repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 68659... bab 3 metode penelitian 3.1...
TRANSCRIPT
41
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional
(potong lintang) dengan pendekatan kuantitatif. Desain penelitian cross-sectional
adalah penelitian yang dilakukan pada satu waktu dan satu kali untuk mencari
hubungan antara variabel independen (faktor resiko) dengan variabel dependen
(efek). Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013. Variabel dependen dalam penelitian ini
adalah kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan. Variabel independennya adalah
karakteristik balita (usia, jenis kelamin, berat badan lahir, panjang lahir, imunisasi
dasar, riwayat infeksi, dan riwayat diare), karakteristik rumah tangga (usia ibu, tinggi
ibu, jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ayah,
pekerjaan ibu, wilayah tempat tinggal, dan kebiasaan merokok, sumber air minum,
dan fasilitas sanitasi).
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi Penelitian dilakukan di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini
dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI melakukan penelitiannya sejak bulan Mei sampai Juni 2013.
Universitas Sumatera Utara
42
3.3 Populasi dan Sampel Riskesdas
Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga biasa yang
mewakili 33 provinsi. Sampel rumah tangga dalam Riskesdas 2013 dipilih
berdasarkan listing Sensus Penduduk (SP) 2010. BPS memilih Blok Sensus (BS)
untuk Riskesdas 2013 berdasarkan sampling frame SP 2010. Daftar 12.000 BS
berikut dengan 300.000 daftar Bangunan Sensus (bangsen) yang telah dilengkapi
dengan nama-nama kepala rumah tangga saat SP 2010 dilakukan.
a. Kerangka Sampel
Kerangka sampel yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu kerangka sampel
untuk penarikan sampel tahap pertama dan kerangka sampel untuk penarikan sampel
tahap kedua.
1. Kerangka sampel pemilihan tahap pertama adalah daftar primary sampling
unit (PSU) dalam master sampel. Jumlah PSU dalam master sampel adalah
30.000 yang dipilih secara probability proportional to size (PPS) dengan
jumlah rumah tangga hasil sensus penduduk (SP) 2010. PSU adalah gabungan
dari beberapa blok sensus (BS) yang merupakan wilayah kerja tim
pencacahan SP2010. PSU juga dilengkapi informasi jumlah dan daftar nama
kepala rumah tangga, alamat, tingkat pendidikan kepala rumah tangga
berdasarkan klasifikasi wilayah urban/rural.
2. Kerangka sampel pemilihan tahap kedua adalah seluruh bangunan sensus
yang didalamnya terdapat rumah tangga biasa tidak termasuk institutional
household (panti asuhan, barak polisi/militer, penjara, dan sebagainya) hasil
Universitas Sumatera Utara
43
pencacahan lengkap SP2010 (SP2010-C1). Bangunan sensus terpilih dan
rumah tangga di dalam bangunan sensus terpilih terlebih dahulu dilakukan
pemutakhiran. Pemutakhiran dilakukan oleh enumerator Riskesdas 2013
sebelum mulai melakukan wawancara.
b. Desain Sampel
Metode sampling yang digunakan yaitu penarikan sampel dua tahap berstrata
dan merupakan sub sampel dari estimasi kabupaten/kota. Tahapan dari metode ini
diuraikan sebagai berikut:
- Tahap pertama, memilih sejumlah BS secara sistematik dari BS terpilih estimasi
kabupaten/kota sesuai alokasi domain kabupaten/kota.
- Tahap kedua, dari setiap BS terpilih dipilih sejumlah bangunan sensus (m=25)
secara sistematik berdasarkan data bangunan sensus hasil SP2010-C1.
- Tahap ketiga, dari setiap bangunan sensus terpilih terlebih dahulu dilakukan
pengecekan keberadaan di lapangan. Selanjutnya memilih 1 (satu) rumah tangga
sebagai sampel secara acak. Rumah tangga di dalam bangunan sensus terlebih
dahulu dimutakhirkan.
Untuk kepentingan menjaga mutu sampel yang dikumpulkan Riskesdas,
dilakukan validasi oleh tiga perguruan tinggi: Universitas Indonesia, Universitas
Hasanuddin, dan Universitas Airlangga. Penarikan sampel dilakukan dari sub sampel
nasional sejumlah 150 BS yang tersebar di 33 provinsi.
Universitas Sumatera Utara
44
3.4 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian yaitu seluruh anak di wilayah Blok Provinsi Sumatera
Utara. Sampel penelitian ini adalah seluruh sampel anak usia 24-59 bulan yang
digunakan dalam Riskesdas Provinsi Sumatera Utara tahun 2013, serta mempunyai
data lengkap sesuai dengan variabel penelitian. Berikut ini uraian singkat dalam
penarikan sampel pada penelian ini.
1) Sampel pada BS
Blok Sampel diambil dari rumah tangga/anggota rumah tangga di Sumatera
Utara Pemilihan BS dilakukan oleh BPS dengan cara PPS (Probability Proportional
to Size).
2) Sampel pada RT
Sampel pada rumah tangga dari 25 dari setiap blok sensus yang telah terpilih
diambil secara acak sederhana. Pada Provinsi Sumatera Utara jumlah sampel yang
dipilih untuk kesehatan masyarakat sebesar 11.675 RT. Namun yang berhasil
dikunjungi hanya 11.617 RT dengan presentase keberhasilan 99,5 persen.
3) Sampel pada ART
Anggotaa rumah tangga yang terdata di Provinsi Sumatera Utara adalah
sebesar 75.547 ART responden. Namun ART yang berhasil diwawancarai sebesar
72.935 ART responden dengan presentase keberhasilan 96,5 persen.
Universitas Sumatera Utara
45
Gambaran sampel dalam penelitian dapat dilihat pada bagan berikut ini.
Gambar 3.1 Alur Penarikan Sampel Penelitian
3.5 Metode Pengumpulan Data
Data sekunder diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI melalui pengajuan proposal penelitian. Data tersebut
berbentuk data mentah hasil survei Riskesdas 2013 untuk wilayah provinsi Sumatera
Utara, meliputi data pengenalan tempat, keterangan rumah tangga, keterangan
Provinsi Sumatera Utara
Blok Sensus (BS)
- Dikunjungi : 756BS
- Respon rate : 100%
RumahTangga (RT)
- Sampel : 11.675 RT
- RT yang dikunjungi :11.617 RT (99,5%)
AnggotaRumahTangga (ART)
- Sampel : 75.547 ART
- ART yang didata: 72.935 ART (96,5%)
Indonesia
Universitas Sumatera Utara
46
anggota rumah tangga. Selanjutnya, agar dapat dianalisis, data mentah yang diperoleh
diolah dengan program komputer melaui tahapan-tahapan berikut :
1. Editing
Yaitu memastikan bahwa seluruh pertanyaan di dalam kuisioner dijawab oleh
responden. Hal ini dilakukan agar semua data yang dibutuhkan oleh peniliti dapat
diperoleh dengan lengkap.
2. Coding
Setiap jawaban diberi kode berbentuk huruf/alphabet kemudian diterjemahkan ke
dalam bentuk angka untuk mempermudah proses pengolahan data.
3. Cleaning
Data yang telah dimasukkan selanjutnya diperiksa untuk memastikan apakah ada
data yang salah ataupun tidak. Setelah itu, data yang salah tersebut kemudian
dibersihkan.
4. Processing
Adalah pemasukan data hasil kuisioner ke dalam komputer menggunakan
software komputer untuk selanjutnya diproses.
3.6 Variabel dan Definisi Operasional
3.6.1 Variabel
1. Variabel terikat (dependent variabel) yaitu stunting (pendek) pada anak
usia 24-59 bulan.
2. Variabel bebas (independent variable) yaitu dependen meliputi usia balita,
Universitas Sumatera Utara
47
berat badan lahir, panjang badan lahir, riwayat imunisasi dasar, riwayat
terkena diare, riwayat ISPA, tinggi badan ibu, usia ibu, jumlah anggota
keluarga, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat
tinggal, kebiasaan merokok, sumber air minum dan fasilitas sanitasi.
3.6.2 Definisi Operasional
1. Stunting (Pendek) pada anak usia 24-59 bulan adalah suatu indikator keadaan
gizi anak umur 24-59 bulan yang ditentukan secara antropometri berdasarkan
indeks TB/U atau PB/U (untuk anak usia 12-23 bulan) dengan menggunakan
klasifikasi WHO-NCHS.
2. Usia balita adalah usia atau lama waktu hidup responden dihitung dalam bulan
sejak lahir sampai ulang bulan terakhir.
3. Jenis Kelamin adalah identitas yang dibedakan secara fisik berdasarkan organ
genitalis eksternal.
4. Berat badan lahir (BBL) adalah bobot badan bayi pada saat dilahirkan dalam
gram yang tercatat dalam KMS.
5. Panjang lahir adalah panjang badan bayi pada saat dilahirkan dalam
sentimeter yang tercatat dalam KMS.
6. Riwayat imunisasi adalah lengkap tidaknya anak mendapatkan imunisasi yang
dijadwalkan sesuai dengan usianya.
7. Riwayat Diare adalah adanya riwayat terkena diare dalam dua minggu
terakhir.
8. Riwayat ISPA adalah adanya riwayat penyakit infeksi saluran pernafasan atas
Universitas Sumatera Utara
48
(batuk, pilek, dan demam) dalam dua minggu terakhir.
9. Tinggi badan Ibu adalah jarak vertikal dari lantai sampai bagian atas kepala,
diukur saat Ibu dalam posisi berdiri tegak lurus ke depan.
10. Usia ibu adalah usia atau lama waktu hidup ibu / responden dihitung dalam
bulan sejak lahir sampai ulang bulan terakhir.
11. Pendidikan ibu adalah tingkat pendidikan formal tertinggi yang pernah dicapai
ibu balita.
12. Pekerjaan ayah adalah jenis aktifitas (profesi) yang ditekuni oleh ayah
responden dan bersifat menetap yang memperoleh hasil baik berupa
pendapatan maupun non-materi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
13. Pekerjaan ibu adalah jenis aktifitas (profesi) yang ditekuni oleh ibu balita
responden dan bersifat menetap yang memperoleh hasil baik berupa
pendapatan maupun non-materi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
14. Wilayah tempat tinggal adalah klasifikasi tempat tinggal responden tinggal di
perkotaan atau pedesaan.
15. Sumber air minum adalah sumber air minum dengan mempertimbangkan
sumbernya dan jarak sumber pencemaran sertamemperhitungkan sumber air
minum kemasan atau dari depot.
16. Fasilitas sanitasi adalah fasilitas sanitasi meliputi penggunaan fasilitas buang
air besar (BAB), jenis tempat BAB, dan tempat pembuangan akhir tinja.
17. Kebiasaan merokok adalah perilaku merokok yang dilakukan oleh anggota
rumah tangga.
Universitas Sumatera Utara
49
3.7 Metode Pengukuran Data
Data yang diperoleh pada penelitian ini berdasarkan data yang dikumpulkan
pada kuesioner Riskesdas 2013. Metode pengukuran data dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Metode pengukuran data
Variabel Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
Stunting
(Pendek)
pada anak
usia 24-59
bulan
Kuesioner :
RKD 13.IND
Blok X
kolom K02
Dihitung
dengan
software
WHO
Anthro 2005
0 = Normal
( >-2 SD HAZ)
1 = stunting gabungan
stunting dan severe
stunting
(<-2 SD HAZ)
Ordinal
Usia Balita Kuesioner :
RKD 13.RT
Blok IV
kolom 7
Observasi
data riskesdas
2013
0 = 24-36 bulan
1 = 27-59 bulan
Ordinal
Jenis kelamin Kuesioner :
RKD 13 RT
Blok IV
kolom 7
Observasi
data
Riskesdas
2013
0 = perempuan
1 = laki – laki
Nominal
Berat Badan
Lahir (BBL)
Kuesioner :
RKD 13 IND
Blok XI
kolom Ja02
Berdasarkan
data pada
kuesioner,
Data
diperoleh
dengan cara
wawancara
dan melihat
KMS
0 = BBL >3000 gr
1 = BBL <3000 gr
Ordinal
Panjang
Lahir
Kuesioner :
RKD 13 IND
Blok XI
kolom Ja04
Observasi
data
Riskesdas
2013
0 = Panjang badan
Normal ≥48 cm
1 = Panjang Badan
Pendek <48 cm
Ordinal
Universitas Sumatera Utara
50
Tabel 3.1 (lanjutan)
Variabel Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
Riwayat
Imunisasi
Kuesioner :
RKD 13 IND
Blok XI
kolom Ja14
Observasi
data
Riskesdas
2013
0 = Pernah mendapatkan
imunisasi
1 = Tidak pernah di
imunisasi
Ordinal
Riwayat
Diare
Kuesioner :
RKD 13 IND
Blok XI
kolom A03
Observasi
data
Riskesdas
2013
0 = Tidak ada riwayat
terkena diare
1 = Ada riwayat terkena
diare
Ordinal
Riwayat
ISPA
Kuesioner :
RKD 13 IND
Blok XI
kolom A01
Observasi
data
Riskesdas
2013
0 = Tidak ada riwayat
ISPA
1 = Ada riwayat ISPA
Ordinal
Tinggi badan
Ibu
Kuesioner :
RKD 13 IND
Blok XI
kolom K02b
Observasi
data
Riskesdas
2013
0 = Normal (≥155cm)
1 = Pendek (<155 cm)
Ordinal
Usia Ibu Kuesioner :
RKD 13.RT
Blok IV
kolom 7
Observasi
data
Riskesdas
2013
0 = 24-35tahun
1 = <24 tahun dan > 35
tahun
Ordinal
Jumlah
Anggota
Keluarga
Kuesioner :
RKD 13.RT
Blok IV
kolom 4
Observasi
data
Riskesdas
2013
0 = Kecil, jika ≤4 orang
1 = Besar, jika >4 orang
Ordinal
Pendidikan
Ibu
Kuesioner :
RKD 13.RT
Blok IV
kolom 7
Observasi
data
Riskesdas
2013
0 = Tinggi (tamat SMP
ke atas)
1= Rendah (tidak
sekolah, tamat SD)
Ordinal
Pekerjaan
Ayah
Kuesioner :
RKD 13.RT
Blok IV
kolom 9
Observasi
data
Riskesdas
2013
0 = Penghasilan tetap,
terdiri dari :
- POLRI/TNI
- PNS/Pegawai
1 = Penghasilan tidak
tetap, terdiri dari :
Ordinal
Universitas Sumatera Utara
51
Tabel 3.1 (lanjutan)
Variabel Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
- Tidak bekerja,
- sekolah,
wiraswasta, buruh, dan
lainnya
Pekerjaan
Ibu
Kuesioner :
RKD 13.RT
Blok IV
kolom 9
Observasi
data
Riskesdas
2013
0 = Penghasilan tetap,
terdiri dari :
- POLRI/TNI
- PNS/Pegawai
1 = Penghasilan tidak
tetap, terdiri dari :
- Tidak bekerja,
- sekolah,
- wiraswasta,
- buruh, dan lainnya
Ordinal
Wilayah
Tempat
Tinggal
Kuesioner :
RKD 13.RT
Blok I kolom
5
Observasi
data
Riskesdas
2013
0 = perkotaan
1 = perdesaan
Ordinal
Kebiasaan
Merokok
Kuesioner :
RKD 13 IND
Blok XI
kolom A03
Observasi
data
Riskesdas
2013
0 = Tidak pernah sama
sekali
1 = Ya, terdiri dari
- setiap hari
- kadang – kadang
- Tidak (tapi
sebelumnya
merokok setiap hari
dan kadang –
kadang)
Ordinal
Sumber Air
Minum
Kuesioner :
RKD 13.RT
Blok VIII
kolom 2
Observasi
data
Riskesdas
2013
0 = Sumber Air minum
terlindung yang terdiri
dari :
- sumber air minum
berasal dari pipaan,
- sumur pompa,
- sumur gali terlindung
- mata air terlindung
Ordinal
Universitas Sumatera Utara
52
Tabel 3.1 (lanjutan)
Variabel Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
dari jarak ke sumber
pencermaran lebih dari
10 meter dan
penampungan air hujan
dengan
memperhitungkan
sumber air minum
kemasan dan dari depot
air minum.
1 = Sumber Air minum
tidak terlindung (sumber
air minum yang bukan
berasal dari salah satu
sumber air minum
terlindung)
Fasilitas
Sanitasi
Kuesioner :
RKD 13.RT
Blok IX
kolom 8
Observasi
data
Riskesdas
2013
0 = Fasilitas Sanitasi
yang baik (rumah tangga
yang menggunakan
fasilitas BAB milik
sendiri, jenis tempat
BAB jenis leher angsa
atau plengsengan dan
jenis tempat pembuangan
akhir tinja tangki septik)
1= Fasilitas sanitasi tidak
baik / unimproved terdiri
dari :
- rumah tangga yang
menggunakan fasilitas
Buang Air Besar /
BAB milik bersama,
- fasilitas umum
- BAB sembarangan,
- sarana jamban
cemplung,
- pembuangan akhir
tinja tidak di tangki.
Ordinal
Universitas Sumatera Utara
53
3.8 Metode Analisis Data
3.8.1 Analisis Data Univariat
Analisis data univariat dimaksudkan untuk melihat gamabaran deskriptif baik
pada variabel independen maupun dependen. Variabel dependen dalam penelitian ini
adalah kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan. Sedangkan variabel independen
dalam penelitian ini adalah usia balita, berat badan lahir, panjang badan lahir, riwayat
imunisasi dasar, riwayat terkena diare, riwayat ISPA, tinggi badan ibu, usia ibu,
jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah
tempat tinggal, kebiasaan merokok, sumber air minum dan fasilitas sanitasi.
3.8.2 Analisis Data Bivariat
Analisis data bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua
variabel, yaitu variabel independen meliputi usia balita, berat badan lahir, panjang
badan lahir, riwayat imunisasi dasar, riwayat terkena diare, riwayat ISPA, tinggi
badan ibu, usia ibu, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu, pekerjaan ibu,
pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal, kebiasaan merokok, sumber air minum dan
fasilitas sanitasi, dengan variabel dependen kejadian stunting pada balita usia 24-59
bulan.
Peneliti menggunakan uji statistik Chi Square (𝝌2) dengan derajat
kepercayaan 95 persen untuk membuktikan adanya hubungan diantara dua variabel
tersebut. Apabila dari hasil analisis data bivariat diperoleh nilai p<0,05 maka hal
tersebut menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh memiliki hubungan yang
Universitas Sumatera Utara
54
bermakna. Sedangkan jika nilai p>0,05 menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh
tidak memiliki hubungan yang bermakna.
Pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan menentukan derajat
kepercayaan atau Confidence Interfal (CI) untuk penelitian cross-sectional
menggunakan interpretasi Rasio Prevalens (RP) sebagai berikut : RP = 1, artinya
tidak ada hubungan antar faktor resiko dengan penyakit; RP>1, artinya terdapat
hubungan positif antara faktor resiko dengan penyakit; RP<1, artinya terdapat
hubungan negatif antara faktor resiko dengan penyakit.
3.8.3 Analisis Multivariat
Hasil analisis bivariat dilanjutkan ke analisis multivariat apabila diantara
faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting cukup berbeda bermakna.
Analisis multivariat dilakukan guna mengetahui faktor yang paling dominan terhadap
kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan. Uji yang digunakan pada penelitian ini
adalah Regresi Logistik dengan metode Enter.
Universitas Sumatera Utara
55
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Provinsi Sumatera Utara berada di bagian barat Indonesia, terletak pada 1˚- 4˚
Lintang Utara dan 98˚ - 100˚ Bujur Timur. Sebelah utara perbatasan dengan Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sebelah timur dengan Negara Malaysia di selat
Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat, dan di
sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
Luas wilayah Provinsi Sumatera utara mencapai 71.680,68 km2 atau 3,72
persen dari luas wilayah Republik Indonesia. Provinsi Sumatera Utara tergolong ke
dalam daerah beriklim tropis, kisaran suhu antara 13,4˚ C – 33,9˚ C, mempunyai
musim kemarau (Juni s/d September) dan musim hujan (Nopember s/d Maret),
diantara kedua musim itu diselingi oleh musim pancaroba. Jumlah kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera utara pada tahun 2013 sebanyak 25 kabupaten dan 8 kota.
Provinsi Sumatera Utara merupakan Provinsi keempat yang terbesar jumlah
penduduknya di Indonesia setelah Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Berdasarkan Data dari BPS Provinsi Sumatera Utara, jumlah penduduk Sumatera
Utara tahun 2012 tercatat sebesar 13.215.401 jiwa dengan tingkat kepadatan
penduduk sebesar 184 per km2. Permasalahan kesehatan sangat dipengaruhi oleh
tingkat sosial ekonomi masyarakat. Sejak terjadinya krisis moneter jumlah penduduk
miskin meningkat secara drastis mencapai 30,77 persen tahun 1998. Walaupun angka
Universitas Sumatera Utara
56
ini sudah dapat diturunkan secara signifikan sejak tahun 1999, namun data terakhir
menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin tahun 2012 berdasarkan data Badan
Pusat Statistik mengalami kenaikan dari tahun 2013 yaitu 1.400.400 jiwa atau 9,85
persen menjadi 1.416.400 jiwa (10,53%). Persentase penduduk miskin tertinggi
berada di Kota Gunung Sitoli di Kepulauan Nias yaitu 30,94 persen, dan terendah di
Kabupaten Deli Serdang yaitu 4,71 persen.
Angka kesakitan (morbiditas) di Sumatera Utara tahun 2013 seperti diare
masih ditemukan kasus diare dengan insiden diare balita cukup tinggi yakni 6,7
persen. Namun lebih rendah dibandingkan provinsi sekitar seperti Aceh (10,2 %) dan
Sumatera Barat 7,1 persen. Prevalensi kasus ISPA pada balita juga cukup rendah
yakni 12,4 persen dibandingkan dengan angka nasional 18,5 persen.
Data terkait status gizi masyarakat, balita dengan KEP (Kurang Energi Protein
berdasarkan tinggi badan terhadap umur (TB/U) atau stunting, berat badan terhadap
umur (BB/U) atau kurus (wasting) berdasarkan hasil survei dalam 6 (enam) tahun
masih fluktuatif (Profil Kesehatan Sumatera Utara, 2012). Tahun 2013 prevalensi
stunting berdasarkan laporan riskesdas 2013 adalah 42,5 persen. Selain masalah balita
dengan gizi buruk dan kurang, fenomena obesitas balita juga sudah naik ke
permukaan. Inilah yang disebut masalah gizi ganda (double-burden malnutrition).
4.2. Analisis Univariat
Hasil dari analisis univariat adalah memberikan gambaran distribusi frekuensi
dari kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan, karakteristik balita (usia, jenis
Universitas Sumatera Utara
57
kelamin, berat lahir, panjang lahir, riwayat imunisasi, riwayat diare, riwayat ISPA),
karakteristik rumah tangga (tinggi badan ibu, jumlah anggota keluarga, pendidikan
ibu, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, wilayah tempat tinggal, dan kebiasaan merokok,
sumber air minum dan fasilitas sanitasi).
Tabel 4.1 Hasil Analisis Univariat Antara Karakteristik Balita Terhadap
Kejadian Stunting di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013
Variabel Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Status Gizi berdasarkan Tinggi Badan
menurut Umur (TB/U)
Normal
Stunting
342
231
59,7
40,3
Karakteristik Balita
Usia Balita
Usia 24-36 bulan
Usia 37-48 bulan
Usia 49-59 bulan
199
187
187
34,7
32,6
32,6
Jenis kelamin
Perempuan
Laki-laki
287
286
50,1
49,9
Berat lahir
Berat lahir <2500gram
Berat lahir 2500-2999 gram
Berat lahir ≥3000 gram
13
122
438
2,3
21,3
76,4
Panjang lahir
Panjang lahir normal ≥48 cm
Panjang lahir pendek <48 cm
84
489
14,7
85,3
Riwayat imunisasi
Pernah imunisasi
Tidak pernah imunisasi
549
24
95,8
4,2
Riwayat diare
Tidak pernah diare
Pernah diare
550
23
96,0
4,0
Riwayat ISPA
Tidak ada riwayat ISPA
Ada riwayat ISPA
472
101
82,4
17,6
Universitas Sumatera Utara
58
Pevalensi stunting pada penelitian ini sebesar 40,3 persen. Angka tersebut
menurut WHO dalam Global database on Child Growth and Malnutririon, klasifikasi
tingkat keparahan masalah malnutrisi dalam kategori stunting jika prevalensinya lebih
dari 40 persen, masuk dalam kategori sangat tinggi. Ini berarti angka tersebut
termasuk dalam masalah kesehatan masyarakat yang serius untuk segera di tangani.
Balita yang menjadi sampel pada penelitian ini berusia 24-59 bulan. Balita
pada penelitian ini lebih banyak usia 37-59 bulan yakni 65,3 persen. Jumlah balita
lebih banyak dikarenakan rentang umur sampel pada kategori tersebut lebih luas
yakni 24 bulan, sedangkan balita usia 24-36 bulan rentang usia 12 bulan. Anak usia
24-36 bulan atau lebih sering disebut batita, sedangkan usia 37-59 bulan disebut
tooddler atau usia pra-sekolah. Pembagian dikategorikan berdasarkan perkembangan
motorik kemandirian anak. Anak pada usia batita sudah dapat menggunakan sendok
untuk makan dan minum dari cup gelas. Anak sudah mulai mengerti makanan yang
disuka dan tidak suka. Anak usia pra-sekolah sudah dapat memilih makanan sendiri
dan lebih percaya diri dalam menggunakan alat makan serta pada usia ini anak sudah
mulai tepengaruh terjadap ikan media TV dan grup teman-temannya (USDA, 2015).
Jenis kelamin perempuan lebih banyak mengandung lemak dalam tubuhnya
yang berarti bahwa lebih banyak jaringan tidak aktif dalam tubuhnya meskipun berat
badan yang sama dengan anak laki-laki. Energi yang diperlukan 10 persen lebih
rendah dari laki-laki. Kebutuhan gizi anak laki-laki lebih besar dari perempuan
(Kartasapoetra & Marsetyo, 2008). Pada penelitian ini jumlahnya hampir sama baik
antara laki-laki maupun perempuan selisih satu sampel lebih banyak perempuan.
Universitas Sumatera Utara
59
Hasil penelitian ini sebagian besar bayi lahir dengan berat badan lebih dari
3000 gram yakni 76,4 persen. Prevalensi bayi dengan berat dan lahir rendah (BBLR)
yakni kurang dari 2500 gram, menurut data Riskesdas berkurang dari 11,1 persen
tahun 2010 menjadi 10,2 persen tahun 2013. Provinsi Sumatera Utara menjadi
provinsi terendah bayi lahir dengan BBLR (7,2%). Bayi berat lahir rendah
mempunyai kecenderungan ke arah peningkatan terjadinya infeksi dan mudah ter-
serang komplikasi. Masalah pada BBLR yang sering terjadi gangguan pada sistem
pernafasan, susunan saraf pusat, kardiovaskular, hematologi, gastro intestinal, ginjal,
termoregulasi. (Profil Kesehatan Indonesia,2012).
Prevalensi balita dengan panjang lahir pendek (<48 cm) sebanyak 85,3 persen.
Angka persentase panjang badan lahir balita untuk provinsi Sumatera Utara sebesar
19,6 persen hampir mendekati angka nasional (20,2%). Jika dibandingkan dengan
provinsi tetangga seperti Aceh (13,7%) dan Sumatera Barat (15,5%), persentase
provinsi Sumatera Utara lebih tinggi memiliki balita dengan panjang lahir pendek.
Lahir dengan panjang badan lahir pendek berpeluang lebih tinggi untuk tumbuh
pendek dibanding anak panjang badan lahir normal (Kusharisupeni, 2002).
Kelengkapan imunisasi dasar (BCG, DPT, Polio, Hepatitis dan Campak) di
Sumatera Utara menurut data Riskesdas 2013 masih rendah yakni sebesar 39,1
persen. Cakupan imunisasi yang tinggi bertujuan untuk menurunkan angka kejadian
penyakit, kecacatan, maupun kematian akibat penyakit-penyakit infeksi yang dapat
dicegah dengan imunisasi (vaccine-preventable disease) (Achmadi UF, 2006).
Imunisasi bertujuan untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap
Universitas Sumatera Utara
60
suatu penyakit. Penyakit yang dapat dicegah melalui imunisasi seperti tuberkulosis,
difteri, pertusis, campak, polio, tetanus, serta hepatitis B (Depkes RI, 2013).
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dinegara
berkembang seperti Indonesia, karena masih sering timbul dalam bentuk kejadian luar
biasa (KLB), dan disertai dengan kematian yang tinggi, terutama di Indonesia Bagian
Timur. Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa penyakit diare merupakan penyebab
utama kematian balita. Kasus diare pada penelitian ini hanya 4 persen. Provinsi
Sumatera Utara tidak termasuk provinsi dengan angka kejadian diare tinggi yakni
karena sama dengan angka nasional (6,7%). Angka kesakitan dikhawatirkan bukan
merefleksikan menurunnya kejadian penyakit diare pada masyarakt tetapi lebih
dikarenakan kasus yang tidak terdata (under-reporting cases) (Profil Kesehatan
Sumatera Utara, 2012).
Karakteristik penduduk dengan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) yang
tertinggi berdasarkan laporan Riskesdas 2013 terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun
(25,8%). Menurut Widoyono (2008) klasifikasi penyakit ISPA terdiri dari (a) ISPA
ringan / bukan pneumonia, (b) ISPA sedang / pneumonia, (c) ISPA berat / Pneumonia
berat. Penyebab ISPA adalah virus, bakteri, dan jamur. Prevalensi kasus ISPA di
Sumatera Utara sebesar 19,9 persen lebih rendah dari angka nasional (25%). Hasil
penelitian ini menunjukkan 82,4 persen tidak pernah mengalami ISPA. Hanya
sebagian kecil dari sampel penelitian yang pernah mengalami riwayat terkena ISPA.
Universitas Sumatera Utara
61
Tabel 4.2 Hasil Analisis Univariat Antara Karakteristik Rumah Tangga
Terhadap Kejadian Stunting di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013
Variabel Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Tinggi badan ibu
Tinggi badan ibu <145 cm
Tinggi badan 145-150 cm
Tinggi badan151-155 cm
Tinggi badan156 – 160 cm
Tinggi badan ibu ≥160 cm
47
173
152
167
34
8,2
30,2
26,5
29,1
5,9
Usia ibu
24-35 tahun
< 24 tahun dan > 35 tahun
375
198
65,4
34,6
Pendidikan ibu
Pendidikan Tinggi (tamat SMP ke atas)
Pendidikan Rendah (tidak sekolah, tamat SD)
495
78
86,4
13,6
Pekerjaan ibu
Penghasilan tetap (POLRI/TNI dan PNS/Pegawai)
Penghasilan tidak tetap (Tidak bekerja, sekolah,
wiraswasta,buruh,lainnya)
114
459
19,9
80,1
Pekerjaan ayah
Penghasilan tetap (POLRI/TNI dan PNS/Pegawai)
Penghasilan tidak tetap (Tidak bekerja, sekolah,
wiraswasta,buruh,lainnya)
81
492
14,1
85,9
Jumlah anggota keluarga
Kecil ≤ 4 orang
Besar > 4 orang
224
349
39,1
60,9
Wilayah tempat tinggal
Perkotaan
Pedesaan
213
360
37,2
62,8
Kebiasaan merokok
Tidak pernah sama sekali
Ya
114
459
19,9
80,1
Sumber air minum
Terlindungi
Tidak Terlindungi
532
41
92,8
7,2
Fasilitas sanitasi
Fasilitas Sanitasi yang baik
Fasilitas Sanitasi yang tidak baik
407
166
71
29
Universitas Sumatera Utara
62
Ibu dan anak dalam keluarga merupakan anggota keluarga yang paling rentan
mengalami masalah kesehatan, seperti kesakitan (morbiditas), gizi (malnutrisi), yang
bisa saja mengakibatkan terjadinya kecacatan (disability) atau bahkan kematian
(mortilitas). Masalah kesehatan ibu dan anak sedikit banyak turut dipengaruhi oleh
umur sangat mempengaruhi tingkat kematangan mental dan fisik seseorang (Profil
Kesehatan Ibu dan Anak, 2012).
Tinggi badan merupakan salah satu bentuk dari ekspresi genetik, dan
merupakan faktor yang diturunkan kepada anak serta berkaitan dengan kejadian
stunting. Anak dengan orang tua yang pendek, baik salah satu maupun keduanya,
lebih berisiko untuk tumbuh pendek dibanding anak dengan orang tua yang tinggi
badannya normal (Supariasa, 2002). Pada data Riskesdas disajikan prevalensi wanita
hamil berisiko tinggi yaitu wanita hamil dengan tinggi badan kurang dari 150 cm
(WHO, 2007). Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi tertinggi ada di Sumatera Barat
(39,8%), Provinsi Sumatera Utara juga termasuk provinsi dengan angka wanita hamil
berisiko tinggi diatas prevalensi angka nasional (31,3%).
Lebih dari 700 juta perempuan yang hidup saat ini menikah ketika masih
anak-anak, dimana satu dari tiga diantaranya menikah sebelum usia 15 tahun (United
Nations Children’s Fund, 2014). Perkawinan usia anak menyebabkan kehamilan dan
persalinan dini, yang berhubungan dengan angka kematian tinggi dan keaadan tidak
normal bagi ibu karena tubuh anak perempuan belum sepenuhnya matang untuk
melahirkan (Centre for Reproductive Rights, 2013). Prevalensi usia ibu yang berusia
24-35 tahun lebih banyak dibandingkan usia dibawah 24 tahun (65,4%) dan diatas 35
Universitas Sumatera Utara
63
tahun. Usia ibu muda (<24 tahun) merupakan usia ibu yang belum siap untuk me-
ngurus anak. Sementara itu, peningkatan risiko anak malnutrisi pada usia ibu tua (>35
tahun) risiko tinggi untuk melahirkan anak dengan berat lahir rendah.
Rata-rata jumlah anggota keluarga dalam suatu keluarga di Provinsi Sumatera
Utara bersadarkan dapat Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 sebesar 4,3. Artinya
rata-rata jumlah anggota keluarga dalam satu keluarga terdiri atas empat anggota
keluarga. Jumlah anggota keluarga yang besat berpengaruh terhadap dalam hal
pembatasan jumlah makanan yang dikonsumsi dalam satu keluarga dengan makanan
yang tersedia dalam rumah tangga terutama pada keluarga dengan perndapatan
rendah. Pendapatan yang tinggi pun tidak mencerminkan pengeluaran untuk makan
menjadi tinggi pula. Seperti Ernst Engel, yang dikenal dengan hukum engel
menyebutkan bahwa naiknya proporsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan
akan turun, sedangakan pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, rekreasi, barang
mewah dan tabungan semakin meningkat (Timmer, C.P., Falcon,W.P., Pearson, S.R.,
1983).
Menurut data Riskesdas 2013, balita yang lahir sangat pendek dan pendek
jumlah di pedesaan (42,1%) lebih banyak dibandingkan perkotaan (32,5%). Hasil
Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar balita tinggal di daerah pedesaan
(62,8 %). Ini menunjukkan bahwa pedesaan erat kaitannya dengan akses terhadap
pekerjaan dan juga makanan yang lebih baik di perkotaan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga memiliki
anggota keluarga perokok (80,1%). Penelitian menunjukkan bahwa belanja mingguan
Universitas Sumatera Utara
64
untuk membeli rokok menempati peringkat tertinggi (22%) bahkan lebih besar
daripada pengeluaran untuk makanan pokok yaitu beras (19%). Perilaku merokok
kepala rumah tangga miskin berhubungan secara bermakna dengan gizi buruk pada
balita (Richard D Semba, Leah M. Kalm, Saskia de Pee, Mayang Sari, dan Martin W
Bloem, 2007).
Indonesia adalah negara dengan 13 persen dari penduduk Indonesia tidak me-
miliki akses terhadap air bersih dan 51 juta penduduk melakukan praktik buang air
besar sembarangan. Indonesia merupakan negara kedua tertinggi di dunia yang
melakukan praktik buang air besar sembarangan. Rumah tangga tidak menggunakan
fasilitas sanitasi yang baik sebanyak 39 persen (UNICEF, 2013). Dari tabel 4.3 dapat
dilihat masyarakat di Provinsi Sumatera Utara sebagian besar telah memiliki sumber
air minum yang terlindungi (92,8%) dan fasilitas sanitasi yang baik (71%). Data
Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa Provinsi Sumatera Utara belum sepenuhnya
baik karena masih dibawah rerata nasional (70,1%) namun untuk fasilitas sanitasi
sudah masuk kategori baik karena diatas retata nasional (66 %). Semakin baik sumber
air minum dan fasilitas sanitasi berdampak pada menurunnya kasus-kasus penyakit
infeksi penularan melalui air (water borned disease) serta mempengaruhi peningkatan
status kesehatan.
4.3. Analisis Bivariat
Hasil analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel
dependen dan independen yang diteliti. Hasil analisis bivariat akan menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
65
hubungan kejadian stunting pada balita pada balita dengan Karakteristik Balita dapat
dilihat pada pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hubungan Karakteristik Balita Terhadap Kejadian Stunting di
Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013
Variabel Status Gizi RP p
Normal Stunting Total
n % N % n %
Karakteristik Balita
Usia Balita
Usia 37 – 59 bulan
Usia 24 – 36 bulan
235
107
62,8
53,8
139
92
37,2
46,2
374
199
100
100
1,24
0,044
Jenis kelamin
Perempuan
Laki – laki
166
176
57,8
61,5
121
110
42,2
38,5
287
286
100
100
-
0,414
Berat lahir
Normal (≥ 3000 gr)
Rendah (< 3000 gr)
258
84
58,9
62,2
180
51
41,1
37,9
438
135
100
100
-
0,557
Panjang lahir
Normal ≥48 cm
Pendek < 48 cm
55
287
65,5
58,7
29
202
34,5
41,3
84
489
100
100
-
0,293
Riwayat imunisasi
Pernah imunisasi
Tidak pernah
imunisasi
330
12
60,1
50,0
291
12
39,9
50,0
549
24
100
100
- 0,438
Riwayat Diare Tidak pernah
Pernah diare
328
14
59,6
60,9
222
9
40,4
39,1
550
23
100
100
-
1,000
Riwayat ISPA
Tidak Ada riwayat
ISPA
Ada riwayat ISPA
277
65
58,7
64,4
195
36
41,3
35,6
472
101
100
100
-
0,346
Berdasarkan tabel 4.3 diketahui hubungan antara variabel karaktertistik balita
dengan kejadian stunting. Prevalensi usia balita 24-36 bulan yang mengalami stunting
46,2 persen dari balita normal. Sedangkan pada usia balita 37-59 bulan sebanyak 37,2
persen balita mengalami stunting dari balita yang normal. Secara statistik didapatkan
Universitas Sumatera Utara
66
p<0,05 yang berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia balita
dengan kejadian stunting. Nilai RP (Rasio Prevalens) diperoleh sebesar 1,2 artinya
balita pada usia 24-36 bulan berpeluang 1,2 stunting dibandingkan dengan balita usia
37-59 bulan.
Prevalensi balita stunting dengan jenis kelamin laki – laki sebesar 38,5 persen
dari balita normal, sedangkan balita dengan jenis kelamin perempuan yang
mengalami stunting sebesar 42,2 persen dari balita normal. Secara statistik
didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
jenis kelamin balita dengan kejadian stunting.
Prevalensi balita stunting dengan berat lahir rendah sebesar 37,9 persen dari
balita normal, sedangkan balita dengan berat lahir normal yang mengalami stunting
sebesar 41,1 persen dari balita normal. Secara statistik didapatkan p≥0,05 yang berarti
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara berat lahir balita dengan
kejadian stunting.
Prevalensi panjang badan lahir balita pendek yang mengalami stunting sebesar
41,3 persen dari balita normal, sedangkan balita dengan panjang badan lahir normal
yang mengalami stunting sebesar 34,5 persen dari balita normal. Secara statistik di-
dapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
panjang badan lahir balita dengan kejadian stunting.
Prevalensi balita dengan riwayat tidak pernah imunisasi yang mengalami
stunting 50 persen dari balita normal, sedangkan balita yang pernah imunisasi namun
mengalamai stunting sebesar 39,9 persen dari balita normal. Secara statistik
Universitas Sumatera Utara
67
didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
balita dengan riwayat imunisasi dengan kejadian stunting.
Prevalensi balita dengan riwayat pernah terkena diare yang mengalami
stunting 39,1 persen dari balita normal, sedangkan balita yang tidak pernah terkena
diare namun mengalamai stunting sebesar 40,4 persen dari balita normal. Secara
statistik didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara balita dengan riwayat diare dengan kejadian stunting.
Prevalensi balita dengan riwayat pernah terkena infeksi saluran pernafasan
atas (ISPA) yang mengalami stunting 35,6 persen dari balita normal, sedangkan balita
yang tidak pernah terkena ISPA dan mengalami stunting sebesar 41,3 persen dari
balita normal. Secara statistik didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara balita dengan riwayat ISPA dengan kejadian
stunting.
Tabel 4.4 menunjukkan hasil analisis bivariat antara kejadian stunting pada
balita pada balita dengan karakteristik rumah tangga .
Tabel 4.4 Hubungan Karakteristik Rumah Tangga Terhadap Kejadian
Stunting di Sumatera Utara Tahun 2013
Variabel Status Gizi RP p
Normal Stunting Total
n % n % N %
Usia ibu
24 – 35 tahun
< 24 thn & <35 thn
225
117
60
59,1
150
81
40,0
40,9
375
198
100
100
-
0,903
Tinggi badan ibu
Tinggi( ≥ 155 cm)
Pendek (< 155 cm)
135
207
67,2
55,6
66
165
32,8
44,4
201
372
100
100
1,35
0,010
Universitas Sumatera Utara
68
Tabel 4.4 (lanjutan)
Variabel Status Gizi RP p
Normal Stunting
n % n n % n
Jumlah anggota keluarga
Kecil ≤ 4 orang
Besar > 4 orang
141
201
62,9
57,6
83
148
37,1
42,4
224
349
100
100
- 0,235
Pendidikan ibu
Pendidikan Tinggi
Pendidikan Rendah
306
36
61,8
46,2
189
42
38,2
53,8
495
78
100
100
1,41
0,013
Pekerjaan Ibu
Penghasilan tetap
Penghasilan tdk tetap
78
264
68,4
57,5
36
195
31,6
42,5
114
459
100
100
1,34
0,044
Pekerjaan Ayah
Penghasilan tetap
Penghasilan tdk tetap
56
286
69,1
58,1
25
206
30,9
41,9
81
492
100
100
-
0,080
Wilayah tempat
tinggal Perkotaan
Pedesaan
147
195
69,0
54,2
66
165
31,0
45,8
214
360
100
100
1,48
0,001
Kebiasaan merokok
Tidak pernah
Pernah merokok
65
277
57,0
60,3
49
182
43,0
39,7
114
459
100
100
- 0,588
Sumber air minum
Terlindungi
Tidak Terlindungi
317
25
59,6
61
215
16
40,4
39
532
41
100
100
- 0,992
Fasilitas sanitasi
Fasilitas baik
Fasilitas tidak baik
247
95
60,7
57,2
160
71
39,3
42,8
407
166
100
100
-
0,502
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui hubungan antara variabel karaktertistik balita
dengan kejadian stunting. Prevalensi usia ibu <24 tahun dan <35 tahun yang memiliki
balita stunting sebesar 40,9 persen dari balita normal. Sedangkan prevalensi usia ibu
24 – 25 tahun yang memiliki balita stunting sebesar 40 persen dari balita normal.
Secara statistik didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara usia ibu balita dengan kejadian stunting.
Universitas Sumatera Utara
69
Prevalensi tinggi badan ibu pendek yang memiliki balita stunting sebanyak
44,4 persen dari balita normal. Sedangkan prevalensi tinggi ibu normal yang memiliki
balita stunting sebanyak 32,8 persen. Secara statistik didapatkan p<0,05 yang berarti
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tinggi badan ibu dengan kejadian
stunting. Nilai RP (Rasio Prevalens) diperoleh sebesar 1,3 artinya ibu dengan tinggi
badan pendek berpeluang 1,3 kali lebih besar memiliki anak dengan kejadian stunting
dibandingkan dengan balita dengan ibu tinggi normal.
Prevalensi rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga yang besar
mempunyai balita stunting sebesar 42,4 persen dari balita normal. Sedangkan pada
rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga kecil mempunyai prevalensi balita
stunting sebesar 37,1 persen dari balita normal. Secara statistik didapatkan p≥0,05
yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah anggota
keluarga dalam rumah tangga dengan kejadian stunting.
Prevalensi pendidikan ibu rendah yang memiliki bayi stunting sebesar 58,2
persen dari balita normal. Sedangkan prevalensi balita dengan ibu berpendidikan
tinggi yang memiliki balita stunting sebesar 38,2 persen dari balita normal. Secara
statistik didapatkan p<0,05 yang berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting. Nilai RP (Rasio Prevalens) diperoleh
sebesar 1,4 artinya ibu dengan pendidikan rendah berpeluang 1,4 kali lebih besar
memiliki anak dengan kejadian stunting dibandingkan dengan balita yang memiliki
ibu berpendidikan tinggi.
Universitas Sumatera Utara
70
Prevalensi pekerjaan ibu yang berpenghasilan tidak tetap memiliki balita
stunting sebesar 42,5 persen dari balita normal. Sedangkan prevalensi ibu dengan
penghasilan tetap memiliki anak stunting 31,6 persen dari balita balita normal. Secara
statistik didapatkan p<0,05 yang berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara pekerjaan ibu dengan kejadian stunting. Nilai RP (Rasio Prevalens) diperoleh
sebesar 1,3 artinya ibu dengan penghasilan tidak tetap berpeluang 1,3 kali lebih besar
memiliki anak dengan kejadian stunting dibandingkan dengan balita yang memiliki
ibu yang berpenghasilan tetap.
Prevalensi pekerjaan ayah yang berpenghasilan tidak tetap memiliki balita
stunting sebesar 41,9 persen dari balita normal. Sedangkan prevalensi ayah dengan
penghasilan tetap memiliki anak stunting 30,9 persen dari balita balita normal. Secara
statistik didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara pekerjaan ayah dengan kejadian stunting
Prevalensi balita stunting dengan wilayah tempat tinggal di pedesaan sebesar
45,8 persen dari balita notmal. Sedangkan balita stunting yang tinggal di perkotaan
prevalensinya sebesar 31% dari balita normal. Secara statistik didapatkan p<0,05
yang berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara wilayah tempat tinggal
dengan kejadian stunting. Nilai RP (Rasio Prevalens) diperoleh sebesar 1,4 artinya
rumah tangga yang tinggal di pedesaan berpeluang 1,4 kali lebih besar memiliki anak
dengan kejadian stunting dibandingkan dengan rumah tangga yang tinggal di
perkotaan.
Universitas Sumatera Utara
71
Hubungan antara variabel karaktertistik higienis dan sanitasi dengan kejadian
stunting. Prevalensi rumah tangga dengan sumber air minum tidak terlindungi
memiliki anak stunting sebesar 39 persen dari balita normal. Sedangkan sumber air
minum yang terlindungi pada keluarga dengan balita stunting memiliki prevalensi
sebesar 40,4 persen. Secara statistik didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara sumber air minum dengan kejadian
stunting.
Prevalensi rumah tangga dengan fasilitas sanitasi yang tidak baik memiliki
balita stunting sebesar 42,8 persen dari balita normal. Sedangkan pada rumah tangga
dengan fasilitas sanitasi baik memiliki balita stunting sebesar 39,3 persen. Secara
statistik didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara fasilitas sanitasi dengan kejadian stunting.
4.4. Analisis Multivariat
Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui variabel independen yang
dianggap dominan dengan kejadian variabel dependen. Pada penelitian ini hasil
analisis multivariat akan menunjukkan diantara variabel independen (Karakteristik
Balita, Karakteristik Rumah Tangga, Higienis dan Sanitasi), variabel manakah yang
merupakan faktor dominan berhubungan dengan variabel dependen (kejadian
stunting).
Universitas Sumatera Utara
72
4.4.1. Pemilihan Kandidat Multivariat
Langkah awal yang dilakukan dalam analisis multivariat adalah membuat
pemodelan lengkap. Pemilihan variabel independen tersebut menggunakan seleksi
bivariat. Berdasarkan hasil seleksi bivariat, terpilih tujuh variabel independen yang
dapat masuk ke dalam model multivariat. Variabel tersebut diantaranya adalah usia
balita, tinggi badan ibu, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu, pekerjaan ibu,
pekerjaan ayah, dan wilayah tempat tinggal. Hasil seleksi bivariat dapat dilihat dalam
tabel 4.5 berikut ini.
Tabel 4.5 Pemilihan Kandidat Multivariat
Variabel p
Usia Balita 0,044
Jenis kelamin 0,414*
Berat lahir 0,557*
Panjang lahir 0,293*
Riwayat imunisasi 0,438*
Riwayat diare 1,000*
Riwayat ISPA 0,346*
Usia ibu 0,903*
Tinggi badan ibu 0,010
Jumlah anggota keluarga 0,235
Pendidikan ibu 0,013
Pekerjaan ibu 0,044
Pekerjaan ayah 0,080
Wilayah tempat tinggal 0,001
Kebiasaan merokok 0,588*
Sumber air minum 0,992*
Fasilitas sanitasi 0,502*
*nilai p >0,25 tidak dimasukkan ke permodelan multivariat
Penentuan masuknya variabel independen ke dalam model multivariat adalah
variabel dengan nilai signifikansi kurang dari 0,25. Pada tabel diatas terlihat bahwa
variabel yang tidak masuk ke dalam model multivariat adalah jenis kelamin, berat
Universitas Sumatera Utara
73
lahir, panjang lahir, riwayat imunisasi, riwayat diare, riwayat ISPA, usia ibu,
kebiasaan merokok, sumber air minum, dan fasilitas sanitasi.
4.4.2. Model Lengkap
Model awal untuk analisis multivariat dapat dilihat pada tabel 4.6.
Tabel 4.6 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Tahap Pertama
Variabel Nilai p Exp (B) 95% CI for Exp (B)
Lower Upper
Usia Balita 0,024 1,514 1,056 2,172
Tinggi Ibu 0,015 1,578 1,092 2,280
Jumlah anggota keluarga 0,753 1,060 0,738 1,523
Pendidikan Ibu 0,013 1,886 1,146 3,105
Pekerjaan Ibu 0,645 1,135 0,662 1,944
Pekerjaan Ayah 0,456 1,259 0,687 2,308
Wilayah Tempat tinggal 0,009 1,651 1,133 2,406
Setelah model awal analisis multivariat terbentuk, dilakukan pengeluaran
variabel secara bertahap dimulai dari variabel yang memiliki nilai p terbesar.
Variabel yang memiliki nilai p terbesar, yaitu jumlah anggota keluarga sebesar 0,753
akan dikeluarkan dari model. Setelah variabel jumlah anggota keluarga dikeluarkan
dari model, terlihat bahwa hasil perbandingan OR tidak ada yang lebih dari 10 persen.
Dengan demikian variabel jumlah anggota keluarga dikeluarkan dari model. Hasil
analisis multivariat tahap kedua dapat dilihat pada tabel 4.7.
Tabel 4.7 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Tahap Kedua
Variabel Nilai p Exp (B) 95% CI for Exp (B)
Lower Upper
Usia Balita 0,024 1,515 1,056 2,172
Tinggi Ibu 0,015 1,580 1,093 2,283
Pendidikan Ibu
0,011 1,901 1,158 3,122
Universitas Sumatera Utara
74
Tabel 4.7 (lanjutan)
Variabel Nilai p Exp (B) 95% CI for Exp (B)
Lower Upper
Pekerjaan Ibu 0,612 1,148 0,673 1,957
Pekerjaan Ayah 0,456 1,259 0,687 2,307
Wilayah Tempat tinggal 0,008 1,660 1,141 2,415
Hasil analisis multivariat selanjutnya diperoleh variabel dengan nilai p
terbesar adalah pekerjaan ibu yaitu 0,612. Oleh karena itu, variabel pekerjaan ibu
dikeluarkan dari model. Setelah variabel pekerjaan ibu dikeluarkan dari model,
terlihat bahwa hasil perbandingan OR tidak ada yang lebih dari 10 persen. Dengan
demikian variabel pekerjaan ibu dikeluarkan dari model. Hasil analisis multivariat
tahap selanjutnya dapat dilihat pada tabel 4.8
Tabel 4.8 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Tahap Ketiga
Variabel Nilai p Exp (B) 95% CI for Exp (B)
Lower Upper
Usia Balita 0,025 1,509 1,053 2,163
Tinggi Ibu 0,014 1,588 1,100 2,294
Pendidikan Ibu 0,009 1,928 1,177 3,168
Pekerjaan Ayah 0,253 1,360 0,803 2,304
Wilayah Tempat tinggal 0,006 1,687 1,165 2,442
Hasil analisis multivariat tahap ketiga diperoleh variabel dengan nilai p
terbesar adalah pekerjaan ayah yakni sebesar 0,253. Oleh karena itu, variabel
pekerjaan ayah dikeluarkan dari model. Setelah variabel pekerjaan ayah dikeluarkan
dari model, terlihat bahwa hasil perbandingan OR tidak ada yang lebih dari 10 persen.
Dengan demikian variabel pekerjaan ayah dikeluarkan dari model. Hasil analisis
multivariat tahap keempat dapat dilihat pada tabel 4.9.
Universitas Sumatera Utara
75
Tabel 4.9 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Tahap Keempat
Variabel Nilai p Exp (B) 95% CI for Exp (B)
Lower Upper
Usia Balita 0,031 1,484 1,037 2,123
Tinggi Ibu 0,012 1,601 1,110 2,311
Pendidikan Ibu 0,007 1,961 1,198 3,208
Wilayah Tempat tinggal 0,002 1,760 1,224 2,530
Hasil analisis terakhir diperoleh setiap variabel memiliki nilai p<0,05 yang
berarti pemodelan telah selesai. Dari hasil analisis multivariat tahap akhir menunjuk-
kan bahwa variabel yang berhubungan bermaknda dengan balita stunting adalah usia
balita, tinggi ibu, pendidikan ibu, dan wilayah tempat tinggal. Berdasarkan hasil
analisis didapatkan nilai OR dari variabel pendidikan ibu sebesar 1,9 yang berarti ibu
dengan pendidikan yang rendah mempunyai peluang 1,9 kali lebih besar memiliki
balita stunting dibandingkan dengan ibu yang memiliki pendidikan yang tinggi
setelah dikontol variabel usia balita, tinggi badan ibu, dan wilayah tempat tinggal.
Sedangkan pada variabel wilayah tempat tinggal memiliki nilai OR sebesar 1,7 yang
berarti rumah tangga yang tinggal di daerah pedesaan mempunyai peluang 1,7 kali
lebih besar memiliki balita stunting dibandingkan dengan rumah tangga yang tinggal
di daerah perkotaan. Variabel tinggi ibu memiliki nilai OR sebesar 1,6 yang berarti
ibu dengan tinggi badan pendek mempunyai peluang 1,6 kali lebih besar memiliki
balita stunting dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan normal. Variabel
usia balita memiliki nilai OR sebesar 1,4 yang berarti balita pada usia 24-36 bulan
mempunya peluang 1,4 kali lebih besar untuk menjadi balita stunting dibandingkan
dengan balita usia 37-59 bulan.
Universitas Sumatera Utara
76
BAB 5
PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Kejadian Stunting pada Balita usia 24-59 Bulan
Stunting merupakan masalah global yang masih mendapatkan perhatian
khusus. Stunting (pendek) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang
badan menurut umut (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) yang
merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Z-
score untuk kategori pendek adalah -3 SD sampai dengan <-2 SD dan sangat pendek
adalah <-3 SD (Kemenkes,2010). Penyebab dari stunting adalah tidak adekuatnya
asupan makan, penyakit infeksi, atau kombinasi keduanya dalam kurun waktu yang
cukup lama. Tingginya angka balita stunting pada suatu negara erat kaitannya dengan
keadaan perekonomian yang buruk pada negara tersebut.
Indonesia termasuk negara dengan prevalensi balita stunting tinggi. Menurun-
kan prevalensi balita pendek (stunting) merupakan salah satu fokus utama dari empat
sektor lainnya untuk mencapai Indonesia Sehat tahun 2015-2019 dengan sasaran
pendekatan keluarga.
Hasil penelitian ini ditemukan prevalensi balita usia 24-59 bulan di provinsi
Sumatera Utara yang mengalami stunting adalah 40,3 persen. Prevalensi ini lebih
tinggi jika dibandingkan dengan angka nasional Riskesdas 2013 yaitu 37,2 persen.
Hal ini menandakan bahwa hampir setengah jumlah balita di Provinsi Sumatera Utara
mengalami stunting.
Universitas Sumatera Utara
77
5.2 Hubungan Karakteristik Balita terhadap kejadian Stunting
5.2.1 Usia Balita
Usia adalah faktor internal anak yang memengaruhi kejadian stunting. Usia
anak yang sering ditemukan dengan kejadian stunting adalah usia 24 bulan keatas.
Prevalensi stunting pada balita di Indonesia masih tinggi terutama pada usia 2-3
tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia anak memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian stunting dengan nilai RP (Rasio Prevalens) sebesar 1,24
yang artinya balita usia 24-36 berpeluang 1,2 menjadi balita stunting dibandingkan
dengan balita usia 37-59 bulan . Hal ini sejalan dengan penelitian Linda Adair (1997)
kejadian stunting paling banyak terjadi pada anak usia 2-3 tahun.
Proses pertumbuhan pada usia 2-3 tahun cenderung mengalami perlambatan
sehingga peluang untuk terjadinya kejar tumbuh lebih rendah dibanding usia 0-2
tahun. Usia 2-3 tahun merupakan usia anak mengalami perkembangan yang pesat
dalam kemampuan kognitif dan motorik. Diperlukan kondisi fisik yang maksimal
untuk mendukung perkembangan agar tidak terganggu. Anak pada usia ini,
kebutuhan energi yang diperlukan lebih tinggi dan kebutuhan makanan yang lebih
bervariasi dibanding usia 0-2 tahun (Supartini, 2004).
5.2.2 Jenis Kelamin
Jenis kelamin salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada
balita. Perempuan lebih banyak mengandung lemak dalam tubuhnya yang berarti
bahwa lebih banyak jaringan tidak aktif dalam tubuhnya meskipun berat badan yang
sama dengan anak laki – laki. Energi yang diperlukan 10% lebih rendah dari laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
78
Kebutuhan gizi anak laki-laki lebih besar dari perempuan (Kartasapoetra dan
Marsetyo, 2008).
Gershwin (2004) pada tahun pertama laki laki lebih berisiko malnutrisi karena
ukuran tubuh lebih besar dan membutuhkan asupan lebih besar, jika tidak terpenuhi
dalam jangka waktu lama akan meningkatkan risiko gangguan pertumbuhan. Pada
tahun pertama kehidupan, laki-laki lebih rentan mengalami malnutrisi daripada
perempuan karena ukuran tubuh laki-laki yang besar dimana membutuhkan asupan
energi yang lebih besar pula sehingga bila asupan makan tidak terpenuhi dan kondisi
tersebut terjadi dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan gangguan per-
tumbuhan.
Hasil penelitian diperoleh data bahwa kekurangan gizi banyak terdapat pada
anak laki-laki daripada perempuan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa tidak ada
hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian stunting. Hasil penelitian ini berbeda
dengan Penelitian di Filipina (Adair dan Guilkey, 1997) pada 3000 partisipan di Cebu
melihat perkembangan bayi sejak lahir hingga berumur 24 bulan. Hasil penelitiannya
adalah bayi laki – laki cenderung mejadi stunting saat memasuki usia satu tahun, dan
bayi perempuan pada usia dua tahun. Hal ini terkait pola asuh orang tua dalam
memberikan makanan pada anak. Di Filipina, anak laki-laki cenderung diberikan
makanan kaya akan protein sedangkan perempuan lebih banyak diberikan sayuran.
Mahgoub, S.E., Nnyepi, M., & Bandeke, T. (2008) dalam penelitiannya menunjukkan
hasil bahwa kejadian wasting, stunting dan undernutrition secara signifikan lebih
umum terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan.
Universitas Sumatera Utara
79
Jenis kelamin bukan menjadi faktor risiko stunting diduga karena faktor
kecemasan atau kekhawatiran ibu serta kedekatan ibu terhadap anak perempuan.
Anak perempuan dianggap anak yang lemah sehingga mendapatkan perhatiaan ekstra
dibandingkan dengan anak laki-laki yang dianggap lebih kuat. Sehingga anak
perempuan lebih diperhatikan dibandingkan anak laki-laki.
5.2.3 Berat Badan Lahir
Menurut WHO (2003), BBLR dibagi menjadi tiga group yaitu prematuritas,
intra uterine growth restriction (IUGR) dan karena keduanya. Berat lahir yang
dikategorikan normal (≥2500 gram) dan rendah (<2500 gram) (Kemenkes RI, 2010).
Defisiensi energi kronis atau anemia selama kehamilan dapat menyebabkan ibu
melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (Keef, 2008). Tingginya angka BBLR
diperkirakan menjadi penyebab tingginya kejadian stunting di Indonesia.
Hasil penelitian mengenai faktor risiko stunting pada anak usia 12-36 bulan di
Kabupaten Pati yang menunjukkan bahwa berat badan lahir bukan merupakan faktor
risiko stunting (Anugraheni, 2012). Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
dipengaruhi oleh retardasi linear yang terjadi dalam kandungan selain karena
singkatnya usia kehamilan. Bayi tersebut mengalami growth faltering sejak usia dini
menunjukkan risiko untuk mengalami growth faltering pada periode usia berikutnya
(Kusharisupeni,2002). Namun, jika anak dengan growth faltering di dukung asupan
gizi yang adekuat maka dapat mengejar pertumbuhan seperti pada anak normal (catch
up growth) (Simondin KB, Costes R, Delaunay V, Diallo A, Simondon F, 2001).
Universitas Sumatera Utara
80
5.2.4 Panjang Badan Lahir
Panjang badan lahir yang rendah merupakan cerminan dari gagalnya proses
pertumbuhan yang berkelanjutan atau stunting, sedangkan anak-anak ini mencermin-
kan pernah kegagalan pertumbuhan atau menjadi stunted. Panjang badan diukur
setiap setiap bulannya selama enam bulan. Sedangkan saat bayi usia 6-12 bulan,
panjang badan diukur setiap dua bulan sekali. Defisit panjang badan merupakan hasil
dalam waktu yang lama, jadi penilaian status gizi pengukuran antrorpmetri panjang
badan terhadap umur saja dapat mencerminkan terjadinya malnutrisi pada bayi dalam
beberada keadaan. Kemungkinan pengaruh genetik dan ras terhadap terjadinya defisit
tinggi badan terhadap umur (Gibson, 2005).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara panjang badan lahir balita dengan kejadian stunting. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian oleh Rahayu (2011) di Tangerang yang menemukan bahwa
panjang badan lahir merupakan faktor risiko stunting yang masih dapat diatasi. Anak
dengan panjang badan lahir pendek akan tetap stunting sampai usia 6-12 bulan,
namun dapat mencapai tinggi badan normal pada usia 3-4 tahun.
Berbeda dengan penelitian di Pati yang menunjukkan hasil bahwa panjang
badan lahir merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 12 – 36 bulan,
dan penelitian di Indramayu yang menunjukkan hasil bahwa anak yang lahir dengan
panjang badan dibawah persentil 10 lebih berisiko tumbuh stunting (Anugraheni HS,
2012). Panjang badan lahir tidak menjadi faktor risiko stunting dikarenakan panjang
badan lahir menunjukkan kurangnya gizi yang diasup Ibu selama masa kehamilan,
Universitas Sumatera Utara
81
sehingga pertumbuhan janin tidak optimal yang mengakibatkan bayi yang lahir
memiliki panjang badan lahir yang rendah.
Faktor asupan dan penyakit berperan penting dalam menentukan apakah anak
yang lahir dengan panjang badan lahir rendah akan tetap stunting selama masa
hidupnya atau berhasil mencapai catch-up grow yang optimal. Anak yang lahir
dengan panjang badan lahir pendek memang lebih berisiko untuk tumbuh stunting
dibanding anak yang lahir dengan panjang badan normal, tetapi selama anak tersebut
mendapatkan asupan yang memadai dan terjaga kesehatannya, maka kondisi panjang
badan lahir yang pendek dapat dikejar dengan pertumbuhan seiring bertambahnya
usia anak.
5.2.5 Riwayat Imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar
denganpenyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan. (Depkes RI, 2005).
Kelengkapan imunisasi merupakan imunisasi yang diberikan kepada bayi seseuai
dengan anjuran pemerintah yang disesuaikan menurut kelompok umur bayi.
Riwayat imunisasi juga berpengaruh signifikan terhadap terjadinya stunting
(Picauly dan Toy, 2013). Salimar, dkk. (2009) menyatakan bahwa kelengkapan
imunisasi berpengaruh signifikan terhadap stunting. Penyebab adanya masalah
kekurangan gizi, termasuk stunting, tidak hanya disebabkan oleh asupan makanan
yang kurang, tetapi juga penyakit. Imunisasi akan memberikan kekebalan tubuh
terhadap suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh
Universitas Sumatera Utara
82
tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang.
Dengan adanya imunisasi dapat mencegah pernyakit infeksi seperti TB, polio, difteri,
pertusis, tetanus, campak, hepatitis, dan sebagainya.
Hasil penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
balita dengan riwayat imunisasi dengan kejadian stunting. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan pada batita di Puskesmas Siloam Tamako yang menunjuk-
kan bahwa tidak ada hubungan antara status imunisasi dengan kejadian stunting.
(Sedu, Nancy, & Nova, 2014). Hasil penelitian di Makassar juga menunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan antara kelengkapan imunisasi status. Tidak adanya hubungan
antara riwayat imunisasi tidak lengkap dengan balita stunting mungkin disebabkan
oleh cukupnya asupan yang adekuat sehingga dapat meningkatkan kekebalan tubuh
balita tersebut dalam melawan penyakit infeksi.
5.2.6 Riwayat ISPA
Infeksi yang sering terjadi pada balita adalah diare dan infeksi saluran
pernafasan. Infeksi pada balita tergantung kondisi lingkungan dan kebersihan tempat
tinggal di sekitar balita. Terdapat interaksi bolak balik antara status gizi dengan
penyakit infeksi. Malnutrisi dapat meningkatkan risiko infeksi, sedangkan infeksi
dapat menyebabkan malnutrisi. Apabila kondisi tersebut terjadi dalam waktu yang
cukup lama tanpa adanya penanganan, maka dapat menurunkan intake makanan dan
mengganggu absorbsi zat gizi sehingga dapar meningkatkan risiko terjadinya stunting
pada balita.
Universitas Sumatera Utara
83
Kejadian ISPA yang tinggi disebabkan karena ISPA umum terjadi dan mudah
menular, atau bisa dikarenakan penyembuhan ISPA pada anak yang tidak tuntas
(Nashikah R dan Margawati A, 2012). ISPA yang diderita oleh anak biasanya disertai
dengan kenaikan suhu tubuh, sehingga terjadi kenaikan kebutuhan zat gizi. Kondisi
tersebut apabila tidak diimbangi asupan makan yang adekuat, maka akan timbul
malnutrisi dan gagal tumbuh (Wahdah S, 2012).
Hasil penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
balita dengan riwayat ISPA dengan kejadian stunting. Hal ini berbeda dengan hasil
penelitian oleh (Anshori, 2013) yakni dengan riwayat penyakit ISPA berisiko 4 kali
lebih besar untuk terjadi stunting dibandingkan anak yang tidak memiliki riwayat
ISPA. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Kecamatan
Semarang Timur yang menunjukkan bahwa riwayat penyakit infeksi dalam hal ini
infeksi saluran pernapasan atas akut merupakan faktor risiko kejadian stunting yang
tidak bermakna (Nasikhah, 2012). ISPA bukan faktor risiko stunting mungkin
disebabkan oleh infeksi tersebut tidak terjadi dalam waktu yang lama dan tidak terjadi
berulang sehingga tidak berpengaruh terhadap kejadian stunting.
5.2.7 Riwayat Diare
Diare masih merupakan masalah global dengan derajat kesakitan dan
kematian yang tinggi di berbagai negara terutama di negara berkembang, dan sebagai
salah satu penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian anak di dunia.
Diare merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme meliputi
bakteri, virus, parasit, protozoa, dan penularannya secara fekal-oral. Setiap tahun
Universitas Sumatera Utara
84
diperkirakan 2,5 miliar kejadian diare pada anak balita. Anak-anak adalah kelompok
usia rentan terhadap diare, insiden diare tertinggi pada kelompok anak usia dibawah
dua tahun, dan menurun dengan bertambahnya usia anak. (Parashar, U.D.,
Hummelman, E.G., Bresee, J.S., Miller, M.A., & Glass,RI, 2003).
Diare dalam waktu yang lama dan berulang pada anak meningkatkan
terjadinya kejadian stunting. Studi yang dilakukan di sembilan penelitian dari lima
negara (Bangladesh, Brazil, Ghana, Guinea-Bissau dan Peru) menunjukkan bahwa 25
persen balita stunting usia 24 bulan terkena diare 5 kali bahkan lebih di 2 tahun
pertama kehidupannya (Checkley, W., Buckley, G., Gilman, R. H., Assis, A.M.,
Guerrant, R. L., Morris, S. S., & Black, R. E., 2008). Diare dihubungkan dengan
gagal tumbuh karena terjadi karena malabsorbsi zat gizi selama diare. Jika zat gizi
seperti zink dan tembaga serta air yang hilang selama diare tidak diganti, maka akan
timbul dehidrasi parah, malnutrisi, gagal tumbuh bahkan kematian (Dewey dan
Mayers, 2011).
Hasil penelitian ini menemukan bahwa diare bukanlah faktor risiko kejadian
stunting. Hal ini sama dengan hasil penelitian di Semarang (Anshori, 2013) yang
menunjukan bahwa diare tidak mempengaruhi kejadian stunting. Diare tidak menjadi
faktor risiko stunting mungkin disebabkan karena durasi diare yang singkat (1-2 hari)
sehingga tidak mempengaruhi nafsu makan dan status gizi anak. Diare dalam durasi
lama dan dengan penanganan yang tidak dapat yang akan berpengaruh terhadap status
gizi anak tersebut.
Universitas Sumatera Utara
85
5.3 Hubungan Karakteristik Rumah Tangga terhadap kejadian stunting
5.3.1 Tinggi Badan Ibu
Tinggi badan merupakan salah satu bentuk dari ekspresi genetik, dan
merupakan faktor yang diturunkan kepada anak serta berkaitan dengan kejadian
stunting. Orang tua yang pendek karena gen dalam kromosom yang membawa sifat
pendek kemungkinan besar akan menurunkan sifat pendek tersebut kepada anaknya.
Tetapi bila sifat pendek orang tua disebabkan karena masalah nutrisi maupun
patologis, maka sifat pendek tersebut tidak akan diturunkan kepada anaknya (Amigo
H, Buston P, & Radrigan ME, 1997).
Hasil penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan antara balita dengan
dengan tinggi badan ibu yang pendek dengan kejadian stunting. Sejalan dengan
penelitian di Sri Lanka yang menunjukkan bahwa tinggi badan ibu merupakan faktor
determinan yang paling besar terhadap anak dengan kejadian stunting. (Rannan-Eliya
et al, 2013).
5.3.2 Usia Ibu
Usia Ibu menjadi faktor yang signifikan memprediksi lahirnya anak stunting
di Ghana. Ibu dengan usia 35-44 tahun lebih berisiko melahirkan anak yang stunting
pada penelitian yang dilakukan pada 2379 anak di Ghana (Darteh, E. K. M., Acquah,
E., & Kumi-Kyereme, A, 2014). Hasil penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara balita dengan usia ibu dengan kejadian stunting. Berbeda
dengan pada penelitian yang dilakukan oleh Nguyen Ngoc Hien & Sin Kam (2008) di
Vietnam menungkapkan bahwa usia ibu <24 tahun dan >35 tahun memiliki risiko
Universitas Sumatera Utara
86
anak lahir dengan malnutrisi seperti underweight, stunting dan wasting. Usia ibu
muda (<24 tahun) merupakan usia ibu yang belum siap untuk mengurus anak.
Sementara itu, peningkatan risiko anak malnutrisi pada usia ibu tua (>35 tahun) risiko
tinggi untuk melahirkan anak dengan berat lahir rendah. Usia ibu bukan merupakan
faktor risiko kejadian stunting disebabkan karena bertambahnya usia tidak memiliki
korelasi meningkatnya pengetahuan tentang kesehatan.
5.3.3 Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah anggota keluarga dalam rumah tangga memiliki hubungan yang
signifikan terhadap kejadian stunting pada balita. Anak stunting berasal dari keluarga
yang jumlah anggota rumah tangga lebih banyak (Tshwane et al, 2006). Penelitian
menunjukkan bahwa besarnya jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap
sedikitnya jumlah distribusi makanan yang dikonsumsi masing-masing anggota
keluarga dalam rumah tangga. Rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga yang
besar berpeluang memiliki anak malnutrisi dibandingkan rumah tangga yang lebih
sedikit anggota keluarganya (Ajao et al, 2000).
Penelitian lain menunjukkan bahwa stunting cenderung lebih banyak terjadi
pada keluarga dengan jumlah anggota keluarga lebih dari 4 orang. Rumah tangga
yang besar menyebabkan beban ibu semakin bertambah dan berdampak pada
perhatian ibu dalam merawat anggota keluarga menjadi berkurang. Ini disebabkan
semakin banyak anggota keluarga dalam rumah tangga akan menyebabkan biaya
pengeluaran untuk makan lebih besar. Semakin besar pengeluaran untuk makanan
berpengaruh dengan semakin kecilnya pengeluaran untuk yang bukan makanan,
Universitas Sumatera Utara
87
sehingga dapat mengurangi kemampuan dalam penyediaan makanan bagi tiap-tiap
anggota keluarga dalam rumah tangga tersebut, termasuk balita (Hidayah, 2011).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi rumah tangga dengan jumlah
anggota keluarga yang besar mempunyai balita stunting sebesar 42,4 persen dari
balita normal. Sedangkan pada rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga kecil
mempunyai prevalensi balita stunting sebesar 37,1 persen dari balita normal. Secara
statistik didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara jumlah anggota keluarga dalam rumah tangga dengan kejadian
stunting. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Oktarina
(2012) yang menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga memiliki hubungan
signifikan dengan kejadian stunting.
5.3.4 Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan ibu berhubungan positif dengan status gizi anak yang
lebih baik. Pendidikan ibu akan memengaruhi pengetahuan mengenai praktik
kesehatan dan gizi anak sehingga anak berada dalam keadaan status gizi yang baik.
Penelitian yang dilakukan Hadad dan Smith (2000) pada anak dengan malnutrisi
kronis paling tinggi terjadi pada ibu yang buta huruf. Penelitian dilakukan di 63
negara berkembang selama lebih dari 25 tahun untuk mengidentifikasi determinan
malnutrisi kronis. Dari enam faktor penyebab salah satunya adalah pendidikan ibu.
Sejalan dengan itu Semba et al dalam penelitiannya menunjukkan bahwa
pendidikan ibu merupakan penentu kejadian stunting di Indonesia dan Bangladesh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu tidak tamat pendidikan tamat SD memiliki
Universitas Sumatera Utara
88
peluang 1,89 kali lebih besar memiliki anak stunting dibandingkan dengan ibu yang
pendidikan tamat SD keatas. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung lebih
baik dalam pola asuh anak serta lebih baik dalam pemilihan jenis makanan anak. Hal
ini dikarenakan ibu dengan pendidikan tinggi memiliki peluang lebih besar dalam
mengakses informasi terkait gizi dan kesehatan.
Hasil penelitian yang dilakukan di Nairobi pada 40 persen anak stunting
menunjukkan bahwa pendidikan ibu menjadi faktor yang paling kuat untuk
memprediksi status gizi anak di penduduk daerah pedesaan yang berpenghasilan
rendah. ( Abuya, Ciera & Kimani-Murage, 2012). Orang tua dengan pendidikan yang
lebih baik cenderung memiliki pengetahuan dan kemampuan mengimplementasikan
pengetahuan yang lebih baik dibanding orang tua dengan pendidikan rendah.
5.3.5 Pekerjaan Ibu
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi pekerjaan ibu yang
berpenghasilan tidak tetap memiliki balita stunting sebesar 42,5 persen dari balita
normal. Sedangkan prevalensi ibu dengan penghasilan tetap memiliki anak stunting
31,6 persen dari balita balita normal. Secara statistik didapatkan p<0,05 yang berarti
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan kejadian
stunting. Nilai RP (Rasio Prevalens)diperoleh sebesar 1,6 artinya ibu dengan
penghasilan tidak tetap berpeluang 1,6 stunting dibandingkan dengan balita yang
memiliki ibu yang berpenghasilan tetap. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
Mulyono (2000) pada bayi yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
Universitas Sumatera Utara
89
antara pekerjaan ibu dengan status gizi dimana ibu yang bekerja mempunyai anak
pendek (<-2 SD) lebih banyak di bandingkan dengan ibu yang tidak bekerja.
Ibu bekerja akan mempengaruhi pendapatan keluarga. Pendapatan yang
memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat memenuhi
semua kebutuhan primer maupun sekunder anak. Sebaliknya pada ibu yang tidak
bekerja banyaknya anak pendek disebabkan karena tingkat ekonomi yang rata-rata
berada pada tingkat ekonomi rendah, dan rendahnya pengetahuan ibu tentang gizi.
Asupan gizi yang adekuat berkaitan dengan kuantitas dan kualitas makanan yang
diberikan di dalam rumah tangga. Pemenuhan gizi yang adekuat dipengaruhi pula
oleh status ekonomi keluarga. Status ekonomi yang rendah berdampak pada
ketidakmampuan mendapatkan pangan yang cukup dan berkualitas karena rendahnya
kemampuan daya beli (Ulfani DH, Martianto D, & Baliwati YF, 2011).
5.3.6 Pekerjaan Ayah
Ayah sebagai kepala keluarga menjalankan tugasnya terkait pemenuhan
kebutuhan pangan dan non-pangan keluarga melalui pendapatan. Pekerjaan ayah
menjadi faktor penting sebagai tolak ukur kemampuan sosial dan ekonomi dalam
rumah tangga. Penghasilan dalam keluarga yang tinggi selaras dengan kemampuan
rumah tangga tersebut dalam menyediakan makanan.
Ayah yang tidak berpenghasilan tetap bukan menjadi faktor risiko stunting.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2014) yang
menunjukkan bahwa ayah yang tidak berpenghasilan tetap bukan menjadi faktor
risiko stunting. Hal ini mungkin disebabkan oleh penghasilan dalam keluarga terdiri
Universitas Sumatera Utara
90
atas ibu dan ayah. Sehingga perekonomian keluarga tidak hanya dibebankan kepada
ayah namun ibu turut membantu pendapatan keluarga.
5.3.7 Wilayah tempat tinggal
Faktor risiko lainnya terhdap kejadian stunting adalah wilayah tempat tinggal.
Riskesdas 2013 menjelaskan bahwa persentase rumah tanga di pedesaan yakni 42,1
persen lebih tinggi jumlah balita yang mengalami stunting dibandingkan dengan
perkotaan yaitu 32 persen.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara balita dengan wilayah tempat tinggal dengan kejadian stunting. Hasil
penelitian sesuai dengan penelitian yang dilakukan di daerah miskin Jawa Tengah dan
Jawa Timur oleh Bunga Ch Rosha, Hardinsyah dan Yayuk Farida Baliwati (2012)
menunjukkan bahwa anak yang tinggal di wilayah perkotaan memiliki efek protektif
atau risiko lebih rendah 32 persen terhadap stunting dibandingkan dengan anak yang
tinggal di daerah perkotaan. Ini disebabkan karena di kota akses mendapatkan
makanan dengan variasi beragam lebih mudah ditemukan baik di pasar maupun pusat
perbelanjaan. Makanan yang segar maupun bentuk produk olahan dengan kualitas
ekspor dan impor tetapi dengan harga yang cukup mahal. Sedangkan di perdesaan,
variasi serta akses memperoleh sumber makanan lebih terbatas. Selain itu, wilayah
tempat tinggal adalah tempat tinggal perkotaan lebih beragam jenis pekerjaan
sehingga orang tua lebih mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi
dibandingkan di pedesaan yang umumnya jenis pekerjaanya di bidang pertanian.
Universitas Sumatera Utara
91
5.3.8 Kebiasaan Merokok
Merokok adalah bagian dari gaya hidup sebagian besar orang. Tidak hanya
mereka dengan gaya hidup dengan pendapatan tinggi, begitu pula bagi mereka
dengan pendapatan rendah. Indonesia menduduki peringkat ketiga jumlah perokok
terbesar di dunia. Lebih dari 60 juta orang membelanjakan uang setiap hari untuk
membeli rokok (WHO Report on Global Tobacco Epidemic, 2008). Tahun 2013 rata-
rata jumlah bantang rokok yand dihisap 12,3 batang per hari. Pengeluaran untuk
rokok di rumah tangga termiskin jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran
penting seperti pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, telur, dan susu. Biaya untuk
rokok 6,5 kali lebih besar dari biaya pendidikan, dan 6,5 kali lebih besar dari biaya
kesehatan, serta 9 kali lebih banyak dari pengeluaran untuk daging (Infodatin
Kemenkes RI, 2015).
Merokok dapat menghambat kemajuan status gizi anak melalui kejadian
infeksi saluran pernafasan bawah. Anak-anak yang terekspos lingkung-an dengan
asap rokok lebih banyak mengalami infeksi saluran pernapasan bawah (Hawamdeh
A, Kasasbeh FA, & Ahmad MA, 2003). Ditemukan abnormalitas fungsi leukosit pada
anak yang orangtuanya merokok. Nikotin yang ada dalam rokok secara langsung
bereaksi dengan kondrosit (sel tulang rawan) melalui reseptor khusus nikotin
sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tulang (Kyu HH, Georgiades K,
& Boyle MH, 2009).
Hasil penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
balita dengan kebiasaan merokok dalam rumah tangga dengan kejadian stunting.
Universitas Sumatera Utara
92
Berbeda dengan hasil penelitian di Bangladesh oleh Cora M, B. , Kaisun, Saskia, D.,
Martin W, B., Gudrun, S, & Richard D, S. (2007) disebutkan bahwa orangtua yang
merokok berkaitan dengan risiko yang lebih tinggi anak mengalami stunting, hal ini
dikarenakan merokok memperburuk kondisi kurang gizi pada anak dan mengalihkan
uang yang dimiliki rumah tangga dari memenuhi makanan keluarga dan berbagai
kebutuhan lain. Pendapatan dan pengeluaran rumah tangga semakin tidak tahan
pangan suatu rumah tangga, semakin tinggi proporsi pengeluaran untuk tembakau,
atau rumah tangga rawan pangan mempunyai alokasi pengeluaran tembakau yang
paling banyak dibanding dengan kelompok rumah tangga lainnya (Saliem dan
Ariningsih, 2012). Pendapatan untuk rokok jika dibandingkan makanan bergizi akan
lebih baik, seperti halnya jika pengeluaran keluarga merokok 1 bungkus per harinya,
sebanding dengan memberi telur 1 kilogram.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Chowdhury et al (2011) juga
menyimpulkan bahwa ayah perokok merupakan faktor risiko stunting pada balita.
Ayah perokok merupakan faktor risiko stunting karena paparan terhadap asap rokok
dapat menyebabkan timbulnya penyakit saluran nafas dan terjadi dalam kurun waktu
yang lama. Pada penelitian ini disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
adanya keluarga yang perokok dengan kejadian stunting pada balita kemungkinan
disebabkan paparan anak terhadap asap rokok tidak terlalu tinggi sehingga risiko anak
terserang penyakit pernafasan akibat asap rokok kecil. Umumnya anggota keluarga
seperti ayah lebih sering merokok pada saat bekerja atau di luar rumah sehingga
semakin memperkecil frekuensi paparan anak terhadap asap rokok.
Universitas Sumatera Utara
93
5.3.9 Sumber Air
Indonesia adalah negara dengan 13 persen dari penduduk Indonesia tidak
memiliki akses terhadap air bersih (UNICEF, 2013). Sementara itu, air adalah
sumber utama kehidupan manusia terutama digunakan untuk kebutuhan minum dan
menjaga kebersihan tubuh. Air yang bersih menjadi faktor lingkungan yang
berpengaruh pada kesehatan. Dua sampai lima juta orang meninggal setiap tahun
akibat penyakit yang ditularkan melalui air. Penularan penyakit infeksi dapat terjadi
melaui air yang terkontaminasi oleh mikroorganisme seperti diare, cholera, disentri,
tifoid, dan hepatitis. Anak – anak yang bertahan hidup dengan air minum yang
terkontaminasi kemuungkinan besar akan menderita malnutrisi, stunted, dan
perkembangan otak (intelektual) yang terhambat (Clean water changed lives).
Sumber air yang aman adalah sumber air dengan mempertimbangkan
sumbernya dan jarak sumber pencemaran serta memperhitungkan sumber air minum
kemasan atau dari depot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara sumber air dengan kejadian stunting pada balita. Hal ini bertentangan dengan
penelitian yang dilakukan di Tanzania, determinan kejadian balita pendek dengan
jumlah responden 7324 anak, yakni sumber dari air minum yang tidak aman
berhubungan dengan anak stunting (ChirandeLulu, Charwe Deborah , Mbwana
Hadijah ,Victor Rose , Kimboka Sabas , Issaka AI., Baines Surinder K. , Dibley MJ.,
& Agho KE., 2015). Pada penelitian ini disimpulkan tidak ada hubungan yang
bermakna antara sumber air minum dan kejadian stunting. Hal ini disebabkan oleh
Universitas Sumatera Utara
94
hampir seluruh rumah tangga penduduk di provinsi Sumatera utara di penelitian ini
memiliki sumber air minum yang aman.
5.3.10 Fasilitas Sanitasi
Lima Puluh lima juta orang masih menggunakan fasilitas sanitasi terbuka dan
indonesia menempati urutan kedua di dunia. Dari data riskesdas 2013 ditemukan
fasilitas sanitasi yang tidak terlindungi sangat kuat korelasinya dengan kejadian
stunting. Data dari Water Sanitation Program (WSP) World Bank tahun 2008
menunjukkan bahwa masih tingginya angka kematian bayi dan balita, serta kurang
gizi sangat terkait dengan masalah kelangkaan air bersih dan sanitasi. Telah
dibuktikan bahwa cuci tangan dengan air bersih dan sabun mengurangi kejadian diare
42-47 persen. Dengan demikian program air bersih dan sanitasi tidak diragukan
sangat sensitif terhadap pengurangan risiko infeksi. Kualitas lingkungan hidup
terutama adalah ketersediaan air bersih, sarana sanitasi, perilaku hidup sehat seperti
kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok,
sirkulasi udara dalam rumah dan sebagainya (Bappenas, 2012).
Fasilitas sanitasi yang tidak aman bukan menjadi faktor risiko stunting, hal ini
tidak sesuai dengan penelitian oleh Checkley (2008) di Peru yang melakukan
penelitian kohort pada balita usia 24 bulan dengan mengukur pertumbuhan dan diare.
Penelitian Checkley membuktikan bahwa adanya pengaruh sanitasi dan air. Balita
usia 24 bulan rata – rata memiliki tinggi badan lebih pendek 2,4 cm. Balita dengan
kasus diare sekitar 16 persen mengalami defisit sebesar 0,4-2,4 cm, sedangkan 40
persen balita terjadi defisit 1-2,4 cm akibat buruknya sanitasi dan air.
Universitas Sumatera Utara
95
5.4 Faktor Dominan yang berhubungan dengan kejadian stunting
Faktor dominan yang berhubungan dengan stunting diperoleh berdasarkan
analisis multivariat. Analisis multivariat yang digunakan adalah analisis regresi
logistik karena variabel dependen bersifat kategorik. Dari proses analisis multivariat
hanya ada 4 variabel yang secara bermakna berhubungan sengan stunting pendidikan
ibu (OR = 1,9), wilayah tempat tinggal (OR = 1,7), tinggi badan ibu (OR = 1,6), dan
usia balita (OR = 1,4).
Hasil analisis keempat variabel tersebut dengan melihat nilai Odds Rasio (OR)
dari setiap variabel maka dapat disimpulkan bawa variabel yang paling dominan
berhubungan dengan stunting pada balita usia 24-59 bulan adalah variabel pendidikan
ibu nilai OR yang paling besar yaitu 1,9 artinya Ibu dengan pendidikan rendah
berpeluang 1,9 kali lebih besar memiliki anak pendek dibandingkan dengan ibu yang
berpendidikan tinggi setelah di kontrol variabel jenis kelamin, tinggi ibu dan wilayah
tempat tinggal.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian cross-sectional yang dilakukan
oleh Abuya, B.A., Onsomu, E.O., Kimani, J.K. et al., 2011) pada anak di Sub-sahara
afrika bahwa pendidikan ibu merupakan prediktor yang paling kuat pada kejadian
anak stunting. Mekanisme hubungan antara pendidikan ibu dan kesehatan anak masih
belum dipahami secara umum. Namun, Glewwe (1999) menyoroti 3 bagian yang
mengaitkan antara pendidikan dan kesehatan anak. Pertama, ibu dengan pendidikan
formal akan langsung memberikan pengetahuan kesehatan kepada anaknya yang
nantinya akan menjadi ibu juga. Kedua, keterampilan membaca dan menghitung anak
Universitas Sumatera Utara
96
perempuan yang diperoleh disekolah akan meningkatkan kemampuan mereka untuk
mengenali penyakit dan mencari pengobatan untuk anak-anak mereka. Selain itu,
mereka lebih mampu membaca petunjuk medis untuk pengobatan penyakit masa
kanak-kanak dan menerapkan pengobatan. Ketiga, peningkatan jumlah tahun di
sekolah dalam arti kenaikan jenjang pendidikan formal membuat wanita lebih mudah
menerima pengobatan modern. Untuk itu perlu adanya penekanan terhadap
pendidikan anak – anak khususnya anak perempuan yang nantinya akan menjadi ibu
agar dapat berkontribusi dalam pemutusan lingkaran kemiskinan.
Universitas Sumatera Utara
97
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang determinan kejadian
stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Sumatera Utara, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Prevalensi kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Sumatera
Utara sebesar 40,3 persen.
2. Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin, berat badan lahir, panjang
badan lahir, riwayat imunisasi, riwayat ISPA, riwayat diare, usia ibu, jumlah
anggota keluarga, pekerjaan ayah, kebiasaan merokok, sumber air dan fasilitas
sanitasi dengan kejadian stunting.
3. Determinan kejadian stunting pada balita adalah pendidikan ibu dengan nilai
OR=1,9 yang artinya ibu dengan pendidikan rendah memiliki peluang 1,9 kali
lebih besar berisiko memiliki anak dengan kejadian stunting, selanjutnya
determinan stunting berikutnya adalah wilayah tempat tinggal dengan nilai
OR=1,7 yang artinya balita yang tinggal di pedesaan 1,7 kali berisiko
memiliki anak yang stunting, tinggi badan ibu dengan nilai OR=1,6 yang
artinya ibu dengan tinggi badan pendek 1,6 kali berisiko memiliki anak yang
stunting ; dan usia balita dengan nilai OR=1,4 yang artinya yang artinya balita
usia 24 – 36 bulan 1,7 kali berisiko menjadi anak yang stunting.
Universitas Sumatera Utara
98
6.2. Saran
1. Memberikan perhatian terhadap pendidikan anak perempuan agar dapat
berkontribusi memutus lingkaran kemiskinan pada seluruh lapisan masyarakat
terutama yang tinggal di pedesaan.
2. Mengikutsertakan pengetahuan tentang kesehatan khususnya gizi di dalam
kurikulum pendidikan sekolah guna perbaikan status kesehatan masyarakat
secara langsung pada anak perempuan yang nantinya akan menjadi ibu baik
berupa peningkatan pengetahuan hingga perilaku sehat.
3. Revitalisasi Posyandu baik program maupun kader dalam rangka pemantauan
pertumbuhan balita sehingga dapat mencapai tinggi badan yang optimal.
4. Meningkatkan promosi dan edukasi kesehatan kepada ibu hamil yang
berhubungan dengan informasi pangan dan gizi serta kesehatan sehingga
dapat mencegah faktor determinan bayi stunting.
5. Penelitian selanjutnya sebaiknya dapat mengkaji lebih dalam terkait stunting
dengan menambahkan beberapa faktor yang tidak dibahas pada penelitian ini,
seperti konsumsi energi, konsumsi protein, konsumsi lemak, konsumsi
mikromineral, asi eksklusif, dan status ekonomi keluarga pada balita usia 24-
59 bulan.
Universitas Sumatera Utara