abu dan ari sut document

11
Mahasiswa sebagai Agen Perubahan (Agent of Change) 20 September 2014 12:24:20 Dibaca : 681 Komentar : 0 Rating : 0 Mahasiswa, satu kata yang menarik dari gabungan kata tersebut adalah kata "Maha" yang artinya besar. Jika diartikan secara keseluruhan, berarti seorang pelajar yang sudah besar, baik besar pemikirannya maupun besar tekadnya untuk memanfaatkan ilmunya agar berguna untuk seluruh umat di mnuka bumi ini. Nah, untuk menjalankan peran sebagai seorang mahasiswa tidaklah mudah. Mereka harus rela menyisihkan waktu luang dan waktu bermain mereka karena metode pembelajaran yang sudah tidak sama lagi dengan siswa pada umumnya. Kalau seorang siswa diberi nasi dan disuruh untuk memakannya, maka beda halnya dengan seorang mahasiswa. Seorang mahasiswa hanya diberi padi dan beras, lalu disuruh memikirkan suatu cara dan alternatif agar beras tersebut bisa dimakan, begitulah analoginya. Dengan membaca judul diatas, tentu para pembaca sudah tahu secara garis besar tentang peranan terpenting dari seorang mahasiswa. Ya, betul sekali, tugas yang harus diemban oleh setiap masing masing mahasiswa adalah sebagai agent of change. sebagai agen pembawa perubahan yang signifikan bagi dunia. Tentu saja perubahan yang bersifat konstruktif dan penuh makna. Karene pada dasarnya, mahasiswa adalah kaum terpelajar yang lebih tahu seluk beluk dunia, tidak mudah terprovokasi, dan pandai mencari segala alternatif untuk kemudian dilakukan solusinya. Dalam dunia yang memang sudah mulai gonjang-ganjing ini, siapa lagi yang akan memegang fungsi kontrol dunia kalau bukan kalangan mahasiswa? Kepada siapa lagi kita akan percayakan tugas pengubah negeri kalau bukan kepada kaum muda terpelajar?. Memang, ilmu itu diatas segalanya. masih ingat bukan tentang cerita Nabi Sulaiman yang lebih memilih ilmu daripada harta dan pangkat?. Hanya orang orang punya ilmu--

Upload: sayabisa

Post on 12-Feb-2016

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

uhuiu

TRANSCRIPT

Page 1: Abu Dan Ari Sut Document

Mahasiswa sebagai Agen Perubahan (Agent of Change)20 September 2014 12:24:20 Dibaca : 681 Komentar : 0 Rating : 0

Mahasiswa, satu kata yang menarik dari gabungan kata tersebut adalah kata "Maha" yang artinya besar. Jika diartikan secara keseluruhan, berarti seorang pelajar yang sudah besar, baik besar pemikirannya maupun besar tekadnya untuk memanfaatkan ilmunya agar berguna untuk seluruh umat di mnuka bumi ini. Nah, untuk menjalankan peran sebagai seorang mahasiswa tidaklah mudah. Mereka harus rela menyisihkan waktu luang dan waktu bermain mereka karena metode pembelajaran yang sudah tidak sama lagi dengan siswa pada umumnya. Kalau seorang siswa diberi nasi dan disuruh untuk memakannya, maka beda halnya dengan seorang mahasiswa. Seorang mahasiswa hanya diberi padi dan beras, lalu disuruh memikirkan suatu cara dan alternatif agar beras tersebut bisa dimakan, begitulah analoginya.

Dengan membaca judul diatas, tentu para pembaca sudah tahu secara garis besar tentang peranan terpenting dari seorang mahasiswa. Ya, betul sekali, tugas yang harus diemban oleh setiap masing masing mahasiswa adalah sebagai agent of change. sebagai agen pembawa perubahan yang signifikan bagi dunia. Tentu saja perubahan yang bersifat konstruktif dan penuh makna. Karene pada dasarnya, mahasiswa adalah kaum terpelajar yang lebih tahu seluk beluk dunia, tidak mudah terprovokasi, dan pandai mencari segala alternatif untuk kemudian dilakukan solusinya.

Dalam dunia yang memang sudah mulai gonjang-ganjing ini, siapa lagi yang akan memegang fungsi kontrol dunia kalau bukan kalangan mahasiswa? Kepada siapa lagi kita akan percayakan tugas pengubah negeri kalau bukan kepada kaum muda terpelajar?. Memang, ilmu itu diatas segalanya. masih ingat bukan tentang cerita Nabi Sulaiman yang lebih memilih ilmu daripada harta dan pangkat?. Hanya orang orang punya ilmu--dalam hal ini mahasiswa--lah yang mampu menanggapi paradigma dunia dengan sikap yang kritis namun tentu saja solutif.

Mari, kita dukung dan terus tingkatkan pendidikan di negeri kita ini. Mari kita ciptakan lagi para reformator-reformator dan jiwa founding father dalam jiwa para mahasiswa. Dan, jika kita sendiri adalah seorang mahasiswa, jangan jadikan nama kita sebagai suatu status tanpa arti belaka. Jadikan tempat belajar saat ini sebagai tambang yang wajib kita kuras habis segala ilmu dan pengalamannya. Ingat! Bukan seorang dosen yang mengubah jiwa mahasiswa, melainkan berasal dari dirinya sendiri. Dan ketika mahasiswa tersebut mampu mengenali jati dirinya, maka ia layak untuk menyandang tugas sebagai Agent of Change. Agen perubahan bagi bangsa dan negara.

Page 2: Abu Dan Ari Sut Document

The lessons learned in sustainability at UBC are only as valuable as the ability to apply those lessons in the larger world.

As an agent of change, the University aspires to teach future sustainability leaders, conduct important research and ensure that the University's private, public and NGO partners take the outcomes of our inquiries in to the marketplace.  All of this is done with the view that, by working together, we are capable of contributing solutions to society's sustainability challenges.

As a university, UBC is mandated with educating the next generation of leaders.  To support students in reaching their potential, UBC has established sustainability "pathways" that allow students, regardless of their disciplines, to integrate sustainability into their studies.The hope is that these future leaders will take what they have learned in the classroom beyond the gates of campus and effect positive change.

UBC offers more than 480 sustainability courses and 30 programs that range in scope from the highly specialized to the multidisciplinary.   A number of non-credit options are also available such as UBC Reads Sustainability events with authors, volunteer opportunities at the UBC Farm, participation in the SEEDS Program, and the CityStudio that brings students and faculty from Vancouver’s six post secondary institutions to work with the City of Vancouver.

Partners are key to the University's efforts because partners can do what the University cannot. Private sector partners can commercialize and take to market technologies and innovations developed on campus. Public sector partners can work with UBC to develop policies and regulations and then share these changes with other communities. NGO partners can help with social licence and community engagement efforts beyond the University gates.  Partners also contribute expertise, human capital and resources to projects that might not otherwise be available to the University.

Crime and Social Control as Fields of Qualitative Research in the Social SciencesGabi Löschper

Page 3: Abu Dan Ari Sut Document

Abstract

Crime and social control are fields of qualitative research in the social sciences, where behavior is not inherently deviant or criminal, but rather, deviance is a matter of interpretation and judgment. "Crime" is constructed and negotiated in social discourses and processes of social interaction in and with institutions of social control. Therefore only qualitative inquiries of "crime" make sense. This paper reports examples of qualitative studies (from ethnography, hermeneutical sociology of knowledge, ethnomethodology/conversation analysis, discourse analysis and narrative analysis) especially of deviant subcultures, reporting conflicts to the police, police inquiries and interrogations and criminal court procedures.URN: urn:nbn:de:0114-fqs000195

Keywords

crime as social construction; 'Verstehen'; second code of the criminal justice system; ethnography; ethnomethodology; discourse analysis; narrative analysis

Full Text:HTML (Deutsch) PDF (Deutsch) HTML PDF

Copyright (c) 2000 Gabi Löschper

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 Internat

Mahasiswa Sebagai Agen Kontrol Sosial Kontribusi mahasiswa dipentas perjuangan bangsa pada setiap lintasan sejarah hampir selalu menorehkan tinta emas. Peran mereka melepaskan Republik ini dari cengkraman penjajah

Page 4: Abu Dan Ari Sut Document

asing 1945, menumbangnya rezim Soekarno 1966, serta jatuhnya kepemimpinan otoriter Soeharto 21 Mei 1998 telah menjadi saksi dan fakta sejarah bahwa mahasiswa negeri ini senatiasa konsisten dalam melakukan perubahan. Rekaman sejarah gerakan mahasiswa dengan warna heroiknya menjadi cermin ketulusan mereka yang selalu berpijak pada kerangka moral, bukan kerangka-kerangka lain yang bernuansakan kepentingan-kepentingan sesat.

Sejarah pun membuktikan bahwa posisi ideal mahasiswa akan selalu bersentuhan dengan setiap detak jantung masyarakat yang ada di sekelilingnya. Hal tersebut bisa diketahui dari maraknya aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa, sehingga suara-suara mereka semakin nyaring terdengar dan berhasil mentranformasikan gerakannya dalam kerangka student movement ke social movement[1]. Mereka akan selalu menjadi pendobrak ketika telah terjadi kezaliman dan ketidakadilan. Begitu juga, mereka akan selalu menjadi kalangan pemberani, kritis, sedikit nakal dan urakan atau bahkan menjadi pemberang ketika di depan matanya terjadi pemerkosaan nilai-nilai kemanusiaan seorang individu atau segolongan masyarakat. Sikap yang diperlihatkan mahasiswa bagi Mochtar Lubis merupakan gambaran bahwa suara hati nurani mahasiswa memang berkumandang dalam hati rakyat (masyarakat)[2]. Dengan mengambil sikap yang demikian gerakan mahasiswa berhasil membangun opini strategis dan menjadi milik masyarakat luas yang mendambakan terciptanya reformasi dan juga suksesi di Indonesia. 

Melihat sikapnya yang menonjol inilah mahasiswa tak pernah lepas dari sorotan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Idiom-idiom agent of change, agent of social control, dan agent moral force, adalah sebagian gelar yang disandangkan masyarakat kepada mahasiswa yang telah membuktikan eksistensinya sebagai pejuang reformasi[3]. Pemberian gelar-gelar tersebut kepada mahasiswa rasa-rasanya bukanlah sesuatu yang berlebihan, karena pada kenyataannya mereka mampu mengharumkan dan menghiasi suka dan duka perjuangan bangsa Indonesia.

Beberapa gelar yang melekat pada mahasiswa memang tidak dapat dipisahkan, terlebih perannya sebagai agent of sosial control. Mahasiswa sebagai agen kontrol sosial diibaratkan seperti sebuah lonceng besar yang setiap waktu dapat berbunyi dengan sangat keras untuk mengingatkan dan menyadarkan pihak lain ketika mereka sedang lupa diri. Mereka harus terus memantau setiap proses perubahan yang sedang berjalan, agar arah dan tujuan perubahan yang dicita-citakan tidak melenceng dari tujuan awal.Dalam posisinya sebagai agen kontrol sosial, mahasiswa harus bertindak objektif, logis, rasional, dan proporsional agar dapat melakukan justifikasi obyektif terhadap setiap persoalan yang terjadi. Dengan mengambil posisi penengah/pengontrol situasi dan keinginan masyarakat, aktivitas mahasiswa dilihat pula sebagai salah satu ukuran kepuasan masyarakat[4].

Mahasiswa yang mengambil posisi kontrol sosial tentu saja harus mempunyai konsensus bersama mengenai format Indonesia masa depan untuk kemudian menggiring ke arah tersebut. Format ini akan menjadi semacam visi besar mahasiswa yang harus ditegaskan kepada seluruh pelaku politik. Dalam mainframe inilah mahasiswa bisa menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosialnya dengan menggunakan mass power dan institusional power yang dimilikinya[5].  

Page 5: Abu Dan Ari Sut Document

Kontrol sosial yang dilakukan yakni berkaitan dengan segala hal yang terjadi di negeri Indonesia, terutama yang berhubungan tentang tindakan-tindakan/kebijakan-kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan negara.  

Belakangan hubungan mahasiswa sebagai agen kontrol sosial dengan  pemerintah telah menemukan suatu bentuk yang ideal. Menurut pengamat sosial-politik Adhie M. Massardi mengatakan bahwa mahasiswa diumpamakan sebagai angin dan pemerintah sebagai pohon[6]. Analogi ini mengilustrasikan bahwa ketika sebuah pohon terdapat ranting-ranting dan daun-daun kering yang sudah tidak mempunyai fungsi stategis, maka angin akan membersihkannya. Angin secara aktif juga membantu menebarkan serbuk-serbuk bunga yang ada pada pohon agar dapat memberikan manfaat bagi unsur yang ada di bawahnya (rakyat).

Fungsi kontrol sosial dilakukan terhadap kinerja pemerintah beserta aparatur negara lainnya menjadi sangat penting dilakukan oleh mahasiswa agar tercipta suatu tatanan pemerintahan yang bersih dan terkontrol dengan baik oleh masyarakat[7]. Bagi mahasiswa fungsi kontrol yang ada di lembaga legislatif tidak berjalan secara maksimal dalam melakukan kontrol terhadap lembaga eksekutif sebagai penyelenggara negara yang dituntut melakukan perbaikan-perbaikan terhadap negara yang tidak kunjung menghasilkan sesuatu seperti yang diharapkan oleh masyarakat.

Di sisi lain mahasiswa dituntut untuk mampu menjelaskan kepada masyarakat tentang kebijakan pemerintah serta menggenjot kesadaran mereka agar mengerti dan memahami persoalan yang terjadi[8]. Bentuk pemberian penjelasan tersebut sebagai salah satu langkah konkret yang dilakukan mahasiswa dalam menumbuhkan sikap kritis kepada masyarakat, sehingga mereka dapat memahami dan bertindak atas permasalahan yang dihadapi.

Aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa sebagai bentuk kontrol sosial kepada pemerintah mulai dipahami oleh masyarakat. Mereka mengangap mahasiswa mampu menjadi lokomotif bagi kesadaran semua pihak. Walaupun terkadang tindakan/aksi yang dipertontonkan terlihat tidak sopan, tapi nyatanya cukup ampuh menciptakan perubahan besar dalam tatanan demokrasi di Indonesia.

Sebagai seseorang yang dicap mempunyai intelektualitas yang baik, seharusnya mahasiswa mampu berpikir dan menciptakan hal yang baru[9]. Ini sangat dibutuhkan mengingat fungsinya sebagai agen kontrol sosial yang begitu penting. Cara yang bisa ditempuh yakni dengan melakukan dialog atau diskusi ketika menyikapi apa yang dianggap menjadi pekerjaan rumah suatu bangsa. Dialog atau diskusi tersebut merupakan pengembalian basis mahasiswa sebagai gerakan pemikir yang menghasilkan perubahan-perubahan ke arah perbaikan bukan sebaliknya. Dengan cara yang demikian fungsi kontrol sosial akan terlihat lebih baik, tidak hanya itu mahasiswa mampu menghimpun seluruh komponen bangsa dan segenap kekuatan reformasi pada derap langkah yang sama. 

Social control is the study of the mechanisms, in the form of patterns of pressure, through which society maintains social order and cohesion. These mechanisms establish and enforce a standard of behavior for members of a society and include a variety of components, such as shame, coercion,

Page 6: Abu Dan Ari Sut Document

force, restraint, and persuasion. Social control is exercised through individuals and institutions, ranging from the family, to peers, and to organizations such as the state, religious organizations, schools, and the workplace. Regardless of its source, the goal of social control is to maintain conformity to established norms and rules. Social control is typically employed by group members in response to anyone it considers deviant, problematic, threatening, or undesirable, with the goal of ensuring conformity. It is a broad subfield of sociology that involves criminologists, political sociologists, and those interested in the sociology of law and punishment, as well as scholars from a variety of disciplines, including philosophy, anthropology, political science, economics, and law. The subfield includes both macro and micro components. Those concerned with macro forces of social control have focused primarily on the goals and effectiveness of the formal mechanisms, such as the police, law, and punishment, employed to maintain order. Scholars interested in the macro aspects tend to examine questions related to the role that elites, the state, and other political and religious institutions have on establishing the norms and rules that people are governed by. Researchers focusing on the micro, on the other hand, tend to be more focused on the role that socialization and peer influence have on placing limits on human action. The origins of the discussions of social control can be traced back to the writings of such social philosophers as John Locke, Thomas Hobbes, and Jean-Jacques Rousseau, as well as classic social theorists such as Karl Marx, Emile Durkheim, and Max Weber, among others. Today, social-control researchers continue to design and refine our understanding of social order and how it is maintained as well as the conditions under which it fails to do so.

Generasi Muda yang ProgresifGenerasi muda memiliki kecenderungan untuk bersikap antusias dalam menghadapi berbagai isu, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari. Selain itu, idealisme yang terkandung dalam jiwa dan pikiran generasi muda memungkinkan generasi muda untuk memainkan peranan penting dalam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Karena sifatnya ini, generasi muda menjadi kelompok yang potensial untuk mendukung pembangunan.

Dengan demikian, generasi muda perlu dilibatkan dalam setiap perencanaan pembangunan, sehingga pelayanan dapat lebih disesuaikan dengan sasaran yang ingin dicapai. Namun

Page 7: Abu Dan Ari Sut Document

demikian, progresifitas generasi muda tidak hanya penting dalam kerangka pemberdayaan generasi muda, tapi juga memberikan kontribusi bagi penyiapan generasi selanjutnya, serta regenerasi kepemimpinan di masa mendatang.

Generasi muda yang progresif di sisi lain di tandai dengan generasi muda yang mau untuk berfikir diluar “pakem” yang telah membudaya (think out the box), guna “menciptakan” atau sekedar eksplorasi guna menemukan hal-hal baru yang berguna bagi kehidupan umat manusia. Dengan kata lain, generasi muda yang progresif adalah generasi muda yang mampu dan dapat berfikir kritis dalam menghadapi realitas sosial politik yang sedang terjadi.

Peran generasi muda juga menjadi penting bagi masa depan daerah-daerah yang pernah, misalnya, mengalami konflik. Sifat menghargai dan keterbukaan terhadap berbagai ide dan budaya dapat menjembatani beragam etnis, ras, kelompok-kelompok sosial dan politik. Dengan memanfaatkan potensi ini, diharapkan ada sebuah peluang untuk menciptakan masa depan yang lebih damai bagi generasi berikutnya.

Dalam kaitannya dengan progresifitas generasi muda, peran generasi muda seyogyanya didorong melalui 5 (lima) strategi berikut, yaitu:

Pertama, mendorong pelibatan generasi muda dalam proses pengambilan keputusan:Generasi muda hendaknya ditempatkan dan berusaha menempatkan diri dalam posisi strategis agar aspirasinya didengar khususnya dalam pembuatan kebijakan yang secara langsung terkait dengan kebutuhannya. Generasi muda perlu diberi ruang untuk mengekspresikan pandangan mereka dan berkontribusi bagi pembuatan kebijakan-kebijakan yang secara tidak langsung terkait dengan masalah kepemudaan.Kedua, mengembangkan kemampuan kewirausahaan:Semangat kewirausahaan (enterpreunerships) dapat mendorong generasi muda untuk mampu bertahan manakala memasuki dunia usaha. Secara tidak langsung, upaya ini dapat membantu meminimalkan tingkat pengangguran bagi daerah dan terutama sekali bagi bangsa.Ketiga, memaksimalkan peran generasi muda dalam mengatasi hambatan-hambatan budaya, etnis, dan ras:Melalui komunikasi antargenerasi dari beragam latarbelakang budaya, etnis, dan ras, generasi muda dapat membangun jaringan (networking) untuk saling tukar-menukar informasi dan kerjasama antarbudaya. Pengenalan budaya ini dapat membantu terwujudnya saling pengertian antar generasi muda.Keempat, memberdayakan generasi muda dalam pembangunan:Generasi muda merupakan salah satu unsur penting yang menunjang pelaksanaan pembangunan sehingga perlu ada upaya pemberdayaan yang terencana dan komprehensif untuk memaksimalkan kemampuan generasi muda.Kelima, menempatkan generasi muda sebagai visi pembangunan:Karena generasi muda merupakan aktor penting sekaligus penerima manfaat dari pelaksanaan pembangunan, maka perlu ada upaya untuk merancang pelibatan generasi muda dalam sasaran dan penyusunan program-program pembangunan. Secara demikian, progresifitas generasi muda akan kentara secara nyata.

Page 8: Abu Dan Ari Sut Document