abses peritonsil
DESCRIPTION
thtTRANSCRIPT
Abses Peritonsil
Ira Frayanti
102011060
E4
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510
(021) 5694-2061
Email: [email protected]
Pedahuluan
Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan terkumpulnya
pus pada jaringan ikat longgar antara m.konstriktor faring dengan tonsil pada fosa tonsil.
Infeksi ini menembus kapsul tonsil (biasanya pada kutub atas). Abses peritonsil merupakan
infeksi pada tenggorok yang seringkali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut. Abses
peritonsil merupakan infeksi pada kasus kepala leher yang sering terjadi pada orang dewasa.
Timbulnya abses peritonsil dimulai dari infeksi superfisial dan berkembang secara progresif
menjadi tonsilar selulitis. Komplikasi abses peritonsil yang mungkin terjadi antara lain
perluasan infeksi ke parafaring, mediastinitis, dehidrasi, pneumonia, hingga infeksi ke
intrakranial berupa thrombosis sinus kavernosus, meningitis, abses otak dan obstruksi jalan
nafas. Penyakit - penyakit infeksi pada tenggorok telah diketahui sejak abad ke dua Masehi
oleh Aretaues of Cappadocia. Pada abad ke 2 dan 3 sebelum Masehi, ia menerangkan tentang
dua tipe penyakit pada tonsil yaitu pembengkakan tonsil tanpa ulserasi dan pembengkakan
tonsil dengan obstruksi jalan nafas. Beberapa kepustakaan menjelaskan bahwa abses
peritonsil yang kita kenal sekarang ini pertama kali dikemukakan pada awal tahun 1700an.
Anamnesis
Anamnesis pada kasus ini dapat dilakukan secara langsung pada pasien (autoanamnesis). Jika
pasien sulit berbicara dan datang ditemani dengan keluaga, anamnesis dapat dilakukan
dengan keluarga atau pengantar pasien (alloanamnesis). Adapun hal yang ditanyakan
berkaitan dengan kasus :
Identitas pasien
Keluhan penderita:
1
Kesulitan menelan lamanya (hari, minggu,bulan, tahun)? Apakah semakin sulit
menelan? Apakah disertai nyeri pada saat menelan? Bagaimana dengan makanan
biasa? Apakah sumbatan bertambah bila menelan cairan atau makanan padat? Dimana
kira – kira letak sumbatan (mintalah pasien menunjukan letaknya). Apakah ada
penurunan berat badan? Kalau benar, berapa banyak?
Demam sejak kapan? Apakah demamnya sepanjang hari?
Salivasi apakah ada peningkatan air liur?
Leher kiri membengkak lamanya (hari, minggu,bulan, tahun)? Apakah ada rasa
nyeri? Jika iya, apakah ada nyeri alih seperti nyeri ditelinga?
Apakah dulu pernah menderita tonsilitis?
Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik pada abses peritonsil : 1 Kadang – kadang sukar memeriksa seluruh
faring, karena trismus. Palatum mole tampak membengkak dan menonjol kedepan, dapat
teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong kesisi kontra lateral. Tonsil bengkak,
hiperemis, mugkin banyak dentritus dan terdorong kearah tengah, depan dan bawah. Hasil
pemeriksaan fisik pada skenario didapatkan:
Suhu 37,5C
Nadi 85x/mnt
Napas 100x/mnt
Uvula terdorong kesisi yang sehat
Tosil edema, bengkak
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah, terutama adanya leukositosis sangat membantu diagnosis.
Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi komputer.
Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil secara spesifik dan
mungkin dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa
menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral hypoechoic.2 Gambaran
tersebut kurang dapat dideteksi bila volume relatif pus dalam seluruh abses adalah kurang
dari 10% pada penampakan tomografi komputer. Penentuan lokasi abses yang akurat,
membedakan antara selulitis dan abses peritonsil serta menunjukkan gambaran penyebaran
sekunder dari infeksi ini merupakan kelebihan penggunaan tomografi komputer. Khusus
2
untuk diagnosis abses peritonsil di daerah kutub bawah tonsil akan sangat terbantu dengan
tomografi komputer. 2
Diagnosis banding
Angia plaut vincent (stomatitis ulsero membranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan pada
penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C. Gejalannya demam
sampai 39 derajat C, nyeri kepala, badan lemah dan kadang – kadang terdapat gangguan
pencernaan. Rasa nyeri dimulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah.1,3 Pada
pemeriksaan mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membran putih keabuan diatas
tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prossesus alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore), dan
kelenjar submandibula membesar. 1
Tonsilitis lingualis
Tonsila lingualis tidak mempunyai susunan kripta yang rumit dibandingkan tonsila fausialis,
juga tidak begitu besar. Oleh karena alasan ini, infeksi tonsila lingualis jarang terjadi. Jarang
terdapat tonsila lingualis yang meradang akut bersama tonsila fausialis. Tonsilitis lingualis
lebih sering pada pasien yang mengalami tonsilektomi dan pada orang dewasa. Gejalanya
nyeri pada waktu menelan, rasa adanya pembengkakan pada tenggorokan, malaise, demam
ringan, dan pada beberapa kasus terdapat adenopati servikal dengan nyeri tekan. 1,3 Inspeksi
tonsila lingualis dengan bantuan cermin laring dantulan cahaya memperlihatkan massa
lingualis yang kemerahan, membengkak dengan bercak – bercak berwana keputihan dan
permukaan tonsila, mirip dengan yang tampak pada tonsilitis akut yang mengenai tonsila
fausialis. 3
Abses Retrofaring
Abses retrofaring adalah timbunan nanah pada ruang retrofaring. Penyakit ini dapat terjadi
pada semua umur, lebih sering terjadi anak-anak antar usia 3 bulan sampai 5 tahun karena
masih ditemukan kelenjar limfe retrofaring sedangkan pada dewasa kelenjar ini sudah
mengalami atrofi.
Abses retrofaring pada anak biasanya merupakan komplikasi dari infeksi saluran nafas atas.
Pada dewasa biasanya disebabkan oleh adanya trauma penetrasi benda asing misalnya duri
ikan atau tindakan medis seperti anestesi lokal (jarum tidak steril), intubasi endotrakea dan
tindakan endoskopi. Namun juga bisa merupakan komplikasi dari spondilitis TB serta
dipengaruhi keadaan penurunan imunitas.
3
Bakteri yang menyebabkan infeksi ini biasanya organisme aerob dan anaerob, yang paling
sering adalah Streptococcus β hemolitikus grup A, penyebab lainnya bisa Staphylococcus
aureus, Haemophylus parainfluensa. Anaerob seperti Bacteroides dan Veilonella.
Gejala klinik yang timbul antara lain demam, pada bayi didapatkan tidak mau minum ASI
dan anak rewel, odinofagia, disfagia, pembengkakan leher dan nyeri, lemah dan dehidrasi
karena intake yang kurang, riwayat ISPA atau trauma. 4 Pada keadaan lanjut keadaan umum
anak menjadi kurang baik, terdapat kekakuan leher, leher sedikit hiperekstensi disertai nyeri
pada penekanan. Jika pembengkakan dinding posterior faring semakin besar dapat timbul
perubahan suara, hipersalivasi, sendi leher menjadi kaku dan kesukaran bernafas, penderita
akan lebih nyaman posisi berbaring dengan leher ekstensi Keadaan diatas menjadi tanda
kegawatan yang harus segera ditangani. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum
tampak sakit dan irritable. Inspeksi tampak pergerakan leher yang terbatas dengan
limfadenopati servikal. Pada pemeriksaan tenggorok terlihat dinding faring menonjol
(bombans) dan tampak berwarna merah, dengan palpasi akan didapatkan fluktuasi positif,
didapatkan pembengkakan limfonodi leher servikal, bisa unilateral atau bilatral. Bila terjadi
ruptur spontan dari abses tersebut akan terjadi sesak nafas berat oleh karena aspirasi pus yang
dapat menimbulkan pneumonia aspirasi, abses paru dan sepsis.
Pemeriksaan penunjang laboratorium, biasanya terdapat leukositosis. Pemeriksaan radiologi
antara lain X foto servikal lateral, CT Scan, MRI. Pada x foto servikal lateral akan didapatkan
gambaran pelebaran ruang retrofaring. Pembengkakan jaringan lunak pada regio prevertebra
dengan penebalan lebih dari 7 mm pada servikal II dan lebih dari 14 mm pada servikal VI
pada anak dan lebih dari 22mm pada dewasa. 1 Sedangkan CT Scan membantu dalam
menentukan lokasi abses dan keterlibatan struktur pembuluh darah leher dan struktur di
sekitarnya, digunakan sebagai panduan dalam insisi drainase.
Gejala klinis
Beberapa gejala klinis abses peritonsil antara lain berupa pembengkakan awal hampir selalu
berlokasi pada daerah palatum mole di sebelah atas tonsil yang menyebabkan tonsil
membesar ke arah medial. Onset gejala abses peritonsil biasanya dimulai sekitar 3 sampai 5
hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis. Gejala klinis berupa rasa sakit di tenggorok yang
terus menerus hingga keadaan yang memburuk secara progresif. Rasa nyeri terlokalisir dapat
merupakan gejala menonjol dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan
menelan ludah. Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi hipersalivasi dan
ludah seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore),
muntah (regurgitasi) sampai nyeri alih ke telinga (otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi
4
meluas mengenai otot-otot pterigoid.1 Penderita mengalami kesulitan berbicara, suara
menjadi seperti suara hidung, membesar seperti mengulum kentang panas (hot potato’s voice)
karena penderita berusaha mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut. Pada pemeriksaan
tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua tonsil terinfeksi pada waktu
bersamaan. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan membengkak setelah tonsil yang
satu membaik. Bila terjadi pembengkakan secara bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi
jalan nafas akan lebih berat. Pada pemeriksaan fisik penderita dapat menunjukkan tanda-
tanda dehidrasi dan pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal / servikal adenopati. Di saat
abses sudah timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah peritonsilar yang
terlibat disertai pembesaran pilar-pilar tonsil atau palatum mole yang terkena. 4 Tonsil sendiri
pada umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak atau tertutup oleh
mukopus. Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan terdorongnya uvula pada
sisi yang berlawanan.
Gambar dari kiri ke kanan:abses peritonsilitis sinistra, abses perintonsilitis dextra5
Etiologi
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atauinfeksi yang bersumber
dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan
kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateraldan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua
dan dewasa muda. 2 Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob
maupunyang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses
peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),
Staphylococcus aureus , dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organismeanaerob yang
berperan adalah Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan
Peptostreptococcus spp. 6
5
Patologi
Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak diterima
adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi peritonsillitis
dan kemudian terjadi pembentukan abses yangsebenarnya (frank abscess formation).Daerah
superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikatlonggar, oleh karena itu infiltrasi
supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak
palatum mole membengkak. 1 Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun
jarang.Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga
permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna
kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah,uvula bengkak dan
terdorong ke sisi kontra lateral. 1,3 Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di
sekitarnya akanmenyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus.
Absesdapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.Selain itu, PTA terbukti
dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang (recurrent)
sebelumnya.
Komplikasi
segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena masukan makanan yang kurang. Pecahnya
abses secara spontan, dapat mengakibatkan pendarahan, aspirasi nyebabkan pneumonitis atau
absesparu atau piemia. Pecahnya abses juga dapat menyebabkan penyebaran infeksi ke ruang
leher dalam, dengan kemungkinan sampai ke mediastinum dan dasar tengkorak.1,3 Komplikasi
abses peritonsil yang sangat serius pernah dilaporkan sekitar tahun 1930, sebelum masa
penggunaan antibiotika. Infeksi abses peritonsil menyebar ke arah parafaring menyusuri
selubung karotis kemudian membentuk ruang infeksi yang luas. Perluasan Infeksi ke daerah
parafaring dapat menyebabkan terjadinya abses parafaring, penjalaran selanjutnya dapat
masuk ke mediastinum sehingga dapat terjadi mediastinitis.4 Bila terjadi penjalaran ke daerah
intrakranial dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.
Pada keadaan ini, bila tidak ditangani dengan baik akan menghasilkan gejala sisa neurologis
yang fatal.
6
Penatalaksanaan
Non medikamentosa:
Insisi dan drainase
Abses peritonsil merupakan suatu indikasi tindakan yang juga disebut intraoral drainase.
Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat dan terlokalisir
secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan di daerah pilar-
pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah paling berfluktuasi. 4
Teknik insisi
Pada penderita yang sadar, tindakan dapat dilakukan dengan posisi duduk menggunakan
anestesi lokal. Anestesi lokal dapat dilakukan pada cabang tonsilar dari nervus
glossofaringeus (N.IX) yang memberikan inervasi sensoris mayoritas pada daerah ini, dengan
menyuntikkan lidokain melalui mukosa ke dalam fosa tonsil.
Gambar. Teknik insisi7
Pada penderita yang memerlukan anestesi umum, posisi penderita saat tindakan adalah kepala
lebih rendah (trendelenberg) menggunakan ETT (Endotrakeal tube). Anestesi topikal dapat
berupa xylocaine spray atau menggunakan lidokain 4-5% atau tetrakain 2% untuk mencegah
keterlibatan jaringan tonsil yang lain. Menggunakan pisau skalpel no.11. 1
Drainase dengan aspirasi jarum
Model terapi abses peritonsil yang digunakan sampai saat ini, pertama insisi dan drainase serta yang kedua tonsilektomi. Saat ini ada beberapa penelitian yang mendiskusikan tentang aspirasi menggunakan jarum sebagai salah satu terapi bedah pada abses peritonsil.20
7
Teknik aspirasi
Tindakan dilakukan menggunakan semprit 10 ml, dan jarum no.18 setelah pemberian anestesitopikal (misalnya xylocain spray) dan infiltrasi anestesi lokal (misalnya lidokain).
Gambar : Tindakan Aspirasi abses peritonsil17
Lokasi aspirasi pertama adalah pada titik atau daerah paling berfluktuasi atau pada tempat pembengkakan maksimum. Bila tidak ditemukan pus, aspirasi kedua dapat dilakukan 1 cm di bawahnya atau bagian tengah tonsil.7 Aspirasi jarum, seperti juga insisi dan drainase, merupakan tindakan yang sulit dan jarang berhasil dilakukan pada anak dengan abses peritonsil karena biasanya mereka tidak dapat bekerja sama. Selain itu tindakan tersebut juga dapat menyebabkan aspirasi darah dan pus ke dalam saluran nafas yang relatif berukuran kecil.
Tonsilektomi
Tindakan pembedahan pada abses peritonsil merupakan topik yang kontroversial sejak beberapa abad. Filosofi dari tindakan tonsilektomi pada abses peritonsil adalah karena berdasarkan pemikiran bahwa kekambuhan pada penderita abses peritonsil terjadi cukup banyak sehingga tindakan pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk memastikan tidak terjadinya kekambuhan.7 Sementara insisi dan drainase abses merupakan tindakan yang paling banyak diterima sebagai terapi utama untuk abses peritonsil, beberapa bentuk tonsilektomi kadang-kadang dilakukan. Waktu pelaksanaan tonsilektomi sebagai terapi abses peritonsil, bervariasi: 3
1. Tonsilektomi a chaud: dilakukan segera / bersamaan dengan drainase abses.
2. Tonsilektomi a tiede : dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan drainase.
3. Tonsilektomi a froid : dilakukan 4-6 minggu setelah drainase.
Medikamentosa
Salah satu faktor yang masih merupakan kontroversi dalam penanganan abses peritonsil
adalah pemilihan terapi antibiotika sebelum dan sesudah pembedahan. Antibiotika pada
gejala awal diberikan dalam dosis tinggi disertai obat simptomatik, kumurkumur dengan
cairan hangat dan kompres hangat pada leher (untuk mengendurkan tegangan otot). 1,3 Dengan
8
mengutamakan pemeriksaan kultur dan sensitifitas, pemberian terapi antibiotika ditunjukkan
pada jenis bakteri mana yang lebih banyak muncul. Penisilin dan sefalosporin (generasi
pertama kedua atau ketiga) biasanya merupakan obat pilihan. Penisilin dalam dosis tinggi
sebagai obat pilihan diberikan dengan mempertimbangkan kontra indikasi seperti alergi.
Penisilin dapat digunakan pada penderita abses peritonsil yang diperkirakan disebabkan oleh
kuman staphylococcus. Metronidazol merupakan antimikroba yang sangat baik untuk infeksi
anaerob. Tetrasiklin merupakan antibiotika alternatif yang sangat baik bagi orang dewasa,
meskipun klindamisin saat ini dipertimbangkan sebagai antibiotik pilihan untuk menangani
bakteri yang memproduksi beta laktamase. Penting untuk dicatat bahwa memberikan
antibiotika intravena pada penderita abses peritonsil yang dirawat inap belakangan ini sudah
kurang umum digunakan. 4
Prognosis
Baik, jika dilakukan tonsilektomi. Karena, abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak
diikuti dengantonsilektomi.
Kesimpulan
Abses peritonsil adalah infeksi leher dalam yang seringkali terjadi sebagai komplikasi dari
tonsillitis akut. Pasien dengan abses peritonsil sering datang dengan keluhan yang berat dan
salah satu gejala yang sering membuat pasien datang ke dokter adalah trismus karena
peradangan pada m.pterigoid interna. Akan tetapi tindakan yang dapat dilakukan untuk
menangani abses peritonsiler ini, tidaklah serumit yang dibayangkan, yaitu berupa insisi dan
drainase abses dengan anestesi. namun apabila tidak dilakukan tindakan yang cepat, tepat dan
efektif maka dapat menimbulkan komplikasi yang cukup berarti.
Daftar pustaka
1. Fachruddin, darnila. 2010. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar IlmuKesehatan,
Telinga-Hidung-Tenggorokan, hal. 226 - 7. Balai Penerbit FKUI,Jakarta.
2. Fasano J.C, Chudnofsky C. Bilateral Peritonsillar Abscesses: Not Your Usual Sore
Throat. The Journal of Emergency Medicine 2005;29 p. 45-7.
3. Adams, G.L. 2012. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam:Boies, Buku
Ajar Penyakit THT, hal.333. EGC, Jakarta.
4. M Arif, T Kuspuji, S Rakhmi (Ed). 2009. Kapita selekta kedokteran, hal. 119 – 23
Balai penerbit FKUI, Jakarta.
9
5. https://www.google.com/search?
q=penjelasan+patofisiologi+abses+peritonsil&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ei=Q
E8lU4LtM9CTiAe76YGoBw&ved=0CAcQ_AUoAQ&biw=1366&bih=664#q=+abse
s+peritonsil&tbm=isch&facrc=_&imgdii=_&imgrc=eALR2rA_5Pb8EM%253A
%3BDwOG5zk2_WpMuM%3Bhttp%253A%252F%252Fwww.ghorayeb.com
%252Ffiles%252Fperitonsillar_abscess_labeled_2002.jpg%3Bhttp%253A%252F
%252Fmedicalera.com%252F3%252F21947%252Fabses-peritonsiler-komplikasi-
amandel-yang-mengerikan%3B488%3B364. Telah diundu tanggal 16 maret 2014
6. Bailey BJ. Infections of The Deep Spaces of The Neck. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 3 th Edition. Philadelphia. Wolters Kluwer Company. 2001. p.701-15
7. Badran KH, Karkos PD. Aspiration of Peritonsillar Abscess in Severe Trismus.
Journal of Laryngol &Otol 2006;120:492-94.
10