abses peritonsil

9
3.1. Abses peritonsil Abses peritonsil merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara m. konstriktor faring dengan tonsil pada fosa tonsil. Infeksi ini menembus kapsul tonsil dari kelenjar weber pada kutub atas tonsil. Abses peritonsil merupakan infeksi pada tenggorok yang seringkali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut. 3.1.1. Epidemiologi Abses peritonsil sering mengenai orang dewasa pada usia 20 sampai 40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak- anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Insiden abses peritonsil di A.S terjadi 30 per 100.000 orang/ tahun. 3.1.2. Etiopatogenesis Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa- sisa makanan dan debris yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi

Upload: apri-uci-lestari

Post on 02-Jan-2016

28 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: abses peritonsil

3.1. Abses peritonsil

Abses peritonsil merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan terkumpulnya pus

pada jaringan ikat longgar antara m. konstriktor faring dengan tonsil pada fosa tonsil. Infeksi

ini menembus kapsul tonsil dari kelenjar weber pada kutub atas tonsil. Abses peritonsil

merupakan infeksi pada tenggorok yang seringkali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.

3.1.1. Epidemiologi

Abses peritonsil sering mengenai orang dewasa pada usia 20 sampai 40 tahun. Pada

anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem imunnya, tapi infeksi bisa

menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki

proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Insiden abses peritonsil di A.S terjadi 30

per 100.000 orang/ tahun.

3.1.2. Etiopatogenesis

Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang

disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan ludah ke

dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris

yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna.

Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu timbul

sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya pembesaran

kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil

atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk

pus sehingga menyebabkan terjadinya abses.

Beberapa penelitian dengan mengisolasi bakteri menunjukkan Streptococcus viridians

merupakan penyebab terbanyak infeksi abses peritonsil, diikuti oleh Streptococcus beta

hemolyticus grup A. Bakteri anaerob dan Streptococcus gram positif telah diidentifikasi

sebagai agen etiologi umum.

Apapun bakteri/kuman yang menjadi penyebabnya, proses infeksi ini menunjukkan

bahwa mekanisme pertahanan pertama dari orofaring penerima (host) telah ditembus dan

sebagai akibatnya mikroorganisme tersebut masuk menembus jaringan orofaring. Ketika

bakteri menembus jaringan, tubuh secara alami akan menggerakkan beberapa mekanisme

pertahanan.

Page 2: abses peritonsil

Secara umum bakteri akan mati oleh aktifitas sel-sel fagosit. Antibodi memainkan

peranan penting melawan toksin-toksin bakteri, tetapi bagaimana peranan antibodi dalam

melawan bakteri penyebab inflamasi peritonsil akut masih belum diketahui

3.1.3. Gejala Klinis

Pembengkakan awal hampir selalu berlokasi pada daerah palatum mole di sebelah

atas tonsil yang menyebabkan tonsil membesar ke arah medial. Onset gejala abses peritonsil

biasanya dimulai sekitar 3 sampai 5 hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis.

Gejala klinis berupa rasa sakit di tenggorok yang terus menerus hingga keadaan yang

memburuk secara progresif walaupun telah diobati. Rasa nyeri terlokalisir, demam tinggi,

(sampai 40°C), lemah dan mual. Odinofagi dapat merupakan gejala menonjol dan pasien

mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat

mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah seringkali menetes keluar.

Keluhan lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi) sampai nyeri alih

ke telinga (otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot pterigoid.

Penderita mengalami kesulitan berbicara, suara menjadi seperti suara hidung, membesar

seperti mengulum kentang panas (hot potato’s voice) karena penderita berusaha mengurangi

rasa nyeri saat membuka mulut. Seperti dikutip dari Finkelstein, Ferguson mendefinisikan hot

potato voice merupakan suatu penebalan pada suara.

Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua tonsil

terinfeksi pada waktu bersamaan. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan

membengkak setelah tonsil yang satu membaik. Bila terjadi pembengkakan secara

bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi jalan nafas akan lebih berat.

Pada pemeriksaan fisik penderita dapat menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan

pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal / servikal adenopati. Di saat abses sudah timbul,

biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah peritonsilar yang terlibat disertai

pembesaran pilar-pilar tonsil atau palatum mole yang terkena.

Tonsil sendiri pada umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak

atau tertutup oleh mukopus. Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan

terdorongnya uvula pada sisi yang berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada bagian

supratonsil atau di belakang tonsil, penyebaran pus ke arah inferior dapat menimbulkan

pembengkakan supraglotis dan obstruksi jalan nafas. Pada keadaan ini penderita akan tampak

cemas dan sangat ketakutan.

Page 3: abses peritonsil

Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak menunjukkan gejala yang sama

dengan pada kutub superior. Umumnya uvula tampak normal dan tidak bergeser, tonsil dan

daerah peritonsil superior tampak berukuran normal hanya ditandai dengan kemerahan.

Gambar 14. Abses peritonsil

3.1.5. Diagnosis

Menegakkan diagnosis penderita dengan abses peritonsil dapat dilakukan berdasarkan

anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik penderita. Aspirasi

dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan tindakan diagnosis

yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Seperti dikutip dari Hanna, Similarly Snow

dkk berpendapat untuk mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan

dengan cara usap tenggorok. Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu selain untuk

diagnosis juga untuk perencanaan penatalaksanaan.

Pemeriksaan secara klinis seringkali sukar dilakukan karena adanya trismus. Palatum

mole tampak menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin

banyak detritus, terdorong ke arah tengah, depan dan bawah. Uvula terdorong ke arah kontra

lateral. Gejala lain untuk diagnosis sesuai dengan gejala klinisnya.

Pemeriksaan laboratorium darah berupa faal hemostasis, terutama adanya leukositosis sangat

membantu diagnosis. Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan

tomografi komputer.

Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil secara

spesifik dan mungkin dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus yang

diperiksa menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral hypoechoic.

Page 4: abses peritonsil

Gambaran tersebut kurang dapat dideteksi bila volume relatif pus dalam seluruh abses adalah

kurang dari 10% pada penampakan tomografi komputer. Penentuan lokasi abses yang akurat,

membedakan antara

selulitis dan abses peritonsil serta menunjukkan gambaran penyebaran sekunder dari

infeksi ini merupakan kelebihan penggunaan tomografi komputer. Khusus untuk diagnosis

abses peritonsil di daerah kutub bawah tonsil akan sangat terbantu dengan tomografi

komputer. Fasano mengatakan bahwa pemeriksaan dengan menggunakan foto rontgen polos

dalam mengevaluasi abses peritonsil terbatas. Tomografi komputer dan ultrasonografi dapat

membantu untuk membedakan antara abses peritonsil dengan selulitis tonsil.

Gambar 15. Gambaran CT-scan dari abses peritonsil yang mengalami pergeseran ke medial

dibawah jaringan lunak tonsil. Jaringan lemak parafaring (panah) tidak terdapat kelainan.

3.1.6. Diagnosis Banding

Infiltrat peritonsil, tumor, abses retrofaring, abses parafaring, aneurisma arteri karotis

interna, infeksi mastoid, mononucleosis, infeksi kelenjar liur, infeksi gigi, dan adenitis tonsil.

Kelainan-kelainan ini dapat dibedakan dari abses peritonsil melalui pemeriksaan darah,

biopsi dan pemeriksaan diagnostik lain. Tidak ada kriteria spesifik yang dianjurkan untuk

membedakan selulitis dan abses peritonsil.

Karena itu disepakati bahwa, kecuali pada kasus yang sangat ringan, semua penderita

dengan gejala infeksi daerah peritonsil harus menjalani aspirasi/punksi. Apabila hasil aspirasi

Page 5: abses peritonsil

positif (terdapat pus), berarti abses, maka penatalaksanaan selanjutnya dapat dilakukan. Bila

hasil aspirasi negatif (pus tidak ada), pasien mungkin dapat didiagnosis sebagai selulitis

peritonsil.

3.1.7. Terapi

Terapi antibiotika

Antibiotika pada gejala awal diberikan dalam dosis tinggi disertai obat simptomatik,

kumurkumur dengan cairan hangat dan kompres hangat pada leher (untuk mengendurkan

tegangan otot). Dengan mengutamakan pemeriksaan kultur dan sensitifitas, pemberian terapi

antibiotika ditunjukkan pada jenis bakteri mana yang lebih banyak muncul.

Penisilin dan sefalosporin (generasi pertama kedua atau ketiga) biasanya merupakan

obat pilihan. Penisilin dalam dosis tinggi sebagai obat pilihan diberikan dengan

mempertimbangkan kontra indikasi seperti alergi atau timbulnya kemungkinan adanya reaksi

koagulasi organisme. Penisilin dapat digunakan pada penderita abses peritonsil yang

diperkirakan disebabkan oleh kuman staphylococcus. Metronidazol merupakan antimikroba

yang sangat baik untuk infeksi anaerob. Tetrasiklin merupakan antibiotika alternatif yang

sangat baik bagi orang dewasa, meskipun klindamisin saat ini dipertimbangkan sebagai

antibiotik pilihan untuk menangani bakteri yang memproduksi beta laktamase.

Insisi dan drainase

Abses peritonsil merupakan suatu indikasi tindakan yang juga disebut intraoral

drainase. Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat dan

terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan di

daerah pilar pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah paling berfluktuasi.

Teknik aspirasi

Tindakan dilakukan menggunakan semprit 10 ml, dan jarum no.18 setelah pemberian

anestesi topikal (misalnya xylocain spray) dan infiltrasi anestesi lokal (misalnya lidokain).

Gambar 12: Tindakan Aspirasi abses peritonsil

Page 6: abses peritonsil

Lokasi aspirasi pertama adalah pada titik atau daerah paling berfluktuasi atau pada

tempat pembengkakan maksimum. Bila tidak ditemukan pus, aspirasi kedua dapat dilakukan

1 cm di bawahnya atau bagian tengah tonsil.

Tonsilektomi

Waktu pelaksanaan tonsilektomi sebagai terapi abses peritonsil, bervariasi :

1. Tonsilektomi a chaud: dilakukan segera /bersamaan dengan drainase abses.

2. Tonsilektomi a tiede : dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan drainase.

3. Tonsilektomi a froid : dilakukan 4-6 minggu setelah drainase.

3.1.8. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:

1. Abses pecah spontan, mengakibatkan terjadi perdarahan, aspirasi paru atau piemia.

2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.

Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi mediastinitis.

3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus

kavernosus, meningitis, dan abses otak.6

3.1.9. Prognosis

Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi.

Tonsilektomi sebaiknya ditunda sampai 6 minggu setelah episode infeksi. Pada saat

tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat

operasi.6