8 hari di jerman

98
pitra satvika (media-ide.com) 8 hari di jerman

Upload: anakcerdas

Post on 11-Jun-2015

1.176 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

pitra satvika(media-ide.com)

8hari di jerman

Page 2: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Page 3: 8 Hari di Jerman

Jakarta- Kuala Lumpur - Amsterdam - Frankfurt - Bonn

1-2 Juni 2009

1

Page 4: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Inilah pertama kalinya, sejak lebih dari satu dekade lalu, aku berkelana jauh ke luar negeri. Eropa memang belum pernah ku-datangi. Hal yang sempat membuatku gugup adalah, pengelanaan jauh yang kulakukan hanya seorang diri. Beragam pemikiran berke-camuk, apa yang akan terjadi nanti. Apa yang harus kulakukan jika semua tak berjalan sesuai rencana? Apa yang kulakukan jika aku menghadapi masalah di simpang batas antar-negara?

Namun, apapun pikiran yang berkecamuk, aku tetap memutuskan untuk pergi. Kesempatan tak akan datang dua kali. Meski kesem-patan ini mewajibkan aku untuk hadir di Global Media Forum se-lama 3 hari, sebuah perhelatan internasional yang didatangi oleh beragam warga dunia yang erat berhubungan dengan dunia komu-nikasi dan jurnalisme. Oh ya, kesempatan ini aku dapat kar-ena aku adalah salah seorang pemenang kompetisi The Bobs Award yang diselenggarakan di akhir tahun 2008 kemarin.

Dengan berbekal tas pinggang kecil, tas punggung, dan sebuah

Page 5: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

koper, aku pun berangkat. Tanpa masalah aku lewati pengecekan bagasi, passport, dan fiskal. Tas koper aku titipkan di bagasi, se-mentara tas pinggang dan tas punggung aku bawa selalu. Berun-tunglah mereka yang sudah memiliki NPWP (nomor pokok wajib pajak), karena akan terbebaskan dari biaya fiskal sebesar Rp. 2.500.000,00. Namun, tetap saja aku harus membayar biaya Rp. 150.000,00 untuk membayar pajak bandara.

Aku masih menunggu lama di bandara Jakarta, sebelum akhirnya penerbanganku dipanggil. Kegugupan pun mulai muncul. Kegugu-pan yang membahagiakan tentunya. Aku habiskan waktu untuk berjalan-jalan di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, sembari me-manfaatkan mushola untuk menenangkan diri dari kegugupan.

Pesawat KLM Boeing 777-300 yang aku tumpangi pun berangkat tepat waktu. Boarding pukul 18.00, dan berangkat pukul 18.45 menuju Amsterdam, Belanda. Ini sungguh pesawat terbesar yang pernah kutumpangi sebelumnya. Mungkin, aku pernah naik pesa-wat sebesar ini, tapi rasanya itu sudah pupus dari ingatanku. Me-mang, terakhir aku berkelana jauh ke luar negeri adalah saat aku duduk di bangku SMP. Saat itu aku pergi bersama adik, ayah, dan ibuku, mengikuti kelompok wisata tur ke Amerika Serikat. Waktu sungguh sudah lama berlalu, ingatanku akan itu sudah tak terlalu membekas.

Banyak warga Melayu ikut dalam pesawat ini. Pesawat KLM ini memang akan transit sejenak di Kuala Lumpur. Hal yang cukup mencengangkan, mengapa begitu banyaknya warga Malaysia yang ikut dengan KLM ini? Bukanlah sudah ada Malaysia Airlines atau Air Asia dengan alternatif lebih murah? Usut punya usut, ternyata KLM bekerja sama erat dengan Malaysia Airlines. Tiket yang mereka pe-gang pun bukanlah tiket KLM berwarna biru langit, melainkan tiket Malaysia Airlines berwarna hijau terang. Aku melihat ada kerja sama branding yang menarik di sini. Melalui tiket berwarna hijau, akan banyak warga dunia yang melihat keberadaan Malaysia Air-lines. Saat transit di Kuala Lumpur, aku pun melihat mereka semua yang berangkat dari Kuala Lumpur menggunakan tiket berwarna hijau dengan logo Malayia Airlines. Tentunya, dengan membawa tiket ini ke belahan Eropa, akan banyak warga Eropa lainnya yang

Page 6: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

aware akan keberadaan maskapai penerbangan ini.

Aku pun duduk di bangku 56E kelas ekonomi. Ada 63 baris yang setiap barisnya berisikan 8-10 orang. Sebelah kiriku, di bangku 56D adalah seorang ibu-ibu, yang kuduga berasal dari Indonesia. Sebe-lah kananku seorang bapak dari Malaysia. Ia berangkat bersama keluarganya, meski duduknya terpencar-pencar. Sebelah kanan si bapak adalah seorang pemuda dari Indonesia.

Makan malam pun disajikan. Tentunya makanan khas Belanda. Daging dan semacam roll dari bahan tepung yang berlapis keju. Si pemuda yang duduk dua bangku di sebelah kananku sempat ragu, apakah daing yang disediakan ini halal atau tidak. Si bapak dari Malaysia menenangkan. Katanya, meski masakan khas Eropa, mereka tetap menggunakan supplier lokal, dari Indonesia. Jadi, kemungkinan besar daging yang digunakan tetap halal. Aku, yang sebelumnya mempertanyakan hal yang sama, akhirnya memutus-kan untuk memakan hidangan tersebut. Memang luar biasa enak ( a t a u mungkinkah ini karena aku baru saja merasakan sesuatu

yang berbeda?).

Saat pesawat transit di Kuala Lumpur, kami para penumpang yang menuju Amsterdam tetap

diminta untuk keluar dari pesawat, karena itulah prosedur yang harus dijalankan

setiap maskapai selama singgah di bandara Kuala Lumpur. Saat kami keluar dari pesawat, aku sempat

mengobrol dengan beberapa orang In-donesia yang ikut di pesawat yang sama.

Ternyata kebanyakan dari mereka adalah pelaut. Mereka bekerja di kapal-kapal ber-

bendera luar. Bila saat ini kapal sedang berada di Eropa, maka mereka diminta untuk terbang ke

Eropa untuk lalu melanjutkan dinas mereka di dalam kapal, yang entah akan membawa kemana mereka saat

i n i . Salah satu orang sempat bercerita kalau ia sudah 12 tahun bekerja seperti ini. Dalam setiap perjalanan kelautannya, ia bisa berkelana selama 2 bulan lamanya, untuk kemudian cuti sejenak,

Page 7: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

lalu melanjutkan kembali perjalanannya mengarungi samudra. Aku memperhatikan, orang ini sempat bertelpon panjang dengan keka-sihnya, sesaat sebelum pesawat membawa kita berangkat dari Ja-karta. Bisa jadi, ia baru akan bertemu kembali dengan kekasihnya 1-2 bulan mendatang, saat perjalanan mengarungi samudranya sampai di tujuan.

Aku tak tahu apakah maskapai penerbangan kita secanggih ini, namun yang kulihat di KLM sungguh luar biasa. Setiap penumpang dihadapkan pada sebuah televisi mini yang didudukkan di pung-gung bangku penumpang di depannya. Aku bisa memilih dengan leluasa film layar lebar yang ingin kunikmati, dari koleksi film terbaru seperti Bride Wars atau Underworld: Rise of the Lycans, hingga koleksi film lama dan klasik. Aku bisa membuat playlist dari puluhan koleksi album dari beragam genre, atau aku cukup men-dengarkan alunan radio beragam genre yang masing-masing berisi koleksi putaran lagu tanpa penyiar.

Hal yang membuatku terkesima adalah, melalui televisi itu, kita pun bisa pula bermain games. Ada beberapa koleksi games yang bisa kita mainkan sendiri, ataupun kita be-radu tanding dengan pen-umpang lainnya. Remote control televisi berfungsi ganda. Satu sisi untuk mengendalikan menu televisi, sisi seba-liknya difungsikan bak joystick Playstation, lengkap dengan 4 tom-bol aksi dan keyboard. Hal yang semakin membuatku terkesima adalah terintegrasinya televisi itu dengan kartu kredit. Melalui sisi tepi remote control atau di bagian bawah televisi, kalau mau, aku bisa menggesekkan kartu kreditku. Penjualan goodies dari KLM di-transaksikan secara daring.

Oh ya, satu fitur utama yang ditampilkan televisi ini adalah aku bisa mengetahui saat ini posisi pesawat sedang berada di mana,

Page 8: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

suhu di luar pesawat, ketinggian pesawat, hingga kecepatan pesa-wat. Perjalanan panjang selama lebih dari 12 jam memang mem-butuhkan hiburan yang beragam, dan KLM berupaya memberikan layanan terbaiknya.

Satu hal yang disayangkan dari penerbangan ini adalah, banyaknya pramugari dan pramugara senior. Mereka memang sudah lihai ka-rena jam terbang yang tinggi, namun agak kurang menarik di mata, karena sudah termakan usia. Saat penerbangan transit di Kuala Lumpur, ada beberapa pramugari dan pramugara yang ber-ganti. Di antara para pramugari baru, ada seseorang yang menyita perhatian banyak penumpang. Bukan karena ia cukup cantik, tapi karena pramugari itu adalah orang Asia, bernama Chang. Bisa jadi, ini merupakan upaya KLM untuk lebih mendekatkan diri dengan penumpang dari Asia. Mereka bisa melihat wajah yang lebih fami-liar, daripada melihat pramugari bule Belanda dengan kulit gosong terkena sinar matahari. Ternyata bukan hanya orang Asia yang ter-pikat. Aku sempat melihat beberapa bule Belanda yang berjalan ke tempat biasanya crew menyiapkan makanan, dan mencoba berkenalan dengannya.

Bangku di sebelah kananku, yang sebelumnya diduduki oleh orang Malaysia, kini berganti dengan bule muda dari Belanda. Sebelah kiriku masih tetap si ibu dari Indonesia. Sepanjang jalan, si ibu selalu terbatuk-batuk. Aku hanya berharap si ibu akan baik-baik saja. Si ibu sesekali menyempatkan mengecek kembali tiket dan passport-nya. Aku sempat melihat kalau si ibu ini menempuh per-jalanan yang sama persis dengan diriku. Setelah tiba di Amster-dam, si ibu akan melanjutkan perjalanan menuju Frankfurt, Jer-man.

Aku pun menyempatkan mengobrol dengannya. Aku berharap si ibu ini akan bisa menghilangkan kegugupanku, karena setidaknya, kini aku punya teman. Dari caranya berbicara, aku mulai ragu kalau ia seorang warga negara Indonesia, karena ada beberapa bahasa yang ia tak paham. Ditambah lagi, ia kurang familiar dengan kon-disi sekarang di Indonesia. Aku terus melanjutkan obrolan, hingga akhirnya kuketahui kalau si ibu ini terlahir di Jogja, lalu sempat sekolah sejak SD hingga SMP di Jakarta. Setelah SMA, ia pindah ke

Page 9: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Jerman, bersekolah di sana, bekerja di sana, hingga menikah di sana. Bila dihitung sudah lebih dari 30 tahun, ia berada di Jerman. Di usianya yang sudah 60 tahun, ia lebih banyak menghabiskan hidupnya di negeri Jerman daripada di Indonesia.

Kini si ibu menikah dengan seorang Yunani, dan anak-anaknya ber-sekolah di penjuru Eropa. Si ibu juga bercerita kalau Pemerintah Jermanlah yang akhirnya meminta dia untuk menjadi warga ne-gara Jerman. Pemerintah Jerman melihat kalau si ibu sudah ba-nyak berbakti terhadap masyarakat Jerman, serta menjadi seorang pembayar pajak yang taat. Namun konsekuensinya, ia terpaksa melepas status kewarganegaraan Indonesianya, karena negeri kita ini tidak menerima kewarganegaraan ganda. Setelah berdiskusi panjang dengan suaminya, si ibu pun memutuskan untuk mengam-bil kesempatan itu. Ia berpikir, semua ayah ibunya di Indonesia kini sudah tidak ada. Semua anaknya bersekolah di Eropa. Dengan memiliki kewarganegaraan Jerman, ia akan lebih leluasa mengun-jungi anak-anaknya, karena ia tak perlu mengurus visa setiap kali ia harus berangkat mengunjungi anak-anaknya. Melalui seremoni sederhana di kedutaan, si ibu pun akhirnya mendapat kewargane-garaan Jerman.

Pagi hari pun menjelang. Ufuk mentari terus terlihat selama per-jalanan. Perjalanan ke Eropa seakan-akan memundurkan waktu. Waktu berasa lambat saat pesawat bergerak ke arah barat, mengi-kuti arah rotasi bumi. Pramugari KLM kini mulai menyajikan sara-pan pagi.

Perjalanan pun akhirnya be-rakhir di Bandara Schipol Am-sterdam pukul 5 pagi waktu setempat (atau pukul 10 pagi waktu Jakarta). Kalau kuhi-tung, sejak pukul 18.00 hari sebelumnya, aku sudah me-nempuh 16 jam perjalanan. Tidurku pun mulai terasa kacau. Kakiku mulai terasa lelah, padahal perjalanan ini

Page 10: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

masih belum usai.

Meski masih pukul 5 pagi, langit sudah terlihat biru cerah. Aku pun mulai melangkah ke luar, bersama dengan si ibu di sebelahku. Kami menyusuri belalai panjang melangkah memasuki bandara. Antrian panjang ratusan orang mengumpul di ujung belalai. Pihak imigrasi Belanda melakukan pengecekan awal dan menanyakan satu-persatu passport dan maksud kedatangan. Dengan lancar ku-jelaskan kalau tujuanku sebenarnya adalah ke Frankfurt, dan Am-sterdam hanya untuk singgahan transit.

Aku pun memasuki bandara yang luar biasa luasnya ini. Ribuan orang dari beragam ras dan suku berlalu-lalang, seakan-akan ban-dara ini menjadi sentra utama perjalanan orang dari seluruh dun-ia. Bersama si ibu, aku pun berjalan mengarungi lorong-lorong dan ruangan besar yang ada di sepanjang terminal. Bandara Schipol tak berbeda dengan mal, banyak sekali toko perhiasan, suvenir, pakaian, restoran tersebar di seluruh bandara. Si ibu memutus-kan untuk berpisah, karena ia ingin mencari parfum di salah satu toko. Aku pun menyusuri beberapa toko, sembari melihat jam. Aku masih punya waktu kurang dari 3 jam sebelum penerbangan

Page 11: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

berikutnya ke Frankfurt.

Tadinya aku ingin melanjutkan perjalanan menyusuri toko lebih jauh, namun saat aku melihat antrian panjang memasuki peme-riksaan imigrasi di Terminal B, terminal maskapai penerbanganku selanjutnya, aku pun berpikir ulang. Lebih baik aku mengantri ter-lebih dahulu. Mudah-mudahan saja tak ada masalah berarti.

Ada cukup banyak antrian imigrasi di sini. Ada pos yang khusus memeriksa pengecekan khusus passport Uni Eropa, dan ada pula pos yang memeriksa passport semua negara. Para petugas imigrasi terlihat tinggi dan kekar, dan beberapa wanita yang menjadi petu-gas berwajah menarik. Satu hal yang menarik perhatian, mereka selalu memprioritaskan pemeriksaan orang-orang yang membawa bayi. Bila ada petugas yang melihat bayi dalam antrian, mereka akan meminta keluarganya untuk maju ke pos dan mendapatkan pemeriksaan lebih awal.

Aku pun mulai berdiri di titik dengan papan tergantung di atasnya bertuliskan “15-21 minutes from here.” Wow, cukup panjang juga antriannya. Aku pun berdiri mengantri selama kurang lebih 15 me-

Page 12: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

nit sebelum akhirnya bertatapan dengan petugas imigrasi.

“What are you doing in Frankfurt?” katanya.

“Actually, I’m going to Bonn, to the event Global Media Forum,” kataku.

Si petugas mengecek passport dan boarding pass-ku, sembari me-mastikan foto di passport-ku serupa dengan wajahku.

“So, you’re a journalist?” katanya, sambil tersenyum.

“Sort of...” jawabku sambil ikut pula tersenyum.

Dan aku pun diizikan masuk ke tahapan selanjutnya, pemerik-saan bagasi. Pemeriksaan di sini tentunya lebih ketat daripada di Jakarta. Di sini, aku diminta untuk mengeluarkan notebook dan membuka penutupnya. Aku harus melepas jaket yang kukenakan, tas pinggang, serta ikat pinggang celana, sebelum aku akhirnya diizinkan melewati gerbang pendeteksian logam.

Alhamdulillah, semuanya berjalan dengan lancar, dan aku pun mu-lai memasuki area Terminal B. Sungguh mengejutkan, di sisi ini luasannya tak kalah besar dengan area yang aku masuki sebelum-nya. Kembali aku dihadapkan pada suasana mal, dengan begitu banyaknya toko dan restoran di sekitar area, baik di lantai satu maupun dua. Sungguh menarik, pemandangan yang terlihat dari jendela-jendela yang mengelilingi area. Beberapa orang terlihat duduk menikmati kopi di dekat jendela, sembari melihat aktivitas kegiatan lepas landas dan mendaratnya pesawat. Beberapa orang terlihat mengantri di gerai Starbucks, sementara beberapa lainnya menikmati suguhan Burger King di lantai dua. Banyak pula orang yang mendatangi toko buku, mencari-cari buku bacaan menarik untuk menemaninya di pesawat.

Aku sempat berjalan-jalan memasuki salah satu toko buku. Me-lihat-lihat seperti apa sampul muka buku-buku terbitan Jerman. Tampilan ternyata tak berbeda dengan buku impor yang biasa aku temui di Times atau Aksara Jakarta. Tampilan beberapa majalah-

Page 13: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

nya pun tak berbeda. Aku hanya tersenyum saat melihat beberapa majalah eksotis lengkap dengan beberapa DVD terbitan Private terpajang di antara majalah-majalah lainnya. Ada pula koran yang (sepertinya) berisikan berita-berita umum, namun menampilkan seorang perempuan tanpa busana di salah satu sudut halaman per-tamanya. Seorang perempuan muda terlihat asyik membaca koran ini.

Aku kembali melanjutkan perjalanan menuju terminal tujuanku, Terminal B7, yang ternyata masih jauh dari tempatku berada seka-rang. Setelah berjalan sekitar 5 menit, aku pun sampai. Hmm, belum ada petugas yang menjaga. Aku lihat jam, masih ada waktu 40 menit sebelum boarding. Kunyalakan notebook-ku, dan ku ber-harap-harap semoga ada sinyal wi-fi di sini. Wah, ada! Namun aku kembali kecewa, karena rupanya aku harus membayar 3 Euro per 15 menit. Astaga, mahal sekali!

Aku mulai duduk melamun menunggu, sampai akhirnya si ibu, yang tadi bepergian mencari parfum, akhirnya sampai juga. Ia duduk di sebelahku dan mencoba meminta tolong aku untuk mengganti-kan SIM card miliknya. Awalnya ia masih menggunakan kartu XL,

Page 14: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

dan ia ingin mengembalikan SIM card aslinya, dari Vodafone. Duh, sayangnya Nokia yang dipakainya agak aneh. Aku kesulitan mem-bantunya. Dengan sangat menyesal, aku pun mohon maaf karena tak berhasil menggantikan SIM card yang dibutuhkannya.

Pembicaraan pun beralih. Ia sempat menanyakan aku prosesi pe-ngajuan visa hingga pembayaran fiskal di bandara. Adiknya yang kini berada di Jakarta, sebenarnya ingin sekali bisa ke Jerman, na-mun ia memiliki kesulitan. Adiknya sempat membangun usaha dan kini bangkrut. Ia jelas bukanlah seorang yang mampu membayar pajak. Jadi ia merasa tak membutuhkan NPWP. Kini ia kesulitan, karena ia sendiri tak akan mampu membayar fiskal sebesar Rp. 2.500.000,00 kalau ia harus ke luar negeri.

Sebagai warga negara yang baik (ehem), aku mencoba meyakinkan si ibu kalau kini tidak susah lagi membuat NPWP. Bahkan, tidak sampai sehari, kartu NPWP su-dah bisa didapatkan. Aku juga menceritakan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk pen-gajuan visa ke Jerman. Asal-kan, memang ada pihak spon-sor yang akan menanggung adiknya selama di Jerman, dan itu bisa dibuktikan melalui surat undangan, hal itu mem-buat segalanya menjadi lebih mudah.

Saat aku menunggu waktu ke-berangkatan, ada hal yang menurutku lucu. Penerbangan sebe-lumku ternyata mengalami kelebihan booking. Jumlah orang yang terdaftar dalam pesawat melebihi kapasitasnya. Petugas lalu mengumumkan, kalau mereka mencari sukarelawan yang mau mengalah untuk ikut dalam penerbangan berikutnya yang masih 3 jam lagi. Tentunya, KLM akan mengkompensasinya dengan mem-berikan voucher makan dan belanja gratis di Bandara Schipol.

Tak terasa, waktu pun berlalu dan masa boarding pun tiba. Saat

Page 15: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

itu hari mulai terasa terik, meski angin kencang menerpa wajahku, membuat bibirku terasa kering. Kami pun semua memasuki bus yang membawa kami ke pesawat Fokker 100. Pesawat KLM ini tak berbeda dengan pesawat yang biasa aku gunakan saat pe-nerban-gan di dalam Indonesia. Pramugarinya pun terlihat muda, sangat berbeda dengan pramugari di penerbanganku sebelumnya. Si ibu yang sebelumnya duduk di sebelahku, kini berpisah tempat duduk dariku. Sebelahku kini seorang remaja muda dari Amerika Latin yang diam saja senpanjang perjalanan.

Perutku yang mulai terasa kosong ini mulai meminta untuk diisi. Mudah-mu-dahan menu sajian dalam pesawat bisa mengurangi kekosongan ini. Hidangan yang disajikan sebenarnya biasa saja, dua buah roti, satu potong roti rasa keju dari kambing, satu potong lagi rasa susu. Mungkin rasa lapar ini membuatku mera-sakan betapa enaknya roti ini.

Setelah perjalanan satu jam, kami pun mendarat di Frankfurt. Bandara yang terasa sepi dibandingkan dengan Schipol Amsterdam. Aku segera mengambil ba-gasi. Si ibu telah selesai mengambil ba-gasinya, dan akhirnya berucap selamat tinggal dengan diriku. Aku sempatkan memberikan kartu nama kepadanya, dan berjanji akan memberikan info-info kalau sean-dainya adiknya butuh bantuan untuk berangkat ke Jerman.

Setelah koper dari bagasi kuambil, aku melangkah keluar rua-ngan. Sepi terlihat di seluruh bandara. Tak banyak orang berjalan kesana-kemari. Aku melihat seseorang dengan papan bertuliskan “Deutsche Welle.” Ini pasti yang berniat menjemputku dan men-gantarku ke hotel di Bonn. Perawakan pria ini cukup tegap, kumis pirang terlihat di atas bibir dan anting kecil terlihat di telinga kanannya. Ia tak terlalu lugas dalam berbahasa Inggris. Seseorang berkulit hitam yang kuamati sebelumnya berada dalam satu pesa-wat denganku berdiri di dekatnya.

Page 16: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Aku mendekati mereka berdua yang sedang mengobrol satu sama lain. Pria berkulit hitam itu mengenalkan dirinya sebagai Damas Missanga dari Tanzania. Ia akan ikut menjadi pembicara dalam diskusi panel hari pertama acara. Ia terlihat melobi si pria ber-kumis agar bisa ikut dengannya ke Bonn. Rupanya, Damas tidak berada dalam daftar jemputan, namun berharap karena ia pun juga datang untuk acara yang sama, untuk bisa ikut bareng hingga penginapannya di Bonn. Si pria berkumis pirang terlihat berkali-kali berbicara dengan lawannya di telepon. Sepertinya ia ragu, apakah Damas boleh ia ajak serta ke Bonn atau tidak.

Aku mendekati si pria berkumis, dan menanyakan apakah namaku ada di daftarnya. Setelah kusebutkan na-maku, dia ragu. Di dalam daftar, ternyata nama depanku ditulis salah, dan aku dikira sebagai seorang perem-puan (huuh). Aku menunjukkan pass-port sebagai bukti nama dan menun-jukkan kalau daftar yang dipegangnya salah ketik. Ia masih belum yakin, dan lalu menanyakan nomor telpon mo-bile-ku. Ia ternyata mencatat nomor telpon yang kusebutkan sebelumnya ke panitia. Setelah mengecek kalau nomor yang kusebutkan sahih, ia pun akhirnya yakin.

Si pria berkumis ini cerita, dalam ba-hasa Inggris yang tergagap-gagap, ka-lau ia masih menunggu seorang lagi. Katanya orang itu sudah lama menunggu di bandara, namun di terminal yang berbeda. Namun, setelah menunggu selama sekitar 20 menit, si pria berkumis memutuskan untuk meninggalkannya. Aku dan si pria dari Tanzania akhirnya berjalan menuju tempat parkir, menuju mobil yang akan membawa kami ke Bonn.

Perjalanan melalui highway dari Frankfurt ke Bonn ditempuh seki-

Page 17: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

tar 1 jam 45 menit. “Jalan tol” (dalam kutip karena seperti jalan tol tapi tidak bayar) ini tak berbeda sebenarnya dengan di Indo-nesia. Terdiri dari 2-3 lajur, tergantung lokasi. Di Jerman, mobil bergerak di lajur kanan, dan setir berada di sebelah kiri mobil, terbalik dengan Indonesia. Motor dengan cc tinggi ikut melewati jalan ini, meski tak terlalu banyak, dan mereka selalu berjalan di sisi kanan jalan. Truk-truk dan mobil dengan gandengan selalu be-rada di kanan jalan. Saat lajur menyempit menjadi 2 lajur karena ada perbaikan jalan, semua truk itu tetap antri di lajur kanan, dan membiarkan kendaraan yang lebih cepat melewati mereka mela-lui lajur kiri.

Akhinya sampailah aku di kota Bonn. Impresiku, kota ini sepi seka-li. Mungkin karena si pengemudi melewati jalan yang menghindari tengah kota, aku juga tidak tahu. Aku melihat ke dekat radio. Aku perhatikan di Jerman, mobil dilengkapi dengan petunjuk jalan dan GPS, sehingga mengurangi kemungkinan pengemudi menyasar. Di bawah radio terlihat setumpuk kartu nama. Aku lupa, tapi yang jelas nama si pengemudi, lengkap dengan profesinya, yakni seba-gai chaffeur. Wow, berarti orang ini memang profesional di bidang ini. Sebelumnya aku menduga ia hanya supir dari Deutshce Welle yang diminta menjemputku.

Page 18: 8 Hari di Jerman

Sampailah aku di hotel Karl Kaiser. Rupanya hotel kecil. Hmm, tapi di hadapanku ada Hotel Ibis yang ukurannya tak jauh berbeda dengan Karl Kaiser. Apakah semua hotel di Bonn memang mungil seperti ini? Lucunya, tak ada yang menyambut membukakan pintu saat aku datang. Seperti aku mau masuk rumah, aku harus mem-bunyikan bel terlebih dahulu. Seorang wanita lalu membukakan pintu dan mempersilahkanku masuk.

Namaku sudah tercatat. Bahkan kamar hotel sudah di-booking hingga aku pulang tanggal 9 Juni 2009. Si wanita memberikan aku kunci berbentuk lingkaran berdiameter 8 cm, terbuat dari kayu yang amat berat. Ada nomor 7 tergrafir dengan warna emas di tengah lingkaran itu. Ia bercerita kalau kunci bisa dititipkan kalau berangkat ke luar hotel, supaya tidak memberatkan.

Aku pun naik ke lantai 2 ke arah kamarku. Satu lantai sepertinya hanya ada 10 kamar yang masing-masing berukuran mini. Lorong terlihat gelap, sampai aku berjalan mendekat dan lampu menyala dengan sendirinya. Hmm, efisien pikirku. Di kamar, aku merebah-kan badanku sejenak. Kepalaku masih terpenuhi dengan segala ke-mungkinan yang akan terjadi esok hari. Di meja tersaji minuman botol mineral berukuran 1 liter. Saat kubuka, aku menemukan se-

Page 19: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

suatu yang berbeda. ternyata air mineral di Jerman (dan mungkin negeri Eropa lainnya) mengandung soda. Hmm, mungkin ini untuk menjaga peminumnya untuk tidak mudah masuk angin akibat suhu dingin Eropa.

Aku mencoba tidur namun kekacauan waktu ini sungguh menyik-saku. Kepalaku sempat pusing karena perubahan kondisi dan jad-wal tidur. Aku pun butuh internet. Lebih dari 20 jam tanpa inter-net ternyata sungguh menyiksa, setidaknya bagiku. Aku turun ke lobi dan mencoba akses internet. Tidak ada yang gratis memang di Jerman. Internet di lobi hotel harus kubayar 10 Euro per jamnya. Setidaknya ini sedikit lebih murah daripada di Bandara Schipol, yang memaksa menguras 3 Euro per 15 menitnya.

Saat aku memakai internet, seorang pemuda masuk ke dalam ho-tel. Aku mendengar kalau ia ternyata peserta acara Global Media Forum pula. Aku pun berkenalan dengannya. Namanya Denis Ko-zlov dari Rusia. Ia ternyata pemenang podcaster The BOBs Award tahun lalu, dengan situs Radio Grinch-nya.

Aku ingat sore ini ada acara menarik dengan undangan terbatas. Sayangnya aku lupa konfirmasi kebisaanku hadir di lokasi. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak ikut dan mencoba kembali tidur. Agak

Page 20: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

sore hari, akan aku pakai untuk berjalan keliling melihat suasana di sekitar hotel.

Sore hari jam 18.00 aku manfaatkan untuk berjalan keliling hotel. Saat ini aku masih menduga kalau Bonn ini kota kecil. Aku berjalan berkeliling dan apa yang kulihat membuktikan itu. Aku berjalan menyeberang jalan yang terkadang ada lampu lalu lintas untuk para pejalan kaki dan pengguna sepeda. Kalau pun di persimpa-ngan itu tidak ada lampu, setiap mobil yang berlalu akan selalu menunggu para pejalan kaki melewati jalan terlebih dahulu. Ka-lau biasanya aku menyeberang di Jakarta, aku harus berhadapan dengan keegoisan para pengendara mobil dan motor, di sini justru sebaliknya. Semua pengendara mobil akan selalu berhenti mem-persilakan pejalan kaki terlebih dahulu menyeberang.

Aku berjalan sambil memegang peta Bonn yang kuminta dari hotel, berusaha memahami konteks peta dengan situasi sekitar. Seseka-li aku berjalan, sesekali aku berhenti dan memutar-mutar peta. Hingga suatu ketika, ada seorang perempuan Jerman menyapaku. Pertama dalam Bahasa Jerman.

Sadar kalau aku tidak mengerti, ia mengulang pertanyaanya dalam

Page 21: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Bahasa Inggris, “Do you need help?”

Karena saat itu aku berjalan tanpa tujuan, aku hanya bilang, “No, I just walk around the area. I stay at a hotel near here.” Ia pun lalu kembali berjalan. Wow, ternyata ada yang ramah pula.

Aku sempat berjalan melewati taman, melihat anak-anak Jer-man bermain-main di deka kolam air mancur. Di taman, seorang perempuan asyik berjemur sambil membaca buku. Di bangku, para orang tua terlihat sambil mengobrol. Yang aku suka, saat aku me-lewati taman itu, tak ada yang menatap aneh ke diriku. Seakan-akan mereka sudah biasa melihat orang berbeda ras berlalu lalang di sini.

Aku berputar-putar melihat ritme kehidupan sore kota ini. Beber-apa restoran mengeluarkan kursi dan meja, menyiapkan tempat untuk mereka yang suka makan di tepi jalan, menikmati suasana kota. Aku harus mencari sesuatu untuk aku makan malam. Aku menjauhi tempat yang menjual daging, karena khawatir mengand-ung babi. Yang paling aman tentunya adalah roti. Aku berputar-putar blok sembari mempelajari peta yang sebelumnya aku minta dari hotel. Aku berhasil menemukan toko roti tradisional. Ah, aku bisa dapat makan malam. Roti khas Eropa berukuran besar-besar

Page 22: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

memang bisa membuat seseorang kenyang. Aku juga menemukan toko swalayan kecil, tempat aku kemudian membeli minuman soda. Aku sengaja belanja untuk menukar uang kertasku agar aku bisa pula mendapat koin.

Aku pun kembali ke hotel untuk mandi dan beristirahat. Aku ma-kan roti yang kubeli dan segera beranjak ke tempat tidur. Acara televisi tidak ada yang menarik. Kalaupun ada film Hollywood, se-muanya di-dub dalam bahasa Jerman. Aku matikan televisi dan berusaha untuk tidur nyenyak hingga esok pagi.

Page 23: 8 Hari di Jerman

Bonn(Deutsche Welle Global Media Forum)

Hari Pertama

3 Juni 2009

2

Page 24: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Hari ini hari pertama Global Media Forum (GMF). Registrasi akan dimulai pukul 9.30, dan acara baru akan dibuka pukul 11. Lokasi acara di World Conference Center (WCC) Bonn. Sesuai petunjuk yang diberikan panitia, Rochsana Soraya, aku harus berangkat ke sana menggunakan subway nomor 16 yang menuju Bad Godesberg. Untuk itu aku harus terlebih dahulu berjalan ke stasiun subway terdekat, Bonn West atau stasiun besar, yang sedikit lebih jauh, Bonn Haubtbahnhof (Hbf). Terus terang membaca peta dan ber-jalan-jalan kemarin untuk menentukan orientasi masih membin-gungkan.

Aku putuskan untuk sarapan saja lebih dahulu. Sarapan di hotel tentunya harus berhati-hati, karena banyaknya makanan daging yang mengandung babi. Aku memilih yang aman saja, roti dan omelette. Saat sarapan, aku bertemu dengan Denis kembali. Ia kemarin malam sempat datang ke acara undangan makan malam, dan sempat bertemu dengan beberapa orang menarik. Tadinya aku berharap bisa berangkat bersama dengan dia ke WCC, namun ternyata ia diminta untuk datang lebih cepat oleh Soraya. Ada wawancara dengan media, katanya.

Baiklah, setelah sarapan, aku memutuskan untuk berjalan saja.

Page 25: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Aku rasa, setelah melihat peta tempatnya tidak terlalu jauh. Aku pun mulai menyusuri jalan. Wow, ternyata udara pagi pukul 9.00 pagi luar biasa dingin. Aku tak menyangka sampai sedingin ini, karena sore kemarin udaranya cukup membuatku nyaman. Angin kering membawa udara dingin, membuat bibirku cepat terasa ke-ring. Aku terus berjalan, dan dengan sok jagonya menebak-nebak mengikuti anjuran peta yang kudapat dari hotel kemarin.

Akhirnya sampailah aku di titik yang membingungkan. Saat itu ada seseorang lewat dengan sepeda. Aku coba tanya bagaimana caranya aku bisa mencapai WCC. Si bule yang berasal dari Köln ini berkata, kalau sebaiknya aku menggunakan subway saja. Ia menunjukkan arah ke Bonn Hbf (yang rupanya sudah terlihat dari situ). Ah, akhirnya, keputusanku untuk berjalan kaki ke WCC di-batalkan. Aku memutuskan untuk menggunakan subway saja.

Aku berjalan turun mengikuti panah subway yang mengarah ke Bad Godesberg. Aku mencoba memahami jadwal kereta yang ter-tempel di papan. Ternyata yang mengarah ke lokasi WCC tak han-ya subway nomor 16, tapi masih ada 3 nomor lainnya. Aku nanti harus turun di stasiun Haussallee/Museumsmeile. Pertanyaannya, dimanakah aku membeli tiket? Dan bagaimana caranya? Memang sih katanya semua peserta GMF bebas menggunakan subway dan bus selama acara berlangsung. Cuma sekarang kan aku belum re-gistrasi ulang, dan aku belum memegang tandanya.

Aku memperhatikan setiap orang yang masuk ke salah satu kere-ta subway. Hmm, kenapa mereka tidak memberikan tiket atau memberikan tanda-tanda membayar. Apakah tidak dicek di atas kereta? Sudahlah, akhirnya aku mengambil resiko. Aku masuk saja saat subway nomor 16 datang. Duduk dan memperhatikan. Hmm, ternyata saat masuk ada orang yang mendekati semacam mesin ATM, dan memasukkan koin. Sial, aku tak punya koin. Kembalian dari belanja sore kemarin tidak banyak, dan aku tidak yakin apa-kah bisa dipakai untuk membayar tiket. Jadi aku mencoba duduk tenang, tanpa membayar tiket (Indonesia banget ya?).

Kami melewati stasiun Juridicum, Eundesrechnungshof, Museum Koening, hingga akhirnya sampai di stasiun tujuan, Haussallee/

Page 26: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Museumsmeile. Tak sulit menemukan WCC, karena panah petun-juk yang rupanya telah siap disediakan panitia. Aku berjalan mele-wati jalan yang diperbaiki, rumah-rumah hunian, hingga akhirnya aku melihat 2 gedung, gedung kantor penyelenggara, Deutsche Welle (DW) dan WCC Bonn. Di hadapan WCC sendiri, terlihat pem-bangunan yang belum selesai.

Mau tahu apa bedanya perhelatan internasional yang diseleng-garakan Indonesia dengan Jerman? Kalau Indonesia, semua serba rapih, bersih, meski itu kerapihan dan kebersihan palsu, karena biasanya sebelum penyelenggaraan acara, tempat yang diadakan itu tak pernah dirawat. Di Bonn, Jerman ini, penyelenggara jujur apa adanya. Mereka seperti menunjukkan Jerman ya seperti ini. Daerah yang kulewati menuju Bonn cukup bersih, meski ada be-berapa sedikit sampah di beberapa sudut, yang juga tidak terlalu mengganggu. Aku yakin, kalau aku datang lagi setelah acara usai, suasana seperti ini masih tetap serupa.

Aku segera registrasi di GMF. Ternya-ta aku masuk dalam kategori press. Hahaha. Aku menerima sebuah tas sanggul warna kuning dengan doku-men acara GMF di dalamnya. Aku juga mendapatkan badge yang me-mungkin-kanku untuk menggunakan transportasi publik di Bonn dengan gratis selama 3 hari. Masih ada wak-tu lama sebelum acara dimulai. Aku mengkontak Yuniman Farid, kon-takku di Bonn, yang lalu mengun-dangku ke DW.

Di DW, aku berkenalan dengan Rizki dan Ayu yang menjadi penyiar di redaksi Indonesia. Bahkan Ayu langsung mewawacara aku untuk topik “blogger dan resolusi konflik.” Radio DW ini diputar dalam gelombang SW untuk menjangkau pendengar Indonesia di beragam tempat di dunia. Seharinya siaran hanya 1 jam di siang hari dan 1 jam di malam hari, bergantian dengan redaksi negara-negara lainnya.

Page 27: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Pukul 11.00 aku kembali ke seminar dan kembali berjumpa den-gan Denis. Aku juga berkenalan dengan Nancy Watzman yang juga menjadi finalis Best Weblog English Language. Acara seminar be-sar awal dibuka di Plenary Chamber, ruang yang mirip dengan ruang sidang besar daripada ruang seminar. Aku melihat banyak sekali orang dari beragam bangsa datang di acara ini. Banyak yang berkulit hitam dari Afrika. Salah satu pembuka acara seminar pun seorang jurnalis dari China. Internet pun tersedia gratis di sini. Akhirnya, aku bisa secara paralel mendengarkan seminar sembari mengerjakan hutang pekerjaanku yang tersisa.

Gedung yang dipakai sungguh megah. Bangku yang digunakan sungguh ergonomis, enak untuk duduk cukup lama tanpa harus merasa mengantuk. Aku bertanya-tanya, kalau ini gedung untuk konferensi internasional, untuk apa ada lambang negara Jerman berukuran raksasa di depan gedung? Rupanya gedung ini pernah

Rekaman siaran Radio Deutsche Welle denganku bisa didengar di http://www.dw-world.de/dw/article/0,,4303186,00.html

Page 28: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

dipakai oleh parlemen Jerman. Saat itu, tembok Berlin belum runtuh, dan ibukota Jerman Barat masih di Bonn. Tatkala gedung ini selesai dibangun, tembok Berlin runtuh dan Jerman bersatu. Ibukota pindah ke Berlin, menyisakan bangunan parlemen yang tak terpakai. Kini bangunan ini dipakai untuk beragm konferensi internasional, mengingat lokasi gedung yang juga dekat dengan gedung United Nations.

Makan siang yang disediakan di GMF ternyata aman. Mungkin me-reka sudah mengantisipasi banyaknya orang yang tak makan babi di acara ini. Di hari pertama ini, makan siang yang disediakan salah satunya adalah nasi dengan ketjap manis (sebenarnya sih nasi goreng), meski masih kalah enak dengan nasi goreng Indone-sia.

Aku berkenalan pula dengan Andrey Skipalskyi, seorang jurnalis Internews Network dari Ukrainia. Saat Andrey bertemu de-ngan Denis, pembicaraan lokal pun terjadi (dengan menggunakan baha-sa Rusia), maklum negara mereka bertetangga. Aku sempat berke-nalan pula dengan Thomas Weiss, seorang mahasiswa dari Köln. Ia saat ini sedang melakukan studi pengaruh game terhadap perilaku

Page 29: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

?pemainnya. Tak berbeda dengan di Indonesia, game Counter Strike masih dianggap populer di Jerman, dan cukup banyak (meski tak sebanyak di Indonesia) yang memanfaatkan game sebagai ajang kompetisi dan meraih hadiah.

Di sesi berikutnya, aku menghadiri workshop “How can technolo-gies and information be leveraged to manage crisis better?” yang dibawakan oleh ICT4Peace yang berada di gedung Wasserwerk, tak jauh dari lokasi gedung utama. Isinya ternyata cukup membo-sankan. Akhirnya aku habiskan waktu untuk berinternet saja.

Lucunya, aku sempat memperhatikan seorang perempuan yang duduk di belakangku sedang menulis di kertas kecil. Yang tak ku-sangka, ia lalu memberikan kertas itu kepadaku. Aku terkejut saat membaca yang tertulis, “Hallo, sepertinya kita pernah bertemu di Goethe Institute, Jakarta ya?” Aku melirik balik, dan bilang nanti setelah workshop kita cerita-cerita ya. Pikiranku pun bertanya-tanya, siapa dia?

Sekitar 45 menit berikutnya, workshop berakhir, dan aku lalu ban-yak berbicara dengan perempuan yang mengenalkan dirinya se-bagai Sabine Müller. Ia ternyata pernah berada di Jakarta dan Bandung selama beberapa tahun, bekerja sebagai penerjemah dan pengajar di beberapa tempat. Salah satunya, di Goethe Insti-tute Jakarta dan Bandung. Meski ia cukup fasih berbahasa Indo-nesia, kami masih lebih nyaman berkomunikasi menggunakan ba-hasa Inggris. Ia bercerita betapa melelahkannya hidup di Jakarta. Katanya, kalau sudah merasakan membaca buku dengan nyaman di taman-taman di Jerman, aku pasti sudah tak ingin kembali lagi ke Jakarta. Hahaha, sepertinya yang diucapkannya benar, karena memang itu kenyataannya.

Kami lalu melanjutkan mengobrol sembari coffee break, sebelum akhirnya kami berpisah menuju workshop pilihan kami masing-masing. Aku memasuki ruang utama tempat acara dibuka tadi pagi, di Plenary Chamber, untuk mengikuti workshop “The young generation: is anyone watching, anyone listening?” Pesertanya cu-kup menarik, dan tema yang dibawakan cukup tidak membuatku mengantuk sore itu. Meski sesekali waktu aku pakai untuk meman-

Page 30: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

faatkan akses internet gratis, namun tak membuatku benar-benar mengalihkan perhatian akan topik diskusi.

Sekitar pukul 18.30 semua peserta GMF diundang untuk makan malam sembari naik kapal menyusuri Sungai Rhine. Aku, Denis, dan Nancy yang sempat bertemu lagi sore itu sempat ragu, apakah kapal ini besar? Mampukah menampung ratusan peserta di dalam-nya? Ataukah ini hanya bersifat undangan terbatas yang mempri-oritaskan pendaftar lebih dulu untuk ikut di dalamnya? Sempat kami bertanya ke pusat informasi, yang akhirnya menyampaikan, kalau semua peserta diundang untuk bertamasya di atas kapal.

Kami pun melangkah ke luar gedung, mengikuti panah petunjuk yang mengarahkan semua peserta ke tepian Sungai Rhine. Sungai yang sangat lebar ini memang membelah kota Jerman, dan men-jadi salah satu atraksi wisata menarik Jerman. Di dekat dok kecil telah terparkir sebuah perahu besar dan mewah, 3 lantai. Wow, aku tak menyangka perahu yang membawa kita sebesar ini. Kalau seukuran ini, wajar saja kalau 500 orang bisa masuk di dalamnya.

Page 31: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Sejenak kami berfoto-foto di tepian sungai dengan latar belakang perahu (sekedar sebagai bukti saja), lalu antri masuk ke dalam perahu. Ada tempat penitipan barang-barang, agar kami tidak terbebani bawaan selama berada di dalam kapal. Aku tersenyum saat memberikan tas punggung dan tas sanggul GMF untuk kutitip-kan. Mereka menuliskan nomor di secarik kertas dan memberikan-nya kepada kami. Hahaha, ternyata di tengah-tengah banyaknya mesin automat di seluruh kota Jerman, penitipan barang seperti ini masih ada yang mereka lakukan secara manual.

Aku naik ke lantai dua dan melihat sederetan meja-meja kecil di se-luruh lantai. Semua orang terlihat berkumpul di setiap meja dan men-genalkan dirinya masing-masing. Makanan kecil dan minum disajikan oleh beberapa pelayan yang ber-jalan berputar mengelilingi lantai.

Aku menemukan Denis dan Nancy yang duduk di salah satu meja, dan memutuskan untuk duduk di sana. Denis sempat bertemu dengan Rochsana Soraya, panitia dari DW yang mengontakku sebelumnya, dan menanyakan apakah aku sudah sempat bertemu dengannya. Aku dan Nancy belum pernah bertemu. Denis lalu berjanji men-carikan dan akan meminta Rochsana untuk duduk di meja yang sama dengan kami.

Tak berapa lama, ada 2 orang lainnya yang bergabung di meja kami. Seorang dari Selandia Baru bernama Dr. James Thomas, dan seorang pebisnis di area mobile, Stephen Skrodzki. Stephen sempat menjadi nara sumber di salah satu diskusi panel sore tadi dan ia banyak bercerita tentang bisnis mobile di Jerman. Ia saat ini menggarap mobile TV, yang diakuinya mengalami penurunan pasar di Jerman. Perusahaannya kini sedang riset beberapa model bisnis mobile lain sebagai alternatifnya.

James (atau Jim) orang yang cukup unik. Ia bercerita kalau ia ada-

Page 32: 8 Hari di Jerman

lah seorang pengacara, sekaligus pebisnis di Makau. Denis berta-nya, kenapa Jim mengenakan bros salib di jasnya. Jim bercerita kalau ia adalah seorang pendeta, meski tidak mengikuti aliran gereja tertentu. Ia mengikuti alirannya sendiri, dan pendapatnya sendiri. Dari omongannya, aku tak bisa memutuskan, apakah ia se-orang yang sebesar yang ia katakan, ataukah ia hanya berbohong belaka. Namun setidaknya, ia punya gaya obrolan yang asyik.

Akhirnya Rochsana datang dan kami semua pun berkenalan. Aku tak menyangka ia semuda itu. Kusangka ia berusia sekitar 40-an tahun, kalau dari yang kutangkap dari bahasanya di surat. Namun ternyata ia seorang yang terlihat muda, meski ternyata usianya sudah 34 tahun.

Makan malam prasmanan yang sebelumnya dilarang untuk disen-tuh, kini boleh kami ambil. Menu makan malam yang luar biasa enak, dari daging sapi muda (veal) hingga salmon yang rasanya luar biasa enak. Cukup kenyang kami semua makan sambil tetap mengobrol. Tak terasa kapal sudah bergerak maju menyusur ke selatan Jerman, melawan arah arus sungai.

Page 33: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Aku lalu minta izin ke yang lain, ingin ke dek kapal paling atas, untuk menikmati suasana sungai. Udara dingin menusuk tulang, angin basah mengenai pakaianku. Namun ini pemandangan yang tak akan bisa kulupakan. Belum tentu seumur hidup aku bisa kem-bali ke sini, dan menikmati pemandangan ini lagi. Aku menikmati angin dingin yang menerpa tubuhku. Kedua tangan aku masukkan ke saku jaket, sementara udara dingin berhembus dari mulutku.

Aku menatap ke tepian sungai melihat rumah-rumah dan ban-yaknya kastil di lereng-lereng tepi sungai. Hari masih cukup terang, sehingga aku bisa melihat jelas semuanya. Udara pun cerah, tak ada tanda-tanda akan hujan. Aku melihat dek kapal penuh dengan para peserta lainnya. Beberapa terlihat berlindung di bawah ten-da dimana banyak makanan dan minuman tersaji di sana. Mereka menikmati udara dingin sambil tetap mengobrol dengan rekan-rekan yang baru dikenalnya. Aku memutuskan untuk menikmati udara ini sendiri. Aku abaikan semua dingin yang menusuk, men-coba mengingat-ingat apa yang kulihat, membenamkannya dalam memoriku yang terdalam.

Lama-lama aku tak tahan akan dingin yang menusuk. Aku kem-bali turun dan melihat acara panggung yang kini sudah dimulai. Musik dansa berayun, dinyanyikan oleh kelompok band Goodfellas. Para peserta tua muda, beragam suku bangsa dan ras bercampur meramaikan lantai dansa. Hari pun mulai gelap. Aku sempatkan untuk naik ke dek atas lagi untuk menikmati senja di Sungai Rhine. Kapal pun sudah membalikkan arahnya kembali menuju tempat keberangkatan. Saat berangkat, kapal membutuhkan 2 jam untuk mencapai tujuan, dan hanya membutuhkan 1 jam untuk kembali. Arus sungai dari selatan ke utara sungguh membantu laju cepatnya kapal.

Kami pun sampai di tempat semula sekitar pukul 21.00. Bebera-pa penumpang pulang, sementara musik di panggung masih terus mengalun. Sekitar pukul 22.00, aku masih mengobrol dengan Denis dan Andrey, hingga akhirnya memutuskan untuk kembali ke hotel. Khawatir kalau kami tidak bisa mendapatkan angkutan kembali ke hotel.

Page 34: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Kami melangkah ke luar kapal dan langsung terhajar oleh angin malam yang luar biasa dingin. Kami berjalan mendekati kantor DW, yang untungnya, masih ada bus menunggu untuk mengantar kami hingga Bonn Hbf. Perjalanan tak terlalu lama, hingga kami turun di stasiun utama Bonn. Aku lalu sempat berkenalan dengan 3 orang lain yang rupanya menginap di hotel yang sama dengan aku dan Denis. Seorang pemuda dari Mesir, Ahmad, yang rupanya juga pemenang The BOBs Award, lalu Rosana Hermann dari Brazil, juga pemenang The BOBs Award, serta seorang perempuan dari Iran (kalau tidak salah). Nah, yang ini aku lupa sama sekali namanya. Maaf.

Kami semua berjalan kaki dari Bonn Hbf menuju Hotel Karl Kaiser. Saat menyusuri jalan ini, aku mulai sedikit paham alur arah yang tadi pagi sempat membuatku menyasar. Sekitar 20 menit kami berjalan sambil mengobrol, hingga tiba di hotel. Kami berjanji besok pagi untuk sarapan sekitar pukul 8.00 sebelum berangkat ke WCC Bonn.

Page 35: 8 Hari di Jerman

Bonn(Deutsche Welle Global Media Forum)

Hari Kedua4 Juni 2009

3

Page 36: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Pagi ini aku mulai tidur nyenyak. Tidak seperti malam sebelum-nya akibat gangguan jetlag. Sekitar pukul 8.00 aku sudah siap, dan turun untuk sarapan. Menu sarapan hotel masih sama seperti kemarin, dan aku pun makan sarapan serupa. Di tempat ini, aku melihat Denis, dan tak berapa lama pun Ahmad datang. Kami se-mua sarapan bersama.

Sekitar 15 menit berikutnya, kami berangkat bersama menuju Bonn WCC. Mereka berdua kemarin sempat berangkat dari sta-siun Bonn West, stasiun subway yang lebih dekat dengan hotel daripada stasiun utama Bonn Hbf. Aku mengikut ke arah mana mereka pergi. Mereka berdua berjalan sambil berdebat tentang vegetarian. Haha, si Ahmad ternyata vegetarian sejak beberapa bulan belakangan ini. Aku mengikuti dari belakang sambil sesekali memfoto bangunan yang kami lewati.

Sekitar 20 menit berikutnya, kami telah sampai di WCC, dan kami semua sempat bertemu dengan Rochsana. Ia mengingatkan kami untuk berkumpul pukul 16.30 untuk rehearsal acara seremoni pe-nyerahan The BOBs Award.

Kami masuk ke workshop yang sesuai dengan pilihan kami masing-

Page 37: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

masing, sementara Ahmad bilang, kalau dia akan kabur ke kota saja jalan-jalan. Haha, bukannya aku tak tertarik, tapi aku masih punya banyak waktu di Jerman. Jadi, kuputuskan untuk jalan-jalan nanti saja setelah acara benar-benar usai. Aku mengikuti acara di Plenary Chamber, tentang “Traditional media vs. web media – friends or foes?” Bahasannya menarik, tentang bagaimana me-nyikapi perkembangan media yang terjadi kini, terutama setelah masuknya media-media baru seperti SMS, blog, jejaring sosial, dll. Meski menarik, aku tetap memanfaatkan waktu pagi ini untuk se-cara paralel mengecek email selama kegiatan workshop berlang-sung (maklum, nggak tahan kalau nggak pakai internet).

Setelah coffee break, aku melanjutkan workshop yang dipandu oleh MediaStorm, tentang “Stories you don’t forget – multime-dia storytelling meets crisis prevention” masih di ruangan Plenary Chamber. Perusahaan MediaStorm ini memang lihai dalam men-ceritakan ulang dan menekankannya pada pesan-pesan tertentu. Hanya dengan memanfaatkan cerita dan potongan dokumentasi video, tim yang hanya beranggotakan 8 orang ini bisa menyajikan film yang bisa menggugah perasaan penontonnya.

Makan siang kali ini tak seheboh hari sebelumnya, meski tetap

Page 38: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

enak. Aku mulai memperhatikan suatu pola. Mereka sama sekali tidak pernah menyajikan menu yang mengandung babi. Bisa jadi panitia sadar karena peserta Global Media Forum (GMF) ini banyak pula yang beragama Islam.

Di workshop berikutnya, aku mengikuti “Citizen journalism and freedom of speech” dengan pembicara dari beberapa blogger pe-menang The BOBs Award. Dari ulasan mereka tentang perkemba-ngan blog di negara masing-masing, aku mulai merasa, hidup di Indonesia jauh lebih beruntung. Mereka yang di Afrika masih agak sulit mengakses internet, dan lebih banyak memanfaatkan SMS dan MMS untuk publikasi konten. Blogger cantik dari Iran (yang tak mau namanya dipublikasikan oleh media) mengaku blog yang dibangunnya bersama dengan 50 perempuan lainnya mendapat kecaman dari Pemerintah. Saat ini bahkan ada 3 blogger yang dita-han. Blogger bernama Yoro dari Afrika Selatan yang meme-nangkan Best Weblog French Language tidak terlalu menghadapi hambatan, namun memang iklim menulis blog di negerinya masih mulai dibangun. Yang mungkin tidak mendapatkan masalah adalah Nancy Watzman dari Amerika Serikat yang blognya membahas ten-tang partai politik.

Page 39: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Acara ini selesai lebih cepat daripada jadwal. Saat aku keluar, aku sempat bertemu dengan Rosana dan Denis. Saat itu ada se-orang pegawai Deutsche Welle (DW) bernama Carlos yang berasal dari Brazil. Ia dan Rosana seperti sudah kenal sejak lama. Aku dan Denis lalu diajak untuk berjalan-jalan ke gedung DW. Tentunya kami mau saja, daripada harus menunggu tanpa ada kegiatan.

Kami bertiga pun diajak berkeliling dalam gedung DW dan diajak berkenalan dengan para tim redaksi DW yang berasal dari Bra-zil. Rosana, Carlos, dan para tim redaksi lainnya pun terlihat saling mengobrol da-lam Bahasa Portugis, sementara aku dan Denis hanya jadi pengamat dan senyum-senyum saja. Denis mengeluarkan kame-ranya dan merekam aksi obrolan yang tidak ia mengerti itu. Mumpung aku di DW, aku segera mengkontak Yuniman, karena ia pun diminta untuk datang pada acara rehearsal seremoni yang akan diadakan sebentar lagi.

Sekitar pukul 16.30 kami semua sudah ber-kumpul. Akhirnya, semua pemenang bisa berkenalan satu sama lain, termasuk dengan para panitia penye-lenggara The BOBs Award. Setiap perwakilan pemenang kategori bahasa didampingi seorang dari DW yang berasal dari negara ber-bahasa serupa. Aku sempat berbicara dengan ketua panitia The BOBs Award, Gabriel dan asisten utamanya, Petra (yang wajah dan rambutnya mengingatkanku akan selebriti Heather Graham, meski tentu ia tak secantik si selebriti).

Kami semua diajak berkumpul di salah satu ruang di lantai atas. Sambil menikmati makanan kecil, kami semua di-brief akan proses seremoni. Seorang perempuan yang akan membawakan acara nan-ti menyempatkan mengobrol satu persatu dengan kami, mencoba mendapatkan gambaran blog apa yang kami buat. Ia juga meng-konfirmasi kami akan pertanyaan apa yang nanti akan ia ajukan.

Page 40: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Setelah itu kami turun ke ruang Plenary Chamber tempat akan berlangsungnya penganugrahan. Saat itu ruang yang sebelumnya dipakai untuk workshop sudah kosong, pesertanya sudah rehat coffee break. Ruangan itu kami pakai untuk rehearsal kasar peng-anugrahan. Show director menentukan proses urutan pe-nerimaan piagam, dan titik tem-pat kami akan berdiri dan berbi-cara. Setelah itu kami diminta untuk duduk dekat panggung, di bangku-bangku yang sudah ditandai oleh nama kami masing-masing.

Aku agak khawatir akan Bahasa Inggrisku yang masih acak adut ini. Untuk menghindari kegugupanku nanti berbicara, aku mencoret-coret di telapak tangan kiriku, tentang kalimat yang akan kuucap-kan. Aku terus mengulang-ulang kalimat itu. Denis yang kebetulan duduk di sebelahku hanya tertawa melihat aku menulis kebetan di telapak tanganku. Ia cuma mengingatkanku untuk tidak melam-baikan tangan saja. Haha.

Masih ada beberapa saat sebelum acara resmi dimulai. Aku menge-luarkan beragam pembatas buku dan gantungan kunci bergambar wayang yang aku bawa dari Jakarta. Aku bagikan ke setiap peme-nang, sebagai tanda kenang-kenangan dariku. Umumnya, mereka merasa senang akan pemberian hadiah ini. Hmm, apa memang sudah jadi kekhasan orang Indonesia untuk kemana-mana mem-bawakan oleh-oleh ya? Haha, karena satu pun dari mereka tak ada yang memikirkan untuk membawa kenangan dari negara mereka untuk orang lainnya.

Kamera aku titipkan ke Yuniman, agar ia bisa mendokumentasi-kan foto saat aku menerima penghargaan. Setelah beberapa saat, video yang menampilkan cuplikan gambar dari blogku pun dita-mpilkan di layar, kemudian namaku pun dipanggil. Aku berjalan ke arah panggung dan menerima piagam dari kaca yang cukup berat.

Page 41: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Pikiranku hanya satu, bagaimana nanti membawa ini kembali ke Jakarta ya? Pikiran itu segera hilang saat si pembawa acara me-nanyakan apa isi blogku. Ia juga menanyakan katanya aku sedang membuat buku ya? Ia juga menanyakan relevansi buku ini dengan konten tulisan yang kubuat di blogku. Setelah semua dipanggil dan mendapatkan piagam, acara pun berakhir dengan kami berfoto-foto bersama. Sayang untuk beberapa blogger yang tak bisa hadir, karena alasan pribadi dan alasan dilarangnya mereka keluar dari negara mereka masing-masing.

Acara hari itu pun berakhir, dan semua peserta seminar diminta untuk datang ke gedung DW untuk menghadiri perjamuan makan malam bersama-sama di sana. Ada untungnya juga acara penganu-grahan piagam The BOBs Award ini, karena semakin memudahkan aku untuk berkenalan dengan orang-orang lainnya. Mereka malah yang mendatangiku untuk mengobrol banyak tentang kondisi blog di Indonesia.

Ada Katsumi Sawada, seorang jurnalis dari koran Mainichi. Ia dulu sempat datang ke Indonesia saat kerusuhan tahun 1998, dan me-liput kejatuhan Suharto. Kami banyak mengobrol tentang kondisi blog di negara masing-masing. Tepatnya sih, ia lebih ingin tahu

Page 42: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

bagaimana aktivitas daring para penduduk di Indonesia, dan sudah sampai sejauh apa.

Ada lagi seorang redaktur dari Jerman, Christian Mihr, yang sering memberi pelatihan jurnalistik ke negara-negara Timur Tengah. Ia akan menjadi pembawa acara di salah satu topik besok. Aku ber-janji akan datang, karena topik yang dibahasnya erat hubungan-nya dengan dunia blog. Ia juga banyak bertanya tentang perkem-bangan dunia blog di Indonesia, dan hambatan apa yang dihadapi para blogger dan jurnalis warga lainnya.

Aku sempat bertemu dengan 2 orang lainnya yang berasal dari redaksi Indonesia, dan berkenalan dengan anak Yuniman, si Me-wan, bayi berusia 13 bulan yang rupanya senang makan apa saja yang tersaji.

Acara masih berlangsung lama, namun aku memutuskan untuk pu-lang ke hotel lebih cepat dan beristirahat. Aku berjalan menuju stasiun subway, turun di stasiun Bonn West (tempat aku berangkat tadi pagi), dan melanjutkan berjalan kaki hingga hotel.

Malam ini malam terakhirku di hotel, dan aku masih ada sisa wak-tu pemakaian internet yang pernah kubayar saat pertama kali aku menginap. Malam ini kesempatan terakhir untuk menghabiskan-nya. Sisa waktu 45 menit aku habiskan untuk berinternet di lobi hotel, sebelum kemudian mataku mulai mengantuk, dan aku me-mutuskan untuk tidur.

Page 43: 8 Hari di Jerman

Bonn(Deutsche Welle Global Media Forum)

Hari Ketiga5 Juni 2009

4

Page 44: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Wah, ini hari terakhir seminar, dan ini artinya hari terakhirku pula di hotel ini. Aku harus pindah mulai siang ini, kecuali kalau aku mau membayarnya sendiri. Aku mulai mengepak barangku, men-gaturnya kembali agar muat dalam koper yang kubawa. Bebera-pa t-shirt batik dan syal serta taplak meja bertekstur batik yang kubawa dari Jakarta dan hendak kubagikan ke beberapa orang kukemas dalam tas punggungku. Rencananya, malam ini aku akan mulai menginap di rumah Yuniman. Untuk itu, koper harus aku bawa sekarang dan kutitipkan di kantor DW hingga masa seminar berakhir.

Aku sarapan sendiri. Mungkin yang lainnya belum bangun. Kemu-dian aku naik kembali, meneruskan mengepak, lalu segera turun ke lobi, check out. Aku menitipkan sementara koper, untuk kem-bali ke ruang sarapan. Ah, ada Rosana, Ahmad, dan Denis. Kami bercerita tentang rencana kami selanjutnya setelah acara ini be-rakhir. Rosana masih akan menginap di hotel ini sehari lagi. Ahmad akan pindah ke hotel Ibis di seberang jalan, sementara Denis akan dijemput oleh temannya untuk pergi ke kota lain. Mereka juga memutuskan untuk memakai waktu hari ini untuk berjalan-jalan ke pusat kota Bonn dan belanja. Takut kalau aku tak bisa bertemu dengan mereka kembali, aku putuskan untuk membagikan t-shirt

Page 45: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

batik yang kubawa ke Denis dan Ahmad.

Kami pun berpisah. Mereka ke kota, sementara aku menyeret ko-perku berjalan menuju terminal subway Bonn West untuk kemu-dian berangkat ke lokasi seminar. Saat menuju WCC, aku melihat banyak peserta yang sudah menyeret kopernya dan menitipkannya di lokasi acara. Aku berjalan ke gedung Deutsche Welle (DW) dan kebetulan berpapasan dengan Yuniman di pintu masuk. Yuniman meminta koperku untuk ia taruh ke kantor. Katanya, istrinya, Lara Vincent akan datang nanti siang ke kantor. Koper bisa langsung dititipkan di mobil istrinya nanti siang. Aku tak perlu merasa kha-watir.

Aku tiba telat di WCC. Acara sudah dimulai. Aku langsung memasu-ki workshop “Suppressed website – will censors lose the race.” Karena telat, aku tak terlalu menyimak tema yang dibawakan. Intinya sebetulnya, bagaimana tekanan-tekanan yang muncul pada beberapa situs/blog dan mungkinkan isi situs/blog itu disensor/di-regulasi oleh pihak berwenang.

Saat coffee break, aku berkenalan dengan seorang pemuda dari Cina. Namanya Ya Lin Wang, yang ternyata bekerja di kantor Uni-ted Nations, tak jauh dari gedung DW. Bahasa dan dialeknya sung-guh bagus dan mudah dipahami. Berbeda dengan beberapa orang dari Jepang dan Cina yang pernah aku temui sebelum-sebelum ini. Ia belum lama bekerja di sana, dan sepertinya sangat menyukai pekerjaannya.

Saat itu, waktunya memasuki sesi workshop terakhir. Aku mencari-cari Rochsana, si panitia dari DW sejak tadi namun sialnya baru ketemu saat sesi berikutnya akan dimulai. Setelah menunggunya sibuk melayani si blogger dari Iran (yang kehilangan rekannya), aku pun berkesempatan mengobrol dengannya. Aku memberikan-nya sebuah syal dan taplak meja batik yang memang kusiapkan dari Jakarta untuknya. Ia menerimanya dengan senang hati. Un-tunglah.

Aku lanjut kembali segera memasuki workshop yang memang kutunggu-tunggu. Di acara yang dipandu oleh Richard Mihr (yang

Page 46: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

sempat kutemui di hari sebelumnya), aku mengikuti workshop ber-judul “Bypassing cencorship through blogging? The blogosphere in Russia” yang membahas tentang kondisi blogosfer di Rusia dan Jerman dan pengaruhnya terhadap perkembangan politik. Sebe-narnya ini topik yang menarik kalau saja si pembicara dari Rusia bisa presentasi dengan lebih baik.

Di akhir sesi, aku sempat bertanya apakah politisi baik di Rusia dan Jerman sudah terjun langsung berdiskusi melalui blog atau forum, dan apakah upayanya ini berhasil menarik minat generasi muda? Dalam hal ini, di Rusia ternyata lebih maju. Politisinya aktif dan blog yang mereka tulis cukup banyak menarik minat pembaca anak muda, sementara di Jerman masih sebatas mencoba aktif di beragam social media meski belum bisa mengukur hasil yang didapatkan.

Acara workshop berakhir, dan semua peserta diminta kembali ke Plenary Chamber untuk mengikuti pidato penutupan. Pidato yang menurutku basa basi ini agak membosankan. Agak aneh, karena pi-dato yang bersifat kesimpulan ini sepertinya sudah dituliskan jauh hari sebelum kegiatan Global Media Forum (GMF) ini berlangsung.

Page 47: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Acara ditutup dengan makan siang bersama di Art and Exhibition Hall, sekitar 10 menit berjalan kaki dari WCC. Ada informasi baru kalau katanya para peserta bisa mengikuti tur tambahan berjalan-jalan ke sebuah tempat wisata, namun dikenakan biaya 49 Euro. Wow, menarik sih, tapi mahal sekali. Lebih baik aku tak ikut. Kalau memang bagus, aku pikir aku bisa pergi ke sana esok sendiri, de-ngan biaya yang tentunya lebih murah.

Saat berjalan ke lokasi aku sempat berkenalan dengan Peter Bihr. Ia sempat menjadi notulen di workshop yang terakhir kuhadiri. Ia saat ini sedang menggarap kampanye daring untuk salah satu par-tai politik di Jerman. Ia bertanya-tanya tentang bagaimana para politisi di Indonesia berkampanye. Aku lalu bercerita tentang hal yang serupa terjadi di Jerman, banyak calon presiden yang me-manfaatkan blog dan Facebook untuk berkampanye.

Aku juga bercerita kalau mereka tidak hanya melakukan itu. Mer-eka, atas undangan para blogger dan partisipan di ranah daring, bahkan sempat bertemu dan berdiskusi langsung di tempat yang netral. Peter hanya berucap, “Wow, mereka mau? Itu ide yang bagus. Nanti akan coba diadakan serupa pula di sini.” Aku kembali berpikir, wah, berarti kalau terkait dengan blog dan masyarakat

Page 48: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

daring di Indonesia, kita jauh lebih beruntung dan maju dibanding negara seperti Jerman sekalipun.

Tempat makan siang kali ini tidak terlalu besar, dan antriannya ter-lihat panjang. Aku hanya mengambil minum. Saat bertemu dengan Ahmad, ia mengajakku untuk melihat museum terlebih dahulu. Lokasinya memang tak jauh dari tempat jamuan makan. Saat itu sedang ada pameran karya Amadeo Modigliani, seorang artis klasik tenar yang karya aslinya tersebar di beragam museum di berbagai negara.

Aku sendiri tak mengenal Modigliani, sampai akhirnya aku meli-hat karyanya yang familiar. Oh, yang ini, kataku dalam hati. Tak sadar, kuhabiskan waktu hampir 1 jam lamanya mengamati semua karyanya di museum. Keren-keren. Bahkan, Ahmad akhirnya me-ninggalkanku karena aku terlalu asyik menikmati lukisan, pahatan, dan sketsa karya Modigliani ini.

Sekembalinya aku ke tempat makan, antrian sudah berkurang, dan menupun sudah berkurang. Aku makan yang tersisa dan berdi-

Page 49: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

ri di dekat Nancy dan Rochsana yang asyik mengobrol bersama. Nancy rupanya sudah menyempatkan diri belanja dan mampir ke Beethoven Haus di tengah kota. Ia menunjukkan kaos oleh-oleh untuk suami dan kedua anaknya. Waktu pun menunjukkan pukul 15.00 dan akhirnya kami semua pun harus berpisah. Nancy rupa-nya masih akan mengikuti tur tambahan, karena kesempatannya di Jerman pun hanya tinggal sore ini. Ia harus kembali ke Amerika Serikat esok pagi.

Aku mengirimkan SMS ke Yuniman, menanyakan pukul berapa ia pulang. Rupanya ia masih akan lama di kantor. Baiklah, kalau be-gitu aku habiskan waktu sore ini dengan berjalan-jalan memasuki museum lainnya di sekitar sini. Aku mampir sejenak ke Kuntz Mu-seum dan takjub melihat air mancur yang menetes dari atas. Tete-san ini turun dengan kecepatan yang berbeda-beda, dan memben-tuk kata-kata sambutan dalam Bahasa Jerman. Aku membayar 2 Euro untuk bisa memasuki isi pameran, yang rupanya berisi pam-eran seni instalasi yang membosankan.

Aku melanjutkan berjalan-jalan ke arah manapun tanpa tujuan. Rupanya sudut kota sekitar DW dan WCC ini merupakan area kan-tor yang tak banyak bisa dilihat. Aku lalu berbalik arah, dan ber-

Page 50: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

jalan menuju Sungai Rhine, tempat kapal wisata membawa peserta seminar 2 hari sebelumnya. Aku duduk dan memfoto beragam ak-tivitas yang terjadi di sana. Banyak sekali warga yang memanfaat-kan tepian Sungai Rhine yang tertata ini untuk olahraga jogging, sementara banyak sekali kapal kecil dan besar berlayar melewai sungai. Ada yang mengangkut mobil, ada yang merupakan kapal pesiar yang setiap penumpangnya bebas ikut, dengan membayar tentunya.

Setelah cukup bosan menatap sungai, aku memutuskan untuk menunggu Yuniman saja di kantor DW. Di kantornya, aku memin-jam salah satu komputer untuk mengecek email. Aku langsung bin-gung setelah melihat keyboard yang dipakai. Standar Jerman me-mang berbeda. Yang terlihat langsung adalah posisi huruf Y dan Z yang terbalik. Lalu aku perhatikan lebih detil lagi, ternyata semua posisi tanda baca pada posisi yang berbeda semua. Ada pula tam-bahan beberapa karakter yang bisa diaktifkan bila aku menekan tombol Alt-kanan terlebih dahulu. Ada perbedaan fungsi antara Alt-kiri dan Alt-kanan pada keyboard Jerman.

Yuniman sempat mengenalkanku dengan kepala redaksinya, Hen-dra Pasuhuk. Sambil menunggu Yuniman selesai dengan peker-jaannya, aku pun mengobrol panjang lebar dengan Hendra. Dari-

Page 51: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

nya, aku ketahui kalau ternyata biaya telekomunikasi di Jerman itu masih mahal. Operatornya tidak terlalu getol dalam bersaing. Bahkan, hampir tidak ada tempat wi-fi gratis yang disediakan oleh operator, kecuali kalau pembiayaannya disponsori oleh pihak lain. Biaya telepon masih tergolong tinggi, meski biaya internet untuk rumah tangga bisa dikatakan sangat murah. Makanya, banyak war-ga Jerman yang lalu memanfaatkan internet untuk bertelepon dan video.

Hendra juga bercerita tentang seluk beluk DW, bagaimana muncul-nya redaksi Indonesia dan berita seperti apa yang biasanya mereka bawakan. Umumnya DW redaksi Indonesia lebih banyak menceri-takan berita-berita luar negeri, dengan sumber berita dari kantor berita DW sendiri. Hendra juga bercerita kalau DW siaran Indone-sia hanya bisa didengarkan di gelombang SW, dan hanya siaran 2 jam dalam sehari, 1 jam di siang hari dan 1 jam di malam hari. Semua siaran sudah direkam, dan operator siar hanya memutar hasil akhir yang sudah di-mix. Setiap harinya, staf DW Indonesia mencari bahan, dan menyusun rundown acara untuk siaran di hari itu. Secara paralel, anggota staf yang sama pula mengisi rubrik Bahasa Indonesia di situs utama DW.

Sekitar pukul 18.00, Yuniman sudah selesai dengan tugasnya, dan bersama dengan 2 rekan lainnya, Ayu dan (duh maaf, aku lupa namanya), kami keluar dari DW. Kami tidak langsung pulang. Ren-cananya, Yuniman beserta 2 rekannya itu akan mengunjungi se-orang rekan lainnya yang baru saja melahirkan bayi. Aku ikut saja, sekaligus melihat-lihat jalan Bonn. Kami semua berangkat meng-gunakan mobil pribadi temannya Ayu.

Kami berjalan memasuki pinggiran kota Bonn, melewati hamparan rumput hijau, rumah-rumah kecil, hingga sampai kompleks pe-rumahan yang dimaksud. Rekan yang dijenguk ini bernama Vidi, dengan bayinya yang masih berusia 1 bulan bernama David. Suami Vidi, orang Jerman, bernama Daniel, saat itu belum tiba di rumah. Guyonan Ayu dan temannya, nama David diambil dari gabungan kedua nama orang tuanya, Da-niel dan Vid-i. Tak lama kemudian, rekan dari DW lainnya, Rizki, yang aku sempat kenalan di saat kunjungan pertamaku ke DW, datang. Lalu, istri Yuniman, Lara

Page 52: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

dan anak mereka, Mewan, datang pula. Lara Vincent, istri Yuni-man ternyata seorang perempuan atraktif berkebangsaan Prancis. Suasana pun ramai, apalagi ditambah kehadiran 2 anak kecil di rumah sempit itu. Sungguh, rumah di Jerman memang kecil-kecil. Sewanya per bulan cukup mahal, bisa sampai 500 Euro per bulan-nya.

Sekitar pukul 19.00, kami pun pulang. Ayu, Rizki pulang diantar temannya, sementara aku ikut Yuniman yang pulang bersama is-trinya dan Mewan. Rumah Yuniman juga agak jauh dari luar kota, tapi katanya kalau dengan bus cuma butuh waktu 20 menit hingga pusat kota. Aku percaya saja, toh seharusnya transportasi di sini sangat baik dan tepat waktu, berbeda dengan di Jakarta.

Rumah Yuniman lebih besar daripada rumah Vidi. Dua lantai. Lan-tai bawah penuh dengan mainan Mewan yang tersebar di lantai. Satu set komputer terlihat di ruangan itu dengan pagar pembatas. Lucunya, biasanya pagar ini dipakai untuk menjaga agar bayi tidak keluar dari batas. Namun di sini, pagar itu dipakai untuk mengelil-ingi komputer, agar si bayi tidak bisa mendekat ke komputer.

Dapur penuh dengan beragam sayur dan toples. Piring tempat ma-kan kucing peliharaan mereka terlihat di lantai dapur. Kamar man-di kecil yang terdapat di bawah hanya digunakan untuk toilet dan wastafel. Di lantai atas terdapat 2 kamar tidur. Satu untuk Yuni-man dan Lara. Satu biasanya untuk tamu, namun kadang Mewan ditidurkan sendiri di kamar itu. Kamar mandi dengan bathtub juga berada di lantai dua. Isi kamar mandi penuh dengan perlengkapan mandi Mewan. Huhu, begini rasanya kalau punya banyak barang namun ruangan terbatas.

Masih ada tangga menuju besmen, yang katanya langsung menga-rah ke tempat parkir mobil. Berbeda dengan rumah atau aparte-men Jerman lainnya yang memiliki satu pintu masuk untuk seluruh unit, rumah Yuniman memiliki pintu masuk sendiri.

Aku mulai memikirkan rencana esok, memastikan apakah Christin, si blogger yang kini berada di Belanda jadi bisa datang ke Jerman esok hari. Akhirnya, Christin pun mengkonfirmasi kalau kita bisa

Page 53: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Page 54: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

bertemu dan berjalan-jalan di kota Düsseldorf. Ah, akhirnya ada yang bisa menemaniku berjalan-jalan esok hari.

Malamnya, saat Mewan sudah tidur benar, Yuniman hendak be-rangkat ke supermarket. Aku pun ikut, untuk membeli minum dan cokelat untuk bekalku berjalan-jalan esok hari. Supermarket terkenal di Jerman adalah Rewe, yang menjangkau pasar di kota hingga tepian kota. Hanya Yuniman mengingatkan kalau belanja di Rewe, pembeli harus menyiapkan kantong sendiri. Berbeda de-ngan di Indonesia, tas plastik untuk kantung belanja di sini dijual, dan tidak gratis. Harganya 0.10 Euro. Huh, plastik pun harus ada tanda barcode-nya.

Malam itu aku tidur di ruang tamu, setelah menikmati makan malam sederhana bersama dengan Yuniman dan Lara. Aku tak lupa men-charge batere handycam, kamera, dan telpon, agar aku bisa mendokumentasikan lengkap seluruh perjalananku esok hari.

Page 55: 8 Hari di Jerman

Düsseldorf

6 Juni 2009

5

Page 56: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Hari ini aku berjanji untuk berjumpa dengan seorang blogger Jogja yang kini merantau di Rotterdam, Belanda. Namanya Chris-tin. Kami berjanji untuk bertemu di kota Düsseldorf, tepatnya di stasiun pusatnya, Düsseldorf Hbf. Christin sudah berangkat sejak pagi dengan menggunakan kereta ICE dari Belanda. Biayanya yang cukup mahal, sempat membuatnya ragu, apakah ia bisa ke Düs-seldorf atau tidak. Entah apapun pemikirannya, akhirnya ia tetap memutuskan untuk berangkat. Aku bersyukur karenanya.

Setelah mengarungi perjalanan dengan kereta lintas negara se-lama kurang lebih 3 jam, Christin pun tiba lebih dahulu di Düssel-dorf pada pukul 10.30. Aku baru bisa berangkat dari rumah Yuni-man setelah pukul 8.30. Haha, ini dikarenakan aku tidak diizinkan mandi sampai Mewan, si bayi, terbangun lebih dahulu. Setelah Mewan bangun, aku pun mandi, dan segera berpamitan.

Ada 2 alternatif nomor bus dari rumah Yuniman di jalan Hall-estrasse no. 56 menuju pusat kota Bonn, yakni bus nomor 608 dan 609. Nomor 608 bisa aku naiki dari halte dekat rumah (nama haltenya, Fahrenheitstrausse), sementara nomor 609 harus dari halte yang lebih jauh, sekitar 200 meter dari rumah (nama halte-nya Hallestrasse). Nomor 608 akan berangkat pada pukul 8.57.

Page 57: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Aku segera bergegas ke halte Fahrenheitstrausse. Bus pun datang tepat waktu. Bodohnya aku, aku menunggu di halte yang salah. Aku menunggu di sisi seberang. Aku kira bus ke Bonn lewat di hadapanku, padahal bus itu lewat di sisi seberang jalan. Yuniman sempat berkata, bus akan datang setiap 30 menit. Aku khawatir, kalau aku menunggu bus 608, aku takut ketinggalan kereta yang akan membawaku ke Düsseldorf.

Aku segera berlari-lari kecil ke halte Hallestrasse. Udara dingin keluar dari mulutku. Bawaanku sengaja kuperingan. Aku hanya membawa handycam dan kamera SLR-ku. Namun udara pegunu-ngan yang tipis dan dingin cukup cepat membuatku kehabisan na-fas. Setibanya di halte, kupastikan lagi. Kali ini kutanya langsung dengan seorang ibu yang menunggu di sini, dan untunglah kali ini benar. Setelah 10 menit menunggu, bus 609 pun datang. Ini per-tama kalinya aku menggunakan bus di Bonn dengan membayar. Sebelumnya, badge pemberian Global Media Forum yang menjadi alat sakti pembayaran.

Bus membawaku ke pusat kota Bonn melewati serangkaian ladang, rumah-rumah apartemen. Pemandangan yang bersih kemanapun mata memandang. Coretan grafiti cukup banyak terlihat di berba-gai sudut jalan, namun tak menghilangkan kesan menariknya kota Bonn.

Sekitar 20 menit kemudian bus pun berhenti di pusat kota. Aku sempat mencari-cari lokasi stasiun kereta utama. Dua hari lalu aku memang sempat berada di sini, hanya saja saat itu malam hari dan semua sudah sepi tanpa kehidupan.

Stasiun kereta Bonn Hbf terlihat padat. Banyak orang beragam usia menunggu kereta yang akan lewat. Beragam kereta dengan berbagai kelas lewat stasiun ini. Semua terjadwal tepat waktu (atau kalau pun terlambat, hanya selisih 2-3 menit). Aku harus menemukan tempat membeli tiket terlebih dahulu. Yuniman men-gatakan ada loket orang yang menjual tiket. Sejenak ku berputar namun tak melihat sedikit pun tanda tempat penjualan tiket.

Aku mendekati sepasang suami istri yang berada cukup dekat de-

Page 58: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

nganku. Aku menduga, sepertinya si suami bisa berbahasa Inggris lancar. Saat kutanyakan tempat membeli tiket, si suami hanya bil-ang sembari menunjuk automat. Semua tiket serba otomatis.

Aku berjalan mendekati au-tomat. Aku mulai bingung, karena petunjuk yang tertem-pel di mesin itu menggunakan Bahasa Jerman. Aku kembali celingak-celinguk, lalu aku melihat 2 orang pemuda Jer-man yang sedang membeli tiket di automat sebelah. Langsung saja kumintakan to-long untuk membantuku me-mahami automat. Ternyata aku cukup memasukkan kode

tujuan keberangkatan, masukkan uang (menerima kertas dan koin) ke slot automat, dan voila, tiket tujuan pun keluar. Perjalanan dari Bonn Hbf menuju Düsseldorf Hbf mengabiskan 14.4 Euro.

Dengan sabar ku menunggu hingga jam mendekati pukul 10.00. Kereta Rhine Express (RE) yang kutunggu pun akhirnya tiba. Kere-ta RE berwarna merah ini merupakan kereta kelas termurah di Jerman. Lantainya terbagi menjadi 2 tingkat. Aku pun memilih un-tuk duduk di lantai atas. Posisi bangku tak berbeda dengan kereta di Indonesia, hanya bedanya, bangku kereta ini lebih ergonomis dan nyaman untuk diduduki.

Perjalanan selama 1 jam melewati beberapa stasiun kereta. Salah satu yang besar adalah stasiun Köln Hbf. Banyak penumpang turun dan naik di stasiun ini. Akhirnya jam 11.03 sampailah kereta di Düsseldorf. Telat 3 menit dari jadwal seharusnya. Christin sem-pat meng-SMS kalau ia sudah tiba sejak pukul 10.30 dan ia akan menunggu di jalur kereta kedatanganku.

Aku pun keluar bersama banyak orang lainnya. Stasiun Düsseldorf Hbf sungguh besar sekali, melebihi ukuran stasiun Bonn Hbf (yang sebenarnya pun sudah besar). Banyak kereta regional dan antar-

Page 59: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

negara melintas di stasiun ini. Bahkan kereta yang ditumpangi Christin pun, yang menghubungi Belanda dan Jerman, singgah di stasiun ini.

Sempat aku mencari Christin kesana kemari, hingga akhirnya ia yang menemukanku. Wow, ternyata ia lebih pendek daripada yang kuduga (haha, maaf lho). Tapi orangnya asyik. Ramah, baik, sayangnya gila shopping. Kami lalu berjalan ke luar stasiun menuju kota Düsseldorf. Christin ternyata pernah ke kota ini sekali, ma-kanya ia tak terlalu kehilangan orientasi saat memasuki kota ini.

Kota Düsseldorf sungguh berbeda dengan Bonn. Sangat ramai. Ke mana mata memandang, yang terlihat pertokoan besar. Dari brand besar seperti Levi’s, H&M, Zara, atau Esprit. Untung aku bukanlah tukang belanja. Kasihan Christin, mentalnya diuji coba di kota ini. Matanya tidak tahan menatap beragam diskon dari 10-20% yang muncul di setiap toko. Ia berulang kali mencoba menghindar, dan mengajak terus berlalu sebelum godaan itu berhasil menyerang-nya.

Kami membiarkan langkah kaki membawa kami berjalan memasu-ki mal-mal kecil, plaza dengan patung indah, hingga beberapa

Page 60: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

gereja tua. Suasana hiruk pikuk orang, kendaraan, trem, terlihat di banyak persimpangan jalan. Beberapa galian konstruksi juga terlihat, dibatasi oleh pagar yang tertata rapih memisahkannya dengan keramaian orang berlalu lalang.

Page 61: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Saat itu sudah mendekati siang hari, dan perut kami pun lapar. Aku sendiri tak sempat sarapan tadi pagi, sementara Christin hanya makan sepotong roti. Christin memberikan pilihan, makan di Pizza Hut, McDonald’s atau Subway? Subway, aku bertanya, apakah itu?

Kami memutuskan untuk makan di Subway. Christin sudah bebe-rapa kali makan di sini, sementara aku belum pernah mencoba. Di Subway, kami bisa membuat sandwich sen-diri. Dari awal memilih roti, keju, daging, sayur, hingga saus. Porsinya cukup besar dan mengenyangkan untuk makan siang. Di sini, soft drink bebas diambil, tanpa ada batasan porsi. Saat makan siang ini, aku dan Chris-tin banyak bertukar cerita tentang teman-teman di Plurk dan beragam kejadian yang terjadi belakangan ini. Setengah jam kami sempat berbicara, sebelum akhirnya melan-jutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

Beberapa orang terlihat mencoba meraih penghasilan dengan ber-atraksi. Ada sekelompok pengamen yang memainkan alat musik dengan irama indah. Kata Christin, alunan organ elektronik dari salah satu pemain mengingatkannya akan organ gereja. Ada pula pemain “pantomim” yang mengecat seluruh tubuhnya dengan warna hitam, dan beraksi bak patung. Ada pula aksi penggalangan dana, yang mempertunjukkan 2 orang di panggung beradu cepat di atas sepeda statis.

Saat itu juga ada beberapa kelompok orang yang mengenakan ko-stum seragam, sepertinya ada kompetisi lomba kostum. Aku sem-pat lihat sekelompok pemuda yang berdandan punk dan gothic. Ada lagi sekelompok yang mengenakan kaos merah dengan ker-tas tertempel di dadanya, seperti Gerombolan Siberat, musuh si Paman Gober di karakter Disney. Ada pula sekelompok pemuda yang mengenakan kaos warna-warni ala Hawaii. Aku dan Christin sempat tertawa karena salah satu orang mengenakan kaos dengan gambar David Hasselhoff sebagai bagian dari coraknya.

Page 62: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Sampailah kami di salah satu sentrum kota. Gedung tua dan patung menghiasi area itu. Tak jauh dari situ, ada lorong masuk menuju tempat penjualan suvenir. Beragam jenis suvenir khas Düsseldorf dan Jerman dijual di sini. Agak aneh melihat penjualnya. Si bapak berkacamata ini mengenakan jas formal hitam lengkap dengan dasi merah. Sesuatu yang amat janggal untuk seorang penjual su-venir. Saat membeli barang pun, ia sendiri yang membungkus dan mengurus pembayaran di kasir.

Saat itu cuaca sungguh tak mendukung. Mendung dan akhirnya dii-kuti oleh hujan rintik-rintik. Suhu saat itu mungkin sekitar 17°C. Bukan air hujan yang menyiksa, namun angin kering dingin yang mengikutinya yang membuat banyak orang menepi dan berteduh. Beberapa toko menyediakan coffee shop yang laris dihampiri orang untuk berteduh.

Meski hujan dan angin cukup kencang, aku dan Christin menerus-kan perjalanan. Christin mengeluarkan payungnya, dan kami pun meneruskan perjalanan. Kami semakin mendekati Sungai Rhine yang membelah kota Jerman. Banyak rumah makan dan pertokoan berada di sekitar sini. Beberapa turis terlihat berfoto-foto sembari mendengarkan cerita dari pemandunya. Dari sudut kami berjalan,

Page 63: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

menara tinggi, yang menjadi ikon kota Düsseldorf terlihat jelas. Sayangnya langit masih mendung dan dingin semakin menusuk.

Akhirnya kami memutuskan untuk menghangatkan diri. Kami kem-bali berjalan ke pusat kota, mencari Dunkin’ Donuts. Christin se-pertinya kangen sekali akan donat karena ternyata tak ada Dunkin’ Donuts sama sekali di negeri Belanda. Toko terlihat kecil dengan meja dan kursi terbatas. Setelah kami membeli masing-masing sebuah donat dan minuman, kami berjalan ke belakang. Ternya-ta, toko ini memiliki besmen, dan di besmen inilah sofa-sofa khas Dunkin’ Donuts disediakan. Oh ya, minuman hot chocolate Dunkin’ Donuts di Jerman sama enaknya dengan di Indonesia, hanya disa-jikan dalam cup yang berbeda.

Cukup lama kami berteduh. Kembali lagi kami bercerita karena memang saat inilah kopdar kami yang pertama kali. Sebagai cata-tan, aku belum pernah bertemu dengan Christin sebelumnya. Hanya canda dan selepetan yang terjadi di dalam Plurk-lah yang membuat kami berasa pernah kenal sebelumnya.

Saat kami keluar dari Dunkin’ Donuts sekitar 1 jam berikutnya, hujan masih terus mengguyur dan angin kencang kering masih

Page 64: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

terus bertiup. Payung Christin pun tak tahan pula menahan goya-han angin. Salah satu rusuk payung terlepas dan rusak. Untunglah masih bisa memadai untuk kami pakai berteduh. Kami kembali berputar-putar kota tanpa arah. Sempat terhenti di depan toko yang sepenuhnya menjual cokelat dengan desain bungkus yang indah-indah. Terlalu mahal, menurut kami.

Setelah berusaha menjauh dari toko-toko berdiskon, akhirnya niat Christin pupus juga. Ia mengajak untuk masuk melihat-li-hat. Memang, ada beberapa sepatu yang di-jual dengan cukup murah, dari 10-20 Euro. Untuk ukuran Jerman, nilai ini bisa dibilang sangat murah. Untuk sekedar bayangan, nilai 10 Euro identik dengan membeli 5 botol Fanta berukuran 1 liter. Jadi, nilai 10 Euro bagi orang Jerman tak berbeda dengan kita membelanjakan uang sekitar Rp. 35.000,00 di negara kita.

Setelah puas berjalan-jalan dan tak ada hal menarik yang bisa kami lihat lagi, kami pun kembali ke Düsseldorf Bhf. Kami mencari kereta yang dalam waktu dekat bisa memba-

wa kami pulang ke kota masing-masing. Untunglah, selang waktu keberangkatan kereta yang digunakan Christin dan aku tak ber-beda jauh. Hanya berbeda 10 menit. Aku mengantar Christin ke peron (glaisse) keberangkatannya. Setelah melepas keberangka-tannya, aku menuju peron keberangkatanku, untuk menaiki kere-ta Rhine Express, kereta yang sebelumnya membawaku ke kota Düsseldorf.

Saat kereta datang, kini aku memilih untuk duduk di tingkat bawah. Setelah aku duduk, seorang perempuan Jerman dengan anjing rottweiler-nya duduk di hadapanku. Wow, ternyata selain sepeda, anjing pun diizinkan untuk masuk kereta kelas ini. Di te-ngah-tengah perjalanan menuju Köln Hbf, si perempuan mengelu-arkan handuk bersih dari tasnya. Handuk itu ternyata untuk alas si anjing tidur di lantai (heh?).

Page 65: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Kereta pun berhenti sejenak di Köln, dan bersama dengan banyak penumpang lainnya, si perempuan dan anjingnya keluar. Bangku-nya yang kosong kini diisi oleh seorang perempuan cantik beram-but hitam. Hmm, cantik bisa jadi karena makeup-nya yang pas. Ia asyik mendengarkan musik dari MP3 player-nya.

Sekitar jam 19.00 aku pun sampai di Bonn Hbf, dan kembali melanjut-kan perjalanan pulang ke Fahren-heitstrausse dengan bus nomor 609. Setengah jam kemudian, sampailah kembali aku di rumah Yuniman, Lara, dan anaknya Mewan. Setelah sejenak menunggu Lara pulang, dan menemani si Mewan beristirahat di kamarnya, kami pun makan malam sederhana. Sekedar pizza yang dibeli di Rewe Supermarket dan dihangatkan. Ternyata udara Eropa tidak membuat orang makan banyak, seperti kita di Indonesia.

Terima kasih untuk Christin yang telah menemaniku selama sehari ini. Semoga dirimu selamat hingga rumahmu di Rotterdam.

Page 66: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Page 67: 8 Hari di Jerman

Brühl

7 Juni 2009

6

Page 68: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Hari ini hari Minggu, dan berbeda dengan di Indonesia, hari Min-ggu hampir semua pertokoan tutup. Tadinya aku berencana untuk ke pusat kota Bonn untuk mencari-cari suvenir kembali, sekaligus melihat festival balon udara yang diadakan di tepi Sungai Rhine, tak jauh dari kantor Deutsche Welle. Namun mendengar kalau per-tokoan tutup, niatku untuk pergi pun urung kulakukan.

Yuniman dan Lara mengajakku untuk ber-jalan-jalan ke daerah Brühl, yang berada di antara kota Bonn dan Köln. Kami semua ber-sama Mewan, bayi mereka yang masih beru-sia 13 bulan, menggunakan mobil VW Touran mereka dan menempuh perjalanan melalui highway sejauh 20 kilometer ke arah barat laut.

Di daerah Brühl ini terdapat bangunan lama peninggalan abad ke-16, Augustusburg, yang dulu dimiliki oleh salah seorang bangsawan dari Köln. Di hadapan bangunan ini terben-tang taman indah yang luas luar biasa. Air mancur terlihat dari tengah-tengah taman,

Page 69: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

dengan banyak bebek berenang di kolam-kolamnya. Banyak orang menikmati keindahan taman ini. Anak-anak kecil berlarian di te-ngah-tengah pola tanaman yang mirip labirin. Salah seorang ayah terlihat duduk dalam keteduhan pohon mengamati kedua anaknya berlarian kesana kemari. Para orang tua berjalan di keteduhan pohon-pohon yang berjajar lurus di kiri dan kanan taman. Be-berapa orang bahkan memanfaatkan taman besar ini untuk jog-ging berkeliling. Yuniman berkata, kalau warga Jerman suka sekali mendatangi taman-taman seperti ini setiap hari Sabtu dan Minggu. Satu hal yang kurang hanyalah tak adanya sinar matahari. Hanya awan mendung, meski masih terang, membayangi perjalanan kami menyusuri taman.

Aku bersama keluarga Yuniman berjalan menyusuri taman hingga ke ujung terjauh. Sesekali kujepretkan kamera SLR-ku, mengin-tai sudut-sudut menarik yang terlihat di sepanjang taman. Kami melewati batas taman, dan memasuki jalan bertanah. Kiri kanan terlihat hutan rindang, dengan kicauan bunyi burung terdengar. Aku asyik melihat Mewan yang kini sedang belajar berjalan. Ia di-tuntun Yuniman dengan selendang, dan dibiarkan berjalan ke arah manapun yang ia suka.

Sekitar 20 menit kemudian, kami pun kembali ke arah bangunan

Page 70: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Augustusburg. Di dekat bangunan besar itu, kebetulan sedang ada acara musik. Bangunan yang ditentukan sebagai bangunan historis oleh UNESCO ini hari ini banyak sekali dikunjungi orang. Malam nanti sepertinya akan ada pertunjukan, karena aku sempat meli-hat 4 pasang pria dan wanita yang mengenakan kostum abad-16, lengkap dari rambut hingga seluruh pakaian yang menutupinya. Mereka terlihat bersiap-siap sejenak, sebelum akhirnya mereka berjalan memasuki bangunan.

Waktu menjelang siang, dan kami semua pun lapar. Katering yang tersedia cukup unik. Sebuah mobil yang sudah disulap untuk di-jadikan tempat penyedia kopi, dengan di sebelahnya tersedia meja saji dan panggangan. Yang menakjubkan, di dekat antrian tersedia monitor Macintosh besar yang menampilkan foto-foto sa-jian dari katering itu. Harga makanan antara 4-5 Euro, dengan beragam jenis daging (yang tentunya kebanyakan babi). Aku ter-paksa memilih menu makanan yang tak seberapa kenyang, yakni sosis ayam dan roti. Nggak masalah bagiku.

Awan mendung tiba-tiba menebal, dan langit mulai menggelap. Tak lama hujan rintik-rintik pun turun, meski suhu tak berbeda jauh. Kami semua memutuskan untuk masuk ke dalam Augustus-burg, dan menikmati museum di dalamnya. Setiap orang wajib

Page 71: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

membayar 5 Euro. Kami harus menunggu sekitar 10 menit sebelum pemandu wisata mengantar kami semua menikmati isi museum. Sayangnya, semua cerita dibawakan dalam bahasa Jerman. Un-tungnya, aku sempat meminjam petunjuk urutan tur dalam ba-hasa Inggris. Setidaknya, aku tidak benar-benar merasa bodoh mengikuti tur ini.

Di dalam tur ini, kami semua tak diperbolehkan melakukan doku-mentasi foto atau video. Aku mengikuti saran itu, hingga akhirnya kami semua memasuki ruangan yang sungguh-sungguh menakjub-kan. Kami memasuki tangga besar ke lantai dua. Semua din-dingnya setinggi 4 lantai dihiasi oleh dekorasi patung dan ukiran. Langit-langitnya dihiasi oleh lukisan yang memberikan ilusi kalau langit-langit itu berbentuk bundar. Sungguh luar biasa. Katanya (setidaknya kata Lara yang mencoba menerjemahkan), lukisan menakjubkan di langit-langit ini hanya dikerjakan dalam waktu 2 minggu.

Page 72: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Sepertinya malam ini akan ada konser di ruangan ini. Sebuah grand piano terlihat di atas mezzanine tangga dengan 2 orang sedang berdiskusi dan berlatih. Di hadapannya, di lantai bawah, telah berjejer puluhan kursi untuk mereka yang nanti akan menikmati konser.

Terus terang saja, mataku gatal kalau hal menakjubkan ini tak boleh aku doku-mentasikan. Akhirnya, aku menyalakan kamera dari telepon selulerku, lalu de-ngan sembunyi-sembunyi aku sempatkan untuk foto dan rekam video ruangan itu (maaf ya, nggak apa-apa kan? Maklum, aku kan turis asing).

Terus terang aku kagum dengan peserta dalam kelompok yang mengikuti tur ini. Ada lebih dari 40 orang dari anak kecil hingga kakek dan nenek. Mereka antusias sekali mendengarkan cerita dari si pe-mandu. Bahkan, para anak kecil tak malu untuk mengangkat tangan dan spontan mengajukan pertanyaan. Si pemandu pun terlihat menanggapi set-iap pertanyaan mereka dengan serius, meski ada pertanyaan yang terdengar konyol. Tanya jawab seperti ini rupanya sudah membu-daya di negeri ini. Sesuatu yang sukar terlihat di negeriku.

Setelah satu jam mengelilingi isi bangunan, kami keluar dan mendapati hujan rintik masih terus turun. Kami pun berjalan kaki pulang menuju tempat parkir sambil berlari kecil dalam hujan. Kasihan Mewan. Ia ditutupi jaket tebal, sementara ibunya yang menggendongnya berlari lebih dulu menuju mobil.

Rencananya, setelah kami dari Brühl ini, kami ingin menyaksikan festival balon udara di tepi Sungai Rhein, tak jauh dari gedung Deutsche Welle. Namun, melihat kondisi cuaca yang tak mengun-tungkan, sepertinya acara balon udara tak akan bisa terwujud. Kami pun akhirnya memutuskan untuk kembali pulang saja, dan

Page 73: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

menikmati sore di rumah.

Hujan masih terus turun rintik-rintik, bahkan hingga kami tiba di rumah. Malam harinya, Lara memasakkan suatu menu baru yang belum pernah kucoba sebelumnya. Agak sedikit aneh di mulut, tapi cukup enak. Ia memanggang masakan seperti lasagna, tapi berisikan asparagus (yang masih panjang dan belum dipotong-potong), sejenis gandum, hati ayam, dan telur. Ini kami makan beserta kripik kentang. Katanya, asparagus hanya tumbuh sekitar bulan Mei dan Juni, dan orang Jerman gemar membuat beragam jenis masakan dengan memanfaatkan asparagus. Menu selanjut-nya adalah burger berisi sayuran. Uh, meski nggak terlalu bersel-era, tapi rasanya lumayan enak.

Satu hari lagi yang menyenangkan di Jerman. Kesempatanku di negeri ini tinggal satu set-engah hari lagi, karena lusa aku sudah akan berangkat pulang ke Jakarta. Rencananya, besok aku akan berjalan-jalan ke Köln, me-nikmati suasana kotanya sendirian. Besok hari Senin, dan Yuniman tentunya harus masuk kerja. Lara sendiri akan menyibukkan diri dengan menyiapkan materi ajar, karena ia harus mengajar hari Selasa.

Baiklah, kini aku tidur dahulu Selamat malam!

Page 74: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Page 75: 8 Hari di Jerman

Köln - Bonn

8 Juni 2009

7

Page 76: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Hari Senin, dan tentunya semua warga bekerja hari ini, termasuk Yuniman. Hari ini Lara, istrinya tak bekerja, tapi ia harus menyi-apkan bahan untuk mengajar esok hari. Lara memang pengajar Bahasa Prancis di Jerman. Ia dulu juga sempat mengajar di Uni-versitas Brawijaya Malang, dan CCF Jakarta. Jam 8 lewat, Yuni-man sudah berangkat. Ia membawa Mewan sekalian ke sekolah. Wow, baru 13 bulan sudah dibawa ke sekolah? Sebenarnya lebih ke tempat penitipan anak sekaligus tempat belajar. Sehari ini, Me-wan dititipkan ke sekolah selama 3 jam. Siangnya, Mewan akan dijemput oleh Lara.

Seperti rencana awal, aku akan berangkat ke Köln hari ini, un-tuk melihat gereja katedral (dom) yang legendaris itu. Aku sempat melihat fo-tonya sebelumnya, dan sepertinya luar biasa. Aku berangkat menggunakan bus 609. Kali ini tak salah lagi seperti 2 hari sebelumnya. Setibanya di stasiun kereta Bonn Haubtbahnhof (Hbf), aku langsung membeli tiket ke Köln. Total perjalanan membutuhkan 2.40 Euro untuk bus dan 6.50 Euro untuk kereta Rhine Express (RE). Setengah jam waktu yang dibutuhkan,

Page 77: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

sebelum tiba di stasiun utama Köln Hbf.

Sesampainya di Köln Hbf, aku langsung ke-luar stasiun. Tak menyangka, kalau ternyata katedral besar yang dimaksud langsung te-pat di depan stasiun. Wow, sungguh luar bi-asa. Jauh lebih besar dari bayanganku sebe-lumnya. Tak ada katedral lain yang pernah kulihat, baik di Jakarta maupun di Düssel-dorf kemarin yang bisa menandingi ini. En-tah bagaimana para pembangunnya di masa lalu bisa mewujudkan bangunan semegah ini, penuh dengan detil ukiran, patung, or-namen hingga puncak menaranya yang men-capai lebih dari 150 meter. Langit saat itu sungguh cerah, warna biru dengan beberapa awan berlalu. Kuberharap hari ini akan bisa cerah hingga sore hari, tak seperti 2 hari sebelumnya.

Berbeda dengan gereja lainnya, bangunan historis sekaligus men-jadi marka kota Köln ini, juga difungsikan sebagai tempat kunju-ngan wisata. Layaknya sebuah museum, ada pula pemandu yang

Page 78: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

menjelaskan setiap ruang, ukiran, gambar, patung, di dinding dan lantai gereja itu. Aku menengadahkan kepala dan berdecak kagum betapa tingginya langit-langit gereja ini. Kurva-kurva pendukung struktur bangunan terlihat masif menjaga beban menara selama lebih dari 4 abad lamanya. Beberapa bagian terlihat sedang dir-estorasi demi menjaga fisik gereja agar tetap menyerupai kondisi aslinya.

Banyak sekali sudut menarik untuk kufoto di ruangan ini. Tak habis-habisnya kujepretkan SLR dan handycam-ku. Semua sudut kujalani, dan kuambil gambarnya. Ada ratusan orang berdatan-gan masuk ke dalam gereja ini. Karena saat ini sedang tak ada ibadah, banyak dari mereka yang murni memanfaatkannya untuk berwisata. Mereka juga asyik berfoto, menjepretkan kameranya ke berbagai arah.

Kupuaskan berada dalam gereja, hingga tanpa sadar lebih dari 1 jam aku berada di dalamnya. Aku keluar dan melihat betapa banyaknya orang lalu lalang di plaza luas yang berada di sekitar gereja. Udara cukup dingin, meski tak sedingin 2 hari sebelum-nya. Banyak orang mengenakan jaket dan sweater. Lokasi plaza yang luas memang mengundang orang untuk melakukan aktivitas

Page 79: 8 Hari di Jerman
Page 80: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

sosial. Beragam orang dari beragam usia dan ras terlihat mengo-brol di banyak tempat. Ada yang sambil duduk minum kopi di de-pan hotel di seberang gereja. Ada pula yang ramai-ramai duduk di tangga undakan menuju gereja. Tangganya sangat luas, sehingga tak mengganggu orang yang berlalu lalang di sekitarnya.

Aku lalu berjalan menyusuri luar gereja hingga menemukan tanda toilet dan gerbang masuk ke menara. Sebelum ke menara, aku mampir toilet dulu. Di sini bayar juga. Bedanya dengan Jakarta, pembayaran toilet menggunakan automat koin 0.50 Euro, dan aku baru bisa masuk ke dalam toilet.

Aku menuju gerbang ke me-nara. Dengan membayar tiket 2.50 Euro dan buku panduan seharga 0.50 Euro, aku beran-jak menaiki tangga. Aku tadi lupa menanyakan, sampai ke-tinggian berapa aku bisa naik.

Aku ingin tahu juga berapa anak tangga yang harus kudaki. Ah su-dahlah, langsung saja aku naik. Awalnya aku masih sangat seman-gat. Tangga berputar dengan hanya lebar 1 meter ini terasa sem-pit, karena sesekali aku berhadapan dengan banyak orang yang turun. Huh, lama-lama kaki mulai terasa pe-gal. Paha mulai semakin berat aku angkat. Mau tidak mau aku harus berhenti sejenak.

Sampai titik tertentu ada coak dengan pintu tertutup, memungkinkan aku untuk beristi-rahat sejenak. Akhirnya aku sampai di titik pencapaian pertama di ketinggian sekitar 50 meter. Di sinilah bel gereja biasa dibunyi-kan. Aku tak bisa membayangkan zaman da-hulu, mereka yang harus membunyikan bel setiap jamnya, harus kuat mendaki tangga tadi.

Setelah puas mendokumentasikan, sekaligus beristirahat, aku kembali mendaki tangga

Page 81: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

selanjutnya. Terus, terus, hingga naik di ketinggian sekitar 80 me-ter. Udara dingin mulai terasa. Aku sampai di pelataran dengan dinding berbentuk lingkaran. Bangku batu menempel di dinding itu. Beberapa orang terlihat beristirahat. Aku melihat tangga bua-tan baru yang mengarah terus ke puncak menara.

Setelah sedikit merenggangkan kaki, aku lanjut menaiki tangga baru itu. Di sekitar ketinggian 90 meter, tangga itu berakhir. Aku keluar dan berjalan mengikuti arah yang ditunjuk. Setelah sedikit naik tangga, aku pun akhirnya sampai di tempat tertinggi yang bisa dilewati manusia, di ketinggian 97.5 meter.

Dari sini, aku bisa melihat seluruh kota Köln. Aku mencoba mem-bayangkan kondisi asli bangunan. Saat itu pasti tak ada pagar tinggi pelindung yang membatasi mata orang dengan kota. Hmm, dengan angin sekencang ini, tidak bisa kubayangkan, betapa be-raninya orang-orang masa lalu berjalan-jalan di tempat ini. Amat disayangkan, keindahan menara gereja ini dirusak oleh banyak ta-ngan jahil. Banyak sekali graffiti atau coret-coretan di batu dinding menara ini. Malah, kalau kuamati, hampir semua dinding

Page 82: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

menuju menara penuh dengan coret-coretan. Seakan-akan yang mencoret ingin membuktikan dirinya, kalau ia pernah hadir di lokasi itu. Banyak yang mencantumkan tanggal mereka datang ke menara itu.

Setelah puas mendokumentasikan dengan foto dan video, aku pun beranjak turun. Tentunya, turun tidak menjadi masalah. Kaki tak terasa capai turun. Hanya harus berhati-hati dan mata harus tetap fokus. Turun terus melalui tangga berputar selama lebih dari 90 meter bisa membuat disorientasi pandangan.

Aku memandang kembali gereja hebat ini dari luar, lalu melanjut-kan perjalanan menyusuri kota Köln. Aku baru menyadari, rupanya kota-kota di Jerman memang seperti ini. Setiap keluar dari stasiun utama, akan ada plaza utama. Mereka menyebutnya sentrum. Di sekitar sentrum ini terdapat banyak pertokoan yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Kota Köln pun demikian, penuh de-ngan tempat belanja yang diarahkan melalui suatu jalur lebar. Kiri kanan penuh dengan pertokoan dan ribuan orang lalu lalang di dalamnya. Tempa wisata belanja ini dikenal dengan sebutan Schil-dergasse.

Page 83: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Di beberapa titik, terlihat pengamen. Seperti di Düsseldorf, pengamen di sini agak berbeda. Ada yang mengecat dirinya bak prajurit Romawi. Ada yang bermain band bersama beberapa orang, dengan musik tradisional. Ada pula yang menyanyi lagu-lagu pop. Yang paling unik, ada yang menyajikan musik duet antara pemain biola dan permainan orgel yang diputar. Mereka terus bermain, se-mentara orang menikmati atraksi mereka. Sesekali ada yang mem-berikan sumbangan uang di kaleng atau kain di hadapan mereka.

Perutku mulai terasa lapar. Aku ingin ma-kan Subway lagi, tapi tak melihat satupun restoran itu di sekitar sentrum ini. Akhirnya kuputuskan untuk makan Chicken Crispy dari Burger King. Setelah cukup kenyang, aku kembali melanjutkan perjalanan menyusuri kota Köln, hingga cukup jauh keluar dari sen-trum. Aku sempat kehilangan arah kembali. Namun setelah menemukan orientasi yang tepat, aku pun berhasil kembali ke plaza de-pan gereja.

Sejenak aku duduk mengistirahatkan kaki yang terasa mau copot. Aku lepaskan se-patu dan kupijat-pijat telapak kakiku. Se-telah sedikit enak, aku pasang sepatuku,

Page 84: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

dan berjalan. Duh, ternyata sakit di telapak kakiku mulai terasa. Aku menduga pasti bantalan telunjuk kakiku membengkak, akibat berjalan terlalu lama. Aku menahan sakit di kedua telapak kakiku dan melanjutkan perjalanan.

Masih ada waktu sekitar 30 menit sebelum kereta terdekat yang membawaku ke Bonn datang. Aku berjalan ke toko informasi dan suvenir di dekat gereja, untuk mencari oleh-oleh unik untuk kelu-argaku. Tak berapa lama, aku pun sudah berada di kereta kembali, pulang menuju Bonn.

Sekitar pukul 16.00 aku tiba kembali di Bonn. Ah, pikirku, masih sore. Lebih baik aku habiskan waktu untuk lebih banyak berputar-putar di dalam kota Bonn. Toh, semenjak aku di sini, aku malah belum pernah merasakan keramaian pusat kota Bonn. Ternyata, aku salah duga. Awalnya kukira Bonn adalah kota sepi. Kenyataan-nya, pusat kota Bonn sungguh ramai, sangat kontras dengan tem-pat awalku menginap 3 hari lalu.

Selama hampir 2 jam kuhabiskan waktu menyusuri sentrum Bonn yang saat ini penuh dengan orang berjualan buah-buahan. Aku juga menyempatkan mampir melewati gedung universitas dengan

Page 85: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

lapangan luas di hadapannya. Lapangan ini dibiarkan tumbuh rum-put dan bunga-bunga putih kecil bermunculan di beragam tem-pat. Orang-orang terlihat asyik mengobrol, beristirahat, membaca buku, dan berjemur di tengah lapangan. Musik mengalun terdengar di salah satu sudut lapangan tempat banyak remaja berkumpul.

Aku berjalan mendekati Sungai Rhine. Sekali lagi kunikmati kein-dahan sungai itu dari tepian promenade yang tertata rapih dan in-dah di sepanjang sungai. Beberapa rumah makan terlihat meman-faatkan promenade untuk berjualan. Aku juga melihat beberapa pos tiket orang untuk naik kapal menyusuri sungai. Terlihat ban-yak orang tua duduk di tepian promenade. Beberapa di antaranya sedang menunggu kapal datang untuk membawa mereka wisata sepanjang sungai.

Dari kemarin aku ingin masuk ke museum Beethoven Haus, atau rumah asli Bethooven. Kali ini aku sempatkan berjalan-jalan men-cari lokasi yang dimaksud. Meski kaki pegal dan sakit, aku segera melupakannya karena masih banyak hal menarik yang harus kuli-hat. Aku berhasil menemukan rumah yang dimaksud pukul 17.30 lewat. Petugas mengingatkan waktuku hanya kurang dari 30 menit untuk kunjungan, sebelum museum tutup pukul 18.00.

Page 86: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Rumah tua yang direnovasi ini sepertinya masih menggunakan lantai papan kayu asli. Denyitan kayu setiap kali aku melangkah memberi kesan betapa tuanya rumah ini. Isi pameran ternyata tidak terlalu menarik (Lara kemarin sebenarnya sudah mengingat-kan). Hanya foto-foto dan dokumen tua dengan penjelasan berba-hasa Jerman. Ada pula biola, piano, dan lemari yang dulu dipakai Beethoven.

Tepat pukul 18.00, aku keluar dari museum. Kini, aku sudah puas. Aku memutuskan untuk kembali ke Bonn Hbf, untuk menunggu bus 609 atau 608 untuk kembali ke Fahrenheitstrausse. Kalau bisa sih, aku lebih memilih untuk naik 609, agar aku tak perlu berjalan terlalu jauh lagi ke rumah. Kakiku sudah sakit luar biasa. Aku ha-nya membayangkan betapa enaknya air hangat membasuh kakiku, menghilangkan rasa lelahku.

Sesampai di rumah, hanya ada Lara yang kini sedang menyuapi Mewan. Aku pun masuk, dan langsung kuberikan mainan yang tadi kubelikan di Köln. Lara dan Mewan ternyata menyukai mainan ini. Alhamdulillah.

Agak malam, Yuniman pun pulang. Setelah mereka menidurkan

Page 87: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Mewan, kami pun makan malam. Kata Yuni-man, ini menu dari Hongaria. Nasi campur daging yang dimasak dengan sedikit pedas. Penyajian dan warnanya mirip dengan da-ging bumbu asam yang biasa dimasak di Ja-karta. Hanya saja, ini lebih enak. Maklum, aku tidak terlalu suka bumbu asam.

Besok pagi, aku berencana untuk tetap di rumah. Merapihkan semua oleh-oleh dan pakaian. Semoga saja bagasiku tak berlebi-han. Pukul 12.00 aku sudah harus berada di Bonn Hbf untuk melanjutkan perjalan den-gan kereta ke bandara udara Frankfurt. Se-moga saja esok hari, segala sesuatunya ber-jalan dengan lancar.

Page 88: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Page 89: 8 Hari di Jerman

Bonn - Frankfurt - Amsterdam - Kuala Lumpur - Jakarta

9-10 Juni 2009

8

Page 90: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Hari Selasa, dan ini hari terakhirku di Jerman. Siang ini aku harus berangkat kembali ke Jakarta. Aku tak berencana kemana-mana hari ini. Lebih baik aku mengemas barang-barang yang akan kuba-wa kembali ke Jakarta.

Sarapan pagi ini cukup sederhana. Masih ada sisa roti yang dibeli-kan Lara kemarin pagi. Roti khas Eropa bercampur dengan bera-gam selai itu pun kuhabiskan. Aku sempatkan waktu bermain-main dengan Mewan. Anak yang lucu dan menyenangkan.

Yuniman memintaku menulis/menggambar sesuatu di buku ke-nangan Mewan. Rupanya semua teman dan saudara Yuniman dan Lara menyumbang sesuatu di buku ini. Wah, senang sekali. Aku berpikir-pikir dahulu, apa yang akan aku sumbangkan. Akhirnya, dengan beragam pensil warna yang disediakan, aku menuliskan kata-kata ini di salah satu lembaran kosong (tentunya dilengkapi dengan lucu-lucuan ornamen di sekitar tulisan).

Mewan

a morning blightsa sunshine brights

Page 91: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

there’s come a sightwhere a boy learns to flight

he wears bright shining colorwith toys that match his colorhe pushes around a caras he starts to walk afar

he laughs a lothe cries a littlehe babbles “Da. Da.. Da..”and eats much

Good lovely MewanInspiring things will comeNew things to be discoveredI hope you have a happy long life

Aku mengepak semua barangku, agak was-was kalau berat koperku menjadi lebih dari 20 kg, terutama karena tambahan beban tas dan buku dari acara Global Media Forum (GMF). Ternyata benar, beratnya jauh melebihi dari 20 kg. Waduh, mau tidak mau, tas dan buku yang cukup berat dari GMF itu harus kujinjing sendiri, tak bisa kumasukkan dalam koper. Ya sudah, tidak apa-apa. Aku ikut iseng mengecek berat badanku. Hmm, timbangan ini benar tidak ya? Kok di sini beratku bertambah hingga 5 kg. Hahaha, makanan Eropa dan berjalan panjang di berbagai kota rupanya cocok untuk membuatku naik beban.

Yuniman telah berangkat ke kantor sejak pagi. Aku berencana berangkat naik bus jam 11.00, namun ternyata Lara dan Mewan berniat untuk mengantarku hingga Bonn Hbf dengan mobilnya. Lara menyetir, sementara Mewan didudukkan di car seat sendiri di belakang. Tak berapa lama kami berjalan, ia menangis. Mung-kin karena tak ada sesuatu mainan yang dipegang. Sayangnya di mobil, tak ada sama sekali yang bisa dimainkan, hingga akhirnya Lara ingat akan kacamata yang ia simpan di dashboard-nya. Aku berikan kacamata itu ke Mewan untuk ia mainkan. Tangisannya pun berhenti.

Page 92: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Mobil diparkir di universitas tempat Lara nanti siang mengajar. Rupanya ia bebas parkir di situ tanpa berbayar. Kami lalu lanjut ke Bonn Hbf dengan berjalan kaki, lebih dari 500 meter, melewati taman universitas yang luar biasa luas. Area ini sempat aku le-wati saat kemarin sore aku menghabiskan waktu berjalan-jalan di Bonn. Aku mendorong Mewan, sementara Lara menarik koperku. Duh, perempuan Eropa tangguh-tangguh ya. Berjalan jauh-jauh sembari menyeret koper dengan berat 25 kg. Jalannya jauh lebih cepat daripada aku lagi.

Satu hal lagi yang menyenangkan di Jerman. Banyak “makhluk beroda” di sini, dari sepeda, kereta dorong, kursi roda, hingga koper. Itulah makanya ramp antara jalan ke trotoar wajib ada di negeri ini. Aku hampir tak perlu mengangkat koper berat, karena selalu gampang kutarik kesana kemari. Mewan pun tetap merasa nyaman dalam kereta bayinya, saat kudorong melintasi jalan, ta-man, hingga stasiun.

Aku cerita automat tempat kemarin-kemarin aku membeli tiket. Lara ternyata malah belum pernah menggunakannya. Ia bersama Yuniman selalu mencari aman dengan membelinya di pusat infor-

Page 93: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

masi tiket. Aku pun akhirnya mengikuti Lara hingga pusat infor-masi, tempat akhirnya aku membeli tiket kereta IC ke Frankfurt Flughaven. Kereta IC adalah kereta lintas antar kota dengan harga sedikit lebih mahal daripada RE (Rhein Express). Aku beli tiket ini karena yang paling murah dan tanpa aku perlu transit di stasiun lain. Harganya 35 Euro.

Aku lalu membeli sandwich untuk pengganjal makan siang, meski Lara sudah menitipkan beberapa makanan untuk menemaniku di jalan. Mewan dan Lara pun ikut membeli sandwich. Aku memilih sandwich berisi telur dan tomat, hihi, karena lainnya berisikan daging babi (bacon). Rasanya enak dan cukup mengenyangkan.

Lara dan Mewan mengantar aku ke per-on (glaisse) 3, dan menemani hingga kereta IC datang. Akhirnya, aku ber-pisah dan mengucapkan selamat jalan untuk keduanya. Aku pun naik kereta. Perjalanan selama 1 jam 45 menit ini tidak membuatku bosan. Banyak sekali yang bisa kulihat di kiri kanan jendela. Aku manfaatkan handycam untuk membantuku mengingat akan memori menyenangkan ini.

Akhirnya sampailah aku di bandara Frankfurt yang terintegrasi dengan ragam jenis transportasi lainnya. Aku naik ke dua lantai di atasnya dan langsung masuk di Terminal 1. Aku harus naik sky train atau bus untuk berpindah ke Terminal 2. Karena saat itu bus sudah tersedia, buslah yang akhirnya menjadi pilihan.

Aku masih punya banyak waktu untuk check-in, karena penerba-nganku masih lebih dari 1 jam lagi. Pengurus tiket akhirnya me-nawarkan penerbangan ke Amsterdam lebih cepat, yang langsung saja aku terima. Lebih baik aku menunggu terkatung-katung di

Page 94: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Amsterdam daripada di bandara Frankfurt yang sepi ini.

Aku duduk di bangku 11F yang ternyata berada persis di sebelah pintu darurat. Seperti peraturan penerbangan lainnya, pramugari menanyakan apakah aku sanggup mengoperasikan pintu ini bila terjadi keadaan darurat. Tentu saja, meski aku berharap itu tak akan terjadi, kataku sambil tertawa.

Pukul 17.30 aku sampai di Bandara Schipol Amsterdam. Aku ingat betapa luasnya bandara ini sewaktu keberangkatanku minggu lalu. Tentu saja, aku sudah tidak segugup dulu, karena keberangkatan keluar Eropa jauh lebih mudah daripada memasukinya. Pemerik-saan passport pun tidak menunjukkan masalah.

Waktu boarding masih 19.40. Wah, masih lama. Aku putus-kan untuk naik ke lantai dua, berjalan-jalan sampai akhirnya aku melihat bangku nyaman. Ternyata, banyak pula orang yang memanfaatkan tempat ini untuk menunggu penerbangan berikutnya. Mereka mengha-biskan waktu dengan tiduran, membaca buku, atau men-dengarkan musik. Aku pun ikut duduk dan beristirahat di sana dengan nyaman.

Waktu boarding tinggal setengah jam lagi, dan perutku mulai be-rasa lapar. Aku berkeliling lantai dua yang penuh dengan tempat makan. Paling aman untuk kumakan paling hanya McDonald’s. Aku makan sejenak. Oh ya, kalau makan di Eropa, ada sedikit kebi-asaan berbeda. Aku harus langsung membereskan yang kumakan dan membuangnya sendiri di tempat yang telah disediakan.

Aku lalu berjalan menuju Terminal E24, yang ternyata masih jauh dari situ. Aku sampai tepat saat waktu boarding. Semua penum-pang masih harus melewati pengecekan terakhir, sebelum berang-

Page 95: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

kat terbang 1 jam berikutnya.

Pengalaman terbang pulang dengan KLM tak berbeda dengan saat aku berangkat. Pesawat yang digunakan masih Boeing 777-300, persis sama dengan yang aku gunakan waktu keberangkatan. Be-danya, kali ini jauh lebih banyak orang Indonesia dan Malaysia yang berada di pesawat. Aku duduk di bangku 30E yang ternyata berada di barisan paling depan bagian ketiga dari pesawat. Tele-visi mini tak lagi berada di bangku persis di hadapanku (karena depanku tak ada bangku). Tele-visi mini itu harus kukeluarkan sendiri dari bawah pegangan bangku dengan menekan satu tombol tertentu.

Pilihan menu makan malam dan sarapan masih khas Eropa. KLM rupanya juga melakukan pendekatan dengan budaya lokal. Setelah kami transit dari Kuala Lumpur, terdengar pe-

Page 96: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

tunjuk penerbangan dan pendaratan yang menggunakan rekaman suara perempuan menggunakan Bahasa Indonesia. Makan sore yang disediakan pun khas Indonesia, bakmi dengan lauk ayam dengan bumbu yang agak pedas.

Akhirnya sampailah sekitar pukul 18.00 kami semua di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Melalui pemeriksaan imigrasi (yang ternyata tidak terlalu ketat, dibandingkan di Schipol Amsterdam), aku sampai kembali di bumi Indonesia. Pemeriksaan bea cukai pun sepertinya hanya sekedar formalitas saja. Kami diminta mengi-si sebuah formulir. Untuk yang membeli barang lebih dari $250, membawa obat-obatan, rokok, kaset/video, atau uang senilai lebih dari Rp. 100.000.000,00 harus terlebih dahulu mengurus bea cukai. Aku sendiri tak merasa membawa salah satu dari itu, jadi langsung saja keluar setelah menyerahkan formulir yang dimak-sud. Namun aku yakin, kalau aku membawa dan berbohong pun, sepertinya tak akan ketahuan.

Sesampai di luar, ternyata ayah, ibu, dan keponakanku menjem-put. Kami pun berjalan ke tempat parkir. Sesaat itu pula langsung aku merasakan “kekacauan” kota Jakarta yang tak kutemui di Jer-man. Mobil susul menyusul, klakson, tak kepedulian pada mer-eka yang berjalan kaki, terlihat langsung saat aku berjalan keluar menuju tempat parkir.

Namun, apapun yang terjadi, ini tetap bumi Indonesia. Sekangen-kangennya aku akan “keteraturan” di negeri orang, tak ada yang bisa menghilangkan rasa cintaku akan negeriku sendiri.

Page 97: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

Page 98: 8 Hari di Jerman

8 hari di jerman

8 hari di jerman

pitra satvika(media-ide.com)

© 2009