repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · web view...
TRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kabupaten Barru merupakan salah satu Kabupaten di Sulawesi
Selatan yang mempunyai wilayah yang terbentang dipesisir Selat Makassar,
membujur dari arah selatan ke utara sepanjang kurang lebih 78 km.
Kabupaten Barru secara geografis terletak pada koordinat 4’0,5’49” sampai
4’47’35” Lintang Selatan dan 119’35’0” sampai 119’49’16” Bujur Timur yang
mempunyai luas wilayah keseluruhan 117.427 Ha , dengan batas wilayah
sebagai berikut: sebelah selatan dengan Kabupaten Pangkep, sebelah barat
berbatasan dengan Selat Makassar, sebelah utara berbatasan dengan Kota
Pare-Pare, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Soppeng.
Salah satu potensi sumberdaya perikanan di perairan Barru yang
bernilai ekonomis penting dan banyak di komsumsi di Kabupaten Barru
adalah Cumi-cumi (Laligo sp). Cumi-cumi merupakan salah satu jenis sumber
daya perikanan yang berperan nyata dalam sektor perikanan laut dan banyak
di komsumsi oleh masyarakat, dan merupakan hasil tangkapan yang
melimpah di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. (http//www.Sektor kelautan
dan perikanan Barru.com).
Pada saat musim penangkapan, banyak Cumi-cumi yang tertangkap
di Kabupaten Barru. Jika penangkapan terus dilakukan tanpa
mempertimbangkan stok maka dapat menggangu kelestarian Cumi-cumi
tersebut. Oleh karena itu untuk mengetahui kondisi stok Cumi-cumi
merupakan suatu hal yang sangat penting untuk menjaga kelestarian
sumberdaya Cumi-cumi dan dibutuhkan pandangan yang realistis dari stok
2
yang lestari, hal ini untuk dapat memanfaatkan stok yang ada di alam secara
optimal, sebagai contoh stok Cumi-cumi untuk kepentingan tersebut
diperlukan analisis dinamika populasi meliputi pendugaan umur,
pertumbuhan, mortalitas dan yield per rekruitment dari populasi Cumi-cumi.
B. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk menduga pararameter dinamika populasi
Cumi-cumi (Loligo sp.) yang meliputi kelompok umur, pertumbuhan,
mortalitas, dan Yield per Recrutment.
Penelitian ini di harapkan dapat menjadi informasi bagi Pemerintah
daerah setempat dalam pengelolaan sumberdaya Cumi-cumi (Loligo sp.) dan
dapat memberikan acuan bagi nelayan agar dapat menjaga kelestarian cumi-
Cumi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
3
A. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Cumi-Cumi (Loligo sp)
Cumi-cumi adalah kelompok hewan Cephalopoda atau jenis moluska
yang hidup di laut. Nama Cephalopoda dalam bahasa Yunani berarti kaki
kepala, hal ini karena kakinya yang terpisah menjadi sejumlah tangan yang
melingkari kepala. Seperti semua Cephalopoda, cumi-cumi dipisahkan dengan
memiliki kepala yang berbeda
Klasifikasi Cumi-cumi menurut Sarwojo (2005). adalah :
Nama latin : Loligo chinensis
Phylum : Moluska
Kelas : Cephalopoda
Ordo : Teuhoidea
Genus : Loligo
Species :Loligo chinensis
Cumi-cumi (Loligo sp.) termasuk binatang lunak (Phylum Mullusca)
dengan cangkang yang sangat tipis pada bagian punggung. Cumi-cumi
tubuhnya lunak tetapi bisa dapat membentuk cangkang (Shell) dari kapur.
Cumi-Cumi cangkangya hanya berupa kepingan kecil dan terdapat di dalam
tubuhnya. Deskripsi mengenai Cumi-cumi (Loligo sp.) yaitu memiliki badan
bulan dan panjang, bagian belakang meruncing dan dikiri kanan terdapat sirip
berbentuk segitiga yang panjangnnya kurang lebih 2/3 panjang badan. Sekitar
mulut terdapat 8 tangan yang agak pendek dengan 2 baris lubang penghisap
ditiap tangan dan 2 tangan yang agak panjang dengan 4 baris lubang
penghisap. Terdapat tulang di bagian dalam dari badan, warna putih dengan
bintik-bintik merah kehitam-hitaman sehingga kelihatan berwarna kemerah-
merahan, panjang tubuh dapat mencapai 12-16 inci atau 30-40 cm. Badan
4
Cumi-cumi licin dan tidak bersisik sehingga praktis seluruh tubunya dapat
dimakan (Rodger, 1991).
Cumi-cumi menangkap mangsa dengan menggunakan tentakel.
Selain itu juga dapat mengelabu warna gelap musuhnya dengan
memyemprotkan cairan tintah atau merubah warna kulitnya. Zat tintah yang
dihasilkan cumi-cumi ini berwana gelap.
Tubuh Cumi-cumi dibedakan atas kepala, leher dan badan. Kepala
terdapat mata yang besar dan tidak berkelopak. Mata ini berfungsi sebagai
alat untuk melihat. Masih di dekat kepala terdapat sifon atau corong berotot
yang berfungsi sebagai kemudi. Jika ingin bergerak ke belakang
menyempurkan air kearah depan, sehingga tubuhnya tertolak kebelakang.
Sedangkan gerakan maju ke depan menggunakan sirip dan tentakelnya
(Sarwojo, 2005).
B. Habitat dan Penyebarannya
Cumi-cumi merupakan penghuni semi pelagis atau Domersal pada
daerah pantai dan paparan benua sampai kedalaman 400 m. Hidup
bergerombol atau soliter baik ketika sedang berenang maupun pada waktu
istirahat (Barnes, 1974). Beberapa spesies ini menembus sampai perairan
payau. Melakukan pergerakan diurnal yang berkelompok dekat dengan dasar
perairan pada saat siang hari dan akan menyebar pada malam hari. Bersifat
fototaksis positif (tertarik pada cahaya), oleh karena itu sering ditangkap
dengan menggunakan alat bantu cahaya (Roper et. al, 1984).
Menurut Roperet al(1987), meskipun tidak seluruh spesies yang
melakukan migrasi musiman, tetapi banyak spesies yang melakukannya
5
karena reaksi terhadap perubahan suhu, terutama didaerah subtropis. Selama
musim dingin biasanyaterdapat diperairan lepas pantai yang lebih dalam dan
akan melakukan imigrasi kearah pantai berdasarkan kelompok ukuran yaitu
individu yang berukuran besar berimigrasi pada permulaan musim semi, lalu
diikuti individu yang ukurannya lebih kecil pada musim panas, dan pada
musim gugur akan kembali kearah perairan yang lebih dalam.
Menurut Barnes ( 1967 dalam Bakrie 1985), Cumi-cumi hampir
ditemukan pada semua laut di dunia, mulai dari perairan pantai yang dangkal
sampai pada bujur Barat Lautan Pasifik dan Lautan Indonesia . Di Indonesia
terdapat hampir disemua perairan, misalnya perairan Pantai Barat Sumatera
( Aceh dan Sumatera utara), selatan Jawa (Jawa Barat dan Jawa Timur),
selatan Malaka ( Aceh, Sumatera Utara dan Riau), timur Sumatera ( Sumatera
Selatan dan Lampung), utara Jawa ( Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat dan
Jawa Timur), Bali, NTB, NTT, selatan barat Kalimantan, Sulawesi Selatan Dan
Sulawesi tengah, Sebelah selatan Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya (Anonim,
1985).
C. Umur dan Pertumbuhan
Umur dan pertumbuhan merupakan parameter dinamika populasi
yang mempunyai peran penting dalam pengkajian stock perikanan. Effendie
(1997) mengatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor jumlah dan
ukuran makanan yang tersedia, suhu, kualitas air, umur, dan ukuran
organisme serta kematangan gonad. Dengan mengetahui umur dan komposisi
jumlahnya yang ada dan berhasil hidup, kita dapat mengetahui keberhasilan
atau kegagalan reproduksi cumi-cumi pada tahun tertentu, misalnya akibat
6
musim yang berkepanjangan, termasuk eksploitasi yang berlebihan atau tidak
pada tahun-tahun tertentu.Keadaan demikian dapat dilacak melalui
penelusuran komposisi atau struktur umur dengan anggotanya pada saat
tertentu dan dapat pula dipakai memprediksi produksi perikanan pada saat
mendatang.
Organisme yang koefisien laju pertumbuhannya tinggi memerlukan
waktu yang singkat untuk mencapai panjang maksimunnya dan sebaliknya
organisme yang koefisien laju pertumbuhannya rendah, memerlukan waktu
yang lama untuk mencapai panjang maksimumnya, sehingga organisme
tersebut dapat berumur panjang (Sparre et.al. 1999).
Hasil penelitian yang dilakukan diperairan Kabupaten Polewali
mandar diperoleh nilai parameter pertumbuhan L∞ sebesar 43,30 cm, K =
0,0241 per tahun dan to sebesar -0.61 per tahun (Sriwana ,dkk.2007).
D. Mortalitas
Mortalitas adalah jumlah individu yang hilang selama satu interval
waktu (Ricker, 1975).Dalam perikanan umumnya dibedakan atas dua
penyebab yaitu mortalitas alami (M) dan mortalitas penangkapan (F).
Mortalitas alami yang tinggi didapat pada organisme yang memiliki nilai
koefisien laju pertumbuhan yang besar dan sebaliknya, mortalitas alami yang
rendah akan didapat pada organisme yang memiliki nilai laju koefisien
pertumbuhan yang kecil (Sparre, dkk.1999). Selanjutnya dikatakan pula
bahwa mortalitas alami merupakan kematian yang disebabkan oleh beberapa
faktor antara lain predasi termasuk kanibalisme, penyakit, stres pada waktu
pemijahan, kelaparan dan umur yang tua.
7
Azis (1989). mengatakan bahwa jika penangkapan dilakukan secara
terus menerus untuk memenuhi permintaan konsumen tanpa adanya suatu
usaha pengaturan, maka sumberdaya hayati organisme ( waktu yang akan
datang) dapat mengalami kelebihan tangkapan dan berakibat mengganggu
kelestarian sumber daya hayati. Selanjutnya dikatakan bahwa kecepatan
eksploitasi atau pendugaan kematian karena penangkapan adalah
kemungkinan ikan mati karena penangkapan selama periode waktu tertentu,
dimana sumber faktor penyebab kematian berpengaruh terhadap populasi.
Mortalitas total stock organisme di alam di defenisikan sebagai laju penurunan
secara eksponensial kelimpahan individu berdasarkan waktu. Umumnya
mortalitas total dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan hubungannya
yakni Z = F+M dimana Fadalah Fishing Mortality dan M adalah Natural
Mortality
Mortalitas alami yang tinggi akan didapat pada organisme yang
mempunyai nilai koefisien laju pertumbuhan yang besar dan sebaliknya
mortalitas alami yang rendah akan didapatkan pada organisme yang
mempunyai nilai koefisien laju pertumbuhan yang kecil Sparreet al(1999).
Hasil perhitungan yang dilakukan di perairan Kabupaten Polewali
Mandar diperoleh nilai laju mortalitas total (Z) 0,66 pertahun , mortalitas alami
sebesar (M) 0,19 per tahun ,dan mortalitas penagkapan(F)sebesar 0,47 per
tahun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa laju mortalitas penangkapan
lebihtinggi dari pada laju mortalitas alami. Hal ini dapat disebabkan oleh
adanya kelebihan hasil tangkapan (Sparredkk, 1999).
E. Yield Per Rekruitment
8
Effendie (1997) menyatakan bahwa secara sederhana yield adalah
porsi atau bagian dari populasi yang diambil oleh manusia. Jadi disini ada
hubungannya antara penyediaan dan pengambilan. Mortalitas Karena
penangkapan adalah yang dimaksudkan dengan yield. Diantara usaha yang
dilakukan dalam perikanan adalah menentukan penangkapan yang seimbang
maximum sustainable yield (MSY). Kesetimbangan stock akan terganggu
apabila penangkapan melampaui batas penangkapan. Dalam pengembalian
populasi itu menjadi seimbang apabila terjadi recruitmen dalam jumlah besar .
Pendugaan stock Yield per rekruitmen (Y/R) merupakan salah satu model
yang biasa digunakan sebagai dasar strategis pengelolaan perikanan
disamping model rekruitmen dan surplus produksi.
Recruitment adalah penambahan anggota baru kedalam suatu
kelompok. Dalam perikanan, rekruitmen ini dapat diartikan sebagai
penambahan suplai baru yang sudah dieksploitasi ke dalam stok yang lama
yang sudah ada dan sedang dieksploitasi. Suplai baru ini adalah hasil
reproduksi yang telah tersedia pada tahapan tertentu dari daur hidupnya dan
telah mencapai ukuran tertentu sehingga dapat tertangkap dengan alat
penangkapan yang digunakan dalam perikanan. Jadi suplai baru ini
merupakan kelompok ikan yang sama umurnya yang dalam periode tertentu
setelah melalui mortalitas prerekruitment masuk ke dalam daerah yang
sedang dieksploitasi. Jadi jelas bahwa kehadiran recruit ini berasal dari
sejumlah stok reproduktif yang dewasa, sehingga ada hubungan stok dewasa
dengan stok rekruitmennya (Effendie, 2002).
III. METODE PENELITIAN
9
A. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan diKabupaten Barru selama kurang lebih
dua bulan yaitu dari bulan April – Mei 2011. Lokasi penelitian dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitia Desa Sunpanbinanga Kec. Sidoo Kab.
Barru.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian adalah Cumi-cumi (Loligo
chinensis) yang diperoleh dari hasil tangkapan nelayan dengan menggunakan
alat tangkap pukat cincin dan bagan perahu.
Adapun alat yang digunakan pada saat penelitian adalah mistar
untuk mengukur panjang mantel Cumi-cumi dengan ketelitian 0,1 cm,
timbangan ,thermometer untuk mengukur suhu pada perairan, GPS untuk
mengetahui lokasi fishing ground, kamera digital dan alat tulis menulis.
10
C. Metode Pengambilan Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer yaitu
mengukur panjang mantel cumi-cumi yang diperoleh dari hasil tangkapan
nelayan dengan alat tangkap pukat cincin dan bagan perahu. Pengukuran
dilakukan, 2 sampai 3 seminggu selama kurang lebih dua bulan dengan cara
mengukur panjang mantel dan menimbang berat Cumi-cumi secara langsung,
dengan menggunakan mistar dan timbangan. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode survai, sedangkan, pengambilan sampel
dilakukan dengan metode stratified random sampling atau biasa dikenal
dengan metode acak bertingkat atau sehingga dapat mewakili ukuran-ukuran
ikan dominan yang tertangkap di perairan Kabupaten Barru. Strata yang akan
digunakan antara lain : alat tangkap, daerah penangkapan, dan ukuran Cumi-
cumi.
D. Analisi Data
1. Kelompok umur
Untuk menduga kelompok umur cumi-cumi dapat digunakan metode
Bhattacharya (Sparre et. al. 1999), yaitu membagi Cumi-cumi pada beberapa
kelompok panjang mantel. Selanjutnya dilakukan perhitungan logaritma
kemudian dicari selisih logaritma suatu kelas dengan kelas sebelumnya.
∆ lnN=a+bx+ dl2
Kemudian dilakukan pemetaan hasil nilai tengah kelas masing-masing
panjang mantel Cumi-cumi (sumbu x) terhadap selisih logaritma natural
frekuensi terhitung panjang Cumi-cumi (sumbu y). Perpotongan garis lurus
11
regresi dengan sumbu x memberikan nilai panjang rata-rata setiap kelompok
umur. Jumlah rata-rata setiap kelompok umur nilainya adalah –a/b.
Jika sampel yang diperoleh tidak berdistribusi normal maka dilakukan
penormalan distribusi menurut kelompok umur. Untuk mendapatkan distribusi
frekuensi yang normal, maka frekuensi yang diamati diubah ke dalam
frekuensi yang dihitung (Fc) dengan menggunakan persamaan distribusi
normal (Hasselblad) dalam Sparre dkk. (1999). sebagai berikut :
Fc= n .dls√ 2π
exp−(X−x ) ²2S ²
keterangan
Fc = Frekuensi terhitung
n = Jumlah sampel
dl = Interval kelas
S = Standar deviasi
X = Panjang rata – rata
x = Tengah kelas panjang total
π = 3, 1415
2. Pertumbuhan
Pertumbuhan diukur dengan menggunakan metode Von Bartalanffy
(1934 dalam Effendie, 1997). sebagai berikut :
Lt = L∞(1 – e –K ( t - to))
Keterangan :
Lt = Panjang mantel Cumi-cumi pada umur t (cm)
L∞ = Panjang mantel asimtot Cumi-cumi (cm)
K = Koefisien laju pertumbuhan (per tahun)
12
to = Umur teoritis Cumi-cumi pada saat panjang sama dengan nol
(tahun)
t = Umur (tahun)
Untuk menentukan panjang mantel asimptot cumi-cumi (L∞) dan
koefisien laju pertumbuhan (K) digunakan metode Ford dan Walfort dalam
Sparre dkk (1999). yaitu dengan memplotkan L(t + ∆t) dan L ( t ) dengan
persamaan berikut :
L(t + ∆t) = a + b.(t)
sehingga diperoleh
L∞= a1−b
K=−1∆ t
ln b
Selanjutnya untuk menentukan to digunakan rumus Pauly ( 1980). yaitu :
Log (-to) = -0,3922 – 0,2752(Log L∞) – 1,038 (Log K)
Keterangan
L∞ = Panjang mantel asimptot
K = Koefisien laju pertumbuhan (per tahun)
to = Umur teoritis cumi-cumi pada saat panjang sama dengan nol
3. Mortalitas
a. Mortalitas Alami (M)
Mortalitas alami dihitung dengan menggunakan metode empiris Pauly
(1983). sebagai berikut :
M = 0.8 * exp ( - 0.152 – 0.279 ln L∞ + 0.6543 ln K + 0.4634 ln T )
dimana :
13
M = Laju mortalitas alami (tahun)
L∞ = Panjang asimptot cumi-cumi (cm)
K = Koefisien laju pertumbuhan (per tahun)
T = Suhu rata – rata permukaan perairan (°C)
b. Mortalitas Total (Z)
Pendugaan mortalitas total (Z), mengunakan metode Beverton dan
Holt dalam (Sparre et.al.1989) yaitu :
Z=K L∞−LL−L '
dimana :
K = Koefisien laju pertumbuhan (per tahun)
L∞ = Panjang asimptot cumi-cumi (cm)
L = Panjang rata – rata cumi-cumi yang tertangkap (cm)
L’ = Batas terkecil ukuran kelas panjang cumi-cumi yang telah
tertangkap penuh (cm)
c. Mortalitas Penangkapan (F) dengan Laju Eksploitasi (E)
Dari hasil pendugaan nilai Z dan M, maka mortalitas penangkapan
(F) di peroleh dari persamaan
Z = F + M atau F = Z - M
Sedangkan Laju Eksploitasi (E), dihitung dengan rumus Beverton
dan Holt Sparre dkk, (1989), yaitu :
E=FZ
Dimana :
F = Mortalitas penangkapan
Z = Mortalitas total
14
M = Mortalitas alami
E = Laju eksploitasi
4. Yield Per Recruitmen (Y/R)
Yield per rekruitment (Y/R), diketahui dari persamaan Beverton dan
Holt Sparre dkk, (1999), yaitu :
(Y /R )=E .U m1− 3U1+m
+ 3U2
1+2m− U 3
1+3m
Dimana :
U=1− LL∞
Keterangan :
E = Laju eksploitasi
L = Ukuran dari kelas terkecil dari cumi-cumi yang tertangkap (cm)
M = Laju mortalitas alami (per tahun)
K = Koefisien laju pertumbuhan (per tahun)
L∞ = Panjang asimptot Cumi-cumi (cm)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
15
A. Alat Tangkap Yang Digunakan Untuk Mengambil Sampel
1. Purse Seine
Purse seine merupakan salah satu alat tangkap ikan yang sangat efektif
dan paling modern terutama untuk para nelayan, mulai nelayan tradisional
sampai dengan nelayan modern ( Gambar 2).
Gambar 2. Alat Tangkap Purse Seine
Purse Seine disebut juga “pukat cincin” karena alat tangkap ini
dilengkapi dengan cincin dimana “tali cincin” atau “tali kerut” di dalamnya.
Fungsi cincin dan tali kerut / tali kolor ini penting terutama pada waktu
pengoperasian jaring. Sebab dengan adanya tali kerut tersebut jaring yang
tadinya tidak berkantong akan terbentuk pada tiap akhir penangkapan.
Ikan yang menjadi tujuan penangkapan purse seine adalah ikan-ikan
pelagis yang bergerombol. Ini berarti ikan yang akan di tangkap tersebut
harus dalam bentuk bergerombol (shoaling). Berada dekat permukaan air dan
di harapkan dalam suatu densitas shoaling yang tinggi. Jika ikan belum
berkumpul dalam suatu area penangkapan atau berada dalam luar
kemampuan penangkapan jaring. Maka perlu diusahakan agar ikan dapat
16
berkumpul kesuatu area penangkapan, hal ini ditempuh dengan mengunakan
cahaya dan rumpon (Ayodhoa, 1981).
a. Bahan dan Spesifikasinya
1. Jaring Utama
Jaring utama pada purse seine terdiri dari beberapa bagian yaitu
sayap, badan dan kantong. Semua bagian jaring utama berbentuk segi
empat dengan ukuran mata jaring masin-masing bagian sayap 210D/6,
bagian badan 210 D/6 dan bagian kantong 210D/9.Bahan dari jaring ini
adalah PA multy filament. Mesh zise untuk sayap dan badan adalah 1 inchi
sedangkan kantong ¾ inchi. Mesh size untuk kantong harus lebih kecil dari
pada mesh size sayap badan .
Pelampung adalah alat yang digunakan untuk menjaga agar jaring
tetap terapung diatas permukaan air, Pelampung sebaiknya mempunyai daya
apung yang besar, sedikit menyerap air, mudah diperole dan harganya
murah.
Pelampung yang biasa digunakan terbuat dari plastik yang berbentuk
seperti bola dengan diameter 8 cm sebanyak 2500 buah dengan jarak antara
pelampuang 20 cm.
2. Tali ris
Tali ris atas terdiri dari tali pelampung dan tali penguat, dianjurkan
mengunakan bahan tali yang berat jenisnya lebih kecil dari air , dengan
diameter tali 10mm dan 7mm dan terbuat dari bahan Polyethylenen.
Sedangkan untuk tali ris bawah yang meliputi tali pemberat dan tali penguat
pada pemberat yang mengunakan bahan yang berat jenisnya lebih besar
dari air dengan diameter tali masing– masing 12 dan 10mm.
17
3. Pemberat
Pemberat yang biasa digunakan adalah terbuat dari bahan timah
yang berbentuk cincing, diameter 11cm, sebanyak 376 buah dengan jarak
antara pemberat 1 meter. Pemberat ini diikat pada tali ris dan fungsinya
untuk menenggelangkan bagian bawah jaring dan bergantung pada jaring.
a. Alat bantu penangkapan
1. Lampu
Fungsi dari pada lampu adalah untuk mngumpulkan kawanan ikan
kemudian dilakukan operasipenangkapan dengan menggunakan alat
tangkap purse seine, jenis lampu yang digunakan seperti lampu petromaks.
2. Rumpon
Rumpon merupakan suatu bangunan benda menyerupai
pepohonanan yang dipasang ditengah laut. Pada prinsipnya rumpon terdiri
dari empat komponen yaitu pelampung ,talipanjang, atraktor (pemikat) dan
pemberat.
Rompon umumnya dipasang pada kedalaman 30-75m ,setelah
dipasang kedudukan rompon ada yang di angkat-angkat, tetapi ada juga
bersifat tetap tergantung pemberat yang digunakan.
Hubungan alat tangkap purse seine dengan dinamika populasi dapat
dilihat pada ukuran mata jaring yang digunakan untuk menangkap cumi-
cumi.Dimana ukuran mata jaring yang digunakan sangat kecil dan dapat
menangkap ukuran cumi-cumi yang belum cukup umur untuk di tangkap.
3. Bagan Perahu
18
Bagan perahu (Boat Lift Nets) adalah salah satu jenis alat tangkap yang
termasuk dalam klasifikasi jaring angkat (Lift net) dari jenis bagan yang
digunakan nelayan untuk menangkap ikan pelagis kecil (Subani dan
Barus,1989).
Bagan apung juga merupakan mobilitas tinggi dapat dioperasikan
ditengah laut. Ukurannya bervariasi tetapi umum yang digunakan di
Kabupaten Barru ukuran 45 m dan lebar 45 m, berbentuk segi empat bujur
sangkar dengan ukuran mata jaring 0,5 cm dan bahan terbuat dari waring.
Jaring yang dirangkai satu demi satu sehingga membentuk persegi
empat besar. Pada bagian tepi jaring terdapat tali ris yang berfungsi untuk
menguatkan tepi jaring sehingga tidak terbelit. Setiap tepi jaring dilengkapi
dengan tali yang berfungsi untuk menurunkan dan mengangkat jaring pada
saat pengoperasian, sehingga tali pada saat penarikan tidak tergulung dengan
baik maka alat peggulung tali digunakan katrol yang terdapat ditengah
kerangka bagan. Panjang tali penarik sekitar 60 meter untuk satu
bagian ,diameter 2,5 yang terbuat dari bahan polyethylene.
Untuk memperkuat bangunan bagan (kerangka bagan) biasannya
digunakan kawat baja diameter 0,5 cm. Pada bagian tengah bagan ini
terdapat rumah yang berfungsi sebagai tempat generator listrik, bahan bakar,
dan tempat istirahat. Sedangkan untuk mengumpulkan ikan dengan cahaya
lampu dari generator yang berkekuatan ribuan watt dengan voltasi 220 volt.
Lampu yang biasa digunakan adalah lampu merkuri yang terletak pada sisi
bagian kiri dan kanan kapal. Dengan jumlah bola lampu keseluruhan 60-100
buah. Agar kapal tidak terbawa arus pada saat pengoperasian maka posisi
atau lokasi penangkapan alat tangkap digunakan jangkar. Untuk menjaga
19
keseimbagan bagan diberi ajang ajang yang terdapat pada kedua sisi
bangunan (Gambar 3).
Gambar 3. Bagan perahu.
Dalam pengoperasian bagan ini dilengkapi dengan perahu motor
yang berfungsi untuk menggandeng bagan perahu untuk menuju fishing
ground, selain itu mengangkut hasil tangkapan bagan.
Metode pengoperasian alat tangkap ini dilakukan sepanjang tahun.
Jika ombak besar serta arus kencang maka pengoperasian dilakukan
didaerah yang terlindungi gelombang besar. Setting dimulai dengan
melakukan penurunan jaring dengan memutar alat penggulung tali pada sisi
depan oleh anak buah, setelah jaring diturunkan lampu mercury sebagai
penarik ikan dinyalakan, hal ini belangsung terus menerus hingga ikan
sudah banyak berberombol dipermukaan air. Pada saat akan dilakukan
pengangkatan jaring lampu mercury dipadamkan secara bergilir sehingga
lampu terakhir yang berfungsi untuk menarik ikan ke permukaan yang
menyala. Dalam keaadaan demikian jaring diangkat secara perlahan lahan
dengan memutar alat penggulung (katrol). Selanjutnya dilakukan
pengankatan ikan dengan serok di dalam jaring tersebut.
20
Bagan perahu merupakan alat tangkap yang mengunakan mesh size
mata jaring yang berukuran 0,5 cm. Dimana bagan perahu tersebut dapat
menangkap ukuran Cumi-cumi yang belum pantasnya untuk di tangkap.
Gambar Sampel Cumi-cumi yang digunakan diperairan Kabupaten
Barru Sulawesi Selatan.
Gambar 4 . Cumi-cumi (Loligo chinensis)
b. Kelompok umur
Jumlah sampel cumi cumi (Lolligo chinensis) yang diambil dilokasi
penelitian adalah 1.533 ekor dengan ukuran panjang mantel 3 – 16 cm. Dari
hasil sampel yang didapatdiperoleh 3 kelompok umur yaitu kelompok umur
pertama 3 – 9 cm, kelompok umur kedua 9 – 13 cm, dan kelompok umur yang
ketiga 13 – 16 cm. Untuk frekuensi sampel terbesar ditemukan pada kisaran 6
– 7cm dengan jumlah sampel 247 ekor, sedangkan untuk frekuensi sampel
terkecil berada pada kisaran 15 – 16 cm dengan jumlah sampel 8 ekor.
Dari hasil analisis Bhattacharya ( Sparee dkk, 1999 ) dengan
mengunakan hasil pemetaan selisi logaritma natural frekuensi teoritis
terhadap nilai tengah terdapat 3 kelompok umur relatif dengan panjang rata–
rata masing-masing 6,60 cm, 10,38 cm dan 13,43. Histogram frekuensi hasil
21
penelitian dengan frekuensi terhitung Fc dari ketiga kelompok umur dapat di
lihat pada Gambar 5. berikut.
3,5
4,5
5,5
6,5
7,5
8,5
9,5
10,5
11,5
12,5
13,5
14,5
15,5
0255075
100125150175200225250275300
ffc
Tengah Kelas (cm)
Frek
uens
i (ek
or)
Gambar 5. Histogram Frekuensi hasil Tangkapan Dan Frekuensi Terhitung Cumi-cumi (Loligo chinensis) DiPerairan Kabupaten Barru .
Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa pada umumnya Cumi-cumi
yang tertangkap diperairan Kabupaten Barruumumya berukuran kecil sampai
sedang, sedangkan Cumi–cumi berukuran yang sangat besar sangat kurang
tertangkap.
Hasil penelitian yang dilakukan di perairan Polowali Mandar dengan
mengambil sampel sampel cumi-cumi (Loligo sp) sebanyak 1.099 ekor
dengan diperoleh kisaran panjang 8 – 27,2 cm. Penelitian yang dilakukan
oleh Sriwana (2007), dengan jumlah sampel 1.533 ekor dengan kisaran
ukuran antara 3 – 16 cm dan jika dibandingkan dengan penelitian yang telah
dilakukan di perairan Kabupaten Barru, diperoleh hasil yang berbeda baik
dari ukuran terkecil hingga ukuran terbesar. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh
faktor musim dan lingkungan yang ikut mempengaruhi penangkapan Cumi-
cumi yang berukuran paling kecil, tidak diperoleh pula ukuran Cumi-cumi
22
yang paling besar, karena diduga Cumi-cumi tersebut sudah tertangkap
jaring sebelum mencapai ukuran tubuh tertentu.
Dari hasil pemetaan logaritma panjang total terhadap nilai tengah
seperti pada Gambar 6. dibawah diperoleh 3 panjang rata-rata dengan
ukuran panjang masing – masing 6,60 cm ,10,38 cm, 13,43 cm.
3.5 4.5 5.5 6.5 7.5 8.5 9.5 10.511.512.513.514.515.5
-2.5-2
-1.5-1
-0.50
0.51
1.52
Tengah Kelas (cm)
Δ Ln
Fc
L 1 =6.60
L 1 =10.38 L 1 =13.43
Gambar 6. Pemetaan selisi Logaritma Natulal Frekuensi Teoritis Terhadap Nilai Tengah kelas Pada Setiap Kelompok Umur Cumi-Cumi Yang tertangkap diperairan Kabupaten Barru.
Hasil Penelitian Sriwana (2007), diperoleh kisaran panjang rata-rata
ukuran masing-masing Cumi-cumi yaitu 11,79 cm pada umur 1 tahun, dan
18,60 cm untuk umur 2 tahun, dan 23,96 cm umur 3 tahun.
Dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan sekarang
berbanding jauh, karna di akibatkan belum cukup umurnya Cumi-cumi
tersebut untuk di tangkap.
c. Pertumbuhan
Hasil analisis mengunakan metode Ford–Walford (Sparee dkk,1999)
menunjukan nilai panjang asimptot (L∞) sebesar 26,2 cm, koefisien laju
pertumbuhan (K) adalah 0,21 per tahun, sedangkan nilai to di peroleh
23
dengan mengunakan rumus Pauly (1980) yaitu sebesar – 0,82 tahun. Hal ini
sesuai dengan peryataan Sparre dkk (1999). Bahwa Cumi-cumi yang
memiliki laju koefisien pertumbuhan yang tinggi akan membutuhkan waktu
yang singkat untuk mencapai panjang asimtotnya dan sebaliknya.
Pertambahan pajang Cumi-cumi (Loligo chinensis) diperairan
Kabupaten Barru semakin menurun seiring bertambahnya umur sampai
mencapai panjang asimtotnya dimana Cumi-cumi tersebut tidak akan
bertambah panjang lagi. Hal ini sesuai dengan peryataan Nikolsky (1963)
bahwa Cumi-cumi muda akan memiliki pertumbuhan yang relatif cepat
sedangkan Cumi-cumi dewasa akan semakin lambat untuk selanjutnya akan
terhenti pada saat mencapai panjang asimtotnya, dari berbagai umur yang
relatif, sehingga dapat dihitung dari penambahan panjang Cumi-cumi tiap
tahunnya mencapai panjang asimptotnya (Gambar 7).
-1 3 7 11 15 19 23 27 31 35 39 43 470
4
8
12
16
20
24
28
Lt =26.2 (1-EXP -0.2146(t+(-0.8155)) )
Umur Relatif (tahun)
Panj
ang
Tota
l (cm
)
Gambar 7. Kurva pertumbuhan cumi-cumi (Loligo chinensis) diperairan Kabupaten Barru.
Bentuk kurva seperti gambar diatas disebut kurva pertumbuhan
sfesifik yaitu Cumi-cumi pada fase awal dari hidupnya mengalami
pertumbuhan yang cepat dan diikuti pertumbuhan yang lambat pada umur
tua. Berdasarkan kurva pertumbuhan spesifik diatas menunjukkan bahwa
24
pertambahan panjang Cumi-cumi (Loligo chinensis) yang cepat terjadi pada
waktu umur muda dan semakin lambat seiring dengan bertambahnya umur
sampai mencapai panjang asimptotnya dimana Cumi-cumi tidak bertambah
panjang lagi. Kurva panjang total tubuh Cumi-cumi memperlihatkan suatu
level seragam dengan laju pertumbuhan terbesar permulaannya selanjutnya
menurun menuju panjang maksimum (L∞), kurva yang terbentuk adalah
kurva pertumbuhan spesifik (Azis, 1989). Selain itu juga pertumbuhan cepat
bagi Cumi-cumi yang berumur muda terjadi karena energi yang didapatkan
dari makanan sebagian besar digunakan untuk pertumbuhan. Pada Cumi-
cumi tua energi yang didapatkan dari makanan tidak lagi digunakan untuk
pertumbuhannya, tetapi hanya digunakan untuk mempertahankan dirinya
dan mengganti sel –sel yang rusak (Sudirman dan Mallawa, 2004). Hal
serupa juga diungkapkan oleh Nikolsky (1963) bahwa Cumi-cumi muda akan
memiliki pertumbuhan yang relatif cepat sedang Cumi-cumi dewasa akan
semakin lambat untuk mencapai panjang asimptotnya atau panjang
maksimumnya, selanjutnya akan terhenti pada saat mencapai panjang
asimptotnya hal ini disebabkan karena energi yang diperoleh dari makanan
tidak lagi digunakan untuk pertumbuhan tetapi untuk mengganti sel – sel
yang sudah rusak dan kematangan gonad.
Penelitian yang dilakukan oleh Sriwana,dkk (2007) mengenai ikan
Cumi-cumi Kecamatan Polowali Mandar dengan nilai K sebesar 0,24 per
tahun dengan nilai L∞ sebesar 43,30 cm dan nilai To sebesar – 0,61 per
tiga bulan.
Perbedaan berbagai hasil penelitian yang diperoleh diduga karena
kondisi suatu perairan yang berbeda, selain itu juga diduga karena
25
perbedaan jumlah data Cumi-cumi yang diukur beserta ukuran yang
diperoleh. Stuguent (1989) dalam Tarwiyah(2003), berpendapat bahwa
pertumbuhan panjang Cumi-cumi muda lebih cepat dari pada Cumi-cumi
yang berumur tua pada kondisi perairan yang sama. Apabila perairan
berubah kondisi maka pertumbuhan Cumi-cumi dapat dipengaruhi oleh
adanya perubahan dari ekologinya termasuk makanan, penyakit ikan dan
perubahan musim yang tidak menentu.
d. Mortalitas
Laju mortalitas total (Z) di analisi dengan menggunakan metode
Beverton dan Holt (Sparre dkk, 1999). diperoleh nilai dugaan untuk
mortalitas total (Z) untuk Cumi-cumi (Loligo chinensis) diperairan Kabupaten
Barrusebesar 0,69 per tahun, sedangkan nilai mortalitas alami (M) yang
dianalisa dengan menggunakan rumus Empiris Pauly (1980) dengan
memasukkan nilai yang telah diperoleh sebelumnya yaitu nilai K sebesar
0,21 per tahun, L∞ sebesar 26,7 cm dengan suhu perairan di Kabupaten
Barrusebesar 29°C, dengan demikian maka diperoleh nilai mortalitas alami
(M) sebesar 0,48 per tahun. Sedangkan nilai dari laju mortalitas
penangkapan (F) dengan menggunakan nilai Z dikurangi nilai M, maka
diperoleh nilai untuk dugaan mortalitas penangkapan (F) sebesar 0,21 per
tahun. Dan nilai laju eksploitasi (E) diperoleh dengan membagi nilai F
terhadap Z sehingga diperoleh nilai E sebesar 0,30 per tahun.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sriwana dkk (2007)
mengenai Cumi-cumi di perairan Kecamatan Polowali Mandar mendapatkan
nilai mortalitas alami (M) sebesar 0,19 per tahun, mortalitas penangkapan
26
sebesar 0,47 per tahun, dengan nilai eksploitasi yang terjadi di perairan
Kabupaten Polewali Mandar adalah 0,70 per tahun.
Nilai laju eksploitasi diperairan Kabupaten Barru tergolong rendah
karena berada di angka 0,30 per tahun. Dimana berdasarkan nilai laju
mortalitas total (Z) dan laju mortalitas penangkapan (F), maka laju
eksploitasi dapat diduga yaitu F/Z dimana Eopt adalah 0,12. Apabila nilai E
yang diperoleh lebih besar dari 0,95 dapat dikategorikan lebih tangkap
biologis yaitu lebih tangkap pertumbuhan terjadi bersama-sama dengan
lebih tangkap rekruitment. Lebih tangkap pertumbuhan yaitu tertangkapnya
Cumi – cumi yang berpotensi sebagai stok sumber daya perikanan sebelum
mereka mencapai ukuran yang pantas untuk ditangkap, sehingga reproduksi
Cumi-cumi muda juga berkurang (Pauly, 1980). Tabel 1 berikut menyajikan
nilai dugaan mortalitas dan laju eksploitasi cumi-cumi (Loligo chinensis)
diperairan Kabupaten Barru.
Parameter Populasi Nilai dugaan ( per tahun)
Mortalitas total (Z) 0,69
Mortalitas alami (M) 0,48
Mortalitas penangkapan (F) 0,21
Laju eksploitasi (E) 0,30
Tabel 1. : Nilai Dugaan Mortalitas dan Laju Eksploitasi Cumi-cumi (Loligochinensis)Di Perairan Kabupaten Barru.Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa nilai mortalitas
alami (M) lebih besar jika dibandingkan dengan mortalitas penangkapan (F),
hal ini menunjukkan bahwa kematian Cumi-cumi lebih disebabkan kematian
karena faktor alami seperti : predasi, penyakit, ketuaan, kondisi lingkungan,
27
stress yang berkaitan dengan ekosistem dan sebagainya (Sparre dkk,1999),
sehingga dapat mengakibatkan penurunan jumlah stok Cumi-cumi di
perairan Kabupaten Barru.
e. Yield Per Rekruitment
Pendugaan yield per rekruitment merupakan salah satu model yang
bisa digunakan sebagai dasar strategi pengelolaan perikanan. Analisa ini
diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, karena model ini
memberikan gambaran mengenai pengaruh – pengaruh jangka pendek dan
jangka panjang dari tindakan – tindakan (Gulland,1983). Nilai dugaan Y/R
dengan metode Beverton dan Holt dalam Sparre dkk(1999) dengan
memasukkan nilai koefisien laju pertumbuhan, panjang asimptot dan nilai-
nilai yang terdapat pada Tabel di atas.
Dalam penelitian ini diperoleh nilai laju eksploitasi (E) sebesar 0,30 ini
menunjukkkan bahwa diperairan Kabupaten Barru dapat dikategorikan
sebagai daerah perairan yang masih terkendali. Hasil per rekruitmen
diestimasi dengan metode Beverton dan Holt (Sparredkk,1999) sehingga
didapatkan nilai 0,064 gram per rekruitment . Ini berarti bahwa setiap
rekruitment yang terjadi terdapat 0,064 gram yang dapat diambil sebagai
hasil tangkapan (Gambar 8).
28
00.0
5 0.1 0.15 0.2 0.2
5 0.3 0.35 0.4 0.4
5 0.5 0.55
0.600
0000
0000
0001
0.650
0000
0000
0004
0.700
0000
0000
0001
0.750
0000
0000
0004 0.8
0.850
0000
0000
0001 0.9
0.950
0000
0000
0001 1
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
Y/R
EKSPLOITASI
YIEL
D PE
R RE
KRU
ITM
ENT
E skrg = 0,0644
E opt =0,1299
Gambar 8. Kurva Hubungan Yield Per Rekruitment (Y/R) Terhadap Nilai Laju Eksploitasi (E) Cumi-cumi(Loligo chinensis) Di Perairan Kabupaten Barru.
Berdasarkan gambar diatas nilai E opt yang diduga adalah 0,95
dengan Y/R sebesar 0,1299 gram/rekruitment sedangkan untuk Eskrg
adalah 0,3062 dengan nilai Y/R adalah 0,0644 gram per rekruitment. Dapat
dilihat pada gambar grafik kurva hubungan Y/R di atas untuk laju ekploitasi
perlu penambahan stok 0.65 E.
29
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan mengenai
dinamika populasi Cumi-cumi (Loligo chinensis) di perairan Kabupaten Barru
adalah sebagai berikut
1. Populasi Cumi-cumi (Loligo chinensis) di perairan Kabupaten Barru terdiri
dari tiga kelompok umur dengan kisaran panjang 3 cm - 16 cm.
2. Pertumbuhan Cumi-cumi (Loligo chinensis) di perairan Kabupaten Barru
dapat mencapai panjang assimptot 26,7 cm dengan laju pertumbuhan sangat
lambat
3. Kematian alami lebih tinggi dari pada kematian akibat penangkapan Cumi-
cumi (Loligo chinensis) di perairan Kabupaten Barru.
4. Laju eksploitasi Cumi-cumi (Loligo chinensis) disekitar perairan Kabupaten
Barru masih rendah yaitu sebesar 0,30 dengan Y/R sebesar 0,064 gram per
rekruitmen.
B. Saran
Adapun saran yang saya ajukan dari hasil penelitian ini sebagai bahan
masukan untuk penelitian selanjutnya adalah :
1. Untuk mendapatkan informasi yang lebih lanjut dan lengkap perlu adanya
penelitian lanjutan tentang aspek biologi Cumi-cumi (Loligo chinensis),
misalnya frekuensi pemijahan Cumi-cumi (Loligo chinensis) dalam setahun,
sehingga dalam penentuan kelompok umur dapat diketahui secara pasti
umur Cumi-cumi pada setiap kohortnya.
30
2. Untuk pemerintah setempat perlu dilakukan pengaturan kegiatan
penangkapan khususnya Cumi-cumi (Loligo chinensis) di sekitar perairan
Kabupaten Barru agar tidak terjadi penangkapan yang melebihi laju
eksploitasi yang ada sekarang .
31
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1985. Statistik Perikanan Indonesia. Direktorak Jenderal Perikanan
Azis , K. A 1989. Dinamika Populasi Ikan. Bahan pengajaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorak Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati .IPB. Bogor
Bakriel. Z. 1985. Analisis Tentang Usaha Penangkapan Cumi-cumi dengan Pancing di Pulau Barang Lompo dan Sekitarnya. Tesis Jurusan Perikanan Fakultas FIKP Universitas Hasanuddin. Makassar
Beverton R. J. H. dan S. J. Holt. 1957. OnThe Dinamics of Exploited Fish Population. Fisheries Investigasion Series 2.19 Ministry of Agriculture, Fesheries and Food. United kingdom
Effendie, M.I. 1997 Biologi Perikanan . Yayasan Pustaka Nusantara. Yokyakarta
Gulland. 1983. Manual of Methods For Fish Stock Assesment Part 1. Fish Population Analysis. Fourt Addition .FAO . Rome
Gulland. 1982. Fish Stock Assement A Manual Of Basic Methods.FAO. Rome.
Ikhsan. 1994. Beberapa Aspek Biologi, Dinamika populasi dan tingkat Eksploitasi cumi cumi ( Loligo sp) di Perairan Sekitar Pulau Barang Lompo. Skripsi Jurusan Perikanan Fakultas FIKP Univesitas Hasanuddin Makassar.
Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology Of Fisheries. Department of Ichtiologi Biologi Sil Feclty Moscow Spute University. Akademik Press. London
Pauly, D. 1980. A Section of Simple Method for the Assessment Tropical Fish Stock. FAO. Fish Tech. New York
Ricker , W.E. 1975. Computation and Interpretation of Biological Statistik of FishStock. FAO. Fish Tech . New York
Rodger, R. W. A. 1991. Fish Facts An Ikkustrated Guide To CommercialSpecies. Van Norstrand Reinhold. New York. 162-163pp
Roper, C.F.E., M.J Sweeney and C.E Neuen,1984. Chephalopods of The Word. And Annottated and lllustrated Ratalogue of Spesies of Interest to Fisheries. FAO Species Catalogue
Sarwojo. 2005. Serba – Serbi Dunia Molusca. Malang. Indonesia
Sparre P, dan S.C Venama. 1999. Pengkajian Stok ikan Tropis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Peneliti Dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
32
Tarwiyah. 2003. Pedoman Teknis Budidaya Ikan Beronang, Direktorat Bina Produksi, Direktorat. Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta, 1997
Subani dan Barus, 1988, Introduksi Ikan di Indonesia Jilid 1. Lembaga Penelitian Inonesia
Online] Profil kabupaten dan kota .html (Diakses tanggal 9 Mater 2010Online] sektor kelautan dan perikanan Barru html (Diakses tanggal 12 Mater
2010
Sriwana(2007), Pendugaan Beberapa Parameter Dinamika Populasi Cumi-cumi (Loligo sp) di Perairan Kabupaten Polowali Mandar. Skripsi Program S1 Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin Makassar.
Sudirman dan Mallawa, A.2004. Teknik Penangkapan IKan 1. Penerbit Rieka `Cipta. Jakarta.
33