.303 Derajat Kebebasan Antarkelompok 3 Derajat Kebebasan dalam Kelompok 20

Signifikansi .301

Keputusan : Data berat badan induk mencit bunting di tiap kelompok bervariasi homogen

Universitas Indonesia

50

Lampiran 6. Uji ANOVA terhadap data berat badan induk mencit bunting Tujuan : Mengetahui ada tidaknya perbedaan data berat badan induk mencit bunting antarkelompok perlakuan Hipotesis : H0 Ha : Data berat badan induk mencit bunting pada tiap kelompok tidak ada : Data berat badan induk mencit bunting pada tiap kelompok ada

perbedaan bermakna perbedaan bermakna Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikansi 0,05 maka H0 diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak

Sumber Keragaman Antarkelompok Dalam kelompok Total

Jumlah Kuadrat 16.718 381.781 398.499

Derajat Kebebasan 3 20 23

Rata-rata Jumlah Kuadrat 5.573 19.089

F .292

Signifikansi .831

Keputusan : Data berat badan induk mencit bunting pada tiap kelompok tidak ada perbedaan bermakna.

Universitas Indonesia

51

Lampiran 7. Uji kenormalan menurut Saphiro-Wilk terhadap data jumlah janin hidup Tujuan : Mengetahui apakah data jumlah janin hidup pada tiap kelompok terdistribusi normal atau tidak. Hipotesis : H0 Ha : Data jumlah janin hidup pada tiap kelompok terdistribusi normal : Data jumlah janin hidup pada tiap kelompok tidak terdistribusi normal

Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikansi 0,05 maka H0 diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak

Shapiro-Wilk Kelompok Perlakuan Jumlah Janin Hidup Kontrol Normal Dosis I Dosis II Dosis III Statistik .933 .744 .857 .701 Derajat Kebebasan 6 6 6 6 Signifikansi .600 .017 .178 .006

Keputusan : Data jumlah janin hidup tidak terdistribusi normal pada kelompok perlakuan dosis I

Universitas Indonesia

52

Lampiran 8. Uji homogenitas Varians menurut Lavene terhadap data jumlah janin hidup Tujuan : Mengetahui kesamaan varian dari data jumlah janin hidup pada tiap kelompok Hipotesis : H0 Ha : Data jumlah janin hidup pada tiap kelompok bervariasi homogen : Data jumlah janin hidup pada tiap kelompok tidak bervariasi homogen

Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikansi 0,05 maka H0 diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak

Statistik Levene 1.581

Derajat Kebebasan Antarkelompok 3

Derajat Kebebasan dalam Kelompok 20

Signifikansi .225

Keputusan : Data jumlah janin hidup di tiap kelompok bervariasi homogen

Universitas Indonesia

53

Lampiran 9. Uji Kruskal-Wallis terhadap data jumlah janin hidup Tujuan : Mengetahui ada tidaknya perbedaan data jumlah janin hidup antarkelompok perlakuan Hipotesis : H0 Ha : Data jumlah janin hidup pada tiap kelompok tidak ada perbedaan : Data jumlah janin hidup pada tiap kelompok ada perbedaan bermakna

bermakna

Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikansi 0,05 maka H0 diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak Kelompok Perlakuan Jumlah Janin Hidup Kontrol Normal Dosis I Dosis II Dosis III Total Test Statisticsa,b Jumlah Janin Hidup Chi-Square df Asymp. Sig. .847 3 .838

N 6 6 6 6 24

Mean Rank 14.33 13.00 11.75 10.92

Keputusan : Data berat badan induk mencit bunting pada tiap kelompok tidak ada perbedaan bermakna.

Universitas Indonesia

54

Lampiran 10. Uji kenormalan menurut Saphiro-Wilk terhadap data jumlah janin jantan Tujuan : Mengetahui apakah data janin jantan pada tiap kelompok terdistribusi normal atau tidak. Hipotesis : H0 Ha : Data jumlah janin jantan pada tiap kelompok terdistribusi normal : Data jumlah janin jantan pada tiap kelompok tidak terdistribusi normal

Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikansi 0,05 maka H0 diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak

Shapiro-Wilk Kelompok Perlakuan Jumlah Janin Jantan Kontrol Normal Dosis I Dosis II Dosis III Statistic .701 .918 .857 .907 Derajat Kebebasan 6 6 6 6 Signifikansi .006 .493 .178 .415

Keputusan : Data jumlah janin jantan tidak terdistribusi normal pada kelompok perlakuan kontrol normal.

Universitas Indonesia

55

Lampiran 11. Uji homogenitas varians menurut Lavene terhadap data jumlah janin jantan Tujuan : Mengetahui kesamaan varian dari data jumlah janin jantan pada tiap kelompok Hipotesis : H0 Ha : Data jumlah janin jantan pada tiap kelompok bervariasi homogen : Data jumlah janin jantan pada tiap kelompok tidak bervariasi homogen

Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikansi 0,05 maka H0 diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak

Statistik Levene 2.043

Derajat Kebebasan Antarkelompok 3

Derajat Kebebasan Dalam Kelompok 20

Signifikansi .140

Keputusan : Data jumlah janin jantan di tiap kelompok bervariasi homogen.

Universitas Indonesia

56

Lampiran 12. Uji Kruskal-Wallis terhadap data jumlah janin jantan Tujuan : Mengetahui ada tidaknya perbedaan data jumlah janin jantan antarkelompok perlakuan Hipotesis : H0 Ha : Data jumlah janin jantan pada tiap kelompok tidak ada perbedaan : Data jumlah janin jantan pada tiap kelompok ada perbedaan bermakna

bermakna

Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikansi 0,05 maka H0 diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak

Kelompok Perlakuan Jumlah Janin Jantan Kontrol Normal Dosis I Dosis II Dosis III Total Test Statisticsa,b Jumlah Janin Jantan Chi-Square df Asymp. Sig. .934 3 .817

N 6 6 6 6 24

Mean Rank 12.33 14.75 11.67 11.25

Keputusan : Data janin jantan pada tiap kelompok tidak ada perbedaan bermakna.

Universitas Indonesia

57

Lampiran 13. Uji kenormalan menurut Saphiro-Wilk terhadap data jumlah janin betina Tujuan : Mengetahui apakah data janin betina pada tiap kelompok terdistribusi normal atau tidak. Hipotesis : H0 Ha : Data jumlah janin betina pada tiap kelompok terdistribusi normal : Data jumlah janin betina pada tiap kelompok tidak terdistribusi normal

Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikansi 0,05 maka H0 diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak

Shapiro-Wilk Kelompok Perlakuan Jumlah Janin Betina Kontrol Normal Dosis I