8. cara menentukan praktikalitas, validitas dan efektivitas bahan ajar
DESCRIPTION
Tugas Pengembangan bahan ajarTRANSCRIPT
TUGAS MATA KULIAH
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR
PRAKTIKALITAS VALIDITAS DAN RELIABILITAS BAHAN AJAR
CETAK
YUNI ANGGIYA (15175049)
DOSEN PEMBIMBING
PROF. DR. FESTIYED, MS
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2015
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................i
DAFTAR TABEL....................................................................................................ii
A. Pengembangan Bahan Ajar...........................................................................1
1. Kecermatan Isi...........................................................................................1
2. Ketepatan Cakupan....................................................................................2
3. Kemudahan................................................................................................2
4. Penggunaan Bahasa...................................................................................5
B. Validitas........................................................................................................8
C. Reliabilitas..................................................................................................11
D. Praktikalitas.................................................................................................12
E. Efektivitas...................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17
i
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kriteria pemberian skor jawaban validitas................................................9
Tabel 2. Kriteria pemberian nilai validitas...............................................................9
Tabel 3. Lembar Penilaian Format LKS Non Eksperimen untuk LKS 1 Fluks
Magnetik................................................................................................................10
Tabel 4. Lembar Penilaian Isi LKS 1 Fluks Magnetik..........................................10
Tabel 5. Kriteria pemberian nilai praktikalitas......................................................15
ii
A. Pengembangan Bahan Ajar
Bahan ajar mempunyai peran penting dalam proses pembelajaran, yaitu acuan
yang digunakan oleh penatar atau petatar. Bagi petatar bahan ajar menjadi acuan
yang diserap isinya sehingga dapat menjadi pengetahuan dan bagi penatar bahan
ajar ini menjadi acuan dalam menyampaikan keilmuannya. Pengembangan bahan
ajar oleh penatar membutuhkan kreativitas untuk membuat sesuatu yang lain,
unik, juga membutuhkan pengetahuan tentang lingkungan sekitarnya agar bahan
ajar yang dikembangkan sesuai dengan ketersediaan bahan/materi di sekitarnya.
Di samping itu penatar juga harus memiliki pengetahuan tentang beberapa faktor
yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan bahan ajar seperti kecermatan
isi, ketepatan cakupan, ketercernaan, penggunaan bahasa, ilustrasi,
perwajahan/pengemasan serta kelengkapan komponen bahan ajar.
1. Kecermatan Isi
Mengandung dua hal yaitu Pertama, validitas isi atau kebenaran secara
keilmuan. Kedua, keselarasan isi atau kebenaran isi yang disusun berdasrkan
sistem nilai yang dianut oleh suatu masyarakat atau bangsa. Kedua hal itu akan
menjadi system yang Akurat dan sahih sehingga tidak ada konsep yang
salah/keliru. Validitas isi menunjukkan tentang isi bahan ajar yang tidak
dikembangkan secara asal-asalan. Isi bahan ajar dikembangkan berdasarkan
konsep dan teori yang berlaku dalam bidang ilmu serta sesuai dengan
kemutakhiran perkembangan bidang ilmu dan hasil penelitian empiris yang
dilakukan dalam bidang ilmu tersebut. Maka dengan demikian isi bahan ajar
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Untuk dapat menjaga validitas
isi, dalam pengembangan bahan ajar, pembimbing harus selalu menggunakan
buku acuan atau bahan pustaka yang berisi hasil-hasil penelitian empiris, teori
dan konsep yang berlaku dalam suatu bidang ilmu, serta perkembangan
mutakhir suatu bidang ilmu. Teori dan konsep yang berlaku dalam suatu
bidang ilmu dapat diperoleh di ensiklopedi ataupun buku teks bidang ilmu.
Sementara hasil penelitian empiris dan perkembangan mutakhir suatu bidang
ilmu dapat diperoleh dari berbagai jurnal penelitian yang tercetak ataupun
jurnal elektronik. Dalam rangka mengkaitkan bahan ajar dengan lingkungan
1
sekitarnya serta wawasan budaya, pembimbing dapat mengkaji dulu
kemungkinan dan ketersediaan bahan di lingkungan sekitar dan budaya lokal
yang dapat digunakan untuk menjadi bahan ajar bagi suatu topik tertentu dari
bidang suatu ilmu. Dengan demikian dapat diperoleh bahan ajar yang sahih
isinya , akrab lingkungan dan berwawasan budaya dan tidak terdapat adanya
kesalahan konsep”. Keselerasan isi berarti kesesuaian isi bahan ajar dengan
sistem nilai dan falsafah hidup yang berlaku dalam negara atau masyarakat.
Dalam sitem nilai masyarakat inilah yang perlu diakomodasikan dalam bahan
ajar. Bahkan bahan ajar menjadi sarana untuk penyampaian sistem nilai
tersebut dan pembelajaran merupakan upaya pelestarian sistem nilai tersebut.
Dan jika suatu saat ada bahan ajar yang mengabaikan sistem nilai tersebut
maka bahan ajar tersebut yang tidak tepat.
2. Ketepatan Cakupan
Mengandung keluasan dan kedalaman materi atau kemutakhiran materi
yang artinya sebagai substansi bahan ajar sesuai dengan perkembangan terkini,
serta keutuhan konsep yang dibahas berdasarkan bidang ilmunya. Keluasan
dan kedalaman isi bahan ajar sangat berhubungan dengan keutuhan konsep
berdasarkan bidang ilmu ini di tentukan oleh suatu tujuan. Pada tujuan tersebut
dapat menentukan seberapa luas, dalam, dan utuh topik yang akan disajikan
kepada pembimbing. Kemudian kembangkanlah bahan ajar, materi pokok dan
komponennya berdasarkan pada materi yang telah ditentukan. Tentunya, tujuan
pembelajaran atau topik tertentu di sekolah Lanjutan Tingkat Pertama akan
berbeda dengan tujuan pembelajaran atau topik yang sama di Sekolah
Menengah Umum. Dalam hal ini, keluasan maupun kedalamannya akan
berbeda, sehingga bahan ajarnya pun memiliki keluasan dan kedalaman yang
berbeda.
3. Kemudahan
Berkaitan dengan konsep bahan ajar yang bisa dipahami dan dimengerti
oleh siswa sebagai pengguna sehingga sesuai dengan kompetensi yang akan
dicapai. Bahan ajar, menggunakan media apapun, harus memiliki tingkat
2
ketercernaan yang tinggi. Artinya bahan ajar dapat dipahami dan isinya dapat
dimengerti oleh peserta dengan mudah.
Allah berfirman dalam Q.S Alam Nasrah ayat 5 :
Artinya : “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
Ada enam hal yang mendukung tingkat ketercernaan bahan ajar, sebagai
berikut.
a. Pemaparan yang Logis
Bahan ajar dipaparkan secara logis, misalnya mulai dari yang umum ke
yang khusus atau sebaliknya (deduktif atau induktif), dari yang mudah ke
yang sukar, atau dari yang inti ke yang pendukung. Maka peserta dapat
dengan mudah mengikuti pemaparan, dan dapat segera mengkaitkan
pemaparan tersebut dengan informasi yang sebelumnya.
b. Penyajian Materi yang Runtut
Bahan ajar disajikan secara sistematis, tidak meloncat-loncat. berkaitan
antar materi/topik dijelaskan dengan cermat, kemudian setiap topik
disajikan secara sistematis dengan strategi penyajian uraian. Urutan strategi
penyajian dapat berubah-ubah sehingga tidak membosankan, namun setiap
bagian perlu diberi penjelasan yang memadai sehingga tidak
membingungkan peserta. Keruntutan penyajian isi bahan ajar
mempermudah peserta dalam belajar, dan juga menuntun peserta untuk
terbiasa berpikir runtut.
c. Contoh dan Ilustrasi yang Memudahkan Pemahaman
Untuk menyajikan suatu topik dan memaparkan suatu pokok bahasan
diperlukan contoh dan ilustrasi yang dapat membantu dan mempermudah
pemahaman peserta. Dalam penyajian topik atau konsep yang bersifat
abstrak, contoh dan ilustrasi memiliki peran yang sangat penting. Contoh
dan ilustrasi dapat dikembangkan dalam beragam bentuk, tercetak-narasi
3
sebagai bagian dari penyajian isi bahan ajar dalam materi pokok yang
berbentuk cetak, poster, kartu-kartu (flipchart), atau dalam bentuk noncetak,
seperti video, audio, simulasi berbantuan atau juga dalam bentuk realita,
model, atau bahan sesungguhnya untuk didemonstrasikan kepada peserta.
Prinsip utama dalam pemilihan contoh dan ilustrasi adalah ketepatan contoh
dan ilustrasi untuk memperjelas teori atau konsep yang dijelaskan (bukan
malah membuat peserta semakin bingung), serta menarik dan bermanfaat
bagi peserta.
d. Alat Bantu yang Memudahkan
Bahan ajar perlu memiliki alat bantu yang dapat mempermudah peserta
dalam mempelajari bahan ajar tersebut. Dalam bahan ajar cetak, alat bantu
dapat berupa rangkuman untuk setiap bab, penomoran, judul bab yang jelas,
serta tanda-tanda khusus, misalnya tanda tanya yang menandakan
pertanyaan. Dalam bahan ajar noncetak, alat bantu juga dapat berupa
rangkuman, petunjuk belajar bagi peserta, serta tanda-tanda khusus yang
dapat diberlakukan serta dapat membantu peserta belajar, misalnya nada
suara yang berbeda dalam kaset audio, atau caption dalam program video.
Dan yang perlu diperhatikan dalam menggunakan alat bantu bahan ajar
adalah prinsip konsistensi, artinya alat Bantu yang simbol atau bentuknya
sama harus digunakan dengan arti yang sama di semua isi bahan ajar untuk
mata pelajaran tertentu. Jadi, alat bantu yang simbolnya atau bentuknya
sama hendaknya tidak digunakan untuk arti yang berbeda-beda.
e. Format yang Tertib dan Konsisten
Bahan ajar perlu memelihara ketertiban dan konsistensi agar mudah
dikenali, diingat, dan dipelajari oleh peserta. Misalnya, jika guru
menggunakan kertas merah untuk lembar kerja peserta, maka seterusnya
gunakanlah warna kertas merah untuk LKS. Dengan demikian, setiap kali
peserta melihat warna kertas merah, maka peserta akan menandai sebagai
LKS. Dalam bahan ajar cetak, konsistensi istilah sangat diperlukan sehingga
peserta tidak menggunakan berbagai istilah secara rancau. Dalam bahan ajar
4
audio, intonasi suara dapat digunakan sebagai tanda atau format untuk
berhenti, mengulang, atau meneruskan pembelajaran. Dalam hal ini,
pembimbing diharapkan kreatif untuk menciptakan tanda-tanda dan formal
khusus yang digunakan secara konsisten untuk mempermudah peserta
belajar.
f. Penjelasan Tentang Relevansi dan Manfaat Bahan Ajar
Dalam bahan ajar perlu ada penjelasan tentang manfaat dan kegunaan
bahan ajar dalam mata tataran. Bahan ajar dapat berperan sebagai bahan
utama yang akan digunakan dalam pembelajaran di kelas, atau sebagai alat
bantu peserta belajar mandiri di rumah (buku kerja, paket kerja mandiri),
atau juga sebagai alat bantu peserta belajar dalam kelompok. Peran ini perlu
dijelaskan kepada peserta dengan cermat, sehingga peserta dapat
menggunakan bahan ajar dengan jelas. Di samping itu, bahan ajar juga perlu
menjelaskan keterkaitan antara topik yang dibahas dalam bahan ajar dengan
topik-topik dalam mata pelajaran lainnya. Dengan demikian, peserta dapat
melihat keterkaitan topik bahan ajar dengan topik lain, dan tidak terkesan
bahwa masing-masing topik adalah berdiri sendiri-sendiri.
4. Penggunaan Bahasa
Mengandung tehnik pemilihan ragam bahasa yang efektif, komunikatif,
dan dialogis agar pesan dapat dicerna dengan baik. serta penggunaan kalimat
efektif, dan penyusunan paragraf yang bermakna. Dalam mengembangkan
bahan ajar, Penggunaan bahasa yang meliputi pemilihan ragam bahasa,
pemilihan kata, penggunaan kalimat efektif, dan penyusunan paragraph yang
bermakna, sangat berpengaruh terhadap manfaat bahan ajar. Walaupun isi
bahan ajar Anda sudah cermat, menggunakan format yang konsisten, serta
dikemas dengan menarik, namun jika bahasa yang Anda gunakan tidak
dimengerti oleh peserta, maka bahan ajar Anda tidak akan bermakna apa-apa.
Bukan hanya dalam pengembangan bahan ajar cetak seperti buku kerja peserta,
lembar kerja peserta, tetapi juga dalam pengembangan bahan ajar noncetak,
seperti kaset audio, video, bahan ajar berbasiskan komputer, dan lain-lain.
5
Ragam Bahasa mengacu pada ragam bahasa baku atau formal dan ragam
bahasa nonformal atau komunikatif. Ragam bahasa baku banyak digunakan
dalam laporan penelitian, karya ilmiah, surat-surat resmi, buku teks, siaran
pers, dan lain-lain. Namun tulisan yang menggunakan ragam bahasa baku
terkesan sangat kaku, formal dan cenderung membosankan. Oleh karena itu,
ragam bahasa baku jarang digunakan dalam pengembangan bahan ajar. Bahan
ajar yang baik diharapkan dapat memotivasi peserta untuk membaca,
mengerjakan tugas-tugasnya, serta menimbulkan rasa ingin tahu peserta untuk
melakukan eksplorasi lebih lanjut tentang topik yang dipelajarinya. Dengan
demikian, ragam bahasa yang digunakan dalam bahan ajar biasanya ragam
bahasa nonformal atau bahasa komunikatif yang lugas dan luwes. Ragam
bahasa komunikatif yang sebaiknya digunakan dalam penulisan atau
pengembangan bahan ajar sangat dipengaruhi oleh pemilihan kata serta
penggunaan kalimat yang efektif. Walaupun ragam bahasa komunikatif yang
digunakan, hendaknya kaidah bahasa yang baik dan benar tidak ditinggalkan
atau dilanggar. Kata yang dipilih hendaknya jenis kata yang singkat dan lugas,
bukan kata atau istilah yang asing atau tidak banyak dikenal peserta. Jika
diperlukan pengenalan istilah teknis yang berlaku dalam bidang ilmu tertentu,
maka istilah tersebut perlu diberi batasan yang jelas. Penggunaan kalimat
efektif menekankan perlunya penyampaian informasi dilakukan melalui
kalimat positif dan aktif, dan sedapat mungkin menghindarkan penggunaan
kalimat negatif dan pasif. Kalimat positif dan aktif dipercaya dapat
menimbulkan motivasi peserta untuk melakukan tugas-tugas yang ditetapkan
dalam bahan ajar, dan lebih mudah dimengerti oleh peserta. Sementara itu
penggunaan kalimat negatif dan pasif, kadangkala dapat membingungkan
peserta. Selanjutnya, penyusunan paragraph mempersyaratkan adanya gagasan
utama untuk setiap paragraf, serta keterpaduan, keruntutan dan koherensi antar
kalimat dalam sebuah paragraf. Gagasan utama, yang berbentuk kalimat topik,
dapat ditempatkan di bagian awal maupun akhir paragraf. Panjang pendek
sebuah paragraf tergantung pada kemampuan penulis dan kebutuhannya.
Keruntutan dan kekompakan hubungan antar kalimat dalam sebuah paragraf
6
(koherensi) sangat penting untuk membuat suatu paragraf menjadi bermakna.
Pada gilirannya, kalimat yang runtut dan kompak akan memudahkan peserta
memahami ide/konsep yang disajikan dalam paragraf tersebut.
5. Kelengkapan Komponen
Bertujuan pada paket bahan ajar yang dapat berfungsi sebagai komponen
utama, komponen pelengkap, dan komponen evaluasi hasil belajar. Idealnya,
bahan ajar merupakan paket multikomponen dalam bentuk multimedia. Paket
tersebut mempunyai sistematika penyampaian dan urutan materi yang baik,
meliputi penyampaian tujuan belajar, memberi bimbingan tentang strategi
belajar, menyediakan latihan yang cukup banyak, memberi saran-saran untuk
belajar kepada peserta, serta memberikan soal-soal untuk dikerjakan sendiri
oleh peserta sebagai cara untuk mengukur kemampuan diri sendiri dan umpan
baliknya. Paket bahan ajar memiliki tiga komponen inti, yaitu komponen
utama, komponen pelengkap, dan komponen evaluasi hasil belajar. Komponen
utama berisi informasi atau topik utama yang ingin disampaikan kepada
peserta, atau harus dikuasai peserta. Bahan ajar utama akan menjadi lebih
mudah dipahami oleh peserta jika dilengkapi dengan komponen pelengkap.
Komponen pelengkap ini dapat berupa informasi/topik tambahan yang
terintegrasi dengan bahan ajar utama, atau informasi/topik pengayaan wawasan
peserta. Komponen pelengkap biasanya terdiri dari bahan pendukung cetak
(materi pengayaan, bacaan, jadwal, silabus, peta materi, kliping kasus), bahan
pendukung noncetak (perluasan wawasan materi dalam media noncetak, peta
materi dalam bentuk program komputer, video, kaset, web suplemen, simulasi
komputer, kit), panduan peserta (peta materi, petunjuk belajar, latihan dan
tugas, tips, kata-kata sukar, pemilahan materi), panduan guru (peta materi,
petunjuk bagi guru, konsep inti topik atau pokok bahasan, latihan dan tugas,
rangkuman materi) dan lain-lain yang diperlukan peserta untuk mempelajari
suatu topik yang disajikan. Sedangkan komponen evaluasi hasil belajar terdiri
dari perangkat soal/butir tes. Komponen evaluasi hasil belajar ini nantinya akan
terpisahkan dari komponen utama dan komponen pelengkap (Aris, 2014).
7
B. Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kesahihan suatu tes/
instumen. Suatu tes/ instrumen dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa
yang hendak diukur. Tes memiliki validitas yang tinggi jika hasilnya sesuai
dengan kriteria, dalam arti memiliki kesejajaran antara tes dan kriteria (Arikunto,
1999).
Validitas desain merupakan proses kegiatan untuk menilai apakah rancangan
suatu produk secara rasional akan lebih efektif dari yang lama atau tidak.
Dikatakan secara rasional, karena validasi ini bersifat penilaian berdasarkan
penilaian rasional, belum fakta lapangan.
Validasi produk dapat dilakukan dengan cara menghadirkan beberapa pakar
atau tenaga ahli yang sudah berpengalaman untuk menilai produk baru yang
dirancang tersebut. Setiap pakar diminta untuk menilai desain tersebut, sehingga
selanjutnya dapat diketahui kekuatan dan kelemahannya. Validasi desain dapat
dilakukan dalam forum diskusi. Sebelum diskusi peneliti mempresentasikan
proses penelitian sampai ditemukan desain tersebut, berikut keunggulannya
(Sugiyono, 2009).
Dalam penelitian data memiliki kedudukan sangat penting karena dari data itulah
variabel penelitian dapat digambarkan. Kesalahan dalam pengambilan data, maka
sudah dapat dipastikan akan terjadi pula kesalahan dalam pengambilan kesimpulan.
Oleh karena itu, pengambilan data hendaknya dilakukan oleh orang yang benar-benar
memahami permasalahannya dan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Selain itu
untuk menjamin kualitas data yang dikumpulkannya, seorang peneliti harus terlebih
dahulu memperoleh keyakinan bahwa instrumennya (alat pengambil data) memiliki
validitas (kesahihan) dan reliabilitas (keterandalan/keterpercayaan) yang memadai.
Mengenai bagaimana caranya menguji validitas dan reliabilitas akan dijelaskan pada
uraian berikutnya. Apabila peneliti tinggal menggunakan instrumen yang telah diakui
validitas dan reliabilitsnya, maka peneliti tetap harus menginformasikan taraf
validitas dan reliabilitasnya berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya atau
berdasarkan konvensi-konvensi tertentu.
8
Dalam mengembangkan suatu bahan ajar baik itu cetak maupun non cetak, uji
validitas dilakukan dalam tahap pengembangan. Langkah-langkah uji validitas :
1. Meminta kesediaan dosen dan guru yang telah banyak memiliki pengalaman
mengajar untuk menjadi validator dari bahan ajar cetak ataupun non cetak
yang telah diekmbangkan.
2. Memberikan skor jawaban dengan kriteria berdasarkan skala Likert seperti
yang dimodifikasi Riduan (2012) sebagai berikut
Tabel 1. Kriteria pemberian skor jawaban validitasSkor Kriteria 4 Sangat Setuju3 Setuju2 Tidak Setuju1 Sangat Tidak Setuju
Sumber : Skala Likert yang dimodifikasi Riduan (2012)
3. Meminta validator untuk memberikan saran atas penilian yang diberikan
terhadap pengembangan bahan ajar cetak dan noncetak berdasarkan item-
item yang terdapat pada uji validitas. Jika masih banyak terdapat kesalahan
dalam pengembangan bahan ajar cetak dan non cetak, maka perlu
dilakukannya revisi agar benar-benar valid atas bahan ajar yang
dikembangkan.
4. Jika telah valid, maka ditentukan skor tertinggi.
Skor tertinggi = jumlah validator x jumlah indikator x skor maksimum.
5. Menentukan jumlah skor dari masing-masing validator dengan
menjumlahkan semua skor yang diperoleh dari masing-masing indikator.
6. Penentuan nilai validitas dengan cara:
%
7. Memberikan penilaian validitas dengan kriteria seperti yang dikemukakan
oleh Purwanto (2009):
Tabel 2. Kriteria pemberian nilai validitasNilai Validitas (%) Kriteria 90-100 Sangat Valid80-89 Valid60-79 Cukup Valid
9
Nilai Validitas (%) Kriteria 0-59 Tidak Valid
Sumber : Purwanto (2009)
Uji coba validitas dapat dilakukan uji coba terbatas dengan jumlah 3-5 orang
validator dan 20-30 orang siswa yang memiliki tingkat kemampuan yang
berbeda-beda atau heterogen (cara pengambilan subjek menggunakan teknik
random sampling).
Contoh Hasil Penilaian vaildasi perangkat pembelajaran yaitu :
Tabel 3. Lembar Penilaian Format LKS Non Eksperimen untuk LKS 1 Fluks Magnetik
No Indikator Penilaian Indeks Validitas Komponen (%)(%)
1. Judul 100 % T2. Mencantumkan tujuan 100 % T
3.
Rumusan Masalah / hipotesis/ variabel/defenisi operasional/ table data/ analisis, kesimpulan, penerapan (jika ada)
75 % T
4. Langkah kerja 75 % T5. Kolom Jawaban 100 % T6. Pertanyaan 100 % T7. Daftar pustaka 100 % T8. Kunci LKS 100 % T
Tabel 4. Lembar Penilaian Isi LKS 1 Fluks Magnetik.
No. Indikator PenilaianSkor Validator Jumlah
validator S/SS dari 4 validator
Kategori
1 2 3 4
1.
Dapat digunakan oleh anak dengan kecepatan belajar bervariasi
3 3 3 3 4 Valid
2.Memuat langkah-langkah apa yang harus dilakukan
3 4 2 3 3 Valid
3.
Memberi variasi yang seimbang antara menulis, menggambar dan berbicara (Boleh salah satu).
3 3 3 3 4 Valid
10
4.
Bahasa yang digunakan telah sesuai dengan tingkat intelektual anak.
4 3 3 3 4 Valid
5.Kalimat yang digunakan sederhana dan jelas.
4 3 3 3 4 Valid
6.Tata urutan pelajaran telah sesuai dengan tingkat intelektual
4 3 3 3 4 Valid
7.
Pertanyaan telah disusun untuk dijawab dengan pengolahan informasi.
4 3 4 3 4 Valid
8.Sumber belajar terjangkau oleh anak usia sekolah.
3 3 3 3 4 Valid
9.
Tersedia ruang yang cukup untuk menuliskan jawaban atau unutk menggambar.
3 4 3 3 4 Valid
10.Seimbang antara gambar dengan kata-kata.
3 3 4 3 4 Valid
11.
Mencantumkan tujuan pembelajaran dan manfaatnya bagi anak
4 3 2 3 3 Valid
C. Reliabilitas
Reliabilitas suatu instrumen menunjukan keajegan (konsistensi) hasil
pengukurannya seandainya instrumen tersebut digunakan oleh orang yang sama
dalam waktu yang berlainan atau digunakan oleh orang yang berlainan dalam waktu
yang sama. Reliabilitas secara implisit juga mengandung obyektivitas, karena hasil
pengukurannya tidak terpengaruh oleh siapa pengukurnya. Fraenkel (1990),
menyatakan bahwa reliabilitas merujuk terhadap konsistensi skror yang diperoleh.
Bagaimana konsistensi siswa dari setiap individu dari satu pengadministrasian
(administration) ke pengadministrasian lainnya dan dari satu set item ke set lainnya.
11
Sebagai contoh, suatu tes dikatakan reliabel, apabila seorang siswa memperoleh nilai
tinggi pada tes yang pertama akan memperoleh nilai yang tinggi pula pada tes berikut.
Skor tersebut mungkin saja tidak persis identik, akan tetapi nilai tersebut harus tidak
jauh berbeda.
Konsep reliabilitas dalam arti reliabilitas alat ukur berkaitan erat dengan
masalah kekeliruan pengukuran. Kekeliruan pengukuran sendiri menunjukkan
sejauh mana inkonsistensi hasil pengukuran terjadi apabila dilakukan pengukuran
ulang terhadap kelompok subyek yang sama. Sedangkan konsep reliabilitas dalam
arti reliabilitas hasil ukur berkaitan erat dengan kekeliruan dalam pengambilan
sampel yang mengacu pada inkonsistensi hasil ukur apabila pengukuran dilakukan
ulang pada kelompok yang berbeda. Sudjana (2004) menyatakan bahwa
reliabilitas alat penilaian adalah ketepatan atau keajegan alat tersebut dalam
menilai apa yang dinilainya. Artinya, kapanpun alat penilaian tersebut digunakan
akan memberikan hasil yang relatif sama.
Djaali (2000) menyatakan bahwa reliabilitas dibedakan atas dua macam, yaitu
reliabilitas konsistensi tanggapan, dan reliabilitas ukur yang sama, butir yang satu
menunjukkan hasil ukur yang sama dengan butir yang lainnya? Dengan kata lain
bahwa terhadap bagian obyek ukur yang sama, apakah hasil ukur butir yang satu
tidak kontradiksi dengan hasil ukur butir yang lain. Jika terhadap bagian obyek
ukur yang sama, hasil ukur melalui butir yang satu kontradiksi atau tidak
konsisten dengan hasil ukur melalui butir yang lain maka pengukuran dengan tes
(alat ukur) sebagai suatu kesatuan itu tidak dapat dipercaya. Dengan kata lain
tidak reliabel dan tidak dapat digunakan untuk mengungkap ciri atau keadaan
yang sesungguhnya dari obyek ukur. Kalau hasil pengukuran pada bagian obyek
ukur yang sama antara butir yang satu dengan butir yang lain saling kontradiksi
atau tidak konsisten maka kita jangan menyalahkan obyek ukur, melainkan alat
ukur (tes) yang dipersalahkan dengan mengatakan bahwa tes tersebut tidak
reliabel terhadap obyek yang diukur.
12
D. Praktikalitas
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kepraktisan diartikan sebagai suatu
yang bersifat praktis atau efisien. Arikunto (2010) mengartikan kepraktisan dalam
evaluasi pendidikan merupakan kemudahan-kemudahan yang ada pada instrument
evaluasi baik dalam mempersiapkan, menggunakan, menginterpretasi/
memperoleh hasil, maupun kemudahan dalam menyimpanya.
Kepraktisan juga merupakan salah satu ukuran suatu instrumen evaluasi
dikatakan baik atau tidak. Bila guru menggunakan esay tes untuk mengukur
tanggapan siswa terhadap suatu produk pembelajaran, dan jumlah siswa yang
dibimbingnya mencapai dua ratus orang, maka upaya ini cenderung tidak praktis.
Diperlukan cara lain untuk menilai tanggapan siswa tersebut, misalnya dengan tes
lisan terhadap hasil diskusi kelompok. Kepraktisan diartikan pula sebagai
kemudahan dalam penyelenggaraan, membuat instrumen, dan dalam pemeriksaan
atau penentuan keputusan yang objektif, sehingga keputusan tidak menjadi bias
dan meragukan. Kepraktisan dihubungkan pula dengan efisien dan efektifitas
waktu dan dana. Sebuah tes dikatakan baik bila tidak memerlukan waktu yang
banyak dalam pelaksanaannya, dan tidak memerlukan dana yang besar atau
mahal.
Kepraktisan sebuah alat evaluasi lebih menekankan pada tingkat efisiensi dan
efektivitas alat evaluai tersebut, beberapa kriteria yang dikemukakan oleh Gerson,
dkk dalam mengukur tingkat kepraktisan, diantaranya adalah:
1. Waktu yang diperlukan untuk menyusun tes tersebut
2. Biaya yang diperlukan untuk menyelenggarakan tes tersebut
3. Waktu yang diperlukan untuk melaksanakan tes
4. Tingkat kesulitas menyusun tes
5. Tingkat kesulitan dalam proses pemeriksaan tes
6. Tingkat kesulitan melakukan intrepetasi terhadap hasil tes
Kepraktisan alat evaluasi akan memberikan manfaat yang besar bagi
pelaksanaan maupun bagi peserta didik karena dirancang sedemikian sistematis
terutama materi instrumen tersebut.
13
Berkaitan kepraktisan dalam penelitian pengembangan Van den Akker (1999)
menyatakan :
“Practically refers to the extent that user (or other expert) consider the intervention as appealing and usable in ‘normal’ conditions”
Artinya, kepraktisan mengacu pada tingkat bahwa pengguna (atau pakar-
pakar lainnya) mempertimbangkan intervensi dapat digunakan dan disukai dalam
kondisi normal.
Untuk mengukur tingkat kepraktisan yang berkaitan dengan
pengembangan instrument berupa materi pembelajaran, Nieveen (1999)
berpendapat bahwa untuk mengukur kepraktisannya dengan melihat apakah guru
(dan pakar-pakar lainnya) mempertimbangkan bahwa materi mudah dan dapat
digunakan oleh guru dan siswa. Khusus untuk pengembangan model yang
dikembangkan dalam penelitian pengembangan, model tersebut dikatakan praktis
jika para ahli dan praktisi menyatakan bahwa secara teoritis bahwa model dapat
diterapkan di lapangan dan tingkat keterlaksanaannya model tersebut termasuk
kategori “baik”. Istilah “baik” ini masih memerlukan indikator-indikator yang
diperlukan untuk menentunkan tingkat “kebaikan” dari keterlaksanaan model
yang di kembangkan.
Berkaitan dengan kepraktisan di tinjau dari apakah guru dapat melaksanakan
pembelajaran di kelas. Biasanya peneliti dan observer mengamati aktivitas yang
dilakukan guru dalam pelaksanaan pembelajaran. Misalnya, melihat kegiatan guru
dalam mempersiapkan siswa untuk belajar, memeriksa pekerjaan siswa, dll.
Uji Praktikalitas dilakukan dengan langkah-langkah:
1. Uji praktikalitas oleh guru
a. Peneliti memberikan bahan ajar cetak atau non cetak yang telah di
validasi dan direvisi kepada guru.
b. Peneliti memberi pengarahan tentang cara pengisian angket kepada guru.
c. Peneliti memberikan petunjuk singkat bahan ajar cetak ataupun non
cetak yang telah dikembangkan.
d. Guru menggunakan bahan ajar berdasarkan petunjuk yang sudah ada
dalam pembelajaran.
14
e. Peneliti meminta guru untuk mengisi angket praktikalitas bahan ajar
cetak atu pun non cetak yang dikembangkan.
2. Uji praktikalitas oleh peserta didik
a. Peneliti memberikan pengarahan cara pengisian angket kepada peserta
didik.
b. Peneliti membagikan bahan ajar cetak ataupun non cetak yang
dikembangkan kepada masing-masing peserta didik.
c. Peneliti memberikan petunjuk singkat penggunaan bahan ajar cetak
ataupun non cetak yang dikembangkan kepada peserta didik.
d. Peseta didik menggunakan bahan ajar yang telah dikembangkan di dalam
proses pembelajaran.
e. Peneliti meminta peserta didik untuk mengisi angket praktikalitas bahan
ajar cetak atau non cetak (Kustiawan M, 2012).
Pada uji coba praktikalitas sama seperti uji coba validitas. Uji coba
praktikalitas dapat dilakukan uji coba terbatas dengan jumlah 3-5 orang guru dan
20-30 orang siswa yang memiliki tingkat kemampuan yang berbeda-beda atau
heterogen (cara pengambilan subjek menggunakan teknik random sampling).
Analisis praktikalitas digunakan dengan nilai persentase (%)
Setelah persentase nilai praktikalitas diperoleh, dilakukan pengelompokkan
sesuai kriteria yang dikemukakan oleh Purwanto (2009) berikut ini:
Tabel 5. Kriteria pemberian nilai praktikalitasNilai Praktikalitas (%) Kriteria Reabilitas
86 – 100 Sangat Praktis76 – 85 Praktis60 – 75 Cukup Praktis55 – 59 Kurang Praktis
54 Kurang Praktis SekaliSumber : Purwanto (2009)
15
E. Efektivitas
Menurut Reigeluth (1999), aspek penting dalam keefektifan (efek potensial)
dari suatu instrument, teori, atau model adalah mengetahui tingkat/derajat dari
penerapan teori, atau model dalam suatu situasi tertentu. Tingkat keefektifan ini
menurut Mager, biasanya dinyatakan dengan suatu skala numeric yang didasarkan
pada kriteria tertentu. (Reiguluth, 1999).
Berkaitan dengan keefektifan pengembangan instrument, model, teori
dalam dunia pendidikan, Van den Akker (1999) menyatakan :
“Effectiveness refer to the extent that the experiences and outcomes with the intervention are consistent with the intended aims”
Artinya, keefektifan mengacu pada tingkatan bahwa pengalaman dan hasil
intervensi konsisten dengan tujuan yang dimaksud.
Keefektifan suatu bahan ajar biasanya dilihat dari poitensial efek berupa
kualitas hasil belajar, sikap., dan motivasi peserta didik. Menurut Akker (1999)
(dalam Yazid) ada dua aspek keefektivan yang harus dipenuhi oleh suatu bahan
ajar. Yakni :
1. Ahli dan praktisi berdasarkan pengalamannya menyatakan bahwa bahan
ajar tersebut efektif.
2. Secara operasional bahan ajar tersebut memberikan hasil sesuai yang
diharapkan.
Menurut Suryadi (2005) (dalam Yazid) bahan ajar dapat dikatakan efektif
apabila :
1. Rata-rata siswa aktif dalam aktivitas pembelajaran.
2. Rata-rata siswa aktif dalam mengerjakan tugas.
3. Rata-rata siswa efektif dalam keefektifan relatif penguasaan bahan
pengajaran.
4. Respon siswa terhadap pembelajaran yang dilaksanakan baik/positif
5. Respon guru terhadap pembelajaran yang dilaksanakan baik/positif
16
DAFTAR PUSTAKA
Akker,J.V. 1999. Principles and Methods of Development Research. In J. vam den Akker,R Branch,K Gustafson, N Nieveen and Tj.Plomp (Eds). Design Approaches and Tools in Education and Training (hlm. 1-14). Dodrecht : Kluwer Academic Publisher.
Arifin, Zaenal.(1991). Evaluasi Instruksional.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Arikunto, Suharsimi. (2010) Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara : Yogyakarta.
Aris. 2014. Pengembangan Bahan Ajar. http://aristwn.staff.stainsalatiga.ac.id/wp-content/uploads/sites/3/2014/04/Bahan-
Ajar-copy.pdf bahan ajar copy 1 (21 Oktober 2015).
Depdiknas. 2008. Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Djaali., dkk. Pengukuran Dalam Pendidikan. Jakarta: Program Pascasarjana, 2000.
Nieveen, Nienke.1999. Prototyping to Reach Product Quality. In J. vam den Akker,R Branch,K Gustafson, N Nieveen and Tj.Plomp (Eds). Design Approaches and Tools in Education and Training (hlm. 125-136). Dodrecht : Kluwer Academic Publisher
Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika.
Sudjana, D. (2004). Manajemen Program Pendidikan Untuk Pendidikan Nonformal dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung : Falah Production.
Sukadji, S. (2000). Menyusun dan Mengevaluasi Laporan Penelitian, Jakarta : UI-Press
Sugiyono, 2005, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung : Alfabeta
17