96557385 makalah perkembangan fetus sapi

28
MAKALAH ILMU REPRODUKSI TERNAK PERKEMBANGAN FETUS SAMPAI PARTUS PADA SAPI OLEH Muh.Fajrin D1B4 10 058 KELAS B JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2012 I. PENDAHULUAN

Upload: ainin-arsyilini

Post on 20-Oct-2015

48 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

MAKALAH ILMU REPRODUKSI TERNAK

PERKEMBANGAN FETUS SAMPAI PARTUS PADA SAPI

OLEH

Muh.Fajrin D1B4 10 058

KELAS B

JURUSAN PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2012

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Reproduksi merupakan suatu bagian penting dalam memajukan usaha

peternakan. Reproduksi ternak adalah suatu sistem tubuh ternak yang secara

fisiologik tidak vital bagi kehidupan invidual tetapi sangat penting bagi kelanjutan

keturunan suatu jenis atau bangsa ternak. Mengetahui mekanisme reproduksi dan

cara pengaturannya merupakan hal yang penting untuk meningkatkan produksi

peternakan.

Kelayakan dari seekor ternak dalam hal ini ternak betina dalam suatu

usaha peternakan dapat dilihat dari kemampuannya menghasilkan anak yang

hidup dan sehat. Kemampuan ini sangat tergantung pada keseimbangan dan

interaksi beberapa faktor selama periode kebuntingan, baik yang berasal dari

induk maupun dari embrio yang dikandung. Kebuntingan dimulai sejak

bersatunya sel kelamin jantan (spermatozoa) dan sel kelamin betina (ovum)

menjadi sel baru yang dikenal dengan istilah zigot.

Secara garis besar, perkembangan janin pada seekor sapi betina melalui

tiga tahap yaitu periode ovum, embrio, fetus sampai partus atau kelahiran. Periode

ovum merupakan periode yang dimulai dari fertilisasi sampai terjadinya

implantasi. Setelah fertilisasi ovum akan mengalami pembelahan (di ampulla

isthmus junction) menjadi morulla. Pada sapi masuknya morula ke dalam uterus

terjadi pada hari ke 3-4 setelah fertilisasi. Periode embrio atau organogenesis

merupakan suatu periode ketika sel-sel berada dalam proses pembentukan organ-

organ spesifik dalam tubuh embrio, periode dimulainya implantasi sampai saat

dimulainya pembentukan organ tubuh bagian dalam. Pada sapi berkisar hari ke

12-45. Sedangkan periode fetus dimulai dari terbentuknya alat-alat tubuh bagian

dalam, terbentuknya ekstremitas, hingga lahir, pada sapi terjadi pada hari ke 45.

Embrio dan fetus berkembang mengikuti suatu pola tertentu. Pada

awalnya, jumlah sel meningkat diikuti oleh diferensiasi dan perkembangan

berbagai sistem organ. Walaupun demikian, pola perkembangan tersebut dapat

dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti potensi genetika dari tetua, status nutrisi

induk, temperatur lingkungan, ukuran induk, jumlah anak per kelahiran serta

lingkungan uterus.

Berdasarkan uraian di atas, sebagai mahasiswa peternakan sangat perlu

untuk memahami proses kebuntingan dari awal sampai partus. Dalam makalah ini

akan dibahas salah satu fase dari kebuntingan yaitu fase fetus sampai partus.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pertumbuhan fetus pada sapi?

2. Bagaimana penentuan umur embrio dan fetus?

3. Bagaimana perkembangan fetus selama kebuntingan?

4. Bagaimana perkembangan fetus prenatal?

5. Bagaimana proses partus?

6. Bagaimana selaput fetus dan placenta?

7. Bagaimana mummifikasi fetus?

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui

perkembangan kebuntingan pada fase fetus sampai partus pada sapi betina.

Manfaat yang dapat diambil dari makalah ini dapat menjadi salah satu sumber

bacaan mengenai perkembangan kebuntingan pada sapi khususnya pada fase fetus

sampai partus.

II. PEMBAHASAN

A. Pertumbuhan Fetus pada Sapi

Periode ini di mulai dari terbentuknya alat-alat tubuh bagian dalam,

terbentuknya ekstremitas, hingga lahir. Pada sapi periode ini terjadi pada hari ke

45 dan selama periode ini terjadi perubahan dan diferensiasi organ, jaringan, dan

sistem tubuh (Toelihere, 1979).

Karbohidrat merupakan kandungan zat makanan utama dalam makanan

fetus. Sekitar setengah dari kalori berasal dari glukosa, seperempat dari asam

laktat dan seperempat lagi dari asam-asam amino. Di samping itu, terdapat juga

zat atau senyawa penting yang di perlukan untuk pertumbuhan dan proses

diferensiasi yang ditransfer selektif dari induk dengan transpor aktif yang

melindungi fetus atas beban induknya. Senyawa tersebut adalah asam amino

esensial, asam lemak esensial, vitamin, dan mineral (Chaniago, D.T., dkk. 1991).

Perubahan ukuran tubuh sel telur yang telah di buahi dalam

perkembangannya menjadi embrio, fetus, dan anak sampai dewasa adalah dalam

hal jumlah dan ukuran sel. Setiap individu fetus di mulai dengan sel tunggal pada

waktu pembuahan dan membelah sebanyak 42 kali sampai lahir dan 5 kali lagi

dari lahir sampai dewasa. Secara umum, kekurangan nutrisi pada induk

mengurangi ukuran sel tapi tidak jumlahnya. Terdapat kolerasi yang kuat antara

ukuran plasenta dan ukuran fetus, walaupun hubungan sebab akibat ini belum

jelas (Chaniago, D.T., dkk. 1991).

Selama kehidupan fetus, plasenta merupakan organ yang melaksanakan

pertukaran gas dan pengeluarann hasil buangan (contoh paru-paru dan ginjal).

Menjelang seperempat pertama masa kebuntingan, organ endokrin telah

berfungsi dan setelah itu fetus menghasilkan sendiri semua hormonnya. Untuk

semua spesies yang berbeda,waktunya berbeda, tetapi pada semua ternak fungsi

endokrin fetus terjadi cukup mengherankan yaitu sangat dini. Kelenjar endokrin

fetus menghasilkan hormon yang sama seperti pada ternak dewasa, tetapi dengan

tambahan bahwa ada beberapa hormon yang sama seperti pada ternak dewasa,

tetapi dengan tambahan bahwa ada beberapa hormo di hasilkan bersama oleh fetus

dan plasenta (unit feto sampai plasenta). Demikian pula, pada peride penting

tertentu, sistem endokrin fetus mempunyai fungsi khusus yang tidak terdapat yang

dewasa seperti yang terlibat dalam penentuan kenis kelamin, persiapan

melahirkan dan memulai kelahiran (Chaniago, D.T., dkk. 1991).

B. Penentuan Umur Embrio dan Fetus

Kriteria utama untuk menentukan umur fetus adalah waktu kopulasi dan

ovulasi, atau berat dan panjang fetus, suatu pengukuran yang diambil dari ujung

hidung sampai ujung ekor melalui punggung pada suatu daratan sagital. Panjang

kaki atau kepala dipakai dalam penentuan umur fetus sapi. Semua metode ini

dapat bervariasi karena waktu ovulasi yang tepat tidak dapat ditentukan

sedangkan pengukuran berat dan panjang fetus tergantung pada bagian bangsa,

strain, umur induk, ukuran litter dan musim kelahiran.

Suatu metode ideal untuk menentukan umur fetus hendaknya berpatokan

pada diferensiasi dan perekembangan struktur-struktur embrional dan fetal yang

dinamakan horizon perkembangan. Akan tetapi informasi ini tidak tersedia untuk

ternak mamalia.

Pertumbuhan fetus dalam masa kandungan dipengaruhi oleh banyak factor

dari dalam mauPun dari luar yakni bangsa , induk dan cara pemberian makanan.

Untuk pemeriksaan umur fetus sapi di rumah-rumah potong setelah

induknya disembelih sering perluh dilakukan perkiraan umur masa kebuntingan

dengan cara visual atau dengan cara pengamatan.

Akibat berat cairan allantois setelah kebuntingan 3 bulan, maka uterus

masuk kedalam abdomen. Cerviks tertarik kearah tepi pelvisdan karena berat dari

uterus maka cerviks menempel erat pada dasar pelvis. Penentuan kebuntingan

yang lebih meyangkinkan diperlukan, perabaan fetus, cotyledon atau fremitus.

Perubahan fetus tergantung dari besar dan letaknya. Hal ini mungkin dapat

dilakukan pada semua umur kebuntingan. Pada masa kebuntingan dapat dilakukan

pada semua umur kebuntingan. Pada masa kebuntingan antara 5 dan 7 bulan

(khusunya antara 5-6.5 bulan) fetus sering tidak dapat diraba karena: terletak jauh

kedepan dan ke bawah.

Gambar 1. A = Membran dari membran chorioallantois, B = Umur fetus 35 hari

lebar < 1 jari, C dan D = Umur fetus 45 hari, E = Umur fetus 48 hari lebar 2 jari, F

= Umur fetus 52 hari lebar 3 jari, G dan H = Umur fetus 55 hari lebar 3,5 jari, I =

Umur fetus 58 hari lebar 4 jari, J = Placentome atau maternal caruncle dan fetal

cotyledon, K = Umur fetus 110 hari dengan placentome (Morrow, 1986)

Ukuran fetus secara visual, untuk membantu menentukan umur

kebuntingan dapat diringkas sebagai berikut:

Tabel 1. Penaksiran umur fetus sapi secara visual

Umur Ukuran panjang

crown-rump (cm) Ciri-ciri anatominya

3 minggu 1.3 Diameter amnion 1.9 cm

5 minggu 1.3 Diameter amnion 3.2 cm

6 minggu 3.2 Diameter amnion (agak lonjong) 5.1-3.8

cm

7 minggu 4.5 Fetus sebesar tikus kecil

8 minggu 5.7 Kelopak mata masih menutup

9 minggu 7.6 Diameter amnion (agak lonjong)10.2-5.1

cm

10 minggu 9.6 Pembentukan skeleton

11 minggu 11.5 -

12 minggu 14.0 -

3 bulan 16.6 Fetus sebesar tikus besar

31/2 bulan 19.1 Pertumbuhan tanduk di kepala mulai

nampak untuk bangsa sapi yang

bertanduk

4 bulan 26.8 Fetus sebesar tikus besar

5 bulan 40.8 Rambut perasa mulai tumbuh di mulut

dan kelopak mata. Fetus sebesar kucing

kecil

6 bulan 56.1 Rambut mulai tumbuh sekitar ujung ekor

dan jendolan tanduk

Fetus sebesar kucing besar

7 bulan 68.8 Rambut mulai tumbuh di seluruh badan,

fetus sebesar anjing kecil

8 bulan 81.6 Pertumbuhan rambut sudah sempurna

Fetus sebesar domba

9 bulan 91.8 Dentes incisivi mulai Nampak

Cotyledon umumnya mudah di raba pada sebagian besar dari

allantochorion. Seandainya fetus maupun cotyledon tidak dapat ditemukan secara

pasti (hal ini jarang sekali terjadi), maka perluh menentukan fremitus pada satu

atau kedua arteri uterine media. Pada masa kebuntingan bulan ke-3 arteri tersebut

di sebelah cornua bunting berdiameter 0,3 cm dan mempunyai fremitus tidak

nyata. Diameternya akan menjadi 2 kali lipat dengan fremitus cukup jelas pada

masa kebuntingan bulan ke-4. Penambahan diameter akan terus berlangsung

sampai mencapai 1.3 cm dengan fremitus jelas sekali pada masa kebuntingan

bulan ke-8. Arteri uterine media di sebelah cornua tidak bunting mempunyai

fremitus yang masih lemah sekali hingga bulan ke-7 masa kebuntingan dan

fremitus ini baru menjadi jelas pada masa kebuntingan bulan ke-8 dan ke atasnya.

Perkiraan Umur Kebuntingan di Atas Bulan Ke-3

Besar uterus masih tetap digunakan untuk menentukan umur kebuntingan

hingga bulan ke-4, yang mana dapat ditentukan pula lengkungan uterus yang

berkurang. Perkiraan umur selama pertengahan dan akhir masa kebuntingan

terutama didasarkan pada besar cotyledon. Oleh karena besar cotyledon yang

terdapat di sepanjang uterus berbeda besarnya, maka perluh ditentukan suatu

standard untuk menentukan letak dan besar cotyledon pada tempat ini. Hal ini

layak dilakukan pada cotyledon-cotyledon yang terletak berdekatan denga cerviks,

karena tempat ini mudah dijangkau atau di cari.

Letak fetus hendaknya jangan dipergunakan sebagai kriteria umur, sebab

letak fetus sering dipengaruhi oleh banyak factor. Misalnya, jika pemberian

makanandan minuman pada sapi dalam waktu yang lama, maka letak fetus pasti

berbeda dibandingkan dengan sapi dalam waktu yang lama, maka letak fetus pasti

berbeda dibandingkan dengan sapi bilamana rumen dalam keadaan kosong. Besar

fetus dan ektremitasnya hanya berguna dalam membantu penentuan umur

kebuntingan.

Dalam batas-batas tertentu, pemeriksaan dengan melihat keadaan luar

ternak dapat dipergunakan sebagai penentu umur pada akhir kebuntingan.

Pertumbuhan kelenjar susu dan pembengkakan vulva menunjukan tanda dekatnya

waktu partus, yang menunjukan bahwa fetus telah berumur 8 bulan.

C. Perkembangan Fetus Selama Kebuntingan

Embrio dan fetus hewan-hewan domestik berkembang mengikuti suatu

pola tertentu. Pada awalnya, jumlah sel meningkat diikuti oleh diferensiasi dan

perkembangan berbagai sistem organ. Walaupun demikian, pola perkembangan

tersebut dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti potensi genetika dari

kedua orang tuanya, status nutrisi induk, temperatur lingkungan, ukuran induk,

jumlah anak per kelahiran serta lingkungan uterus (Dziuk, 1992).

Selama dua per tiga awal kebuntingan, fetus berkembang dengan lambat

dan baru pada sepertiga terakhir kebuntingan fetus berkembang dengan sangat

cepat (Robinson, 1983 disitir oleh Tomaszewska et al ., 1991). Pertambahan

massa fetus pada sepertiga masa kebuntingan mencapai 8% dari bobot akhirnya,

sehingga wajar terdapat bubungan antara tingakat nutrisi pada periode ini dengan

bobot lahir anak khususnya diamati pada domba.

Karbohidrat merupakan sumber makanan utama bagi perkembangan

fetus. Kurang lebih setengah kalori dibutuhkan untuk pertumbuhan dan

metabolisme berasal dari glukosa, seperempat dari laktat yang dibentuk dari

glukosa dalam plasenta, sedangkan sisanya berasal dari asam amino (Linggins,

1985). Kalori tambahan bagi pertumbuhan fetus berasal dari asam amino esensial

, asam lemak esensial, vitamin dan mineral. Beberapa dari zat ini ditransfer secara

selektif dari induk ke fetus melalui mekanisme transpor yang memenuhi

kebutuhan fetus pada saat induknya mengalami defisiensi nutrisi.

Gambar 2. Berat uterus sapi beserta fetusnya selama kebuntingan (Lindays et al.,

1982)

Sumber glukosa untuk fetus berasal dari glukosa yang terdapat dalam

makanan yang dikosumsi oleh induk , simpangan glikogen hati dan dari depot

lemak, sedangkan pada hewan yang mengalami kelaparan, berasal dari pemecahan

protein. Jumlah glukosa yang tersedia untuk fetus tergantung pada kosentrasinya

di dalam aliran darah induk, yang dipelihara oleh complex control system yang

meliputi beberapa organ endokrin. Di sisi lain, level glukosa maternal

dipertahankan oleh absorbsi glukosa dari usus dan oleh aksi growth hormone,

cortikosteroid, catecholamines dan glukagon yang meningkatkan glukoneogenesis

dan membebaskan glukosa dari glikogen, sebaliknya peningkatan kosentrasi

glukosa di atas level yang normal dicegah oleh insulin dengan meningkatkan

pemecahan glukosa otot menjadi glikogen atau lemak. Sistim ini mengatur suplai

glukosa yang tepat pada keadaan stres secara luas. Hormon-hormon kebuntingan

mungkin untuk fetus (Liggins, 1985). Progesteron berfungsi tidak hanya

meningkatkan nafsu makan tetapi juga mengalihkan glukosa ke dalam sintesis

lemak yang nantinya digunakan pada saat kebutuhan metabolik fetus berada pada

puncaknya atau selama menderita kelaparan. Temperatur tinggi dapat

menyebabkan pengalitan peredaran darah dari uterus ke peripheral dalam upaya

untuk mempertahankan temperatur tubuh, hal ini akan mengurangi suplay

makanan ke fetus.

Gambar 3. Zigot, Morula dan Blastula. A = Zona pellucida, B = Blastomer, C =

Blastocoele, D = ICM, E = Trophoblast (Sorensen, 1979)

Gambar 4. Perkembangan membran fetus pada mamalia (Dari J.S. Perry (1981), J.

Reprod. Fert. 62: 321-35)

D. Perkembangan Fetus Prenatal

Fetus adalah hasil akhir dari suatu proses diferensiasi secara teratur yang

merubah zigot bersel 1 menjadi suatu reflikasi dari jenis hewan yang

bersangkutan. Selama permulaan cleavage pada suatu sel telur yang telah dibuahi,

ukuran sel tersebut berkurang secara progresif dengan sedikit perubahan bentuk.

Selama akhir perkembangan embrional ukuran sel tidak merubah secara nyata

sedangkan jumlah sel bertambah (Feradis, 2010).

Diferensiasi, pembentukan somit, organogenesis dan diferensiasi

Diferensiasi adalah suatu proses dimana sel-sel embrional bersegregasi

untuk membentuk banyak macam sel-sel usus pula. Selama permulaan

diferensiasi, sel-sel pada satu kutub blastosis, cakram benih, membentuk 3 lapisan

sel yang terpisah. Lapisan terdalam, endoderm, membentuk dinding usus,

kelenjar-kelenjarnya dan vesica urinaria. Lapisan terluar, ektoderm, membentuk

suatu tepian memanjang pada sumbuh sentral cakram benih pada permulaan

perkembangan. Tepian memanjang ini, ektoderm neural, akhirnya membentuk

medulla adrenal, otak, sum-sum tulang belakang dan semua derivat sistem syaraf,

termaksud vesicula optica, neurohypopysa dan gangila. Sel-sel ektodermal yang

terletak lateral dari ektodermneural membentuk adonohypophysa, kulit dan semua

derivatnya termaksud kelenjar mammae dan kelenjar-kelenjar lainnya, kuku,

rambut, teracak dan lensa mata. Lapisan benih ke tiga, mesoderm, antara

ektoderm dan endoderm, membentuk jaringan ikat, sistem vasculer, tulang dan

otot serta cortex adrenal. Sel-sel kelamin primer mungkin berasal dari mesoderm

atau ektoderm (Feradis, 2010).

Pembentukan somit

Segmen-segmen tubuh atau somit, yang berkembang dari lapisan luar

(lapisan somatik) mesoderm, berdiferensiasi menjadi tiga daerah yang akan

membentuk berbagai bagian tubuh fetus. Daerah pertama berkembang menjadi

tulang belakang, yang menyelubungi saluran syaraf di dalamnya. Daerah kedua,

bagian teratas dekat saluran syaraf, membentuk urat daging skeletal. Daerah

ketiga, bagian terbawah somit, membentuk jaringan ikat dan kulkit. Pada sapi

diferensiasi daerah-daerah somit dimulai 19 hari setelah ovulasi dan jumlahnya

bertambah banyak secara cepat mencapai 25 pada hari ke 23, 40 pada hari ke 26

dan 55 pada hari ke 23 (Feradis, 2010).

Organogenesis

Pada sapi permulaan pembentukan organ dan bagian tubuh berlangsung

sejak minggu ke 2sampai kle 6 masa kebuntingan. Selama periode ini saluran

pencernaan, paru-paru, hati dan pangkreas berkembang dari usus primitif.

Permulaan pembentukan sistem-sistem otot, kerangka, syaraf dan urogenetalia

sudah ditemukan. Pada hari ke 21 jantung mulai berdenyut dan sirkulasi darah

mulai berlangsung (Feradis, 2010).

Gambar 5. Gastrulla, embrio. A = Zona pellucida, B = Blastomer, C =

Blastocoele, D = Trophoblast, E = ICM, F = Entoderm, G = Mesoderm, H =

Ectoderm, I = Embrionic disc, J = Primitive steak, K = Splanchic mesoderm, M =

Coelum, N = Gut (Sorensen, 1979)

Perkembangan diferensiasi komponen-komponen fetus

Sesudah dimulai organogenesis terdapat suatu periode peningkatan

dimensi fetus secara cepat. Hal ini dapat terjadi dari pertambahan jumlah sel dan

pembesaran ukuran sel melalui pertambahan subtansi protoplasma. Pertumbuhan

dapat diuraikan sebagai mutlak dan relatif. Pertumbuhan mutlak adalah perubahan

volume panjang kepala-pangkal ekor, atau berat fetus perunit waktu. Pertumbuhan

relatif adalah pertumbuhan mutlak perdimensi permulaan interval yang diukur.

Pertumbuhan mutlak fetus tidak bersikfat liunear tetapiu bertambah secara

eksponensial sampai kelahiran, mencapai maksimum selama akhir kebuntingan,

sedangkan pertumbuhan relatif menurun kira-kira pada pertengahan kebuntingan.

Pada sapi lebih dari setengah pertambahan berat fetus terjadi selama 2 bulan

berakhir kebuntingan. Pada waktu partus berat fetus mencapai 60% berat total

konseptus(Feradis, 2010).

Gambar 6. Membran ekstraembrionic. A = Embrio, B = Ectoderm, C = Somatic

mesoderm, D = Splanchnic mesoderm, E = Entoderm, F = Coelum, G = Yolk sac,

H = Amnion, I = Ruang amnion, J = Chorion, K = Ruang amnion, L = Allantois,

M = Ruang allantois, N = Caruncle, O = Cotyledon, P = Umbilical cord

(Sorensen, 1979)

Feradis (2010) melanjutkan bahwa berbagai organ fetus bertambah

menuruT kecepatan yang berbeda-beda, yang menyebabkan perubahan

konformasi organ-organ secara kontinyu. Pola pertumbuhan fetus berlangsung

mengikuti suatu disiplin yang defenitif. Misalnya pada waktu lahir, kepala, kaki

dan sepermpat bagian depan tubuh relatif lebih berkembang dari pada otot-otot.

Pertambahan dan pertumbuhan kerangka tubuh berlangsung seragam, akan

tetapi beberapa dimensi bertambah secara lebih cepat dari pada yang lain yang

mengakibatkan perubahan proporsi tubuh. Perbedaan bangsa, terutama antara

besar dan kecil, juga terdapat untuk tinggi pundak atau panjang kepala sampai

pangkal ekor.

Pada semua hewan ternak, pertumbuhan dari blastocyst disertai dengan

perubahan bentuk menyerupai tali dan mengisi sebagian besar lumen uterus. Pada

waktu itu, terjadi proses diferensiasi yang disertai dengan pembentukan organ-

organ dari embrio dan juga pembentukan struktur extra embrionic yang kemudian

akan menjadi selaput fetus.

Beberapa germ layer berkembang dalam blastocyst, yaitu ektoderem,

mesoderem, dan endoderem, semuanya merupakan dasar dari perkembangan

selanjutnya. Setelah blastocyst berbentuk panjang seperti tali terbentuklah amnion

dan allantochorion. Pada tahap permulaan terbentuklah struktur yang ke tiga yaitu

kantung kuning telur. Kantung tersebut menyediakan makanan bagi

perkembanagan embrio pada tahap itu, tetapai lama kelamaan kantung kuning

telur akan hilang. Lipatan gabungan antara ektoderem dan mosederem (yang

sekarang disebut trophgoderm) membentuk amnion. Kantung kecil tersebut

gambung dan berisi cairan bening. Fetus yang mengapung bebas dalam cairan itu

akan terlindung dari gangguan mekanis yang mungkin dilakukan induk bila induk

tiba-tiba bergerak. Cairan amnion tetap ada selama hewan bunting, tetapi pada

sapi setelah 45 hari amnion relatif tidak banyak mengandung cairan dan fetus

tidak diupalpasi melalui dinding amnion.

Allantois berkembang dari usus bagian belakang, kemudian bergabung

dengan chorion yang merupakan selaput dibagian paling luar yang terdiri dati dua

lapisanyaitu ektoderm dan endoderm. Gabungan itu disebut allanto-chorion.

Allantois dialiri darah dan pembuluh darah tersebut berperan sebagai pembawa

zat-zat makanan dan pembuangan kotoran antara fetus dan induknya. Perlekatan

allanto-chorion ke endometrium uterus disebut plasentasi(placentation).

Bagaimana cara aliran darah anak darah dan induksaling tukar menukar

bervariasidiantara berbagai golongan hewan. Pada sapi dan domba ada daerah

kontak khusus yaitu cotyledon. Cotyledon-cotyledon tersebut kecil, bentuknya

seperti cakram dan kaya akan pembuluh darah. Dari cotyledon-cotyledon,

pembuluh-pembuluh darah itu akan menyebar ke uterus dan bagioan dari fetus.

Darah tidak langsung lewat dari dari saluran darah induk kesalurandarah fetus dan

sebaliknya, tetapi ada yang memisah kedua aliran tersebut, yaitu berupa lapisan-

lapisan yang terdiri dari sel-sel dan melalui lapisan-lapisan ini zat-zat makanan

akan lewat dala satu arah, dan sisa-sisamakanan dari arah yang berlawanan. Ada

beberapa subtansi yang tidak dapat menembus jaringan-jaringan antara fetus dan

induk karena konfigurasi molekulnya. Dari subtansi-subtansi tersebut yang

penting adalah anti bodi. Anti bodi tersebut mungkin banyak terdapat pada induk,

tetapi hanya didapati dalam jumlah sedikit pada fetus. Untuk melindungi fetus

dari penyakit, sesudah lahir, hewan harus mendapatkan anti bodi dari sumber lain.

Pada mamalia sumbernya biasanya dari kolostrum atau susu yang diproduksi

selama dua atau tiga hari permulaan laktasi.

Gambar 7. Perkembangan allantois pada sapi dan babi (Sorensen, 1979)

Pada babi dan kuda, blasocyst menekan dinding uterus waktu ia

berkembang karena ini blastocyst kemudian melekat dan membentuk plasenta tipe

difusi atau cotyledon. Bila implantasi gagal karena matinyaembrio, hewan

kemudian akan kembali estrus. Tentang kapan hewan akan kembali estrus

tergantung pada tahap mana embrio tersebut mati. Jika pada domba embrio mati

sebelum 12 hari sesudah fertilisasi dan pada sapi kira-kira 14 hari sesudah

fertilisasi, hewan akan kembali estrus sehinggasiklus estrus akan tanpak normal.

Bila kematian embrio terjadi lebih lama dari waktu diatas, corpus luteum ada pada

waktu yang cukup lama dan hewaan akan kembali menerima jantanya pada

waktui yang tidak sesuai dengan panjang siklus yang normal. Panjang siklus yang

tak tentu, terutama bila terlalu lama, dan terjadi pada hewan-hewan yang telah

dikawinkan, maka hal itu dapat menjadi petunjuk terjadinya interfertilitas karena

adanya embrio yang mati (Lindsay et al., 1982).

E. Proses Partus

Persiapan partus

Waktu lahir, pemisahan plasenta akan seketika memutus suplai oksigen

dan glukosa bagi anak. Agar anak yang lahir dapat hidup, harus ada pendewasaan

paru-paru. Ini melibatkan surfaktan paru-paru yang cukup supaya paru-paru dapat

di pertahankan dalam keadaan menggembung. Juga harus terdapat cadangan

karbohidrat dan lemak tubunh untuk membantu hidup anak sampai anak mendapat

konsumsi susu. Mekanisme proses ini semuanya di kontrol dari bagian korteks

kelenjar adrenal fetus.

Memulai Kelahiran

Persoalan apakah fetus atau induk yang menentukan di mulainya proses

kelahiran telah lama di perdebatkan. Mekanisme untuk memulai kelahiran

berbeda antara spesies. Akan tetapi, untuk ternak peliharaan sama, yaitu fetus

yang mengontrol di mulainya proses melahirkan.

Ringkasannya, pada saat menjelang kelahiran, hipotalamus fetus

menghasilkan ACTHRH (pelepas hormon ACTH). Ini menyebabkan lonjakan-

lonjakan sekresi ACTH fetus yang kemudian menyebabkan peningkatannya

sekresi, kortisol. Kortisol melewati plasenta dabn mengakibatkan peningkatan

PGF2, peningkatan kadar estrogen, dan penurunan progesteron.

Gambar 8. Fetus mengontrol mulainya proses kelahiran

PGF2α menyebabkan kontraksi miometrium, yang merangsang pelepasan

oksitosin yang membantu mempertahan kontraksi miometrium tersebut. Relaksin

dan PGF2α mungkin terlibat dalam melepaskna serviks, yang di perlukan fetus

untuk melewati kelahiran. Urutan rangkaian proses melahirkan sama untuk ternak

peliharaan lain, kecuali pada kambing yang brangkaian kejadian ayang di

gambarkan di atas berakhir dengan luteolisis (penghancuran CL). Hal ini terjadi

karena pada kambing plasentax tidak berfungsi progesteron selama kebuntingan.

Proses Partus

Kegelisahan merupakan salah satu tanda-tanda luar akan melahirkan.

Walaupun melahirkan adalah kondisi fisiologis normal, tetap berarti bahwa benda

besar harus di dorong keluar melalui saluran relatif kecil. Pada akhir kebuntingan,

pligamen pelvis menjadi lebih relaks, vulva menjadi kendor samapi beberapa kali

ukuran normalnya, Jumalh mukosa meningkat, dan penutup serviks mencair.

Pelepasan fetus dan plasenta keluar di lakukan oleh kontraksi otot0otot

uterus dan dinding perut. Proses kelahiran di mulai dengan dimulainya kontraksi

kuat dan teratur dari uterus dan pelebaran serviks.

Proses kelahiran biasanya di bagi 3 fase : (1) pelebaran serviks ; (2)

pengeluaran fetus; (3) pengeluaran plasenta.

Otot utama yang berkontraksi adalah miometrium. Bila serviks dan vagina

di perluas sebuah refleks yang di sebut refleks ferguson di mulai yang

menyebabkan kontraksi perut. Kontraksi perut di tambah dengan kontraksi uteru

akan mendorong fetus keluar. Kontraksi uterus mulainya di sebabkan oleh

PGF2α. PGF2α juga meningkatkan sensitifitas uterus terhadapa oksitoksin.

Dengan demikian, kontraksi menjadi semakin kuat. Berbeda dengan apa yang

sebelumnya di kira oksitosin di lepaskan dari pituitari di perlukan untuk

mengeluarkan fetus. Telah di sbutkan bahwa relaksi (dan mungkin PGF2α)

membantu ligamen pelvis menjadi relaks dan melebarkan serviks. Sudah tentu,

tanpa mengendornya seviks, kelahiran tidaka akan terjadi secara alami pada

hewan beranak banyak, seperti babi,kontraksi dimulai tempat diatas anak babi

yang berada dekat serviks sementara di belakangnya uterus tetap diam. Ini berarti

bahwa fetus yang lahir belakangan tidak mati lemas. Tabel 2 memperlihatkan fase

proses kelahiran dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan ternak

peliharaan.

Setelah pengeluaran fetus, membran plasenta lepas dari kotiledon (pada

ruminansia) dan plasenta di keluarkan, normalnya 7-8 jam setelah kelahiran.

Posisi Anak

Posisi kelahiran normal adalah kaki depan keluar pertama dengan kepala

terletak di antara mkedua kaki. Kontraksi uterus menyebabkan kuku di tusukan ke

plasenta keluar cairan amnion yang berfungsi sebagai pelicin. Gambar 10 dan 11

menunjukan posisi normal dan posisi salah dan juga cara-cara untuk

memperbaikinya pada sapi. Hal yang sama dapat di terapkan pada domba,

kambing, dan kuda. Karena babi mempunyai banyak anak fetus relatif kecil dan

jarang terjadi kesulitan melahirkan. Pada babi, yang mungkin pertama keluar

kepala atau kaki. Posisi posterior menyebabkan tingkat kematian.

Berikut ilustrasi fetus sapi menjelang lahir (Akoso, B.T., 1996)

Gambar 9. Fetus menjelang partus

1. Posisi normal dengan kaki depan dan moncong menjulur ke arah

luar

2. Posisi abnormal, leher terpuntir ke belakang

3. Posisi abnormal, kakai depan melipat ke belakang

Tabel 2. Fase proses kelahiran dan peristiwa dan berkaitan pada ternak peliharaan

Fase proses

kelahiran

Kekuatan

mekanis

Periode Peristiwa terkait

I

Pengendoran

serviks

II

Pengeluaran

fetus

III

Pengeluaran

plasenta

Kontraksi

yang teratur

dari uterus

Kontraksi

uterus dan

perut

Kontraksi

uterus

Mulai dari

kontraksi uterus

sampai serviks

mengendor

secara penuh dan

terus sampai ke

vagina

Dari

pengenduran

sempurna

serviks sampai

fetus lahir

Dari lahirnya

fetus samapi

pengeluaran

plasenta

Kegelisahan induk

perubahan posisi fetus

dan postur

Induk berbaring dan

ngerejan. Amnion

terlihat pada vulva.

Pecahnya amnion dan

lahirnya fetus

Pembebasan vili korion

dari jaringan induk.

Inversi cairan.korion

sampai alantois.

Ngerejan dan

pengeluaran

membungkus fetus.

Dari E.S.E Hafez (Editor) (1980) Reproduction in farma animals, hal 279. Lea

and Febiger; Philadelphia

Hendaknya di perhatikan bahwa tangan tidak di letakan dalam dan juga

jangan di beri bantuan, kecuali jika benar-benar di perlukan. Infeksi mudah terjadi

lewat serviks yang mengendor. Kebersihan dan zat pelicin. Jangan mencoba ikut

campur tangan kecuali bila hidung atau kaki telah terlihat kira-kira selama

setengah jam atau bila satu atau dua kaki belakang atau 1 kaki depan dan hidung

telah terlihat.

Gambar 9. Posis/ letak normal dan letak salah (1) Posisi anterior normal dari anak

sapi dalam posisi baik untuk kelahiran. (2) postur atau bentuk anjing duduk posis

salah yang amat serius. Kakin belakang harus di tarik kembali kelahiran normal

dapat terjadi. Dalam hal ini dapat di perlukan bantuan awal yang profesional (3)

keadaan posisi kepala membelok kebelakang ini memerlukan penariak/pemutaran

dan leher dengan tangan anak sapi di dorong kebelakang dan segera di lepaskan

untuk memegang monciong hidungnya. Kepala kemudian diputar ke saluran

kelahiran. Dalam beberapa rantai khusus untuk membantu kelahiran di lingkarkan

di leher di belakang telinga dan terus kemulut dengan cara yang di sebur war

bridle. Ini memberikan tariakn yang lebih besar untuk meluruskan letak kepala.

Harus hati-hati jangan sampai melukai saluran kelahiran karena terbukanya

rahang anak sap akibat tarikan yang di lakukan (4) perbaikan letak kaki. Anak

sapi didorong kedepan dan kaki yang tertinggal di pegang dengan telapak tangan.

Kaki di bawah keluar dan kemudian seperti engsel di pinggiran pelvis. Khusus

yang lebih sulit mungkin memerlukan rantai (obsterical chain) pada kakinya.

Gambar 10. Posisi letak normal dan salah (lanjutan). (5) posisi belakang dan kaki

belakang menjulur. Kelahiran darin posisi ini terjadi tanpa kerusakan; akan tetapi

bantuan mungkin diperlukan bila kelahiran mundur sebab berbahaya karena dapat

memutuskan tali pusat dan akhirnya mengakibatkan kekurangan oksigen bagi

anak sapi (6) posisi pantat merupakan posisi salah yang serius.Ini mungkin dapat

di perbaiki dengan mendorong anak sapi kedepan dan tarik kaki belakang

kesaluran kelahiran (lihat nomor 8) (7) posisi terbalik dan posisi pantat.Bantuan

yang profesional diperlukan. (8) perbaikan posisi pantat. Anak sapi di dorong

kedepan. Kemudian setiap kaki yang membengkok kelahiran. Cara lain yaitu

dengan menjerat pergelangan kaki.

Bila fetus terlalu besar, proses kelahiran menjadi sulit dan fetus bisa mati

dan ada kemungkinan induk bisa mati juga. Sebaliknya, bila terlalu kecil,

kemungkinan besar fetus juga akan mati karena tidak mampu menemukan

ambing, berkompetisi dengan temannya, mengikuti induknya, dan tidak mampu

beradaptasi, dengan iklim yang ekstrim. Faktor yang paling peenting yang

mempengaruhio bobot lahir adalah galur nutrisi pada akhir kebuntingan dan juga

ukuran liter.

F. Selaput Fetus dan Placenta

Membran fetus atau selaput ekstra-embrionik berfungsi sebagai pelindung

fetus, sarana pengangkut makanan dari induk ke fetus, sarana penampung sisa

hasil metabolisme dan tempat sintesa enzim dan hormon. Fungsi tersebut terakhir

penting untuk mempertahankan kebuntingan. Selaput fetus terdiri dari kantung

kuning telur primitif, amnion, allantois dan trophoblast atau chorion yang

membentuk chorioallantois bila bersatu dengan allantoi. Trophoblast atau chorion

adalah tenunan selaput foetal yang sangat penting karena ia berfungsi

mengabsorbsi, memindahkan dan menangani zat-zat makanan dan bahan-bahan

sisa. Ia mempunyai daya erosif terhadap endometrium yang membantu pertautan

blastocyst, dan ia mempunyai fungsi regulasi karena merupakan tempat sintesa

enzim dan hormon.

Gambar 11. Diagram kantung chorion sapi pada periode akhir masa foetal.

Kantung air seni bermuara ke dalam kantung allantois melalui urachus. A-C:

kantung aminon; A-CH : amnion-chorion; AL-C: kantung allantois; AP : pustula

amnion; B : kantung air seni; C : kotiledon; E ; exocoelum; K ; ginjal; NT ; ujung

chorion yang nekrotik; U : urethra; UM : umbilicus; UR : uracchus. Sumber :

E.S.E. Hafez, Reproducdition in Farm Annimals (Philadelphia : Lea & Febiger,

1968).

Kebutuhan embrio dan feotus disuplai dan diusahakan sebagai berikut :

air, oksigen dan zat-zat makanan diambil dari struktur-struktur induk seperti

uterus dan, dan sesudah terjadi pertautan placenta, darah indukyang dibawa ke

embrio dan feotus melalui kantong kuning telur, chorion amniotik dan chorio

allantois. Kedua struktur tersebut terdahulu berkembang pada awal kehidupan

embrio dan hanya berfungsi untuk suatu priode yang singkat selama beberapa

minggu sampai chorioallantois berkembang. Bahan sisa dari embrio dan feotus

seperti karbondioksida dan urea dieliminer melalui struktur yang sama. Rongga

allantois meyimpan bahan sisa dari ginjal fetus. Usus besar dan rektum fetus

meyimpan bahan sisa dari saluran pencernaan sebagai meconium. Cairan foetal

memungkinkan pertumbuhan dan pergerakan fetus dengan memperluas lumen

uterus. Perlindungan embrio dan fetus

Terutama dilakukan oleh amnion, walaupun allantois, uterus dan tubuh

induk ikut membantu dalam fungsi tersebut. Panas dan imunitas terhadap penyakit

pada anak yang baru lahir diperoleh dari tubuh induk. Badan-badan imun ini

terutama diperoleh melalui kolostrum

Amnion terbentuk kurang lebih 13 sampai 16 hari sesudah konsepsi. Ia

adalah suatu kantong ektodermik yang timbul dari suatu kantong ektodermik yang

timbul dari suatu pelipatan ke luar chorion, atau dari suatu ruang di dalam masa

sel-dalam pada blastocyst, sebagai suatu kantung berdinding rangkap yang secara

sempurna mengelilingi fetus, kecuali pada cincin imbilicus. Sewaktu kantung ini

sudah terbentuk secara lengkap, ia diisi dengan cairan amnion tempat embrio

bersuspensi dan dengan demikian merupakan pelindung mekanik terhadap fetus.

Dinding amnion mengandung suatu lapisan tipis urat daging licin yang

berkontraksi dan menimbulkan ketegangan pada katung amnion. Cairan amnion

juga mencegah adhesio antara tenunan lunak embrio yang berkembang dengan

selaput-selaput di sekelilingnya yang dapat menyebabkan kelainan bentuk. Lapis

dalam dari kantung berdinding ganda ini adalah “amnion sejati” dan lapis luar

adalah “amnion palsu” yaitu chorion amniotik atau bagian tropoblast atau serosa

yang membungkus amnion sejati. Sebelum allantois terbentuk dan bagian luarnya

bersatu dengan chorion, maka chorion amniotik berfungsi untuk waktu yang

sangat singkat sebagai penyalur makanan dan bahan sisa untuk embrio.

Selama periode perkembangan fetus, amnion adalah suatu selaput

transparan yang kuat. Cairan amnion bersifat jernih, tidak berwarna, dan mukoid.

Volumenya dapat mencapai 2.000 sampai 8.000 ml atau rata-rata 5.000 sampai

6.000 ml (Arthur, 1965). Cairan amnion mengandung pepssin, protein, fruktosa,

lemak dan garam dan bersifat bakterisidal dan mencegah adhesio.

Sumber cairan amnion pada permulaan sampai pertengahan kebuntingan

mungkin adalah epitel amnion dan urine fetus. Sewaktu kebuntingan melanjut,

volume cairan allantois meningkat sedangkan volume cairan amnion tetap statik

tetapi menjadi kental dan berkilau karena sphincter kantung air seni mencegah

pelepasan lebih lanjut urine ke dalam rongga amnion. Sumber cairan amnion sejak

saat itu mungkin adalah cairan ludah dan sekresi nasopharynx fetus . volum cairan

amnion mungkin diatur melalui penelanan oleh fetus (Arthur 1965). Fetus normal

tidak menghirup cairan amnion membantu kelahiran karena konsistensinya yang

licin dan mukoid melumasi fetus dan jalan kelahiran.

Allantois timbul pada minggu kedua dan ketiga masa kebuntingan sebagai

suatu kantung luar usus belakang segera sesudah usus tersebut terbentuk.

Allantois terdiri dari entoderm yang ditutup oleh suatu selaput vaskuler mesoderm

splanchnopleurik. Lapisan luar allantois kaya akan pembuluh-pembuluh darah

yang berhubungan dengan aorta fetus melalui arteria umbilicalis dan dengan hati

serta vena cavaposterior melalui vena umbilicalis.

Posisi Fetus dalam Uterus

Uterus yang terletak sejajar dengan poros tubuh induk membutuhkan fetus pada

bagian ketiga akhir masa kebuntingan untuk mengambil posisi longintudinal

sesuai dengan sumbu panjang induk. Selama tengahan pertama masa kebuntingan,

fetus yang kecil dapat terletak pada sembarang arah. Sesudah lima bulan panjang

fetus menjadi lebih besar daripada diameter uterus. Dorsum atau bagian punggung

fetus terletak berhadapan dengan curvatura mayor atau permukaan dorsal uterus

dan umbilicus fetus terletak pada curvatura minor atau permukaan ventral uterus.

Pada kebuntingan 6 bulan 95% fetus terletak pada presentasi longintudinal

anterior ( Arthur, 1964).

Pada permulaan kebuntingan letak anterior dan posterior masing-masing

50%. Pada akhir kebuntingan 95% fetus terdapat pada presentasi longintudinal

anterior dengan kepala menghadap ke serviks, sedangkan 5% fetus terdapat pada

presentasi longintudinal posterior dengan bagian belakangnya menghadap ke

serviks. Letak sungsang mungkin ditentukan secara herediter (Woodward dan

Clark, 1959).

G. Mummifikasi Fetus

Pengertiannya adalah kematian fetus di dalam uterus dimana tidak

tercemari oleh mikroorganisme menyebabkan cairan fetus diserap oleh dinding

uterus setelah terjadi autolisis dan tubuh fetus mengering dan keras(mummi)

disertai proses involusi uterus yang normal. Mummifikasi pada ternak biasa

terjadi pada pertengahan sampai menjelang akhir kebuntingan.mummifikasi fetus

pada sapi bersifat haematik dimana saat karunkula mengalami involusi terjadi

pendarahan endometrium dan selapu fetus dan diikuti absorbsi plasma darah. Hal

yang dapat menyebabkanmummifikasi fetus adalah kematian fetus non infeksius,

torsio uteri, tali pusat yang terjepit sehingga supali darah terhambat, mummifikasi

bisa terjadi pada semua hewan ternak seperti sapi, kambing, domba, babi serta

anjing dan kucing pun bisa mengalaminya.

Gejala yang bisa dilihat ketika terjadi kematian fetus sampai terjadi

mumifikasi antara lain kegaglan birahi dengan corpus luteum persisten, nafsu

makan berkurang, susah defekasi, kadang disertai kholik. Pertolongan kasus ini

pada induk terantung spesies hewannya. pada hewan polipara seperti babi, anjing

dan kucing dimana anak lebih darisatu maka fetus yang mengalami mumifikasi

akan keluar bersamaan dengan etus yang normal saat partus normal, fetus yang

mengalami mumifikasi tidak berbau dan berwarna gelap. pada hewan monopara

seperti sapi dan kuda penyuntikan stilbestrol 50-80mg atau estradiol benzoat 5-

10mg secara intramuskuler akan menghasilkan kontraksi uterus yang akan

mendorong keluar fetus dalam jangka waktu 32-72 jam. selain preparat estrogen

diatas pengobatan juga bisa dilakukan menggunakan preparat PGF2Alfa atau

oksitosin.Setelah berhasil dalam pengeluaran fetus induk akansegera sembuh dan

siklus estrus berjalan normal lagi.

III. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

perkembangan janin pada sapi melalui tiga tahap utama yaitu periode ovum,

embrio dan fetus. Periode fetus dimulai dari terbentuknya alat-alat tubuh bagian

dalam, terbentuknya ekstremitas, hingga lahir, pada sapi terjadi pada hari ke 45.

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, B.T. 1996. Kesehatan Sapi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Chaniago, D.T., dkk. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku, dan Produksi Ternak di

Indonesia. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dan International

Development Program of Australian Universitas and Colleges. PT.

Gramedia Pustaka. Jakarta.

Feradis. 2010. Reproduksi Ternaa. Alfabeta. Bandung.

Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta.

Naufal, M. N. N. 2012. Perkembangan Embrio Sampai Partus. http://diary-

veteriner.blogspot.com/2012/02/perkembangan-embrio-sampai-

partus.html. Diakses pada Tanggal 30 April 2012.

Sukra, Yuhara. 2000. Wawasan ilmu Pengetahuan Embrio : Benih Masa Depan.

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Institut pertanian Bogor. Bogor.

Toelihere, M.R. 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau.

Universitas Indonesia. Jakarta.

Toelihere,M.R. 1979. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Angkasa. Bandung.