7966 - balithutmanokwari.or.id · buku dan jumlah makalah yang ... manfaatan iptek adalah dampak...

12
ISSN 2355-7966 Warta MATOA Vol. I No. 3, Desember 2014 1 Para pembaca yang budiman, bahagia rasanya kami dapat menghantarkan Warta Matoa edisi akhir tahun 2014 ini ke hadapan anda. Tak lama lagi tahun ini akan berakhir dan tentu saja kita masih sea bergiat dan menyajikan ulasan-ulasan topik dalam bidang kehutanan yang dak terbatas. Penilaian kinerja yang menjadi isu hangat sepanjang tahun dalam Kementerian Kehutanan sejak penetapan tunjangan kinerja menuntut kita untuk mulai memahami secara khusus proses pengukuran kinerja penelian dan segala aspek-aspek terkait penelian dan pengembangan kehutanan. Sementara itu berbagai bahasan yang kami sajikan menyangkut beragam aspek seper jenis-jenis invasif, pengeringan kayu, pemanfaatan kayu hitam dan liana berkhasiat obat hingga masalah konflik penggunaan lahan, diharapkan dapat menambah dan membuka wawasan kita sebagai pembaca untuk lebih peka dan memperhakan pemanfaatan hutan dan sumberdaya lingkungan lainnya secara lebih bijaksana dan berkelanjutan. Selamat memasuki tahun penelian jangka selanjutnya dengan penuh semangat ! Salam rimbawan, Pengantar Redaksi Warta MATOA Balai Penelian Kehutanan Manokwari merupakan media komunikasi dan informasi ilmiah populer di bidang penelian dan pengembangan hutan, konservasi alam, sosial dan ekonomi kehutanan serta yang berkaitan dengan hal -hal tersebut di Indonesia. REDAKSI Penanggung Jawab: Kepala Balai Penelian Kehutanan Manokwari Dewan Redaksi Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP. (Ketua) Sarah Yuliana, S.Hut., M.App.Sc. (Sekretaris) Abdullah Tuharea, S.Hut., M.Si. (Anggota) Redaksi Pelaksana Kepala Seksi Data, Informasi, Sarana dan Prasarana Penelian Yobo Endra Prananta, S.Si, M.Eng. Muthmainnah Syarifuddin, S.Hut Balai Penelian Kehutanan (BPK) Manokwari telah berkiprah lebih dari 30 tahun sebagai lembaga penelian kehu- tanan dengan wilayah kerja ekosistem Australasia. Melihat usia kerja yang sudah dak muda lagi dan wilayah kerja yang cukup khusus, tentu mbul pertan- yaan dalam benak kita, sudah seberapa banyak manfaat penelian yang dihasilkan? Bila penelian diibaratkan sebagai suatu usaha untuk mencapai sebuah tujuan, maka sedikitnya ada satu aspek kris dari seap usaha yang dilakukan. Aspek kris ini akan mempertanyakan apakah usaha tersebut akan berhasil dilaksanakan, sukses mencapai tujuan yang diharapkan, ataukah mengalami kegagalan. Pertanyaan ini selanjutnya berlaku untuk kegiatan penelian. Hasil penelian harus berupa obyek yang terukur, sehingga dapat diperhitungkan pencapaiannya oleh suatu perangkat. Kegiatan penelian seringkali diang- gap membutuhkan dana yang besar namun memberikan hasil yang dak terlihat jelas. Keberhasilan kegiatan penelian masih menjadi topik perde- batan hangat yang mendorong pencari- an indikator dan mekanisme efekf menyangkut bagaimana penelian terse- but harus diuji. Indikator keberhasilan penelian harus dirumuskan secara baik sehingga dapat terukur. Hal ini menjadi sangat penng dan efekf dalam menentukan kinerja dari penelian dan menjadi nilai tambah suatu hasil penelian. Di beberapa negara, termasuk di Indonesia, penggunaan indikator keber- hasilan untuk menguji penelian secara umum telah dilakukan. Kondisi ini ber- langsung meskipun belum ada buk yang kuat mengenai adanya suatu model standar indikator keberhasilan yang ber- laku secara umum dan menyeluruh. Dalam seap negara, instusi atau lem- baga penelian dapat menggunakan skema, mekanisme atau standar yang berbeda untuk menguji outcome atau hasil penelian yang sesuai dengan ciri peneliannya. Seiring berjalannya wak- tu, interpretasi mengenai indikator keberhasilan suatu penelian akan turut berubah guna menjawab perubahan karakterisk penelian yang terjadi. MENGUKUR KINERJA RISET……(DAPAT BERAPA YA…???) Oleh : Khuswantoro Akhadi Topik Alamat Redaksi Balai Penelian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi Susweni PO Box 159 Manokwari 98313 Telp. 0986 213437, 213440 Fax 0986 213441 Fokus Mengukur Kinerja Riset … ( dapat berapa ya…??? ) 1 Artikel Seharusnya Kita Tahu dan Memang Harus Tahu 4 Takkenal Maka Disayang “ Jenis-jenis Tumbuhan Asing Berpotensi Invasif ” 4 Pengeringan Kayu dengan Tenaga Surya 5 Konflik Penggunaan Lahan dan Eksisten- si Batas Kawasan Hutan 8 Ragam Info Kegunaan Kayu Eboni Diospyros pilosanthera Blanco 10 Caesalpinia bonduc (L). Roxb. : Liana Berkhasiat Anti Malaria dari Suku Kanum Merauke 12 Vol. 1. No. 3, Desember 2014

Upload: trinhphuc

Post on 18-Jul-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 7966 - balithutmanokwari.or.id · buku dan jumlah makalah yang ... manfaatan iptek adalah dampak paling ... berlangsung agar hasil penelitian tidak berhenti dan disimpan begitu saja

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 3, Desember 2014 1

Para pembaca yang budiman, bahagia rasanya kami dapat menghantarkan

Warta Matoa edisi akhir tahun 2014 ini ke hadapan anda. Tak lama lagi tahun ini

akan berakhir dan tentu saja kita masih setia bergiat dan menyajikan ulasan-ulasan

topik dalam bidang kehutanan yang tidak terbatas. Penilaian kinerja yang menjadi

isu hangat sepanjang tahun dalam Kementerian Kehutanan sejak penetapan

tunjangan kinerja menuntut kita untuk mulai memahami secara khusus proses

pengukuran kinerja penelitian dan segala aspek-aspek terkait penelitian dan

pengembangan kehutanan. Sementara itu berbagai bahasan yang kami sajikan

menyangkut beragam aspek seperti jenis-jenis invasif, pengeringan kayu,

pemanfaatan kayu hitam dan liana berkhasiat obat hingga masalah konflik

penggunaan lahan, diharapkan dapat menambah dan membuka wawasan kita

sebagai pembaca untuk lebih peka dan memperhatikan pemanfaatan hutan dan

sumberdaya lingkungan lainnya secara lebih bijaksana dan berkelanjutan.

Selamat memasuki tahun penelitian jangka selanjutnya dengan penuh

semangat !

Salam rimbawan,

Pengantar Redaksi

Warta MATOA Balai Penelitian Kehutanan Manokwari

merupakan media komunikasi dan informasi ilmiah populer di bidang

penelitian dan pengembangan hutan, konservasi alam, sosial dan ekonomi

kehutanan serta yang berkaitan dengan hal-hal tersebut di Indonesia.

REDAKSI

Penanggung Jawab: Kepala Balai Penelitian Kehutanan

Manokwari

Dewan Redaksi Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP. (Ketua)

Sarah Yuliana, S.Hut., M.App.Sc. (Sekretaris)

Abdullah Tuharea, S.Hut., M.Si. (Anggota)

Redaksi Pelaksana

Kepala Seksi Data, Informasi, Sarana dan Prasarana Penelitian

Yobo Endra Prananta, S.Si, M.Eng. Muthmainnah Syarifuddin, S.Hut

Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari telah berkiprah lebih dari 30 tahun sebagai lembaga penelitian kehu-tanan dengan wilayah kerja ekosistem Australasia. Melihat usia kerja yang sudah tidak muda lagi dan wilayah kerja yang cukup khusus, tentu timbul pertan-yaan dalam benak kita, sudah seberapa banyak manfaat penelitian yang dihasilkan?

Bila penelitian diibaratkan sebagai suatu usaha untuk mencapai sebuah tujuan, maka sedikitnya ada satu aspek kritis dari setiap usaha yang dilakukan. Aspek kritis ini akan mempertanyakan apakah usaha tersebut akan berhasil dilaksanakan, sukses mencapai tujuan yang diharapkan, ataukah mengalami kegagalan. Pertanyaan ini selanjutnya berlaku untuk kegiatan penelitian. Hasil penelitian harus berupa obyek yang terukur, sehingga dapat diperhitungkan pencapaiannya oleh suatu perangkat.

Kegiatan penelitian seringkali diang-gap membutuhkan dana yang besar namun memberikan hasil yang tidak terlihat jelas. Keberhasilan kegiatan penelitian masih menjadi topik perde-

batan hangat yang mendorong pencari-an indikator dan mekanisme efektif menyangkut bagaimana penelitian terse-but harus diuji. Indikator keberhasilan penelitian harus dirumuskan secara baik sehingga dapat terukur. Hal ini menjadi sangat penting dan efektif dalam menentukan kinerja dari penelitian dan menjadi nilai tambah suatu hasil penelitian.

Di beberapa negara, termasuk di Indonesia, penggunaan indikator keber-hasilan untuk menguji penelitian secara umum telah dilakukan. Kondisi ini ber-langsung meskipun belum ada bukti yang kuat mengenai adanya suatu model standar indikator keberhasilan yang ber-laku secara umum dan menyeluruh. Dalam setiap negara, institusi atau lem-baga penelitian dapat menggunakan skema, mekanisme atau standar yang berbeda untuk menguji outcome atau hasil penelitian yang sesuai dengan ciri penelitiannya. Seiring berjalannya wak-tu, interpretasi mengenai indikator keberhasilan suatu penelitian akan turut berubah guna menjawab perubahan karakteristik penelitian yang terjadi.

MENGUKUR KINERJA RISET……(DAPAT BERAPA YA…???) Oleh : Khuswantoro Akhadi

Topik

Alamat Redaksi Balai Penelitian Kehutanan Manokwari

Jl. Inamberi Susweni PO Box 159 Manokwari 98313

Telp. 0986 213437, 213440 Fax 0986 213441

Fokus

Mengukur Kinerja Riset … ( dapat berapa

ya…??? )

1

Artikel

Seharusnya Kita Tahu dan Memang

Harus Tahu

4

Takkenal Maka Disayang “ Jenis-jenis

Tumbuhan Asing Berpotensi Invasif ”

4

Pengeringan Kayu dengan Tenaga Surya 5

Konflik Penggunaan Lahan dan Eksisten-

si Batas Kawasan Hutan

8

Ragam Info

Kegunaan Kayu Eboni Diospyros

pilosanthera Blanco

10

Caesalpinia bonduc (L). Roxb. : Liana

Berkhasiat Anti Malaria dari Suku Kanum

Merauke

12

Vol. 1. No. 3, Desember 2014

Page 2: 7966 - balithutmanokwari.or.id · buku dan jumlah makalah yang ... manfaatan iptek adalah dampak paling ... berlangsung agar hasil penelitian tidak berhenti dan disimpan begitu saja

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 3, Desember 2014 2

Penggunaan indikator kinerja perlu diperhatikan pula bila indikator tersebut akan diterapkan dalam pembuatan rek-omendasi terhadap penelitian atau investigasi yang dil-akukan. Demikian pula dalam institusi penelitian dan pengembangan kehutanan, mekanisme penilaian terhadap kinerja penelitian menjadi hal yang harus dilaksanakan. Periode penilaian pun dapat bersifat singkat seperti dalam jangka waktu tahunan, maupun dilakukan pada bagian akhir periode seperti rencana strategis (renstra).

Saat ini, penelitian telah berkembang menjadi suatu kegiatan yang bersifat multidisiplin, yang sangat membu-tuhkan pemenuhan aspek ilmiah dan teknis di lapangan guna mencapai tujuannya. Selanjutnya, perlu disepakati indikator-indikator yang sesuai untuk menentukan luaran dan manfaat penelitian yang diukur. Hal ini sangat penting untuk dipertimbangkan agar persepsi masing-masing pihak yang terlibat dalam penelitian mampu memahami cara mengukur tingkat keberhasilan penelitian yang telah dil-akukan.

Sepanjang dekade terakhir hingga saat ini, penelitian internasional mengenai indikator kinerja belum memiliki suatu konsensus dan kesepakatan menyangkut indikator luaran dan manfaat suatu penelitian (Grigg, 1993). Lebih jauh lagi, agar proses evaluasi penggunaan indikator men-jadi lebih efektif, perlu dimasukkan aspek pengembangan atau improvement-oriented planning dan intention. Berdasarkan hal tersebut diatas, sangat penting untuk dipahami bahwa indikator kinerja untuk penelitian tidak bersifat universal dan statis, melainkan harus sesuai dengan perubahan karakteristik penelitian itu sendiri. Perkembangan indikator kinerja penelitian atau indikator keberhasilan suatu penelitian tergantung kepada pengaturan dari penelitian itu sendiri. Indikator keberhasilan penelitian secara individual berbeda dari penelitian institusi yang mengawasi dan mengatur penelitian dengan skala yang lebih luas. Demikian halnya dengan indikator keberhasilan penelitian di universitas yang berbeda dari penelitian non universitas. Perbedaan terse-but tidak terletak pada skema pendanaan, tetapi lebih pada kenyataan bahwa penelitian di universitas juga terkait dan melayani pendidikan, sehingga konsekuensi pengukuran keberhasilannya harus berbeda juga.

Secara umum indikator kesuksesan dapat dikembangkan dan diimplementasikan dalam dua ting-katan, yakni secara makro dan secara mikro. Indikator ting-kat mikro diterapkan untuk penelitian individual sedangkan indikator tingkat makro berlaku untuk penelitian yang bersifat umum.

Indikator Keberhasilan Riset

Indikator untuk penelitian individual ditekankan pada pengukuran sejauh mana tingkat keberhasilan suatu penelitian individual dibandingkan dengan pedoman yang telah ditetapkan. Jika penelitian dilihat sebagai suatu sistem, indikator kesuksesan penelitian dapat dibagi dalam empat aspek. Dalam kerangka ini, penelitian individual harus dilakukan pada setiap aspek. Penilaian sistem penelitian tersebut harus mampu mengarah pada kinerja

penelitian individual secara menyeluruh, meskipun harus diuji secara terpisah.

1. Indikator Masukan

Input atau masukan dapat menjadi tahapan pertama dalam sebuah proses penilaian seperti di dalam kegiatan penelitian. Indikator ini menjadi indikator pertama da-lam menilai masukan dari suatu sistem penelitian, yang berupa pengukuran terhadap kualitas sumber yang digunakan untuk menjalankan suatu penelitian. Sumber-sumber ini mencakup :

sumber daya manusia (kepakaran, pengalaman di lapangan),

sumber daya modal (anggaran dan sarana pendukung),

sistem informasi, kualitas data awal yang digunakan.

2. Indikator Proses

Setelah memanfaatkan masukan-masukan yang diper-lukan, tahapan kegiatan penelitian berikutnya adalah proses penelitian itu sendiri. Selama pelaksanaan penelitian, aspek-aspek berikut ini selanjutnya dapat digunakan sebagai indikator kinerja:

efisiensi aktivitas penelitian individual versus penelitian multi displin dan lintas

disiplin metodologi penelitian yang digunakan

kemajuan pelaksanaan tahapan penelitian metode komunikasi dalam tim penelitian kuantitas dan kualitas laporan kemajuan dalam

menyampaikan kemajuan penelitian kepada para pemangku kepentingan.

Aspek-aspek di atas akan mengindikasikan bagaimana suatu penelitian dilaksanakan dan dihasilkan. Kegiatan monitoring menjadi salah satu cara yang efektif dalam tahapan ini. Indikator kinerja diatas bernilai kritis karena indikator tersebut mengukur kemampuan penelitian untuk tetap berjalan selama pelaksanaan penelitian dalam upaya mencapai tujuan yang diharapkan. Kegagalan dalam menjaga kemajuan penelitian akan membawa kegagalan pencapaian tujuan.

3. Indikator Luaran

Tahapan akhir berupa output atau luaran. Penilaian pada tahap ini berupa penilaian terhadap luaran akhir yang dihasilkan, apakah sudah sesuai dengan rencana atau tidak. Kinerja penelitian dapat diuji berdasarkan pada kualitas luarannya, yang dindikasikan dengan:

a. Produced output, sebagai pengukuran output penelitian yang didasarkan pada hasil penelitian. Indikator output yang dihasilkan antara lain: jumlah publikasi ilmiah, jumlah paten, jumlah bab dalam buku dan jumlah makalah yang dipublikasikan.

b. Consumed output, sebagai indikator kinerja yang dihasilkan dari penggunaan atau aplikasi output penelitian. Indikator ini umumnya mengukur bagai-

Page 3: 7966 - balithutmanokwari.or.id · buku dan jumlah makalah yang ... manfaatan iptek adalah dampak paling ... berlangsung agar hasil penelitian tidak berhenti dan disimpan begitu saja

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 3, Desember 2014 3

belum mencantumkan indikator hasil dampak atau impact asessment. Oleh karena itu UPT diberikan keleluasan untuk melakukan impact asessment sedikitnya lima tahun sekali.

Terlepas dari itu segala penilaian tersebut, hal yang lebih penting sesungguhnya yang diharapkan adalah masing-masing peneliti melakukan self assesment terhadap pelaksanaan penelitiannya sendiri. Hal ini akan bermanfaat secara individu untuk memacu agar bertindak lebih baik. Disamping itu, assesment oleh pihak lain merupakan hal yang perlu dilaksanakan pula agar terhindar dari ketidakadilan dan ketidakjujuran terhadap pelaksanaan penilaian mulai dari proses input atau masukan, proses pelaksanaan penelitian, output yang dihasilkan serta pengukuran dampak. Indikator kinerja output akan diukur dengan cara yang lebih bersifat kuantitatif dan dilaksanakan oleh pihak eksternal. Indikator kinerja outcome mengukur dampak penelitian secara internal dan eksternal. Menguji dampak internal suatu penelitian dapat dianggap suatu pekerjaan yang mudah dilaksanakan, sementara mengukur dampak penelitian pada lingkungan masyarakat secara eksternal jauh lebih sulit untuk dilaksanakan. Untuk yang pertama dapat ditentukan secara internal sedangkan yang terakhir harus melibatkan berbagai aspek yang lebih besar dan jauh lebih kompleks seperti pengguna (masyarakat, swasta, pemerintah). Pada tingkatan yang lebih tinggi, indikator untuk mengukur keberhasilan suatu penelitian harus juga ditentukan. Impact assesment merupakan salah satu alat ukurnya, sehingga indikator keberhasilan di sini harus dapat mengindikasikan keberhasilan seluruh penelitian di bawah pengawasan atau manajemennya, demikian juga dengan dukungan dan pencapaian keberhasilan penelitian.

Kegagalan kegiatan penelitian secara umum dapat disebabkan oleh tidak tersedianya input atau masukan yang memadai, proses penelitian yang tidak tepat, serta output penelitian yang tidak sesuai dengan tujuan dan sasaran awal. Faktor inputan dapat dibenahi melalui: pendidikan dan pelatihan, sumber dana yang cukup, peralatan yang memadai serta tersedianya informasi awal yang baik.

Namun kegagalan pelaksanaan penelitian masih dapat dikurangi melalui pelaksanaan penelitian sesuai dengan dokumen rencana, kerjasama antar peneliti dan kepakaran, ketepatan metode dan analisis yang digunakan serta pelaporan yang akurat dan tepat waktu.

Selanjutnya pada tahapan output dan outcome seringkali peneliti gagal dalam merumuskan hasil risetnya ke dalam sebuah karya tulis ilmiah atau temuan-temuan lain. Terkadang kegiatan penelitian terhenti hanya pada sebuah laporan kegiatan. Hal ini dapat diperbaiki jika peneliti mempunyai kesadaran penuh atas penelitian yang dilakukan, apalagi dengan pemikiran bahwa sumberdaya yang digunakan berasal dari publik. Tanggungjawab moral ini yang harus ditekankan. Disamping itu kegiatan desiminasi dan publikasi juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan yang harus disiapkan sebagai pendukung.

Selamat berkarya para peneliti……………

Grigg (?)

mana output penelitian individual dapat mempengaruhi dan digunakan atau dipakai oleh peneliti lain atau aktivitas pendidikan. Indikator untuk consumed output dalam kasus penelitian akademik dapat berupa jumlah sitasi dalam karya tulis ilmiah skala nasional dan internasional atau jumlah bahasan dan doktor yang dihasilkan.

4. Indikator hasil dampak

Pengujian yang paling akhir terhadap hasil penelitian adalah pengukuran dampak atau impact assesment produk penelitian secara menyeluruh. Umumnya keberhasilan suatu penelitian diukur terhadap bagaimana suatu outcome penelitian dapat berdampak secara internal dan eksternal kepada lingkungan komunitas dari penelitian. Dampak yang tampak dapat berupa internal impact (dampak internal) dan external impact (dampak eksternal). Internal impact, dimana secara internal dampak

penelitian diukur berdasarkan perkembangan metode teori dan inovasi baru sesudah menentukan kinerja output. Langkah ini kemudian diikuti dengan menentukan berapa lama produce output menjadi knowledge domain dari sains. Dalam hal ini, ke-manfaatan iptek adalah dampak paling minimal yang dihasilkan oleh penelitian. Dan pada tahapan ini, penelitian dasar akan menjadi pondasi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

External impact, dimana indikator untuk riset outcome akan mengukur dampak dari outcome penelitian individual kepada komunitas dan lingkungan seperti masyarakat, pihak swasta bahkan pemerintah, dalam rangka penentuan kebijakan. Dapat disimpulkan bahwa penelitian tidak boleh berhenti setelah menghasilkan output, tetapi harus menghasilkan manfaat yang lain bagi komunitas eksternal. Penelitian yang berupa riset terapan harus sampai ke tahap ini.

Pada kenyataannya, banyak sekali ditemukan penelitian hanya berakhir pada tahapan output saja, termasuk yang terjadi di BPK Manokwari. Padahal, proses yang seharusnya berlangsung agar hasil penelitian tidak berhenti dan disimpan begitu saja masih panjang. Dukungan untuk melakukan diseminasi hasil penelitian menjadi hal wajib agar hasil penelitian dapat memberikan nilai manfaat baik kemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemanfaa-tan masyarakat, dan kemanfaatan pemerintah dalam penentuan kebijakan.

Indikator Kinerja Riset Kehutanan

Masing-masing lembaga riset berkewajiban menetap-kan perangkatnya sendiri dalam menentukan indikator dan metode pengukuran kinerja risetnya. Badan Litbang Kehutanan juga telah menetapkan perangkatnya berupa Surat Keputusan (SK) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan No. 54 tahun 2011 tentang Pedoman Evaluasi. Pedoman ini digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan penelitian pada tingkat satuan kerja sampai dengan Badan Litbang Kehutanan. Pelaksanaan evaluasi dilaksanakan secara berjenjang mulai dari tingkat unit pelaksana teknis (UPT), Pusat Penelitian (Puslit) dan Eselon I. Namun demikian dalam SK tersebut

Page 4: 7966 - balithutmanokwari.or.id · buku dan jumlah makalah yang ... manfaatan iptek adalah dampak paling ... berlangsung agar hasil penelitian tidak berhenti dan disimpan begitu saja

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 3, Desember 2014 4

SEHARUSNYA KITA TAHU DAN MEMANG HARUS TAHU Oleh : Edwin L Yoroh

Sebagai rimbawan, sudah tahukah kita?

Tujuan pembangunan kehutanan adalah memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya secara serbaguna dan lestari baik langsung maupun tidak langsung dari sumber daya hutan dalam usaha membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

Pembangunan kehutanan perlu adanya dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Disini Penelitian dan Pengembangan (LITBANG) kehutanan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menyediakan dukungan IPTEK tersebut. Dengan IPTEK dapat dikaji alternatif pemecahan masalah yang terbaik serta penyediaan data dan informasi, sebagai umpan kedepan untuk pegangan teknis ilmiah dalam penetapan kebijakan pencapaian tujuan pembangunan kehutanan.

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan bertugas melakukan penelitian, mengkaji dan pengembangannya, mengenal secara teknis teknologi alternatif pemecahan masalah serta penyediaan data dan informasi untuk menunjang kegiatan operasional di bidang kehutanan. Data dan Informasi tersebut sangat penting sebagai landasan untuk melihat kedepan yang sekaligus menjadi pegangan teknis ilmiah bagi penetapan kebijakan dalam mewujudkan tujuan pembangunan Kehutanan.

Sasaran yang ingin dicapai oleh Litbang Kehutanan, ada dua hal yang perlu menjadi perhatian kita diantaranya :

a. meningkatkan kemampuan melaksanakan penelitian dan pengembangan baik kuantitas maupun kualitas,

b. meningkatkan dan memperluas manfaat hasil penelitian dan pengembangan kehutanan kepada pengguna.

Permasalahan yang saat ini dihadapi oleh Litbang Kehutanan dalam upaya mengembangkan hasil-hasil penelitian, berdasarkan hasil evaluasi pribadi dan didukung oleh buletin, infotek, warta, profil yang masuk di BPK Manokwari adalah :

a. adanya tumpang tindih kegiatan penelitian antara

litbang kehutanan, BUMN, dan lintas sektor pada Kementerian Kehutanan, dan ini berdampak pada output ganda sehingga sulit untuk diambil manfaatnya untuk menunjang pengambilan kebijakan kedepan.

b. sulitnya menyelaraskan kegiatan penelitian dan pengembangan dengan para pelaksana, dan pengambil keputusan, karena penelitian memerlukan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan kegiatan dan kebijakan politik terus bergulir seiring dengan perkembangan global.

c. organisasi yang ada saat ini dirasakan belum cukup mampu menempatkan dirinya sebagai pemandu, pendamping, dan pendukung, di dalam memecahkan berbagai permasalahan yang semakin beragam sehubungan dengan luasnya wilayah Nusantara.

Tindak Lanjut yang harus dilakukan oleh pengambil keputusan adalah merubah pola pikir pelaku kegiatan dari masing-masing sektor untuk fokus pada bidang tugas yang diemban, litbang kehutanan fokus pada penelitian, sementara BUMN juga memfokuskan penyelarasan misinya sehingga bisa paralel dengan kegiatan penelitian, dan pemangku kepentingan lintas sektoral berkenan menyampaikan informasi tentang permasalahan yang dihadapi sehingga mendapatkan solusi lewat kajian dan penelitian.

Langkah itu diikuti dengan melakukan penelitian yang aplikatif, terintegrasi, sistematis, dan terprogram dengan waktu yang tidak lama (“), sehingga kegiatan penelitian tidak terlalu merasakan dampak perubahan kebijakan yang sewaktu-waktu akan muncul.

Harus selalu terjalin hubungan emosional yang inten antara manajeman dan fungsional peneliti sehingga manajemen merupakan enterprener yang dapat menyampaikan informasi dalam bentuk ekspose, seminar maupun publikasi lainnya sehingga dapat menjangkau wilayah belahan Nusantara yang kita cintai.

TAK KENAL MAKA DISAYANG : Jenis-jenis tumbuhan asing berpotensi invasif Oleh : Sarah Yuliana

Saat kecil dahulu kita mungkin sering diingatkan akan peribahasa Tak kenal maka tak sayang. Sebuah peribahasa yang berarti jika kita tidak mengerti atau memahami sesuatu hal atau suatu benda maka kita tidak akan tahu arti sebenarnya dan tidak dapat menghargai hal atau benda tersebut. Satu-satunya cara untuk menghindari hal tersebut terjadi adalah dengan berkenalan dan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang benda atau hal yang anonim itu. Hal ini seharusnya berlaku juga terhadap

jenis-jenis asing yang berpotensi invasif.

Sebenarnya, apakah jenis-jenis invasif itu? Jenis-jenis invasif adalah jenis-jenis yang mampu berkembang sangat cepat pada suatu lingkungan sehingga dapat merugikan secara ekonomis maupun ekologis. Status invasif bisa saja ditetapkan pada jenis-jenis dari kelompok tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme. Berkaitan dengan bidang kehutanan, jenis tumbuhan invasif menjadi salah satu masalah yang mulai mendapatkan perhatian lebih akhir-

Page 5: 7966 - balithutmanokwari.or.id · buku dan jumlah makalah yang ... manfaatan iptek adalah dampak paling ... berlangsung agar hasil penelitian tidak berhenti dan disimpan begitu saja

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 3, Desember 2014 5

bertenaga surya tampaknya belum cukup berkembang dan komersil (Belessiotis dan Delyannis, 2011). Indonesia yang terletak di wilayah tropis dengan intensitas cahaya matahari yang lebih tinggi dibandingkan negara di luarnya seperti Australia, memiliki peluang yang sangat tinggi untuk mengembangkan sistem pengeringan tenaga surya ini. Gagasan ini muncul setelah penulis bertemu dengan Rob Rule, salah satu staf Training Center Ltd. di Creswick Australia. Secara singkat, Rule menerangkan bagaimana

Pengeringan kayu secara umum

Pengeringan kayu merupakan kegiatan untuk meningkatkan kualitas kayu melalui pengurangan air dari dalam kayu. Pengeringan kayu dapat dilakukan baik secara alami dengan memanfaatkan tenaga surya, maupun dengan menggunakan pengering buatan. Pengeringan dengan tenaga surya dapat dikelompokkan menjadi pengeringan alami di tempat terbuka (Air drying) dan pengering bertenaga surya (Solar drying). Hingga kini pengeringan

akhir ini. Ciri-ciri tumbuhan invasif antara lain mampu tum-buh dengan cepat, reproduksinya cepat seringkali mampu bereproduksi secara vegetatif, memiliki kemampuan me-nyebar tinggi, toleransi yang besar terhadap kondisi ling-kungan, dan umumnya berasosiasi dengan manusia. (Wittenberg & Cock, 2001; Zedler & Kercher, 2004; Zimdahl, 2007).

Tumbuhan invasif dapat merupakan jenis asli dan juga jenis asing dari luar atau jenis eksotik. Penyebaran jenis asli yang menyebar secara meluas di habitatnya seringkali dianggap tidak terlalu berbahaya dibandingkan keberadaan jenis asing yang invasif. Jenis asing yang ada di suatu daerah dapat masuk secara sengaja, misalnya melalui introduksi untuk keperluan tertentu, atau secara tidak sengaja akibat terbawa oleh manusia ke dalam suatu lokasi. Jenis asing selanjutnya dapat menjadi invasif apabila mampu menyingkirkan jenis asli dari kompetisi memperebutkan sumber daya seperti zat hara, cahaya, air dan ruang tumbuh. Jenis invasif asing mungkin saja mampu mengandalkan sumber daya yang sebelumnya tidak mampu dijangkau jenis asli dan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan hidupnya yang baru.

Seringkali tidak kita sadari, jenis-jenis tumbuhan yang berpotensi menjadi masalah untuk lingkungan kita merupa-kan jenis-jenis yang kita tanam dan kita pelihara, serta kita sayangi karena tujuan tertentu. Beberapa jenis yang berpo-tensi invasif dan sering kita temui setiap hari antara lain Bunga tai ayam Lantana cammara L., Lentera afrika Spath-odea campanulata L., Putri malu besar Mi-mosa pigra L. dan Eceng gondok Ec-chornia crassipes L. Semua jenis ini kita tanam, karena ber-manfaat bagi kita. Ada yang bernilai orna-mental sebagai tana-man penghias taman dan kolam, tanaman peneduh, dan juga untuk manfaat lain seperti pakan ternak.

Tanpa sadar pula, kita seringkali membiarkan jenis-jenis ini berkembang biak, berpindah habitat dan tumbuh di ling-

kungan baru, baik di lingkungan alami maupun di sekitar tempat tinggal kita. Pernahkah kita lihat padang penggem-balaan yang hanya ditumbuhi gerumbul tumbuhan bunga

tai ayam yang rapat, berduri kecil-kecil dan berbau, juga dipadati rumpun putri malu besar yang rapat, ber-batang keras dan ber-duri panjang-tajam ? Atau kolam, kali-kali kecil dan danau yang disesaki dan akhirnya kering akibat ulah eceng gondok? Bahkan di sekitar perkotaan dan pinggiran hutan

yang sudah mulai dihiasi bunga merah jingga pohon-pohon lentera afrika yang bukan lagi sengaja ditanam untuk peneduh tapi sudah bisa menyebar dan tumbuh di tempat yang baru?

Contoh-contoh gangguan yang disebutkan tadi baru terbatas pada empat jenis tumbuhan yang sering kita jumpai, kita manfaatkan dan kita sayangi, namun mungkin belum kita kenal sebaik-baiknya. Kita mungkin saja tidak dapat menghalangi keinginan kita untuk tetap menanam dan memeliharanya sesuai kebutuhan kita. Tetapi kita mampu mengurangi dampak buruk penyebarannya dengan tetap berhati-hati, sebisa mungkin menjaganya dalam pengawasan dan batas-batas lingkungan kita tanpa merusak lingkungan lain di luar yang kita perlukan. Bisakah kita menjawab tantangan ini?

Pengeringan Kayu dengan Tenaga Surya Oleh : Freddy J Hutapea

Gambar 1. Bunga tai ayam Lantana camara L.

Gambar 2. Eceng gondok Eichornnia crassipes L.

Gambar 3. Pohon Lentera Afrika Spathodea campanu-lata L.

Gambar 4. Putri malu besar Mimosa pigra L.

Page 6: 7966 - balithutmanokwari.or.id · buku dan jumlah makalah yang ... manfaatan iptek adalah dampak paling ... berlangsung agar hasil penelitian tidak berhenti dan disimpan begitu saja

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 3, Desember 2014 6

mereka memanfaatkan energi matahari untuk mengeringkan kayu. Intensitas cahaya matahari yang diterima oleh negara bagian Australia seperti Victoria tidak sebesar dan tidak berlangsung sepanjang waktu seperti di daerah tropis seperti di Indonesia. Pengeringan kayu seringkali harus memanfaatkan pengering buatan berbahan bakar fosil saat intensitas cahaya matahari sangat rendah. Upaya Rule memanfaatkan tenaga surya dalam pengeringan kayu mendorong penulis ingin ikut membagikan tentang informasi ini.

Sejarah singkat pengeringan kayu dengan menggunakan tenaga surya

Kegiatan pengeringan secara alami sesungguhnya telah dilakukan sejak dulu, meskipun umumnya terbatas pada hasil-hasil pertanian dan bahan pangan (Prakash dan Kumar, 2014b). Namun beberapa literatur mencatat bahwa pengeringan kayu juga sudah dilakukan sejak peradaban manusia dimulai dahulu. Hal ini terbukti dari beberapa penemuan furniture kuno pada zaman mesir kuno (Câmpean dan Marinescu, 2011). Akan tetapi, pengeringan kayu yang dilakukan pada masa ini masih bersifat tradisional seperti pengeringan di tempat terbuka. Pengembangan pengeringan kayu menggunakan pengering bertenaga surya baru dimulai pada tahun 1960-an (Luna et al., 2009). Hingga kini, Amerika Serikat dan India menjadi negara yang telah secara intensif mengembangkan sistem pengeringan ini (Sattar, 1993).

Pengeringan kayu di tempat terbuka (Air drying)

Pengeringan kayu di tempat terbuka merupakan model pengeringan kayu yang sangat umum dijumpai di masyarakat Indonesia dan juga di negara-negara lain di dunia (Bekkioui et al., 2011). Masyarakat pada umumnya mengeringkan kayu dengan cara menumpuk kayu tersebut di tempat terbuka dan membiarkannya hingga kering (Gambar 1). Seperti diketahui, pengeringan kayu dengan cara ini memiliki beberapa kelemahan. Pengeringan ini dapat mengurangi kualitas kayu karena kayu tersebut dibiarkan berinteraksi dengan hujan dan matahari yang memungkinkannya terserang jamur (Sharma et al., 2009). Kegiatan pengeringan kayu dengan cara ini akan menghasilkan cacat pada kayu seperti retak (cracking) akibat suhu dan kelembaban yang tidak terkontrol (Tschernitz dan Simpson, 1979).

Pengeringan Kayu Bertenaga Surya

Berbagai kelemahan yang ditimbulkan oleh pengeringan secara alami di tempat terbuka membuat beberapa peneliti di dunia mencoba mengkaji pengembangan energi surya sebagai penggerak kegiatan pengeringan kayu. Desain

dasar pengering kayu bertenaga surya secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 tipe (Câmpean dan Marinescu 2011). Ketiga tipe itu mencakup tipe rumah kaca (greenhouse type), tipe semi rumah kaca (semi greenhouse type), dan tipe pengering dengan dinding yang tidak tembus cahaya (opaque wall type).

1. Tipe pengering rumah kaca (greenhouse type)

Pengering kayu ini didesain mengikuti pola rumah kaca dengan atap pengering biasanya dilapisi dengan plastik atau kaca (Gambar 2). Sistem rumah kaca berfungsi sebagai pengumpul (collector) sinar matahari. Sinar matahari yang diterima oleh collector langsung diteruskan ke ruang pengering kayu (chamber). Di dalam ruang pengering kayu, energi ini kemudian disirkulasikan dengan menggunakan kipas angin. Pengering tipe rumah kaca memiliki beberapa keunggulan. Pengering ini dapat digunakan untuk kegiatan pengeringan dengan temperatur rendah (Prakash dan Kumar, 2014a). Selain itu, pemanfaatan cahaya matahari (solar radiation) akan menjadi lebih efektif dan efisien (Condorí dan Saravia, 1998).

2. Tipe semi rumah kaca (the semi greenhouse type)

Pengering semi rumah kaca merupakan tipe pengering yang paling populer (Denig et al., 2000). Hal ini disebabkan karena desain pengering yang tergolong sangat sederhana. Pengering yang dikembangkan oleh Noves dan Seco (1990) dikenal sebagai the solar heated lumber kiln. Contoh pen-gering ini terdiri dari pengumpul energi surya (solar collector) dan ruang pengering. Solar collector ditempatkan di atap dengan kemiringan 30°. Panas matahari langsung masuk ke dalam ruang pengering kayu dan sirkulasi udara di dalamnya diatur menggunakan kipas angin (Gambar 3).

3. Tipe pengering dengan dinding yang tidak tembus cahaya (the opaque wall type)

Pengering ini merupakan tipe pengering yang sangat mahal. Desain pengering ini terdiri dari dinding yang tidak tembus cahaya, ruang beratap yang biasanya terisolasi (Câmpean dan Marinescu 2011). Pengering ini hampir sama

Gambar 1. Kegiatan pengeringan kayu secara alami di tempat terbuka.

Gambar 2. Desain tipe pengering rumah kaca (Green house dryer) (Sumber: Belessiotis dan Delyannis (2011) dan Condorı dan Saravia (2003)).

Gambar 3. Desain pengering tenaga surya yang dikembangkan Noves dan Seco (1990).

Page 7: 7966 - balithutmanokwari.or.id · buku dan jumlah makalah yang ... manfaatan iptek adalah dampak paling ... berlangsung agar hasil penelitian tidak berhenti dan disimpan begitu saja

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 3, Desember 2014 7

dalam pengering ini (Bekkioui et al., 2011). Sebagai contoh, pengering kayu yang dikembangkan oleh Tschernitz dan Simpson (1979) hanya mampu menampung kayu sebanyak 2.36 m3. Akibatnya, alat ini hanya dapat digunakan untuk skala kecil. Kelemahan lainnya adalah alat ini bergantung sepenuhnya pada ketersediaan matahari, sehingga alat ini tidak dapat beroperasi ketika mendung atau hujan (Pirasteh et al., 2014). Untuk menanggulangi masalah ini, biasanya praktisi seperti di Timber Training Center Ltd mengkombinasikan pengering tenaga surya dengan pengering berbahan bakar fosil. Pengeringan kayu akan dilanjutkan dengan menggunakan pengering berbahan bakar fosil ketika keadaan cuaca mendung.

Kesimpulan

Melihat ulasan ini, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan menyangkut pengeringan kayu tenaga surya. Pengering tenaga surya merupakan pengering yang sangat potensial untuk dikembangkan khususnya di Indonesia yangmenerima intensitas matahari yang cukup tinggi. Pengering tenaga surya dapat dikelompokkan menjadi tipe pengering rumah kaca, semi rumah kaca, dan pengering dengan dinding yang tidak tembus cahaya (the opaque wall type). Pengeringan kayu dengan menggunakan pengering tenaga surya lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan pengeringan alami di tempat terbuka.

Daftar Pustaka

Barlev, D., Vidu, R., & Stroeve, P. 2011. Innovation in concentrated solar power. Solar Energy Materials and Solar Cells, 95(10), 2703-2725.

Bekkioui, N., Hakam, A., Zoulalian, A., Sesbou, A., & El Kortbi, M. 2011. Solar Drying of Pine Lumber: Verification of Mathematical Model. Maderas: Ciencia y Tecnología, 13(1), 29-40.

Belessiotis, V., & Delyannis, E. 2011. Solar drying. Solar Energy, 85(8), 1665-1691.

Câmpean, M., & Marinescu, I. 2011. Solar Systems for Wood Drying. Environmental Engineering & Management Journal (EEMJ), 10(8), 1069-1076.

Condorı, M., & Saravia, L. 2003. Analytical model for the performance of the tunnel-type greenhouse drier. Renewable Energy, 28(3), 467-485.

Condorí, M., & Saravia, L. 1998. The performance of forced convection greenhouse driers. Renewable Energy, 13(4), 453-469.

Denig, J., Wengert, E. M., & Simpson, W. T. 2000. Drying Hardwood Lumber. United States Department of Agriculture (USDA). Madison.

Luna, D., Nadeau, J.-P., & Jannot, Y. 2009. Solar timber kilns: State of the art and foreseeable developments. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 13(6), 1446-1455.

Noves, H. A., & Seco, J. F.-G. 1990. Solar drying of sawn lumber in Spain. Holz als Roh-und Werkstoff, 48(5), 173-178.

Pirasteh, G., Saidur, R., Rahman, S., & Rahim, N. 2014. A review on development of solar drying applications. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 31, 133-148.

Prakash, O., & Kumar, A. 2014a. Performance evaluation of greenhouse dryer with opaque north wall. Heat and Mass Transfer, 50(4), 493-500.

Prakash, O., & Kumar, A. 2014b. Solar greenhouse drying: A review. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 29, 905-910.

Sattar, M. 1993. Solar drying of timbe—a review. Holz als Roh-und Werkstoff, 51(6), 409-416.

Sattar, M. 1994. Economics of drying timber in a greenhouse type solar kiln. Holz als Roh-und Werkstoff, 52(3), 157-161.

Sharma, A., Chen, C., & Vu Lan, N. 2009. Solar-energy drying systems: A review. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 13(6), 1185-1210.

Tschernitz, J. L., & Simpson, W. T. 1979. Solar-heated, forced-air, lumber dryer for tropical latitudes. Solar Energy, 22(6), 563-566.

Weiss, W., & Buchinger, J. 2012. Solar Drying. Austrian Development Cooperation. Austria.

dengan pengering konvensional, dengan solar collector ditempatkan terpisah dengan ruang pengering (Gambar 4). Panas yang diterima oleh collector selanjutnya ditransfer menuju ruang pengering melalui pipa penyalur panas.

Keunggulan pengering tenaga surya

Secara umum pengering tenaga surya memiliki beberapa keunggulan dibanding pengeringan model bu-atan.

a. Ramah lingkungan

Energi surya merupakan salah satu energi potensial yang bersifat ramah lingkungan. Sifatnya yang ramah lingkungan menjadikan sumber energi ini sebagai bahan baku energi terbarukan pengganti bahan bakar fosil yang selama ini masih menjadi andalan energi global (Barlev, et al., 2011; Pirasteh, et al., 2014).

a. Hemat waktu dan biaya

Pengeringan kayu dengan menggunakan pengering tenaga surya umumnya berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan pengeringan di tempat terbuka (Bekkioui et al., 2011). Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk mengeringkan kayu dengan menggunakan pengering bertenaga surya lebih murah bila dibandingkan dengan pengeringan alami di tempat terbuka dan pengeringan yang menggunakan tenaga uap (Sattar 1994). Hingga kini diketahui bahwa kombinasi energi surya dan bahan bakar fosil dalam pengeringan kayu di daerah beriklim sedang (temperate zone) dengan intensitas matahari tidak sebesar daerah tropis telah mampu menekan konsumsi bahan bakar hingga sebanyak 50% (Câmpean dan Marinescu, 2011).

c. Kerusakan kayu lebih sedikit

Kerusakan kayu yang diakibatkan oleh pengering tenaga surya diketahui menjadi lebih kecil daripada pengeringan alami (Bekkioui et al., 2011). Dengan demikian, kualitas kayu yang dihasilkan dengan pengeringan ini lebih baik daripada pengeringan alami yang dibiarkan di tempat terbuka.

Kelemahan pengeringan dengan tenaga surya

Meskipun beberapa fakta di atas menunjukan bahwa pengering tenaga surya memiliki banyak keuntungan, pengering ini juga memiliki kelemahan. Hal utama terletak pada terbatasnya volume kayu yang dapat dimasukkan ke

Gambar 4. Contoh desain pengering the opaque wall type dryer (Sumber: Weiss dan Buchinger (2012)).

Page 8: 7966 - balithutmanokwari.or.id · buku dan jumlah makalah yang ... manfaatan iptek adalah dampak paling ... berlangsung agar hasil penelitian tidak berhenti dan disimpan begitu saja

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 3, Desember 2014 8

Konflik penggunaan lahan di dalam kawasan hutan sangat erat kaitannya dengan eksistensi atau keberadaan batas kawasan hutan. Pengakuan terhadap eksistensi batas kawasan hutan antara lain ditentukan oleh pengakuan keberadaannya oleh masyarakat, adanya kejelasan batas di lapangan, kuatnya status hukum kawasan hutan. Namun demikian dinamika perkembangan penggunaan lahan oleh masyarakat serta dinamika pengaturan terhadap kawasan hutan selama sekitar dua dekade belakangan ini telah memperburuk eksistensi batas kawasan hutan.

Pada dasarnya eksistensi batas kawasan hutan merupakan hasil dari proses pengukuhan kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan merupakan hasil dari rangkaian proses yang meliputi: penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan. Kawasan hutan akan ada setelah suatu kawasan atau areal sedikitnya ditunjuk sebagai kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan sebagai pemegang wewenangnya. Kawasan ini tentu saja mencakup juga batas-batasnya, meskipun batas-batas tersebut masih berada di atas peta.

Hukum Kawasan Hutan

Pembahasan menyangkut kawasan hutan tidak dapat dilepaskan dari keberadaan aturan-aturan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Keberadaan kawasan hutan dalam UU tersebut terutama diatur dalam pasal 4, yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:

1. Ayat (1) Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat

2. Ayat (2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk: a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang

berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan

c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

3. Ayat (3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Kawasan hutan sendiri melalui UU tersebut telah didefinisikan sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Penguasaan hutan oleh negara yang kemudian memberi kewenangan kepada Pemerintah (cq. Kementerian Kehutanan) inilah yang menjadi dasar hukum bagi keberadaan kawasan hutan. Pemerintah kemudian menjabarkan pengaturan terkait

kawasan hutan tersebut dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Kehutanan, serta peraturan-peraturan teknis dibawahnya. Peraturan perundangan yang mengatur kawasan hutan mengacu pada Bagian ketiga dari Bab tentang Perencanaan Kehutanan yang mengatur Pengukuhan Hutan, yang pada pasal 15 disebutkan bahwa pengukuhan hutan meliputi proses: Penunjukan Kawasan Hutan, Penataan Batas Kawasan Hutan, Pemetaan Kawasan Hutan, dan Penetapan Kawasan Hutan. Lebih lanjut peraturan perundangan penjabaran yang menguraikan hukum kawasan hutan tersebut antara lain:

1. PP No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, 2. Peraturan perundangan setingkat Menteri seperti: SK

menhut No. 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pegukuhan Kawasan Hutan,

3. SK Menhut No. 613/Kpts-II/1997 tentang Pedoman Pengukuhan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam,

4. SK Menhut No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan. Aturan ini didukung pula dengan SK Menhut No. 48/Menhut II/2004 tentang perubahan Keputusan Menhut No. 70/Kpts-II/2001.

Keberadaan kawasan hutan juga telah diatur dalam peraturan perundangan bidang penataan ruang antara lain dalam PP No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dengan demikian pada dasarnya kawasan hutan secara hukum positif telah cukup kuat keberadaannya.

Pengertian dalam proses pengukuhan kawasan hutan (sejak penunjukan hingga ke penetapan) dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Penunjukan kawasan hutan adalah penetapan awal suatu wilayah tertentu sebagai kawasan hutan yang dapat berupa penunjukan mencakup wilayah provinsi atau partial/kelompok hutan

2. Penataan batas kawasan hutan adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, inventarisasi hak-hak pihak ketiga, pemancangan tanda batas sementara, pemancangan dan pengukuran tanda batas definitif.

3. Pemetaan kawasan hutan adalah kegiatan pemetaan hasil pelaksanaan penataan batas kawasan hutan berupa peta tata batas yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan berita acara tata batas.

4. Penetapan kawasan hutan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, letak, batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan tetap dengan keputusan Menteri.

Menilik pengertian-pengertian itu, maka kawasan hutan yang paling kuat status dan kedudukan hukumnya adalah kawasan hutan yang telah ditetapkan menteri, sedangkan penunjukan kawasan hutan masih lemah, karena belum ada penegasan batas di lapangan baru di atas peta.

KONFLIK PENGGUNAAN LAHAN DAN EKSISTENSI BATAS KAWASAN HUTAN Oleh : Yusuf Kustriyanto

(Pengendali Ekosistem Ahli Pertama pada BPKH Wilayah XVII Manokwari)

Page 9: 7966 - balithutmanokwari.or.id · buku dan jumlah makalah yang ... manfaatan iptek adalah dampak paling ... berlangsung agar hasil penelitian tidak berhenti dan disimpan begitu saja

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 3, Desember 2014 9

Kondisi kawasan hutan di Indonesia saat ini dapat dikategorikan dalam beberapa tingkatan, antara lain: a) kawasan hutan yang belum ditata batas, b) kawasan hutan yang telah ditata batas, tetapi masih dalam proses pengesahan dan penetapannya, c) kawasan hutan yang sebagian batasnya telah ditata batas dan disahkan oleh Menteri Kehutanan, d) kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Data yang ada juga memperlihatkan bahwa walaupun penataan batas kawasan hutan telah mencapai tingkat 77,62 %, namun penetapan batasnya baru mencapai tingkat 66 % Hal yang lebih memprihatinkan lagi, kawasan hutan yang telah ditetapkan baru sekitar 12 %. Hal ini mengindikasikan adanya kendala dan permasalahan terkait dengan tindak lanjut terhadap kawasan hutan yang telah di tata batas.

Beberapa variasi permasalahan yang menyangkut batas kawasan hutan dari sisi internal dan eksternal mencakup hal-hal berikut.

1. Dari sisi internal, terdapat tata batas kawasan hutan (yang penataan batasnya berdasarkan TGHK) namun deliniasinya tidak sesuai dengan peta penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi. Untuk masalah ini sebenarnya telah ada payung hukum untuk penyelesaiannya yaitu SK Menteri Kehutanan No. 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Hutan, pasal 22 yang berbunyi “Kawasan hutan yang telah ditata batas dan tidak selaras dengan peta penunjukan kawasan hutan (dan perairan) yang ditetapkan oleh Menteri masih tetap berlaku sampai dengan diterbitkannya Berita Acara (BA) Tata Batas Kawasan Hutan yang selaras dengan peta penunjukan kawasan hutan tersebut dan dinyatakan penghapusannya didalam BA Tata Batas Kawasan Hutan. Namun demikian perbedaan deliniasi ini belum ada penyelesaiannya.

2. Dari sisi eksternal, terdapat variasi masalah : a. Pada kawasan hutan yang telah ditata batas terdapat

penggunaan lahan dalam kawasan hutan (al: tanah adat/ulayat, pemukiman, prasarana/fasilitas umum, sawah, perkebunan). Jenisnya dapat dikategorikan dalam: Penggunaan lahan dalam kawasan hutan

sebelum pelaksanaan tata batas kawasan hutan.

Penggunaan lahan dalam kawasan hutan setelah pelaksanaan tata batas kawasan hutan

b. Pada kawasan hutan yang belum ditata batas terdapat penggunaan lahan dalam kawasan hutan. Jenisnya dapat dikategorikan dalam: Penggunaan lahan dalam kawasan hutan

sebelum penunjukan.

Penggunaan lahan dalam kawasan hutan setelah penunjukan.

Bagi penggunaan lahan yang telah ada sebelum pelaksanaan penataan batas - sesuai peraturan perundangan mengenai penataan batas kawasan hutan - seharusnya telah diselesaikan permasalahannya melalui proses pengumuman batas sementara serta kesepakatan para pihak yang terkait dengan batas-batas kawasan hutan tersebut. Namun kondisi sosial-politik pada saat itu (dimana kekuasaan pemerintah begitu dominan) menyebabkan

banyak pihak terkait yang dengan terpaksa atau memang kurang mengerti, telah menyepakati batas-batas kawasan hutan yang akan ditata batas. Disisi lain, penggunaan lahan yang terjadi setelah penataan batas lebih merupakan ekspansi masyarakat yang lapar lahan maupun rencana pembangunan sektor non kehutanan yang kurang mengabaikan keberadaan kawasan hutan. Pada kondisi ini, terdapat banyak pihak yang selalu menggugat dasar hukum keberadaan kawasan hutan. Pihak tersebut bisa datang dari masyarakat, LSM bahkan para pakar hukum pertanahan dari Perguruan Tinggi terkemuka di tanah air. Karena hukum kawasan hutan semacam itu, secara sejarah hukum tidak tepat serta pada dasarnya telah mematikan akses masyarakat terhadap hutan, bahkan dianggap telah membatasi hak-hak masyarakat lokal untuk membangun dirinya. Ini juga yang menjadi salah satu sebab timbulnya permasalahan-permasalahan batas kawasan hutan tersebut.

Dalam konteks lebih luas, kompleksitas permasalahan batas kawasan hutan akan sangat mempengaruhi proses rencana penataan ruang. Kawasan hutan dengan batas-batas kawasannya akan dijadikan basis data dalam mengatur ruang kehutanan pada proses rencana penataan ruang baik secara Nasional, Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sebagai salah satu basis data penataan ruang, maka kejelasan posisi dan letak batas kawasan hutan, termasuk status dan fungsinya harus jelas di lapangan maupun di peta. Selain itu, juga kejelasan ini akan sangat menentukan ketegasan arah dan rencana penataan ruang secara keseluruhan termasuk arahan penggunaan dan pemanfaatan ruangnya.

Kondisi batas kawasan hutan dan permasalahannya saat ini telah menjadi katup yang menghambat proses penyelesaian konflik lahan dalam kawasan hutan. Sebagai katup yang tertutup, maka masalah kawasan hutan menjadi “bottleneck” penumpukan masalah-masalah konflik lahan menjadi penyebab tersendatnya proses perencanaan penataan ruang serta penyusunan rencana pengelolaan hutan.

Guna mengurangi masalah di kemudian hari, solusi penyelesaian setiap konflik kawasan hutan diusahakan harus mengikuti peraturan perundangan yang ada, baik itu melalui perubahan peruntukan kawasan hutan, perubahan fungsi kawasan hutan, enclave ataupun penyelesaian melalui jalur hukum. Solusi seperti itu merupakan jalan panjang dan berliku. Hal ini tidak saja akibat dari sisi peraturannya sendiri yang memerlukan waktu lama, tetapi juga keengganan pihak-pihak untuk mengakui hukum kawasan hutan maupun keengganan untuk mengikuti prosedur yang ada.

Implikasi dan Alternatif Solusi

Implikasi yang tampak jelas dari permasalahan batas kawasan hutan, antara lain adalah:

1. Berlarut-larutnya proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)

2. Berlarutnya penyelesaian konflik lahan dalam kawasan hutan.

3. Menjadi salah satu penyebab tersendatnya proses pembentukan unit pengelolaan hutan terkecil dalam

Page 10: 7966 - balithutmanokwari.or.id · buku dan jumlah makalah yang ... manfaatan iptek adalah dampak paling ... berlangsung agar hasil penelitian tidak berhenti dan disimpan begitu saja

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 3, Desember 2014 10

wujud Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). 4. Terhambatnya proses penyusunan rencana pengelolaan

kawasan hutan, yang akan dijadikan dasar penetapan pihak-pihak yang ingin memanfaatkan kawasan hutan (swasta, BUMN, masyarakat). Baik itu melalui pemberian ijin-ijin pemanfaatan hutan ataupun ijin penggunaan kawasan hutan.

5. Simpang siurnya data dan informasi terinci berapa sebenarnya potensi kawasan hutan Indonesia yang sebenarnya. Hal ini akan berakibat pada kesulitan untuk menentukan target-target kuantifikasi dalam rencana pembangunan kehutanan.

Terdapat dua alternatif solusi yang dapat dikedepankan menyangkut permasalahan batas kawasan hutan yaitu solusi dalam jangka pendek dan solusi jangka panjang. Solusi jangka pendek harus dituntaskan terlebih dahulu sebelum menangani solusi jangka panjang. Solusi jangka panjang akan sangat tergantung pada kejelasan penyelesaian solusi jangka pendeknya. Beberapa hal yang harus dituntaskan dalam jangka pendek adalah:

1. Penyelesaian data base kawasan hutan yang meliputi antara lain: penataan dokumentasi kawasan hutan termasuk efektifitas penelusuran dokumennya, inventarisasi rinci permasalahan kejelasan kebijakan standar penanganan terhadap perbedaan deliniasi batas kawasan hutan, kejelasan batas-batas kawasan hutan dalam peta dasar baik yang telah ditata batas sampai yang masih berupa penunjukan, kejelasan batas-batas kawasan baru sebagai akibat dari perubahan peruntukan maupun fungsi kawasan hutan.

2. Penyusunan solusi hukum alternatif untuk menjamin efektifitas penyelesaian kasus konflik kawasan hutan. Peraturan perundangan yang ada saat ini dirasa belum bisa mendukung efektifitas percepatan penyelesaian konflik kawasan hutan. Termasuk didalamnya dengan menciptakan sinkronisasi hukum kawasan hutan dengan persoalan tenurial terkait dengan hutan adat.

Sedangkan beberapa hal yang dapat ditempuh dalam jangka panjang antara lain:

1. Mensosialisasikan batas kawasan hutan sampai ke masyarakat yang paling berdekatan dengan kawasan hutan, dengan bekal kelengkapan yang dimiliki

2. Menyebarkan dan menginformasikan peta batas kawasan hutan kepada pihak-pihak terkait Pusat dan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota), dimana peta tersebut menjadi satu-satunya acuan batas kawasan hutan yang diakui Kemenhut. Langkah ini untuk antisipasi awal bagi pengembangan dan pembangunan wilayah yang akan menggunakan kawasan hutan oleh institusi di luar kehutanan.

3. Selalu ikut berperan aktif dalam proses-proses penataan ruang baik di tingkat Pusat maupun Daerah, termasuk dalam penyusunan kebijakan yang menyangkut tenurial.

4. Selalu memasukkan kebijakan pentingnya eksistensi kawasan hutan dalam kebijakan-kebijakan ditingkat Nasional maupun sektor kehutanan (RPJP, RPJM, RKP, Renstra, Renja dll).

5. Memperkuat kelembagaan Pusat dan daerah yang menangani kawasan hutan. Baik itu Institusi Planologi kehutanan Pusat beserta UPT, maupun Unit organisasi di Provinsi atau Kabupaten. Koordinasi dan sinkronisasi antar lembaga Pusat dan daerah harus terus dijalin, untuk efektifitas penanganan konflik serta menghindarkan kesimpangsiuran kebijakan.

6. Memperkuat SDM yang menangani kawasan hutan di tingkat Pusat dan Daerah, baik tingkat Kementerian maupun Dinas Kehutanan Provinsi/Kabupaten/Kota.

Referensi:

Djajono Ali, 2008, Implikasi Permasalahan Batas Kawasan Hutan, Fak Kehutanan UGM, Yogyakarta

Prasetyo T, 2005, Kelembagaan dan Pengelolaan TN Siberut. Disampaikan pada Lokakarya Evaluasi Kegiatan Balai Taman Nasional Siberut Bersama Mitra dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balai Taman Nasional Siberut. Padang.

JPNN.com.2014. Solusi Menyelesaikan Sengketa Kawasan Hutan, JPNN.com (akses 26/11/2014)

Kegunaan Kayu Eboni Diospyros pilosanthera Blanco Oleh : Freddy J. Hutapea

Eboni sebagai Kayu Indah

Sebutan kayu eboni melekat pada kelompok kayu bercorak indah dari jenis-jenis Diospyros. Kelompok kayu ini ditempatkan ke dalam Kelas Kayu Indah I berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 163/kpts-II/2003 tanggal 26 Mei 2003 tentang Pengelompokan Jenis Kayu sebagai Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan (Wikipedia, 2014). Coraknya yang indah menjadi salah satu alasan utama kayu ini banyak disukai oleh pengguna (Gambar 1).

Hingga kini diketahui bahwa Indonesia memiliki sekitar 100 jenis kayu eboni (Alrasyid (2002) dalam Kinho 2013). Dari sekian banyak jenis eboni tersebut, penggolongan eboni secara perdagangan dalam Kayu Indah I hanya diisi beberapa jenis eboni seperti Diospyros celebica Bakh., D. rumphii Bakh., D. areolata King et G., D. cauliflora BI., D.

ebenum Koen., D. ferrea Bakh., D. lolin Bakh., dan D. macrophylla BI. Jenis lain seperti D. pilosanthera Blanco. Belum termasuk dalam kelas kayu tersebut. Kurangnya informasi mengenai keberadaan kayu D. pilosanthera dan sifat yang dimilikinya diduga merupakan alasan dibalik kondisi ini. Tuisan ini akan mengulas secara singkat tentang ciri umum dan kegunaan D. pilosanthera Blanco.

Ciri umum D. pilosanthera

Kayu D. pilosanthera tergolong ke dalam kelompok eboni dengan famili Ebenaceae . Kayu ini tersebar di beberapa Gambar 1. Corak eboni

Page 11: 7966 - balithutmanokwari.or.id · buku dan jumlah makalah yang ... manfaatan iptek adalah dampak paling ... berlangsung agar hasil penelitian tidak berhenti dan disimpan begitu saja

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 3, Desember 2014 11

daerah di seperti Myanmar, Thailand, Indo-Cina, Sumatera, Malaysia, Jawa, Kalimantan, Filippina, Sulawesi, dan Maluku (Soepadmo et al. 2002). Kayu ini juga ditemukan di Irian Jaya dan jenis ini merupakan jenis eboni dengan penyebaran terluas selain D. ferra, D. macrophylla, dan D. rumphii (Alrasyid (2002) dalam Suryaman et al. 2012). Secara umum, D. pilosanthera dapat mencapai tinggi 30 m di alam dengan diameter dapat mencapai ukuran 73 cm. Permukaan batang jenis ini umumnya halus dengan kulit mengelupas berwarna hitam (Kinho, 2011). Bagian kayunya memiliki kayu teras berwarna hitam keunguan yang mudah dibedakan dengan bagian kayu gubalnya yang berwarna merah muda agak kecoklatan. Kayu ini memiliki corak yang sedikit beralur pada bidang tangensial. Kayu ini tergolong halus dan keras, serupa dengan kebanyakan eboni pada umumnya (Rulliaty et al., 2011).

Kegunaan kayu D. pilosanthera

Secara umum, kayu eboni banyak digunakan sebagai bahan mebel dan furniture hingga bahan bangunan. Kayu eboni yang sering disebutkan dalam dunia perdagangan dan pertukangan tersebut selama ini masih didominasi oleh D. celebica (Suryaman et al. 2012). Sementara dalam dunia perdagangan, jenis-jenis D. celebica dan D.

rumphii menjadi jenis eboni terpenting yang dikenal dengan nama eboni Makassar atau eboni bergaris (Heringa (1951) dan Alrasyid (2002) dalam Kinho 2013).

Berdasarkan sifat-sifat dasar kayunya, D. pilosanthera merupakan kayu yang tergolong keras, memiliki berat jenis 0,85, termasuk kelas kuat II dan kelas awet I (Rulliaty et al., 2011). Bila dibanding dengan D. celebica yang selama ini merupakan kayu primadona untuk mebel, D. pilosanthera memiliki berat jenis yang lebih rendah. Berat jenis D. celebica hanya bernilai 0,92 (Muslich dan Sumarni 2008). Namun berat jenis D. pilosanthera masih jauh lebih besar bila dibandingkan dengan D. macrophylla yang juga merupakan salah satu jenis kayu perdagangan Indonesia (Kayu Indah I), yang memiliki berat jenisnya hanya 0,60 (Muslich & Sumarni, 2008). Berat jenis kayu D. pilosanthera juga jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan jati (Tectona grandis) yang juga merupakan salah satu kayu primadona Indonesia, yang hanya memiliki berat jenis 0,65

(Muslich & Sumarni, 2008). Pengujian dan pembandingan terhadap sifat mekanik kayu D. pilosanthera dengan D. celebica menunjukkan bahwa D. pilosanthera memiliki keteguhan yang cukup tinggi terhadap tekanan, mendekati sifat yang dimiliki D.celebica (Suryaman et al. 2012). Beberapa sifat-sifat dasar yang dimilikinya menunjukkan bahwa kayu D. pilosanthera layak untuk digunakan sebagai bahan baku furniture, bahan bangunan atau konstruksi, dan bahan baku mebel.

Penutup

Berdasarkan perbandingan beberapa sifat pentingnya dengan kayu eboni lainnya seperti D. celebica dan D. Macrophylla serta terhadap jenis jati (T. grandis), D. pilosanthera layak untuk diperhitungkan dan dimasukkan dalam daftar kayu perdagangan Indonesia. Pemerintah sendiri perlu mengkaji dan mengumpulkan kembali berbagai informasi mengenai jenis-jenis dan sifat kayu-kayu Indonesia lainnya agar didalam pemanfaatannya tidak mengabaikan kayu-kayu berkualitas bagus namun belum dikenal luas seperti D. pilosanthera.

Daftar pustaka

Kinho, J. 2011. Four Types of New Record for Diospyros in Tangkoko Nature Reserve in North Sulawesi. Poster Paper for The First International Conference of Indonesian Forestry Researchers (INAFOR). Bogor 5-7 December 2011.

------------ 2013. The Ability of Adaptation and Early Growth of Nine Types of Diospyros in Exitu Conservation in North Sulawesi. Prosiding International Conrefence “Forest and Biodiversity” di Manado 5-6 Juli 2013.

Muslich, M., & Sumarni, G. 2008. Standarisasi Mutu Kayu Berdasarkan Ketahanannya terhadap Penggerek di Laut. Prosiding PPI Standarisasi 25 November 2008.

Rilliaty, S., Muslich, M., Hutapea, F.J. . 2011. Sifat Dasar Dua Jenis Kayu Papua. Laporan Hasil Penelitian. Tidak diterbitkan.

Soepadmo, E., Saw, L. G., & Chung, R. C. K. 2002. Tree Flora of Sabah and Sarawak Volume Four. Forest Research Institute Malaysia. Kuala Lumpur.

Suryaman, A., Mayasari, A., & Kinho, J. 2012. Sifat Fisika Mekanika dan Potensi Kayu Hitam (Diospyros pilosanthera Blanco) di Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia XV di Makassar 6-7 November 2012.

Wikipedia. 2014. Daftar Kayu di Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kayu_ di_Indonesia. Diakses tanggal 26 Juli 2014.

Gambar 2. Pohon berdiri D. pilosanthera (Foto: Moh. Muslich)

Page 12: 7966 - balithutmanokwari.or.id · buku dan jumlah makalah yang ... manfaatan iptek adalah dampak paling ... berlangsung agar hasil penelitian tidak berhenti dan disimpan begitu saja

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 3, Desember 2014 12

Pendahuluan

Indonesia termasuk negara yang masih mengalami wabah malaria dan hingga tahun 2013 termasuk urutan ke-28 di dunia (WHO 2013). Penyakit malaria merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak menimpa masyarakat di Papua termasuk masyarakat adat suku Kanum Merauke. Pada tahun 2009 jumlah penderita malaria di Kabupaten Merauke mencapai 8.884 orang dan menduduki urutan ketiga setelah jumlah penderita penyakit infeksi saluran pernafasan sebanyak 18.729 orang dan penyakit diare sebanyak 18.217 orang (Badan Pusat Statistik, 2010). Selain itu beberapa negara melaporkan telah terjadi resistensi Plasmodium vivax terhadap obat klorokuin yang menjadi andalan dalam pengobatan penyakit malaria (WHO 2013). Penggalian pengetahuan tradisional dalam pengobatan malaria sangat penting perannya dalam mencari alternatif obat selain klorokuin.

Salah satu jenis tumbuhan obat malaria yang dimanfaatkan oleh Suku Kanum khususnya yang bermukim di wilayah pantai adalah Caesalpinia bonduc. Jenis C.bonduc (Sinonim Caesalpinia crista; Caesalpinia bonducela) merupakan liana yang biasa tumbuh di wilayah pantai dengan tinggi lebih dari 3 m, daun majemuk ganda, berhadapan, batang dan pangkal daun berduri, ukuran daun 10-30 cm, anak daun 10-17 cm, jumlah anak daun 7-12 buah, berbentuk bulat hingga oval, berwarna hijau tua. Bunga berwarna kuning, panjang 0,5 -1 cm. Buah berduri, ukuran buah 5 -7 cm x 3,5 – 4 cm, berbentuk pipih berbiji bundar dengan diameter 0,5 cm berjumlah dua buah , kulit biji keras. Tanaman ini tersebar luas khususnya di wilayah Asia.

Etnobotani

Suku Kanum mengenal C. bonduc dengan nama “mamek”, sedangkan di wilayah lain dikenal dengan sebutan Kaniker (Manado), Aruk (Sumbawa), Kate’kate’ (Ternate), Areuy Mata Hiyang (Sunda) dan Kemrunggi (Jawa).

Suku Kanum memanfaatkan C. bonduc untuk mengobati malaria dengan cara sederhana yaitu meminum rebusan bagian akar atau meminum seduhan biji mamek yang telah diseduh dengan air panas. Pemanfaatan jenis C. bonduc sebagai obat malaria hanya dilakukan oleh suku Kanum yang bermukim di wilayah pantai, sedangkan suku Kanum yang berada di wilayah lain seperti di Kampung Rawa Biru, Yanggandur dan Sota tidak diketahui memanfaatkan jenis tersebut sebagai obat malaria. Sementara itu pemanfaatan C. bonduc sebagai obat malaria dilakukan pula oleh masyarakat di Afrika (Assogbadjo et al. 2011) dan India (Singh & Raghav 2012). Disamping dimanfaatkan sebagai

Petunjuk Bagi Penulis Redaksi mengundang para peneliti, teknisi, praktisi dan

pemerhati kehutanan untuk menulis artikel dan tulisan ilmiah populer secara bebas, kreatif dan bertanggung jawab menyangkut bidang kehutanan di seluruh Indonesia.

Naskah tulisan berisi maksimal 5 halaman dengan font Calibri 12 spasi 1,5 dan ditulis dalam bahasa Indonesia.

Naskah dikumpulkan ke Dewan Redaksi dalam bentuk print out dan file elektronik, dapat disertai gambar dan foto yang

beresolusi baik dan berhubungan dengan isi tulisan. Naskah akan disunting terlebih dahulu oleh Dewan Redaksi

tanpa mengubah maksud dan isi tulisan.

obat malaria, biji C. bonduc dimanfaatkan pula sebagai obat batuk dan obat cacingan, sedangkan bagian akar dimanfaatkan pula sebagai obat sakit lambung, keracunan dan meningkatkan nafsu makan (Hayne 1987).

Farmakologi

Secara farmakologi, C. bonduc telah diketahui bersifat antimalaria, antidiabetes, antikanker, antioksidan (Zanin et al. 2012), antiimflamasi dan analgesik (Kannur et al. 2012). Komponen metabolit sekunder utama yang terkandung dalam C. bonduc antara lain alkaloid, flavanoid, saponin, tannin dan triterpenoid (Singh & Raghav 2012). Menurut Linn et al. (2005), senyawa aktif yang bersifat antimalaria khususnya jenis Plasmodium falciparum adalah berasal dari golongan diterpen.

PUSTAKA

Assogbadjo, A.E., R.G. Kakai, F.H. Adjallala, K.F. Azihou, G.F. Vodohue, T. Kyndt. J.T.C. Codjia. 2011. Ethnic Difference in Use Value and Use Patterns of The Threatened Multipurpose Scrambling Shrub (Caesalpinia bonduc L.) in Benin. Journal of Medicinal Plants Research 5(9):1549-1557.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Departemen Kehutanan, Jakarta.

Kannur, D.M., M.P. Paranipe, L.V. Sonavane, P.P. Dongri, K.R. Kandengwal. 2012. Evaluation of Caesalpinia bonduc coat extract for anti-inflammatory and analgesic activity. J. Adv. Pharm. Technol. Res 3(3):171-175.

Linn, TZ., S.Awale, Y.Tezuka, A.H. Banskota, S.K. Kalauni, F. Attamimi, J.Y.Ueda, P.B.S. Asih, D. Syafruddin, K. Tanaka, S. Kadota. 2012. Cassane- and Norcassane-Type Diterpenes from Caesalpinia crista of Indonesia and Their Antimalarial Activity against the Growth of Plasmodium falciparum. Jour-nal of Natural Product 68(5):706-710.

Singh, V dan V.K. Raghav. 2012. Review on Pharmacological Properties of Caesalpinia bonduc L. Int. J. Med. Arom. Plant. 2(3):514-540.

WHO *World Health Organization+. 2013. World Malaria Report 2013. Prancis.

Zanin, J.L., B.A. de Carvalho, P.S. Martineli, M.H. dos Santos, J.H.G. Lago, P. Sartorelli, C. Viegas, M.G. Soares. 2012. The Genus Caesalpinia L (Caesalpiniaceae): Phytochemical and Pharmacological Characteristic. Molecules 17:7887-7902.

Gambar. Daun dan buah jenis “mamek” Caesalpinia bonduc (L) Roxb.

Caesalpinia bonduc (L). Roxb. : Liana Berkhasiat Anti Malaria dari Suku Kanum Merauke Oleh : Aji Winara

(Peneliti pada BPK Ciamis)