713-777-1-pb
DESCRIPTION
SeeTRANSCRIPT
Editorial
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010
Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan,Pendayagunaan, dan PengembanganKarir Dokter Layanan Primer dalamRangka Mencapai Target “MDGs”
Pendekatan Kedokteran Keluarga Merupakan Kunci Keberhasilan untuk Mencapai MDGs
Sugito Wonodirekso, Danny Pattiradjawane
Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia Pengurus Pusat, Jakarta
Pendahuluan
Pertama kali yang harus ditekankan dalam bahasan ini
adalah: “DEPKES memegang peran kunci dalam pem-
berdayaan, pendayagunaan, dan pengembangan karir dokter
layanan primer (DLP).” Karena DEPKES sebagai pengguna
utama DLP yang berfungsi sebagai ujung tombak pelayanan
kesehatan yang praktiknya bukan sekedar menyembuhkan
akan tetapi juga menyehatkan. Fokus pelayanan adalah lima
tingkat pencegahan yang bermuara pada penghematan dana
kesehatan dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.
Peran utama DEPKES dalam pemberdayaan dan pendaya-
gunaan DLP diyakini merupakan komponen penting untuk
mencapai target Millenium Development Goals (MDGs).
Beberapa dasawarsa belakangan ini semakin tampak
bahwa layanan kesehatan primer menjadi primadona, para-
meter, dan bahkan barometer kualitas pelayanan kesehatan
di banyak negara. Primadona maksudnya mendapat prioritas
untuk dikembangkan, diberdayakan, dan dimanfaatkan serta
ditingkatkan daya-gunanya. Parameter maksudnya, di suatu
negara dengan layanan primer yang kuat dapat dipastikan
tingkat kepuasan pasien tinggi dan akan terjadi penghematan
dana kesehatan secara signifikan. Barometer maksudnya,
dapat digunakan sebagai tolok ukur taraf kesehatan
masyarakat suatu negara. Semakin kuat layanan primer
semakin ringan beban kesehatan masyarakat dan pen-
danaannya.
Laporan tahunan WHO tahun 20071, mengungkapkan
bahwa negara dengan layanan primer yang kuat mempunyai
layanan kesehatan bermutu sekaligus menghemat biaya.
Sebaliknya di negara dengan layanan primer yang lemah akan
terjadi pemborosan biaya kesehatan dan layanan kesehatan
yang tidak memuaskan masyarakat. Contohnya adalah
Amerika Serikat yang menghabiskan dana kesehatan tertinggi
di dunia akan tetapi peringkat pelayanan kesehatan tergolong
yang terburuk akibat layanan primer yang lemah.2 Sebaliknya
Denmark mempunyai mutu layanan kesehatan tinggi dengan
biaya kesehatan yang rendah karena layanan primernya yang
kuat.3
Hingga kini, layanan primer belum diberdayakan dan
didayagunakan secara maksimal di Indonesia. Sebagai
pengguna jasa dokter seharusnya DEPKES segera tanggap
dan menentukan sikap untuk memanfaatkan DLP secara
maksimal. Kalau tidak, akan terjadi suasana timpang. Banyak
tenaga dokter tetapi indeks pelayanan kesehatan tidak
kunjung membaik. Selain itu jika potensi DLP tidak
terakomodasi dalam regulasi yang mapan, akan terjadi
101
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010
pemborosan dana karena pendidikan dokter sangat mahal
tetapi potensi hasilnya tidak dimanfaatkan secara maksimal.
Selama ini secara tidak sengaja, DLP “termarginalkan”,
karir profesionalnya tidak jelas bahkan mandek. Upaya
pemberdayaan dan pendayagunaan potensi DLP yang besar
itulah yang akan membangkitkan semangat mereka untuk
berpartisipasi dalam membangun kesehatan masyarakat yang
bermuara pada membaiknya mutu pelayanan kesehatan
secara umum dan pengembangan karir profesional mereka.
Pertanyaannya apakah dokter layanan primer kita siap untuk
menyelenggarakan layanan kesehatan primer yang bermutu
tinggi? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan itu secara
lugas berdasarkan pengalaman dan pengamatan lapangan
yang sudah cukup lama.
Pendidikan Dokter di Indonesia
Usia pendidikan kedokteran di Indonesia paling kurang
setara dengan usia republik ini. Telah banyak profesional
kesehatan dan kedokteran berkualitas nasional atau bahkan
internasional dihasilkan, namun tidak bisa menjawab secara
tegas pertanyaan: “Mengapa tingkat kesehatan masyarakat
Indonesia tidak kunjung meningkat atau meningkat sangat
lambat?” Rasanya – secara asumtif – peningkatan taraf
kesehatan orang Indonesia – terbukti dengan bertambahnya
sintas hidup (life expectancy) – terjadi secara alami karena
tingkat pengetahuan masyarakat meningkat dan bukan
sebagai hasil upaya terprogram para profesional kesehatan.
Tulisan ini sudah tentu tidak mungkin menjawab pertanyaann
itu secara tegas, namun paling tidak membuka cakrawala baru
untuk menyikapi keadaan itu.
Pada tahun 1955-an telah terjadi perubahan revolusioner
kurikulum pendidikan dokter di Indonesia. Pendidikan dokter
dengan kurikulum “bebas” diubah menjadi kurikulum
terpimpin dengan kurun waktu pendidikan 6 tahun. Langkah
itu diambil agar dapat memproduksi dokter dalam jumlah
besar guna mencukupi kebutuhan dokter sesuai dengan
jumlah dan kebutuhan penduduk saat itu. Mulai saat itu pula
bermunculan fakultas kedokteran swasta yang ingin
membantu pemerintah memproduksi dokter secepat mungkin.
Pascapendidikan 6 tahun, seorang dokter dibenarkan
praktik sebagai “dokter praktik umum” – seumur hidup –
tanpa perlu memperbaharui Surat Izin Praktik (SIP).
Sebenarnya struktur kurikulum pada saat itu cukup memadai
untuk membentuk dokter sesuai dengan kebutuhan
masyarakatnya. Hal itu terbukti dengan banyaknya dokter
yang berkualitas tinggi dan bertaraf internasional dengan
berkembangnya spesialisasi.
Spesialisasi sangat diperlukan untuk menggembangkan
pelayanan medis di bidangnya. Namun, sarana pendidikan
tidak berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan
pendidikan dokter. Akibatnya pendidikan dokter layanan
primer “teranak-tirikan” sehingga tidak mencapai sasaran
atau “mutunya menurun”, yang antara lain disebabkan
“berebut pasien” dengan residen spesialisasi karena rumah
Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan, Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter
sakit pendidikan tidak berkembang sesuai dengan kebutuhan.
Selain itu ilmu dan teknologi pendidikan berkembang sangat
cepat sehingga kurikulum pendidikan tertinggal. Masih
banyak faktor lain yang menyumbang penurunan kualitas
pendidikan dokter layanan primer.
Kurikulum pendidikan dokter pun disesuaikan dari
waktu ke waktu guna menjamin kualitas dokter yang
dihasilkan. Perubahan terakhir disepakati dan dimulai tahun
2005. Kurikulum lama yang mengacu cakupan isi (konten)
dan sangat bergantung pada “kuliah” dinilai tidak cocok lagi
dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran yang
demikian cepat. Karena itu Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) disepakati untuk diterapkan sejak tahun 2005.
KBK mengandalkan kuliah–sekalipun tidak meng-
haramkan kuliah–melainkan mengandalkan pembelajaran
“mandiri dan terpimpin”. Kurikulum baru itu mengandalkan
metode pembelajaran orang dewasa yang antara lain bertujuan
menumbuhkan kemampuan belajar mandiri sepanjang hayat
sehinga lulusannya selalu dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman.
Kurikulum pendidikan sebelum tahun 2005, seluruhnya
bersifat teacher’s oriented berupa perkuliahan departemental
yang berusaha “mencurahkan seluruh konten” departemental
– yang notabene tidak mungkin karena perkembangan ilmu
dan teknologi kedokteran sangat pesat. Sesudah tahun 2005
metode pendidikan diubah menjadi student oriented
menggunakan metode Problem Based Learning yang
mengutamakan integrasi horisontal dan vertikal dan
pendekatan SPICES (Student Centred, Problem-based,
Integrated,Community-based Elective/Early Clinical Expo-
sure, Systematic) dapatlah dihipotesiskan bahwa DLP hasil
KBK ini akan lebih potensial daripada hasil KIPDI selama ini.
Kelemahan yang tidak mudah diatasi, yaitu mengubah
pola pikir staf pengajar yang terbiasa kuliah agar menjadi
guru yang mampu memicu minat dan memacu bakat; bukan
sekedar mendiktekan informasi. Di satu sisi KBK merupakan
highly structured curriculum yang menghendaki setiap staf
pengajar memahami dan menghayati pembelajaran ini dan
harus ditopang dengan sarana dan prasarana yang memadai.
Di sisi lain tidak mudah mengubah pola pikir staf pengajar
dan menyediakan sarana dan prasarananya.
Kendala penting adalah masih diutamakannya
pendidikan berbasis penyakit sedangkan yang dihadapi
dokter layanan primer dalam praktik adalah gejala awal
penyakit yang sering tidak spesifik. Hal itu disebabkan, antara
lain, seluruh pendidikan klinis diserahkan kepada dokter
spesialis yang pola pikirnya adalah mengobati penyakit.
Karena yang dihadapi dalam pendidikan adalah penyakit maka
hal itu mempermudah mahasiswa untuk terjerumus ke pola
berpikir kuratif. Masalahnya, apakah DLP sudah siap
mendidik mahasiwa?
Ada keadaan ganjil yang tidak disadari yang sampai
sekarang terjadi yaitu “FK bertujuan mendidik DLP tetapi
tidak satupun FK di Indonesia yang mempunyai Departemen
102
Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan, Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010
Pelayanan Primer.” Departemen itu sebenarnya sangat
dibutuhkan untuk mengembangkan ilmu kedokteran layanan
primer dan staf pengajarnya. Yang tahu persis kebutuhan
DLP seharusnya juga DLP, namun demikian pendidikan oleh
dokter spesialis juga tetap diperlukan untuk membangun
kompetensi kuratif.
Departemen Pelayanan Primer diharapkan dapat
melakukan riset yang akan menjadi tumpuan perkembangan
pelayanan primer. Riset di ranah pelayanan primer sangat
diperlukan jika kita ingin memperkuat layanan primer. Tidak
berkembangnya departemen itu mungkin akibat belum
terlaksananya pemeringkatan pelayan kesehatan sesuai
dengan SKN menjadi tingkat primer, sekunder, dan tersier.
Ranah pelayanan primer diselenggarakan oleh DLP, ranah
pelayanan sekunder diberikan oleh dokter spesialis,
pelayanan tersier diselengarakan oleh tim dokter.4
Sudah saatnya DEPKES – sebagai pengandil utama
dalam pembangunan kesehatan masyarakat – segera memulai
kerjasama dengan fakultas kedokteran guna menghasilkan
DLP yang paripurna. Dalam hal ini FK menyediakan wahana
pengembangan ilmu kedokteran pelayanan primer dan
DEPKES menyediakan wahana pengembangan profesi DLP.
Dengan kata lain FK menyediakan Departemen Layanan
Primer dan DEPKES menyediakan wahana pendidikan DLP.
Dokter Layanan Primer (DLP), Dokter Praktik Umum
(DPU), dan Dokter Keluarga (DK)
Sering orang bertanya apa bedanya “ketiga macam”
sebutan itu. Memang tidak mudah memahami konsep ketiga
sebutan itu tanpa memahami pendidikannya. Dari bahasan
tentang pendidikan dokter di atas dapatlah ditafsirkan bahwa
lulusan fakultas kedokteran adalah Dokter Layanan Primer.
Lulusan FK disebut DLP karena kewenangannya hanya
sebatas pelayanan primer. Para lulusan itu disebut juga
“Dokter Praktik Umum” karena cakupan layanan yang
diberikan tidak dibatasi oleh jenis penyakit, jenis kelamin,
sistem organ, dan golongan usia.
Di banyak negara persemakmuran Inggris DPU disebut
juga General Practitioner (GP) yang kemudian diterjemahkan
menjadi “Dokter Praktik Umum” dan bukan “Dokter Umum”
yang secara salah kaprah digunakan selama ini sampai
diputuskan oleh Muktamar IDI tahun 2000 di Malang untuk
diganti dengan”Dokter Praktik Umum”. Jadi sebenarnya DLP
dan DPU adalah sosok yang sama dan semua lulusan FK
disebut DLP atau DPU.5-7
Lalu bagaimana dengan sebutan dokter keluarga? Ini
memang unik dan sedikit sulit dipahami. Perlu dicatat di sini
bahwa lulusan FK (DLP atau DPU) sebenarnya adalah basic
medical doctor atau basic primary care doctor atau dokter
layanan primer dasar. Berarti harus ada kelanjutan karir
menjadi advance primary care doctor atau dokter layanan
primer paripurna, namun waktu pendidikan dokter sangat
pendek untuk dapat menjadi dokter layanan primer yang
paripurna.
Di Inggris yang menyebut DLP dengan GP, di sana
lulusan FK belum boleh langsung praktik mandiri akan tetapi
harus internship yang sebenarnya magang kepada GP se-
nior yang bersertifikat, selama 3 tahun. Pascamagang, setelah
memenuhi syarat tertentu, barulah dokter tersebut boleh
praktik mandiri dan memperoleh sebutan GP. Magang itulah
yang membuat seorang DPU dasar menjadi DPU paripurna.
Kematangan pribadi dan ilmu serta keterampilan untuk praktik
mandiri seorang DPU paripurna berbeda keluasan dan
kedalaman ilmu serta keterampilannya dengan DPU dasar.
Para DPU paripurna itulah yang berpraktik di Inggris dan
disebut sebagai GP yang di negara lain disebut Dokter
Keluarga (DK).
Karena itu pelayanan primer di Inggris sangat kuat seperti
di Denmark dan banyak negara maju di Eropa. Dari proses
perolehan sebutan GP atau DK itu dapat disimpulkan bahwa
sebutan GP paripurna atau DK itu sebenarnya adalah sebutan
profesi dan bukan sebutan akademik. Tidak jarang sekalipun
belum memperoleh sebutan DK dari Kolegium, masyarakat
yang dilayanilah yang menyebut seorang DPU menjadi Dokter
Keluarga mereka. Pendidikan dokter dengan KBK
menghendaki lulusannya yang masih Dokter Layanan Primer
Dasar mampu menerapkan pendekatan kedokteran keluarga
dalam praktiknya.
Pemberdayaan Dokter Layanan Primer
Setelah memahami karakteristik dokter layanan primer
secara umum, mari kita telaah profil dokter di Indonesia.
Pendidikan dokter yang hanya 6 tahun sudah barang tentu
tidak mungkin menghasilkan DLP paripurna. Jadi yang praktik
di Indonesia sebenarnya adalah DLP atau DPU dasar. Mereka
tertatih-tatih berkembang, sebagian sukses dan sebagian
lainnya mandeg atau bahkan binasa sebelum berkembang.
Tidak heran jika mereka merasa gamang ketika mulai berpraktik
dan sangat terbatas kemampuannya. Itulah sebabnya
sebagian besar pasien merasa enggan untuk ke DPU lebih
dulu. Para pasien lebih suka langsung ke dokter spesialis
yang dirasakan lebih matang. Akibatnya, lambat tetapi pasti,
terbentuk opini bahwa berobat langsung ke spesialis lebih
baik daripada lebih dulu ke DPU.
Pendapat itu membuat sistem pelayanan kesehatan di
Indonesia kacau dan harus segera diluruskan sekalipun tidak
mudah. Salah satu cara adalah dengan peraturan jelas yang
diterapkan secara ketat, namun demikian harus disertai
perbaikan sistem antara lain pemberdayaan DLP. Pember-
dayaan itu harus diartikan bahwa profesionalisme DLP harus
ditingkatkan. Cara yang paling sederhana adalah melakukan
penataran berdasarkan kurikulum yang jelas agar seluruh
komponen profesionalisme tercakup dalam penataran itu.
Penataran seperti itu di Inggris disebut sebagai keharusan
internship selama tiga tahun. Di Indonesia harus dikem-
bangkan sistem penataran yang lebih laik selenggara, efektif,
dan efisien, mengingat jumlah DLP yang sangat besar.
Penataran yang dilakukan selama ini dirasakan terlampau
103
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010
Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan, Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter
lambat akibat daya jangkaunya terlampau sempit karena
merupakan upaya mandiri yang bersifat bottom up. Karena
itu PDKI sebagai organisasi profesi dokter keluarga,
menggalang kerja sama dengan sejumlah FK untuk bersama-
sama menyelenggarakan penataran yang lebih luas dan
berbobot. Kerja sama dengan Depkes pun dilakukan akan
tetapi tidak sistematis melainkan secara sporadis karena
keterbatasan dana. Penataran kurang efektif dan sulit dinilai
dampaknya karena skalanya kecil dan dilaksanakan tanpa
perencanaan atau kurikulum yang mapan. Sudah saatnya
disusun kurikulum nasional penataran seperti itu dan
direncanakan pula penilaian dampaknya. Sudah saatnya
DEPKES mencanangkan bahwa pendekatan kedokteran
keluarga dalam SKN harus menjadi program nasional.
sehingga pengembangan kedokteran keluarga yang selama
ini merupakan upaya bottom up dapat menjadi program
nasional yang top-down agar pelayanan kesehatan bermutu
cepat terjadi.
Apakah Pelayanan Primer Kita Lemah?
Ya. Pelayanan primer kita lemah dalam arti kinerjanya
lemah. Salah satu penyebabnya adalah tidak ada regulasi
yang mengharuskan setiap DLP menyelenggarakan praktik
dan menerapkan seluruh kompetensinya dan kewenangan-
nya sebagai DLP. Yang ada sekarang DLP hanya sekedar
menjadi “dokter batuk-pilek-mencret”. Survei PDKI bersama
Askes dan Jamsostek pada tahun 2002 dan 2003 (tidak boleh
dipublikasikan, tetapi dicetak dalam bentuk buku, tersedia
di ASKES dan Jamsostek) menunjukkan kinerja DLP yang
memprihatinkan.
Hal itu diperparah oleh konsep keliru selama pendidikan
yang mengatakan bahwa DPU adalah dokter yang menge-
tahui sedikit-sedikit dari ilmu kedokteran yang banyak. Slo-
gan ini jelas tidak akan memicu minat dan memacu bakat
belajar mandiri tetapi justru mematikannya. Karena itu PDKI
dalam menyelenggarakan penataran selalu menanamkan
bahwa “tidak ada larangan untuk belajar ilmu kedokteran
bidang apa pun, akan tetapi tingkat kewenangan DLP
memang hanya terbatas pada pelayanan primer.” Dengan
kata lain penguasaan ilmu berbatas langit tetapi kewenangan
melakukan prosedur klinis hanya sebatas pelayanan primer
seperti yang tercantum dalam standar pendidikan dokter
yang diterbitkan oleh KKI.
Selama ini PDKI bekerja sendiri sebagai organisasi
profesi kecil yang berkembang lambat, namun semangat
PDKI tidak pernah mati, pantang mundur, dan telah
melakukan sejumlah langkah fenomenal. Berkat partisipasi
PDKI, tujuan pendidikan kedokteran sekarang adalah
menghasilkan dokter layanan primer yang mampu
menerapkan pendekatan kedokteran keluarga. PDKI telah
pula berhasil menerbitkan buku teks di bidang kedokteran
keluarga dengan judul Primer on the Family Medicine Prac-
tice. Standar profesi DK telah rampung ditulis dan disepakati.
Buku log dan program CPD PDKI telah disahkan oleh
Kolegium Dokter dan Dokter Keluarga Indonesia. Telah berdiri
Program Magister Ilmu Kedokteran Keluarga di UNS. Semua
itu dalam upaya pemberdayaan DLP. Selanjutnya dengan
dukungan DEPKES, pemberdayaan dapat disusul dengan
pendayagunaan yang bermuara pada peningkatan karir DLP.
Kelemahan sistem pelayanan kesehatan yang kurang
mendayagunakan potensi DLP agaknya telah membawa
dampak besar. Harus diakui sintas hidup (life expectency)
penduduk Indonesia meningkat; akan tetapi tidak jelas apakah
disebabkan oleh kemerdekaan atau sistem ekonomi yang
sedikit membaik. Secara sederhana jika kita menggunakan
parameter selain sintas hidup yang terjadi adalah sebaliknya.
Coba cermati triple health burdens di bawah ini:
1. Masalah kesehatan yang sangat berat:
a. Agenda yang belum terselesaikan (infeksi, MMR,
IMR, malnutrisi, dsb)
b. Muncul dan mewabahnya penyakit baru (DHF, HIV/
AIDS, Flu Burung, dsb)
c. Muncul dan mewabahnya penyakit lama (TBC, Ma-
laria, dsb)
2. Kelemahan Sistem Kesehatan Nasional
a. Pelayanan kesehatan: ketersediaan, keterjangkauan,
dan kualitas
b. Keterbatasan dana kesehatan
c. SDM kesehatan yang kurang memadai dalam hal
pemanfaatan, pendayagunaan, dan sistem remu-
nerasi
3. Komitmen politik yang tidak mendukung
a. Prioritas pembangunan di bidang kesehatan
b. Dukungan dana APBN untuk kesehatan yang kurang
memadai
Mencapai MDGs dengan Dokter Keluarga
Tantangan Pelayanan Kesehatan
1. Tuntutan MDGs
Pemerintah Indonesia dituntut untuk memenuhi Tujuan
Pembangunan Milenium (MDGs) yang mutlak harus dicapai
pada tahun 2015. MDGs menetapkan 8 tujuan pembangunan
yang diuraikan menjadi 18 target dan 48 indikator untuk
pemantauan yang harus dicapai dalam kurun waktu 1990 –
2015. Tiga di antara delapan tujuan tersebut terkait langsung
dengan pelayanan kesehatan (lihat Tabel 1):
2. Transisi epidemiologis dan triple burden of diseases
Saat ini penyakit yang disebabkan oleh gaya hidup dan
perilaku meningkat pesat termasuk di negara berkembang.
Menurut WHO kategori penyakit tersebut mengambil 20-25%
beban global seluruh penyakit.
Beban penyakit jiwa seperti depresi, ketergantungan
alkohol dan skizofrenia belum memperoleh perhatian
sebagaimana mestinya oleh pendekatan kedokteran klasik
yang hanya menekankan patologi bukan kerugian sosial yang
ditimbulkan akibat penyakit itu. Pada tahun 2020 diperkirakan
penyakit yang ditimbulkan akibat merokok akan membunuh
104
Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan, Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010
lebih banyak orang daripada HIV/AIDS.
Dulu kita beranggapan bahwa bila pembangunan suatu
negara berkembang maka penyakit-penyakit tak menular akan
mengeser penyakit-penyakit menular. Akan tetapi kenyataan
saat ini negara berkembang menghadapi tiga beban penyakit
sekaligus: penyakit menular, penyakit tak menular, dan
penyakit kesehatan jiwa atau akibat perilaku sosial (triple
burden of diseases)
Dibutuhkan Pelayanan Primer yang Kuat untuk Menjawab
Tantangan Tersebut
Untuk menjawab tantangan tersebut dibutuhkan
pelayanan kesehatan yang mampu menjembatani kebu-
tuhan-kebutuhan sosial dan pelayanan individual yang
holistik. Pelayanan kesehatan yang dimaksud juga mampu
menjawab kebutuhan-kebutuhan pelayanan kesehatan
preventif dan pelayanan kesehatan kuratif secara berim-
bang.
Mengingat luasnya beban penyakit yang ditanggung
masyarakat, pelayanan kesehatan juga perlu memenuhi
prinsip keadilan distribusi yakni bahwa pelayanan harus
dapat dinikmati oleh semua orang. Artinya berlaku prinsip
equity. Karena itu pelayanan kesehatan itu perlu cost-effec-
tive, yakni mampu mengimbangi penurunan biaya kesehatan
dan mutu pelayanan.
Table 1. Target MDG dan Indikator Pencapaiannya
Tujuan MDG Target Indikator
Menurunkan angka kematian anak Menurunkan angka kematian balita 1. Angka kematian balita sebesar dua pertiganya, antara 1990-2015
(AKABA) 2. Angka kematian bayi (AKB)
3. Proporsi imunisasi campak (PIC) pada anak berusia 1 tahun (12-
23 bulan)
Meningkatkan kesehatan ibu Menurunkan angka kematian ibu 1. Angka kematian ibu (AKI)
sebesar tiga perempatnya antara 2. Proporsi pertolongan kelahiran (PPK) oleh tenaga kesehatan
tahun 1990-2015. terlatih (TKT)
3. Angka pemakaian kontrasepsi pada perempuan menikah usia 15-
49 tahun (KB)
Memerangi HIV/AIDS, Malaria, Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS 1. Prevalensi HIV/AIDS ibu hamil (PHIV-BUMIL) yang berusia antara
dan Penyakit menular lainnya dan mulai menurun nya jumlah kasus 15-24 tahun
baru pada 2015 2. Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi
3. Angka penggunaan kondom pada prevalensi kontrasepsi
4. Persentase penduduk berumur 15-24 tahun yang mempunyai penge-
tahuan yang komprehensif tentang HIV/AIDS (PPK-HIV/AIDS)
5. Rasio kehadiran di sekolah anak yatim piatu berusia 10-14 tahun
karena HIV/AIDS (RKS-YP) terhadap kehadiran di sekolah yatim
piatu berusia 10-14 tahun
Mengendalikan penyakit malaria dan 1. Prevalensi malaria (PM) dan angka kematiannya
mulai menurunnya jumlah kasus mala- 2. Presentase penduduk yang menggunakan cara pencegahan yang
ria dan pe nyakit lainnya pada 2015 efektif untuk memerangi malaria
3. Persentase penduduk yangmendapat penanganan malaria secara
efektif
4. Prevalensi tuberkulosis dengan angka kematian tuberkulosis dengan
sebab apapun selama pengobatan obat anti tuberculosis
5. Angka penemuan penderita tuberkulosis BTA positif baru
6. Angka kesembuhan penderita tuberkulosis (AKP-TBC)
Karakteristik Pelayanan Dokter Keluarga
Pelayanan dokter keluarga memenuhi segala kriteria
yang diperlukan untuk menjalankan pelayanan primer
sebagaimana yang dituntut di atas. Pelayanan dokter keluarga
memiliki ciri-ciri fundamental (yang disesuaikan dengan
kondisi Indonesia).6 Ciri tersebut adalah bersifat umum,
kontinu, komprehensif, terkoordinasi, kolaboratif, berorientasi
keluarga, berorientasi komunitas, sadar biaya, mutu, etika
dan hukum, dan dapat diaudit dan akuntabel
Ada lima prinsip yang mendasari dokter keluarga yaitu:
1. Hubungan pasien – dokter adalah yang utama,
2. Dokter keluarga adalah klinisi yang efektif,
3. Dokter keluarga bekerja dalam komunitas, dan
4. Dokter keluarga adalah sumber daya dari suatu populasi
tertentu.5
Dalam menjalankan fungsinya, dokter keluarga bekerja
dalam tim pelayanan primer. Tim pelayanan primer dapat terdiri
atas dokter, perawat, paramedik, pekerja sosial, pekerja
kesehatan komunitas (kader-kader kesehatan). Tim suportif
antara lain resepsionis, petugas administrasi, ahli kesehatan
masyarakat, petugas laboratorium dan petugas radiologi.
Sedangkan tim konsultatif dapat terdiri dari dokter spesialis
baik dalam bidang medis maupun ilmu kesehatan masyarakat
atau spesialis bidang-bidang lain yang menunjang.5
105
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010
Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan, Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter
Dokter keluarga akan menghubungkan pelayanan primer
dengan sekunder dan tersier; umum dan spesialis; medis
dan non-medis. Berarti bahwa lokus kerja dokter keluarga
dapat pula di pusat-pusat pelayanan kesehatan seperti rumah
sakit atau puskesmas tempat konsentrasi alat-alat medis dan
berbagai tenaga yang dibutuhkan untuk membentuk tim
pelayanan primer, suportif dan konsultatif.
Modal yang Sudah Kita Miliki: Perkembangan Dokter
Keluarga di Indonesia
Gerakan untuk mengembangkan dokter keluarga di In-
donesia dimulai sejak tahun 1981 yakni saat didirikannya
Kelompok Studi Dokter Keluarga (KSDK) oleh sekelompok
dokter yang perduli untuk meningkatkan pelayanan primer.
Hingga kini Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI)
sudah menyelenggarakan delapan kali kongres nasional.
Pada tahun 1996 PDKI telah memulai pelatihan dokter
keluarga (paket A dan B) yang pertama. Pelatihan tersebut
berlangsung hingga saat ini dan memperoleh antusiasme para
dokter praktik umum baik di DKI Jakarta maupun daerah lain.
Sebagian dari mereka yang telah mengikuti dokter keluarga
ini telah menerima gelar Dokter Keluarga (DK) melalui pro-
gram Konversi DPU – DK pada Kongres Nasional PDKI ke
VIII di Bandung tahun 2008. Dan untuk mempertahankan
keilmuan mereka PDKI telah menyusun suatu Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan (CPD) Dokter Keluarga yang perlu
diikuti para dokter keluarga selama lima tahun guna resertikasi
kompetensi. CPD tersebut kini sedang dipersiapkan CPD
Online.
Kedokteran keluarga telah masuk dalam Kurikulum Inti
Pendidikan Dokter Indonesia (KIPDI) III, sehingga
diharapkan lulusan fakultas kedokteran adalah dokter yang
mampu melakukan pendekatan kedokteran keluarga.
Kedokteran keluarga juga telah mendapatkan perhatian di
pusat-pusat pendidikan kedokteran seperti di FKUI, UGM,
UNS, dan UNHAS. Di UNS telah dijalankan program magis-
ter dokter keluarga.
Untuk mempersiapkan pelayanan dokter keluarga lebih
lanjut, PDKI pada Kongres ke VI di Surabaya telah memfor-
mulasikan Standar Profesi dan Standar Praktik Dokter
Keluarga. Standar dimaksudkan untuk mengarahkan para
praktisi di lapangan mewujudkan sarana pelayanan dokter
keluarga maupun departemen kesehatan/dinas kesehatan
dalam memberikan perizinan praktik dokter keluarga.
Perkembangan dokter keluarga dengan demikian adalah
suatu gerakan akar rumput yang bottom-up bukan top-down.
Karena berbagai tuntutan sistem pelayanan kesehatan untuk
memperkuat pelayanan primer, dokter keluarga perlu menjadi
gerakan nasional. Ia memenuhi syarat untuk itu karena telah
siap baik dari segi sumber daya dokter keluarga (yang
diproduksi dari pelatihan-pelatihan dokter keluarga PDKI dan
juga lulusan fakultas kedokteran) maupun sarana penunjang
lainnya seperti standard-standard praktik dan CPD. Yang
perlu dijalankan hanyalah, Dokter Keluarga harus menjadi
norma atau kriteria umum di seluruh rumah sakit dan
puskesmas. Dalam hal ini peran pemerintah diperlukan untuk
mendorong pelayanan dokter keluarga agar diterima dan
betul-betul dijalankan oleh seluruh pengandil kesehatan.
Kesimpulan
Pelayanan primer dengan pendekatan kedokteran
keluarga menjadi primadona pelayanan kesehatan di seluruh
dunia. Di Indonesia telah rampung dikembangkan dasar-
dasarnya dan sudah siap tinggal landas menjadi gerakan
nasional. Kurikulum pendidikan dokter yang baru perlu
dikawal pelaksanaannya agar dapat menghasilkan DLP
(sekalipun masih DLP Dasar) yang mampu menerapkan
pendekatan kedokteran keluarga. Kementerian Kesehatan RI
telah mulai memperluas jaringan lahan pendidikan DLP yang
sesuai dalam rangka program internsip bagi dokter lulusan
FK yang menggunakan KBK.
“Armada” pelayanan primer yang sangat bersar perlu
segera dikembangkan dan didayagunakan semaksimal
mungkin agar target MDGs dapat terlaksana. Tanpa Pelayanan
Primer yang kuat mustahil dicapai target-target MDGs.
Mereka tersebar paling luas di seluruh Indonesia sekalipun
sebagain masih terkonsentrasi di kota besar akibat sistem
remunerasi yang kurang kondusif.
Dilihat dari fungsinya dokter keluarga dapat praktik
mandiri ataupun bekerja di poliklinik rumah sakit, perusahaan,
puskesmas, dan sebagainya. Dokter keluarga yang dimulai
dari gerakan akar rumput kini perlu menjadi gerakan nasional
sehingga ia menjadi suatu unit pelayanan primer yang
imperatif di seluruh pusat-pusat pelayanan kesehatan primer.
Peran pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI
sangat dibutuhkan.
Daftar Pustaka
1. The world health report. Primary health care now more than
ever. World Health Report. Geneva: World Health Organization;
2008.
2. Rakel RE. The family physician. In: Rakel RE. Ed. Essential of
family practice. Philadelphia: WB Saunders Company; 2006.
3. Starfield B, Shi L, Macinko J. Milbank memorial fund. New York
University. Blackwell Publishing. 2005;83:457-502.
4. Wonodirekso S. Sistem pelayanan dokter keluarga. Maj Kedok
Indon, Editorial. 2003;53:345-8.
5. Boelen C, Haq C, Hunt V, Rivo M, Sahadhy E. Improving Health
Systems: The Contribution of Family Medicine. Singapore. Best
Printing Company; 2002.
6. Allen J, Crebolder H, Jan Heyrman J, Svab I, Ram P. The european
definition of general practice/family medicine. Evans P. Editor.
WONCA Europe, 2005;12-15.7.
7. Sautz WJ. Theorethical framework for the discipline of family
medicine. In Family Medicine, defining and Examining the dis-
cipline. Saultz WJ, Ed. Toronto: Mcgraw-Hill; 2000.
RW
106