7 cerpen

24
Valentine Ami heboh membongkar-bongkar almari. Dia mencari baju yang berwarna pink. Setidak-tidaknya yang bernuansa pink. Ada pesta Valentine di kampus. Warna itu menjadi tiket masuk. Warna lain akan ditolak. Kecuali mau beli kaus oblong dari panitia yang berwarna pink. Tapi harganya selangit. “Buat apa beli kaus oblong 200 ribu, kan pakainya juga hanya sekali,”kata Ami terus membongkar. Bu Amat ikut membantu Ami mencari-cari, sampai-sampai terlambat menyiapkan makan malam. Amat langsung protes. “Kenapa sih pakai ikut-ikutan valentin-valentinan. Itu kan bukan budaya kita!” Ami dan ibunya tidak peduli. “Mana makannya? Nanti maag-ku kumat!” Bu Amat tak mendwengar. Ia terus membantu Ami mencari. Amat jadi kesal. Tapi makin dia kesal, makin Ami dan Bu Amat lebih tidak peduli. Amat jadi marah. Dia salin pakaian, lalu keluar rumah. “Ke mana Pak?” “Mau ikut valentine!” kata Amat tanpa menoleh. Amat ke tukang sate di tikungan. Dia mau makan enak. Tapi ternyata tidak jualan. Orangnya kelihatan mau berangkat kundangan. Dia tersenyum melihat Amat datang. “Mau ke situ juga Pak Amat?” “Ke situ ke mana? Mau cari makan ini. Kenapa tutup?”

Upload: siti-nurhayati

Post on 21-Dec-2015

228 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

g

TRANSCRIPT

Page 1: 7 CERPEN

Valentine

Ami heboh membongkar-bongkar almari. Dia mencari baju yang berwarna pink. Setidak-tidaknya

yang bernuansa pink. Ada pesta Valentine di kampus. Warna itu menjadi tiket masuk. Warna lain akan

ditolak. Kecuali mau beli kaus oblong dari panitia yang berwarna pink. Tapi harganya selangit.

“Buat apa beli kaus oblong 200 ribu, kan pakainya juga hanya sekali,”kata Ami terus membongkar.

Bu Amat ikut membantu Ami mencari-cari, sampai-sampai terlambat menyiapkan makan malam.

Amat langsung protes.

“Kenapa sih pakai ikut-ikutan valentin-valentinan. Itu kan bukan budaya kita!”

Ami dan ibunya tidak peduli.

“Mana makannya? Nanti maag-ku kumat!”

Bu Amat tak mendwengar. Ia terus membantu Ami mencari. Amat jadi kesal. Tapi makin dia kesal,

makin Ami dan Bu Amat lebih tidak peduli. Amat jadi marah. Dia salin pakaian, lalu keluar rumah.

“Ke mana Pak?”

“Mau ikut valentine!” kata Amat tanpa menoleh.

Amat ke tukang sate di tikungan. Dia mau makan enak. Tapi ternyata tidak jualan. Orangnya kelihatan

mau berangkat kundangan. Dia tersenyum melihat Amat datang.

“Mau ke situ juga Pak Amat?”

“Ke situ ke mana? Mau cari makan ini. Kenapa tutup?”

“Kan hari besar pak Amat.”

“Ah sejak kapan tukang sate ikut-ikutan valentine?”

“Bukan. Saya mau ke tempat Yuk Lee, kan ada makan-makan. Pak Amat mau ke situ juga kan?”

“Lee?”

“Ya”

“Sejak kapan di situ diundang Yuk Lee?”

Page 2: 7 CERPEN

“Ya namanya juga silaturahmi Pak Amat. Tidak perlu undangan. Kalau kita tahu ya harus datang. Saya

kan langganan tetap dia dulu waktu masih jualan kue. Ayo ikutan.”

“Ah, mau cari makan ni!”

“Makan di situ saja, pasti enak semua! Yuk Lee pasti seneng kalau Pak Amat datang. Ayo Pak!”

Tukang sate itu menstater motornya.

“Ya sudah, ikut sampai di alun-alun, nanti turun di situ, makan ketupat!”

Amat naik ke boncengan. Tapi kemudian tidak turun di alun-alun, sebab asyik ngobrol. Tahu-tahu

sudah sampai ke rumah Lee.

“Lho kok jadi ke sini?” kata Amat kaget.

Tukang sate hanya nyengir. Amat hampir saja mau kabur, tapi Lee muncul. Dia berteriak menyapa

tukang sate. Waktu melihat Amat dia langsung datang dan mengguncang tangan Amat.

“Terimakasih pak Amat, terimakasih sudah datang. Tumben ini. Mimpi apa saya Pak Amat mau

datang? Kebetulan semua pada sedang makan ini. Ayo cepetan masuk, Pak Amat. Jangan di luar, ke

dalam saja!”

Amat dan tukang sate dibawa masuk ke dalam rumah. Ternyata dalam rumah lebar dan mewah.

Padahal darii luar kelihatan sederhana. Lee memang kaya-raya, tapi tidak pernah pamer

menunjukkan kekayaannya. Dia mulai dari jualan kue. Tiap hari istri dan anak-anaknya keliling. Lama-

lama meningkat. Dasar ulet, sekarang tokonya ada lima. Mobilnya banyak. Tapi hubungannya dengan

orang-orang yang dulu menjadi langganan kuenya tetap baik.

“Terimakasih Pak Amat, sudah mau datang ke rumah kami,”kata istri Lee menyambut.

Amat kemudian diperkenalkan kepada ketujuh putra-putri Lee. Ada yanhg sekolah di Amerika. Ada

yang di Australia. Ada yang di Singapura. Ada juga yang di Hong Kong. Yang paling besar di rumah

membantu Lee.

Amat malu sekali, seakan-akan Lee tahu dia datang untuk cari makan. Mula-mula Amat hanya sekedar

nyicip. Tapi setelah melihat tukang sate dan tamu-tamu lain makan dengan rakus, Amat jadi lupa

daratan. Ia makan sekenyang-kenyangnya.

Page 3: 7 CERPEN

Banyak sekali tamu datang silih berganti. Lee tak sempat lagi ngobrol dengan Amat. Dan ketika

pulang, tak sempat lagi pamitan, sebab tamu semakin malam semakin melimpah. Diam-diam Amat

dan tukang sate itu meninggalkan rumah Lee.

“Heran sudah kaya raya begitu, tamu-tamunya semua kok kelas naik motor seperti kita. Nggak ada

mobil-mobil mewah ya,”kata Amat.

Tukang sate ketawa.

“Yang naik mobil nggak akan mau datang Pak Amat.”

“Kenapa?”

“Pasti malu,”

“Lho kenapa? Kan silaturahmi?”

“Nanti dikira cari Ang Pao.”

“Ang Pao?”

“Ya. Kalau buat kita sih rezeki. Orang-orang pakai mobil itu mana mau dapat amplop begini,:kata

tukang sate merogoh dari sakunya dan menyerahkan pada Amat, ”ini untuk Pak Amat!”

Amat terkejut menerima amplop itu.

“Untuk saya ini?”

“Ya untuk pak Amat.”

“Bukannya untu di situ saja.”

“Saya sudah dapat Pak Amat. Tadi istri Lee sengaja ngasih lewat saya, dia tahu pak Amat pasti tidak

akan mau kalau dikasih langsung.”

Amat tertegun.

“Gimana? Apa untuk saya saja?”

Sekarang jelas. Banyak yang datang ke rumah Lee, karena mengejar ang pao. Amat jadi malu. Ia ingin

sekali mengembalikan amplop itu. Tapi tak mungkin. Itu bisa jadi salah paham.

Page 4: 7 CERPEN

“Gimana pak Amat? Untuk saya saja?”

Hampuir saja Amat mau menyerahkan amplop itu. Tapi jari tangannya merasakan amplop itu tebal. Ia

jadi merasa saying.

“Ini tradisi mereka ya?”

“Betul pak Amat. Setiap tahun saya selalu ke situ. Tahun lalu juga. Isinya lumayan. Bagaimana itu

untuk saya saja?”

“Tapi ini tradisi mereka kan?”

“Betul pak Amat.”

“Bukan soal uangnya, tapi soal tradisi kan? Kita menghormati tradisi kan?”

“Betul.”

“Ya sudah. Demi silahturahmi, saya terima ini. Terimakasih sudah ngajak ke situ tadi.”

“Tapi amplopnya untuk saya kan?”

Amat menggeleng.

“Meskipun Lee tidak melihat, kalau amplop ini saya berikan situ, berarti saya tidak menghargai Lee.

Itu tidak baik. Jadi saya terima saja untuk silahturahmi.”

Amat lalu mengulurkan tangan. Mereka bersalaman. Tukang sate nampak gembira.

“Yuk Lee pasti senang sekali Pak Amat menerima amplop itu. Tadinya istrinya sudah berpesan, kalau

pak Amat tidak mau, ya buat saya saja. Apa buat saya saja Pak Amat?”

Amat ketawa. Tanpa menjawab lagi dia pulang. Rasanya tubuhnya berisi. Di kantungnya ada amplop

yang menurut ketebalannya tidak akan kurang dari satu juta. Sambil bersiul-siul, Amat masuk ke

dalam rumah.

Ami kelihatan nongkrong di depan televisi bersama Bu Amat.

“Lho tidak ikut valentine?”

“Nggak ada baju pink.”

Page 5: 7 CERPEN

“Beli saja!”

“Duitnya dari mana?”

Amat ketawa. Dia merogoh amplop dan menyerahkan pada Ami.

“Nih. Lebihnya untuk Ibu.”

Ami dan Bu Amat melirik amplop itu dengan heran. Amat langsung saja menembak.

“Kita ini masyarakat plural, jadi harus bisa hidup saling menghargai. Itu namanya silahturahmi,”kata

Amat.

Ami diam saja.

“Coba kalau tadi ngomong begitu, Ami sudah berangkat,”kata Bu Amat, “Bapak ini selalu terlambat!”

KARTINI

Subuh hari pintu rumah Amat digedor. Seorang tetangga muda muncul di depan pintu dengan muka

berbinar-binar.

“Pak Amat, anak saya sudah lahir, selamat dan sehat.”

Darah Amat yang tadinya sudah naik langsung surut.

“Bagus! Selamat! Anak pertama kan?!

“Betul Pak Amat. Tolong!”

“Tolong?”

“Kasih nama. Saya belum punya nama.”

Amat cepat berpikir. Hari Kartini baru saja lewat. Ia langsung menggapai.

“Beri nama Kartini!”

Bapak muda itu terpesona. Amat langusng cepat mengguncang tangannya.

“Tak usah nama yang muluk-mulul, apa artinya nama, biar anak itu sendiri uang mengubah namanya,.

Siapa pun kamu sebut dia, kalau dia dididik dengan baik, dia akan jadi sejarah yang berguna bagi

otang banyak. Selamat!”

Page 6: 7 CERPEN

Anak muda itu masih bengong, tapi Amat tidak memberinya kesempatan bertanya lagi, langusng

menutupkan pintu lagi.

“Lagi asyik-asyiknya, ada saja yang ganggu. Masak subuh-subuh begini nanya minta nama segala,

“kata Amat sembari masuk kamar menghampiri Bu Amat. “Kalau belum siap punya anak, kenapa bikin

anak. Masak nama saja bingung, Nanti kalau beli susu, periksa dokter, pasti lebih bingung lagi. Sudah

sampai di mana kita tadi, Bu?”

Bu ternyata sudah tidur pulas kembali. Amat kecewa berat.

Tapu besoknya Bu Amat malah marah-marah.

“Bapak keterlaluan!”

“Lho, bukannya Ibu yang keterlaluan! Baru ditinggal sebentar sudah ngorok lagi!”

“Masak ngasih nama anak orang Kartini.”

“Lho, memang kenapa? Ibu Raden Ajeng Kartini kan orang besar. Tokoh sejarah. Nama itu bukan soal

sepele. Memberi nama anak harus dengan cita-cita, akan jadi apa anak itu kelak. Ibu Kartini kan sudah

berjasa membangkitkan kaum perempuan di Indonesia supaya percaya diri. Dia itu hebat, Bu!”

“Memang. Tapi tidak semua orang yang namanya Kartini bisa seperti RA Kartini!”

“Makanya yang namanya usaha itu penting, jangan hanya bergantung dari nama tok. Itu namanya

klenik. Nama sakti juga kalau pendidikannya tidak becus jadi sampah. Lihat itu anak tetangga kita

namanya Gajah Mada, mau bapaknya supaya jadi orang besar, eh nyatanya cumakusir dokar.”

“Mendingan Gajah Mada. Jelas. Kok Kartini!”

“Lho tidak bisa dibandingkan begitu, Bu. Sebesar-besar Gajah Mada, orang Sunda benci sama dia.

Sementara Kartini, walau pun hanya bangsawan Jawa, tapi perjuangannya sangat berarti untuk

membebaskan kaum perempuan di seluruh Indonesia yang sampai sekarang nasibnya masih di

bawah telapak kaki lelaki!”

“Betul! Tapi kalau anak laki diberi nama Kartini, itu namanya sudah sinting!”

Amat terkejut.

“Lho, jadi anaknya laki-laki?”

“Sejak 5 bulan lalu dokter sudah bilang lelaki. Kok kasih nama Kartini?”

Amat bengong. Ia cepat memakai sandal dan bergegas ke rumah tetangga itu. Anak muda itu sudah

hampir hendak berangkat ke klinik bersalin membawa perlengkapan untuk istri dan anaknya.

“Terimakasih Pak Amat.”

Amat jadi salah tingkah. Dengan malu dia mengulurkan tangan minta maaf.

“Maaf, Bapak tidak tahu. Aku memberikan nama sembarangan. Jangan pakai nama itu!”

“Tidak apa Pak Amat. What is a name. Saya berterimakasih sekali Pak Amat tidak marah digedor

subuh begitu. Namanya bagus.”

Page 7: 7 CERPEN

Amat bingung.

“Lho jangan ngasih nama anakmu Kartini!”

“Tapi Raden Ajeng Kartini kan pahlawan Pak Amat. Saya harap nanti anak saya akan berguna kepada

bangsa seperti Kartini.”

“Jangan! Kenapa mesti kasih nama Kartini!”

“Itu kan pemberian dari Pak Amat?”

“Jabis aku kan tidak tahu,. asal nyeplos saja!.”

Anak muda itu tertawa.

“Nama Kartini itu bagus, Pak!”

“Jangan!”

Anak muda itu tertawa lagi lalu pergi..

“Aku kira dia tersingung dan menyindir. Masak aku kasih nama anak lakinya dengan nama

perempuan,” curhat Amat malam hari di meja makan.

“Makanya kalau ngomong jangan sembarangan,”kata Bu Amat, “anak itu sudah kaulan, apa pun nama

yang diberikan oleh orang pada anaknya akan dia pakai. sebab sudah 11 tahun menikah belum punya

anak.”

Amat terperanjat.

“Jadi dia serius akan memberi nama putranya Kartini?”

“Iya iyalah!”

Amat tak jadi makan. Ia merasa bersalah. Ia menunggu di depan rumah sampai larut malam. Ketika

anak muda itu pulang dari klinik, ia langsung menyapa.

“Gus, Kartini tadi datang menemui Bapak.”

Anak muda itu terkejut.

“Siapa Pak?”

“Raden Ajeng Kartini.”

Anak muda itu tersenyum. Amat langsung mencecer.

“Boleh lanjutkan perjuanganku, bebaskan perempuan-perempuan Indonesia dari penindasan, kata RA

Kartini. Merdekakan kaumku agar mendapat perlakuan setara dengan kaum lelaki. Tetapi tidak perlu

menjadi lelaki. Hakekat perempuan tetap perempuan, lelaki tetap lelaki, karena itu laki perempuan

akan bertemu untuk saling melengkapi. Kalau kamu menjadikan perempuan lelaki dan lelaki itu

perempuan, kamu sudah menodai perjuanganku!”

Page 8: 7 CERPEN

Anak muda itu mengangguk

“Saya mengerti maksud Pak Amat.”

“Kalau begitu jangan kasih nama anakmu Kartini!”

“Tidak bisa Pak, sudah dicatatkan dalam akte kelahirannya.”

“Tapi kamu tidak boleh mengubah anak lelaki menjadi perempuan!”

“Anak saya perempuan Pak, bukan lelaki seperti yang diramalkan oleh Dokter.”

Robohnya Surau Kami

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan

berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer

dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang

kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua.

Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan

segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahunia sebagai garin, penjaga

surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.

Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sdekah yang dipungutnya sekali

se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam

itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tidak

begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya

itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa.

Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal

sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang.

Tapi yang paling sering diterimanya aialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa

penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa

yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding

atau lantai di malam hari.

Page 9: 7 CERPEN

Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang

bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsung. Secepat anak-anak berlari di

dalamnya, secepat perempuan mancopoti perkayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh

manusia sekarang yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaganya lagi.

Dan biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal

kebenarannya. Beginilah kisahnya.

Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku, karena

aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut dengan lututnya menegak

menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang

mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol

panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu

durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk di sampingnya

dan aku jamah pisau itu.

Dan aku tanya Kakek, “Pisau siapa, Kek?”

“Ajo Sidi.”

“Ajo Sidi?”

Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku

ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan

bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan

pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialahkarena semua pelaku-pelaku yang

diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada

saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika

sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan

jadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami sebut

pemimpin katak.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah

membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu.

Lalu aku tanya Kakek lagi, “Apa seritanya, Kek?”

Page 10: 7 CERPEN

“Siapa?”

“Ajo Sidi.”

“Kurang ajar dia,” Kakek menjawab.

“Kenapa?”

“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggoroknya.”

“Kakek marah?”

“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak

marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu

lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang

sabar dan tawakal.”

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek,

“Bagaimana katanya, Kek?”

Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya,

lalu ia yang bertanya padaku, “Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah di sini. Sedari

mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki

Tuhankah semua pekerjaanku?”

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia

takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaan sendiri.

“Sedari mudaku aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti

orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala

kehidupanku lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan

orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan

neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang aku lakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama

hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikir hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan

pengasih dan penyayang kepada umat-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku

Page 11: 7 CERPEN

baca kitab-Nya. ‘Alhamdulillah‘ kataku bila aku menerima karunia-Nya, ‘Astagfirullah‘ kataku bila aku

terkejut. ‘Masya Allah‘, kataku bila aku kagum. Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku

dikatakan manusia terkutuk.”

Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku. “Ia katakan Kakek begitu, Kek?”

“Ia tak mengatakan aku terkutuk, Tapi begitulah kira-kiranya.”

Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas padanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo

Sidi. Tapi aku ingin lebih mengetahui apa cerita Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin

tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.

Quote:

“Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai,’ di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang

sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Ditangan mereka tergenggam daftar

dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada

perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh.

Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke surga.

Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala

ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum

ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak

mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu

panjangnya. Susut dimuka, bertambah di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.

Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan

mengajukan pertanyaan pertama.

‘Engkau?’

‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’

‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’

‘Ya, Tuhanku.’

‘Apa kerjaanmu di dunia?’

Page 12: 7 CERPEN

‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’

‘Lain?’

‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’

‘Lain?’

‘Segala tegah-Mu kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat jahat, walaupun, walaupun dunia

seluruhnya penuh oleh dosa-dosa yang dihumbalangkan iblis laknat itu.’

‘Lain?’

‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembahmu-Mu, menyebut-

nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga.

Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’

‘Lain?’

Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi is insaf,

bahwa pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi

menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus

dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan

kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisapnya

kering oleh hawa panas neraka itu.

‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.

‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang,

Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji

Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya

kepadanya.

Page 13: 7 CERPEN

Emakku jadi ibu

Pudji Isdriani K.

Jalanan berdebu, laki-laki bersarung naik

sepeda, beberapa becak berisi tembakau berpapasan

denganku. Setiap penduduk yang kutemui di jalan

berdebu desaku mengangguk ramah. Pohon-pohon

bambu berjejer dan bergoyang di sepanjang jalan.Anak-

Anak lelaki kecil bertelanjang dada berlarian di halaman

rumah. Sebuah pemandangan yang nyaris aku lupakan.

Inilah wajah desa, bagaimanapun aku adalah bagian

darinya. Jika selama ini aku mencoba mengingkari,

itu adalah fatamorgana. Aku tetap berakar di sini.

Hatiku terasa lapang,langkahku terasa ringan.Aku ingin

bertemu emak. Aku ingin bersimpuh dan mencium

tangannya. Aku sungguh rindu dengan suasana desaku.

Aku sangat ingin makan lalap daun kenikir dengan

sambal kereweng buatan emak. AH . . . pasti tidak

kalah dengan masakan restoran manapun di kota.

. . . . “Halo,bagaimana kabarmu, Nak?

Tiba-tiba,ada suara menyapa dan rasanya suara

itu tidak asing,sangat akrab dengan telingaku. Ya,

Tuhan! Itu adalah suara emak. Aku semakin bingung

dan tercengang ketika emak muncul di hadapan ku

dengan penampilan berbeda. Rambutnya yang biasa

digelung sekarang dipotong pendek sebahu. Wajahnya

cerah dengan sapuan make up dan lipstik tipis merah.

Kain kebaya yang biasanya melekat pada tubuhnya

Diganti rok span dan kaos ketat.

“Mak?”

Aku masih terpana dan tidak mempercayai

Penglihatan sendiri.

“Akhirnya kamu pulang juga,Nak.Emakmu,

eh . . . . . ibumu ini sudah lama menunggu. Ibu yakin

kamu pasti pulang. Dan jangan khawatir , sekarang

kehidupan kota selalu kamu inginkan ada di rumah

Page 14: 7 CERPEN

kita. Ibu ingin kamu betah tinggal di rumah

kita. Nanti ibu buatkan donat dan fried chicken,ibu sudah kursus.

Oke?”

. . . . . Aku bengong seperti sapi ompong. Aku

Tidak bisa berkata-kata, semua perbendaharaan kata

Yang berjejak di otak,tak satu pun yang keluar.Mulutku

Mendadak terkuci rapat. Oh, Mak……….

“Radio Masyarakat”

Kehendak zaman?.........Semangat baru?........Ya, barangkali buat Tuan...Bagi saya belum terpikirkan........

Masih mendengung-dengung perkataan itu dalam telinga dokter Hamzah. Seakan-akan diucapkan

perlahan-lahan. Seperti seorang pembicara di muka sidang ramai yang menekankan kata-katanya satu

persatu, agar lebih meresap ke dalam kalbu pendengarnya.

Sayup-sayup suara itu mendatang. Tertahan-tahan, tetapi terang dan tidak ragu-ragu.Kata-kata yang

diucapkan oleh kuswari tadi, tatkala ia datang ke kamarnya untuk, katanya, diperiksa sakit badannya.

Kuswari mengeluh panjang-panjang. Seolah-olah dengan demikian hendak ia lemparkan segala beban yang

memberat, hendak ia lepaskan segala kepegalan yang menghimpit sukma.

Dokter Hamzah meletakkan alat-alat pemeriksanya. Kus disuruhnya mengenakan bajunya kembali.

Sementara ia berjalan-jalan di dalam kamar yang sedang besarnya itu. Habis segala ilmunya digunakannya.

Habis segala kecakapannya dilepaskannya. Pendapat akhir tetaptak beralih. Kus tak kurang apa-apa.

Badannya dalam Keadaan sehat. Sepanjang ilmu kedokteran.

Tetapi dimana letak pangkalnya segala-gala ini ? Mengapa Kus semacam ini ? atau mestikah di sini dicari

sebabnya dalam ilmu psikiatri lagi? Kus sudah berdiri kembali di hadapannya menantikan kata

keputusannya. Sikapnya seperti seorang yang telah menyerah. Pandangannya lindap, bahkan kabur.

Kepalanya tunduk. “Ya, Kus, engkau tak kurang apa-apa. Engkau sehat, tak ada obat yang dapat kuberikan

tetapi....”

Ia berhenti sebentar. Ada yang dipikirkannya. Kus antara cemas dan harap. Kemudian dengan tersenyum

kata dr Hamzah pula. “tetapi ada juga obat yang dapat kuberikan. Obat yang kalau dikatakan bersahaja,

Page 15: 7 CERPEN

mahal juga didapatkan. Kus, kau harus kisarkan pandangan hidupmu. Itulah satu-satunya obat mujarab

bagi penyakitmu. Kau mesti mencoba mengetahui apa kehendak zaman. Mesti mencoba mendalami

semangat baru, itu tak mudah. Tapi aku percaya, kau pandai mencari dan menimbang sendiri. Buat

sementara rasanya tak perlu kuterangkan kepadamu. Cari dulu. Nah, Kus nanti kita bicarakan lagi.”

Sejurus Kus terdiam. Tetapi perlahan-lahan seakan-akan bertukar cahaya mukanya, cahaya yang tak dapat

disifatkan lebih jauh. Bibirnya menggelung ejek. Cepat-cepat berhamburan katanya. “Kehendak zaman?

Semangat baru? Ya, barangkali buat Tuan. Bagi saya belum terpikirkan.” Cuma itu saja ia berpaling, lalu

terus meninggalkan dr. Hamzah, lupa ia menabik hatinya pedar!.,

Sebuah Arca

Oleh: Darwis Khudori

Kriya tengah mencangkul tanah sawahnya yang kering dan berbongkah-bongkah ketika tiba-tiba ia

merasa mata cangkulnya membentur sesuatu yang sangat keras. Ia kenal segala macm batuan dan jenis

tanah. Tapi ini lain. Lewat tangannya yang memegang tangkai cangkul itu ia merasa tangkai cangkulnyacuil

dalam perbenturan itu. Buru-buru ia menariknya. Dugaannya tidak meleset.

Dengan hati-hati ia sibakkan tanah itu dengan cangkulnya. Apa yang ditemukannya tidak membuat

heran mula-mula. Tak lebih dari sebongkah tanah yang amat keras. Ia ketok-ketok bongkahan batu itu ke

tangkai cangkulnya. Butir-butir tanahnya berguguran. Akhirnya ia mendapatkan sebuah arca kehitaman

tanpa kepala. Kecil saja, sekecil pisang raja. Kemudia ia menggosoknya lama-lama sehingga jelas lekuk liku

tubuh arca itu. Meskipun tanpa kepala tapi jelas ia perempuan. Ia telanjang dan segala lekuk-lekuk

tubuhnya dipahat dengan sempurna dan mendetail.

Tiba-tiba membersitlah sebuah harapan di dalam hatinya. Ia tahu arca itu bukan batu, tapi logam.

Dan tidakkah menggembirakan jika logam itu emas? Lalu terbayanglah rumah batu yang kokoh seperti

rumah pak lurah,beberapa ekor kerbau dan sapi.

“hai, sobat apa kau buat?”

Ia buru-buru menyembunyikan arca itu ke balik sarungnya yang untung saja sejak tadi masih

tergulung di pinggangnya. Kalau tadi ia meninggalkannya, apa jadinya? Tentu arca emas itu akan ketahuan

pula oleh Rajab, sobat yang menegurnya itu.

“Biar lambat asal sampai kang!” jawab kriya sambil pura-pura istirahat.

“Tapi saya lihat sawahmu belum selesai kau cangkul?”

“Entahlah aku, merasa letih sekali hari ini”

“Ya, mukamu pucat”

Page 16: 7 CERPEN

Kriya lega mendengar kata-kata terakhir sobatnya itu. Ia buru-buru pulang dengan gembira yang

hamper meledak di dadanya. Sepanjang perjalanan ia berpikir saja tentang arcanya.

“Emas ini,”pikirnya, “kira-kira setengah kilo. Kalau kujual, ya pokoknya banyak rezeki.”

“Tapi,”harapannya ditentang kecemasan,”tidakkah dia penghuni sawahku yang subur itu? Ia yang

menunggu sawahku dan memakan hasil buminya yang melimpah ruah?”

Kriya pernah mendengar cerita tentang seorang petani yang memperoleh sebuah kendi emas di

sawahnya. Tapi malamnya rumah petani itu digedor orang hitam-hitam dan petani itu mati dengan wajah

mengerikan. Kriya pernah mendengar juga cerita tentang seorang peladang yang pada suatu malam

menemukan seekor ayam yang sedang mengeram. Ia membawa pulang lengkap dengan telurnya tapi

sampai di rumahnya ayam itu berubah menjadi tengkorak dan telur-telurnya jadi pentilan tulang-tulang.

Lalu ia sakit dan mengigau terus-terusan,sementara dukun yang menanganinya mengatakan bahwa ia

telah “salah dalam perbuatan” sehingga menjadi “salah jadinya”. Tiga hari sakit dan mati.

Kriya jadi ngeri dan bimbang. Tapi ia ingat akan anaknya yang selusin dan bininya yang setia. Telah

lama ia ingin membahagiakan anak dan bininya dengan membelikan mereka perhiasan dan binatang

ternak. Sedang ia sendiri menginginkan sebuah rumah yang kokoh sebagai ganti rumahnya yang miring.

Tapi telah demikian lama, sejak ia membangun sebuah rumah tangganya hanya kemiskinan yang

dideritanya. Sekarang, dengan arca emas itu, tidakkah ia akan menjadi orang kaya?

Tapi inilah kelemahan kriya dan kelemahan orang pada umumnya, bahwa makin berpikir, makin ragu-ragu

ia. Hatinya penuh dengan “jangan-jangan ,jangan-jangan”. Dengan demikian sejak hari itu kriya menjadi

pemalas dan pemenung. Berhari-hari ia tidak pergi ke sawahnya. Ini menjadi tanda Tanya bagi anak

bininya.

“Diam!, ini urusanku!” bentak kriya ketika istrinya menanyainya. Ia merahasiakan arca telanjang

tanpa kepala itu. Hatinya makin gundah dan rusuh saja. Sudah tentu ini menjadi teka-teki bagi kawan-

kawan petani. Rajab mengira kriya betul-betul sakit. Para tetangga pun mengira demikian. Sehingga

mulailah seorang-seorang menengoknya. Tapi yang ditengok sedang termenung di ambang pintu. Dan

benar-benar, wajahnya pucat dan badannya kurus sedang matanya merah menandai kurang

tidur.”Wah,nampaknya lelah kang?” Tanya jimakir sambil menyalaminya. Kriya menerima tangan jimakir.

Besar,dan sapar dengan lembek tanpa tenaga.

“Entahlah!”hanya itu yang terlompat dari mulutnya. Selebihnya hanya kediaman. Matanya pun

tidak memandang kepada tamu-tamunya. Maka tahulah jimakir bahwa tuan rumah tidak suka dikunjungi.

Dengan segera dia dan kedua temannya mohon diri dengan membawa teka-teki dalam hati.

Dan pada suatu malam para tetangganya terjaga ketika mendengar rebut-ribut di rumah kriya.kriya

seperti orang kalap, mengamuk dan berteriak-teriak tak karuan.

“Minggat! Setan kepala gelundungan!”

“Aku tidak menyembunyikan tubuhmu!”

Page 17: 7 CERPEN

“Edan kau makan padiku!”

Istri dan anak-anak kriya yang masih kecil-kecil berdesakan ketakutan. Mereka melongo saja

melihat kriya mengamuk, melecuti sapu yang kebetulan dipegangnya kian kemari. Orang-orang yang dating

pun sejenak tercengang. Tapi segera sadar dan buru-buru menangkap dan memegangi kriya sementara

yang lain mencari dukun.

Sejenak kemudian membersitlah bau kemenyan. Dukun bersila di depan sajian bermacan kembang

sementara sebuah tungku kecil dengan arang yang membara berkepul didekatnya. Mulutnya tak berhenti

komat kamit. Dipihak yang lain sebentar-sebentar kriya meronta. Tapi tangannya makin lemah sedang

nafasnya berdengusan. Akhirnya ia pun terkulai dan orang menidurkannya diatas balai-balai.

Kemudian dukun itu meminta orang-orang menyingkir. Sesudah itu ia memeriksa sekujur tubuh

kriya. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang mengganjal di dalam gulungan sarung kriya. Tiba-tiba ia

mengurainya dan dan didapatinya arca telanjang tanpa kepala bersinar kekuningan. Ia mengangguk-

nganggukkan kepalanya, menimang-nimang arca itu dan memasukkannya kedalam surjanya.

Kemudian dengan tenang dicekiknya leher kriya lama-lama sementara tubuh dan kakinya menindih

tubuh kriya dengan kuatnya. Untuk beberapa saat kriya meronta, tetapi kemudia diam untuk selama-

lamanya.

Kepada orang-orang yang ada dukun itu berkata: “jangan kriya ditengok sampai esok pagi. Malam

in malam kepastian. Kalau hyang mahaasih masih memperkenankan maka kriya akan segar bugar kembali

esok pagi, tapi kalau tidak, apa boleh buat, kita relakan saja.”

Lalu dukun itu pergi setelah minim-minum dan makan juadah.

Pagelaran, oktober 1993

Sunat

Tahun 1947, jatuhlah giliranku. Aku baru saja naik kelas enam; kala itu. Bapak baru setengah tahun

diangkat menjadi camat. Keadaan kami sangat melarat. Tapi entah bagaimana, aku sudah ingin sekali

sunat. Dan ketika keinginanku ini kusampaikan kepada Bapak dan Ibu, ditolak. Tapi kemudian kesempatan

bagiku mendatang jua, ketika pada suatu ketika Bapak mendapat undangan untuk menghadiri sunatan dari

seorang Iurah. Aku memohon kepada bapak, supaya bapak mengizinkan aku ikut sunat pada Iurah yang

segera akan punya hajat itu. Tapi kini masalahnya tidak sesederhana seperti yang ada di benakku. Tidaklah

pantas, jika aku hanya di-nunut-kan; apalagi pada Iurah yang menjadi bawahannya. Begitu pendapat

bapak. Tapi ibu lain lagi. Ibuku lebih lunak, mengingat kenyataan memang tidak perlu lagi terlalu

berpegang pada gengsi … Dan akhirnya, karena kelunakan ibu serta kemauanku yang begitu besar, bapak

mengalah.

Page 18: 7 CERPEN

Sumber Cerpen “Sunat” oleh Jajak M.D.