ablasio retina
DESCRIPTION
jurnal about ablasio retina regmatogenosaTRANSCRIPT
Faktor Predisposisi Ablasio Retina Regmatogenosa Pada
Orang Ethiopia
Berhan Solomon, Tiliksew Teshome
A. Latar Belakang
Penyakit pada retina merupakan penyebab terbesar penurunan penglihatan pada negara
barat tetapi mungkin lebih jarang pada negara berkembang dimana kehilangan penglihatan
disebabkan oleh penyebab yang dapat dicegah seperti katarak dan sikatrik pada mata. Namun,
survey berbasis populasi yang dilakukan di India menunjukkan bahwa penyakit pada retina
merupakan penyebab utama dari kebutaan dengan presentase signifikan (12,7%) dari
populasi yang diteliti. Di Amerika Serikat dan Eropa, insidensi tahunan untuk penyakit retina
atau ablasio retina antara 6 sampai 12 per 100.000 populasi per tahun telah dilaporkan.
Survey berbasis populasi pada insidensi ablasio retina di negara berkembang masih jarang
dan sedikit yang diketahui mengenai insidensi ablasio retina di Afrika.
Sejalan dengan meningkatnya jumlah ekstraksi katarak yang dilakukan saat ini, hal ini
menjelaskan bahwa ablasio retina pseudofaki juga akan meningkat. Akibatnya, di negara
berkembang seperti Ethiopia, dimana masih kurangnya fasilitas operasi yang optimal dan
sedikitnya ahli bedah vitreoretinal, kebutaan karena penyakit retina seperti ablasio retina,
retinopati diabetik dan degenerasi makular terkait usia akan meningkat, kecuali di desain
strategi untuk meningkatkan jumlah dan memperbaiki set-up dari fasilitas yang ada dan juga
meningkatkan jumlah profesional terlatih dalam bidang retina.
Walaupun sejumlah besar pasien dengan ablasio retina telah tampak setiap tahun di
fasilitas perawatan mata yang ada, namun tidak ada survey berbasis populasi atau penelitian
oleh rumah sakit yang dilakukan untuk mengetahui prevalensi dan mengidentifikasi penyebab
dan faktor resiko dari ablasio retina pada pasien di Ethiopia.
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menguraikan faktor resiko
yang mempermudah penduduk Ethiopia mengalami ablasio retina regmatogenosa pada pusat
perawatan mata tertier di Addis Ababa. Penelitian ini juga mengusulkan langkah untuk
menurunkan insidensi dari ablasio retina regmatogenosa pada kelompok yang beresiko.
C. Metodologi
Metodologi penelitian yang digunakan adalah deskriptif retrospektif, seluruh tabel tentang
pasien dengan diagnosa ablasio retina regmatogenosa dilihat di klinik retina, Rumah Sakit
Menelik II sejak April 1999 sampai 2003 yang dikumpulkan dari ruang rekam medis dan hal-
hal yang berhubungan diringkas dari masing-masing tabel.
Rumah Sakit Menelik II adalah rumah sakit pendidikan tersier yang terdapat di ibukota,
Addis Ababa. Departemen mata memberikan pelayanan komperhensif dalam perawatan mata
keseluruh pasien dengan penyakit mata sebatas fasilitas yang tersedia di rumah sakit tersebut.
Beberapa pasien dengan penyakit mata datang langsung ke departemen mata atau ada juga
yang dirujuk dari rumah sakit lainnya di kota tersebut. Pasien yang dirujuk dan dating ke
pusat perawatan ini berasal dari seluruh sudut kota karena Rumah Sakit Menelik II relatif
diperlengkapi dengan baik dan memiliki professional terlatih untuk level subspesialitis. Saat
penelitian ini dilakukan, Rumah Sakit Menelik II merupakan salah satu dari sedikit pusat
perawatan mata yang melaksanakan operasi ablasio retina.
Berdasarkan dokumen tabel pasien, diagnosis klinis dari ablasio retina regmatogenosa
dibuat berdasarkan riwayat pasien dan temuan klinis. Pemeriksaan oftalmoskop indirek telah
dilakukan dan ultrasound B-scan digunakan saat terdapat kekeruhan media. Pada tabel pasien
myopia dengan ablasio retina regmatogenosa, terdapat perubahan fundus miopi dan ukuran
dari panjang axis mata menggunakan ultrasound A-scan dan telah didokumentasikan. Pada
penelitian ini, miopia tinggi dibatasi sebagai kelainan refraksi yang memerlukan koreksi kaca
mata konkaf sebesar 5D atau lebih, atau panjang axis mata lebih dari 26 mm.
Tipe lainnya dari ablasio retina, yaitu ablasio retina traksi dan eksudatif, dieksklusi dari
penelitian ini. Semua informasi yang diperlukan untuk penelitian ini direkam dari tabel yang
telah diperbaiki pada format kuisioner terstruktur.
Data yang telah terkumpul dimasukkan ke dalam computer dan dianalisis menggunakan
program software EPI INFO 6. Ukuran, proporsi dan presentase diperoleh dengan
penghitungan.
D. Hasil
Lebih dari 328 pasien dengan diagnosia ablasio retino regmatogenosa terdaftar di
registrasi klinik retina, diagram dari 276 pasien (84,1%) telah diperbaiki dari ruangan rekam
medis. Dari 276 pasien, 188 (68%) adalah pria dan 88 (32%) adalah wanita, sehingga rasio
pria berbanding wanita 2.1 : 1. Rentang umur mereka dari 7 tahun hingga 85 tahun dengan
rata-rata usia 41 tahun dan usia pertengahan adalah 40 tahun. Dari 276 pasien, 247 (89,5%)
diantaranya memiliki ablasio retina regmatogenosa (133 [48.2%] pada mata kanan dan 114
[41.3%] pada mata kiri) dan 29 pasien (10.5%) mengalami bilateral ablasio retina
regmatogenosa; sehingga total 305 mata mengalami ablasio retina regmatogenosa. Profil
demografi dan karakteristik klinis dari pasien dapat dilihat pada tabel 1. Usia pasien
dikelompokkan menjadi tiga kelompok (muda/dewasa/tua) dimana setiap kelompok kurang
lebih memiliki factor resiko potensial yang sama untuk terjadinya ablasio retina.
Seratus dua puluh lima (41.0%) mata mengalami ablasi retina regmatogenosa total
meliputi keempat kuadran retina. Enam puluh Sembilan (22.6%) mata mengalami ablasio
retina meliputi tiga kuadran. Ablasio retina yang melibatkan macula terlepas ditemukan pada
225 (73.8%) mata. Vitreoretinopati proliferatif telah diobservasi pada 124 (40.7%) mata dan
diantara itu vitreoretinopati proliferatif stadium C atau buruk ditemukan pada 57 (18.7%)
mata.
Miopi pada semua tingkat keparahan ditemukan pada 78 (28.3%) mata dimana 63
memiliki myopia 5D atau lebih. Riwayat trauma tumpul mata pada mata yang mengalami
ablasio retina regmatogenosa tercatat pada tabel sebanyak 57 (20.7%) pasien. Tiga puluh
Sembilan (14.2%) mata dengan ablasio retina regmatogenosa merupakan pseudofakia dan 21
(7.6%) mata merupakan afakia. Pada 81 (29.3%) pasien dengan ablasio retina
regmatogenosa, tidak ditemukan adanya penyebab atau factor predisposisi (tabel 2).
Meskipun ada kemungkinan kombinasi dari beberapa penyebab, namun riwayat trauma mata
tidak semuanya tercatat dalam tabel pasien miopi atau pseudofaki/afakia dengan ablasio
retina regmatogenosa.
E. Diskusi
Pada penelitian ini usia rata- rata yang terlihat adalah 41 tahun dimana 55% pasien
merupakan usia antara 20 – 50 tahun, dan usia pertengahan adalah 40 tahun. Hal ini
sebanding dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Mohamed et al di Singapure dan
Yorston et al di Afrika TImur dimana mereka menemukan usia rata-rata adalah 46.1 dan 47
tahun. Tetapi pada penelitian lainnya yang dilaksanakan di Kroasia oleh Ivanisevic et al, usia
rata-rata adalah 58.3 tahun, dimana lebih tinggi dari pada penelitian lainnya. Usia rata-rata
yang lebih tinggi pada penelitian di Kroasia mungkin disebabkan karena pada penelitian ini
mengeksklusi semua ablasio retina regmatogenosa traumatic yang biasa terjadi pada usia
muda.
Kemungkinan ada perbedaan jenis kelamin antara pasien dengan ablasio retina dimana
lebih dominan pria walaupun kasus ablasio retina traumatic telah dieksklusi. Penelitian ini
juga menunjukkan ablasio retina regmatogenosa secara signifikan lebih sering pada pria
(68%) dari pada wanita (32%). Temuan ini juga sebanding dengan penelitian yang dilakukan
di Afrika timur dan Singapore, dimana 62.2% dan 70% dari ablasio retina, tampak pada pria.
Satu penjelasan yang mungkin untuk perbedaan ini setidaknya pada aturan ini kemungkinan
adalah pria (untuk berbagai macam alasan) memiliki kebiasaan untuk dating ke pusat
perawatan mata dibandingkan dengan wanita.
Miopia tinggi merupakan faktor resiko untuk ablasio retina yang telah diketahui dan
myopia signifikan berkaitan sekitar 42% dari seluruh ablasio retina regmatogenosa. Pada
penelitian ini, 78 (28.3%) mata dengan ablasio retina regmatogenosa merupakan miopi
dimana 63 (80.8%) mata merupakan myopia mata dengan 5D atau lebih, 5 (6.4%) mata
memiliki myopia < 5D dan sisanya 10 (12.8%) mata miopi dengan ablasio retina
regmatogenosa dimana derajat miopinya tidak tercatat pada tabel. Penelitian kasus kontrol
penyakit mata menunjukkan bahwa orang dengan miopi memiliki 4 – 10 kali resiko lebih
tinggi untuk terjadinya ablasio retina regmatogenosa. Tingginya insidensi ablasio retina
regmatogenosa diantara mata miopi disebabkan oleh tingginya insidensi degenerasi lattice
dan ablasi vitreous posterior dan bagian perifer retina yang tipis lebih mudah robek
dibandingkan yang tampak pada emetropi. Dibandingkan dengan emetrope, mata miopi juga
lebih rentan terkena trauma yang mungkin menyebabkan ablasio retina regmatogenosa.
Penelitian yang dilakukan di Swedia, myopia > 2D ditemukan pada 25% dan miopi > 5D
pada 12.7% pasien dengan ablasio retina regmatogenosa. Penelitian lainnya juga
menunjukkan adanya keterkaitan myopia tinggi dengan ablasio retina regmatogenosa; di
Zaire 11.4%, India 18.4%, China 35% dan UK 20.9% pasien ablasio retina regmatogenosa
ditemukan memiliki myopia tinggi.
Trauma tumpul mata merupakan penyebab utama ablasio retina pada anak-anak dan
dewasa dan ini merupakan penyebab penting ablasio retina di Afrika. Robeknya retina karena
trauma tumpul biasanya disebabkan oleh penekanan pada bola mata bagian antero-posterior
dengan ekspansi penekanan pada daerah ekuator. Pada penelitian ini, trauma mata merupakan
penyebab ablasio retina regmatogenosa pada 57 (20.7%) pasien. Pada penelitian lainnya,
trauma berkontribusi terhadap ablasio retina sebesar 30% mata di Afrika Selatan, 23% di
Zaire, dan 8% di Kenya. Temuan ini sebanding dengan penelitian yang dilakukan di Zaire.
Operasi katarak dikenal sebagai faktor resiko untuk ablasio retina regmatogenosa,
terutama jika mengalami komplikasi berupa rupture kapsul posterior dan kehilangan vitreous.
Resiko ini bahkan lebih tinggi pada kasus ekstrasi katarak intrakapsular (ICCE). Dalam
penelitian ini, ablasio retina regmatogenosa terjadi pada 39 (14.2%) pseudofakia dan 21
(7.6%) pasien afakia. Karena itu, total 60 (21.7%) pasien dengan ablasio retina pada
penelitian ini memiliki riwayat ekstraksi katarak. Penelitian yang dilakukan oleh Rowe et al
memperkirakan kemungkinan kumulatif dari ablasio retina 10 tahun setelah ekstraksi katarak
adalah 5.5 kali lebih tinggi dari katarak tanpa operasi. Karena ICCE sudah jarang dilakukan
saat ini, proporsi ablasio retina regmatogenosa afakia pada penelitian ini lebih rendah
dibandingkan dengan ablasio retina regmatogenosa pseudofakia walaupun resiko tertinggi
dari ablasio retina regmatogenosa dikaitkan dengan afakia. Penelitian lainnya yang dilakukan
oleh Yorston menunjukkan bahwa di Kenya 24.1% dan di Zaire 15.2% mata dengan ablasio
retina regmatogenosa pernah mendapatkan operasi katarak, dan penelitian yang dilakukan di
Singapore, riwayat operasi katarak sebelumnya tampak pada 12% pasien dengan ablasio
retina regmatogenosa. Penelitian yang dilakukan di Afrika Timur juga menunjukkan 46 mata
(12.7%) dengan ablasio retina regmatogenosa merupakan afakia dan 41 (11.4%) merupakan
pseudofakia. Proporsi pasien dengan ablasio retina regmatogenosa pasca ekstraksi katarak
dalam penelitian ini (21.7%) sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Kenya dan Afrika
Timur.
Kebanyakan pasien dengan ablasio retina regmatogenosa dalam penelitian ini datang ke
pusat penelitian sangat terlambat sehingga jumlah yang cukup signifikan dari mata
mengalami perkembangan hingga vitreoretinopati proliferative dan presentasi serupa pada
mata nampak keterlibatan empat kuadran retina dengan tanda ablasio retina jangka panjang.
Pada penelitian ini tidak ada hubungan yang signifikan antara beberapa factor risiko
dengan jenis kelamin pasien (nilai-p > 0,05). Pada seluruh kelompok umur, juga tidak ada
perbedaan signifikan dalam keterlibatan mata kanan atau mata kiri yang mengalami ablasio
retina (nilai-p = 0.51). Dari 170 pasien pria dengan ablasio retina regmatogenosa melibatkan
satu mata, 100 (58.8%) dari itu mengalami ablasio retina pada mata kanan dan 70 (41.2%)
mengalaminya pada mata kiri (tabel 3).
Serupa dengan hal tersebut, dari 77 pasien wanita dengan ablasio retina regmatogenosa
pada satu mata, 33 (42.8%) diantaranya mengalami ablasio retina pada mata kanan dan 44
(57.2%) pada mata kiri. Pada penelitian ini ablasio retina regmatogenosa unilateral tampak
lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita (nilai-p = 0.03). Tidak ada perbedaan
signifikan dalam keterlibatan macula dengan ablasio retina antara pasien pria dan wanita
(nilai-p = 0.58).
Kekurangan dari penelitian ini adalah:
Tidak semua rekam medis pasien dengan diagnosis ablasio retina regmatogenosa
sudah diperbaiki dari ruang rekam medis, sebanyak 52 kartu (15.9%) hilang.
Dikarenakan penelitian ini adalah review rekam medis secara retropektif, hanya
informasi yang tercatat pada tabel yang dapat dimasukkan. Pada beberapa tabel,
informasi uutama, seperti derajat kelainan refraksi, tercatat secara tidak lengkap.
Status macula tidak dicatat pada proporsi tertentu (20%) kasus.
Dari 29.3% kasus, bukanlah hal yang tidak mungkin untuk menentukan atau
menemukan penyebab beberapa faktor predisposisi untuk ablasio retina
regmatogenosa.
F. Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan miopi tinggi, trauma tumpul mata, pseudofakia, dan afakia
pada derajat yang rendah merupakan resiko utama factor predisposisi orang Ethiopia untuk
mengalami ablasio retina regmatogenosa. Miopia, menjadi factor predisposisi tersering pada
ablasio retina regmatogenosa, dan memerlukan perhatian khusus. Pasien myopia tinggi
harusnya disarankan untuk melakukan follow up secara teratur dengan pemeriksaan fundus
pada klinik retina untuk mendeteksi dini dan mengobati factor predisposisi lesi retina
degenerative dan robekan yang sering pada pasien ini. Mereka juga sebaiknya menasehati
untuk menghindari aktifitas fisik beresiko seperti olahraga dan maneuver serupa untuk
meminimalisir trauma pada mata. Umumnya cedera mata dapat diminimalisir dengan
penyediaan layanan kesehatan masyarakat dan pengetahuan tentang kesehatan mata kepada
masyarakat menggunakan media massa, di sekolah dan fasilitas kesehatan.
Penelitian ini juga menunjukkan ablasio retina cukup sering dijumpai di senter perawatan
mata dan selanjutnya penelitian prevalensi pada populasi umumnya atau pada beberapa pusat
perawatan lainnya di kota tersebut, dimana klinik retina direkomendasikan. Proporsi
signifikan dari pasien pada penelitian ini datang dari pinggir kota karena Rumah Sakit
Menelik II merupakan satu-satunya pusat pelayanan kesehatan pemerintahan di kota
tersebutdimana operasi standard vitreoretinal dilakukan. Oleh karena itu direkomendasikan
untuk mendirikan pelayanan vitreoretinal di pusat perawatan mata lainnya dengan baik dan
melatih ahli bedah vitreoretinal tambahan untuk memperluas pelayanan.
G. Rangkuman Pembaca
Penyebab penurunan penglihatan pada penduduk di negara maju dan berkembang
memiliki trend yang berbeda. Di negara berkembang kebanyakan penurunan penglihatan
lebih dikarenakan penyakit katarak, sikatrik pada kornea dan sebagainya. Sedangkan pada
negara maju penyebab penurunan penglihatan sering timbul karena penyakit retina. Penelitian
tentang insidensi penyakit retina di negara maju dan afrika masi cukup sedikit.
Meningkatnya ekstraksi katarak pada saat ini berbanding lurus dengan angka kejadian
ablasio retina pada pseudofakia., Walaupun tampak bahwa pasien dengan penyakit retina
muncul setiap tahunnya, namun belum ada yang melakukan penelitian berbasis populasi
untuk mengetahui prevalensi dan mengidentifikasi factor penyebab ablasio retina.
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan menguraikan faktor resiko yang
mempermudah penduduk Ethiopia mengalami ablasio retina regmatogenosa pada pusat
perawatan mata tertier di Addis Ababa.
Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif retrospektif. Data penelitian diambil
dari data sekunder dari rekam medis pasien dengan diagnosa ablasio retina regmatogenosa
yang ada di klinik retina, Rumah Sakit Menelik II sejak April 1999 sampai 2003. Pada
penelitian ini pasien yang didiagnosa dengan ablasio retina traksi dan eksudatif akan
tereksklusi.
Dari 328 pasien hanya 276 pasien yang memenuhi criteria. Dari jumlah tersebut
ditemukan rasio pria berbanding wanita yang mengalami ablasio retina regmatogenosa adalah
2.1 : 1. Rentang umur mereka adalah dari 7 tahun hingga 85 tahun. Dari 276 pasien, 247
(89,5%) diantaranya memiliki ablasio retina regmatogenosa (133 [48.2%] pada mata kanan
dan 114 [41.3%] pada mata kiri) dan 29 pasien (10.5%) mengalami bilateral ablasio retina
regmatogenosa. Usia pasien dikelompokkan menjadi tiga kelompok (muda/dewasa/tua)
dimana setiap kelompok kurang lebih memiliki faktor resiko potensial yang sama untuk
terjadinya ablasio retina.
Seratus dua puluh lima (41.0%) mata mengalami ablasi retina regmatogenosa total
meliputi keempat kuadran retina. Enam puluh Sembilan (22.6%) mata mengalami ablasio
retina meliputi tiga kuadran. Ablasio retina yang melibatkan macula terlepas ditemukan pada
225 (73.8%) mata. Vitreoretinopati proliferatif telah diobservasi pada 124 (40.7%) mata dan
diantara itu vitreoretinopati proliferatif stadium C atau buruk ditemukan pada 57 (18.7%)
mata. Miopi pada semua tingkat keparahan ditemukan pada 78 (28.3%) mata dimana 63
memiliki myopia 5D atau lebih. Riwayat trauma tumpul mata pada mata yang mengalami
ablasio retina regmatogenosa tercatat pada tabel sebanyak 57 (20.7%) pasien. Tiga puluh
Sembilan (14.2%) mata dengan ablasio retina regmatogenosa merupakan pseudofakia dan 21
(7.6%) mata merupakan afakia. Pada 81 (29.3%) pasien dengan ablasio retina
regmatogenosa, tidak ditemukan adanya penyebab atau factor predisposisi.
Usia rata-rata dari penelitian ini adalah 41 tahun, sedangkan usia pertengahan dari
penelitian ini adalah 40 tahun. Namun penelitian di Kroasia menunjukkan bahwa usia rata-
ratanya adalah 58.3 tahun. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada penelitian ini
mengeksklusi semua ablasio retina regmatogenasa traumatic yang biasa terjadi pada usia
muda. Penelitian ini juga menunjukkan ablasio retina regmatogenosa secara signifikan lebih
sering pada pria (68%) dari pada wanita (32%). Penelitian ini sesuai dengan yg dilakukan di
Singapore dan Afrika Timur. Pada penelitian ini, 78 (28.3%) mata dengan ablasio retina
regmatogenosa merupakan miopi. Pada suatu penelitian dinyatakan bahwa orang dengan
miopi 4 – 10 kali lebih beresiko untuk mengalami ablasio retina regmatogenosa. Pada mata
miopi memiliki insidensi tinggi untuk terjadinya degenerasi lattice dan ablasi vitreous
posterior dan bagian perifer retina yang tipis lebih mudah robek dibandingkan yang tampak
pada emetropi. Selain itu mata orang miopi mudah terkena trauma.
Trauma tumpul mata merupakan penyebab utama ablasio retina pada anak-anak dan
dewasa dan ini merupakan penyebab penting ablasio retina di Afrika. Trauma ini biasanya
terjadi secara antero-posterior namun efek penekanannya juga sering disebarkan ke daerah
ekuator mata. Pada penelitian ini, trauma mata merupakan penyebab ablasio retina
regmatogenosa pada 57 (20.7%) pasien.
Operasi katarak merupakan factor risiko lainnya dari ablasio retina regmatogenosa, yang
mengalami komplikasi berupa robeknya kapsul posterior lensa sehingga menyebabkan
vitreous keluar. Dalam penelitian ini, ablasio retina regmatogenosa terjadi pada 39 (14.2%)
pseudofakia dan 21 (7.6%) pasien afakia.
Pada penelitian ini tidak ada hubungan yang signifikan antara beberapa factor risiko
dengan jenis kelamin pasien. Pada seluruh kelompok umur, juga tidak ada perbedaan
signifikan dalam keterlibatan mata kanan atau mata kiri yang mengalami ablasio retina.
Pelajaran yang dapat diperoleh dari membaca tulisan ini adalah, bahwa jumlah pasien
yang mengalami ablasio retina regmatogenosa selama penelitian ini dilakukan cukup banyak.
Hal ini dapat menjadi pertimbangan kemungkinan terjadinya pergeseran penyebab penurunan
penglihatan pada daerah berkembang. Mungkin saja ke depannya penyakit pada retina dapat
menjadi penyebab utama penurunan penglihatan seperti yang terjadi di negara barat.
Berdasarkan penelitian ini dapat dilihat bahwa factor predisposisi dari munculnya ablasio
retina regmatogenosa pada penduduk Ethiopia adalah karena miopi tinggi, trauma tumpul
mata, pseudofakia, dan afakia. Untuk mencegah munculnya ablasio retina regmatogenosa
pada pasien yang memiliki factor predisposisi tersebut mungkin dapat melakukan beberapa
hal seperti pada pasien dengan riwayat miopi, sebaiknya sering control untuk mengamati
keadaan fundus dari pasien tersebut, selain itu pasien juga diberikan nasihat untuk hati-hati
dalam melaukan aktifitas fisik yang beresiko tinggi untuk terjadinya trauma tumpul mata.
Selain itu diharapkan juga dengan ditingkatkannya fasilitas dan tenaga ahli dalam pelayanan
perawatan mata, dapat mengurangi insidensi ablasio retina regmatogenosa.
Kekurangan dari penelitian ini adalah, karena data yang diambil oleh peneliti berupa data
sekunder yang diambil dari rekam medis, sehingga keakuratan data tersebut masih perlu
dipertanyakan. Selain itu, banyak informasi-informasi yang sekiranya penting dan harus
dicantumkan dalam penelitian, namun tidak tertera pada rekam medis tersebut, sehingga
menyebabkan ada beberapa data yang kurang lengkap.
JOURNAL READING
Faktor Predisposisi Ablasio Retina Regmatogenosa Pada
Orang Ethiopia
“Berhan Solomon, Tiliksew Teshome”
Ni Kadek Pranita Santhi
H1A 008 036
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA
BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM
2012