a · web viewkarya sastra, khususnya prosa fiksi, dibangun atas dasar aspek sintagmatik dan aspek...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Alquran merupakan firman Allah swt. yang diturunkan untuk menjadi petunjuk
bagi manusia, yang tidak memiliki keraguan di dalamnya. Petunjuk tersebut sangat
diperlukan manusia dalam mencari jalan hidup yang berdasarkan keadilan, kebenaran,
kebajikan, dan moral yang tinggi.
Mentadabburi Alquran merupakan salah satu etika bagi seorang muslim untuk
dapat digolongkan sebagai orang yang selalu berinteraksi dengan Alquran. Menurut
Qordlawi (1999), tadabbur pada Alquran merupakan pengarahan hati dan akal untuk
memperhatikan akibat sesuatu dan apa yang terjadi selanjutnya.
Menurut Ba-Rum (dalam Nadwi, 2001) kitab suci ini dapat memuaskan kahausan
akan ilmu pengetahuan, para sarjana dan pemikir dari berbagi kelas, yang selama
beradab-adab mencoba mengambil sifat Alquran yang menakjubkan, dari sudut pandang
tata bahasa dan kesusastraannya, dan berusaha keras memahami makna yang kaya dan
kebenaran yang mendalam tentang alam dan kehidupan yang termaktub di dalamnya.
Allah swt. menjelaskan kepada kita, bahwa Dia tidak menurunkan Alquran
kecuali untuk ditadabburi ayat-ayatnya dan dikaji dan dipahami makna-maknanya
sebagimana Allah swt. berfirman dalam Alquran, yaitu:
Terjemahan: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh
dengan berkah supaya mereka memperhatikan kepadamu ayat-ayatnya dan supaya
mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (Shad:29)
TERIMA KASIH TELAH MENDOWLOAD… Jika bermanfaat… dan jika berkenan, sedekahkan pulsa Anda seberapa aja ke nomor kami : 0813 4209 2137 hehehehe.. ajak teman2 anda kunjungi terus http://tugas2kuliah.wordpress.com untuk mendapatkan kebutuhan dokumen anda lainnya secara GRATISS…!!! atau tolong sebarkan website ini… : see u at the top…!!!Ingat…!!! Hidup ini adalah memberi… bukan menerima…!!!
Salah satu keistimewaan Alquran sebagai kitab yang diturunkan Allah swt. dan
mukjizat bagi Nabi Muhammad saw. Adalah dimuatnya kisah-kisah orang-orang
terdahulu. Dengan diceritakannya kisah-kisah tersebut, Allah ingin membuktikan kepada
manusia bahwa apa yang dibawa oleh Muhammad saw. Adalah benar merupakan wahyu
dari-Nya, bukan berdasarkan hawa nafsunya. Allah juga ingin memberikan pelajaran
kepada manusia untuk mengikuti segala kebaikan yang terdapat dalam kisah-kisah itu dan
menjauhi segala keburukannya. Allah menceritakan kisah-kisah itu dengan gaya bahasa
yang indah dan memukau sehingga dapat menyentuh perasaan orang-orang yang
membacanya maupun yang mendengarkannya.
Kisah-kisah yang tercantum di dalam Alquran tentu, melainkan sembarangan
kisah, tetapi semua itu adalah kisah-kisah penting yang tinggi nilai mutunya, penuh
dengan pelajaran yang menarik hati dan mengagumkan, yang suci dan murni, sehingga
kalau dibaca dan ketahui, akan tertanamlah jiwa kita bibit-bibit sifat akhlak yang suci dan
murni (Arifin, 1983).
Kisah-kisah yang terdapat dalam Alquran merupakan kisah yang keotentikannya
dijamin oleh Allah swt. Dalam Alquran disebutkan ‘Sesungguhnya Kami yang
menurunkan Alquran dan Kami benar-benar memeliharanya’ (QS. 15:9). Dengan
jaminian ayat di atas, setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca oleh Rasulullah saw.
Dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi saw. (Shihab, 1994).
Dalam surat Yusuf ayat 3 ditegaskan bahwa di dalam Alquran sudah terdapat
kisah-kisah yang baik sebagai teladan bagi kaum mu’minin. Penegasan ini dapat dibaca
dalam Alquran sebagai berikut:
“ Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan
Alquran inii kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)-
nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui” Yusuf:3 (Depag,
1997)
Menurut Ali (dalam Jassin, 1987), bahwa Alquran mengandung nilai-nilai sastra
yang tinggi. Dalam penerjemahan Alquran, orang sering hanya menyalin pengertian dan
mengabaikan nilai-nilai sastranya. Nilai-nilai sastara itulah yang diusahakan dipindahkan
kedalam teks sastra Indonesia agar bisa dirasakan oleh mereka yang mempunyai
kepekaan estetis dalam bahasa Indonesia, tetapi tidak mengerti bahasa Arab.
Karya sastra merupakan sebuah struktur yang bersistem yang terdiri atas berbagai
subsistem. Subsistem dalam karya sastra merupakan elemen yang terkait antara satu dan
yang lainnya. Untuk mengkaji karya sastra, salah satu pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan objektif, yakni menganalisis karya sastra berdasarkan struktur karya sastra
terutama unsur intrinsik. Pendekatan objektif ini pula yang melahirkan teori struktural.
Teori struktural ini kemudian berkembang terus dan salah satu di antaranya adalah teori
strukturan semiotik. Teori struktural semioti digunakan untuk mengkaji struktur karya
sastra dan sekaligus mengungkapkan aspek nilai yang terdapat dalam karya sastra.
Senada dengan pendapat di atas, Rapi Tang (2003) menyatakan strukturalisme tidak
identik dengan semiotik, namun diyakini bahwa di antara keduanya tidak dapat
dipisahkan karena saling melengkapi. Kajian struktural murni terhadap karya sastra tanpa
dibarengi dengan kajian semiotik hanya akan mengisolasi karya sastra dari konteks sosial
budaya masyarakatnya. Demikian pula sebaliknya, kajian semiotik yang tidak didahului
dengan kajian struktural akan menggiring seseorang pada interpretasi subjektif yang
belum tentu ilmiah.
Karya sastra, khususnya prosa fiksi, dibangun atas dasar aspek sintagmatik dan
aspek paradigmatik. Dalam kedua aspek tersebut, terdapat unsur peristiwa, episode, alur,
tema dan amanat, tokoh dan penokohan, serta latar peristiwa.
Menurut Luxemburg dkk. (1987) sastra dapat berfungsi memberi kesantaian atau
kesenangan, dan juga memberi manfaat dengan mengungkapkan yang khusus, sastra
dapat memberi wawasan yang lebih umum tentang masalah manusiawi, sosial, ataupun
intelektual.
Kesejajaran sastra dengan komponen lain dalam kebudayaan, menjadikan sastra
dapat berfungsi ganda sebagai bimbingan, nasihat, atau petuah yang dapat dijadikan
sebagai acuan atau pedoman dalam menjalani kehidupan. Fungsi tersebut dikemas dalam
seperangkat nilai yang dapat dipedomani bagi siapa saja yang membaca atau menikmati
karya sastra. Bahkan, pada masa Romawi kuno, seorang penyair bernama Horatius
(dalam Sugona, 2003) menyatakan bahwa sastra itu “duice et utile” ‘menyenangkan dan
bermanfaat’. Menyenangkan dapat dikaitkan dengan aspek hiburan yang ditimbulkan
oleh setiap cipta sastra, dan bermanfaat dapat dihubungkan dengan pengalaman hidup
(nilai yang berguna bagi hidup dan kehidupan) yang ditawarkan di dalamnya.
Seperangkat nilai tersebut dapat berupa nilai etika/moral, nilai religius, nilai kultural,
nilai edukatif, dan nilai filosofis. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat (Wellek
dan Warren; 1995) yang mengemukakan bahwa hasil cipta sastra itu akan menyampaikan
nilai-nilai yang termuat di dalamnya kepada masyarakat pembaca, sehingga sastra dapat
mempengaruhi pola pikir pembaca. Dengan demikian, pada setiap cipta sastra terkandung
nilai, baik berupa nilai etika/moral, nilai religius, nilai kultural, nilai edukatif, maupun
nilai filosofis.
Dalam kisah-kisah Alquran, nilai-nilai banyak ditemukan. Nilai yang
dimaksudkan adalah tindakan manusia yang bernilai”baik”atau”buruk” dalam
kehidupannya, baik sebagai nidividu, anggota masyarakat, dan bahkan sebagai hamba
Allah. Oleh karena itu, setiap manusia akan mengimpikan atau mendambakan kehidupan
yang bernilai baik dan menghindari atau menjauhi kehidupan yang bernilai buruk.
Sejumlah fenomena tersebut dapat pula terepleksikan melalui kisah atau cerita.
Berdasarkan uraian tentang unsur-unsur dan fungsi-fungsi di atas, kisah Nabi
Adam, kisah Nabi Musa, dan kisah Nabi Sulaiman mencakup unsur-unsur dan fungsi-
fungsi tersebut di atas, kisah-kisah Alquran (selanjutnya disebut KKA) tersebut
merupakan suatu kisah nyata yang pemberitaanya lewat kitab suci, yaitu Alquran yang
dijadikan sebagai pelajaran bagi orang-orang yang hidup sekarang dan akan datang.
Upaya pemahaman dan penafsiran KKA sudah lama dilakukan yaitu sejak masa
sahabat Nabi sampai saat ini, tetapi upaya menempatkan teks-teks Alquran yang
mengandung nilai sastra yang sangat tinggi belum banyak dilakukan. Salah satu usaha
untuk melakukan hal itu dengan berbagai kekurangan dan keterbatasannya studi terhadap
KKA ini dilakukan oleh penulis.
Kisah-kisah Nabi Adam, Nabi Musa, dan Nabi Sulaiman dipilih sebagai data
dengan alasan, menurut hemat penulis kisah-kisah ini belum pernah dikaji orang. Ada
banyak kajian terhadap Alquran tetapi menggunakan pendekatan kebahasaan dan objek
yang lain. Di lingkungan program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar kajian
terhadap kisah Nabi Yusuf pernah dilakukan oleh Abd. Shomad, tahun 2005 dengan judul
tesis “Hubungan Intertekstual Teks Drama Surah Yusuf dengan Teks Drama Romeo dan
Juliet.” Alasan lainnya ialah ketiga kisah tersebut memiliki struktur yang kompleks yang
unsur-unsurnya sangat fungsional. Pertimbangan lain adalah agar terjadi proses
perkembangan serta perluasan secara kuantitas dan kualitas dari beberapa studi terhadap
Alquran yang pernah dilakukan sebelumnya, maka peneliti akan mencoba untuk
mengkaji ketiga kisah Alquran tersebut dengan mengungkapkan unsur kesastraan dan
aspek nilai-nilai yang terkandung di dalam kisah-kisah tersebut.
Karena masalah yang akan dibahas adalah struktur dan berbagai fungsi unsurnya,
teori yang dipergunakan dalam studi ini adalah teori struktural. Selain itu, karena objek
kajiannya adalah cerita dalam Alquran, teori yang diterapkan adalah teori struktural
sebagaimana dikembangkan oleh A.J Greimas. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan
bahwa A.J Greimas adalah salah seorang strukturalis yang semula mengembangkan
teorinya melalui penelitian terhadap cerita rakyat atau dongeng. Studi ini tidak
dimaksudkan sebagai kajian untuk mengembangkan teori, tetapi hanya kajian yang
mencoba menerapkan teori struktural Greimas terhadap beberapa kisah dalam Alquran.
Oleh karena itu, metode yang digunakan adalah metode struktural, tujuan utama tetap
pada teks itu sendiri, sementara itu hasil analisis struktural dan fungsi unsurnya dengan
teknik deskriptif
Untuk menganalisis nilai-nilai yang terdapat dalam KKA, maka kajian yang
relevan untuk hal tersebut adalah semiotik sebagaimana pendapat Atmazaki (1990)
penelitian sastra yang berobjek pada bahasa difokuskan pada nilai-nilai, manfaat atau
kegunaan karya sastra tersebut dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, analisis nilai-
nilai dalam KKA tentu menjadikan sistem bahasanya sebagai fokus utama. Jadi, dalam
konteks ini fakta-fakta linguistik sebagai sistem tanda bunyi, kata, kalimat dan wacana
dalam KKA sebagai sasaran analisis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah:
1. Bagaimanakah struktur aktan dan operasi fungsional yang membangun cerita
KKA?
2. Bagaimanakah makna nilai yang terdapat dalam KKA?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan yang tecantum di atas maka penelitian ini bertujuan:
1. Mengungkap struktur aktan dan operasi fungsional yang membangun cerita
KKA.
2. Mengungkap makna nilai yang terdapat dalam KKA.
D. Manfaat Penelitian
Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk menjadi informasi akan adanya
nilai-nilai sastra dalam KKA. Selain itu, penelitian ini menjadi pelengkap hasil penelitian
tentang sastra dan Alquran.
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan yang berharga
dalam meningkatkan daya apresiasi sastra pada kisah-kisah yang ada dalam Alquran.
Umumnya penelitian ini sangat bermanfaat bagi masyarakat yang ingin memahami dan
menghayati nilai-nilai sastra yang tinggi dalam Alquran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Nilai
1. Pengertian
Nilai merupakan realitas abstrak. Nilai kita rasakan dalam diri kita sebagai daya
pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi pedoman dalam hidup. Oleh sebab itu, nilai
menduduki tempat penting dalam kehidupan seseorang, sampai pada suatu tingkat. Nilai
menjadi sesuatu yang abstrak dapat dilacak dari tiga realitas, yakni pola tingkah laku,
pola berpikir, dan sikap-sikap (Ambroise dalam Kaswardi, 1993).
Titus (1984) mengemukakan bahwa nilai adalah segala sesuatu yang dapat
memuaskan kebutuhan serta keinginan manusia dan nilai dapat juga berupa kualitas dari
sesuatu yang dapat menimbulkan respons penghargaan.
Pendapat lain dikemukakan oleh Max Scheler (dalam Wahana 2004), bahwa nilai
merupakan suatu kualitas yang tidak tergantung pada pembawanya, nilai merupakan
kualitas apriori yang dapat dirasakan oleh setiap manusia tanpa melalui pengalaman
indrawi terlebih dahulu.
Keragaman pendapat para ahli dalam mendefinisikan tentang nilai, dirangkum
oleh Mulyana (2004) dalam bukunya “Mengartikulasikan Pendidikan Nilai”. Adapun
pendapat para ahli tersebut, meliputi (1) nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang
bertindak atas dasar pilihannya (Gordon Alport), (2) nilai adalah patokan normatif yang
mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan
alternatif (Kupperman), (3) nilai adalah sesuatu yang ditunjukkan dengan kata ‘ya’ (Hans
Jonas) dan (4) nilai adalah konsepsi (tersurat atau tersirat, yang sifatnya membedakan
individu atau ciri kelompoknya) dari apa yang diinginkan mempengaruhi pilihan terhadap
cara, tujuan antara, dan tujuan akhir dari setiap tindakannya.
Dari beberapa pemahaman tentang pengertian nilai tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa nilai tidak dapat terlepas dari manusia, ia selalu dikejar dan
dipertahankan serta dicita-citakan dan didambakan dalam kehidupan ini sehingga selalu
menjadi motivasi hampir pada setiap aktivitas manusia. Dengan demikian, setiap
tindakan atau perbuatan manusia selalu digerakkan seta didasari oleh nilai, sehingga nilai
diyakini dapat memberi arah bagi aktivitas manusia dalam meraih sejumlah tujuan yang
hendak dicapai.
2. Jenis-jenis nilai
Nilai dapat dibedakan ats bebagai jenis, antara lain nilai etika/moral, nilai religius,
nilai kultural, nilai edukatif, dan nilai filosofis. Berikut ini akan diuraikan secaran singkat
mengenai konsep dari jenis-jenis nilai tersebut.
1) Nilai etika/moral
Objek etika sebagai ilmu adalah manusia. Manusia dipandang dari segi baik buruk
perilakunya, diukur dengan kriteria tertentu. Menurut Suseno (1987) bahwa etika adalah
pemikiran sestematis tentang moralitas. Yang dihasilkan secara langsung, bukan hanya
berupa kebaikan, melainkan sesuatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis.
Konsep etika menurut pandangan orang barat tidak sama dengan pandangan orang
timur. Etika barat bersifat antroposentrik (berpusat pada manusia). Kebalikannya, etika
timur bersifat teosentrik (berpusat pada Tuhan). Dalam etika timur, terutama sudut
pandang agama Islam, menurut Musnamar (dalam Amin, 1975) bahwa suatu perbuatan
selalu dihubungkan dengan amal saleh, pahala atau siksa, surga atau neraka, dan lain-lain.
Hal tersebut bebeda dengan etika barat. Persoun (1985) menambahkan bahwa etika pada
dasarnya adalah kemampuan menerobos teknik dan membuka suatu dimensi transenden,
dimensi harapan, evolusi kritis, dan tanggung jawab.
Dinyatakan oleh Amin (1975) bahwa agama samawi dan kebudayaan, sebenarnya
tidak saling melingkupi, tetapi saling berhubungan. Soal penentuan nilai baik atau buruk,
tinggi atau rendah, indah atau jelek dan sebagainya, sebenarnya hanyalah persoalan yang
bersifat nisbi, jika hal itu hanya didasarkan pada pengalaman, pengamatan, rasio, dan
sejarah. Kebenaran hakiki atau penilaian yang mutlah telah ditentukan Allah. Manusia
yang benar-benar mengenal dirinya sebagai hamba Allah tidak boleh menciptakan nilai
tersebut, Manusia hanya berhak memilih.
2) Nilai religius
Pengertian nilai religius dikemukakan oleh Dojosantoso (1986) dan
Mangunwijaya (1988), bahwa nilai religius adalah nilai yang berkaitan dengan hubungan
manusia terhadap Tuhan sebagai penciptanya, dan nilai-nilai yang dimaksud adalah
keseriusan hati nurani, kesalehan, ketelitian dan pertimbangan batin, dan sebagainya.
Sehubungan dengan nilai religius, Koentjaraningrat (1984) lebih lanjut
menjelaskan bahwa emosi keagamaan menyebabkan manusia itu religius; suatu
keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat
Tuhan, tentang wujud alam gaib (supranatural) serta segala nilai dan ajaran dari religi
yang bersangkutan.
3) Nilai budaya
Menurut Koentjaraningrat (1984) nilai budaya pada dasarnya merupakan
konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat
mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam kehidupan. Misalnya,
konsep yang menganggap penting sikap tenggang rasa dan kepekaan.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas (gagasan, konsep, nilai, norma,
pikiran manusia, dan peraturan) mewarnai perilaku kehidupan manusia. Kierkegaard
(dalam Poespowardojo, 1993) mengungkapkan bahwa dari kenyataan menunjukkan,
bahwa manusia pada hakikatnya membutuhkan budaya untuk berkarya. Oleh karena itu,
dalam kehidupannya manusia banyak diwarnai oleh tiga aspek sebagai berikut; estetis,
etis, dan religius.
4) Nilai edukatif
Pendidikan adalah salah satu wahana untuk memberikan pencerahan pikiran dan
batin manusia. Melalui pendidikan, pikiran manusia terbuka untuk mengetahui,
memahami, dan mamaknai semua proses kehidupan yang dijalaninya. Melalui
pendidikan, batin manusia tersentuh untuk merasakan, menikmati, menghayati, dan
merenungkan semua proses kehidupan yang dijalaninya. Pendidikan sangat penting bagi
kehidupan manusia, sebagaimana dikemukakan Indar (1994) bahwa pendidikan pada
hakikatnya merupakan hal-hal yang meliputi: (1) salah satu kebutuhan hidup, (2) salah
satu fungsi sosial, (3) bimbingan, (4) sarana pertumbuhan, dan (5) mempersiapkan,
mengembangkan, dan membentuk kedisiplinan. Dengan demikian, secara singkat dapat
dinyatakan bahwa melalui pendidikan manusia akan menjalani proses kemajuan dan
perubahan dalam kehidupannya.
Menurut Barnadib (2002), setidaknya ada yang substansial dalam proses
pendidikan, yaitu transformasi dan pengembangan. Transformasi dimaksudkan sebagai
wujud pengalihan nilai dan pengembangan dimaksudkan sebagai pemanfaatan secara
optimal potensi yang dimiliki untuk menerapkan nilai yang telah diperoleh.
5) Nilai filsafat
Pengertian filsafat menurut Leenhouwers (1988), pada dasarnya merupakan
pencarian citra manusia. Citra yang dicari berupa visi tertentu tentang hidup manusia
yang dapat dipertanggungjawabkan. Visi itu harus menjurus dan menjewai tingkah laku.
Visi itu, misalnya, berupa jawaban atas pertanyaan bagaimana membentuk diri yang
semestinya, apa yang diharapkan manusia untuk masa mendatang, di mana manusia harus
mencari kebulatan, keutuhan dan kesempurnaan hidup, dan sebagainya. Dari proses
pencarian tersebut, manusia dituntut untuk mengadakan perenungan guna menentukan,
baik dan buruknya sesuatu. Dengan demikian, filsafat mempunyai nilai yang pada
akhirnya membantu manusia untuk memecahkan masalah hidupnya.
Koentjaraningrat (1984) berpendapat bahwa terdapat lima dasar dalam kehidupan,
yaitu: (1) hakikat hidup manusia, (2) hakikat karya manusia, (3) hakikat kedudukan
manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakikat hubungan manusia dengan alam, (5) hakikat
hubungan manusia dengan sesamanya.
2. Fungsi sastra
Luxemburg dkk. (1982) berpendapat bahwa sastra merupakan sebuah ciptaan,
sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Secara etimologi, sastra dalam bahasa
Indonesia berasal dari bahasa Sangsekerta, akar kata Sas-, yang berarti mengarahkan,
mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, sedangkan akhiran-tra biasanya menunjukkan
alat, sarana. Oleh karena itu, sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk,
buku instruksi atau pengajaran.
Sastra mempunyai manfaat yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Manfaat
sastra tidak terlepas dari fungsi sastra, yaitu: (1) melatih keempat keterampilan berbahasa
(mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis), (2) menambah pengetahuan tentang
pengalaman hidup manusia, (3) membantu mengembangkan diri pribadi, (4) membantu
pembentukan watak, (5) memberi kenyamanan, keamanan, dan kepuasan, dan (6)
meluaskan dimensi kehidupan dengan pengalaman-pengalaman baru sehingga dapat
melarikan diri sejenak dari kehidupan yang sebenarnya (Wardani, 1981).
3. Kisah
a. Pengertian
Aristoteles (dalam Luxemburg 1991) memberi definisi tentang pengertian “kisah”
sebagai sebuah pokok dalam suatu cerita, lakon, dan kadang-kadang sebuah sajak
berkembang dalam kurung waktu tertentu dari awal sampai suatu akhir.
Definisi Aristoteles lebih daripada hanya pengamatan bahwa awal dan akhir
merupakan bagian yang harus ada dalam suatu kisah yang memiliki “tengah” sebagai
bagian yang ketiga. Yang paling penting ialah sesuatu yang tetap implisit: yaitu gerak
dari awal keakhir. Gerak itu makan waktu tetapi juga bersifat dinamis. Tokoh dan
pembaca digiring dari awal ke akhir. Akhir dapat dipandang sebagai perubahan keadaan
awal. Kalau keduanya dibandingkan maka diketahui apa yang berubah, jadi apa yang
telah terjadi.
Selanjutnya Luxemburg (1991) menyatakan jika dibandingkan dengan, misalnya,
deskripsi ruang yang menjadi ciri khas kisah ialah bahwa rentetan kejadian mendugakan
urutan waktu. Ciri khas kedua ialah bahwa kisah bukan hanya penyebutan sejumlah
gejala lepas; dalam kisah kejadian-kejadian saling berkaitan. Ciri khas ketiga
membedakan kisah dari peristiwa alam: kejadian dalam kisah disebabkan atau dialami
oleh tokoh yang mempunyai tujuan. Secara sadar atau tak sadar, eksplisit atau implisit
kisah memperoleh dinamikannya karena tokoh pelakunya mempunyai suatu tujuan.
Dalam kamus Al-Munawwir (Al-Munawwiar;1986) kata kisah berasal dari kata
qissah jamak dari kata qisas yang berarti cerita atau hikayat
Asasuddin Sokah (1993) berpendapat bahwa kata kisah berasal dari kata qissah
atau jamaknya qassas yang disamakan artinya dengan naba’ atau sejarah. Selanjutnya
Ahmad Mahmud (dalam Asasuddin Sokah;1993) mengatakan bahwa dengan mengetahui
sejarah orang-orang dahulu terutama riwayat hidup tokoh-tokoh penting seperti para Nabi
dan para Rasul, menimbulkan semangat bagi para pembacanya; membangkitkan kemauan
menyadarkan pribadi menjadi penyabar, kuat dan teguh. Hal itu sesuai firman Allah
dalam SurahHud ayat 120 yang artinya: “dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan
kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu…….”
( Depag, 1976).
Selanjutnya diterangkan dalam Surah Yusuf ayat 111 yang artinya sebagai
berikut:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang
yang mempunyai akal. Alquran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi
membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan
sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman (Depag;1976)
Dari keterngan tersebut kisah merupakan pengajaran atau “guru” dari kehidupan
yang bertujuan sebagai kebenaran yang pasti, pengajaran dan peringatan. Sayyid Qutub
(dalam Sokah, 1993) dalam bukunya seni penggambaran dalam Alquran merumuskan
lima macam tujuan kisah dalam Alquran yaitu: (1) untuk menetapkan adanya wahyu dan
kerasulan, (2) menerangkan bahwa agama semuanya dari Allah, (3) untuk menerangkan
bahwa agama itu semuanya dasarnya satu, (4) cara yang ditempuh oleh Nabi-nabi dalam
berdakwah itu satu, dan sambutan kaum mereka terhadap dakwahnya itu juga serupa, dan
(5) menerangkan dasar yang sama antara agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
saw. Dengan Nabi-nabi sebelumnya.
Dalam Alquran kisah Nabi Adam tersebar dalam beberapa Surah yaitu: al-
Baqarah ayat 30-38, al-A’raf ayat 11-25, Thaha ayat 116-123, al-Isra’ ayat 61-65,al-Hijr
ayat 28-43,Shad ayat 71-84, al-Maidah ayat 31-35. Kisah Nabi Musa terdapat dalam
surah-surah dalam Alquran yaitu:al-Qasas 3-40, Thaha 9-99, asy-yura 10-68, al-A’raf
103-156 dan 160, Yunus 75-92, an-Naml 7-14, an-Nazi’at 15-26, Hud 96-101, Ibrahim 5-
8, al-kahfi 60-82, mukminun 45-48, al-Isra’ 101-104, Al-Baqarah 67-73. Sedangkan
kisah Nabi Sulaiman terdapat dalam tujuh Surah yaitu: al-An’am 84, al-Anbiya’
78,79,81,82, Saba’ 12-14, an-Naml 15-44,al-Baqarah 102, Shad 30-40, al-Anbiya’ 78-82.
b. Peristiwa
Luxemburg dkk. (1991) berpendapat bahwa peristiwa biasanya digambarkan
sebagai peralihan dari suatu keadaan kepada keadaan lain. Pengamatan apakah suatu
peristiwa mempunyai akibat menuntut kita membaca terus dan mengaitkan
kelanjutannya. Hal ini merupakan ciri kisah, karena peristiwa memang tidak berdiri lepas.
Ini juga menggiring pembaca agar ia membaca terus. Betapapun panjangnya suatu buku,
kita harus membaca sampai akhir: kalau tidak, kita tak dapat memberi makna kepada
seluruh rentetan kejadian.
Kategori peristiwa-berakibat atau peristiwa fungsional bukanlah satu-satunya
kategori. Ada pula kejadian yang dimaksudkan untuk menghubungkan peristiwa
fungsional . Banyak kejadian yang tidak mempunyai fungsi langsung dalam jalannya
lakuan dalam kisah, atau tidak hanya berfungsi demikian. Kejadian tersebut merujuk pada
unsur-unsur lain pada cerita, yaitu melukiskan suasana, sifat, serta latar tempat kisah
berlaku.
c. Peristiwa dan tokoh
Luxemburg dkk.(1991) berpendapat bahwa makna peristiwa bagi keseluruhan
kisah tidak dapat dilihat lepas dari tokoh. Ia mengemukakan bahwa tokoh dapat ditelaah
dalam hubungan dengan kisah. Tokoh mempunyai fungsi bagi lakuan. Apabila
membicarakan tokoh, kita menekankan bahwa lakuan mempunyai tujuan. Kita bertolak
dari anggapan bahwa pembaca sendiri membaca dengan terarah dan bahwa pengamatan
terhadap tokoh rekaan yang berlaku bertujuan merupakan sesuatu yang dilakukan dengan
sengang hati. Antara pembaca dan tokoh ada jarak, tetapi ia sedikit banyak ikut
menghayati petualangan mereka.
d. Struktur cerita
Menurut Culler (1975) cerita rekaan (termasuk kisahan) merupakan suatu sistem
dan subsistem yang terpenting adalah alur (plot), tokoh (penokohan), latar, serta tema dan
amanat. Pendapat lebih lengkap dikemukakan Semi (1988) bahwa unsur-unsur yang
membentuk karya sastra, seperti penokohan, tema, alur, pusat pengisahan, latar, dan gaya
bahasa. Setiap unsur memiliki peran dan fungsi sehingga tidak ada yang lebih utama atau
lebih penting antara satu dan lainnya. Tanpa bermaksud mengabaikan subsistem yang
lain, dalam penelitian ini hanya dikemukakan, yaitu tema dan amanat, tokoh (penokohan)
alur (plot) latar (setting), dan sudut pandang (point of vieuw)
1) Tema dan amanat
Menurut Zulfahnur (1996) bahwa tema merupakan suatu dimensi yang amat
penting dalam suatu cerita, karena dengan dasar itu, pengarang dapat membayangkan
dalam fantasinya tentang cerita yang akan dibuat. Jadi, tema adalah ide sentral yang
mendasari suatu cerita, tema mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai pedoman bagi
pengarang dalam menggarap cerita, sasaran/tujuan penggarapan cerita, dan mengikat
peristiwa-peristiwa dalam suatu alur.
Pradotokusumo (dalam Rapi Tang,2001) mengemukakan dua pengertian tema
(Yunani: tema) dalam dua makna: (1) tema adalah gagasan sentral atau gagasan dominan
didalam suatu karya sastra; dan (2) pesan atau nilai moral yang terdapat secara implisit
dalam karya sastra. Kedua batasan yang dikemukakan tersebut, yang pertama tampaknya
lebih mengacu pada batasan tema; sedangkan yang kedua lebih sesuai dengan batasan
amanat.
Menurut pendapat Sumardjo (1994) bahwa pengarang dalam menulis karyanya
bukan hanya sekedar mau bercerita, melainkan juga ingin mengatakan sesuatu kepada
pembaca atau pendengar. Sesuatu yang ingin disampaikan itu adalah suatu masalah
kehidupan, pandangan hidup, atau dapat pula berarti komentar terhadap hidup ini.
Pandangan tersebut sejalan pendapat Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiantoro, 1998),
bahwa tema yang merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra
yang terkandung didalam teks sebagai struktur semantis dan menyangkut perasaan atau
perbedaan.
2) Tokoh dan Penokohan
Sumardjo (1994) mengemukakan bahwa penokohan berasal dari kata “toko” yang
berarti pelaku, karena yang dilukiskan mengenai watak tokoh atau pelaku cerita. Melalui
tokoh, pembaca dapat mengikuti jalannya dan mengalami berbagai pengalaman batin
seperti yang dialami tokoh cerita. Rapi Tang (2001) menyatakan bahwa tokoh adalah
individu rekaan yang beraksi atau mengalami berbagai bentuk peristiwa dalam cerita,
baik peristiwa yang bersifat fisik maupun yang bersifat batiniah. Pradotokusumo (dalam
Rapi Tang, 2001) Menjelaskan Bahwa untuk memahami karya sastra itu secara
menyeluruh. Alur dan tokoh merupakan antar ketergantungan; tokoh adalah penentu
peristiwa, sedangkan peristiwa itu sendiri memberi gambaran tentang tokoh.
Tokoh dalam karya sastra adalah manusia yang ditampilkan oleh pengaran dan
memiliki safat-safat yang datafsirkan dan dikenal pembacanya melalui apa yang mereka
katakan atau apa yang mereka lakukan. Forster (1980) Mengemukakan bahwa tokoh
dalam sebuah cerita biasanya manusia; hewan-hewan pun pernah diperkenalkan, tetapi
dengan tingkat keberhasilan yang terbatas karena tidak banyak yang dapat dipahami
menyangkut masalah psikologinya.
Menurut Wahid (2004) ada beberapa cara yang digunakan untuk memahami
watak pelaku atau pribadi tokoh, yaitu:
1. Tuntutan pengarang terhadap karakteristik pelakunya;
2. Gambarang yang diberikan pengarang lewat gambarang lingkungan kehidupannya;
3. Menunjukkan Bagaimana berikutnya;
4. Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tertangnya;
5. Memahami bagaimana cara pikirannya;
6. Melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya;
7. Melihat bagaimana tokoh lain berbicara dengannya;
8. Melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain memberikan reaksi terhadapnya;
9. Dan melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.
3) Alur (plot)
Menurut Forster (1980) sebuah cerita sesungguhnya suatu narasi dari peristiwa-
peristiwa yang disusun secara kronologis (time sequence); dengan kata lain, cerita adalah
suatu rantai motif-motif dalam ukuran kronologis atau dalam hubungan waktu.
Sedangkan alur merupakan suatu narasi dari berbagai peristiwa akan tetapi dengan
penekanan pada penyebabnya. Forster memberi sebuah contoh “Raja meninggal dan
kemudian Ratu meninggal” ini adalah sebuah cerita. Contoh kedua, “Raja meninggal dan
kemudian Ratu meninggal karena sedih” ini adalah sebuah alur (plot). Atau: “Ratu
meninggal” tidak ada satu orang pun mengetahui mengapa, sampai ditemukan bahwa
kematian adalah akibat kesedihan karena meninggalnya Raja, ini juga merupakan sebuah
alur (plot). Yang mengandung misteri, yaitu suatu bentuk yang mungkin dikembangkan
lebih jauh.
Semi (1988) menjelaskan bahwa alur (plot) merupakan pengaduan unsur yang
membangun cerita sehingga lebih tepat disebut sebagai kerangka utama cerita. Dalam
kaitannya dengan struktur dan alur (plot) karya naratif, Pradotokusumo (dalam Rapi Tang
2001) mengemukakan bahwa motif menurut pandangan Kaum Formalis termasuk salah
satu unsur penting dalam analisis teks yang tergolong jenis epik. Motif adalah suaru
kesatuan struktural yang paling kecil berfungsi sebagai penghubung unsur yang
mendukung struktur cerita.
4) Latar (setting)
Pada dasarnya, setiap karya sastra yang membentuk cerita selalu memiliki latar
(setting). Latar adalah situasi tempat, ruang, dan waktu terjadinya cerita. Tercakup pula
didalamnya lingkungan geografis, pekerjaan, benda-benda, dan alat-alat yang berkaitan
dengan tempat terjadinya cerita, waktu, suasana, dan periode sejarah. Adanya
penggunaan latar dalam sebuah cerita, membuat pembaca atau penikmat sastra seolah-
olah dalam kehidupan sebenarnya. Menurut Abrams (1981) bahwa penggunaan latar
sangat mendukung terciptanya karya sastra dan menarik perhatian para pembaca atau
penikmat sastra. Latar atau setting disebut juga landas tumpu,menyarang pada pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan.
Menurut Sudjiman (1991) bahwa latar pada dasarnya mempunyai beberapa
peranan, yaitu: (1) dapat memberikan informasi (tempat dan waktu), (2) sebagai proyeksi
keadaan para toko, dan (3) menjadi metafor dari keadaan emosional dan spritual tokoh.
Sejalan dengan uraian tersebut, Sumardjo (1994), memperjelas bahwa sebuah cerita
seharusnya terjadi pada suatu tempat dan pada waktu tertentu, meskipun latar itu sendiri
bukan hanya, sekedar beackground. Dalam pengertian yang luas itu, latar mencakup
tempat, waktu, suasana, dan keadaan dalam suatu masyarakat terterntu.
Pentingnya latar dalam sebuah cerita, dikemukakan oleh Luxemburg dkk. (1986)
bahwa pengarang melahirkan karyanya sesuai dengan kehadirannya sebagai warga
masyarakat. Ia mencoba mengangkat hal-hal yang terdapat atau seringa terjadi ditengah-
tengah masyarakat. Keadaan yang dilukiskan pengarang pada suatu kurung waktu
tertentu dan adat-istiadat zaman tersebut.
Berkaitan dengan latar (setting) Rapi Tang (2001) menjelaskan bahwa kalau
melihat dari aspek eksistensinya, maka latar dalam cerita dapat dibagi ke dalam dua jenis,
yaitu latar sosial dan latar fisik atau material. Latar sosial dapat memberi gambaran
berbagai kehidupan sosial budaya suatu kolektif. Mungkin di dalamnya seorang pembaca
dapat menemukan gambaran kondisi sosial suatu kelompok masyarakat; terutama
menyangkut sikap dan perilakunya, adat-istiadat atau tradisi yang mereka bina bersama
yang kessemuanya itu turut melatari peristiwa dalam cerita. Selanjutnya, yang
dimaksudkan latar fisik atau material adalah berbagai macam tempat atau ruang yang
secara nyata dapat dibuktikan dalam wujud fisik. Dari latar fisik ini, pembaca akan
mendapat gambaran mengenai suatu tempat, daerah, atau ruang dalam suatu geduang
dan sebagainya.
5) Sudut pandang (point of vieuwi)
Sudut pandang adalah tempat penceritaan dalam hubungan dengan cerita, dari
sudut mana pencerita menyampaikan kisahnya. Sudut pandang dilihat dari aspek posisi
pengarang dan pusat pengisahan pada posisi penceritaan. Sudut pandang ada tiga macam,
yaitu:
1. Pengarang terlibat, pengarang ikut ambil bagian dalam cerita sebagai tokoh utam
atau yang lain, mengisahkan tentang dirinya. Dalam cerita ini, pengarang
menggunakan kata ganti orang pertama (aku atau saya);
2. Pengarang sebagai pengamat, posisi pengarang sebagai pengamat yang
mengisahkan pengamatan sebagai tokoh samping. Pengarang berada di luar cerita,
dan menggunakan kat ganti orang ketiga (ia atau dia) di dalam ceritanya;
3. Pengarang serba tahu, pengarang berada di luar cerita (impersonal), tetapi serba
tahu apa yang dirasa dan diperkirakan oleh tokoh cerita. Dalam kisahan,
pengarang memakai nama-nama orang dan dia (orang ketiga)
4. Alquran
Alquran adalah Kalam (perkataan) Allah swt. yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad saw. melalui malaikat Jiberil dengan lafal dan maknanya (QS.26:192-195).
Alquran sebagai kitab Allah menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari
seluruh ajaran islam dan berfungsi sebagai petunjuk atau pedoman bagi umat manusia
dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Alquran mempunyai 114 surah (urutan-urutannya sebagaimana ditetapkan oleh
Rasulullah saw.) yang tidak sama panjang dan pendeknya, surat yang terpendek terdiri
atas tiga ayat dan yang terpanjang terdiri atas 286 ayat. Semua surah, kecuali surah
kesembilan (At-taubah) dimulai dengan kalimat bismi Alla ar-Rahman ar-Rahim. Setiap
surah mempunyai nama yang diambil dari kata yang terdapat dipermulaan surah (seperti
Yasin dan Taha) atau diambil dari kata yang menjadi tema pembicaraan dari surah yang
bersangkutan (seperti Ali Imran Al-Baqarah, dan An-Nisa).
Alquran sebagai mukjizat merupakan tantangan bagi orang Arab setelah mereka
memberikan persepsi yang keliru terhadap Alquran, untuk membuktikan siapa yang benar
di antara mereka. Para ulama sepakat bahwa Alquran itu merupakan mukjizat Nabi
Muhammad saw. yang paling besar. Mukjizat Alquran dapat dilihat dari dua segi, yaitu
dari segi bahasa dan dari segi kandungan isi.
Dari segi bahasa, ulama sepakat bahwa Alquran memiliki uslub (gaya bahasa)
yang tinggi, fasahah (ungkapan kata yang jelas), dan balaghah (kefasihan lidah) yang
dapat mempengaruhi jiwa pembacanya dan pendengarnya yang mempunyai rasa bahasa
Arab yang tinggi. Abu Bakar Muhammad Al-Baqillani menyebutkan bahwa
sesungguhnya Alquran sangat indah susunan kata-katanya dan sangat unik serta istimewa
susunannya. Syekh Muhammad Rasyid Rida berpendapat bahwa slah satu bukti
ketinggian uslub Alquran ialah bahwa seluruh maksud Alquran itu bercampur baur dan
terpencar dlam banyak surah baik yang pendek maupun yang panjang, dengan
munasabah (hubungan atau kaitan) yang bebeda-beda sehingga menjadi ibarah
(ungkapan) yang sempurna dan menyenangkan hati. Mukjizat Alquran dari segi bahasa
ini hanya dapat dihayati oleh mereka yang mengetahui dan mendalami bahasa Arab.
Dari segi kandungan isi, mukjizat Alquran dapat dilihat dari tiga aspek.
(1) merupakan isyarat ilmiah, (2) merupakan sumber hukum, dan (3) menerangkan suatu
ibrah (teladan) dan kabar gaib, baik yang terjadi pada masa lalu, sekarang maupun yang
akan datang. Alquran banyak mengandung berita-berita tentang hal-hal yang gaib seperti
surga, neraka, hari kiamat dan hari perhitungan. Selain itu, Alquran juga banyak
mengungkapkan kisah-kisah para Nabi dan ummat lampau. Alquran banyak pula
menyinggung masalah-masalah yang belum terjadi di masanya seperti kemenangan
bangsa Romawi (QS.30:1-3).
Dari keseluruhan isi Alquran terlihat bahwa Alquran memberikan porsi yang
besar pada hal-hal yang bekenan dengan sejarah yang meliputi kisah-kisah para Rasul
dan Nabi serta umat dimasa lampau. Adapun ayat yang mengandung ketentuan hukum
sedikit sekali. Menurut beberapa ulama, di antaranya Abdul Wahhab Khallaf(Guru Besar
Hukum Islam Universitas Cairo), Ayat-ayat yang mengandung ketentuan-ketentuan
hukum mengenai iman, ibadah, dan hidup bermasyarakat ada sekitar 500 ayat atau
kurang lebih delapan persen dari isi Alquran (Ensiklopedi Islam,2001).
5. Alquran dan sastra
Pada waktu agama Islam turun, “Bahasa Arab Quraisy berada dalam masa
jayannya. Disana sini muncul penyair ulung dan ahli pidato” (Hanafi, 1984:)
Jalaluddin Jawisy, dkk. (dalam Sugiono, 1993) mengatakan agama Islam dalam
rangka menyampaikan ajarannya melalui kitab suci Alquran tidak sedikit menggunakan
amsal (perumpamaan-perumpamaan), karena merupakan salah satu cara yang baik untuk
menyatakan pikiran dalam kesusastraan.
Senada dengan itu, Sayyid Qutub (dalam Amin, 1975) menjelaskan bahwa
keindahan adalah ciri sastra yang paling jelas sedangkan keindahan berada dalam
imajinasi yang halus, ilustrasi yang lembut, hubungan yang timbul antara dua hal
dikarenakan adanya unsur persamaan, pengabstrakan yang konkret dan pengkonkretan
yang abstrak.
Bahasa dan gaya Alquran juga telah memberikan pengaruh yang paling kuat pada
pertumbuhan dan perkembangan kesusastraan Arab. Kaum muslimin mula-mula
mengembangkan doktrin yang tak tertandinginya Alquran, bahkan bagi orang Arab
nonmuslim, Alquran tetap merupakan produk kesasteraan yang ideal hingga masa kini.
Alquran dengan keras menolak dengan anggapan yang dilontarkan oleh lawan-lawan
Muhammad kepada beliau, bahwa beliau adalah seorang penyair (poet) dan tak
memberikan Alquran disebut puisi. Namun, dalam kedalam rasanya, dalam ekspresinya
yang mengena dan iramanya yang efektif, Alquran tidaklah kurang derajatnya dari puisi
paling tinggi sekalipun. Sesungguhnya kaum muslimin telah mengembangkan suatu seni
khusus tentang pembacaan Alquran (tajwid), dan bila Alquran dibaca dengan cara
demikian, maka pengaruhnya bahkan akan bisa dirasakan oleh mereka yang tidak
mengenal bahasa Arab sekalipun. Tentu saja, kita tidak akan mempertahankan keindahan
artistik dan keagungan Alquran melalui terjemahannya.
Syauqi Daif (dalam Sugiono, 1993) mengatakan suatu yang tidak dapat dipungkiri
adalah bahwa Alquran telah menampilkan dirinya dengan ungkapan-ungkapan bijak
melalui yang mudah dimengerti dan enak didengar serta lembut diucapkan, sehingga
kedinamisan bahasa Alquran telah mampu menguak dan cita rasa negeri di sekitar Arab,
bahasa yang menjadi ciri bangsa Arab dan umat Islam pada umumnya. Gaya bahasa yang
sekali tampil dapat merasuk sukma dan menjadi tonggak sastra Arab selanjutnya, bahasa
yang terus dilestarikan oleh para penulis, sastrawan dan pujangga Arab.
Selanjutnya Sayyid Qutub (dalam Sugiyono, 1993) berpendapat bahwa keserasian
Qurani telah memadukan prosa dan puisi sekaligus. Ungkapannya telah lepas dari ikatan
qafiyah dan taf’ilatnya, oleh karenanya menjadi lebih fleksibel untuk berbagai tujuan
yang sifatnya lebih umum. Di satu saat dia menyerupai puisi yang berirama (nazam), ada
fawasil yang mirip wazn, menjadikan Alquran mampu mencakup semua karakateristik
yang dimiliki yang dimiliki oleh prosa maupun puisi. Taha Husain sendiri
mengungkapkan pandangannya bahwa Alquran itu bukanlah puisi dan bukan pula prosa,
melainkan dia itu Alquran. Kita tidak perlu merekayasa dengan ungkapan-ungkapan
Alquran, sebab di satu sisi dia adalah sosok prosa manakala kita asumsikan demikian
dengan kedudukannya dalam peristilahan Arab sebagaimana mestinya dia berlaku.
Namun, di merupakan jenis prosa yang dicipta demikian indah, apik dan tiada duanya.
Alquran sendiri penuh dengan mukjizat seni dalam rupa ayat-ayat yang begitu
indah tersusun, ungkapan-ungkapan kalimat dan susunan kata maupun hurup yang
menyatu dalam bentuk dan irama yang indah. Di dalamnya ada gambaran-gambaran yang
melukiskan keindahan alam dan kehidupan. Sorga yang penuh kenikmatan diakspresikan
dengan ungkapan-ungkapan yang demikian menyejukkan hati, neraka yang penuh
siksaan dan penderitaan dengan ungkapan-ungkapan dengan cukup menggetarkan hati.
Ayat-ayat melukiskan alam dangan segala keserasian dan keindahannya, begitu
menakjubkan, yang semuanya mengajak manusia untuk meresapi dan memperhatikan
kebesaran dan keaguman ciptaan-Nya.
Sugiyono (1993) menjelaskan bahwa Alquran bukan sebuah karya sastra atau
sekedar puisi, ilusi, khayal,dan fantasi yang tampa pijakan sehingga setiap saat dapat
berubah. Metode Alquran bersifat tetap dan mapan (fixed) serta adanya interaksi dengan
Sang Pencipta yang tidak berubah, serta terdapatnya dorongan agar manusia dekat
dengan-Nya. Sementara puisi lebih merupakan ungkapan-ungkapan kerinduan manusia
terhadap keindahan dan kesempurnaan, berbaur dengan keterbatasan manusia di
dalamnya. Alquran dan puisi merupakan dua kutub yang tabiatnya berbeda, satu pihak
berakar pada nubuwwat yang turun dari langit, sedangkan pihak yang lain berakar pada
kerinduan (syauq) dan kegemaran (hawayah) yang muncul dari muka bumi.
a. Sastra dalam sudut pandang Islam
Tabiat Islam dalam konteks sastra ini merupakan suatu ekspresi dari suatu sistem
kehidupan yang menyeluruh, diawali dari gerak jiwa yang kemudian diungkapkan dalam
kehidupan nyata. Islam menghendaki agar manusia mampu dan sanggup menghadapi
kenyataan dan bukan untuk mengingkarinya, kemudian lari menuju alam khayal.
Seandainya kenyataan tersebut tidak atau belum sesuai dengan sistem dan metode yang
digunakan, maka Islam berusaha mengubah metode tersebut ke arah yang lebih baik.
Selanjutnya Sayyid Qutub (dalam Sugiyono, 1990) mempertegas bahwa Islam
tidak menolak ilmu sastra dan seni pada umumnya sebagaimana dipahami dari Alquran
secara tekstual, tetapi menolak metode yang digunakan, yaitu metode yang
mengedepankan perasaan dan emosi yang tidak punya pijikan , metode yang hanya
mengandalkan impian, khayalan dan fantasi seseorang.
Pada sisi lain, Islam hendak mencuatkan semangat Islam (ruh Islamiy), dan
melalui komitmen inilah kemudian diciptakan karya sastra atau seni selaras dengan
kehidupan nyata. Alquran telah seringkali mengajak hati, akal, dan perasaan manusia
untuk melihat dan menghayati keindahan ciptaan-Nya dengan ungkapan-ungkapan yang
menyentuh, karena ungkapan-ungkapan tersebut dapat dijadikan sumber inspirasi bagi
penciptaan sastra dan seni. Alquran cukup bijak di dalam menyikapi pujangga-pujangga
yang beriman dan beramal salih, oleh sebab mereka dikecualikan dari penyair-penyair
yang dicerca pada ayat 224-226 dari surat Asy-Syu’ara.
Sayyid Qutub (dalam Sugiyono, 1993) menjelaskan bahwa Islam itu cukup kaya
untuk dijadikan sumber inspiratif bagi penggambaran dan pengungkapan seni dalam
kehidupan manusia, dalam berbagai bentuk dan corak yang selaras dengan pandangan
Islam. Dengan demikian, semakin jelaslah sikap dan pandangan Islam tentang karya-
karya sastra bangsa Arab baik dalam bentuk pepatah (hikmah) peribahasa (masal,
proverb), pidato (khatabah), surat (risalah, epistle), riwayat, surat wasiat, kisah yang
kesemuanya sangat dikenal dalam Islam di samping puisi itu sendiri.
b. Pengertian sastra Islam.
Dalam Islam terdapat penggambaran mengenai kehidupan ini, sehingga
melahirkan nilai-nilai dan ide-ide yang terekspresikan dalam ungkapan yang tentunya
berbeda esensinya dari ungkapan yang berakar dari nilai-nilai di luar Islam. Alquran telah
menjadikan metode penggambaran (picturesque, taswir) sebagai sarana pilihan dalam
mengungkapkan kondisi jiwa, perasaan, ide, dan tabiat manusia dalam bentuknya yang
hidup, dinamis serta realistis.
Ketika Alquran mengandalkan metode “taswir” dalam gaya Qur’aninya, menjadi
bukan sekedar menciptakan hiasan kata atau untaian kalimat yang indah, apik, dan
menarik. Namun, lebih dari itu, cara penggambaran ini sudah menjadi aliran tetap,
rancangan terpadu sudah merupakan metode baku yang dipakai dengan gaya bahasa
ungkapan qur’ani berdasarkan kaidah taswir. Dalam Alquran, cakrawala taswir tersebut
menjadi luas meliputi penggambaran warna, bentuk, gerak, irama, dalam konteks yang
komunikatif dengan indera, ide, khayalan, dan perasaan.
Muhammad Qutub dalam salah satu bab dari bukunya Manhaj al-Fann al-Islami
mengemukakan mengenai seni dan sastra Islam itu, ungkapan yang indah tentang alam,
kehidupan, dan manusia di tengah-tengah penggambaran Islam tentang wujud ini.
c. Karakateristik sastra Islam
Alquran dan semangat Islam telah menjadi aset tersendiri bagi perkembangan,
peradaban dan kebudayaan Islam dewasa ini, termasuk aneka ragam bentuk karya seni di
antaranya karya sastra. Dalam sastra Islam, nilai-nilai keislaman semakin lekat dalam
kedinamisan bentuk dan wajahnya. Ada beberapa karakateristik yang menandai sastra
Islam antara lain:
1) Komitmen terhadap landasan theisme-moralis
Berbeda dari aliran-aliran sastra yang lain semacam realism-socialism (al-
waqi’iyah-alsytirakiyah), naturalism (an-naz’ah at-tabi’iyah), structralism (tarkibiyah)
ataupun aliran exestentialism (wujudiyah), maka nilai moral dan akidah menjadi sendi
utama dalam masyarakat Islam. Sastra yang ingin mengubah tatanan masyarakat bobrok
ke arah yang berpegang teguh kepada sendi akidah dan moral.
2) Teologis dan tujuan yang jelas
Di balik sebuah karya sastra, Islam memiliki tujuan dan misi yang jelas, oleh
karena seorang sastrawan muslim hendaknya memelihara dirinya dari kata-kata dan
ungkapan yang tidak memiliki dasar pijakan yang jelas. Dalam kapasitasnya sebagai
sastrawan, seorang muslim dengan potensi yang dimiliki, mempunyai tanggung jawab
yang besar bagi tujuan-tujuan kemanusiaan, tanggung jawab mana telah diamanatkan
Tuhan:
“Maka apakah kalian mengira bahwa kalian Kami ciptakan dengan main-
main………..” (Al-Mu’minun;115.
“Tiada satu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat
pengawas yang selalu hadir”. (Surah Al-Qaf;18).
“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang
tiada berguna” (Al-Mu’minun;3).
Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa sastra Islam tidak sekedar
mengikuti aliran ‘seni untuk seni’ (al-fann lil fann), karena keindahan menjadi esensi
sebuah karya seni, sekaligus menjadi tujuan karena adanya kenikmatan yang diperoleh.
3) Daya cakup (universalitas) dan keterpaduan integratif
Islam memandang sosok manusia secara totalitas dari berbagai sisi, jasmaniah
rohaniah secara seimbang dalam keserasian. Studi sastra sejauh ini tidak lebih dari
memahami konvensi-konvensi struktural abstrak yang dalam konteks keilmuan terwujud
dalam bentuk lingual saja. Dalam dunia seni, Islam tidak hanya mengikuti alur estetika
yang berakar pada falsafah humanisme universal dari Barat yang telah mencekam
pengaruhnya yang hebat dan menyeluruh. Kesusastraan Islam hendak menghadirkan
estetika yang merambah segi-segi kemanusiaan yang saling berkaitan dan saling
melengkapi, dan sebagaimana intuisi-intuisi lainnya, selalu berkaitan erat dengan
dinamika masyarakat yang menghasilkannya. Di dalamnya mencakup ilmu jiwa, agama,
sosial, ekonomi, dan politik, sebagaimana masing-masing kandungan tersebut
mengandung yang lain. Manusia totalitas inilah yang dalam Islam menjadikannya sebagai
makhluk penunjuk, baik dari segi kualitas, bentuk dan tanggung jawabnya dalam
mengemban amanah Tuhan sebagai khalifah di bumi.
4 Realitas (waqi’iyah)
Dalam sastra Islam ada usaha untuk mencari kaitan antara sastra dengan
kehidupan empirik dan yang benar-benar realistis. Maksud dari pada realistis bukan
sebagaimana aliran realism pada sastra Barat yang masih terbatas pada realisasi segi-segi
materi kehidupan dan kurang memperhatikan segi-segi inti yang maknawi. Islam
memandang realita melalui kacamata yang lebih luas, yaitu kebenaran realitas
humanisme yang mencakup segala peristiwa dalam kehidupan manusia, perkembangan
sosial ekonomi, politik, intelektual dan moral. Sastra Islam memberlakukan objek
(manusia) secara adil dan seimbang, baik kehidupan jasmani dan rohaninya, personal dan
sosialnya menurut prinsip-prinsip kebenaran sesuai dengan jiwa dan pandangan Islam.
5 Dinamis
Dalam pandangan Islam, manusia itu bersifat lemah namun pada dirinya ada
potensi untuk tumbuh dan berkembang dalam rangka meningkatkan kualitas diri. Potensi
inilah yang mendorong manusia mampu mengubah keadaan diri secara dinamis melawan
kelemahan yang ada agar tidak terjerumus dalam jurang kerusakan jasmani maupun
rohani dan pasrah kepada arus nasib.
Ada epistimologis baru dalam memandang dan mengapresiasi kesusastreraan.
Kesusasteraan merupakan deskripsi pengalaman dan pengetahuan kemanusiaan dalam
dimensi personal maupun sosial, yang memiliki relasi dengan totalitas partisipannya
dalam dimensi kultural dan kesejarahannya. Dengan demikian, sastra sebagai suatu gejala
non scientific memiliki fungsi designation (penunjukan) suatu periode atau suatu model
sosial tertentu.
Dijelaskan oleh Sugiyono (1993) bahwa kesusastreraan Islam dalam hal ini bukan
sekedar mengekspersikan kenyataan yang ada pada suatu waktu atau generasi tertentu,
atau sekedar berfungsi sebagi panunjukan suatu periode atau model sosial tertentu,
melainkan berupaya mengubah satu keadaan menjadi lebih baik. Demikian itu, karena
Islam datang untuk meningkatkan kehidupan manusia dan bukan sekedar menguak
motivasi, kecenderungan ataupun ikatan-ikatan yang ada.
6. Landasan teoretis
Penelitian ini menggunakan landasan teoretis, yaitu teori struktural A.J Greimas
dan teori semiotika. Teori struktural digunakan untuk menganalisis unsur kesastraan,
sedangkan teori semiotika digunakan untuk menderkripsikan dan memaknai tanda.
a. Teori struktural A.J. Greimes
Greimas (dalam Teeuw, 1984) adalah salah seorang peneliti Prancis penganut
teori struktural. Seperti halnya Propp, Levi-strauss, Bremond, dan Todorov, Greimas juga
mengembangkan teorinya berdasarkan analogi-analogi struktural dalam linguistik yang
berasal dari Saussure (Hawkes dalam Suwondo, 2003).
Suwondo (2003) menyatakan bahwa sesungguhnya yang pada awalnya
mengembangkan teori struktural berdasarkan penelitian atas dongeng adalah Vladimir
Propp seperti tampak dalam bukunya Morphology of the Folk Tale (1985,1968, 1975,
edisi aslinya 1928 dalam bahasa Rusia) yang kemudian diterjemahkan oleh Noriah
Taslim menjadi morfologi cerita rakyat (1987). Dalam buku itu Propp menelaah struktur
cerita dengan mengandaikan bahwa struktur cerita analog dengan struktur sintakis yang
memiliki konstruksi dasar subjek dan predikat.
Dijelaskan oleh Selden (dalam Suwondo, 2003) bahwa subjek dan predikat dalam
sebuah kalimat ternyata dapat menjadi inti sebuah episode atau bahkan keseluruhan
cerita. Atas dasar itulah Propp (1987:28-76) menerapkannya dalam seratus dongeng
Rusia, dan akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa seluruh korpus cerita dibangun
atas perangkat dasar yang sama, yaitu 31 fungsi. Setiap fungsi adalah satuan dasar
“bahasa” naratif dan menerangkan kepada tindakan yang bermakna yang membentuk
naratif. Tindakan ini mengikuti sebuah perturutan yang masuk akal, dan dalam setiap
dongeng fungsi-fungsi itu selalu dalam perturutan yang tetap (Selden, 1991). Selain itu,
Propp juga menjelaskan bahwa fungsi-fungsi itu dapat disederhanakan dan dikelompok-
kelompokkan dalam tujuh “lingkaran tindakan” (spheres of action) karena pada
kenyataannya banyak fungsi yang dapat bergabung secara logis dalam tindakan tertentu.
Tujuh “lingkaran tindakan” itu masing-masing: (1) villain ‘penjahat’, (2) donor,
provider’ pemberi bekal (3) helper ‘penolong’, (4) saught-for person and her father’
putri atau orang yang dicari dan ayahnya’, (5) dispatcher’ yang memberangkatkan’, (6)
hero ‘pahlawan’, dan (7) false hero ‘pahlawan palsu’.
Sebagai ganti atas tujuh spheres of action yang diajukan oleh Proop, Greimas
menawarkan three spheres of opposed yang meliputi enam actants (peran, pelaku), yaitu:
(1) subject vs objects ‘ Subjek-objek’, (2) sender vs receiver (destinateur vs destinataire’)
pengirim-penerima, dan (3) helper vs opponent (adjuvant vs opposant’ pembantu-
penentang.
Jika disusun ke dalam sebuah bagan, tiga oposisi yang terdiri atas enam aktan itu
tampak pada Gambar 1.
SENDER OBJECT RECEIVER
SUBJECT
HELPER OPPONENT
Gambar 1. Bagan aktan
Sender’ pengirim’ adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide dan
berfungsi sebagai penggerak cerita. Dialah yang menimbulkan keinginan bagi subjek atau
pahlawan untuk mencapai objek. Object’objek’ adalah seseorang atau sesuatu yang
diingini, dicari, dan diburu oleh pahlawan atas ide pengirim. Subject’subjek atau
pahlawan adalah seseorang atau sesuatu yang ditugasi oleh pengiriman untuk
mendapatkan objek. Helper’penolong’ adalah seseorang atau sesuatu yang membantu
atau mempermudah usaha pahlawan dalam mencapai objek. Opponent’penentang’ adalah
seseorang atau sesuatu yang menghalangi usaha pahlawan dalam mencari objek.
Receiver’penerima’adalah seseorang atau sesuatu yang menerima objek hasil buruan
subjek (Zaimar dalam Suwondo,2003).
Berkaitan dengan hal itu, di antara sender dengan receiver terdapat sebuah
komunikasi, diantara sender dan object ada tujuan, di antara sender dan subject ada
perjanjian, di antara subject dan object ada usaha, dan di antara helper atau opponent dan
subjek terdapat bantuan atau tentangan. Aktan-aktan itu dalam struktur tertentu dapat
menduduki fungsi ganda bergantung siapa yang menduduki fungsi subject.
Selain menunjukkan bagan aktan, Greimas juga mengemukakan model cerita
yang tetap sebagai alur (Zaimar dalam Suwondo,2003). Model itu dibangun oleh berbagi
tindakan yang disebut fungsi. Model yang kemudian disebut model fungsional itu,
menurutnya, memiliki cara kerja yang tetap karena memang sebuah cerita selalu bergerak
dari situasi awal kesituasi akhir. Adapun opersi fungsionalnya dibagi menjadi tiga tahap
seperti tampak dalam bagan berikut:
I II III
Situasi Transformasi Situasi
Awal Tahap
Kecakapan
Tahap
Utama
Tahap
Kegemilangan
Akhir
Gambar 2. Model fungsional A.J. Greimas
Situasi awal: cerita diawali dengan munculnya pernyataan adanya keinginan
mendapatkan sesuatu. Di sini ada panggilan, perintah, atau persetujuan.
Transformasi: (1) tahap kecakapan, yaitu adanya keberangkatan subjek atau
pahlawan, munculnya penentang dan penolong, dan jika pahlawan tidak mampu
mengatasi tantangannya akan didiskualifikasi sebagai pahlawan, (2) tahap utama, yaitu
adanya pergeseran ruang dan waktu, dalam arti pahlawan telah berhasil mengatasi
tantangan dan melakukan perjalanan kembali, dan (3) tahap kegemilangan, yaitu
kedatangan pahlawan, eksisnya pahlawan asli, terbongkarnya tabir pahlawan palsu,
hukuman bagi pahlawan palsu, dan jasa bagi pahlawan asli.
Situasi akhir: objek telah diperoleh dan diterima oleh penerima, keseimbangan
telah terjadi, berakhirnya keinginan terhadap sesuatu, dan berakhirlah sudah cerita itu.
1) Pengertian
Karya sastra sebagai suatu konstruksi dari unsur tanda-tanda tidak dapat
dipisahkan dari kajian semiotika. Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, seme,
seperti dalam semeiotikas, yang berarti panafsir tanda. Sebagai suatu disiplin, semiotika
berarti ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi.
Menurut Cobley dan Janisz (2002), bahwa semiotik (kadang-kadang juga dipakai istilah
semiologi) ialah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-
lambang. Semion, bahasa Yunani (tanda), sistem-sistem lambang dan proses-proses
perlambangan.
Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman,
yang bekerja secara terpisah dan dalam lapangan yang berbeda pula. Orang tersebut
adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913) seorang ahli linguistik dan Charles Sander
Pierce ( 1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi sedangkan
Pierce menyebutnya semiotik (semiotic). Kemudian nama itu sering dipergunakan
breganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan semiologi untuk
ilmu itu dan di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik.
Menurut Eco (dalam Fokkema & Kunne-Ibsch, 1998) bahwa penelitian semiotika
terutama berurusan dengan tanda-tanda sebagai “ kekuatan sosial”. Pemahaman tanda-
tanda dalam teks karya sastra sangat penting terutama dalam merekontruksi tanda
tersebut menjadi makna. Sebagaimana pula dikemukakan Halliday (1978) bahwa suatu
teks adalah suatu unit semantik dan menjadi unit dasar dari suatu proses semantik. Bagi
Roland Barthes (dalam Kurniawan, 2001) bahwa suatu karya atau taks merupakan bentuk
kontruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah
rekontruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tidak lain adalah teks itu sendiri.
Sebagai sebuah proyek rekontruksi, maka pertama-tama teks tersebut dipenggal-penggal
terlebih dahulu menjadi beberapa leksia atau satuan bacaan tertentu. Leksia itu dapat
berupa satuan kata, beberapa kata, beberapa kalimat, sebuah paragrap, atau beberapa
paragrap.
Lexemburg dkk. (1991) mengemukakan bahwa seperti halnya kata dan kalimat,
teks juga mempunyai tanda makna tertentu. Hal inilah yang oleh holiday (1978)
dinyatakan bahwa teks dapat di gambarkan sebagai perwujudan potensi suatu maksud dan
makna. Menurut pierce ( dalam luxemburg dkk., 1986 ) ada tiga faktor yang menentukan
adanya sebuah tanda, yaitu tanda itu sendiri, hal yang di tandai,dan sebuah tanda baru
yang terjadi dalam batin si penerima. Oleh karena itu, teks dapat di lihat sebagai tanda
( bahasa ) atau sekumpulan tanda yang mencakup berbagai hubungan: antara tanda satu
sama lain, antara tanda dan makna atau isi teks, dan antara tanda dan pemakai tanda.
2). Teori tentang tanda
teori tentang analisis tanda dilakukan untuk mengkaji makna cerita melalui kajian
simbol ( semiotik ) untuk menemukan ciri naratologi cerita secara intrinsik.
Ealeton (1983 ) menjelaskan teori pierce yang membedakan tiga jenis lambang,
yaitu ‘iconc’ ( ikon ), yaitu lambang yang menyerupai benda yang di wakilinya
( misalnya, gambar foto/foto seseorang); kedua, ‘indexical’ (indeks), yaitu lambang yang
melalui cara-cara tertentu dihubungkan atau dikaitkan dengan benda yang diwakilinya
(misalnya asap dengan api, bintik dengan campak), ketiga’symbolic’ (simbol), yaitu
mengacu pada suatu makna yang berupa konvensi yang dianut bersama.
Zoest (1990) menyatakan bahwa ikonisitas pada dasarnya dapat dibagi ke dalam
tiga macam, yaitu ikonisitas topologis yang dinilai berdasarkan tata ruang; ikonisitas
diagramatis metaforis yang dinilai berdasarkan persamaan antara dua kenyataan yang
didenotasikan secara sekaligus, baik langsung maupun secara tidak langsung. Teori
ikonisitas yang dinyatakan oleh van Zoest ini juga didasarkan pada teori Pierce.
Teori mengenai ikon, indeks, dan simbol merupakan salah satu teori semiotik
yang mencoba menganalisis berbagai tanda yang terdapat dalam karya sastra dalam
kaitannya dengan faktor eksternal yang diduga memiliki relevansi dengan karya
bersangkutan. Karya sastra dalam pandangan semiotik tidak lain dari sebuah teks yang
terwujud dari perpaduan berbagai tanda. Anggapan seperti ini juga dikemukakan oleh
Zoest (1990) bahwa teks sastra pada umumnya merupakan tanda dengan semua cirinya:
bagi pembaca teks sastra ini menantikan sesuatu yang lain yaitu dengan kenyataan yang
dipanggil, yang fiksional.
Menurut Rapi Tang (2001) teks pertama-tama bukan merupakan bahasa,
melainkan ia lebih sekadar suatu bangunan bahasa. Teks adalah suatu tanda yang
dibangun dari tanda lain yang lebiih rendah, yang memiliki sifat kebahasaan, dan lain-
lain. Tanda-tanda bahasa adalah yang paling banyak, paling mencolok, yang paling sering
dipelajari. Sebaliknya mengabaikan tanda-tanda dan bahasa yang ikut membentuk teks
tidaklah benar. Aturan bagaimana yang harus dibuat untuk menetapkan bahwa urutan
pengakuan tentang “sesuatu” adalah juga tanda? Semua hal memiliki kemungkinan
menjadi tanda. Pada suatu hari nanti seseorang pembaca karya sastra tertentu yang jeli
akan menemukan tanda-tanda lain, yang tidak kurang bermaknanya ; dan dia akan
memberikan interpretasi baru tentang “sesuatu itu”. Pandangan seperti itu akhirnya
memberi suatu keyakinan bahwa dalam kajian semiotik, tidak ada interpretasi yang
definitif.
Berkaitan dengan hal itu, Halliday (1978) menyatakan bahwa dalam
menginterpretasi sesuatu, perlu mempertimbangkan struktur semantik yang dihubungkan
dengan situasi tertentu atau konteks sosial. Ada tiga dimensi struktur semiotik, yaitu
aktivitas sosial yang terus-menerus dan berkelanjutan, aturan atau kaidah keterlibatan dan
simbol jaringan retorika menurut Halliday (1978), konteks sosial dalam bentuk interaksi
sosial biasanya berbentuk linguistik yang disebut tulisan. Tulisan adalah produksi dari
sejumlah pilihan yang simultan arti dan tentang arti dan direalisasikan sebagai struktur
leksikogramatikal. Daftar kata merupakan konteks situasi dalam suatu konstruksi
semiotik.
7. Kerangka pikir
Karya sastara pada umumnya dan kisah pada khususnya memiliki dua fungsi,
yaitu memberi hiburan, dan memberi manfaat. Dalam mengembang salah satu fungsi
tersebut, hiburan atau manfaat kepada pembacanya, kisah diharapkan dapat memberikan
pencerahan pada batin dan jiwa pembacanya berupa penanaman nilai-nilai yang dapat
dijadikan sebagai alternatif dalam melakoni kehidupannya. Nilai yang mungkin dapat
diperoleh adalah nilai spritual, nilai religius, nilai kultural, nilai edukatif, dan nilai
filosofis.
Untuk mengungkapkan unsur kesastraan dan nilai-nilai yang terdapat dalam
KKA, yang menjadi objek kajian adalah kisah Nabi Adam, kisah Nabi Musa, dan kisah
Nabi Sulaiman dalam Alquran, diperlukan suatu teori dan metode yang digunakan
sebagai “pisau bedah” dalam menganalisisnya. Teori yang digunakan adalah teori
struktural semiotika. Dalam teori struktural semiotik teks sastra dikaji dalam hubungan
aspek sintagmatik dan aspek paradigmatik. Dalam hubungan sintagmatik, KKA dikaji
dengan menggunakan teori struktural A.J Greimas. Teori Struktural A.J Greimas
digunakan untuk menganalisis struktur aktan dan fungsional yang ditekankan pada tokoh
dan berbagai fungsinya karena pada hakikatnya hanya tokohlah yang menjiwai cerita dan
mampu membangun hubungan antaraunsur dalam keseluruhan struktur.
Untuk mengungkapkan nilai-nialai yang terkandung dalam KKA digunakan
analisis hubungan aspek paradigmatik dalam bentuk nilai dan makna. Dalam analisis
hubungan paradigmatik, unsur tanda sangat penting, baik berupa kata, frase, kalimat,
maupun paragrap yang dijadikan sebagi landas tumpu untuk memaknai nilai-nilai
tersebut. Untuk lebih jelasnya alur berpikir penelitian ini, berikut ini disajikan dalam
bagan kerangka pikir.
ALQURAN
KISAH-KISAH
KISAH NABI ADAM AS, NABI MUSA AS, NABI SULAIMAN AS.
TEORI STRUKTURAL SEMIOTIK
TEKS SASTRA
PUISI PROSA DRAMA
ASPEK ASPEK
SINTAGMATIK PARADIGMATIK
STRUKTUR UNSUR NILAI
OPERASI TEMA
FUNGSIONAL
TOKOH/ ETIKA/MORAL
PENOKOHAN RELIGIUS
KULTURAL
EDUKATIF
FILOSOFI
T E M U A N
Gambar 3. Kerangka pikir
G. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini tergolong jenis penelitian deskriptif kualitatif. Ratna
(2004) mengemukakan bahwa karakteristik penelitian kualitatif, yaitu: (1) memberikan
perhatian utama pada makna pesan sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagi studi
kultural, (2) lebih mengutamakan proses daripada hasil penelitian sehingga makna selalu
berubah, (3) tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, Subjek
peneliti sebagi instrumen utama sehingga terjadi interksi langsung diantara keduanya,
(4) disain dan kerangka penelitian bersifat sementara dan terbuka, dan (5) penelitian
bersifat alamiah, terjadi dalam konteks dan latarnya masing-masing.
Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Endraswara (2003) menemukan bahwa
ciri penting penelitian kualitatif dalam kajian sastra, antara lain: (1) peneliti merupakan
instrumen kunci yang akan membaca secara cermat sebuah karya sastra, (2) penelitian
dilakukan secara deskriptif, artinya terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar jika
diperlukan bukan berbentuk angka, (3) lebih mengutamakan proses daripada hasil, karena
karya sastra merupakan fonomena yang banyak mengandung penafsiran, (4) analisis
secara induktif, dan (5) makna merupakan andalan utama. Dengan demikian penelitian
kualitatif dipandang tepat digunakan dalam penelitian sastra sebagaimana ditegaskan oleh
Endraswara bahwa paling cocok bagi fonomena sastra adalah penelitian kulitatif karena
karya sastra adalah dunia kata dan simbol yang penuh makna.
2. Fokus penelitian
Kajian dalam penelitian ini berfokus pada pengungkapan unsur kesastraan dan
aspek nilai-nilai yang terdapat pada KKA. Agar lebih spesifik dan terarah maka
penelitian ini akan menggunakan pendekatan struktural semiotik.
3. Definisi operasional variabel
Untuk memperjelas arah penelitian ini, maka perlu diuraikan tentang variabel
dalam penelitian ini adalah:
1. Yang dimaksud dengan nilai-nilai dalam kisah-kisah Alquran adalah nilai-
nilai yang dapat memberikan tuntunan kepada seseorang agar dapat
memperbaiki kualitas (sikap, tingkah laku, moral) dirinya dalam hidup dan
kehidupan.
2. Kisah-kisah Alquran yang (selanjutnya disingkat KKA) adalah rangkaian
cerita dalam Alquran yang terdiri atas kisah Nabi Adam, kisah Nabi Musa,
dan kisah Nabi Sulaiman.
3. Yang dimaksud studi struktural adalah analisis struktural sebagaimana
dikembangkan oleh A.J. Greimas. Studi ini tidak dimaksudkan sebagai kajian
untuk mengembangkan teori, tetapi hanya kajian yang mencoba menerapkan
teori struktural Greimas terhadap beberapa kisah dalam Alquran. Oleh karena
itu.
4. Yang dimaksud dengan studi semiotik adalah metode analisis untuk mengkaji
tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda
dan proses yang berlaku bagi pengguna tanda.
4. Data dan sumber data
Data Penelitian ini adalah kalimat, paragraf, dan wacana yang terdapat dalam
KKA.
Sumber data penelitian ini adalah kisah-kisah dalam Alquran yaitu kisah Nabi
Adam, kisah Nabi Musa, dan kisah Nabi Sulaiman.
5. Prosedur pengumpulan data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu studi dokumen.
Dalam hal ini dilakukan penelahaan secara mendalam terhadap teks KKA. Adapun
prosedur pengumpulan data penelitian ini adalah.
1. Pembacaan secara saksama dan berulang-ulang terhadap KKA.
2. Calon peneliti juga membaca semua dokumen (pustaka), catatan dan
transkrip yang menjadi sumber data untuk melengkapi informasi mengenai
data yang dibutuhkan.
3. Pencatatan korpus data pada KKA sesuai dengan masalah penelitian ini.
4. Pemilahan korpus data berdasarkan struktur cerita dan aspek nilai yang
terdapat dalam KKA.
6. Instrumen penelitian
Penelitian ini menggunakan manusia sebagai instrument (Human instrument)
dalam mengambil korpus data dan menganalisisnya. Penggunaan manusia terhadap
instrumen didasarkan pada pertimbangan bahwa cara ini dianggap tepat untuk memahami
struktur cerita dan nilai-nilai dari keseluruhan teks. Dalam penelitian ini, peneliti
merupakan instrumen utama.
7. Pengecekan keabsahan penelitian
Untuk memperoleh hasil penelitian yang sahih, peneliti melakukan pelacakan
ulang (triangulasi). Ada tiga bentuk triangulasi yang dilakukan, yaitu: (1) triangulasi
terhadap proses pengumpulan data, (2) triangulasi terhadap analisis data, dan (3)
triangulasi terhadap hasil temuan dengan melakukan konfirmasi dan diskusi dengan
teman sejawat dan pakar yang berkompeten.
8. Teknik analisis data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data model interaktif yang
dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992). Kegiatan analisis data penelitian
dengan menggunakan model interaktif dilakukan melalui empat tahap kegiatan yaitu:
1. Pengumpulan data yaitu pembacaan, pencatatan, dan pemilihan korpus data
dari KKAberdasarkan masalah penelitian.
2. Reduksi data yaitu pengidentifikasian, penyeleksian, dan pengklasifikasian
korpus data.
3. Penyajian data, yaitu penataan, pengodeaan, dan penganalisaan data.
4. Penyimpulan data/verifikasi, yaitu penarikan simpulan sementara sesuai
dengan reduksi dan penyajian data.
H. Jadwal Kegiatan Penelitian
Penelitian ini insya Allah akan dilaksanakan selama empat bulan, dengan rencana
waktu dan kegiatan sebagai berikut:
Tabel 1. Jadwal kegiatan penelitian
KEGIATAN KET
No. 1 2 3 4
1. Persiapan
Penyusunan Proposal
Pelaksanaan Seminar Proposal
Perbaikan / Revisi Proposal
Pengurusan Izin
2. Pengumpulan Data
3. Pengolahan dan Analisis
4. Penyusunan Laporan Penelitian
5. Pelaksanaan Seminar Hasil
6. Perbaikan Laporan Penelitian
7. Penyajian Laporan (Ujian Tesis)
I. Rencana Biaya Penelitian
1. Biaya persiapan Rp 2.000.000,00
2. Biaya pengumpulan data Rp 1.500.000,00
3. Biaya pengolahan dan analisis data Rp 1.500.000,00
4. Biaya penyusunan laporan Rp 2.500.000,00
5. Biaya seminar hasil Rp 1.500.000,00
6. Biaya perbaikan dan penggandaan Rp 2.500.000,00
Jumlah Rp 11.500.000,00
J. Daftar Pustaka
Abrams, M.H. 1981.A Glossary of Literary Terms. Fourth Edition.
Canada: Published Simultaneosly.
Amin, Ahmad. 1975. Ethika (Ilmu Akhlak). Alih Bahasa Farid Ma’ruf. Jakarta:
Bulan Bintang.
Aminuddin, 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Al-khalidy, Shalah. 2000, Kisah-kisah Alquran, Pelajaran dari Orang-orang
Dahulu, Jilid I, II, III Jakarta: Gema insani Press.
Al-Munawwir, Ahmad Warson;1986.Kamus Lengkap Bahasa Arab-Indonesia,
Yogyakarta,Pustaka progressif Al-Munawwir.
Arifin, Bey.1983.Rangkaian Ceritera dalam Alquran. Surabaya: Alma’arif
Atmazaki.1990. Ilmu Sastra, Teori, dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.
Barnadib, Imam.2002.Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adicita.
Cobley, Paul dan Litza Janisz.2002. Mengenal Semiotika for Beginner.
Penerjemah Ciptadi Sukono. Bandung: Mizan.
Culler, Jonathan. 1975. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of
Literature. London/Hendley: Rotlege & Kegan Paul.
Daif, Syauqi. 1963. Al-Asar Al-Islami. Kairo: Dar Al-Maarif.
Depag 1997. Alquran dan Terjemahannya. Surabaya: CV Jaya Sakti.
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve.
Dojosantoso, 1986. Dimensi Metafisika dalam Simbol. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Eageton, Terry. 1983. Literary Theory. Basil Bleckwell.
Endraswara, Suwardi.2003. Metode Penelitian Sastra: Epistimologi Model,
Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga