9artikel yuldan 31.pdf

14
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4 Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 282 FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KUSTA DI KABUPATEN CILACAP TAHUN 2010 Oleh: Yuldan Faturahman 1 1. Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Siliwangi Tasikmalaya ABSTRAK Kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh mykobakterium lepra. Kusta menurut kementrian Republik Indonesia masih ada 14 propinsi yang kejadiannya masih tinggi salah satunya Jawa Tengah. Penderita Kusta di Jawa Tengah Sebanyak 1869 dan salah satu kabupaten penyumbangnya adalah Cilacap. Data kusta sampai tahun 2009 berjumlah 35 yang ditemukan secara pasif dan kemungkinan masih banyak kasus lain karena belum ada penemuan penderita secara aktif. Kusta ini disebabkan oleh risiko berupa lingkungan fisik rumah yang tidak memnuhi syarat dan kondisi yang tidak secara langsung berhubungan yaitu factor ekonomi. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi factor lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan kejadian kusta. Desain studi penelitian ini adalah kasus kontrol dengan jumlah populasi atau sampel sebanyak 70 yang terdiri dari 35 kasus dan 35 kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan yaitu suhu (p value=0,001), dinding rumah (pvalue=0,001), lantai rumah, (pvalue=0,001), ventilasi rumah (p value= 0,001), pencahayaan rumah (pvalue=0,001), kelembaban rumah (p value=0,001) dengan kejadian kusta. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bahwa variabel suhu, dinding, lantai, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, merupakan factor risiko dalam kejadian kusta dan saran dalam penelitian ini adalah Agar dari pemerintah supaya mengadakan intervensi yang lebih tegas terhadap perbaikan rumah yang kurang memenuhi syarat dan agar penyuluhan ditegaskan supaya tidak kontak dengan penderita, kemudian masyarakat supaya memperbaiki rumahnya agar rumah tersebut bisa bersih dan sehat serta hindari kontak dengan penderita. Kata kunci : Faktor risiko, Kusta, lingkungan fisik rumah. ABSTRACT Leprosy is a chronic infectious disease caused by mykobakterium leprosy. Leprosy by the ministries of the Republic of Indonesia there are still 14 provinces which are still high incidence one of Central Java. Leprosy Patients in Central Java A total of 1869 and is one of the districts penyumbangnya Cilacap. Data leprosy until the year 2009 amounted to 35 who found a passive and probably many other cases because there is no active case detection. Leprosy is caused by the risk of a physical environment that does not comply with the terms and conditions that are not directly related to the economic factor. The purpose of this study is to identify the physical environment factors associated with occurrence of leprosy. Study Design This was a case control study with population or sample size of 70 which consisted of 35 cases and 35 controls. The results showed that the variables related to the temperature (p value = 0.001), the walls of the house (p value = 0.001), floor of the house, (p value = 0.001), ventilation (p value = 0.001), home lighting (p value = 0.001), home humidity (p value = 0.001) with the incidence of leprosy. The conclusion of this research is that the variable temperature, walls, floors, ventilation, lighting, humidity, is a risk factor in the incidence of leprosy and suggestions in this research is the order of the government to intervene more firmly towards home improvement is less qualified and for extension emphasized that no contact with patients, then the community in order to improve his house for a house can be clean and healthy and avoid contact with patients. Key words: risk factors, leprosy, physical environment.

Upload: fionna-pohan

Post on 25-Apr-2015

46 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 9ARTIKEL Yuldan 31.PDF

©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4

Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011

282

FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KUSTA DI KABUPATEN CILACAP TAHUN 2010

Oleh:

Yuldan Faturahman1

1. Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Siliwangi Tasikmalaya

ABSTRAK

Kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh mykobakterium lepra. Kusta menurut kementrian Republik Indonesia masih ada 14 propinsi yang kejadiannya masih tinggi salah satunya Jawa Tengah. Penderita Kusta di Jawa Tengah Sebanyak 1869 dan salah satu kabupaten penyumbangnya adalah Cilacap. Data kusta sampai tahun 2009 berjumlah 35 yang ditemukan secara pasif dan kemungkinan masih banyak kasus lain karena belum ada penemuan penderita secara aktif. Kusta ini disebabkan oleh risiko berupa lingkungan fisik rumah yang tidak memnuhi syarat dan kondisi yang tidak secara langsung berhubungan yaitu factor ekonomi. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi factor lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan kejadian kusta. Desain studi penelitian ini adalah kasus kontrol dengan jumlah populasi atau sampel sebanyak 70 yang terdiri dari 35 kasus dan 35 kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan yaitu suhu (p value=0,001), dinding rumah (pvalue=0,001), lantai rumah, (pvalue=0,001), ventilasi rumah (p value= 0,001), pencahayaan rumah (pvalue=0,001), kelembaban rumah (p value=0,001) dengan kejadian kusta. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bahwa variabel suhu, dinding, lantai, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, merupakan factor risiko dalam kejadian kusta dan saran dalam penelitian ini adalah Agar dari pemerintah supaya mengadakan intervensi yang lebih tegas terhadap perbaikan rumah yang kurang memenuhi syarat dan agar penyuluhan ditegaskan supaya tidak kontak dengan penderita, kemudian masyarakat supaya memperbaiki rumahnya agar rumah tersebut bisa bersih dan sehat serta hindari kontak dengan penderita. Kata kunci : Faktor risiko, Kusta, lingkungan fisik rumah.

ABSTRACT Leprosy is a chronic infectious disease caused by mykobakterium leprosy. Leprosy by the ministries of the Republic of Indonesia there are still 14 provinces which are still high incidence one of Central Java. Leprosy Patients in Central Java A total of 1869 and is one of the districts penyumbangnya Cilacap. Data leprosy until the year 2009 amounted to 35 who found a passive and probably many other cases because there is no active case detection. Leprosy is caused by the risk of a physical environment that does not comply with the terms and conditions that are not directly related to the economic factor. The purpose of this study is to identify the physical environment factors associated with occurrence of leprosy. Study Design This was a case control study with population or sample size of 70 which consisted of 35 cases and 35 controls. The results showed that the variables related to the temperature (p value = 0.001), the walls of the house (p value = 0.001), floor of the house, (p value = 0.001), ventilation (p value = 0.001), home lighting (p value = 0.001), home humidity (p value = 0.001) with the incidence of leprosy. The conclusion of this research is that the variable temperature, walls, floors, ventilation, lighting, humidity, is a risk factor in the incidence of leprosy and suggestions in this research is the order of the government to intervene more firmly towards home improvement is less qualified and for extension emphasized that no contact with patients, then the community in order to improve his house for a house can be clean and healthy and avoid contact with patients. Key words: risk factors, leprosy, physical environment.

Page 2: 9ARTIKEL Yuldan 31.PDF

©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4

Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 283

PENDAHULUAN

Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan pada 55 negara di dunia, sekitar 16

negara terbanyak di dunia dimana negara kita, Indonesia termasuk urutan ke tiga, dibawah India

dan Brazil. Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization) telah mengeluarkan strategi

global untuk terus berupaya menurunkan beban penyakit kusta dalam: ”Enhanced global strategy

for futher reducing the disease burden due to leprosy 2011 – 2015”; dimana target yang ditentukan

adalah penurunan sebesar 35% kusta pada akhir tahun 2015 berdasarkan data tahun 2010.

Dengan demikian, tahun 2010 merupakan tonggak penentuan pencapaian target tersebut (Depkes,

2008).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat, sampai akhir 2008 ada 17.441

kasus kusta baru di Indonesia. Sebanyak 1500-1700 kasus kecacatan akibat kusta setiap

tahunnya juga masih ditemukan karena kebanyakan penyakit terlambat terdeteksi sehingga

terlanjur menyebabkan kerusakan organ tubuh. Menurut data Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia, saat ini masih ada 14 propinsi yang mempunyai beban kusta yang tinggi dengan angka

penemuan kasus baru lebih dari 10 per 100 ribu atau penemuan kasus barunya melebihi seribu

kasus per tahun. Daerah yang memiliki beban kusta tinggi antara lain DKI (Daerah Khusus

Ibukota) Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, seluruh Sulawesi, seluruh Papua dan

Maluku (Maryati 2010).

Penderita kusta tahun 2007 di Jawa Tengah sebanyak 1869 penderita yang terbagi atas

penderita tipe PB (Pausebasiler) atau kusta tipe kering sebanyak 167 penderita dan penderita tipe

MB (Multibasiler) atau kusta tipe basah sebanyak 1702 penderita (bankdata.depkes.go.id 2010).

Angka Penemuan kasus baru, CDR (Case detection rate) kusta di Provinsi Jawa Tengah tahun

2008 sebesar 4,9/100.000 penduduk dengan prevalensi 0,66/10.000 penduduk, mengalami sedikit

peningkatan bila dibandingkan dengan CDR tahun 2007 sebesar 4,61/100.000 dengan prevalensi

0,62/10.000 penduduk. Peningkatan angka CDR menunjukkan adanya peningkatan dalam

penemuan kasus baru. (Profil Dinas Kesehatan Jawa Tengah 2008). Sedangkan data penderita

kusta di Kabupaten Cilacap dimana kabupaten ini menargetkan tidak boleh ada kusta walaupun

satu penderita, sehingga apabila ada 1 kasus maka hal tersebut merupakan suatu kejadian luar

biasa, tetapi ternyata pada tahun 2009 terjadi kasus sebanyak 32 penderita tipe MB (Multibasiler)

dan 3 penderita tipe PB (Pausebasiler). Penderita kusta cacat tingkat 2 sebesar 14,3% dan

penderita kusta pada anak dibawah 15 tahun sebesar 6,3% (Data Kusta Dinkes Kabupaten

Cilacap 2009). Dengan ditemukannya penderita kusta tipe MB, cacat tingkat 2, dan penderita

kusta pada anak merupakan indikator penderita kusta sangat terlambat mendapat pengobatan.

Sekitar 88 % pasien menderita kusta tipe MB (Multibasiler) atau tipe basah. Kusta jenis itu dapat

menular kepada orang lain. Penularan bisa melalui udara ketika kontak erat dan lama dengan

pasien kusta. Ibu penderita kusta sangat mungkin menularkan penyakit kepada anak dan

keluarganya (Aria, 1995). Penemuan kusta ini terjadi pada 19 puskesmas dari 33 kecamatan yang

ada di Cilacap dan tersebar di setiap pelosok(Profil Dinas Kabupaten Cilacap, 2009).

Page 3: 9ARTIKEL Yuldan 31.PDF

©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4

Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 284

Minimnya pengetahuan tentang kusta menyebabkan pengidap terlambat berobat sehingga

menimbulkan cacat dan berpotensi menularkan kuman. Masa inkubasi kusta yang panjang, bisa

lebih dari 10 tahun dan tanpa rasa sakit menyebabkan pengidap kerap tidak menyadari dirinya

terkena kusta (Permanasari 2010), sehingga hal tersebut berdampak pada kasus kusta yang

setiap tahunnya meningkat. Faktor lain yang memberikan kontribusi terhadap tingginya kejadian

kusta yaitu perilaku masyarakat yang dapat menyebabkan terjadinya kusta seperti; tingkat

pendidikan yang masih rendah dimana masih ada yang tidak tamat SD diwilayah Cilacap tersebut..

Faktor lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti; ventilasi,

pencahayaan yang buruk dimana jendela jarang dibuka, kelembaban, suhu, jenis lantai, kepadatan

hunian, jenis dinding memperparah kejadian tersebut karena lingkungan fisik tersebut

menyebabkan kuman kusta bisa berkembang secara optimal dan perkembangannya akan semakin

meningkat karena ada factor lain yang mendukung. Selain factor lingkungan fisik juga kepadatan

hunian dimana penderita akan banyak kontak dengan non penderita sehingga akan menyebabkan

menularnya penyakit kusta ke anggota keluarga yang lain.

Kondisi lain yang menyebabkan tingginya angka kusta ini adalah factor prilaku hidup

bersih dan sehat. Berdasarkan hasil observasi ternyata penderita kusta bermukim di daerah

terisolir dan kumuh, dimana kebiasaan dan fasilitas sanitasinya sangat kurang sehingga prilaku

hidup bersih dan sehat para penderita kusta jauh dari yang diharapkan, sehingga Hal tersebut

memberikan sinyal semakin kuatnya kejadian kusta akan terjadi. (Suharso, 2009).

B. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik dengan metode survey

dan pendekatan kasus kontrol. Studi analitik inii adalah riset epidemiologi yang bertujuan untuk

memperoleh penjelasan tentang hubungan lingkungan dengan kejadian penyakit kusta.

Sedangkan pendekatan pada kasus-Kontrol (Case Control Study) yaitu mengidentifikasi kasus

terlebih dahulu, disusul mengidentifikasi kontrol. Setelah itu, diselidiki beberapa faktor risiko yang

disangka sebagai penyebab suatu kejadian kusta.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Analisis Bivariat

a. Hubungan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Kusta

Tabel 1. Hubungan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010

Kepadatan Hunian

Kejadian Kusta

Kasus Kontrol

N % N %

Padat 24 68,6 9 25,7

Tidak Padat 9 31,4 26 74,3

Total 35 100 35 100

P Value= 0,001 OR = 6,000 CI 95%= 2,060-17,479

Page 4: 9ARTIKEL Yuldan 31.PDF

©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4

Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 285

Berdasarkan tabel diatas terlihat pada kelompok kasus sebagian besar memiliki tingkat

kepadatan hunian yang padat sebesar (68,6%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar

memiliki kategori kepadatan hunian yang tidak padat sebesar 74,3%.

Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-value sebesar 0,001 atau ada hubungan antara

kepadatan hunian rumah dengan kejadian kusta. Dengan OR sebesar 6 dengan CI95% 2,060-

17,479 yang artinya bahwa tingkat kepatan hunian yang padat dapat beresiko 6 kali lebih besar

dibandingkan dengan kepadatan hunian yang tidak padat.

Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya.

Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan berjubelan

(overcrowded). Hal ini tidak sehat karena selain menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga

bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama kusta akan mudah menular

kepada anggota keluarga yang lain, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan 2-3

orang di dalam rumahnya. Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit,

semakin padat maka perpindahan penyakit akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu

kepadatan hunian dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian

kusta.

b. Hubungan Kepadatan hunian Kamar Dengan Kejadian Kusta

Tabel 2. Hubungan Kepadatan Hunian Kamar Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010

Kepadatan Hunian Kamar

Kejadian Kusta

Kasus Kontrol

N % N %

Padat 24 68,6 10 48,6

Tidat Padat 11 31,4 25 51,4

Total 35 100 35 10

P Value= 0,002 OR = 5,455 CI 95%= 1,960-15,176

Berdasarkan tabel diatas terlihat pada kelompok kasus sebagian besar memiliki tingkat

kepadatan hunian kamar yang padat sebesar (68,6%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar

memiliki kategori kepadatan hunian kamar yang tidak padat sebesar 51,4%.

Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-value sebesar 0,001 atau ada hubungan antara

kepadatan hunian kamar dengan kejadian kusta. Dengan OR sebesar 5,455 dengan CI 1,960-

15,176 yang artinya bahwa tingkat kepatan hunian kamar yang tinggi memiliki risiko 5,455 kali

lebih besar untuk terjadinya kusta dibandingkan dengan kepadatan hunian kamar yang tidak tinggi.

Dalam penelitian ini ada tiga keluarga yang tinggal dalam satu rumah sedangkan

rumahnya hanya memiliki 3 kamar, kemudian Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah

sering mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, karena jarak ke tempat

pelayanan sangat jauh butuh waktu sekitar 3 jam, petugas puskesmas untuk bidang kusta yang

Page 5: 9ARTIKEL Yuldan 31.PDF

©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4

Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 286

sedikit hampir tiap puskesmas punya 1 atau 2 petugas sehingga bisa melayani kasus secara

maksimal, sehingga penyakit kusta menjadi ancaman bagi mereka (Soewasti,1997)

c. Hubungan Suhu Dalam Rumah Dengan Kejadian Kusta

Tabel 3. Hubungan Suhu Dalam Rumah Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010

Suhu dalam rumah

Kejadian Kusta

Kasus Kontrol

N % N %

Sesuai 23 65,7 7 20

Tidak Sesuai 12 34,3 28 80

Total 35 100 35 100

P Value= 0,001 OR = 7,667 CI 95%= 2,595-22,646

Berdasarkan tabel diatas terlihat pada kelompok kasus sebagian besar memiliki suhu dalam

rumah yang sesuai sebesar (65,7%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar memiliki kategori

suhu dalam rumah yang tidak sesuai yaitu sebesar 80%.Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-

value sebesar 0,001 atau ada hubungan antara suhu dalam rumah dengan kejadian kusta. Dengan

OR sebesar 7,667 dengan CI 2,595-22,646 yang artinya bahwa tingkat suhu dalam rumah yang

tidak sesuai (31oC–37

oC) memiliki risiko 7,667 kali lebih besar untuk terjadinya kusta dibandingkan

dengan suhu dalam rumah yang sesuai (20oC–30

oC).

Hal ini terjadi karena dari hal penelitian terlihat bahwa seluruh rumah responden yang terkena

kusta mempunyai karakteristik yang sama yaitu tinggi rumahnya hanya 2 m dengan atap rumah

memakai seng sehingga rumah menjadi pengap dan panas. Hasil pengukuran suhu sesuai untuk

perkembangan kusta sehingga hal ini mendukung terjadinya kusta.

Hal ini sejalan dengan apa yang di tulis Walton (1991), bahwa suhu berperan penting dalam

metabolisme tubuh, konsumsi oksigen dan tekanan darah.

Sedangkan menurut Gould & Brooker (2003), bakteri yang bersifat BTA seperti kusta dan

mycobakterium tuberkulosis memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam rentang ini

terdapat suatu suhu optimum saat mereka tumbuh pesat. Kuman ini merupakan bakteri mesofilik

yang tumbuh subur dalam rentang 25-40ºC, akan tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu

31-37ºC (Depkes RI).

d. Hubungan Dinding Rumah Dengan Kejadian Kusta

Tabel 4. Hubungan Dinding Rumah Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010

Dinding Rumah

Kejadian Kusta

Kasus Kontrol

Page 6: 9ARTIKEL Yuldan 31.PDF

©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4

Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 287

N % N %

Kurang Baik 25 71,4 15 42,9

Baik 10 28,6 20 57,1

Total 35 100 35 100

P Value= 0,030 OR = 3,333 CI 95%= 1,235-8,997 Berdasarkan tabel diatas terlihat pada kelompok kasus sebagian besar memiliki dinding

rumah yang kurang baik sebesar (71,4%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar memiliki

kategori dinding rumah yang baik yaitu sebesar 57,1%.

Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-value sebesar 0,030 atau ada hubungan antara dinding

rumah dengan kejadian kusta. Dengan OR sebesar 3,333 dengan CI 1,235-8,997 yang artinya

bahwa dinding rumah yang kurang baik memiliki risiko 3,333 kali lebih besar untuk terjadinya kusta

dibandingkan dengan dinding rumah yang baik.

Hal ini terjadi karena seperti yang telah di kemukakan diatas bahwa karakteristik lingkungan fisik

rumahnya seluruhnya sama yaitu rumah yang terbuat dari selain tembok, ventilasi tertutup, atap

rumah terbuat dari seng, tidak ada pencahayaan matahari yang masuk hal ini bisa dilihat dari foto

lampiran. Sehingga kondisi ini tentunya akan mempermudah diam di dalam dinding tersebut

karena dinding yang terbuat dari selain tembok sulit untuk dibersihkan sehingga bakteri tentunya

akan terus berkembang ditambah dengan keadaan yang mendukung terhadap perkembangbikan

kusta.

Hal ini sejalan dengan aturan Permenkes 1999 bahwa Dinding berfungsi sebagai pelindung,

baik dari gangguan hujan maupun angin serta melindungi dari pengaruh panas. Beberapa bahan

pembuat dinding adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata dan lain sebagainya, tetapi dari

beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau tembok (permanen)

yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah dibersihkan. (Depkes RI: 2003)

e. Hubungan Lantai Rumah Dengan Kejadian Kusta

Tabel 5. Hubungan Lantai Rumah Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010

Lantai Rumah

Kejadian Kusta

Kasus Kontrol

N % N %

Kurang Baik 20 57,1 6 17,1

Baik 15 42,9 29 82,9

Total 35 100 35 100

P Value= 0,001 OR = 6,444 CI 95%= 2,135-19,456

Page 7: 9ARTIKEL Yuldan 31.PDF

©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4

Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 288

Berdasarkan tabel diatas terlihat pada kelompok kasus sebagian besar memiliki lantai

rumah yang kurang baik sebesar (57,1%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar memiliki

kategori lantai rumah yang baik yaitu sebesar 82,9%.

Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-value sebesar 0,001 atau ada hubungan antara lantai

rumah dengan kejadian kusta. Dengan OR sebesar 6,444 dengan CI 2,135-19,456 yang artinya

bahwa lantai rumah yang kurang baik memilikin risiko 6,444 kali lebih besar untuk terjadinya kusta

dibandingkan dengan lantai rumah yang baik.

Hal ini terjadi karena dalam penelitian ini hampir seluruhnya responden memiliki lantai yang tidak

terbuat dari ubin tetapi plester semen yang sudah rusak dan ada yang berasal dari tanah.

Tentunya kondisi ini akan mempermudah perkembangbiakan bakteri didalam tanah karena lantai

yang kondisinya seperti itu tidak dapat dibersihkan dengan desinfektan ataupun lisol, karena

terbuat dari tanah ataupun plester yang sudah rusak.

Hal ini sejalan dengan yang ditulis Depkes RI (2003) bahwa Lantai merupakan dinding penutup

ruangan bagian bawah, kontruksi lantai rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah

dibersihkan dari kotoran dan debu.

f. Hubungan Ventilasi Rumah Dengan Kejadian Kusta

Tabel 6. Hubungan Ventilasi Rumah Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010

Ventilasi

Kejadian Kusta

Kasus Kontrol

N % N %

Kurang Baik (< 10%) 21 60 9 25,7

Baik (≥10%) 14 40 26 74,3

Total 35 100 35 100

P Value= 0,008 OR = 4,333 CI 95%= 1,569-11,967 Berdasarkan tabel diatas terlihat pada kelompok kasus sebagian besar memiliki ventilasi

rumah yang kurang baik sebesar (60%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar memiliki

kategori ventilasi rumah yang baik yaitu sebesar 74,3%.

Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-value sebesar 0,008 atau ada hubungan antara ventilasi

rumah dengan kejadian kusta. Dengan OR sebesar 4,333 dengan CI 1,569-11,967 yang artinya

bahwa ventilasi yang kurang baik memiliki risiko 4,333 kali lebih besar untuk terjadinya kusta

dibandingkan dengan ventilasi yang baik.

Hal ini terjadi karena dalam penelitian ini responden yang mengalami kejadian kusta tidak

mempunyai ventilasi yang memadai bahkan sebagian besar tidak mempunyai ventilasi hanya

jendela yang dipatenkan sehingga tidak bisa di buka. Hal ini akan menyebabkan terjadinya

lingkungan yang dapat mendukung terhadap perkembangan kuman kusta karena tidak bergantinya

Page 8: 9ARTIKEL Yuldan 31.PDF

©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4

Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 289

udara yang bersih dengan udara yang kotor sehingga akan pengap dan bau yang membuat kuman

bisa berkembang secara optimal.

Hal ini sejalan dengan yang ditulis Depkes RI (1989) bahwa rumah dengan luas ventilasi

yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Salah satu

fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilai

rumah yang <10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan

berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat

racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukup ventilasi akan menyebabkan peningkatan

kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.

Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi mediayang baik untuk tumbuh dan berkembang

biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman kusta. Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah

untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen seperti

tuberkulosis dan kusta, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang

terbawa oleh udara akan selalu mengalir (Notoatmodjo, 2003).

g. Hubungan Pencahayaan Dalam Rumah Dengan Kejadian Kusta

Tabel 7. Hubungan Pencahayaan Dalam Rumah Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010

Pencahayaan

Kejadian Kusta

Kasus Kontrol

N % N %

Pencahayaan alami tdk ada 21 60 7 20

Pencahayaan alami baik 14 40 28 80

Total 35 100 35 100

P Value= 0,002 OR = 6,00 CI 95%= 2,060-17,479 Berdasarkan tabel diatas terlihat pada kelompok kasus sebagian besar tidak memiliki

pencahyaan alami sebesar (60%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar memiliki kategori

pencahyaan alami yang baik sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah yaitu sebesar 80%.

Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-value sebesar 0,002 atau ada hubungan antara

pencahayaan dengan kejadian kusta. Dengan OR sebesar 6,000 dengan CI 2,060-17,479 yang

artinya bahwa ruangan dengan pencahayaan alami yang tidak ada atau kurang memberikan risiko

6,000 kali lebih besar untuk terjadinya kusta dibandingkan ruangan pencahayaan alami yang baik.

Hal ini terjadi karena dalam penelitian ini pencahayaan responden khususnya yang kusta tidak

dapat masuk sehingga tentunya tidak bisa membunuh kuman yang ada didalam rumah karena

pencahayaan dari sinar matahari dapat membunuh kuman sedangkan rumah yang berada pada

responden kontrol memiliki pencahayaan sinar matahari yang dapat masuk. Hal ini sejalan dengan

apa yang ditulis oleh rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup khususnya cahaya alam

berupa cahaya matahari yang berisi antara lain ultra violet.

Page 9: 9ARTIKEL Yuldan 31.PDF

©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4

Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 290

Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat tidak menyilaukan. Pencahayaan

rumah yang tidak memenuhi syarat berisiko 2,5 kali terkena tuberkulosis dibanding penghuni yang

memenuhi persyaratan di Jakarta Timur (Pertiwi, 2004) dan pada kusta pun terjadi hal yang sesuai

dengan TB tersebut. Semua cahaya pada dasarnya dapat mematikan, namun tentu tergantung

jenis dan lama cahaya tersebut. Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang

bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya

cahaya matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genteng kaca (Notoatmodjo, 2003).

h. Hubungan Kelembaban Dengan Kejadian Kusta

Tabel 8. Hubungan Kelembaban Rumah Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010

Kelembaban

Kejadian Kusta

Kasus Kontrol

N % N %

Sesuai 21 60 7 20

Tidak Sesuai 14 40 28 80

Total 35 100 35 100

P value =0,002 OR=6,000 CI 95% 2,060-17,479 Berdasarkan tabel diatas terlihat pada kelompok kasus sebagian besar memiliki kategori

dengan kelmbaban yang tidak sesuai sebesar (60%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar

memiliki kategori kelembaban yang sesuai yaitu sebesar 80%.

Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-value sebesar 0,002 atau ada hubungan antara

kelembaban rumah dengan kejadian kusta. Dengan OR sebesar 6,000 dengan CI 2,060-17,479

yang artinya bahwa kelembaban yang tidak sesuai memberikan risiko untuk terjadinya kusta 6,000

kali lebih besar dibandingkan dengan kelembaban yang sesuai.

Hal ini terjadi rumah responden yang terkena kasus mempunyai kelembaban yang cukup baik

untuk perkembangan kuman kusta sehingga terjadi yang namanya penyakit berbeda dengan

rumah responden yang tidak mengalami kusta dimana rumahnya mempunyai tingkat kelembaban

yang tidak sesuai untuk perkembangan kuman kusta. Hal ini sejalan dengan yang ditulis oleh

Gould & Brooker (2003) bahwa rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat

kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media

yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus.

i. Kontak Dengan Penderita Lain

Tabel 9. Distribusi Frekuensi Kontak Dengan Penderita Lain Pada Responden Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010

Kontak dengan penderita lain

Kejadian Kusta

Kasus Kontrol

N % N %

Kontak 25 71,4 12 52,9

Page 10: 9ARTIKEL Yuldan 31.PDF

©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4

Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 291

Tidak Kontak 10 28,6 23 65,7

Total 35 100 35 100

P= 0,004 OR= 4,792 CI 95%= 1,741-13,188

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa pada kelompok kasus sebagian besar pernah

kontak dengan dengnapenderita lain (71,4%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar tidak

pernah kontak dengan penderita lain (65,7%).

Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-value sebesar 0,004 atau ada hubungan antara

pernah kontak dengan penderita lain rumah dengan kejadian kusta. Dengan OR sebesar 4,792

dengan CI 95% 1,741-13,188 yang artinya bahwa pernah kontak dengan penderita lain memiliki

risiko terjadinya kusta 4,792 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak pernah kontak

dengan penderita lain.

Hal ini terjadi karena kontak merupakan suatu media untuk menularkan penyakit kusta ini

Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari

6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan. Dua

pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah

dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit.

Bagaimana pun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke

permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel

deskuamosa di kulit, Weddel et al (2000) melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri

tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al (2006) menemukan adanya sejumlah

Mycobacterium leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa.

Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar

keringat. Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schaffer pada 1988. Jumlah dari

bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard (1988), antara 10.000

hingga 10.000.000 bakteri. Pedley (1990) melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa

memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees (1991) mengindikasi

bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.

Sehingga hal tersebut jelas bahwa kontak merupakan salah satu faktor yang menyebabkan

kejadian kusta.

j. Frekuensi Mandi Pada Responden

Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa seluruh (100%) responden ternyata selalu

melakukan mandi ≥ 2 kali 1 hari hasil analisis tersebut tidak bisa dianalisa karena ada variabel

yang tidak memenuhi syarat.

k. Pemakaian Handuk

Tabel 10. Distribusi Pemakaian Handuk Pada Responden Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010

Page 11: 9ARTIKEL Yuldan 31.PDF

©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4

Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 292

Pemakaian Handuk

Kejadian Kusta

Kasus Kontrol

N % N %

Bergantian 29 70,7 12 29,3

Tidak Bergantian 6 20,7 23 79,3

Total 35 50 35 50

P value= 0,000 OR= 9,264 CI 95% = 3,015-28,462 Berdasarkan tabel diatas terlihat pada kelompok kasus sebagian besar memiliki kategori

pemakaian handuk yang suka bergantian (70,7%) dan pada kelompok kontrol sebagian besar

memiliki kategori pemakaian handuk yang tidak suka bergantian yaitu sebesar 79,3%.

Hasil analisis uji bivariat menunjukkan p-value sebesar 0,001 atau ada hubungan antara

pemakaian handuk dengan kejadian kusta. Dengan OR sebesar 9,264 dengan CI 95% 3,015-

28,462 yang artinya bahwa pemakaian handuk yang suka bergantian memiliki risiko untuk

terjadinya kusta 9,264 kali lebih besar dibandingkan dengan pemakaian handuk yang tidak suka

bergantian.

Hal ini terjadi karena pemakaian pemakaian handuk berhubungan dengan hygiene perorangan dan

dalam penelitian ini responden ternyata suka berganti-ganti handuk dengan yang lain

3. Analisis Multivariat

Ke sebelas variabel potensial sebagai faktor risiko kejadian kusta diatas, selanjutnya dilakukan

analisis secara multivariat menggunakan regresi logistik. Karena pada penelitian ini menggunakan

disain case kontrol, maka dalam analisis regresi logistik digunakan metode forward conditional.

Tabel 11. Hasil Analisis Regresi Logistik Variabel Potensial Dengan Kejadian

Kusta Di Cilacap Tahun 2010

No Variabel Β P-

value

OR 95,0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

1. Pemakaian Handuk 1,697 0,007 5,455 1,602 18,580

Constant -2,121

Berdasarkan hasil analisis dengan regresi logistik (terhadap sebelas variabel potensial),

seperti tampak pada tabel 4. ternyata hanya satu variabel yang menjadi faktor risiko kejadian kusta

Page 12: 9ARTIKEL Yuldan 31.PDF

©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4

Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 293

di Kabupaten Cilacap, yaitu pemakaian handuk dengan koefisien regresi masing-masing : 1,697.

Dengan demikian faktor risiko tersebut bisa digunakan untuk merumuskan model persamaan

regresi logistik sebagai berikut :

1. Peluang efek yang terjadi secara bersama-sama dari variabel independent, yaitu :

P = 1

1 + e -(a+β1 x 1 + β2 x 2 + β3 x 3 + ……...βn x n

P = 1

1 + 2,718

P = 1

0,057

1 + 2,718

P

=

1

1 + 1,051

P = 0,36

Dengan demikian, bila seseorang mempunyai pemakaian handuk mempunyai tingkat

risiko terhadap kejadian kusta adalah sebesar 36%.

2. Besarnya sumbangan faktor risiko dari masing variabel independent terhadap kejadian kusta, yaitu sebagai berikut :

=

1

P(Y│Xi ) -{(-2,121 + 1,697 (1) + 1,447 (2) }

1 + e

a.

Page 13: 9ARTIKEL Yuldan 31.PDF

©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4

Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 294

b. Probabilitas seseorang menderita kusta bila selalu bergantian handuk yang berisiko (x1=1) tentang

gejala kusta dengan koefisien regresi :

=

1

P(Y│Xi ) -{(-2,121 +1,697 (1))}

1 + e

=

0,88

Dengan demikian, bila pemakaian handuk sering berganti tidak memenuhi syarat maka

mempunyai probablitas menderita kusta sebesar 88 %.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan analisis univariat pendidikan responden tertinggi yaitu tamat pendidikan sekolah

dasar (84,6 %), berdasarkan pekerjaan responden terbanyak adalah petani (100 %) dan kontak

dengan penderita adalah 77,3 %.

2. Faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian kusta di Kabupaten Cilacap antara lain :

kepadatan hunian kamar, suhu dalam rumah, dinding rumah, lantai rumah, ventilasi rumah,

pencahayaan, kelembaban rumah, kontak dengan penderita kusta dengan kejadian kusta Analisis

multivariate menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh yaitu pemakaian handuk yang

berpengaruh sebesar 36%.

DAFTAR PUSTAKA

Amirudin, M.D., 2007 Penyakit Kusta di Indonesia ; Masalah dan Penanggulangannya

http://ridwanamiruddin.wordpress.com/2007/05/23/abstrak-penelitian-epidemiologi-program-s2-epidemiologi-unhas/ diakses tanggal 27 Maret 2008

Badan Pusat Statistik, 2007 Cilacap Dalam Angka, BPS Kabupaten Cilacap Basri M., 2003 Faktor – Faktor Determinan Permintaan Pelayanan Kesehatan Penderita Kusta Cacat Tingkat

2 di Sulawesi Selatan Tahun 2003. http://www.litbangda-sulsel.go.id/modules.php?name=Peningk_khm&file=detail&id=20041020220054. Diakses 27 April 2008

Basuki, B. 2000. Aplikasi Metode Kasus-Kontrol. Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI, Jakarta Bidang DIKBUD KBRI Tokyo, 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang

Sistim Pendidikan Nasional.2003. http://www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas.pdf .Diakses 5 Mei 2008.

Brakel, V., Kaur, H., (2002) Leprosy Review ; Is Beggary a Chosen Profession Among People Living in

Leprosy Colony, The Lepo]OOOLLLsy Mission India, NewDelhi 110 001, India. 21 Juni 2008. Cross Hugh 2002 “ The prevention of disability for people affected by leprosy : whoose attitude needs to

change?” http://www.leprosy-review.org.uk/ diakses tanggal 27 Desember 2007 Depkes RI, 2006, Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, cetakan XVIII, Direktorat Jenderal

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta ------------, 2007, Modul Pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK, Subdirektorat Kusta Dan Frambusia, Jakarta.

Page 14: 9ARTIKEL Yuldan 31.PDF

©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4

Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011 295

Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap. 2007. Profil Kesehatan Kabupaten Cilacap. Dinkes Gorontalo (2005) ”Beberapa faktor yang mempengaruhi keteraturan berobat penerita kusta di Propinsi

Gorontalo” http://dinkes.gorontalo.web.id/index.php?option=com_content&task=view&id=24&Itemid=52 diakses 16 April 2008

Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2006, Buku Pedoman Surveilans Penyakit, Semarang. Farrokh, Ebrahim, Ghobad et all, “The study of disability status of live leprosy patients in Kurdistan province

of Iran” http://www.pjms.com.pk/issues/octdec207/article/article7.html Akses 28 Januari 2008 Ganapati , R., Pai, W., Kingsley S , 2003 “Disability prevention and management in leprosy : A field

Experience Volume : 69 page : 369-374 http://ijdvl.com/article.asp?issn di akses tanggal 26 Maret 2008

Ghimire, 1997, “ Secondary Deformity in Leprosy : A sosio-ekonomi perspective”

http://www.aifo.it/english/resources/online/apdrj/apdrj102/leprosy.pdf diekses tanggal 12 Maret 2008

Hastono, P., 2001, Modul Analisa Data, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Muhammed K., Nandakumar G., Thomas S., 2004. ” Disability rates in Leprosy”

www.ijdvl.com/article.asp?issn=0378-6323;year=2004;volume=70;issue=5;spage=314;epage=316;aulast=Singhi - 33k -. Diakses 12 April 2008

Murti, B. 1995, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Gadjah Mada University Press ----------- 2003, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, edisi kedua, jilid pertama. Gadjah Mada University

Press. Notoatmodjo, 1997 , Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT Rineka Cipta, Jakarta ---------------- 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta Peters E., and Eshiet (2002) “ Male-female (sex) differences in leprosy patients in south Eastern Nigeria :

fameles present late for diagnosis and teatment and have higher rates of deformity” http://www.lepra.org.uk/lr/sept02/Lep262_267.pdf diakses 12 Desember 2007

Purnaningsih, 2003 Penelitian kecacatan penderita kusta di RSU Tugurejo Semarang, 2002 http://www.fkm-

undip.or.id/data/index.php?action=4&idx=234 diakses tanggal 06April2008 Sow SO., Tiendrebeogo A., Lienhardt C., at al 1998. Leprose as a cause of Physical Disability in Rural and

Urban Areas of Mali, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9794042 Leprse revie, volume 8 (4) pp. 297-302.Diakses 16 April 2008

Srinivasan, 2004, “Leprosy d Daumerie Global Epidemiology of Infectious Diseases”

http://whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241592303_chap7.pdf diakses tanggal 2 Desember 2007

Tarusaraya, Halim P., 1996 “Penelitian Kecacatan Pasien Kusta di RSK Sitanala, Tangerang”

www.kalbe.co.id/files/cdk/files/01DaftarIsi117.pdf/01DaftarIsi117.html - 13k - Diakses 12 Pebruari 2008

Zulkifli. 2003. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-zulkifli2.pdf. Diakses tanggal 18 April 2008.

WHO, 2007. Action Progamme For The Elimination of Leprosy, Status Report 1996, World Health Organization, Genewa, Switzerland, pp.1-18.