aaa
DESCRIPTION
aaaTRANSCRIPT
BAB III
KOLELITIASIS
Pendahuluan
Penyakit batu empedu (kolelitiasis, gallstone) merupakan salah satu penyakit abdomen paling banyak yang menyebabkan pasien datang ke rumah sakit. Penyakit batu empedu sering terjadi di Amerika Serikat, ditemukan pada 5-l5% dari populasi total dan 25% dari wanita yang berusia di atas 50 tahun. Dari jutaan orang yang didiagnosis batu empedu setiap tahunnya di Amerika Serikat, setengahnya telah dilakukan operasi traktus biliaris. Walaupun kolesistektomi laparoskopik relatif mudah dan sudah lama dikenal, masih terdapat beberapa masalah di antara klinisi seperti bagaimana mengevaluasi pasien yang menderita batu empedu, menentukan siapa yang harus diterapi dan bagaimana, serta bagaimana melakukan pencegahan terjadinya batu empedu pada orang-orang dengan risiko tinggi.
Angka kejadian batu empedu di tiap negara berbeda-beda. Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan batu empedu di antaranya ras, pola hidup, genetik dan infeksi. Prevalensi batu empedu di beberapa negara Barat hampir sama dengan di Amerika Serikat, tetapi di negara-negara Asia lebih rendah. Di Indonesia belum ada penelitian epidemiologis, diduga insidensi batu empedu masih lebih rendah bila dibandingkan dengan di negara Barat. Tetapi dengan adanya kecenderungan pola hidup modern maka mungkin batu empedu di Indonesia pada masa mendatang akan merupakan suatu masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian.
Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak menunjukkan gejala klinis (asimtomatik) dan seringkali ditemukan secara kebetulan pada saat pemeriksaan ultrasonography (USG) atau pada saat pemeriksaan karena keluhan lain. Pasien dapat mengalami nyeri abdomen (kolik biliaris) atau ditemukan gejala yang disebabkan komplikasi akibat obstruksi oleh batu atau akibat proses inflamasi, seperti kolesistitis, kolangitis, jaundice, koledokolitiasis dan lain-lain.
Hasil pemeriksaan laboratorium pada penderita batu empedu biasanya dalam batas normal. Pada 10-20% kasus, dapat terjadi peningkatan ringan dari bilirubin serum, fosfatase alkali, enzim aminotansferase (aspartate transaminase [AST] dan alanine transaminase [ALT]) atau y-glutamyl transferase (GGT). Diagnosis batu empedu ditegakkan secara radiologis (x-ray abdomen polos, USG, computed tomography [CT], magnetic resonance cholangiography [MRCP], endoscopic ultrasound [EUS], biliary scintigraphy, dan lain-lain).
Definisi Batu Empedu (Kolelitiasis, Gallstone )
Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam duktus koledokus, atau pada kedua-duanya. Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu (kolesistolitiasis). Kalau batu kandung empedu ini berpindah ke dalam saluran empedu ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu sekunder ateu koledokolitiasis sekunder.
Kebanyakan batu dukteus koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu ekstrahepatik maupun intrahepatik. Batu primer saluran empedu harus memenuhi kriteria sebagai berikut : ada masa asimtomatik setelah kolesistektomi, morfologi cocok dengan batu empedu primer, tidak ada striktur pada duktus koledokus atau tidak ada duktus sistikus yang panjang. Khusus untuk orang Asia, dapat ditemukan sisa cacing askariasis atau cacing jenis lain di dalam batu tersebut, morfologi batu primer saluran empedu antara-lain berntuknya ovoid, lumah, rapuh, seperti lumpur atau tanah, dan warna coklat muda sampai coklat gelap.
Insidensi
Insidens kolelitiasis di negara Barat adalah 20% dan banyak menyerang orang dewasa dan lanjut usia. Kebanyaka kolelitiasis tidak bergejala atau bertanda.
Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit sluran empedu di Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahun1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara diahnosis dengan ultrasonografi.
Dikenal tiga jenis batu empedu, yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin, yang terdiri atas kalsium bilirubinat, dan batu campuran. Di negara Barat, 80% batu empedu adalah batu kolesterol tetapi angka kejadian batu pigmen meningkat akhir-akhir ini. Sebaliknya di Asia Timur, lebih banyak batu pigmen dibandingkan dengan batu kolesterol, tetapi angka kejadian batu kolesterol sejak tahun 1965 makin meningkat. Tidak jelas apakah perubahan angka ini betul-betul oleh karena prevalensi yang berubah. Namun, perubahan gaya hidup, termasuk perubahan pola makanan, berkurangnya infeksi parasit, dan menurunnya frekuensi infeksi empedu, mungkin menimbulkan perubahan insidens hepatolitiasia.
Sementara ini, didapatkan kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia lebih umum, anka kejadian batu pigmen lebih tinggi dibandingkan dengan angka yang terdapat di negara Barat, dan sesuai dengan angka di negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Muangthai, dan Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa faktor infeksi empedu oleh kuman gram negatif E. coli ikut berperanan penting dalam timbulnya batu pigmen. Di wilayah ini insidend batu primer saluran empedu adalah 40-50% dari penyakit batu empedu, sedangkan di dunia Barat sekitar 5 persen.
Perbedaan lain dengan di negara Barat ialah batu empedu banyak ditemukan mulai pada usia muda di bawah 30 tahun, meskipun usia rata-rata tersering ialah 40-50 tahun. Pada usia di atas 60 tahun, insidens batu saluran empedu meningkat. Jumlah penderita perempuan lebih banyak daripada jumlah penderita laki-aki. Meskipun batu empedu terbanyak ditemukan di dalam kandung empedu, sepertiga dari batu saluran empedu merupakan batu duktus koledokus. Oleh sebab itu, kolangitis di negara Barat ditemukan pada berbagai usia, dan merupakan sepertiga dari jumlah kolesistitis. Batu intrahepatik dan batu primer saluran empedu juga cukup sering ditemukan.
Klasifikasi Batu Empedu
Batu empedu (kolelitiasis, gallstone) mempunyai berbagai macam bentuk, ukuran, warna dan corak tergantung pada komposisi yang menyusunnya. Klasifikasi batu empedu biasanya berdasarkan pada gambaran arsitektur secara gross dan komposisi utama batu tersebut. Terdapat 3 jenis utama batu empedu, yaitu batu kolesterol, batu pigmen, dan batu campuran.
1. Batu Kolesterol
Merupakan jenis batu yang terbanyak dan mengandung lebih dari 50% kolesterol (51 -99%), sisanya
kalsium karbonat, fosfat, bilirubinat, fosfolipid, glikoprotein, dan mukopolisakarida. Bentuknya bulat
atau oval dengan permukaan yang halus atau sedikit granuler, berwarna kuning pucat dengan bagian
inti yang lebih gelap, dari titik tengah menyebar garis-garis radier ke tepi. Batu jenis ini sebagian
besar bersifat radiolusen dan biasanya soliter. Merupakan jenis batu empedu yang banyak didapat di
negara Barat (>85%).
2. Batu Pigmen
Batu pigmen terdiri atas 2 jenis, yaitu batu pigmen coklat dan batu pigmen hitam. Komponen utama
batu pigmen ini ialah kalsium bilirubinat (40-60%) sedangkan kadar kolesterolnya kurang dari 30%.
Batu pigmen hitam berwarna coklat tua sampai hitam dan bila dipotong permukaannnya seperti
gelas. Komponen utamanya ialah kalsium bilirubinat dengan jalinan musin glikoprotein-garam
kalsium. Garam kalsiumnya dapat berupa kalsium karbonat atau kalsium non-karbonat. Intinya
mengandung belerang dan tembaga dalam kadar yang tinggi.
Batu pigmen coklat permukaannya kasar dan seperti lumpur serta pada potongan melintang tampak
lapisan berwarna coklat dan coklat muda berselang-seling. Lapisan coklat mengandung garam
bilirubinat sedangkan lapisan coklat muda mengandung kalsium palmitat dan stearat.
3. Batu Campuran
Patogenesis Batu Kolesterol dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Ada 3 mekanisme utama yang berperan dalam pembentukan batu kolesterol yaitu perubahan
komposisi empedu, nukleasi (pembentukan inti) kolesterol dan gangguan fungsi kandung empedu.
a. Perubahan Komposisi Empedu
Empedu mengandung 85-95% air. Kolesterol bersifat tidak larut dalam air, sehingga harus
dipertahankan dalam keadaan larut dengan disekresikan dari membran kanalikuli dalam bentuk
vesikel fosfolipid, yaitu gabungan kolesterol fosfolipid. Kelarutan kolesterol tergantung pada
konsentrasi fosfolipid dan asam empedu dalam empedu, juga jenis fosfolipid dan asam empedu yang
ada.
Pada keadaan empedu tidak lewat jenuh oleh kolesterol serta mengandung cukup asam empedu
dan fosfolipid, kolesterol akan terikat pada bagian hidrofobik dari campuran misel (terdiri atas
fosfolipid terutama lesitin, asam empedu dan kolesterol). Karena bersifat larut dalam air, campuran
misel ini memungkinkan transpor dan absorpsi produk akhir lemak menuju atau melalui membran
mukosa usus.
Bila empedu mengandung kolesterol yang tinggi (lewat jenuh) atau kadar asam empedu serta
fosfolipid rendah, kelebihan kolesterol tidak dapat ditranspor ke dalam campuran misel, tetap
terbentuk vesikel. Vesikel ini bersifat tidak stabil dan akan beragregasi membentuk vesikel yang lebih
besar dan berlapis-lapis (vesikel multilamellar) sehingga membentuk inti kristal kolesterol.
b. Pembentukan lnti Kolesterol
Meningkatnya kadar kolesterol akan menyebabkan cairan empedu menjadi lewat jenuh dan
memungkinkan tedadi kristalisasi dan terbentuknya inti kristal kolesterol yang merupakan kunci
penting dalam rangkaian patogenesis batu kolesterol.
Pembentukan inti kristal juga dipengaruhi oleh waktu pembentukan inti (nucleation time). Pada
penderita batu empedu ternyata waktu pembentukan intinya jauh lebih pendek dibandingkan
dengan yang tanpa batu empedu. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor lain yang berperan
mempercepat atau menghambat terbentuknya batu, di antaranya berupa protein atau musin
(mukus) di dalam empedu. Beberapa peneliti menduga bahwa musin yang bersifat gel di dalam
kandung empedu dapat mencetuskan kristalisasi kolesterol. Selain itu, glikoprotein 120 kda dan
infeksi juga diduga dapat menyebabkan kristalisasi kolesterol.
Patogenesis Batu Pigmen dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Batu pigmen merupakan jenis batu yang banyak ditemukan di negara Timur dengan komponen
utamanya adalah kalsium bilirubinat. Kandungan kolesterol pada batu pigmen kurang dari 30%. Batu
pigmen hitam terutama mengandung kompleks kalsium bilirubinat dengan kalsium dan glikoprotein.
Mekanisme pembentukannya belum diketahui pasti, tetapi diduga disebabkan karena empedu
mengalami supersaturasi oleh bilirubin indirek, perubahan pH dan kalsium serta produksi yang
berlebihan dari glikoprotein. Kadar bilirubin indirek yang tinggi dalam empedu biasanya ditemukan
pada penderita hemolisis kronik.
Batu pigmen coklat terutama mengandung garam kalsium dari bilirubin indirek (kalsium bilirubinat)
dan lebih sering dihubungkan dengan stasis empedu dan infeksi. Stasis empedu sering disertai
infeksi kandung empedu tetapi masih belum jelas apakah stasis menyebabkan infeksi atau infeksi
yang menyebabkan kerusakan epitel kandung empedu dan mengakibatkan fibrosis sehingga terjadi
stasis. Infeksi oleh parasit seperti Ascaris lumbricoides dan Clonorchis sinensis akan menyebabkan
iritasi dan fibrosis sfingter Oddi sehingga terjadi stasis.
Enzim beta glukoronidase yang dihasilkan kelompok bakteri koli (misalnya Escherichia coli) akan
menghidrolisis bilirubin direk menjadi bilirubin indirek dan asam glukoronida. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa aktivitas enzim ini meningkat pada keadaan inflamasi traktus biliaris. Bilirubin
indirek ini bergabung dengan kalsium menghasilkan kalsium bilirubinat yang tidak larut dalam air
sehingga terjadi pengendapan.
Manifestasi Klinis dan Komplikasi Batu Empedu
Sebagian besar penderita batu empedu tidak menunjukkan gejala klinis (asimtomatik) yang dalam
perjalanan penyakitnya dapat tetap asimtomatik selama bertahun-tahun dan sebagian kecil (2-3%
per tahun) dapat berkembang menjadi simtomatik. Studi perjalanan penyakit dari 1037 pasien
dengan batu kandung empedu selama 20 tahun memperlihatkan bahwa sebanyak 50% pasien tetap
asimtomatik, 30% mengalami kolik bilier, dan 20% mendapatkan komplikasi. Komplikasi yang dapat
ditemukan dapat berupa kolesistitis akut yang dapat menimbulkan perforasi dan peritonitis,
kolesistitis kronik, ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis piogenik, fistel biloenterik, ileus batu
empedu, pankreatitis, dan perubahan keganasan. Manifestasi klinis yang sering terjadi di antaranya
kolik biliaris, kolesistitis akut dan kronik serta batu duktus koledokus. Perjalanan klinis penderita
batu empedu dapat dilihat pada gambar.
1. Kolik Biliaris
Sekitar 60-70% dari pasien dengan batu empedu simtomatik mengalami episode kolik biliaris, yaitu
nyeri yang terutama dirasakan di daerah epigastrium setelah makan atau di daerah kuadran atas
kanan perut, kadang-kadang menjalar ke belakang (interskapula) atau sampai ke bahu kanan. Nyeri
dapat dirasakan beberapa menit sampai beberapa jam (biasanya berlangsung lebih dari 30 menit
dan kurang dari 12 jam). Nyeri timbul kebanyakan perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus
timbul tiba-tiba. Nyeri yang hebat sering disertai rasa mual dan muntah sehingga menyebabkan
penderita dirawat di rumah sakit.
Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri menghilang setelah makan antasid.
Kalu terjadi kolesistitis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam dan
sewaktu kandung empedu tersentuk ujung jari tangan sehingga pasien berhenti menarik nafas, yang
merupakan tanda rangsangan peritoneum setempat (tanda Murphy).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri epigastrium pada palpasi atau nyeri di daerah kuadran atas
kanan tetapi sebagian besar pasien tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan fisik.
2. Kolesistitis Akut
Kolesistitis akut merupakan komplikasi paling sering, yaitu sekitar 15-20% dari pasien dengan batu
empedu simtomatik. Pasien mengalami nyeri hebat yang dirasakan terus-menerus selama beberapa
jam, sehingga pasien merasa membutuhkan pertolongan emergensi.
Patogenesis kolesistitis akut akibat tertutupnya duktus sistikus oleh batu terjepit. Kemudian terjadi
hidrops dari kandung empedu. Penambahan volume kandung empedu dan edema kandung empedu
menyebabkan iskemi dari dinding kandung empedu yang dapat berkembang ke proses nekrosis dan
perforasi. Jadi pada permulaannya terjadi peradangan steril dan baru pada tahap kemudia terjadi
superinfeksi bakteri. Kolesistitis akut juga dapat disebabkan lumpur batu empedu (kolesistitis
akalkulus).
Pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan nyeri dan rasa penuh di daerah kuadran atas kanan.
Punctum maksimum terletak di daerah letak anatomi kadung empedu. Pada palpasi di daerah
kuadran atas kanan selama inspirasi sering menyebabkan rasa nyeri sehingga pasien menghentikan
nafas sejenak (Murphy's sign positif). Tanda peritonitis lokal dan demam juga sering ditemukan.
3. Batu pada Duktus Koledokus (Koledokolitiasis)
Koledokolitiasis dapat terjadi bila batu berpindah tempat dari kandung empedu dan menyumbat
duktus koledokus. Sumbatan batu ini dapat menyebabkan kolangitis atau pankreatitis akut. Pasien
dengan batu pada duktus koledokus sering menunjukkan gejala jaundice, demam, dan pruritus,
selain rasa nyeri.
Pemeriksaan fisik tidak menimbulkan gejala atau tanda dalam fase tenang. Kadang teraba hati agak
membesar dan sklera ikterik. Parut diketahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dL,
gejala ikterus tidak jelas. Apabila sumbatan bertambah berat, baru akan timbul ikterus klinis.
Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan gejala klinis
yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolengitis akut yang ringan sampai sedang biasanya
kolangitis bakterial nonpiogenik yang ditandai dengan tris Charcot, yaitu demam dan menggigil,
nyeri di daerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitiasis, biasanta barupa kolangitis piogenik
intrahepatik, akan timbul lima gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala trias Charcot, ditmabh
syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma. Kalau ditemukan riwayat
kolangitis yang hilang timbul, harus dicurigai kemungkinan hepatolitiasis.
Diagnosis Batu Empedu
Sebagian besar penderita batu empedu terutama yang tanpa gejala ditemukan secara kebetulan
pada saat penderita melakukan pemeriksaan radiologi karena keluhan lain. Pada anamnesis kadang-
kadang dapat ditemukan riwayat kolik biliaris, yaitu rasa nyeri di daerah epigastrium atau di daerah
kuadran kanan atas perut.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada penderita batu empedu di antaranya hitung
sel darah lengkap, urinalisis, pemeriksaan feses, tes fungsi hati dan kadar amilase serta lipase serum.
Pada episode kolik biliaris, sebagian besar penderita mempunyai hasil laboratorium yang normal.
Tetapi bila disertai komplikasi dapat menunjukkan leukositosis dan peningkatan kadar enzim hati
(aspartate aminotransferase, alanine aminotransferase, fosfatase alkali), gamma glutamyl
transferase dan bilirubin serum, terutama jika terdapat batu pada duktus koledokus.
Pada pemeriksaan urinalisis, adanya bilirubin tanpa adanya urobilinogen dalam urin dapat
mengarahkan pada kemungkinan adanya obstruksi saluran empedu. Sedangkan pada pemeriksaan
feses, tergantung pada obstruksi oleh batu empedu, bila terjadi obstruksi total saluran empedu,
maka feses tampak pucat (akholis).
Pada penderita batu empedu dengan pankreatitis dapat terjadi peningkatan kadar amilase dan
lipase serum, di samping tes fungsi hati yang abnormal. Diduga terdapat kolesistitis akut jika
ditemukan leukositosis dan sampai 15% penderita mempunyai peningkatan sedang dari aspartate
aminotransferase, alanine aminotransferase, fosfatase alkali dan bilirubin serum.
Pemeriksaan Radiologis
Sebelum dikembangkannya penciteraan mutakhir seperti USG, sejumlah pasien dengan penyakit
batu empedu lebih sering salah didagnosis sebagai gastritis atau hepatitis berulang seperti juga
didapatkan sebanyak 60% pada penelitian di Jakarta yang mencakup 74 pasien dengan batu saluran
empedu.
Dewasa ini diagnosis batu empedu dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan radiologis terutama
pemeriksaan ultrasonography (USG) dengan sensitivitas tinggi melebihi 95% untuk batu kandung
empedu sedangkan untuk deteksi batu saluran empedu sensitivitasnya relatif rendah berkisar 18-
74%. Pemeriksaan radiologis lain yang dapat dilakukan adalah dengan foto polos abdomen,
Computed Tomography (CT), Magnetic Resonance Cholangiography [MRCP], Endoscopic Ultrasound
(EUS), dan Biliary Scintigraphy. Hanya sekitar 10% dari kasus batu empedu adalah radioopak karena
batu empedu tersebut mengandung kalsium dan dapat terdeteksi dengan pemeriksaan foto polos
abdomen. Ultasonografi (USG) dan koleskintigrafi adalah pemeriksaan imaging yang sangat
membantu dan sering digunakan untuk mendiagnosis adanya batu empedu. Selain itu, ERCP sangat
bermanfaat dalam mendeteksi batu saluran empedu dengan sensitivitas 90%, spesifisitas 98%, dan
akurasi 96%, tetapi prosedur ini invasif dan dapat menimbulkan komplikasi pankreatitis dan
kolangitis yang dapat berakibat fatal.
1. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) merupakan suatu prosedur non-invasif yang cukup aman, cepat, tidak
memerlukan persiapan khusus, relatif tidak mahal dan tidak melibatkan paparan radiasi, sehingga
menjadi pemeriksaan terpilih untuk pasien dengan dugaan kolik biliaris. Ultasonografi mempunyai
spesifisitas 90% dan sensitivitas 95% dalam mendeteksi adanya batu kandung empedu. Prosedur ini
menggunakan gelombang suara (sound wave) untuk membentuk gambaran (image) suatu organ
tubuh. Indikasi adanya kolesistitis akut pada pemeriksaan USG ditunjukkan dengan adanya batu,
penebalan dinding kandung empedu, cairan perikolesistikus dan Murphy sign positif akibat kontak
dengan probe USG.
2. Computed Tomography (CT) Scan
Pada pemeriksaan ini gambaran suatu organ ditampilkan dalam satu seri potongan cross sectional
yang berdekatan, biasanya 10-12 image. Deteksi batu empedu dapat dilakukan juga dengan
Computed Tomography, tetapi tidak seakurat USG dalam mendeteksi batu empedu, oleh karena itu
CT scan tidak digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan kemungkinan penyakit biliaris kronik.
Pada kasus akut, pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya penebalan dinding kandung empedu
atau adanya cairan perikolesistikus akibat kolesistitis akut.
3. Cholescintigraphy
Pemeriksaan cholescintigraphy menggunakan zat radioaktif, biasanya derivat imidoacetic acid, yang
dimasukkan ke dalam tubuh secara intravena, zat ini akan diabsorpsi hati dan diekskresikan ke dalam
empedu. Scan secara serial menunjukkan radioaktivitas di dalam kandung empedu, duktus
koledokus dan usus halus dalam 30-60 menit. Pemeriksaan ini dapat memberikan keterangan
mengenai adanya sumbatan pada duktus sistikus. Cholescintigraphy mempunyai nilai akurasi 95%
untuk pasien dengan kolesistitis akut, tetapi pemeriksaan ini mempunyai nilai positif palsu 30-40%
pada pasien yang telah dirawat beberapa minggu karena masalah kesehatan lain, terutama jika
pasien tersebut telah mendapat nutrisi parenteral.
4. Magnetic Resonance Imaging dan Magnetic Resonance Cholangiopancreatography
Pada Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) adalah suatu pemeriksaan yang relatif
baru, yang menggunakan MRI imaging dengan software khusus. Pemeriksaan ini mampu
menghasilkan gambaran (images) yang serupa Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatograpfty
(ERCP) tanpa risiko sedasi, pankreatitis atau perforasi. MRCP membantu dalam menilai obstruksi
biliaris dan anatomi duktus pankreatikus. Pemeriksaan ini lebih efektif dalam mendeteksi batu
empedu dan mengevaluasi kandung empedu untuk melihat adanya kolesistitis.
MRCP adalah teknik penciteraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras, instrumen,
dan radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan terlihat sebagai struktur yang terang karena
mempunyai intensitas sinyal tinggi sedangkan batu saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas
sinyal rendah yang dikelilingi empedu dengan intensitas sinyal tinggi, sehingga metode ini cocok
untuk mendiagnosis batu saluran empedu.
Studi terkini MRCP menunjukkan nilai sensitivitas antara 91-100%, nilai spesitifitas 92-100% dan nilai
prediktif positif antara 95-100% pada keadaan dengan dugaan batu saluran empedu. Nilai diagnostik
MRCP yang tinggi membuat teknik ini semakin sering sikerjakan untuk diagnostik atau eksklusi batu
saluran empedu khususnya pada pasien dengan kemungkinan kecil mengandung batu.
MRCP mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan ERCP. Salah satu manfaat besar adalah
penciteraan saluran empedu tanpa resiko yang berhubungan dengan instrumentasi, zat kontras, dan
radiasi. Sebaliknya MRCP juga mempunyai limitasi mayor yaitu bukan merupakan modalitas terapi
dan juga aplikasinya bergantung pada operator sedangkan ERCP dapat berfungsi sebagai sarana
diagnostik dan terapi pada saat yang sama.
5. Oral Cholecystography Oral
Cholecystography adalah suatu pemeriksaan non invasif lain, tetapi jarang dilakukan. Pemeriksaan
ini memerlukan persiapan terlebih dahulu, yaitu pasien harus menelan sejumlah zat kontras oral
yang mengandung iodine sehari sebelum dilakukan pemeriksaan. Zat kontras tersebut akan
diabsorpsi dan disekresikan ke dalam empedu. Iodine di dalam zat kontras menghasilkan opasifikasi
dari lumen kandung empedu pada foto polos abdomen keesokan harinya. Batu empedu tampak
sebagai gambaran fiiling defects. Pemeriksaan ini terutama digunakan untuk menentukan keutuhan
duktus sistikus yang diperlukan sebelum melakukan lithotripsy atau metode lain untuk
menghancurkan batu empedu. Pemeriksaan ini memerlukan persiapan 48 jam sebelumnya.
Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntahm kadar bilirubin serum di atas 2
mg/dL, obstruksi pilorus, dan hepatitis, karena pada keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai
hati.
6. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography
Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) adalah pemeriksaan gold standard untuk
mendeteksi batu empedu di dalam duktus koledokus dan mempunyai keuntungan terapeutik untuk
mengangkat batu empedu. ERCP adalah suatu teknik endoskopi untuk visualisasi duktus koledokus
dan duktus pankreatikus. Pada pemeriksaan ini mengggunakan suatu kateter untuk memasukkan
alat yang dimasukkan ke dalam duktus biliari dan pankreatikus untuk mendapatkan gambaran x-ray
dengan fluoroscopy. Selama prosedur, klinisi dapat melihat secara langsung gambaran endoskopi
dari duodenum dan papila major, serta gambaran duktus biliari dan pankreatikus.
7. Endoscopic Ultrasonography
Endoscopic Ultrasonography (EUS) adalah suatu prosedur diagnostik yang menggunakan ultrasound
frekuensi tinggi untuk mengevaluasi dan mendiagnosis kelainan traktus digestivus. EUS
menggunakan duodenoskop dengan probe ultrasound pada bagian distal yang dapat
menggambarkan organ, pembuluh darah, nodus limfatikus dan duktus empedu. Dari bagian dalam
lambung atau duodenum, endoskop dapat memberikan gambaran pankreas dan struktur yang
berdekatan. EUS dapat mendiagnosis secara akurat adanya batu empedu di dalam duktus koledokus
tetapi tidak mempunyai nilai terapeutik seperti ERCP.
Pada satu studi, sensitivitas EUS dalam mendeteksi batu saluran empedu adalah sebesar 97%
dibandingkan dengan ultrasound yang hanya sebesar 25%, dan CT 75%. Selanjutnya EUS mempunyai
nilai prediktif negatif sebesar 97% dibandingkan dengan sebesar 56% untuk US dan sebesar 75%
untuk CT. Dalam studi ini EUS juga lebih sensitif dibandingkan dengan US dan CT dalam
mendiagnosis batu saluran empedu bila saluran tidak melebar. Selanjutnya EUS lebih sensitif
dibandingkan US transabdominal atau CT untuk batu dengan diameter kurang dari 1 cm. Beberapa
studi memperlihatkan EUS dan ERCP tidak menunjukkan perbedaan dalam hal nilai sensitivitas,
spesifisitas, nilai prediktif negatif maupun positif.
Sayangnya, teknik penciteraan ini belum banyak diikuti ileh praktisi kedokteran di Indonesia sebab
hal ini berhubungan dengan masalah latihan, pengalaman, dan tersedianya instrumen EUS.
8. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)
Duktus biliaris intrahepatik dapat dilihat secara perkutaneus dengan jarum kecil di bawah bimbingan
fluoroskopi. Sekali posisi duktus biliaris dapat ditentukan, kawat dilepas dan kateter melewati kawat.
Lewat kateter, kolangiogram dapat dilakukan dan intervensi terapi dilakukan, seperti memasukkan
drain bilier dan pemasangan stent. PTC memiliki peran kecil pada pasien dengan batu empedu tanpa
komplikasi, namun berguna untuk pasien dengan striktur duktus dan tumor. Sebagai prosedur
invasif, PTC memiliki potensial resiko seperti perdarahan, kolangitis, kebocoran cairan empedu, dan
gangguan yang berhubungan dengan kateter.
Penatalaksanaan
Pada pasien dengan batu empedu asimtomatik tidak perlu dilakukan penanganan apa pun sampai
terjadi perkembangan berikutnya. Pada pasien dengan batu empedu simtomatik terdapat beberapa
pilihan penatalaksanaan yang tergantung manifestasi klinis, dengan tujuan utama mengurangi gejala
klinis dan mencegah berkembangnya komplikasi.
1. Terapi Operatif Kolesistektomi
Kolesistektomi merupakan satu-satunya terapi definitif untuk penderita batu simtomatik, yaitu
dengan mengangkat batu dan kandung empedu, dapat mencegah berulangnya penyakit.
Kolesistektomi dapat dilakukan dengan cara operasi membuka rongga perut (laparotomi abdomen)
atau dengan menggunakan laparoskopi.
Kolesistektomi laparoskopi telah berkembang cepat setelah pertama kali diperkenalkan pada tahun
1987, menggantikan kolesistektomi terbuka dan 80-90% kolesistektomi di Inggris dilakukan dengan
cara ini. Kolesistektomi laparoskopi adalah suatu prosedur invasif dengan membuat insisi kecil pada
abdomen serta menggunakan kamera video kecil untuk memperbesar organ di dalam rongga perut.
Dengan menggunakan monitor video sebagai pemandu, dokter bedah mengidentifikasi, mengisolasi
dan mengangkat kandung empedu dengan laparoskop. Kadang-kadang dokter bedah melalekan
pemeriksaan secara laparoskopi terlebih dahulu untuk melihat adanya kelainan lain. Risiko dari
teknik laparoskopi ini adalah trauma duktus hepatikus atau duktus koledokus.
Indikasi dilakukannya kolesistektomi adalah kolelitiasis asimtomatik pada penderita diabetes melitus
karena serangan kolelitiasis akut dapat menimbulkan komplikasi berat, betu empedu stadium lanjut
dengan diameter lebih dari 2 cm, batu empedu simtomatik, pankreatitis empedu, dan diskinesia
empedu. Pada diskinesia empedu, hasil pemeriksaan injeksi empedu harus kurang dari 35%. Tes
injeksi ini dilakukan dengan menyuntikkan kolesistokinin 20 mg/kg IV atau glukagon 1 mg/kgBB
untuk membuat relaksasi sfingter. Batu empedu yang asimtomatik yang memerlukan kolesistektomi
adalah pasien karier S. typhi; pasien imunodefisiensi; pasien yang akan bertugas jauh dari fasilitas
kesehatan atau menjadi anggota ekspedisi ke daerah terpencil; pasien dengan kandung empedu
jenis porcelin; dan kandidat transplantasi ginjal.
2. Terapi Non-operatif
Beberapa teknik non-operatif telah digunakanuntuk mengobati batu empedu simtomatik, seperti
pemberian obat pelarut batu empedu (chenodeoxycholic dan ursodeoxycholic aciq dan
menghancurkan batu dengan ultracorporeal shockwave lithotripsy.
Ursodeoxycholic acid dapat menghambat sintesis kolesterol oleh hati. Kurang dari 10% pasien
dengan batu empedu dapat ditangani secara non-operatif dan hampir setengah dari pasien yang
terpilih untuk pengobatan non-operatif berhasil, tetapi pengobatan cara ini membutuhkan biaya
lebih banyak karena pengobatannya lebih lama (sampai 5 tahun). Pengobatan cara ini hanya untuk
pasien dengan batu empedu berukuran kecil dan batu kolesterol tanpa kalsifikasi.
Extracorporeal shockwave lithotripsy (ESWL) adalah suatu terapi nonoperatif, yang menggunakan
gelombang suara berenergi tinggi yang dapat menghasilkan shock wave. Shock wave ini akan
ditransmisikan melalui air dan jaringan serta mempunyai kemampuan untuk memecah batu
empedu. Teknik ini sudah jarang dilakukan karena tergeser oleh kolesistektomi laparoskopi.
Selain itu, dapat dilakukan pencegahan kolelitiasis pada orang yang cenderung memiliki empedu
litogenik dengan mencegah infeksi dan menurunkan kadar kolesterol serum dengan cara
mengurangi asupan atau menghambat sintesis kolesterol. Obat golongan statin dikenal dapat
menghambat sintesis kolesterol karena menghambat enzim HMG-CoA reduktase.
Penanganan Kolangitis dan Pankreatitis Batu
Penyulit batu saluran empedu yang sering ditemukan di klinis adalah kolangits akut dan pankreatitis
bilier akibat batu saluran empedu terjepit di muara papila Vater.
Kolangitis akut dapat terjadi pada pasien dengan batu saluran empedu karena adanya obstruksi dan
invasi bakteri empedu. Gambaran klinis kolangitis akut yang klasik adalah trias Charcot yang meliputi
nyeri abdomen kuadran kanan atas, ikterus, dan demam yang didapatkan pada 50% kasus. Kolangitis
akut supuratif adalah trias Charcot yang disertai hipotensi, oligouria, dan gangguan kesadaran.
Spektrum dari kolangitis akut mulai dari yang ringan yang akan membaik sendiri, sampai dengan
keadaan yang membahayakan jiwa dimana dibutuhkan drainase darurat. Penatalaksaan kolangitis
akut ditujukan untuk : 1. Memperbaiki keadaan umum pasien dengan pemberian cairan dan
elektrolit serta koreksi gangguan elektrolit, 2. Terapi antibiotik parenteral, 3. Drainase empedu yang
tersumbat. Beberapa studi acak tersamar memperlihatkan keunggulan drainase endoskopik dengan
angka kematian yang jauh lebih rendah dan bersihan saluran empedu yang lebih baik dibandingkan
operasi terbuka. Studi dengan kontrol memperkuat kesimpulan bahwa angka kematian dengan ERCP
hanya sepertiga dibandingkan dengan operasi terbuka pada pasien dengan kolangitis yang berat.
Oleh karenanya ERCP merupakan terapi pilihan pertama utuk dekompresi bilier mendesak pada
kolangitis akut yang tidak respond terhadap terapi konservatif.
Pankreatitis bilier akut atau pankreatitis batu empedu akut baru akan terjadi bila ada obstruksi
transien atau persisten di papila Vater oleh sebuat batu. Batu empedu yang terjepit dapat
menyebabkan sepsis bilier atau menambah beratnya pankreatitis.
Sejumlah studi memperlihatkan pasien dengan pankreatitis bilier akut yang ringan menyalurkan
batunya secara spontan dari saluran empedu ke dalam duodenum pada lebih dari 80% dan sebagian
besar pasien akan sembuh hanya dengan terapi suportif kolangiografi. Sesudah sembuh pada pasien
ini didapatkan insidensi yang rendah kejadian batu saluran empedu sehingga tidak dibenarkan untuk
dilakukan ERCP rutin.
Sebaliknya, sejumlah studi menunjukkan bahwa pasien dengan pankreatitis bilier akut yang berat
akan mempunyai resiko tinggi untuk mempunyai batu saluran empedu yang tertinggal bila
kolangiografi dilakukan pada tahap dini sesudah serangan. Beberapa studi terbuka tanpa kontrol
memperlihatkan sfingterotomi endoskopik pada keadaan ini tampaknya aman dan disertai
penurunan angka kesakitan dan kematian.
Dalam satu studi retrospektif di Jakarta pada 22 pasien dengan pankreatitis bilier akut juga
memperlihatkan sebagian besar pasien respon terhadap terapi konservatif sehingga tindakan
dekompresi darurat tidak diperlukan. Sebaliknya tindakan sfingterotomi endoskopik dini pada empat
pasien dengan batu terjepit di papila sangat bermanfaat dan cukup aman.