laut final
TRANSCRIPT
1. Perkembangan Hukum Laut Sesudah Perang Dunia ke II
Hukum Laut Internasional berkembang menjadi semakin kompleks setelah Perang
Dunia ke II di mana pemahaman dasar mengenai garis batas laut mulai mengalami
beberapa perubahan definisi. Perubahan-perubahan penting seperti penjelasan
konsep-konsep laut territorial, lintas damai, pengejaran seketika, jurisdiksi kriminil
maupun sipil negara pantai atas territorialnya. Faktor-faktor perubahan konsep-
konsep Hukum Laut didasarkan dari banyak faktor seperti merdekanya banyak
negara-negara jajahan, kemajuan tekologi umat manusia dan semakin besarnya
kesadaran bahwa manusia bergantung kepada kekayaan alam yang ada di lautan.
Dikelompokkan di dalam sejarah Hukum Laut bahwa ada tiga hal penting yang
menjadi dasar penyebab berkembangnya Hukum Laut;
1. Proklamasi Truman tahun 1945 yang pertama tentang Continental Shelf dan
Perikanan,
2. Sengketa Perikanan antara Inggris dan Norwegia yang bersengketa di
Mahkamah Internasional yang kemudian dikenal sebagai Anglo Norwegian
Fisheries Case.
3. Klaim-klaim yang diajukan oleh beberapa negara Amerika Selatan bertalian
dengan suatu jalur 200 mil.
Proklamasi Presiden Truman yang diproklamirkan pada tahun 1945 menegaskan
mengenai penggunaan konsep geologi continental shelf. Continental Shelf dianggap
sangat penting digunakan dalam melakukan pengukuran atas kedaulatan negara atas
lautnya. Tindakan Presiden Truman yang merupakan Presiden Amerika Serikat
betujuan untuk mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan tanah dibawahnya
yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan rakyat dan bangsa
Amerika Serikat, terutama kekayaan mineral khususnya minyak dan gas bumi. Di
dalam perkembangannya eksplorasi kekayaan alam yang ada di dalam continental
shelf. Continental Shelf atau Landas Kontinen dianggap sebagai daerah dimana di 1
dalamnya terkandung kekayaan alam yang sangat besar dan merupakan zona yang
sangat potensial bagi perkembangan ikan-ikan di laut.
Para ahli geologi Amerika Serikat menyatakan bahwa bagian-bagian tertentu dari
dataran kontinen Amerika Serikat di luar batas 3 mil mengandung endapan-endapan
minyak bumi yang sangat berharga. Tindakan-tindakan negara dimungkinkan untuk
mengeksploitasi secara teratur suatu daerah di bawah permukaan laut atau sub marine
area yang luasnya adalah 750.000 mil persegi yang ditutup oleh air di bawahnya yang
tidak lebih dari 100 fathom. Atas dasar ini pemerintah Amerika Serikat
menyimpulkan bahwa kekayaan alam yang ada di daerah sekitar landas kontinen
merupakan hal yang sangat penting untuk diregulasikan oleh negara tersebut. Namun
pemerintah Amerika Serikat menyatakan bahwa tidak akan posesif di dalam
pengelolaan kekayaan alam tersebut dengan memberikan suatu kesempatan hak
berlayar atau hak lintas damai bagi negara lain yang ingin melintasi perairan tersebut.
Hal lain yang terdapat di dalam Proklamasi Truman adalah konsepsi mengenai
perikanan, Presiden Truman menjelaskan bahwa konservasi perikanan sangat penting
bagi kelangsungan keseimbangan ekosistem laut yang implikasi jangka panjangnya
adalah kesejahteraan umat manusia khususnya warga negara Amerika Serikat. Di
dalam proklamasi ini dijelaskan konsep mengenai fisheries conservation zone atau
zona konservasi perikanan. Pemerintah Amerika Serikat menjelaskan mengenai
pentingnya regulasi bagi proses pencadangan dan perlindungan kekayaan hayati yang
ada di laut yang berbatasan dengan pantainya. Inti pokok dari Proklamasi Truman
adalah kegiatan perikanan di laut dekat pantai Amerika Serikat selama ini atau dalam
waktu dekat hanya dilakukan oleh warganegara pemerintah Amerika Serikat.
Pemerintah Amerika Serikat berpendapat bahwa hanya dengan melalui regulasi ini,
kekayaan alam laut dapat dijaga dengan baik.
Sengketa Perikanan antara Inggris dan Norwegia yang diselesaikan dengen
Keputusan Mahkamah Internasional tahun 1951, perkara yang terjadi di antara
2
Inggris dan Norwegia mengenai batas perikanan Norwegia. Inggris menggugat
sahnya penetapan batas perikanan eksklusif yang ditetapkan oleh Norwegia di dalam
Firman Raja atau Royal Decree tahun 1935 menurut hukum internasionalnya.
Norwegia memperbaharui batas wilayah laut teritorialnya hingga 4 mil laut. Hal yang
menjadi pokok permasalahan bukan mengenai luas wilayah laut yang ditentukan oleh
Royal Decree melainkan cara penarikan garis-garis batas laut yang dilakukan oleh
Norwegia. Norwegia merupakan negara pantai dimana di pantai-pantainya senantiasa
terjadi pasang surut air laut. Pasang surut air laut memberikan eksistensi adanya
gugusan-gugusan pulau di wilayah perairan Norwegia. Dengan adanya Royal Decree
maka Norwegia bisa menentukan garis batas pantai dengan menggunakan garis
pangkal lurus yaitu menghubungkan titik-titik terluar pada pantai Norwegia yaitu
gugusan-gugusan pulau tersebut.
Inggris menuntut adanya ganti kerugian atas Royal Decree yang dikeluarkan oleh
Norwegia, penarikan garis pangkal lurus yang dilakukan oleh Norwegia jelas akan
sangat merugikan Inggris karena wilayah penangkapan ikan Inggris otomatis menjadi
berkurang. Pihak Inggris menegaskan bahwa penarikan garis pangkal laut harus
didasarkan pada garis pangkal pasang surut daripada gugusan pulau-pulau yang
diklaim oleh Norwegia. Namun pihak Mahkamah Internasional tidak menyatakan
bersalah cara penarikan garis pangkal lurus oleh Norwegia. Hal ini menjadi suatu
perubahan besar bagi praktek negara di dalam menentukan garis laut teritorialnya.
Peristiwa ketiga adalah klaim-klaim 200 mil oleh Chile, Ecuador dan Peru. Chile
mengeluarkan Deklarasi Presiden pada tanggal 23 Juni 1947 dan Deklarasi Presiden
Peru tertanggal 1 Agustus 1947. Deklarasi Presiden Peru menyatakan klaim atas
Landas Kontinen Laut yang dikuatkan dengan adanya Teori Bioma. Teori Bioma
menjelaskan bahwa suatu ekosistem adalah gabungan antara konsepsi hidrologi dan
klimatologi yang menyokong kehidupan hayati dan nabati. Kehidupan-kehidupan ini
saling terkait satu sama lain baik dari yang paling besar maupun yang paling kecil,
3
Bioma merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu negara.
Chile, Ecuador, Peru menyatakan klaim bahwa wilayahnya memiliki bioma tersebut
maka mereka memiliki hak untuk menjaga dan melindunginya.
Hukum Laut senantiasa berkembang seiring dengan kebutuhan dan kepentingan dari
negara-negara. Hukum yang sudah ada akan selalu digantikan dengan konsep hukum
yang lebih baru dan lebih kontekstual dengan keadan yan senantiasa berubah. Di
dalam Hukum Laut, seiring dengan ditemukannya pengertian dan fungsi baru dari
Landas Kontinen maka Amerika Serikat melalui Deklarasi Truman, menciptakan
suatu produk hukum untuk meregulasi kenyataan baru tersebut dan diikuti oleh
negara-negara lain.
Pembentukan hukum baru tidak selalu dengan menggunakan deklarasi, Hukum Laut
juga menjalani perubahan dengan adanya suatu konflik yaitu konflik antara Inggris
dan Norwegia melalui Anglo-Fisheries Norwegian Case. Konsepsi penarikan garis
pangkal diperbaharui disini bahwa negara boleh menarik garis pangkal lurus atas
pantai-pantainya. Terakhir disempurnakan oleh Deklarasi Negara-negara Amerika
Latin dengan klaim atas landas kontinen melalui teori bioma.
2. Konferensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958
A. Tugas Konfrensi : arti dan sifatnya
Konferensi ini diadakan pada tanggal 24 februari hingga 27 Februari 1958 di
kota Jenewa, Switzerland. Terlaksananya konferensi ini berdasarkan resolusi majelis
umum PBB No. 1105 (XI) tanggal 21 februari 1957. Dalam resolusi ini disebutkan
dengan jelas bahwa batas dan tugas dari konferensi ini adalah menggariskan dengan
tegas tentang permasalahan hukum laut yang seharusnya mempertimbangkan aspek
lainnya. Artinya hukum laut tidak hanya dari sudut pandang hukum atau aspek
yuridisnya akan tetapi juga dari segi non yuridis seperti segi tehnis, biologis, ekonomi
dan politik.
4
Mochktar mengatakan dalam bukunya jika hanya berpegang teguh kepada
hukum laut yang tradisionil tanpa adanya perubahan mengikuti pola perkembangan
dari zaman. Akan terjadi ketidakseimbangan ataupun ketidakadilan terhadap Negara
yang baru muncul dan berkembang. Negara Eropa Barat dan Amerika jelas akan
mendominasi laut lepas. Kemudian Mochtar menegaskan kembali bahwa tugas dari
konferensi ini adalah untuk merumuskan kaidah-kaidah hukum laut publik dengan
memperhatikan sepenuhnya perubahan-perubahan yang terjadi dalam peta
perpolitikan dunia dan juga kemajuan technologi dari Negara yang sudah maju.
Kaidah atau aspek non yuridis seperti tehnis, adalah segi yang berhubungan
dengan pengukuran dan pemetaan daripada klaim-klaim Negara-negara atas laut yang
berbatasan dengan pantainya seperti laut territorial dan dataran kontinen. Kemajuan
tehnik dilapangan memungkinkan penangkapan ikan dan sumber daya alam lainnya
yang ada di lautan sebagai aset yang tak ternilai.
Hal demikian (pengaruh dari kemajuan tehnik atau technologi) akan
berpengaruh pada masalah Ekonomi, karena kekayaan alam yang terdapat di dalam
laut bisa sangat tidak terhingga, dan ini merupakan bagian dari perekonomian suatu
negara.
Aspek Biologis terutama biologi kehidupan laut perlu adanya penyelidikan
tentang kehidupan alam laut dan penyempurnaan cara penangkapan ikan, untuk
mendongkrak atau menambah hasil tangkapan ikan.
Kemudian aspek yang terakhir adalah aspek politik. Aspek ini merupakan
aspek yang sangat penting dan sangat tidak bisa untuk di abaikan. Adakalanya
tindakan pelebaran laut territorial didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan politik,
artinya perselisihan politik dengan Negara lain juga mempengaruhi batas wilayah laut
dari suatu Negara.
Konferensi jenewa tahun 1958 menghasilkan 4 buah konvensi mengenai
hukum laut publik, sebuah protocol fakultatif mengenai penyelesaian pertikaian dan 9
buah resolusi. Keempat konvensi jenewa mengenai hukum laut masing-masing
5
dinamakan: konvensi mengenai laut territorial dan jalur tambahan, konvensi
mengenai laut lepas, konvensi mengenai perikanan dan perlindungan kekayaan hayati
laut lepas, dan konvensi mengenai landas kontinen.
B. Konvensi I mengenai laut territorial dan jalur tambahan
Konvensi ini meneguhkan beberapa azas dan pengertian tentang laut territorial
yang dulu telah berkembang.
Pasal 1 menyatakan bahwa laut territorial merupakan suatu jalur yang terletak
disepanjang pantai suatu Negara berada dibawah kedaulatan Negara.
Pasal 2 menyatakan kedaulatan negara atas laut territorial meliputi juga ruang
udara diatasnya dan dasar laut serta tanah dibawahnya.
Konvensi ini juga memuat ketentuan-ketentuan yang merupakan
perkembangan baru seperti penarikan garis pangkal yang terdapat pada pasal 3, 4 dan
5. Pasal 3 memuat ketentuan mengenai garis pasang surut sebagai pangkal biasa.
Pasal 4 mengatur garis pangkal dari ujung ke ujung. Pada pasal ini disebutkan bahwa
ada beberapa syarat dalam menggunakan penarikan garis pangkal. Pertama, bahwa
garis-garis lurus demikian tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari arah umum
daripada pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi darat) garis-
garis demikina harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat diatur oleh resim
perairan pedalaman. Kedua, garis-garis lurus tidak boleh ditarik diantara dua pulau
atau bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air diwaktu surut kecuali
apabila diatasnya telah didirikan mercusuar atau instalasi serupa yang setiap waktu
ada diatas permukaan air. Ketiga, penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan
sedemikian rupa sehingga memutuskan hubungan laut wilayah Negara lain dengan
laut lepas.
Pada pasal 5 mengatur tentang akibat dari penarikan garis pangkal lurus dari
ujung ke ujung, dan pasal ini berkaitan erat dengan pasal 4. Ayat 1 pasal ini
menentukan bahwa perairan pada sisi darat dan dari garis pangkal laut territorial
merupakan perairan pedalaman suatu Negara. Ayat 2 menentukan bahwa apabila
6
karena penarikan garis pangkal lurus menurut pasal 4, bagian-bagian laut yang
tadinya merupakan laut lepas atau laut territorial menjadi perairan pedalaman, maka
kapal-kapal asing mempunyai hak-hak lalu lintas damai di perairan itu sesuai dengan
ketentuan-ketentuan pasal-pasal 14-23.
Pasal 6 mengenai batas luar merupakan perumusan daripada hukum yang
berlaku. Pasal 7 berhubungan dengan teluk, yaitu menetapkan bahwa panjang
maksimum daripada sebuah teluk adalah 24 mil.
Dalam konvensi ini juga berhubungan dengan lintas damai (innocent passage)
bagi kapal asing. Bagi kapal asing berlaku ketentuan-ketentuan umum yang telah
diatur bagi semua kapal. Kemudian penetapan batas wilayah hak lintas damai, yang
banyak mengalami perdebatan dalam proses penafsiran dan perumusannya.
Pasal 14 mengatur tentang hak lintas damai baik bagi kapal-kapal Negara
pantai atau kapal-kapal bukan Negara pantai.
Pasal 16 kemudian mengatur tentang hak Negara pantai untuk mengatur (lalu
lintas) damai dalam laut wilayahnya. Pasal ini berhubungan dengan pasal 17 yang
mewajibkan kapal-kapal asing untuk mentaati undang-undang dan peraturan Negara
pantai untuk mengatur lintas damai dalam perairannya.
Pasal 18, 19 dan 20 mengatur hak Negara pantai untuk memungut bayaran
dari kapal-kapal asing yang melintasi laut territorial dan yurisdiksi criminal dan sipil
daripada Negara pantai atas kapal-kapal asing dalam laut teritorialnya.
Pasal 21 mengatur tentang ketentuan-ketentuan mengenai kapal-kapal
pemerintahan bukan kapal perang, berlaku juga bagi kapal yang dipergunakan dalam
pelayaran niaga.
Pasal 22 menyatakan bahwa bagi kapal-kapal pemerintahan yang
dipergunakan untuk maksud bukan perniagaan maka berlaku ketentuan umum dan
pasal 18 tentang pemungutan biaya oleh Negara pantai. Pasal 23 menyatakan
penegasan terhadap kapal-kapal yang tidak menghiraukan peraturan Negara pantai.
7
Pasal 24 mengatur tentang hak lintas bagi kapal perang asing dengan catatan
harus memberitahukan dulu sebelum lewat melalui laut territorial Negara lain. Pasal
ini gagal mencapai persetujuan untuk memberikan hak lintas damai bagi kapal perang
Negara lain. Maka Mockhtar dalam bukunya memberikan solusi yaitu harus
berpengangan pada hukum kebiasaan internasional. satu hal ha yang pasti dalam hal
ini, tidak adanya ketentuan hak lintas damai bagi kapal perang merupakan sumber
bagi perselisihan internasional.
C. Konvensi III mengenai Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut
Lepas.
Mukadimah Konvensi menyatakan, bahwa perkembangan penangkapan ikan
modern mengakibatkan bahaya musnahnya sebagian besar kekayaan alam. Sifat
daripada masalah perlindungan kekayaan alam hayati laut ini memerlukan suatu
pemecahan yang di dasarkan kerjasama internasional antara semua negara yang
berkepentingan. Isi mukadimah yang diuraikan di atas dengan singkat
menjelaskan :1.) sebab-sebab mengapa perlu di ambil tindakan-tindakan perlindungan
kekayaan hayati laut dan 2.) cara melaksanakan tindakan itu. Jelas pula daripadanya
bahwa ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Konvensi Hukum Laut III telah
ditetapkan untuk menghadapi suatu masalah dalam hukum laut yang diakibatkan
perkembangan-perkembangan teknik modern dan karena merupakan hukum yang
baru.
Penelitian daripada ketentuan-ketentuan Konvensi III ini akan menunjukan
bahwa hanya ada satu pasal yakni pasal 1 yang mengandung perumusan hukum yang
bersifat kodifikasi. Akan tetapi pasal inipun, sebagaimana akan kami tunjukan
mengandung unsur-unsur baru yang menyimpang dari kebebasan menangkap ikan
dalam arti yang klasik.
Pasal 1 ayat 1 menyatakan :
8
“All Stateshave the right for their nationsld to engage in fishing on the high
seas, subject (a) to their treaty obligations, (b) to the interests and rights of coastal
States as provided for in this Convention, (c) to the provisions contained in the
following articles corcerning corservation of the living resources of the high seas.”
Kata-kata “... subject to ect ...” menegaskan bahwa hak nelayan untuk menangkap
ikan di laut lepas itu dibatasi tidak saja oleh pembatasan-pembatasan yang ditetapkan
dalam perjanjian-perjajian yang diadakan oleh negara mereka dengan negara lain,
tetapi juga oleh kepentigan-kepentingan dan hak-hak negara pantai, serta ketentuan-
ketentuan mengenai perlindungan perikanan sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi
ini.
Ketentuan di atas yang dengan tegas mendahulukan kepentingan negara pantai
dan perlindungan perikanan, menunjukan dengan jelas bahwa kebebasan menangkap
ikan di laut lepas, kini Tidak dapat lagi ditafsirkan dengan liberal dan mutlak.
Prinsip yang dinyatakan dalam pasal 1ayat 1 di atas, sejiwa dan senafas
dengan ketentuan pasal 2 daripada Konvensi Hukum Laut Lepas yang menyatakan
bahwa kebebasan-kebebasan yang disebut disana harus dilaksanakan dengan
memperhatikan sepatutnya kepentingan-kepentingan negara lain. Ayat 2 menegaskan
kewajiban negara-negara untuk mengadakan tindakan-tindakan yang diperlukan
untuk perlindungan kekayaan hayati laut, baik secara sepihak, maupun dengan
kerjasama dengan negara-negara lain.
Pasal 2 memuat definisi daripada kekayaan hayati laut yang berarti
“keseluruhan daripada tindakan-tindakan yang memungkinkan hasil optimum tetap
dari sumber-sumber kekayaan itu untuk menjamin persediaan bahan makanan dan
hasil laut lainnya yang maksimal”. Penyusunan rencana-rencana perlindungan
kekayaan hayati laut di atur dalam pasal 3 sampai dengan pasal 8.
9
Pengaturan perlindungan seperti termuat di dalam pasal-pasal ini didasarkan
atas pembagian 3 macam kegiatan dan kepentingan. Yakni: (1.) perikanan di laut
lepas : Pasal 3, 4 dan 5 ; (2.) perikanan pantai: pasal 6 dan 7; dan (3) kepentingan
akan kekayaan hayati laut di satu bagian laut lepas daripada negara yang tidak
menangkapn ikan disana : pasal 8.
1.) Perlindungan perikanan dan kekayaan hayati laut di laut lepas yang berjauhan
dari
pantai negara yang nelayan-nelayannya menangkap ikan disana. (pasal 3, 4
dan 5).
a. Apabila penangkapan di tempat itu hanya dilakukan oleh nelayan-nelayan
dari satu negara, maka negara ini berkewajiban untuk melakukan
tindakan-tindakan perlindungan (conservation measures) apabila
diperlukan (pasal 3).
b. Apabila nelayan-nelayan yang menangkap ikan di bagian laut lepas itu
berasal dari dua negara atau lebih, maka atas permintaan salah satu di
antara mereka, negara itu atas persetujuan bersama harus mengadakan
tindakan perlindungan yang akan berlaku bagi nelayan-nelayan semua
pihak yang bersangkutan. Jika tidak dicapai persetujuan dalam waktu 12
bulan, maka perselisihan itu dapat diserahkan oleh salah satu pihak yang
bersangkutan pada komisi arbitrase menurut cara yang ditentukan dalam
pasal 9 (pasal 4).
Tindakan-tindakan perlindungan yang ditetapkan menurut pasal 4 di atas
menurut pasal 4 tidak boleh bersifat diskriminatif dalam bentuk maupun
kenyataannya. Apabila nelayan negara-negara laintelah mengadakan
tindakan-tindakan perlindungan di atas, kemudian datang menangkap
ikan di bagian laut lepas itu, maka negara-negara ini harus mewajibkan
nelayan-nelayan (warganegara) mereka untuk menaati tidakan-tindakan
10
perlindungan yang telah di ambil, baik yang diadakan secara sepihak
menurut pasal 3, maupun atas dasar persetujuan bersama pasal 4.
c. Jika negara pendatang baru tidak menyetujui tindakantindakan
perlindungan yang telah berlaku di atas, salah satu pihak yang
berkepentingan dapat menempuh jalan penyelesaian sebagaimana di atur
dalam pasal 9 jika tidak tercapai persetujuan dalam waktu 12 bulan
(pasal 5).
2.) Perlindungan perikanan dan kekayaan hayati laut di bagian laut lepas yang
berbatasan dengan laut wilayah salah satu pihak. (pasal 6 dan 7).
Keistimewaan daripada ketentuan-ketentuan yang mengatur perlindungan
perikanan dan kekayaan hayati di laut bagian lepas yang berdekatan dengan
pantai salah satu negara yang berkepentingan, adalah pengakuan
“kepentingan istimewa” (special interests) daripada negara pantai dalam
mempertahankan produktivitas daripada kekayaan hayati laut.
3.) Kepentingan istimewa suatu negara pantai dalam perlindungan perikanan di
laut lepas yang tak berbatasan dengan pantainya sedangkan nelayan-
nelayannya tidak menangkap ikan disana (pasal 8).
Menurut pasal 8, negara demikian, apabila perlu, dapat meminta pada
negara yang nelayan-nelaynnya menangkap ikan disana untuk mengambil
tindakan-tindakan perlindungan (conservation measures) sesuai dengan pasal
3 dan 4. Permintaan demikian hars disertai pertimbangan ilmiah yang
menjelaskan mengapa tindakan-tindakan itu dikehendaki dan dengan
menunjukan kepentingan istimewa negara yang meminta diadakannya
tindakan itu.
Ketentuan-ketentuan di atas dengan jelas menunjukan kedudukan istimewa
negara pantai dalam hal-hak yang berkenaan dengan kekayaan hayati di laut lepas
11
yang berdekatan dengan pantainyaa. Kedudukan istimewa negara pantai ini
didasarkan atas konsep istimewa negara pantai yang mula-mula dilahirkan dalam
Konferensi Teknis mengenai Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut
Lepas di Roma pada tahun 1955 atas inisatif dari negara Kuba dan Mexico.
Walaupun ketentuan-ketentuan Konvensi di atas tidak memberikan hak-hak
perikanan eksklusif kepada negara pantai atas perikanan di laut lepas di muka
pantainya, namun rangkaian pasal-pasal ini merupakan langkah penting ke arah
kepentingan yang sah daripada negara atas perikanan di laut lepas yang berdekatan
dengan pantainya, tampa mengabaikan kepentingan perikanan negara-negara lain.
D. Konvensi IV mengenai Landas Kontinen
Konvensi mengenai Landas Kontinen dalam pasal 1 memuat batasan (definisi)
mengenai pengertian landas kontinen. Pasal ini lengkapnya berbunyi sebagai berikut
“ for the purpose of these article, the term “continental shelf” is used as reffering (a)
to the seabed and subsoil of the submarine areas asjacent to the coast but outside of
the area of the territorial sea, to a dept of 200 metres or, beyond that limit, to where
the dept of the superjacent waters admits of the exploitation of the natural resources
of the said areas ; (b) to the seabed and subsoil of similiar submarine areas adjacent
to the coasts of islands.”
- Dari bunyi pasal 1 yang di kutip di atas, jelas tampak bahwa batasan atau
definisi mengenai pengertian landas kontinen merupakan suatu definisi
hukum (legal definition), yang berbeda dengan batasan pengertian dataran
kontinen dalam arti geologis semata-mata.
- Pasal 2 mengatur mengenai hak negara pantai atas landas kontinen.
- Pasal 3 menjelaskan bahwa “hak-hak kedaulatan untuk eksplorasi dan
eksploitasi” tidak sama dengan kedaulatan penuh negara pantai.
- Pasal 4 menetapkan bahwa dalam melaksanakan haknya untuk melakukan
eksplorasi landas kontinen dan eksploitasi daripada kekayaan alam di 12
dalamnya, negara pantai tidak boleh menghalang-halangi ppemasangan kabel-
kabel dan saluran-saluran pipa di atas dasar landas kontinen.
- Pasal 5 menetapkan bahwa pelaksanaan hak-hak negara pantai atas landas
kontinen tidak boleh mengakibatkan gangguan (unjustifiable interfence)
terhadap pelayaran, penangkapan ikan atau tindakan-tindakan perlindungan
kekayaan hayati laut dan tidak boleh pula mengganggu penyelidikan
oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya yang dilakukan untuk
kepentingan ilmu pengetahuan.
- Pasal 6 mengatur penetapan batas pada landas kontinen antara dua negara
yang berdekatan, baik negara-negara yang letaknya berhadapan (opposite),
maupun berdampingan (adjacent).
- Pasal 7 menjamin hak negara pantai untuk melakukan eksploitasi di bawah
dasar lautan yang berdekatan dengan pantainya.
3. Indonesia dan Perkembangan Hukum Laut Dewasa Ini
Setelah perang dunia ke-II, Indonesia mengambil langkah-langkah dalam
bidang hukum laut guna menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mempunyai
keinginan dan pikiran sendiri, sebagai pernyataan dari sebuah aspirasi suatu bangsa
yang nasib dan kebesarannya tidak bisa dipisahkan dari laut. Langkah-langkah yang
diambil oleh Indonesia diantaranya adalah:
1. Lahirnya konsepsi nusantara : Deklarasi 13 desember 1957
Pada tanggal 13 desember 1957 Pemerintah RI mengeluarkan pernyataan
(Deklarasi) mengenai wilayah perairan Indonesia yang berisi:
“Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau
atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara RI, dengan tidak memandang
luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara
RI dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di
13
bawah kedaulatan mutlak daripada Negara RI. Lalu lintas yang damai di perairan
pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan
dengan kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia. Penentuan batas laut territorial
yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik
yang terluar pada pulau-pulau Negara RI akan ditentukan dengan Undang-undang”.
Ada 4 (empat) pertimbangan yang mendorong Pemerintah Indonesia dalam
mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah Perairan Indonesia adalah:
a. Bahwa bentuk geografi RI sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari
beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri yang memerlukan
pengaturan tersendiri;
b. Bahwa bagi kesatuan wilayah (territorial) negara RI semua kepulauan serta
laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang
bulat;
c. Bahwa penetapan batas-batas laut territorial yang diwarisi dari pemerintah
kolonial sebagaimana termaktub dalam “Territoriale Zee en Maritime Kringen
Ordonnantie 1939” pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan kepentingan
keselamatan dan keamanan Negara RI;
d. Bahwa setiap Negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk
mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi
keutuhan dan keselamatan negaranya.
Pernyataan pemerintah mengenai Wilayah Perairan Indonesia ini merupakan
suatu peristiwa yang penting dan menentukan dalam usaha pemerintah untuk
meninjau kembali dan merobah cara penetapan batas laut territorial yang telah
diusahakannya sejak pertengahan tahun 1956 dengan membentuk suatu panitia
Interdepartemental untuk meninjau kembali masalah laut territorial dan lingkungan
maritim.1
1 Surat Keputusan Perdana Menteri (Ali Sastroamidjojo) No. 400 tertanggal 17 Oktober 1956 tentang Panitya Interdepartemental perancang Undang-undang tentang Laut Wilayah Indonesia dan Daerah
14
Dari teks pernyataan Pemerintah tanggal 13 Desember 1957 maupun
pertimbangan yang menjadi dasar tindakan tersebut jelas bahwa segi keamanan dan
pertahanan merupakan aspek yang penting sekali bahkan dapat dikatakan merupakan
salah satu sendi pokok daripada kebijaksanaan Pemerintah mengenai perairan
Indonesia ini. Selain itu ada dua unsur pokok yang menjamin integritas territorial
daripada wilayah Negara RI sebagai satu kesatuan yaitu unsur tanah (darat) dan air
(laut) menggambarkan segi politik.
Deklarasi ini menjadikan “segala perairan di antara dan di sekitar pulau-
pulau” bagian dari wilayah nasional mempunyai akibat hukum yang penting bagi
pelayaran internasional karena bagian laut lepas (high seas) yang tadinya bebas (free)
dengan tindakan Pemerintah Indonesia ini (hendak) dijadikan bagian dari wilayah
nasional.
Terjadi banyak pertentangan setelah dikeluarkannya Deklarasi tersebut. Ada
beberapa negara yang tidak mengakui klaim Indonesia atas perairan di sekitar dan di
antara pulau-pulaunya. Walaupun demikian, usaha ini dianggap penting sebagai
pengajuan pertama mengenai konsepsi negara kepulauan di suatu konperensi hukum
internasional secara resmi.
Adanya konperensi Hukum Laut di Geneva pada Februari 1958, merupakan
forum untuk memperoleh pengakuan internasional bagi konsepsi negara kepulauan
Indonesia dengan jalan memperkenalkan konsepsi nasionalnya tentang negara
kepulauan dengan jalan mengedarkan teks bahasa Inggris undang-undang No.4/Prp
tahun 1960 pada Konperensi tahun 1960 yang kemudian dimuat dalam dokumen
Sekretariat konperensi.2
Maritim; dirobah dan ditambah dengan S.K. Menteri Pertama (Djuanda) tanggal 1 Agustus 1957.2 UN Conference on the Law of The Sea, 1960. Doc.A/Conf. 15/5/Add. 1, 4 April 1960.
15
2. Undang-Undang No. 4/Prp tahun 1960 tentang perairan Indonesia
Pokok-pokok dasar dan pertimbangan-pertimbangan bagi pengaturan perairan
(wilayah) Indonesia pada hakekatnya tetap sama, walaupun segi ekonomi dan
pengamanan sumber kekayaan alam, baik hayati, nabati maupun mineral lebih
ditonjolkan dalam Undang-undang No. 4/Prp tahun 1960.
Azas-azas pokok dari konsepsi nusantara sebagaimana diundangkan dalam
undang-undang No.4/Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia adalah sebagai
berikut:
a. Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan ekonominya ditarik
garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-
pulau terluar;
b. Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak dalam garis-garis pangkal
lurus ini termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya maupun ruang udara di
atasnya, dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya;
c. Jalur laut wilayah (laut territorial) selebar 12 mil diukur terhitung dari garis-
garis pangkal lurus ini;
d. Hak lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui perairan nusantara
(archipelagic waters) dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara
pantai dan mengganggu keamanan dan ketertibannya.
Bentuk dan susunan undang-undang No. 4/Prp tahun 1960 sangat sederhana
dan hanya terdiri dari empat buah pasal. Undang-undang ini pada hakekatnya
merubah cara penetapan laut wilayah Indonesia dari suatu cara penetapan laut
wilayah selebar 3 mil diukur dari garis pasang surut atau garis air rendah (low-
waterline) menjadi laut wilayah selebar 12 mil diukur dari garis pangkal lurus yang
ditarik dari ujung ke ujung. Seluruhnya ada 200 titik pangkal yang dihubungkan oleh
196 buah garis pangkal lurus (straight baselines) dengan jumlah panjang seluruhnya
sebesar 8069,8 mil laut..16
Penarikan garis-garis pangkal lurus dari ujung ke ujung dari pulau-pulau
terluar nusantara ini mempunyai dua akibat:
a. Jalur laut wilayah yang terjadi karenanya melingkari kepulauan Indonesia;
b. Perairan yang terletak pada sebelah dalam garis pangkal berubah statusnya
dari laut wilayah atau laut lepas (high seas) menjadi perairan pedalaman.
Agar perubahan status ini tidak mengganggu hak lalu lintas kapal asing yang
telah ada sebelum cara penetapan batas laut wilayah, maka Pasal 3 menyatakan
bahwa perairan pedalaman tadi terbuka bagi lalu lintas damai kendaraan air asing.
3. Peraturan pelaksanaan undang-undang no.4/Prp. Tahun 1960 Peraturan
Pemerintah no. 8 tahun 1962 tentang hal lalu lintas damai kendaraan air asing3
Tanggal 28 Juli 1962 pemerintah Indonesia menetapkan Peraturan Pemerintah
No.8 tahun1962 tentang lalu lintas damai kendaraan asing dalam perairan Indonesia.
Ada 3 Pasal yang tertuang dalam PP tersebut, yaitu:
a. Pasal 1, ditentukan bahwa: “lalu lintas damai kendaraan air asing di perairan
pedalaman Indonesia yang sebelum berlakunya undang-undang No. 4 tahun
1960 merupakan laut bebas atau laut wilayah Indonesia dijamin”.
b. Pasal 2, yang dimaksud dengan (lalu) lintas laut damai adalah “……
pelayaran untuk maksud damai yang melintas laut wilayah dan perairan
pedalaman Indonesia dari laut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan
sebaliknya, dan dari laut bebas ke laut bebas”.
c. “lalu lintas kapal asing dianggap damai selama tidak bertentangan dengan
keamanan, ketertiban umum, kepentingan dan/atau tidak mengganggu
perdamaian Negara Republik Indonesia”.
Di samping ketentuan tentang lintas damai kendaraan asing yang bersifat
umum di atas, Pengumuman Pemerintah No.8 Tahun 1962 ini memuat ketentuan-
3 Lembaran Negara No. 36, 1962; penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2466. 17
ketentuan yang mengatur lintas damai kapal-kapal jenis khusus yakni: (1) kapal
penelitian; (2) kapal nelayan dan; (3) kapal-kapal perang dan kapal pemerintah bukan
kapal niaga.
4. Pengumuman Pemerintah tentang Landas Kontinen Indonesia
Tanggal 17 Februari 1969 Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan suatu
pengumuman Pemerintah tentang Landas Kontinen Indonesia yang berbunyi sebagai
berikut:
a. Segala sumber-sumber mineral dan sumber-sumber kekayaan alam lainnya,
termasuk organism-organisme hidup yang merupakan jenis sedentair, yang
terdapat pada dasar laut dan tanah di bawahnya di landas kontinen, tetapi di
luar daerah perairan Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-undang
No.4 Tahun 1960, hingga suatu batas kedalaman yang memnungkinkan
pengalian dan pengusahaannya, merupakan milik Indonesia dan berada di
bawah jurisdiksinya yang eksklusip;
b. Dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk depressive-depressie (bagian
yang dalam) yang terdapat dalam landas kontinen atau kepulauan Indonesia
berbatasan dengan suatu negara lain, maka Pemerintah RI bersedia untuk
melalui perundingan dengan negara yang bersangkutan menetapkan suatu
garis batas sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan;
c. Menjelang tercapainya persetujuan seperti dimaksud di atas, Pemerintah RI
akan mengeluarkan izin untuk mengadakan eksplorasi serta memberikan izin
untuk produksi minyak dan gas bumi dan untuk eksploitasi sumber-sumber
mineral ataupun kekayaan alam lainnya, hanya untuk daerah sebelah
Indonesia dari garis tengah (median line) yang ditarik antara dari pantai
daripada pulau-pulau Indonesia yang terluar atau dalam hal wilayah kedua
negara terletak berbatasan pada pulau yang sama, pada daerah sebelah
18
Indonesia dari suatu garis yang titik-titiknya terletak sama jauhnya dari titik-
titik terdekat pada garis pangkal laut territorial masing-masing negara;
d. Ketentuan-ketentuah tersebut di atas tidak akan mempengaruhi sifat serta
status daripada perairan di atas Landas Kontinen Indonesia sebagai laut lepas,
demikian pula ruang udara di atasnya.
Adapun pokok-pokok dari Pengumuman Pemerintah tertanggal 17 Februari
1969 sebagai berikut:
a. Segala sumber kekayaan alam yang terdapat dalam landas kontinen Indonesia
adalah milik eksklusif Negara Indonesia;
b. Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas landas kontinen
dengan negara tetangga melalui perundingan;
c. Jika tiada perjanjian garis batas, maka batas landas kontinen Indonesia adalah
suatu garis yang ditarik di tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia
dengan titik terluar wilayah negara tetangga.
d. Klaim di atas tidak mempengaruhi sifat serta status daripada perairan di atas
Landas Kontinen Indonesia, maupun ruang udara di atasnya.
Pengumuman Pemerintah tertanggal 17 Februari 1969 di samping perannya
sebagai penunjang pelaksanaan konsepsi negara kepulauan karena didasarkan atas
dasar yang sama, yakni penggunaan titik-titik terluar daripada pulau terluar sebagai
pangkal tolak pengukuran garis pangkal maupun garis batas pemisah, telah
mengukuhkan pula beberapa ketentuan yang mempunyai pengaruh yang lebih luas.
19