acne

50
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akne vulgaris atau yang lebih dikenal dengan jerawat adalah penyakitkulit kronis yang terjadi akibat peradangan menahun pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papul, pustul, nodul dan kista pada tempat predileksinya yang biasanya pada kelenjar se basea berukuran besar seperti wajah, dada dan punggung bagian atas. (Tjekyan, R.M.S. 2008) Angka kejadian akne vulgaris berkisar 85 % dan terjadi pada usia 14-17tahun pada wanita dan 16-19 tahun pada laki-laki, dengan lesi predominan adalah komedo dan papul. Akne sudah timbul pada anak usia 9 tahun namun puncaknya pada laki-laki terutama usia 17-18 tahun sedangkan wanita usia 16-17 tahun. Akne vulgaris umumnya lebih banyak terjadi pada laki- laki dibandingkan dengan wanita pada rentang usia 15-44

Upload: jumowo

Post on 10-Dec-2015

28 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

jerawat

TRANSCRIPT

Page 1: Acne

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akne vulgaris atau yang lebih dikenal dengan jerawat adalah penyakitkulit

kronis yang terjadi akibat peradangan menahun pilosebasea yang ditandai

dengan adanya komedo, papul, pustul, nodul dan kista pada tempat

predileksinya yang biasanya pada kelenjar se basea berukuran besar seperti

wajah, dada dan punggung bagian atas. (Tjekyan, R.M.S. 2008)

Angka kejadian akne vulgaris berkisar 85 % dan terjadi pada usia 14-

17tahun pada wanita dan 16-19 tahun pada laki-laki, dengan lesi predominan

adalah komedo dan papul. Akne sudah timbul pada anak usia 9 tahun namun

puncaknya pada laki-laki terutama usia 17-18 tahun sedangkan wanita usia 16-

17 tahun. Akne vulgaris umumnya lebih banyak terjadi pada laki-laki

dibandingkan dengan wanita pada rentang usia 15-44 tahun yaitu 34 % pada laki-

laki dan 27 % pada wanita. (Tjekyan, R.M.S. 2008)

Akne vulgaris merupakan kasus akne yang kerap dijumpai pada

kunjungan di Poli Kulit dan Kelamin. Sebuah survei di kawasan Asia Tenggara

diketahui terdapat sebesar 20 hingga 40% kasus akne vulgaris. Menurut para ahli

kulit di Filipina, sebesar 50 % kasus yang ditangani adalah akne. Menurut

catatan kelompok studi dermatologi kosmetika Indonesia, menunjukkan terdapat

23,6 % penderita akne di tahun 2002 dan 23,8 % di tahun 2003. (Wasiso, S.S.

2010)

Page 2: Acne

Akne yang terjadi pada usia pubertas dipengaruhi oleh beberapa faktor

yaitu: meningkatnya kadar hormon androgen, penggunaan kosmetik, stres dan

pola hidup yang tidak sehat seperti tidur larut malam. (Vgontzas, A.N., et al 2006

dan Goklas 2001). Tidur terlalu larut malam diperkirakan dapat mengakibatkan

aktivitas hormon androgen meningkat. Hormon androgen berperan penting dalam

regulasi mekanisme produksi sebum. (Harper, J.C., and Fulton, J.J. 2008)

Produksi sebum yang berlebihan akan menyebabkan kulit menjadi

sangat berminyak. Kulit berminyak cenderung lebih mudah terjadi akne

dibanding kulit normal dan kulit kering, sehingga produksi sebum yang

berlebihan akan menimbulkan sumbatan pada kelenjar pilosebasea yang

mengakibatkan timbulnya akne. (Eun Do, E., et al. 2008)

Tidur merupakan sesuatu yang diperlukan tubuh sebagaimana makanan

dan udara yang memiliki efek baik pada jiwa dan raga. Tidur pada malam

hari, mulai jam 22.00 WIB - 06.00 WIB terjadi proses regenerasi kolagen,

selain itu pada jam 23.00 WIB - 02.00 WIB terjadi sekresi peningkatan

hormon kortisol tubuh, dan setelah itu menurun dan kembali meningkat pada

jam 08.00 WIB. Kurang tidur dapat menyebabkan peningkatan faktor-faktor

inflamasi, penurunan imunitas tubuh, memicu resistensi insulin dan peningkatan

level stres.( Harper, J.C., and Fulton, J.J2008., Vgontzas, A.N., et al2004., dan

Hastings, M.2005)

Hasil studi epidemiologi akne vulgaris di Jepang pada tahun 2010

menyatakan bahwa tiga faktor yang paling sering memicu timbulnya dan

Page 3: Acne

eksaserbasi akne adalah stres, kurang tidur dan keringat. (Kubota, Y., et al.

2010)

Faktor-faktor yang berperang penting dalam terjadinya akne pada

remaja adalah makanan, kosmetik, stress, kurang tidur dan hormonal. (Tan, H.H.,

et al, 2007).

Faktor makanan masih diperdebatkan, ada penelitian yang setuju makanan

berpengaruh pada timbulnya akne, ada pula yang kontra. Jenis makanan yang

sering dihubungkan dengan timbulnya akne adalah makanan tinggi lemak

(kacang, daging berlemak, susu, es krim), makanan tinggi karbohidrat, makanan

beriodida tinggi (makanan asal laut) dan pedas. Menurut yang pro, makanan dapat

merubah komposisi sebum dan menaikan produksi kelenjar sebasea (Cordain L,

Lindeberg S, Hurtado M, Hill K, Eaton B, Brand-Miller B, 2002; Smith, R N,

Mann N J, Braue A, Makelainen H, Varigos G A, 2007).

Penelitian tentang efek makanan terhadap akne vulgaris sebenarnya telah

berlangsung sejak tahun 1946 oleh Steiner yang melakukan observasi pada

penduduk Okinawa yang daerahnya terisolasi dari dunia luar dan tidak didapati

adanya akne vulgaris. Pada tahun 1967, Findlay melakukan pengamatan terhadap

prevalensi akne vulgaris pada penduduk Afrika Selatan yang tidak mengkonsumsi

dan yang mengkonsumsi makanan cepat saji dan didapati hasil 16% untuk

penduduk yang tidak mengkonsumsi dan 45% untuk yang mengkonsumsi.

Sulzberger, 1969, melakukan uji trial pertama terhadap efek coklat terhadap

eksaserbasi akne vulgaris, dan tidak dijumpai adanya perbedaan yang bermakna

antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, tetapi belakangan penelitian

Page 4: Acne

ini ditolak karena kandungan coklat bar dan plasebo yang digunakan sama. 1971,

Schaefer selama 30 tahun melihat adanya peningkatan prevalnsi akne pada Suku

Inuit di Eskimo setelah mereka mengadopsi gaya hidup barat. 1981, Bechelli

melakukan survei pada anak 6-16 tahum dengan responden sebanyak 9955, dan

hanya didapati prevalensi akne vulgaris sekitar 2,7%. Freye, 1998, melihat adanya

perbedaan prevalensi penduduk tradisional Suku Pruvian dengan penduduk

perkotaannya dan didapati perbedaan prevalensi sebesar 28% dan 43%. 2002,

Cordein melakukan pengamatan pada penduduk Kitavan, dan didapati prevalensi

akne sangat rendah. Penelitian terakhir pada tahun 2007, oleh Smith dengan suatu

uji trial terhadap pola makan dengan Glicemic load rendah ternyata dijumpai

adanya penurunan lesi akne yang significan (Cordain L, Lindeberg S, Hurtado M,

Hill K, Eaton B, Brand-Miller B, 2002).

Di Indonesia sendiri, belum pernah dilakukan penelitian mengenai

hubungan pola diet, khususnya makanan cepat saji, terhadap timbulnya akne

vulgaris.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara waktu tidur malam dan konsumsi makanan siap

saji dengan timbulnya acne vulgaris pada mahasisiwi fakultas kedokteran UWKS

agkatan 2012?

Page 5: Acne

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan antara waktu tidur malam dan konsumsi

makanan siap saji dengan timbulnya acne vulgaris pada mahasisiwi

fakultas kedokteran UWKS agkatan 2012.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi waktu tidur malam mahasiswa di fakultas

kedokteran Universitas Wijaya Kusuma angkatan 2012.

b. Mengidentifikasi pola konsumsi makanan siap saji mahasiswa di

fakultas kedokteran Universitas Wijaya Kusuma angkatan 2012.

c. Mengetahui hubungan antara waktu tidur malam dan konsumsi

makanan siap saji dengan timbulnya acne vulgaris pada

mahasisiwi fakultas kedokteran UWKS agkatan 2012

B. Manfaat Penelitian

1. Bagi petugas kesehatan

Penelitian ini bisa menjadi landasan baru yang lebih profesional dan

lebih akurat serta memberikan wawasan baru untuk dijadikan rujukan

terutama dalam masalah acne vulgaris yang berhubungan dengan

waktu tidur malam dan konsumsi makanan siap saji.

Page 6: Acne

2. Bagi Universitas

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi

mahasiswa kedokteran khususnya tentang permasalahan waktu

tidur malam dan konsumsi makanan siap saji yang dapat

menimbulkan acne vulgaris.

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar bagi penelitian

selanjutnya terkait dengan permasalahan acne vulgaris.

3. Bagi peneliti

a. Sebagai salah satu kewajiban mahasiswa untuk menyelesaikan

program studi Sarjana Pendidikan Dokter

b. Untuk menambah point pada sistem kredit point yang akan

digunakan sebagai syarat mengikuti yudisium.

Page 7: Acne

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Akne Vulgaris

1. Definisi Akne Vulgaris

Akne vulgaris adalah penyakit peradangan folikel menahun dengan

gambaran klinis berupa komedo, papul, pustule, nodus dan jaringan

parut yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh

sendiri.Tempat predileksi adalah di muka, bahu, dada bagian atas dan

punggung. (Wisataatmaja,2008).Meskipun dapat sembuh sendiri, namun

sekuel bisa seumur hidup, yaitu berupa formasi jaringan parut

hipertropis ataupun berlubang (Zaenglein,2008).

Penyakit ini paling sering didapati pada usia remaja, dan hampir

semua remaja terkena penyakit ini. Meskipun begitu, penyakit ini juga

didapati ataubertahan pada usia dewasa. Akne vulgaris terjadi terutama

pada kulit yangberminyak (Odom,2000).

2. Epidemiologi

Penyakit ini mengenai hampir semua remaja di seluruh belahan

dunia.Umumnya insiden terjadi pada usia 14-17 tahun pada wanita, dan

16-19 tahun pada pria dan umumnya lesi yang predominan adalah

komedo dan papul. Pada wanita, akne dapat menetap lebih lama sampai

pada usia tiga puluh tahun atau lebih bila dibandinngkan dengan pria.

Page 8: Acne

Namun derajat akne yang lebih berat justru didapati pada pria

(Wasitaatmadja,2008).

Diketahui bahwa ras Oriental (Jepang, Cina, Korea) lebih jarang

menderita akne dibandingkan dengan ras Kaukasia (Eropa, Amerika)

(Wasitaatmadja,2008). Diketahui bahwa genetik memegang peranan

penting dalam kejadian akne vulgaris. Bila kedua orang tua menderita

akne maka 3 dari 4 anak akan menderita akne juga (Fulton,2009),. Dan

diketahui pasien dengan genotip XXY memiliki gejala yang lebih berat

(Zaenglein,2008).

3. Etiologi dan Patogenesis

Akne vulgaris memiliki etiologi yang kompleks, termasuk

abnormal keratinisasi, fungsi hormonal, pertumbuhan bakteri, dan reaksi

hipersensifitas (Webster,2002). Tetapi faktor keturunan/genetik

merupakan sesuatu yang sangat nyata dalam terjadinya akne vulgaris.

Dimana jika kedua orangtua menderita akne, maka 3 dari 4 anaknya

akan menderita akne (Fulton,2009).

Akne vulgaris secara eksklusif merupakan penyakit folikular.

Patogenesisnya multifaktorial, namun 4 hal utama yang berpengaruh

sudah diidentifikasi, yaitu: (1) hiperproliferasi folikel epidermis, (2)

produksi sebum yang berlebihan, (3) inflamasi, dan (4) keberadaan dan

aktifitas Propionibacterium acnes (Zaenglein,2008; Wasitaatmadja).

Page 9: Acne

Hiperproliferasi folikel epidermis menghasilkan formasi lesi

primer, mikrokomedo.Epithelium dari bagian atas folikel rambut,

infundibulum, menjadi hyperkeratosis dengan peningkatan kohesi dari

keratosit-keratosit.Sel-sel yang begitu banyak dan perlekatannya

menghasilkan sumbatan pada saluran folikel.Sumbatan ini kemudian

menyebabkan peningkatan akumulasi keratin, sebum, dan bakteri dalam

folikel.Ini menyebabkan dilatasi bagian atas folikel rambut,

menghasilkan komedo.Stimulus dari hiperproliferasi keratosit dan

peningkatan adhesi ini belum diketahui. Tetapi beberapa faktor yang

diduga termasuk stimulasi androgen, penurunan asam linoleat, dan

peningkatan aktifitas interleukin (IL)-1α (Zaenglein,2008).

Faktor lain yang berpengaruh adalah hiperinsulinemia akut/kronik.

Hiperinsulinemia akan mengakibatkan kenaikan insulin like growth

factor (IGF-1) dan menurunkan level IGF binding protein 3 (IGFBP-3).

Kenaikan IGF-1 memiliki potensi yang tinggi untuk pertumbuhan semua

jaringan, termasuk folikel yang kemudian dapat menimbulkan akne

(Cordain,2002).

Faktor kedua adalah produksi sebum yang berlebihan dari kelenjar

sebasea. Pasien dengan akne memproduksi sebum yang lebih banyak

daripada orang yang tanpa akne, meskipun kualitas dari sebum yang

dihasilkan tetap sama. Salah satu komponen sebum, trigliserida,

memiliki peran dalam patogenesis akne.Trigliserida diubah menjadi

asam lemak bebas oleh P. acnes, flora normal unit pilosebasea. Asam

Page 10: Acne

lemak bebas ini akan mempromosikan penggumpalan bakteri lebih

lanjut dan kolonisasi P.acnes, inflamasi, dan mungkin komedogenik.

Halhal yang berpengaruh dalam peningkatan produksi sebum adalah

aktifitas androgen, hiperinsulinemia yang berperan dalam sintesis

androgen di ovarium, dan stress (Cordain, 2002; Wasitaatmadja, 2008;

Zaenglein, 2008).

Hormon-hormon androgenik juga mempengaruhi produksi sebum,

seperti testosteron yang mengakibatkan pembesaran kelenjar sebasea

yang akhirnya meningkatkan produksi sebum (Odom,2000).

Peran estrogen pada produksi sebum belum begitu dipahami.Dosis

estrogen yang dibutuhkan untuk mengurangi produksi sebum lebih

tinggi daripada dosis yang dibutuhkan untuk menghambat ovulasi.

Mekanisme kerja estrogen termasuk: (1) secara langsung melawan efek

androgen pada kelenjar sebasea; (2) inhibisi produksi androgen pada

jaringan gonad melalui negative feedback pada pelepasan gonadotropin

hipofisis; (3) regulasi gen yang menekan pertumbuhan kelenjar sebasea

atau produksi lipid (Zaenglein,2008).

Mikrokomedo berlanjut semakin meluas dengan penumpukan

keratin, sebum, dan bakteri yang bersifat padat.Kemudian distensi ini

menyebabkan dinding folikel rusak. Dan masuknya keratin, sebum, dan

bakteri ke dalam dermis menghasilkan respon inflamasi yang

berlangsung cepat (Zaenglein,2008).

Page 11: Acne

Elemen keempat adalah keberadaan dan aktifitas P.acnes.Bakteri

ini termasuk gram positif, anaerobic dan mikroaerobik yang ditemukan

di folikel sebasea.Remaja dengan akne memiliki konsentrasi P.acnes

yang lebih tinggi daripada mereka yang tanpa akne.Dinding sel bakteri

ini mengandung antigen karbohidrat yang menstimulasi

antibodi.Antibodi anti propionibakteri meningkatkan respon inflamasi

dengan mengaktifasi komplemen.Bakteri ini juga memfasilitasi

inflamasi dengan menimbulkan reaksi hipersensitif tipe 4 melalui

produksi lipase, protease, hialonidase, dan faktor kemotaktik.Sebagai

tambahan, bakteri ini juga menstimulasi upregulasi dari sitokin dengan

berikatan dengan Toll like receptor 2. Setelah berikatan, kemudian

sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12, dan TNFα dikeluarkan

(Zaenglein,2008).

4. Gejala Klinis

Tempat predileksi akne adalah bagian tubuh dengan kelenjar

sebasea terbanyak dan terbesar, yaitu: pada wajah, bahu, dada bagian

atas, dan punggung bagian atas (Feldman,2004). Lokasi kulit lainnya

yang kadang-kadang terkena adalah leher, lengan bagian atas, dan glutea

(Wasitaatmadja,2008).

Lesi biasa berupa komedo, papul, pustul, dan nodul serta parut

akibat proses aktif. Komedo merupakan lesi primer, ada yang blackhead

dan ada yang whitehead. Gejala lokal dapat berupa nyeri, nyeri tekan,

Page 12: Acne

dan gatal (Fulton, 2009; Wasitaatmadja,2008) . Selain itu kejadian akne

vulgaris sering mempengaruhi kondisi psikologis pasien dan

mempengaruhi kualitas hidup penderita sesuai dengan keparahan atau

gradasi dari penyakit (Hafez,2009).

5. Gradasi

Ada berbagai kriteria gradasi akne yang ada saat ini, dan beberapa

diantaranya adalah:

a. Cunliie et al (James,2005)

1) Ringan: lesi utama berupa komedo. Papul dan pustul mungkin

ada, tetapi berukuran kecil dan sedikit (<10).

2) Sedang: papul dan pustul dalam jumlah sedang (10-40)

dandidapati komedo (10-40). Penyakit juga mungkin ditemukan

di badan.

3) Sedang-berat: papul dan pustul dalam jumlah banyak (40-100),

biasanya dengan komedo dalam jumlah banyak (40-100),

kadang-kadang dengan lesi yang lebih besar dan dalam. Daerah

yang terkena luas, termasuk wajah, dada, dan punggung.

4) Berat: akne konglobata dan akne nodulistik dengan banyak

nodul atau pustule yangn sangat sakit dan berukuran besar.

b. Dan gradasi yang dipakai di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin FKUI/RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo

(Wasitaatmadja,2008)

Page 13: Acne

1) Ringan :

a) beberapa lesi tak beradang pada 1 predileksi

b) sedikit lesi tak beradang pada beberapa tempat predileksi

c) sedikit lesi beradang pada 1 predileksi

2) Sedang :

a) banyak lesi tak beradang pada 1 predileksi

b) beberapa lesi tak beradang pada lebih dari 1 predileksi

c) beberapa lesi beradang pada 1 predileksi

d) sedikit lesi beradang pada lebih dari 1 predileksi.

3) Berat

a) banyak lesi tak beradang pada lebih dari 1 predileksi

b) Banyak lesi beradang pada 1 atau lebih predileksi

Catatan :

sedikit<5, beberapa5-10, banyak >10

Lesi tak beradang: komedo putih, komedo hitam, papul

Lesi beradang: pustul, nodul, kista.

6. Diagnosis

Diagnosis akne vulgaris dibuat atas dasar klinis dan pemeriksaan

ekskohleasi sebum, yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo

ekstraktor (sendok Unna). Sebum yang menyumbat folikel tampak

sebagai massa padat seperti lilin atau massa lebih lunak bagai nasi yang

ujungnya kadang berwarna hitam (Wasitaatmadja,2008).

Page 14: Acne

Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan gambaran yang tidak

spesifik berupa serbukan sel radang kronis di sekitar folikel pilosebasea

dengan massa sebum di dalam folikel. Pada kista, radang sudah

menghilang diganti dengan jaringan ikat pembatas massa cair sebum

bercampur dengan darah, jaringan mati, dan keratin yang lepas

(Wasitaatmadja,2008).

Pemeriksaan mikrobiologis terhadap jasad renik yang mempunyai

peran pada etiologi dan patogenesis penyakit dapat dilakukan

laboratorium mikrobiologi yang lengkap untuk tujuan penelitian, namun

hasilnya sering tidak memuaskan (Wasitaatmadja,2008).

Pemeriksaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit (skin surface

lipids) dapat pula dilakukan untuk tujuan serupa. Pada akne vulgaris

kadar asam lemak bebas (free fatty acid) meningkat dan karena itu pada

pencegahan dan pengobatan digunakan cara untuk menurunkannya

(Wasitaatmadja,2008).

7. Diagnosis banding (Wasitaatmadja,2008).

a. Erupsi akneiformis yang disebabkan oleh induksi obat,

misalnyakortikosteroid, INH, barbiturate, bromide, yodida, difenil

hidantoin, trimetadion, ACTH, dan lainnya. Klinis berupa erupsi

papulo pustule mendadak tanoa adanya komedo di hampir seluruh

bagian tubuh. Dapat disertai demam dan dapat terjadi di semua

usia.

Page 15: Acne

b. Akne venenata dan akne akibat rangsangan fisis. Ummumnya lesi

monomorfi, tidak gatal, bisa berupa komedo atau papul, dengan

tempat predileksi di tempat kontak zat kimia atau rangsang

fisisnya.

c. Rosasea, merupakan penyakit peradangan kronik di daerah muka

dengan gejala eritema, pustule, telangiektasi, dan kadang-kadang

disertai hipertrofi kelenjar sebasea. Tidak terdapat komedo kecuali

bila kombinasi dengan akne.

d. Dermatitis perioral yang terjadi terutama pada wanita dengan gejala

klinis polimorfi eritema, papul, pustule, di sekitar mulut yang terasa

gatal.

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan akne vulgaris meliputi usaha untuk mencegah

terjadinya erupsi (preventif) dan usaha untuk menghilangkan jerawat

yang terjadi (kuratif). Kedua usaha tersebut harus dilakukan bersamaan

mengingat bahwa kelainan ini terjadi akibat pengaruh berbagai faktor

(multifaktorial), baik faktor internal dari dalam tubuh sendiri (ras,

familial, hormonal), maupun faktor eksternal (makanan, musim, stres)

yang kadang-kadang tidak dapat dihindari oleh penderita

(Wasitaatmadja,2008).

Page 16: Acne

a. Pengobatan Topikal (Fulton,2009).

Retinoid topikal merupakan obat dengan efek komedolitik dan

antiinflamasi.Obat ini menormalkan hiperkeratinisasi dan

hiperproliferasi folikel yang terjadi.Retinoid topikal ini mengurangi

jumlah mikrokomedo, komedo, dan lesi meradang.Obat ini dapat

digunakan sendiri saja ataupun kombinasi dengan obat-obat akne

lainnya.Sediaan yang sering termasuk adapalene, tazanotene, dan

tretinoin.

Antibiotik topikal terutama digunakan untuk melawan P

acnes.Obat ini juga memiliki efek antiinflamasi.Antibiotik topikal

tidak memiliki efek komedolitik, dan resistensi dapat terjadi pada

beberapa jenis obat ini.Resistensi dapat dikurangi jika dikombinasi

dengan benzoil peroksida.Sediaan obat yang sering dipakai adalah

eritromisin dan klindamisin.Produk-produk benzoil peroksida juga

efektif digunakan untuk melawan P acnes, dan belum terbukti

adanya resistensi pada obat ini.

b. Pengobatan Sistemik (Wasitaatmadja,2008).

Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan

aktifitas jasad renik disamping dapat juga mengurangi reaksi radang,

menekan produksi sebum, dan mempengaruhi keseimbangan

hormonal.

Page 17: Acne

Antibiotik sistemik seperti tetrasiklin, eritromisin, doksisiklin,

dan trimetroprim efektif untuk melawan P acnes.Obat hormonal

untuk menekan produksi androgen dan secara kompetitif menduduki

reseptor organ target di kelenjar sebasea, misalnya estrogen atau

antiandrogen siproteron asetat. Pengobatan ini ditujukan untuk

penderita wanita dewasa yang gagal dengan pengobatan lain.

Kortikosteroid sistemik seperti prednisone dan deksametason

diberikan untuk menekan peradangan dan menekan sekresi kelenjar

adrenal.

Retinoid oral atau derivatnya seperti isotretinoin menghambat

produksi sebum. Obat ini merupakan pilihan untuk akne nodulokistik

atau konglobata yang tidak sembuh dengan pengobatan lain.Obat

lain seperti antiinflamasi nonsteroid ibuprofen, dapson, dan seng

sulfat juga digunakan.

c. Bedah Kulit (Wasitaatmadja,2008).

Tindakan bedah kulit terkadang perlu terutama untuk

perbaikan jaringan parut akibat akne vulgaris meradang yang berat,

baik yang hipertropik maupun yang hipotropik.Tindakan bedah

disesuaikan dengan macam dan kondisi jaringan parut yang terjadi.

Jenis tindakan bedah: bedah scalpel, bedah listrik, bedah kimia,

bedah beku, dan dermabrasi.

Page 18: Acne

B. Tidur

1. Fisiologi Tidur

Tidur merupakan kebutuhan dasar tubuh kita dan penting untuk

kesehatan kita, kualitas hidup yang bagus, dan melaksanakan aktifitas

dengan maksimal. Dan kita menghabiskan hampir sepertiga hidup kita

untuk tidur (WHO,2004).Dalam tulisannya, dr Iskandar Japardi (2002)

menuliskan bahwa semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan

yang sesuai dengan beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang

seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai irama sirkadian.Pusat

kontrol irama sirkadian terletak pada bagian ventral anterior

hypothalamus.

Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi

terletak pada substansia ventrikulo retikularis medulo oblogata yang

disebut sebagai pusat tidur. Bagian susunan saraf pusat yang

menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral

medulo oblogata disebut sebagai pusat penggugah atau aurosal state

(Japardi,2002).

Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:

a. Tipe Rapid Eye Movement (REM)

b. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)

Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4

stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase

Page 19: Acne

NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-7 kali siklus

semalam (Japardi,2002).

Menurut Japardi (2002), tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu:

a. Tidur stadium satu.

Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur.Fase ini

didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak

gerakan bola mata ke kanan dan ke kiri.Fase ini hanya berlangsung

3-5 menit dan mudah sekali dibangunkan.Gambaran EEG biasanya

terdiri dari gelombang campuran alfa, betha dan kadang gelombang

theta dengan amplitudo yang rendah. Tidak didapatkan adanya

gelombang sleep spindle dan kompleks K.

b. Tidur stadium dua

Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot

masih berkurang, tidur lebih dalam dari pada fase pertama.Gambaran

EEG terdiri dari gelombang theta simetris. Terlihat adanya

gelombang sleep spindle, gelombang verteks dan komplek K.

c. Tidur stadium tiga

Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG

terdapat lebih banyak gelombang delta simetris antara 25%-50%

serta tampak gelombang sleep spindle.

Page 20: Acne

d. Tidur stadium empat

Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran

EEG didominasi oleh gelombang delta sampai 50% tampak

gelombang sleep spindle. Fase tidur NREM, ini biasanya

berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan

masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya

berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih insten dan panjang saat

menjelang pagi atau bangun (Japardi,2002).

Pola tidur REM ditandai adanya gerakan bola mata yang cepat,

onus otot yang sangat rendah, apabila dibangunkan hampir semua organ

akan dapat menceritakan mimpinya, denyut nadi bertambah dan pada

laki-laki terjadi eraksi penis, tonus otot menunjukkan relaksasi yang

dalam (Japardi,2002).

Pola tidur REM berubah sepanjang kehidupan seseorang seperti

periode neonatal bahwa tidur REM mewakili 50% dari waktu total

tidur.Periode neonatal ini pada EEG-nya masuk ke fase REM tanpa

melalui stadium 1 sampai 4. Pada usia 4 bulan pola berubah sehingga

persentasi total tidur REM berkurang sampai 40% hal ini sesuai dengan

kematangan sel-sel otak, kemudian akan masuk keperiode awal tidur

yang didahului oleh fase NREM kemudian fase REM pada dewasa muda

dengan distribusi fase tidur sebagai berikut: NREM (75%) yaitu stadium

Page 21: Acne

1: 5%; stadium 2 : 45%; stadium 3 : 12%; stadium 4 : 13%; dan REM;

25% (Japardi,2002).

Bayi baru lahir total tidur 16-20 jam/hari, anak-anak 10-12

jam/hari, kemudian menurun 9-10 jam/hari pada umur diatas 10 tahun

dan kira-kira 7-7,5 jam/hari pada remaja dan menurun menjadi 6,5

jam/hari pada orang dewasa lanjut. Tetapi terdapat perbedaan pada tiap

individu terhadap lama tidur dan dalamnya tidur. Ini dipengaruhi genetic,

early-life conditioning, jumlah aktifitas fisik, dan status psikologis

seseorang (Adams,2005). Sedangkan dari sumber lain, sebuah artikel

Medscape (2005), durasi tidur rata-rata usia dewasa adalah 7-8 jam per

hari. Sementara remaja butuh waktu yang lebih lama, yaitu sekitar 9 jam,

meskipun banyak yang tidur kurang dari 8 jam pada hari sekolah.

2. Efek Tidur Pada Kesehatan

Tidur merupakan kebutuhan dasar tubuh kita dan penting untuk

kesehatan kita, kualitas hidup yang bagus, dan melaksanakan aktifitas

dengan maksimal.Akibat utama dari kurangnya waktu tidur atau tidur

yang tidak maksimal adalah efek fisik (mengantuk, lelah, dan hipertensi),

efek gangguan kognitif (penampilan/aktifitas, perhatian dan motivasi

yang buruk/menurun; berkurangnya konsentrasi dan kapasitas intelektual

dan meningkatnya kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja atau

kecelakaan saat berkendara), dan efek gangguan psikologis.

Page 22: Acne

Tidur yang tidak adekuat mempengaruhi kemampuan berpikir,

kemampuan menghadapi stress, menjaga system imun yang sehat, dan

mengakibatkan stress tingkat sedang (WHO,2004).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengurangan durasi tidur

memiliki beberapa pengaruh yang cukup nyata, yaitu: peningkatan

sitokin proinflamasi IL-6 dan/atau TNFα, dan penuruan konsentrasi

kortisol pada pagi hari dan meningkat pada malam hari

(Vgontzas,2004). Dan pada penelitian Gottlieb dkk (2005), pengurangan

waktu tidur juga berpengaruh pada meningkatnya kemungkinan untuk

menderita diabetes mellitus (DM) dan juga impaired glucose tolerance

(IGT).

C. Keseimbangan Energi, Makanan Cepat Saji, Glykemic Index dan

Glykemic Load

1. Keseimbangan Energi

Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang

pertumbuhan, dan melakukan aktivitas fisik. Energi diperoleh dari

karbohidrat, lemak dan protein yang ada di dalam makanan. Kandungan

karbohidrat, lemak dan protein suatu makanan menentukan nilai energinya.

Kebutuhan energi seorang sehari-hari ditaksir dari kebutuhan energi

untuk komponen-komponen sebagai berikut:

a. Angka metabolism basal/AMB (kebutuhan sedang istirahat).

b. Aktivitas fisik

Page 23: Acne

c. Pengaruh dinamik khusus makanan/SDA (dapat diabaikan).

Jadi, taksiran kebutuhan energi sehari seorang mahasiswa, berumur 20

tahun dengan berat badan 65 Kg dan aktivitas ringan adalah sebagai berikut:

a. Kebutuhan energi untuk angka metabolism basal adalah (15,3 x 65) + 679

= 1674 kkal (lihat lampiran 4)

b. Kebutuhan energi total dengan aktivitas fisik adalah 1,56 x 1674 = 2611

kkal

Jadi taksiran kebutuhan energi seharinya adalah sebanyak 2611 kkal.

2. Makanan Cepat Saji

Makanan cepat saji adalah makanan olahan yang biasanya disajikan

dengan cepat. Makanan cepat saji umumnya mengandung kalori yang sangat

tinggi. Sebuah gelas ukuran regular 32 oz. minuman cola mengandung sekitar

425 kalori, coba bayangkan berapa kalori yang dikonsumsi untuk 1 paket

makanan cepat saji yang terdiri atas ayam goreng, nasi, dan cola, belum lagi

bila ditambah satu gelas ice cream atau kentang goreng. Berdasarkan USDA

(2005) 1 potong ayam goreng mengandung sekitar 515 Kkal, Cola 425 kkal,

nasi 216 kkal, ice cream 164 kkal dan kentang goreng 291 kkal. Sehingga

total kalori yang dikonsumsi untuk 1 porsi sekitar 1551 kkal. Apabila

seseorang sehari makan 3 kali, maka kalori yang dikonsumsi orang tersebut

sekitar 4653 kkal. Hal ini dapat meningkatkan hipersekresi insulin dalam

darah yang akan menyebabkan meningkatkanya androgen (USDA, 2005).

Page 24: Acne

3. Glykemic index dan Glykemic load

Glicemic index adalah nilai dari tiap jenis atau kaulitas karbohidrat

dalam suatu makanan dan seberapa cepat 50 gram karbohidrat dalam

makanan ini meningkatkan level gula darah (dan konsekuensi peningkatan

sekresi insulin yang diproduksi oleh pankreas) pada saat dicerna. Semakin

tinggi GI (glicemic index) suatu makan yang kita makan maka fluktuasi

level gula darah tubuh akan semakin tinggi begitu juga dengan level insulin

di dalam tubuh (Foster et al, 2003).

Level gula darah akan meningkat setelah kita memakan makanan

yang mengandung karbohidrat (gula dan zat tepung). Perbedaan kandungan

karbohidrat suatu makanan menetukan perbedaan peningkatan level gula

darah. Contohnya adalah white bread yang memiliki GI sebesar 70,

dibandingkan dengan makanan lain (Gambar 2.5).

Glykemic index dibedakan berdasarkan tingkatannya. Dikatakan GI

tinggi apabila nilainya 70-100; medium 50-70 dan rendah ≤ 50 (Rakel,

2008).

Semakin tinggi GI, semakin tinggi kadar glukosa di dalam darah,

dan akan semakin banyak insulin yang akan diproduksi untuk dapat

menyalurkan glukosa ke dalam sel. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan

yang sangat tinggi pada insulin, sehinga dapat terjadi inflamasi,

penambahan berat badan, peningkatan hormon, bahkan dapat menyebabkan

resistensi insulin.

Page 25: Acne

Glicemic Load adalah suatu tingkat yang menyatakan kandungan

karbohidrat di dalam suatu makanan didasarkan pada Glicemic index dan

nilai karbohidrat. Glicelic load mengindikasikan seberapa cepat suatu porsi

standard dari suatu jenis makanan untuk meningkatkan kadar gula darah,

dan hal ini memberi indikasi dari glicemic dan respon insulin. Rumus: GL =

(GI x Jumlah karbohidrat)/100. Misalnya GI ayam goreng adalah 63, Ayam

goreng mengandung sekitar 52 gram karbohidrat tiap 100 gram. Jadi untuk

menghitung GL untuk standart pemberian 50 g, 63 dibagi 100 (0.63)

kemudian dikalikan dengan 26,. GL untuk ayam goreng adalah 16,3.

D. Hubungan Tidur dan makanan dengan Kejadian Akne Vulgaris

Ada berbagai efek yang terjadi akibat pengurangan waktu tidur.Beberapa

diantaranya kemungkinan berpengaruh terhadap pathogenesis akne vulgaris.

Halhal yang kemungkinan berpengaruh ini antara lain: meningkatnya level

stress,meningkatnya kadar ghrelin yang disertai penurunan leptin dalam plasma

pada malam hari, menurunnya kadar kortisol pada pagi hari lalu meningkat pada

malam hari, peningkatan sitokin proinflamasi IL-6 dan/atau TNFα sirkulasi,

dan meningkatnya kemungkinan menderita IGT dan DM.

Stress berhubungan dengan meningkatnya kerja kelenjar sebasea, baik

secara langsung ataupun melalui rangsangan terhadap kelenjar hipofisis

(Wasitaatmadja,2008). Peningkatan produksi sebum berhubungan dengan

peningkatan asam lemak bebas yang bersifat komedogenik yangn merupakan

salah satu dasar pathogenesis akne (Zaenglein,2008). Jadi secara tidak langsung

Page 26: Acne

kita dapat menyimpulkan kurangnya durasi tidur atau kehilangan waktu tidur

berperan terhadap timbulnya akne.

Meningkatnya kadar ghrelin serta menurunnya kadar leptin dalam plasma

pada malam hari memiliki pengaruh untuk seseorang mengkonsumsi lebih banyak

makanan pada malam hari. Dan ini bisa mengakibatkan keadaan hiperinsulinemia

akibat diet berlebihan. Dan kondisi hiperinsulinemia ini mengakibatkan

meningkatnya kadarinsulinlike growth factor-1 (IGF-1) dan menurunnya

insulinlike growth factor binding protein 3 (IGFBP-3). ). Kenaikan IGF-1

memiliki potensi yang tinggi untuk pertumbuhan semua jaringan, termasuk folikel

yang kemudian dapat menimbulkan akne.Insulin dan IGF-1 menstimulasi sintesis

androgen pada jaringan testis dan ovarium. Lebih lanjut, insulin dab IGF-1

menginhibisi sintesis sex hormone binding protein (SHBP) di hepar sehingga

bioavailability androgen meningkat (Cordain,2002).

Glukortikoid kortisol sering disebut stress hormone memiliki efek

metabolism (glukoneogenesis), meningkatkan resistensi terhadap stress dengan

memberikan energy melalui glukoneogenesis, mengatur kadar sel darah merah

dalam plasma dan mendistribusi eosinofil, basofil, monosit, limfosit ke jaringan

limfoid sehingga berkurang di sirkulasi dan dan meningkatkan kadar Hb, eritrosit,

trombosit dan leukosit, memiliki efek anti inflamasi dan mempengaruhi sistem

mekanisme umpan balik. Sehingga bila kadar kortisol rendah pada pagi hari,

maka kemampuan menangani stress akan berkurang, energy berkurang akibat

berkurangnya glukoneogenesis, dan inflamasi akan lebih mudah terjadi akibat

Page 27: Acne

tingginya eosinofil, basofil, monosit, limfosit dalam plasma. Hal-hal tersebut

kemungkinan akan mempermudah terjadinya akne.

Peningkatan sitokin proinflamasi, khususnya TNFα, kemungkinan

berhubungan dengan kejadian akne melalui efek inflamasi yang ditimbulkan. Dan

pada penderita akne ditemukan peningkatan sekresi TNFα seperti pada

uraian pathogenesis akne sebelumnya.

Makanan sendiri tidak dapat secara langsung menyebabkan akne. Setelah

diteliti ternyata terdapat faktor hormon yang memicu timbulnya akne vulgaris

yaitu androgen, insulin like growth factor, insulin like growth factor binding

protein 3 dan retinoid signaling pathway. Hormon androgen selain berperan besar

dalam memicu timbulnya hiperproliferasi folikular keratinosit, juga mempunyai

pengaruh yang besar terhadap aktivitas sel sebosit dalam memproduksi sebum.

Androgen yang terpenting dalam stimulasi produksi sebum adalah testosteron

yang akan diubah menjadi bentuk aktifnya oleh perantaraan enzim type I-5α

reductase menjadi 5α – DHT. Hal inilah yang memicu timbulnya akne pada masa

pubertas, dimana sudah umum diketahui bahwa pada usia pubertas terjadi

peningkatan yang signifikan dari hormon androgen. Dengan demikian,

peningkatan sebum dapat ditingkatkan apabila terjadi peningkatan dari androgen,

peningkatan sensitivitas reseptor sel sebosit terhadap 5α-DHT atau akibat

peningkatan dari enzim type I-5α reductase (Cordain L, Lindeberg S, Hurtado M,

Hill K, Eaton B, Brand-Miller B, 2002; Jappe, 2003).

Hasilnya studi terbaru dari American Journal of Clinical Nutrison pada Juli

2007 melihat pengaruh faktor diet atau nutrisi khususnya pada sisi glycemic load

Page 28: Acne

(GL) dalam menyebabkan jerawat. Glycemic index (GI) merupakan suatu sistem

peringkat untuk menilai seberapa cepat glukosa atau gula dari suatu jenis makanan

memasuki aliran darah, atau dapat dikatakan seberapa cepat karbohidrat dalam

makanan dapat meningkatkan kadar gula darah.

Berbeda dengan GI, GL tidak hanya menilai seberapa cepat glukosa dari

makanan memasuki peredarah darah, tetapi juga menilai seberapa banyak glukosa

yang terkandung dari makanan tersebut sehingga GL lebih menilai secara

keseluruhan. GL dinyatakan sebagai peringkat standar saji dari suatu makanan

untuk dapat meningkatkan kadar gula darah. Makin rendah GL, makain kecil

kemampuan makanan yang disajikan memicu peningkatan gula darah secara

berlebihan (Smith, R N, Mann N J, Braue A, Makelainen H, Varigos G A, 2007).

Makanan dengan Glycemic Load yang tinggi meningkatkan kadar gula

dalam darah sehingga terjadi suatu kondisi hiperinsulinemia. Kondisi ini akan

meningkatkan kadar IGF 1 (insulinlike growth factor) yang merangsang

terjadinya jerawat lewat peningkatan proses keratinisasi pada folikel polisebasea

dan stimulasi pada ovarium dan testikular untuk memproduksi hormon androgen

yang mengakibatkan produksi minyak atau sebum. Selain itu hiperinsulinemia

akan menyebabkan meningkatknya kadar non stratified fatty acid di dalam plasma

yang akan meningkatkan epidermal growth factor receptor. Bersamaan dengan ini

insulin akan meningkatkan transforming growth factor

β1 yang mana akan menghambat sintesis insulin growth factor binding

protein 3 di keratinosit, dimana IGFBP 3 merupakan inhibitor dari IGF 1,

sehingga tidak terjadi hiperkeratinisasi. Retinoid signaling pathway juga mungkin

Page 29: Acne

berperan dalam hal ini. Retinoid merupakan penghambat proliferasi dari sel dan

bertugas untuk mengadakan apoptosis pada sel. Ada 2 bentuk dari retinoid di

dalam tubuh yaitu trans retinoid dan 9 cis retinoid acid yang mempunyai 2

reseptor RAR-RXR yang berperan untuk transkripsi dan RXR-RXR yang

berperan untuk membatasi proliferasi dari hampir seluruh sel tubuh. Di kulit

sendiri, terdapat RXRα yang berperan untuk membatasi proliferasi sel folikular,

akan tetapi terjadi penurunan sensitifitas pada sistem ini akibat penurunan dari

kadar plasma IGFBP 3. Peningkatan insulin dan IGF 1 juga diketahui akan

menhambat hati mensisntesis sex hormone binding globulin (SHBG) sehingga

bioavaibilitas androgen terhadap jaringan akan meningkat drastis (Guyton A C,

Hall J E, 2007).

Page 30: Acne

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Gambar 3.1 Kerangka hubungan tidur dana makanan siap saji dengan timbulnya

akne vulgaris

Variabel independen pada penelitian ini adalah tidur yang kurang dari tujuh

jam perhari serta makanan siap saji, sedangkan variabel dependen adalah kejadian

akne vulgaris.

B. Hipotesis

Ada hubungan antara kurangnya kualitas dan kuantitas tidur dengan

timbulnya akne vulgaris.

Tidur yang kurang dan makanan siap saji

AkneVulgaris

Page 31: Acne

DAFTAR PUSTAKA

Eun Do, E., et al, Psychosocial Aspects of Acne Vulgaris: A Community-based Study with Korean Adolescents, The Korean Society for Investigative Dermatology, PubMed, 2008.

Goklas, Hubungan Kualitas Dan Kuantitas Tidur Terhadap Timbulnya Akne Vulgaris Pada Dokter Muda Di RSUP H. Adam Malik, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, 2011.

Harper, J.C., and Fulton, J.J., Acne Vulgaris, eMedicine Dermatology, 2008.

Hastings, M., The Brain, Circardian Rhythms, and Clock Genes, British Medical Journal, 2005; Vol.317:1704-7.

Kubota, Y., Shirahige, Y., Nakai, K., Katsuura, J., Moriue, T., and Yoneda, K., Community-Based Epidemiological Study of Psychosocial Effects of Acne in Japanese Adolescents, Japanese Journal of Dermatology, 2010;Vol.37:617–622.

Tan, H.H., Tan, A., Barkham, T., Yan, X.Y. and Zhu, M., CommunityBased Study of Acne Vulgaris in Adolescents in Singapore, British Journal of Dermatology, 2007;Vol.157:547-551.

Tjekyan, R.M.S., Kejadian dan Faktor Resiko Akne Vulgaris, Jurnal Kedokteran Media Medika Indonesia, 2008;Vol.43, No.1:37-43.

Vgontzas, A.N., et al., Adverse Effects of Modest Sleep Restriction on Sleepiness, Performance, and Inflammatory Cytokines, The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, 2004;Vol.89: 2119-2126.

_________________, Circardian Interleukin-6 Secretion and Quantity and Depth of Sleep, Sleep Research and Treatment Center, 2006.

Wasiso, S.S., Perbandingan Antara Pemakaian Bedak Tabur dan Bedak Padat dengan Timbulnya Acne Vulgaris pada Karyawati Toko Luwes Gading Surakarta, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2010.

Cordain L, Lindeberg S, Hurtado M, Hill K, Eaton B, Brand - Miller B. Acne vulgaris - a disease of Western civilization. Arch Dermatol. 2002; 138 : 1584-90.

Smith, R. N., Mann, N. J., Braue, A., Mäkeläinen, H., dan Varigos, G. A. 2007. The Effect of A High-Protein, Low Glycemic-Load Diet Versus A Conventional, High Glycemic-Load Diet on Biochemical Parameters

Page 32: Acne

Associated With Acne Vulgaris: A Randomized, Investigator-Masked, Controlled Trial. Journal of The American Academy of Dermatology 57 (2): 247-256.

Wasitaatmadja SM. Akne, erupsi akneiformis, rosasea, rinofima. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. h.253-63

Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss JS. Acne Vulgaris and Acneiform Eruptions. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2008. h. 897-917.

Fulton, J., 2009. Acne Vulgaris. eMedicine Articles. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/1069804 (Accesed: September 9. 2015)

Webster, G.F. 2002. Acne Vulgaris. BMJ/Vol 325:425-9

Odom, R.B. 2000. ADREW’S Diseases of Skin Clinical Dermatology. 9 th ed. USA: W.B. Saunders Company.

Feldman, S., Careccia, R., Barham, K. & Hancox, J. 2004 Diagnosis and Treatment of Acne. Am Fam Physician. 69: 2123-30.

Hafez, K.A., Mahran, A.M., Mahran, A.M., Hofny, E.R.M., Mohamed, K.A., Darweesh, A.m., and Aal, A.A. 2009. The Impact of acne vulgaris on the quality of life and psycologic status from upper Egypt. Internasional Journal of Dermatology/Vol 48: 280-285

James, W.D. 2005. Acne. N Engl J Med/Vol 352:14

WHO Regional Office for Europe. 2004. WHO technical meeting on sleep and health

Japardi, Iskandar. 2002. Gangguan Tidur. USU Digital Library

Medscape Family Medicine, 2005. The Normal Duration of Daily Sleep for Different Age Groups. Available from: http://cme.medscape.com/viewarticle/511229 [Accessed: September 9, 2015]

Adam R.D., Victor M., Ropper A.H. 2005. Principles of Neurology.8thed. McGraw Hill. New York.

Page 33: Acne

Gottlieb, D.J., Punjabi, N.M., Newman, A.B., Resnick, H.E., Redline, S., Baldwin, C.M., et al. 2005. Association of Sleep Time With Diabetes Mellitus and Impaired Glucose Tolerance. Arch Intern Med

Foster GD, Wyatt HR, Hill JO, McGuckin BG, Brill C, Mohammed BS, et al (2003). A randomized trial of a lowcarbohydrate diet for obesity. N Engl J Med 348, 2082-2090

Rakel. 2008. University of Winconsin Hospital and Clinics: Glykemic Index. Available from: http://mendosa.com/gilists.htm [Accesed 9 September 2015]

Jappe,U. 2003. Pathological Mechanisms of Acne with Special Emphasis on Propinobbacterium Acnes and Related Therapy. Acta Derm Venereol 83. 241-248

Guyton A C, Hall J E. 2007. Metabolisme Karbohidrat dan Pembentukan Adenosin Trifosfat. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. 11. Jakarta: EGC, 871-874.

USDA. 2005. Nutrition Facts and Analysis for Rice. Diakses 9 September 2015, dari United States Departement of Agriculture : http://www.usda.gov