9 tinjauanmalparkteklilik

22

Click here to load reader

Upload: annandra-rahman

Post on 24-Nov-2015

8 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

w

TRANSCRIPT

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP MALPRAKTEK MEDIK

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP MALPRAKTEK MEDIK

DILIHAT DARI ASPEK HUKUM PIDANA

Oleh : Lilik Purwastuti Yudaningsih

Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jambi

ABSTRAKMalpraktek medik terjadi dalam hal seorang dokter menjalankan tugas profesi, kemudian standar profesi tidak dipenuhi dan hak pasien dibahayakan atau dirugikan serta ada kesalahan medis yang dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter yang bersangkutan KUHP bisa menjerat perbuatan dokter tersebut melalui pasal-pasal 322, 224, 170(2), 179 tentang menyimpan rahasia dokter ; padal-pasal 347, 348, 349, 350, 299 tentang abortus provocatus ; pasal-pasal 359, 360, 361 tentang kelalaian yang nerakibat luka-luka berat atau mati ; pasal-pasal 89, 90, 222, 242, 283, 344, 345, 351, 522. Dalam praktek jarang sekali terjadi kasus-kasus malpraktek medik diungkap dan diselesaikan secara tuntas melalui tahap-tahap pemeriksaan perkara pidana : penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang. Hal ini disebabkan karena tidak ada Undang-undang yang menjadi patokan dasar perihal telah terjadi malpraktek medik.

Kata Kunci: Malpraktek Medik, Hukum PidanaI. PENDAHULUAN

Pada sejarah terjadinya pengobatan, dokter diidentikkan dengan dewa penyembuh yang diagung-agungkan masyarakat, karena kemampuannya mengetahui hal yang tidak tampak dari luar. Apalagi saat itu adakalanya kesembuhan dari penyakit diperoleh setelah sang dokter membaca doa-doa untuk pasiennya, sebagaimana yang biasa yang dilakukan oleh rohaniwan, (Veronica Kumalawati, 1989 :13)

Di dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan kemajuan perkembangan pikiran manusia, unsur pemujaan ini secara berangsur-angsur menghilang. Walaupun demikian, kedudukan dan peran dokter tetap dianggap lebih tinggi di mata masyarakat, dan tetap mendapat penghormatan yang lebih bila dibandingkan dengan profesi lainnya. Timbulnya kedudukan yang lebih tinggi ini, disebabkan karena kebutuhan pasien yang datang dalam keadaan sakit dan sangat memerlukan pertolongan dokter guna kesembuhan dirinya. Tidak jarang pula pasien berada dalam kondisi yang lemah yang menggantungkan hidup dan matinya dengan percaya sepenuhnya kepada sang dokter.

Tidak sedikit pasien yang berstatus sosial ekonomi tinggi memohon kepada dokter untuk kesembuhannya berapapun biayanya akan dibayar. Mereka lupa bahwa kesembuhan, kesehatan dan kematian bukan dokter penentu utamanya. Dokter hanyalah seseorang yang secara kebetulan diberi kemampuan lebih oleh Allah SWT, untuk berikhtiar mengobati seseorang yang sedang diuji oleh Allah dengan penyakit yang dideritanya. Pola hubungan paternal seperti itu, secara berangsur-angsur berubah menjadi pola hubungan partner antara dokter dengan pasien, dimana dokter tidak mampunyai kedudukan lebih tinggi dari pasien, tetapi pasien mempunyai kedudukan yang sejajar dengan dokter yang berkewajiban mengobatinya.

Kemajuan tekhnologi bidang bio medis disertai dengan kemudahan dalam memperolah informasi dan komunikasi pada era globalisasi ini memudahkan pasien untuk mendapatkan second opinion dari berbagai pihak baik dari dalam maupun dari luar negeri, yang pada akhirnya bila sang dokter tidak berhati-hati dalam memberikan penjelasan kepada pasien, akan berakibat berkurangnya kepercayaan pasien kepada para dokter. Dan yang lebih parah, lagi ketidakpuasan pasien akan berujung dengan anggapan bahwa dokter telah melakukan malpraktek (praktek yang jelek) kepada pasien tersebut.

Di kalangan masyarakat awam (the man in the street) telah lama lahir suatu anggapan klasik bahwa seolah-olah setiap kejahatan yang terjadi, pasti dilakukan oleh golongan bawah atau masyarakat miskin tidak berpendidikan dan pada umumnya terdesak untuk memenuhi kebutuhan perut.

Anggapan kuno seperti ini tidak salah dan tidak dapat dibenarkan seutuhnya. Hal ini dapat dilihat dari segi kuantitas, yang mana telah menunjukkan semakin meningkatnya jenis kejahatan yang dilakukan oleh kalangan atas dan mempunyai pendidikan serta keahlian khusus, disebut juga kejahatan di lingkungan profesi (kejahatan profesi).

Kejahatan profesi pada umunya merupakan suatu bentuk kejahatn yang dilakukan di belakang meja tanpa dukungan peralatan kriminil. Kenapa kejahatan profesi bisa terjadi, padahal kita tahu bahwa semua organisasi profesi seperti advokat, wartawan, notaris dan dokter mempunyai kode etik tersendiri. Kode etik ini membawa semua kalangan profesi agar berhati-hati dalam melaksanakam tugas serta membawa manfaat dengan nilai-nilai luhur yang adil. Kenyataannya dalam menjalankan profesi ada kecenderungan kearah penyimpangan-penyimpangan yang dapat diancam dengan hukuman pidana.

II. PERUMUSAN MASALAH

Malpraktek medik merupakan salah satu jenis kejahatan yang dilakukan oleh kalangan profesi, dalam hal ini profesi dokter. Uraian lebih lanjut akan melihat atau meninjau malpraktek medik dari aspek hukum pidana materiel maipun hukum pidana formil (hukum acara pidana).

Pada akhir-akhir ini masalah malpraktek dalam pelayanan kesehatan makin banyak dibicarakan, demikian juga dengan jumlah pengaduan yang diterima oleh profesi semakin meningkat. Meningkatnya jumlah pengaduan kasus malpraktek diketahui dari banyaknya kasus yang diadukan ke pengacara. Sejalan dengan membaiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi penduduk, jumlah anggota masyarakat yang memanfaatkan jasa para pengacara dalam mencari keadilan semakin meningkat pula. (M. Zuhri, 2005 : 189)

III. PEMBAHASAN

3.1. Pengertian Malpraktek Medik

Malpraktek dalam istilah bahasa inggrisnya malpractice menurut The Contemporary English Indonesia Dictionary berarti perbuatan atau tindakan yang salah. Juga berarti praktek buruk (badpractice) yang menunjukkan pada setiap tindakan yang keliru (Guwandi, 1987:4).

Malpractice menurut Jhon M. Echols dan Hasan Sadily dalam kamus Inggris Indonesia berarti cara pengobatan pasien yang salah. Adapun ruang lingkupnya mencakup kurangnya kemampuan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban profesional atau didasarkan kepada kepercayaan (Soekanto, 1985:6).

Malpraktek dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Kunstfout (seni salah), merupakan suatu tindakan medis yng dilakukan tidak denga sengaja akan tetapi disini ada unsur lalai yang tidak patut dilakukan oleh seorang ahli dalam dunia medis dan tindakan mana mengakibatkan suatu hal yang fatal (misalnya mati, cacat karena lalai, lihat pasal 359,360 dan 361 KUHP). (Amien dalam Mariyanti, 1988: 37)

Pengertian lain, malpraktik adalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh sesorang karena menjalankan pekerjaan profesi. (Poernomo, 1988:131).

Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dalam lingkungan yang sama. Yang dimaksud kelalaian disini adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medik. (Yusuf Hanafiah, 1999 : 87 ).

Dari pengertian-pengertian tersebut diatas dapat diambil suatu inti dari perbuatan malpraktik medik yaitu adanya kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh seorang dokter dalam menjalankan kewajiban profesionalnya (tindakan medik) dan perbuatan itu menimbulkan bahaya atau kerugian secara langsung bagi manusia sebagai individu (pasien) berupa sesuatu hal yang fatal misalnya mati, cacat karena lalai sebagaimana hal tersebut diatur oleh pasal-pasal 359, 360, dan 361 KUHP.

Secara text book, syarat untuk menyebut suatu tindakan medik sebagai malpraktek ada empat, yakni terdapatnya kewajiban (implied contract) dari seorang dokter terhadap pasien ; adanya kesalahan profesional (schuld) ; terdapatnya hubungan kausal antara kesalahan dan berbagai efek yang timbul kemudian ; dan syarat terakhir adalah terdapatnya derita berupa akibat yang parah pada diri pasien. (Meliala, 1992:4)

Bila kita melihat syarat-syarat tersebut diatas, sebenarnya apa yang disebut malpraktek medik sudah cukup jelas. Namun kenyataannya jika timbul tuntutan hukum melalui jalur pidana oleh pasien terhadap dokter yang melakukan kesalahan dalam menjalankan kewajiban personalnya, akan mengalami berbagai kesulitan atau hambatan.

3.2. Teori Sumber Perbuatan Malpraktek Medik

Di dalam buku : The Law of Hospital and Health Care Administration yang ditulis oleh Arthur F. Southwick dikemukakan adanya 3 (tiga)teori menyebutkan sumber dari suatu malpraktek, yaitu:

a. Pelanggaran kontrak (breach of contract)

b. Perbuatan yang disengaja (intentional tort)

c. Kelalaian (negligence) (Mariyanti, 1988 : 44)

Teori pelanggaran kontrak mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek oleh dokter adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Hubungan kontrak antara dokter-pasien sudah ada pada saat seorang pasien datang kepada seorang dokter untuk berobat, pasien setuju untuk dirawat dan dokter melaksanakan perawatan atas dasar persetujuan dari pasien. Persetujuan dari pasien ini harus diartikan secara luas, artinya pasien memberikan persetujuan terhadap semua tindakan medik yang dilakukan oleh dokter baik itu mengenai cara perawatan, resiko yang harus dihadapi pasien maupun hal-hal lainnya.

Teori perbuatan yang disengaja mengatakan bahwa yang dapat dipakai sebagai dasar oleh pasien untuk menuntut seorang dokter telah melakukan malpraktek adalah kesalahan yang dibuat sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan seseorang secara fisik mengalami cedera. Hal ini dalam malpraktek jarang terjadi dan dapat digolongkan sebagai tindak pidana tasa dasar unsur kesengajaan.

Teori kelalaian menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktek oleh dokter adalah kelalaian (negligence). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di California. Seorang anak berhasil menerima ganti rugi sejumlah empat juta dolar karena dokter yang memeriksanya sehabis berkelahi di sekolah, lalai tidak mengetahui bahwa anak tersebut telah mengalami gegar otak. (Mariyanti, 1988 : 52-53).

3.3. Malpraktek Medik Ditinjau Dari Hukum Pidana Materiil

Pada dasarnya setiap orang harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya, tidak terkecuali dokter. Tanggung jawab dokter dalam melaksanakan kewajiban profesionalnya tidak bisa lepas dari Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) yang dimuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 439/MEN.KES/SK/X/1983 dan ketentuan hukum yang berlaku terutama bidang hukum pidana.

Etika kedokteran pada dasarnya merupakan suatu kerangka sikap tindak yang dianggap pantas bagi seorang dokter. Oleh karena itu, biasanya etika kedokteran berisikan pedoman-pedoman yang berisikan kewajiban-kewajiban umum, seperti misalnya : Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi. Kecuali itu ketika kedokteran juga berisikan pedoman-pedoman mengenai kewajiban dokter terhadap penderita, kewajiban dokter terhadap teman sejawatnya, dan kewajiban dokter terhadap dirinya sendiri. (Soekanto. 1987: 131)

Butir-butir perumusan dalam kodeki merupakan pedoman bagi dokter dalam menjalankan kewajiban profesionalnya. Seperti ditentukan antara lain bahwa setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter : Setiap dokter harus senantiasa melakukan profesinya manurut ukuran yang tertinggi ; setiap dokter harus senanatiasa mengingat kewajiban melindungi makhluk insani.

Begitu pentingnya arti kodeki bagi setiap dokter, sehingga setiap ada tuntutan malpraktek medik dari pasien terhadap seorang dokter, maka tindakan dokter tersebut akan dipernilai atau ditelaah malalui dua jalur yaitu: dari jalur etik kedokteran dilakukan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI dan dari jalur hukum (pidana) dilakukan oleh aparat penegak hukum yang berwenang manurut undang-undang. Dari penilaian-penilaian itu akan muncul kategori tindakan medik yang melanggar kode etik kedokteran (kodeki), tindakan malpraktek medik dan tindak pidana.

Tanggung jawab pidana dokter diatur oleh Undang-undang No. 23 Tahun 1992 jo KUHP, yang menentukan bahwa hak atau wewenang profesional merupakan dasar pembenaran yuridis yang meniadakan sifat perbuatan yang melanggar hukum. Menurut Ninik Mariyanti : Tanggung jawab hukum di bidang pidana bagi dokter akan timbul setelah dapat membuktikan terjadinya malpraktek, yang dalam hal ini dasar timbulnya tanggung jawab tersebut adalah karena kesalahan yang berupa kealpaan berta. Karena hal ini terjadi di kalangan para dokter, maka kriteria kealpaan disini tentu saja diukur atas dasar bagaimana pada umumnya secara normal para dokter itu bersikap tindak dalam melaksanakan tugasnya, dengan segala fasilitas yang ada,(Mariyanti, 1988 : 15)

Ketentuan hukum pidana tentang kewajiban menyimpan rahasia dokter diatur dalam pasal 322 KUHP dan pasal 4 PP No. 10 tahun 1966, namun ketentuan tersebut harus mamperhatikan batasan dalam kaitannya dengan pasal 224 KUHP dan pasal 170 ayat 2, pasal 179 KUHP. Ketentuan yang diatur dalam KUHP tersebut sering dikatakan sebagai peraturan hukum yang bersifat additional, bahkan dapat dikatakan rumusan isi peraturan itu merupakan hukum kedokteran tradisional dalam hubungannya dengan sumpah dokter (PP No. 26/1960) dan wajib menyimpan rahasia dokter (PP No. 10/1966). Demikian pula ketentuan tentang larangan abortus provocatus dalam psal-pasal 347, 348, 349, 350 dan 299 KUHP dapat dianggap sebagai hukum additional di bidang hukum pidana yang berhubungan dengan salah satu bagian dari sumpah dokter dan kode etik kedokteran.

Mengenai abortus provocatus tersebut ada anggapan sebagau perbuatan medical malpraktek yang dilakukan dengan sengaja (dolus). Hal ini berarti perbuatan malpraktek terdapat dua bentuk yaitu (1) medikal malpraktek oleh dokter yang dilakukan dengan sengaja misalnya abortus tanpa indikasi medis dan (2) medikal malpraktek oleh dokter yang dilakukan dengan kelalaian (culpa) misalnya tertinggalnya alat operasi di dalam rongga badan pasien.

Seorang dokter yang melakukan kalalaian dalam arti culpa menurut hukum pidana, maka kesalahan profesi yang demikian itu bertanggung jawab terhadap tuntutan hukum pidana secara tidak langsung diatur dlam pasal-pasal 359, 360,361 KUHP. Kesalahan profesi dokter menurut pasal-pasal KUHP tersebut berdasarkan kelalaian dalam arti sangat tidak berhati-hati (culpa lata grore schuld) ditentukan secara subyektif dari terdakwa.

Sehubungan dngan perkembangan terjadinya perbuatan malpraktek medik baik yang dilakukan oleh profesi dokter maupun oleh maupun oleh profesi kesehatan lainnya, menurut pengamatan akan lebih banyak lagi tanggung jawab pidana yang dapat dikenakan dari pasal-pasal 89, 90 , 222, 242, 283, 344, 345, 350, 351, 522 KUHP dan ilmu pengetahuan hukum pidana yang menyangkut alasan pembenar dan alasan pemaaf yang menjadi dasar penghapus pidana untuk tidak terkena pasal-pasal KUHP.

Dapat dikatakan telah terjadi malpraktek medika, apabila dalam pemeriksaan sidang pengadilan terbukti terdapat kesalahan profesional yang dilakukan oleh dokter berupa kelalaian, kealpaan atau kurang hati-hati, sejak dokter menentukan diagnosa, menjalankan operasi, menjalankan perawatan sampai pada masa sesudah perawatan (dalam waktu yang sudah ditentukan). Kesalahan dimaksud tentu saja harus mempunyai hubungan sebab akibat dengan hasilnya. Setelah terbukti, baru timbul tanggung jawab pidana dari dokter tersebut, sesuai dengan asas tindak pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). KUHP mengatur mengenai tanggung jawab pidana dokter di dalam pasal-pasal : 263&267;299,348,349,350;359,360,361; 322;351;346,347;344;386

3.4. Malpraktek Medik Di Tinjau Dari Hukum Pidana Formil

Sejak seorang pasien datang kepada seorang dokter untuk berobat, dianggap sudah ada persetujuan atau kontrak yang merupakan persetujuan/kontrak terapeutik dan dikenal sebagai informed consent. Dari persetujuan itu dijumpai hak pasien disatu pihak dan di pihak lain merupakan kewajiban dokter begitu pula sebaliknya. Persetujuan terapeutik antara dokter dan pasien didasarkan pada dua macam hak yang merupakan hak dasar yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiri (the right to self determination) dan hak atas informasi (the right to information). Berdasarkan kedua hak tersebut, dokter dan pasien secara bersama-sama menentukan terapi yang paling tepat dilakukan dan merupakan kewajiban dokter untuk melakukan tindakan medik, sesuai dengan standard medik, agar tercapai suatu hasil yang baik.

Standard medik adalah suatu cara melakukan tindakan medik dalam suatu kasus yang konkrit menurut suatu ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu medik dan pengalaman.(Ameln, 1987:125). Diharapkan bahwa dokter dalam menjalankan kewajiban profesionalnya (tindakan medik) selalu berpegang pada standard medik. Bila pada suatu saat tindakan medik dokter tidak sesuai dengan standard medik dan berakibat fatal bagi pasien, misalnya pasien menjadi cacat atau bahkan mati, maka bisa dianggap telah menjadi malpraktek medik.

Penututan terhadap dokter yang menyangkut segi substansi peraturan hukum pidana dan penegakkannya dapat dibedakan penuntutan tersebut menjadi :

a. Penuntutan yang bersifat additional

b. Penuntutan kejahatan / pelanggaran biasa

c. Penuntutan malpraktek medik (medical malpractice)

d. Penuntutan kewajiban menegakkan hukum menurut KUHP (M. Zuhri, 2005 : 197)

Nilai-nilai dan kaidah dari sumpah dokter dan kode etik kedokteran dalam perkembangannya sulit untuk ditegakkan secara pasti. Kepastian untuk menegakkan sumpah dokter dan kode etik kedokteran memerlukan bantuan kaidah hukum pidana dengan sanksinya yang keras tapi mengandung fungsi yang subsider. Hal ini berhubungan dengan kewajiban dokter untuk wajib simpan rahasia dan melindungi makhluk hidup.

Memproses atau menindak dokter yang diduga malakukan malprektek medik melalui jalur pidana merupakan salah satu alternatif penyelesaian terhadap kasus-kasus malpraktek medik yang terjadi di dalam masyarakat. Tata cara penyelesaiannya harus sesuai dengan aturan tata cara yang ditentukan dalam hukum acara pidana, dalam hal ini adalah kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No. 8 Tahun 1981 baik mengenai petugas yang berwenang, proses beracaranya maupun mengenai perlindungan hukum bagi masyarakat dan bagi setiap orang yang terlibat di dalamnya.

Norma hukum acara pidana yang mengandung aspek keselarasan itu memuat ketentuan dan aturan selain untuk menjamin hak dan kewajiban perseorangan, juga untuk melindungi hak dan kewajiban orang lain dalam masyarakat, agar supaya apabila terjadi pertentangan kepentingan dapat diselesaikan melalui saluran tertentu menurut hukum. (Poernomo, 1986:2)

Proses perkara pidana dimulai dengan tahap penyelidikan dan penyelidikan kemudian dilanjutkan dengan tahap-tahap penuntutan, pemeriksaan sidang, putusan hakim dan pelaksanaan putusan hakim oleh petugas-petugas yang berwenang. Lewat jalur pidana ini, pasien yang merasa dirinya menjadi korban atau terviktiminasi berusaha menuntut dokter yang dianggapnya lalai dalam menjalankan kewajiban profesionalnya dan menyebabkan pasien kehilangan haknya atas perawatan yang baik dari dokternya.

Dalam prakteknya jarang terjadi kasus malpraktek medik diungkap dan diselesaikan secara tuntas melalui tahap-tahap pemeriksaan perkara pidana seperti tersebut di atas. Suatu hal penting yang menjadi penyebabnya adalah tidak adanya patokan dasar perihal telah terjadi atau tidak terjadinya malpraktek medik. (Meliala, 1992:4). Atau dengan perkataan lain tidak ada hukum materiil yang mengatur malpraktek medik (terjadi kekosongan hukum). Sebagai gambaran, pernah dilakukan penelitian terhadap empat kasus malpraktek medik yang terjadi dalam kurun waktu 5 tahun (1985-1990). Inisial kasus-kasus tersebut adalah : kasus Ny. LSW melawan dr. BS ; kasus bocah TA melawan dr. JJ ; kasus Ny, SS melawan Klinik AT dan kasus Ny. TA melawan dr. RM. Seluruh kasus tersebut pernah diungkap oleh media massa. Kesamaan lainnya, keempat kasus itu sama-sama kandas ditengah jalan, ketika pasien atau keluarga pasien tengah dengan gigih mengupayakan proses hukun guna menghukum si dokter. Keempat kasus yang diteliti tersebut sempatdisidangkan. Memang, ada kasus yang berkasnya sempat bolak-balik dari jaksa ke polisi tapi ada pula yang didiamkan saja oleh polisi. (Meliala, 1992 :4-5)

Gejala seperti tersebut diatas bila ditinjau dari sudut aparat penegak hukum, nampak bahwa aparat penegak hukum pada saat berhadapan dengan kasus malpraktek medik, menjadi ragu-ragu untuk bertindak. Hal itu disebabkan karena disamping tidak ada landasan hukum materilnya juga karena terbatasnya pengetahuan aparat penegak hukum akan dunia medik dalam kaitannya dengan hukum.

Sebab lain, bila ditinjau dari sudut dokter, ada gejala bahwa kalangan dokter sendiri cenderung mempersulit proses hukum (pidana) terhadap dokter yang diduga melakukan malpraktek medik, bahkan bisa dikatakan mereka cenderung untuk membela sejawatnya (membela korps). Sedangkan bila ditinjau dari sudut masyarakat, nampak bahwa masyarakat pada umumnya tidak mampu untuk mambedakan antara tindakan medik yang melanggar kode etik (kodeki), tindakan malpraktek medik dan tindak pudana (kejahatan). Saking butanya , pernah ada masyarakat yang hendak menuntut dokter berhubung telah melakukan malpraktik karena mengenakan tarif kelewat mahal (Meliala, 1992 : 4). Bahkan tertangkap kesan, pasien main tuduh kepada dokternya yang telah melakukan malpraktek medik, meskipun mungkin tidak ada hubungnnya dengan malpraktek medik. Biasanya hal seperti ini terjadi kerena terdapat hubungan yang buruk antara dokter dan pasien. Sebab-sebab yabg dikemukakan tersebut diatas merupakan sebab-sebab (atau bisa pula disebut kendala) yang bersifat non hukum dari kandasnya pengungkapan dan penyelesaian terhadap kasus-kasus malpraktek medik melalui jalur pidana.

Semakin baiknya pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan tehnologi kedokteran yang canggih, cenderung menyebabkan makin tingginya permintaan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang profesional. Dokter dituntut untuk lebih hati-hati dalam menjalankan kewajiban profesionalnya, karena tidak mustahil sedikit dokter lalai akan berakibat ada tuntutan malpraktek medik dari pasien. Memang ada sementara orang yang berpendapat bahwa dokter merupakan anggota masyarakat yang mempunyai reputasi dan status sosial yang sangat terhormat untuk dijebloskan ke penjara. Namun, dokter juga manusia biasa yang tidak bisa lepas dari kekhilafan dan untuk mencegah lebih banyak terjadinya kasus-kasus malpraktek medik, maka proses hukum (pidana) terhadap kasus-kasus tersebut sangat diperlukan, meskipun terdapat berbagai penyebab yang mengkandaskan penyelesaian secara hukum (pidana) terhadap kasus-kasus malpraktek medik tersebut.

Pemrosesan terhadap kasus malpraktek medik melalui proses perkara pidana bisa dikatakan merupakan suatu dilema (dari bahasa Inggris : dilemma), merupakan pemilihan yang sukar antara dua keputusan (Wojowasito-Poerwadarminta, 1980:42), baik dalam hal menuntut maupun tidak menuntut terhadap kasus malpraktek medik tersebut. Apabila dituntut, terdapat berbagai penyebab sehingga penyelesaiannya menjadi kandas ditengah jalan. Sedangkan apabila tidak dituntut, akan mengakibatkan banyak terjadi kasus-kasus malpraktek medik.

IV. PENUTUP

4. 1. Kesimpulan

Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Dari aspek hukum pidana materiil : KUHP bisa menjerat dokter yang melakukan malpraktek medik melalui pasal-pasal 322, 224, 170 (2), 179; 347, 348, 349, 350; 359, 360, 361; 89, 90, 222, 242, 283, 344, 345, 351, 522.

2. Dari aspek hukum pidana formil : terdapat berbagai penyebab kandasnya pemrosesan kasus-kasus malpraktek medik melalui tahap-tahap proses perkara pidana, yaitu:

a. Penyebab yang bersifat hukum, berupa tidak adanya hukum materiil yang mengatur mengenai malpraktek medik.

b. Penyebab yang bersifat non hukum, berupa :

Aparat penegak hukum pada saat berhadapan dengan kasus malpraktek medik ragu-ragu untuk bertindak.

Kalangan dokter cenderung untuk membela sejawatnya yang diduga melakukan malpraktek medik

Masyarakat pada umumnya tidak mampu untuk membedakan antara tindakan medik yang melanggar kodeki, tindakan malpraktek medik dan tindak pidana.

4.2.Saran

1. Perlu dibentuk Undang-undang kesehatan atau kedokteran yang baru untuk menyempurnakan atau menggantikan Undang-undang kesehatan lama yang sudah tidak tepat lagi diterapkan pada keadaan yang sudah berkembang ini. Dalam Undang-undang baru diharapkan dicantumkannya pasal-pasal mengenai malpraktek medik untuk dapat dijadikan pedoman oleh aparat penegak hukum dalam manjalankan tugasnya

2. Aparat penegak hukum perlu diberi pengetahuan tambahan untuk menunjang tugasnya, khususnya pengetahuan yang berhubungan dengan kedokteran, misalnya melalui pendidikan khusus, seminar-seminar. Dengan harapan aparat penegak hukum dapat berperan aktif dalam mengungkap dan menyelesaikan kasus-kasus malpraktek medik.

3. Diharapkan kalangan dokter untuk bertindak fair bila ada seorang dokter yang diduga melakukan malpraktek medik, misalnya dengan memberikan keterangan dan bukti-bukti lain yang diperlukan.

4. Kepada masyarakat hendaknya diberikan penyuluhan mengenai malpraktek medik dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu, agar jangan terjadi salah tuduh terhadap dokter.

DAFTAR PUSTAKA

Adrianus Meliala. 1992. Di Balik Proses Hukum Terhadap Malpraktek Medik, Kompas, 18 Januari 1992.Anny Isfandyarie. 2005. Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, Prestasi Pustaka, Jakarta.Bambang Poernomo.1986. Hukum Acara Pidana Pokok-pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia Dalam Undang-undang RI No. 8 tahun 1981, Yogyakarta, Liberty. __________ .1988. Kapita Selekta Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta. Fred Ameln.1986. Berbagai Kecenderungan Dalam Hukum Kedokteran di Indonesia, Makalah dalam kongres I Perhimpunan Untuk Hukum Kedokteran Indonesia tanggal 8-12 Agustus 1986, Jakarta.

J. Guwandi. 1997. Perkara Tindak Medik (Medical Malpractice), Kompas 5 Mei 1997. Moeljatno. 1978. Kitab Undang-undang Hukum Pidana.M. Zuhri. 2005. Malpraktek Medik Dalam Perspektif Hukum, Jurnal Ilmu Hukum KANUN, No. 41 tahun XIV April 2005.

Ninik Mariyanti. 1988. Malapraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan Perdata, PT. Bina Aksara, Jakarta.

Soerjono Soekanto. 1987. Etika Kesehatan-Etika Kedokteran Hukum Medik, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun II No. 18, Maret 1987.

S. Wojowasito-W.J.S Poerwadarminta. 1980. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia,Indonesia-Inggris, Hasta, Bandung, 1980.

Veronica Kumalawati.1989. Hukum Dan Etika Dalam Praktek Dokter, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.