repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 14095... · web view...
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekayaan perairan laut khususnya di Kawasan Timur Indonesia
merupakan potensi yang sangat besar dalam meningkatkan pembangunan dan
perekonomian masyarakat Indonesia. Namun, kekayaan perairan laut tersebut
belum dikelola secara optimal, karena terdapatnya beberapa kendala, antara lain
adalah terbatasnya data dan informasi mengenai potensi sumber daya wilayah
pesisir dan laut nusantara (Manggabarani, 2003).
Padang lamun merupakan tempat bagi organisme lain untuk mencari
makan, tempat memijah, sebagai tempat asuhan atau pembesaran. Pada
ekosistem padang lamun tersebut hidup bermacam-macam biota laut seperti
crustacea, molusca, cacing dan juga ikan. Ada yang hidup menetap dan ada pula
sebagai pengunjung yang setia (Nontji, 1993).
Tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang mampu beradaptasi secara
penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau hidup terbenam di dalam
air. Lamun memiliki rizhoma, daun, dan akar sejati (Nontji, 1993; Nasmia, 2012)
seperti halnya tumbuhan di darat. Lamun adalah tumbuhan laut yang hidup pada
ekosistem padang lamun (Seagrass Bed) terutama di daerah tropis dan
subtropis. Komunitas lamun memegang peranan penting baik secara ekologis,
maupun biologis di daerah pantai dan estuaria. Disamping itu juga mendukung
aktifitas perikanan, komunitas kerang-kerangan dan biota avertebrata lainnya
(Bastyan and Cambridge, 2008).
Lamun yang terdapat di dunia berkisar antara 50 – 60 (Hemminga, 2002;
Waycott, 2004) atau 66 jenis (den Hartog dan Kuo, 2006), sedangkan di
Indonesia terdapat 7 marga, yaitu Enhalus, Thalassia, Halophila, Halodule,
Cymodocea, Syrongidium, dan Thalssodendrom (Nontji, 1993), dan terdiri dari 12
1
jenis, yaitu Halodule uninervis, H. pinifolia, Cymodocea rotundata, C. serrulata,
Syringodium isoetifolium, Thalassodendron ciliatum, Enhalus acoroides,
Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, H. minor, H. decipiens, dan H. spiulosa
(Hutomo,1985). Selanjutnya Hutomo (1985) menyatakan bahwa terdapat 10 jenis
lamun di Sulawesi, yaitu Halodule uninervis, H. pinifolia, Cymodocea rotundata,
Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolium, Thalassodendron ciliatum,
Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, dan H. minor.
Habitat padang lamun terdapat pada perairan yang dangkal dan memiliki
substrat yang lunak, perairan yang cerah, dan mempunyai sirkulasi air yang
cukup baik (Dahuri. Et al, 2001). Hal tersebut menunjukkan bahwa keberadaan
dan distribusi lamun banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor
oseanografi dan morfologi pantai. Faktor-faktor tersebut antara lain: arus, pasang
surut, gelombang, suhu, salinitas, kecerahan perairan, kedalaman, kelerengan,
serta material dasar. Oleh karena itu pendataan potensi sumber daya lamun
sebaiknya disertai dengan pengambilan data oseanografi.
Inventarisasi data potensi sumber daya kelautan merupakan hal yang
sangat penting, dan potensi dapat menjadi basis data untuk perencanaan
pengelolaan kawasan pesisir. Upaya pendataan potensi distribusi dan tutupan
lamun merupakan salah satu data penting, mengingat lamun memiliki banyak
peran dalam ekosistem pesisir.
Perairan Kepulauan Balabalakang, Mamuju, Sulawesi Barat merupakan
salah satu wilayah kepulauan yang perlu dijadikan sebagai lokasi objek
penelitian. Kegiatan penelitian di lokasi ini tentunya dapat membantu upaya
inventarisasi data dalam rangka mendapat basis data guna untuk pengelolaan
dan pelestarian sumber daya di kepulauan ini. Salah satu potensi sumber daya
yang terdapat pada wilayah Kepulauan Balabalakang yaitu ekosistem lamun.
Penelitian mengenai distribusi dan tutupan padang lamun di perairan Kepulauan
2
Balabalakang masih sangat kurang, oleh karena itu perlu suatu penelitian yang
dapat memberikan informasi tentang distribusi dan tutupan padang lamun di
perairan Kepulauan Balabalakang.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi lamun yang
terkait dengan distribusi dan tutupan lamun di kepulauan Balabalakang
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini yaitu sebagai salah satu sumber
informasi bagi penelitian selanjutnya dan dapat menjadi dasar pengelolaan
pesisir, konservasi dan pemanfaatan lamun beserta biota yang berasosiasi
dengannya.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada beberapa parameter berikut :
1.Distribusi vegetasi lamun : kerapatan jenis, persen penutupan lamun,
komposisi jenis.
2.Parameter oseanografi, terdiri dari suhu, salinitas, arus, kekeruhan,
kedalaman, substrat, dan pH.
3
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Lamun
Lamun adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang sudah
sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam dalam laut. Lamun
(seagrass) sebagai tumbuhan berbunga yang telah beradaptasi untuk hidup
terendam dalam air laut. Tumbuhan ini terdiri dari rhizoma, daun dan akar.
Tumbuhan lamun ini mempunyai beberapa sifat yang memungkinkannya berhasil
hidup di laut, yaitu (1) mampu hidup di media air asin, (2) mampu berfungsi
normal dalam keadaan terbenam, (3) mempunyai sistem perakaran yang
berkembang baik dan (4) mampu melaksanakan daur generatif dalam keadaan
terbenam (Den Hartog,1977).
Hal serupa dinyatakan pula oleh Nontji (1993) yaitu lamun (seagrass)
sebagai tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri untuk
hidup terbenam dalam laut. Tumbuhan ini terdiri dari rhizoma, daun dan akar.
Rhizoma merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar serta
berbuku-buku. Pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak ke
atas, berdaun dan berbunga. Pada buku tumbuh pula akar dan rhizoma sehingga
tumbuhan tersebut dapat menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut sehingga
tahan terhadap hempasan gelombang dan arus. Sebagian besar lamun berumah
dua, artinya dalam satu tumbuhan hanya ada bunga jantan saja atau bunga
betina saja, sistem pembiakannya bersifat khas karena mampu melakukan
penyerbukan di dalam air (Hydrophylous Polination) buahnya terendam dalam
air.
Bentuk vegetatif lamun memperlihatkan tingkat keseragaman yang tinggi.
Hampir semua genera mempunyai rhizoma yang berkembang baik dan bentuk
daun yang memanjang (linear) dan berbentuk sangat panjang seperti ikat
4
pinggang, kecuali pada genus Halophila yang umumnya berbentuk bulat telur.
Bentuk pertumbuhannya, sistem percabangannya dan struktur anatomiknya
memperlihatkan keanekaragaman yang jelas. Berdasarkan karakter-karakter
sistem vegetatif tersebut lamun dapat dikelompokkan dalam 6 kategori (Den
Hartog, 1967 dalam Kiswara, 1985).
1. Herba, percabangan monopodial
1.1. Daun Panjang, berbentuk pita atau ikat pinggang, punya saluran udara.
a) Parvosoterid, daunnya panjang dan sempit : Halodule dan Zostera
subgenus Zubsterella.
b) Magnososterid, daun panjang atau berbentuk pita tetapi tidak
lebar: Zoster subgenus Zostera, Cymodocea dan Thalassia.
c) Syringodid, daun bulat seperti lidi dengan ujung runcing:
Syringodium.
d) Enhalid, daun panjang dan kaku seperti kulit atau berbentuk ikat
pinggang yang kasar : Enhalus Posidonia, Phyllopadix.
1.2. Daun berbentuk Elips, bilat telur, berbentuk tombak atau panjang, rapuh
dan tanpa saluran udara.
a) Halophilid : Halophila.
2. Berkayu, percabangan simpodial, daun tumbuh teratur di kiri dan kanan,
cabang tegak.
Amphibolid : Amphibolis, Thalasodendron dan Heterosostera
Di dunia tercatat 50 jenis lamun, yang sering dijumpai dalam jumlah
besar menutupi dasar perairan yang luas, membentuk padang lamun. Di
Indonesia tercatat ada 12 jenis lamun, yaitu :
1. Cymodocea rotundata (Lamun berujung bulat)
2. Cymodocea serrulata (lamun bergigi)
3. Enhalus acoroides (Lamun tropika)
5
4. Halodule pinifolia (Lamun serabut)
5. Halodule uninervis (Lamun serabut)
6. Halophila decipiens (Lamun senduk tak berurat)
7. Halophila minor (Lamun senduk kecil)
8. Halophila ovalis (Lamun senduk)
9. Halophila spinulosa (Lamun senduk dasar keriting)
10. Syringodium isoetifolium (Lamun alat suntik)
11. Thalassia hemprichii (Lamun dugong)
12. Thalassodendron ciliatum ( Lamun kayu)
Secara lengkap klasifikasi beberpa jenis tumbuhan lamun yang terdapat
di perairan pantai Indonesia (Haruna, 1994) yaitu sebagai berikut :
Divisi : Anthophyta
Klass : Monocotyledonae
Ordo : Helobeae
Family : Potamogetonaceae
Genus : Cymodoceae, Halodule, Syringodium, Thalassodendron.
Spesies :Cymodocea rotundata, C.serrulata, Halodule pinifolia,
H. uninervis, Syringodium isoetifolium, Thalassodendron
ciliatum.
Family : Hydrocaritaceae
Genus : Enhalus, Halophila , Thalassia.
Spesies : Enhalus acoroides, Halophila decipiens, Halophila minor,
Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Thalassia hemprichii.
Morfologi daun dari ketujuh marga lamun tersebut adalah berbeda, jenis
lamun yang mempunyai morfologi daun berbentuk pita yang panjang seperti kulit
(leathery linier) atau berbentuk ikat pinggang yang kasar (coarse strap-sloped)
(Enhalus), daun berbentuk pita ukuran sedang (Thalassia, Cymodocea), daun
6
panjang dan sempit (Halodule) daun berbentuk batang seperti lidi dengan ujung
runcing (Syringodium), daun yang berbentuk lonjong ukuran kecil (Halophila).
(Den Hartog,1977)
Selanjutnya Nybakken (1992) menyatakan, kebanyakan spesies lamun
mempunyai morfologi luar yang kasar hampir serupa. Mereka mempunyai daun
yang panjang, tipis, mirip pita dan mempunyai saluran – saluran air, serta bentuk
pertumbuhannya monopodial. Tumbuhan ini tumbuh dari rhizoma yang
merambat.
Komunitas lamun terdapat pada daerah mid – intertidal sampai
kedalaman 50 – 60 meter, namun biasanya sangat melimpah di daerah sub
litoral. Jumlah spesiesnya lebih banyak terdapat di daerah ugahari, hidup pada
berbagai jenis substrat, mulai dari lumpur encer sampai batu – batuan, tetapi
lamun yang paling luas dijumpai pada substrat yang lunak (Nybakken, 1992).
Dalam ekosistem lamun, rantai makanan tersusun dari tingkat – tingkat
tropik yang mencakup proses dan pengangkutan detritus organik dari ekosistem
lamun ke konsumen yang agak rumit, sumber organik berasal dari produk lamun
itu sendiri, disamping tumbuhan epifit dan alga makrozoobentos, fitoplankton,
dan tanaman darat (Romimohtarto,1999).
Djais et al (2002) menambahkan, padang lamun biasanya dijumpai pada
perairan yang dangkal dan jernih (antara 2 meter – 12 meter) dimana masih ada
penetrasi cahaya matahari untuk perkembangan dan pertumbuhan tumbuhan
laut tersebut .
B. Distribusi Lamun
Habitat lamun dipandang sebagai suatu komunitas, dalam hal ini suatu
padang lamun merupakan suatu kerangka struktural dengan tumbuhan dan
binatang saling berhubungan. Habitat lamun dapat pula dipandang sebagai suatu
ekosistem dalam hal ini saling berhubungan, tumbuhan dan binatang tadi
7
dipandang sebagai proses-proses tunggal yang dikendalikan oleh pengaruh-
pengaruh interaktif dari faktor biologis dan fisika kimia (Romimohtarto, 1991).
Padang lamun biasanya dijumpai pada perairan yang dangkal dan jernih
(antara 2 meter – 12 meter) dimana masih ada penetrasi cahaya matahari untuk
perkembangan dan pertumbuhan tumbuhan laut tersebut (Djais et al. 2002).
Romimohtarto (1991) menambahkan bahwa lamun biasanya terdapat dalam
jumlah yang melimpah dan sering membentuk padang yang lebat dan luas di
perairan tropik, menunjukkan spektrum fungsi biologi dan fisik yang lebar, sifat-
sifat lingkungan pantai terutama dekat estuaria cocok untuk pertumbuhan dan
perkembangan lamun.
Dahuri et al (2001) menambahkan bahwa Lamun dapat hidup di perairan
dangkal agak berpasir, sering juga dijumpai pada ekosistem terumbu karang.
Sama halnya dengan rerumputan di daratan, lamun juga membentuk padang
yang luas dan lebat di dasar laut yang masih terjangkau oleh cahaya matahari
dengan tingkat energi cahaya matahari yang masih memadai bagi
pertumbuhannya. Pertumbuhan padang lamun memerlukan sirkulasi air yang
baik. Air yang mengali inilah yang mengantarkan zat-zat nutrien dan oksigen
serta mengangkut hasil metabolisme lamun seperti karbondioksida keluar daerah
padang lamun. Secara umum semua tipe dasar laut dapat ditumbuhi lamun,
namun padang lamun yang luas hanya dijumpai pada dasar laut berlumpur
berpasir lunak dan tebal. Padang lamun sering terdapat di perairan laut antara
hutan rawa mangrove dan terumbu karang. Di beberapa daerah beberapa lamun
dapat tumbuh, namun tidak dapat berkembang dengan baik karena tidak
terlindung pada saat air surut. Karena membutuhkan intensitas cahaya yang
cukup, padang lamun tidak dapat tumbuh di kedalaman lebih dari 20 meter,
kecuali perairan tersebut sangat jernih dan transparan.
8
Den hartog (1977) dalam Kiswara (1985) mengatakan bahwa berbagai
bentuk pertumbuhan berbagai jenis lamun terlihat mempunyai kaitan dengan
perbedaan habitatnya. Parvososterid dan Halophylid dapat ditemukan pada
hamper semua habitat, mulai dari dasar pasir kasar sampai lumpur yang lunak,
mulai dari daerah pasang surut sampai ketempat yang cukup dalam dan mulai
dari laut terbuka sampai estuaria. Bahkan Halophila telah didapatkan dari
kedalaman 90 meter. Sedangkan untuk Magnozosterid dapat dijumpai pada
berbagai habitat, tetapi lebih terbatas pada daerah sublitoral. Mereka memasuki
daerah dangkal tetapi lebih terbatas sampai batas air surut rata-rata perbani.
Batas kedalaman sebagian besar spesiesnya yaitu 10 sampai 12 meter, tetapi
pada perairan yang sangat jernih dapat dijumpai pada tempat yang lebih dalam.
Enhalid dan Amphibolid juga terbatas pada bagian atas dari sublitoral, tetapi
dengan beberapa perkecualian. Posidonia oseania dapat mencapai kedalaman
paling sedikit 60 meter. Kisaran kedalaman dimana phyllospadix hidup agak
besar; dia hidup mulai litoral bawah sampai kedalaman 30 meter.
Thalassodendron ciliatum dilaporkan pernah ditemukan tumbuh pada kedalaman
30 meter. Enhalid dan Amphibolid hidup pada substrat pasir dan karang, Kecuali
Enhalus acoroides.
Hal serupa dikatakan oleh Romimohtarto dan Juwana, (1999) bahwa ada
tiga marga yang banyak kita jumpai di perairan pantai yaitu Halophila, Enhalus
dan Cymodocea. Halophila ovalis banyak terdapat di pantai berpasir, di paparan
terumbu, dan di dasar pasir dari paras pasut rata-rata sampai batas bawah dari
mintakat pasut. Enhalus acoroides adalah tumbuhan lamun yang banyak
terdapat di bawah air surut rata-rata pada pasut purnama pada dasar pasir
lumpuran. Mereka tumbuh subur pada tempat yang terlindung di pinggir bawah
dari mintakat pasut dan di batas atas mintakat bawah-litoral. Sedangkan
Cymodocea rotundata merupakan jenis lamun yang banyak ditemukan pada
9
daerah di bawah air surut rata-rata pada pasut purnama pada pantai pasir dan
pasir lumpuran (Romimohtarto dan Juwana, 1999).
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Distribusi Lamun
Berdasarkan potensi sistem padang lamun dalam ekosistem perairan
yang begitu baik, maka tentu saja sistem ini perlu dilindungi dari semua faktor
yang mempengaruhinya. Supriharyono (2000) menyatakan bahwa ada beberapa
faktor yang diketahui sangat mempengaruhi kelangsungan hidup tumbuhan laut,
diantaranya adalah penetrasi cahaya matahari, suhu air dan salinitas.
a. Suhu
Suhu perairan pada umumnya selalu berfluktuasi karena hal ini di
pengaruhi oleh faktor oseanografi dan pengaruh daratan. Nontji (1993)
menyatakan bahwa suhu air di perairan nusantara kita umumnya berkisar 28 –
380C, sedangkan pada lokasi yang sering terjadi penaikan air (upwelling) seperti
laut Banda, suhu permukaannya bisa turun sekitar 250C.
Kisaran temperatur optimal bagi spesies lamun adalah 28 – 300C,
pengaruh suhu bagi lamun di perairan sangat besar. Suhu mempengaruhi proses
– proses fisiologis yaitu proses fotosintesis, laju respirasi pertumbuhan dan
reproduksi. Proses – proses fisiologi tersebut akan menurun tajam apabila
temperatur perairan berada di luar kisaran optimal tersebut (Nybakken,1992).
b. Salinitas
Salinitas adalah banyaknya zat – zat terlarut yang meliputi garam –
garam anorganik, senyawa – senyawa organik yang berasal dari organisme
hidup dan gas – gas terlarut (Nybakken,1992)
Walaupun spesies padang lamun memiliki toleransi terhadap salinitas
yang berbeda-beda, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar terhadap
salinitas yaitu antara 10 – 40 o/oo. Nilai optimum toleransi terhadap salinitas di air
10
laut adalah 35 o/oo, penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan
fotosintesis spesies lamun (Dahuri et al, 2001).
c. Arus
Arus laut permukaan merupakan pencerminan langsung dari pola angin
yang bertiup pada waktu itu, jadi arus permukaan ini digerakkan oleh angin, arus
juga dapat disebabkan oleh perbedaan dalam densitas air laut dan dapat pula
disebabkan oleh gerakan bergelombang panjang. Arus yang disebabkan oleh
pasang surut biasanya lebih banyak diamati di perairan pantai terutama di selat –
selat yang sempit dengan kisaran pasang surut yang tinggi (Hutabarat dan
Evans, 1985).
Pada padang lamun, kecepatan arus mempunyai pengaruh yang sangat
nyata, produktifitas padang lamun tampak dari pengaruh keadaan kecepatan
arus perairan, dimana mempunyai kemampuan maksimum menghasilkan
“standing crop” pada saat kecepatan arus 0,5 m/detik (Dahuri et al, 2001).
d. Kekeruhan
Adanya bahan – bahan yang melayang – layang (suspended matter) dan
tingginya nilai kekeruhan di periran dekat pantai menyebabkan penetrasi cahaya
akan berkurang di tempat ini, akibatnya penyebaran tanaman hijau disini hanya
dibatasi sampai kedalaman antara 15 – 40 meter (Hutabarat dan Evans, 1985).
Kebutuhan padang lamun akan intensitas cahaya yang berfungsi untuk
membantu proses fotosintesis dapat dilihat berdasarkan distribusinya yang
terbatas pada periran dengan kedalaman tidak lebih dari 10 meter. Beberapa
aktivitas yang meningkatkan muatan sedimentasi pada badan air akan berakibat
mengurangi penetrasi cahaya, hal ini dapat mengganggu produktivitas primer
dari ekosistem padang lamun (Dahuri et al, 2001)
11
e. pH (Derajat keasaman)
Derajat keasaman (pH) adalah suatu ukuran tentang besarnya
konsentrasi ion hidrogen dan menunjukkan apakah air itu bersifat asam atau
basa dalam reaksinya.
Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan,
dimana fluktuasinya di pengaruhi oleh kapasistas penyangga (buffer), yaitu
adanya garam – garam karbonat dan bikarbonat yang larut dalam air (Boyd,
1979).
Derajat kesaman (pH) merupakan suatu parameter yang dapat
menentukan produktivitas suatu perairan. Pada umumnya pH air laut tidak
banyak bervariasi karena adanya sistem karbondioksida dalam laut maka air laut
mempunyai kapasitas penyangga yang kuat (Nontji, 1993)
Zieman (1982) dalam Arifin (2001) menyatakan bahwa lamun menyerap
karbon anorganik untuk digunakan dalam fotosintesis sebagai CO atau CO32-
Rata-rata pH air laut normal 7,8 – 8,2 suatu kadar dimana karbon monoksida
bebas tidak melimpah. Selama fotosintesis aktif, pH dapat naik hingga 8,9 dan
bahkan sampai 9,4 di perairan tropik. Nilai pH 8,9 tidak terdapat karbon
monoksida bebas di dalam air dan karbon ion bikarbonat juga kurang.
D. Peranan dan Fungsi Padang Lamun
Peranan padang lamun secara fisik di perairan laut dangkal adalah
membantu mengurangi tenaga gelombang dan arus, menyaring sedimen yang
terlarut dalam air dan menstabilkan dasar sedimen. Selain itu, padang lamun
juga memiliki kemampuan berproduksi primer yang tinggi secara langsung
berhubungan erat dengan tingkat kelimpahan produktivitas perikanannya.
Padang lamun juga diketahui mendukung berbagai jaringan rantai makanan, baik
yang didasari oleh rantai herbivor maupun detrivor (Mc Roy dan Helferich, 1977).
12
Dari segi fungsi ekologis, lamun merupakan ekosistem yang produktif
karena dapat memproduksi bahan organik yang menjadi sumber bahan makanan
biota lainnya. Karena itu, di padang lamun ditemukan berbagai jenis ikan dan
organisme lainnya baik sebagai habitat maupun sebagai tempat mencari makan.
Fungsi ekologis lainnya ialah sebagai substrat yaitu melindungi pantai dari erosi
dan melindungi terumbu karang dari proses sedimentasi.
Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting di
daerah pesisir. Komunitas ini mempunyai peran ganda dalam pengendalian atau
perubahan ekosistem perairan, yaitu sebagai makanan hewan, habitat biota
epifit, produser serasah melalui proses dekomposisi, pendaur zat hara organik
maupun anorganik, serta perangkap dan penstabil sedimen (Purwanto dan
Suryadiputra, 1984)
(Nybakken, 1992 dan Den Hartog, 1970) membagi fungsi lamun sebagai
sumber utama produktivitas primer di perairan dangkal. Merupakan sumber
makanan yang penting bagi organisme, penstabil dasar-dasar yang lunak,
perangkap sedimen dan melindungi organisme dari pengaruh cahaya matahari
yang kuat.
Di daerah padang lamun, organisme melimpah karena lamun digunakan
sebagai tempat perlindungan dan persembunyian dari predator dan dari
pengaruh kecepatan arus yang tinggi serta sebagai sumber makanan baik
daunnya maupun epifit atau detritus. Jenis-jenis polychaeta dan hewan-hewan
nekton juga banyak didapatkan pada padang lamun. Lamun juga memproduksi
sejumlah besar bahan-bahan organik sebagai substrat untuk algae, epifit,
mikroflora dan mikrofauna (Fortes, 1989).
Peranan lamun terhadap lingkungan terutama ekosistem pantai telah
diidentifikasikan lima tipe interaksi utama antara padang lamun, mangrove dan
terumbu karang, yaitu interaksi fisik, nutrient dan zat-zat organik terlarut, materi
13
organik melayang, ruaya hewan dan dampak manusia (Unesco, 1983 dalam Abdi
2002).
Meskipun padang lamun merupakan ekosistem yang penting namun
pemanfaatan langsung tumbuhan lamun untuk kebutuhan manusia tidak banyak
dilakukan. Beberapa jenis lamun dapat digunakan sebagai bahan makanan,
samo-samo Enhalus acoroides misalnya, bijinya dimanfaatkan sebagai bahan
makanan (Nontji, 1993).
Padang lamun juga berfungsi sebagai perangkap sedimen dan
selanjutnya membentuk dasar. Jika pertumbuhannya mencapai permukaan,
daun yang mengapung mematahkan kekuatan ombak, dan dengan demikian
membentuk habitat yang berair tenang di bawahnya (Nybakken, 1992).
Apabila air sedang surut rendah, sebagian padang lamun ini tersembul
keluar dari air (exposed) terutama bila komponen utamanya adalah Enhalus
acoroides yang berdaun seperti pita yang panjang. Pada kondisi ini burung-
burung pantai menjadikan padang lamun ini sebagai tempat mencari makan
(Nontji, 1993).
Tumbuhan lamun sebagai komoditi sudah banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat baik secara tradisional maupun modern. Secara tradisional lamun
telah dimanfaatkan untuk : dianyam menjadi keranjang, dibakar untuk garam,
soda atau penghangat, mengisi kasur, atap rumbai, kompos dan pupuk, isolasi
suara dan suhu, tumpukan untuk pematang, cerutu dan mainan anak-anak.
Sedangkan secara modern lamun telah dimanfaatkan sebagai penyaring limbah,
stabilisator pantai, bahan untuk pabrik kertas, sumber bahan kimia penting,
pupuk, makanan dan obat-obatan (Romimohtarto, 1991).
14
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama kurang lebih enam bulan, yaitu dari
bulan Mei - Oktober 2014. Jangka waktu tersebut mencakup studi literatur, survei
lokasi, pengambilan data di lapangan, dan pengolahan data. Penelitian ini
dilakukan di perairan Kepulauan Balabalakang Kabupaten Mamuju Provinsi
Sulawesi Barat (Gambar 1). Kepulauan Balabalakang berjarak sekitar 85 mil dari
daratan utama Kabupaten Mamuju (Pemda Kabupaten Mamuju, 2009). Kondisi
padang lamun di Kepulauan Balabalakang bervariasi dari kategori miskin sampai
kaya.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
15
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perahu motor sebagai
alat transportasi ke lokasi penelitian, alat selam dasar untuk mempermudah
pengambilan data lapangan, GPS untuk mengetahui koordinat lokasi stasiun,
Salinometer mengukur salinitas, layang-layang arus dan stop wach untuk
mengukur kecepatan arus, turbidimeter digunakan untuk mengukur kekeruhan,
tiang berskala digunakan untuk mengukur kedalaman, pH-meter digunakan
untuk mengukur pH, transek kuadran untuk mengamati tutupan lamun, roll meter
mengukur jarak tiap stasiun pengamatan, Pensil dan sabak untuk mencatat hasil
di lapangan, kamera bawah air untuk dokumentasi, kantong sampel untuk tempat
penyimpan sampel, Cool box untuk menyimpan sampel selama perjalanan ke
laboratorium,
C. Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan
Tahap ini meliputi studi literatur dan pengumpulan data yang berhubungan
dengan penelitian, serta mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan selama
penelitian di lapangan.
2. Observasi Lapangan
Observasi lapangan dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran kondisi
umum lokasi penelitian. Observasi dilakukan dengan melakukan pengamatan
secara umum sebelum dilakukan penentuan stasiun.
3. Penentuan Stasiun
Penentuan stasiun ini dilakukan dengan memperhatikan keterwakilan dari
lokasi penelitian secara keseluruhan berdasarkan pada luasan dan sebaran
lamun pada setiap pulau. Pada setiap stasiun ditetapkan sebanyak masing-
16
masing 3 transek garis pada ekosistem lamun yang ditarik tegak lurus dari arah
pantai ke arah laut.
4. Tahap Pengambilan Data
a. Pengambilan data lamun
Persentase penutupan lamun, kerapatan jenis dan komposisi jenis
dilakukan menurut metode transek kuadran yang ditempatkan secara
sistematis sepanjang transek garis (English et al, 1994).
Adapun prosedur umumnya yaitu :
1) Menentukan posisi stasiun.
2) Pada tiap stasiun diletakkan 3 transek garis pararel satu dengan yang
lainnya dan tegak lurus garis pantai. Jarak antara transek garis 100
meter dan pada setiap transek garis dipasang transek kuadran secara
sistematis dengan jarak 10 meter.
Gambar 2. Prosedur penempatan transek line untuk pengamatan sebaran dan tutupan lamun (McKeinzie et al, 2001)
3) Mengestimasi persentase penutupan lamun dengan menempatkan
transek kuadrat (50cm x 50cm) dengan kisi-kisi (10cm x 10cm) pada
setiap titik sampling di sepanjang transek garis tersebut (Azhar et al,
1997). Pengamatan persen penutupan lamun dilakukan dengan
menghitung berapa persen suatu spesies menutupi areal dalam tiap
17
sub plot pengamatan. Estimasi penutupan di dasarkan pada Seagrass
Watch Method (McKeinzie et al, 2001) (Gambar 2).
4) Kerapatan lamun didapatkan dengan cara menghitung banyaknya
spesies yang terdapat dalam setiap plotnya.
Gambar 3. Estimasi tutupan lamun untuk kegiatan seagrass watch method (McKeinzie et al, 2001)
Untuk mengetahui kondisi lamun berdasarkan penutupan, digunakan
standar berdasarkan Kepmen LH No. 200 tahun 2004 tentang kriteria baku
kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun (Tabel 1)
Tabel 1. Kepmen Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004
KONDISI TUTUPAN (%)
BAIK KAYA/SEHAT ≥ 60
RUSAK
KURANG KAYA/KURANG SEHAT 30 – 59,9
MISKIN ≤ 29,9
18
b. Pengukuran Parameter Oseanografi.
1) Suhu
Pengukuran suhu dilakukan langsung di lapangan pada setiap
stasiun dengan menggunakan termometer, yakni dengan cara
mencelupkan termometer ke dalam sampel air laut kemudian
mencatat yang ditunjukan skala suhu. Satuan suhu yang digunakan
yaitu derajat celcius ( C)
2) Salinitas
Pengukuran salinitas dilakukan langsung di lapangan pada setiap
stasiun yang diamati dengan menggunakan alat ukur salinometer.
Satuan yang digunakan yaitu permil (ppm).
3) Kecepatan Arus
Pengukuran arus dilakukan pada setiap stasiun pengamatan. dengan
menggunakan layang-layang arus dan stop watch, Kecepatan arus
diketahui dengan cara menghitung selang waktu (t) yang dibutuhkan
layang arus untuk menempuh jarak (s).
4) Kekeruhan
Pengukuran kekeruhan dilakukan dengan menggunakan turbidimeter
pada setiap stasiun pengamatan.
5) pH (derajat keasaman)
Pengukuran derajat keasaman atau pH pada air dilakukan dengan
menggunakan alat pH-meter.
19
D. Analisis Data
Dari semua hasil yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif
dalam bentuk tabel, grafik dan gambar.
1. Kerapatan jenis lamun
D=ni
A
Dimana : D = Kerapatan jenis lamun (tegakan/m2)
ni = Jumlah tegakan jenis lamun ke-i
A = Luas area (m2)
2. Frekuensi kemunculan jenis (Bengen, 2000)
F= p
∑ Px100%
Dimana : F = Frekuensi kemunculan jenis (%)
P = Jumlah plot dimana lamun ditemukan
∑ P = Jumlah seluruh plot
Hubungan antara kerapatan dan tutupan lamun di Kepulauan
Balabalakang dianalisis dengan regresi linear sederhana dengan menggunakan
bantuan soft ware Microsoft Exel 2007. Pada analisis tersebut, data tutupan
lamun digunakan sebagai sumbu Y dan data kerapatan digunakan sebagai
sumbu X.
20
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kepulauan Balabalakang berjarak sekitar 85 mil dari daratan utama
Kabupaten Mamuju. Kondisi padang lamun di Kepulauan Balabalakang
bervariasi dari kategori miskin sampai kaya. Kondisi yang berada dalam kategori
rusak sampai sedang terdapat pada Pulau Pongpongan, Tappilagaan, Ambo dan
Samataha. Untuk kondisi yang masih bagus ditemukan di Pulau Seloang,
Salissingan dan Sabakkatan. Semmentara yang masih tergolong sangat bagus
hanya ditemukan di Pulau Saboyan (Pemda Kabupaten Mamuju, 2009).
B. Parameter Oseanografi
Dalam suatu ekosistem tentunya terdapat berbagai parameter lingkungan
yang menentukan karakteristik dari ekosistem tersebut. Adapun parameter yang
diukur pada penelitian adalah suhu, salinitas,, kekeruhan, pH, kecepatan arus.
Hasil nilai rata-rata pengukuran parameter oseanografi disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil rata-rata suhu, salinitas,, kekeruhan, pH, dan kecepatan arus.
Parameter Ocseanografi
Pulau Suhu (ºC)
Salinitas (o/oo)
Kekeruhan (NTU) pH Kec. Arus
(m/det)Ambo 30 31 0,58 6,7 0,076Lamudaan 29,1 30 0,08 7,87 0,082Malambir besar 29,7 30 0,01 7,5 0,081Malambir kecil 29,8 30 0,03 7,6 0,083Siloang 31,8 31 0,05 7,93 0,043Popongan 29,5 31 0,53 7,54 0,076Sumanga Besar 29,6 31 0,52 7,72 0,227Salisihang 29,8 31 0,5 7,54 0,093Saboyang 29,7 31 0,51 7,67 0,500
21
Sabakatang 29,4 31 0,6 7,41
0,172
1. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang paling berpengaruh
terhadap ekosistem lamun. Suhu juga menjadi faktor pembatas bagi
pertumbuhan dan distribusi lamun. Hasil pengukuran parameter lingkungan
terlihat bahwa kisaran suhu yang diperoleh pada saat pengukuran adalah 29ºC –
31ºC. Hasil pengukuran suhu air laut tersebut tidak menunjukkan perbedaan nilai
suhu yang besar. Suhu yang diperoleh dalam pengukuran masih dalam kisaran
yang optimun untuk pertumbuhan lamun (gambar 4). Seperti yang dinyatakan
Arifin (2001) bahwa suhu optimun untuk pertumbuhan lamun adalah 28ºC –
30ºC, Ditambahkan pula oleh Dahuri (1996), bahwa lamun masih dapat
mentolerir suhu sampai 36ºC. Suhu mempengaruhi proses-proses fisiologi yaitu
proses fotosintesis, pertumbuhan dan reproduksi. Proses fisiologis tersebut akan
menurun tajam apabila temperatur perairan berada di luar kisaran optimal
tersebut.
Ambo
Lamudaa
n
Malambir b
esar
Malambir k
ecil
siloan
g
Popongan
Suman
ga Besa
r
Salisih
ang
Saboya
ng
Sabaka
tang
27.528
28.529
29.530
30.531
31.532
32.5
Suhu
(ºC
)
Gambar 4. Suhu perairan pada stasiun penelitian
22
2. Salinitas
Lamun diketahui memiliki kisaran toleransi yang besar terhadap salinitas.
Perubahan gradien salinitas umumnya terjadi di daerah estuaria atau muara
sungai yang menjadi tempat bertemunya air tawar dengan air laut. Salinitas di
perairan Kepulauan Babalakang yang terukur berkisar antara 30 – 31 ‰. Kisaran
salinitas yang terukur di semua Pulau tersebut masih dalam batas normal untuk
pertumbuhan lamun di daerah tropis (Gambar 5). Sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Ziemen (1975) dalam Supriharyono (2000) bahwa salinitas yang
optimun untuk pertumbuhan lamun berkisar antara 25 – 35 ‰. Menurut Dahuri et
al (2001) bahwa kisaran salinitas yang optimal untuk mendukung pertumbuhan
lamun adalah 35 ‰.
Ambo
Lamudaa
n
Malambir b
esar
Malambir k
ecil
siloan
g
Popongan
Suman
ga Besa
r
Salisih
ang
Saboya
ng
Sabaka
tang
29.429.629.8
3030.230.430.630.8
3131.2
Salin
itas
(‰)
Gambar 5. Salinitas perairan pada stasiun penelitian
3. Kekeruhan
Kekeruhan berkaitan dengan intensitas cahaya yang dapat tembus ke
dalam kolom air, di mana perairan dengan kekeruhan yang tinggi akan
mengakibatkan banyaknya cahaya yang dipantulkan kembali oleh partikel-
23
partikel tersuspensi sehingga intensitas cahaya matahari yang bisa di terima oleh
lamun tidak optimal dan akan mengganggu proses fotosintesis (Hamid, 1996)
dalam Supriadi (2002).
Kisaran kekeruhan air yang terukur berkisar antara 0,01 – 0,60 NTU
(Gambar 6), dimana pada tingkat kekeruhan terendah didapatkan pada Pulau
Melambir besar sebesar 0,01 NTU dan pada tingkat kekeruhan tertinggi pada
Pulau Sabakatang sebesar 0,60 NTU.
Ambo
Lamudaa
n
Malambir b
esar
Malambir k
ecil
siloan
g
Popongan
Suman
ga Besa
r
Salisih
ang
Saboya
ng
Sabaka
tang
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
Kek
eruh
an (N
TU)
Gambar 6. Kekeruhan perairan pada stasiun penelitian
4. pH
Kisaran derajat keasaman yang ditemukan dari seluruh stasiun penelitian
berkisar 7,25 -7,93 dan merupakan kisaran yang masih normal untuk perairan
tropis (gambar 7). Kaswadji (1997) dalam Patiung (2004) mengatakan bahwa
suatu perairan dengan pH 5,5 – 6,5 dan pH yang lebih dari 8,5 merupakan
perairan yang tidak produktif dan perairan dengan pH antara 7,5 – 8,5
mempunyai tingkat produktifitas yang tinggi.
24
Ambo
Lamudaa
n
Malambir b
esar
Malambir k
ecil
siloan
g
Popongan
Suman
ga Besa
r
Salisih
ang
Saboya
ng
Sabaka
tang
6.8
7
7.2
7.4
7.6
7.8
8
pH
Gambar 7. pH perairan pada stasiun penelitian
5. Kecepatan Arus
Hasil pengukuran kecepatan arus yang didapatkan berkisar 0,045 m/detik
– 0,172 m/detik, keberadaan lamun juga sangat berpengaruh terhadap
kecepatan arus, karena lamun dapat menghalangi pergerakan arus. Dengan
demikian dapat mendukung kehidupan organisme di dalamnya (Gambar 8).
Dahuri (2003) menjelaskan bahwa kecepatan arus perairan berpengaruh
terhadap produktivitas padang lamun. Arus dengan kecepatan 0,5 m/detik masih
termasuk kondisi yang baik untuk pertumbuhan lamun.
Gambar 8. Kecepatan Arus perairan pada stasiun penelitian
25
Ambo
Lamudaa
n
Malambir b
esar
Malambir k
ecil
siloan
g
Popongan
Suman
ga Besa
r
Salisih
ang
Saboya
ng
Sabaka
tang
00.020.040.060.08
0.10.120.140.160.18
0.2
Kec
. Aru
s (m
/dtk
)
C. Distribusi Lamun di Kepulauan Balabalakang
Berdasarkan penelitian ditemukan sebanyak 5 jenis lamun yang tersebar
di Kepulauan Balabalakang yaitu Thalassia hempricii, Halophila ovalis, Halodule
uninervis, cymodocea rotundata dan cymodocea serrulata. Jumlah jenis lamun
masing-masing pulau dari 2 sampai 5 jenis. Pulau Lamudaan, Melambir kecil,
Melambir besar, Saboyan, dan Sabakatang mempunyai 2 jenis lamun yang di
dapatkan. Jumlah jenis lamun di pulau Ambo, dan Sumanga besar sebanyak 3
jenis, Pulau Popoongan dan Salisingan sebanyak 4 jenis, sementara di Pulau
Seloan di temukan jumlah jenis terbanyak yaitu 5 jenis (Tabel 3).
Namun demikian, besar kemungkinan ada jenis-jenis lamun yang belum
tercatat karena keterbatasan stasiun pada masing-masing pulau.
Tabel 3. Distribusi Lamun di Kepulauan Balabalakang
No JenisLokasi
FK (%)1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Thalassia hemprichii
√ √ √ √ √ √ √ 70
2 Halophila ovalis
√ √ √ √ √ √ √ √ 80
3 Halodule uninervis
√ √ √ √ √ √ √ √ 80
4 Cymodocea rotundata
√ √ √ √ √ 50
5 Cymodocea serrulata
√ 10
Jumlah Jenis 3 2 2 2 5 4 3 4 2 3
Ket.
1. Pulau Ambo
2. Pulau Lamudaan
3. Pulau Melambir kecil
4. Pulau Melambir besar
26
5. Pulau Seloan
6. Pulau popoongan
7. Pulau Sumanga besar
8. Pulau Salisingan
9. Pulau Saboyan
10. Pulau Sabakatang
Frekuensi kemunculan dari suatu spesies lamun menunjukkan derajat
penyebaran jenis lamun dalam suatu komunitas. Menurut Tomascik et al. (1997),
pola penyebaran jenis-jenis lamun di Indonesia cenderung mengelompok
(patchy) dan didominasi oleh komunitas campuran. Dari hasil perhitungan
frekuensi jenis lamun di kepulauan Balabalakang, kemunculan jenis lamun
Halophila ovalis dan Halodule uninervis yang paling sering ditemukan
dibandingkan dengan jenis lamun lainnya. Frekuensi kemunculan kedua jenis
tersebut masing-masing sebesar 80%, dimana kedua jenis lamun ini
penyebarannya hampir diseluruh lokasi di kepulauan balabalakang, Halophila
ovalis tidak ditemukan di Pulau Melambir kecil dan Pulau Saboyan, sedangkan
Halodule uninervis tidak ditemukan di Pulau Sumanga besar dan Pulau Saboyan.
Disamping kedua jenis tersebut jenis Thalassia hemprichii juga
mempunyai frekuensi kemunculan yang tergolong tinggi mencapai 70%, namun
jenis ini tidak ditemukan di Pulau Lamudaan, Pulau Melambir besar, dan Pulau
Sabakatang. Frekuensi kemunculan jenis lamun yang paling sedikit adalah jenis
Cymodocea serrulata dengan nilai frekuensi kemunculan sebesar 10% yang
hanya terdapat di Pulau Seloan. Menurut Hemminga dan Duarte (2000), daerah
sebaran lamun yang luas mengindikasikan daya adaptasi yang tinggi sehingga
suatu jenis lamun dapat tumbuh dengan baik pada tipe habitat yang berbeda-
beda dengan kondisi lingkungan yang berubah-ubah setiap saat.
27
D. Tutupan Lamun
1. Tutupan Total
Persentase penutupan lamun menggambarkan seberapa luas lamun
menutupi dasar perairan. Tingginya persen penutupan lamun tidak selamanya
linear dengan tingginya jumlah jenis maupun tingginya kerapatan jenis karena
pengamatan penutupan yang dilihat adalah penutupan substrat oleh helaian
daun sedangkan pada kerapatan jenis yang dilihat adalah jumlah tegakan. Lebar
helaian daun sangat berpengaruh pada penutupan substrat, makin lebar helaian
daun maka semakin besar menutupi substrat.
Penutupan lamun berhubungan erat dengan habitus atau bentuk
morfologi dan ukuran suatu spesies lamun. Mengacu pada Kepmen LH No. 200
tahun 2004 maka kondisi penutupan lamun di Kepulauan Balabalakang berkisar
dari kondisi miskin sampai kaya/sehat (Gambar 9). Nontji (1993) mengatakan
bahwa kerusakan lamun di timbulkan oleh beberapa faktor seperti gangguan fisik
dan lingkungan baik oleh alam maupun manusia. Gangguan tersebut dapat
mempengaruhi jumlah tegakan, kerapatan, pola sebaran dan dapat mengurangi
persen tutupan lamun.
28
P. ambo
P. Lamudaan
P. Mela
mbir keci
l
P. Mela
mbir besa
r
P. Selo
an
P. Poopongan
P.Suman
ga besa
r
P.Salisi
ngan
P. Sab
oyan
P.Sabaka
tang
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
Series1
Penu
tupa
n To
tal (
%) Kurang
Kaya/Kurang Miskin
Miskin
Kaya
Gambar 9. Penutupan Total lamun di Kepulauan Balabalakang
Kondisi kaya / sehat di temukan pada 2 pulau dari total 10 pulau (20%),
kondisi kurang kaya / kurang sehat juga di temukan pada 2 pulau (20%),
sedangkan kondisi miskin di temukan pada 6 pulau (60%). Umumnya kondisi
lamun di Kepulauan Balabalakang tergolong ke dalam kategori miskin. Pulau
dengan kondisi tutupan lamun sehat/kaya terdapat pada Pulau Saboyan dengan
persentase tutupan 84% dan Pulau Salisingan dengan persentase tutupan 61%,
Pulau dengan kondisi tutupan lamunnya kurang kaya / kurang sehat terdapat
pada Pulau Seloan dengan persentase tutupan 32% dan Pulau Sumanga besar
dengan persentase tutupan 48%, sedangkan tutupan terendah pada Pulau
Melambir kecil dengan persentase tutupan 1%, Pulau Melambir besar dengan
persentase tutupan 2%, Pulau Sabakatang dengan persentase tutupan 4%,
Pulau Lamudaan dengan persentase penutupan 12%, Pulau Ambo dengan
29
persentase tutupan 18%, dan Pulau Poopongan dengan persentase tutupan
22%.
2. Tutupan jenis
a) Thalassia Hempricii
Hasil penelitian menunjukan tutupan jenis lamun Thalassia hempricii
berkisar antara 1-46% , dimana pulau dengan tutupan lamun tertinggi di temukan
pada Pulau Salisingan dan Pulau Saboyan dengan nilai tutupan masing-masing
sebesar 46% dan yang terendah ditemukan pada Pulau Melambir besar dan
Pulau Ambo dengan nilai tutupan masing-masing sebesar 2% dan 1% (Gambar
10). Jenis lamun Thalassia hemprichii yang menyebar merata hampir di setiap
pulau dengan tutupan yang merata. Hal tersebut disebabkan karena Thalassia
hemprichii menyukai habitat dengan kecepatan arus yang cukup tinggi
mempunyai struktur morfologi akar yang kokoh sehingga tidak mudah tercabut
(Fauziyah, 2004).
P. ambo
P. Lamudaan
P. Mela
mbir keci
l
P. Mela
mbir besa
r
P. Selo
an
P. Poopongan
P.Suman
ga besa
r
P.Salisi
ngan
P. Sab
oyan
P.Sabaka
tang
0%5%
10%15%20%25%30%35%40%45%50%
Tutu
pan
Lam
un (%
)
Gambar 10. Penutupan Jenis lamun Thalassia Hempricii di Kepulauan Balabalakang
30
b) Halophila ovalis
Tutupan jenis lamun Halophila ovalis berkisar antara 5%-60% dimana
jenis lamun dengan tutupan tertinggi ditemukan pada Pulau Melambir besar
dengan tutupan sebesar 60% dan jenis lamun dengan tutupan terendah
ditemukan di Pulau Seloan dengan tutupan sebesar 5%.
P. ambo
P. Lamudaan
P. Mela
mbir keci
l
P. Mela
mbir besa
r
P. Selo
an
P. Poopongan
P.Suman
ga besa
r
P.Salisi
ngan
P. Sab
oyan
P.Sabaka
tang
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
Tutu
pan
Lam
un (%
)
Gambar 11. Penutupan Jenis lamun Halophila ovalis di Kepulauan Balabalakang.
c) Halodule Uninervis
Tutupan jenis lamun Halodule Uninervis terdapat disemua pulau pada
Kepulauan Balabalakang yang berkisar antara 1%-49%. Dimana pulau dengan
tutupan lamun tertinggi di temukan pada Pulau Sumanga besar dengan nilai
tutupan sebesar 49%, dan terendah ditemukan pada Pulau Lamudaan dengan
tutupan lamun 1%.
31
P. ambo
P. Lamudaan
P. Mela
mbir keci
l
P. Mela
mbir besa
r
P. Selo
an
P. Poopongan
P.Suman
ga besa
r
P.Salisi
ngan
P. Sab
oyan
P.Sabaka
tang
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Tutu
pan
Lam
un (%
)
Gambar 12. Penutupan Jenis lamun Halodule Uninervis di Kepulauan Balabalakang
d) Cymodocea rotundata
Tutupan jenis lamun Cymodocea rotundata hanya terdapat pada 2 pulau
dengan kisaran antara 13%-24%. Dimana pulau dengan tutupan tertinggi
ditemukan pada Pulau Poopongan dengan nilai tutupan lamun sebesar 24%,
dan pulau dengan tutupan terendah ditemukan pada Pulau Seloan dengan
tutupan lamun sebesar 13%.
Gambar 13. Penutupan Jenis lamun Cymodocea rotundata di Kepulauan Balabalakang
32
P. ambo
P. Lamudaan
P. Mela
mbir keci
l
P. Mela
mbir besa
r
P. Selo
an
P. Poopongan
P.Suman
ga besa
r
P.Salisi
ngan
P. Sab
oyan
P.Sabaka
tang
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
Tutu
pan
Lam
un (%
)
e) Cymodocea serrulata
Sedangkan tutupan jenis Lamun Cymodocea serrulata hanya ditemukan
di Pulau Seloan dengan tutupan lamun sebesar 10%.
P. ambo
P. Lamudaan
P. Mela
mbir keci
l
P. Mela
mbir besa
r
P. Selo
an
P. Poopongan
P.Suman
ga besa
r
P.Salisi
ngan
P. Sab
oyan
P.Sabaka
tang
0%
2%
4%
6%
8%
10%
12%
Tutu
pan
Lam
un (%
)
Gambar 14. Penutupan Jenis lamun Cymodocea serrulata di Kepulauan Balabalakang
E. Hubungan antara kerapatan dan penutupan
Uji regresi sederhana menggunakan bantuan software Microsoft Excel
2007. Variabel yang diuji yaitu nilai total kerapatan lamun di semua pulau dan
persentase tutupan lamun pada semua pulau pada perairan Kepulauan
Balabalakang. Secara umum hubungan antara kerapatan dan tutupan untuk
semua jenis lamun bersifat positif. Hal ini berarti semakin tinggi kerapatan maka
semakin nilai tutupannya.
1) Hubungan antara kerapatan dan tutupan lamun Thalassia hemprichii
Hubungan linear antara kerapatan dan tutupan lamun jenis
Thalassia hemprichii ditunjukan oleh persamaan Y = 12,207 + 0,1421X,
dimanan Y merupakan tutupan lamun dan X merupakan kerapatan
lamun. Nilai koefisien determinasi (R2) antara kerapatan lamun dengan
33
tutupan lamun diperoleh 0,8394 (83,94%) yang berarti hubungan
diantara keduanya cukup erat dan berhubungan searah (Gambar 15).
Koefisien determinasi menunjukkan bahwa 83,94% kerapatan lamun
dipengaruhi oleh persentase tutupan dan 16,06% oleh faktor lain.
150 200 250 300 350 400 450 500 550 6000
10
20
30
40
50
60
70
80
90f(x) = 0.142071106094808 x + 12.206546275395R² = 0.839402149394774
Series2
Tegakan (m2)
Tutu
pan
(%)
Gambar 15. Hubungan antara kerapatan dan tutupan lamun Thalassia hemprichii
2) Hubungan antara kerapatan dan tutupan lamun Halophila ovalis.
Hubungan linear antara kerapatan dan tutupan lamun jenis Nilai
Halophila ovalis ditunjukan oleh persamaan Y = 6,9848 + 0,5314X,
dimanan Y merupakan tutupan lamun dan X merupakan kerapatan
lamun. Nilai koefisien determinasi (R2) antara kerapatan lamun dengan
tutupan lamun diperoleh 0,5314 (53,14%) yang berarti hubungan
diantara keduanya kurang erat (Gambar 16). Sebagian mempunyai
variabel independent (kerapatan lamun) yang tinggi bertolak belakang
dengan variabel dependent (tutupan lamun) yang rendah. koefisien
determinasi menunjukkan bahwa hanya 53,14% kerapatan lamun
dipengaruhi oleh persentase tutupan dan 46,86% oleh faktor lain.
34
100 150 200 250 300 350 400 450 5000
10
20
30
40
50
60
70
80
90
f(x) = 0.14529404372958 x + 6.98479517466701R² = 0.531423449781976
Tegakan (m2)
Tutu
pan
(%)
P.Sabakatang
P.Popoongan
P.Sumanga besar
P.AmboP.lamudaan
P.Melambir besar
Gambar 16. Hubungan antara kerapatan dan tutupan lamun Halophila ovalis.
3) Hubungan antara kerapatan dan tutupan lamun Cymodocea rotundata
Hubungan linear antara kerapatan dan tutupan lamun jenis Nilai
Cymodocea rotundata ditunjukan oleh persamaan Y = 5,8623 + 0,1047X,
dimanan Y merupakan tutupan lamun dan X merupakan kerapatan
lamun. Nilai koefisien determinasi (R2) antara kerapatan lamun dengan
tutupan lamun diperoleh 0,6807 (68,07%) yang berarti hubungan
diantara keduanya cukup erat dan berhubungan searah (Gambar 17).
Koefisien determinasi menunjukkan bahwa 68,07% kerapatan lamun
dipengaruhi oleh persentase tutupan dan 31,93% oleh faktor lain.
35
150 200 250 300 350 400 450 500 5500
10
20
30
40
50
60
70
f(x) = 0.104710144927536 x + 5.8623188405797R² = 0.680665009575812 Se
...
Tegakan (m2)
Tutu
pan
(%)
P.Seloan
P.Saboyan
P.Sumanga besar
P.Popoongan
Gambar 17. Hubungan antara kerapatan dan tutupan lamun Cymodocea rotundata.
4) Hubungan antara kerapatan dan tutupan lamun Halodule uninervis
Hubungan linear antara kerapatan dan tutupan lamun jenis Nilai
Cymodocea rotundata ditunjukan oleh persamaan Y = 3,0527 + 0,186X,
dimanan Y merupakan tutupan lamun dan X merupakan kerapatan
lamun. Nilai koefisien determinasi (R2) antara kerapatan lamun dengan
tutupan lamun diperoleh 0,8205 (82,05%) yang berarti hubungan diantara
keduanya cukup erat dan berhubungan searah (Gambar 18). Koefisien
determinasi menunjukkan bahwa hampir 82,05% kerapatan lamun
dipengaruhi oleh persentase tutupan dan 17,95% oleh faktor lain.
36
50 100 150 200 250 300 350 400 450 5000
10
20
30
40
50
60
70
80
90
f(x) = 0.186037061118335 x − 3.0526657997399R² = 0.820498714643295
Se...
Tegakan (m2)
Tutu
pan
(%)
P.melambir kecil
P.Seloan
P.Ambo
P.Salisingan
Gambar 18. Hubungan antara kerapatan dan tutupan lamun Halodule uninervis.
37
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Jumlah jenis lamun yang ditemukan di Kepulauan Balabalakang terdiri dari 5
jenis, yaitu Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halodule uninervis,
cymodocea rotundata dan cymodocea serrulata. Jenis cymodocea serrulata
mempunyai sebaran yang terbatas ditemukan hanya pada satu pulau (Pulau
Seloan) sementara jenis Halophila ovalis dan Halodule uninervis mempunyai
sebaran yang paling luas, yaitu ditemukan pada 8 pulau, kecuali di Pulau
Melambir kecil dan Pulau Saboyan untuk jenis Halophila ovalis serta Pulau
Sumanga besar dan Pulau Saboyan untuk jenis Halodule uninervis.
2. Umumnya kondisi padang lamun berdasarkan tutupan di Kepulauan
Balabalakang tergolong kategori miskin (≤ 29,9), yakni ditemukan 6 dari 10
pulau yang ada. Sementara kategori kaya/sehat dan kurang kaya / kurang
sehat ditemukan pada masing-masing 2 pulau.
Saran
Ada pun saran yang kami berikan sehubungan dengan penelitian ini
adalah, dengan melihat kurangnya jumlah jenis lamun yang ada di Kepulauan
Balabalakang disarankan mengadakan transplatasi lamun di beberapa pulau
karena substrat yang ada di lokasi sangat memungkinkan jenis lamun seperti
Enhalus acoroides dan Halodule pinifolia untuk bisa tumbuh di Kepulauan
Balabalakang.
38
DAFTAR PUSTAKA
Abdi, M., 2002. Interaksi Antara Kepadatan Vegetasi Padang Lamun dan Kelimpahan Makrozoobentos di pulau Hoga, Taman Laut Nasoinal Wakatobi. Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.
Arifin., 2001. Ekosistem Padang Lamun. Jurusan Ilmu Kelautan. FIKP. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Azhar I., Benny P., Hanny T., FORPELA SC. 1997. Metode Pemantauan Wilayah Pesisir. Koleksi Dokumen Proyek Pesisir . Manado.
Bahri, S., 2003. Struktur Komunitas dan Distribusi Spasial Vegetasi Lamun Sepanjang Perairan Pantai Majene. Skripsi Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. Makassar.
Bastyan, G.R. and M.L. Cambridge 2008., Transplantation as a method for restoring the seagrass Posidonia australis. Estuarine, Coastal and Shelf Science . 79: 289–299.
Bengen, D. G., 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. PKSPL-IPB. Bogor.
Boyd, C. E., 1979. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevies. Scientific Publishing. Co. New York
Dahuri, R, R Jacub, P.G Sapta, dan M. J . Sitepu, 2001 Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Den Hartog ., 1970. The Seagrass of The World, North Holland Publ.Co. Australian
Djais Ferianto H., Anzori S.,Yvonne, I.P., Pandu, P., 2002. Modul Sosialisasi Dan Orientasi Penataan Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Direktorat Jendral Pesisir Dan Pulau-pulau Kecil, Dinas Kelautan Dan Perikanan. Jakarta.
English, S., C. Wilkinson and V. Baker, 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australia Institute of Marine Science. Townsville. Australia.
Fauziyah,I,M.,2004. Struktur Komunitas Padang Lamun di Pantai Batu Jimbaran
Sanur. Skripsi. IPB.Bogor
Fortes, M. D., 1989. Sea Grasses, A Resource Unknown in The Asean Region. Iccarm Education.
39
Haruna, F. S., 1994. Pengaruh Sedimen Dasar Terhadap Penyebaran, Kepadatan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Pertumbuhan Padang Lamun Di Laut Sekitar Barang Lompo. Tesis Program Pasca Sarjana Unhas.Ujung Pandang.
Hemminga, 2002. Seagrass Ecology. Published by The Press Syndicate of the
University of Cambridge, United Kingdom
Hutabarat, S. dan S. M. Evans, 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Hutomo, M., 1985. Telaah Ekologik Komunitas Ikan pada Padang Lamun
(Seagrass, Anthophyta) di Perairan Teluk Banten. Disertasi. Fakultas
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Kepmen LH, Nomor 200. 2004. Kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun.
Kiswara W. dan M. Hutomo. 1985. Habitat dan Sebaran Geografik Lamun. Oseana, Volume X. Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI. Jakarta.
Koesbiono, 1995. Ekologi Wilayah Pesisir. PPLH-LP-IPB. Bogor
Mangga Barani, 2003. Kebijakan Perikanan Tangkap dalam Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan. Makalah Seminar Nasional Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
McKeinzie et al, 2001. Estimasi tutupan lamun untuk kegiatan seagrass watch method. Department of Primary Industries Queensland. Australia.
Mc Roy, C. P and C. Hellferich. 1977. Seagrass Ecosystem. A Scientific
Perspective. Mar. Sci. Vol.4. Marcel Dekker inc. New York.
Nasmia, 2012. Produk Alam Laut dari Rumput Laut (Seaweeds) dan Lamun
(Seagrass). Tugas Mata Kuliah Bioteknologi Bahan Hayati Alam Laut.
Ilmu Pertanian. Program Pascasarjanan S3. Universitas Hasanuddin,
Makassar
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Nuryanti, 2002. Distribusi dan Kerapatan Vegetasi Lamun Di Perairan Pulau Tanakeke Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Skripsi Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. Makassar
40
Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut sebagai Suatu Pendekatan Ekologis. P. T. Gramedia. Jakarta.
Patiung R.T., 2004. Distribusi dan kepadatan Lamun Di Perairan Pulau Salemo, Pulau Sabangko, dan Pulau Sagara Kabupaten Pangkep.Skripsi Ilmu Kelautan dan Perikanan. UNHAS. Makassar.
Pemerintah Daerah, 2009. Kondisi lamun di Kepulauan Balabalakang Kabupaten Mamuju.
Purwanto J. dan Suryadiputra, 1984. Telaah Ekologis Komunitas Organisme Akuatik Di Padang Sea Grass Dalam Rangka Pengelolaan Perairan Teluk Banten. Proyek Pengembangan Peningkatan Perguruan Tinggi, Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.
Romimohtarto, K., 1991. Ekosistem Laut dan Pantai. Jakarta
Romimohtarto, K. dan Juana, S., 1999. BIOLOGI LAUT, Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Peberbit Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI Jakarta.
Supriadi, 2002. Produktivitas Lamun Enhalus acroides dan Thalassia hemprichii di Pulau Barrang Lompo Makassar. Tesis Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Wilayah Pesisir Tropis, P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji dan M.K. Moosa. 1997. The Ecology of Indonesian Seas. Part Two. Periplus Editions. Singapura.
Waycott, M., K. McMahon, J. Mellors, A. Calladine, and D. Kleine, 2004. A Guide to Tropical Seagrasses of the Indo-West Pacific. James Cook University, Townsville-Queensland-Australia
Zieman JC. 1975. A Review of Certain Aspects of The Life, Death and Distribution of the seagrass of the South.
41
42
STASIUN
LOKASI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 14% 10% 0% 0% 10% 35% 35% 76% 85% 4%
2 23% 20% 0% 0% 53% 28% 40% 49% 85% 4%
3 17% 8% 2% 7% 33% 5% 70% 59% 83% 3%Rata-rata
18% 12% 1% 2% 32% 22% 48% 61% 84% 4%STDEV
4,8% 6,2% 1,0% 4,0% 21,2% 15,4% 19,0% 13,7% 1,2% 0,3%
Lampiran 1. Penutupan Total lamun di Kepulauan Balabalakang
Ket.1. Pulau Ambo
2. Pulau Lamudaan
3. Pulau Melambir kecil
4. Pulau Melambir besar
5. Pulau Seloan
6. Pulau popoongan
7. Pulau Sumanga besar
8. Pulau Salisingan
9. Pulau Saboyan
10. Pulau Sabakatang
Lokasi Lamun
43
P. Ambo TH HO CR HU CS
Transek I
10 20 25% 30 80% 40 1%50 25%60 1% 70 80 1%90 1% 100 1%
Transek II
10 20 30% 30%30 1%40 45% 45%50 15% 15%60 15% 15%70 10% 10%80 90 100
Transek III
10 20% 20%20 30% 30%30 1%40 20% 20%50 20% 10%60 70 80 90 100
Tutupan Jenis 1% 28% 15%
Lampiran 2. Tutupan Jenis lamun di Pulau Ambo
LokasiLamun
44
P. Lamudaan TH HO CR HU CS
Transek I
10 20 30 45% 40 1% 50 1% 60 1% 70 80 45% 90 5% 100
Transek II
10 20 45% 30 15% 1%40 80% 50 60 45% 70 10% 80 90 100
Transek III
10 80% 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Tutupan Jenis 31% 1%
Lampiran 3. Tutupan Jenis lamun di Pulau Lamudaan
Lokasi Lamun
P.Melambir kecil TH HO CR HU CS
45
Transek I
10 20 30 40 1% 50 1% 60 70 80 90 100
Transek II
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Transek III
10 20 30 1% 1%40 5% 50 1% 10%60 70 80 90 100
Tutupan Jenis 2% 6%
Lampiran 4. Tutupan Jenis lamun di Pulau Melambir kecil
Lokasi Lamun
P.Melambir besar TH HO CR HU CS
Transek I 10
46
20 30 40 50 60 70 80 90
100
Transek II
10 20 30 40 50 60 70 80 90
100
Transek III
10 20 30 40 50 60% 10%60 70 80 90
100 Tutupan Jenis 60% 10%
Lampiran 5. Tutupan jenis lamun di Pulau Melambir besar
Lokasi Lamun
P.Seloan TH CR HO CS HU
Transek I 10 10% 85%20 1%
47
30 5% 40 1% 50 60 70 80 90
100
Transek II
10 60% 25%20 45% 5% 10% 25%30 65% 20% 40 65% 15%50 50% 10% 25%60 45% 15% 70 40% 5% 80 90
100
Transek III
10 60% 25%20 80% 5%30 60% 1%40 80% 5% 50 5% 60 1% 70 80 5% 90
100
Tutupan Jenis 38% 13% 5% 10% 26%
Lampiran 6. Tutupan Jenis di Pulau Seloan
Lokasi Lamun
P.Popoongan TH CR HO CS HU
Transek I 10 20 5% 60%30 45% 45%
48
40 25% 60% 50 1% 60 60% 70 45% 80 90 100
Transek II
10 20 45% 15%30 85% 40 65% 50 5% 45%60 15% 70 <1% 80 90 100
Transek III
10 45% 20 3% 30 3% 40 50 60 70 80 90 100
Penutupan Jenis 44% 24% 34% 41%
Lampiran 7. Tutupan jenis lamun di Pulau popoongan
Loaksi Lamun
P.Sumanga besar TH CR HO HR HU
Transek I
10 60% 20 5% 30 45% 40 85%
49
50 85% 60 65% 70 5% 80 <1% 90 100
Transek II
10 10% 20 30% 30% 30 30% 10% 40 15% 35% 50 15% 5% 60 15% 70 30% 40% 80 5% 90 25% 35% 100 20% 45%
Transek III
10 55% 30% 20 60% 25% 30 60% 25% 40 65% 5% 50 45% 60 80% 70 80% 80 65% 20% 90 85% 100
Tutupan Jenis 33% 49% 19%
Lampiran 8. Tutupan jenis lamun di Pulau Sumanga besar
Lokasi Lamun
P.Salisingan TH CR HO CS HU
Transek I
10 20 15% 10% 60%30 20% 10% 55%40 65% 20% 50 60% 20% 5%
50
60 55% 20% 10% 70 50% 15% 10% 10%80 65% 20% 90 70% 15%
100 80%
Transek II
10 5% 25%20 25% 60%30 3% 15% 15%40 45% 3% 5%50 45% 60 60% 70 45% 5%80 45% 5%90 25%
100 60%
Transek III
10 65% 20%20 5% 25% 45%30 45% 20% 40 65% 50 45% 20% 60 25% 5% 70 65% 80 65% 90 25%
100 45% Tutupan Jenis 46% 18% 8% 28%
Lampiran 9. Tutupan jenis lamun di Pulau salisingan
Lokasi Lamun
P.Saboyan TH CR HO CS HU
Transek I
10 40% 45% 20 35% 50% 30 30% 55% 40 30% 55% 50 25% 60% 60 35% 50%
51
70 40% 45% 80 50% 35% 90 65% 20%
100 70% 15%
Transek II
10 65% 20% 20 60% 25% 30 60% 25% 40 55% 30% 50 60% 25% 60 55% 30% 70 45% 40% 80 50% 35% 90 60% 25%
100 55% 30%
Transek III
10 70% 15% 20 20% 65% 30 20% 65% 40 25% 60% 50 45% 45% 60 30% 50% 70 20% 65% 80 35% 50% 90 70% 15%
100 55% 10% Tutupan Jenis 46% 39%
Lampiran 10. Tutupan Jenis lamun di Pulau Saboyan
Lokasi Lamun
P.Sabakatang TH CR HO CS HU
Transek I
10 20 30 5% 5%40 10% 5%50 10% 3%60 70
52
80 90
100
Transek II
10 20 30 10% 5%40 10% 3%50 5% 5%60 70 80 90
100
Transek III
10 20 30 5% 3%40 10% 5%50 5% 5%60 70 80 90
100 Tutupan Jenis 8% 4%
Lampiran 11. Tutupan jenis lamun di Pulau sabakatang
LamunLokasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Thalassia hemprichii 1% 2% 38% 44% 33% 46% 46%
Lampiran 12. Tutupan jenis lamun Thalassia hemprichii di Kepulauan Balabalakang
LamunLokasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Halophila 28% 31% 60% 5% 34% 19% 8% 8%
53
ovalis
Lampiran 13. Tutupan jenis lamun Halophila ovalis di Kepulauan Balabalakang
LamunLokasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Halodule uninervis 15% 1% 6% 10% 26% 41% 49% 18% 39% 4%
Lampiran 14. Tutupan jenis lamun Halodule uninervis di Kepulauan Balabalakang
LamunLokasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Cymodocea rotundata 13% 24%
Lampiran 15. Tutupan jenis lamun Cymodocea rotundata di Kepulauan Balabalakang
LamunLokasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Cymodocea serrulata
10%
Lampiran 16. Tutupan jenis lamun Cymodocea serrulata di Kepulauan Balabalakang
Lokasi Lamun
P.Ambo TH HO CR HU CS
Transek I
10 20 25%
30 (19/25)*85%
40 1%50 25%60 1% 70 80 1%
54
90 <1% 100 1%
Transek II
10 20 30% 30%30 1%
40 (12/25)*45% (11/25)45%
50 15% 15%60 15% 15%70 10% 10%80 90 100
Transek III
10 20% 20%20 (9/25)*30% (7/25)30%30 1%40 20% 20%50 20% 10%60 70 80 90 100
Lampiran 17. Data kerapatan Lamun di Pulau Ambo
Lokasi Lamun
P.Lamudaan TH HO CR HU CS
Transek I
10 20
30 (22/25)*45%
40 <1% 50 <1%
55
60 <1% 70 80 18/25x45% 90 5%
100
Transek II
10 20 8/25 x 45% 30 15% 1%
40 19/25 x 80%
50 60 8/25 x 45% 70 10% 80 90
100
Transek III
10 16/25 x 80%
20 30 40 50 60 70 80 90
100
Lampiran 18. Data kerapatan Lamun di Pulau Lamudaan
Lokasi Lamun
P.Melambir kecil TH HO CR HU CS
Transek I
10 20 30 40 <1% 50 <1% 60
56
70 80 90
100
Transek II
10 20 30 40 50 60 70 80 90
100
Transek III
10 20 30 <1% 1%40 5% 50 <1% (5/25)10%60 70 80 90
100
Lampiran 19. Data kerapatan Lamun di Pulau Melambir kecil
Lokasi Lamun
P.Melambir besar TH HO CR HU CS
Transek I
10 20 30 40 50 60 70 80
57
90 100
Transek II
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Transek III
10 20 30 40 50 16/25x60% 10%60 70 80 90 100
Lampiran 20. Data kerapatan Lamun di Pulau Melambir besar
Lokasi Lamun
P.Seloan TH CR HO C.S HU
Transek I
10 10% (23/25)85%
20 <1% 30 5% 40 <1% 50 60 70 80 karang
58
90 karang 100 karang
Transek II
10 (16/25)60% (7/25)25%
20 (12/25)45% 5% (7/25)10% 25%
30 65% 9/25)20%
40 (15/25)65% 15%50 50% 10% (9/25)25%60 45% 15% 70 (11/25)40% 5% 80 karang 90 karang 100 karang
Transek III
10 (16/25)60% (14/25)25%
20 (21/25)80% 5%30 60% 1%40 (24/25)80% 5% 50 5% 60 1% 70 80 5% 90 karang 100 karang
Lampiran 21. Data kerapatan Lamun di Pulau Seloan
Lokasi Lamun
P.Popoongan TH CR HO CS HU
Transek I
10 20 5% 60%
30 (17/25)45% 45%
40 (9/25)25% (21/25)60
59
%50 1% 60 60% 70 45% 80 karang 90 karang
100 karang
Transek II
10 20 (17/25)45% 15%30 85% 40 65% 50 5% 45%60 (8/25)15% 70 <1% 80 karang 90 karang
100 karang
Transek III
10 (13/25)45% 20 3% 30 3% 40 50 60 70 karang 80 karang 90 karang
100 karang
Lampiran 22. Data kerapatan Lamun di Pulau Popoongan
Lokasi Lamun
P.Sumanga besar TH CR HO CS HU
Transek I
10 (21/25)60% 20 5% 30 45% 40 (27/25)85%
60
50 (26/25)85% 60 65% 70 5% 80 <1% 90 karang 100 karang
Transek II
10 10% 20 30% 30% 30 (11/25)30% 10% 40 15% 35% 50 15% 5% 60 15% 70 30% (17/25)40% 80 5% 90 25% (9/25)35% 100 20% 45%
Transek III
10 55% (12/25)30% 20 60% 25% 30 60% 25% 40 65% 5% 50 45% 60 80% 70 80% 80 65% 20%(7/25) 90 85% 100 karang
Lampiran 23. Data kerapatan Lamun di Pulau Sumanga besar
Lokasi Lamun
P.Salisingan TH CR HO CS HU
Transek I
10 20 15% 10% 60%30 20% 10% (14/25)55%40 (19/25)65% 20% 50 60% 20% 5%
61
60 (15/25)55% 20% 10% 70 50% 15% 10% 10%80 65% 20% 90 (20/25)70% 15% 100 (24/25)80%
Transek II
10 5% 25%20 25% (17/25)60%30 3% 15% 15%40 45% 3% 5%50 45% 60 60% 70 45% 5%80 45% 5%90 25% 100 60%
Transek III
10 65% 20%20 5% 25% (16/25)60%30 45% 20% 40 65% 50 45% 20% 60 25% 5% 70 (18/25)65% 80 65% 90 25% 100 45%
Lampiran 24. Data kerapatan Lamun di Pulau Salisingan
Lokasi Lamun
P.Saboyan TH CR HO CS HU
Transek I
10 40% 21/25)45% 20 35% 23/25)50% 30 30% 55% 40 30% 55% 50 25% 60% 60 35% 50%
62
70 40% 45% 80 50% 35% 90 65% 20%
100 70% 15%
Transek II
10 65% 13/25)20% 20 60% 25% 30 60% 25% 40 55% 17/25)30% 50 60% 25% 60 55% 30% 70 45% 40% 80 50% 35% 90 60% 25%
100 55% 30%
Transek III
10 70% 15% 20 20% 25/25)65% 30 20% 65% 40 25% 23/25)60% 50 45% 45% 60 30% 50% 70 20% 65% 80 35% 50% 90 70% 15%
100 55% 10%
Lampiran 25. Data kerapatan Lamun di Pulau Saboyan
Lokasi Lamun
P.Sabakatang TH C.R H.O C.S HD.
Transek I
10 20 30 5% 5%40 10% 5%50 10% 3%60 70 80
63
90 100
Transek II
10 20 30 10% 5%40 10% 3%50 5% 5%60 70 80 90 100
Transek III
10 20 30 5% 3%40 6/25)10% 5%50 5% 5%60 70 80 90 100
Lampiran 26. Data kerapatan Lamun di Pulau Sabakatang
64