652-708-1-pb

5
Editorial Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009 Strategi Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Parasitik di Masyarakat Teguh Wahju Sardjono Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang 297 Pendahuluan Sampai saat ini penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia, terutama di negara tropis dan sedang berkembang, termasuk di Indonesia. Diperkirakan 51% kematian akibat penyakit infeksi di dunia disebabkan oleh tiga penyakit utama yang dikenal sebagai the big three, yaitu tuberkulosis, HIV/AIDS dan malaria. Ketiga penyakit tersebut menyebabkan lebih dari 500 juta morbiditas dan lebih dari 5 juta mortalitas di dunia setiap tahun. Sisanya yaitu masing-masing sebanyak 20% disebabkan oleh sekelompok penyakit yang disebut neglected tropical dis- eases (NTD) dan 29% disebabkan oleh infeksi lain. 1 Di antara penyakit infeksi tersebut, ternyata hingga saat ini penyakit parasitik terkesan kurang mendapat perhatian dari masyarakat. Hal itu mungkin karena umumnya penyakit parasitik bersifat kronis dan tidak mengancam jiwa, sehingga masyarakat umum bahkan tenaga kesehatan, termasuk dokter juga cenderung mengabaikannya. 1 Pada makalah ini akan dibahas penyakit parasitik penting, tetapi kurang mendapat perhatian yaitu malaria, toxoplasmosis dan cacing usus. Malaria Walaupun termasuk salah satu dari the big three, ma- laria relatif kurang mendapat perhatian dibandingkan HIV/ AIDS dan tuberkulosis. Di seluruh dunia, setiap tahun lebih dari 500 juta penderita malaria dan lebih dari satu juta diantaranya meninggal dunia. Sekitar 45% penduduk di In- donesia mempunyai risiko tertular malaria karena dari 576 kabupaten/kota, 424 (73,6%) di antaranya termasuk daerah endemis malaria. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga 2001, penderita malaria di Indonesia sekitar 15 juta orang dengan kematian rata-rata 38 000 orang per tahun. 2 Malaria juga termasuk salah satu dari re-emerging di- sease, karena sejak sekitar 30 tahun yang lampau malaria sudah dikatakan berhasil dikendalikan, namun sekarang angka kejadiannya meningkat kembali. Di Indonesia, setelah pelaksanaan program Komando Pemberantasan Malaria bekerjasama dengan United Nations Educational, Scien- tific and Cultural Organization pada tahun 1960-an, Jawa dan Bali sudah dinyatakan “bebas malaria” namun dalam beberapa tahun terakhir ini angka kejadian malaria meningkat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Morbiditas malaria pernah mengalami penurunan. Di Jawa-Bali annual parasite index (API) pada tahun 2000 sebesar 0.81‰ turun menjadi 0,15‰ pada tahun 2004. Di luar Jawa-Bali, API pada tahun 2000 sebesar 31.09‰ turun menjadi 20,57‰ pada tahun 2004. Meskipun demikian, daerah dengan angka kejadian malaria klinis tinggi masih dilaporkan dari kawasan timur Indonesia yaitu Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi serta di Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Riau. Setelah krisis moneter pada tahun 1997,

Upload: ladymarmalade-os

Post on 02-Dec-2015

24 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: 652-708-1-PB

Editorial

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009

Strategi Penanggulangan danPencegahan Penyakit Parasitik

di Masyarakat

Teguh Wahju Sardjono

Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang

297

Pendahuluan

Sampai saat ini penyakit infeksi masih merupakan

masalah kesehatan utama di dunia, terutama di negara tropis

dan sedang berkembang, termasuk di Indonesia. Diperkirakan

51% kematian akibat penyakit infeksi di dunia disebabkan

oleh tiga penyakit utama yang dikenal sebagai the big three,

yaitu tuberkulosis, HIV/AIDS dan malaria. Ketiga penyakit

tersebut menyebabkan lebih dari 500 juta morbiditas dan

lebih dari 5 juta mortalitas di dunia setiap tahun. Sisanya

yaitu masing-masing sebanyak 20% disebabkan oleh

sekelompok penyakit yang disebut neglected tropical dis-

eases (NTD) dan 29% disebabkan oleh infeksi lain.1

Di antara penyakit infeksi tersebut, ternyata hingga saat

ini penyakit parasitik terkesan kurang mendapat perhatian

dari masyarakat. Hal itu mungkin karena umumnya penyakit

parasitik bersifat kronis dan tidak mengancam jiwa, sehingga

masyarakat umum bahkan tenaga kesehatan, termasuk dokter

juga cenderung mengabaikannya.1

Pada makalah ini akan dibahas penyakit parasitik

penting, tetapi kurang mendapat perhatian yaitu malaria,

toxoplasmosis dan cacing usus.

Malaria

Walaupun termasuk salah satu dari the big three, ma-

laria relatif kurang mendapat perhatian dibandingkan HIV/

AIDS dan tuberkulosis. Di seluruh dunia, setiap tahun lebih

dari 500 juta penderita malaria dan lebih dari satu juta

diantaranya meninggal dunia. Sekitar 45% penduduk di In-

donesia mempunyai risiko tertular malaria karena dari 576

kabupaten/kota, 424 (73,6%) di antaranya termasuk daerah

endemis malaria. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah

Tangga 2001, penderita malaria di Indonesia sekitar 15 juta

orang dengan kematian rata-rata 38 000 orang per tahun.2

Malaria juga termasuk salah satu dari re-emerging di-

sease, karena sejak sekitar 30 tahun yang lampau malaria

sudah dikatakan berhasil dikendalikan, namun sekarang

angka kejadiannya meningkat kembali. Di Indonesia, setelah

pelaksanaan program Komando Pemberantasan Malaria

bekerjasama dengan United Nations Educational, Scien-

tific and Cultural Organization pada tahun 1960-an, Jawa

dan Bali sudah dinyatakan “bebas malaria” namun dalam

beberapa tahun terakhir ini angka kejadian malaria meningkat

hampir di seluruh wilayah Indonesia. Morbiditas malaria

pernah mengalami penurunan. Di Jawa-Bali annual parasite

index (API) pada tahun 2000 sebesar 0.81‰ turun menjadi

0,15‰ pada tahun 2004. Di luar Jawa-Bali, API pada tahun

2000 sebesar 31.09‰ turun menjadi 20,57‰ pada tahun 2004.

Meskipun demikian, daerah dengan angka kejadian malaria

klinis tinggi masih dilaporkan dari kawasan timur Indonesia

yaitu Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi

serta di Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Sumatera Selatan,

Bengkulu dan Riau. Setelah krisis moneter pada tahun 1997,

Page 2: 652-708-1-PB

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009298

angka kejadian malaria di berbagai daerah di Indonesia

meningkat. Sejak tahun 1997-2005 dilaporkan kejadian luar

biasa dengan jumlah 32 987 penderita dan 559 kematian akibat

malaria.3

Kematian akibat malaria terutama disebabkan Plasmo-

dium falciparum dengan berbagai komplikasinya seperti

malaria otak, gagal ginjal akut, edema paru dan perdarahan.

Case fatality rate (CFR) akibat malaria berat berkisar 10-

20%.

Jumlah kasus malaria impor juga makin bertambah seiring

dengan makin mudahnya sarana transportasi dan

meningkatnya migrasi penduduk. Meningkatnya resistensi

parasit terhadap obat anti malaria serta resistensi nyamuk

terhadap insektisida menambah sulitnya pemberantasan

malaria. Sayangnya, di dalam kurikulum beberapa pusat

pendidikan kedokteran saat ini, malaria justru kurang

mendapat perhatian yang serius sehingga keterampilan dan

pengalaman dokter serta petugas kesehatan dalam pena-

talaksanaan malaria juga ikut berkurang.3 Jadi, meningkatnya

kembali insidens malaria ini tidak lepas dari perilaku, peran

dan perhatian masyarakat.

Gejala spesifik malaria biasanya dimulai dengan

menggigil yang diikuti demam dan berkeringat, namun di

daerah endemik gejala yang spesifik sering tidak muncul.

Pada kasus ringan, malaria sering hanya menunjukkan gejala

seperti flu biasa, sehingga oleh pasien tidak terlalu dirasakan

mengganggu kehidupan sehari-hari. Dengan minum obat anti

flu atau obat penurun panas lain yang dijual di pasaran bebas,

pasien sudah merasa sembuh dan dapat beraktivitas kembali

seperti biasa. Pasien baru datang ke dokter bila kondisinya

sudah parah, sehingga tidak jarang berakhir dengan kematian.

Komplikasi malaria berat yang sering terjadi dan

menyebabkan kematian adalah malaria otak (cerebral ma-

laria), gagal ginjal akut, edema paru akut, anemia dan

perdarahan, yang ironisnya diagnosis justru sering

ditegakkan dengan terlambat. Anak-anak, individu yang tidak

memiliki kekebalan terhadap malaria karena berasal dari daerah

non-endemik, merupakan kelompok yang berisiko tinggi

untuk menderita malaria berat.4

Dari pengalaman klinis di Malang, tidak jarang

didapatkan kasus malaria yang tidak terduga dan justru

terdeteksi secara “tidak sengaja/kebetulan” yaitu pada

pemeriksaan darah rutin. Sering juga terjadi kesalahan atau

kelambatan diagnosis karena tidak adanya data penunjang

pemeriksaan laboratorium yang memadai. Contoh: 1) kasus

yang semula diduga sebagai infeksi bakteri, baru terdeteksi

sebagai malaria setelah pasien mendapat terapi berbagai

macam antibiotik, tetapi tidak mendapatkan hasil yang

nyata; 2) malaria dengan panas tinggi disertai diare disangka

demam tifoid; 3) pasien dengan demam dan hitung sel

trombosit yang rendah didiagnosis sebagai demam berdarah

dengue (DBD) ternyata pada pemeriksaan darah terdapat

parasit malaria, dan 4) pasien dengan demam disertai koma

dan kejang, didiagnosis sebagai radang otak (meningitis)

ternyata malaria otak. Hal yang lebih parah adalah, setelah

diketahui bahwa pasien menderita malaria, ternyata obat anti-

malaria tidak tersedia di apotik.

Masalah yang kompleks tersebut menunjukkan bahwa

perhatian dan kewaspadaan kita terhadap malaria sangat

rendah. Masyarakat tidak datang ke dokter kecuali bila sudah

dalam keadaan parah. Dokter tidak waspada terhadap

kemungkinan bahwa pasien menderita malaria, sehingga ia

tidak meminta pemeriksaan khusus malaria ke laboratorium.

Laboratorium klinik tidak memeriksa darah melalui

pemeriksaan rutin yang menggunakan mata karena mereka

mengandalkan alat canggih yang dapat memberi hasil lebih

cepat. Apotek tidak menyediakan obat malaria karena selain

jarang ada resep yang masuk juga karena harganya murah.

Tentu saja dalam upaya meningkatkan tingkat kesehatan

masyarakat, lingkaran setan tersebut harus diputus. Semua

pihak yaitu masyarakat maupun tenaga kesehatan harus

meningkatkan peran, perhatian, kepedulian dan kewas-

padaannya. Kalau tidak, maka masyarakat akan makin banyak

yang menjadi korban.

Toxoplasmosis

Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh

Toxoplasma gondii, parasit yang hanya dapat hidup di dalam

sel hospesnya. Sumber utama penyakit tersebut adalah

kucing dan binatang sejenisnya (Family Feliidae).

T. gondii mempunyai tiga stadium, yang ketiga-tiganya

mampu menginfeksi hospesnya, yaitu trofozoit atau takizoit,

kista atau bradizoit dan ookista. Stadium takizoit adalah bentuk

yang aktif dan vegetatif, yang dapat menembus semua sel

yang berinti. Stadium kista adalah stadium resisten yang

terbentuk dalam sel jaringan hospes, sedangkan ookista

adalah bentuk resisten yang ada di alam bebas.5 Pada fase

akut, seekor kucing yang terinfeksi dapat mengeluarkan

hingga 100 juta ookista per hari bersama tinjanya. Dalam 1-3

hari ookista tersebut sudah berkembang menjadi bentuk

infektif dan dapat tetap bertahan sampai beberapa tahun di

atas tanah dalam kondisi infektif. Manusia dan binatang

vertebrata selain kucing dapat terinfeksi melalui makanan yang

tercemar ookista, seperti sayuran atau buah-buahan segar

yang tidak dicuci bersih. Ookista yang tertelan oleh hewan

selain kucing di dalam tubuh akan berubah menjadi takizoit

dan menginfeksi semua sel tubuh yang berinti. Bila sistem

kekebalan tubuh hospes bekerja dengan baik maka takizoit

akan membuat pertahanan diri dengan berubah menjadi

bentuk kista di dalam jaringan. Oleh karena itu hewan selain

kucing dapat menjadi penderita sekaligus sebagai hospes

perantara. Pada manusia, infeksi juga bisa terjadi akibat

konsumsi daging hewan yang terinfeksi dan mengandung

kista, yang tidak sempurna dimasaknya. Masa tunas penyakit

ini pada orang dewasa berkisar antara 5-23 hari. Infeksinya

dapat mengenai semua organ seperti paru, otot, liver, jantung,

kelenjar getah bening dan. Pada individu dengan tingkat

kekebalan yang baik umumnya toxoplasmosis tidak

Strategi Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Parasitik

Page 3: 652-708-1-PB

Strategi Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Parasitik

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009 299

menimbulkan gejala yang nyata. Kalaupun ada, gejala

biasanya tidak khas, seperti flu (flu-like syndrome), batuk

dan pembesaran kelenjar leher. Pada individu dengan status

kekebalan yang rendah, toxoplasmosis dapat menyebabkan

kondisi sakit yang parah bahkan sampai kematian. Infeksi

akut T.gondii pada ibu hamil dapat menyebabkan tokso-

plasmosis kongenital. Di Amerika Serikat setiap tahun

diperkirakan terdapat 400-4000 kasus toksoplasmosis

kongenital, dengan spektrum gejala berupa kemunduran

mental, kejang, kebutaan dan kematian. Gejala klinis berupa

trias klasik, yaitu hidrosefalus, pengapuran pada otak dan

khorioretinitis terjadi pada lebih kurang 10% dari kasus

infeksi kongenital.

Dampak toksoplasmosis tidak hanya akan dirasakan

dalam bidang kesehatan, tetapi juga di bidang sosio ekonomi.

Infeksi T.gondii pada hewan ternak dapat menurunkan

produktivitas yang sangat berarti dan kerugian materi yang

besar. Risiko abortus pada biri-biri bunting yang terinfeksi

T.gondii dapat mencapai 5-50%. Infeksi yang terjadi pada

kebuntingan 2 bulan pertama dapat berakibat terabsorbsinya

janin, sedang infeksi pada pertengahan dan akhir kebun-

tingan dapat menyebabkan abortus, lahir mati atau anak yang

lahir dalam kondisi lumpuh.6

Karena gejala klinis toksoplasmosis umumnya tidak

jelas dan tidak spesifik, maka prevalensi toksoplasmosis

biasanya didasarkan atas hasil pemeriksaan serologik dengan

hasil yang sangat bervariasi, rata-rata 50%. Survei seroepi-

demiologi di Asia Tenggara menunjukkan angka 26,7% di

kepulauan Taiwan, 14,7% di Thailand, 11,3% di Filipina, dan

42.9% di Indonesia. Tampaknya ada pengaruh etnis yang

membedakan prevalensi toksoplasmosis pada penduduk

Indonesia yang lebih tinggi dibanding penduduk kepulauan

Taiwan, Thailand dan Filipina.7 Seroprevalensi toxoplasmo-

sis pada 1693 penduduk di Jakarta yang berumur 20-85 tahun

adalah 70%, tanpa perbedaan laki-laki (71%) dan perempuan

(69%). Di Iran, seroprevalensi IgG pada penderita kanker

adalah 45,2% sedangkan pada kelompok kontrol (orang

sehat) adalah 36,5%.8 Laporan survei di kalangan ibu hamil

di berbagai tempat menunjukkan angka seroprevalensi yang

bervariasi, yaitu 45% pada ibu hamil, 44,6% dan 36.8% pada

ibu hamil dengan dan tanpa riwayat kegagalan kehamilan di

India; 41.3% di Polandia, 18,2% - 40,6% di Taiwan dan 16% -

51% di Perancis.

Dari penelitian yang dilakukan di enam rumah sakit di

Malang diperoleh data bahwa selama dua tahun (1996-1998),

kelahiran bayi dengan cacat bawaan adalah 79 kasus dari 14

610 kelahiran (0.54 %). Kasus kelahiran dengan cacat bawaan

yang terbanyak terjadi di RS Dr. Saiful Anwar, yaitu 51 kasus

dari 6468 (0.79%) kelahiran. Dalam penelitian tersebut, hanya

54 (68,35%) dari 79 kasus yang bersedia diambil sebagai

subyek penelitian, 32 kasus (59,26%) mengalami cacat ba-

waan di daerah kepala dan wajah, antara lain congenital

hydrocephalus (15 kasus/27,78%), anencephaly (7 kasus/

12.96%), sumbing bibir, sumbing bibir dan langit-langit, kelai-

nan daerah wajah dan mata, masing-masing 3 kasus (5,56%),

cacat yang mengenai berbagai sistem organ 5 kasus (9,26%),

mikrosefalus dan ensefalokel masing-masing 1 kasus

(1.85%). Dari 54 ibu yang melahirkan bayi cacat tersebut ter-

nyata 57.7% menunjukkan IgG Toxoplasma positif..09,10 Dari

penelitian lebih lanjut didapatkan seroprevalensi tokso-

plasma pada ibu yang mengalami abortus spontan adalah

53,48%. Prevalensi tersebut ternyata tidak bermakna bila di-

bandingkan dengan prevalensi pada ibu yang melahirkan

bayi normal.11,12 Kenyataan itu menunjukkan kejadian tokso-

plasmosis pada manusia di Malang cukup tinggi dan lebih

kurang sama dengan di tempat lain, yaitu lebih dari 50%.

Penelitian pada hewan menunjukkan insiden tokso-

plasmosis pada kambing di Malaysia sebesar 35% dengan

insidens tertinggi (50%) di peternakan kecil di Selangor dan

yang terendah (20%) di peternakan daerah Melaka dan Negeri

Sembilan.13 Di Iran dilaporkan bahwa dengan menggunakan

indirect immnunoflluoresence antibody test (IFAT), antibodi

T,gondii ditemukan pada 30% dari 400 domba, 35% dari 588

kambing, dan 0% dari 290 sapi.14 Seroprevalensi T. gondii

pada ayam yang dipelihara bebas dapat menjadi indikator

yang bagus untuk menilai kondisi sanitasi lingkungan

terhadap pencemaran T.gondii, karena ayam mengambil

makanan langsung dari tanah. Di Jakarta, Priyana15 berhasil

mengisolasi T.gondii galur lokal dari sampel darah dan jantung

ayam buras (Gallus gallus domesticus) yang terinfeksi untuk

diteliti tingkat virulensi dan pemanfaatan serodiagnosis

toksoplasmosis. Dubey et al.16 melaporkan dengan

menggunakan modified aggliutination test (MAT) diketahui

antibodi T.gondii positif pada 41 (64%) dari 64 ayam asal

Ghana, 24 (24.4%) dari 98 ayam asal Indonesia, 10 (12,5%)

dari 80 ayam asal Italia, 6 (30%) dari 20 ayam asal Polandia

dan 81(24,2%) dari 330 ayam asal Vietnam. Dengan teknik

bioassay T.gondii hidup dapat diisolasi dari jantung dan otak

ayam, yaitu 2 kasus dari Ghana, 3 kasus dari Itali, 1 kasus dari

Indonesia, 2 kasus dari Polandia, dan 1 kasus dari Vietnam.

Penelitian di Surabaya menunjukkan bahwa 30% dari 50 ayam

yang diteliti, yaitu 24% dari 25 ekor ayam petelur dan 36%

dari 25 ekor ayam kampung mengandung T.gondii. Parasit

tersebut berhasil diisolasi dari otak dan daging ayam yang

dijual di pasar Surabaya.17

Berdasarkan data di atas masyarakat patut waspada

terhadap penularan toksoplasmosis pada manusia melalui

makanan sehari-hari. Karena seroprevalensi pada ayam dan

kambing cukup tinggi, maka pencegahan dapat dilakukan

dengan menghindari konsumsi daging yang tidak dimasak

dengan baik. Sebaiknya jangan makan sate ayam atau

kambing setengah matang dan bila makan lalapan sayur atau

buah segar, cucilah bersih-bersih sebelum dimakan. Bila mau

berkebun, terutama ibu hamil hendaknya menggunakan

sarung tangan dan bila mungkin hindari kontak dengan anak

kucing dan tanah yang mungkin tercemar kotoran kucing.18

Page 4: 652-708-1-PB

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009

Strategi Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Parasitik

AB

A B

300

Penyakit Cacing Usus

Penyakit cacing usus (cacingan) adalah contoh lain dari

penyakit parasitik yang ditularkan melalui makanan. Cacingan

terutama yang disebabkan oleh nematoda juga termasuk

salah satu dari kelompok penyakit tropik yang terabaikan

(NTD). Penyakit tersebut tersebar luas di seluruh dunia.

Diperkirakan lebih dari satu miliar penduduk dunia terinfeksi

Ascaris lumbricoides dan sekitar 500 juta terinfeksi Trichu-

ris trichiura. Bersama cacing lain (cacing tambang) mereka

digolongkan dalam kelompok soil transmitted helminths/

STH (cacing yang ditularkan melalui tanah). Sumber penyakit

itu yang sekaligus sebagai penderita adalah manusia juga,

terutama anak-anak usia sekolah dasar dan yang tinggal di

pedesaan. Kebiasaan anak defekasi secara bebas di atas

tanah (tidak di WC), menjamin berlangsungnya siklus hidup

cacing ini dengan sempurna. Cacing dewasa yang tinggal di

dalam usus setelah kawin akan memproduksi telur yang

dikeluarkan bersama tinja. Infeksi pada manusia terjadi melalui

makanan, sayuran atau tangan yang tercemar telur cacing

tersebut. Cacing tambang memerlukan tanah untuk proses

menetasnya telur menjadi larva yang siap menginfeksi dengan

menembus kulit, misalnya kaki yang tidak memakai sandal/

sepatu.

Di Indonesia angka infeksi STH masih cukup tinggi,

tetapi intensitas infeksi bervariasi antar daerah. Hasil survei

cacingan pada murid sekolah dasar pada tahun 1986-1991

menunjukkan prevalensi sekitar 60-80%, sedangkan untuk

semua umur berkisar 40-60%. Hasil Survei Subdit Diare tahun

2002 dan 2003 di 40 sekolah dasar di 10 provinsi menunjukkan

prevalensi 2,2-96,3%. Keberadaan cacing di dalam usus

manusia dapat mempengaruhi proses pemasukan (intake),

pencernaan (digestive), penyerapan (absorbtion), dan

metabolisme makanan. Pada kasus ringan cacingan memang

tidak menimbulkan gejala nyata, tetapi pada kasus infeksi

berat dapat berakibat fatal. Ascaris dapat bermigrasi ke or-

gan lain, menyebabkan peritonitis akibat perforasi usus dan

ileus obstruksi akibat bolus yang dapat berakhir dengan

kematian. Trichuris dapat menyebabkan prolapsus rekti.

Cacing tambang dapat menyebabkan anemia yang berat,

namun penderita tidak merasakan gejala yang berarti karena

proses yang berjalan kronis.19

Infeksi cacing usus yang berakibat menurunnya status

gizi penderita juga akan menurunkan daya tahan tubuh

penderita sehingga memudahkan infeksi penyakit lain,

termasuk HIV/AIDS, tuberkulosis dan malaria. Secara

kumulatif, cacingan dapat menimbulkan kerugian zat gizi

berupa kalori dan protein serta kehilangan darah yang sangat

berarti. Di Indonesia, kerugian akibat kehilangan kalori/pro-

tein dan darah tersebut bila dihitung dengan jumlah penduduk

220.000.000 dapat diperkirakan sebagai berikut:20

Kerugian Karena Infeksi Cacing Gelang

Pada tahun 2006, bila di Indonesia berpenduduk 220

000 000, didapatkan prevalensi cacingan 60% dengan jumlah

rata-rata kandungan per orang 6 ekor cacing maka kehilangan

karbohidrat karena cacing gelang diperkirakan  sebanyak:

(220 000 000 x 60% x 6 x 0,14 gram) : 1000 = 110 880 kg tepung

per hari

Karena 0,8 gram tepung (karbohidrat)  setara dengan 1

gram beras, maka per hari kerugian  tersebut setara dengan

138.660 kg beras. Bila dihitung dalam rupiah dengan harga

beras Rp 3 000/kg, maka kerugian uang yang diperkirakan

adalah  138 660 kg beras x 365 hari x Rp 3 000,- = Rp. 151 767

000 000,-  per tahun.

Bila harga beras sekarang (2008) dihitung Rp. 5000,- per

kg, maka angka tersebut menjadi Rp 252 945 000 000,-

Jika seekor cacing menghabiskan 0,035 gram protein

sehari, maka perkiraan protein yang hilang untuk seluruh

penduduk adalah: 

(220 000 000 x 60% x 6 x 0,035 gram) : 1000 =  27 720 kg protein

per hari.

 Bila diperhitungkan bahwa 1 gram daging sapi mengan-

dung 0,19 gram protein, maka kerugian daging sapi adalah

145 895 kg per hari. Bila dihitung dengan rupiah, dengan

perkiraan harga daging sapi Rp 30 000/ kg, maka kerugian

uang yang diperkirakan

145 895 kg x 365 hari x Rp 30 000 = Rp 1 597 550 250 000,-

per tahun. 

Jumlah anak usia sekolah dasar diperkirakan sebanyak

21% dari jumlah penduduk, dengan demikian kerugian yang

diakibatkan oleh cacingan pada anak tersebut adalah: 

1. Karbohidrat = 21% x Rp. 151 767 000 000 = Rp 31 871 070

000

2. Protein = 21% x Rp 1 597 550 250000 = Rp 335 485 552 500

Jadi, total kerugian akibat infeksi cacing gelang adalah:

Rp 367 356 622 500 setiap tahun.

Kerugian Karena Infeksi Cacing Tambang

Cacing tambang tinggal di dalam usus halus manusia

dan makan atau mengisap darah penderita setiap hari. Bila

seorang penderita mengandung 50 ekor cacing di dalam

ususnya, maka perkiraan jumlah kehilangan darah pada

penduduk Indonesia perhari  adalah: 

220 000 000 x 10% x 0,2cc x 50 ekor = 220 000 000 cc darah =

220 000 liter darah /hari

Untuk satu tahun penderita cacingan akan kehilangan

darah sebanyak

220 000 liter x 365 hari = 80 300 000 liter darah per tahun 

Bila jumlah anak usia sekolah dasar diperkirakan

sebanyak 21% dari jumlah penduduk, maka kerugian yang

akibat: 

21% x 80 300 000 liter  = 16 863 000 liter darah per tahun  

Kerugian Karena Cacing Cambuk

Bila seorang penderita mengadung 100 cacing di dalam

ususnya, maka perkiraan jumlah kehilangan darah akibat

cacing cambuk sehari adalah:  

Page 5: 652-708-1-PB

Strategi Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Parasitik

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009

220 000 000 x 40% x 0,005 cc x100 = 44 000 000 cc darah = 

44 000 liter darah per hari

Kehilangan darah selama setahun: 

44 000 liter x 365 hari = 16 060 000 liter darah per tahun 

Jumlah anak usia sekolah dasar diperkirakan 21% dari

jumlah penduduk, dengan demikian kerugian akibat cacingan

pada anak usia tersebut: 21% x 16 060 000 liter = 3 372 600

liter darah per tahun 

Dari angka di atas, bila diperhitungkan secara kese-

luruhan, maka total kerugian atau kehilangan dana akibat

cacingan lebih kurang Rp. 500.000.000.000,- dan lebih dari

20 juta liter darah setiap tahun.

Jumlah tersebut sangat besar, apalagi kalau dikaitkan

dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat Indonesia yang

lebih dari 30 juta jiwa berada di bawah garis kemiskinan.

Oleh karena itu peran masyarakat dalam menunjang keber-

hasilan penanggulangan dan pencegahan cacingan sangat

penting. Mendidik anak berdefekasi di WC dan mencuci

tangan sebelum makan akan sangat mengurangi angka

kejadian cacingan, sehingga negara dapat menghemat dana,

dan mungkin dapat dialokasikan untuk meningkatkan derajat

pendidikan dan kemakmuran masyarakat miskin.

Penutup

Di masa mendatang diharapkan masyarakat lebih sadar

dan mau berbenah diri lalu bangun dari kondisi terlena,

lengah dan kurang perhatian bahkan meremehkan penyakit

parasitik yang sebenarnya mengancam kehidupan kita.

Tindakan nyata yang dapat dilakukan oleh masyarakat,

pemerintah maupun tenaga kesehatan dalam penanggulangan

dan pencegahan berbagai penyakit parasitik, adalah

memutus lingkaran hidup parasit. Hal itu dapat dilakukan

mulai dari tingkat individu berupa pengobatan penderita

sampai dengan tingkat masyarakat, yaitu meningkatkan

kesadaran untuk berbudaya hidup bersih dan sehat. Untuk

mencapai hal itu, maka peran “masyarakat peduli kesehatan”

misalnya kader posyandu, usaha kesehatan sekolah dan

lembaga swadaya masyarakat menjadi penting dan sangat

diharapkan. Bila kesadaran dan kewaspadaan masyarakat

sudah tinggi, maka keterlambatan diagnosis dan terapi

terhadap penyakit parasitik seperti yang telah diuraikan di

atas tidak akan terjadi lagi.

Daftar Pustaka

1. Sardjono TW. Neglected tropical diseases (NTDs), Why do we

neglect them? Joint National Congress of PETRI, PERPARI &

PKWI, Bandung, 30 August – 2 September 2007.

2. Supari SF. Laporan Menkes kepada Presiden dalam rangka

Peringatan Hari Malaria Sedunia ke -1, 8 Mei 2008. Pusat

Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan

Republik Indonesia. Diunduh dari [email protected].

Diakses 28 Agustus 2008.

3. Samsuridjal. Konsensus penanganan malaria. Perhimpunan

Dokter Spesialis Penyakit Dalam (PAPDI). KOPAPDI Manado,

Agustus 2003.

4. Sardjono TW, Fitri LE. Malaria, mekanisme terjadinya penyakit

dan pedoman penanganannya. Buku Ajar Mahasiswa. Malang:

Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 2005.

5. Kasper LH, Boothroyd JC. Toxoplasma gondii and toxoplasmo-

sis. In: Warren KS. Immunology and molecular biology of para-

sitic infections. Philadelphia: Blackwell Scientific Publications;

1993:269-301.

6. Spronk GD. Practitioner’s approach to ovine abortion. Catalog

pipestone veterinary supply. Archive of sheep articles. http://

www.pipevet.com/articles.htm, 2000. Diakses 13 September 2008

7. Fan CK, Su KE, Wu GH, Chiou HY. Seroepidemiology of Toxo-

plasma gondii Infection among two mountain aboriginal popu-

lation and south east asian laborers in Taiwan. J Parasitol

2002;88(22):411-4.

8. Ghasemian M, Maraghi Sh, Saki J, Pedram M. Determination of

antibodies (IgG, IgM) against Toxoplasma gondii in patients with

cancer. Iranian J Parasitol. 2007:2(4):1-6.

9. Sardjono TW, Hidayat A, Aulanniam, Irfan M. Zat anti Toxo-

plasma pada ibu yang melahirkan bayi cacat di beberapa rumah

sakit di Kodya Malang selama tahun 1997. Maj Kedokt Ind.

1998:48(11):431-5.

10. Sardjono TW, Aulanniam, Hidayat A, Irfan M. Keberadaan Toxo-

plasma gondii di jaringan plasenta dideteksi dengan teknik PCR

dan hubungannnya dengan cacat bawaan. Maj Kedokt Trop Indon.

2000;11(1):6-16.

11. Sardjono TW, Nurseta T,Wahyudi I. Hubungan antara kadar

antibodi Toxoplasma pada ibu-ibu hamil dengan kejadian abortus

spontan di RSUD dr Saiful Anwar Malang. Semiloka Nasional

Parasitologi, Batu, 9-11 Februari 2001.

12. Sardjono TW, Soewarto S, Mudjiwiyono, Muhammad L. The

evidence of toxoplasmosis in spontaneous abortion cases in Dr.

Saiful Anwar Hospital detected by serological, histopathological

and PCR analyses. Maj Kedokt Unibraw. 2002:18(2):77-82.

13. Dorry P, Casman C, Sani R, Vercruysee J. Toxoplasmosis in goats:

a sero-epidemiological study in peninsular Malaysia. Ann trop

med and parasitology. 1993;87(4):407-10.

14. Sharif M, Gholami Sh, Ziaei H, Daryani A, Laktarashi B, Ziapour

SP,et al. Seroprevalence of Toxoplasma gondii in cattle, sheep

and goats slaughtered for food in Mazandaran province, Iran,

during 2005. Vete J. 2007;174(2):422-4.

15. Priyana A. Antigenisitas Toxoplasma gondii galur lokal dan RH

serta aspek pemanfaatannya dalam sero-diagnostik

toksoplasmosis. Diunduh dari Research Report from JKPKBPPK

http://digilib.litbang.depkes.go.id./go.php, 2005. Diakses 14 Sep-

tember 2008

16. Dubey JP, Huong LT, Lawson BWL, Subekti DT, Tassi P, Cabaj

W, et al. T. gondii in free-range chickens: seroprevalence and

isolation of Toxoplasma gondii from free-range chickens from

Ghana, Indonesia, Italy, Poland and Vietnam. J of Parasitology

2008;94:68-71.

17. Suwanti LT, Suprihati E, Mufasirin. Prevalensi toksoplasmosis

pada ayam di beberapa pasar di Surabaya. Media Kedokteran Hewan.

2006;22(1).

18. Tamma P, Sherwin JR. Toxoplasmosis. Ped Rev. 2007;28:470-1.

19. Depkes RI. Gebrak malaria. Pedoman pelaksanaan kasus malaria

di Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan. Jakarta: 2006.

20 Depkes RI. Pedoman pengendalian cacingan. Lampiran Keputusan

Menteri Kesehatan. No: 424/MENKES/SK/VI/2006. 19 Juni 2006.

Diunduh dari http://www.depkes.go.id. Diakses tanggal 28 Agustus

2008.

SS

301