abstrak - universitas udayana · 2017. 9. 8. · mutilasi berdasarkan tinjauan sejarah dilakukan...

50
1 ABSTRAK Mutilasi berdasarkan tinjauan sejarah dilakukan beradasarkan dimensi ritual, keyakinan, dan adat istiadat. Dewasa ini mutilasi tidak hanya digunakan dalam suatu aspek kebudayaan dimana terdapat unsur-unsur dan nilai-nilai filosofis, tetapi mutilasi kini dipergunakan di dalam modus operandi kejahatan dengan tujuan mengelabui aparat penegak hukum, serta untuk menghilangkan jejak korban. Permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah (1) Apakah tindak pidana pembunuhan yang disertai mutilasi menjadi bagian dari hukum pidana positif di Indonesia? (2) Bagaimanakah sebaiknya pengaturan terhadap tindak pidana pembunuhan yang disertai mutilasi dalam hukum pidana Indonesia di masa mendatang? Sejalan dengan permasalahan diatas, maka metode penelitian hukum yang dipergunakan bersifat penelitian hukum normative. Hasil penelitian dalam penulisan tesis ini menunjukkan bahwa (1) Tindak pidana pembunuhan yang disertai mutilasi tidak termasuk dalam tindak pidana yang diatur dalam KUHP. (2) Pengaturan tindak pidana pembunuhan disertai mutilasi di masa mendatang diatur menjadi bagian tersendiri di dalam Rancanga Undang undang Kitab Undang undang Hukum Pidana atau dapat ditambahkan ke dalam rumusan pengaturan pada pasal tindak pidana pembunuhan. Kata Kunci : Pembunuhan Mutilasi, Tindak Pidana, Pembaharuan Hukum

Upload: others

Post on 26-Jan-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    ABSTRAK

    Mutilasi berdasarkan tinjauan sejarah dilakukan beradasarkan dimensi ritual,

    keyakinan, dan adat istiadat. Dewasa ini mutilasi tidak hanya digunakan dalam suatu

    aspek kebudayaan dimana terdapat unsur-unsur dan nilai-nilai filosofis, tetapi mutilasi

    kini dipergunakan di dalam modus operandi kejahatan dengan tujuan mengelabui aparat

    penegak hukum, serta untuk menghilangkan jejak korban.

    Permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah (1) Apakah tindak pidana

    pembunuhan yang disertai mutilasi menjadi bagian dari hukum pidana positif di

    Indonesia? (2) Bagaimanakah sebaiknya pengaturan terhadap tindak pidana

    pembunuhan yang disertai mutilasi dalam hukum pidana Indonesia di masa mendatang?

    Sejalan dengan permasalahan diatas, maka metode penelitian hukum yang

    dipergunakan bersifat penelitian hukum normative.

    Hasil penelitian dalam penulisan tesis ini menunjukkan bahwa (1) Tindak

    pidana pembunuhan yang disertai mutilasi tidak termasuk dalam tindak pidana

    yang diatur dalam KUHP. (2) Pengaturan tindak pidana pembunuhan disertai

    mutilasi di masa mendatang diatur menjadi bagian tersendiri di dalam Rancanga

    Undang – undang Kitab Undang – undang Hukum Pidana atau dapat ditambahkan

    ke dalam rumusan pengaturan pada pasal tindak pidana pembunuhan.

    Kata Kunci : Pembunuhan Mutilasi, Tindak Pidana, Pembaharuan Hukum

  • 2

    ABSTRACT

    Mutilation in history was originally performed by the dimensions of the rituals,

    beliefs, and customs. Today mutilation is not only used in a cultural aspect where there

    are philosophical elements and values, but mutilation is now used in the modus operandi

    of crime in order to deceive law enforcement officers, and to eliminate traces of the

    victims.

    The problems in this thesis are (1) Is the crime of murder with mutilation become

    part of positive criminal law in Indonesia? (2) What should be the legal procedure of

    murder crime with mutilation in Indonesian criminal law in the future? In line with the

    above problems, the legal research method used is research of normative law.

    The results of the research show that (1) The criminal act of murder with

    mutilation is not included in the criminal act as set forth in the Criminal Code. (2)

    Arrangements for future mutilation murder crimes should be regulated as separate parts

    of the Future Criminal Code or may be added to the regulatory formulation of the

    offending crime article.

    Keywords: Murder with Mutilation, The Criminal Act, Renewal of Criminal Law

  • 3

    DAFTAR ISI

    HALAMAN SAMPUL DALAM ................................................................ i

    HALAMAN PRASYARAT GELAR MAGISTER ...................................... ii

    LEMBAR PENGESAHAN ............................................... .......................... iii

    PENETAPAN PANITIA PENGUJI ........................ .................................... iv

    SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................. v

    UCAPAN TERIMA KASIH ................................................... ..................... vi

    ABSTRAK .................................................................................................... ix

    ABSTRACT .................................................................................................. . x

    RINGKASAN TESIS................................................................................... xi

    DAFTAR ISI ................................................................................................. xii

    BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

    1.1 Latar Belakang..................................................................... 1

    1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 11

    1.3 Ruang Lingkup Masalah...................................................... 11

    1.4 Tujuan Penelitian ................................................................. 12

    1.4.1 Tujuan Umum .......................................................... 12

    1.4.2 Tujuan Khusus ......................................................... 12

    1.5 Manfaat Penelitian ............................................................... 13

    1.5.1 Manfaat Teoritis....................................................... 13

    1.5.2 Manfaat Praktis ........................................................ 13

  • 4

    1.6 Orisinalitas Penelitian .......................................................... 13

    1.7 Landasan Teoritis ................................................................ 15

    1.7.1 Konsep Negara Hukum ........................................... 15

    1.7.2 Teori Pemidanaan .................................................... 24

    1.7.3 Teori Kriminalisasi ................................................. 28

    1.7.4 Teori Kebijakan Hukum Pidana .............................. 29

    1.7.5 Konsep Pembaharuan Hukum Pidana ..................... 32

    1.7.6 Teori Hukum Responsif ........................................... 34

    1.8 Metode Penelitian ................................................................ 36

    1.8.1 Jenis Penelitian ........................................................ 37

    1.8.2 Jenis Pendekatan ...................................................... 38

    1.8.3 Sumber Bahan Hukum ............................................. 39

    1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ....................... 41

    1.8.5 Teknik Analisis ........................................................ 41

    BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN,

    MUTILASI, KRIMINALISASI, DAN PEMBAHARUAN HUKUM

    PIDANA INDONESIA ................................................................. 43

    2.1 Tindak Pidana Pembunuhan ................................................ 43

    2.1.1 Pengertian Tentang Tindak Pidana Pembunuhan .... 43

    2.1.2 Pembagian Jenis Tindak Pidana Pembunuhan ........ 43

    2.1.3 Unsur-Unsur Tindak Pidana Pembunuhan .............. 47

    2.1.3.1 Unsur-Unsur Tindak Pidana Pembunuhan

    Dalam Bentuk Pokok ................................. 47

  • 5

    2.1.3.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana Pembunuhan

    Dengan Keadaan-Keadaan Yang

    Memberatkan ............................................. 48

    2.1.3.3 Unsur-Unsur Tindak Pidana Pembunuhan

    Dengan Direncanakan Terlebih Dahulu .... 50

    2.2 Mutilasi ................................................................................ 52

    2.3 Kriminalisasi........................................................................ 56

    2.4 Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia .............................. 64

    2.4.1 Konsep & Teori Pembaharuan Hukum Pidana

    Indonesia .................................................................. 64

    2.4.2 Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia .... 67

    BAB III TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DISERTAI MUTILASI

    DALAM HUKUM PIDANA POSITIF DI INDONESIA ............ 77

    3.1 Putusan Pengadilan Tentang Tindak Pidana Pembuhan Yang

    Disertai Mutilasi ................................................................ 77

    3.1.1 Kasus Very Idam Henyansyah alias Ryan Bin Ahmad

    (Putusan Nomor : 1036/Pid/B/2008/PN.DPK) ........ 79

    3.1.1.1 Kasus Posisi .............................................. 79

    3.1.1.2 Pertimbangan Hakim ................................. 83

    3.1.1.3 Putusan Hakim ........................................... 85

    3.1.1.4 Analisa Putusan Nomor : 1036/Pid/B/2008/

    PN. DPK .................................................... 86

  • 6

    3.1.2 Kasus Fikri (Putusan Nomor : 44/PID.B/2014/PN Srp) 89

    3.1.2.1 Kasus Posisi .............................................. 89

    3.1.2.2 Pertimbangan Hakim ................................. 92

    3.1.2.3 Putusan Hakim ........................................... 95

    3.1.2.4 Analisa Putusan Nomor : 44/PID.B/2014/

    PN Srp ....................................................... 95

    3.1.3 Kasus Pupun Bin Sanusi (Putusan Nomor :

    144/Pid.B/2014/PN.Cj.) ........................................... 100

    3.1.3.1 Kasus Posisi .............................................. 100

    3.1.3.2 Pertimbangan Hakim ................................. 102

    3.1.3.3 Putusan Hakim ........................................... 104

    3.1.3.4 Analisa Putusan Nomor : 144/Pid.B/2014/

    PN.Cj. ........................................................ 105

    3.1.4 Kasus Niman (Putusan Nomor : 220-K/PM.III-

    12/AD/XI/2010) ....................................................... 111

    3.1.4.1 Kasus Posisi .............................................. 111

    3.1.4.2 Pertimbangan Hakim ................................. 113

    3.1.4.3 Putusan Hakim ........................................... 115

    3.1.4.4 Analisa Putusan Nomor : 220-K/PM.III-

    12/AD/XI/2010 .......................................... 116

    3.1.5 Kasus Eko Sunarno (Putusan Nomor : 305/Pid.B/2013/

    PN. Srg) ................................................................... 123

  • 7

    3.1.5.1 Kasus Posisi .............................................. 123

    3.1.5.2 Pertimbangan Hakim ................................. 125

    3.1.5.3 Putusan Hakim ........................................... 125

    3.1.5.4 Analisa Putusan Nomor : 305/Pid.B/2013/

    PN. Srg ...................................................... 125

    3.2 Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tentang Tindak

    Pidana Pembunuhan Diserai Mutilasi Dalam Konsep

    Negara Hukum .................................................................... 133

    3.3 Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tentang Tindak

    Pidana Pembunuhan Diserai Mutilasi Dalam Teori

    Pemidanaan.......................................................................... 137

    BAB IV PENGATURAN TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

    YANG DISERTAI MUTILASI DALAM HUKUM PIDANA POSITIF

    INDONESIA DI MASA MENDATANG ................................... 146

    4.1 Pengaturan Tindak Pidana Pembunuhan Mutilasi Di Masa

    Mendatang .......................................................................... 146

    4.2 Pengaturan Tindak Pidana Pembunuhan Mutilasi di Negara

    Lain ...................................................................................... 157

    4.2.1 Australia Criminal Code ......................................... 158

    4.2.2 Michigan Criminal Code ........................................ 160

    4.2.3 Ohio Criminal Code ................................................ 162

    BAB V PENUTUP..................................................................................... 168

    5.1 Kesimpulan ......................................................................... 168

  • 8

    5.2 Saran .................................................................................... 169

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 170

  • 9

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Kebutuhan fundamental setiap manusia terdiri dari kebutuhan biologis

    seperti makan, minum, tidur, dan kebutuhan sosial, seperti status sosial, peranan

    sosial, aktualisasi diri, dan rasa aman. Saat ini dapat dikatakan bahwa rasa aman

    merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dalam menjalankan aktivitas

    sehari-harinya. Menurut Abraham Maslow dalam teori hierarkhi kebutuhan

    manusia, rasa aman berada pada tingkatan yang kedua dibawah kebutuhan dasar

    manusia seperti sandang, pangan, dan papan.1 Hal ini menunjukkan bahwa rasa

    aman merupakan kebutuhan manusia yang penting. Rasa aman (security)

    merupakan salah satu hak asasi yang harus diperoleh atau dinikmati setiap orang.

    Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

    Pasal 28G ayat 1 yang menyebutkan: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri

    pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah

    kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman

    ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

    Seiring dengan itu, salah satu kewajiban pemerintah dan negara Indonesia adalah

    memberikan rasa aman pada seluruh rakyatnya, sebagaimana yang diamanatkan

    dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: “.......... Pemerintah dan Negara

    1 Badan Pusat Statistik, 2014, Statistik Kriminal 2014, available at

    http://www.bappenas.go.id/files/data/Politik_Hukum_Pertahanan_dan_Keamanan/Statistik%20Kri

    minal%202014.pdf, accessed 25 May 2016.

    1

    http://www.bappenas.go.id/files/data/Politik_Hukum_Pertahanan_dan_Keamanan/Statistik%20Kriminal%202014.pdfhttp://www.bappenas.go.id/files/data/Politik_Hukum_Pertahanan_dan_Keamanan/Statistik%20Kriminal%202014.pdf

  • 10

    Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

    Indonesia .........”.

    Rasa aman merupakan variabel yang sangat luas karena mencakup

    berbagai aspek dan dimensi, mulai dari dimensi politik, hukum, pertahanan,

    keamanan, sosial dan ekonomi. Sejalan dengan itu, statistik dan indikator yang

    biasa digunakan untuk mengukur rasa aman masyarakat merupakan indikator

    negatif, misalnya jumlah angka kejahatan (crime total), jumlah orang yang

    berisiko terkena tindak kejahatan (crime rate) setiap 100.000 penduduk. Semakin

    tinggi angka kriminalitas menunjukkan semakin banyak tindak kejahatan pada

    masyarakat yang merupakan indikasi bahwa masyarakat merasa semakin tidak

    aman.

    Perkembangan teknologi dan informasi yang pesat juga telah membuat

    perubahan yang cukup besar terhadap kondisi masyarakat dan timbulnya

    kejahatan baru. Akibat belum adanya pengaturan tentang kejahatan tersebut, maka

    terjadilah kriminalisasi. Hal ini terjadi karena perkembangan dan kemajuan

    kejahatan dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat. Menurut I.S. Susanto,

    wajah kejahatan dipengaruhi oleh bentuk dan karakter masyarakat. Artinya

    masyarakat industri akan memiliki wajah kejahatan yang berbeda dengan

    masyarakat agraris.2 Dewasa ini perkembangan kejahatan semakin canggih

    dengan modus maupun cara-cara melakukan kejahatan yang semakin modern

    dengan meninggalkan pola-pola tradisional.3

    2 I.S. Susanto, 1995,Kejahatan Koorporasi, Universitas Diponegoro, Semarang, h.5.

  • 11

    Saat ini kejahatan yang terjadi tidak hanya terbatas pada kejahatan yang

    bersifat konvensional saja seperti: kekerasan, penipuan, pencurian, pemerkosaan,

    dan juga pembunuhan, tetapi saat ini muncul kejahatan-kejahatan baru, maupun

    kejahatan lama yang dimodifikasi seiring dengan perkembangan teknologi,

    informasi, dan juga perkembangan umat manusia, salah satunya adalah kejahatan

    pembunuhan yang disertai dengan mutilasi. Dahulu tindak pidana pembunuhan

    dilakukan dengan cara yang masih sederhana, sehingga aparat penegak hukum

    dapat dengan mudah mengungkap kejahatan tersebut, akan tetapi dewasa ini

    tindak pidana pembunuhan yang terjadi sering disertai dengan cara memutilasi

    korbannya untuk mengelabui petugas, sehingga sulit diungkap oleh aparat

    penegak hukum. Tujuan lain yang hendak dicapai pada tindak pembunuhan yang

    disertai mutilasi adalah untuk menghilangkan jejak pembunuhan yang dimana

    bagian tubuh korban yang telah terpotong-potong dibuang secara terpisah oleh

    pelaku.

    Mutilasi dalam perspektif budaya telah diketengahkan terlebih dahulu

    oleh Schmitz, yang mengemukakan tentang mutilasi yang dilakukan pada anak

    laki-laki (memotong kaki dan tangan) maupun anak perempuan (membakar

    payudara kanan) di kalangan suku Amazone. Serupa halnya dengan mutilasi

    dalam perspektif budaya yang ada di kalangan suku Amazone, di Afrika Barat

    terdapat praktik FGM (female genital mutilation) terhadap anak perempuan

    berusia 5 – 15 tahun. Praktik FGM ini lebih berbahaya daripada mutilasi

    payudara. Terdapat beberapa alasan dalam praktik FGM ini, antara lain adalah

    3 Yahman, 2011, Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan yang Lahir dari

    Hubungan Kontraktual, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, h. 16.

  • 12

    sebagai berikut: inisiasi untuk menjadi istri dikemudian hari, demi kebahagiaan

    rumah tangga, terjaminnya keperawanan, dan tradisi.

    Praktik FGM ini sering berakibat buruk bagi anak perempuan yang

    bersangkutan, karena disamping lingkungan yang tidak bersih, peralatan mutilasi

    yang dipergunakan tidak steril dan higienis. Adapun peralatan yang dipergunakan

    seperti: potongan gelas, pisau tumpul, atau pisau cukur berkarat. Tidak

    terjaminnya lingkungan dan peralatan yang dipergunakan dalam praktik FGM

    mengakibatkan infeksi, tetanus, terganggunya siklus menstruasi, rasa sakit saat

    bersenggama, dan juga infertilitas. Pada wilayah-wilayah yang mempraktikkan

    FGM ternyata juga menunjukkan angka kematian ibu dan anak-anak yang cukup

    tinggi.4

    Pada suku Afrika lainnya, praktek mutilasi merupakan bagian dari upacara

    keyakinan yang mereka anut. Anak perempuan harus melakukan 12 rangkaian

    goresan atau luka untuk diakui sebagai perempuan dewasa. Tradisi ini juga

    berlaku untuk anak laki-laki, dimana mereka harus menunjukkan torehan dan

    bekas luka untuk dianggap sebagai laki-laki dewasa.

    Di Indonesia sebenarnya juga terdapat praktik mutilasi, yakni memenggal

    kepala orang atau kepala musuh di kalangan suku Dayak, dengan tujuan untuk

    mengambil kekuatan dari korban (menganyau). Praktik mutilasi yang terdapat

    4 Imran, Mohammad Fadil, 2014, “Kejahatan Mutilasi Di Jakarta (Perspektif Pilihan

    Rasional Dari 5 Pelaku)” (Disertasi) Program Studi Doktoral (S3) Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

    Departemen Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, h. 4.

  • 13

    pada suku Dayak ini, memiliki kesamaan dengan praktik mutilasi suku Indian di

    Amerika, yakni menguliti kepala musuh yang dikalahkan.5

    Berdasarkan uraian tinjauan sejarah diatas praktik mutilasi dilakukan

    beradasarkan dimensi ritual, keyakinan, dan adat istiadat. Dewasa ini mutilasi

    tidak hanya digunakan dalam suatu aspek kebudayaan dimana terdapat unsur-

    unsur dan nilai-nilai filosofis, tetapi mutilasi kini dipergunakan di dalam modus

    operandi kejahatan dengan tujuan mengelabui aparat penegak hukum, serta untuk

    menghilangkan jejak korban.

    Mutilasi dalam dimensi kriminal dapat diartikan sebagai pemotongan atau

    perusakan jasad korban, dimana tidak jarang tubuh korban dirusak, dan dipotong-

    potong menjadi beberapa bagian. Tindak pembunuhan yang disertai mutilasi

    merupakan perbuatan kejam yang tidak memiliki belas kasihan dan

    perikemanusiaan, serta lebih kejam dari pembunuhan. Alasan-alasan dilakukannya

    tindakan mutilasi oleh pelaku terhadap korbannya dilatarbelakangi oleh motif-

    motif tertentu seperti, penyimpangan orientasi seksual, dendam, dan/ atau pelaku

    menderita gangguan jiwa sejenis sadism, dimana pelaku terpuaskan bila melihat

    korbannya menderita, terbunuh, dan terpotong-potong menjadi beberapa bagian.

    Di Indonesia kasus pembunuhan disertai mutilasi pertama kali muncul

    pada tahun 1960-an.6 Pada tahun 1970-an terjadi 3 (tiga) kasus serupa, dan

    pembunuhan yang disertai mutilasi mulai menjadi perhatian pada tahun 1985,

    dimana pihak kepolisian Jakarta Selatan menemukan jasad yang terpotong

    menjadi 13 bagian dan dimasukkan ke dalam dua dus besar. Kasus pembunuhan

    5Ibid.

    6Ibid.

  • 14

    yang disertai mutilasi yang sangat menyita perhatian seluruh masyarakat

    Indonesia setelah kasus Babe, adalah kasus Ryan Jombang. Very Idam

    Henyansyah alias Ryan Bin Ahmad terbukti bersalah melakukan tindak pidana

    dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang

    lainyaitu korban Hery Santoso, yang kemudian korban dimutilasi menjadi 7

    (tujuh) bagian. Kasus mutilasi lainnya terjadi di Bali, terdakwa Fikri terbukti

    bersalah merampas nyawa korban Diana Sari dengan rencana terlebih dahulu.

    Jasad korban yang telah dimutilasi kemudian di buang di 12 (dua belas) lokasi

    berbeda di wilayah kabupaten Klungkung dan Karangasem.

    Pupun Bin Sanusi, terdakwa kasus pembunuhan mutilasi terhadap ibu

    kandungnya sendiri, diputus bebas oleh majelis hakim. Hal tersebut didasarkan

    atas pertimbangan 3 (tiga) saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan, dimana

    hasil pemeriksaan ketiga saksi ahli menunjukkan bahwa terdakwa memiliki

    penyakit gangguan kejiwaan, sehingga perbuatannya tidak dapat

    dipertanggungjawabkan. Kasus pembunuhan mutilasi tidak selalu dilakukan

    dengan rencana terlebih dahulu, pada Putusan Pengadilan Nomor : 220 –K/

    PM.III-12 /AD/XI/2010, terdakwa Niman melakukan tindak pidana pembunuhan

    kepada korban Hartono, dengan latar belakang cemburu, karena terdakwa sempat

    melihat korban sedang mengikuti istri terdakwa. Untuk menghilangkan jejak

    korban setelah pembunuhan terjadi, terdakwa kemudian memutilasi korban

    menjadi 9 (sembilan) bagian. Kasus pembunuhan mutilasi terakhir yang

    dipergunakan pada penulisan tesis ini adalah kasus pembunuhan mutilasi yang

    dilakukan oleh terdakwa Eko Sunarno kepada korban Siska Tri Wijayanti.

  • 15

    Pembunuhan dilakukan dengan perencanaan terlebih dahulu oleh terdakwa.

    Awalnya terdakwa ingin menghilangkan jejak pembunuhan dengan membakar

    mayat korban, akan tetapi pada saat proses pembakaran, kemudian terdakwa

    melihat sorotan lampu senter. Atas kejadian tersebut terdakwa kemudian menjadi

    panik dan memutilasi sisa bagian tubuh korban yang belum terbakar.

    Pembunuhan dengan mutilasi ini merupakan contoh tindak pidana karena

    pengaruh perkembangan jaman. Kejahatan mutilasi merupakan suatu jenis tindak

    pidana yang digolongkan ke dalam bentuk kejahatan yang tergolong sadis (rare

    crime) oleh karena objek kejahatan tersebut adalah manusia baik dalam kondisi

    hidup maupun telah meninggal.7 Putusan pengadilan atas kasus – kasus

    pembunuhan yang disertai mutilasi diatas hanya melihat kasus tersebut sebatas

    kasus pembunuhan dan/atau pembunuhan berencana saja, sedangkan tindakan

    mutilasi yang dilakukan setelah selesainya tindak pidana pembunuhan tidak

    dilihat sebagai suatu tindakan yang melanggar norma, sehingga pasal yang

    diancamkan kepada masing – masing terdakwa hanya sebatas pada pasal

    mengenai pembunuhan dan/atau pembunuhan berencana. Hal tersebut tentu akan

    berdampak pada putusan akhir dari majelis hakim dalam memutus kasus – kasus

    tersebut.

    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP)

    didalamnya pun tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang tindak pidana

    pembunuhan mutilasi. Tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam KUHP

    hanya tentang tindak pidana pembunuhan, yang diatur di dalam Pasal 338 KUHP

    7 Made Wirakusumajaya dan Ni Nengah Adi Yaryani, 2017, Penerapan Sanksi Pidana

    Terhadap Pelaku Tindak Pidana Mutilasi, Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas

    Udayana, Denpasar, h. 1

  • 16

    yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,

    diancam karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas

    tahun.” Selain mengenai pembunuhan, dalam KUHP juga mengatur tentang

    pembunuhan berencana, yang diatur dalam Pasal 340 KUHP, yang berbunyi

    “Barang siapa yang dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas

    nyawa orang lain, diancam dengan pembunuhan berencana, dengan pidana mati

    atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua

    puluh tahun.”

    Berdasarkan uraian bunyi pasal diatas, kejahatan pembunuhan disertai

    dengan mutilasi ini dipersamakan artinya dengan pembunuhan berencana, hal ini

    terlihat dari pertimbangan yang dipergunakan oleh majelis hakim dalam

    mempertimbangkan penjatuhan pidana kepada terdakwa dalam kasus

    pembunuhan yang disertai dengan mutilasi. Kejahatan pembunuhan yang disertai

    mutilasi merupakan dimensi baru dari suatu tindak pidana pembunuhan, dimana

    tindak pidana pembunuhan disertai mutilasi ini tidak semua dilakukan dengan

    perencanaan terlebih dahulu. Dua dari lima putusan pengadilan yang

    dipergunakan dalam penulisan tesis ini mengungkapkan bahwa pembunuhan

    mutilasi yang dilakukan terdakwa tidak didahului adanya perencanaan. Kasus

    Pupun Bin Sanusi yang melakukan pembunuhan yang disertai mutilasi kepada ibu

    kandungnya sendiri diputus bebas oleh majelis hakim karena terbukti bahwa

    terdakwa tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan

    Pasal 44 KUHP. Kasus Niman seorang prajurit TNI AD yang membunuh korban

    Hartono dengan motif cemburu, juga terbukti dalam pembunuhan yang disertai

  • 17

    mutilasi yang dilakukan tidak direncanakan terlebih dahulu. Hal lainnya yang

    mendorong terciptanya kriminalisasi pada perbuatan pembunuhan yang disertai

    mutilasi adalah bahwa pada pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana

    tidak dijelaskan mengenai adanya unsur pemberat apabila tindak pidana tersebut

    dilakukan dengan cara memutilasi korban.

    Dengan demikian dapat dilihat bahwa tidak semua tindak pidana

    pembunuhan yang disertai mutilasi merupakan tindak pidana pembunuhan

    berencana, bahkan tindak pidana pembunuhan pun dapat berujung kepada mutilasi

    korbannya. Jadi, pembunuhan yang disertai mutilasi tidak dapat dipersamakan

    artinya dengan tindak pidana pembunuhan dan/atau tindak pidana pembunuhan

    berencana, karena terdapat dua tindakan yang berbeda. Tindakan pertama adalah

    pembunuhan yang merupakan delik materiil, dimana delik tersebut telah selesai

    apabila akibat dari perbuatan tersebut telah terpenuhi. Tindakan kedua adalah

    mutilasi, dimana mutilasi dilakukan untuk menghilangkan jejak korban, dan

    memudahkan pelaku untuk membuang jasad korban. Maka rumusan pasal

    pembunuhan dan/atau pembunuhan berencana yang dipergunakan untuk kasus

    pembunuhan yang disertai mutilasi kurang tepat, karena tindakan mutilasi yang

    dilakukan pelaku setelah pembunuhan tidak diperhatikan sama sekali

    keberadaannya.

    Pergeseran paradigm mengenai mutilasi ini tidak dapat kita pungkiri

    bahwa mutilasi saat ini menjadi pilihan bagi pelaku tindak pidana pembunuhan

    untuk menutupi perbuatannya. Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat

    meliputi perubahan besar dalam susunan masyarakat yang mempengaruhi sendi-

  • 18

    sendi kehidupan bersama, dan perubahan nilai-nilai budaya yang mempengaruhi

    alam pikiran, mentalitas, serta jiwa. Perubahan sosial tidak hanya berarti

    perubahan struktur dan fungsi masyarakat, tetapi di dalamnya terkandung juga

    perubahan nilai, sikap dan pola tingkah laku masyarakat, sehingga muncul

    dimensi baru mengenai tindak pidana yang konvensional, menjadi tindak pidana

    yang telah dimodifikasi, dan hal ini menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda

    mengenai tindak pidana pembunuhan yang disertai mutilasi, sehingga muncul

    kesan adanya kekosongan norma yang kemudian mendorong kriminalisai

    terhadap perbuatan tersebut.

    Kriminalisasi tidak terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak

    pidana dan dapat dipidana, tetapi juga termasuk penambahan (peningkatan) sanksi

    pidana terhadap tindak pidana yang sudah ada. Untuk dapat menentukan tolak ukur

    kriminalisasi tindak pidana tersebut diperlukan inventarisasi atau pendefinisian yang

    akan menimbulkan akibat hukum yaitu berupa kriminalisasi (penciptaan delik baru)

    atau pembaharuan hukum terhadap perbuatan tindak pidana pembunuhan, sehingga

    dapat tercipta ius constituendum.

    Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis

    mengambil judul penulisan tesis ini adalah “TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

    YANG DISERTAI MUTILASI DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

    INDONESIA”

  • 19

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, dapat dirumuskan

    masalah-masalah yang perlu dikaji secara ilmiah untuk mendapatkan sebuah

    jawaban yang dapat dipergunakan untuk memberikan pandangan baru terkait

    kejahatan pembunuhan disertai dengan mutilasi. Adapun permasalahan yang akan

    dikaji dalam tesis ini adalah sebagai berikut :

    1. Apakah tindak pidana pembunuhan yang disertai mutilasi menjadi

    bagian dari hukum pidana positif di Indonesia?

    2. Bagaimanakah pengaturan terhadap tindak pidana pembunuhan yang

    disertai mutilasi dalam hukum pidana Indonesia di masa mendatang?

    1.3 Ruang Lingkup Masalah

    Di dalam penulisan tesis ini penulis memberikan batasan ruang lingkup

    yang akan dibahas. Hal ini dilakukan untuk menghindari pembahasan yang

    meluas serta menyimpang dari masalah yang telah diajukan. Adapun ruang

    lingkup yang dipergunakan dalam tesis ini adalah sebagai berikut :

    1. Penulis akan menguraikan tentang definisi, unsur-unsur tindak pidana

    pembunuhan, dan perbedaan antara tindak pidana pembunuhan, tindak

    pidana pembunuhan berencana, dan tindak pidana pembunuhan yang

    disertai mutilasi. Selain itu diuraikan juga mengenai kriminalisasi yang

    terjadi terhadap mutilasi, sehingga dapat terlihat apakah pembunuhan

    yang disertai mutilasi termasuk ke dalam hukum pidana positif

    Indonesia.

  • 20

    2. Penulis akan menguraikan perbandingan hukum yang ada pada negara

    lain terkait pembunuhan yang disertai mutilasi, kemudian akan

    diuraikan mengenai pertimbangan yang mendasari perlunya

    pengaturan tindak pidana pembunuhan yang disertai mutilasi sebagai

    aturan tersendiri, atau aturan tambahan pada tindak pidana

    pembunuhan dilihat dari perspektif pembaharuan hukum pidana.

    1.4 Tujuan Penelitian

    1.4.1 Tujuan Umum

    Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penulisan tesis ini

    adalah untuk mengetahui dan menganalisis tentang tindak pidana pembunuhan

    yang disertai mutilasi dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia.

    1.4.2 Tujuan Khusus

    Tujuan khusus yang ingin dicapai di dalam penulisan tesis ini adalah

    sebagai berikut :

    Tujuan khusus yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui pentingnya

    pengaturan tentang tindak pidana pembunuhan yang disertai mutilasi, serta

    bagaimana pengaturan yang baik untuk tindak pidana pembunuhan yang disertai

    mutilasi dalam hukum pidana positif Indonesia untuk dapat terciptanya ius

    constituendum.

  • 21

    1.5 Manfaat Penelitian

    1.5.1 Manfaat Teoritis

    Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

    pengetahuan dan wawasan yang berguna untuk meningkatkan pemahaman dan

    pengetahuan mengenai tindak pidana pembunuhan yang disertai mutilasi dalam

    pembaharuan hukum pidana Indonesia. Disamping itu penelitian ini diharapkan

    juga dapat menjadi referensi dalam penelitian karya ilmiah, khususnya dalam

    hukum pidana, dan menjadi referensi dalam tindak pidana pembunuhan yang

    disertai mutilasi dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia.

    1.5.2 Manfaat Praktis

    Secara praktis tulisan ini diharapkan dapat berguna bagi para penegak

    hukum di dalam melihat dan mengkaji tindak pidana pembunuhan yang disertai

    dengan mutilasi, sehingga dapat memberikan kontribusi pada praktisi, dalam

    pembaharuan hukum pidana, dan pembuat Undang - undang.

    1.6 Orisinalitas Penelitian

    Untuk memperlihatkan orisinalitas penelitian tesis ini, maka berikut

    penulis lampirkan judul tesis yang pernah ada sebelumnya. Adapun judul tesis

    yang dimaksud oleh penulis adalah sebagai berikut :

    1. Sidharta Praditya Revienda Putra, Universitas Indonesia, Tahun 2011,

    dengan judul Perdebatan Mengenai Pidana Mati Dalam Pembaharuan

    Hukum Indonesia. Rumusan masalah : (a) Bagaimana pidana mati

  • 22

    ditinjau dari falsafah pemidanaan? (b) Apakah penerapan pidana mati

    sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP dapat mencapai tujuan

    pemidanaan dari pidana mati itu sendiri? (c) Bagaimana pengaturan

    pidana mati dalam pembaharuan hukum Indonesia?

    2. Mohammad Fadil Imran, Universitas Indonesia, Tahun 2014, dengan

    judul Kejahatan Mutilasi Di Jakarta (Perspektif Pilihan Rasional Dari

    Lima Pelaku). Rumusan masalah : (a) Bagaimana faktor pendukung

    dan pencetus yang bersifat kondisional dan situasional dan aspek

    sosiodemografi mempengaruhi struktur pilihan rasional dari pelaku

    kejahatan mutilasi dalam menentukan Modus, Tempus, Loctus, dan

    Actusnya?

    3. A A Sagung Mas Yudiantari Darmadi, Universitas Udayana, Tahun

    2015, dengan judul Kebijakan Hukum Pidana Mempertahankan Jenis

    Pidana Mati (Studi Kasus Pembunuhan Berencana Disertai Mutilasi

    Korban). Rumusan masalah : (a) Bagaimanakah eksistensi pidana mati

    terhadap tindak pidana pembunuhan berencana? (b) Bagaimanakah

    kebijakan hukum pidana terkait pidana mati terhadap tindak pidana

    pembunuhan berencana disertai mutilasi sebagai hal yang

    memberatkan?

  • 23

    1.7 Landasan Teoritis

    Untuk menunjang penelitian ini sesuai dengan permasalahannya sehingga

    terwujud suatu karya tulis yang benar, maka berpedoman pada asas-asas, konsep-

    konsep, maupun teori-teori dari pendapat para sarjana dan peraturan perundang-

    undangan yang menyangkut tentang Kriminalisasi Terhadap Tindak Pidana

    Pembunuhan Yang disertai Mutilasi Dalam Pembaharuan Hukum Pidana

    Indonesia. Berikut beberapa teori yang akan dipergunakan oleh penulis di dalam

    membedah permasalahan di dalam penelitian ini.

    1.7.1 KonsepNegara Hukum

    Dalam kepustakaan Indonesia sudah tidak asing lagi dalam menggunakan

    istilah “negara hukum”, sebagai terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda

    “rechtsstaat”.8Negara-negara hukum di berbagai belahan dunia pada dasarnya

    sama, yaitu memposisikan hukum ditempat yang tertinggi dan harus ditaati oleh

    semua rakyatnya, termasuk penguasa yang menjalankan pemerintahan pada

    Negara tersebut. Di dalam menjalankan Negara yang berlandaskan atas hukum

    dimaksud, dikenal 2 sistem hukum yang lazim digunakan di berbagai Negara

    hukum, yaitu :

    1. Sistem Anglo Saxon atau Sistem Common Law

    Sistem hukum anglo saxon atau sistem hukum common law merupakan

    sistem hukum yang berlaku di Inggris dan di Negara-negara bekas jajahan

    Inggris. Hukum anglo saxon terdiri dari beberapa unsur antara lain :

    8 O. Notohamidjojo, 1970, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, h. 27.

  • 24

    a Hukum anglo saxon dalam arti sempit, berasal dari hukum adat

    Inggris yang kemudian dikembangkan dengan yurisprudensi (judge

    made law).

    b Hukum equality yang berkembang sejak abad ke XV dan XVI

    tetapi kaidahnya tetap diberlakukan dalam sistem anglo saxon.

    c Undang-undang dalam sistem anglo saxon jarang digunakan, dan

    lebih menggunakan yurisprudensi (judge made law).

    2. Sistem Hukum Eropa Kontinental atau Sistem Hukum Civil Law

    Hukum Romawi merupakan cikal bakal dari sistem hukum eropa

    kontinental. Pada sistem eropa kontinental ada ciri khusus yang sangat

    membedakan dengan sistem anglo saxon, yaitu :

    a Hakim tidak terikat terhadap preseden sehingga undang-undang

    menjadi sumber yang utama.

    b Peradilan bersifat inkuisitoria.

    Indonesia sebagai Negara hukum, menjalankan sistem Negara

    hukumnya dengan menggunakan sistem civil law sehingga memiliki

    karakteristik tersendiri dan berbeda dengan Negara lain yang menganut

    sistem common law. Indonesia dalam perkembangannya sebagai negara

    hukum didasarkan atas paham-paham tentang negara hukum, yang

    kemudian menjadi pedoman negara Indonesia dalam menjalankan

    perannya sebagai negara hukum.

  • 25

    a Paham The Rule of Law

    Seorang filsuf Yunani yaitu Plato, adalah orang yang

    pertama kali melahirkan pemikiran tentang paham “negara hukum”

    yang terkenal dengan tulisannya yaitu “nomoi”. Kemudian dari

    pemikirannya berkembang menjadi konsep continental dengan

    rechtsstaat, konsep anglo saxon dengan the rule of law, dan

    konsep-konsep lainnya.9 Dalam perkembangan selanjutnya, dari

    gagasan-gagasan tersebut, melahirkan konsep negara hukum

    formal yang dikemukakan oleh Immanuel Kant dan konsep negara

    material yang dikedepankan oleh J.Stahl. Lalu A.V. Dicey

    mengajukan konsepnya tentang the rule of law.

    Melihat perjalanan sejarah munculnya paham the rule of

    law ini, dapat dipahami bahwa paham the rule of law muncul

    sebagai reaksi terhadap absolutism pemerintahan di Eropa, yang

    dikenal dengan zaman ancient regiem. Secara historis dapat

    disimpulkan bahwa inti dari paham the rule of law adalah adanya

    perlindungan dan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan

    kekuasaan raja harus berdasarkan hukum.10

    Albert Venn Dicey mengidentifikasi 3 (tiga) unsur the rule

    of law, yaitu :

    9 Mohammad Tahir Azhari, 1992, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-

    prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan

    Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, h. 18.

    10 Mohammad Tahir Azhari, 1995, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif

    tentang Unsur-unsurnya, UI Press, Jakarta, h. 34.

  • 26

    a The absolute predominance of the law (keunggulan mutlak

    hukum);

    b Equality before the law ( persamaan di hadapan hukum);

    and

    c The concept according to which the constitution is the

    result of the recognition of individual rights by judges

    (konsep yang berdasarkan konstitusi adalah hasil dari

    pengakuan hak-hak individual oleh hakim).

    Pemikiran negara hukum (the rule of law) yang

    diketengahkan Dicey, mengalami perluasan pengertian

    sebagaimana H.W.R Wade mengidentifikasi lima aspek the rule of

    law, yaitu:

    a Semua tindakan pemerintah harus menurut hukum;

    b Pemerintah harus berperilaku di dalam suatu bingkai yang

    diakui peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip

    yang membatasi kekuasaan diskresi;

    c Sengketa mengenai keabsahan (legality) tindakan

    pemerintah akan diputuskan oleh pengadilan yang murni

    independen dari eksekutif;

    d Harus seimbang (even-handed) anatara pemerintah dan

    warga negara; dan

  • 27

    e Tidak seorang pun dapat dihukum kecuali atas kejahatan

    yang ditegaskan menurut undang-undang.11

    Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa

    pada prinsipnya dalam paham negara hukum “rechtsstaat”

    terkandung asas-asas yaitu : asas supremasi hukum (supremacy of

    law), asas persamaan kedudukan di depan hukum bagi setiap orang

    (equality before the law), dan asas perlindungan terhadap hak asasi

    manusia (human rights). Negara modern saat ini menjadikan 3

    (tiga) asas tersebut menjadi materi muatan dalam konstitusi atau

    undang-undang dasar suatu negara. Konstitusi atau undang-undang

    dasar merupakan hukum dasar yang memuat kaidah hukum yang

    mendasar yang antara lain mengatur hubungan negara atau

    pemerintah dengan rakyat, dalam rangka mencegah kemungkinan

    terjadinya tindakan penyalahgunaan kekuasaan negara atau

    pemerintah yang melanggar hak-hak asasi manusia.12

    b Paham Rechtsstaat

    Paham rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan terhadap

    absolutism sehingga perkembangannya bersifat revolusioner, yang

    bertumpu pada sistem hukum continental yang disebut “civil law”

    11 Brewer Carias, 1972, Du Contract Social, Book I, Ch. IV, Ronald Grimsley, Oxford, h.

    41.

    12 Marwan Effendy, 2005, Kejaksaan RI : Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,

    PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 15.

  • 28

    atau “modern Roman law”.13 Ciri negara hukum pada masa itu

    dilukiskan sebagai “negara penjaga malam” (nachtwakersstaat),

    tugas pemerintah dibatasi pada mempertahankan ketertiban umum

    dan keamanan (de openbare orde en veiligheid).14

    Frederich Julius Stahl mengemukakan unsur-unsur negara

    hukum adalah sebagai berikut :

    a Untuk melindungi hak-hak asasi tersebut maka

    penyelenggaraan negara harus didasarkan atas teori trias

    politica;

    b Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah harus

    berdasarkan atas undang-undang (wetmatigbestuur);

    c Jika dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undang-

    undang, pemerintah masih melanggar hak asasi, maka

    pengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya.15

    Pendapat Stahl di atas menunjukkan bahwa tujuan dari

    negara hukum adalah untuk melindungi hak-hak asasi manusia

    dengan cara membatasi dan mengawasi kekuasaan negara dengan

    peraturan perundang-undangan. Negara tidak boleh memperluas

    13 Philipus M. Hadjon, 1997, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia Sebuah

    Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapan oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan

    Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, h. 72.

    14 P. De Haan, Th. G. Druksteen, R. Fernhout, 1986, Bestuursrecht in de Sosiale

    Rechtsstaat, deel I, Kluwer-Deventer, h. 8.

    15 Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet. Ke-2, Ghalai

    Indonesia, Jakarta, h. 151.

  • 29

    kekuasaannya, selain yang digaris oleh peraturan perundang-

    undangan yang bersifat wetmatig. Setiap tindakan yang

    bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

    merupakan onwetmatig, meskipun bagi warga negara bermanfaat

    dan mensejahterakan.16

    c Paham Socialist Legality

    Paham Socialist Legality dikenal dalam negara-negara yang

    menganut ideologi komunisme atau marxisme. Paham ini awal

    perkembangannya di Uni Soviet, selama masa New Economic

    Policy (1921 – 1928), sedangkan pada masa paham komunisme

    revolusioner tidak diakui.17 Paham Socialist Legalitybersumber

    pada paham komunisme yang menempatkan hukum sebagai alat

    untuk mewujudkan sosialisme dengan mengabaikan hak-hak

    individu. Tidak ada kesempatan bagi individu untuk

    memperjuangkan hak pribadinya, karena bertentangan dengan hak

    masyarakat (socialist property). Hak-hak individu harus melebur

    dalam tujuan sosialisme, yang mengutamakan kepentingan kolektif

    (kolektivisme) di atas kepentingan individu.

    Menurut pandangan Socialist Legality, warga negara harus

    menaati undang-undang, karena undang-undang itu personifikasi

    16 Marwan Effendy, Op.Cit, h. 24.

    17 Rene David & John E.C. Brierley, 1985, Major Legal Sistem in the World Today, An

    Introduction, to the Comparative Study of Law, Third Edition, Stevens & Sons, London, h. 184 -

    210.

  • 30

    dari negara sosialis yang keberadaannya untuk kepentingan semua

    dan bukan untuk kepentingan golongan tertentu.

    d Paham Negara Hukum Indonesia

    Paham Negara Hukum Indonesia berangkat dari prinsip

    dasar bahwa ciri khas suatu negara hukum bahwa negara

    memberikan perlindungan kepada warga negaranya dengan cara

    berbeda-beda. Negara hukum adalah suatu pengertian yang

    berkembang, dan terwujud sebagai reaksi masa lampau, karena itu

    unsur negara hukum berakar pada sejarah dan perkembangan

    bangsa.

    Ciri-ciri yang dapat memperlihatkan terbangunnya negara

    hukum Indonesia adalah sebagai berikut :

    a Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat

    berdasarkan asas kekeluargaan;

    b Hubungan fungsional antar kekuasaan-kekuasaan negara

    secara proporsional;

    c Prinsip penyelesaian sengketa mengutamakan musyawarah,

    dan peradilan merupakan usaha terakhir;

    d Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban.

    Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang

    mengharapkan ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya

    peristiwa konkret. Kepastian hukum merupakan perlindungan

    justisibele terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti

  • 31

    seseorang akandapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam

    keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian,

    karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih

    tertib. Hukum bertugas untuk menciptakan kepastian hukum,

    dengan itu akan tercapainya tujuan hukum yang lain, yaitu

    ketertiban masyarakat. Penegakan hukum harus memberi manfaat

    pada masyarakat, disamping bertujuan menciptakan keadilan.18

    Indonesia sebagai negara hukum modern, memiliki tujuan hukum

    yang menciptakan keadilan, kepastian hukum, dan memberi

    kesejahteraan pada rakyat.

    Dalam konsep negara hukum modern atau negara hukum

    social, negara berkewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan bagi

    seluruh rakyat, hak kesejahteraan social maupun ekonomi. Ciri

    negara kesejahteraan atau negara hukum social (sociale

    rechtsstaat) adalah negara bertujuan mensejahterakan kehidupan

    rakyatnya, dan negara dituntut untuk memberikan pelayanan

    sebaik-baiknya dan seluas-luasnya kepada rakyatnya. Dari ciri

    tersebut, maka muncul 2 (dua) konsekuensi dalam negara

    kesejahteraan, yaitu :

    a Campur tangan pemerintah terhadap kehidupan rakyat

    sangat luas, hingga mencakup hampir semua aspek

    kehidupan rakyat; dan

    18 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra

    Aditya Bakti, Bandung, h. 2.

  • 32

    b Dalam pelaksanaan fungsinya, pemerintah menggunakan

    asas freies ermessen atau diskresi.

    1.7.2 Teori Pemidanaan

    Istilah teori pemidanaan berasal dari Inggris, yaitu comdemnation

    theory. Pemidanaan adalah penjatuhan hukuman kepada pelaku yang telah

    melakukan perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang

    oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam

    pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu

    keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan

    ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian

    itu.19

    Pihak yang mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan pidana

    adalah Negara. Negara sebagai suatu organisasi dalam suatu wilayah yang

    mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat.

    Penjatuhan pidana oleh Negara kepada pelaku tindak pidana memiliki

    dasar pembenar, serta tujuan pemidanaan yang tertuang dalam 3 (tiga)

    teori pemidanaan sebagai berikut :

    1. Teori absolute atau teori pembalasan

    Istilah teori absolute berasal dari bahasa Inggris, yaitu

    absolute theory, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan

    absolute theorieen. Teori absolute muncul pada abad ke-18, yang

    19 Moelyatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 54.

  • 33

    dianut oleh Immanuel Kant, Hegel Herbart, Stahl, Leo Polak,

    Algra dan kawan-kawan mengemukakan pandangannya tentang

    teori absolute, bahwa Negara harus mengadakan hukuman terhadap

    para pelaku, karena orang telah berbuat dosa (quia pacratum).20

    LJ. Van Apeldoorn mengemukakan pandangannya tentang

    teori absolute. Menurutnya teori absolute adalah teori yang

    membenarkan adanya hukuman hanya semata-mata atas dasar delik

    yang dilakukan. Hanya dijatuhkan hukuman “quia pecattum est”

    artinya karena orang membuat kejahatan. Tujuan hukuman terletak

    pada hukuman itu sendiri. Hukuman merupakan akibat mutlak dari

    suatu delik, balasan dari kejahatan yang dilakukan oleh pelaku.21

    Selain itu, Muladi juga mengemukakan tentang hakikat dan

    esensi dari teori absolute adalah bahwa teori absolute memandang

    pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah

    dilakukan, sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada

    terjadinya kejahatan itu sendiri.22

    Berdasarkan uraian pendapat ahli diatas dapat disimpulkan

    bahwa teori absolute mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum

    pidana dijatuhkan semata-mata karena orang yang telah melakukan

    suatu kejahatan, yang merupakan akibat mutlak yang harus ada

    sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan

    20 Algra, N.E, dkk., 1983, Mula Hukum, Bina Cipta, Bandung, h. 303 – 307.

    21 L.J van Apeldoorn, 1985, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 343.

    22 Muladi, 2002, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, h. 49 – 51.

  • 34

    kejahatan, sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan

    keadilan.

    Teori absolute dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :

    a Teori pembalasan subjektif : pembalasan terhadap

    kesalahan pelaku.23

    b Teori pembalasan objektif : pembalasan terhadap apa yang

    telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar.24

    Penjatuhan pidana didasarkan pada 3 (tiga) hal, yaitu25 :

    a Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu

    perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu

    bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum objektif.

    b Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi.

    Jadi pidana tidak boleh dijatuhkan untuk maksud prevensi.

    c Berat pidana harus seimbang dengan beratnya delik yang

    dilakukan. Hal ini diperlukan agar pelaku tindak pidana

    tidak dipidana secara tidak adil.

    2. Teori relative atau teori tujuan

    Algra, dan kawan-kawan mengemukakan pandangannya

    tentang pengertian dan tujuan pemidanaan, yang didasarkan pada

    teori relative. Teori relative berpandangan bahwa Negara

    23 Andi Hamzah, 2004, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 32 – 34.

    24Ibid.

    25 H. Salim, 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h.

    156.

  • 35

    menjatuhkan hukuman kepada penjahat sebagai alat untuk

    mencapai tujuannya. Tujuan hukuman itu adalah menakut-nakuti

    seseorang dari melaksanakan perbuatan jahat.26

    Teori relative dibagi menjadi 2 (dua) ajaran, yaitu :

    a Ajaran prevesi umum (generale preventive) : dalam ajaran

    ini seseorang mungkin menjadi pelaku, harus ditakut-takuti

    dari perbuatan jahat dengan acaman hukuman.

    b Ajaran prevensi special (special preventive) : dalam ajaran

    ini lebih memperhatian agar pelaku yang sekali telah

    dijatuhkan hukuman, karena sudah merasakan sendiri, dan

    tidak akan cepat-cepat melakukan suatu perbuatan jahat

    lagi.

    L.J van Apeldoorn mengemukakan pandangannya tentang

    hakikat teori relative. Teori relative adalah teori yang mencari

    pembenaran hukuman di luar delik itu sendiri, yaitu di dalam

    tujuan yang harus dicapai dengan jalan ancaman hukuman dan

    pemberian hukuman. Hukuman diberikan supaya orang tidak

    melakukan kejahatan (ne peccetur).27

    3. Teori Gabungan

    Teori gabungan merupakan teori yang menggabungkan

    antara teori absolute dan teori relative. Teori gabungan berpendapat

    26 Algra, N.E, dkk.,loc.cit.

    27 L.J van Apeldoorn, loc.cit.

  • 36

    bahwa hukuman memerlukan suatu pembenaran ganda. Pemerintah

    mempunyai hak untuk menjatuhkan hukuman, apabila orang

    berbuat jahat, dan apabila dengan itu kelihatannya akan dapat

    mencapai tujuan yang bermanfaat.28 Pemerintah memiliki hak

    untuk menjatuhkan hukuman kepada penjahat yang melakukan

    kejahatan.

    Hal tersebut bertujuan untuk memperbaiki dan melindungi

    masyarakat. Hukuman diberikan baik quia pacratum maupun ne

    peccetur. Hukuman diberikan kepada pelaku yang melakukan

    kejahatan agar orang lain tidak melakukan perbuatan yang sama.

    1.7.3 Teori Kriminalisasi

    Pada asasnya, kriminalitas merupakan proses penetapan suatu perbuatan

    sebagai yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi siapa saja yang melanggar

    larangan tersebut. Kriminalisasi biasanya berakhir dengan terbentuknya undang-

    undang yang melarang dan mengancam dengan pidana dilakukannya perbuatan-

    perbuatan tertentu.

    Menurut Sudarto, dalam menghadapi masalah sentral kriminalisasi pada

    pokoknya diperhatikan aspek-aspek berikut :29

    1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan

    pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan

    makmur yang merata materiil dan spiritual. Penggunaan hukum

    28 H. Salim, op.cit., h. 159.

    29 Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, h. 397.

  • 37

    pidana bertujuan menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan

    pengayoman masyarakat.

    2. Perbuatan yang ditanggulangi dengan pidana adalah perbuatan

    yang mendatangkan kerugian (materiil dana tau spiritual) atas

    warga masyarakat.

    3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip

    biaya dan hasil.

    4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas

    atas kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum,

    yaitu jangan sampai melampaui beban tugas.

    1.7.4 Teori Kebijakan Hukum Pidana

    Kebijakan hukum pidana lazim juga diberikan istilah sebagai kebijakan

    criminal atau politik criminal terkait dengan pembentukan hukum pidana. Definisi

    kebijakan/ politik criminal menurut Marc Ancel yaitu “The rational organization

    of the control of crime by society” (suatu usaha rasional dari masyarakat dalam

    menanggulangi kejahatan). Menurut Marc Ancel kebijakan hukum pidana atau

    “Penal Policy” adalah ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan

    praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih

    baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang,

  • 38

    tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan juga kepada

    penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.30

    Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan hukum pidana (penal policy)

    pada hakikatnya juga merupakan kebijakan penegakan hukum pidana (penal

    policy enforcement policy). Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan

    serangkaian proses yang terdiri dari 3 (tiga) tahap kebijakan. Pertama, tahap

    kebijakan formulatif atau tahap kebijakan legislative, yaitu tahap perumusan/

    penyusunan hukum pidana. Kedua, tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif, yaitu

    tahap penerapan hukum pidana. Ketiga, tahap kebijakan eksekutif/ administrasi,

    yaitu tahap pelaksanaan/ eksekusi hukuman pidana.31

    Landasan hukum suatu peraturan perundang-undangan atau suatu produk

    legislasi adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

    (UUD 1945), mengingat Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan

    UUD 1945 adalah merupakan dasar negara, sehingga memuat nilai-nilai dasar dari

    hukum, maka kedudukannya dapat dipandang sebagai grand norm didalam

    menetapkan suatu kebijakan hukum pidana disamping itu dasar pemikiran di

    dalam menetapkan suatu kebijakan hukum pidana itu sejalan landasan filosofi ius

    constitutum, ius constituendum, dan ius operatum, maka hendaknya

    memperhatikan antara lain :

    30 Marc Ancel, 1965, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems,

    Routledge & Kegan Paul, London, h. 4-5.

    31 Barda Nawawi Arief, 2012, Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana Dalam Peraturan

    Perundang-Undangan, Pustaka Magister, Semarang, h. 9.

  • 39

    a Sejarah pembentukan hukum pidana itu sendiri; b Kondisi dan situasi politik, ekonomi, social, dan budaya sebelum atau

    pada saat penyusunan produk legislasi;

    c Isu-isu atau fenomena yang muncul baik dalam skala Nasional maupun Internasional;

    d Perkembangan ilmu hukum; e Perbandingan hukum berbagai negara; f Konvensi-konvensi Internasional tentang hukum pidana.

    Hal ini penting karena menurut Bassiouni, kebijakan hukum pidana

    bertujuan untuk :

    a Memelihara ketertiban masyarakat; b Melindungi warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-

    bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan orang lain;

    c Mengembalikan para pelanggar hukum ke masyarakat (resosialisasi); dan d Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar

    tertentu mengenai keadilan social, martabat kemanusiaan, dan keadilan

    individu.

    Politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan

    penegakan hukum (Law Enforcement Policy) atau pembangunan hukum.

    Kebijakan hukum pidana mencakup bidang hukum pidana materiil, bidang hukum

    pidana formil, termasuk sistem pemidanaan. Menurut Sudarto, pengertian

    kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun

    politik criminal, yaitu merupakan :32

    a Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

    b Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan

    bisadigunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam

    masyarakat, dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

    32 Sudarto, 1983, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Alumni, Bandung, h.

    20.

  • 40

    1.7.5 Konsep Pembaharuan Hukum Pidana

    Menurut Barda Nawawi Arief, makna dan hakikat pembaharuan hukum

    pidana dapat :33

    1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan :

    a Sebagai bagian dari kebijakan social, pembaharuan hukum

    pidana pada hakikatnya bagian dari upaya untuk mengatasi

    masalah-masalah social (termasuk masalah kemanusiaan)

    dalam rangka mencapai tujuan Nasional (kesejahteraan

    masyarakat).

    b Sebagai bagian dari kebijakan criminal, prmbaharuan

    hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya

    perlindungan masyarakat (khususnya upaya

    penanggulangan kejahatan).

    c Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum,

    pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari

    upaya pembaharuan substansi hukum (legal substance)

    dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

    2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai :

    Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan

    upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai

    sosio – politik, sosio – filosofis, dan sosio – kultural yang

    melandasi dan memberi isi terhadap muatan normative dan

    33 Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

    Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 139 – 140.

  • 41

    substantive hukum pidana. Apabila orientasi nilai dari hukum

    pidana yang dicita-citakan sama saja dengan orientasi nilai dari

    hukum pidana lama yang merupakan warisan penjajah, dengan

    dimensi optic demikian, pada asasnya secara konkret memang

    diperlukan pembaharuan di bidang hukum pidana memang mutlak

    diperlukan.

    Dalam konteks sistem hukum pidana Nasional di masa

    mendatang (ius constituendum), Muladi mengemukakan 5 (lima)

    karakteristik pembentuk hukum pidana yang ideal :

    1. Hukum pidana Nasional dibentuk tidak sekedar alasan

    sosiologis, politis, dan praktis semata, namun secara sadar

    harus disusun dalam kerangka ideologi nasional Pancasila.

    2. Hukuman pidana nasional dimasa mendatang tidak boleh

    mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi

    manusia, alam, dan tradisi Indonesia.

    3. Hukum pidana mendatang harus dapat menyesuaikan diri

    dengan kecenderungan-kecenderungan universal yang tumbuh

    dalam pergaulan masyarakat beradab.

    4. Hukum pidana mendatang harus memikirkan aspek-aspek yang

    bersifat preventif.

    5. Hukum pidana mendatang harus selalu tanggap terhadap

    perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi, guna

    meningkatkan efektif fungsinya dalam masyarakat.

  • 42

    Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan

    hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosio – politik, sosio –

    kultural, atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan

    criminal, kebijakan social, dan kebijakan penegakan hukum). Hal

    ini berarti, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana juga

    berkaitan erat dengan berbagai aspek tersebut. Artinya,

    pembaharuan hukum pidana juga pada hakikatnya harus

    merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap

    berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakanginya.34 Dengan

    demikian, pembaharuan hukum pidana mengandung makna suatu

    upaya untuk mereorientasi dan reformasi hukum pidana dengan

    pendekatan kebijakan dan berorientasi pada nilai.

    1.7.6 Teori Hukum Responsif

    Istilah hukum yang responsif dipopularkan oleh Philippe Nonet dan

    PhilipSelznick di dalam karya mereka yang berjudul “Law and Society in

    Transitiontowards Responsive Law”. Istilah tersebut digunakan mereka berdua

    sebagai kritik terhadap teori hukum yang lebih mengedepankan sisi formalitas dan

    mengesampingkan realitas. Dalam pandangan Nonet dan Selznick sebagaimana

    dikemukakan oleh Robert A.Kagan di dalam pengantar edisi terbaru karya Nonet

    34 Ibid., h. 30.

  • 43

    dan Selznick tersebut hukum seringkali tampil membatasi dan sangat rigid

    (constricting and rigid).35

    Sifat hukum yang demikian itu disebabkan selama ini teori-teori hukum

    dibangun secara khas, di atas teori-teori tentang otoritas yang bersifat implisit. Ide

    kedaulatan hukum, dalam amatan Nonet dan Selznick, merupakan contoh dari

    teori-teori otoritas tersebut. Menurut catatan keduanya, perhatian dan kontroversi

    sering muncul di dalam kajian hukum yang mengiringi krisis otoritas yang

    mengguncang institusi-institusi publik. Kedaulatan hukum (rule of law) demikian

    tegas Nonet dan Selznick dalam masyarakat modern tidak kalah otoriternya

    dibandingkan dengan kedaulatan orang/penguasa (rule ofmen) di dalam

    masyarakat pramoderen.36

    Raison d’etre dari tipikal hukum responsive adalah bagaimana hukum

    mampu merespon kebutuhan kebutuhan sosial. Hukum responsif, dengan

    menggunakan analisis Roscoe Pound, berangkat dari logika yang berlawanan dari

    hukum represif atau otonom. Teori Pound, sebagaimana dikutip oleh Nonet dan

    Selznick, mengenai kepentingan – kepentingan sosial merupakan sebuah usaha

    yang lebih eksplisit untuk mengembangkan suatu model hukum yang

    responsif.37Penjelasan Lloyd of Hamstead berikut kiranya dapat membantu kita

    35 Robert.A.Kagan, Introduction to Transaction Edition, dalam Philippe Nonet dan

    PhilipSelznick, 2001, Law and Society in Transition Towards Responsive Law, Transcation

    Publishers, New Jersey, h. 8.

    36 Ibid., h.3.

    37 Ibid., h. 83.

  • 44

    memahami apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh Pound dan para

    pendukungnya dari aliran sociological jurisprudence mengenai hukum:

    “ Further, sociological jurist tend to be skeptical of the rules presented in

    the textbooks and concerned to see what really happens, “the law in

    action”. Sociological jurist also tend to espouse relativism. They reject the

    belief ofnaturalism that an ultimate theory of values can be found; they see

    reality as socially constructed with no natural guide to the solution of

    many conflicts. Sociological jurist also believe in the importance of

    harnessing the techniques of the social sciences, as well as the knowledge

    called from sociological research, towards the erection of a more effective

    science of law. Lastly, there is an abiding concern with social justice…”38

    Lebih lanjut, Nonet dan Selznick mengemukakan bahwa lembaga

    responsive menganggap tekanan-tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan

    kesempatan untuk memperbaiki diri. Untuk bisa memperoleh sosok seperti itu,

    tegas keduanya, sebuah institusi memerlukan sebuah panduan ke arah tujuan.

    Tujuan tersebut menetapkan standar untuk mengkritisi praktik yang sudah mapan

    dan oleh sebab itu dapat membuka jalan untuk melakukan perubahan.39

    1.8 Metode Penelitian

    Suatu karya ilmiah didalamnya terdapat suatu metode penelitian ilmiah,

    dimana metode penelitian ilmiah merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang

    didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, dengan jalan

    menganalisisnya, disamping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam

    terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu

    38 Lord Lloyd of Hamstead, 1985, Introduction to Jurisprudence, Steven and Sons,

    London, h.548-549.

    39 Philippe Nonet dan Philip Selznick, op.cit, h.87.

  • 45

    pemecahanatas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang

    bersangkutan.40

    1.8.1 Jenis Penelitian

    Jenis penelitian yang dipergunakan di dalam tesis ini adalah penelitian

    ilmu hukum dengan menggunakan penelitian dari aspek normatif, dalam hal ini

    berarti bahwa penelitian ilmu hukum dengan menggunakan penelitian hukum

    normatif dilakukan melalui inventarisasi hukum positif sebagai pendahuluan

    mendasar sebelum kegiatan melakukan penelitian. Sebelum penelitian sampai

    kepada usaha penemuan norma hukum in conreto, atau kepada usaha menemukan

    asas dan doktrinnya, atau sampai pula kepada usaha menemukan teori-teori

    tentang Law in process dan Law in action, maka terlebih dahulu harus mengetahui

    apa saja yang terbilang hukum positif yang tengah berlaku tersebut.41

    Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum

    tertulis, yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap

    sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal,

    perbandingan hukum, sejarah hukum.42

    40 Zainudin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 18.

    41 Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,

    Jakarta, h. 81.

    42 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2013, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

    Singkat, Rajawali Press, Jakarta, h. 14.

  • 46

    1.8.2 Jenis Pendekatan

    Jenis pendekatan yang dipergunakan didalam penulisan tesis ini adalah

    sebagai berikut :

    1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

    Suatu penelitian hukum normatif tetntu harus menggunakan

    pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah

    berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral

    suatu penelitian. Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian

    hukum normatif yang menggunakan pendekatan Perundang-undangan

    ( Statute Approach ) akan lebih baik apabila dibantu oleh satu atau

    lebih jenis pendekatan lain yang cocok dengan isu permasalahan yang

    diangkat. Hal ini berguna untuk memperkaya pertimbangan-

    pertimbangan hukum yang tepat dalam menghadapi permasalahan

    hukum yang dihadapi.

    2. Pendekatan Kasus (Case Approach)

    Jenis pendekatan kasus (Case Approach ) dalam suatu penelitian

    hukum normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma

    atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.

    3. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual

    Approach)

    Analisis terhadap bahan hukum adalah untuk mengetahui makna yang

    dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan di dalam peraturan

    Perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui

  • 47

    penerapannya di dalam praktik dan keputusan-keputusan hukum. Hal

    ini dapat dilakukan dengan 2 ( dua ) cara pemeriksaan :

    a Peneliti berusaha memperoleh makna baru yang terkandung

    dalam aturan hukum yang bersangkutan.

    b Menguji istilah-istilah hukum tersebut dalam praktik melalui

    analisis terhadap putusan-putusan hukum.

    Pada dasarnya Pendekatan Analisis Konsep Hukum adalah

    menganalisis pengertian hukum, asas hukum, kaidah hukum, sistem

    hukum, dan berbagai konsep yuridis.

    4. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)

    Pendekatan perbandingan merupakan salah satu cara yang

    dipergunakan dalam penelitian hukum normatif untuk membandingkan

    salah satu lembaga hukum (legal institutions) dari sistem hukum yang

    satu dengan lembaga hukum (yang kurang lebih sama dari sistem

    hukum) yang lain. Konsekuensi dari penggunaan pendekatan

    perbandingan ini adalah akan membawa peneliti pada sejarah hukum.

    1.8.3 Sumber Bahan Hukum

    Adapun sumber data yang digunakan untuk mendukung penulisan

    penelitian ini adalah :

    1. Bahan Hukum Primer

    Bahan Hukum Primer Menurut Mukti Fajar dan Yulianto Achmad

    adalah ”bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai

  • 48

    otoritas, yaitu merupakan hasil dari tindakan atau kegiatan yang

    dilakukan oleh lembaga yang berwewenang utuk itu”.43

    Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini

    adalah :

    a Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;

    b Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP );

    c Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

    2. Bahan Hukum Sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang

    merupakan dokumen yang tidak resmi, publikasi tersebut terdiri atas :

    a Buku-buku teks yang membicarakan suatu dan atau beberapa

    permasalahan hukum, termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum.

    b Kamus-kamus hukum.

    c Jurnal-jurnal hukum.

    d Komentar-komentar atas putusan hakim.

    Publikasi tersebut merupakan petunjuk atau penjelasan mengenai

    bahan hukum primer dan bahan hukum yang berasal dari kamus,

    ensiklopedia, jurnal, surat kabar dan sebagainya. Bahan hukum

    sekunder yang paling utama adalah buku teks, buku teks memuat

    prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik

    dari para ahli hukum terdahulu yang pada umumnya ditulis oleh

    43 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum. Normatif dan

    Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 157.

  • 49

    penulis yang berpandangan aliran hukum Eropa Kontinental dan buku

    teks yang ditulis oleh penulis beraliran Anglo Saxon.44

    1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

    Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk memperoleh bahan

    hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang mendukung dan

    berkaitan dengan penulisan tesis ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan). Studi

    dokumen adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan

    hukum tertulis dengan mempergunakan content analisys.45 Teknik ini berguna untuk

    mendapatkan landasan teori dengan mengkaji dan mempelajari buku-buku, peraturan

    perundang-undangan, dokumen, laporan, arsip dan hasil penelitian lainnya baik cetak

    maupun elektronik yang berhubungan dengan kriminalisasi terhadap tindak pidana

    pembunuhan yang di sertai mutilasi dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia.

    1.8.5 Teknik Analisis

    Teknik analisis terhadap bahan hukum yang dipergunakan dalam tesis ini

    adalah teknik deskripsi, evaluasi dan argumentasi. Bahan-bahan hukum yang telah

    terkumpul dianalisis dengan menggunakan teknik deskripsi dimana dilakukan

    penguraian terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau

    non hukum. Kemudian dilakukan teknik evaluasi sebagai penilaian yang berupa tepat

    atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah terhadap suatu pandangan,

    proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan

    44 Bambang Sunggono, Op Cit, h. 54.

    45 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,

    Jakarta, h. 21.

  • 50

    hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Teknik argumentasi tidak bisa

    dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan

    yang bersifat penalaran hukum.