repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 53770... bab ii lintas sejarah 2.1...
TRANSCRIPT
BAB II LINTAS SEJARAH
2.1 Masuknya Islam di Sumatera Utara
Sejarah adalah napak tilas dari latar belakang budaya yang memberikan
informasi tentang bagaimana manusia pada waktu tertentu hidup di dalam situasi
alam lingkungannya serta tumbuh berkembangnya sebuah konsep dari falsafah
yang diciptakan. Dalam penelitian ini seperti apa yang telah penulis kemukakan
diawalnya bahwa kajian ini terletak pada nilai-nilai kebudayaan Melayu.
Ornamen adalah hasil cipta karya budaya dan merupakan bukti representatif dari
nilai-nilai budaya yang berwujud seni visual. Runtutan hal ihwal kesejarahan
Universitas Sumatera Utara
terhadap bagaimana ornamen diciptakan sebenarnya cukup panjang serta bahkan
memungkinkan sangat rumit. Karena sampai saat ini para pakar arkeologis belum
menyimpulkan siapa dan bagaimana proses terjadinya ornamen. Namun secara
garis besarnya media visual tersebut merupakan sebuah implementasi ruang
lingkup kehidupan yang diperuntukkan bagi masyarakat segolongan saja,
kemudian diungkapkan melalui bahasa seni visual.
Alangkah baiknya penulis memberikan kesejarahan yang dibatasi ruang
lingkupnya agar tidak jauh berkembang karena berharap permasalahan dalam
tujuan penelitian ini akan menjadi fokus. Sebagai konsentrasi penelitian ini
bertitik pada ornamen, keterkaitannya pada masjid Al-Mashun dan budaya Melayu
Deli, maka terlebih dahulu penulis memusarkan konteks sosialnya, dalam hal ini
adalah masyarakat Melayu Deli.
Bukti bahwa pengaruh Islam menjadi bagian besar terhadap budaya
Melayu merujuk pada sejarah masuknya agama Islam yang di bawa oleh bangsa-
bangsa Arab. Sebelum kedatangan Islam, agama Hindu dan Budha berkembang di
Indonesia. Sejak pertama Masehi, orang-orang Arab telah datang dan pergi ke
Indonesia, dan pada abad ke-7 M untuk pertama kalinya orang-orang Islam datang
dan memperkenalkan agama dan peradapan mereka di Indonesia. Pada abad ke-
15 M, Malaka sebagai pusat perdagangan dan kebudayaan terbesar di kepulauan
Indonesia (Nusantara).
Masuknya agama Islam ke Sumatera Utara (dulu Sumatera Timur) melalui
Aceh. Dalam catatan sejarah Kerajaan Haru merupakan Bangsa Melayu memiliki
wilayah Temiang (Aceh Timur) sampai Rokan (Riau) telah memeluk agama
Universitas Sumatera Utara
Islam. Kerajaan ini berpusat di lokasi Kerajaan Deli sekarang. Dalam sejarah
kebudayaan melayu dari Hikayat Raja-raja Pasai bahwa Raja Haru dan Panai telah
di Islamkan oleh Nahkoda Syeh Ismail dari Mekkah dibantu oleh Fakir
Muhammad dari Hindia, setelah mengislamkan Raja Samudra Pasai Merah Silu
yang berganti nama menjadi Malikus As Saleh.
Perkiraan pertengahan abad ke-13 M, Kerajaan Islam di Sumatera Timur
yang sekarang termasuk dalam wilayah Sumatera Utara berikutnya menjadi
Kerajaan Deli. Namun temuan arkeologis tidak mendukung, karena temuan
arkeologis tertua ditemukan di Sumatera Utara adalah sebuah nisan kubur di
daerah Klumpang (Hamparan Perak). Nisan tersebut berangka tahun 1590 M,
tokoh Muslim yang dimakamkan adalah Imam Shaddik Bin Abdullah, meninggal
23 syakban 998 H yaitu pada tanggal 27 juni 1590 M (Baiduri, dari sinar,
2012,16)
Tahun 1405-1407 Laksmana Cheng Ho menyebut bahwa nama Haru pada
saat itu dituliskan So-Lo-Tan Hut-Sing (Sultan Husin) yang membayar upeti ke
Tiongkok. Sedangkan tanda-tanda Haru tidak menemukan pernyataan telah
beragama Islam selain bukti benda meriam yang bertuliskan aksara Arab dan
Karo. Dalam sejarah Melayu bahwa sekurang-kurangnya 100 tahun telah
berdirinya kerajaan Haru sebelum penyerbuan Sultan Iskandar Muda dari Aceh.
Dugaan Kerajaan Haru yang telah memeluk agama Islam dalam laporan-laporan
penulis Cina “Sejarah Melayu” berada di kota Rentang.
Dalam sejarah Melayu bahwa kerajaan Haru pada abad ke-15 M
merupakan salah satu kerajaan besar di Sumatera. Pada pertengahan abad ke-16,
Universitas Sumatera Utara
bersekutu pada Riau-Johor untuk melawan Penetrasi Aceh. Meski Aceh
menaklukkan Haru tetapi tetap saja berontak terhadap dominasi Aceh. Aceh pun
tetap saja mengirim ekspedisi militer untuk menghantam Haru yang kemudian
berubah nama menjadi “Guri” dan di awal abad ke-17 M menjadi “Deli”.
2.1.1 Kesultanan Deli
Perperangan Kerajaan Haru dan Aceh terjadi, Sultan Mahmud Iskandar
Muda mengutus seorang Laksmana Paduka Gocah Pahlawan sebagai Panglima
perang dan kerajaan Haru berhasil ditaklukkan. Untuk memperluas jajaran
wilayah kekuasaan Aceh, maka ditempatkanlah Paduka Gocah Pahlawan untuk
memimpin daerah perwakilan Wali Negeri sebagai Raja Kesultanan Deli Pertama,
wilayahnya dari Tamiang hingga Rokan. Pada tahun 1669, Deli memisahkan diri
dari Kerajaan Aceh, memanfaatkan situasi Aceh yang sedang melemah ketika itu
dipimpin oleh raja perempuan, Ratu Taj Al-Alam Tsafiah Al-Din.
Berdasarkan hikayat Deli disebut Gocah Pahlawan berasal dari India
(Delhi), nama aslinya adalah Muhammad Deli Khan, dan masih keturunan raja
India yang terdampar di Pasai setelah melepas diri karena konflik dari
ayahandanya di Pagaruyung. Tokoh ini berkulit hitam karena itu beliau di gelar
dengan Lebai Hitam. Pemerintahan pertama Kesultanan berada di Delitua, maka
tidak heran banyak sebagian masyarakat menganggap nama Deli berasal dari
nama daerah di India.
Sejak ditetapkannya lokasi Kesultanan Deli, pusat pemerintahan telah
mengalami beberapa kali perpindahan. Semasa Gocah Pahlawan kesultanan deli
berada di Delitua, kemudian setelah beliau mangkat dan digantikan oleh anaknya
Universitas Sumatera Utara
Tuanku Panglima Parunggit, lokasi Pemerintahan bergeser ke Medan Deli,
berikutnya bergeser lagi ke daerah Labuhan Deli semasa Tuanku Panglima
Pasutan. Akhirnya pada tahun 1890 Sultan Ma’mun Al-Rasyid Alamsyah kembali
memindahkan Pemerintahan Kesultanan Deli kembali ke Medan (Pelly dkk, 1986,
dalam Baiduri, Ratih, 2012:17).
Semula Gocah Pahlawan terkenal karena mengalahkan 7 orang pengacau
dari bangsa Turki. Karena jasa-jasanya inilah kemudian Sultan Aceh
mengangkatnya menjadi Panglima perang. Banyak peperangan yang berhasil di
raih oleh Gocah Pahlawan, sampai peperangan terakhir dengan kerajaan Haru
maka sangat wajarlah beliau diangkat menjadi wakil Aceh memerintah di Delitua.
Sebelumnya wilayah telah terbagi 4 hukum wilayah asal yang disebut
dengan Urung. Setiap Urung dipimpin oleh datuk-datuk yang memiliki hak
otonomi setiap masing-masing wilayah. Keempat wilayah tersebut adalah Sepuluh
Dua Kota atau Hamparan Perak, Sukapiring, Petumbak, Sinembah dan Sunggal.
Urung Sunggal adalah yang paling terbesar dan terkuat, maka untuk tujuan
politiknya Sri Paduka Gocah Pahlawan mengikat tali persaudaraan dengan
menyunting adik datuk Sunggal bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti pada
tahun 1632 (Baiduri, dari sinar, 2012: 21).
Daerah dalam wilayah Imperium Kesultanan Deli yaitu, Deli dan
sekitarnya, Sunggal atau disebut Serbanyaman, Sepuluh dua kota (kemudian
menjadi Amparan Perak), Suka Piring, dan Senembah.
Universitas Sumatera Utara
SUNGGAL
MEDAN
LABUHAN DELI
DELI SEKITARNYA
SEPULU
H D
UA
KO
TA
PER
CU
T
SEN
EM
BA
H
LONGAER
SE
RB
A N
YA
MA
N
SUKA
PIR
ING GLUGUR
T. LANGKAT
Gambar 2, peta wilayah imperium kesultanan deli (sket ulang, sumber: baiduri ratih)
Kedudukan Deli semangkin menonjol, Sri Gocah Pahlawan menguasai
jalur tepi pantai yaitu antara Kuala Belawan dan Kuala Percut, dengan dukungan
Aceh maka jalur tersebut sebagai jalur yang paling potensial bagi sumber ekonomi
Deli.
Disamping itu kemajuan bidang politik juga terlihat, atas karena dukungan
para ke 4 datuk Urung. Kesepakatan antara para datuk Urung dengan Sri Gocah
Pahlawan adalah Ulon Janji. Ulon Janji merupakan pengesahan pengangkatan
baru dari setiap pergantian kesultanan dari keturunan sultan. Pelantikan sultan ini
memiliki beberapa serimonial upacara kesultanan diantaranya adalah
mengucapkan sumpah jabatan.
Setelah Sri Gocah Pahlawan meninggal dunia, kesultanan diletakkan pada
anaknya Panglima Perunggit. Ibukota kerajaan deli dipindahkan dari Percut ke
daerah padang datar atau Medan Deli. Masa-masa itu kerajaan Aceh mulai
Universitas Sumatera Utara
melemah setelah mangkatnya Sultan Iskandar Thaani, karena setelahnya
pemerintahan Aceh dipimpin oleh raja-raja perempuan. Disinilah Panglima
Perunggit memproklamirkan Deli merdeka atau terpisah dari Aceh dan
berhubungan dengan Belanda di Malaka (sinar,1991, dalam Baiduri, Ratih,
2012:23).
Setelah meninggalnya Panglima Perunggit, pemerintahan diletakkan pula
kepada anaknya Panglima Paderap, sejarah tidak banyak menuliskan perjalanan
masa pemerintahannya. Hanya menerangkan terjadinya gejolak keributan
perebutan kekuasaan diantara anak-anaknya. Akhirnya Deli harus dibagi-bagi
menjadi beberapa bagian yaitu Serdang dan Langkat.
Panglima Panderap yang menggantikan ayahandanya Panglima Perunggit
yang telah wafat. Berikutnya digantikan lagi oleh Panglima Pasutan Kembali
ibukota dipindahkan dari padang datar ke Labuhan Deli. Beliau digantikan oleh
Tuanku Panglima Gandar Wahid, dan datuk 4 suku atau datuk Urung semangkin
kokoh sebagai wakil rakyat.
Pada masa pemerintahan Sultan Amaluddin Mengedar Alam, John
Anderson mengunjungi deli ketika itu berperang melawan kerajaan Pulau Brayan,
Langkat dan Sunggal pada tahun 1823 M. Putra ketiga dari Tuanku Gandar
Wahid ini memerintah pada tahun 1804 sampai dengan 1850, pada masa
pemerintahannya hubungan dan pengaruh kerajaan Siak lebih kuat dari kerajaan
Aceh, hal ini ditandai dengan pemberian gelar Kesultanan kepada kerajaan Deli.
Kembali kekuasaan kerajaan Deli berpindah pangku setelah meninggalnya
Sultan Amaluddin Mengedar Alam digantikan oleh putranya Sultan Osman
Universitas Sumatera Utara
Perkasa Alamsyah pada tahun 1850 sampai tahun 1858 M. Aceh kembali
menaklukkan Deli pada tahun 1854 M. Beliau mendapat pengesahan dari kerajaan
Aceh, bahwa kesultanan Deli merupakan daerah yang berdiri sendiri. Untuk kedua
kalinya Deli menjadi merdeka dari Aceh atas wilayah kekuasaan Aceh, yang
ditandai denngan diberikannya pedang Bawar dan Cap Sembilan. Hal ini
bertujuan untuk mengurangi pengaruh kerajaan Siak di wilayah kesultanan Negeri
Deli. Sultan Osman diberi gelar dari Kerajaan Aceh sebagai “ Wakil Sultan
Aceh”.
Sultan Osman meninggal pada tahun 1858 M, dan digantikan Sultan
Mahmud Perkasa Alam pada tahun 1861 M sampai dengan tahun 1873 M. Beliau
mengangkat adiknya sebagai Raja Muda Sulaiman. Pada masa Sultan Mahmud
Perkasa Alamsyah inilah membuat perjanjian dengan Belanda (armada pimpinan
Residen Riau, E. Netscer) menjadikan pelabuhan Deli sebagai basis pertahanan
Belanda dalam menghadapi musuh-musuhnya (sinar 1971, dalam Baiduri, Ratih,
2012: 24).
Sultan Mahmud meninggal dunia pada tanggal 25 oktober 1873 M dan
digantikan oleh putranya yang cukup muda yaitu Sultan Ma’mun Al-Rasyid
Perkasa Alamsyah. Karena masih muda beberapa waktu untuk sementara
pamannya Raja Muda Sulaiman yang memerintah Deli.
Universitas Sumatera Utara
Gambar…..Sultan Ma’mun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah (foto koleksi Istana Maimoon)
Setelah cukup usia, Sultan Ma’mun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah
memimpin langsung Pemerintahan kesultanan Deli. Masa beliau kerajanaan Deli
mencapai puncaknya. Perdagangan tembakau semakin maju pesat, dengan
demikian kemakmuran kesultanan Deli diperhitungkan. Pusat ibukota Deli
kembali dipindahkan ke Medan dan mendirikan Istana Maimun, Masjid Raya,
taman kolam Raja, balai kerapatan tinggi serta fasilitas-fasilitas kepentingan
umum lainnya. Beliau meninggal pada tahun 1924 M dan digantikan oleh Sultan
Amaluddin Al Sani Perkasa Alamsyah.
Pada masa Sultan Amaluddin Al Sani Perkasa Alamsyah hubungan
dagang terjalin dengan baik dengan luar Negeri serta dengan kerjaan-kerajaan lain
di Nusantara. Masa Pemerintahannya pada tahun 1924 sampai dengan 1945,
Universitas Sumatera Utara
dimana beliau mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia yang
diploklamirkan Merdeka pada tahun 1945. Sejak saat itu kedaulatan Sultan-Sultan
Deli selanjutnya menjadi penguasa tertinggi Adat Istiadat dan kebudayaan Melayu
Deli. Selanjutnya pergantian penguasaan tertinggi Adat berpindah kepada Sultan
Osman Al Sani Perkasa Alam, setelah wafatnya Sultan Amaluddin. Berikutnya
berganti kembali penguasa Adat kepada Sultan Azmi Perkasa Alam, lalu Sultan
Otteman Mahmud Perkasa Alam, dan yang terakhir Sultan Mahmud Lamantjiji
Perkasa Alam pada tahun 2005 sampai saat ini (tahun penelitian ini dilaksanakan
2014).
2.1.2 Masjid Al-Mashun Medan
Gambar…….Masjid Al-Mashun Medan ( koleksi pribadi) Berdirinya Istana Maimun (maimoon) pada tanggal 26 Agustus 1888,
setelah pusat Ibukota Kesultanan Deli kembali ke Medan. Istana Maimun
ditempati pada tanggal 18 Mei 1891 M. Kemudian Gedung Kerapatan Tinggi
sebagai Mahkamah Keadilan Pemerintahan Sultan didirikan pada tahun 1906 M.
Universitas Sumatera Utara
Berikutnya didirikanlah Masjid Al-Mashun atau yang dikenal dengan masjid Raya
Medan pada tanggal 21 Agustus 1906 M sebagai masjid kerajaan.
Sebagaimana lazimnya bangunan istana kerajaan Islam semenjak dahulu
selalu dikaitkan dengan masjid. Istana Maimun merupakan bentuk kejayaan
budaya Melayu Deli yang beragama Islam, maka masjid didirikan dalam kawasan
istana, berjarak dari istana lebih kurang dua ratus meter, sebagai kepentingan
ibadah sekaligus sebagai identitas budaya.
Kembalinya pusat pemerintahan Deli dari Labuhan Deli ke Medan maka
segala fasilitas prasarana kesultanan dibangun. Yang memerintah kesultanan pada
saat itu adalah Sultan Ma’mun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah (1873-1924).
Kerajaan Deli semakin maju pesat dalam perdagangan tembakau, pada saat inilah
Deli pada puncak kejayaannya.
Setelah berdiri Istana Maimun tanggal 26 Agustus 1888 M dan ditempati
pada tanggal 18 Mei 1891 M dan bangunan-bangunan fasilitas kesultanan lainnya,
setelahnya dibangun pulalah masjid megah dalam wilayah lingkungan istana.
Sebelum masjid dibangun terlebih dahulu dibangun kolam Raja yang
berjarak lebih kurang dua ratus meter dari istana Maimun dan lebih kurang lima
puluh meter dari masjid Al-Mashun. Letaknya sebelah utara dari masjid.
Penggalian tanah kolam diangkut untuk menjadi timbunan dasar tanah masjid
yang berikutnya akan dibangun. Strategis dari tiga bangunan yang fundamental ini
menunjukkan adanya nilai-nilai sejarah citra seorang bangsawan yang dapat
membaur dengan masyarakatnya serta menjunjung tinggi kedaulatan. Alasan
tersebut melihat area yang terpisah antara Istana Maimun, masjid Al-Mashun dan
Universitas Sumatera Utara
Kolam Raja. Strategis setiap bangunan ini memiliki kepentingan fungsi yang
berbeda. Istana Maimun merupakan tempat pusat Pemerintahan Kesultanan
sekaligus tempat tinggal Sultan yang merupakan adanya ruang lingkup antara
pejabat kerajaan, cukup pada wilayah Pemerintah saja. Sedangkan kolam raja
adalah tempat rileksasi Sultan beserta keluarganya dan tamu kehormatan ketika
mengadakan acara tertentu bahkan menurut nara sumber sering juga Sultan
mengadakan undangan kepada masyarakat dan melaksanakannya diareal kolam
tersebut. Sementara kedudukan masjid Al-Mashun juga bukanlah bangunan yang
hanya dikhususkan sebagai fasilitas Kesultanan semata. Masjid dibangun justru
memperkuat strategis hubungan kesultanan dengan petinggi agama Islam dan
masyarakat. Komunikasi ini dijalin untuk membentuk interpensi masyarakat
dengan Pemerintahan Kesultan terjalin lebih dekat dan erat. Konsep ini dibentuk
sebagai gambaran bahwa Sultan Ma’mun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah memiliki
kedaulatan yang kuat, bersahabat, bijaksana dan agamais.
Gambar……Area lingkungan Kesultanan (sket ulang dari Ratih,hal 38)
Universitas Sumatera Utara
T.H. Van Erp, salah seorang perwira Zeni Angkatan Darat KNIL adalah
yang merancang dan mengerjakan masjid Al-Mashun, setelah mengerjakan Istana
Maimun. Ketika itu belum ada perancang lokal yang mampu membuat bangunan-
bangunan megah. Karena hubungan diplomatik dan dagang dengan Belanda
terjalin yang disebut sebagai “Politik Kontrak Panjang” (Lange Politiek Contract),
kemudahannya kesultanan harus mencari desainer dari belanda. Selanjutnya
prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman, ketika itu Van Erp dipanggil ke Jawa
dari pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi Candi
Borobudur.
Pada tanggal 26 Agustus 1906 maka didirikanlah masjid Al-Mashun
Medan dan diresmikan pada hari Jumat tanggal 10 September 1990 M. Van
Ronkel dalam artikelnya di majalah NION menyebutkan Medan Kota Raja
terkenal dengan kekayaan dan keindahan masjidnya dengan judul “moskeen Van
Batavia”( Ratih, dari husny 1975, 2012:26)
MENARAPINTU GERBANG
PERKUBURAN
MASJID AL-MASHUN
TEMPAT WUDHU
U
Gambar……denah area masjid Al-Mashun (sket ulang dari ratih:hal 40)
Universitas Sumatera Utara
Pembiayaan pembangunan fasilitas kerajaan Deli ini diambil dari kas
perbendaharaan kerajaan (lanschapskas) dan tidak darimana pun. Tetapi catatan
ada menyebutkan sumbangan dana sepertiga diperoleh dari Tjong A Fie yang
berhubungan baik degan kesultanan. Wajar saja demikian karena Tjong A Fie
dipercayakan Sultan Untuk memenuhi mobiler petani tembakau serta kebutuhan
pangan yang diperkerjakan oleh sultan diwilayah Deli. Barang-barang tersebut
didatangkan dari cina. Tjong A fie juga membangun masjid Petisah, dan ada
beberapa masjid didaerah Spirok (Tapanuli Selatan) dan juga di Sumatera Barat.
Beliau adalah tokoh Cina perantauan, diangkat sebagai Kapten Cina oleh Kolonial
Belanda (Ratih,dari sinar, 2012:27). Tempat tinggal Tjong A Fie lebih kurang dua
kilo meter dari istana Maimun arah lintang barat.
Nama masjid Raya Al-Mashun diartikan sebagai masjid yang dipelihara
Allah SWT. Dalam rangka peresmiannya untuk pertama dilaksanakan shalat Jumat
oleh kesultanan Deli serta para pembesar-pembesar dari Langkat dan Negeri
Serdang. Masjid ini di kenal dengan Masjid Raya Medan. Sekarang persisnya
antara jalan sisingamangaraja, jalan masjid raya dan jalan mahkamah.
Keagungan masjid Al-Mashun ini menjadikan Sumatera Utara memiliki ikon
sebagai kota budaya Melayu Islam dan merupakan salah satu peninggalan budaya
yang masih hidup dan difungsikan (living monument).
2.1.3 Budaya dan Agama
Realita budaya merupakan kapasitas masyarakat memperdaya sistem
tradisi yang telah berlanjut terus menerus dalam kehidupan. Upaya-upaya
mempertahankan ideologi ini pada dasarnya adalah bagaimana adat istiadat
Universitas Sumatera Utara
diperlakukan dan menjadi bagian kehidupan. Ketika budaya berdampingan
dengan agama, ada beberapa bagian yang tidak dapat diselaraskan. Dengan
pertimbangan bahwa agama merupakan peradilan yang tertinggi, akhirnya linear
budaya harus dipadankan atau dapat diganti dengan pola budaya yang telah
mendapatkan ayakan agama. Agama lebih terdepankan sehingga bagian budaya
yang tidak dibenarkan, harus ditinggalkan. Diketahui bahwa sebelum masuknya
agama Islam ke Indonesia, pengaruh Hindu dan Budha terlebih dahulu menjadi
agama dan kebudayaan. Sementara Islam menegakkan agama bahwa tidak
membenarkan syirik atau menyekutukan Allah dengan yang lain, atau hanya Allah
satu-satunya yang patut di sembah (Tauhid).
Setelah Melayu memeluk agama Islam pada sebelumnya menganut
paganisme, berangsur-angsur tidak lagi memperlakukan adat istiadat yang berbau
syirik (menurut Islam). Namun tidak sepenuhnya pula bagian-bagian itu hilang
begitu saja, Islam dapat mengobahnya dengan memperlakukan tradisi sebagai
bagian dari kehidupan masyarakat Melayu, tetapi telah distirilisasi sehingga dapat
diterima Islam maupun melayu. Karena bagaimana pun ikatan tardisi yang telah
lama diyakini tidak dapat dihilangkan dalam waktu singkat. Dengan pelahan-
lahan budaya disusupkan dengan nilai-nilai agama Islam sehingga bentuk-bentuk
paganisme berangsur-angsur terkikis sehingga tidak lagi terbawa setelah masuk
agama Islam. Demikian proses tersebut akhirnya dapat diterima menjadi bagian
kehidupan masyarakat melayu.
Pada masa lampau masyarakat Melayu beranggapan mereka hidup
dibawah kekuasaan seorang raja yng merupakan pimpinan tunggal sebuah
Universitas Sumatera Utara
lembaga kerajaan duniawi. Kemudian kerajaan duniawi ini di bawah naungan
kekuasaan hukum Tuhan. Dalam bahasa Melayu, “kerajaan” secara harfiah berarti
“keadaan yang mempunyai raja”. Seorang raja Melayu tidaklah dianggap sebagai
anggota biasa dari ras Melayu atau umat Islam, melainkan merupakan objek
utama dari kesetiaan. Raja merupakan pusat bagi setiap aspek kehidupan orang
melayu (Ratih, dari milner,2012:29).
Adanya struktur didalam budaya Melayu memberikan ruang antar
penguasa raja dan kaum masyarakatnya. Masyarakat adalah patik atau sebagai
hamba raja, sementara raja berkuasa atas hukum sebagaimana hikayat keturunan
raja-raja Negeri Deli bahwa syariat beserta dengan hukum adat berada di tangan
raja. Raja menetapkan gelar bagi seseorang, menentukan status, simbol, pakaian,
dan hal itu diterima karena dipercaya bahwa perintah raja adalah perintah Tuhan.
Sejarah mengatakan bahwa kehormatan yang diberikan oleh raja di percaya sangat
berpengaruh bagi kehidupan seseorang pada masa sekarang maupun akan datang
(akhirat). Keyakinan tersebut sebelum masuknya agama Islam dan berikutnya
terasimilasi dengan ajaran Islam sehingga sebagian di masyarakat melayu deli
keyakinan itu masih saja berlaku hingga sekarang (hanya kerabat adat saja).
Semula ketika Islam mulai berpengaruh atas ajaran dan konsep
ideologinya ada ketertarikan bangsa melayu sebelum memeluk agama Islam
seperti gelar-gelar bangsa Arab (gelar Muslim). Sebutan Sultan diberikan kepada
raja-raja serta diletakkan pada mata uang. Seperti mata uang kerajaan Aceh tertera
nama Sultan dan bagian belakang tertulis As-Sultan “Adil”. Budaya ini digunakan
Universitas Sumatera Utara
kerajaan Malaka, kerajaan Kelantan, kerajaan Patani dan kerajaan Kedah
(Ibrahim Alfian, 1986,didalam Baiduri, Ratih,2012:30).
Setelah memeluk agama Islam bangsa melayu menggantikan gelar raja
menjadi sebutan Sultan, kedudukannya hampir sama penefsiran bahwa raja atau
sultan sebagai titisan Tuhan. Doktrin mistis yang di pakai oleh bangsa melayu
sebelum Islam raja digambarkan sebagai titisan Dewa Wisnu atau seorang
Bodhisadwa yang hampir dekat dengan konsep Islam yaitu “insan kamil”
diterjemahkan sebagai “manusia sempurna”. Setelah memeluk agama Islam
peranan tersebut masih dipertahankan bahkan semakin mengkukuhkan kedudukan
raja, sehingga kedudukan suci raja ini sangat membantunya untuk memenuhi
peranan sentral dalam kehidupan spiritual rakyat. Konsep tersebut sering
dihubungkan dengan konsep Khalifah, Sultan atau Syah (Syeh) dalam tradisi
kerajaan-kerajaan Islam pada masa keemasannya (Milder,1989,didalam
Baiduri,Ratih,2012:31). Serangkaian sejarah melayu deli semenjak diawali dari
cikal bakal Sri Paduka Gocah Pahlawan hingga sekarang kedudukan raja atau
Sultan di anggap adalah Khalifah ummat Islam, dimana beliau didampingi oleh
Mufti atau Kadhi Besar kerajaan.
Setelah memeluk agama Islam dan Sultan tidak secara langsung memiliki
contoh sebagai Tokoh utama langsung di masyarakat melayu meski sebelumnya
menurut sejarah, agama Islam telah berkembang dikalangan rakyat melayu
sebelum kesultanan. Ketika Sultan beragama Islam dan para pembesar kerajaan
juga memeluk agama Islam, maka masyarakat melayu menjadi lebih besar masuk
agama baru tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Ideologi Melayu dan Syariat Islam
Ideologi adalah konsep pandangan hidup yang digunakan sebagai sebuah
pedoman menjalankan strategi kehidupan sehari-hari. Makna ideologi diartikan
sebagai cita-cita kehidupan yang dapat mendatangkan kebaikan atau keuntungan
pada diri seseorang atau masyarakat. Menurut Karl Marx Ideologi merupakan alat
untuk mencapai kesamarataan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat.
Sedangkan Destertt de Tracy Ideologi adalah pembelajaran terhadap idea-idea
(pemikiran tertentu). “salah satu item yang membentuk keperluan mental dan
jasmani individu yang membentuk sebuah masyarakat serta meliputi
permasalahan politik, sosial, ekonomi dan perkara yang bersangkut paut dengan
sejarah dan sosio-geografi manusia” (Ensiklopedia brittanica,wikipedia.org.Net)
Sebelum bangsa Melayu memeluk agama Islam cara pandang Melayu
didasarkan pada ideologi Hindu dan Budha. Pendekatan budaya asalnya tidak
sepenuhnya ditinggalkan, justru ada bagian yang masih melekat dan dilestarikan.
Pondasi agama Islam merupakan tonggak kehidupan dan keyakinan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, budaya sebagai sentral ideologi yang kemudian
disepadankan dengan keyakinan agama. Dapatlah di lihat bahwa suku Melayu
memiliki multi budaya dengan merangkaikan sejumlah budaya asal sebagai milik
asli yang telah terjadi pembentukkan budaya lewat ayakan agama yang dianut.
Dari ayakan agama ini terdapat bagian yang masih diperbolehkan sebagai sistem
yang diperlakukan bertindak sebagai adat istiadat.
Universitas Sumatera Utara