713-777-1-pb

6
Editorial Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010 Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan, Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter Layanan Primer dalam Rangka Mencapai Target “MDGs” Pendekatan Kedokteran Keluarga Merupakan Kunci Keberhasilan untuk Mencapai MDGs Sugito Wonodirekso, Danny Pattiradjawane Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia Pengurus Pusat, Jakarta Pendahuluan Pertama kali yang harus ditekankan dalam bahasan ini adalah: “DEPKES memegang peran kunci dalam pem- berdayaan, pendayagunaan, dan pengembangan karir dokter layanan primer (DLP).” Karena DEPKES sebagai pengguna utama DLP yang berfungsi sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan yang praktiknya bukan sekedar menyembuhkan akan tetapi juga menyehatkan. Fokus pelayanan adalah lima tingkat pencegahan yang bermuara pada penghematan dana kesehatan dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Peran utama DEPKES dalam pemberdayaan dan pendaya- gunaan DLP diyakini merupakan komponen penting untuk mencapai target Millenium Development Goals (MDGs). Beberapa dasawarsa belakangan ini semakin tampak bahwa layanan kesehatan primer menjadi primadona, para- meter, dan bahkan barometer kualitas pelayanan kesehatan di banyak negara. Primadona maksudnya mendapat prioritas untuk dikembangkan, diberdayakan, dan dimanfaatkan serta ditingkatkan daya-gunanya. Parameter maksudnya, di suatu negara dengan layanan primer yang kuat dapat dipastikan tingkat kepuasan pasien tinggi dan akan terjadi penghematan dana kesehatan secara signifikan. Barometer maksudnya, dapat digunakan sebagai tolok ukur taraf kesehatan masyarakat suatu negara. Semakin kuat layanan primer semakin ringan beban kesehatan masyarakat dan pen- danaannya. Laporan tahunan WHO tahun 2007 1 , mengungkapkan bahwa negara dengan layanan primer yang kuat mempunyai layanan kesehatan bermutu sekaligus menghemat biaya. Sebaliknya di negara dengan layanan primer yang lemah akan terjadi pemborosan biaya kesehatan dan layanan kesehatan yang tidak memuaskan masyarakat. Contohnya adalah Amerika Serikat yang menghabiskan dana kesehatan tertinggi di dunia akan tetapi peringkat pelayanan kesehatan tergolong yang terburuk akibat layanan primer yang lemah. 2 Sebaliknya Denmark mempunyai mutu layanan kesehatan tinggi dengan biaya kesehatan yang rendah karena layanan primernya yang kuat. 3 Hingga kini, layanan primer belum diberdayakan dan didayagunakan secara maksimal di Indonesia. Sebagai pengguna jasa dokter seharusnya DEPKES segera tanggap dan menentukan sikap untuk memanfaatkan DLP secara maksimal. Kalau tidak, akan terjadi suasana timpang. Banyak tenaga dokter tetapi indeks pelayanan kesehatan tidak kunjung membaik. Selain itu jika potensi DLP tidak terakomodasi dalam regulasi yang mapan, akan terjadi 101

Upload: wahyu-ramadhan

Post on 08-Dec-2015

218 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

See

TRANSCRIPT

Page 1: 713-777-1-PB

Editorial

Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010

Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan,Pendayagunaan, dan PengembanganKarir Dokter Layanan Primer dalamRangka Mencapai Target “MDGs”

Pendekatan Kedokteran Keluarga Merupakan Kunci Keberhasilan untuk Mencapai MDGs

Sugito Wonodirekso, Danny Pattiradjawane

Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia Pengurus Pusat, Jakarta

Pendahuluan

Pertama kali yang harus ditekankan dalam bahasan ini

adalah: “DEPKES memegang peran kunci dalam pem-

berdayaan, pendayagunaan, dan pengembangan karir dokter

layanan primer (DLP).” Karena DEPKES sebagai pengguna

utama DLP yang berfungsi sebagai ujung tombak pelayanan

kesehatan yang praktiknya bukan sekedar menyembuhkan

akan tetapi juga menyehatkan. Fokus pelayanan adalah lima

tingkat pencegahan yang bermuara pada penghematan dana

kesehatan dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.

Peran utama DEPKES dalam pemberdayaan dan pendaya-

gunaan DLP diyakini merupakan komponen penting untuk

mencapai target Millenium Development Goals (MDGs).

Beberapa dasawarsa belakangan ini semakin tampak

bahwa layanan kesehatan primer menjadi primadona, para-

meter, dan bahkan barometer kualitas pelayanan kesehatan

di banyak negara. Primadona maksudnya mendapat prioritas

untuk dikembangkan, diberdayakan, dan dimanfaatkan serta

ditingkatkan daya-gunanya. Parameter maksudnya, di suatu

negara dengan layanan primer yang kuat dapat dipastikan

tingkat kepuasan pasien tinggi dan akan terjadi penghematan

dana kesehatan secara signifikan. Barometer maksudnya,

dapat digunakan sebagai tolok ukur taraf kesehatan

masyarakat suatu negara. Semakin kuat layanan primer

semakin ringan beban kesehatan masyarakat dan pen-

danaannya.

Laporan tahunan WHO tahun 20071, mengungkapkan

bahwa negara dengan layanan primer yang kuat mempunyai

layanan kesehatan bermutu sekaligus menghemat biaya.

Sebaliknya di negara dengan layanan primer yang lemah akan

terjadi pemborosan biaya kesehatan dan layanan kesehatan

yang tidak memuaskan masyarakat. Contohnya adalah

Amerika Serikat yang menghabiskan dana kesehatan tertinggi

di dunia akan tetapi peringkat pelayanan kesehatan tergolong

yang terburuk akibat layanan primer yang lemah.2 Sebaliknya

Denmark mempunyai mutu layanan kesehatan tinggi dengan

biaya kesehatan yang rendah karena layanan primernya yang

kuat.3

Hingga kini, layanan primer belum diberdayakan dan

didayagunakan secara maksimal di Indonesia. Sebagai

pengguna jasa dokter seharusnya DEPKES segera tanggap

dan menentukan sikap untuk memanfaatkan DLP secara

maksimal. Kalau tidak, akan terjadi suasana timpang. Banyak

tenaga dokter tetapi indeks pelayanan kesehatan tidak

kunjung membaik. Selain itu jika potensi DLP tidak

terakomodasi dalam regulasi yang mapan, akan terjadi

101

Page 2: 713-777-1-PB

Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010

pemborosan dana karena pendidikan dokter sangat mahal

tetapi potensi hasilnya tidak dimanfaatkan secara maksimal.

Selama ini secara tidak sengaja, DLP “termarginalkan”,

karir profesionalnya tidak jelas bahkan mandek. Upaya

pemberdayaan dan pendayagunaan potensi DLP yang besar

itulah yang akan membangkitkan semangat mereka untuk

berpartisipasi dalam membangun kesehatan masyarakat yang

bermuara pada membaiknya mutu pelayanan kesehatan

secara umum dan pengembangan karir profesional mereka.

Pertanyaannya apakah dokter layanan primer kita siap untuk

menyelenggarakan layanan kesehatan primer yang bermutu

tinggi? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan itu secara

lugas berdasarkan pengalaman dan pengamatan lapangan

yang sudah cukup lama.

Pendidikan Dokter di Indonesia

Usia pendidikan kedokteran di Indonesia paling kurang

setara dengan usia republik ini. Telah banyak profesional

kesehatan dan kedokteran berkualitas nasional atau bahkan

internasional dihasilkan, namun tidak bisa menjawab secara

tegas pertanyaan: “Mengapa tingkat kesehatan masyarakat

Indonesia tidak kunjung meningkat atau meningkat sangat

lambat?” Rasanya – secara asumtif – peningkatan taraf

kesehatan orang Indonesia – terbukti dengan bertambahnya

sintas hidup (life expectancy) – terjadi secara alami karena

tingkat pengetahuan masyarakat meningkat dan bukan

sebagai hasil upaya terprogram para profesional kesehatan.

Tulisan ini sudah tentu tidak mungkin menjawab pertanyaann

itu secara tegas, namun paling tidak membuka cakrawala baru

untuk menyikapi keadaan itu.

Pada tahun 1955-an telah terjadi perubahan revolusioner

kurikulum pendidikan dokter di Indonesia. Pendidikan dokter

dengan kurikulum “bebas” diubah menjadi kurikulum

terpimpin dengan kurun waktu pendidikan 6 tahun. Langkah

itu diambil agar dapat memproduksi dokter dalam jumlah

besar guna mencukupi kebutuhan dokter sesuai dengan

jumlah dan kebutuhan penduduk saat itu. Mulai saat itu pula

bermunculan fakultas kedokteran swasta yang ingin

membantu pemerintah memproduksi dokter secepat mungkin.

Pascapendidikan 6 tahun, seorang dokter dibenarkan

praktik sebagai “dokter praktik umum” – seumur hidup –

tanpa perlu memperbaharui Surat Izin Praktik (SIP).

Sebenarnya struktur kurikulum pada saat itu cukup memadai

untuk membentuk dokter sesuai dengan kebutuhan

masyarakatnya. Hal itu terbukti dengan banyaknya dokter

yang berkualitas tinggi dan bertaraf internasional dengan

berkembangnya spesialisasi.

Spesialisasi sangat diperlukan untuk menggembangkan

pelayanan medis di bidangnya. Namun, sarana pendidikan

tidak berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan

pendidikan dokter. Akibatnya pendidikan dokter layanan

primer “teranak-tirikan” sehingga tidak mencapai sasaran

atau “mutunya menurun”, yang antara lain disebabkan

“berebut pasien” dengan residen spesialisasi karena rumah

Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan, Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter

sakit pendidikan tidak berkembang sesuai dengan kebutuhan.

Selain itu ilmu dan teknologi pendidikan berkembang sangat

cepat sehingga kurikulum pendidikan tertinggal. Masih

banyak faktor lain yang menyumbang penurunan kualitas

pendidikan dokter layanan primer.

Kurikulum pendidikan dokter pun disesuaikan dari

waktu ke waktu guna menjamin kualitas dokter yang

dihasilkan. Perubahan terakhir disepakati dan dimulai tahun

2005. Kurikulum lama yang mengacu cakupan isi (konten)

dan sangat bergantung pada “kuliah” dinilai tidak cocok lagi

dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran yang

demikian cepat. Karena itu Kurikulum Berbasis Kompetensi

(KBK) disepakati untuk diterapkan sejak tahun 2005.

KBK mengandalkan kuliah–sekalipun tidak meng-

haramkan kuliah–melainkan mengandalkan pembelajaran

“mandiri dan terpimpin”. Kurikulum baru itu mengandalkan

metode pembelajaran orang dewasa yang antara lain bertujuan

menumbuhkan kemampuan belajar mandiri sepanjang hayat

sehinga lulusannya selalu dapat menyesuaikan diri dengan

perkembangan zaman.

Kurikulum pendidikan sebelum tahun 2005, seluruhnya

bersifat teacher’s oriented berupa perkuliahan departemental

yang berusaha “mencurahkan seluruh konten” departemental

– yang notabene tidak mungkin karena perkembangan ilmu

dan teknologi kedokteran sangat pesat. Sesudah tahun 2005

metode pendidikan diubah menjadi student oriented

menggunakan metode Problem Based Learning yang

mengutamakan integrasi horisontal dan vertikal dan

pendekatan SPICES (Student Centred, Problem-based,

Integrated,Community-based Elective/Early Clinical Expo-

sure, Systematic) dapatlah dihipotesiskan bahwa DLP hasil

KBK ini akan lebih potensial daripada hasil KIPDI selama ini.

Kelemahan yang tidak mudah diatasi, yaitu mengubah

pola pikir staf pengajar yang terbiasa kuliah agar menjadi

guru yang mampu memicu minat dan memacu bakat; bukan

sekedar mendiktekan informasi. Di satu sisi KBK merupakan

highly structured curriculum yang menghendaki setiap staf

pengajar memahami dan menghayati pembelajaran ini dan

harus ditopang dengan sarana dan prasarana yang memadai.

Di sisi lain tidak mudah mengubah pola pikir staf pengajar

dan menyediakan sarana dan prasarananya.

Kendala penting adalah masih diutamakannya

pendidikan berbasis penyakit sedangkan yang dihadapi

dokter layanan primer dalam praktik adalah gejala awal

penyakit yang sering tidak spesifik. Hal itu disebabkan, antara

lain, seluruh pendidikan klinis diserahkan kepada dokter

spesialis yang pola pikirnya adalah mengobati penyakit.

Karena yang dihadapi dalam pendidikan adalah penyakit maka

hal itu mempermudah mahasiswa untuk terjerumus ke pola

berpikir kuratif. Masalahnya, apakah DLP sudah siap

mendidik mahasiwa?

Ada keadaan ganjil yang tidak disadari yang sampai

sekarang terjadi yaitu “FK bertujuan mendidik DLP tetapi

tidak satupun FK di Indonesia yang mempunyai Departemen

102

Page 3: 713-777-1-PB

Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan, Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter

Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010

Pelayanan Primer.” Departemen itu sebenarnya sangat

dibutuhkan untuk mengembangkan ilmu kedokteran layanan

primer dan staf pengajarnya. Yang tahu persis kebutuhan

DLP seharusnya juga DLP, namun demikian pendidikan oleh

dokter spesialis juga tetap diperlukan untuk membangun

kompetensi kuratif.

Departemen Pelayanan Primer diharapkan dapat

melakukan riset yang akan menjadi tumpuan perkembangan

pelayanan primer. Riset di ranah pelayanan primer sangat

diperlukan jika kita ingin memperkuat layanan primer. Tidak

berkembangnya departemen itu mungkin akibat belum

terlaksananya pemeringkatan pelayan kesehatan sesuai

dengan SKN menjadi tingkat primer, sekunder, dan tersier.

Ranah pelayanan primer diselenggarakan oleh DLP, ranah

pelayanan sekunder diberikan oleh dokter spesialis,

pelayanan tersier diselengarakan oleh tim dokter.4

Sudah saatnya DEPKES – sebagai pengandil utama

dalam pembangunan kesehatan masyarakat – segera memulai

kerjasama dengan fakultas kedokteran guna menghasilkan

DLP yang paripurna. Dalam hal ini FK menyediakan wahana

pengembangan ilmu kedokteran pelayanan primer dan

DEPKES menyediakan wahana pengembangan profesi DLP.

Dengan kata lain FK menyediakan Departemen Layanan

Primer dan DEPKES menyediakan wahana pendidikan DLP.

Dokter Layanan Primer (DLP), Dokter Praktik Umum

(DPU), dan Dokter Keluarga (DK)

Sering orang bertanya apa bedanya “ketiga macam”

sebutan itu. Memang tidak mudah memahami konsep ketiga

sebutan itu tanpa memahami pendidikannya. Dari bahasan

tentang pendidikan dokter di atas dapatlah ditafsirkan bahwa

lulusan fakultas kedokteran adalah Dokter Layanan Primer.

Lulusan FK disebut DLP karena kewenangannya hanya

sebatas pelayanan primer. Para lulusan itu disebut juga

“Dokter Praktik Umum” karena cakupan layanan yang

diberikan tidak dibatasi oleh jenis penyakit, jenis kelamin,

sistem organ, dan golongan usia.

Di banyak negara persemakmuran Inggris DPU disebut

juga General Practitioner (GP) yang kemudian diterjemahkan

menjadi “Dokter Praktik Umum” dan bukan “Dokter Umum”

yang secara salah kaprah digunakan selama ini sampai

diputuskan oleh Muktamar IDI tahun 2000 di Malang untuk

diganti dengan”Dokter Praktik Umum”. Jadi sebenarnya DLP

dan DPU adalah sosok yang sama dan semua lulusan FK

disebut DLP atau DPU.5-7

Lalu bagaimana dengan sebutan dokter keluarga? Ini

memang unik dan sedikit sulit dipahami. Perlu dicatat di sini

bahwa lulusan FK (DLP atau DPU) sebenarnya adalah basic

medical doctor atau basic primary care doctor atau dokter

layanan primer dasar. Berarti harus ada kelanjutan karir

menjadi advance primary care doctor atau dokter layanan

primer paripurna, namun waktu pendidikan dokter sangat

pendek untuk dapat menjadi dokter layanan primer yang

paripurna.

Di Inggris yang menyebut DLP dengan GP, di sana

lulusan FK belum boleh langsung praktik mandiri akan tetapi

harus internship yang sebenarnya magang kepada GP se-

nior yang bersertifikat, selama 3 tahun. Pascamagang, setelah

memenuhi syarat tertentu, barulah dokter tersebut boleh

praktik mandiri dan memperoleh sebutan GP. Magang itulah

yang membuat seorang DPU dasar menjadi DPU paripurna.

Kematangan pribadi dan ilmu serta keterampilan untuk praktik

mandiri seorang DPU paripurna berbeda keluasan dan

kedalaman ilmu serta keterampilannya dengan DPU dasar.

Para DPU paripurna itulah yang berpraktik di Inggris dan

disebut sebagai GP yang di negara lain disebut Dokter

Keluarga (DK).

Karena itu pelayanan primer di Inggris sangat kuat seperti

di Denmark dan banyak negara maju di Eropa. Dari proses

perolehan sebutan GP atau DK itu dapat disimpulkan bahwa

sebutan GP paripurna atau DK itu sebenarnya adalah sebutan

profesi dan bukan sebutan akademik. Tidak jarang sekalipun

belum memperoleh sebutan DK dari Kolegium, masyarakat

yang dilayanilah yang menyebut seorang DPU menjadi Dokter

Keluarga mereka. Pendidikan dokter dengan KBK

menghendaki lulusannya yang masih Dokter Layanan Primer

Dasar mampu menerapkan pendekatan kedokteran keluarga

dalam praktiknya.

Pemberdayaan Dokter Layanan Primer

Setelah memahami karakteristik dokter layanan primer

secara umum, mari kita telaah profil dokter di Indonesia.

Pendidikan dokter yang hanya 6 tahun sudah barang tentu

tidak mungkin menghasilkan DLP paripurna. Jadi yang praktik

di Indonesia sebenarnya adalah DLP atau DPU dasar. Mereka

tertatih-tatih berkembang, sebagian sukses dan sebagian

lainnya mandeg atau bahkan binasa sebelum berkembang.

Tidak heran jika mereka merasa gamang ketika mulai berpraktik

dan sangat terbatas kemampuannya. Itulah sebabnya

sebagian besar pasien merasa enggan untuk ke DPU lebih

dulu. Para pasien lebih suka langsung ke dokter spesialis

yang dirasakan lebih matang. Akibatnya, lambat tetapi pasti,

terbentuk opini bahwa berobat langsung ke spesialis lebih

baik daripada lebih dulu ke DPU.

Pendapat itu membuat sistem pelayanan kesehatan di

Indonesia kacau dan harus segera diluruskan sekalipun tidak

mudah. Salah satu cara adalah dengan peraturan jelas yang

diterapkan secara ketat, namun demikian harus disertai

perbaikan sistem antara lain pemberdayaan DLP. Pember-

dayaan itu harus diartikan bahwa profesionalisme DLP harus

ditingkatkan. Cara yang paling sederhana adalah melakukan

penataran berdasarkan kurikulum yang jelas agar seluruh

komponen profesionalisme tercakup dalam penataran itu.

Penataran seperti itu di Inggris disebut sebagai keharusan

internship selama tiga tahun. Di Indonesia harus dikem-

bangkan sistem penataran yang lebih laik selenggara, efektif,

dan efisien, mengingat jumlah DLP yang sangat besar.

Penataran yang dilakukan selama ini dirasakan terlampau

103

Page 4: 713-777-1-PB

Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010

Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan, Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter

lambat akibat daya jangkaunya terlampau sempit karena

merupakan upaya mandiri yang bersifat bottom up. Karena

itu PDKI sebagai organisasi profesi dokter keluarga,

menggalang kerja sama dengan sejumlah FK untuk bersama-

sama menyelenggarakan penataran yang lebih luas dan

berbobot. Kerja sama dengan Depkes pun dilakukan akan

tetapi tidak sistematis melainkan secara sporadis karena

keterbatasan dana. Penataran kurang efektif dan sulit dinilai

dampaknya karena skalanya kecil dan dilaksanakan tanpa

perencanaan atau kurikulum yang mapan. Sudah saatnya

disusun kurikulum nasional penataran seperti itu dan

direncanakan pula penilaian dampaknya. Sudah saatnya

DEPKES mencanangkan bahwa pendekatan kedokteran

keluarga dalam SKN harus menjadi program nasional.

sehingga pengembangan kedokteran keluarga yang selama

ini merupakan upaya bottom up dapat menjadi program

nasional yang top-down agar pelayanan kesehatan bermutu

cepat terjadi.

Apakah Pelayanan Primer Kita Lemah?

Ya. Pelayanan primer kita lemah dalam arti kinerjanya

lemah. Salah satu penyebabnya adalah tidak ada regulasi

yang mengharuskan setiap DLP menyelenggarakan praktik

dan menerapkan seluruh kompetensinya dan kewenangan-

nya sebagai DLP. Yang ada sekarang DLP hanya sekedar

menjadi “dokter batuk-pilek-mencret”. Survei PDKI bersama

Askes dan Jamsostek pada tahun 2002 dan 2003 (tidak boleh

dipublikasikan, tetapi dicetak dalam bentuk buku, tersedia

di ASKES dan Jamsostek) menunjukkan kinerja DLP yang

memprihatinkan.

Hal itu diperparah oleh konsep keliru selama pendidikan

yang mengatakan bahwa DPU adalah dokter yang menge-

tahui sedikit-sedikit dari ilmu kedokteran yang banyak. Slo-

gan ini jelas tidak akan memicu minat dan memacu bakat

belajar mandiri tetapi justru mematikannya. Karena itu PDKI

dalam menyelenggarakan penataran selalu menanamkan

bahwa “tidak ada larangan untuk belajar ilmu kedokteran

bidang apa pun, akan tetapi tingkat kewenangan DLP

memang hanya terbatas pada pelayanan primer.” Dengan

kata lain penguasaan ilmu berbatas langit tetapi kewenangan

melakukan prosedur klinis hanya sebatas pelayanan primer

seperti yang tercantum dalam standar pendidikan dokter

yang diterbitkan oleh KKI.

Selama ini PDKI bekerja sendiri sebagai organisasi

profesi kecil yang berkembang lambat, namun semangat

PDKI tidak pernah mati, pantang mundur, dan telah

melakukan sejumlah langkah fenomenal. Berkat partisipasi

PDKI, tujuan pendidikan kedokteran sekarang adalah

menghasilkan dokter layanan primer yang mampu

menerapkan pendekatan kedokteran keluarga. PDKI telah

pula berhasil menerbitkan buku teks di bidang kedokteran

keluarga dengan judul Primer on the Family Medicine Prac-

tice. Standar profesi DK telah rampung ditulis dan disepakati.

Buku log dan program CPD PDKI telah disahkan oleh

Kolegium Dokter dan Dokter Keluarga Indonesia. Telah berdiri

Program Magister Ilmu Kedokteran Keluarga di UNS. Semua

itu dalam upaya pemberdayaan DLP. Selanjutnya dengan

dukungan DEPKES, pemberdayaan dapat disusul dengan

pendayagunaan yang bermuara pada peningkatan karir DLP.

Kelemahan sistem pelayanan kesehatan yang kurang

mendayagunakan potensi DLP agaknya telah membawa

dampak besar. Harus diakui sintas hidup (life expectency)

penduduk Indonesia meningkat; akan tetapi tidak jelas apakah

disebabkan oleh kemerdekaan atau sistem ekonomi yang

sedikit membaik. Secara sederhana jika kita menggunakan

parameter selain sintas hidup yang terjadi adalah sebaliknya.

Coba cermati triple health burdens di bawah ini:

1. Masalah kesehatan yang sangat berat:

a. Agenda yang belum terselesaikan (infeksi, MMR,

IMR, malnutrisi, dsb)

b. Muncul dan mewabahnya penyakit baru (DHF, HIV/

AIDS, Flu Burung, dsb)

c. Muncul dan mewabahnya penyakit lama (TBC, Ma-

laria, dsb)

2. Kelemahan Sistem Kesehatan Nasional

a. Pelayanan kesehatan: ketersediaan, keterjangkauan,

dan kualitas

b. Keterbatasan dana kesehatan

c. SDM kesehatan yang kurang memadai dalam hal

pemanfaatan, pendayagunaan, dan sistem remu-

nerasi

3. Komitmen politik yang tidak mendukung

a. Prioritas pembangunan di bidang kesehatan

b. Dukungan dana APBN untuk kesehatan yang kurang

memadai

Mencapai MDGs dengan Dokter Keluarga

Tantangan Pelayanan Kesehatan

1. Tuntutan MDGs

Pemerintah Indonesia dituntut untuk memenuhi Tujuan

Pembangunan Milenium (MDGs) yang mutlak harus dicapai

pada tahun 2015. MDGs menetapkan 8 tujuan pembangunan

yang diuraikan menjadi 18 target dan 48 indikator untuk

pemantauan yang harus dicapai dalam kurun waktu 1990 –

2015. Tiga di antara delapan tujuan tersebut terkait langsung

dengan pelayanan kesehatan (lihat Tabel 1):

2. Transisi epidemiologis dan triple burden of diseases

Saat ini penyakit yang disebabkan oleh gaya hidup dan

perilaku meningkat pesat termasuk di negara berkembang.

Menurut WHO kategori penyakit tersebut mengambil 20-25%

beban global seluruh penyakit.

Beban penyakit jiwa seperti depresi, ketergantungan

alkohol dan skizofrenia belum memperoleh perhatian

sebagaimana mestinya oleh pendekatan kedokteran klasik

yang hanya menekankan patologi bukan kerugian sosial yang

ditimbulkan akibat penyakit itu. Pada tahun 2020 diperkirakan

penyakit yang ditimbulkan akibat merokok akan membunuh

104

Page 5: 713-777-1-PB

Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan, Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter

Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010

lebih banyak orang daripada HIV/AIDS.

Dulu kita beranggapan bahwa bila pembangunan suatu

negara berkembang maka penyakit-penyakit tak menular akan

mengeser penyakit-penyakit menular. Akan tetapi kenyataan

saat ini negara berkembang menghadapi tiga beban penyakit

sekaligus: penyakit menular, penyakit tak menular, dan

penyakit kesehatan jiwa atau akibat perilaku sosial (triple

burden of diseases)

Dibutuhkan Pelayanan Primer yang Kuat untuk Menjawab

Tantangan Tersebut

Untuk menjawab tantangan tersebut dibutuhkan

pelayanan kesehatan yang mampu menjembatani kebu-

tuhan-kebutuhan sosial dan pelayanan individual yang

holistik. Pelayanan kesehatan yang dimaksud juga mampu

menjawab kebutuhan-kebutuhan pelayanan kesehatan

preventif dan pelayanan kesehatan kuratif secara berim-

bang.

Mengingat luasnya beban penyakit yang ditanggung

masyarakat, pelayanan kesehatan juga perlu memenuhi

prinsip keadilan distribusi yakni bahwa pelayanan harus

dapat dinikmati oleh semua orang. Artinya berlaku prinsip

equity. Karena itu pelayanan kesehatan itu perlu cost-effec-

tive, yakni mampu mengimbangi penurunan biaya kesehatan

dan mutu pelayanan.

Table 1. Target MDG dan Indikator Pencapaiannya

Tujuan MDG Target Indikator

Menurunkan angka kematian anak Menurunkan angka kematian balita 1. Angka kematian balita sebesar dua pertiganya, antara 1990-2015

(AKABA) 2. Angka kematian bayi (AKB)

3. Proporsi imunisasi campak (PIC) pada anak berusia 1 tahun (12-

23 bulan)

Meningkatkan kesehatan ibu Menurunkan angka kematian ibu 1. Angka kematian ibu (AKI)

sebesar tiga perempatnya antara 2. Proporsi pertolongan kelahiran (PPK) oleh tenaga kesehatan

tahun 1990-2015. terlatih (TKT)

3. Angka pemakaian kontrasepsi pada perempuan menikah usia 15-

49 tahun (KB)

Memerangi HIV/AIDS, Malaria, Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS 1. Prevalensi HIV/AIDS ibu hamil (PHIV-BUMIL) yang berusia antara

dan Penyakit menular lainnya dan mulai menurun nya jumlah kasus 15-24 tahun

baru pada 2015 2. Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi

3. Angka penggunaan kondom pada prevalensi kontrasepsi

4. Persentase penduduk berumur 15-24 tahun yang mempunyai penge-

tahuan yang komprehensif tentang HIV/AIDS (PPK-HIV/AIDS)

5. Rasio kehadiran di sekolah anak yatim piatu berusia 10-14 tahun

karena HIV/AIDS (RKS-YP) terhadap kehadiran di sekolah yatim

piatu berusia 10-14 tahun

Mengendalikan penyakit malaria dan 1. Prevalensi malaria (PM) dan angka kematiannya

mulai menurunnya jumlah kasus mala- 2. Presentase penduduk yang menggunakan cara pencegahan yang

ria dan pe nyakit lainnya pada 2015 efektif untuk memerangi malaria

3. Persentase penduduk yangmendapat penanganan malaria secara

efektif

4. Prevalensi tuberkulosis dengan angka kematian tuberkulosis dengan

sebab apapun selama pengobatan obat anti tuberculosis

5. Angka penemuan penderita tuberkulosis BTA positif baru

6. Angka kesembuhan penderita tuberkulosis (AKP-TBC)

Karakteristik Pelayanan Dokter Keluarga

Pelayanan dokter keluarga memenuhi segala kriteria

yang diperlukan untuk menjalankan pelayanan primer

sebagaimana yang dituntut di atas. Pelayanan dokter keluarga

memiliki ciri-ciri fundamental (yang disesuaikan dengan

kondisi Indonesia).6 Ciri tersebut adalah bersifat umum,

kontinu, komprehensif, terkoordinasi, kolaboratif, berorientasi

keluarga, berorientasi komunitas, sadar biaya, mutu, etika

dan hukum, dan dapat diaudit dan akuntabel

Ada lima prinsip yang mendasari dokter keluarga yaitu:

1. Hubungan pasien – dokter adalah yang utama,

2. Dokter keluarga adalah klinisi yang efektif,

3. Dokter keluarga bekerja dalam komunitas, dan

4. Dokter keluarga adalah sumber daya dari suatu populasi

tertentu.5

Dalam menjalankan fungsinya, dokter keluarga bekerja

dalam tim pelayanan primer. Tim pelayanan primer dapat terdiri

atas dokter, perawat, paramedik, pekerja sosial, pekerja

kesehatan komunitas (kader-kader kesehatan). Tim suportif

antara lain resepsionis, petugas administrasi, ahli kesehatan

masyarakat, petugas laboratorium dan petugas radiologi.

Sedangkan tim konsultatif dapat terdiri dari dokter spesialis

baik dalam bidang medis maupun ilmu kesehatan masyarakat

atau spesialis bidang-bidang lain yang menunjang.5

105

Page 6: 713-777-1-PB

Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010

Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan, Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter

Dokter keluarga akan menghubungkan pelayanan primer

dengan sekunder dan tersier; umum dan spesialis; medis

dan non-medis. Berarti bahwa lokus kerja dokter keluarga

dapat pula di pusat-pusat pelayanan kesehatan seperti rumah

sakit atau puskesmas tempat konsentrasi alat-alat medis dan

berbagai tenaga yang dibutuhkan untuk membentuk tim

pelayanan primer, suportif dan konsultatif.

Modal yang Sudah Kita Miliki: Perkembangan Dokter

Keluarga di Indonesia

Gerakan untuk mengembangkan dokter keluarga di In-

donesia dimulai sejak tahun 1981 yakni saat didirikannya

Kelompok Studi Dokter Keluarga (KSDK) oleh sekelompok

dokter yang perduli untuk meningkatkan pelayanan primer.

Hingga kini Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI)

sudah menyelenggarakan delapan kali kongres nasional.

Pada tahun 1996 PDKI telah memulai pelatihan dokter

keluarga (paket A dan B) yang pertama. Pelatihan tersebut

berlangsung hingga saat ini dan memperoleh antusiasme para

dokter praktik umum baik di DKI Jakarta maupun daerah lain.

Sebagian dari mereka yang telah mengikuti dokter keluarga

ini telah menerima gelar Dokter Keluarga (DK) melalui pro-

gram Konversi DPU – DK pada Kongres Nasional PDKI ke

VIII di Bandung tahun 2008. Dan untuk mempertahankan

keilmuan mereka PDKI telah menyusun suatu Pendidikan

Kedokteran Berkelanjutan (CPD) Dokter Keluarga yang perlu

diikuti para dokter keluarga selama lima tahun guna resertikasi

kompetensi. CPD tersebut kini sedang dipersiapkan CPD

Online.

Kedokteran keluarga telah masuk dalam Kurikulum Inti

Pendidikan Dokter Indonesia (KIPDI) III, sehingga

diharapkan lulusan fakultas kedokteran adalah dokter yang

mampu melakukan pendekatan kedokteran keluarga.

Kedokteran keluarga juga telah mendapatkan perhatian di

pusat-pusat pendidikan kedokteran seperti di FKUI, UGM,

UNS, dan UNHAS. Di UNS telah dijalankan program magis-

ter dokter keluarga.

Untuk mempersiapkan pelayanan dokter keluarga lebih

lanjut, PDKI pada Kongres ke VI di Surabaya telah memfor-

mulasikan Standar Profesi dan Standar Praktik Dokter

Keluarga. Standar dimaksudkan untuk mengarahkan para

praktisi di lapangan mewujudkan sarana pelayanan dokter

keluarga maupun departemen kesehatan/dinas kesehatan

dalam memberikan perizinan praktik dokter keluarga.

Perkembangan dokter keluarga dengan demikian adalah

suatu gerakan akar rumput yang bottom-up bukan top-down.

Karena berbagai tuntutan sistem pelayanan kesehatan untuk

memperkuat pelayanan primer, dokter keluarga perlu menjadi

gerakan nasional. Ia memenuhi syarat untuk itu karena telah

siap baik dari segi sumber daya dokter keluarga (yang

diproduksi dari pelatihan-pelatihan dokter keluarga PDKI dan

juga lulusan fakultas kedokteran) maupun sarana penunjang

lainnya seperti standard-standard praktik dan CPD. Yang

perlu dijalankan hanyalah, Dokter Keluarga harus menjadi

norma atau kriteria umum di seluruh rumah sakit dan

puskesmas. Dalam hal ini peran pemerintah diperlukan untuk

mendorong pelayanan dokter keluarga agar diterima dan

betul-betul dijalankan oleh seluruh pengandil kesehatan.

Kesimpulan

Pelayanan primer dengan pendekatan kedokteran

keluarga menjadi primadona pelayanan kesehatan di seluruh

dunia. Di Indonesia telah rampung dikembangkan dasar-

dasarnya dan sudah siap tinggal landas menjadi gerakan

nasional. Kurikulum pendidikan dokter yang baru perlu

dikawal pelaksanaannya agar dapat menghasilkan DLP

(sekalipun masih DLP Dasar) yang mampu menerapkan

pendekatan kedokteran keluarga. Kementerian Kesehatan RI

telah mulai memperluas jaringan lahan pendidikan DLP yang

sesuai dalam rangka program internsip bagi dokter lulusan

FK yang menggunakan KBK.

“Armada” pelayanan primer yang sangat bersar perlu

segera dikembangkan dan didayagunakan semaksimal

mungkin agar target MDGs dapat terlaksana. Tanpa Pelayanan

Primer yang kuat mustahil dicapai target-target MDGs.

Mereka tersebar paling luas di seluruh Indonesia sekalipun

sebagain masih terkonsentrasi di kota besar akibat sistem

remunerasi yang kurang kondusif.

Dilihat dari fungsinya dokter keluarga dapat praktik

mandiri ataupun bekerja di poliklinik rumah sakit, perusahaan,

puskesmas, dan sebagainya. Dokter keluarga yang dimulai

dari gerakan akar rumput kini perlu menjadi gerakan nasional

sehingga ia menjadi suatu unit pelayanan primer yang

imperatif di seluruh pusat-pusat pelayanan kesehatan primer.

Peran pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI

sangat dibutuhkan.

Daftar Pustaka

1. The world health report. Primary health care now more than

ever. World Health Report. Geneva: World Health Organization;

2008.

2. Rakel RE. The family physician. In: Rakel RE. Ed. Essential of

family practice. Philadelphia: WB Saunders Company; 2006.

3. Starfield B, Shi L, Macinko J. Milbank memorial fund. New York

University. Blackwell Publishing. 2005;83:457-502.

4. Wonodirekso S. Sistem pelayanan dokter keluarga. Maj Kedok

Indon, Editorial. 2003;53:345-8.

5. Boelen C, Haq C, Hunt V, Rivo M, Sahadhy E. Improving Health

Systems: The Contribution of Family Medicine. Singapore. Best

Printing Company; 2002.

6. Allen J, Crebolder H, Jan Heyrman J, Svab I, Ram P. The european

definition of general practice/family medicine. Evans P. Editor.

WONCA Europe, 2005;12-15.7.

7. Sautz WJ. Theorethical framework for the discipline of family

medicine. In Family Medicine, defining and Examining the dis-

cipline. Saultz WJ, Ed. Toronto: Mcgraw-Hill; 2000.

RW

106