9artikel yuldan 31.pdf
TRANSCRIPT
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
282
FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KUSTA DI KABUPATEN CILACAP TAHUN 2010
Oleh:
Yuldan Faturahman1
1. Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Siliwangi Tasikmalaya
ABSTRAK
Kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh mykobakterium lepra. Kusta menurut kementrian Republik Indonesia masih ada 14 propinsi yang kejadiannya masih tinggi salah satunya Jawa Tengah. Penderita Kusta di Jawa Tengah Sebanyak 1869 dan salah satu kabupaten penyumbangnya adalah Cilacap. Data kusta sampai tahun 2009 berjumlah 35 yang ditemukan secara pasif dan kemungkinan masih banyak kasus lain karena belum ada penemuan penderita secara aktif. Kusta ini disebabkan oleh risiko berupa lingkungan fisik rumah yang tidak memnuhi syarat dan kondisi yang tidak secara langsung berhubungan yaitu factor ekonomi. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi factor lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan kejadian kusta. Desain studi penelitian ini adalah kasus kontrol dengan jumlah populasi atau sampel sebanyak 70 yang terdiri dari 35 kasus dan 35 kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan yaitu suhu (p value=0,001), dinding rumah (pvalue=0,001), lantai rumah, (pvalue=0,001), ventilasi rumah (p value= 0,001), pencahayaan rumah (pvalue=0,001), kelembaban rumah (p value=0,001) dengan kejadian kusta. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bahwa variabel suhu, dinding, lantai, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, merupakan factor risiko dalam kejadian kusta dan saran dalam penelitian ini adalah Agar dari pemerintah supaya mengadakan intervensi yang lebih tegas terhadap perbaikan rumah yang kurang memenuhi syarat dan agar penyuluhan ditegaskan supaya tidak kontak dengan penderita, kemudian masyarakat supaya memperbaiki rumahnya agar rumah tersebut bisa bersih dan sehat serta hindari kontak dengan penderita. Kata kunci : Faktor risiko, Kusta, lingkungan fisik rumah.
ABSTRACT Leprosy is a chronic infectious disease caused by mykobakterium leprosy. Leprosy by the ministries of the Republic of Indonesia there are still 14 provinces which are still high incidence one of Central Java. Leprosy Patients in Central Java A total of 1869 and is one of the districts penyumbangnya Cilacap. Data leprosy until the year 2009 amounted to 35 who found a passive and probably many other cases because there is no active case detection. Leprosy is caused by the risk of a physical environment that does not comply with the terms and conditions that are not directly related to the economic factor. The purpose of this study is to identify the physical environment factors associated with occurrence of leprosy. Study Design This was a case control study with population or sample size of 70 which consisted of 35 cases and 35 controls. The results showed that the variables related to the temperature (p value = 0.001), the walls of the house (p value = 0.001), floor of the house, (p value = 0.001), ventilation (p value = 0.001), home lighting (p value = 0.001), home humidity (p value = 0.001) with the incidence of leprosy. The conclusion of this research is that the variable temperature, walls, floors, ventilation, lighting, humidity, is a risk factor in the incidence of leprosy and suggestions in this research is the order of the government to intervene more firmly towards home improvement is less qualified and for extension emphasized that no contact with patients, then the community in order to improve his house for a house can be clean and healthy and avoid contact with patients. Key words: risk factors, leprosy, physical environment.
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 283
PENDAHULUAN
Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan pada 55 negara di dunia, sekitar 16
negara terbanyak di dunia dimana negara kita, Indonesia termasuk urutan ke tiga, dibawah India
dan Brazil. Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization) telah mengeluarkan strategi
global untuk terus berupaya menurunkan beban penyakit kusta dalam: ”Enhanced global strategy
for futher reducing the disease burden due to leprosy 2011 – 2015”; dimana target yang ditentukan
adalah penurunan sebesar 35% kusta pada akhir tahun 2015 berdasarkan data tahun 2010.
Dengan demikian, tahun 2010 merupakan tonggak penentuan pencapaian target tersebut (Depkes,
2008).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat, sampai akhir 2008 ada 17.441
kasus kusta baru di Indonesia. Sebanyak 1500-1700 kasus kecacatan akibat kusta setiap
tahunnya juga masih ditemukan karena kebanyakan penyakit terlambat terdeteksi sehingga
terlanjur menyebabkan kerusakan organ tubuh. Menurut data Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, saat ini masih ada 14 propinsi yang mempunyai beban kusta yang tinggi dengan angka
penemuan kasus baru lebih dari 10 per 100 ribu atau penemuan kasus barunya melebihi seribu
kasus per tahun. Daerah yang memiliki beban kusta tinggi antara lain DKI (Daerah Khusus
Ibukota) Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, seluruh Sulawesi, seluruh Papua dan
Maluku (Maryati 2010).
Penderita kusta tahun 2007 di Jawa Tengah sebanyak 1869 penderita yang terbagi atas
penderita tipe PB (Pausebasiler) atau kusta tipe kering sebanyak 167 penderita dan penderita tipe
MB (Multibasiler) atau kusta tipe basah sebanyak 1702 penderita (bankdata.depkes.go.id 2010).
Angka Penemuan kasus baru, CDR (Case detection rate) kusta di Provinsi Jawa Tengah tahun
2008 sebesar 4,9/100.000 penduduk dengan prevalensi 0,66/10.000 penduduk, mengalami sedikit
peningkatan bila dibandingkan dengan CDR tahun 2007 sebesar 4,61/100.000 dengan prevalensi
0,62/10.000 penduduk. Peningkatan angka CDR menunjukkan adanya peningkatan dalam
penemuan kasus baru. (Profil Dinas Kesehatan Jawa Tengah 2008). Sedangkan data penderita
kusta di Kabupaten Cilacap dimana kabupaten ini menargetkan tidak boleh ada kusta walaupun
satu penderita, sehingga apabila ada 1 kasus maka hal tersebut merupakan suatu kejadian luar
biasa, tetapi ternyata pada tahun 2009 terjadi kasus sebanyak 32 penderita tipe MB (Multibasiler)
dan 3 penderita tipe PB (Pausebasiler). Penderita kusta cacat tingkat 2 sebesar 14,3% dan
penderita kusta pada anak dibawah 15 tahun sebesar 6,3% (Data Kusta Dinkes Kabupaten
Cilacap 2009). Dengan ditemukannya penderita kusta tipe MB, cacat tingkat 2, dan penderita
kusta pada anak merupakan indikator penderita kusta sangat terlambat mendapat pengobatan.
Sekitar 88 % pasien menderita kusta tipe MB (Multibasiler) atau tipe basah. Kusta jenis itu dapat
menular kepada orang lain. Penularan bisa melalui udara ketika kontak erat dan lama dengan
pasien kusta. Ibu penderita kusta sangat mungkin menularkan penyakit kepada anak dan
keluarganya (Aria, 1995). Penemuan kusta ini terjadi pada 19 puskesmas dari 33 kecamatan yang
ada di Cilacap dan tersebar di setiap pelosok(Profil Dinas Kabupaten Cilacap, 2009).
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 284
Minimnya pengetahuan tentang kusta menyebabkan pengidap terlambat berobat sehingga
menimbulkan cacat dan berpotensi menularkan kuman. Masa inkubasi kusta yang panjang, bisa
lebih dari 10 tahun dan tanpa rasa sakit menyebabkan pengidap kerap tidak menyadari dirinya
terkena kusta (Permanasari 2010), sehingga hal tersebut berdampak pada kasus kusta yang
setiap tahunnya meningkat. Faktor lain yang memberikan kontribusi terhadap tingginya kejadian
kusta yaitu perilaku masyarakat yang dapat menyebabkan terjadinya kusta seperti; tingkat
pendidikan yang masih rendah dimana masih ada yang tidak tamat SD diwilayah Cilacap tersebut..
Faktor lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti; ventilasi,
pencahayaan yang buruk dimana jendela jarang dibuka, kelembaban, suhu, jenis lantai, kepadatan
hunian, jenis dinding memperparah kejadian tersebut karena lingkungan fisik tersebut
menyebabkan kuman kusta bisa berkembang secara optimal dan perkembangannya akan semakin
meningkat karena ada factor lain yang mendukung. Selain factor lingkungan fisik juga kepadatan
hunian dimana penderita akan banyak kontak dengan non penderita sehingga akan menyebabkan
menularnya penyakit kusta ke anggota keluarga yang lain.
Kondisi lain yang menyebabkan tingginya angka kusta ini adalah factor prilaku hidup
bersih dan sehat. Berdasarkan hasil observasi ternyata penderita kusta bermukim di daerah
terisolir dan kumuh, dimana kebiasaan dan fasilitas sanitasinya sangat kurang sehingga prilaku
hidup bersih dan sehat para penderita kusta jauh dari yang diharapkan, sehingga Hal tersebut
memberikan sinyal semakin kuatnya kejadian kusta akan terjadi. (Suharso, 2009).
B. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik dengan metode survey
dan pendekatan kasus kontrol. Studi analitik inii adalah riset epidemiologi yang bertujuan untuk
memperoleh penjelasan tentang hubungan lingkungan dengan kejadian penyakit kusta.
Sedangkan pendekatan pada kasus-Kontrol (Case Control Study) yaitu mengidentifikasi kasus
terlebih dahulu, disusul mengidentifikasi kontrol. Setelah itu, diselidiki beberapa faktor risiko yang
disangka sebagai penyebab suatu kejadian kusta.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Analisis Bivariat
a. Hubungan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Kusta
Tabel 1. Hubungan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010
Kepadatan Hunian
Kejadian Kusta
Kasus Kontrol
N % N %
Padat 24 68,6 9 25,7
Tidak Padat 9 31,4 26 74,3
Total 35 100 35 100
P Value= 0,001 OR = 6,000 CI 95%= 2,060-17,479
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 285
Berdasarkan tabel diatas terlihat pada kelompok kasus sebagian besar memiliki tingkat
kepadatan hunian yang padat sebesar (68,6%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar
memiliki kategori kepadatan hunian yang tidak padat sebesar 74,3%.
Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-value sebesar 0,001 atau ada hubungan antara
kepadatan hunian rumah dengan kejadian kusta. Dengan OR sebesar 6 dengan CI95% 2,060-
17,479 yang artinya bahwa tingkat kepatan hunian yang padat dapat beresiko 6 kali lebih besar
dibandingkan dengan kepadatan hunian yang tidak padat.
Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya.
Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan berjubelan
(overcrowded). Hal ini tidak sehat karena selain menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga
bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama kusta akan mudah menular
kepada anggota keluarga yang lain, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan 2-3
orang di dalam rumahnya. Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit,
semakin padat maka perpindahan penyakit akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu
kepadatan hunian dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian
kusta.
b. Hubungan Kepadatan hunian Kamar Dengan Kejadian Kusta
Tabel 2. Hubungan Kepadatan Hunian Kamar Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010
Kepadatan Hunian Kamar
Kejadian Kusta
Kasus Kontrol
N % N %
Padat 24 68,6 10 48,6
Tidat Padat 11 31,4 25 51,4
Total 35 100 35 10
P Value= 0,002 OR = 5,455 CI 95%= 1,960-15,176
Berdasarkan tabel diatas terlihat pada kelompok kasus sebagian besar memiliki tingkat
kepadatan hunian kamar yang padat sebesar (68,6%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar
memiliki kategori kepadatan hunian kamar yang tidak padat sebesar 51,4%.
Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-value sebesar 0,001 atau ada hubungan antara
kepadatan hunian kamar dengan kejadian kusta. Dengan OR sebesar 5,455 dengan CI 1,960-
15,176 yang artinya bahwa tingkat kepatan hunian kamar yang tinggi memiliki risiko 5,455 kali
lebih besar untuk terjadinya kusta dibandingkan dengan kepadatan hunian kamar yang tidak tinggi.
Dalam penelitian ini ada tiga keluarga yang tinggal dalam satu rumah sedangkan
rumahnya hanya memiliki 3 kamar, kemudian Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah
sering mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, karena jarak ke tempat
pelayanan sangat jauh butuh waktu sekitar 3 jam, petugas puskesmas untuk bidang kusta yang
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 286
sedikit hampir tiap puskesmas punya 1 atau 2 petugas sehingga bisa melayani kasus secara
maksimal, sehingga penyakit kusta menjadi ancaman bagi mereka (Soewasti,1997)
c. Hubungan Suhu Dalam Rumah Dengan Kejadian Kusta
Tabel 3. Hubungan Suhu Dalam Rumah Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010
Suhu dalam rumah
Kejadian Kusta
Kasus Kontrol
N % N %
Sesuai 23 65,7 7 20
Tidak Sesuai 12 34,3 28 80
Total 35 100 35 100
P Value= 0,001 OR = 7,667 CI 95%= 2,595-22,646
Berdasarkan tabel diatas terlihat pada kelompok kasus sebagian besar memiliki suhu dalam
rumah yang sesuai sebesar (65,7%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar memiliki kategori
suhu dalam rumah yang tidak sesuai yaitu sebesar 80%.Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-
value sebesar 0,001 atau ada hubungan antara suhu dalam rumah dengan kejadian kusta. Dengan
OR sebesar 7,667 dengan CI 2,595-22,646 yang artinya bahwa tingkat suhu dalam rumah yang
tidak sesuai (31oC–37
oC) memiliki risiko 7,667 kali lebih besar untuk terjadinya kusta dibandingkan
dengan suhu dalam rumah yang sesuai (20oC–30
oC).
Hal ini terjadi karena dari hal penelitian terlihat bahwa seluruh rumah responden yang terkena
kusta mempunyai karakteristik yang sama yaitu tinggi rumahnya hanya 2 m dengan atap rumah
memakai seng sehingga rumah menjadi pengap dan panas. Hasil pengukuran suhu sesuai untuk
perkembangan kusta sehingga hal ini mendukung terjadinya kusta.
Hal ini sejalan dengan apa yang di tulis Walton (1991), bahwa suhu berperan penting dalam
metabolisme tubuh, konsumsi oksigen dan tekanan darah.
Sedangkan menurut Gould & Brooker (2003), bakteri yang bersifat BTA seperti kusta dan
mycobakterium tuberkulosis memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam rentang ini
terdapat suatu suhu optimum saat mereka tumbuh pesat. Kuman ini merupakan bakteri mesofilik
yang tumbuh subur dalam rentang 25-40ºC, akan tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu
31-37ºC (Depkes RI).
d. Hubungan Dinding Rumah Dengan Kejadian Kusta
Tabel 4. Hubungan Dinding Rumah Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010
Dinding Rumah
Kejadian Kusta
Kasus Kontrol
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 287
N % N %
Kurang Baik 25 71,4 15 42,9
Baik 10 28,6 20 57,1
Total 35 100 35 100
P Value= 0,030 OR = 3,333 CI 95%= 1,235-8,997 Berdasarkan tabel diatas terlihat pada kelompok kasus sebagian besar memiliki dinding
rumah yang kurang baik sebesar (71,4%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar memiliki
kategori dinding rumah yang baik yaitu sebesar 57,1%.
Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-value sebesar 0,030 atau ada hubungan antara dinding
rumah dengan kejadian kusta. Dengan OR sebesar 3,333 dengan CI 1,235-8,997 yang artinya
bahwa dinding rumah yang kurang baik memiliki risiko 3,333 kali lebih besar untuk terjadinya kusta
dibandingkan dengan dinding rumah yang baik.
Hal ini terjadi karena seperti yang telah di kemukakan diatas bahwa karakteristik lingkungan fisik
rumahnya seluruhnya sama yaitu rumah yang terbuat dari selain tembok, ventilasi tertutup, atap
rumah terbuat dari seng, tidak ada pencahayaan matahari yang masuk hal ini bisa dilihat dari foto
lampiran. Sehingga kondisi ini tentunya akan mempermudah diam di dalam dinding tersebut
karena dinding yang terbuat dari selain tembok sulit untuk dibersihkan sehingga bakteri tentunya
akan terus berkembang ditambah dengan keadaan yang mendukung terhadap perkembangbikan
kusta.
Hal ini sejalan dengan aturan Permenkes 1999 bahwa Dinding berfungsi sebagai pelindung,
baik dari gangguan hujan maupun angin serta melindungi dari pengaruh panas. Beberapa bahan
pembuat dinding adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata dan lain sebagainya, tetapi dari
beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau tembok (permanen)
yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah dibersihkan. (Depkes RI: 2003)
e. Hubungan Lantai Rumah Dengan Kejadian Kusta
Tabel 5. Hubungan Lantai Rumah Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010
Lantai Rumah
Kejadian Kusta
Kasus Kontrol
N % N %
Kurang Baik 20 57,1 6 17,1
Baik 15 42,9 29 82,9
Total 35 100 35 100
P Value= 0,001 OR = 6,444 CI 95%= 2,135-19,456
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 288
Berdasarkan tabel diatas terlihat pada kelompok kasus sebagian besar memiliki lantai
rumah yang kurang baik sebesar (57,1%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar memiliki
kategori lantai rumah yang baik yaitu sebesar 82,9%.
Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-value sebesar 0,001 atau ada hubungan antara lantai
rumah dengan kejadian kusta. Dengan OR sebesar 6,444 dengan CI 2,135-19,456 yang artinya
bahwa lantai rumah yang kurang baik memilikin risiko 6,444 kali lebih besar untuk terjadinya kusta
dibandingkan dengan lantai rumah yang baik.
Hal ini terjadi karena dalam penelitian ini hampir seluruhnya responden memiliki lantai yang tidak
terbuat dari ubin tetapi plester semen yang sudah rusak dan ada yang berasal dari tanah.
Tentunya kondisi ini akan mempermudah perkembangbiakan bakteri didalam tanah karena lantai
yang kondisinya seperti itu tidak dapat dibersihkan dengan desinfektan ataupun lisol, karena
terbuat dari tanah ataupun plester yang sudah rusak.
Hal ini sejalan dengan yang ditulis Depkes RI (2003) bahwa Lantai merupakan dinding penutup
ruangan bagian bawah, kontruksi lantai rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah
dibersihkan dari kotoran dan debu.
f. Hubungan Ventilasi Rumah Dengan Kejadian Kusta
Tabel 6. Hubungan Ventilasi Rumah Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010
Ventilasi
Kejadian Kusta
Kasus Kontrol
N % N %
Kurang Baik (< 10%) 21 60 9 25,7
Baik (≥10%) 14 40 26 74,3
Total 35 100 35 100
P Value= 0,008 OR = 4,333 CI 95%= 1,569-11,967 Berdasarkan tabel diatas terlihat pada kelompok kasus sebagian besar memiliki ventilasi
rumah yang kurang baik sebesar (60%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar memiliki
kategori ventilasi rumah yang baik yaitu sebesar 74,3%.
Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-value sebesar 0,008 atau ada hubungan antara ventilasi
rumah dengan kejadian kusta. Dengan OR sebesar 4,333 dengan CI 1,569-11,967 yang artinya
bahwa ventilasi yang kurang baik memiliki risiko 4,333 kali lebih besar untuk terjadinya kusta
dibandingkan dengan ventilasi yang baik.
Hal ini terjadi karena dalam penelitian ini responden yang mengalami kejadian kusta tidak
mempunyai ventilasi yang memadai bahkan sebagian besar tidak mempunyai ventilasi hanya
jendela yang dipatenkan sehingga tidak bisa di buka. Hal ini akan menyebabkan terjadinya
lingkungan yang dapat mendukung terhadap perkembangan kuman kusta karena tidak bergantinya
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 289
udara yang bersih dengan udara yang kotor sehingga akan pengap dan bau yang membuat kuman
bisa berkembang secara optimal.
Hal ini sejalan dengan yang ditulis Depkes RI (1989) bahwa rumah dengan luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Salah satu
fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilai
rumah yang <10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan
berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat
racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukup ventilasi akan menyebabkan peningkatan
kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.
Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi mediayang baik untuk tumbuh dan berkembang
biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman kusta. Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah
untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen seperti
tuberkulosis dan kusta, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang
terbawa oleh udara akan selalu mengalir (Notoatmodjo, 2003).
g. Hubungan Pencahayaan Dalam Rumah Dengan Kejadian Kusta
Tabel 7. Hubungan Pencahayaan Dalam Rumah Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010
Pencahayaan
Kejadian Kusta
Kasus Kontrol
N % N %
Pencahayaan alami tdk ada 21 60 7 20
Pencahayaan alami baik 14 40 28 80
Total 35 100 35 100
P Value= 0,002 OR = 6,00 CI 95%= 2,060-17,479 Berdasarkan tabel diatas terlihat pada kelompok kasus sebagian besar tidak memiliki
pencahyaan alami sebesar (60%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar memiliki kategori
pencahyaan alami yang baik sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah yaitu sebesar 80%.
Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-value sebesar 0,002 atau ada hubungan antara
pencahayaan dengan kejadian kusta. Dengan OR sebesar 6,000 dengan CI 2,060-17,479 yang
artinya bahwa ruangan dengan pencahayaan alami yang tidak ada atau kurang memberikan risiko
6,000 kali lebih besar untuk terjadinya kusta dibandingkan ruangan pencahayaan alami yang baik.
Hal ini terjadi karena dalam penelitian ini pencahayaan responden khususnya yang kusta tidak
dapat masuk sehingga tentunya tidak bisa membunuh kuman yang ada didalam rumah karena
pencahayaan dari sinar matahari dapat membunuh kuman sedangkan rumah yang berada pada
responden kontrol memiliki pencahayaan sinar matahari yang dapat masuk. Hal ini sejalan dengan
apa yang ditulis oleh rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup khususnya cahaya alam
berupa cahaya matahari yang berisi antara lain ultra violet.
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 290
Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat tidak menyilaukan. Pencahayaan
rumah yang tidak memenuhi syarat berisiko 2,5 kali terkena tuberkulosis dibanding penghuni yang
memenuhi persyaratan di Jakarta Timur (Pertiwi, 2004) dan pada kusta pun terjadi hal yang sesuai
dengan TB tersebut. Semua cahaya pada dasarnya dapat mematikan, namun tentu tergantung
jenis dan lama cahaya tersebut. Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang
bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya
cahaya matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genteng kaca (Notoatmodjo, 2003).
h. Hubungan Kelembaban Dengan Kejadian Kusta
Tabel 8. Hubungan Kelembaban Rumah Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010
Kelembaban
Kejadian Kusta
Kasus Kontrol
N % N %
Sesuai 21 60 7 20
Tidak Sesuai 14 40 28 80
Total 35 100 35 100
P value =0,002 OR=6,000 CI 95% 2,060-17,479 Berdasarkan tabel diatas terlihat pada kelompok kasus sebagian besar memiliki kategori
dengan kelmbaban yang tidak sesuai sebesar (60%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar
memiliki kategori kelembaban yang sesuai yaitu sebesar 80%.
Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-value sebesar 0,002 atau ada hubungan antara
kelembaban rumah dengan kejadian kusta. Dengan OR sebesar 6,000 dengan CI 2,060-17,479
yang artinya bahwa kelembaban yang tidak sesuai memberikan risiko untuk terjadinya kusta 6,000
kali lebih besar dibandingkan dengan kelembaban yang sesuai.
Hal ini terjadi rumah responden yang terkena kasus mempunyai kelembaban yang cukup baik
untuk perkembangan kuman kusta sehingga terjadi yang namanya penyakit berbeda dengan
rumah responden yang tidak mengalami kusta dimana rumahnya mempunyai tingkat kelembaban
yang tidak sesuai untuk perkembangan kuman kusta. Hal ini sejalan dengan yang ditulis oleh
Gould & Brooker (2003) bahwa rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat
kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media
yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus.
i. Kontak Dengan Penderita Lain
Tabel 9. Distribusi Frekuensi Kontak Dengan Penderita Lain Pada Responden Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010
Kontak dengan penderita lain
Kejadian Kusta
Kasus Kontrol
N % N %
Kontak 25 71,4 12 52,9
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 291
Tidak Kontak 10 28,6 23 65,7
Total 35 100 35 100
P= 0,004 OR= 4,792 CI 95%= 1,741-13,188
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa pada kelompok kasus sebagian besar pernah
kontak dengan dengnapenderita lain (71,4%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar tidak
pernah kontak dengan penderita lain (65,7%).
Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-value sebesar 0,004 atau ada hubungan antara
pernah kontak dengan penderita lain rumah dengan kejadian kusta. Dengan OR sebesar 4,792
dengan CI 95% 1,741-13,188 yang artinya bahwa pernah kontak dengan penderita lain memiliki
risiko terjadinya kusta 4,792 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak pernah kontak
dengan penderita lain.
Hal ini terjadi karena kontak merupakan suatu media untuk menularkan penyakit kusta ini
Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari
6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan. Dua
pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah
dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit.
Bagaimana pun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke
permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel
deskuamosa di kulit, Weddel et al (2000) melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri
tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al (2006) menemukan adanya sejumlah
Mycobacterium leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa.
Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar
keringat. Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schaffer pada 1988. Jumlah dari
bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard (1988), antara 10.000
hingga 10.000.000 bakteri. Pedley (1990) melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa
memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees (1991) mengindikasi
bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Sehingga hal tersebut jelas bahwa kontak merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
kejadian kusta.
j. Frekuensi Mandi Pada Responden
Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa seluruh (100%) responden ternyata selalu
melakukan mandi ≥ 2 kali 1 hari hasil analisis tersebut tidak bisa dianalisa karena ada variabel
yang tidak memenuhi syarat.
k. Pemakaian Handuk
Tabel 10. Distribusi Pemakaian Handuk Pada Responden Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 292
Pemakaian Handuk
Kejadian Kusta
Kasus Kontrol
N % N %
Bergantian 29 70,7 12 29,3
Tidak Bergantian 6 20,7 23 79,3
Total 35 50 35 50
P value= 0,000 OR= 9,264 CI 95% = 3,015-28,462 Berdasarkan tabel diatas terlihat pada kelompok kasus sebagian besar memiliki kategori
pemakaian handuk yang suka bergantian (70,7%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar
memiliki kategori pemakaian handuk yang tidak suka bergantian yaitu sebesar 79,3%.
Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-value sebesar 0,001 atau ada hubungan antara
pemakaian handuk dengan kejadian kusta. Dengan OR sebesar 9,264 dengan CI 95% 3,015-
28,462 yang artinya bahwa pemakaian handuk yang suka bergantian memiliki risiko untuk
terjadinya kusta 9,264 kali lebih besar dibandingkan dengan pemakaian handuk yang tidak suka
bergantian.
Hal ini terjadi karena pemakaian pemakaian handuk berhubungan dengan hygiene perorangan dan
dalam penelitian ini responden ternyata suka berganti-ganti handuk dengan yang lain
3. Analisis Multivariat
Ke sebelas variabel potensial sebagai faktor risiko kejadian kusta diatas, selanjutnya dilakukan
analisis secara multivariat menggunakan regresi logistik. Karena pada penelitian ini menggunakan
disain case kontrol, maka dalam analisis regresi logistik digunakan metode forward conditional.
Tabel 11. Hasil Analisis Regresi Logistik Variabel Potensial Dengan Kejadian
Kusta Di Cilacap Tahun 2010
No Variabel Β P-
value
OR 95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
1. Pemakaian Handuk 1,697 0,007 5,455 1,602 18,580
Constant -2,121
Berdasarkan hasil analisis dengan regresi logistik (terhadap sebelas variabel potensial),
seperti tampak pada tabel 4. ternyata hanya satu variabel yang menjadi faktor risiko kejadian kusta
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 293
di Kabupaten Cilacap, yaitu pemakaian handuk dengan koefisien regresi masing-masing : 1,697.
Dengan demikian faktor risiko tersebut bisa digunakan untuk merumuskan model persamaan
regresi logistik sebagai berikut :
1. Peluang efek yang terjadi secara bersama-sama dari variabel independent, yaitu :
P = 1
1 + e -(a+β1 x 1 + β2 x 2 + β3 x 3 + ……...βn x n
P = 1
1 + 2,718
P = 1
0,057
1 + 2,718
P
=
1
1 + 1,051
P = 0,36
Dengan demikian, bila seseorang mempunyai pemakaian handuk mempunyai tingkat
risiko terhadap kejadian kusta adalah sebesar 36%.
2. Besarnya sumbangan faktor risiko dari masing variabel independent terhadap kejadian kusta, yaitu sebagai berikut :
=
1
P(Y│Xi ) -{(-2,121 + 1,697 (1) + 1,447 (2) }
1 + e
a.
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 294
b. Probabilitas seseorang menderita kusta bila selalu bergantian handuk yang berisiko (x1=1) tentang
gejala kusta dengan koefisien regresi :
=
1
P(Y│Xi ) -{(-2,121 +1,697 (1))}
1 + e
=
0,88
Dengan demikian, bila pemakaian handuk sering berganti tidak memenuhi syarat maka
mempunyai probablitas menderita kusta sebesar 88 %.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan analisis univariat pendidikan responden tertinggi yaitu tamat pendidikan sekolah
dasar (84,6 %), berdasarkan pekerjaan responden terbanyak adalah petani (100 %) dan kontak
dengan penderita adalah 77,3 %.
2. Faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian kusta di Kabupaten Cilacap antara lain :
kepadatan hunian kamar, suhu dalam rumah, dinding rumah, lantai rumah, ventilasi rumah,
pencahayaan, kelembaban rumah, kontak dengan penderita kusta dengan kejadian kusta Analisis
multivariate menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh yaitu pemakaian handuk yang
berpengaruh sebesar 36%.
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin, M.D., 2007 Penyakit Kusta di Indonesia ; Masalah dan Penanggulangannya
http://ridwanamiruddin.wordpress.com/2007/05/23/abstrak-penelitian-epidemiologi-program-s2-epidemiologi-unhas/ diakses tanggal 27 Maret 2008
Badan Pusat Statistik, 2007 Cilacap Dalam Angka, BPS Kabupaten Cilacap Basri M., 2003 Faktor – Faktor Determinan Permintaan Pelayanan Kesehatan Penderita Kusta Cacat Tingkat
2 di Sulawesi Selatan Tahun 2003. http://www.litbangda-sulsel.go.id/modules.php?name=Peningk_khm&file=detail&id=20041020220054. Diakses 27 April 2008
Basuki, B. 2000. Aplikasi Metode Kasus-Kontrol. Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI, Jakarta Bidang DIKBUD KBRI Tokyo, 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistim Pendidikan Nasional.2003. http://www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas.pdf .Diakses 5 Mei 2008.
Brakel, V., Kaur, H., (2002) Leprosy Review ; Is Beggary a Chosen Profession Among People Living in
Leprosy Colony, The Lepo]OOOLLLsy Mission India, NewDelhi 110 001, India. 21 Juni 2008. Cross Hugh 2002 “ The prevention of disability for people affected by leprosy : whoose attitude needs to
change?” http://www.leprosy-review.org.uk/ diakses tanggal 27 Desember 2007 Depkes RI, 2006, Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, cetakan XVIII, Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta ------------, 2007, Modul Pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK, Subdirektorat Kusta Dan Frambusia, Jakarta.
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 295
Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap. 2007. Profil Kesehatan Kabupaten Cilacap. Dinkes Gorontalo (2005) ”Beberapa faktor yang mempengaruhi keteraturan berobat penerita kusta di Propinsi
Gorontalo” http://dinkes.gorontalo.web.id/index.php?option=com_content&task=view&id=24&Itemid=52 diakses 16 April 2008
Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2006, Buku Pedoman Surveilans Penyakit, Semarang. Farrokh, Ebrahim, Ghobad et all, “The study of disability status of live leprosy patients in Kurdistan province
of Iran” http://www.pjms.com.pk/issues/octdec207/article/article7.html Akses 28 Januari 2008 Ganapati , R., Pai, W., Kingsley S , 2003 “Disability prevention and management in leprosy : A field
Experience Volume : 69 page : 369-374 http://ijdvl.com/article.asp?issn di akses tanggal 26 Maret 2008
Ghimire, 1997, “ Secondary Deformity in Leprosy : A sosio-ekonomi perspective”
http://www.aifo.it/english/resources/online/apdrj/apdrj102/leprosy.pdf diekses tanggal 12 Maret 2008
Hastono, P., 2001, Modul Analisa Data, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Muhammed K., Nandakumar G., Thomas S., 2004. ” Disability rates in Leprosy”
www.ijdvl.com/article.asp?issn=0378-6323;year=2004;volume=70;issue=5;spage=314;epage=316;aulast=Singhi - 33k -. Diakses 12 April 2008
Murti, B. 1995, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Gadjah Mada University Press ----------- 2003, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, edisi kedua, jilid pertama. Gadjah Mada University
Press. Notoatmodjo, 1997 , Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT Rineka Cipta, Jakarta ---------------- 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta Peters E., and Eshiet (2002) “ Male-female (sex) differences in leprosy patients in south Eastern Nigeria :
fameles present late for diagnosis and teatment and have higher rates of deformity” http://www.lepra.org.uk/lr/sept02/Lep262_267.pdf diakses 12 Desember 2007
Purnaningsih, 2003 Penelitian kecacatan penderita kusta di RSU Tugurejo Semarang, 2002 http://www.fkm-
undip.or.id/data/index.php?action=4&idx=234 diakses tanggal 06April2008 Sow SO., Tiendrebeogo A., Lienhardt C., at al 1998. Leprose as a cause of Physical Disability in Rural and
Urban Areas of Mali, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9794042 Leprse revie, volume 8 (4) pp. 297-302.Diakses 16 April 2008
Srinivasan, 2004, “Leprosy d Daumerie Global Epidemiology of Infectious Diseases”
http://whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241592303_chap7.pdf diakses tanggal 2 Desember 2007
Tarusaraya, Halim P., 1996 “Penelitian Kecacatan Pasien Kusta di RSK Sitanala, Tangerang”
www.kalbe.co.id/files/cdk/files/01DaftarIsi117.pdf/01DaftarIsi117.html - 13k - Diakses 12 Pebruari 2008
Zulkifli. 2003. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-zulkifli2.pdf. Diakses tanggal 18 April 2008.
WHO, 2007. Action Progamme For The Elimination of Leprosy, Status Report 1996, World Health Organization, Genewa, Switzerland, pp.1-18.