a. latar belakang masalahrepository.uph.edu/3566/4/chapter 1.pdf · 2019. 6. 11. · aktivitas...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Memasuki perekonomian global akan mengakibatkan laju perkembangan
aktivitas perekonomian nasional yang mengalami perubahan yang sangat pesat
dan tajam, terutama dibidang hukum bisnis yang merupakan bagian dari hukum
perdata. Bidang hukum bisnis antara lain berupa kegiatan transaksi jual-beli,
kontrak kerja, pendirian perusahaan, sewa menyewa, ekspor impor dan lain-lain.1
Hukum merupakan salah satu sarana yang dibutuhkan oleh semua orang
dalam mengisi kehidupannya terutama pada sistem perekonomian yang memasuki
era globalisasi. Kebutuhan tersebut berupa undang-undang peraturan hukum yang
jelas dan mempunyai kepastian hukum serta tindakan penegakan hukum yang
tegas dari aparat penegak hukum. Salah satu aparat hukum di bidang keperdataan
ialah Notaris sebagai pejabat umum (Openbaar Ambtenar) yang harus
professional karena mewakili negara menjalankan tugas dan fungsi jabatannya
didalam pembuatan akta sebagai alat bukti yang berupa “Akta Otentik”.2
Pembuatan akta dalam wilayah hukum dibuat oleh pejabat umum. Pejabat
umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau diberikan kepada mereka
yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan akta otentik. Oleh
karena itu Notaris sudah pasti pejabat umum, tetapi pejabat umum belum tentu
1 A.A.Andi Prajitno, Pengatahuan Praktis tentang Apa dan Siapa Notaris di Indonesia?,
(Surabaya: cv. Perwira Media Nusantara,2015), hal.2. 2 Ibid.
2
Notaris, karena Pejabat umum dapat disandang pula oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) atau pejabat lelang. Jika ketentuan dalam Wet Op het Notarisambt
tersebut dijadikan rujukan untuk memberikan pengertian yang sama terhadap
ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Jabatan Notaris yang menyebutkan
Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini
atau berdasarkan undang-undang lainnya. Definisi yang diberikan oleh UUJN ini
merujuk pada tugas dan wewenang yang dijalankan oleh notaris. Seorang Notaris
melaksanakan jabatannya semata-mata bukan hanya untuk kepentingan diri
pribadi notaris itu sendiri, akan tetapi juga untuk kepentingan masyarakat umum.3
Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare
Amtbtenaaren yang terdapat pada Pasal 1 Peraturan Jabatan Nnotaris dan Pasal
1868 Burgerlijk Wetboek (BW). Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan
bahwa Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
diharuskan oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu
akta autentik menjamin suatu kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan
memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta
itu oleh suatu peraturan tidak dikecualikan. Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (MKRI) dengan Keputusan Nomor 009-014/PPU-111/2005, tanggal 13
September 2005 mengistilahkan Pejabat Umum sebagai Public Official.
Menurut Habib Adjie, Notaris sebagai Pejabat Publik:
33
Henricus Subekti, Tugas Notaris (Perlu) Diawasi, Renvoi, Nomor 26, Tahun Ketiga, tanggal, 3
April 2006, Hal. 40.
3
a. Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari Openbaar Ambtenaar, dalam
konteks ini, Openbaare, tidak bermakna umum, tetapi bermakna public. Maka
Pejabat Umum yang dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal 1
harus dibaca sebagai Pejabat Publik atau Notaris sebagai Pejabat Publik yang
berwenang untuk membuat akta otentik (Undang-Undang Jabatan Notaris
Pasal 15 ayat 1) dan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Jabatan Notaris Pasal 15 ayat (2) dan (3).
b. Mengkategorikan Notaris sebagai Pejabat Publik sebagai khalayak umum.
Notaris sebagai Pejabat Publik tidak berarti sama dengan Pejabat Publik dalam
bidang pemerintahan yang dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara. Hal ini dapat dibedakan dari produk masing-masing Pejabat
Publik tersebut. Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta
otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum
pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha
Negara merupakan suatu jabatan tetap tidak menimbulkan akibat hukum
perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena akta merupakan
formulasi keinginan atau kehendak (wilsvorming) para pihak yang dituangkan
dalam akta Notaris yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris dan bukan
kehendak Notaris. Sengketa dalam bidang perdata diperiksa di pengadilan
umum. Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan produknya yaitu Surat
Keputusan atau Ketetapan yang terikat dalam Hukum Administrasi Negara
yang memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis yang bersifat individual dan
final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata, serta sengketa dalam Hukum Administrasi Negara di periksa di
4
Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian, Notaris adalah Pejabat
Publik yang bukan pejabat atau Badan Tata Usaha Negara. Notaris dalam
kategori sebagai Pejabat Publik yang bukan wewenang yang tersebut dalam
aturan hukum yang megatur Jabatan Notaris yang sekarang berlaku.4
Melalui akta, Notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat yang membutuhkan layanan jasa dari seorang Notaris itu sendiri.
Akta Notaris pada Pasal 1 angka 7 dalam Undang-Undang Jabatan Notaris
menyebutkan “Akta Notaris adalah Akta Otentik yang dibuat oleh atau di
hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan di dalam
Undang-Undang ini”.
Akta yang dibuat oleh Notaris memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna tidak seperti akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan adalah akta
yang dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa bantuan
Pejabat Umum. Sedangkan akta otentik merupakan produk yang dibutuhkan
oleh masyarakat. Demi terciptanya suatu kepastian hukum.5
Kepastian Hukum disini menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas,
tetap, konsisten dan konsekuen, yang pelaksanaannya tidak boleh bahkan tidak
dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Indikator
adanya kepastian hukum disuatu Negara itu sendiri adalah adanya perundang-
undangan yang jelas dan perundang-undangan tersebut diterapkan dengan baik
oleh hakim maupun petugas hukum lainnya.6
4 Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum., Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik, Cet. Pertama, Penerbit PT. Refika Aditama, Maret 2008,hal. 163-164. 5 Andi.A.A.Prajitno. Apa dan Siapa Notaris di Indonesia?. Surabaya:Citra Aditya Bakti,2010,
hal.51. 6 Abdul Rachmad Budiono, Pengantar Ilmu Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hal. 22
5
Sebagai seorang pejabat umum Notaris harus dan wajib memahami dan
mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal
ini merupakan suatu hal yang mutlak mengingat jabatan Notaris merupakan
jabatan kepercayaan dalam proses penegakan hukum. Disamping itu Notaris
harus senantiasa berperilaku dan bertindak sesuai dengan Kode Etik Profesi
Notaris. Keberadaan Kode Etik Profesi Notaris diatur oleh Organisasi Profesi
Notaris dalam hal ini Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) sebagai wadah tunggak
tempat berhimpunnya Notaris Indonesia. Ditunjuk I.N.I sebagai wadah
Organisasi Profesi Notaris Indonesia diatur di dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris. Hal ini berbeda dengan keadaan sebelum berlakunya UUJN yang
memungkinkan Notaris berhimpun dalam berbagai wadah Organisasi Notaris,
yang tentunya akan membawa konsekuensi terdapatnya berbagai kode etik
yang berlaku masing-masing bagi anggotanya. Keberadaan I.N.I sebagai satu-
satunya Organisasi Profesi Notaris semakin mantap setelah melewati judicial
review di Mahkamah Konstitusi.
Kode Etik Notaris di atur di dalam Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris
Indonesia Banten, 29-30 Mei 2015. Kode Etik wajib di taati oleh seluruh
anggota perkumpulan tanpa terkecuali, hal ini di atur di dalam Pasal 1 ayat 2
Kode Etik. Pada pasal 13 Kode Etik menjelaskan bahwa setiap anggota
Perkumpulan yang melanggar UUJN dan dikenakan sanksi sebagaimana
mestinya yang berakibat anggota yang bersangkutan berakhir keanggotaannya
dalam Perkumpulan I.N.I, hal tersebut secara tegas memberikan gambaran
nyata bahwa Kode Etik dan UUJN saling berkaitan dalam mengatur kaidah
kewajiban, larangan dan sanksi bagi Notaris maupun Notaris Pengganti.
6
Suatu kode etik profesi tidak terlepas dari tujuan suatu organisasi. Dalam
Bab III Anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) disebutkan bahwa
tujuan perkumpulan adalah (Pasal 7 Anggaran Dasar I.N.I) :
1. Menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan serta menciptakan kepastian
hukum.
2. Memajukan dan mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan ilmu
serta pengetahuan dalam bidang notariat pada khususnya.
3. Menjaga keluhuran dan martabat serta meningkatkan mutu Notaris selaku
Pejabat Umum dalam rangka pengabdiannya kepada nusa, bangsa dan
negara serta Tuhan Yang Maha Esa.
4. Memupuk dan mempererat hubungan silaturahmi dan rasa persaudaraan
serta rasa kekeluargaan antara sesama anggota untuk mewujudkan persatuan
dan kesatuan serta kesejahteraan segenap anggotanya.7
Etika berasal dari kata ethos, sebuah kata dari Yunani, yang diartikan
identik dengan moral atau moralitas. Kedua istilah ini dijadikan sebagai pedoman
atau ukursn bagi tindakan manusia dengan penilaian baik atau buruk dan benar
atau salah. Etika melibatkan analisis kritis mengenai tindakan manusia untuk
menentukan suatu nilai benar dan salah dari segi kebenaran dan keadilan. 8
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan di gunakannya etika
dalam pergaulan antar elemen-elemen di dalam masyarakat pada hakikatnya agar
7 H. Budi Untung, SH, MM, Visi Global Notaris, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta,2001), hal. 65.
8 Ibid., hal. 66.
7
supaya tercipta suatu hubungan yang harmonis, serasi dan saling
menguntungkan.9
Pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris harus selalu dilandasi pada suatu
integritas dan kejujuran yang tinggi dari pilihan Notaris sendiri, karena hasil dari
pembuatan akta-akta maupun pemeliharaannya protokol-protokol sangat penting
dalam penerapan hukum pembuktian, yang sebagai alas bukti otentik yang dapat
menyangkut kepentingan suatu usaha sehingga pelaksanaan tugas dan jabatan
Notaris, harus didukung oleh suatu itikad moral yang dapat dipertanggung
jawabkan kelak.
Dalam menjalankan tugas dan kewenangan jabatannya tersebut terkadang
Notaris melakukan kesalahan, misalnya kesalahan mengenai ketidakwenangan
Notaris dalam membuat akta otentik, yang berakhir hilangnya otensitas bahkan
kepastian hukum terhadap akta yang dibuatnya, atau kekuatan pembuktian akta
tersebut tidak lagi sebagai alat bukti yang sempurna, di antara pihak yang
berkepentingan, melainkan menjadi akta/surat dibawah tangan, karena akta dibuat
di luar wilayah kerjanya sebagai Notaris.
Kesalahan ini dapat terjadi karena perbuatan Notaris itu sendiri yang di
sebut kesalahan profesi, sehingga berakibat Notaris dapat di perkarakan dalam
perihal tanggung jawabnya terhadap kerugian yang dialami oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, akibatnya hilang otensitas akta yang dibuatnya tersebut ke
Pengadilan Negeri di tempat Notaris tersebut berpraktek. Sebagai konsekuensinya
maka seiring dengan adanya tanggung jawab Notaris pada masyarakat, haruslah
9 Drs. Muslich,Etika Bisnis Pendekatan Substantif dan Fungsional, (Yogyakarta: Ekonisia,1998),
hal. 1.
8
dijamin dengan adanya pengawasan dan pembinaan yang terus menerus, agar
tugas Notaris selalu sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku dan terhindar dari
penyalahgunaan kewenangan dan kepercayaan yang diberikan.
Notaris hanya berkedudukan di satu tempat di kota/kabupaten dan memiliki
kewenangan wilayah jabatan seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya.
Dalam larangan Jabatan Notaris Pasal 17 huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris
menyebutkan bahwa “Notaris dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah
jabatannya”. Penulis memberi contoh, seorang Notaris yang memiliki wilayah
kerja di Kota Manado tidak dapat membuka praktik atau membuat akta otentik di
wilayah kerja Kota Yogyakarta.
“Pengaturan mengenai Tempat Kedudukan, Wilayah Jabatan, demikian pula
kantor Notaris bertalian dengan kewenangan Notaris yang berkaitan dengan
territorial (akta otentik) dibuat, sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 UUJN yaitu
Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor di tempat kedudukannya.
Domisili dan kewenangan seorang Notaris sebagaimana tercantum pada
Undang-undang Jabatan Notaris Pasal 18, tertulis sebagai berikut :
1) Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota
2) Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh provinsi dari tempat
kedudukannya.
Kedudukan Notaris, artinya tempat kediaman hukum sebagai tempat tinggal
dan letak kantor dalam kesehariannya untuk menjalankan profesi jabatan di suatu
Daerah Kabupaten/Daerah Khusus/Daerah Istimewa/ Kota
Administratif/Kotamadya. Notaris harus memiliki hanya satu bangunan kantor
untuk praktek dan penyimpanan protokolnya, tidak boleh ada kantor cabang
9
dimanapun juga harus disatu tempat saja, dan minimal mempunyai 2 orang
karyawan.10
Dalam kaitannya dengan tempat kedudukan Notaris maka keberadaan
Notaris harus disesuaikan pula dengan kondisi wilayah yang ada di tempat
kedudukakannya. Oleh karena itu untuk mencukupi jumlah Notaris di suatu
tempat maka tetap mengacu pada, misalnya jumlah penduduk yang ada di wilayah
kabupaten/kota tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal
22 UUJN. Dinyatakan bahwa formasi jabatan Notaris ditetapkan berdasarkan :
a. Kegiatan Dunia Usaha;
b. Jumlah Penduduk; dan/atau
c. Rata-rata jumlah akta yang dibuat oleh dan/atau dihadapan Notaris setiap
bulan.11
Wilayah Jabatan artinya daerah kewenangan proses pembuatan akta,
menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal 18, Notaris boleh membuat akta
diluar kantor, manapun di luar wilayah kedudukannya tetapi masih di dalam
wilayah kewenangannya yaitu provinsi. Wilayah yurisdiksi Notaris pada jaman
pemerintahan penjajahan Belanda adalah provincial yang saat itu mempunyai arti
seluruh wilayah jajahan Belanda. Setelah Indonesia Merdeka, PJN tidak mengatur
dengan jelas tentang apa yang di maksud dengan provincial, kemudian melalui
etika profesi wilayahnya ditentukan adalah Kota/Kotamadya/Daerah
Istimewa/Daerah Khusus.12
Sedangkan di dalam Kode Etik Notaris Pasal 4 ayat 1
10
A.A.Andi Prajitno, Op.Cit., hal.78.
11
DR. Sjaifurrachman, SH., MH., Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan AKta,
(Bandung: CV. Mandar Maju, 2011), hal. 97-98. 12
Ibid.,
10
yang berisi tentanng Larangan berbunyi Notaris maupun orang lain (selama yang
bersangkutan menjalankan jabatan Notaris), dilarang mempunyai lebih dari 1
kantor baik kantor cabang ataupun kantor perwakilan.
Alamat kantor dan rumah Notaris yang diperiksa penting sekali untuk
mengetahui apakah Notaris yang bersangkutan memenuhi pasal 6 PJN yang tidak
hanya mewajibkan seorang Notaris mempunyai kantor dan tempat tinggal serta
menyimpan protocol dikota kedudukannya, tetapi benar-benar mengharuskan
tempat bertempat tinggal di kota itu. Ketentuan PJN berbunyi :
Ieder notaris is verplicht … om ook aldaar zijn werkelijk en gestadig verbliff te
houden.
Alasan pembuat undang-undang untuk menentukan bahwa Notaris harus
tetap berada di tempat kedudukannya adalah bahwa masyarakat harus mengetahui
tempat mereka dapat menemui Notaris dalam keadaan darurat. Alasan yang sama
dipakai oleh pembuat undang-undang untuk menentukan bahwa Notaris tidak
boleh meninggalkan tempat kedudukannya lebih dari 7 hari kerja berturut-turut
tanpa izin sah, hal tersebut tertuang di dalam Pasal 17 ayat 1 huruf b.
Setiap izin dari Notaris yang bersangkutan Pengadilan Negeri harus
mengangkat Notaris-pengganti, khususnya untuk menjamin bahwa masyarakat
setiap waktu dapat meminta bantuan Notaris. Pelanggaran atas ketentuan tentang
tempat tinggal utama seorang Notaris ini dikenai hukuman pemberhentian
sementara (schorsing) antara 3-6 bulan, suatu hukuman yang cukup berat.13
13
Tan Thong Kie, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve,2013), hal. 531.
11
Wilayah jabatan artinya, wilayah dimana seorang Notaris boleh membuat
akta yang oleh UUJN telah ditetapkan yaitu kewenangan membuat di seluruh
daerah yang merupakan bagian dari provinsi dimana Notaris tersebut
berkedudukan, kecuali dalam keadaan darurat atau memaksa. Perkecualian
tersebut dalam pengertian Notaris dapat menjalanakan profesi jabatannya.
Pembuatan akta di luar wilayah jabatan Notaris dapat dilaksanakan dalam keadaan
sangat terpaksa dimaksudkan apabila ditempat kejadian saat itu tidak ada Notaris
yang berwenang atau pejabat yang setara dengan Notaris dan saat itu ada Notaris
kebetulan berada ditempat itu dan jabatan sebagai Notaris sangat
dibutuhkan,misalnya :
Dalam kondisi nyawanya kritis/sekarat, akan meninggal dunia;
Dalam keadaan bahaya, kecelakaan atau kapal laut akan karam;
Dalam keadaan perang atau huru hara, dan lain-lain.
Bahkan bilamana di dalam kapal atau pesawat itu tidak ada Notaris dan ada
yang membutuhkan jasa Notaris (wasiat, sekarat dan lain-lain) maka kapten dari
kapal atau pesawat tersebut berfungsi sebagai pejabat umum atau Notaris. Tatkala
hendak membuat wasiat darurat dan lain-lain dalam keadaan terpaksa dan
memaksa sebagaimana dimaksud KUHPerdata dalam Pasal 1869 jo. Pasal 1875.14
Keberadaan kode etik notaris bertujuan agar suatu profesi Notaris dapat
dijalankan dengan professional, motivasi dan orientasi pada keterampilan
intelektual serta beragumentasi secara rasional serta menjunjung tinggi nilai
moral. Ikatan Notaris Indonesia (INI) sebagai perkumpulan organisasi bagi para
Notaris mempunyai peranan yang sangat vital dalam penegakkan pelaksaan kode
14
Ibid., hal.79.
12
etik profesi bagi Notaris, melalui Dewan Kehormatan yang mempunyai tugas
utama untuk melakukan pengawasan dalam pelaksanan kode etik Notaris.
Adanya hubungan antara Kode Etik Notaris dengan UUJN memberi arti
terhadap profesi Notaris itu sendiri. Kode Etik Notaris dan UUJN menghendaki
agar Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya sebagai pejabat umum,
selain tunduk pada UUJN harus taat pada Kode Etik Profesi serta harus
bertanggungjawab terhadap masyarakat yang dilayaninya, Organisasi Profesi
(Ikatan Notaris Indonesia) maupun terhadap Negara. Dengan adanya hubungan ini
maka terhadap Notaris yang mengabaikan keluhuran dan martabat jabatannya
selain dapat dikenai sanksi moril, ditegur atau dipecat dari keanggotaan
profesinya juga dapat dipecat dari jabatannya sebagai Notaris.
Menurut Lumban Tobing bahwa Notaris harus berwenang sepanjang
mengenai tempat dimana akta dibuat maksudnya setiap Notaris ditentukan
wilayah jabatanya sesuai dengan tempat kedudukanya. Untuk itu Notaris hanya
berwenang membuat akta yang berada di dalam wilayah jabatanya. Akta yang
dibuat diluar wilayah jabatanya hanya berkedudukan seperti akta di bawah
tangan.15
Pembatasan atau larangan Notaris ditetapkan untuk menjaga Notaris dalam
menjalankan praktiknya dan tentunya akan lebih bertanggung jawab terhadap
segala tugas serta kewajibanya. Apabila persyaratan kewenangan tidak terpenuhi
maka Notaris akan diberhentikan sementara hal ini terlihat jelas dalam Pasal 9
ayat (1) huruf d dalam UUJN menyebutkan bahwa Notaris diberhentikan
15
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cet 3, Erlangga, Jakarta, 1996, hal. 49-50.
13
sementara dari jabatanya karena melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan
larangan jabatanya. Dari penjelasan diatas maka jelas bahwa pembuatan akta
Notaris harus dilaksanakan di wilayah jabatan Notaris yang telah disahkan sesuai
oleh Undang-Undang.
Dalam penelitian ini, penulis ingin meneliti tentang pelanggaran Kode Etik
dan Undang-Undang Jabatan Notaris yang tidak sesuai dengan wilayah kerjanya.
Sebenarnya sudah cukup jelas Kode Etik dan Undang-Undang Jabatan Notaris
mengatur tentang Wilayah Kerja Notaris dan sudah ada pula sanksi yang
mengatur jika terjadi pelanggaran. Selain itu cukup jelas pula tentang pengaturan
bagaimana prosedur yang dilakukan jika terjadi pelanggaran terhadap Undang-
Undang Jabatan Notaris. Pengawasan terhadap Kode Etik Notaris juga cukup
jelas tercantum dalam peraturan yang ada. Pelanggaran Wilayah kerja Notaris
yang tidak sesuai dengan Kode Etik dan Undang-Undang Peraturan Jabatan
Notaris masih sering terjadi yang sesungguhnya sudah sangat jelas tidak di
perbolehkan.
Pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris yang dilakukan oleh Notaris
yang dilaporkan oleh masyarakat kepada Majelis Pengawas, yaitu putusan Majelis
Pemeriksa Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta Nomor : 02 Pts/Mj. PWN Prov.
DKI Jakarta/VII/2012 putusan terhadap Notaris H.S, Notaris dengan jabatan
wilayah jabatan Kota Administrasi Jakarta Barat (untuk selanjutnya disebut
terlapor) dilaporkan oleh kliennya yaitu T.B, S.H (untuk selanjutnya disebut
pelapor).
Pelapor awalnya melaporkan terlapor kepada Majelis Pengawas Pemeriksa
Daerah Kota Administrasi Jakarta Barat Nomor 195/10/MPDN.JB/2010 laporan
14
tersebut lalu di teruskan kepada Majelis Pengawas Wilayah Notaris Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta atas perbuatan pelanggaran jabatan notaris yang
dilakukan terlapor dalam merubah harga obyek jual beli atas permintaan salah
satu pembeli, yaitu kakak pelapor serta penandatanganan akta diluar wilayah
jabatan Notaris.
Kasus ini bermula pada saat pelapor berniat membeli sebuah rumah, karena
sertifikat atas tanah tersebut sedang dalam proses balik nama ke atas nama
pemilik lahan, maka atas kesepakatan pemilik lahan dengan pembeli mereka
bersepakat untuk membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Biaya serta harga
obyek tanah yang telah disepakati kedua belah pihak sebesar Rp. 450.000.000,-
(empat ratus lima puluh juta rupiah) . Bahwa dari kesepakatan tersebut pelapor
lalu membayar cicilan pertama diberikan uang tunai sebesar Rp. 110.000.000.-
(seratus sepuluh juta rupiah) lalu sisanya akan diberikan setelah pengurusan
sertifikat atas tanah ke atas nama pelapor selesai dilakukan. Bahwa setelah
pelapor melakukan pelunasan lalu timbul perbedaan nilai yang semula Rp.
450.000.000,- (empat ratus lima puluh juta rupiah) berubah menjadi Rp.
550.000.000,- (lima ratus lima puluh juta rupiah), hal ini menyebabkan kerugian
dari pelapor karena tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu mengenai perubahan
nilai tersebut dari terlapor kepada pelapor. Perubahan harga obyek jual beli ini
hanya atas permintaan salah satu pembeli yaitu kakak pelapor.
Terlapor mengungkapkan bahwa pembeli rumah tersebut pada mulanya
berjumlah 4 (empat) orang, yaitu: B.B, I.B, T.B dan P.B namun dari 4 (empat)
orang kemudian berubah menjadi 3 (tiga) orang, penandatanganan akta tersebut
dilakukan di Cianjur oleh para pihak. Akta perjanjian jual beli tersebut juga
15
ditandatangani secara bergantian pada hari pertama ditandatangani oleh T.B,
keesokan harinya barulah akta tersebut di tandatangani oleh B.B dan P.B.
Majelis Pengawas Daerah Notaris Jakarta Barat telah melihat salinan akta
yang ditunjukkan oleh terlapor dan selembar kwitansi dengan nilai Rp.
450.000.000 (empat ratus lima puluh juta rupiah) yang ditunjukkan oleh pelapor.
Majelis Pengawas Daerah Notaris Jakarta Barat menemukan hal yang seharusnya
tidak dilakukan oleh terlapor yaitu merubah harga obyek jual beli atas permintaan
satu pembeli, yaitu kakak dari pelapor tanpa sepengetahuan pembeli yang lain
termasuk pelapor serta terlapor dinyatakan melanggar peraturan hukum yang
tertuang di dalam Undang-Undang Jabatan Notaris yaitu Notaris dilarang
menjalankan jabatan di luar wilayah kerjanya, Notaris seharusnya wajib bertindak
jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang
terkait dalam perbuatan hukumnya serta tunduk pada semua peraturan hukum yag
berlaku.
Jika hal tersebut termasuk dalam pelanggaran Kode Etik dan Undang-
Undang Jabatan Notaris dimana ada sanksi yang bisa diberikan kepada Notaris
yang melanggar apakah sanksi tersebut sudah di laksanakan. Berdasarkan uraian
tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dangan judul
“PELANGGARAN KODE ETIK DAN UNDANG-UNDANG JABATAN
NOTARIS YANG TIDAK SESUAI DENGAN WILAYAH KERJA
(Studi Kasus Putusan 02/Pts/Mj.PWN Prov DKI Jakarta/VII/2012)”
B. RUMUSAN MASALAH
16
1. Bagaimana penerapan Kode Etik Dan Undang-Undang Jabatan Notaris
terhadap larangan pembuatan akta otentik Notaris di luar wilayah jabatan
Notaris?
2. Bagaimana pelaksanaan sanksi hukum terhadap Notaris yang melakukan
pelanggaran pembuatan akta autentik diluar wilayah kerjanya?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian hukum ini ingin mendapatkan jawaban dari
permasalahan yang ada pada rumusan masalah, yaitu:
1. Untuk menganalisis penerapan Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik
Notaris terhadap larangan pembuatan akta otentik Notaris diluar wilayah
jabatan Notaris.
2. Untuk mengetahui sanksi hukum terhadap pelanggaran oleh Notaris yang
membuat akta diluar wilayah kerja Notaris.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Kegunaan Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau sumber
pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya serta yang
berhubungan dengan hukum kenotariatan. Selain itu juga bisa menjadi bahan
kepustakaan bagi peneliti dengan permasalahan yang berhubungan dengan
pelaksaan atau penerapan Kode Etik Notaris sesuai judul dari tesis ini.
2. Kegunaan Praktis
17
Hasil dari penelitian ini penulis berharap bisa menjadi masukan bagi para pihak
yang berhubungan atau terkait dengan profesi Notaris, maupun profesi Notaris itu
sendiri, sehingga ke depannya bisa menjadi lebih sesuai dengan peraturan yang
berlaku sesuai dengan Undang-Undang.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penyusunan tesis ini, peneliti menjelaskan permasalahan di dalam 5
(lima) bab. Masing-masing bab dan sub-bab tersebut saling berhubungan dan
terkait satu sama lain, serta bertujuan agar setiap permasalahan dapat dijelaskan
dan diuraikan dengan baik. Sistematika penulisan dari tesis ini dibagi menjadi 5
(lima) bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini yang merupakan pendahuluan, penulis ingin
menjelaskan tentang latar belakang dari penulisan tesis ini, lalu
rumusan masalah, selanjutnya tujuan penelitian. Lalu juga
dijelaskan tentang manfaat dari penelitian ini serta sistematika
penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini dijelaskan tentang Tinjauan Umum Undang-Undang
Jabatan Notaris, Kode Etik Profesi Notaris, Organisasi Notaris,
Pengawasan Dan Pembinaan Terhadap Notaris Dalam
Menjalankan Tugas Jabatannya, Pelanggaran Notaris Pasal 19 butir
18
(3) Undang-Undang Jabatan Notaris, serta Pelanggaran Kode Etik
Notaris Pasal 3 butir (8) Kongres Luar Biasa I.N.I.
BAB III METODE PENELITIAN
Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian hukum normatif. Dalam hal ini yang
menjadi objek dari penelitian ini adalah norma hukum itu sendiri.
Dalam penelitian ini Kode Etik Dan Undang-Undang Jabatan
Notaris yang mengatur tentang wilayah kerja Notaris yang telah di
tentukan.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang hasil dari
penelitian serta pembahasannya yang berhubungan dengan
permasalahan yang telah dirumuskan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini penulis menjelaskan tentang kesimpulan dari bab-
bab yang sudah dijelaskan, selain itu dalam bab ini penulis juga
akan menjelaskan jawaban dari rumusan permasalahan yang
dituliskan dalam rumusan masalah, lalu memberikan saran-saran
yang berhubungan dengan rumusan masalah yang terdapat pada
bab I.