a… · web view · 2007-07-31menciptakan kondisi ideal untuk mencapai titik temu antar umat...
TRANSCRIPT
MUHAMMADIYAH DAN PLURALISME AGAMA :
Membaca Gagasan Toleransi dan Interaksi Antar Umat Beragama
Oleh : Anjar Nugroho, S.Ag
ABSTRAK
Penelitian ini memfokuskan pembahasan pada sikap dan pemikiran Muhammadiyah terhadap pluralitas keagamaan di Indonesia. Sikap Muhammadiyah diamati dari perspektif sejarah bagaimana Muhammadiyah berinteraksi dan membangun kommitmen untuk berkompetisi secara sehat dengan berbagai agama di Indonesia. Sedangkan pemikiran Muhammadiyah tentang pluralisme diamati dari percikan pemikiran para tokoh Muhammadiyah dan sebuah buku Tafsir Tematik Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama yang disusun oleh Majlis Tarjijh dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah penelitian termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research. Sedangkan penelitian ini bersifat diskriptif. Dalam menyusun penelitian ini, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan normatif (al-qur’an dan sunnah) dan sosiologis. Dan metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis induktif dan deduktif.
Setelah dilakukan pembahasan penelitian ini menyimpulkan bahwa Tajdid dan pembaharuan yang paling mendasar bagi Muhammadiyah adalah pandangan tentang larangan bertaqlid buta dan terbukanya kembali pintu ijtihad. Bukti terbukanya pintu ijtihad dalam Muhammadiyah adalah munculnya Kitab tafsir tematis Hubungan sosial antar umat beragama yang pola penafsirannya adalah dengan menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat dalam al-Qur’an yang berbicara masalah yang sama untuk dihimpun dan disusun sedemikian rupa kemudian diberi tema dan ditafsirkan (tafsir maudlu’i). Dan secara garis besar dalam kaitan hubungan antarumat beragama pada kitab tafsir tersebut , Muhammadiyah menggunakan pendekatan kompetitif, sebab kompetisi merupakan bukti kedewasaan dalam menghadapi perbedaan.
A. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu dihadapkan dengan fenomena pluralitas.
Plutralitas warna kulit (kulit putih, kuning, hitam , sawo matang dan sebagainya. Pluralitas etnik (entik
Cina, Arab, Jawa, Sunda, Banjar dan sebagainya). Pluralitas agama (Kristen-Katolik, Kristen
Protestan, Islam, Hindu, Budha, Konghuchu, Tao dan sebagainya). Pluralitas bahasa (bahasa Inggris,
bahasa Prancis, Jerman, Indonesia dan sebagainya).
Daftar “pluralitas” dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan. Yang hendak ditekankan di
sini adalah bahwa isu pluralitas bukanlah “barang baru”. Membicarakan persoalahn pluralitas sekarang
ini adalah ibarat “to put a new wine in the old bottle” (memasukkan minuman anggur yang baru dalam
botol yang lama). Botolnya tetap itu-itu saja – dalam arti bahwa isu pluralitas adalah setua usia
manusia dan selamanya akan ada-, hanya saja cara membuat minuman anggur bisa terus menerus
berubah, sesuai dengan perkembangan tehnologi pembuatan minuman yang ada. Dalam kehidupan
praktis sehari-hari – sebelum dicampuri dengan pertimbangan-pertimbangan atau kepentingan-
kepentingan idiologis, ekonomis, sosial-politik, agama dan seterusnya-, umat manusia menjalani
kehidupan yang bersifat pluralistik secara alamiah dan wajar-wajar saja, tanpa begitu banyak
mempertimbangkan sampai pada tingkat “benar tidaknya atau bid’ah tidaknya” realitas pluralitas yang
menyatu dalam kehidupan sehari-hari (Abdullah, 2000 : 69).
Masyarakat yang pluralistik, seharusnya tidak hanya cirri khas masyarakat modern dewasa ini.
Dalam pengalaman paling dini historisitas keberagamaan Islam era kenabian Muhammad, masyarakat
yang pluralistik secara religi sudah terbentuk dan sudah pula menjadi kesadaran umum pada saat
itu.Keadaan yang demikian sudah sewajarnya lantaran secara kronologis agama Islam memang muncul
setelah terlebih dahulu didahului oleh berkembangnya agama Hindu, Budha, Kristen Katholik, Majusi,
Zoroaster, Mesir Kuno maupun agama-agama yang lain.
Di tengah keragaman atau pluralitas keberagamaan pada masa kenabian Muhammad, tidaklah
menghalangi beluai untuk mengembangkan sikap-sikap toletansi antar pemeluk agama atau
kepercayaan yang berbeda. Bahkan, Muhammad pernah suri tauladan yang sangat inspiring dihadapan
para pengikutnya. Sejarah mencatat bahwa, Nabi pernah dikucilkan dan bahkan diusir dari tumpah
darahnya (Makkah). Beliau terpaksa hijrah ke Madinah untuk beberapa lama dan kemudian kembali ke
Makkah. Peristiwa itu dikenal dalam Islam dengan fathul Makkah. Dalam peristiwa yang penuh
kemenangan ini, Nabi tidak menggambil langkah balas dendam kepada siapapun juga yang telah
mengusirnya dahulu dari tanah kelahirannya. “Antum Tulaqa (kamu sekalian bebas)”, Begitu ucapan
Nabi kepada mereka (Abdullah, 1999 : 73).
Peristiwa itu sangat memberi inspirasi dan memberi kesan yang mendalam terhadap penganut
agama Islam di mana pun mereka berada. Nabi telah emmberi contoh kongkret dan sekaligus contoh
pemahaman dan penghayatan pluralisme keagamaan yang amat riel dihadapan umatnya. Tanpa
didahului polemik pergumulan filosofis-teologis, Nabi tidak menuntut “truth claim” atas nama dirinya
maupun atas nama agama yang dianutnya. Dia mengambil sikap agree in disagreement (al-Qur’an s.
al-Takatsur : 1-8), dia tidak memaksakan agamanya untuk diterima oleh orang lain (al-Qur’an s. al-
Kafirun : 1-6).
Etika Islam, sebagaiman telah disebut oleh George F. Hourani, adalah sifat “Ethical
Voluntarism”, sebenarnya mengandung dimensi historisitas keteladanan (uswatun hasanah) yang
terpancar dari perilaku Nabi Muhammad SAW. Etika pemihakan terhadap fundamental values
2
kemanusiaan sangat dijunjung tinggi oleh penganut Islam. Memihak kepada fundamental values,
aturannya, berarti menepikan segala macam sekat-sekat teologis yang selama ini telah terkristal dan
terbentuk oleh perjalanan hidup sejarah kemanusiaan itu sendiri (Hourani, 1985 : 57, 59). Dalam
perspeksif Islam, konsepsi etika keberagamaan, khususnya yang menyangkut hubungan antar umat
beragama, adalah bersifat sangat terbuka dan dialogis. Panggilan untuk mencari titik temu (kalimatun
sawa’) antar berbagai penganut ahli kitab adalah tipikal model panggilan al-Qur’an.
Menciptakan kondisi ideal untuk mencapai titik temu antar umat beragama adalah merupakan
kepentingan semua pihak dan tanggung jawab bersama. Beban itu sepenuhnya tidak dapat dipikul oleh
umat Islam atau Protestan atau oleh pihak-pihak umat Katholik dan lain-lain secara sepihak. Hal
demikian juga terjadi dalam sejarah kehidupan Nabi terutama yang terkait langsung dengan deklarasi
“konstitusi Madinah” yangb oleh Robert N. Bellah disebut sebagai deklarasi “modern” yang muncul
sebelum peradaban manusia yang benar-benar modern timbul (Bellah, 1976 : 150-152).
Dalam perspektif Islam, dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang pluralistik
secara religius, sejak semula, memang telah dibangun di atas landasan normative dan historis
sekaligus. Jika ada hambatan atau anomaly-anomali di sana sini, penyebab utamanya bukan karena inti
ajaran Islam itu sendiri yang bersifat intoleran atau eksklusif, tetapi lebih banyak ditentukan dan
dikondisikan oleh situasi historis-ekonomis-politis yang melingkari komunitas umat Islam di berbagai
tempat. Kompetisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi, hegemoni kekuasaan, jauh lebih
mewarnai ketidak-mesraan hubungan antar pemeluk beragama dan bukannya oleh kandungan ajaran
etika agama itu sendiri (Abdullah, 1999 : 75).
Nurcholish Madjid, memberi penilaian tersendiri tentang masalah pluralisme agama di
Indonesia. Dia menilai kegagalan umat dalam menangkap pesan toleransi dalam ajaran agama
dikarenakan mereka menjadikan pluralisme hanya sebagai faham kemajemukan, keanekaragaman,
yang terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi.
Nurcholis juga tidak sependapat ketika pluralisme dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif”
(negative good), hanya ditilik dari kegunaaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism
at buy). Dia menambahkan, pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam
ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan
pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui
mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya (Nurcholish, 1999 : 62).
3
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam amar ma’ruf nahi munkar di Indonesia, secara realistic
tentu adalah salah satu institusi yang berada dalam lingkup pluralitas masyarakat sebagaimana yang
tergambar di atas. Ketika melihat fenomena kecenderumangan umat yang intoleran dan eksklusif
dalam kehidupan keberagamaannya, maka hal itu adalah wilayah garapan Muhammadiyah sebagai
salah satu gerakan pembaharuan di Indonesia.
Keterlibatan Muhammadiyah dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antar
umat beragama, dapat dipilahkan menjadi dua persoalan besar. Pertama, Muhammadiyah harus dapat
merumuskan landasan normative yang berdasarkan sumber-sumber utama ajaran agama Islam yakni
al-Qur’an dan as-Sunnah bagaimana hubungan antar umat beragama harus terbentuk dan terjalin.
Kedua, Muhammadiyah juga dituntut untuk dapat membuat kebijakan-kebijakan strategis berkaitan
dengan hubungan sosial antar umat beragama. Ketiga dua bidang garap ini tidak tersentuh, maka boleh
dikatakan Muhammadiyah tidak perlu dipersoalkan lagi kedudukannya sebagai kekuatan pembaharu
umat (society reformation force).
Walaupun memang diakui bahwa dialog dan kerukunan antar umat beragama mesih merupakan
barang mewah yang tidah hanya di Indonesia, tetapi juga di banyak negara di dunia ini. Di Timur
Tengah, India, Burma, Irlandia, belum lagi di negara-negara bekas Uni Soviet dan Yoguslavia.
Ketegangan antar umat beragama masih sangat tampak menghiasi berita surat kabar (Abdullah, 1999 :
76). Sederetan persoalan itu adalah sekian masalah hubungan antar umat beragama yang harus
mendapat perhatian dari semua pihak khususnya adalah lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh
keagamaan.
Untuk itu, Muhammadiyah telah memulai dengan merumuskan aspek-aspek normative ajaran
Islam untuk mengatur lalu lintas interaksi antar umat beragama, khususnya dalam interaksi sosial
kemasyarakatan. Dan dari kepentingan itu lahirlah sebuah buku tafsir maudlu’I yang digagas dan
dirumuskan oleh majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dengan tema sentral “Hubungan
Sosial Antar Umat Beragama”.
Dan penelitian ini diarahkan kepada studi terhadap buku tafsir tersebut dan mencari pokok-
pokok pikiran yang berkembang di Muhammadiyah untuk mencoba memposisikan institusi
Muhammadiyah di tengah-tengah eskalasi sosial-budaya masyarakat yang plural.
B. PERUMUSAN MASALAH
Yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah
4
1. Bagaimana metodologi ijtihad Muhammadiyah dalam menghadapi persoalan baru dan
bagaimana buku Tafsir Tematik Hubungan Sosial Antar Umat Beragama tersebut mengupas
dan menyusun kerangka pikirnya tentang gagasan toleransi dan interaksi antar umat
beragama ?
2. Bagaimana Muhammadiyah memposisikan diri di tengah-tengah keragaman agama dan
kepercayaan dikaitkan dengan peran tajdid (pembaharuannya) ?
C. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam penelitian ini, penulis menjadikan buku tafsir maudhu’i yang diterbitklan oleh majlis
Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang berjudul “Hubungan
Sosial antar Umat Beragama” sebagai kitab kunci dalam focus penelitian ini. Dan dalam buku itu
tergambar secara jelas bagaimana sebebarnya pemikiran Muhammadiyah tentang hubungan antar umat
beragama, sehingga bisa menggambarkan pula bagaimana Muhammadiyah melihat tantangan
pluralisme keberagamaan dan mudah untuk selanjutnya memetakkan kecenderungan pemikiran
Muhammadiyah.
Disamping buku pokok itu, tentu penulis melengkapinya dengan berbagai data dari wawancara
dengan tokoh-tokoh Muhammadyah yang berkompeten dan representatif. Salah satu tokoh yang
menurut rencana penulis akan dikorek datanya adalah Prof. Dr. Amin Abdullah, yang kala itu adalah
ketua majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dan tak
kalah menarik dari sosok Amin Abdullah adalah buku-bukunya yang sudah terbit beberapa buah yang
dalam setiap isi bukunya tertuang konsepsi kokoh tentang pluralisme dan toleransi antar umat
beragama. Buku-bukunya itu adalah antara lain; Studi Agama : Normativitas atau Historisitas ? ;
Falsafah kalam di Era Postmodernisme; dan Dinamika Islam Kultural : Pemetaan atas Wacana
Keislaman Kontemporer.
Disamping Amin Abdullah, ada juga seorang tokoh cendekiawan muslim yang telah banyak
menelorkan gagasan-gagasannya tentang pluralisme dan toleransi, yakni Prof Dr. Nurcholish Madjid.
Gagasan-gagasan itu tertuang dalam buku-bukunya yang menjadi ajuan juga dalam penelitian ini,
diantaranya : Islam Doktrin dan Peradaban; dan Cendekiawan dan Relegiusitas Masyarakat.
Buku-buku yang membahas tentang pemikiran Muhammadiyah antara lain : Muhammadiyah
dalam Kritik; Rekonstruksi Gerakan Muhammadiyah pada Era Multiperadaban dan Dialog Pemikiran
Islam dalam Muhammadiyah. Buku-buku tersebut sedikitnya memberi gambaran rancang bangun
5
epistimologis keilmuan Muhammadiyah yang dapat dijadikan sumber rujukan dalam membaca
kecenderungan pemikiran Muhammadiyah. Kalau toh itu belum cukup (baca : representatif) untuk
menggambarkan kerangka perfikir Muhammadiyah, paling tidak dari sanalah wacana Muhammadiyah
dibangun.
Disamping penulis menggunakan buku-buku di atas, penulis juga menghadirkan buku-buku
karya-karya ilmuwan Barat , diantaranya Robert N. Bellah, dan Goerge F. Hourani yang bukunya
berjudul Beyond Belief : Essay on Religion in Post-Tradisional World dan Reason and Tradition in
Islam Ethics.
D. METODE PENELITIAN
Adapun metode yang dipakai dalam penyusunan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis dan sifat penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah penelitian termasuk
dalam jenis penelitian kepustakaan (library research), yaitu menganalisis muatan isi dari literatur-
literatur yang terkait dengan penelitian.
Sedangkan penelitian ini bersifat diskriptif, yakni penyusun berusaha menggambarkan obyek
penelitian, yaitu pemikiran dalam buku Hubungan Sosial antar Umat Beragama dan secara umum
pemikiran Muhammadiyah yang berkaitan dengan masalah toleransi, pluralisme dan hubungan antar
umat beragama.
2. Pengumpulan data
Untuk memperoleh data tentang pemikiran dalam buku Hubungan Sosial antar Umat Beragama
dan pemikiran Muhammadiyah yang berkaitan dengan masalah toleransi, pluralisme dan hubungan
antar umat beragama, penyusun menggunakan sumber-sumber primer berupa buku-buku dan makalah-
makalah yang ada relevansinya dengan penyusunan penelitian ini, dan sumber-sumber sekunder
berupa buku-buku, kitab-kitab, jurnal-jurnal yang terkait.
3. Pendekatan yang digunakan
Dalam menyusun penelitian ini, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan normatif
(al-qur’an dan sunnah) dan sosiologis.
Pendekatan normatif untuk menyelesaikan paparan-paparan kritis pada muatan-muatan
pemikiran dalam buku Hubungan Sosial antar Umat Beragama dan pendekatan sosialogis untuk
6
menyelesaikan masalah tentang bagaimana memetakan Muhammadiyah masalah toleransi, pluralisme
dan hubungan antar umat beragama di Indonesia.
4. Metode analisis data
Dalam menyusun penelitian ini, metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis
induktif dan deduktif
E. Pembahasan
1. Gerakan Tajdid Muhammadiyah
Dengan memperhatikan dan mencermati berbagai sorotan terhadap pemikiran keagamaan dan
keislaman dalam Muhammadiyah selama sepuluh tahun terakhir Majlis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam pimpinan Pusat Muhammadiyah menganggap bahwa sudah mendesak waktunya bagi
gerakan pembaharuan pemikiran Islam di tanah air ini untuk memperhatikan dua dimensi wilayah
keagamaan, yaitu wilayah religious practical guidance (fatwa dan tuntutan keagamaan secara praktis)
dan juga wilayah pemikiran keagamaan (religious thought) yang lebih terkait dengan visi, gagasan,
wawasan, diskursus, wacana, nilai-nilai fundamental dan sekaligus analisis akademis.
Jika sisi pertama bersifat mengikat (sebagaimana umat Islam terikat kepada aturan-aturan dan
norma-norma ibadah mahdlah), sisi kedua tidak perlu mengikat. Sisi kedua lebih merupakan wacana,
dialog atau diskursus yang membuka visi, wawasan, gagasan dan sensitivitas – yang sudah barang
tentu tidak mesti harus didahului oleh kepustusan Majlis Tarjih yang mengikat – serta lebih
menoonjolkan aspek analisis akademis terhadap tata nilai, pandangan hidup dan wilayah moralitas
publik.
Wawasan pengembangan pemikiran Islam di lingkukan persyarikatan Muhammadiyah pasca
Muktamar Banda Aceh 1995 mesih tetap mengacu kepada hubungan timbal balik yang kritis antara
“normativitas” wahyu dan “historisitas” pemahamannya, baik era klasik, skolastik, modern dan lebih-
lebih era modern tingkat lanjut. Yang menjadi titik tekan telaah dan pengembangan pemikiran
keagamaan dan keislaman dalam Muhammadiyah adalah historisitas pemikiran keagamaan Islam
dalam menghadapi berbagai isu dan perkembangan keilmuan, kebudayaan dan keagamaan
kontemporer dengan tetap mengacu kepada normativitas wahyu yang bersifat rahmatan lil ‘alamin dan
syifa’ lima fi as-sudur.
Dalam spekturum perspektif tersebut Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam
periode 1995 – 2000 menganggap perlu adanya pemekaran wilayah bidang telaah dan kajian
7
keagamaan dan keislaman. Salah satu dari kesekian butir program pengembangan pemikiran keislaman
dalam Muhammadiyah adalah bidang pengembangan tafsir.
Adalah Imam Abu Hanifah yang pernah menyampaiakn bahwa dia membaca al-Qur’an selalu
disertai dengan pemahaman yang “baru”. Bukan mushaf al-Qur’an yang baru, melainkan pemahaman
seseorang terhadap al-Qur’an diharapkan selalu baru, karena disebabkan oleh pengaruh perbedaan latar
belakang pendidikan penulis dan pembacanya, oerbedaan usia, perbedaan tantangan cultural,
kelengkapan alat-alat laboratorium serta perkembangan temuan-temuan teori dan metodologi baru
dalam ilmu-ilmu kealaman, budaya, sosial dan agama. Dalam bahasa pendekatan hermeneutik
sekarang, jenis pembacaan terjhadap teks-teks keagamaan dan keislaman seperti itu dinamakan al-
Qira’ah al-muntijah.
Senafas dan sealur dengan itu, Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam juga dituntut
oleh masyarakat untuk mulai memikirkan pengembangan tafsir al-Qur’an secara tematis yang lebih
mencerminkan semangat perkembangan zaman. Bukankan karya-karya besar kitab tafsir terdahulu
seperti Tafsir at-Tabari, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir az-Zamakhsyari, Tafsir al-Baidlawi, Tafsir jalalain
dan juga tafsir Muhammad Abduh (Tafsir al-Manar) dan tafsir Sayyid Qutb (Fi Zilal al-Qur’an) juga
digerakkan dan dimotori oleh semangat dan tantangan jaman yang baru dan berbeda? Untuk era
kontemporer, dirasakan perlunya sebuah tafsir al-Qur’an tematis dengan mempertimbangkan dan
memperhatikan masukan-masukan dari berbagai pendekatan disiplin keilmuan, antara lain, ilmu-ilmu
sosial (al-ulum al-ijtima’iyyah), pendekatan ilmu-ilmu kelalaman (al-‘ulum at-tabi’iyyah) dan ilmnu-
ilmu budaya dan kemanusiaan (al-‘ulum al-insaniyyah as-saqafiyyah), disamping ilmu-ilmu ketuhanan
(al-‘ulum al-ilahiyyah) seperti yang biasa dijumpai selama ini. Dari sinilah persyarikatan
Muhammadiyah kemudian mencoba sebagai langkah awal menyusun tafsir tematis dengan judul
Hubungan Sosial Antar Umat Beragama.
Secara umum, dalam ilmu tafsir al-Qur’an, tafsir tematis ada dua pola. Pola pertama, memilih
suart tertentu dari al-Qur’an untuk ditafsirkan secara lengkap dengan anggapan bahwa satu surat di
dalam al-Qur’an itu meskipun berbicara tentang banyak hal tetapi keseluruhannya merupakan satu
gagasan sentral dan satu kesatuan tematis. Konse[ tafsit tematis ini telah sejak lama dikemukakan oleh
para ulama Islam di zaman lampau seperti asy-Syatibi (w. 790/1388), misalnya, yang menyatakan
bahwa satu surat meskipun berisi banyak makna (banyak masalah), namun keseluruhannya berpangkap
pada satu tema pokok. Ia mencontohkan dengan surat al-Mu’minun yang diwahyukan menyangkut
8
satu masalah meskipun di dalamnya terdapat berbagai pembicaraan pokok surat tersebut menurut asy-
Syatibi adalah seruan untuk menyembah Allah (Asy-Syatibi, 1431 H, III : 249-54).
Pola kedua adalah menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat dalam al-Qur’an yang
berbicara masalah yang sama untuk dihimpun dan disusun sedemikian rupa kemudian diberi tema dan
ditafsirkan. Sesungguhnya apabila orang berbicara tetang tafsir tematis, tafsir jenis kedua inilah yang
lazim digunakan.
2. Muhammadiyah dan Pluralitas Agama
Semenjak awal pertumbuhannya, Muhammadiyah selalu dihadapkan dengan realitas sosial
keagamaan yang kompleks. Pada awal pertumbuhannya itu, setidaknya ada dua persoalan sosial-
keagamaan yang secara signifikan mempengaruhi Muhammadiyah dalam menentukan visi dan
dinamikanya pada masa-masa berikutnya.
Pertama, Muhammadiyah dihadapkan pada persoalan autentisitas dalam paham dan praktik
keberagamaan masyarakat Islam. Sebagai wilayah yang berjauhan dengan umat Islam (Timur Tengah),
banyak paham dan praktik keberagamaan uat Islam bercampur baur dengan tradisi yang berkembang
sebelum kedatangan Islam di bumi Nusantara.
Menghadapi realitas semacam itu, Muhammadiyah melakukan purifikasi, yakni memurnikan
kembali paham dan praktik keberagamaan umat Islam. Dalam pandangan Muhammadiyah semua
praktik keberagamaan umat Islam harus merefleksikan tuntutan autentisitas al-Qur’an dan as-Sunnah.
Muhammadiyah relatif berhasil menegakkan supremasi Islam autenti ini. Ini dibuktikan dari
perkembangan kontituensi Muhammadiyah yang merambah di luar wilayah kelahiran Muhammadiyah,
Yogyakarta.
Persoalan sosial-keagamaan kedua yang dihadapi oleh Muhammadiyah adalah penetrasi
kalangan misionaris Kristen yang mendapatkan dukungan kuat dari penguasa kolonial Belanda ketika
itu. Pergumulan dalam menghadapi penetrasi itu diungkapkan secara mendalam oleh Alwi Shihab
dalam disertasi doktornya, Membendung Arus : Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi
Misi Kristen di Indonesia (mIzan, 1998). Dalam disertasi Shihab itu, paling tidak ada dua
yangmenarik. Pertama, Konstruksi teoritik shihab tentang motivasi pendirian Muhammadiyah. Yakni,
disamping pendirian Muhammadiyah dimaksudkan untuk melakukan purifikasi, juga dalam rangka
membendung arus dari kalangan misionaris Kristen dalam menyebarkan agamanya.
9
Ketiga, dalam rangka membendung arus itu, Muhammadiyah, terutama pada zamannya Ahmad
Dahlan, alih-alih melakukan tidakan konfrontatif yang bisa mengakibatkan terjadinya kekerasan antar
umat beragama seperti yang mengemuka balakangan ini. Muhammadiyah ternyata lebih memilih cara-
cara kompentitif. Dan menarik lagi Muhammadiyan malah mengadaptasi cara-cara yang dilakukan
oleh kalangan Kristen, misalnya dalam bidang pendidikan, Berbeda dengan kalangan Muslim
tradisional, yang lebih menekankan pada fungsi koservatif terhadap institusi pendidikan yang
didirikannya, Muhammadiyah dengan penuh kesadaran melakukan modernisasi pendidikan, seperti
yang dilakukan oleh kalangan Kristen. Tentu saja, fungsi konservatif pendidikan tidak diabaiakan.
Oleh karena itu, disamping memberikan mata pelajaran umum, yang “sekuler”, institusi pendidikan
Muhammadiyah juga memberikan pelajaran agama. Cara yang ditempuh oleh Muhammadiyah itu,
ternyata memberikan bekas yang kuat sampai sekarang ini. Meskipun akhir-akhir ini Muhammadiyah
banyak menuai kritik, baik dari warga Muhammadiyah sendiri maupun dari publik luar, institusi sosial
yang didirikan Muhammadiyah, terutama pendidikan dan rumah sakit, relatif memiliki daya tahan
yang kuat.
Dua persoalan sosial-keagamaan yang dihadapi oleh Muhammadiyah itu, muaranya adalah
pluralitas terutama yang bercorak keagamaan. Secara internal, Muhammadiyah berhadapan dengan
muslim tradisional yang lebih akomodatif terhadap tradisi local. Sedangkan secara eksternal,
Muhammadiyah dengan kalangan Kristen. Dari perspektif pluralisme, respon Muhammadiyah dalam
menghadapi lingkungan sosial-keagamaan itu menari untuk diapresiasi secara kritis.
Apresiasi cultural terhadap keberhasilan Muhammadiyah dalam meretas persoalan sosial-
keagamaan di atas sudah banyak dilakukan. Beberapa diantaranya misalnya yang diberikan oleh james
Peacok dan Mark R. Eoodward. Setelah melakukan studi etnografis secara mendalam, keduanya
berkesimpulan bahwa, daya tahan dan dinamika Muhammadiyah terletak pada sikap puritannya dalam
rangka menegakkan Islam autentik. Namun begitu, disamping mencatat sejumlah sukses, yang oleh
Jalaluddin Rakhmad (1991) disebut dengan aktiva neraca gerakan Muhammadiyah, Muhammadiyah
juga melahirkan sejumlah pasiva, justru karena jalur puritan dan modern yang ditempuhnya itu.
Semua gerakan keagamaan yang beridioligi modern, seperti Muhammadiyah, pada umumnya
terbius oleh narasi-narasi agung seperti rasionalisme. Dalam dunia keagamaan, praksis rasionalisme
adalah rasionalisme dan demistifikasi tam dan praktik keberagamaan yang dianggap menyimpang dari
tuntutan ajaran yang autentik. Dalam Muhammadiyah, praksis ini tampak demikian nyata pada
tindakan Muhammadiyah yang kurang toleran terhadap tradisi local, meskipun jika dilakukan
10
pelacakan secara arkeologis, tradisi itu sebenarnya mempunyai kaitan dengan sejaran Islam yang
paling awal.
Lalu apa pasivanya? Kuntowijoyo (1998), seorang ilmuwan sosial Muhammadiah par
excellence, memberikan kritik terbuka, jernih dan jujur terhadap Muhammadiyah. Kritiknya,
Muhammadiyah sekarang ini mengidap penyakit idiocracy (kekuasaan cirri khas) sehingga
penampilannya terkesan kaku. Kuntowijoyo memberikan contoh penyakit cultural yang dihadapi
Muhammadiyah, seperti sikap sebagian warga Muhammadiyah yang alergi terhadap tradisi budaya
dari komunitas muslim lainnya, hanya karena tradisi itu bukan milik “Muhammadiyah”. Maka tidak
mengherankan, Muhammadiyah dituding sebagai gerakan anti symbol. Dengan sikap yang demikian,
Muhammadiyah tidak saja mengalami kekeringan budaya,. Dalam konteks interaksi antar umatIslam,
Muhammadiyah dengan mudahnya melakukan apa yang dalam teori sosiologi disebut dengan
pelabelan (labeling), yakni menganggap tradisi bi\udaya kelompok lain sebagai sebuah penyimpangan,
yang oleh kalangan Muhammadiyah disebut dengan bid’ah. Bisa jadi, ketegangan antara kalangan
Muhammadiyah dengan kelompok Muslim tradisional, disebabkan oleh labelisasi itu. Sampai saat ini,
kedua kubu itu terkesan sulit disinergikan. Dalam politik misalnya, tidak dapat dipungkiri ketegangan
itu terkesan transparan.
Pendekatan kompetitif yang dipilih oleh Muhammadiyah dalam menghadapi pluralitas
eksternal seperti ditulis di muka, merupakan pilihan yang tepat. Sebab kompetisi merupakan bukti
kedewasaan dalam menghadapi perbedaan. Konflik sosial biasanya terjadi jika antara kelompok yang
satu dengan yang lainnya tidak ada kesetaraan. Dalam posisi sosial semacam itu, biasanya
berkecambah perasaan superioritas bagi kelompok yang memiliki posisi sosial tinggi, sebaliknya,
perasaan inferioritas bagi kelompok yang memiliki posisi yang rendah. Dalam posisi superior-inferior
sangat mudah menimbulkan ketegangan dan pertentangan, manakala tidak bisa diciptakan satu ruang
dalam masing-masing kelompok saling berkompetisi secara sehat.
3. Gagasan-gagasan dalam Tafsir Tematik Tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama
Dalam buku Tafsir Tematik Hubungan Sosial Antar Umat Beragama terdapat beberapa prinsip
hubungan antar umat beragama yang dapat ditelusuri dalam al-Qur’an, yaitu pengakuan terhadap
adanya pluralitas komunitas agama dan berlomba dalam berbuat kebajikan, koeksistensi damai. Serta
keadilan dan perlakuan yang sama (Tarjih, 2000, 1).
11
Dalam menafsirkan al-Qur’an dalam rangka menyelediki kemungkinan mengenahi ada atau
tidaknya konsep pluralisme agama dalam kitab suci ini. Hasilnya adalah bahwa terdapat beberapa ayat
yang bisa difahami sebagai pengakuan terhadap adanya pluralitas umat beragama dan sebagai
konsekwensinya dalam konteks umat beragama yang beragama itu al-Qur’an memberi bimbingan agar
berlomba dan berkompetisi dalam kebaikan.
Pada dasarnya dalam tafsir tematis (maudhu’i) tidak perlu dilakukan annalisis kosa kata yang
merupakan ciri tafsir tahlili. Dalam tafsir tematis kesimpulan mengenai suatu gagasan ditarik melalui
induksi tematis dari keseluruhan ayat yang relevan dengan tema yang sedang dibicarakan. Namun
dalam beberapa kasus analisis semacam itu tidak dapat dielakkan juga karena tema yang diselidiki
muncul dari kata kunci.
Dalam buku tafsir tematik itu dikemukakan adanya kata kunci yakni wijhah yang terdapat
dalam permulaan ayat tadi. Penggalan awal ayat pertama li kullin wijhatun huwa muwalliha, secara
harfihah diterjemahkan “dan masing-masing mempunyai kiblat yang kepadanya ia menghadap.
Otoritas tafsir zaman klasik pada umunya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata masing-
masing (kullin) dalam penggalan ayat terasebut adalah masing-masing umat beragama atau masing-
masing komunitas agama (ahl adyan, ahl al-millah). Karenanya Departemen Agama RI
menterjemahkan penggalan ayat tersebut dengan Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang
ia menghadap kepadanya.
Dan masing-masing mempunyai kiblat yang ia menghadap kepadanya; maka berlom-lombalah kamu
(dalam berbuat) kebikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian
(pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (al-Baqarah (2):148).
12
Dan kami telah menurunkan al-Quran kepadamu dengan membawa kebenaran, mengkonfirmasi dan
menjadi batu ujian trhadap kitab-kitab yang ada sebelumnya; maka putuskan perkara mereka menurut
apa yang Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya dijadikannya kamu satu umat (saja) , tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepada kamu, maka berlomba-lombalah dalam
berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah jualah tempat kamu sekalian kembali, lalu Dia
memberitahukan kepadamu apa yang kamu perselisihkan itu. ( al-Maidah (5):48).
Penggalan awal ayat pertama li kullin wijhatun huwa muwalli^ha^ secara harfiah terjemahnya
adalah Dan masing-masing mempunyai kiblat yang kepadanya ia menghadap. Otoritas tafsir
zaman klasik pada umumnya menyatakan bawa yang dimaksud dengan kata “masing-masing” (kullin)
dalam penggalan ayat tersebut adlah masing-masing umat beragama atau masinng-masing komunitas
agama (ahl al-adyan, ahl al-millah). Karenanya Departemen Agama RI dalam Al-Qur’an dan
terjemahnya menerjemahkan penggalan ayat tersebut dengan Dan bagi tiap-tiap umat adaa
kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Al-Thabari^ (w. 310/923) melaporkan sejumlah
ahli tafsir klasik yang mengemukakan tafsir demikian ini, sepertIbn’Abbas (w. 68/ 687), Mujahid (w.
104/ 722), Al-Rabi^’ (w. 114 / 732), Al-Suddi^, dan Ibn Zaud (w. 183 / 798). 1 Al-Thabari^ sendiri
dan oara penafsir sesudahnya mengikuti tafsir demikian. 2 Tetapi ada pula beberapa mufassir yang
tidak jelas identitasnya yang menafsirkan “masing-masing” dalam ayat diatas sebagai masing-
masingpenduduk negeri Muslim mempunyai arah dan posisi tertentu menghadap ke kiblat (Ka’bah).
Selain itu ada pula tafsir yang menyatakan bahwa “masing-masing” dalam ayat di atas maksudnya
masing-masing nabi. 3 Tafsir terakhir ini tidak jauh berbeda dengan tafsir pertama karena nabi
mewakili suatu komunitas agama.
Mengenai kata huwa dalam penggalan di atas terdapat dua tafsir. Pertama, kata tersebut adalah
kata ganti nama yang mereujuk kepada kata masing-masing umat beragama, sehingga ayat tersebut
berbunyi seperti terjemahan yang dikutip di atas. Tafsir kedua menyatakan bahawa kata ganti nama itu
merujuk kepada Tuhan, sehingga ayat itu berbunyi Dan masing-masing umat beragama mempunyai
kiblat ke mana Dia (Allah) menghadapkan mereka.
Dengan pernyataan Al-Qur’an bahwa tiap-tiap komunitas beragama mempunyai kiblatnya yang
menyimbulkan orientasi masing-masing kiranya dapat dilihat adanya pengakuan di dalam Al-Qur’an
13
terhadap pluralisme agama. Hal ini bertambah tegas lagi dengan pernyataan dalam surat Al-Ma’idah
48 bawa masing-masing umat beragama memiliki praktek keagamaannya sendiri.
Secara keseluruhan ayat Al-Qur’an tang tersebut di dalam surat Al-Ma’idah 48 ini merupakan
bagian di dalam suatu pasase panjang surat Al-Ma’odah (ayat 41-50) yang berbicara tentang
pentingnya arti kiblat suci bagi masing-masing agama. Secara historis pasase ini turun dalam kaitannya
dengan kasus segolongan orang Yahudi yang memanipulasi ketentuan hukum dalam kitab suci merek
kemudian minta bembenaran dari Nabi Muhammad saw atas perbuatan tersebut. Dalam ayat 41
digambarkan pesan yang diberikan kepada utusan yang dikirim menghadap Nabi Muhammad bahwa
jika kepada mereka oleh Nabi Muhammad diberikan keputusan sesuai dengan hasil manipulasi
mereka, utusan itu diminta untuk menerimanya; dan jika tidak diberi keputusan yang sesuai dengan
hasil manipulasi mereka, utusan itu diminta untuk berhati-hati. Ayat 42 berikutnya meminta
Muhammad agar apabila bersedia memberi keputusan hukum kepada mereka hendaklah didasarkan
kepad prinsip keadilan, tetapi Nabi Muhammad juga dibenarkan untuk menolak memberikan
keputusan kepada orang-orang Yahudi itu.
Selanjutnya dalam buku tafsir tematik dibicarakan ayat-ayat yang berkaitan dengan menjaga
hubungan baik dan menjalin kerjasama antar sesama umat beragama. Menjaga hubungan baik
tercermin dalam saling menghargai dan tidak saling mencaci serta mengadakan dialog yang embangun
dan bermanfaat bagi masing-masing pihak .
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu
dengan yang lebih baik dari padanya atau balaslah penghormatan itu dengan yang sama.
Sesungguhnya Allah selalu membuat perhitungan atas segala sesuatu. (an-Nisa’ : 86)
14
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka
akan memaki Allah dengan melampui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap
umat memandang baik perbuatan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat mereka
kembali, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dulu mereka kerjakan”. (al-An’am : 108)
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab kecuali dengan cara yang paling baik, kecuali
dengan orang-orang yang dzalim diantara mereka, dan katakanlah, “Kami beriman dengan Kitab-
Kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu
adalah satu, dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.” (al-‘Ankabut : 46)
Ayat-ayat di atas sesungguhnya amatlah berbeda dan sulit dikatakan memiliki tema yang
sama. Satu-satunya hubungan antar ayat-ayat tersebut adalah bahwa masing-masing terkait dengan
masalah menjaga hubungan baik antar umat beragama dalam aspeknya masing-masing. Ada tiga butir
yang terkait dengan masalh menjaga hubungan baik antar umat beragama, yaitu mengucapkan salam,
larangan memaki sesembahan antar agama yang berlainan dan berdiskusi dengan cara yang baik.
Ayat kedua dan ketiga mengajarkan agar umat Islam dapat membina saling pengertian yang
baik degan umat dari agama lain, seperti dapat difahami darim pernyataan ayat, “Dan janganlah kamu
memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah
dengan melampui batas tanpa pengetahuan. (al-An’am : 108), dan “Janganlah kamu berdebat dengan
Ahli Kitab melainkan dengan cara yang baik (al-Ankabut : 46). Membina saling pengertian yang baik
dapat dilakukan dengan meningkatkan frekwensi dialog konstruktif untuk menjelaskan posisi masing-
masing dan memahami posisi pihak lain. Berbagai teori dialog dikemukakan oleh para ahli dari manca
negara (Knitter, 1995).
Ayat ke dua diatas (al-An’am : 108) jelas melarang Muslim untuk melakukan penghimnaan,
pencacian dan penggunaan kata-kata yang menyinggung umat agama lain, tetapi menurut Q.S. al-
15
Ankabut : 42 boleh berdiskusi secara baik dan bertukar pandangan mengenai pengalaman agama
masing-masing.
Ayat ketiga memerintahkan supaya berdialog secara baik dengan orang-orang Ahlu Kitab,
kecuali kepada mereka yang dzalim, maksudnya orang-orang yang menyatakan perang terhadap umat
Islam (Ibid : 232). Kemudian umat Islam harus menjaleaskan posisi mereka mengenahi wahyu-wahyu
Allah yang diturunkan kepada Ahli Kitab tersebut sebagai wahyu yang diakui dan bahwa mereka juga
mengimani dan berserah diri kepada Tuhan yang sama yang mereka imani.
F. KESIMPULAN
Setelah dilakukan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, penelitian ini menyimpulkan hal-hal
sebagai berikut :
1. Tajdid dan pembaharuan yang paling mendasar bagi Muhammadiyah adalah pandangan
tentang larangan bertaqlid buta dan terbukanya kembali pintu ijtihad, setelah sebelumnya
dikatakan pintu ijtihad tertutup. Oleh karena itu, ijtihad merupakan dasar bagi pembaharuan di
segala bidang
2. Secara garis besar metode ijtihad terbagi menjadi tiga , yakni (a) bayani (semantic), yaitu
metode yang menggunakan pendekatan kebahasaan, (b) ta’lili (rasionalistik), yaitu metode
penetapan hukum yang menggunakan penalaran, (c) istislahi (filosofis), yaitu penetapan hukum
yang menggunakan pendekatan kemaslahatan. Selain metode ijtihad, juga disebutkan
pendekatan dan teknik yang digunakan. Pendekatan ijtihad terdiri atas at-tafsir al-ijtima’ al-
ma’asyir (hermeneutic), at-tarikhiyah (historis), as-susiulujiyah (sosiologi) dan antrafulujiah
(antropologi). Adapun tekniknya adalah ijma’, qiyas, maslahah mursalah dan urf.
3. Kitab tafsir tematis Hubungan sosial antar umat beragama mengikuti langkah-langkah tafsir
diantaranya dengan menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat dalam al-Qur’an yang
berbicara masalah yang sama untuk dihimpun dan disusun sedemikian rupa kemudian diberi
tema dan ditafsirkan..
4. Pendekatan kompetitif yang dipilih oleh Muhammadiyah dalam menghadapi pluralitas
eksternal seperti ditulis di muka, merupakan pilihan yang tepat. Sebab kompetisi merupakan
bukti kedewasaan dalam menghadapi perbedaan. Konflik sosial biasanya terjadi jika antara
kelompok yang satu dengan yang lainnya tidak ada kesetaraan. Dalam posisi sosial semacam
itu, biasanya berkecambah perasaan superioritas bagi kelompok yang memiliki posisi sosial
16
tinggi, sebaliknya, perasaan inferioritas bagi kelompok yang memiliki posisi yang rendah.
Dalam posisi superior-inferior sangat mudah menimbulkan ketegangan dan pertentangan,
manakala tidak bisa diciptakan satu ruang dalam masing-masing kelompok saling berkompetisi
secara sehat
17