a · web viewdalam hal ini, orang yang pernah meminjamkan uang kepada orang lain, hanya berhak...
TRANSCRIPT
IDENTIFIKASI BUNGA SEBAGAI RIBA
Makalah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok, mata kuliah Fiqih Muamalah 2
Dosen Pengampu ; Dr. Jamaludin, MSI
Disusun Oleh kelompok 4:
Akhmad Farih Fauzi : 082323003Dwi Lestari : 082323013Solahuddin Fathulloh : 082223039Juni Pranggawati : 082323050
Prodi Ekonomi Islam Semester V
SEKOLAH TINGGI ILMU AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PURWOKERTO2010
A. Landasan Hukum Tentang Riba
Riba dalam al-Qur’an
Konsep pengharaman riba dalam al-Qur’an tidaklah secara
langsung melainkan bertahap, sama halnya dengan pengharaman khamar
dalam al-Qur’an. Hal ini dapat kitalihat dalam al-Qur’an :
Pertama, QS Ar-Rum ayat 39 “Dan sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu
tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kau berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)”.
Dalam ayat ini tidak secara tegas Allah SWT mengharamkan riba, hanya
sebatas perbandingan antara riba dan zakat, yang mana riba hanya bersifat
kamuflase sedangkan zakat bersifat hakiki.
Kedua, QS An-Nisa 160-161 “Maka disebabkan kezaliman orang-
orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik
(yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan
jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di
antara mereka itu siksa yang pedih”.
Ayat ini menggambarkan kebiasaan orang-orang Yahudi yang senang
memakan riba dan kebiasaan memakan harta dengan cara yang bathil.
Padahal Allah telah mengharamkan yang demikian itu bagi mereka.
Ketiga, QS Ali Imran : 130. “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Dalam ayat ini Allah melarang umat Islam memakan riba secara berlipat
ganda. Ayat ini lebih pada penekanan dan bersifat sistematis dibandingkan
ayat yang sebelumnya, yakni “memakan riba secara berlipat ganda”. Maka
muncullah pertanyaan, “bagaimana jika sedikit?”
Keempat, QS Al Baqarah : 275 – 276 kemudian 278 – 280.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu
berbuat dosa.(175-176).
ayat ini menegaskan lebih tegas lagi tentang pengharaman riba dan
ancaman Allah bagi mereka yang memakan riba dan solusi yang baik bagi
mereka. Beberapa kandungan pokok dalam ayat di atas adalah :
1) Orang yang memakan riba sama seperi orang yang kesetanan
sehingga tidak dapat membedakan hal yang baik dan buruk. Karena
mereka telah menyamakan jual beli dan riba, padahal Allah
menegaskan bahwa riba itu Haram. Sedangkan jual beli itu halal.
(ayat 275)
2) Allah berkehendak memusnahkan riba karena berbagai dampak
buruk yang ditimbulkannya, kemudian diganti dengan sodakoh yang
bermanfaat dan memberdayakan umat. (ayat 276)
3) Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk bertakwa
kepada-Nya dan meninggalkan sisa riba yang belum dipungut.
Dalam hal ini, orang yang pernah meminjamkan uang kepada orang
lain, hanya berhak mengambil pokok bagian hartanya (yang
dipinjamkannya). Apabila melaksanakannya, maka tidak akan ada
yang dianiaya maupun menganiaya. Apabila perintah itu tidak
dilaksanakan, maka Allah akan memeranginya. (ayat 278-279)
4) Al-Qur’an mengajarkan agar orang yang meminjamkan uangnya
kepada orang lain mau memberikan tenggang waktu pelunasan
ketika si peminjam mengalami kesulitan mengembalikan pinjaman
pada waktu yang dijanjikan. Apabila peminjam benar-benar tidak
mau mengembalikan maka menyedekahkan sebagian atau seluruh
pinjaman merupakan sebuah kebaikan disisi Allah. Pengembalian
pinjaman hanya sebesar pokok pinjaman yang diberikan sehingga
terhindar dari tindakan menganiaya maupun dianiaya. (ayat 280)
Riba Dalam Hadist
1) Dari Abdullah r.a., ia bersabda: “Rosulullah saw. melaknat orang
yang memakan riba dan memberikan riba”. Perawi berkata: saya
bertanya “bagaimana dengan orang yang menuliskan dan dua
orang yang menjadi saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab: “Kami
hanya menceritakan apa yang kami dengar”.
2) Dari Jabir r.a., ia berkata: “Rosullulah saw. melaknat orang yang
memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan dan dua
orang yang menyaksikan”. ia berkata: “mereka berstatus hukum
sama.”
3) Dari Sulaiman Ibn Amar, dari ayahnya (dilaporkan bahwa) ia
berkata: Saya mendengar Rosulullah saw. Bersabda pada haji
wada’: “Ketahuilah bahwa setiap bentuk riba Jahiliah telah
dihapus bagimu pokok bertamu, kamu tidak menzhalimi dan tidak
dizhalimi”.
B. Definisi Riba dan Bunga
1. Riba
Riba menurut bahasa adalah (azziyadah) artinya bertambah. Beberapa
pendapat yang dikemukakan oleh para ulama mengenai definisa Riba:
menurut ulama hanafiah yaitu: “Tambahan atas benda yang dihutangkan,
yang mana benda itu berbeda jenis dan dapat di takar dan ditimbang atau
tidak dapat ditakar dan ditimbang, tetapi sejenis. Menurut mazhab syafi’i
riba adalah “perjanjian hutang untuk jangka waktu tertentu dengan
tambahan pada waktu pelunasan hutang, tanpa ada imbalan. Wahbah al-
Zuhaili, penulis buku Fiqih Perbandingan, menyimpulkan rumusan riba
nasi’ah yang dikemukakan para ulama yaitu “ mengakhirkan pembayaran
hutang dengan tambahan dari jumlah hutang pokok1 “ (dan ini adalah riba
jahiliyah). Jadi, riba adalah pengambilan pengambilan tambahan, baik
dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara
batil/bertentangan dengan prinsip syara’.
1 Zuhri, Muhammad. Riba Dalam Al-Qur’an Dan Masalah Perbankkan: Sebuah Tilikan Antisipatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997. hal. 106
2. Bunga (interest)
Istilah bunga muncul sejak jaman dahulu kala. Menurut kamus
ekonomi (Inggris-Indonesia), Prof Dr. Winardi, SE Interes (net). Bunga
modal (netto). Penggunaan untuk pembayaran dana-dana. Diterangkan
dengan macam-macam cara, misalnya2:
a) Balas jasa untuk pengorbanan konsumsi atas pendapatan yang
dicapai waktu sekarang (contoh: teori abstinence)
b) Pendapat orang-orang yang berbeda mengenai preferensi likuiditas
yang menyesuaikan harga
c) Harga yang mengatasi terhadap masa sekarang atas masa yang
akan datang (teori preferensi waktu)
d) Pengukuran produktivitas macam-macam investasi (efisiensi
marginal modal)
e) Harga yang menyesuaikan permintaan dan penawaran akan dana-
dana yang dipinjamkan (teori dana yang dipinjamkan)
Sedangkan menurut kamus Ekonomi, Sloan dan Zurcher, Interest
yaitu sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah
tersebut, misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau presentasi modal
yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal. Pada
dasarnya istilah bunga yang berarti tambahan sama dengan arti ziyadah
(tambahan) yang terdapat pada riba. Namun apakah sama antara tambahan
yang ada dalam riba dengan tambahan yang ada dalam bunga. Apakah
setiap tambahan itu sama?
2 Wirdyaningsih. Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005. hal. 22
C. Pandangan Ulama Terhadap Bunga
Berbagai pendapat mengenai bunga banyak dilontarkan oleh para
ulama dan para pemikir modernis masa kini. Pemikir seperti Fazlur Rahman
(1964), Muhammad Asad (1984), Sa’id al-Najjar (1989) dan Abd al-Namir
(1989) berpandangan bahwa pengharaman riba yang dilakukan Islam lebih
tertuju pada aspek moralnya dibanding bentuk legal riba, seperti penafsiran
ulama dalam hukum Islam. Menurut mereka, alasan pengharaman riba adalah
kezaliman sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, ”laa tazlimuuna wa laa
tuzhlamuun.”3
Pemahaman tersebut membawa konsekuensi bahwa meskipun
terdapat ziyadah / tambahan atas pokok pinjaman (yang menurut ulama fikih
klasik dihukimi riba), namun jika tidak mengandung unsur kezhaliman maka
ia bukanlah riba. Menurut mereka aspek inilah yang ingin dicapai Islam dari
pengharaman riba tersebut.
Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha berpandangan
bahwa riba yang diharamkan itu adalah riba jahiliyah, yaitu riba yang terjadi
karena tidak dapat melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo, kemudian pihak
peminjam memberikan tangguhan yang disertai dengan tambahan atas
keterlambatannya itu. Abduh dan Ridha berpendapat bahwa penambahan
(bunga) yang pertama dalam suatu hutang tertentu adalah halal, tetapi jika
pada saat jatuh tempo, ditetapkan untuk menunda jatuh tempo tersebut dengan
3 Muhammad Ghafur. Memahami Bunga Dan Riba Ala Muslim Indonesia. Yogyakarta: Biruni
Press, 2008. hal. 104
imbalan suatu tambahan lagi, maka tambahan yang kedua ini dapat
diharamkan. Abduh membolehkan seseorang untuk menyimpan uang di bank
dan juga membolehkan mengambil bunga simpanannya. Pendapatnya di
dasarkan pada pertimbangan maslahah mursalah (kebaikan/kesejahteraan
bersama)4.
Sementara itu Majma al-Buhits al-Islamiyyah (al-Azhar), dalam
rapatnya yang membahas soal bank konvensional yang langsung dipimpin
oleh Syekh Al-Azhar, dalam transaksi dengan bank konvensional itu lebih
memandang pada aspek ’an taradhim (saling ridha). Forum itu memutuskan:
”Mereka yang bertransaksi dengan atau bank konvensional dan menyerahkan
harta dan tabungan mereka agar menjadi wakil mereka dalam
menginvestasikannya dalam berbagai kegiatan yang dibenarkan, dengan
imbalan keuntungan yang diberikan kepada mereka serta ditetapkan terlebih
dahulu pada waktu yang disepakati bersama orang-orang yang bertransaksi
dengannya atas harta-harta itu, maka transaksi dalam bentuk itu adalah halal
tanpa Syubhat (kesamran), karena tidak ada teks keagamaan di dalam al-
Qur’an atau dari Sunnah Nabi yang melarang transaksi dimana ditetapkan
keuntungan atau bunga terlebih dahulu. Selama kedua belah pihak rela dengan
bentuk transaksi tersebut5.
Namun lain halnya dengan Yusuf Qardhawi, ia berpandangan
haram terhadap bunga. Bahkan ia berpendapat tidak ada keraguan lagi bahwa
bunga yang berlaku saat ini adalah riba yang diharamkan dalam islam.
4 Ibid. Muhammad Ghafur. hal. 1055 Ibid. hal 111
C. Identifikasi Bunga Sebagai Riba
Perdebatan para ulama mengenai bunga itu apakah haram atau tidak,
sudah muncul sejak dulu, namun belum ada kesepakatan pasti mengenai hal
tersebut. Begitupun ormas Islam (khususnya Indonesia) baik NU maupun
Muhammadiyah ikut andil berkomentar di dalamnya. Berbagai pandangan
mengenai ayat al-quran tersebut diataspun banyak dilontarkan.
Nahdlatul Ulama dalam rapat Muktamar NU meberikan tiga opsi,
Haram, Halal, dan Syubhat (belum jelas halal dan haramnya).
1. Haram ; sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente)
2. Halal ; sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sebab menurut ahli hukum
yang terkenal, bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk syarat.
3. Syubhat (tidak jelas halal haramnya) ; sebab ahli hukum berselisih
pendapat.6
Berbeda dengan NU, Majelis Tarjih dan PP Muhammadiyah dalam
Halaqah Nasional Tarjih pada tanggal 18 Agustus 2006 memandang masalah
bunga adalah haram dengan beberapa pertimbangan;
1. Sistem ekonomi berbasis bunga semakin diyakini sebagai potensi tidak
stabil, tidak berkeadilan, menjadi sumber berbagai penyakit ekonomi
modern serta merupakan pemindahan sistematis uang dari orang yang
memiliki lebih sedikit uang kepada yang memilikli lebih banyak uang,
seperti tampak dalam krisis hutang Dunia Ketiga dan di seluruh dunia.
6 Muhammad Ghafur. hal. 77
2. Terdapat argumen yang kuat untuk mendukung sistem keuangan bebas
bunga yang sejalan dengan ajaran islam dan ajaran kristen awal, sehingga
perlu mengeliminir peran bunga.
3. Ekonomi islam yang berbasis prinsip syariah dan bebas bunga telah
diperkenalkan sejak bebrapa dasawarsa dan institusi keuangan islam telah
diakui keberadaannya dan tersebar diberbagai tempat.
4. Guna mendorong perserikatan dan seluruh warga Muhammadiyah serta
umat islam dalam mempraktekkan ekonomi berdasar prinsip syariah dan
bebas bunga7
Senada dengan Majelis tarjih, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
fatwanya-pun menyatakan haram terhadap bunga
Dari beberapa keterangan ayat al-qur'an dan hadits di atas, riba
dapat didefinisikan sebagai ”tambahan yang diperjanjikan atas besarnya
pinjaman ketika pelunasan hutang” dengan penekanan pada ”tambahan” maka
ia dijadikan ciri pokok riba. Tidak ditemui oleh para fuqoha dan generasi
sebelumnya bahwa peminjaman dengan tambahan tidak mendatangkan
kesengsaraan. Jadi ”tambahan” relevan dengan kesengsaraan.
Riba dapat juga didefinisikan dengan tambahan atas besarnya
pinjaman ketika pelunasan hutang yang mendatangkan kesengsaraan pada
pihak peminjam. Penekanan pada definisi seperti ini adalah
”kesengsaraan/dzulm” bukan ”tambahan”. ”tambahan sebagai
al-nau’u/species, sedangkan ”kesengsaraan” sebagai al-jins/genus.
7 Muhammad Ghafur. hal. 65
Untuk menelusuri riba perlu dinyatakan juga, mengapa ia diharamkan.
Bila jawabannya ”karena ia adalah tambahan yang diperjanjikan dimuka”
maka tambahan itulah yang menjadi esensi riba. Tetapi bila jawabannya
”mendatangkan dzulm” maka dzulm-lah yang menjadi esensinya. Kemudian,
jika kita kembali pada pokok persoalan larangan riba, maka ”tambahan” tidak
mempunyai makna apa-apa. Sebaliknya, ketidakadilan adalah hal yang
bertentangan dengan tujuan penetapan prinsip ekonomi islam. Karena illat
larangan riba seharusnya dzulm, bukan tambahan8.
Praktek-praktek riba yang sering dilakukan oleh bank adalah riba nasii’ah, dan
riba qardl; dan kadang-kadang dalam transaksi-transaksi lainnya, terjadi riba
yadd maupun riba fadlal.
Unsur-unsur riba nasi’ah :
1 Terjadi pada transaksi pinjam meminjam dalam jangka waktu tertentu.
2 Pihak peminjam wajib memberi tambahan pada pemberi utang ketika
mengangangsur atau melunasi pinjaman (yang mengikat) khususnya
ketika terjadi keterlambatan pembayaran utang.
3 Obyek peminjaman adalah benda-benda ribawi.
Persamaan Bunga dengan Riba
1. Sama-sama terdapat “tambahan” dalam pinjaman
2. Memberikan kemadharatan/ketidakadilan
3. terdapat unsur riba nasii’ah, dan riba qardl; dan kadang-kadang dalam
transaksi-transaksi lainnya, terjadi riba yadd maupun riba fadlal
4. Terdapat aspek spekulatif,
8 Zuhri, Muhammad. Riba Dalam Al-Qur’an Dan Masalah Perbankkan: Sebuah Tilikan Antisipatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997. hal. 131-132
5. Nilainya bisa terus berkembang (adh'afan mudho'afan)
6. Merusak moral manusia, dll.
Namun dalam perkembangnnya, bunga menjadi sangat elastis dan sangat
berbaur dalam kehidupan masyarakat moderen ini dan sulit untuk
dipisahkan. Ketergantungan ini membawa kepada sebuah perbedaan antara
bunga dengan riba.
Perbedaan Bunga dengan Riba
1. Tidak ada nash (baik qur'an maupun hadits) yang secara langsung
membahasakan pengharaman “bunga”
2. Tidak setiap “tambahan” itu memberikan unsur dzulm, tetapi bisa juga
memberikan kemaslahatan, karena tidak setiap kreditur itu orang miskin
(tak mampu), banyak dari para pengusaha yang meminjam uang dari
bank dan mereka menjadi maju.
3. Nilai uang nominal dengan nilai uang riil bisa saja berubah. Uang 1 juta
hari ini, bisa saja sama nilainya dengan uang 1,2 juta pada tahun yang
akan datang, jika terjadi inflasi. Karena sangat jarang sekali untuk
negara berkembang mengalami deflasi (penuruman harga barang).
4. Pengharaman bunga secara langsung akan berdampak negatif terhadap
perekonomian. Karena banyak orang yang menarik uangnya secara
besar-besaran dalam waktu yang sama.
KESIMPULAN
Dari berbagai uraian di atas mengenai pengharaman bunga sangatlah berpariatif.
Jika definisi riba adalah ”tambahan yang diperjanjikan atas besarnya pinjaman
ketika pelunasan hutang” dengan penekanan pada ”tambahan” mala illat riba
adalah tambahan (ziyadah). Namun jika definisi riba ”tambahan atas besarnya
pinjaman ketika pelunasan hutang yang mendatangkan kesengsaraan pada pihak
peminjam. Maka illat riba adalah ”kesengsaraan/dzulm” bukan ”tambahan”.
”tambahan sebagai al-nau’u/species, sedangkan ”kesengsaraan” sebagai
al-jins/genus.
Untuk menelusuri riba perlu dinyatakan juga, mengapa ia diharamkan. Bila
jawabannya ”karena ia adalah tambahan yang diperjanjikan dimuka” maka
tambahan itulah yang menjadi esensi riba. Tetapi bila jawabannya ”mendatangkan
dzulm” maka dzulm-lah yang menjadi esensinya. Kemudian, jika kita kembali
pada pokok persoalan larangan riba, maka ”tambahan” tidak mempunyai makna
apa-apa. Sebaliknya, ketidakadilan adalah hal yang bertentangan dengan tujuan
penetapan prinsip ekonomi islam. Karena illat larangan riba seharusnya dzulm,
bukan tambahan. Karena pada kenyataannya tidak setiap tambahan memberikan
dampak negatif.
Bunga dapat menjadi haram apabila terdapat unsur ketidakadilan dan unsur
dzulum (kesengsaraan) baik bagi pihak peminjam atau yang meminjamkan,
karena tidak sesuai dengan tujuan syariat. Bisa menjadi halal karena tidak ada
nash yang secara langsung mengharamkan “bunga”, dan terdapat unsur tolong-
menolong. Bisa menjadi syubhat karena masih dalam perdebatan dan belum ada
kesepakatan dari seluruh ulama, dan belum jelas haram dan halalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhri, Muhammad. Riba Dalam Al-Qur’an Dan Masalah Perbankkan: Sebuah
Tilikan Antisipatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.
W.Muhammad Ghafur. Memahami Bunga Dan Riba Ala Muslim Indonesia.
Yogyakarta: Biruni Press, 2008.
Wirdyaningsih. Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.
Shahih Muslim, Juz 1. Hal : 697
http://www.antaranews.com/berita/1270295014/muhammadiyah-tetapkan-bunga-perbankan-riba.http://almanaar.wordpress.com/2008/04/16/fatwa-mui-tentang-bunga-bank/