repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · hukum laut...

182
1 Hukum Laut Indonesia BAB I PENETAPAN ILMU-ILMU KELAUTAN TERMASUK HUKUM LAUT SEBAGAI POLA ILMIAH POKOK A. Pengertian Pola Ilmiah Pokok Setiap lembaga pendidikan tinggi diharapkan mene- rapkan apa yang dinamakan Pola Ilmiah Pokok (PIP) atau da- lam bahasa Inggeris disebut The Main Scientific Pattern (MSP). PIP atau MSP yang menunjukkan orientasi atau arah pengem- bangan lembaga pendidikan tinggi yang bersangkutan. Pene- rapan PIP oleh setiap lembaga pendidikan tinggi harus di da- sarkan atas keunggulan atau kompetensi spesifik yang di mi- likinya, dan kompetensi ini merupakan prasyarat untuk mela- kukan kerjasama intensif antarberbagai lembaga pendidikan tinggi. Tanpa memiliki kompetensi spesifik, tidak mungkin suatu perguruan tinggi, dapat berpartisipasi dalam kerjasama dengan perguruan tinggi lain atau instansi lainnya. Kerjasama intensif itu sendiri adalah suatu unsur dari sistem pendidikan nasional, dan merupakan salah satu program jangka panjang dari Pola Kebijaksanaan Dasar Pengembangan Pendidikan Tinggi di negeri ini yang ditetapkan sejak tahun 1975. PIP bukanlah sebuah disiplin ilmu, melainkan meru- pakan orientasi pemikiran strategis, dalam pendidikan yang sejauh mungkin mencakup setiap disiplin ilmu, sehingga dengan demikian, PIP diharapkan dapat memberikan arah bagi pengembangan Tri Dharma lembaga pendidikan tinggi,

Upload: others

Post on 26-Feb-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

1 Hukum Laut Indonesia

BAB I

PENETAPAN ILMU-ILMU KELAUTAN TERMASUK

HUKUM LAUT SEBAGAI POLA ILMIAH POKOK

A. Pengertian Pola Ilmiah Pokok

Setiap lembaga pendidikan tinggi diharapkan mene-

rapkan apa yang dinamakan Pola Ilmiah Pokok (PIP) atau da-

lam bahasa Inggeris disebut The Main Scientific Pattern (MSP).

PIP atau MSP yang menunjukkan orientasi atau arah pengem-

bangan lembaga pendidikan tinggi yang bersangkutan. Pene-

rapan PIP oleh setiap lembaga pendidikan tinggi harus di da-

sarkan atas keunggulan atau kompetensi spesifik yang di mi-

likinya, dan kompetensi ini merupakan prasyarat untuk mela-

kukan kerjasama intensif antarberbagai lembaga pendidikan

tinggi.

Tanpa memiliki kompetensi spesifik, tidak mungkin

suatu perguruan tinggi, dapat berpartisipasi dalam kerjasama

dengan perguruan tinggi lain atau instansi lainnya. Kerjasama

intensif itu sendiri adalah suatu unsur dari sistem pendidikan

nasional, dan merupakan salah satu program jangka panjang

dari Pola Kebijaksanaan Dasar Pengembangan Pendidikan

Tinggi di negeri ini yang ditetapkan sejak tahun 1975.

PIP bukanlah sebuah disiplin ilmu, melainkan meru-

pakan orientasi pemikiran strategis, dalam pendidikan yang

sejauh mungkin mencakup setiap disiplin ilmu, sehingga

dengan demikian, PIP diharapkan dapat memberikan arah

bagi pengembangan Tri Dharma lembaga pendidikan tinggi,

Page 2: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

2 Hukum Laut Indonesia

atau perguruan tinggi, serta sekaligus dapat memberikan

nuansa spesifik kepada pelbagai disiplin ilmu yang dikem-

bangkan perguruan tinggi yang bersangkutan (Universitas

Hasanuddin, 1999:1).

Pilihan atau penetapan PIP bagi setiap perguruan

tinggi, dilakukan melalui pemikiran-pemikiran yang sifatnya

fundamental, yang berkaitan dengan keadaan lingkungan,

kebudayaan, dan sejarah kehidupan masyarakat luas, dimana

perguruan tinggi tersebut berada atau berdomisili. PIP diha-

rapkan memberikan warna dan nuansa spesifik, terhadap

perguruan tinggi yang bersangkutan, sehingga setiap luaran-

nya diharapkan, memiliki kemampuan untuk memberikan

warna dan nuansa spesifik, nuansa PIP terhadap disiplin ilmu

yang dikembangkannya.

Nuansa PIP dikembangkan secara tersebar, melalui

pelbagai disiplin ilmu pengetahuan yang dibina oleh berbagai

fakultas, sekaligus juga dapat dikembangkan secara terpusat,

pada sekumpulan disiplin ilmu yang membentuk program

studi, yang mendukung PIP itu secara melembaga di dalam

dan melalui satu fakultas.

B. Sejarah Penetapan Ilmu-Ilmu Kelautan Sebagai PIP

Universitas Hasanuddin

Universitas Hasanuddin (UNHAS) sebagai lembaga

pendidikan tinggi atau perguruan tinggi, telah memilih dan

menetapkan Ilmu-Ilmu Kelautan (Marine Sciences) sebagai

suatu kompe-tensi yang harus dibangun, dipelihara, serta

Page 3: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

3 Hukum Laut Indonesia

dikembangkan, dengan harapan dapat memberikan nuansa

spesifik bagi uni-versitas, dalam rangka melakukan kerjasama

intensif dengan lembaga pendidikan tinggi lain serta instansi

lain, baik milik pemerintah ataupun swasta.

Ditetapkannya Ilmu-Ilmu Kelautan sebagai PIP

UNHAS didasarkan atas kesepakatan yang dica-pai melalui

pelbagai pertemuan ilmiah yang puncaknya terjadi pada

Seminar Administrasi UNHAS di Kabupaten Soppeng (salah

satu kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan) pada tahun

1975. Kesepakatan tersebut kemudian dikukuhkan melalui

Rapat Senat UNHAS dan selanjutnya dituangkan ke dalam

Surat Keputusan Rektor UNHAS No.1149/UP-UH/1975 tang-

gal 27 Desember 1975.

Salah satu tonggak penting dalam perjalanan sejarah

pengembangan PIP UNHAS adalah adanya dukungan strategis

yang diucapkan sendiri oleh Presiden RI kala itu (Bapak

Soeharto), ketika UNHAS merayakan Dies Natalisnya (hari

jadi) yang ke-25 pada bulan September 1981 (Kerangka

Kebijakan Pengembangan PIP UNHAS:2). Beliau mengatakan

antara lain, Universitas Hasanuddin mempunyai kedudukan

yang khas dalam pengembangan studi ilmu-ilmu kelautan,

karena letak geografis UNHAS berada di belahan Timur Nu-

santara yang luas wilayah lautnya. Karena itu saya minta

agar usaha Universitas Hasanuddin untuk mengkhususkan

diri dalam pengembangan studi ini diteruskan dan tidak boleh

berhenti.

Page 4: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

4 Hukum Laut Indonesia

Kenyataan menunjukkan bahwa, lautan di wilayah

Indonesia yang luas dan kaya itu, sebagian terbesar belum

diolah. Adalah wajar dan bahkan sudah seharusnya jika

Universitas Hasanuddin tidak hanya memikirkan, tetapi

memegang peranan dalam perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi di bidang ini.

Tonggak penting lainnya adalah pembentukan Prog-

ram Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan sebagai jurusan yang

ditempatkan pada Fakultas Peternakan UNHAS pada tahun

1988, dimana pembentukan program studi tersebut dilakukan

berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan

Tinggi No.19/Dikti/Kep/ 1988 tanggal 16 Juni 1988. Program

Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan merupakan embrio dan

cikal bakal bagi terbentuknya Fakultas Ilmu dan Teknologi

Kelautan.

Jurusan Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan,

maupun Jurusan Program Studi Ilmu Perikanan, pada akhir-

nya ditetapkan sebagai bagian dari sebuah Fakultas yang

disebut Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan pada tahun

1996, yang penetapannya didasarkan atas Surat Keputusan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.036/O/1996 tanggal

29 Januari 1996. Keberadaan Fakultas Ilmu Kelautan dan

Perikanan merupakan salah satu langkah maju dalam

pengembangan PIP UNHAS, tetapi sekaligus mendorong

timbulnya ketidakpuasan pada beberapa kelompok civitas

Page 5: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

5 Hukum Laut Indonesia

academica, terutama dari kalangan Fakultas MIPA, dan Fa-

kultas Teknik.

Semoga ketidakpuasan dan gejolak yang pernah ter-

jadi, dalam hubungan dengan eksistensi Fakultas Ilmu

Kelautan dan Perikanan sudah teratasi, dan hal ini hanya

dapat dilakukan melalui dialog di antara pihak-pihak yang

berkepentingan, guna menemukan solusi terbaik dari kemelut

memalukan yang pernah kronis dan berlarut-larut. Solusi

terbaik hanya dapat diwujudkan dengan mempergunakan

pendekatan win-win solution, dimana tidak ada pihak yang

kalah dan tidak ada pihak yang menang, sebab semua

menang, sehingga Ilmu-Ilmu Kelautan yang dicanangkan

sebagai PIP UNHAS ini benar-benar dapat berkembang dan

memberi manfaat, serta kontribusi positif bagi pembangunan

nasional pada umumnya, dan pembangunan masyarakat Su-

lawesi Selatan pada khususnya dalam rangka mencapai dan

meningkatkan kesejahteraan terutama bagi rakyat Sulawesi

Selatan.

C. Ilmu-Ilmu Kelautan Masih Memiliki Relevansi

Mengenai Relevansi Ilmu-Ilmu Kelautan termasuk

pula Ilmu Hukum Laut sebagai PIP UNHAS, pertanyaan yang

dapat diajukan adalah, apakah Ilmu-Ilmu Kelautan yang

ditetapkan sebagai PIP UNHAS sejak tahun 1975 masih

relevan, dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat

yang senantiasa berubah, serta masih sejalan dengan arah

Page 6: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

6 Hukum Laut Indonesia

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara

umum.

Pertanyaan strategis ini dapat dijawab dengan menga-

mati beberapa kecenderungan perkembangan, baik yang ber-

sifat lokal maupun global yang sedang terjadi pada saat ini,

antara lain adalah sebagai berikut (Kerangka Kebijakan

Pengembangan PIP Unhas:3) :

1. Ketergantungan manusia pada sumber daya alam (natu-

ral resources), menghadapi kendala dengan semakin ber-

kurangnya ketersediaan sumber daya alam, yang terda-

pat di wilayah daratan, sehingga memaksa manusia un-

tuk beralih, kepada kemungkinan pemanfaatan sumber

daya alam yang berlokasi di lautan. Kecenderungan ini

antara lain, dapat dilihat dengan semakin meningkatnya

kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah laut,

seperti kegiatan penangkapan ikan, penambangan

minyak dan gas bumi, pemanfaatan energi laut dan

sebagainya.

2. Pergeseran kutub-kutub perdagangan dunia dari benua

Eropa dan Amerika ke wilayah basin Pasifik, yaitu kawa-

san negara-negara yang wilayahnya terletak di tepian

atau pinggiran Samudera Pasifik. Karena ciri geografis

yang dimiliki oleh negara-negara, tersebut didominasi

oleh laut, maka dapat diramalkan bahwa, karakteristik

perdagangan dunia di masa depan akan banyak pula

Page 7: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

7 Hukum Laut Indonesia

diwarnai oleh pemanfaatan sumber daya kelautan, ter-

masuk jasa lingkungan laut.

3. Perhatian terhadap interaksi antara atmosfir dan per-

mukaan tanah, dalam menelaah siklus iklim ternyata

sudah tidak dapat menjelaskan lebih jauh, tentang terja-

dinya anomaly iklim, atau penyimpangan iklim yang se-

dang berlangsung saat ini. Dewasa ini mulai disadari

bahwa adanya penyimpangan iklim itu, hanya dapat

dipahami dengan mengamati interaksi antara atmosfir

dengan lautan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya

peran lautan sebagai regulator, proses alamiah yang

terjadi di atas permukaan bumi (termasuk di daratan)

yang secara langsung maupun tidak langsung mempe-

ngaruhi kehidupan umat manusia. Dengan kata lain,

kedudukan Ilmu-Ilmu Kelautan menjadi semakin penting

dikaitkan dengan upaya-upaya untuk meningkatkan

kualitas kesejahteraan umat manusia.

4. Dicetuskannya konsepsi Benua Maritim Indonesia

(konsepsi BMI), dan Deklarasi Bunaken pada tanggal 26

September 1998 yang pada prinsipnya menegaskan

bahwa laut adalah peluang, tantangan dan harapan

(opportunity, challenge, and hope) bagi masa depan per-

satuan, kesatuan dan pembangunan Indonesia, menun-

jukkan secara jelas dan meyakinkan mengenai posisi

strategis laut bagi masa depan Republik ini. Hal ini

diperkuat oleh posisi Universitas Hasanuddin yang seca-

Page 8: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

8 Hukum Laut Indonesia

ra geografis terletak di Kawasan Timur Indonesia, yang

memiliki wilayah laut yang jauh lebih luas, dibandingkan

dengan wilayah daratannya, dan secara budaya terletak

di lingkungan masyarakat bahari, dengan latar belakang

sejarah dan budaya bahari yang kental.

5. Faktor terakhir, yang juga tak kalah pentingnya adalah

apa yang dinamakan dengan Agenda 21 yang antara lain

mencanangkan sekian banyak azas atau prinsip yang

perlu diimplementasikan oleh negara-negara di seluruh

dunia dalam menghadapi pelbagai tantangan yang demi-

kian berat dalam millenium III. Salah satu azas yang

dimaksud adalah azas pelestarian lingkungan, termasuk

di dalamnya pelestarian lingkungan laut, serta pemba-

ngunan yang berkelanjutan, yang dengan sendirinya

menempatkan Ilmu-Ilmu Kelautan (termasuk di dalam-

nya Hukum Laut) tetap memiliki relevansi untuk terus

dikaji dan dikembangkan, dalam rangka mewujudkan

kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya dan

masyarakat Sulawesi Selatan pada khususnya.

D. Visi dan Misi dari PIP Universitas Hasanuddin (Tujuan

dan Pendekatan)

Secara sederhana dan singkat dapat dikatakan bahwa

pengelolaan sumber daya kelautan, hanya dapat dilakukan

dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi maju,

karena potensi sumber daya tersebut sulit dijangkau dengan

hanya mengandalkan teknologi sederhana. Penerapan dan

Page 9: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

9 Hukum Laut Indonesia

pengenalan iptek seyogyanya tidak dalam wujud kelembagaan

asing yang dicangkokkan ke dalam sistem budaya masyara-

kat, tetapi harus sesuai dengan nilai dan karakteristik budaya

masyarakat setempat. Visi Pola Ilmiah Pokok UNHAS dapat

dirumuskan sebagai berikut, yakni UNHAS sebagai pusat

pengembangan budaya bahari yang bercirikan kemandirian

dalam konteks kesadaran interkoneksitas universal (Kerangka

Kebijakan Pengembangan PIP Unhas:10-13).

Seiring dengan visi tersebut, maka misi PIP UNHAS

dapat dirumuskan dalam bentuk sebagai berikut :

1. Menghasilkan alumni yang mempunyai wawasan ke-

UNHAS-an dalam pelbagai disiplin ilmu dan strata

pendidikan, terutama yang berkaitan dengan ilmu dan

teknologi kelautan;

2. Mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan de-

ngan pengelolaan sumber daya kelautan;

3. Mempromosikan dan mendorong proses terwujudnya

masyarakat bahari yang berkualitas, sejahtera, dan ber-

orientasi kepada prestasi.

Wawasan ke-UNHAS-an mengandung pengertian

bahwa setiap lulusan Unhas memiliki jiwa dan potensi

kemandirian, dan senantiasa memiliki dan memelihara komit-

men terhadap pengembangan budaya bahari.

Sejalan dengan visi dan misi tersebut di atas, maka

tujuan pegembangan PIP UNHAS adalah sebagai berikut :

Page 10: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

10 Hukum Laut Indonesia

1. Mampu berperan sebagai pusat konservasi dan pengem-

bangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni di bidang

kelautan yang berskala dunia.

2. Terwujudnya kampus sebagai masyarakat akademik

yang berwawasan kelautan yang mampu mendorong ber-

kembangnya kegiatan tridarma perguruan tinggi, yang

bernuansa kelautan dan berciri kemandirian serta tang-

gap terhadap dinamika perubahan lokal maupun global.

3. Mengembangkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan,

teknologi, dan seni yang berkaitan dengan pengelolaan

sumber daya kelautan, melalui penyelenggaraan prog-

ram-program studi, penelitian, pengembangan kelem-

bagaan serta pengembangan sumber daya manusia

akademik.

4. Meningkatkan produktivitas dan kualitas luaran,

khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan pemba-

ngunan kelautan.

5. Berkembangnya budaya bahari yang berciri kemandirian

di kalangan masyarakat kawasan pesisir di Indonesia.

Dalam upaya mencapai tujuan tersebut di atas,

UNHAS melaksanakan pola pendekatan melalui institusio-

nalisasi, fungsionalisasi, integrasi, partisipasi dan kemitraan.

Institusionalisasi (Institutionalization) mengandung pengertian

bahwa seluruh unsur dari Universitas Hasanuddin bertang-

gungjawab untuk mengembangkan dan memperkuat lemba-

ga-lembaga yang sudah ada, dengan bantuan supervisi

Page 11: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

11 Hukum Laut Indonesia

manajemen, pembinaan kepemimpinan dan kelembagaan, pe-

ngenalan prosedur, cara kerja dan pelbagai aspek kelemba-

gaan, berdasarkan potensi dan masalah dari masing-masing

lembaga atau unit kerja yang ada. Fungsionalisasi (Functiona-

lization) diartikan bahwa program-program yang ada dilaksa-

nakan dengan memfungsikan secara berdaya guna dan berha-

sil guna semua sumber daya yang dimliki.

Selanjutnya integrasi (integration) atau keterpaduan

dimaksudkan mengintegrasikan potensi kelembagaan mau-

pun unsur-unsur universitas dan fakultas sedemikian rupa,

sehingga terwujud pencapaian tujuan PIP secara optimal.

Kemudian partisipasi (participation) diartikan bahwa dalam

semua kegiatan diupayakan pencapaian kesuksesan dengan

mengundang partisipasi maksimal semua pihak yang terkait.

Sedangkan kemitraan (partnership) dimaksudkan bahwa

dalam mengoptimalkan pencapaian tujuan PIP, dikembang-

kan kerjasama dengan pelbagai pihak di luar universitas,

terutama dengan pemerintah (pusat dan daerah), dunia usaha

dan industri, perguruan tinggi, lembaga IPTEK dan kelemba-

gaan masyarakat lainnya. seperti LSM, di dalam maupun di

luar negeri atas dasar saling menunjang dan bersifat sinergis.

Page 12: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

12 Hukum Laut Indonesia

Page 13: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

13 Hukum Laut Indonesia

BAB II

PRINSIP NEGARA NUSANTARA

(ARCHIPELAGIC STATE PRINCIPLE)

A. Pelbagai Istilah dan Pengertiannya

Ada istilah yang dinamakan konsepsi nusantara (Ar-

chipelagic Concept), ada istilah wawasan nusantara (Archipe-

lagic Outlook), ada istilah negara nusantara atau negara kepu-

lauan (Archipelagic State), dan ada pula istilah Benua Maritim

Indonesia (The Indonesian Maritime Continent), dan mungkin

ke depan akan muncul lagi istilah-istilah lain terkait dengan

konsepsi nusantara di masa-masa mendatang. Istilah wawa-

san nusantara adalah suatu wawasan atau outlook atau cara

pandang yang mencita-citakan terwujudnya persatuan dan

kesatuan bangsa dalam pelbagai bidang yang esensial bagi

eksistensi kehidupan serta kelangsungan hidup bangsa dan

negara Republik Indonesia.

Adanya wawasan seperti ini, tentu saja tidak terlepas

dari latarbelakang perjuangan bangsa dalam menghadapi

pelbagai tantangan, baik yang berasal dari luar negeri atau

dari negara kolonial, dengan politik divide et impera, dengan

tujuan untuk memecah belah bangsa dan negara, maupun

yang berasal dari dalam negeri Indonesia sendiri, khususnya

kelompok separatis dengan tujuan untuk memisahkan diri

dari negara kesatuan. Di samping itu, tantangan tersebut bisa

berasal dan bersumber dari adanya perpaduan dari kedua

faktor baik internal maupun eksternal.

Page 14: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

14 Hukum Laut Indonesia

Selanjutnya istilah Konsepsi Nusantara untuk

pertama kalinya dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja,

dimana konsepsi ini pada hakekatnya tersirat dan termuat di

dalam, dan melalui Pernyataan Pemerintah RI pada tanggal 13

Desember 1957 yang kemudian terkenal dengan nama

Deklarasi Juanda (mantan Perdana Menteri Republik Indo-

nesia pada zaman Presiden RI pertama, Bapak Ir. Sukarno)

menyangkut wilayah perairan Indonesia (Mochtar Kusuma-

atmadja, 1978:25-30). Menurut Mochtar Kusumaatmadja, ka-

rena bersangkut paut dengan masalah kewilayahan (terutama

wilayah perairan RI), maka Konsepsi Nusantara adalah suatu

konsepsi yang bersifat geografis, yang menunjukkan wilayah

Indonesia yang terdiri dari wilayah daratan, namun sebagian

besar adalah wilayah laut atau wilayah perairan harus dilihat

dan dianggap sebagai suatu kesatuan utuh.

Wilayah perairan negeri ini yang luasnya sekitar dua

pertiga dari seluruh wilayah Indonesia tidak dapat dipisah-

kan, tetapi harus dianggap sebagai bagian integral dari

wilayah daratannya (berupa pulau-pulau, baik pulau yang

ukurannya besar maupun kecil) sehingga harus dipandang

sebagai suatu kesatuan yang utuh (Mochtar Kusumaatmadja,

1978:28).

Karena konsepsi nusantara termuat di dalam Dekla-

rasi Juanda mengenai wilayah perairan Indonesia, maka

menurut Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi ini sebenarnya

juga adalah merupakan suatu konsepsi yuridis yang bertuju-

Page 15: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

15 Hukum Laut Indonesia

an untuk menyatukan wilayah Indonesia, yang merupakan

wilayah nusantara atau wilayah kepulauan. Dengan tercapai-

nya kesatuan atas seluruh wilayah kepulauan melalui

konsepsi yuridis, atau konsepsi pengaturan hukum mengenai

terintegrasinya wilayah perairan dengan wilayah daratan atau

antara laut dengan pulau, maka diharapkan akan tercapai

dan terwujud pula adanya kesatuan dalam berbagai aspek

kehidupan bangsa dan negara.

Tercapai dan terwujudnya kesatuan bangsa dan nega-

ra dalam berbagai aspek kehidupan, senantiasa harus terus

diperjuangkan sebagaimana halnya dengan perjuangan untuk

mewujudkan secara aktual kesatuan wilayah Indonesia yang

terdiri dari daratan dan perairan. Konsepsi nusantara sema-

kin kukuh dengan ditetapkannya wawasan nusantara melalui

ketetapan MPR RI Nomor IV Tahun 1973 yang menetapkan

wawasan nusantara sebagai salah satu landasan dari Garis-

Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Harapan dan cita-cita

untuk mewujudkan adanya kesatuan dalam berbagai aspek

kehidupan bangsa dan negara (aspek ideologi, politik, ekono-

mi, sosial-budaya, aspek pertahanan dan keamanan) tertuang

dalam suatu konsepsi yang disebut Wawasan Nusantara, yang

dikukuhkan melalui GBHN berdasarkan TAP MPR RI No. IV

Tahun 1973 yang meliputi berbagai aspek kehidupan dan

pembangunan bangsa dan negara.

Dengan demikian, istilah wawasan nusantara sesung-

guhnya adalah merupakan suatu konsepsi yang bersifat poli-

Page 16: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

16 Hukum Laut Indonesia

tis demi mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa dan

negara dalam berbagai aspek kehidupannya. Bagi Mochtar

Kusumaatmadja, konsepsi nusantara adalah suatu konsepsi

yuridis geografis yang berfungsi sebagai wadah fisik bagi

pengembangan wawasan nusantara.

Istilah Negara Nusantara atau dalam bahasa Inggeris

disebut “Archipelagic State” ditegaskan di dalam ketentuan

Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982 serta Pasal 1 Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang

Wilayah Perairan Indonesia yang pada dasarnya menyatakan

bahwa Negara Nusantara atau Negara Kepulauan adalah

negara yang wilayahnya terdiri dari satu kepulauan atau lebih

dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Indonesia dinamakan

sebagai negara kepulauan karena wilayah Indonesia seluruh-

nya terdiri dari satu kepulauan atau lebih serta mencakup

pulau-pulau lain. Ada kepulauan Maluku, ada kepulauan

Riau, ada kepulauan Seribu, kepulauan Sangir-Talaud, kepu-

lauan Natuna dan pelbagai macam kepulauan lain yang dimi-

liki oleh Indonesia.

Di samping itu ada pula Pulau Sumatera, Pulau Jawa,

Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Irian dan beribu-

ribu pulau lain yang tidak perlu dipaparkan, sebab semuanya

ini hanya untuk menunjukkan bahwa wilayah Indonesia

mencakup lebih dari satu kepulauan serta memiliki pulau-

pulau baik besar maupun kecil dalam jumlah yang sangat

besar. Istilah kepulauan (archipelago) diartikan sebagai suatu

Page 17: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

17 Hukum Laut Indonesia

gugusan atau kumpulan pulau-pulau, termasuk bagian-bagi-

an pulau, perairan yang terletak di antaranya atau di antara

satu pulau dengan pulau lainnya, dan bentuk-bentuk alamiah

lainnya yang hubungannya satu sama lain sedemikian erat-

nya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lain-

nya itu membentuk suatu kesatuan geografi, kesatuan

ekonomi dan kesatuan politik yang hakiki atau secara historis

dianggap sebagai suatu kesatuan seperti itu (United Nations

Convention on the Law of the Sea, A/ Conf.62/ 122, 7 October

1982).

Istilah Konsepsi Benua Maritim Indonesia (BMI)

dicetuskan melalui Konvensi Nasional Indonesia yang di-

selenggarakan di Makassar (Ujung Pandang) pada tahun 1998

(Kerangka Kebijakan Pengembangan Pola Ilmiah Pokok

Universitas Hasanuddin:14). Di dalam konvensi atau perte-

muan yang dihadiri oleh pelbagai kalangan dicapai kesepaka-

tan atau komitmen untuk mengkonsepsikan negeri kepulauan

Indonesia sebagai Benua Maritim Indonesia (BMI), dan pem-

bangunannya adalah Pembangunan Benua Maritim Indonesia

(PBMI). Pengkonsepsian BMI dan PBMI bertujuan untuk

mengaktualisasikan wawasan nusantara yang telah dikenal

sejak lama.

Dengan konsepsi dan aktualisasi, maka pemahaman

terhadap wilayah Indonesia dewasa ini, bukannya pulau-

pulau yang dikelilingi dengan laut, seolah-olah wilayah laut

menempel pada wilayah daratan seperti pemahaman selama

Page 18: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

18 Hukum Laut Indonesia

ini, melainkan wilayah laut yang ditaburi dengan pulau-pulau

baik besar maupun kecil. Dengan demikian, Konsepsi Benua

Maritim Indonesia menitikberatkan negara Indonesia sebagai

sebuah benua laut atau benua maritim yang di atasnya

bertaburan dengan pulau-pulau, baik pulau yang berukuran

besar maupun kecil, sehingga menggambarkan pulau-pulau

yang demikian banyaknya seakan-akan menempel pada wila-

yah laut yang begitu luas.

Secara berangsur-angsur, tetapi pasti konsepsi BMI

sebagai konsepsi baru mewarnai pembangunan di Indonesia.

Perhatian terhadap pembangunan kini dan di masa

mendatang akan banyak, bahkan terutama tercurah kepada

adaptasi atau pemanfaatan sumber daya perairan, terutama

perairan laut atau sumber daya kelautan. Dalam konsepsi

BMI, wilayah perairan Indonesia adalah sesuatu yang domi-

nan karena bukan hanya wilayah lautnya yang jauh lebih luas

daripada wilayah daratannya, melainkan juga karena wilayah

perairan berinterseksi dengan wilayah daratan (Kerangka

Kebijakan Pengembangan PIP Unhas:14).

Mengapa dikatakan berinterseksi? Sebabnya adalah

karena di perairan Nusantara atau di laut Nusantara terdapat

wilayah darat yang berbentuk pulau-pulau kecil, sedangkan

di wilayah daratan yang berbentuk pulau-pulau besar, terda-

pat perairan terutama perairan danau yang luas dan dalam,

seperti misalnya di Pulau Sulawesi terdapat Danau Tempe,

dan di Pulau Sumatera terdapat Danau Toba, serta terdapat

Page 19: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

19 Hukum Laut Indonesia

pula perairan sungai yang lebar dan panjang, seperti misalnya

di Sumatera Selatan (Sungai Musi) dan Kalimantan (Sungai

Kapuas). Demikian gambaran sederhana tentang berbagai

istilah dalam hubungan dengan Negara Kesatuan Republik

Indonesia sebagai negara nusantara atau negara kepulauan.

B. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Indonesia

Pada zaman Hindia Belanda, berlaku suatu peraturan

yang disebut Ordonansi laut teritorial, serta lingkungan

maritim Indonesia (Territoriale Zee en Maritieme Kringen

Ordonnantie atau disingkat menjadi TZMKO) yang berlaku

sejak tahun 1939. Berdasarkan ordonansi ini, setiap pulau

baik pulau yang berukuran besar maupun pulau yang

berukuran kecil di dalam lingkungan wilayah Hindia Belanda

mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri.

Laut territorial Hindia Belanda atau laut teritorial

Indonesia adalah jalur laut yang membentang ke arah laut

sampai jarak 3 mil laut yang diukur dari garis air rendah

pada setiap pulau atau bagian pulau yang merupakan wilayah

daratan Indonesia. Dengan demikian wilayah perairan Indo-

nesia meliputi jalur-jalur laut yang mengelilingi setiap pulau

atau bagian pulau Indonesia yang lebarnya hanya 3 mil laut

(Mochtar Kusumaatmadja:187)

Karena masing-masing pulau ataupun bagian pulau

mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri dengan lebar hanya

sejauh 3 mil laut terhitung dari garis air rendah pada setiap

pulau atau bagian pulau, maka hal ini mengakibatkan terben-

Page 20: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

20 Hukum Laut Indonesia

tuknya ruangan-ruangan dan kantung-kantung laut bebas

atau perairan internasional antara satu pulau atau bagian

pulau dengan pulau lain atau bagian pulau lainnya, sehingga

membawa dampak yang sangat negatif dan merugikan bagi

kedaulatan serta keutuhan teritorial Indonesia.

Dampak yang begitu merugikan akibat pengaturan

hukum kolonial (TZMKO) yang bernafaskan kebebasan di laut

(freedom of the seas) harus dihentikan atau diatasi, melalui

pengaturan hukum nasional. Hal ini telah dirintis sejak

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17

Agustus 1945, lahirnya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus

1945 yang di dalamnya terdapat Aturan Peralihan (Pasal II),

dan disusul dengan terbitnya Deklarasi Juanda pada tanggal

13 Desember 1957, yang merupakan pengumuman pemerin-

tah mengenai wilayah perairan Indonesia. Deklarasi ini me-

nyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang

menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang

termasuk daratan Negara Republik Indonesia, tanpa meman-

dang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar

daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan

dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional

yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Repub-

lik Indonesia.

Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini, bagi

kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan

dengan kedaulatan dan keselamatan Indonesia. Penentuan

Page 21: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

21 Hukum Laut Indonesia

batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari

garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada

pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan

dengan undang-undang.

Pernyataan Pemerintah tentang wilayah perairan

Indonesia pada tanggal 13 Desember tahun 1957 dilakukan

berdasarkan beberapa pertimbangan (Mochar Kusumaatma-

dja, 1978:187) sebagai berikut :

1. Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu

negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau

mempunyai sifat, dan corak tersendiri sehingga memer-

lukan pengaturan tersendiri;

2. Bahwa demi kesatuan wilayah (teritorial) Negara Repub-

lik Indonesia, semua kepulauan serta laut yang terletak

di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang

bulat;

3. Bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang

diwarisi dari Pemerintah kolonial sebagaimana tercan-

tum di dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kriengen

Ordonnantie” 1939 Pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi de-

ngan kepentingan keselamatan dan keamanan Negara

Republik Indonesia;

4. Bahwa setiap negara berdaulat berhak dan berkewajiban

untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya

perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan

negaranya.

Page 22: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

22 Hukum Laut Indonesia

Pengaturan perairan Indonesia yang dasar-dasarnya

telah ditetapkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13

Desember 1957 kemudian ditetapkan menjadi undang-

undang dengan menggunakan prosedur Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Perpu). Adapun isi dari Perpu

yang diundangkan berlakunya pada tanggal 18 Februari

1960 dan kemudian lebih dikenal dengan Undang-Undang

No.4/Prp.1960 adalah sebagai berikut (Mochtar Kusuma-

atmadja, 1978:194) :

1. Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan

ekonominya ditarik garis-garis pangkal lurus yang

menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau

terluar;

2. Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak di

dalam garis-garis pangkal lurus, ini termasuk dasar laut

dan tanah di bawahnya, maupun ruang udara di atasnya

dengan segala kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya;

3. Jalur laut wilayah (laut teritorial) selebar 12 mil diukur

atau terhitung dari garis-garis pangkal lurus ini;

4. Lalu lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui

perairan nusantara (archipelagic waters) dijamin selama

tidak merugikan kepentingan negara pantai dan meng-

ganggu keamanan serta ketertibannya.

Undang-Undang Nomor 4/ Prp. 1960 yang hanya

terdiri dari 4 pasal pada hakekatnya merubah cara penetapan

Page 23: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

23 Hukum Laut Indonesia

laut wilayah Indonesia dari suatu cara penetapan laut wilayah

selebar 3 mil diukur dari garis pasang surut atau garis air

rendah (low water line), menjadi laut wilayah selebar 12 mil

diukur dari garis pangkal lurus yang ditarik dari ujung ke

ujung. Seperti diketahui, cara penetapan garis pangkal lurus

ini untuk pertama kalinya memperoleh pengakuan dalam

hukum internasional melalui putusan Mahkamah Internasio-

nal (International Court of Justice) dalam perkara sengketa

perikanan Inggeris-Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case)

tahun 1951 (lihat kasusnya dalam L.C. Green, International

Law through the Cases, 1978:325) dan kemudian dikukuhkan

dalam Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 tentang Laut Teritorial,

dan Jalur Tambahan maupun secara mutatis mutandis dalam

Pasal 7 Konvensi Hukum Laut 1982.

Penarikan garis-garis pangkal lurus dari ujung ke

ujung pulau-pulau terluar nusantara ini mempunyai dua

akibat :

1. Jalur laut wilayah yang terbentuk melingkari kepulauan

Indonesia;

2. Perairan yang terletak pada bagian dalam dari garis-garis

pangkal lurus tersebut berubah statusnya dari laut

wilayah ataupun laut lepas (high seas) menjadi perairan

pedalaman (internal waters). Agar supaya perubahan

status ini tidak mengganggu hak lalu lintas kapal asing

yang telah ada sebelum cara penetapan batas wilayah,

maka Pasal 3 menyatakan bahwa perairan pedalaman

Page 24: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

24 Hukum Laut Indonesia

tersebut terbuka bagi lalu lintas damai kendaraan air

asing.

Beberapa tahun setelah diundangkannya Undang-

Undang Nomor 4/Prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, maka

para petugas di laut merasakan adanya kebutuhan atau

keperluan untuk mempertegas, serta menterjemahkan

ketentuan hak lintas damai bagi kapal asing di perairan

nusantara yang pada prinsipnya telah dijamin dalam Undang-

Undang Nomor 4/Prp. 1960. Untuk mempertegas ketentuan

lintas damai bagi kapal asing yang berada atau berlayar

melalui perairan nusantara, maka Pemerintah menetapkan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun

1962 tentang Lalu Lintas Damai Kendaraan Asing di Perairan

Indonesia.

Peraturan pemerintah yang ditetapkan pada tahun

1962, dan merupakan tindak lanjut atas Undang-Undang

Nomor 4/Prp. 1960, dalam hal ini ketentuan hak lintas damai

kapal asing memuat beberapa ketentuan, seperti apa yang

dimaksud dengan lalu lintas damai, syarat-syarat lintas

damai, serta lintas damai bagi kapal-kapal yang bersifat

spesifik atau kapal-kapal jenis khusus (kapal penelitian, kapal

nelayan, kapal perang dan kapal pemerintah yang bukan

kapal niaga).

Pengertian lalu lintas damai sebagaimana diatur di

dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 1962, adalah pelayaran untuk maksud damai yang

Page 25: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

25 Hukum Laut Indonesia

melintasi laut wilayah dan perairan pedalaman Indonesia, dari

laut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan sebaliknya dan

dari laut bebas ke laut bebas. Lalu lintas kapal asing dianggap

damai selama tidak bertentangan dengan keamanan, keter-

tiban umum, kepentingan dan atau tidak mengganggu perda-

maian Negara Republik Indonesia.

Lalu lintas damai kapal asing dianjurkan untuk

melalui alur-alur yang dicantumkan dalam buku-buku

kepanduan bahari yang berlaku dalam dunia pelayaran.

Berhenti, membuang sauh atau jangkar kapal dan atau

mondar mandir tanpa alasan yang sah di perairan Indonesia

tidak termasuk dalam pengertian lalu lintas damai menurut

peraturan pemerintah ini. Juga terdapat ketentuan mengenai

larangan bagi kapal asing untuk melewati atau melintasi

bagian-bagian tertentu dari perairan pedalaman untuk

sementara waktu, apabila hal ini dianggap perlu untuk

menjamin kedaulatan dan keselamatan negara. Kapal asing

yang akan melakukan riset ilmiah di perairan Indonesia

disyaratkan untuk meminta izin dari Presiden Republik Indo-

nesia.

Kapal perang asing yang akan melintasi perairan

Indonesia harus terlebih dahulu menyampaikan pemberitahu-

an atau notifikasi kepada Menteri/KSAL (Kepala Satuan Ang-

katan Laut). Kapal selam (submarine) harus berlayar di atas

permukaan laut selama melintasi perairan Indonesia, dan

dengan demikian juga harus mengibarkan benderanya yang

Page 26: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

26 Hukum Laut Indonesia

tentu dimaksudkan untuk mengetahui dan mengidentifikasi

negara yang merupakan negara bendera (Flag State).

Dalam Peraturan Pemerintah tersebut ada ketentuan

tentang alur-alur pelayaran. Apabila alur-alur ini sudah

ditetapkan oleh Kepala Staf Angkatan Laut, maka kapal

perang dan kapal pemerintah yang bukan kapal niaga serta

kapal nelayan atau kapal ikan harus melalui alur-alur

tersebut. Kapal perang asing yang lewat di alur-alur pelayaran

tidak perlu memenuhi syarat notifikasi yang berlaku bagi

lintas damai di perairan nusantara. Karena alur-alur

pelayaran itu belum ditetapkan pada waktu itu, maka dalam

praktek kapal perang umumnya melaksanakan kewajiban

pemberitahuan ketika melintasi perairan nusantara.

Juga diatur ketentuan mengenai kewajiban bagi kapal

nelayan asing yang sering melanggar ketentuan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962 yang

antara lain mewajibkan kapal tersebut meletakkan dan

menyimpan alat tangkapnya di bawah palkah kapal. Akan

tetapi ketentuan itu seakan-akan menjadi huruf mati, karena

banyaknya kapal ikan asing yang ditangkap, tetapi kemudian

dilepaskan. Kalau sampai ke pengadilan kasus-kasus pencu-

rian ikan (illegal fishing), kapal asing yang terlibat pada

umumnya dibebaskan. Kendati pengadilan menghukumnya,

kebanyakan hukumannya sangat ringan, sehingga kerugian

yang begitu besar, akibat pencurian ikan di perairan nusan-

tara harus ditanggung oleh bangsa dan negara.

Page 27: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

27 Hukum Laut Indonesia

Untuk mengakomodasi perkembangan hukum laut

pada tahun 1960-an, terkait dengan berlakunya Konvensi

Geneva 1958 mengenai hukum laut (Konvensi mengenai laut

teritorial dan jalur tambahan, Konvensi mengenai laut bebas,

Konvensi mengenai perikanan dan perlindungan kekayaan

hayati di laut bebas,.dan Konvensi mengenai landas

kontinen), maka pada tanggal 17 Februari 1969 Pemerintah

Indonesia mengeluarkan Pengumuman Pemerintah Republik

Indonesia tentang Landas Kontinen Indonesia yang memuat

pokok-pokok sebagai berikut (Mochtar kusumatmadja,

1978:37-38) :

1. Segala sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan

alam non hayati lainnya, termasuk organisme-organisme

hidup yang merupakan jenis sedentair, yang terdapat di

landas kontinen Indonesia adalah merupakan asset atau

milik dari bangsa dan negara Republik Indonesia dan

dengan demikian tunduk di bawah yurisdiksinya yang

bersifat eksklusif. Pengertian landas kontinen Indonesia

adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di

luar laut teritorial Indonesia, tetapi berbatasan dengan-

nya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor

4/Prp Tahun 1960, hingga suatu batas kedalaman 200

meter dari permukaan laut atau melebihi batas kedala-

man tersebut sepanjang kemampuan teknologi Indonesia

masih memungkinkan penggalian dan pengusahaannya.

Page 28: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

28 Hukum Laut Indonesia

2. Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis

batas landas kontinen dengan Negara tetangga melalui

perundingan.

3. Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas landas

kontinen Indonesia adalah suatu garis yang ditarik di

tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dengan

titik terluar wilayah negara tetangga.

4. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mem-

pengaruhi sifat serta status daripada perairan di atas

landas kontinen Indonesia sebagai laut lepas, demikian

pula ruang udara di atasnya yang tetap berstatus seba-

gai ruang udara internasional.

Bagian ketiga dari Pengumuman Pemerintah tersebut

memperlihatkan adanya keterkaitan antara konsepsi landas

kontinen Indonesia dengan konsepsi nusantara. Arti nyata

konsepsi landas kontinen Indonesia sebagaimana diatur di

dalam Pengumuman tersebut, adalah bertambahnya lagi luas

daerah di bawah permukaan laut (submarine areas) dengan

jumlah yang tidak sedikit untuk dapat mengeksplorasi dan

mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat di landas

kontinen Indonesia. Pengumuman Pemerintah tahun 1969 ini

lahir atas dorongan kebutuhan untuk mengeksplorasi dan

mengeksploitasi sumber daya mineral yang terdapat di

daerah-daerah di bawah permukaan laut, terutama di Laut

Cina Selatan di luar batas-batas perairan Indonesia. Karena

Indonesia dikelilingi oleh negara-negara tetangga yang mem-

Page 29: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

29 Hukum Laut Indonesia

punyai hak yang sama atas landas kontinen yang sama, maka

pemerintah Republik Indonesia perlu menyelesaikan masalah

garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga

sebelum ditemukan deposit atau cadangan minyak dan gas

bumi di landas kontinennya.

Untuk maksud itu lalu dibentuk Team Teknis Landas

Kontinen pada Departemen Pertambangan yang ditugaskan

terutama untuk menyelesaikan masalah garis batas landas

kontinen dengan negara-negara tetangga. Misalnya perjanjian

garis batas landas kontinen antara Republik Indonesia

dengan Malaysia tahun 1969 menyangkut garis batas landas

kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan; perjanjian

antara Republik Indonesia dengan Thailand tahun 1971

mengenai garis batas landas kontinen di Selat Malaka bagian

Utara dan di Laut Andaman; perjanjian antara Republik

Indonesia Thailand dan Malaysia pada tahun 1971 mengenai

garis batas landas kontinen di Selat Malaka bagian Utara;

perjanjian antara Republik Indonesia dengan Australia

tentang penetapan garis batas dasar laut tertentu (Laut

Arafura dan Daerah Utara Irian Jaya dan Papua Nugini) tahun

1973; perjanjian antara Republik Indonesia dengan Australia

tahun 1973 mengenai penetapan garis batas daerah-daerah

dasar laut tertentu (Selatan Pulau Tanimbar dan Pulau

Timor); perjanjian antara Republik Indonesia dengan India

mengenai penetapan garis batas landas kontinen tahun 1974.

Semuanya ini merupakan hasil kerja dari Departemen Per-

Page 30: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

30 Hukum Laut Indonesia

tambangan, terutama Team Teknis Landas Kontinen yang

dibentuk oleh Departemen tersebut.

Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam konsepsi

landas kontinen Indonesia sebagaimana termaktup di dalam

Pengumuman Pemerintah tahun 1969 kemudian dituangkan

ke dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang

dinamakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 1973 tentang landas kontinen Indonesia. Prinsip-

prinsip atau ketentuan-ketentuan pokok tersebut mengacu

pada Konvensi Geneva 1958 tentang landas kontinen (Geneva

Convention on the Continental Shelf), seperti pengertian landas

kontinen Indonesia, hak-hak berdaulat (souvereign rights),

penetapan garis batas landas kontinen Indonesia dengan

negara-negara tetangga maupun status hukum dari perairan

yang berada di atas landas kontinen Indonesia, namun

dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.

Selain daripada hak-hak berdaulat atas kekayaan

alam yang terdapat di landas kontinen yang artinya pengua-

saan dan pemilikannya ada pada negara Republik Indonesia,

juga negara memiliki yurisdiksi atau kewenangan atas peneli-

tian ilmiah kelautan yang di dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 penyelengaraannya diatur

dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 1973. Dalam Undang-Undang ini juga dikemukakan

mengenai instalasi, kapal dan atau alat lainnya yang dapat

dibangun, dipelihara dan dimanfaatkan dalam usaha melak-

Page 31: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

31 Hukum Laut Indonesia

sanakan eksplorasi, eksploitasi kekayaan alam yang terdapat

di landas kontinen Indonesia.

Untuk melindungi instalasi, kapal dan atau alat

lainnya yang terdapat di landas kontinen terhadap gangguan

pihak ketiga, maka Pemerintah dapat menetapkan apa yang

disebut daerah terlarang (prohibited area) yang radiusnya 500

meter terhitung dari titik terluar instalasi, kapal dan atau alat

lainnya. Di samping daerah terlarang, juga dapat ditetapkan

daerah terbatas (restricted area) yang radiusnya 1250 meter

terhitung dari titik-titik terluar dari daerah terlarang itu di

mana kapal pihak ketiga dilarang membuang atau membong-

kar sauh. Di landas kontinen Indonesia, pada instalasi, kapal

dan alat-alat lain di landas kontinen, maka hukum dan segala

peraturan perundang-undangan Indonesia dapat diterapkan

atau diberlakukan, bahkan instalasi dan alat-alat lain yang

dipergunakan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi

kekayaan alam dinyatakan sebagai daerah Kepabeanan

Indonesia atau daerah bea cukai, daerah fiscal, daerah

karantina dan daerah keimigrasian.

Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Pengumu-

man Pemerintah Republik Indonesia mengenai Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia pada tanggal 20 Maret 1980 (Mochtar

Kusumaatmadja, 1980:384). Hal ini dimaksudkan untuk

mengakomodasi perkembangan hukum laut yang selain

diwarnai dengan berlangsungnya Konferensi PBB mengenai

hukum laut III (UNCLOS III) yang pada waktu itu sudah

Page 32: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

32 Hukum Laut Indonesia

menghasilkan rancangan konvensi hukum laut baru (Draft

Convention on the Law of the Sea) yang di dalamnya memuat

pengaturan hukum tentang zona ekonomi eksklusif secara

umum, juga diwarnai berbagai klaim atau pernyataan sepihak

yang dilakukan oleh negara-negara pantai dari berbagai

kawasan sehubungan dengan zona ekonomi eksklusif yang

diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti zona 200 mil,

zona perikanan sejauh 200 mil (dari pantai atau garis

pangkal), zona ekonomi 200 mil maupun zona ekonomi

eksklusif.

Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tanggal

20 Maret 1980 yang berpedoman pada praktek negara-negara

yang telah diterima secara luas terkait dengan rezim hukum

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) menyatakan bahwa, ZEE

Indonesia adalah jalur laut yang berada di luar laut territorial

Indonesia, tetapi berbatasan dengannya, di mana jalur laut

itu lebarnya dapat mencapai maksimal 200 mil laut terhitung

dari garis pangkal sebagaimana diatur berdasarkan Undang-

Undang Nomor 4/Prp. Tahun 1960. Demikian rumusan pe-

ngertian ZEE Indonesia yang mengikuti kecenderungan

perkembangan hukum laut internasional pada waktu itu,

tetapi dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional

Indonesia yang berlandaskan wawasan nusantara.

Selanjutnya di dalam Pengumuman Pemerintah Re-

publik Indonesia tersebut, ditegaskan mengenai hak-hak

berdaulat serta yurisdiksi Indonesia sebagai negara pantai

Page 33: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

33 Hukum Laut Indonesia

atau negara Kepulauan. Republik Indonesia mempunyai hak-

hak berdaulat (souvereign rights), yaitu hak-hak untuk

melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi maupun

pengelolaan sumber daya alam baik hayati maupun non

hayati yang terdapat di dalam badan air (water column), dasar

laut dan tanah di bawahnya (seabed and subsoil); juga hak

untuk melakukan kegiatan yang bertujuan ekonomi seperti

membangkitkan energi yang berasal dari arus laut, ombak

dan gelombang laut maupun angin yang berada di dalam jalur

laut 200 mil.

Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak ber-daulat

ini, maka Republik Indonesia juga memiliki yurisdiksi atau

kewenangan yang berkaitan dengan pembangunan dan pe-

manfaatan pulau-pulau buatan (artificial islands), instalasi

(installation) dan bangunan (structure) di jalur atau zona

tersebut; juga yurisdiksi terkait dengan penelitian ilmiah ke-

lautan (marine scientific research) di ZEEI; juga yurisdiksi

yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingku-

ngan laut (protection and preservation of the marine environ-

ment).

Selanjutnya dinyatakan bahwa apabila di bagian-

bagian laut tertentu ZEE Indonesia (ZEEI), tumpang tindih

(overlapping) dengan ZEE negara-negara tetangga, maka

Pemerintah Republik Indonesia bersedia untuk mengadakan

perundingan dalam usaha mencapai kesepakatan menyang-

kut penetapan garis batas ZEE masing-masing negara. Sela-

Page 34: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

34 Hukum Laut Indonesia

ma belum tercapai kesepakatan soal garis batas tersebut,

maka ZEE Indonesia garis batas luarnya terletak di tengah-

tengah antara garis pangkal laut teritorial Indonesia dengan

wilayah pantai dari negara tetangga yang bersangkutan.

Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tersebut

juga menegaskan bahwa sepanjang dasar laut dan tanah di

bawahnya dari ZEEI adalah merupakan landas kontinen

Indonesia, maka hak-hak berdaulat, yurisdiksi serta kewa-

jiban-kewajiban Indonesia akan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia tahun 1973,

perjanjian-perjanjian garis batas landas kontinen dengan

negara-negara tetangga dan ketentuan-ketentuan hukum

internasional lainnya. Akhirnya dalam Pengumuman Pemerin-

tah tersebut dinyatakan bahwa status perairan ZEE Indonesia

yang tidak dapat terpengaruh di mana perairannya tetap ber-

status sebagai perairan internasional sehingga di perairan

tersebut tetap diakui berlakunya kebebasan laut lepas dalam

bidang-bidang tertentu, seperti kebebasan untuk berlayar

(freedom of navigation), kebebasan untuk melakukan pener-

bangan di ruang udara yang berada di atas perairan ZEE

Indonesia serta kebebasan untuk memasang kabel-kabel dan

saluran pipa bawah laut di ZEE Indonesia sesuai dengan

prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku.

Azas-azas yang termaktub di dalam Pengumuman

Pemerintah Republik Indonesia tahun 1980, sebagaimana

halnya dengan Pengumuman Pemerintah tahun 1957

Page 35: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

35 Hukum Laut Indonesia

(Deklarasi Juanda), dan Pengumuman Pemerintah Republik

Indonesia tahun 1969, pada akhirnya dituangkan pula ke

dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dinama-

kan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sehingga

memiliki kekuatan yuridis formal dan tidak sekedar suatu

pengumuman dan pernyataan semata-mata.

Undang-undang itu antara lain memuat ketentuan

umum yang mencakup definisi dari berbagai istilah seperti

sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati dan

lain-lain, pengertian ZEE Indonesia, hak-hak berdaulat,

yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban, berbagai kegiatan yang

dapat dilakukan di ZEE Indonesia, soal gantirugi, masalah

penegakan hukum, ketentuan pidana dan lain-lainnya (lihat

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983).

Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan peratu-

ran pelaksanaan yang berupa Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 yang mengatur tentang

pengelolaan sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia.

Sumber daya alam hayati yang istilah populernya ada-

lah ikan tidak mengenal batas-batas wilayah negara sesuai

dengan sifat-sifat alaminya. Namun sejalan dengan praktek

negara-negara yang telah dikembangkan oleh masyarakat

internasional serta ketentuan-ketentuan hukum laut inter-

nasional yang melandasi Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 5 Tahun 1983 tersebut, maka sumber daya alam haya-

Page 36: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

36 Hukum Laut Indonesia

ti yang terdapat di daerah ZEE Indonesia adalah milik

Republik Indonesia walaupun dalam pengelolaannya masih

harus memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum inter-

nasional, misalnya kewajiban RI untuk menetapkan jumlah

tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch),

besarnya kemampuan tangkap dari usaha-usaha perikanan

Indonesia (Capacity to Harvest), langkah-langkah untuk

pelaksanaan konservasi serta kesediaan Indonesia untuk

memberikan kesempatan kepada usaha perikanan asing,

untuk ikut serta memanfaatkan ZEE Indonesia sepanjang

jumlah tangkapan yang diperbolehkan belum sepenuhnya

dimanfaatkan melalui usaha-usaha perikanan Indonesia.

Dari segi kepentingan pembangunan nasional, khu-

susnya di sub sektor perikanan, maka sumber daya alam

hayati di ZEE Indonesia memiliki dua fungsi penting, yaitu

sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan secara langsung

melalui kegiatan penangkapan ikan serta sebagai pendukung

sumber daya alam hayati di perairan Indonesia. Mengingat

fungsinya yang demikian penting, maka pemanfaatannya

perlu diarahkan secara tepat, terarah dan bijaksana. Hal ini

berkaitan pula dengan sifat sumber daya alam hayati yang

tidak tak terbatas. Demikian antara lain dasar pemikiran yang

melatarbelakangi terbitnya Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 tentang pengelolaan sumber

daya alam hayati di ZEE Indonesia (lihat Lembaran negara

Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 23).

Page 37: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

37 Hukum Laut Indonesia

Perkembangan berikutnya dalam hukum laut Repub-

lik Indonesia adalah diundangkannya Undang-Undang Perika-

nan Indonesia, yakni Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Di dalamnya antara

lain diatur mengenai beberapa istilah disertai dengan batasan

atau pengertiannya, seperti misalnya istilah perikanan yang

artinya semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelola-

an dan pemanfaatan sumber daya ikan. Sedang sumber daya

ikan adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan lain-

nya.

Pengelolaan sumber daya ikan adalah semua upaya

yang bertujuan agar sumber daya ikan dapat dimanfaatkan

secara optimal dan berlangsung terus menerus. Pemanfaatan

sumber daya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan dan

atau pembudidayaan ikan. Demikian antara lain, pelbagai

istilah yang mengemuka dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 sebab masih banyak lagi

istilah yang tidak perlu diulangi (lihat Pasal 1 undang-undang

ini). Selanjutnya dalam Pasal 2 dikemukakan bahwa wilayah

perikanan Republik Indonesia meliputi perairan Indonesia

(laut teritorial, perairan kepulauan, perairan pedalaman),

sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya di

dalam wilayah Republik Indonesia, maupun perairan zona

ekonomi eksklusif Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun

1985 juga mengatur tentang pengelolaan sumber daya ikan

Page 38: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

38 Hukum Laut Indonesia

dalam wilayah perikanan Republik Indonesia yang ditujukan

bagi tercapainya manfaat maksimal bagi bangsa Indonesia,

dan untuk mencapai hal ini Pemerintah melaksanakan penge-

lolaan sumber daya ikan secara terpadu dan terarah dengan

melestarikan sumber daya ikan beserta lingkungannya bagi

kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia.

Dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan,

Menteri menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai alat

tangkap ikan; syarat teknis perikanan yang harus dipenuhi

oleh kapal perikanan tanpa mengurangi ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku mengenai keselamatan

pelayaran; jumlah ikan yang boleh ditangkap, jenis serta

ukuran ikan yang tidak boleh ditangkap; daerah, jalur dan

waktu atau musim penangkapan; pencegahan pencemaran

dan kerusakan, rehabilitasi dan peningkatan sumber daya

ikan serta lingkungannya; penebaran ikan jenis baru, pem-

budidayaan ikan dan perlindungannya.

Juga diatur tentang pemanfaatan sumber daya ikan

melalui usaha perikanan di dalam wilayah perikanan Repub-

lik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warganegara Repub-

lik Indonesia atau badan hukum Indonesia, dengan penge-

cualian sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara

Republik Indonesia berdasarkan ketentuan persetujuan inter-

nasional atau hukum internasional yang berlaku. Pihak yang

melakukan usaha perikanan diwajibkan memiliki izin usaha

perikanan, kecuali nelayan atau petani ikan kecil maupun

Page 39: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

39 Hukum Laut Indonesia

perorangan lainnya yang sifat usahanya merupakan mata

pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

tidak dikenakan kewajiban tersebut.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun

1985 telah dicabut berlakunya sejak diundangkannya

Undang-Undang Perikanan berdasarkan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 yang azas-azasnya

pada waktunya akan dibahas secara lengkap dalam Pokok

Bahasan mengenai Hukum Perikanan Indonesia (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tamba-

han Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433). Di

dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun

2004, dikemukakan pelbagai macam istilah yang terkait

dengan masalah perikanan, seperti istilah perikanan yang

diartikan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan

pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingku-

ngannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan

sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu

sistem bisnis perikanan.

Sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan.

Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat

kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor

alamiah sekitarnya. Ikan adalah segala jenis organisme yang

seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam

lingkungan perairan. Penangkapan ikan adalah kegiatan

untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan

Page 40: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

40 Hukum Laut Indonesia

dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegi-

atan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,

menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan atau

mengawetkannya. Pengelolaan perikanan adalah semua upa-

ya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan

informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan ke-

putusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta

penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan di

bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau oto-

ritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan

produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang

telah disepakati.

Demikian antara lain istilah-istilah yang terdapat di

dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun

2004. Sedang mengenai azas pengelolaan perikanan dikemu-

kakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan

atas azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keter-

paduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelan-

jutan. Tujuan pengelolaan perikanan adalah: a) meningkatkan

taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil.; b)

meningkatkan penerimaan dan devisa negara; c) mendorong

perluasan dan kesempatan kerja; d) meningkatkan keter-

sediaan dan konsumsi sumber potensi ikan; e) mengoptimal-

kan pengelolaan sumber daya ikan; f) meningkatkan produk-

tivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing; g) meningkatkan

ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; h)

Page 41: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

41 Hukum Laut Indonesia

mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudi-

dayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara opti-

mal; i) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembu-

didayaan ikan dan tata ruang.

Selanjutnya mengenai ruang lingkup berlakunya

Undang-Undang Perikanan yang baru adalah bahwa undang-

undang ini berlaku untuk a) setiap orang, baik warganegara

Indonesia maupun warganegara asing, badan hukum Indo-

nesia maupun badan hukum asing, yang melakukan kegiatan

perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indo-

nesia; b) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan

kapal perikanan berbendera asing yang melakukan kegiatan

perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indo-

nesia; c) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang

melakukan penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia; d) setiap kapal perikanan

berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan,

baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam bentuk

kerjasama dengan pihak asing.

Selanjutnya untuk penangkapan ikan dan atau

pembudidayaan ikan maka wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia meliputi perairan Indonesia, ZEE

Indonesia, sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air

lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan

ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia. Pengelo-

laan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Repub-

Page 42: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

42 Hukum Laut Indonesia

lik Indonesia sebagaimana di maksud di atas diselenggarakan

berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan

dan atau standar internasional yang diterima secara umum.

Demikian antara lain beberapa ketentuan penting yang terda-

pat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31

Tahun 2004.

Pada bulan Desember 1985 Pemerintah Republik In-

donesia mengesahkan atau meratifikasi Konvensi Hukum

Laut 1982 (KHL 1982) dengan mengundangkan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 sehingga

sejak waktu itu Konvensi Hukum Laut yang dihasilkan

melalui konferensi yang diprakarsai PBB sejak tahun 1973

hingga tahun 1982 Konvensi tersebut telah menjadi hukum

positif Indonesia. Melalui Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 17 Tahun 1985, maka Konvensi yang isinya bersifat

komprehensif dan sekaligus menyatakan tidak berlakunya

lagi Konvensi Geneva 1958 mengenai Hukum Laut, telah

menjadi hukum positif kita.

Walaupun KHL 1982 belum berlaku secara efektif

pada waktu itu atau belum “come into force”, namun bagi

Indonesia sendiri Konvensi itu telah berlaku secara individual

sejak lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17

Tahun 1985. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 308 ayat

(2) KHL 1982 yang menyatakan bahwa bagi setiap negara

yang meratifikasi atau menyatakan aksesi pada konvensi ini

setelah pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi, konvensi

Page 43: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

43 Hukum Laut Indonesia

mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah saat pendeposit-

an piagam ratifikasi atau aksesinya, dengan tunduk pada

ketentuan ayat (1). Ayat 1 pasal yang sama (Pasal 308, ayat 1)

menyatakan bahwa Konvensi ini mulai berlaku 12 bulan

setelah tanggal pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi

yang ke-60.

Demikian kendati KHL 1982 belum berlaku secara

internasional pada tahun 1985 sebab ketika itu jumlah

ratifikasi yang dibutuhkan belum memenuhi persyaratan,

namun bagi Indonesia sendiri konvensi tersebut telah berlaku

secara individual. KHL baru berlaku secara internasional atau

secara umum pada tanggal 16 November 1994, sebab satu

tahun sebelumnya yakni pada tanggal 16 November 1993,

Guyana menjadi negara yang ke-60 dalam meratifikasi KHL

1982 dan mendepositkan piagam ratifikasinya pada Sekjen

PBB.

Selanjutnya Pemerintah Republik Indonesia menin-

daklanjuti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17

Tahun 1985 mengenai pengesahan Indonesia terhadap KHL

1982, dengan mengundangkan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Undang-Undang ini selain mencabut berlakunya Undang-

Undang Nomor 4/Prp. Tahun 1960, juga pada dasarnya

undang-undang ini menguatkan kembali dasar-dasar penga-

turan wilayah perairan Indonesia, sebagaimana tercantum di

dalam Undang-Undang Nomor 4/Prp. 1960, namun lebih

Page 44: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

44 Hukum Laut Indonesia

disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan KHL 1982, dengan

mencantumkan ketentuan-ketentuan dasar Negara Kepulau-

an (Archipelagic State), sebagaimana diatur di dalam Bab IV

KHL 1982. Demikian di dalam undang-undang ini terdapat

pengertian Indonesia sebagai Negara Kepulauan, berbagai ma-

cam garis pangkal, terutama garis pangkal lurus kepulauan

yang tidak berdiri sendiri, sebab harus dipergunakan secara

silih berganti dengan garis-garis pangkal lainnya, seperti garis

pangkal normal, garis pangkal lurus, garis penutup pada

teluk, pelabuhan, sungai dan lain-lainnya.

Di dalam Undang-Undang Wilayah Perairan Indonesia

yang baru (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6

Tahun 1996) juga diatur secara makro mengenai berbagai

macam lintas pelayaran, seperti lintas damai, lintas transit

dan lintas alur kepulauan serta hak akses dan komunikasi

(terutama yang terkait dengan kepentingan negara tetangga).

Pemerintah Republik Indonesia kemudian menindak-

lanjuti ketentuan pasal dari Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 menyangkut garis pangkal

lurus kepulauan atau garis pangkal kepulauan, dengan

mengundangkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 61 Tahun 1998 sebagai salah satu peraturan

pelaksanaan undang-undang tersebut. Peraturan pemerintah

tersebut mengatur tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-

Titik Pangkal dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan di Laut

Natuna (lihat PP RI Nomor 61 Tahun 1998). Kendati sifatnya

Page 45: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

45 Hukum Laut Indonesia

tambal sulam, sebab hanya mengatur masalah penarikan

garis pangkal lurus kepulauan di wilayah Kepulauan Natuna,

namun dikeluarkannya Peraturan pemerintah tersebut dila-

tarbelakangi dengan pemikiran di mana panjang maksimal

setiap garis pangkal lurus kepulauan Indonesia bisa mencapai

100 mil laut, malahan kadang-kadang (dengan persentase

tertentu) bisa mencapai maksimal 125 mil laut sehingga tidak

semua pulau-pulau terluar terutama yang terletak di sekitar

laut Natuna lalu dengan sendirinya dapat dijadikan dan

digunakan sebagai titik pangkal.

Tujuannya tentu tidak lain daripada mewujudkan ke-

sempatan untuk memperoleh atau memiliki wilayah perairan

khususnya perairan kepulauan yang jauh lebih luas daripada

kita menggunakan seluruh pulau terluar sebagai titik pang-

kal. Selanjutnya sesuai dengan ketentuan KHL 1982 yang

mensyaratkan Republik Indonesia untuk membuat peta garis

pangkal lurus kepulauan atau sebagai gantinya harus

membuat daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal

lurus kepulauan, maka ketentuan pasal mengenai garis

pangkal lurus kepulauan Indonesia sebagaimana diatur di

dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun

1996 ditindaklanjuti lagi melalui pengundangan Peraturan

Pemerintah RI mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik

Garis Pangkal Kepulauan Indonesia berdasarkan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 (lihat

Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 72 ).

Page 46: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

46 Hukum Laut Indonesia

Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 38 Tahun 2002 ditegaskan bahwa Pemerintah Repub-

lik Indonesia dapat menarik garis pangkal kepulauan Indo-

nesia. Dalam menarik garis pangkal kepulauan, maka dapat

dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal

biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk yang

tentu saja teluk ini terdapat pada pulau terluar, garis penutup

pada sungai atau muara sungai, garis penutup pada pela-

buhan, pada kuala, terusan dan lain-lainnya sepanjang

semuanya itu berada pada suatu pulau terluar.

C. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar

Perkembangan hukum laut Republik Indonesia selan-

jutnya adalah ketika Pemerintah Republik Indonesia pada

tahun 2005 lalu mengundangkan Peraturan Presiden Repub-

lik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005, yaitu Peraturan Presiden

tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Pengelolaan

pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang

dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengem-

bangkan potensi sumber daya pulau-pulau kecil terluar dari

wilayah RI untuk menjaga keutuhan NKRI (lihat Perpres

Nomor 78 Thun 2005, 29 Desember 2005) Sedangkan penger-

tian pulau kecil terluar adalah pulau dengan luas area kurang

atau sama dengan 2000 kilometer persegi yang memiliki titik-

titik dasar geografis yang menghubungkan garis pangkal

lurus kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan

nasional.

Page 47: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

47 Hukum Laut Indonesia

Dengan demikian tujuan dari pengundangan Peratu-

ran Presiden ini antara lain terkait dengan keutuhan NKRI,

keamanan nasional, pertahanan negara, optimalisasi sumber

daya alam serta peningkatan kesejahteraan rakyat. Oleh

karena itu pengelolaan pulau-pulau terluar ini harus dilaku-

kan dengan berlandaskan pada azas-azas wawasan nusan-

tara, pembangunan yang berkelanjutan serta berbasis masya-

rakat.

Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan seca-

ra terpadu antara Pemerintah (dalam hal ini Pemerintah

Pusat) dan Pemerintah Daerah. Pengelolaan tersebut menca-

kup bidang-bidang seperti sumber daya alam dan lingkungan

hidup, infrastruktur dan perhubungan, pembinaan wilayah,

pertahanan dan keamanan, ekonomi, sosial dan budaya, di

mana semuanya ini harus dilakukan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Pemerintah Republik Indo-

nesia juga mengundangkan Undang-Undang Otonomi Daerah

berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22

Tahun 1999 yang kemudian telah diganti dengan peraturan

perundangan baru, yakni Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal

18 dari Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 menyata-

kan :

1. Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewe-

nangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut.

Page 48: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

48 Hukum Laut Indonesia

2. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber

daya alam di bawah dasar dan atau di dasar laut sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

3. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di

wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meli-

puti :

a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan

kekayaan laut;

b. pengaturan administratif;

c. pengaturan tata ruang;

d. penegakan hukum (law enforcement) terhadap

peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang

dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah (Pe-

merintah Pusat) kepada Daerah;

e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan;

f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara;

4. Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah

laut sebagaimana diatur pada ayat (3) paling jauh 12 mil

laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan

atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dan

sepertiga dari wilayah kewenangan propinsi untuk

kabupaten/kota.

5. Apabila wilayah laut antara dua propinsi kurang dari 24

mil laut, kewenangan untuk mengelola sumber daya di

wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai

prinsip garis tengah dari wilayah antar dua propinsi ter-

Page 49: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

49 Hukum Laut Indonesia

sebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh sepertiga

dari wilayah kewenangan propinsi yang dimaksud.

6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat

(5) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nela-

yan kecil (penangkapan ikan tradisional).

7. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut

dalam peraturan perundang-undangan.

Dengan mencermati ketentuan Pasal 18 dari Undang-

Undang Otonomi Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004), dapat

disimpulkan bahwa setiap Daerah Tingkat I atau Propinsi

dalam wilayah NKRI hanya memiliki hak pengelolaan atas

wilayah laut, dalam hal ini hak untuk mengelola untuk

mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam yang

terdapat dalam wilayah laut yang menjadi kewenangannya.

Hal ini juga berlaku bagi setiap Daerah Tingkat II (Kotamadya

dan atau Kabupaten) yang terdapat dalam setiap Propinsi juga

memiliki hak pengelolaan sumber daya alam yang terdapat

dalam masing-masing wilayah kewenangannya.

Secara khusus untuk pengelolaan sumber daya alam

yang nterdapat di dasar laut serta tanah di bawahnya (seabed

and subsoil) dari wilayah laut yang menjadi kewenangannya,

maka daerah yang bersangkutan Pusat, namun pengaturan

bagi hasil harus diatur dalam suatu peraturan perundang-

undangan. Kewenangan Daerah dalam mengelola sumber

daya alam meliputi berbagai kewenangan seperti kewenangan

Page 50: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

50 Hukum Laut Indonesia

untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi dan membuat

peraturan administratif termasuk masalah perizinan, kewe-

nangan mengatur tata ruang, kewenangan dalam bidang

penegakan hukum atas peraturan yang dikeluarkan oleh dae-

rah atau atas peraturan yang dilimpahkan oleh Pusat kepada

Daerah.

Selanjutnya wilayah laut yang menjadi kewenangan

daerah propinsi, khususnya hak pengelolaannya itu ditetap-

kan sampai sejauh 12 mil laut terhitung dari garis pangkal di

sepanjang pantai dari wilayah propinsi yang bersangkutan.

Karena di dalam setiap propinsi terdapat beberapa kabupaten

dan atau kotamadya, maka setiap daerah kabupaten ataupun

kotamadya memperoleh hak pengelolaan sampai sejauh 4

dengan demikian sesungguhnya hak pengelolaan bagi setiap

propinsi itu terhitung dari batas 4 mil hingga 12 mil laut.

Selanjutnya dalam hal wilayah laut antara dua propinsi

bersifat tumpang tindih (overlapping) sebab bagian wilayah

laut yang berada di antara dua propinsi mempunyai lebar

kurang dari 24 mil laut, maka hal seperti ini berpotensi untuk

menimbulkan persoalan garis batas wilayah laut di antara

dua daerah propinsi yang bersangkutan.

Untuk mengantisipasi benih persengketaan menyang-

kut garis batas wilayah laut yang menjadi kewenangannya,

maka Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2004 menetapkan apa yang disebut garis tengah (median line)

atau garis sama jarak (equidistance line) sebagai acuan atau

Page 51: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

51 Hukum Laut Indonesia

pedoman bagi kedua propinsi untuk menyelesaikannya mela-

lui perundingan guna mencapai kesepakatan.

Ketika sudah terjadi kesepakatan antardua propinsi,

maka masing-masing kabupaten atau kotamadya mendapat-

kan sepertiganya. yaitu sepertiga dari wilayah kewenangan

masing-masing propinsi. Walaupun batas-batas kewenangan

dari setiap propinsi maupun kabupaten dan atau kotamadya

telah ditentukan, namun hal ini tidak berlaku dan tidak boleh

dijalankan terhadap nelayan kecil dari suatu daerah sehingga

suatu propinsi tidak boleh melarang nelayan kecil yang

berasal dari propinsi lain.

Demikian pula suatu kabupaten atau kotamadya

tidak boleh melarang nelayan kecil yang berasal dari kabupa-

ten lain yang ada di dalam propinsi yang sama, demikian

pula sebaliknya Secara yuridis kewilayahan Undang-Undang

Pemerintahan Daerah (Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun

2004) tidak membawa pengaruh ataupun perubahan terhadap

wilayah perairan Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam

Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan

Indonesia. Wilayah perairan yang ditetapkan oleh masing-

masing propinsi maupun wilayah perairan yang diklaim oleh

masing-masing kabupaten ataupun kota di dalam suatu pro-

pinsi tetap berstatus sebagai wilayah perairan dari Negara

Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan.

Akan tetapi ditinjau dari segi pemanfaatan sumber

daya kelautan, Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004

Page 52: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

52 Hukum Laut Indonesia

memberi kewenangan yang luas dan nyata kepada Daerah

untuk melaksanakan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan

pengelolaan sumber daya kelautan di wilayah kewenangan-

nya, namun disertai dengan kewajiban untuk memelihara

kelestarian lingkungan, kewajiban untuk berpartisipasi dalam

memelihara keamanan dan kewajiban daerah untuk berpar-

tisipasi dalam mempertahankan kedaulatan negara.

Pemberian kewenangan kepada Daerah untuk menge-

lola sumber daya kelautan serta kewenangan-kewenangan

lain yang diberikan kepada masing-masing daerah sebagai-

mana diatur di dalam Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 32

Tahun 2004 tidak akan menghapuskan komitmen Pemerintah

RI dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan

apa yang ditentukan dalam berbagai konvensi internasional,

seperti Konvensi Hukum Laut 1982, Konvensi mengenai

Keselamatan Jiwa di Laut, Konvensi mengenai Pencegahaan

Tubrukan Kapal, ketentuan-ketentuan dari IMO mengenai

standardisasi keamanan kapal dan pelabuhan (ISPS Code)

dan konvensi-konvensi internasional lainnya yang telah

mengikat RI.

D. Dewan Kelautan Indonesia

Terbentuknya Dewan Kelautan Indonesia sebagai-

mana diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor 21 Tahun

2007 dilandasi dengan beberapa pertimbangan :

a. Bahwa dengan berlakunya Konvensi Perserikatan

Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, di

Page 53: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

53 Hukum Laut Indonesia

perlukan langkah-langkah penanganan yang menye-

luruh dan terpadu dalam rangka lebih meningkatkan

pemanfaatan, pelestarian, perlindungan laut, dan pe-

ngelolaan wilayah laut nasional secara terpadu, serasi,

efektif, dan efisien;

b. Bahwa kebijakan publik di bidang kelautan meru-

pakan kebijakan yang meliputi berbagai bidang peme-

rintahan, sehingga memerlukan keterpaduan dalam

perumusan kebijakan kelautan tersebut sejak awal;

c. Bahwa dalam rangka keterpaduan perumusan kebi-

jakan kelautan telah dibentuk Dewan Maritim Indo-

nesia dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia

Nomor 161 Tahun 1999;

d. Bahwa nomenklatur atau istilah atau penamaan De-

wan Maritim Indonesia memiliki pengertian yang ter-

batas sehingga tidak sesuai dengan cakupan tugas

dan fungsi yang dimiliki oleh Dewan tersebut;

e. Bahwa sehubungan dengan hal-hal sebagaimana di

maksud pada huruf a sampai dengan huruf d, me-

mandang perlu untuk mengubah Dewan Maritim

Indonesia menjadi Dewan Kelautan Indonesia dengan

Keputusan Presiden.

Dewan Kelautan Indonesia merupakan forum

konsultasi bagi penetapan kebijakan umum dalam bidang

kelautan. Dewan ini memiliki tugas untuk memberikan

pertimbangan kepada Presiden dalam kapasitasnya sebagai

Page 54: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

54 Hukum Laut Indonesia

Ketua Dewan Kelautan Indonesia dalam rangka menetapkan

kebijakan yang bersifat umum dalam bidang kelautan.

Dalam menjalankan tugas sebagaimana ditentukan di

atas, maka Dewan Kelautan Indonesia menyelenggarakan

fungsi-fungsi sebagai berikut a) mengkaji dan memberikan

pertimbangan maupun rekomendasi kebijakan dalam bidang

kelautan kepada Presiden sebagai Ketua Dewan Kelautan

Indonesia; b) mengadakan konsultasi dengan lembaga peme-

rintah dan lembaga non pemerintah maupun dengan wakil-

wakil kelompok masyarakat dalam rangka keterpaduan kebi-

jakan serta penyelesaian masalah dalam bidang kelautan; c)

memantau dan mengevaluasi kebijakan, strategi dan pemba-

ngunan kelautan; d) melakukan hal-hal lain atas permintaan

Presiden

Page 55: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

55 Hukum Laut Indonesia

BAB III

JALUR LAUT DAN GARIS PANGKAL

A. Jalur-Jalur Laut dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia Sebagai Negara Kepulauan.

Menurut Konvensi Hukum Laut 1982 hak dan kewa-

jiban negara (negara pantai pada umumnya) dalam meman-

faatkan laut dan sumber dayanya ditentukan berdasarkan

status hukum dari berbagai bagian laut atau jalur laut. Jalur-

jalur laut itu dapat dikelompokkan sebagai berikut. Ada jalur

laut yang berada di bawah kedaulatan penuh dari negara

(dalam pengertian negara pantai), seperti Perairan Pedalaman

(Internal Waters), Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters),

Laut Teritorial (Territorial Sea), termasuk di dalamnya Selat

yang digunakan untuk pelayaran internasional (Straits Used

for International Navigation).

Ada pula jalur laut yang berada di bawah yurisdiksi

khusus dari negara pantai, seperti Jalur Tambahan (Conti-

guous Zone). Ada pula jalur laut yang berada di bawah hak-

hak berdaulat (souvereign rights) dari negara pantai, seperti

Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone) serta

Landas Kontinen (Continental Shelf). Ada juga jalur laut atau

bagian laut yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun,

termasuk oleh negara pantai yang laut wilayahnya, atau ZEE

maupun Landas Kontinennya berdekatan dan berbatasan

dengan bagian laut lepas. Ada pula bagian laut yang dinyata-

kan sebagai milik bersama umat manusia (Common Heritage

Page 56: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

56 Hukum Laut Indonesia

of Mankind), yakni bagian dasar laut yang dinamakan Area

atau Kawasan Dasar Laut Internasional (International Seabed

Area) yang terletak di luar batas-batas terluar dari landas

kontinen suatu negara pantai (Barbara Kwiatkowska,

1989:xx-xxvi; dan R.R. Churchill and A.V. Lowe, 1983:19; juga

Rene-Jean Dupuy, 1974:3-6).

Istilah negara pantai (Coastal State) sesungguhnya

mempunyai pengertian yang luas sebab negara pantai dapat

dimaknai sebagai negara pantai yang normal (normal coastal

state); negara pantai dapat pula diartikan sebagai negara

kepulauan (archipelagic state), dan dapat pula diartikan

sebagai negara yang secara geografis kurang beruntung

(geographically disadvantaged state). Suatu negara disebut

negara pantai normal (normal coastal state) bilamana negara

itu mempunyai wilayah daratan atau kontinen yang seluruh

atau sebagiannya dikelilingi dengan laut di sekitarnya. Suatu

negara disebut sebagai negara yang secara geografis kurang

beruntung, bilamana negara tersebut karena keadaan geog-

rafisnya pada umumnya kurang menguntungkan sehingga

negara tersebut tidak dapat mengklaim jalur-jalur laut sampai

batas maksimal yang diperkenankan atau ditentukan.

Suatu negara dinamakan Negara Kepulauan (Archi-

pelagic State), apabila wilayahnya terdiri dari satu kepulauan

atau lebih dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Negara

Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan atau dikualifi-

kasi sebagai Negara Kepulauan karena wilayah Indonesia

Page 57: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

57 Hukum Laut Indonesia

terdiri dari satu kepulauan atau lebih dan dapat mencakup

pulau-pulau lain. Ada kepulauan Maluku, ada kepulauan

Riau, kepulauan Bangka Belitung, kepulauan Nusa Tenggara,

kepulauan Sangir Talaud, kepulauan Taka Bonerate, kepulau-

an Natuna dan beraneka ragam banyaknya kepulauan yang

dimiliki negeri tercinta.

Selain daripada pelbagai macam kepulauan yang

dimiliki, terdapat juga pulau-pulau lain seperti pulau Suma-

tera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Papua atau Irian Jaya yang

dimiliki negeri ini. Selanjutnya pengertian kepulauan (archi-

pelago) adalah gugusan atau kumpulan pulau-pulau, ter-

masuk bagian-bagian pulau, perairan di antara pulau-pulau

tersebut, serta bentuk-bentuk alamiah lainnya yang semua-

nya ini membentuk suatu kesatuan geografi, ekonomi dan po-

litik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap demiki-

an.

Sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State), maka

Indonesia dapat mengklaim dan menetapkan berbagai jalur

laut atau zonasi pengaturan lautnya seperti perairan kepu-

lauan, perairan pedalaman, laut teritorial, jalur tambahan,

zona ekonomi eksklusif maupun landas kontinen. Perairan

kepulauan Indonesia adalah bagian-bagian laut yang berada

pada sisi dalam dari garis pangkal kepulauan (archipelagic

baselines) atau garis pangkal lurus kepulauan (straight archi-

pelagic baselines). Akan tetapi garis pangkal lurus kepulauan

yang memagari perairan kepulauan atau yang di dalamnya

Page 58: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

58 Hukum Laut Indonesia

terdapat perairan kepulauan tidak mungkin dapat berdiri sen-

diri tanpa dukungan garis-garis pangkal lainnya sehingga

bagaimanapun garis pangkal lurus kepulauan harus selalu

dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal bia-

sa, garis pangkal lurus dan garis penutup pada teluk, muara

sungai, kuala, terusan asalkan saja terletak pada pulau ter-

luar serta lebar mulutnya tidak melebihi 24 mil laut, serta

garis penutup pada perairan pelabuhan yang terletak pada

pulau terluar Indonesia.

Pengertian perairan kepulauan seperti itu dapat di-

simpulkan dari ketentuan pasal-pasal dari Undang-Undang

mengenai Perairan Indonesia yang berpedoman pada Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 atau KHL

1982. Namun kalau diperhatikan Peraturan Pelaksanaan dari

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996,

dalam hal ini Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2002

ditegaskan bahwa Pemerintah RI dapat menarik garis pangkal

kepulauan dan dalam menarik garis pangkal kepulauan,

dapat dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan, garis

pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk,

garis penutup pada muara sungai, terusan, kuala, dan garis

penutup pada pelabuhan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perairan

kepulauan itu merupakan bagian-bagian laut yang berada

pada sisi dalam dari garis pangkal kepulauan yang penarikan-

nya harus dilakukan dengan mempergunakan garis pangkal

Page 59: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

59 Hukum Laut Indonesia

lurus kepulauan yang tentu saja dalam prakteknya harus

dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal bia-

sa, garis pangkal lurus serta berbagai garis penutup / closing

lines (lihat Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 72).

Di dalam perairan kepulauan, Indonesia dapat mene-

tapkan bagian-bagian laut tertentu sebagai perairan pedala-

man (internal waters) dengan membuat dan menarik garis

lurus ataupun garis penutup pada teluk, muara sungai, pela-

buhan dan seterusnya. Perairan atau bagian-bagian perairan

yang terletak pada sisi luar dari garis lurus ataupun dari garis

penutup tersebut mempunyai status sebagai perairan kepu-

lauan atau dengan lain perkataan dapat dikualifikasi sebagai

perairan kepulauan. Sedangkan bagian-bagian perairan yang

terletak pada sisi dalam dari garis lurus ataupun garis

penutup tersebut seperti perairan teluk, sungai, terusan,

kuala maupun perairan pelabuhan (dengan catatan tidak

terletak pada pulau-pulau terluar) dapat dikualifikasi sebagai

perairan pedalaman.

Laut teritorial atau laut wilayah Indonesia adalah jalur

laut atau bagian laut yang terletak pada sisi luar dari garis

pangkal lurus kepulauan (garis pangkal kepulauan) dengan

lebar maksimal 12 mil laut dihitung atau diukur dari garis

pangkal lurus kepulauan (garis pangkal kepulauan). Dengan

demikian laut wilayah dari Indonesia sebagai Negara Kepu-

lauan mengelilingi seluruh wilayah kepulauannya justru

karena secara geografis laut wilayahnya terletak pada bagian

Page 60: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

60 Hukum Laut Indonesia

luar dari garis pangkal lurus kepulauan di mana garis seperti

ini harus dipergunakan secara silih berganti dengan berbagai

garis pangkal lainnya. Status hukum dari ketiga macam jalur

laut yang telah disebutkan di atas adalah sangat jelas, di

mana semuanya ini adalah merupakan wilayah kedaulatan

Indonesia sehingga kedaulatan ini mencakup baik wilayah

perairan atau badan air (water column), ruang udara di

atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and

subsoil) maupun sumber daya alam yang terkandung di

dalamnya.

Hal yang sangat penting untuk diketahui adalah

bahwa dalam hal laut teritorial Republik Indonesia tidak

menimbulkan permasalahan batas atau garis batas laut

territorial dengan negara-negara tetangga, maka Indonesia

bisa menetapkannya sampai batas maksimal sejauh 12 mil

dari garis pangkal kepulauan, tetapi bilamana laut territorial

RI tumpang tindih dengan laut territorial dari negara-negara

tetangga, maka harus diselesaikan melalui perundingan bagi

tercapainya garis batas laut teritorial yang dapat disepakati

oleh masing-masing negara.

Kenyataan memperlihatkan bahwa sampai sekarang

RI belum mencapai kesepakatan mengenai garis batas laut

territorial dengan 3 negara, yakni dengan Timor Leste, Singa-

pura dan Malaysia. Kalau diperhatikan terdapat sekitar 40

persen garis batas laut territorial Indonesia yang belum dapat

diakui oleh ketiga negara tersebut, sebagaimana halnya kita

Page 61: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

61 Hukum Laut Indonesia

tidak dapat mengakui penetapan garis batas laut teritorial

dari ketiga negeri tetangga kita. Akan tetapi pada akhir bulan

Januari tahun 2009 telah disepakati oleh Indonesia dan

Singapura mengenai garis batas maritim di Selat Malaka-

Singapura antara segmen Barat dari wilayah Singapura

dengan wilayah RI di Pulau Nipah sehingga perjanjian terakhir

ini telah melengkapi perjanjian garis batas maritim tahun

1973.

Penjelasan :

Perjanjian Garis Batas Maritim yang telah ditanda-

tangani pada bulan Februari 2009 antara RI-Singapura pada

Segmen Barat yang terdapat pada bagian Utara Pulau Nipah.

Sebelumnya memang sudah ada perjanjian garis batas

maritim antara kedua negara di Selat Malaka, yaitu antara

Page 62: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

62 Hukum Laut Indonesia

wilayah daratan Singapura dengan wilayah RI di Kepulauan

Riau pada tahun 1973, namun perjanjian ini belum tuntas

karena bagian Barat dari Kepulauan Riau (termasuk Pulau

Nipah) belum bisa diperjanjiakan pada waktu itu. Perun-

dingan di antara kedua negara terkait dengan bagian laut

yang belum disepakati sudah berlangsung lama, terutama

sejak tahun 2005.

Pada akhir bulan Januari lalu Kepala Negara RI Presi-

den Susilo Bambang Yudoyono bersama Perdana Menteri Si-

ngapura Lee Hsien Long berhasil mencapai kesepakatan

mengenai garis batas maritim pada bagian yang belum

terselesaikan, yaitu pada segmen Barat yang terdapat di Utara

Pulau Nipah. Pada bulan Februari Perjanjian Garis Batas

Maritim di Selat Malaka dengan Pulau Nipah dipakai sebagai

titik pangkal ditandatangani oleh kedua Menteri Luar Negeri.

Dengan penandatanganan ini, maka terdapat kepastian bagi

kedua negara baik dari segi geoekonomi maupun geopolitik,

ada kepastian mengenai sampai dimana batas kedaulatan

serta yurisdiksi bagi masing-masing negara, demikian pula

ada kepastian soal sampai di mana masing-masing negara

dapat menjalankan kegiatan-kegiatan ekonominya di wilayah

laut di Selat Malaka.

Garis batas laut teritorial antara RI dengan Malaysia

yang belum terselesaikan berada di tiga wilayah, yaitu di Selat

Malaka garis batas maritime atau garis batas laut territorial

panjangnya sekitar 17 mil laut, di Tanjung Datuk (Kalimantan

Page 63: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

63 Hukum Laut Indonesia

Barat) sepanjang 12 mil laut, di Pulau Sebatik (Kalimantan

Timur) sepanjang 18 mil laut garis batas laut territorial yang

belum dapat disepakati bersama antara RI dengan Malaysia,

walaupun untuk beberapa titik di Selat Malaka sudah ada

kesepakatan berdasarkan perjanjian garis batas laut

territorial pada tahun 1971 yang sudah diratifikasi dengan

Undang-Undang No. 2 Tahun 1971.

Sedangkan dengan negeri Timor Leste, Pemerintah RI

belum dapat mengakui dan menerima garis batas maritime

atau garis batas laut territorial yang panjangnya lebih dari

100 mil laut yang ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah

negeri Timor Leste. Pemerintah dari negara kecil yang pernah

menjadi Propinsi RI ke-27 telah secara berani membuat

pernyataan sepihak menyangkut garis batas laut teritorialnya

yang jauhnya sampai mencapai 100 mil laut terhitung dari

Celah Timor (Timor Gap), padahal sebagaimana diketahui

perjanjian Celah Timor (Timor Gap Treaty) yang merupakan

perjanjian kerjasama pengembangan antara RI-Australia

tahun 1989 telah berakhir. Nasmun Pemerintah Timor Leste

ternyata mau memanfaatkan garis-garis dari Celah Timor

sebagai pijakan dan titik tolak dalam mengklaim laut

teritorialnya sejauh 100 mil laut. Tindakan sepihak ini harus

dilawan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebab apabila

dibiarkan akan mengakibatkan sebagian dari perairan kepu-

lauan serta laut teritorial Republik Indonesia yang berada

disekitar Laut Timor dapat jatuh ke dalam penguasaan negara

Page 64: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

64 Hukum Laut Indonesia

Timor Leste. Kita harus mempertahankan kedaulatan dan

keutuhan teritorial kita guna menjamin martabat (dignity) dari

bangsa dan negara. Jangan sampai kita dipecundangi oleh

bekas propinsi yang telah memisahkan diri dari NKRI pada

tahun 1999.

Selanjutnya Indonesia juga dapat menetapkan bagian-

bagian laut tertentu sebagai zona ekonomi eksklusif serta

landas kontinennya. Apabila perairan kepulauan, perairan

pedalaman dan laut territorial Indonesia telah ditetapkan

berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6

Tahun 1996 serta berbagai peraturan perundangan lainnya

seperti PP RI Nomor 38 Tahun 2002, maka ZEE Indonesia

sejak dini telah ditetapkan melalui Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 yang berpedoman pada KHL

1982 tentang Zona Ekonomi Eksklusif.

Sedangkan untuk Landas Kontinennya masih diatur

berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 1973 mengenai Landas Kontinen Indonesia yang

ternyata berpedoman pada Konvensi Hukum Laut Geneva

1958 mengenai Landas Kontinen (Continental Shelf)

khususnya mengenai pengertian atau definisinya sehingga hal

ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum laut

dewasa ini. Oleh karena itu Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 terutama menyangkut bata-

san soal Landas Kontinen Indonesia harus segera ditinjau

kembali untuk dilakukan perubahan sesuai dengan ketentuan

Page 65: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

65 Hukum Laut Indonesia

Pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982 yang memperkenankan

RI uintuk menetapkan landas kontinennya sampai batas

terluar dari tepian kontinennya (dengan catatan batas

terluarnya sudah dibatasi hingga 350 mil laut) ataupun

sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal dalam hal landas

kontinen dari negara pantai yang bersangkutan tidak

mencapai jarak 200 mil laut ataupun tidak boleh melebihi 100

mil laut yang diukur dari garis batas kedalaman (isobath)

2500 meter, yaitu garis yang menghubungkan kedalaman

2500 meter.

Selanjutnya mengenai zona ekonomi eksklusif atau

zona 200 mil memiliki tujuan mendasar, yakni untuk meng-

akselerasi pembangunan sosial ekonomi dari negara-negara

serta mengurangi adanya ketidakseimbangan di antara

negara-negara industri dan negara-negara berkembang. Hal

ini tercermin dalam isitilah “economic” yang terdapat pada

zona tersebut maupun dalam ruang lingkup yang pada

dasarnya berorientasi pada sumber daya alam (resource-

oriented) yang merupakan hak dan yurisdiksi negara pantai di

zona tersebut. Potensi ekonomi dari sumber daya hayati

menjadi motivasi utama di balik penetapan ZEE baik oleh

developing states maupun industrialized states, sebagaimana

halnya kekayaan mineral sudah berada di bawah pengawasan

eksklusif negara pantai berdasarkan atas pengaturan hukum

landas kontinen yang sifatnya tradisional (Barbara Kwiat-

kowska:2-4).

Page 66: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

66 Hukum Laut Indonesia

Zona Ekonomi Eksklusif memiliki ciri yang dinama-

kan multifungsional (multifunctional character) yang tentu

berbeda dari zona-zona lainnya. Sehingga perlu dipaparkan

definisi dari Zona Ekonomi Eksklusif. ZEE adalah suatu area

yang berada di luar dan berbatasan dengan laut teritorial

hingga mencapai batas 200 mil laut dari TS baselines (garis

pangkal dari mana laut teritorial itu diukur), di mana negara

pantai mempunyai hak-hak berdaulat berkenaan dengan

semua sumber daya alam dan kegiatan-kegiatan lain untuk

melakukan eksplorasi dan eksploitasi untuk tujuan ekonomi,

juga yurisdiksi yang berkenaan dengan pulau buatan, pene-

litian ilmiah, pelestarian lingkungan laut, dan hak-hak serta

kewajiban lain yang ditetapkan dalam Konvensi.

Semua negara menikmati di ZEE navigational and

communications freedoms, serta negara tak berpantai dan

negara yang secara geografis tidak beruntung (land-locked and

geographically disadvantaged states) menikmati atau memiliki

hak khusus untuk berpartisipasi dalam bidang perikanan dan

penelitian ilmiah kelautan. Selanjutnya mengenai ciri ZEE

sebagai suatu zona yang sifatnya multifunctional yang tampak

dari definisinya serta membedakannya dengan zona fungsi-

onal yang menjadi hak dan yurisdiksi negara pantai adalah

terjadinya penggabungan hak terkait sumber daya alam pada

umunya di pihak negara pantai yang tidak dikenal sebelumya

serta adanya kesejajaran (juxtaposition) hak negara pantai

atas sumber daya hayati dan non hayati dari dasar laut,

Page 67: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

67 Hukum Laut Indonesia

tanah di bawahnya serta perairan di atasnya pada khususnya

(lihat Pasal 56 ayat 1a dan b).

Di samping itu negara pantai diberikan hak-hak serta

kewajiban-kewajiban lain yang ditentukan dalam Konvensi ini

(Pasal 56 ayat 1c yang tidak diidentifikasi dalam Bab V,

namun merupakan kompromi terhadap hak-hak dan

kewajiban yang terkait dengan jalur tambahan yang tumpang

tindih dengan ZEE sampai jarak 24 mil (Pasal 33), pengeboran

untuk berbagai tujuan (Pasal 81) dan mengeksploitasi tanah

di bawah dasar laut dengan cara membuat terowongan, tanpa

memperhatikan kedalaman air di atas subsoil (Pasal 85).

Dinyatakan pula bahwa klausula mengenai hak-hak

serta kewajiban lainnya mencakup kewajiban suatu negara

pantai untuk mengakomodasi adanya partisipasi dari land-

locked and geographically disadvantaged states (LL/GDS)

dalam hal perikanan, namun tidak mencakup hak-hak dari

negara-negara seperti ini terkait dengan marine scientific

research ketika hak-hak ini berlaku secara nyata pada

penelitian yang dijalankan pihak ketiga di ZEE dan bukan

oleh negara pantai itu sendiri (Barbara Kwiatkowska:4).

ZEE Indonesia adalah jalur laut yang berbatasan

dengan dan berada di luar laut teritorialnya, yang lebarnya

200 mil laut diukur dari garis pangkal yang dipakai untuk

menetapkan lebar laut territorialnya. Demikian jalur laut yang

dinamakan ZEE Indonesia selain mengelilingi batas luar laut

territorial, juga mengelilingi wilayah kepulauan Indonesia

Page 68: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

68 Hukum Laut Indonesia

karena perairan ZEE Indonesia berada di luar garis pangkal

laut territorial yang dalam hubungan ini dinyatakan sebagai

garis pangkal lurus kepulauan (garis pangkal kepulauan)

Indonesia. Karena Indonesia memiliki hak-hak berdaulat

(souvereign rights) untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi,

melindungi dan mengelola sumber daya alam yang terdapat di

ZEE nya, maka sumber daya ini adalah merupakan milik

bangsa dan negara Indonesia yang perlu dimanfaatkan secara

optimal bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Indonesia juga memiliki yurisdiksi terkait dengan

pembangunan dan pemanfaatan pulau-pulau buatan, instala-

si dan bangunan, termasuk yurisdiksi yang terkait dengan

masalah bea dan cukai, fiskal, keimigrasian, kesehatan dan

keselamatan pelayaran, yurisdiksi yang berkaitan dengan

penelitian ilmiah kelautan, yurisdiksi dalam hal pelestarian

lingkungan laut di ZEE Indonesia. Permasalahan besar yang

dihadapi Indonesia terkait dengan ZEE ini adalah bahwa

sekitar 70 persen garis batas ZEE Indonesia belum mendapat

pengakuan dari beberapa negara tetangga. Kesepakatan garis

batas ZEE Indonesia baru tercapai dengan Australia dan

Papua Niugini.

Akan tetapi antara Indonesia dengan negara-negara

tetangga seperti Timor Leste, Palau, Filipina, Vietnam, Thai-

land dan India, hingga saat ini belum dapat dicapai kesepa-

katan dalam bentuk perjanjian mengenai garis batas ZEE di

daerah perbatasan masing-masing negara. Menurut Sobar

Page 69: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

69 Hukum Laut Indonesia

Sutisna (yang menjabat sebagai Kepala Pusat Pemetaan Batas

Wilayah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) di

antara perundingan batas wilayah dengan enam negara te-

tangga penetapan batas wilayah paling cepat dapat terealisasi

dengan Filipina sebab negara itu telah menyatakan kese-

diaannya untuk menyelesaikan perundingan penetapan batas

wilayah di laut Sulawesi yang telah dimulai sejak tahun 1994.

Sedangkan penetapan batas wilayah dengan negeri

Palau belum dapat dilakukan karena Republik Indonesia

belum mempunyai hubungan diplomatic dengan negeri kecil

di Samudera Pasifik walaupun saat ini pihak perunding dari

Indonesia menunggu persetujuan dari DPR untuk membuka

hubungan diplomatik dengan Palau. Demikian hal-hal kon-

kret yang sedang dialami RI dalam hubungannya dengan

penetapan batas-batas maritime terutama batas-batas ZEE

Indonesia dengan negara-negara tetangga.

Landas Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan

tanah di bawahnya dari daerah-daerah di bawah permukaan

laut (submarine areas) yang merupakan kelanjutan alamiah

dari wilayah daratan (natural prolongation of its continent) yang

berada di luar laut territorial Indonesia, tetapi berbatasan

dengannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor

4/Prp. Tahun 1960, sampai pada suatu batas kedalaman 200

meter dari permukaan laut atau melebihi batas kedalaman

200 meter (beyond that limit) sejauh kemampuan teknologi

Page 70: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

70 Hukum Laut Indonesia

Indonesia masih memungkinkan untuk mengeksplorasi dan

mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat di sana.

Pengertian atau batasan landas kontinen sebagai-

mana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 1973 jelas mengacu pada Konvensi Geneva

1958 tentang landas kontinen dan sudah seharusnya segera

dicabut setelah berlakunya KHL 1982. Berdasarkan keten-

tuan Pasal 76 KHL 1982, maka landas kontinen (Continental

Shelf) diartikan sebagai dasar laut dan tanah di bawahnya

dari wilayah-wilayah di bawah permukaan laut yang meru-

pakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan negara pantai

yang bersangkutan, yang berada di luar laut territorial, tetapi

berbatasan dengannya, sampai batas terluar dari tepian

kontinen (outer edge of the continental margin) atau dalam hal

tepian kontinen negara itu tidak mencapai jarak 200 mil,

maka dasar laut dan tanah di bawahnya dapat ditetapkan

hingga jarak 200 mil laut terhitung dari garis pangkal dari

mana lebar laut teritorialnya diukur.

Hal ini berarti KHL 1982 memberikan kesempatan

kepada negara pantai untuk menggunakan kriteria atau

ukuran yang menguntungkan. Pengertian landas kontinen ini

sangat penting untuk menentukan sejauh mana hak-hak

berdaulat suatu negara pantai di landas kontinennya, teru-

tama sejauh mana negara tersebut dapat melakukan

eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terdapat di

sana. Pengertian landas kontinen Indonesia sudah seharus-

Page 71: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

71 Hukum Laut Indonesia

nya disesuaikan dengan pengertian landas kontinen pada

umumnya sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 76 KHL 1982

sehingga Undang-Undang RI mengenai Landas Kontinen

Indonesia (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 1973) khususnya ketentuan pasal 1 mengenai definisi

landas kontinen RI harus segera dicabut untuk disesuaikan

dengan perkembangan hukum laut masa kini sebagaimana

diatur di dalam Pasal 76 KHL 1982.

Untuk memahami pengertian landas kontinen (Conti-

nental Shelf) berdasarkan Pasal 1 Konvensi Geneva 1958

maupun berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982, maka di

bawah ini dipaparkan gambar dan konfigurasi sederhana

mengenai landas kontinen dalam pengertian yuridis. Penger-

tian ini sangat penting (very essential) dalam menentukan

hak-hak berdaulat serta yurisdiksi negara pantai di landas

kontinen. Dari pengertian landas kontinen sebagaimana

diatur dalam Pasal 1 Konvensi Geneva 1958, dapat disimpul-

kan bahwa ada dua ukuran atau kriteria yang digunakan

dalam menetapkan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi negara

pantai di landas kontinen, yaitu : 1) kriteria kedalaman 200

meter. Artinya kalau negara pantai tidak memiliki kemam-

puan teknologi untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi

sumber daya alam yang terdapat di sana, maka hak-hak

berdaulat dan yurisdiksinya hanya sampai di titik dasar laut

dengan kedalaman 200 meter terhitung dari permukaan laut.

Dengan demikian muncul kriteria kedua; 2) kriteria melebihi

Page 72: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

72 Hukum Laut Indonesia

batas kedalaman 200 meter (beyond that limit), sejauh

kemampuan tekonologi dari negara pantai masih memung-

kinkan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber

daya alam di dasar laut dan tanah di bawahnya dengan

kedalaman tanpa batas dari permukaan laut. Kriteria ini

disebut pula dengan istilah “technical exploitability”.

Kriteria hak-hak berdaulat di landas kontinen yang

tersimpul dari batasan pengertiannya sangat tidak adil sebab

hanya menguntungkan negara-negara maju dan merugikan

negara-negara berkembang pada waktu itu sehingga kriteria

dan pengertian seperti ini telah diganti melalui ketentuan

Pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982.

Dari pengertiannya dapat ditarik adanya beberapa

kriteria dalam menentukan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi

negara pantai di landas kontinen, yaitu : 1) kriteria jarak yang

menyatakan bahwa dasar laut serta tanah di bawahnya itu

sampai pada apa yang dinamakan ujung luar dari tepian

kontinen (the outer edge of the continental margin). Apabila

landas kontinen dari negara pantai yang bersangkutan begitu

luas dan tidak tumpang tindih dengan landas kontinen dari

negara-negara tetangganya, maka hak-hak berdaulat dan

yurisdiksinya dapat mencapai ratusan mil dan bahkan ribuan

mil dari garis pangkal sesuai dengan lokasi dari titik terluar

dari tepian kontinen.

Walaupun dari segi geologis jarak antara garis pangkal

hingga lokasi ujung terluar dari tepian kontinen (the outer

Page 73: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

73 Hukum Laut Indonesia

edge of the continental margin) dapat mencapai ratusan

bahkan ribuan mil, namun dari segi yuridisnya hal ini sudah

dibatasi sebab Pasal 76 KHL 1982 menetapkan bahwa dasar

laut dan tanah di bawahnya harus dibatasi sampai 350 mil

laut terhitung dari garis pangkal. Pembatasan ini bertujuan

untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat internasional

sebab ada negara-negara yang tidak berpantai atau dikelilingi

oleh daratan, padahal mereka juga berhak memperoleh

manfaat yang berasal dari laut yang sebenarnya merupakan

warisan bersama umat manusia (common heritage of man-

kind).

Ada juga ketentuan-ketentuan lain seperti hak-hak-

hak berdaulat atas sumber daya alam terutama mineral-

mineral, minyak dan gas bumi, berbagai yurisdiksi Republik

Indonesia di landas kontinennya termasuk masalah pulau

buatan, instalasi dan bangunan, penelitian ilmiah kelautan,

perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, penentuan

garis batas landas kontinen Indonesia di wilayah perbatasan

dan lain-lainnya dari segi substansinya masih dapat

dipertahankan, namun dari segi redaksi atau rumusannya

perlu disesuaikan dengan rumusan ketentuan-ketentuan

yang terdapat dalam KHL 1982.

Dibandingkan dengan Konvensi Geneva 1958 tentang

Landas Kontinen yang mempergunakan ukuran kedalaman

200 meter maupun ukuran technological exploitability yang

sangat kabur, maka KHL 1982 mempergunakan kriteria yang

Page 74: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

74 Hukum Laut Indonesia

jelas berupa ukuran jarak sampai ujung terluar dari tepian

kontinennya, ataupun bilamana landas kontinennya pendek

bisa ditetapkan sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal

laut territorial yang semuanya ini dimaksudkan untuk

menentukan sampai di mana batas-batas hak berdaulat dan

yurisdiksi negara pantai dalam mengeksplorasi dan

mengeksploitasi sumber daya alam berupa mineral-mineral

dan sumber kekayaan non hayati lainnya yang terdapat di

sana.

Dengan demikian Republik Indonesia harus melaku-

kan perubahan terhadap Undang-Undang yang lama (Un-

dang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1973) serta menggantinya

dengan peraturan perundangan baru yang sesuai dengan

semangat dan ketentuan KHL 1982 terkait dengan batasan

landas kontinen dalam menentukan hak-hak berdaulat dan

yurisdiksi Indonesia di landas kontinennya sendiri sebab

bagaimanapun KHL 1982 sangat menguntungkan negara-

negara pantai khususnya RI dalam kedudukannya sebagai

negeri kepulauan.

Dalam hubungan ini, perlu juga diperhatikan dalam

hal landas kontinen Indonesia tidak menimbulkan masalah

garis batas dengan negara-negara tetangga, maka landas

kontinen Indonesia dapat ditetapkan sampai batas maksimal,

yaitu sampai ujung terluar dari tepian kontinennya (namun

hal ini sudah dibatasi sampai jarak 350 mil laut dari garis

pangkal) atau sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal

Page 75: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

75 Hukum Laut Indonesia

dalam hal tepian kontinen Indonesia tidak mencapai jarak

200 mil laut.

Namun bilamana tumpang tindih (overlapping) garis

batas landas kontinen antara RI dengan beberapa negara

tetangga, maka harus diselesaikan melalui perundingan

untuk mencapai kesepakatan. Kenyataan menunjukkan

bahwa sekitar 30 persen garis batas landas kontinen

Indonesia belum disepakati dengan beberapa negara tetangga,

seperti dengan negeri Timor Leste yang dulu pernah menjadi

propinsi Republik Indonesia ke-27, dengan negara Palau serta

negara Filipina.

B. Penarikan Berbagai Macam Garis Pangkal

Jalur-jalur laut yang dapat diklaim sesuai ketentuan-

ketentuan yang ada hanya dapat terwujud dengan senantiasa

berpatokan pada garis pangkal. Sebagai negara kepulauan, RI

dapat menarik garis pangkal kepulauan (archipelgic base-

lines). Dalam menarik garis pangkal kepulauan, Indonesia

dapat mempergunakan berbagai metode atau cara penarikan

garis pangkal. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 38 Tahun 2002 yang merupakan salah satu peraturan

pelaksanaan yang menindaklanjuti dan mengelaborasi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996

yang terkait dengan ketentuan mengenai garis pangkal.

Peraturan Pemerintah tersebut menetapkan bahwa

Republik Indonesia dapat menarik garis pangkal kepulauan

dan dalam menarik garis pangkal kepulauan dapat dipergu-

Page 76: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

76 Hukum Laut Indonesia

nakan garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa,

garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk, muara sungai,

terusan, kuala dan garis penutup pada pelabuhan. Garis

pangkal kepulauan, khususnya garis pangkal lurus kepulau-

an bukan merupakan garis yang dapat berdiri sendiri tanpa

dukungan dari garis-garis pangkal lainnya karena secara

praktis garis pangkal lurus kepulauan hanya dapat dipergu-

nakan secara silih berganti dengan garis pangkal biasa, garis

pangkal lurus, garis penutup pada teluk, sungai, terusan,

kuala dan garis penutup pada pelabuhan di mana teluk,

sungai dan lain-lainnya secara geografis dapat terletak baik

pada bagian dalam maupun pada bagian luar dari pulau-

pulau terluar Indonesia.

Apa yang dimaksud dengan garis pangkal biasa, garis

pangkal lurus, garis pangkal lurus kepulauan? KHL 1982,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996

dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38

Tahun 2002 mengemukakan sebagai berikut.

Garis pangkal biasa (normal baselines) adalah garis-

garis air terendah di sepanjang pantai pada waktu air sedang

surut sehingga dengan demikian mengikuti segala lekuk liku

(bentuk-bentuk morfologi) dari pantai suatu negara. Pada

mulut atau muara sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak

melebihi 24 mil laut, dan pada pelabuhan, maka harus

diperhatikan bahwa garis air terendah itu dapat ditarik

sebagai suatu garis lurus.

Page 77: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

77 Hukum Laut Indonesia

Garis air terendah yang ditarik sebagai garis lurus

(straight lines) pada perairan di sekitar muara sungai, perair-

an di teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil laut

serta pada perairan pelabuhan bilamana sungai, teluk dan

pelabuhan itu tidak berada pada pulau-pulau terluar. Akan

tetapi bilamana keberadaannya atau letak geografisnya

berada pada pulau-pulau terluar, maka garis air terendah

pada muara sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak lebih

dari 24 mil laut maupun pada pelabuhan, dapat ditarik

sebagai suatu garis penutup (closing lines).

Pada dasarnya garis pangkal biasa lazimnya

dipergunakan oleh negara yang dikualifikasi sebagai negara

pantai normal (normal coastal state), seperti Malaysia, Korea

Utara, Korea Selatan, RRC, AS, Australia dan banyak negara

pantai biasa lainnya yang wilayahnya berupa sebuah daratan

atau kontinen semata-mata walaupun tidak tertutup

kemungkinan memiliki satu pulau kecil atau lebih yang

mungkin secara geografis berada jauh dari wilayahnya.

Untuk mempermudah pemahaman mengenai garis

pangkal biasa (normal baselines), maka di bawah ini

dibentangkan gambar mengenai garis seperti itu.

Page 78: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

78 Hukum Laut Indonesia

Selanjutnya garis pangkal lurus (straight baselines)

adalah garis air terendah yang menghubungkan titik-titik

pangkal berupa titik-titik terluar yang terdapat pada pantai

daratan utama (mainland) suatu negara atau pantai pada

gugusan pulau yang berada di depannya (daratan utama).

Garis pangkal lurus hanya dapat diterapkan oleh negara yang

memiliki daratan utama, namun garis pantainya berliku-liku

tajam pada daratan utama tersebut. Selain memiliki daratan

utama yang pantainya berliku-liku tajam, negara tersebut

juga memiliki deretan atau gugusan pulau-pulau yang letak-

nya berdekatan dengan pantai daratan utama.

Negara tersebut juga memiliki apa yang dinamakan

delta maupun kondisi alam lainnya yang menyebabkan garis

pantainya sangat tidak menentu, seperti terdapatnya apa

Page 79: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

79 Hukum Laut Indonesia

yang dinamakan fyord baik pada daratan utama maupun

pada deretan dan gugusan pulau di dekatnya. Negara dengan

kondisi geografis seperti itulah yang dapat menggunakan dan

menerapkan garis-garis pangkal lurus di mana perairan yang

terdapat atau berada pada sisi dalam dari garis-garis pangkal

lurus itu adalah merupakan perairan pedalaman (internal

waters), sementara perairan yang terletak pada sisi luar dari

garis-garis pangkal lurus itu adalah merupakan jalur laut

teritorial yang lebarnya maksimal 12 mil laut yang dihitung

atau diukur dari garis-garis pangkal lurus.

Namun demikian garis pangkal lurus bukan sesuatu

yang dapat berdiri sendiri karena bagaimanapun garis pang-

kal ini harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis

pangkal normal yang disebut juga garis air terendah atau

garis air surut. Di samping persyaratan tadi, maka untuk

dapat menerapkan garis pangkal lurus, maka negara dengan

kondisi geografis seperti itu harus memiliki kepentingan

ekonomi yang bersifat khusus atau spesifik dimana kepenti-

ngan ekonominya atas perairan yang terbentuk berdasarkan

garis pangkal lurus adalah merupakan suatu kenyataan serta

sesuatu yang sangat signifikan yang secara jelas dapat

dibuktikan melalui praktek yang telah berlangsung lama.

Persyaratan berikutnya adalah bahwa garis pangkal

lurus tersebut tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah

umum pantai negara yang bersangkutan. Akhirnya garis

pangkal lurus tidak boleh ditarik dari elevasi surut (low tide

Page 80: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

80 Hukum Laut Indonesia

elevation) maupun menuju ke elevasi surut, yang artinya

elevasi surut itu tidak boleh digunakan sebagai titik pangkal

atau titik terluar terkecuali elevasi surut itu telah memiliki

mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanent

terus menerus berada di atas permukaan air laut.

Negara yang pertama kali menerapkan garis pangkal

lurus adalah negeri Norwegia karena wilayahnya secara

geografis terdiri dari daratan utama yang pantainya sangat

berliku-liku tajam (terdapat anak-anak laut, fyord etc) serta di

dekat daratan utama bertebaran gugusan pulau-pulau. Pen-

duduk Norwegia menggantungkan hidupnya pada kegiatan

penangkapan ikan pada perairan di sekitar wilayah daratan

serta deretan pulau-pulau di depannya, di mana hal ini sudah

berlangsung lama secara turun menurun sehingga bagi

Norwegia wilayah perairan tersebut memiliki kepentingan

ekonomi yang bersifat istimewa.

Faktor-faktor inilah yang mendorong Norwegia sehing-

ga mengeluarkan suatu peraturan yang dinamakan sebuah

dekrit dari Raja Norwegia (the Royal Decree) pada tahun 1935

yang menetapkan wilayah perairannya sebagai wilayah peri-

kanan di laut territorial serta perairan pedalaman, di mana

terbentuknya wilayah perairan ini didasarkan atas penerapan

garis pangkal lurus yang merupakan garis-garis air terendah

yang menghubungkan titik-titik terluar yang terdapat pada

pantai daratan utama maupun pada gugusan pulau yang

berdekatan dengan daratan utama tersebut.

Page 81: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

81 Hukum Laut Indonesia

Negara yang memiliki elevasi surut berkewajiban un-

tuk membangun mercu suar atau semacam instalasi di atas

elevasi surut tersebut yang tujuannya di samping untuk

menunjukkan atau membuktikan kepemilikannya atas elevasi

surut, juga terutama untuk menjamin keselamatan pelayaran

bagi kapal-kapal yang melewati atau melintasi perairan di

sekitar elevasi surut, dengan demikian mercu suar atau

instalasi tersebut mempunyai fungsi sebagai tanda peringatan

(warning signals) bagi para pemakai laut agar berhati-hati

ketika melintasi perairan di sekitar elevasi surut sebab

perairan yang berada di sekitar atau di sekeliling elevasi surut

itu adalah merupakan perairan yang sangat dangkal atau

perairan di mana terdapat karang-karang kering sehingga

dapat membahayakan keselamatan berlayar.

Apa yang dinamakan elevasi surut tentu berbeda

dengan apa yang dinamakan pulau (natural island). Walaupun

di antara keduanya terdapat persamaan di mana keduanya

baik pulau maupun elevasi surut adalah merupakan wilayah

daratan yang terbentuk secara alamiah, namun sebuah pulau

senantiasa berada di atas permukaan air laut kendati air laut

sedang mengalami gejala atau peristiwa pasang yang setinggi-

tingginya (lihat Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982).

Sedangkan apa yang disebut elevasi surut hanya bisa

muncul di atas permukaan air laut ketika air laut itu sedang

surut, tetapi ketika air laut itu sedang mengalami pasang

yang setinggi-tingginya, elevasi surut tersebut pasti tenggelam

Page 82: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

82 Hukum Laut Indonesia

sehingga tidak kelihatan di atas permukaan air laut dan

dengan demikian bisa berbahaya bagi keselamatan pelayaran.

Untuk mencegah ataupun mengurangi timbulnya bahaya bagi

keselamatan berlayar, maka negara yang memiliki elevasi

surut (semacam gundukan tanah ataupun batu karang di

daerah lepas pantai mempunyai kewajiban untuk memasang

(install) mercu suar atau instalasi di atas elevasi surut

tersebut yang tujuannya terutama untuk melindungi

keselamatan pelayaran, di samping untuk membuktikan atau

menunjukkan status hukum dari elevasi surut tadi (low tide

elevation).

Di bawah ini dipaparkan gambar mengenai garis

pangkal lurus (straight baselines).

Page 83: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

83 Hukum Laut Indonesia

C. Syarat-Syarat Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan

Indonesia.

Garis pangkal lurus kepulauan dapat diterapkan oleh

negara yang dikualifikasi sebagai Negara Kepulauan (Archi-

pelagic State) seperti halnya dengan Indonesia. Garis pangkal

lurus kepulauan (straight archipelagic baselines) adalah garis-

garis air terendah yang menghubungkan titik-titik terluar

pada pulau-pulau dan karang kering terluar yang dimiliki oleh

Negara Kepulauan. Syarat utama penarikan garis pangkal

lurus kepulauan adalah bahwa garis-garis pangkal lurus

kepulauan harus meliputi pulau-pulau utama (main islands)

dari negara kepulauan tersebut.

Garis pangkal lurus kepulauan yang ditarik oleh

Indonesia harus dapat mencakup pulau-pulau utama seperti

Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya.

Selain daripada itu dengan penarikan garis pangkal lurus

kepulauan, maka perbandingan antara luas wilayah perairan

dengan luas wilayah daratan termasuk atoll atau karang

kering harus berkisar antara satu berbanding satu sampai

sembilan berbanding satu. Dengan mencermati wilayah

Indonesia yang sebagian besar terdiri dari wilayah perairan

yang menyatu dengan wilayah daratan berdasarkan pene-

rapan garis pangkal lurus kepulauan, dengan memperhatikan

Pulau Sumatera atau Pulau Jawa serta wilayah perairan di

sekitarnya, maka tampak perbandingan antara luas wilayah

perairan di sekitar Pulau Sumatera ataupun di sekitar Pulau

Page 84: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

84 Hukum Laut Indonesia

Jawa dengan luas wilayah daratan Pulau Sumatera ataupun

wilayah daratan Pulau Jawa adalah sekitar satu berbanding

satu.

Akan tetapi ketika kita mencermati Kepulauan

Maluku (Propinsi Maluku dan Propinsi Maluku Utara) serta

wilayah perairan di sekitarnya, maka luas wilayah perairan-

nya dengan luas wilayah daratannya perbandingannya dapat

mencapai sembilan berbanding satu.

Selanjutnya terdapat beberapa pembatasan dalam

menerapkan garis pangkal lurus kepulauan. Pertama, setiap

garis pangkal lurus kepulauan dapat mempunyai kepanja-

ngan maksimal 100 mil laut, dengan demikian panjangnya

bisa kurang dari 100 mil laut, tetapi tidak boleh melebihi 100

mil laut. Namun ketentuan mengenai pembatasan setiap garis

pangkal lurus kepulauan ini masih disertai dengan suatu

pengecualian yang menyatakan dari jumlah keseluruhan

garis-garis pangkal lurus kepulauan yang terbentuk, 3 persen

di antaranya dimungkinkan untuk mencapai kepanjangan

maksimum hingga 125 mil laut.

Dengan berpatokan pada ketentuan Peraturan Peme-

rintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 mengenai

Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulau-

an Indonesia, maka terdapat 166 titik pangkal yang dapat

digunakan dalam menetapkan garis pangkal lurus kepulauan

Indonesia. Sebanyak 3 persen dari jumlah seluruh garis

pangkal lurus kepulauan yang ada panjangnya dimungkinkan

Page 85: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

85 Hukum Laut Indonesia

sampai maksimal 125 mil laut. Pembatasan berikutnya

adalah bahwa garis-garis pangkal lurus kepulauan tidak

boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum

kepulauan tersebut, yang menurut hemat kami pengertiannya

sama dengan tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah

pantai dari kepulauan maupun dari pulau-pulau pada

umumnya.

Dengan mencermati estimasi keseluruhan garis-garis

pangkal kepulauan Indonesia yang menyatukan wilayah

kepulauan serta wilayah perairan (dengan catatan apabila kita

menetapkan peta mengenai garis pangkal kepulauan Indo-

nesia), maka kelihatan sekali garis-garis pangkal kepulauan

Indonesia secara terpadu memperlihatkan konfigurasi yang

mirip atau menyerupai seekor kuda lumping yang terkenal

dalam seni budaya Jawa sehingga memenuhi ketentuan yang

menyatakan garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh

menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan

Republik Indonesia.

Selanjutnya dinyatakan bahwa garis pangkal lurus

kepulauan tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut dan

dengan begitu elevasi surut (low tide elevation) seperti

misalnya karang kering (drying reef) atau atoll yang umumnya

hanya tampak dan kelihatan ketika air laut sedang surut,

tidak dapat dipakai sebagai titik pangkal seandainya terletak

di sekitar pulau terluar. Namun demikian elevasi surut yang

secara geografis berada di sekitar pulau terluar bisa saja

Page 86: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

86 Hukum Laut Indonesia

digunakan sebagai titik pangkal asal saja di atas elevasi surut

tadi telah dibangun dan dipasang mercu suar atau instalasi

serupa yang secara terus menerus berada di atas permukaan

laut sehingga tidak membahayakan keselamatan berlayar.

Di samping itu elevasi surut tersebut dapat digunakan

sebagai titik pangkal bilamana seluruh atau sebagian dari

elevasi surut itu terletak dalam jarak yang tidak melebihi

lebar laut territorial yang diukur atau dihitung dari pulau

terdekatnya. Pembatasan lain yang harus menjadi perhatian

dalam menerapkan garis pangkal lurus kepulauan adalah

bahwa garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh ditarik

sedemikian rupa sehingga memotong perairan laut territorial

negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.

Dengan mencermati perairan kepulauan di sekitar

Kepulauan Natuna sebagai wilayah perairan Republik Indo-

nesia yang terletak antara Semenanjung Barat Malaysia

dengan Semenanjung Timurnya, laut territorial Malaysia pada

kedua semenanjung tersebut samasekali tidak terganggu

dengan diterapkannya garis pangkal lurus kepulauan

Indonesia yang menghubungkan pulau-pulau terluar di Laut

Natuna yang berbatasan dan berdekatan dengan wilayah

Malaysia.

Selanjutnya garis pangkal lurus kepulauan bukan

sesuatu yang berdiri sendiri sebab bagaimanapun harus

dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal

lainnya, seperti garis pangkal normal, garis pangkal lurus dan

Page 87: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

87 Hukum Laut Indonesia

garis-garis penutup pada teluk, sungai dan pelabuhan baik

yang berada pada bagian dalam maupun bagian luar dari

pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia. Garis pangkal

lurus kepulauan atau garis pangkal kepulauan Indonesia

harus ditegaskan melalui sebuah Peta yang menurut hemat

kami dapat dinamakan peta garis pangkal kepulauan RI yang

bertujuan untuk menjamin batas-batas wilayah RI dalam

hubungannya dengan negara-negara tetangga dan sekaligus

menjamin dan melindungi kedaulatan serta keutuhan

territorial NKRI.

Kalau belum dibuat peta mengenai garis pangkal

kepulauan Indonesia, maka dapat dibuat Daftar Koordinat

Geografis Titik-Titik Garis Pangkal. Kenyataan memperlihat-

kan bahwa hingga saat ini RI belum membuat Peta; tetapi

sudah menetapkan adanya Daftar Koordinat Geografis

(sebagai pengganti Peta) menurut skala yang memadai melalui

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun

2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis

Pangkal Kepulauan Indonesia dan berdasarkan ketentuan

internasional Daftar Koordinat ini harus didepositkan pada

Sekjen PBB dengan maksud untuk memperoleh legitimasi dari

masyarakat internasional khususnya dari negara-negara pe-

serta KHL 1982, di samping legitimasi dari Organisasi PBB

yang berdasarkan KHL 1982 juga menjadi peserta dari

Konvensi Hukum Laut 1982 sebagaimana halnya dengan

Page 88: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

88 Hukum Laut Indonesia

badan-badan khusus dari PBB (Specialized Agencies of the

United Nations).

D. Peraturan Presiden RI Mengenai Pengelolaan Pulau-

Pulau Kecil Terluar

Kemudian mari kita lihat Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 yaitu Peraturan Presiden

yang mengatur pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Dalam

Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan pengelolaan

pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang

dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengem-

bangkan potensi sumber daya pulau-pulau kecil terluar dari

wilayah RI untuk menjaga keutuhan NKRI (Pasal 1 PP RI

Nomor 78 Tahun 2005).

Page 89: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

89 Hukum Laut Indonesia

Sedang Pulau-pulau kecil terluar adalah pulau dengan

luas area kurang atau sama dengan 2000 kilometer persegi

yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang meng-

hubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan

hukum internasional dan nasional. Pulau-pulau kecil terluar

yang dimaksudkan tadi tercantum di dalam Lampiran Pera-

turan Presiden yang di dalamnya terdapat 92 pulau kecil

terluar disertai dengan koordinat titik terluarnya dapat dipa-

kai sebagai titik pangkal untuk garis pangkal kepulauan Re-

publik Indonesia. Selanjutnya Pasal 2 dari Peraturan Presiden

tersebut mengemukakan bahwa tujuan pengelolaan pulau-

pulau kecil terluar adalah berikut ini.

Pertama, menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan

nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan

stabilitas kawasan. Kedua, memanfaatkan sumber daya alam

dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable

development). Ketiga, memberdayakan masyarakat dalam

rangka peningkatan kesejahteraan. Karena pengelolaan pu-

lau-pulau kecil terluar mempunyai tujuan-tujuan seperti itu,

maka pengelolaannya didasarkan atas prinsip-prinsip wawa-

san nusantara, pembangunan yang berkelanjutan serta ber-

basis masyarakat.

Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar berpedoman

atau mengacu pada rencana Tata Ruang Wilayah, yang penge-

lolaannya dilakukan secara terpadu antara Pemerintah dan

Pemerintah Daerah dan dilakukan sesuai dengan ketentuan

Page 90: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

90 Hukum Laut Indonesia

peraturan perundang-undangan. Pengelolaan ini meliputi

berbagai bidang seperti sumber daya alam serta lingkungan

hidup, infrastruktur dan perhubungan, pembinaan wilayah,

pertahanan dan keamanan, dan pengelolaan dalam bidang

ekonomi, sosial dan budaya. Pengelolaan pulau-pulau kecil

terluar dikoordinasikan oleh Tim Koordinasi Pengelolaan

Pulau-Pulau Kecil Terluar yang selanjutnya disebut Tim

Koordinasi yang merupakan wadah koordinasi non structural

yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung

kepada Presiden.

Demikian ulasan yang bersifat deskriptif yuridis

tentang pengaturan zonasi laut Indonesia berdasarkan azas

negara kepulauan yang berfokus pada penerapan sistem garis

pangkal kepulauan. Penerapan garis pangkal kepulauan ini

terjadi dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan,

tetapi garis pangkal lurus kepulauan tidak dapat berdiri

sendiri sebab garis yang disebut terakhir ini harus diper-

gunakan secara silih berganti dengan garis pangkal biasa,

garis pangkal lurus serta garis penutup pada sungai, teluk

dan pelabuhan sepanjang terdapat pada pulau-pulau terluar.

Page 91: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

91 Hukum Laut Indonesia

BAB IV

PENGATURAN HUKUM MENGENAI LINTAS LAYAR

DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA

DAN KESELAMATAN PELAYARAN

A. Pelbagai Macam Lintas Layar di Wilayah Perairan

Indonesia

Perairan yang terletak pada bagian dalam dari garis

pangkal lurus kepulauan Indonesia disebut perairan kepulau-

an yang status hukumnya sama seperti laut teritorial (yang

terletak pada bagian luar dari garis pangkal lurus kepulauan)

di mana Negara Republik Indonesia mempunyai kedaulatan

atas perairan kepulauan serta laut teritorialnya, yang juga

meliputi ruang udara, dasar laut dan tanah di bawahnya

maupun sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.

Akan tetapi kedaulatan tersebut tidak bersifat mutlak

sebab negara Republik Indonesia mempunyai kewajiban

untuk memperkenankan kapal-kapal asing dalam segala

jenisnya untuk melaksanakan hak lintas damai (innocent pas-

sage) maupun hak lintas transit (transit passage) dan hak lin-

tas alur-alur laut kepulauan (archipelagic sealanes passage).

Apa yang dimaksud dengan hak lintas damai, hak lintas

transit dan hak lintas alur laut kepulauan? KHL 1982 dan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996

telah mengatur hal ini.

Hak lintas damai (the right of innocent passage) adalah

hak yang diberikan kepada kapal asing dalam segala jenisnya

Page 92: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

92 Hukum Laut Indonesia

untuk berlayar melewati laut teritorial dan atau perairan

kepulauan suatu negara yang dalam hal ini melewati laut

teritorial dan atau perairan kepulauan Indonesia. Dari penger-

tian ini terdapat beberapa kemungkinan terkait dengan kapal

asing yang melintasi perairan Indonesia. Kemungkinan perta-

ma kapal asing datang dari laut bebas, lalu melewati laut

territorial dan atau perairan kepulauan Indonesia dan

menyinggahi perairan pedalaman di suatu pelabuhan atau

tempat persinggahan.

Kemungkinan kedua, kapal asing itu meninggalkan

pelabuhan atau tempat persinggahan, lalu melintasi laut

territorial dan atau perairan kepulauan Indonesia untuk se-

terusnya menuju ke laut bebas atau periran internasional.

Kemungkinan ketiga, kapal asing itu datang dari laut bebas

menuju ke laut bebas lainnya, dengan hanya semata-mata

melintasi laut territorial dan atau perairan kepulauan Indo-

nesia. Hak lintas damai harus dilaksanakan secara terus

menerus, langsung dan secepat mungkin.

Akan tetapi kapal asing dapat berhenti, membuang

sauh atau jangkar asal kegiatan ini terkait dengan navigasi

yang sudah lazim terjadi ataupun kegiatan ini perlu dilakukan

karena kapal asing tadi mengalami keadaan memaksa (force

majeure) atau mengalami kesulitan ataupun kegiatan berhenti

dan membuang jangkar itu perlu dilakukan dengan maksud

untuk memberikan pertolongan kepada orang, kapal atau

pesawat udara yang berada dalam bahaya atau kesulitan.

Page 93: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

93 Hukum Laut Indonesia

Kapal asing yang sedang melintasi wilayah perairan Indonesia

tidak boleh menimbulkan gangguan terhadap kedamaian atau

ketenteraman, ketertiban umum dan keamanan di wilayah RI.

Kapal asing juga tidak boleh melakukan kegiatan-

kegiatan yang dilarang oleh KHL 1982 (Pasal 19 juncto Pasal

52), dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun

1996 yang menetapkan kurang lebih 12 kegiatan yang tidak

boleh dilakukan oleh kapal asing selama melewati laut

territorial dan atau perairan kepulauan Indonesia. Pemerintah

Republik Indonesia telah menindaklanjuti ketentuan Pasal 19

(lintas damai di laut teritorial), Pasal 38 (lintas transit di Selat

yang digunakan untuk pelayaran internasional), Pasal 45

(lintas damai di Selat yang digunakan untuk pelayaran

internasional), Pasal 52 (lintas damai di perairan kepulauan)

dan Pasal 53 (lintas alur laut kepulauan) di dalam sebuah

Rancangan Peraturan Pemerintah yang ditetapkan pada

tahun 1998, tetapi berlakunya pada tahun 2002 berdasarkan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun

2002, yang mengatur mengenai Alur Laut Kepulauan Indo-

nesia (ALKI) serta adanya 19 persyaratan yang harus dipenuhi

kapal asing yang melewati Alur Laut Kepulauan Indonesia

(ALKI).

Akan tetapi sebelum dibentangkan ke-19 persyaratan

berdasarkan Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996, perlu dijelaskan

apa sebenarnya yang dimaksud dengan hak lintas transit (the

Page 94: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

94 Hukum Laut Indonesia

right of transit passage) berdasarkan ketentuan Pasal 38 KHL

1982 dan apa yang dimaksud dengan hak lintas alur-alur laut

kepulauan (the right of archipelagic sealanes passage)

berdasarkan ketentuan Pasal 53 KHL 1982. Hak lintas transit

berlaku di Selat yang digunakan untuk pelayaran inter-

nasional (Straits Used for International Navigation), yaitu

bagian laut yang terletak di antara dan menghubungkan satu

bagian dari ZEE atau laut lepas dengan bagian lain dari ZEE

atau laut lepas.

Selat tersebut merupakan bagian dari laut teritorial

yang dimiliki bukan oleh satu negara saja, melainkan oleh

beberapa negara. Pada selat seperti itu segala jenis kapal dan

pesawat udara asing diperkenankan untuk melaksanakan hak

lintas transit. Hak lintas transit berarti pelaksanaan kebe-

basan pelayaran dan penerbangan berdasarkan bab ini (bab

III mengenai Selat yang digunakan untuk pelayaran inter-

nasional) untuk tujuan transit yang terus menerus, langsung

dan secepat mungkin antara satu bagian laut lepas atau zona

ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas dan zona ekonomi

eksklusif lainnya.

Namun demikian persyaratan transit secara terus

menerus, langsung dan secepat mungkin tidak menutup ke-

mungkinan bagi lintas melalui selat untuk tujuan memasuki,

meninggalkan atau kembali dari suatu negara yang berbata-

san dengan selat itu, dengan tunduk pada syarat-syarat

masuk negara itu. Oleh karena itu setiap kegiatan yang bukan

Page 95: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

95 Hukum Laut Indonesia

merupakan pelaksanaan hak lintas transit melalui suatu selat

tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan lain Konvensi ini.

Demikian gambaran makro mengenai hak lintas

transit yang berlakunya di Selat yang digunakan untuk

Pelayaran Internasional. Selanjutnya mengenai hak lintas

alur-alur laut kepulauan ditentukan di dalam Pasal 53 KHL

1982. Suatu negara kepulauan dapat menentukan alur-alur

laut dan rute penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan

untuk lintas kapal dan pesawat udara asing yang terus

menerus, langsung dan secepat mungkin melalui atau di atas

perairan kepulauannya dan laut territorial yang berdam-

pingan dengannya. Semua kapal dan pesawat udara menik-

mati hak lintas alur laut kepulauan di dalam alur laut dan

rute penerbangan di atasnya. Hak Lintas alur laut kepulauan

(the right of archipelagic sealanes passage) berarti pelaksa-

naan hak pelayaran dan penerbangan sesuai dengan

ketentuan-ketentuan konvensi ini dalam cara yang normal

(normal mode) semata-mata untuk melakukan transit yang

terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak

terhalang antara satu bagian laut lepas atau ZEE dan bagian

laut lepas atau ZEE lainnya. Demikian ketentuan Pasal 53

KHL 1982.

Sedang Pasal 52 KHL 1982 menyatakan bahwa de-

ngan tunduk pada ketentuan Pasal 53 dan tanpa mengurangi

arti ketentuan Pasal 50, kapal semua negara menikmati hak

Page 96: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

96 Hukum Laut Indonesia

lintas damai melalui perairan kepulauan sesuai dengan

ketentuan dalam Bab II, Bagian 3.

B. Analisis Perbandingan dari Berbagai Macam Lintas Layar

Untuk dapat memahami secara baik dan benar pe-

ngertian ketiga macam lintas pelayaran di wilayah perairan

suatu negara, terutama di wilayah perairan RI, maka perlu

diadakan perbandingan di antara ketiganya yang memper-

lihatkan adanya persamaan-persamaan serta perbedaan-

perbedaan antara rezim hukum hak lintas damai di satu

pihak dengan rezim hukum hak lintas alur laut kepulauan

dan rezim hukum hak lintas transit di lain pihak.

Adapun kesamaan-kesamaannya adalah sebagai beri-

kut. Pertama, Ketiga macam rezim lintas pelayaran menetap-

kan adanya kewajiban bagi setiap kapal asing dalam segala

jenisnya untuk mematuhi peraturan-peraturan hukum nasio-

nal dari negara pantai, dalam hal ini peraturan hukum Indo-

nesia serta peraturan hukum internasional yang dapat diber-

lakukan di dalam wilayah perairannya, termasuk peraturan

hukum keselamatan pelayaran seperti SOLAS Convention dan

COLREG Regulation.

Kewajiban seperti ini akan menjadi jelas apabila kita

membahas kesembilan belas persyaratan yang harus dipenuhi

oleh kapal dan pesawat udara asing yang melintasi wilayah

perairan Republik Indonesia sebagaimana diatur di dalam

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tanggal 5 Desember

Tahun 1998 yang mulai berlaku tanggal 5 Juni 1999. Itu

Page 97: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

97 Hukum Laut Indonesia

persamaan pertama. Kedua, ketiga macam rezim lintas

pelayaran juga menetapkan adanya kewajiban bagi kapal

asing dalam semua jenisnya untuk melakukan navigasi

secara terus menerus dan cepat (continuous and expeditious).

Akan tetapi kewajiban seperti ini tidak berarti bahwa kapal

asing yang melewati wilayah perairan Indonesia samasekali

tidak boleh berhenti atau membuang jangkar.

Kapal asing boleh saja berhenti dan membuang

jangkar sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi

yang lazim atau perlu dilakukan karena force majeure atau

mengalami kesulitan atau guna memberikan pertolongan

kepada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam

bahaya atau mengalami kesulitan. Walaupun pada dasarnya

kapal asing tidak diperkenankan untuk berhenti dan mem-

buang jangkar, namun dalam keadaan-keadaan tertentu

kapal tersebut boleh saja melakukannya asal saja dilakukan

dalam keadaan terpaksa, seperti kapal tersebut mengalami

kesulitan teknis berupa gangguan pada mesin kapal, atau

kapal harus berhenti dan membuang jangkar karena kapal

tersebut harus memberikan bantuan kemanusiaan kepada

orang, kapal, pesawat udara yang sedang mengalami musibah

di tengah-tengah laut dalam wilayah perairan Indonesia.

Ketiga, Ketiga macam rezim lintas pelayaran itu mene-

tapkan adanya kewajiban bagi kapal asing dalam segala jenis-

nya yang melewati atau melintasi wilayah perairan Indonesia

untuk menggunakan atau mengikuti alur-alur laut yang telah

Page 98: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

98 Hukum Laut Indonesia

ditetapkan maupun jalur pemisah lalu lintas yang telah

ditentukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Terdapat tiga

macam alur-alur laut kepulauan (ALKI) yang telah dipersiap-

kan sejak tahun 1995 melalui rapat kerja nasional yang diha-

diri oleh wakil departemen-departemen dan lembaga-lembaga

terkait yang menghasilkan konsep ALKI Utara-Selatan yang

pada dasarnya sama dengan konsep ALKI yang dihasilkan

melalui Forum Strategi Angkatan Laut tahun 1991.

Ketiga konsep ALKI Utara-Selatan yang telah ditetap-

kan adalah 1) ALKI I yang mempunyai dua cabang di Utara,

dimulai dari Laut Cina Selatan atau Laut Natuna, lalu ke

Selat Karimata, lalu ke Laut Jawa, ke Selat Sunda, lalu

menuju ke Samudera Hindia. 2) ALKI II dimulai dari Laut

Sulawesi, lalu ke Selat Makassar, lalu ke Selat Lombok, lalu

menuju ke Samudera Hindia. 3) ALKI III yang mempunyai 3

jalur atau cabang di Selatan. Dengan begitu ada ALKI III A,

ada ALKI III B dan ada ALKI III C. dimulai dari Samudera

Pasifik, lalu ke Laut Maluku, lalu ke Laut Seram, lalu ke Laut

Banda, lalu ke Selat Ombai, lalu menuju ke Laut Sawu (ALKI

III A), atau menuju Laut Timor (ALKI III B),atau menuju Laut

Arafura (ALKI III C).

Ketiga konsep ALKI yang dihasilkan tadi dan juga

tentunya apa yang disebut Skema Pemisah Lalu Lintas (Traffic

Separation Scheme) kemudian diserahkan dan diajukan

kepada Organisasi Maritime Internasional untuk mendapat-

kan persetujuannya. Setelah IMO melalui Komite Keselamatan

Page 99: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

99 Hukum Laut Indonesia

Maritim (Maritime Safety Committee) melakukan persidangan

sebanyak 3 kali (MSC – 67 IMO tanggal 2-6 Desember 1996;

MSC – 43 IMO tanggal 14-18 Juli 1997; MSC - 69 IMO tanggal

11-20 Mei 1998), maka pada tanggal 19 Mei 1998 Konsep

ALKI yang telah diajukan oleh Pemerintah RI telah diadopsi

oleh MSC – 69 IMO.

Masing-Masing ALKI mempunyai pintu masuk (entry

point) di sebelah Utara di luar laut teritorial Indonesia dan

juga mempunyai pintu keluar (exit point) di sebelah Selatan di

luar laut territorial Indonesia, demikian pula sebaliknya

masing-masing ALKI mempunyai pintu masuk di sebelah

Selatan dan pintu keluar di sebelah Utara, di mana kebera-

daan pintu masuk dan pintu keluar sangat ditentukan oleh

keberadaan dari suatu kapal asing yang akan melintasi

wilayah perairan Republik Indonesia. Sesuai ketentuan yang

ada setiap ALKI harus dibuat melalui pendekatan garis

sumbu (axis lines approach) yang memberikan gambaran

mengenai adanya garis-garis sumbu atau maya yang sifatnya

sambung me-nyambung tanpa terputus-putus yang dimulai

dari Utara sampai ke Selatan atau sebaliknya dari Selatan

hingga ke Utara dengan melintasi laut territorial dan perairan

kepulauan Indonesia.

Melalui pendekatan garis sumbu tersebut ALKI dapat

diasumsikan sebagai sebuah lorong atau koridor kendati

sesungguhnya tidak demikian yang secara imaginative

seakan-akan lebarnya maksimal 25 mil laut yang dapat digu-

Page 100: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

100 Hukum Laut Indonesia

nakan dan diikuti oleh kapal asing ketika melintasi wilayah

perairan Indonesia di mana kapal asing tidak boleh menyim-

pang melebihi batas 25 mil laut baik pada sisi kiri maupun

sisi kanan dari jalur lintasannya serta kapal tersebut tidak

boleh mendekati pantai dari pulau-pulau yang terdekat

dengan alur-alur laut atau jalur lintasannya.

Keempat, Indonesia sebagai negara pantai dan negara

kepulauan mempunyai kewajiban untuk tidak menghalang-

halangi lintas pelayaran yang dilakukan kapal asing karena

pada azasnya ketiga macam lintas pelayaran merupakan hak

untuk melakukan navigasi secara terus menerus dan cepat

dan tidak terhalang kecuali aparat hukum dan keamanan

mempunyai alasan kuat untuk menghalang-halanginya seper-

ti melakukan pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum

yang berlaku di dalam wilayah perairan Republik Indonesia

seperti pencurian ikan, penyelundupan, pencemaran lingku-

ngan laut, pelanggaran aturan keselamatan pelayaran dan

lain-lainnya.

Di samping itu negara Republik Indonesia berkewa-

jiban untuk menyampaikan pemberitahuan pada waktunya

mengenai adanya bahaya-bahaya yang terdapat di dalam

wilayahnya. Kewajiban-kewajiban seperti itu sebagaimana ter-

dapat dalam KHL 1982 dan Undang-Undang Republik Indo-

nesia Nomor 6 Tahun 1996 sesungguhnya merupakan pene-

gasan kembali dari kaidah hukum kebiasaan internasional

yang telah mendapat pengukuhan dari Mahkamah Inter-

Page 101: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

101 Hukum Laut Indonesia

nasional berdasarkan keputusannya terkait kasus Selat Cor-

fu (the Corfu Channel Case) antara Inggeris dan Albania pada

tahun 1949 (L.C. Green, 1978:228-237).

Demikian persamaan-persamaan di antara ketiga

macam lintas pelayaran. Sedangkan perbedaan-perbedaannya

dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama, rezim hukum

lintas damai (innocent passage) menetapkan adanya kewa-

jiban bagi kapal selam (submarine) untuk muncul di atas per-

mukaan air laut serta menunjukkan bendera kebangsaannya

pada waktu melintasi wilayah perairan Indonesia. Kewajiban

bagi kapal selam untuk muncul di atas permukaan air laut

dan memperlihatkan bendera negaranya tidak berlaku bagi

kapal selam yang melintasi wilayah perairan Indonesia ber-

dasarkan rezim hak lintas transit ataupun hak lintas alur-

alur kepulauan sehingga kapal selam tetap dapat menyelam

sebagaimana lazimnya (in normal mode) sesuai dengan

karakteristik dari kapal selam maupun kendaraan bawah air

lainnya (underwater vehicle).

Kedua, Hak lintas damai hanya dapat dinikmati oleh

kapal asing dalam segala jenisnya sebab rezim hukum lintas

damai hanya berlaku di dalam wilayah perairan, termasuk di

wilayah perairan Republik Indonesia. Pesawat udara asing

yang melakukan penerbangan melalui rute-rute udara di atas

wilayah perairan Indonesia dapat melakukannya berdasarkan

persetujuan atau perizinan dari otoritas yang berwenang dan

tidak berdasarkan hak lintas damai sebab hak ini hanya

Page 102: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

102 Hukum Laut Indonesia

berlaku bagi kapal asing dan tidak bagi pesawat udara asing.

Sebaliknya hak lintas transit dan hak lintas alur laut kepu-

lauan selain dapat dinikmati oleh kapal asing dalam segala

jenisnya, juga dapat dinikmati oleh pesawat udara asing di

mana pesawat ini dapat menerbangi rute-rute udara yang

berada di atas alur laut kepulauan Indonesia.

Pesawat udara termasuk pesawat militer yang berada

di atas sebuah kapal induk yang sedang melintasi wilayah

perairan di dalam alur laut kepulauan Indonesia dapat

melakukan penerbangan secara bebas tanpa meminta perse-

tujuan atau izin dari Pemerintah RI ditinjau dari segi penaf-

siran teoretis atas rezim lintas transit ataupun rezim lintas

alur laut kepulauan berdasarkan KHL 1982. Hal ini berarti

bahwa apa yang ditentukan di dalam KHL 1982 dan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 mengenai

wilayah perairan Indonesia, yakni adanya kebebasan melaku-

kan pelayaran dan penerbangan di Alur Laut Kepulauan

Indonesia sudah tidak sejalan dengan ketentuan Konvensi

Chicago 1944 yang telah menjadi hukum positif Indonesia

yang pada prinsipnya menekankan bahwa penerbangan

pesawat udara asing melalui ruang udara termasuk yang

berada di atas ALKI hanya dapat dilakukan berdasarkan

persetujuan atau izin dari Republik Indonesia sebagai negara

kolong.

Namun demikian kedua ketentuan tersebut tidak

perlu dipertentangkan sebab keduanya dapat berjalan berda-

Page 103: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

103 Hukum Laut Indonesia

sarkan azas yang di dalam Ilmu Hukum disebut azas lex

specialis derogat legi generali, yang berarti hukum khusus

(KHL !982 atau Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6

Tahun 1996) mengesampingkan hukum umum (Konvensi

Chicago) ataupun berdasarkan azas lex posterior derogat legi

priori, yang berarti hukum yang dibuat kemudian dapat

mengesampingkan hukum yang dibuat sebelumnya.

Namun demikian pengaturan KHL 1982 dan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 dalam

kaitan dengan hak lintas alur laut kepulauan bagi kapal asing

khususnya kapal perang serta pesawat udara asing telah

diimplementasikan melalui Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Tahun Nomor 37 Tahun 2002 mengenai Alur-Alur

Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang memuat 19 persya-

ratan melalui ALKI. Salah satu persyaratan yang disebutkan

di dalam PP tersebut menyatakan bahwa kapal perang asing

dan pesawat terbang militer asing dilarang melakukan latihan

perang-perangan.

Kapal perang asing dan pesawat terbang asing yang

merupakan unit-unit kapal perang asing, juga kapal yang

menggunakan tenaga nuklir diharapkan untuk melakukan

pemberitahuan kepada Pemerintah RI dalam hal ini Panglima

TNI terlebih dahulu. Perlunya ada pemberitahuan terlebih da-

hulu oleh kapal-kapal seperti itu mempunyai tujuan untuk

menjamin kepentingan keselamatan pelayaran serta untuk

Page 104: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

104 Hukum Laut Indonesia

mengambil tindakan permulaan yang diperbolehkan jika terja-

di sesuatu yang tidak menguntungkan.

Akhirnya perbedaan ketiga, rezim hukum lintas damai

memperkenankan negara Republik Indonesia untuk melaku-

kan penangguhan terhadap pelayaran kapal asing di wilayah

perairannya, sementara rezim hukum lintas transit dan lintas

alur laut kepulauan tidak memperkenankan Indonesia untuk

melakukan tindakan penangguhan seperti itu. Kalau dalam

konteks hak lintas damai penangguhan itu perlu dilakukan,

maka harus diperhatikan syarat-syarat berikut ini.

Pertama, tindakan penangguhan itu hanya dapat dila-

kukan pada bagian-bagian tertentu dari wilayah perairan

Republik Indonesia. Kedua, tindakan penangguhan itu hanya

dapat dilakukan untuk sementara waktu. Ketiga, tindakan

tersebut dilakukan di samping untuk membuktikan kedaula-

tan Indonesia di wilayah perairannya, juga untuk menjamin

keselamatan pelayaran bagi kapal asing. Keempat, tindakan

tersebut hanya dapat berlaku efektif setelah diadakan

pengumuman yang sewajarnya. Dalam pengertian praktis

tindakan penangguhan (suspension) tersebut dilakukan

dengan menutup untuk sementara waktu bagian-bagian laut

yang biasa digunakan oleh kapal asing dalam segala jenisnya.

Pemerintah RI tidak sekedar menutup bagian-bagian

laut tertentu saja sebab kalau ini yang terjadi berarti

Pemerintah menghambat dan menghalangi hak kapal asing

untuk melintasi wilayah perairan, padahal ini samasekali

Page 105: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

105 Hukum Laut Indonesia

dilarang terkecuali kapal asing melakukan pelanggaran

hukum. Dengan demikian Pemerintah atau otoritas terkait

mempunyai kewajiban untuk menyediakan bagian-bagian laut

lainnya sebagai alternative yang dapat digunakan sehingga

kapal asing tetap dapat menikmati haknya dalam melintasi

wilayah perairan Indonesia dengan mengikuti alur laut

kepulauan yang telah ditentukan.

Selanjutnya dalam memahami secara baik dan benar

soal implementasi atau penerapan atas ketiga macam lintas

pelayaran yang memiliki persamaan-persamaan (di samping

perbedaan-perbedaannya) sehingga sering tidak dapat

dipisahkan satu sama lain di dalam wilayah perairan

Indonesia, maka perlu sekali dipaparkan apa yang

Page 106: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

106 Hukum Laut Indonesia

sebelumnya pernah disinggung mengenai adanya sembilan

belas persyaratan yang harus ditaati oleh kapal dan pesawat

udara asing yang melaksanakan hak lintas alur laut

kepulauan Indonesia (Penyuluhan Hukum ALKI, Dinas

Pembinaan Hukum TN I AL, MABES TNI AL Cilangkap,

1998:2-3) :

1. Kapal-kapal yang berada di ALKI tidak akan mengganggu

kedaulatan (souvereignty), keutuhan teritorial (territorial

integrity) atau kemerdekaan (independence) dan persa-

tuan nasional Indonesia (national union of Indonesia).

Kapal-kapal yang dimaksud tentu semua jenis kapal

(kapal dagang, kapal perang, kapal berbendera Republik

Indonesia ataupun kapal asing dan lain-lain) tidak akan

melaksanakan setiap kegiatan yang bertentangan de-

ngan azas-azas hukum internasional sebagaimana dite-

tapkan di dalam Piagam PBB.

2. Pesawat terbang (tentu saja yang dimaksud disini pesa-

wat terbang dalam segala jenisnya baik itu pesawat sipil

maupun pesawat militer) dalam melaksanakan hak

lintas alur laut kepulauan tidak diperbolehkan untuk

melakukan penerbangan di luar alur-alur laut (di atas

atau dengan pengecualian Rezim Organisasi Penerba-

ngan Sipil Internasional/Regime ICAO) dan pesawat

terbang tersebut tidak akan terbang terlalu dekat dengan

pulau-pulau atau daratan di dalam wilayah teritorial

Indonesia, termasuk daerah di dalam ALKI. Penerbangan

Page 107: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

107 Hukum Laut Indonesia

disertai dengan maneuver pesawat militer AS yang ter-

jadi beberapa tahun lalu di ruang udara diatas Pulau

Bawean (Propinsi Jawa Timur) di samping melakukan

penerbangan tanpa persetujuan dari dan tanpa pemberi-

tahuan kepada Pemerintah RI, juga melakukan pener-

bangan di luar alur-alur laut kepulauan serta mendekati

pantai pulau Bawean dalam wilayah kedaulatan sehing-

ga mengancam dan membahayakan kedaulatan serta

keutuhan territorial NKRI.

3. Pesawat terbang sipil asing yang melalui ALKI harus

mengikuti aturan-aturan penerbangan sipil internasional

sebagaimana ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan

Sipil Internasional (International Civil Aviation Organiza-

tion) seperti misalnya The Chicago Convention tahun

1944.

4. Kapal perang asing dan pesawat terbang militer asing

ketika sedang melewati alur-alur laut, tidak diperbo-

lehkan melakukan latihan perang-perangan. Larangan

seperti ini tentu terkait masalah pertahanan dan keama-

nan negara, masalah kedaulatan serta keutuhan terito-

rial NKRI. Dengan demikan insiden udara di atas Pulau

Bawean oleh pesawat militer AS yang melakukan

maneuver tanpa persetujuan dari Panglima TNI (seakan-

akan mengadakan latihan perang-perangan) yang terjadi

beberapa tahun sebelumnya sesungguhnya merupakan

pelanggaran atas kedaulatan dan keutuhan territorial

Page 108: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

108 Hukum Laut Indonesia

NKRI sekalipun pihak AS merasa tidak terikat terhadap

KHL 1982 karena negeri Paman Sam ini belum meratifi-

kasinya hingga saat ini. Namun alasan ini tidak dapat

dipertanggungjawabkan dilihat dari sudut Piagam PBB

yang mewajibkan AS untuk menghormati kedaulatan

dan keutuhan territorial setiap negara berdaulat, apalagi

AS berstatus sebagai anggota tetap dari Dewan Keama-

nan yang mempunyai tanggungjawab utama dalam me-

melihara perdamaian serta keamanan internasional.

5. Kapal perang asing dan pesawat terbang asing yang

merupakan satuan-satuan atau unit-unit kapal perang

asing, di samping kapal-kapal yang menggunakan tenaga

nuklir, yang sedang melewati alur laut, diharapkan

untuk memberitahukan kepada Pemerintah Republik

Indonesia (yaitu Panglima Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia atau Panglima TNI) terlebih dahulu demi

untuk kepentingan keselamatan pelayaran dan untuk

mengambil tindakan permulaan yang diperlukan jika

terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan. Kata “diha-

rapkan” tentu saja berbeda dengan kata “diwajibkan

atau diharuskan” sehingga kapal perang asing, pesawat

terbang asing dan kapal yang bertenaga nuklir sebe-

narnya harus melakukan pemberitahuan kepada Pang-

lima TNI sebelum melintasi wilayah perairan Indonesia.

Pemerintah RI dalam hal ini Panglima TNI hanya

mengharapkan agar kapal-kapal yang disebutkan di atas

Page 109: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

109 Hukum Laut Indonesia

sebelum melewati ALKI sebaiknya terlebih dahulu me-

nyampaikan notifikasi dengan tujuan untuk menjamin

keselamatan pelayaran serta untuk mengambil tindakan

permulaan yang memang diperlukan apabila terjadi se-

suatu yang tidak menguntungkan navigasi yang dilaku-

kan oleh kapal-kapal tersebut.

6. Kapal-kapal yang membawa bahan nuklir diharuskan

memiliki peralatan perlindungan keamanan dan diharus-

kan untuk tetap melakukan kontak dan hubungan yang

terus menerus dengan pihak TNI Angkatan Laut sesuai

dengan Konvensi Perlindungan Fisik Bahan-Bahan

Nuklir. Pengertian kapal-kapal tentu saja mencakup

segala jenis kapal, entah kapal dagang, kapal penelitian,

kapal ikan, kapal perang dan bermacam-macam kapal

lainnya, juga entah kapal itu kapal berbendera Indonesia

ataupun kapal berbendera asing atau kapal asing kalau

membawa dan mengangkut bahan-bahan nuklir dengan

melintasi wilayah perairan Indonesia dibebani dengan

kewajiban untuk membawa alat perlindungan keama

nan serta kewajiban untuk melakukan hubungan secara

terus menerus dengan pihak TNI Angkatan Laut dalam

rangka menjamin keselamatan pelayaran.

7. Pesawat terbang militer asing yang terbang di atas ALKI

harus memperhatikan keselamatan penerbangan sipil

serta tetap berhubungan dengan ATC (Air Traffic Control)

yang berwenang dan juga pesawat tersebut harus me-

Page 110: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

110 Hukum Laut Indonesia

mantau frekuensi darurat. Penerbangan pesawat militer

AS di wilayah udara di atas Pulau Bawean (Propinsi

Jawa Timur) yang terjadi beberapa tahun lalu selain

merupakan pelanggaran kedaulatan serta mengancam

dan membahayakan keutuhan territorial Indonesia, juga

sangat membahayakan keselamatan penerbangan sipil

sebab masuk ke wilayah RI tanpa meminta izin ataupun

tanpa menyampaikan pemberitahuan kepada otoritas

terkait, apalagi pesawat-pesawat yang tidak diundang ini

ternyata melakukan manuver-manuver yang membaha-

yakan keselamatan penerbangan baik terhadap pesawat

sipil maupun pesawat TNI Angkatan Udara yang ditu-

gaskan untuk melakukan tindakan pencegatan atau

intersepsi (interception) terhadap pesawat AS yang sudah

jelas melakukan tindakan provokasi.

8. Kapal-kapal asing atau pesawat terbang yang sedang

transit sebaiknya bergerak secara hati-hati di ALKI yang

penuh dengan kegiatan ekonomi (baik kegiatan di bidang

perikanan maupun pertambangan). Untuk itu kapal atau

pesawat terbang yang sedang transit sebaiknya memper

hatikan aturan-aturan yang menetapkan batas daerah

pelayaran (restricted zone) dengan radius sejauh1.250

meter dari batas terluar daerah aman (prohibited zone)

instalasi minyak dan gas, dan dilarang memasuki batas

daerah aman (prohibited zone) yang radiusnya 500 meter

sekitar instalasi minyak dan gas dan selalu memper-

Page 111: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

111 Hukum Laut Indonesia

hatikan serta berhati-hati terhadap saluran pipa dan

kabel laut. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 1973 mengenai Landas Kontinen Indo-

nesia yang masih berlaku hingga sekarang, setiap

instalasi atau bangunan khususnya instalasi pertamba-

ngan minyak dan gas bumi yang didirikan di Landas

Kontinen harus memiliki apa yang disebut daerah ter-

larang (prohibited area) dan daerah terbatas (restricted

area). Daerah terlarang lebarnya tidak boleh melebihi

500 meter yang dihitung dari setiap titik terluar pada

instalasi, kapal-kapal dan atau alat-alat lainnya yang

terdapat di Landas Kontinen dan atau di atasnya,

sedangkan daerah terbatas lebarnya tidak boleh melebihi

1.250 meter terhitung dari titik-titik terluar dari daerah

terlarang itu, di mana kapal-kapal pihak ketiga dilarang

membuang atau membongkar jangkar. Kapal-kapal ha-

rus berlayar secara terus menerus dalam radius antara

500 meter dengan 1.250 meter di sekeliling instalasi,

kapal maupun alat-alat lainnya. Kapal asing dan pesa-

wat terbang asing tidak boleh memasuki daerah terla-

rang atau daerah aman yang radiusnya maksimal 500

meter terhitung dari titik-titik terluar dari instalasi

dengan segala perlengkapannya sebab daerah aman ini

ditetapkan sebagai daerah pabean di mana berlaku

semua peraturan hukum Republik Indonesia. Kapal

asing dan pesawat terbang asing hanya bisa melintasi

Page 112: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

112 Hukum Laut Indonesia

daerah terbatas dengan radius 1.250 meter terhitung

dari titik-titik terluar dari instalasi serta segala

perlengkapannya.

9. Kapal-kapal ikan asing harus tetap menyimpan

peralatan penangkapan ikan sewaktu transit, dan

dilarang melaksanakan kegiatan penangkapan ikan

ketika melakukan transit di wilayah perairan Indonesia.

10. Kapal-kapal yang melintas transit di perairan alur-alur

laut harus berhati-hati dan harus menggunakan

peraturan system keselamatan navigasi internasional

serta dapat menunjukkan kemampuannya sebagai-

mana yang dimiliki oleh kapal setempat maupun nela-

yan dan pelaut setempat.

11. Setiap kapal yang melintasi wilayah perairan Indonesia

dilarang membuang benda-benda sisa beracun atau

benda berbahaya termasuk sampah di perairan

Indonesia. Wilayah perairan Republik Indonesia tidak

boleh dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah

baik limbah yang mengandung racun atau zat-zat

berbahaya lainnya karena Pemerintah dapat menerap-

kan peraturan perundang-undangan yang mengatur

masalah lingkungan hidup (Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 27 Tahun 2003 mengenai Lingkungan

Hidup) yang di dalamnya memuat soal sanksi pidana

dan perdata dalam bentuk tuntutan gantirugi terhadap

mereka yang terlibat dalam tindakan pencemaran mau-

Page 113: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

113 Hukum Laut Indonesia

pun perusakan lingkungan hidup termasuk lingkungan

laut serta sumber daya alam yang terdapat di dalam-

nya.

12. Dengan berpedoman pada berbagai peraturan perunda-

ngan soal lingkungan hidup, maka setiap kapal dila-

rang untuk melakukan pembersihan tangki-tangki ka-

pal atau mengotori wilayah perairan Indonesia ketika

melintasi wilayah perairan Republik Indonesia.

Sebagaimana diketahui terdapat berbagai macam

sumber yang menyebabkan terjadinya pencemaran laut. Ada

yang berasal dari sumber di laut itu sendiri dan ada yang

berasal dari daratan. Pencemaran yang berasal dari sumber di

laut itu sendiri dapat meliputi sumber pencemaran yang

berasal dari kapal dan ada yang berasal dari instalasi minyak.

Sumber pencemaran yang berasal dari kapal bisa mencakup

berbagai factor, seperti kecelakaan kapal (kapal pecah, kapal

kandas, tubrukan kapal), kebocoran kapal, pembuangan

minyak serta air tangki (pembersihan air tangki) (Komar

Kantaatmadja, 1981:15.).

13. Kapal yang sedang melintas tidak diperkenankan untuk

berhenti atau membuang jangkar, juga tidak diizinkan

untuk bergerak dengan formasi zig-zag berbolak balik

kecuali bila menghadapi situasi darurat atau situasi

sulit sebagaimana telah dibahas di atas, termasuk

dalam memberikan bantuan kemanusiaan kepada ora-

Page 114: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

114 Hukum Laut Indonesia

ng, kapal atau pesawat udara yang sedang terkatung-

katung di tengah laut.

14. Kapal yang sedang melintas transit di wilayah perairan

Indonesia tidak diizinkan untuk menurunkan personel

ataupun material-material ataupun melakukan pemin-

dahan (transfer) personel ataupun material dari dan

kepada kapal lain atau melayani berbagai kegiatan

yang bertentangan dengan peraturan-peraturan keimig-

rasian, bea cukai, dan perekonoman ataupun kondisi

kesehatan di wilayah Indonesia.

Selama melintasi wilayah perairan Indonesia kapal

dalam segala jenisnya tidak boleh melakukan tindakan-

tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan Republik Indonesia dalam bidang-bidang bea cukai,

fiscal, keimigrasian dan kesehatan. Pelanggaran terhadapnya

akan memberikan hak kepada otoritas terkait untuk menang-

kap, menahan kapal yang bersangkutan; aparat hukum dapat

naik ke atas kapal, melakukan pemeriksaaan di atas kapal,

melakukan penangkapan dan penahanan terhadap personel-

personel yang diduga tersangkut dengan pelanggaran

tersebut, melakukan penuntutan di depan pengadilan

berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

15. Kapal dan pesawat terbang yang melintas transit tidak

diizinkan untuk memberikan bantuan dan pelayanan

pada pekerjaan survei dan riset ilmiah kelautan,

termasuk tidak boleh melakukan pengambilan contoh

Page 115: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

115 Hukum Laut Indonesia

atau sampel yang bertujuan untuk melakukan penye-

lidikan bersamaan dengan saat melintas. Kapal dan

pesawat terbang tidak seharusnya melakukan kegiatan

yang berbentuk aktivitas survei atau riset ilmiah

kelautan meliputi penelitian alur laut Indonesia dan

juga wilayah yang berada di atasnya.

16. Kapal dan pesawat terbang yang melakukan lintas

transit dilarang melakukan pemancaran siaran yang

tidak mendapat izin atau memancarkan gelombang

elektromagnetik yang dimungkinkan akan mengganggu

system telekomunikasi nasional dan dilarang mengada-

kan komunikasi langsung dengan pihak-pihak perora-

ngan atau kelompok-kelompok yang tidak memiliki izin

resmi di wilayah Indonesia.

17. Kapal yang melintas transit harus selalu memenuhi

dan mematuhi peraturan keselamatan navigasi interna-

sional yang telah ditentukan, seperti Konvensi SOLAS,

Konvensi COLREG, ISPS Code.

18. Awak kapal, pemilik muatan kapal dapat dikenakan

denda baik secara individual maupun kelompok bila

menimbulkan kerusakan-kerusakan di wilayah perair-

an Republik Indonesia. Mereka harus memiliki polis

dengan nilai asuransi yang memadai guna membayar

(gantirugi) atas kerusakan yang ditimbulkannya,

termasuk kerusakan terhadap lingkungan laut.

Page 116: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

116 Hukum Laut Indonesia

19. Untuk tujuan keselamatan navigasi dan untuk kesela-

matan di wilayah Indonesia, maka setiap kapal tangker

asing, kapal penjelajah yang menggunakan energi nuk-

lir, kapal penjelajah asing yang membawa muatan yang

mengandung nuklir atau material berbahaya lain, kapal

ikan asing dan termasuk kapal perang asing yang

melintas di perairan Indonesia dari perairan ZEE atau

laut lepas atau dari perairan ZEE menuju ke perairan

laut lepas dan melintasi perairan Indonesia hanya di-

izinkan melintas melalui alur-alur laut yang telah diten-

tukan.

Semua alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang

telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan

telah diterima oleh Organisasi Maritime Internasional (The

International Maritime Organization) terbuka bagi semua kapal

baik kapal yang berbendera Indonesia maupun berbendera

asing serta kapal jenis apapun yang ingin melintasi wilayah

perairan RI secara cepat dan terus menerus berdasarkan hak

lintas alur laut kepulauan (the right of archipelagic sealanes

passage) sebagaimana diatur dalam KHL 1982.

Kapal perang (warship), kapal yang membawa barang

berbahaya dan kapal penangkap ikan asing yang melintasi

perairan Indonesia untuk tujuan transit dari suatu bagian

ZEE Indonesia atau laut bebas menuju ke bagian lain dari

ZEE Indonesia atau laut bebas dianjurkan untuk melewati

ALKI, apakah ALKI I, ALKI II ataukah ALKI III. Selanjutnya

Page 117: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

117 Hukum Laut Indonesia

perlu mendapat perhatian bahwa kegiatan pelayaran kapal

asing melalui wilayah perairan Republik Indonesia lainnya

yang berada di luar ALKI tetap diperkenankan, dengan tetap

tunduk kepada atau mematuhi ketentuan-ketentuan menge-

nai hak lintas damai (The Right of Innocent Passage) sebagai-

mana diatur di dalam KHL 1982 serta peraturan perundang-

undangan Indonesia yang berlaku seperti Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 mengenai Perairan

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31

Tahun 2004 mengenai Perikanan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2004 mengenai Otonomi Daerah, Undang-Undang mengenai

Pelayaran, Undang-Undang mengenai Lingkungan Hidup,

Undang-Undang mengenai Kepabeanan, Undang-Undang

Keimigrasian, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang

bidang Perekonomian, Undang-Undang Penyiaran, Undang-

Undang mengenai Pertahanan dan Keamanan Nasional dan

segala macam peraturan perundangan yang berlaku dalam

wilayah Republik Indonesia termasuk pula peraturan

perundangan yang menyangkut keselamatan pelayaran (Kep-

pres RI Nomor 203 Tahun 1966 yang meratifikasi Konvensi

SOLAS serta Keppres RI Nomor 107 Tahun 1968 yang

meratifikasi Konvensi COLREG atau International Regulation

for the Prevention of Collisions at Sea atau Pengaturan Inter-

nasional mengenai pencegahan tubru-kan di laut) (Mochtar

Kusumaatmadja, 1978:217) dengan catatan bahwa kedua

Page 118: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

118 Hukum Laut Indonesia

konvensi internasional ini telah berkali-kali mengalami

perubahan dan perbaikan disesuaikan dengan kebutuhan

masyarakat internasional guna menjamin dan meningkatkan

perlindungan keselamatan pelayaran.

C. Pengaturan Hukum Mengenai Keselamatan Pelayaran

Di manapun kapal berada atau berlayar, entah di wi-

layah perairan nasional dari negara asal kapal itu ataukah di

wilayah perairan negara lain ataukah di perairan interna-

sional, senantiasa harus mentaati peraturan-peraturan kese-

lamatan pelayaran sebagaimana diatur di dalam berbagai

perjanjian atau konvensi internasional. Peraturan-peraturan

keselamatan pelayaran (safety of navigation) memiliki berbagai

macam aspek, seperti aspek kelayakan kapal untuk berlayar

di laut (seaworthiness of ship), pencegahan tubrukan dan

trayek kapal (the prevention of collision and the ship routeing),

standar penempatan awak kapal (crewing standard) dan

penetapan alat bantu navigasi (navigational aids) (R.R.

Churchill and A.V. Lowe, 1983:185).

Berbagai perjanjian internasional yang mengatur soal

keselamatan pelayaran dapat dikemukakan seperti Konvensi

Geneva 1958 mengenai Laut Bebas, Konvensi Hukum Laut

1982, Konvensi mengenai Keselamatan Jiwa di Laut 1974,

Konvensi mengenai Pencegahan Tubrukan di Laut 1976,

Konvensi mengenai Garis Batas Muatan Kapal 1966 dan

berbagai konvensi internasional lainnya yang telah diadopsi

oleh Organisasi Maritim Internasional yang mengatur soal

Page 119: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

119 Hukum Laut Indonesia

kelayakan kapal dan yang paling mutakhir adalah Peraturan

Internasional mengenai Standar Keamanan Kapal maupun

Pelabuhan dengan segala fasilitasnya (The International Ship

and Port Facility Security Code atau disingkat dengan ISPS

Code 2004).

Aspek kelayakan kapal untuk dapat berlayar di te-

ngah-tengah laut adalah salah satu aspek penting yang harus

diperhatikan dan dipatuhi oleh negara bendera (Flag State),

yaitu negara yang benderanya dipergunakan oleh kapal yang

bersangkutan. Selanjutnya salah satu faktor yang terkait

dengan masalah kelayakan kapal (seaworthiness of ship)

adalah faktor nasionalitas atau kebangsaan kapal (nationality

of ship), sebab hal ini sangat penting untuk menjaga dan

memelihara ketertiban di laut. Nasionalitas kapal bisa menun-

jukkan hak-hak apa yang dapat dinikmati oleh sebuah kapal

maupun kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada kapal

itu (R.R. Churchill and A.V. Lowe, 1983:179-180).

Nasionalitas kapal juga menunjukkan negara mana

yang menjadi negara bendera (Flag State), yaitu negara yang

dapat menjalankan yurisdiksi atau kekuasaan hukum atas

kapal tersebut. Dengan demikian Nasionalitas kapal menun-

jukkan pula negara mana yang harus bertanggungjawab

menurut hukum internasional atas kapal yang bersangkutan

apabila timbul kasus di mana kapal itu melakukan tindakan

atau kelalaian yang dapat dihubungkan dengan negara

tersebut sehingga dengan begitu nasionalitas kapal juga

Page 120: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

120 Hukum Laut Indonesia

menunjukkan pengertian negara mana yang mempunyai hak

dan kewajiban untuk menjalankan perlindungan diplomatic

atas nama kapal tersebut. Bagaimana pengaturan hukum

mengenai nasionalitas kapal?

Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Lepas dalam

Pasal 5 menyatakan bahwa setiap negara dapat menetapkan

persyaratan-persyaratan dalam memberikan nasionalitas ke-

pada kapal, syarat-syarat registrasi kapal yang dilakukan di

dalam wilayahnya, serta syarat-syarat yang harus dipenuhi

oleh kapal itu dalam mendapatkan hak untuk mengibarkan

bendera dari negara yang bersangkutan. Akan tetapi keten-

tuan pasal itu membatasi hak dan kewenangan negara terse-

but sebab di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa harus

terdapat hubungan asli (genuine link) antara negara dengan

kapal, terutama negara itu harus dapat menjalankan yuris-

diksi dan pengawasannya secara efektif dalam masalah admi-

nistratif, teknik dan sosial terhadap kapal yang mengibarkan

benderanya.

Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan hubungan

asli (genuine link) atau ukuran-ukuran apa yang dapat digu-

nakan untuk menentukan ada tidaknya hubungan asli antara

suatu negara dengan kapal, samasekali tidak dijelaskan

dalam Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas sehingga

dengan demikian adalah tidak jelas apa akibatnya atau

konsekuensinya bilamana antara suatu kapal dengan negara

yang nasionalitasnya dibawa oleh kapal tersebut tidak ada

Page 121: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

121 Hukum Laut Indonesia

suatu hubungan asli (R.R. Churchill and A.V. Lowe, 1983:

181-183).

Itulah sebabnya mengapa dalam praktik negara-nega-

ra persyaratan mengenai hubungan asli tidak menimbulkan

kewajiban hukum dan tidak mengikat negara-negara sehingga

tidak sedikit negara-negara yang tidak mematuhi ketentuan

soal hubungan asli (genuine link) atau dengan kata lain

ketentuan ini menjadi huruf mati dalam praktek negara-

negara. Walaupun sejumlah negara seperti Inggeris, AS, Nor-

wegia dan Perancis mensyaratkan di dalam hukum nasio-

nalnya adanya hubungan asli antara negara dengan kapal

dengan menyatakan bahwa para pemilik kapal dan atau awak

kapal baik keseluruhan maupun sebagian harus memiliki

nasionalitas dari negara yang bersangkutan, namun ternyata

negara-negara lain (terutama negara-negara miskin dari

kawasan Afrika dan Karibia) tidak menetapkan persyaratan

seperti itu di dalam hukum nasionalnya karena tidak satupun

dari kelompok terakhir ini yang menjadi peserta pada Kon-

vensi Geneva 1958 mengenai Laut Lepas.

Kelompok negara-negara yang tidak mensyaratkan

adanya hubungan asli antara negara dengan kapal umumnya

dikenal dengan istilah negara-negara “Flag of Convenience

States” atau “Open Registry States”. Hal ini disebabkan karena

negara-negara tersebut mengizinkan pemilik kapal asing

untuk mendaftarkan kapalnya di dalam wilayah negara-

negara tersebut dan mengizinkan pemilik kapal untuk mem-

Page 122: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

122 Hukum Laut Indonesia

pergunakan benderanya walaupun antara pemilik kapal

dengan salah satu dari kelompok negara-negara tersebut

tidak terdapat hubungan asli atau tidak memperlihatkan

adanya suatu hubungan yang bersifat substansial.

Di lain sisi banyak pemilik kapal yang berasal dari

negara-negara maju seperti AS, Yunani, Jepang dan Hong

Kong merasa tertarik untuk meregistrasi kapalnya di negara-

negara yang dinamakan Flag of Convenience atau Open

Registry States karena selain alasan tidak disyaratkannya

mengenai hubungan asli atau tidak diperlukan adanya

hubungan asli, juga disebabkan negara-negara itu menetap-

kan biaya dan pajak yang sangat rendah bagi pemilik kapal

apabila mendaftarkan kapalnya di negara-negara tersebut,

persyaratan penempatan awak kapal yang cukup meringan-

kan bagi pemilik kapal serta gaji yang sangat rendah sehingga

dengan demikian biaya operasional yang dikeluarkan oleh

pemilik kapal dapat ditekan sekecil mungkin dan pada

akhirnya dapat memberikan keuntungan signifikan bagi

pemilik kapal.

Negara-negara seperti Liberia, Somalia, Siprus,

Panama dan lain-lainnya dapat dikualifikasi ke dalam kelom-

pok negara-negara yang disebut “Flag of Convenience atau

Open Registry States” karena peraturan-peraturan hukumnya

tidak mensyaratkan adanya hubungan asli antara pemilik

kapal atau operator kapal dengan negara yang bersangkutan

dan juga peraturan hukum negara-negara itu dianggap lunak

Page 123: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

123 Hukum Laut Indonesia

dalam menetapkan syarat-syarat penempatan awak kapal, di

samping keringanan persyaratan registrasinya. Negara-negara

tersebut juga sering dituding selama tenggang waktu yang

lama tidak mau dan tidak sanggup melaksanakan yurisdiksi-

nya secara efektif atas kapal-kapal yang mengibarkan ben-

deranya ketika tersangkut dalam masalah pencemaran mau-

pun keselamatan pelayaran.

Meskipun syarat adanya hubungan asli sebagaimana

diatur dalam Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 hanya membawa

pengaruh sangat kecil untuk tidak mengatakan ketentuan itu

samasekali tidak berpengaruh atas praktek negara-negara

sejak berlakunya Konvensi Geneva1958 mengenai Laut Bebas,

namun syarat itu ternyata ditegaskan kembali melalui Pasal

91 KHL 1982. Akan tetapi syarat hubungan asli yang terdapat

di dalam Pasal 91 KHL 1982 tidak lagi dikaitkan dengan

pelaksanaan yurisdiksi negara bendera secara efektif atas

suatu kapal dan di sinilah terletak perbedaan antara pasal 91

KHL 1982 dengan Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 yang menya-

tukan atau mengkaitkan secara langsung persyaratan hubu-

ngan asli dengan pelaksanaan yurisdiksi negara bendera

secara efektif.

Pelaksanaan yurisdiksi negara bendera secara efektif

tidak diatur dalam Pasal 91 KHL 1982, tetapi diatur dalam

suatu pasal tersendiri, yakni dalam Pasal 94 sehingga hal ini

membawa pengaruh yang cukup besar terhadap praktek ne-

gara-negara yang mengecam negara-negara yang disebut Flag

Page 124: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

124 Hukum Laut Indonesia

of Convenience atau Open Registry States. Dalam konteks ini

dapat dikemukakan bahwa pada bulan Juni 1981 Komite

Perkapalan dari UNCTAD (UNCTAD Committee on Shipping)

menerima sebuah Resolusi yang merekomendasikan agar

rezim hukum open registry secara bertahap dan progressif

diubah menjadi rezim hukum pendaftaran biasa (normal

registry).

Perubahan ini dapat dilakukan dengan cara memper-

ketat syarat-syarat registrasi kapal di mana negara yang

biasanya menganut system pendaftaran terbuka harus dapat

menguasai (retain) kapal yang terdaftar di negara tersebut dan

dengan demikian negara tersebut harus dapat mengiden-

tifikasi siapa yang menjadi pemilik kapal maupun operator

kapal dan negara tersebut dapat menekan pemilik ataupun

operator kapal agar bertanggungjawab atas semua operasi

dan kegiatan perkapalan, termasuk dalam memelihara stan-

dar penempatan awak kapal maupun standar kesejahteraan-

nya.

Di samping rekomendasi seperti itu, Komite Perkapa-

lan dari UNCTAD juga merekomendasikan agar disusun atau

dirumuskan sekumpulan prinsip-prinsip dasar mengenai

syarat-syarat registrasi kapal di suatu negara dan selanjutnya

diselenggarakan suatu konferensi internasional dengan tu-

juan menciptakan sebuah perjanjian internasional yang

mengatur prinsip-prinsip dasar terkait syarat-syarat registrasi

kapal. Prinsip-prinsip dasar tersebut seharusnya mengatur

Page 125: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

125 Hukum Laut Indonesia

masalah penempatan personel di atas kapal (the manning of

ships), peranan negara bendera dalam mengelola perusahaan

pemilik kapal (shipowning company) maupun dalam hal

pengelolaan kapal, partisipasi yang sewajarnya dalam hal

permodalan serta peranannya dalam mengidentifikasi para

pemilik maupun operator kapal.

Selama ini kita hanya berbicara tentang hak negara

untuk memberikan nasionalitas dan benderanya kepada

kapal sehingga kapal dapat berlayar dengan mempergunakan

bendera dari negara yang bersangkutan. Akan tetapi apakah

kapal dapat berlayar dengan bendera dari suatu organisasi

internasional? Dalam mempersiapkan rancangan pasal-pasal

Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas, Komisi Hukum

Internasional menolak gagasan untuk memasukkan suatu

ketentuan yang mengakui hak PBB dan kemungkinan juga

organisasi internasional lainnya untuk mengizinkan suatu

kapal semata-mata mempergunakan bendera dari organisasi

internasional itu.

Hal ini disebabkan karena sistem hukum yang

berlaku di atas suatu kapal adalah sistem hukum dari negara

bendera dan dengan demikian bendera PBB tidak dapat

dipersamakan dengan bendera dari suatu negara. Kendati

Komisi Hukum Internasional melakukan pendekatan negatif,

namun Pasal 7 dari Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut

Bebas yang merupakan kesepakatan dari negara-negara

peserta konferensi menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan

Page 126: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

126 Hukum Laut Indonesia

konvensi tidak mempengaruhi atau mengurangi persoalan

kapal yang dipergunakan untuk melaksanakan tugas resmi

dari suatu organisasi internasional dengan mengibarkan

bendera organisasi itu.

Ketentuan Pasal 7 itu sesungguhnya tidak jelas se-

hingga dapat menimbulkan permasalahan. Pasal 93 KHL

1982 sangat mirip dengan Pasal 7 Konvensi Geneva 1958

mengenai Laut Bebas, tetapi KHL 1982 terutama ketentuan

pasal 93 membatasi pengertian organisasi antarpemerintah

hanya pada PBB, badan-badan khusus dari PBB dan Orga-

nisasi Tenaga Atom Internasional. Sulit dipahami mengapa

Pasal 93 KHL 1982 membatasi pengertian organisasi antar-

pemerintah atau organisasi internasional hanya pada PBB,

badan-badan khusus PBB serta IAEA (International Atomic

Energy Agency), padahal dewasa ini ternyata sudah

bermunculan berbagai organisasi internasional lain yang

sangat maju seperti misalnya Uni Eropa yang sebentar lagi

akan memiliki sebuah konstitusi yang mengikat semua negara

anggotanya sehingga dapat menimbulkan masalah hukum

sebab bendera organisasi itu dapat dikibarkan oleh kapal-

kapal, apalagi organisasi tersebut dapat menjadi peserta pada

KHL 1982.

Pada akhirnya harus dicatat bahwa kapal yang mengi-

barkan dua bendera atau lebih dianggap tidak memiliki

nasionalitas. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 6 Konvensi

Geneva 1958 mengenai Laut Bebas dan Pasal 92 KHL 1982.

Page 127: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

127 Hukum Laut Indonesia

Perumusan ketentuan baik di dalam Konvensi Geneva 1958

maupun KHL 1982 dengan cara seperti itu agaknya berlebih-

an sehingga menurut hemat kami sebaiknya disederhanakan

saja dengan menyatakan bahwa setiap kapal yang memiliki

dan mengibarkan lebih dari satu macam bendera harus

disamakan dengan tidak memiliki bendera. Dengan demikian

kalau kapal itu dianggap tidak memiliki bendera, kapal

tersebut tidak mempunyai nasionalitas apapun.

Konsekuensinya adalah di samping tidak memiliki hak

navigasi atau hak berlayar di berbagai jalur laut dari negara

pantai dan juga di laut bebas atau perairan internasional,

kapal yang bersangkutan juga tidak mempunyai hak untuk

mendapatkan perlindungan diplomatik dari negara manapun.

Tidak ada satu negarapun yang dapat dituntut pertanggung-

jawabannya dalam kaitan dengan kapal yang memiliki lebih

dari satu macam bendera. Hanya kapal yang memiliki dan

mengibarkan satu bendera dan tidak lebih dari satu bendera

saja yang diakui memiliki nasionalitas dari negara bendera

sehingga dengan demikian kapal tersebut dapat menikmati

hak-hak berlayar, hak atas perlindungan diplomatik dari

negara bendera yang memiliki yurisdiksi dan tanggungjawab

terkait dengan kapal tersebut.

Kapal asing mempunyai hak navigasi di dalam pel-

bagai jalur laut dari negara Republik Indonesia dan juga di

perairan internasional, sebagaimana halnya kapal Indonesia

atau yang berbendera Indonesia memiliki hak navigasi di

Page 128: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

128 Hukum Laut Indonesia

wilayah perairan negara lain maupun di perairan laut bebas.

Di perairan pedalaman seperti perairan teluk, sungai dan

pelabuhan Indonesia, kapal asing biasanya tidak menikmati

hak navigasi kecuali ada perjanjian seperti misalnya perjan-

jian persahabatan, perjanjian perdagangan dan perjanjian

dalam bidang pelayaran yang memungkinkan adanya hak

akses ke perairan pedalaman terutama hak akses ke

pelabuhan Republik Indonesia.

Selanjutnya di perairan kepulauan dan laut teritorial

Indonesia, kapal asing menikmati hak navigasi dalam bentuk

hak lintas damai, hak lintas transit (khusus di Selat Malaka

sebagai Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional)

dan hak lintas alur laut kepulauan. Sebagaimana telah dike-

mukakan di atas, dalam kaitan hak lintas damai di laut

teritorial dan perairan kepulauan, Indonesia dapat melakukan

tindakan penangguhan berdasarkan syarat-syarat tertentu

atas kapal asing yang berlayar di wilayah perairannya. Akan

tetapi kapal asing yang berlayar di Selat yang dipergunakan

untuk pelayaran internasional (Straits Used For International

Navigation) juga dalam konteks hak lintas damai (the right of

innocent passage) tidak bisa ditangguhkan, mungkin karena

pelaksanaan hak lintas damai di Selat seperti itu sama saja

dengan pelaksanaan hak lintas transit (the right of transit

passage) yang tidak mungkin bisa ditangguhkan oleh negara-

negara tepi termasuk Indonesia.

Page 129: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

129 Hukum Laut Indonesia

Di luar laut territorial seperti di jalur tambahan

(Contiguous Zone) Indonesia, kapal asing menikmati kebeba-

san navigasi dan dengan begitu negara bendera mempunyai

yurisdiksi yang bersifat eksklusif atas kapal itu. Namun

demikian kebebasan navigasi yang dinikmati kapal asing serta

yurisdiksi eksklusif dari negara bendera disertai dengan

pembatasan tertentu, di mana Indonesia mempunyai hak

untuk melakukan pengawasan yang memang dibutuhkan

untuk mencegah dan menghukum terjadinya pelanggaran

kapal asing terhadap peraturan perundang-undangan dalam

bidang-bidang bea cukai, fiskal, keimigrasian dan sanitasi

(lihat Pasal 33 KHL 1982/Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 17 Tahun 1985).

Aparat hukum Indonesia berwenang untuk menang-

kap dan menahan kapal yang dicurigai dan diduga kuat

terlibat dalam pelanggaran terhadap satu atau lebih keten-

tuan dari peraturan perundangan yang berlaku. Aparatnya

juga berwenang untuk naik ke atas kapal untuk melakukan

pemeriksaan dan apabila terbukti terjadi pelanggaran, maka

aparat hukum dapat menahan kapal dan personel yang

terlibat, melakukan penyidikan, penuntutan dan peradilan

terhadap mereka yang tersangkut sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya di perairan ZEE Indonesia atau perairan

di atas landas kontinennya kapal asing memiliki kebebasan

berlayar (freedom of navigation) karena perairan ZEE atau

Page 130: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

130 Hukum Laut Indonesia

perairan di atas landas kontinen Indonesia tetap berstatus

sebagai perairan laut bebas atau perairan internasional.

Kapal asing berkewajiban untuk menghormati zona-

zona keselama-tan (safety zones) di sekeliling pulau buatan

atau instalasi yang berdasarkan peraturan perundang-

undangan Indonesia diimplementasikan sebagai zona terbatas

(restricted zones) dan zona terlarang (prohibited zones) pada

setiap instalasi pertambangan (Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 1973, Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 5 Tahun 1983). Akan tetapi Republik

Indonesia berkewajiban untuk tidak mendirikan pulau buatan

dan instalasi yang dapat mengganggu penggunaan alur-alur

laut yang diakui esensial untuk pelayaran internasional (Pasal

5 ayat (3) dan ayat (6) Konvensi Geneva 1958 mengenai laut

territorial dan jalur tambahan, juga Pasal 60 ayat (6) dan ayat

(7) serta Pasal 80 KHL 1982).

Sebagaimana halnya di perairan ZEE atau perairan di

atas landas kontinen Indonesia yang tetap mempunyai kedu-

dukan sebagai perairan internasional, maka kapal asing dan

kapal Indonesia juga mempunyai kebebasan untuk berlayar di

perairan laut bebas, yaitu di perairan yang berada di luar ZEE

atau di luar perairan di atas landas kontinen Indonesia, mi-

salnya saja di Samudera Pasifik, Samudera Hindia atau laut

Cina Selatan etc. Namun kapal Indonesia ataupun kapal asing

harus memperhatikan dengan sepatutnya kepentingan negara

lain yang telah menjalankan berbagai kegiatan di perairan

Page 131: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

131 Hukum Laut Indonesia

laut bebas tersebut (Pasal 2 Konvensi Geneva 1958 mengenai

laut bebas dan Pasal 87 ayat (2) KHL 1982).

Pada akhirnya di manapun kapal itu berada (kapal

asing ataupun kapal yang berbendera Indonesia), entah bera-

da di wilayah perairan RI, entah di wilayah perairan negara

lain maupun di perairan laut bebas atau perairan inter-

nasional, mempunyai kewajiban untuk mentaati segala keten-

tuan yang terkait dengan masalah lingkungan laut maupun

masalah keselamatan pelayaran atau keselamatan perkapalan

(safety of shipping).

Untuk menjamin kepentingan pemilik kapal, kepen-

tingan pelaut maupun kepentingan masyarakat pada umum-

nya, maka kegiatan pengangkutan atau transportasi penum-

pang dan barang harus dilakukan dengan cara yang sangat

aman sehingga dapat dicegah atau setidak-tidaknya dapat

diperkecil timbulnya musibah atau kecelakaan di tengah-

tengah laut, seperti misalnya kapal tenggelam, kapal kandas

ataupun kapal bertabrakan. Dalam rangka mencapai tujuan

tersebut, maka Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas

(Pasal 10) menetapkan bahwa setiap negara berkewajiban

mengambil langkah-langkah atau tindakan-tindakan yang

bertujuan untuk menjamin keselamatan kapalnya di laut.

Tindakan-tindakan yang bisa dilakukan oleh negara

bendera meliputi masalah komunikasi, pencegahan tubrukan,

persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap awak kapal,

masalah konstruksi kapal, masalah perlengkapan kapal mau-

Page 132: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

132 Hukum Laut Indonesia

pun masalah kelayakan kapal secara umum untuk berlayar di

laut. Tindakan-tindakan dari negara bendera dalam hubu-

ngan dengan kapal yang menggunakan dan mengibarkan

benderanya harus sesuai dengan standar internasional yang

telah diterima secara umum.

KHL 1982 melalui Pasal 94 pada dasarnya memuat

ketentuan yang sama dengan Pasal 10 Konvensi Geneva 1958

mengenai laut bebas. Akan tetapi KHL 1982 menetapkan

secara terperinci kewajiban dari negara bendera (Flag State),

yaitu negara bendera mempunyai kewajiban untuk selalu

memeriksa secara teratur masalah kelayakan kapal, kewa-

jiban untuk menjamin kualifikasi awak kapal sehingga setiap

personel di atas kapal benar-benar memenuhi persyaratan

sebagai awak kapal, juga kewajiban untuk mengadakan

penyelidikan terhadap korban kecelakaan kapal (shipping

casualties).

Bahwa Konvensi Geneva 1958 dan KHL 1982 mene-

kankan adanya standar internasional yang harus diperha-

tikan dalam menetapkan tindakan-tindakan bagi keselamatan

kapal di laut itu tentu harus dilihat dari kebutuhan praktis

sebab walaupun setiap negara, dalam hal ini setiap negara

bendera secara teoritis memiliki kebebasan untuk membuat

dan menerapkan peraturan hukumnya sendiri misalnya

mengenai masalah kelayakan kapal dan masalah kualifikasi

awak kapal terhadap kapal yang mengibarkan benderanya

dan juga (secara terbatas) terhadap kapal asing yang

Page 133: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

133 Hukum Laut Indonesia

memasuki pelabuhan atau laut teritorialnya, namun dengan

aturan yang begitu beranekaragam dari masing-masing

negara dan malahan mungkin bertentangan satu sama lain,

apabila diterapkan tentu saja dapat menimbulkan semacam

anarki atau kekacauan dalam dunia pelayaran internasional.

Dengan latar belakang seperti itulah, masyarakat in-

ternasional memerlukan dan membutuhkan adanya kesera-

gaman standarisasi internasional dalam rangka menjamin

serta meningkatkan keselamatan perkapalan (the Safety of

Shipping). Standarisasi yang seragam ini dapat ditemukan

dalam sejumlah konvensi internasional yang pada umumnya

merupakan hasil karya dari Organisasi Maritim Internasional.

Standarisasi keselamatan perkapalan sebagaimana terdapat

di dalam berbagai perjanjian meliputi empat masalah utama,

yakni pertama, masalah kelayakan kapal (the seaworthiness of

ship); kedua, masalah pencegahan tubrukan serta trayek

kapal (the prevention of collision and the ship routeing); ketiga,

masalah standar penempatan awak kapal (the standard for

the manning of ship); keempat, masalah penetapan alat bantu

navigasi (the establishment of navigational aids).

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa bukan

hanya keempat hal tersebut yang dijadikan sebagai pilar bagi

keselamatan kapal di laut, melainkan juga negara-negara

seharusnya menerapkan standarisasi keamanan bagi kapal

yang mengibarkan benderanya maupun standarisasi keama-

nan bagi pelabuhan internasional sebagaimana diatur di

Page 134: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

134 Hukum Laut Indonesia

dalam ISPS Code (International Ship and Port Facilities Security

Code) yang telah diadopsi oleh Organisasi Maritim

Internasional pada tahun 2002 dan kemudian telah berlaku

sejak tahun 2004 lalu.

Sebelum dibahas ISPS Code atau system pengamanan

kapal dan pelabuhan atau fasilitas pelabuhan internasional,

maka berikut ini dibentangkan beberapa konvensi inter-

nasional penting yang mengatur masalah kelaikan kapal

untuk berlayar di tengah-tengah laut. Pertama, apa yang

dinamakan Konvensi SOLAS tahun 1974 (the International

Convention for the Safety of Life at Sea). Konvensi ini dapat

dianggap sebagai konvensi terakhir yang menggantikan

konvensi-konvensi SOLAS sebelumnya, di mana konvensi

SOLAS pertama dibuat dalam kaitan dengan peristiwa

tenggelamnya kapal Titanic di lepas pantai Newfoundland

(AS).

Konvensi SOLAS memuat sejumlah aturan yang sifat-

nya kompleks dengan menetapkan standar-standar yang

berkaitan dengan konstruksi kapal, tindakan pengamanan

kapal dan segala isinya dari bahaya kebakaran (fire-safety

measures), permohonan bantuan bagi orang dan atau kapal

yang akan tenggelam (life-saving appliances), alat perleng-

kapan navigasi yang harus dibawa di atas kapal dan aspek-

aspek lain dari keselamatan navigasi, barang berbahaya yang

dapat dibawa serta aturan khusus mengenai kapal nuklir

atau kapal yang bertenaga nuklir.

Page 135: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

135 Hukum Laut Indonesia

Standar-standar menyangkut berbagai aspek kesela-

matan navigasi yang berlaku di atas kapal itu sendiri (aspek

internal dari keselamatan navigasi) harus ditentukan oleh

setiap negara peserta Konvensi SOLAS dan berhubung karena

RI telah meratifikasi Konvensi SOLAS tahun 1960 (kini Kon-

vensi SOLAS tahun 1974) berdasarkan Keputusan Presiden

No. 203 Tahun 1966 maka Indonesia berkewajiban untuk

menetapkan berbagai standar keselamatan navigasi yang

berlaku di atas kapal yang berbendera Indonesia.

Pelaksanaan standar keselamatan navigasi sebagai-

mana diatur di dalam SOLAS Convention pada prinsipnya

terletak di tangan Indonesia sebagai negara bendera (flag

state). Namun demikian ada kalanya negara pantai atau

negara pelabuhan (Port State), yaitu negara yang pelabuhan-

nya didatangi atau disinggahi oleh kapal Indonesia dapat juga

melaksanakan standar keselamatan navigasi dalam penger-

tian negara pelabuhan dapat melakukan pengawasan sejauh

mana kapal berbendera Indonesia telah mematuhi standar

keselamatan navigasi yang ditentukan dalam Konvensi

mengenai Keselamatan Jiwa di Laut.

Demikian pula sebaliknya dengan kapal asing yang

memasuki pelabuhan RI, maka Indonesia sebagai negara pela-

buhan melalui aparat hukumnya dapat melakukan pengawa-

san mengenai sejauh mana kapal asing tersebut telah men-

taati standar keselamatan navigasi sebagaimana ditetapkan di

dalam SOLAS Convention. Sebagai Negara pelabuhan, Indo-

Page 136: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

136 Hukum Laut Indonesia

nesia mempunyai hak untuk memeriksa apakah kapal asing

yang berada di salah satu pelabuhan Indonesia membawa

sertifikat atau dokumen sah mengenai hal-hal yang disyarat-

kan atau diwajibkan oleh Konvensi.

Apabila ada alasan yang sangat meyakinkan di mana

kondisi kapal maupun alat perlengkapannya sesungguhnya

tidak sesuai dengan hal-hal yang ditentukan dalam setiap

sertifikat atau dokumen tadi, atau di mana sebuah sertifikat

atau dokumen telah kadaluarsa, atau di mana kapal atau alat

perlengkapannya tidak memenuhi ketentuan Regulation 11

(Bab I) dari Konvensi SOLAS tahun 1974 (kondisi kapal mau-

pun alat perlengkapannya harus dalam kondisi terawat dan

terpelihara setelah survei dilakukan) dan dengan demikian

apabila kondisi kapal serta alat perlengkapannya ternyata

tidak terpelihara sebagaimana mestinya, padahal sebenarnya

telah disurvei sebelumnya, maka pihak berwenang dari Indo-

nesia selaku negara pelabuhan dapat mengambil langkah-

langkah atau tindakan-tindakan dengan melarang kapal

tersebut berlayar, melarang kapal tersebut meninggalkan

pelabuhan serta memerintahkan kapal itu untuk masuk ke

dalam galangan kapal untuk mendapatkan perawatan

sebagaimana mestinya.

Selanjutnya pada tahun 1978 Organisasi Maritim In-

ternasional mengesahkan sebuah Protokol Konvensi SOLAS

yang menyangkut keselamatan kapal tangker serta pencega-

han polusi. Protokol yang mulai berlaku sejak tahun 1981

Page 137: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

137 Hukum Laut Indonesia

mewajibkan semua kapal yang melampaui ukuran tertentu

untuk mempergunakan apa yang disebut inert gas sistem

atau sistem gas yang sifatnya lembam, juga adanya kewajiban

kapal untuk mempergunakan radar tambahan maupun alat

kemudi darurat.

Melalui protokol tersebut dilakukan perbaikan prose-

dur pemeriksaan kapal serta sertifikasi kapal. Selain daripada

Konvensi SOLAS, maka terdapat lagi beberapa konvensi IMO

lainnya yang berkaitan dengan masalah kelayakan kapal.

Misalnya saja ada Konvensi Internasional mengenai Garis

Batas Muatan (the International Convention on the Load Lines)

tahun 1966 yang mengatur mengenai larangan untuk memba-

wa muatan secara berlebihan. Kapal tidak boleh membawa

muatan berlebihan melampaui kapasitas dan daya muat

maksimalnya sebab hal ini sering menyebabkan timbulnya

kecelakaan kapal. Kapal hanya diperkenankan membawa

muatan sesuai dengan kapasitas dan daya muat maksimal

kapal itu.

Pelaksanaan Konvensi tersebut (Convention on the

Load Lines tahun 1966) sebagaimana Konvensi SOLAS tetap

berada di tangan Negara Bendera, akan tetapi negara pelabu-

han juga kadang-kadang dapat melaksanakannya dengan

mengawasi sejauh mana kapal asing yang memasuki pelabu-

hannya telah mematuhi kewajiban untuk membawa muatan

tanpa melebihi kapasitas maksimal kapal tersebut. Sebagai

negara pelabuhan Indonesia dapat melakukan pengawasan

Page 138: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

138 Hukum Laut Indonesia

atas kapal asing yang masuk dan singgah di salah satu

pelabuhan dalam wilayah perairan Indonesia untuk meme-

riksa apakah kapal asing tersebut tidak membawa muatan

yang berlebih-lebihan.

Sebuah kapal membawa muatan berlebihan dapat

diketahui dari bagian luar kapal itu di mana tanda garis yang

terdapat di sekeliling lambung dan badan kapal sudah tidak

kelihatan dan sudah berada di bawah permukaan air, setidak-

tidaknya garis dengan warna tertentu yang mengelilingi

bagian luar dari badan kapal telah sejajar dengan permukaan

laut. Kalau hal seperti ini terjadi, maka otoritas terkait dapat

menahan dan memeriksa kapal yang bersangkutan sesuai

dengan ketentuan hukum yang berlaku. Ada juga perjanjian

tentang kapal penumpang khusus pada tahun 1971 (The 1971

Agreement on Special Trade Passanger Ships) bersama-sama

dengan Protokolnya tahun 1973, mengatur tentang keselama-

tan kapal yang mengangkut penumpang serta tempat tidur

dalam jumlah besar, seperti bisnis pariwisata, sementara ada

juga perjanjian internasional mengenai keselamatan kapal

ikan pada tahun 1977 (The 1977 International Convention for

the Safety of Fishing Vessels) yang menetapkan peraturan-

peraturan mengenai konstruksi dan perlengkapan kapal ikan.

Sebagai tambahan atau di samping konvensi-konvensi

tersebut di atas, Organisasi Maritim Internasional mengadopsi

pula sejumlah rekomendasi berupa aturan-aturan praktis

yang berkaitan dengan kelayakan kapal, misalnya saja apa

Page 139: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

139 Hukum Laut Indonesia

yang disebut Codes for the Construction and Equipment of

Ships Carrying Dangerous Chemicals in Bulk (aturan-aturan

tentang konstruksi dan perlengkapan kapal pengangkut ba-

han kimia dalam jumlah besar tahun 1971) maupun Codes for

the Construction and Equipment of Ships carrying Liquefied

Gases in Bulk (aturan-aturan tentang konstruksi dan perleng-

kapan kapal pengangkut gas cair dalam jumlah besar) tahun

1975.

Aturan-aturan ini umumnya disahkan dalam bentuk

resolusi yang berisi rekomendasi dari Majelis IMO sehingga

tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Namun

demikian aturan-aturan ini telah diterima secara luas dan

beberapa negara telah menuangkan dan memasukkan atu-

ran-aturan itu ke dalam peraturan perundang-undangan

nasionalnya, misalnya sudah cukup banyak negara yang telah

menerapkan apa yang disebut the Bulk Chemicals Code di

dalam peraturan perundangan nasionalnya.

Selain masalah kelayakan kapal untuk berlayar di

laut, maka jaminan keselamatan pelayaran juga ditentukan

oleh masalah pencegahan tubrukan dan penetapan rute atau

trayek kapal (Collision avoidance and ships’ routeing).

Sebagaimana halnya dengan konvensi-konvensi SOLAS, maka

ada berbagai regulasi untuk mencegah tubrukan di laut.

Peraturan-peraturan yang dilampirkan pada the International

Regulations for Preventing Collisions at Sea tahun 1972 pada

prinsipnya bersangkut paut dengan perilaku atau tindakan

Page 140: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

140 Hukum Laut Indonesia

serta pergerakan suatu kapal dalam hubungan dengan kapal-

kapal lainnya, terutama ketika kemampuan kapal untuk me-

mandang atau melihat mengalami penurunan dalam rangka

menghindari terjadinya tubrukan dengan kapal lain.

Selain soal tindakan dan gerakan kapal dalam usaha

mencegah tubrukan, Regulasi Internasional tahun 1972 juga

menetapkan standar yang bersifat umum dalam hubungan

dengan tanda-tanda atau signal-signal baik yang bisa

didengar maupun dilihat (sound and light signals). Walaupun

Konvensi tahun 1972 tidak menegaskan mengenai akibat-

akibat hukumnya menyangkut hubungan antara pelanggaran

regulasi tersebut serta tanggungjawab perdata (civil liability)

akibat timbulnya tubrukan (pelanggaran terhadap peraturan

Konvensi 1972 tidak harus menimbulkan masalah tanggung-

jawab perdata, pelanggaran itu biasanya dianggap sebagai

suatu pelanggaran menurut hukum pidana dari negara

bendera yang menjadi negara peserta Konvensi.

Namun penuntutan atas pelanggaran tersebut jarang

dilakukan karena dalam banyak kasus kebijakan untuk

menuntut ataupun tidak menuntut berada di tangan nakhoda

kapal. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (4) dan Pasal 39

ayat (2) KHL 1982 kapal yang menjalankan hak lintas damai

melalui laut territorial atau hak lintas transit melalui selat

yang dipergunakan untuk pelayaran internasional harus me-

matuhi regulasi tersebut tanpa memperhatikan apakah

Page 141: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

141 Hukum Laut Indonesia

negara bendera atau negara pantai adalah merupakan negara

peserta Konvensi tahun 1972.

Salah satu sarana penting untuk mengurangi risiko

terjadinya tubrukan antarkapal adalah dengan memanfaatkan

jalur pemisah lalu lintas (traffic separation scheme) untuk

memisahkan pelayaran kapal di bagian-bagian laut yang

padat (shipping in congested areas) menjadi jalur satu arah

semata-mata (into one-way only lanes). Contoh awal mengenai

jalur pemisah lalu lintas dapat ditemukan dalam perjanjian

soal penentuan rute yang dilakukan secara suka rela oleh

para pemilik kapal yang menjalankan kegiatan perdagangan

pada rute-rute tertentu misalnya saja di Laut Cina pada abad

ke-19. Kini IMO telah menetapkannya sebagai jalur pemisah

lalu lintas yang sudah direkomendasi sejak tahun 1967.

Pada awalnya kepatuhan atas jalur-jalur yang direko-

mendasi IMO bersifat suka rela; negara bendera tidak diha-

ruskan untuk memerintahkan kapal yang mengibarkan ben-

deranya agar mengikuti jalur-jalur tersebut. Namun sejak

berlakunya the Collision Regulation Convention tahun 1977

kepatuhan negara bendera tidak lagi bersifat suka rela, tetapi

sudah merupakan keharusan sehingga semua negara peserta

Konvensi tadi mempunyai kewajiban untuk memerintahkan

kapal yang mengibarkan benderanya agar mengikuti jalur

pemisah lalu lintas yang telah ditentukan IMO.

Dengan diintrodusirnya apa yang dinamakan jalur

pemisah lalu lintas (the Traffic Separation Scheme) adalah

Page 142: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

142 Hukum Laut Indonesia

sesuatu yang dianggap dapat dipertanggungjawabkan demi

untuk mengurangi jumlah tubrukan di laut pada umumnya,

misalnya saja di perairan Barat Daya Eropa di mana ada

banyak jalur pemisah lalu lintas, sehingga jumlah tubrukan

mengalami penurunan dari 156 tubrukan dalam masa atau

periode tahun 1956-1961 menjadi hanya 45 tubrukan antara

tahun 1976-1981 (R.R. Churchill and A.V. Lowe, 1983:185-

189).

Walaupun IMO diakui sebagai satu-satunya badan

internasional yang berwenang untuk menentukan jalur

pemisah lalu lintas (Traffic Separation Scheme atau disingkat

TSS), negara pantai juga memiliki beberapa kewenangan

dalam bidang ini. Pasal 21 KHL 1982 pada dasarnya

mempunyai pendekatan yang sama seperti Pasal 17 Konvensi

Geneva 1958 tentang laut territorial yang menyatakan bahwa

di laut teritorialnya negara pantai dapat memberlakukan dan

menerapkan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan

navigasi kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai,

tetapi dalam KHL 1982 ditambahkan bahwa negara pantai

yang menentukan TSS di laut teritorial harus memperhitung-

kan atau memperhatikan setiap rekomendasi IMO serta

faktor-faktor lainnya, seperti karakter khusus dari kapal-

kapal tertentu maupun kepadatan lalu lintas di laut (Pasal 22

KHL 1982).

IMO sendiri menyarankan negara pantai yang mau

menetapkan system penentuan rute atau trayek (routeing

Page 143: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

143 Hukum Laut Indonesia

systems) di laut teritorial agar supaya menetapkan atau

mendesain sistem trayek tersebut sesuai dengan criteria IMO

menyangkut TSS serta menyerahkannya kepada IMO untuk

mendapat pengesahan. Negara pantai dapat menjalankan

tindakan penegakan hukum (enforcement jurisdiction) terha-

dap kapal asing yang melanggar TSS yang telah ditentukan

(Pasal 27 KHL 1982).

Dalam praktiknya tindakan penegakan hukum biasa-

nya terbatas pada tindakan aparat yang meminta agar kapal

tersebut kembali mematuhi TSS. Namun kalau pelanggaran

TSS oleh kapal asing itu cukup serius, maka aparat hukum

negara pantai dapat melaporkannya kepada otoritas negara

bendera. Bilamana kapal yang melakukan pelanggaran itu

memasuki salah satu pelabuhan negara pantai, kapal terse-

but dapat dituntut. Di Selat yang tunduk pada rezim hukum

lintas transit atau dinamakan Selat yang digunakan untuk

pelayaran internasional, kewenangan negara pantai lebih

terbatas karena walaupun negara pantai masih dapat menen-

tukan TSS, namun TSS yang diusulkan kepada IMO harus

sesuai dengan peraturan internasional yang telah diterima

secara luas (must conform to generally accepted international

regulations) serta harus diserahkan kepada IMO dengan

maksud untuk memperoleh pengesahan sebelum TSS terse-

but ditetapkan oleh negara pantai (Pasal 41 KHL 1982).

Sejauh mana negara pantai dapat melakukan tinda-

kan penegakan hukum terkait dengan pelanggaran TSS oleh

Page 144: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

144 Hukum Laut Indonesia

kapal asing di Selat yang dikategorikan sebagai Selat yang

digunakan untuk pelayaran internasional adalah suatu

masalah yang bersifat kontroversial.

Tampaknya management lalu lintas laut (marine traffic

management) pada masa mendatang akan melampaui penge-

lolaan TSS itu sendiri sehingga lebih bersifat komprehensif,

meskipun pengelolaan lalu lintas laut tidak mungkin menca-

pai tingkat presisi atau kecanggihan (precision or sophisti-

cation) management seperti yang dimiliki oleh air traffic

control. Dalam kaitan ini IMO telah melakukan berbagai

tindakan: misalnya saja baik di Selat Baltik maupun Selat

Malaka IMO merekomendasi langkah-langkah dalam hubu-

ngan dengan management lalu lintas laut seperti membatasi

kecepatan kapal atau kapal diharuskan untuk membatasi

kecepatannya ketika memasuki wilayah perairan suatu

negara pantai, kapal diwajibkan untuk melaporkan posisinya

serta diwajibkan untuk menggunakan kapal pandu (the use of

pilots).

IMO juga mewajibkan kapal asing untuk melaporkan

posisinya kepada otoritas terkait dari negara pantai yang ber-

sangkutan apabila kapal mengalami kesulitan yang mungkin

dapat menyebabkan terjadinya pencemaran. Mengenai stan-

dar penempatan awak kapal (Crewing standards) dapat

dikemukakan bahwa salah satu penyebab utama timbulnya

musibah perkapalan (shipping accidents) terletak pada awak

kapal yang tidak terlatih atau tidak memenuhi kualifikasi

Page 145: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

145 Hukum Laut Indonesia

yang baik sehingga untuk mengurangi timbulnya kecelakaan

di laut kualitas dari awak kapal harus dibenahi.

Konvensi SOLAS tahun 1974 menegaskan bahwa

semua kapal harus memiliki awak kapal yang dapat bekerja

secara memadai dan efisien (sufficiently and efficiently,

sedangkan menurut ILO Convention No. 147 tahun 1976

menyangkut Standar Minimum di Kapal Dagang, setiap

negara peserta harus menjamin bahwa para pelaut yang

bekerja di kapal yang terdaftar di wilayahnya seharusnya

memenuhi kualifikasi dan seharusnya terlatih untuk

melaksanakan kewajiban-kewajibannya (Pasal 2 e). Demikian

pula ketentuan Pasal 94 ayat (4) KHL 1982 menentukan bah-

wa negara bendera harus menjamin agar setiap kapal yang

mengibarkan benderanya harus dijalankan oleh seorang

nakoda (master) serta para petugas dengan kualifikasi yang

tepat, dan agar awak kapalnya sudah tepat atau layak dalam

hal kualifikasi serta jumlahnya sesuai dengan tipe kapal,

ukuran, mesin serta perlengkapan kapal tersebut.

The International Convention on Standards of Training,

Certification and Watchkeeping for Seafarers (The STCW

Convention yang diadopsi oleh IMO tahun 1978 memberi

ketentuan yang lebih tegas dibandingkan dengan Konvensi

SOLAS dan Konvensi ILO karena The STCW Convention

mewajibkan adanya persyaratan minimum bagi sertifikasi

nahkoda kapal dan petugas-petugas lainnya serta menentu-

kan prinsip-prinsip dasar keeping navigational and enginee-

Page 146: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

146 Hukum Laut Indonesia

ring watches. Penerapan atau pelaksanaan ketentuan-keten-

tuan Konvensi STCW terutama berada di tangan negara

bendera (the Flag State), meskipun negara pelabuhan (the Port

State) mempunyai wewenang pengawasan dalam bidang-bida-

ng tertentu guna memeriksa kalau para pelaut yang berdasar-

kan konvensi itu harus disertifikasi benar-benar sudah

disertifikasi (Pasal X) dan bahwa standar awak kapal harus

dibenahi secara signifikan sehingga dapat mengurangi jumlah

musibah perkapalan (shipping accidents).

Persyaratan-persyaratan kerja bagi awak kapal diatur

di dalam sejumlah besar konvensi-konvensi ILO yang me-

nyempurnakan the International Seafarers Code. Di antara

konvensi-konvensi ini maka yang paling penting adalah

Convention concerning Wages, Hours of Work on Board Ship

and Manning (No. 109 (1958) yang merupakan revisi atas

konvensi-konvensi yang lebih awal), Convention concerning

Crew Accomodation on Board Ship (No. 92 (1949), yang

diperlengkapi dengan konvensi No.133 (1970), dan Convention

concerning Continuity of Employment of Seafarers (No.145

(1976).

ILO juga mengadopsi sejumlah rekomendasi tidak

mengikat tentang syarat-syarat kerja bagi pelaut, yakni the

Social Conditions and Safety (Seafarers) recommendation, 1958

(No.108). Di samping itu Konvensi ILO No.147 yang disebut di

atas mensyaratkan negara-negara pesertanya menetapkan

bagi kapal-kapalnya dan memaksakan (enforce) standar

Page 147: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

147 Hukum Laut Indonesia

keselamatan secara efektif, aturan jaminan sosial (social

security measures) serta persyaratan-persyaratan kerja di atas

kapal yang sama (equivalent) dengan ketentuan-ketentuan

berbagai konvensi ILO yang disebut dalam lampiran konvensi.

Menyangkut penetapan alat bantu navigasi (navigate-

onal aids) seperti mercu suar (lighthouses), kapal suar (lights-

hips), alat pelampung (buoys) dan radar beacons, semuanya

ini sangat penting bagi keselamatan pelayaran (the safety of

shipping). Konvensi SOLAS mengharuskan negara-negara

peserta untuk mengatur penetapan atau pengadaan (esta-

blishment) dan pemeliharaan (maintenance) sarana bantu

navigasi, yang mencakup radio beacons dan alat Bantu

elektronik apabila menurut pendapatnya dibenarkan dari segi

volume lalu lintas kapal serta diharuskan dari segi tingkatan

risiko, dan mengharuskan negara-negara peserta untuk me-

ngatur informasi yang berkaitan dengan alat Bantu navigasi

yang diperlukan.

Perlu juga diketahui bahwa berdasarkan Konvensi

Geneva 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan

maupun KHL 1982, setiap negara pantai wajib mengumum-

kan dengan sepatutnya setiap bahaya navigasi yang diketahui

berada di dalam laut teritorialnya. Biaya pemasangan serta

pemeliharaan alat bantu navigasi (navigational aids) biasanya

hanya ditanggung oleh negara pantai dan negara ini tidak

berhak meminta sumbangan atau kontribusi dari kapal-kapal

yang berlayar melalui laut teritorialnya. Akan tetapi ada satu

Page 148: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

148 Hukum Laut Indonesia

atau dua contoh di mana negara-negara mengadakan kesepa-

katan untuk membagi biaya-biaya navigational aids, perjan-

jian internasional pada tahun 1962 mengenai the maintenance

of certain lights di Laut Merah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 43 KHL 1982 negara-

negara yang berada di tepian selat yang tunduk pada lintas

transit (transit passage) dan negara-negara pengguna selat

harus bekerjasama dalam pengadaan sarana bantu navigasi

serta alat bantu keselamatan lainnya yang diperlukan di selat

tersebut, meskipun samasekali tidak dinyatakan mengenai

bagaimana biaya-biaya tersebut harus ditanggung. Mengenai

pembagian biaya pengadaan dan pemeliharaan alat bantu

navigasi umumnya dialokasikan berdasarkan pengaturan-

pengaturan setempat.

D. Ketentuan Pengamanan Kapal dan Pelabuhan

Ketentuan-ketentuan ISPS Code sudah diadopsi oleh

Organisasi Maritim Internasional pada tanggal 12 Desember

2002 dan telah diratifikasi oleh sebagian besar negara-negara

anggotanya, termasuk di dalamnya Republik Indonesia serta

diharapkan ketentuan-ketentuan dari ISPS ini dapat segera

diimplementasikan oleh masing-masing negara. Sesuai de-

ngan ketentuan ISPS, maka paling lambat atau batas akhir

untuk memberlakukan secara efektif ketentuan-ketentuan

ISPS ini adalah pada tanggal 1 Juli 2004 dengan persyaratan

bahwa tidak ada keberatan yang diajukan dari sebagian besar

Page 149: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

149 Hukum Laut Indonesia

anggotanya sampai dengan permulaan Januari 2004 (Wikipe-

dia, the Free Encyclopedia, www.google.com.)

Selanjutnya dalam ketentuan-ketentuan ISPS ini ter-

dapat prinsip-prinsip pokok yang dapat dikemukakan sebagai

berikut. Materi ISPS Code merupakan penyempurnaan dan

amandemen ketentuan-ketentuan internasional mengenai ke-

selamatan jiwa di laut yang selama ini dikenal dengan

sebutan The Convention for the Safety of Life at Sea 1974

(SOLAS Convention 1974/1988) tentang pengaturan keama-

nan minimum bagi kapal, pelabuhan serta badan-badan

pemerintah (government agencies).

Dengan tanggungjawab bagi pemerintah, perusahaan

perkapalan (shipping company), personel di atas kapal

(shipboard personnel) maupun personel pelabuhan dan

fasilitasnya (port/facility personnel untuk mendeteksi anca-

man keamanan serta mengambil tindakan-tindakan atau

langkah-langkah preventif (preventive measures) dalam meng-

hadapi insiden keamanan yang dapat menggangu kapal atau

fasilitas-fasilitas pelabuhan yang digunakan dalam pelayaran

internasional.

Isi daripada ISPS Code adalah terdiri dari sejarahnya,

ruang lingkupnya, persyaratan-persyaratannya serta imple-

mentasi ketentuan-ketentuan ISPS Code dalam hukum

nasional (national implementation). Ketentuan-ketentuannya

telah digunakan oleh negara-negara sebagai pedoman bagi

kapal dagang dan kapal penumpang di seluruh dunia. ISPS

Page 150: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

150 Hukum Laut Indonesia

Code diciptakan oleh masyarakat internasional untuk meng-

hadapi meningkatnya berbagai ancaman atas keamanan yang

dewasa ini dapat terjadi kapan saja serta di mana saja, teru-

tama ancaman terhadap keselamatan kapal-kapal dan fasili-

tas pelabuhan di seluruh dunia, di mana hal ini dipicu oleh

tragedi yang terjadi di AS pada tanggal 11 September 2001

(9/11 atau peristiwa nine eleventh).

Dengan kata lain, perkembangan dan implementasi-

nya semakin dipercepat guna menjawab tragedi yang terjadi

pada tanggal 11 September 2001 serta pemboman kapal

tanker Perancis yang bernama Limburg. Namun sebelum

kejadian tragis ini terjadi, maka ISPS Code ini dibentuk atau

dirumuskan sebagai response dari masyarakat internasional

terhadap peristiwa pembajakan kapal pesiar Italia (the Italian

Cruise Ship) yang bernama Achille Lauro pada tanggal 7

Oktober 1985 dan mengakibatkan terbunuhnya para sandera

orang Yahudi Amerika.

The US Coast Guard sebagai badan utama di dalam

Delegasi AS pada IMO mendesak negara-negara ter perlunya

diambil langkah-langkah pengamanan. ISPS Code diisepakati

pada pertemuan yang diadakan oleh 108 negara-negara yang

menandatangani Konvensi SOLAS di London pada bulan

Desember 2002. Langkah-langkah atau aturan-aturan yang

telah disepakati berdasarkan ISPS Code tersebut telah

diberlakukan pada 1 Juli 2004.

Page 151: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

151 Hukum Laut Indonesia

Selanjutnya mengenai ruang lingkupnya (Scope) dapat

dikemukakan bahwa ISPS Code adalah sebuah dokumen yang

terdiri dari dua bagian yang menyatukan persyaratan-

persyaratan minimum bagi keamanan kapal serta pelabuhan.

Bagian A dari Code itu mengatur persyaratan-persyaratan

yang harus dipenuhi atau diwajibkan (mandatory require-

ments), sementara Bagian B mengatur petunjuk atau pedo-

man (guidance) yang dapat dipergunakan dalam mengimple-

mentasikan ketentuan-ketentuan ISPS Code.

ISPS Code adalah upaya untuk menciptakan suatu

perlindungan keamanan yang lebih pasti dan sistematis bagi

kapal barang atau kapal kargo serta kapal penumpang

dengan kecepatan tinggi yang melayani jalur pelayaran

internasional (ships on international voyages) yang berukuran

500 gross ton atau di atasnya. (Wikipedia, The Free

Encyclopedia, www.google.com). Di samping kapal-kapal se-

perti itu, maka upaya perlindungan keamanan sebagai ke-

rangka dari ISPS Code juga ditujukan bagi unit instalasi

pengeboran yang memanfaatkan fasilitas pelabuhan serta

fasilitas pelabuhan yang melayani kapal-kapal on international

voyages).

Adapun tujuan utama dari ISPS Code adalah: 1) men-

deteksi ancaman keamanan serta menerapkan langkah-

langkah keamanan. 2) menetapkan peran serta tanggung-

jawab menyangkut keamanan maritim bagi pemerintah,

pemerintah setempat (local administration), perusahaan indus-

Page 152: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

152 Hukum Laut Indonesia

tri perkapalan dan pelabuhan baik pada tingkat nasional

maupun internasional. 3) memeriksa dan mengumumkan in-

formasi yang terkait dengan keamanan (to collate and

promulgate security related information) 4) menentukan metode

penilaian keamanan (security assessments) agar supaya dapat

ditetapkan rencana serta prosedur dalam melakukan reaksi

atas berubahnya level-level keamanan.

Selanjutnya tentang persyaratan-persyaratan (require-

ments) yang terdapat dalam ISPS Code, maka Code ini tidak

mengatur secara terperinci langkah-langkah spesifik yang

harus diambil oleh masing-masing pelabuhan maupun kapal

guna menjamin keselamatan dari fasilitas-fasilitas tersebut

dalam melawan atau menghadapi terorisme karena fasilitas-

fasilitas seperti itu mempunyai banyak tipe dan ukuran yang

beraneka ragam. Sebagai gantinya maka ISPS Code menetap-

kan secara garis besar suatu kerangka standar dalam meng-

evaluasi adanya risiko yang memungkinkan pemerintah

untuk mengatasi perubahan ancaman keamanan disertai

berubahnya kerawanan bagi kapal maupun fasilitas-fasilitas

pelabuhan.

Adapun standar persyaratan yang harus dipenuhi

oleh setiap kapal terdiri dari rencana pengamanan kapal

(ships security plans), petugas keamanan kapal (ship security

officers), petugas keamanan perusahaan (company security

officers) serta alat perlengkapan tertentu yang harus ada di

atas kapal (certain onboard equipments). Demikian mengenai

Page 153: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

153 Hukum Laut Indonesia

persyaratan-persyaratan standar keamanan menyangkut ka-

pal yang melakukan pelayaran internasional. Sedangkan

mengenai fasilitas pelabuhan (port facilities), maka persyara-

tan-persyaratan standarnya mencakup rencana pengamanan

fasilitas pelabuhan (port facility security plans), petugas

keamanan fasilitas pelabuhan (port facility security officers),

alat perlengkapan keamanan yang sudah ditentukan (certain

security equipment).

Di samping itu, masih ada lagi persyaratan-persya-

ratan yang berlaku atau harus dipenuhi baik oleh kapal mau-

pun pelabuhan, yaitu 1) memantau serta mengawasi akses

atau jalan masuk menuju pelabuhan (monitoring and

controlling access); 2) memantau kegiatan orang serta kargo

(monitoring the activities of people and cargo); 3) jaminan yang

memadai dalam hal komunikasi keamanan (ensuring security

communications are readily available).

Dengan demikian kapal-kapal yang melayani trayek

pelayaran internasional itu harus merencanakan dan meleng-

kapi pengamanan dirinya secara maksimal baik berupa petu-

gas keamanan serta alat perlengkapannya sehingga mampu

menangkal semua ancaman dan serangan teroris. Dalam hal

ini kapal harus memiliki serta membawa system peralatan

pemberitahuan dini, mempersiapkan jaringan komunikasi

yang handal, peralatan deteksi terhadap adanya ancaman

serangan teroris maupun ancaman lainnya. ISPS Code juga

memberikan keleluasaan dan kebebasan yang lebih besar

Page 154: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

154 Hukum Laut Indonesia

kepada kapal-kapal seperti itu untuk mempertahankan

dirinya dalam menghadapi ancaman ataupun serangan fisik

yang dilakukan oleh sekelompok penjahat selama pelayaran.

Oleh karena itu kapal-kapal tersebut mempunyai ke-

wenangan untuk mempergunakan segala macam cara untuk

melawan serangan, termasuk melakukan pergerakan kapal

dan menggunakan peralatan pengamanan yang ada di atas

kapal secara maksimal. Kajian IMO menyebutkan bahwa ada

beberapa faktor yang mendorong meningkatnya aksi kejaha-

tan terhadap kapal dagang dan kapal penumpang dalam

beberapa tahun terakhir ini.

Faktor-faktor itu antara lain adalah kapal yang digu-

nakan para pelaku kejahatan di laut semakin lama semakin

tinggi kecepatannya sehingga mereka dengan mudah dapat

melakukan pengejaran terhadap kapal-kapal dagang dan

penumpang maupun target sejenisnya. Selanjutnya factor lain

yang menyebabkan terjadinya peningkatan aksi kejahatan

adalah terbatasnya kemampuan kapal komersial untuk mem-

pertahankan diri sehingga senantiasa tidak berdaya dalam

menghadapi serangan para pelaku kejahatan, terutama para

perampok atau bajak laut atau pelaku terorisme lainnya. Para

pelaku kejahatan selalu memiliki dan membawa persenjataan

lengkap sehingga dapat dengan mudah melumpuhkan para

awak kapal.

Terdapat beberapa kasus mengenai terjadinya sera-

ngan atas kapal dagang dan kapal penumpang, bahkan atas

Page 155: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

155 Hukum Laut Indonesia

kapal perang di berbagai perairan internasional yang menun-

jukkan peningkatan intensitas dalam beberapa tahun terak-

hir. Salah satu kasus atau insiden yang pernah terjadi adalah

peristiwa pembajakan terhadap kapal dagang M.S. Columbia

Eagle yang terjadi di perairan Thailand pada tahun 1970

(Gatot Widakdo, 2004:24).

Di samping itu terjadinya serangan terorisme terhadap

USS Cole (kapal perang AS) di perairan pelabuhan negara

Aden. Serangan serupa tidak hanya diarahkan terhadap ke-

pentingan AS, tetapi juga terhadap kapal-kapal dari negara

lain. Terjadinya pembajakan kapal penumpang Achille Lauro

di luar garis pantai Mesir pada tahun 1985. Pembajakan

kapal penumpang MS Trabzonn di perairan Turki oleh suatu

kelompok teroris yang memberi dukungan terhadap gerakan

separatis Rusia. Gambaran secara keseluruhan mengenai aksi

kejahatan yang dilakukan terhadap kapal-kapal dagang di

seluruh dunia menunjukkan tren yang meningkat dari tahun

ke tahun.

Pada tahun 2001 dari kasus-kasus yang dilaporkan

kepada IMO tercatat 16 kali pembajakan kapal dan 3 kapal

dinyatakan hilang. Sementara banyak pihak mengakui bahwa

kasus-kasus yang tidak dilaporkan kepada IMO jauh lebih

banyak. Hal ini disebabkan karena kasus yang terjadi di

perairan negara-negara tertentu yang dilaporkan pihak kapal

tidak mendapatkan tanggapan yang semestinya dari otoritas

negara setempat. Kemudian penyampaian laporan biasanya

Page 156: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

156 Hukum Laut Indonesia

sangat terlambat untuk segera ditangani oleh instansi yang

berwenang.

Mengenai soal implementasi atau penerapan keten-

tuan-ketentuan ISPS Code di dalam hukum nasional suatu

negara (national implementation), antara lain dapat dikemuka-

kan bahwa Amerika Serilkat telah mengeluarkan sebuah pera-

turan guna mengundangkan ketentuan-ketentuan the Mariti-

me Transportation Security Act tahun 2002 serta menggabung-

kan atau menyatukan peraturan domestik dengan standar

keamanan maritim yang terdapat dalam SOLAS Convention

serta ISPS Code (Wikipedia, The Free Encyclopedia, www.goog

le.com).

Peraturan tersebut dapat dilihat dan ditemukan dalam

Title 33 of the Code of Federal Regulations, yang di dalam

salah satu Bagiannya memuat peraturan keamanan kapal

yang meliputi beberapa ketentuan yang berlaku bagi kapal

asing yang berada di perairan nasional AS. Terdapat beberapa

jenis kapal yang mengalami kesulitan dalam mengimplemen-

tasikan ISPS Code, terutama kapal kargo dengan ukuran kecil

yang menjalankan kegiatan bongkar muat kapal (cargo

operations). Dengan menunjuk seorang crewmember atau

seorang anggota awak kapal untuk secara terus menerus

berada di pintu masuk ke kapal yang sementara menjalani

cargo operations, maka tinggal sedikit saja crew yang dapat

melakukan pekerjaan lain.

Page 157: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

157 Hukum Laut Indonesia

Dalam beberapa kasus kejadian, keadaan seperti ini

agak membahayakan awak kapal (crewmembers) yang sedang

menjalankan kegiatan yang memang berbahaya (hazardous

activities). Namun dengan menyewa dan mempekerjakan

penjaga pantai (shore-based personnel) untuk menjalankan

tugas-tugas penjagaan, hal ini dapat mengurangi timbulnya

masalah tersebut di atas. Akan tetapi kegiatan menyewa atau

mempekerjakan seorang penjaga pantai tidak bisa dilakukan

di beberapa negara karena kegiatan menjaga keamanan

umumnya dikenal sebagai pekerjaan para preman. Kapal

penumpang dan kapal pesiar yang menurut tipenya memiliki

jumlah awak yang besar dan staf keamanan tertentu yang

biasanya tidak memiliki kesabaran dalam menghadapi

persoalan (suffer from te problem). Inilah antara lain kesulitan

dalam menerapkan ketentuan-ketentuan ISPS Code.

Indonesia sebagai salah satu negara anggota IMO yang

telah meratifikasi ISPS Code mempunyai kewajiban yang

sama untuk mengimplementasikan ketentuan-ketentuannya.

Pemerintah Republik Indonesia secara intensif sementara

mempersiapkan beberapa kegiatan awal yang sifatnya

mendasar sejak pertengahan tahun 2003. Mengadakan

sosialisasi dengan masyarakat maritim, melakukan pemilihan

fasilitas pelabuhan dalam usaha menerapkan ketentuan-

ketentuan ISPS Code, menyiapkan organisasi keamanan

(security organization atau recognized security organization),

mendeklarasikan penerapan ISPS Code.

Page 158: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

158 Hukum Laut Indonesia

Mengingat batas waktu yang tersedia sangat sempit

sampai tanggal 1 Juli 2004, sementara kewajiban yang harus

dipenuhi masih sangat banyak, maka sebaiknya Pemerintah

Republik Indonesia perlu mempercepat langkah dan menen-

tukan skala prioritas terutama dalam menentukan pemilihan

pelabuhan yang disertifikasi. Hal ini dikhawatirkan, waktu

yang tersedia tidak akan mencukupi untuk mensertifikasi

semua pelabuhan internasional yang jumlahnya sekitar 141

pelabuhan yang ada di Indonesia.

Beberapa tugas pokok lainnya yang harus dikerjakan

oleh Pemerintah adalah menentukan tingkat keamanan

(security level) di setiap pelabuhan. Hal ini sangat diperhitung-

kan karena akan di[pergunakan sebagai referensi bagi kapal-

kapal pelayaran internasional yang singgah di suatu pelabu-

han. ISPS Code menetapkan adanya tiga tahap tingkat kea-

manan dari suatu pelabuhan. Tingkat keamanan pertama

adalah tingkat keamanan yang mengharuskan untuk melaku-

kan tindakan pencegahan keamanan secara minimal dan

terus menerus. Kemudian tingkat keamanan kedua adalah

tingkat keamanan yang memerlukan tambahan tindakan

pencegahan keamanan.sebagai akibat meningkatnya suatu

risiko insiden keamanan.

Selanjutnya tingkat atau level keamanan ketiga

adalah tingkat keamanan yang memerlukan tindakan

pencegahan spesifik dalam kurun waktu terbatas ketika

terjadi suatu insiden keamanan. Pemerintah harus memper-

Page 159: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

159 Hukum Laut Indonesia

hatikan dan mempertimbangkan aspek keamanan di setiap

pelabuhan, antara lain derajat ancaman dari skala terendah

sampai skala tertinggi dengan melihat potensi terjadinya

suatu insiden keamanan atau serangan teroris di suatu

pelabuhan.

Penilaian yang dimaksud tidak hanya terhadap sisi

darat dari pelabuhan, tetapi juga terhadap wilayah perairan

pelabuhan, termasuk daerah berlabuh serta perairan pedala-

man (Gatot Widakdo, 2004:24). Akan tetapi harus diakui

bahwa kondisi keamanan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia

secara keseluruhan harus diakui sangat mengkhawatirkan

dan sangat berpotensi terjadinya insiden keamanan terhadap

kapal maupun fasilitas vital dari pelabuhan. Hal ini disebab-

kan karena masih sangat kurangnya jumlah dan kualitas

peralatan keamanan, prosedur keamanan yang belum baku,

beragamnya instansi keamanan yang bertugas di pelabuhan

sehingga sering menyebabkan tumpang tindih kewenangan,

dan setiap orang dapat dengan mudah memasuki kawasan

pelabuhan bahkan sampai ke atas kapal tanpa terdeteksi.

Ketika seorang wartawan dari Harian Kompas menco-

ba masuk ke sejumlah fasilitas pelabuhan di Pelabuhan

Tanjung Priok dengan mempergunakan mobil, ternyata hal ini

tidak sulit dilakukan memasuki areal pelabuhan yang meru-

pakan areal terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa pelabuhan

Tanjung Priok sangat rawan terhadap ancaman keamanan,

termasuk dari serangan teroris. Sementara di wilayah perair-

Page 160: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

160 Hukum Laut Indonesia

an pelabuhan kelemahan yang paling mencolok adalah

kurangnya jumlah kapal patroli pantai.

Padahal pemerintah berkewajiban untuk memberikan

perlindungan serta jaminan keamanan bagi kapal yang me-

masuki pelabuhan dengan segala konsekuensinya. Seharus-

nya Pemerintah memberi perhatian terhadap keselamatan

kapal di sepanjang perairan pantai dan perairan pedalaman.

Dengan demikian penting sekali segera menentukan pola

pengamanan di perairan yang menuju pelabuhan.

ISPS Code tidak menentukan sanksi apapun yang

dapat dijatuhkan terhadap Pemerintah dari suatu negara

dalam hubungan dengan penerapan atau implementasi

ketentuan-ketentuan ISPS tersebut. Namun demikian jika

terjadi insiden keamanan, maka sertifikat ISPS Code dari

pelabuhan yang bersangkutan bisa dicabut. Apabila terjadi

pencabutan sertifikat, maka akibatnya tidak akan ada kapal

mancanegara yang diperkenankan datang ke pelabuhan itu.

Demikian pula sebaliknya kapal dari negara pelabuhan tadi

juga tidak diperkenankan mendatangi pelabuhan dari negara-

negara lain. Pada skala yang lebih luas, insiden tersebut bisa

membawa dampak pada terganggunya perekonomian negara.

Kredibilitas pemerintah di mata dunia juga akan

merosot. Padahal persentase kapal-kapal pelayaran interna-

sional yang mengunjungi pelabuhan umum di Indonesia

cukup signifikan meskipun setiap pelabuhan menunjukkan

angka yang berbeda. Di pelabuhan Tanjung Priok misalnya

Page 161: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

161 Hukum Laut Indonesia

persentase kedatangan kapal pelayaran internasional pada

tahun 2002 sebesar 33,4 persen dari total kapal yang

dilayani. Sementara di pelabuhan Tanjung Perak sebesar 13,1

persen, Tanjung Emas 18,6 persen dan pelabuhan Makassar

6,7 persen.

Persentase terbesar terdapat di pelabuhan Belawan

yang mencapai 55,4 persen. Dari angka-angka tersebut dapat

dilihat potensi pelayaran internasional dalam mendukung

arus perdagangan negara dan dampak kerugian yang terjadi

terhadap kelancaran ekspor non migas apabila ISPS Code

tidak terwujud sebagaimana mestinya. Pengamat pelayaran

dari ITS (Institut Teknologi 10 November Surabaya), Saur

Gurning menilai proses sertifikasi ISPS Code di Indonesia ma-

sih memiliki banyak kelemahan dan kejanggalan. Kelemahan

dan kejanggalan itu antara lain adalah : 1) Proses security

plan yang dilakukan oleh RSO (Recognized Security Organiza-

tion), di mana mereka yang melakukan perencanaan, tetapi

mereka juga yang melakukan penilaian.

Menurut Saur Gurning, pemerintah seharusnya lebih

fokus kepada pelabuhan khusus, terutama perusahaan yang

memproduksi LNG dan gas yang posisinya berada di Kaliman-

tan dan bagian Indonesia Timur lainnya. Ia juga mengemuka-

kan, meskipun ISPS Code sudah diterapkan di Indonesia, ia

tidak yakin struktur pengamanan di pelabuhan dapat berjalan

sebagaimana diharapkan. Struktur pengamanan pelabuhan di

Indonesia masih menggunakan pola lama. Hal ini bisa dilihat

Page 162: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

162 Hukum Laut Indonesia

dari banyaknya instansi yang terlibat dalam pengamanan

pelabuhan seperti polisi, administrator pelabuhan, satpam

dan aparat lainnya.

Hadirnya ISPS Code seharusnya dapat dimanfaatkan

sebagai momentum awal untuk lebih memberdayakan kegia-

tan pengamanan di perairan serta dapat menghasilkan suatu

bentuk pengamanan yang lebih kokoh di pelabuhan-pelabu-

han. Untuk mencapai tujuan ini maka para pengelola pelabu-

han harus mulai memikirkan bagaimana memperbaiki system

keamanannya. Pengelola pelabuhan jangan hanya berorientasi

mendapatkan sertifikat dan setelah itu perencanaan dan

implementasi ISPS Code terabaikan. Sementara bagi Pemerin-

tah, dalam hal ini Departemen Perhubungan (Ditjen Perhubu-

ngan Laut) juga jangan bertindak seperti produsen sinetron

yang hanya berorientasi kejar tayang tanpa memperhatikan

kualitas dan dampak yang bakal timbul dari kebijakan yang

bakal dihasilkannya. Dengan lain perkataan pemberian sertifi-

kat ISPS Code kepada pengusaha kaya dan pelabuhan jangan

hanya sekedar sebuah sertifikat formal semata-mata tanpa

disertai kualitas yang dipersyaratkan.

Page 163: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

163 Hukum Laut Indonesia

BAB V

PENGATURAN HARTA KARUN

DALAM WILAYAH PERAIRAN INDONESIA

A. Pelbagai Istilah dan Pengertian Harta Karun

Hilangnya arkeolog bawah air Santoso Pribadi setelah

menentukan lokasi tengelamnya kapal VOC De Geldermalsen

pada akhir Agustus 1986 menjadi salah satu penyebab

perlunya dibahas masalah harta karun. Sebagaimana diketa-

hui, sekitar 160 ribu barang pecah belah antik buatan Cina

dan 225 batang emas lantakan ditemukan Michael Hatcher di

dalam kapal De Geldermalsen milik VOC yang katanya

tenggelam di perairan yang terletak antara Pulau Mapur dan

Merapas kurang lebih 256 tahun silam. Harta karun itulah

yang kemudian dijual di Balai Pelelangan Christie di Amster-

dam pada bulam Mei tahun 1986, yang secara keseluruhan

menghasilkan 15 juta US dollar, suatu jumlah yang

mengagetkan yang mendekati sebagian APBD dari Daerah

Istimewa Yogyakarta.

Hatcher sendiri mengemukakan harta karun itu dite-

mukan di perairan internasional. Te B.Oekhost, juru bicara

Kementerian Luar Negeri Belanda ketika itu juga berpendapat

De Geldermalsen tenggelam di perairan internasional. Apakah

pendapat kedua orang itu memang benar dan dapat diper-

tanggungjawabkan? Sebelum membahas masalah harta karun

dari kapal VOC yang selain telah menelan korban jiwa, yakni

hilangnya salah seorang arkeolog terbaik Indonesia, juga telah

Page 164: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

164 Hukum Laut Indonesia

menimbulkan kerugian bagi negara, khususnya Propinsi Riau,

maka berikut ini diuraikan beberapa hal yang sangat penting

untuk diketahui terkait dengan soal harta karun.

Pertama, apa sebenarnya yang dimaksud dengan

harta karun. Istilah-istilah apa yang dapat digunakan untuk

menunjukkan pengertian dari harta karun itu sendiri. Sejauh

mana suatu negara mempunyai hak terhadap harta karun

tersebut. Sejauh mana pengaturan hukum mengenai harta

karun di Indonesia. Sejauh mana suatu daerah (Propinsi atau

Kabupaten/Kotamadya) dalam lingkup Negara Kesatuan Re-

publik Indonesia mempunyai hak atas harta karun yang

terdapat di dalam wilayah kewenangannya.

Istilah-istilah yang dapat diberikan pada harta karun

ada bermacam-macam. Ada istilah yang dinamakan benda

cagar budaya sebagaimana dapat ditemukan dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992, benda-

benda purbakala dan bersejarah sebagaimana dapat ditemu-

kan dalam KHL 1982, benda-benda berharga sebagaimana

dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 dan lain-lain. Konvensi Hu-

kum Laut 1982 menyebutnya dengan istilah archaelogical and

historical goods atau benda-benda arkeologis dan histories

atau benda-benda purbakala dan bersejarah.

KHL 1982 yang hanya memuat satu pasal mengenai

soal harta karun, yaitu Pasal 149, tidak mengemukakan apa

yang dimaksud dengan harta karun atau benda-benda

Page 165: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

165 Hukum Laut Indonesia

purbakala dan bersejarah. Pasal ini hanya menyatakan semua

benda-benda purbakala dan benda-benda yang memiliki nilai

sejarah yang ditemukan di kawasan harus dipelihara atau

digunakan untuk kemanfaatan umat manusia sebagai suatu

keseluruhan, dengan memperhatikan secara khusus hak-hak

yang didahulukan dari negara asal, atau negara asal-

kebudayaan, atau negara asal-kesejarahan dan asal-kepurba-

kalaan.

Demikian ketentuan Pasal 149 KHL 1982 hanya me-

nyinggung soal harta karun yang terdapat di kawasan (Area),

yaitu di dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar

batas-batas yurisdiksi nasional suatu negara atau di luar

batas-batas landas kontinen suatu negara pantai. Di samping

itu sesuai asal tersebut, harta karun tersebut mempunyai

nilai-nilai kepurbakalaan dan histories (archaelogical and

historical objects) sehingga dengan demikian ketentuan pasal

tersebut hanya memberikan pengertian yang sifatnya umum

terhadap harta karun.

Terlepas dari apa yang dinyatakan melalui pasal 149

KHL 1982, maka bagaimanapun pengertian harta karun

dengan berbagai istilahnya harus dibatasi pengertiannya pada

harta karun dari laut sehingga pada prinsipnya dapat dimak-

nai sebagai benda-benda yang berasal dari kapal-kapal yang

tenggelam di dasar laut, yang untuk sebagian dianggap

mempunyai nilai sejarah dan budaya. Demikian dalam kon-

teks hukum laut pengertian harta karun ini diberikan pemba-

Page 166: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

166 Hukum Laut Indonesia

tasan, yakni benda-benda yang dimaksud itu pada prinsipnya

harus berasal dari kapal-kapal yang tenggelam di dasar laut

sejak lama dan benda-benda tersebut untuk sebagian tentu

saja memiliki nilai arkeologis, cultural dan histories dan untuk

sebagian juga memiliki nilai ekonomi.

Oleh karena itu adalah wajar apabila timbul berbagai

macam istilah mengenai soal harta karun, seperti benda-

benda arkeologis, benda-benda cagar budaya ataupun benda-

benda berharga yang untuk sebagian mempunyai nilai

ekonomi yang sangat tinggi. Menurut Safri Burhanuddin,

benda-benda berharga asal muatan kapal tenggelam yang

berumur ratusan tahun bahkan ribuan tahun, memiliki nilai

ekonomi dan budaya yang tinggi, populer dikenal sebagai

harta karun dari laut. Harta karun ini merupakan salah satu

potensi sumber daya non hayati laut yang belum dikelola

secara maksimal, apabila dibandingkan dengan potensi bahan

galian seperti minyak dan gas bumi dan mineral serta agregat

bahan bangunan yang telah dikelola dengan baik.

Benda berharga atau harta karun yan dimaksud da-

pat berbentuk material, seperti keramik, emas, perak atau

batu permata maupun artefak lainnya, atau berbentun non

material, seperti pengetahuan mengenai sejarah masa lampau

baik kebudayaan maupun teknologi yang telah berkembang

pada masa tersebut, misalnya teknologi pembuatan kapal,

keramik dan peralatan sehari-hari (Safri Burhanuddin,

2000:7).

Page 167: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

167 Hukum Laut Indonesia

B. Status Hukum Harta Karun

Selanjutnya karena harta karun yang dimaksud ada-

lah harta karun yang terdapat di laut, terutama yang berasal

dari kapal-kapal yang sudah tenggelam dan berada di dasar

laut sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu, maka yang

menjadi permasalahan adalah bagaimana status hukum dari

harta karun itu. Masalah ini tentu saja dapat dirumuskan

dengan menyatakan sejauh mana suatu negara memiliki hak

atas harta karun tersebut.

KHL 1982 hanya memuat satu-satunya ketentuan

pasal, yaitu Pasal 149, namun pasal ini hanya menyebut soal

harta karun yang terdapat di Area atau Kawasan atau dasar

samudera dalam atau dasar laut internasional, yaitu dasar

laut dan tanah di bawahnya di luar batas-batas landas

kontinen dari negara pantai. Oleh karena itu permasalahan

mengenai sejauh mana suatu negara pantai (coastal state)

mempunyai hak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi

serta memanfaatkan harta karun sangat tergantung pada

permasalahan di mana lokasi harta karun tersebut atau di

mana lokasi penemuan kapal-kapal yang di dalamnya

memuat harta karun tersebut.

Dengan demikian permasalahan itu harus dikembali-

kan pada bagaimana status hukum dari wilayah perairan

yang dasar lautnya menjadi titik lokasi ditemukannya harta

karun tadi sekalipun KHL 1982 tidak mengatur hal ini secara

tegas. Oleh karena itu apabila harta karun itu ditemukan

Page 168: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

168 Hukum Laut Indonesia

atau setidak-tidaknya diketahui berada di dasar laut dari

wilayah perairan yang tunduk di bawah kedaulatan negara,

seperti perairan pedalaman, laut teritorial dan perairan

kepulauan, maka dapat dikatakan bahwa di bagian-bagian

laut ini segala sesuatunya ermasuk harta karun dapat

dianggap menjadi milik dari negara pantai yang bersangku-

tan.

Kemudian apabila harta karun itu ditemukan atau

diketahui berada di dasar laut dari zona tambahan (Contigu-

ous Zone), maka negara pantai dianggap memiliki hak untuk

mengatur segala kegiatan yang terkait dengan harta karun

tersebut sesuai dengan fungsi dari zona tambahan sebagai

jalur untuk melindungi wilayah negara pantai dari berbagai

macam ancaman dan gangguan terhadap kepentingan negara

pantai dalam bidang-bidang tertentu (seperti bea cukai, fiscal,

kesehatan dan keimigrasian). Selanjutnya apabila harta karun

atau kapal yang di dalamnya memuat harta karun berada di

dasar laut dari landas kontinen atau dari zona ekonmi

eksklusif, maka dapat dikemukakan bahwa negara pantai

memang mempunyai hak yang sifatnya terbatas atas bagian-

bagian laut ini.

Hak negara pantai di bagian-bagian laut ini terbatas

pada pemanfaatan sumber daya alam baik hayati maupun

non hayati. Akan tetapi karena harta karun tidak dapat

dianggap sebagai sumber daya alam (natural resources), maka

dapat dikatakan bahwa negara pantai yang bersangkutan

Page 169: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

169 Hukum Laut Indonesia

sama sekali tidak memiliki hak apapun terhadap harta karun

tersebut kendati ada juga kalangan tertentu yang berpendapat

harta karun yang terdapat di dasar laut termasuk dasar laut

dari zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen dapat juga

dikategorikan sebagai sumber daya alam non hayati (non

living resources) sehingga memungkinkan negara pantai yang

bersangkutan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasinya.

C. Pengaturan Hukum Nasional Indonesia mengenai

Pemanfaatan Harta Karun

Masalah selanjutnya terkait dengan soal harta karun

di laut adalah sejauh manakah pengaturan hukumnya dalam

hukum nasional Indonesia? Dapat dikemukakan secara

umum pengaturan hukum mengenai harta karun yang terda-

pat di dasar laut dari wilayah perairan Indonesia didasarkan

pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

1992 tentang Benda-Benda Cagar Budaya yang mengatur hal-

hal yang berkaitan dengan benda-benda cagar budaya. Di

samping itu dalam kaitan dengan Otonomi Daerah, terutama

soal kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Dae-

rah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kotamadya) dalam me-

ngelola harta karun yang terdapat di dasar laut dari wilayah

perairan Indonesia, maka perlu dikemukakan soal pengatu-

rannya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32

Tahun 2004 (sebelumnya Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 22 Tahun 1999) serta Peraturan Pemerintah Republik

Page 170: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

170 Hukum Laut Indonesia

Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 mengenai Kewenangan Pe-

merintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indo-

nesia Nomor 25 Tahun 2000, maka kewenangan Pemerintah

(Pemerintah Pusat) di bidang kelautan adalah : 1) Penetapan

kebijakan dan pengaturan eksplorasi, konservasi, pengelolaan

dan pemanfaatan sumber daya alam perairan di wilayah di

luar perairan 12 mil, termasuk perairan nusantara dan dasar

lautnya serta ZEE dan landas kontinen. 2) Penetapan kebija-

kan dan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan benda

berharga asal muatan kapal yang tenggelam di luar perairan

12 mil. 3) Penetapan kebijakan dan pengaturan tata batas

maritime yang meliputi batas-batas daerah otonom di laut

dan batas ketentuan hukum laut internasional. 4) Penetapan

standar pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. 5) Pene-

gakan hukum di wilayah laut di luar perairan 12 mil dan di

dalam perairan 12 mil yang menyangkut hal spesifik serta

hubungan dengan dunia internasional.

Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan

Daerah (Pasal 18), maka Pemerintah Daerah Propinsi mempu-

nyai kewenangan untuk mengelola sumber daya kelautannya

12 mil dari garis pantai pada wilayah laut yang menjadi

kewenangan propinsi. Kewenangan tersebut antara lain

adalah : 1) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan

kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut. 2) Pengaturan

Page 171: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

171 Hukum Laut Indonesia

kepentingan administratif. 3) Pengaturan tata ruang. 4) Pene-

gakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Dae-

rah atau yang dilimpahkan kewenangannya. 5) Berpartisipasi

dalam menjaga keamanan dan kedaulatan negara.

Akhirnya Kewenangan Daerah Kabupaten dan Kota di

bidang kelautan adalah terhadap sepertiga dari wilayah

kewenangan dari propinsi yang bersangkutan, di mana 1)

Daerah Kabupaten dan Kota mempunyai kewenangan untuk

melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelola-

an kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut. 2) Pengaturan

kepentingan administrative. 3) Pengaturan tata ruang. 4) Pe-

negakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh

daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerin-

tah. 5) Berpartisipasi dalam menjaga keamanan serta kedau-

latan negara.

Undang-undang ini dibuat dengan maksud untuk

melindungi serta melestarikan benda-benda cagar budaya

yang ditemukan dan dengan demikian benda-benda seperti ini

tidak bersifat komersial ataupun tidak boleh dikomersialkan.

Akan tetapi berhubung karena sebagian besar benda cagar

budaya adalah juga merupakan benda berharga yang memiliki

nilai ekonomi yang tinggi, maka tentu saja maksud dan

tujuan dari dilahirkannya Undang-Undang Republik Indo-

nesia Nomor 5 Tahun 1992 dapat mengalami kendala atau

tidak dapat tercapai secara optimal. Justru karena benda-

benda cagar budaya yang berasal dari kapal-kapal tenggelam

Page 172: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

172 Hukum Laut Indonesia

di dasar laut sebagian besar memiliki nilai ekonomi yang

tinggi, maka kemungkinan besar dapat terjadi penyimpangan

atau penyalahgunaan terhadap maksud dan tujuan diun-

dangkannya undang-undang ini.

Pihak-pihak tertentu dapat saja melakukan manipu-

lasi atau penyelewengan terhadap usaha-usaha perlindungan

dan pelestarian benda-benda cagar budaya demi mendapat-

kan keuntungan bagi dirinya sendiri dengan cara melakukan

pengangkatan benda-benda berharga secara ilegal. Dalam

usaha mencegah atau menghindari terjadinya pengangkatan

benda berharga secara melawan hukum, maka Presiden

Republik Indonesia dalam kapasitasnya sebagai Kepala

Pemerintahan telah menerbitkan Keputusan Presiden (Kep-

pres) Nomor 43 Tahun 1989 yang kemudian telah diganti

dengan Keppres Nomor 107 Tahun 2000 yang mengatur

tentang Pembentukan Panitia Nasional Pengangkatan dan

Pemanfaatan Benda-Benda Berharga asal muatan kapal yang

tenggelam.

Tugas utama daripada Panitia Nasional ini adalah

melakukan koordinasi, perizinan dan pengawasan atas penye-

lenggaraan pengangkatan dan pemanfaatan benda-benda ber-

harga yang berada di dasar laut dalam wilayah perairan

Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 22 Tahun 1999 (sekarang Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 32 Tahun 2004), maka penyusunan atau

Page 173: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

173 Hukum Laut Indonesia

perumusan Keppres Nomor 107 Tahun 2000 tentang Panitia

Nasional dijiwai pula oleh semangat otonomi daerah.

Semangat otonomi daerah yang menjiwai Pemben-

tukan Panitia Nasional ini juga melandasi penerbitan Keputu-

san Menteri (Kepmen) Kelautan dan Perikanan Nomor 39

Tahun 2000 yang berisi Petunjuk Teknis Perizinan Survei dan

Perizinan Pengangkatan Benda Berharga asal muatan kapal

yang tenggelam. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan

ini secara tegas menyatakan peranan Pemerintah Daerah

dalam pengelolaan benda-benda berharga tersebut, sebagai-

mana dapat dilihat melalui Pasal 3 ayat 2 dari Kepmen

39/2000 yang menjelaskan Tugas Pemerintah Daerah dalam

hubugan perizinan itu adalah sebagai berikut : 1) menerima

dan menilai kelayakan permohonan izin perusahaan dan

selanjutnya meneruskannya kepada Panitia Nasional untuk

mendapatkan rekomendasi, sepanjang menyangkut benda-

benda berharga yang berada di dalam wilayah laut yang

merupakan wilayah kewenangan pengelolaan dari daerah

yang bersangkutan; 2) Memproses dan menerbitkan surat izin

survei dan izin pengangkatan benda berharga yang terdapat di

dalam wilayah laut kewenangan daerah berdasarkan reko-

mendasi dari Panitia Nasional; 3) Melaksanakan pembinaan

dan pengawasan terhadap perusahaan yang melaksanakan

kegiatan survei dan pengangkatan benda berharga; 4) Menye-

lenggarakan koordinasi antarinstansi teknis di daerah.

Page 174: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

174 Hukum Laut Indonesia

Sebagaimana diketahui harta karun laut adalah me-

rupakan salah satu kekayaan laut yang mempunyai potensi

besar, dapat memberikan keuntungan ekonomi yang dapat

menunjang pembangunan nasional. Akan tetapi pembagian

hasil dari kegiatan pemanfaatan benda berharga ini belum

diatur secara tegas dalam suatu peraturan perundangan.

Diharapkan penentuan bagi hasil antara Pemerintah Daerah

dan Pemerintah Pusat dapat segera ditetapkan oleh DPR

melalui usulan dari Departemen Keuangan.

Keputusan bagi hasil antara Pusat dan Daerah

diharapkan dapat segera diselesaikan secara tuntas sebab hal

ini menyangkut kinerja Pemerintah Daerah dalam mengha-

dapi investor yang mempunyai minat dalam bidang pengang-

katan dan pemanfaatan benda berharga dalam rangka ber-

investasi di daerah. Di samping itu keterbatasan dana,

teknologi dan sumber daya manusia yang professional dan

juga terutama hambatan administrasi dan birokrasi merupa-

kan masalah-masalah dalam pengelolaan harta karun sehing-

ga Pemerintah Indonesia mengundang para investor baik

domestik maupun asing untuk melakukan eksplorasi dan

eksploitasi harta karun dari laut dengan menerapkan

pendekatan bagi hasil yang saling menguntungkan.

Page 175: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

175 Hukum Laut Indonesia

BAB VI

PENUTUP

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka

sebagai penutup, dapatlah kiranya ditarik beberapa poin

penting berikut ini:

Faktor keadaan lingkungan Sulawesi Selatan yang

dikelilingi wilayah laut yang cukup luas, kemudian budaya

bahari masyarakatnya dan sejarah kehidupan mereka yang

secara turun menurun umumnya bergantung pada kegiatan

di laut, semuanya ini melatarbelakangi serta berkontribusi

terhadap penetapan Ilmu-Ilmu Kelautan (Marine Sciences)

sebagai Pola Ilmiah Pokok (PIP). Universitas Hasanuddin yang

merupakan orientasi pengembangan yang bersifat strategis

yang sejauh mungkin mencakup setiap disiplin ilmu (ter-

masuk di dalamnya ilmu-ilmu hukum laut).

Penetapan dan pengembangan ilmu-ilmu hukum laut

sebagai bagian dari ilmu-ilmu kelautan selain pernah menda-

pat dukungan strategis dari Presiden Soeharto pada tahun

1981, juga tetap memiliki aktualitas serta relevansi jika

dikaitkan dengan berbagai fenomena baik yang berlngsung

secara global, regional maupun lokal. Sesuai dengan visi PIP

UNHAS, yakni sebagai pusat pengembangan budaya bahari,

maka misinya antara lain adalah mengembangkan iptek yang

berkaitan dengan pengelolaan sumber daya kelautan. Dalam

hubungan ini Fakultas Hukum UNHAS seharusnya dapat me-

Page 176: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

176 Hukum Laut Indonesia

ngembangkan dan memanfaatkan ilmu-ilmu hukum laut

menyangkut pengelolaan sumber daya kelautan.

Pemanfaatan dan pengembangan ilmu-ilmu hukum

laut sebagai salah satu penjabaran dari visi PIP UNHAS tentu

saja mensyaratkan adanya pemahaman dan penguasaan yang

baik atas berbagai kebijakan, konsep, prinsip maupun

peraturan-peraturan hukum laut Indonesia. Dalam konteksi

ini berbagai azas dan ketentuan hukum laut Indonesia yang

dalam banyak hal tidak dapat dipisahkan dari hukum laut

internasional telah dipaparkan secara terperinci, mulai dari

pembahasan tentang negara kepulauan (Archipelagic State)

yang menjadi pilar bagi NKRI dan berdasarkan ketentuan

hukum yang berlaku, maka penerapan garis pangkal

kepulauan (archipelagic baselines) adalah merupakan conditio

sine qua non atau syarat mutlak dalam mewujudkan NKRI

sebagai suatu negara kepulauan.

Melalui penerapan garis pangkal kepulauan yang

intinya adalah garis pangkal lurus kepulauan yang diper-

gunakan secara silih berganti dengan garis pangkal normal

(normal baselines), garis pangkal lurus (straight baselines) dan

garis penutup (pada pelabuhan, sungai dan teluk yang lebar

mulutnya maksimal 24 mil laut asalkan terletak pada pulau-

pulau terluar), maka dapat ditetapkan berbagai macam jalur

laut baik yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi

penuh (laut teritorial dan perairan kepulauan) maupun yang

berada di bawah yurisdiksi di bidang-bidang tertentu (jalur

Page 177: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

177 Hukum Laut Indonesia

tambahan), serta yang berada di bawah hak-hak berdaulat

(ZEE dan landas kontinen). Semuanya ini (bahkan jalur laut

bebas) dapat dimanfaatkan dan dikembangkan baik oleh

Indonesia sebagai negara pantai dan sekaligus sebagai negara

kepulauan maupun oleh negara-negara lain untuk berbagai

keperluan serta kepentingan sesuai dengan status hukum

dari masing-masing jalur laut tersebut.

Pemanfaatan dan pengembangan jalur-jalur laut

Indonesia terutama laut teritorial serta perairan kepulauan

yang merupakan bagian integral dari wilayah kedaulatan

negara kiranya untuk sementara dan untuk kepentingan

penulisan bersama inidapat didekati dari dimensi kepentingan

navigasi untuk kapal asing dalam segala jenisnya. Pelbagai

prinsip harus diperhatikan oleh kapal asing dalam menjalan-

kan kepentingannya dari segi navigasi sebagaimana ditentu-

kan dalam KHL 1982, Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 6 Tahun 1996 mengenai wilayah perairan Indonesia.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37

Tahun 2003 mengenai Alur-Alur Laut Kepulauan Indonesia

(ALKI) dan berbagai peraturan perundangan lainnya karena

kepenti-ngan pelayarannya dapat berjalan baik berdasarkan

prinsip lintas damai (innocent passage), prinsip lintas transit

(transit passage) dan prinsip lintas alur-alur laut kepulauan

(archipelagic sealanes passage) yang selain memiliki perbe-

daan, juga mengandung banyak persamaan. Peraturan Peme-

rintah No.37 Tahun 2003 merupakan peraturan pelaksanaan

Page 178: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

178 Hukum Laut Indonesia

dari prinsip hukum lintas damai, lintas transit dan lintas alur

laut kepulauan Indonesia menetapkan berbagai macam

persyaratan yang harus diperhatikan dan ditaati oleh kapal

asing ketika melewati atau melintasi wilayah perairan Indo-

nesia.

Seluruh persyaratan itu menitikberatkan dan mene-

kankan hak dan tanggungjawab dari kapal asing dan atau

pesawat udara asing (termasuk negara bendera atau negara

registrasi) untuk menghormati kedaulatan (souvereignty) serta

keutuhan teritorial (territorial integrity) NKRI sebagai negara

kepulauan. Dari sisi lain Indonesia terikat untuk mengakui

dan menghormati hak dan kebebasan kapal asing dan atau

pesawat udara asing untuk melintasi wilayah perairan serta

ruang udara di atasnya dengan mengikuti alur-alur laut

kepulauan (ALKI I, II, III dengan berbagai variasinya) ataupun

alur-alur laut di luarnya sesuai dengan tujuan kapal asing

dalam melakukan lintas di wilayah perairan Indonesia.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indo-

nesia Nomor 37 Tahun 2002 yang disusun berdasarkan perse-

tujuan dari IMO (International Maritime Organization), maka

telah ditetapkan adanya tiga macam ALKI dengan beberapa

variasinya (ALKI I, ALKI IA, ALKI II, ALKI IIIA, IIIB, IIIC, IIID,

IIIE), yang pintu masuk (entry point) dan pintu keluar (exit

point) masing-masing bisa terletak di bagian Utara atau

Selatan dari wilayah perairan Indonesia tergantung pada

kapal asing dan atau pesawat udara asing akan melintas

Page 179: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

179 Hukum Laut Indonesia

entah dari salah satu pintu masuk di bagian Utara ataukah di

bagian Selatan.

Ketika kapal asing berlayar dari laut Cina Selatan

atau laut Natuna, melintasi Selat Karimata, laut Jawa, Selat

Sunda dan terus ke Samudera Hindia (ALKI I), demikian pula

sebaliknya tanpa melakukan perhentian di suatu pelabuhan,

maka pelayaran seperti ini dikualifikasi sebagai lintas alur-

alur laut kepulauan. Ketika kapal yang bersangkutan berhenti

dan singgah di suatu pelabuhan ataupun meninggalkan

pelabuhan dengan atau tanpa mengikuti ALKI, maka

pelayaran seperti ini dikualifikasi sebagai lintas damai. Ketika

kapal asing itu melintasi Selat Malaka dan Singapura menuju

ke Samudera Hindia, maka pelayarannya dinamakan lintas

transit.

Namun pelayaran kapal asing baik berdasarkan prin-

sip lintas damai maupun lintas alur laut kepulauan dan lintas

transit Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional

(Straits used for international navigation) tetap harus mema-

tuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan. ALKI

dapat dianggap sebagai sebuah lorong atau koridor bagi kapal

untuk melakukan penyimpangan (deviation) lebih dari 25 mil

laut pada sisi kiri dan kanan dari alur-alur laut yang

digunakan, tidak boleh mendekati pantai pulau terdekat yang

berada di dalam ALKI maupun di luarnya.

Kapal yang melakukan lintas pelayaran melalui alur-

alur laut baik alur-alur laut kepulauan maupun di luarnya

Page 180: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

180 Hukum Laut Indonesia

harus senantiasa berhati-hati dan menerapkan syarat-syarat

keselamatan pelayaran internasional yang mencakup berbagai

faktor, kapal (prevention of collution and ship’s routeing),

standarisasi penempatan awak kapal (crewing standards),

penetapan alat bantu navigasi (aids to navigation)

sebagaimana diatur dalam SOLAS Convention 1978 dan

konvensi-konvensi internasional lainnya serta ISPS Code.

Semuanya ini merupakan faktor-faktor, kriteria-kriteria dan

persyaratan-persyaratan yang harus diterapkan oleh setiap

negara bendera dalam menjamin keselamatan pelayaran

(safety of navigation).

Indonesia yang telah meratifikasi konvensi-konvensi

yang berkaitan dengan keselamatan pelayaran seharusnya

menerapkan ketentuan-ketentuannya dan melaksanakan

kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian-per-

janjian tersebut, seperti memeriksa secara teratur kelayakan

kapal baik kapal berbendera Indonesia maupun berbendera

asing, memverifikasi dokumen-dokumen perkapalan dengan

kondisi kapal, melakukan langkah-langkah yang dapat menja-

min standarisasi penempatan awak kapal, mengambil tinda-

kan-tindakan bagi kapal berbendera Indonesia maupun

berbendera asing untuk mencegah terjadinya tubrukan kapal,

dan seharusnya menyediakan dan memelihara alat-alat bantu

navigasi yang dapat dilakukan melalui berbagai bentuk

kerjasama antara Indonesia sebagai negara pantai dengan

negara pemakai.

Page 181: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

181 Hukum Laut Indonesia

ISPS Code yang menyempurnakan SOLAS Convention

adalah upaya perlindungan keamanan yang ditujukan terha-

dap kapal barang atau kapal kargo dan kapal penumpang ber-

kecepatan tinggi dengan ukuran 500 gros ton atau lebih. Di

samping itu, ISPS Code ini juga ditujukan terhadap instalasi

pengeboran lepas pantai yang memanfaatkan fasilitas pela-

buhan maupun fasilitas pelabuhan yang melayani kapal-kapal

yang melakukan pelayaran internasional (on international vo-

yages).

Fasilitas pelabuhan ini meliputi sisi daratnya, derma-

ga, tempat berlabuh dan perairan di sekitarnya serta perairan

pedalaman yang mengarah ke pelabuhan seharusnya menjadi

sasaran perlindungan bagi keamanannya. ISPS Code ini

bertujuan agar Pemerintah (pemerintah pusat) dan baik yang

berskala nasional maupun internasional memiliki peran dan

tanggungjawab dalam bidang keamanan maritim, mendeteksi

adanya ancaman keamanan dan mengambil langkah-langkah

pengamanan, mengumpulkan dan menyebarluaskan informa-

si terkait masalah keamanan serta menentukan cara penilai-

an keamanan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka setiap

kapal dan fasilitas pelabuhan harus memenuhi persyaratan-

persyaratan yang telah ditentukan baik menyangkut rencana

penagamanan kapal dan pelabuhan, petugas keamanan di

atas kapal dan di pelabuhan, petugas keamanan di perusa-

haan industri perkapalan dan pelabuhan, serta alat-alat per-

lengkapan keamanan di atas kapal maupun di pelabuhan.

Page 182: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 11478 › 4... · Hukum Laut Indonesia - Universitas Hasanuddin2014-11-10 · Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan,

182 Hukum Laut Indonesia

Selain daripada itu, maka demi keamanan kapal dan

pelabuhan, harus dimonitor akses jalan masuk menuju

pelabuhan, mengawasi kegiatan orang dan bongkar muat

barang serta menjamin efektivitas komunikasi bagi keamanan

kapal dan fasilitas pelabuhan. Kendati KHL 1982 tidak

menegaskan mengenai status hukum dari harta karun

(terkecuali harta karun yang berada di area dalam arti di luar

batas-batas yurisdiksi nasional atau di luar batas-batas

landas kontinen Indonesia), namun sangat jelas bahwa

statusnya ditentukan oleh status hukum dari bagian perairan

yang menjadi lokasi ditemukannya harta karun tersebut.