61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah

15
 1 PENULISAN ARTIKEL UNTUK JURNAL ILMIAH Joko Nurkamto Bagian I Berbagi Pengalaman A. Pendahuluan Salah satu hal yang didambakan oleh guru dan dosen adalah dapat naik pangkat dan  jabatan fungsional dengan lancar karena kenaikan pangkat dan jab atan ters ebut membawa konsekuensi kenaikan gaji dan/atau kesempatan menduduki jabatan struktural tertentu dan/atau melakukan “pekerjaan” tertentu. Salah satu aktivitas yang dapat mempercepat kenaikan pangkat dan jabatan fungsional itu adalah menulis artikel untuk dimuat dalam  jurnal ilmiah. Untuk dosen, misalnya, angka kredit ( credit point ) yang dihasilkan dari  penulisan artikel tersebut adalah 40 untuk jurnal ilmiah internasional, 25 untuk jurnal ilmiah nasional terakreditasi, dan 10 untuk jurnal nasional tak terakreditasi. Hasil  penelitian yang tidak dipublikasikan hanya memiliki nilai 2 atau 3. Namun demikian, tidak  banyak guru dan dosen yang, karena alasan tertentu, “mau” memanfaatkan kesempatan tersebut. Meskipun ada standard minimal bagi semua jurnal ilmiah, setiap jurnal dikelola menurut gaya selingkung tertentu; akibatnya, tidak ada keseragaman di antara jurnal-jurnal ilmiah tersebut. Hal itu, pada gilirannya, “mempersulit” calon penulis untuk menulis artikelnya di jurnal tersebut. Melalui makalah singkat ini saya ingin berbagi pengalaman tentang bagaimana menulis artikel untuk jurnal ilmiah. Pengalaman yang ingin saya sampaikan meliputi (1) alasan menulis artikel, (2) jenis artikel, (3) prosedur pengiriman artikel, (4) kriteria penerimaan, dan (5) penutup. Selanjutnya, akan saya beri contoh artikel yang telah dimuat di jurnal ilmiah. Dari contoh tersebut, dapat kita kaji aspek-aspek  penting yang terkait dengan teknik penulisan. B. Alasan Menulis Artikel Ada beberapa alasan mengapa saya menulis artikel di jurnal ilmiah.  Pertama, seperti telah diutarakan di atas, penulisan artikel di jurnal ilmiah memiliki bobot kredit yang tinggi.  Kedua, saya ingin hasil pikiran saya dapat diketahui dan dipahami oleh kalangan yang lebih luas. Di samping dimaksudkan untuk berbagi pengetahuan dan  pengalaman, hal ini juga dimaksudkan agar saya memperoleh masukan/balikan dari mereka. Apabila dianggap layak, tulisan saya tersebut juga dapat dijadikan rujukan atau data sekunder dalam penelitian lain.  Ketiga, beberapa tulisan saya dalam jurnal ilmiah dapat menjadi suplemen referensi dalam perkuliahan, baik mahasiswa saya sendiri di UNS maupun mahasiswa dari perguruan tinggi lain.  Keempat , penulisan artikel di jurnal ilmiah  juga dimaksudkan untuk membangun individual (dan syukur-syukur institutional) expertise. Ketika orang tidak pernah “publish” orang lain tidak akan pernah mengenalnya; sebaliknya dengan mempublikasikan diri melalui tulisan, orang lain akan mengenal kemampuannya. Hal ini pada gilirannya mempermudah terbentuknya jaringan kerja (network) akademisi dan/atau ilmuwan demi kemajuan ilmu dan teknologi.  Kelima, dengan menulis artikel saya “terpaksa” harus membaca banyak referensi, dan hal ini membuat  pengetahuan saya bertambah secara signifikan. Di samping itu, dengan menulis artikel saya juga “terpaksa” harus rajin meng-update referensi yang asaya miliki karena saya akan merasa malu kalau referensi yang saya gunakan tergolong usang. Keenam, efek samping

Upload: aristidis-ingutali

Post on 16-Jul-2015

81 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5/14/2018 61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah 1/15

 

1

PENULISAN ARTIKEL UNTUK JURNAL ILMIAH

Joko Nurkamto

Bagian I

Berbagi Pengalaman

A. Pendahuluan

Salah satu hal yang didambakan oleh guru dan dosen adalah dapat naik pangkat dan

 jabatan fungsional dengan lancar karena kenaikan pangkat dan jabatan tersebut membawa

konsekuensi kenaikan gaji dan/atau kesempatan menduduki jabatan struktural tertentu

dan/atau melakukan “pekerjaan” tertentu. Salah satu aktivitas yang dapat mempercepat

kenaikan pangkat dan jabatan fungsional itu adalah menulis artikel untuk dimuat dalam

  jurnal ilmiah. Untuk dosen, misalnya, angka kredit (credit point ) yang dihasilkan dari

penulisan artikel tersebut adalah 40 untuk jurnal ilmiah internasional, 25 untuk jurnal

ilmiah nasional terakreditasi, dan 10 untuk jurnal nasional tak terakreditasi. Hasil

penelitian yang tidak dipublikasikan hanya memiliki nilai 2 atau 3. Namun demikian, tidak   banyak guru dan dosen yang, karena alasan tertentu, “mau” memanfaatkan kesempatan

tersebut.

Meskipun ada standard minimal bagi semua jurnal ilmiah, setiap jurnal dikelola

menurut gaya selingkung tertentu; akibatnya, tidak ada keseragaman di antara jurnal-jurnal

ilmiah tersebut. Hal itu, pada gilirannya, “mempersulit” calon penulis untuk menulis

artikelnya di jurnal tersebut. Melalui makalah singkat ini saya ingin berbagi pengalaman

tentang bagaimana menulis artikel untuk jurnal ilmiah. Pengalaman yang ingin saya

sampaikan meliputi (1) alasan menulis artikel, (2) jenis artikel, (3) prosedur pengiriman

artikel, (4) kriteria penerimaan, dan (5) penutup. Selanjutnya, akan saya beri contoh artikel

yang telah dimuat di jurnal ilmiah. Dari contoh tersebut, dapat kita kaji aspek-aspek penting yang terkait dengan teknik penulisan.

B. Alasan Menulis Artikel

Ada beberapa alasan mengapa saya menulis artikel di jurnal ilmiah. Pertama,

seperti telah diutarakan di atas, penulisan artikel di jurnal ilmiah memiliki bobot kredit

yang tinggi. Kedua, saya ingin hasil pikiran saya dapat diketahui dan dipahami oleh

kalangan yang lebih luas. Di samping dimaksudkan untuk berbagi pengetahuan dan

pengalaman, hal ini juga dimaksudkan agar saya memperoleh masukan/balikan dari

mereka. Apabila dianggap layak, tulisan saya tersebut juga dapat dijadikan rujukan atau

data sekunder dalam penelitian lain. Ketiga, beberapa tulisan saya dalam jurnal ilmiahdapat menjadi suplemen referensi dalam perkuliahan, baik mahasiswa saya sendiri di UNS

maupun mahasiswa dari perguruan tinggi lain. Keempat , penulisan artikel di jurnal ilmiah

  juga dimaksudkan untuk membangun individual (dan syukur-syukur institutional)

expertise. Ketika orang tidak pernah “publish” orang lain tidak akan pernah mengenalnya;

sebaliknya dengan mempublikasikan diri melalui tulisan, orang lain akan mengenal

kemampuannya. Hal ini pada gilirannya mempermudah terbentuknya jaringan kerja

(network) akademisi dan/atau ilmuwan demi kemajuan ilmu dan teknologi. Kelima, dengan

menulis artikel saya “terpaksa” harus membaca banyak referensi, dan hal ini membuat

pengetahuan saya bertambah secara signifikan. Di samping itu, dengan menulis artikel

saya juga “terpaksa” harus rajin meng-update referensi yang asaya miliki karena saya akan

merasa malu kalau referensi yang saya gunakan tergolong usang. Keenam, efek samping

5/14/2018 61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah 2/15

 

dari mempublikasikan diri melalui tulisan di jurnal ilmiah adalah datangnya “rejeki” yang

antara lain berupa kesempatan untuk berbicara di forum-forum ilmiah.

C. Jenis Artikel

Secara garis besar ada dua jenis artikel yang dapat dimuat di jurnal ilmiah, yaituartikel hasil penelitian dan artikel hasil pemikiran. Artikel hasil penelitian adalah artikel

yang didasarkan pada hasil penelitian lapangan yang dilakukan sendiri oleh penulis artikel.

Meskipun singkat, artikel ini harus mencerminkan hasil penelitian secara lengkap; oleh

karena itu, artikel jenis ini lazimnya memuat (1) judul artikel, yang tidak harus sama

dengan judul penelitiannya, (2) nama dan afiliasi penulis, (3) abstrak  –  dalam bahasa

Indonesia apabila artikelnya berbahasa Inggris, dan dalam bahasa Inggris apabila

artikelnya berbahasa Indonesia  –  yang disertai kata-kata kunci, (4) pendahuluan, yang

berisi latar belakang masalah, kajian teoretis, masalah dan/atau tujuan penelitian, (5)

metode penelitian, (6) hasil penelitian, (7) pembahasan, (8) simpulan dan saran, serta (9)

daftar pustaka.

Artikel hasil pemikiran adalah artikel yang didasarkan pada pemikiran penulis atassuatu masalah tertentu. Artikel jenis ini lazimnya merupakan hasil penelitian kepustakaan

(library research). Kadang-kadang artikel jenis ini juga merupakan hasil meta analisis.

Artikel hasil pemikiran memuat (1) judul artikel, (2) nama dan afiliasi penulis, (3) abstrak 

 – dalam bahasa Indonesia apabila artikelnya berbahasa Inggris, dan dalam bahasa Inggris

apabila artikelnya berbahasa Indonesia  –  yang disertai kata-kata kunci, (4) pendahuluan,

(5) konsep dan elaborasinya, (6) penutup/simpulan dan saran, serta (7) daftar pustaka.

Selain dua jenis artikel di atas, ada jurnal ilmiah terakreditasi yang menyediakan

space untuk resensi buku (book review), biasanya pada bagian akhir jurnal. Resensi buku

adalah kajian atau ulasan terhadap sebuah buku tertentu untuk diketahui isinya secara garis

besar, yang kemudian disusul dengan analisis kritis terhadapnya. Kelebihan dan

kekurangan buku tersebut dikemukakan secara objektif dan proporsional berdasarkan

perspektif penganalisis. Tujuan analisis kritis adalah untuk memberikan rekomendasi atau

setidak-tidaknya gambaran umum tentang apakah pembaca menganggap penting membaca

atau membeli buku itu. Sistematika artikel jenis ini adalah sebagai berikut: (1) judul artikel

 – RESENSI BUKU, (2) judul buku yang diresensi, yang diikuti oleh pengarang buku dan

data publikasi serta jumlah halaman, (3) isi ringkas buku, (4) analisis kritis, (5)

rekomendasi penganalisis, dan (6) daftar pustaka. Butir (3) hingga (5) ditulis mengalir

dalam bentuk esei tanpa subjudul.

D. Pengiriman Artikel ke Jurnal Ilmiah

Dari pengalaman saya selama ini, pengiriman atau penerbitan artikel di jurnalilmiah dapat diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, artikel ditulis dan dikirim ke redaktur

 jurnal atas prakarsa penulis artikel. Di sini tampak bahwa penulis artikel berkepentingan

agar artikelnya dimuat dalam jurnal. Dalam hal ini, penulis artikel seringkali harus “antri”

(kadangkala sampai satu tahun lebih) menunggu giliran artikelnya dimuat. Apabila tidak 

beruntung penulis artikel harus kecewa karena naskahnya tidak diterima (tidak diterbitkan)

karena mungkin tidak memenuhi kriteria. Jurnal yang memiliki antrian ini biasanya jurnal

yang sudah punya nama.

Kedua, artikel ditulis dan dikirim atas permintaan redaktur jurnal. Di sini redaktur

  jurnallah yang berkepentingan. Paling tidak ada tiga alasan mengapa hal ini terjadi.

Pertama, redaktur kekurangan naskah untuk jurnalnya sehingga untuk “kejar terbit”

redaktur meminta penulis untuk mengirimkan naskahnya. Kedua, redaktur ingin agar

naskah yang terbit bervariasi, baik ragam, topik, maupun penulisnya. Ketiga, untuk 

5/14/2018 61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah 3/15

 

memberi bobot pada jurnalnya, redaktur mengundang “tokoh” tertentu yang dianggap

credible untuk mengisi jurnalnya.

Ketiga, artikel ditulis untuk keperluan konferensi atau seminar, dan pemuatannya di

dalam jurnal menjadi hak prerogatif redaktur. Jurnal semacam ini biasanya dikelola oleh

komunitas keilmuan yang memiliki banyak kegiatan, seperti penyelenggaraan konferensi

atau seminar secara periodik dan publikasi ilmiah. Salah satu contoh di Indonesia adalahMasyarakat Linguistik Indonesia (MLI), yang setiap tiga tahun sekali menyelenggarakan

Konferensi Linguistik Nasional (KLN) yang diikuti tidak kurang dari 300 peserta dengan

penyaji makalah berjumlah sekitar 90-an orang, baik dari dalam maupun luar negeri. MLI

memiliki publikasi yang bernama “Linguistik Indonesia: Jurnal Ilmiah Masyarakat

Linguistik Indonesia”. Artikel-artikel yang dimuat dalam jurnal ini, yang biasanya 10 buah

sekali terbit, dipilih dan diseleksi dari makalah-makalah yang dipresentasikan dalam KLN,

dan penyeleksian tersebut sepenuhnya menjadi hak dari pengurus MLI dan redaktur jurnal.

E. Kriteria Penerimaan

Penerimaan naskah untuk diterbitkan dalam jurnal menjadi wewenang dewanredaksi setelah mempertimbangkan kelayakan naskah tersebut. Kelayakan itu didasarkan

pada kriteria tertentu yang ditetapkan, yang antara lain menyangkut kedalaman dan

keluasan isi, relevansi artikel dengan jurnal, variasi artikel, kelengkapan naskah, format

naskah, dan bahasa. Berikut ini adalah penjelasan singkat masing-masing kriteria tersebut.

Menurut pengalaman saya, yang selama ini juga menjadi anggota redaktur

beberapa jurnal ilmiah di beberpa perguruan tinggi, tidak semua naskah yang masuk pada

redaktur memiliki kedalaman dan keluasan isi. Kedalaman isi tercermin dari adanya

analisis kritis penulis yang didukung oleh data yang lengkap dan referensi yang cukup dan

mutakhir. Keluasan isi tercermin dari adanya pembandingan antara masalah yang sedang

dikaji dengan masalah-masalah lain yang relevan sehingga penulis mampu melakukan

pemetaan terhadap masalah secara komprehensif.

Relevansi berkenaan dengan kesesuaian isi naskah yang diusulkan dengan jenis

  jurnal yang dituju. Sebagai ilustrasi, jurnal “PAEDAGOGIA: Jurnal Penelitian

Pendidikan” yang dikelola oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS

mengkonsentrasikan diri pada penelitian pendidikan; dan oleh karena itu, apabila ada

naskah yang tidak memiliki atau tidak menyinggung aspek penelitian pendidikan, maka

naskah tersebut akan dikembalikan untuk direvisi.

Variasi yang dimaksud di sini adalah variasi jenis naskah yang diusulkan. Ketika

dalam satu penerbitan terdapat beberapa artikel yang sama atau serupa (seperti artikel

tentang Penerapan Metode Kooperatif dalam Pembelajaran), redaktur menganggapnya

kurang baik. Dalam hal ini, redaktur akan cenderung memilih artikel-artikel dengan jenis  penelitian yang berbeda. Selaku penulis artikel, saya pernah menjadi “korban” kebijakan

ini.

Kelengkapan naskah mengacu pada apakah naskah yang diusulkan memiliki unsur-

unsur yang lengkap sebagaimana yang diminta. Sebagai ilustrasi, ada naskah yang tidak 

dilengkapi dengan abstrak; ada naskah yang tidak mencantumkan referensi dalam tubuh

naskah; ada naskah yang referensinya dalam tubuh naskah tidak sama dengan yang ada

dalam daftar pustaka; dan ada pula naskah yang daftar pustakanaya tidak lengkap. Naskah

saya pernah dikembalikan karena dalam referensi pada tubuh naskah tidak saya lengkapi

dengan nomor halaman tempat kutipan diambil.

Artikel yang dimuat dalam jurnal ilmiah memiliki format yang khas, yang berbeda

dengan jenis artikel lainnya. Oleh karena itu, penulis yang ingin artikelnya dimuat dalam  jurnal harus menyesuaikan format tulisannya dengan format yang diminta. Pengalaman

5/14/2018 61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah 4/15

 

menunjukkan bahwa ada penulis yang menyerahkan begitu saja naskahnya ke redaktur

dalam bentuk makalah yang baru saja dipresentasikan dalam seminar tanpa melalui editing

sedikitpun. Sudah barang pasti redaktur menolak tulisan semacam itu.

Bahasa yang digunakan dalam artikel mencakupi banyak aspek, seperti gramatika,

organisasi, pilihan kata, dan tanda baca. Masing-masing aspek tersebut mencakupi aspek 

yang lebih rinci. Sebagai contoh, aspek organisasi meliputi kesatuan (unity), koherensi(coherence), kecukupan (adequacy), metode pengembangan (method of development )

paragraf. Penulis yang menginginkan naskahnya diterima harus menggunakan bahasa yang

baik, yaitu yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa yang berterima. Sebagai contoh,

kalimat-kalimat yang digunakan dalam naskah harus memiliki subjek dan predikat yang

  jelas. Bagi penulis yang bukan dari bidang bahasa, hal ini barangkali sedikit menjadi

kendala.

G. Penutup

Sebagai penutup, saya ingin mengatakan bahwa karier kita sebagai pendidik 

professional (guru dan dosen) ditentukan antara lain oleh kenaikan pangkat dan jabatankita. Kenaikan tersebut dapat diupayakan secara sangat signifikan apabila kita mau

mempublikasikan diri melalui karya-karya kita, terutama dalam bentuk buku referensi,

artikel dalam jurnal ilmiah, artikel dalam seminar, dan karya teknologi (yang dipantenkan).

Hal-hal yang saya sebutkan di atas memiliki angka kredit yang sangat tinggi. Di samping

itu, mempublikasikan diri melalui karya nyata memiliki keuntungan yang sangat besar.

Dalam kaitannya dengan topik kita kali ini, menulis artikel ilmiah bukanlah

pekerjaan yang sulit. Sekarang ini banyak media (jurnal ilmiah) yang dapat menampung

dan mempublikasikan artikel. Yang dibutuhkan adalah kemauan kita untuk mencoba.

Apabila mencoba sekali gagal, jangan putus asa karena menulis adalah proses kreatif yang

memerlukan ketelitian, kecermatan, dan kesabaran. Ketika menyiapkan pidatonya untuk 

konvensi pencalonan presiden untuk partainya, Bill Clinton mengedit naskah pidatonyasampai 19 kali. Apakah kita kalah dengannya? Di sekeliling kita banyak orang baik yang

dengan ikhlas membantu kita, insyaallah. Selamat mencoba!

5/14/2018 61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah 5/15

 

Bagian II

Contoh Artikel

Berikut ini adalah contoh artikel yang telah dimuat dalam “LINGUISTIK 

INDONESIA: Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia”, Tahun 19, Nomor 2,

Agustus 2001.

BERBAHASA DALAM BUDAYA KONTEKS RENDAH

DAN BUDAYA KONTEKS TINGGI1 

 Joko Nurkamto

Universitas Sebelas Maret Surakarta

AbstractThe purpose of this article is to examine the use of language as a means of 

communication in two different cultures: a low-context culture and a high-

context culture. In a low-context culture the mass of information is expressed

in the explicit code; therefore, verbal skills are necessary and prized highly. In

a high-context culture, on the contrary, more of the information is either in the

physical context or internalized in the person, and is very little in the coded,

explicit part of the message; therefore, verbal skills are considered suspect.

Indonesia belongs to a country having a high-context culture. So, confidence

is not significantly placed in a verbal aspect of communication.

1. Pendahuluan Salah satu fungsi bahasa adalah untuk berkomunikasi. Dalam arti yang luas,

komunikasi adalah proses transaksi dinamis yang memandatkan komunikator menyandi (to

code) perilakunya baik verbal maupun non verbal untuk menghasilkan pesan yang ia

sampaikan melalui saluran tertentu guna merangsang atau memperoleh keyakinan, sikap,

atau perilaku tertentu dari komunikan. Komunikasi akan lengkap apabila komunikan yang

dimaksud mempersepsi atau memahami perilaku yang disandi, memberi makna kepada

perilaku itu, dan terpengaruh olehnya (Porter dan Samovar, 1996). Menurut Gudykunst

(1985) tujuan utama komunikasi adalah mengurangi ketidakpastian (uncertainty), yaitu

ketidakmampuan individu memprediksi keyakinan, sikap, dan perilaku diri dan orang lain.

Komunikasi terkait erat dengan budaya. Keduanya memiliki hubungan timbalbalik. Di satu sisi, budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi; dan di sisi lain,

komunikasi dapat membentuk, memelihara, mengembangkan, dan mewariskan budaya.

Oleh karena itu, cara orang berkomunikasi sangat dipengaruhi oleh budaya orang itu. Dua

orang yang berasal dari dua budaya yang berbeda akan memiliki cara-cara berkomunikasi

yang berbeda pula. Itulah sebabnya dalam komunikasi antarbudaya sering terjadi

kesalahpahaman antara komunikator dan komunikan (Deddy Mulyana, 1996).

Melalui tulisan ini saya ingin mendeskripsikan perilaku berkomunikasi di dalam

budaya yang berbeda, yaitu budaya konteks rendah (low-context cultures) dan budaya

1

Makalah yang disajikan dalam Kongres Linguistik Nasional IX di Padepokan Pecak Silat TamanMini Indonesia Indah , Jakarta, 28 - 31 Juli 1999.

5/14/2018 61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah 6/15

 

konteks tinggi (high-context cultures). Komunikasi di sini saya batasi pada komunikasi

verbal, yang selanjutnya saya sebut berbahasa. Atas dasar deskripsi tersebut, saya akan

menyoroti perilaku berbahasa orang Indonesia, terutama para pejabat dan/atau elite politik 

yang saya amati melalui mass media.

2. BerbahasaBerbahasa berarti menggunakan bahasa untuk tujuan komunikasi. Penggunaan

bahasa tersebut tercermin dari kegiatan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

Menyimak dan membaca diklasifikasikan ke dalam kegiatan berbahasa reseptif, sedangkan

berbicara dan menulis diklasifikasikan ke dalam kegiatan berbahasa produktif. Sementara

itu, menyimak dan berbicara dikelompokkan ke dalam kegiatan berbahasa yang

menggunakan media lisan, sedangkan membaca dan menulis dikelompokkan ke dalam

kegiatan berbahasa yang menggunakan media tulis (Widdowson, 1983). Dalam

komunikasi sehari-hari, keempat kegiatan berbahasa tersebut tidak terjadi secara diskrit

melainkan secara terpadu. Artinya, dalam satu peristiwa berbahasa orang menggunakan

lebih dari satu keterampilan berbahasa sekaligus secara simultan.

Dalam kaitannya dengan tujuan penggunaan bahasa, van Ek dan Trim (1991)mengklasifikasikannya ke dalam enam kategori utama, yaitu untuk (1) memberi dan

meminta informasi faktual, seperti mengajukan pertanyaan; (2) mengekspresikan dan

mengetahui sikap, seperti mengungkapkan persetujuan atas sesuatu; (3) mempengaruhi

orang lain berbuat sesuatu, seperti meminta orang lain mengerjakan pekerjaan; (4)

melakukan sosialisasi, seperti menyapa orang lain; (5) membangun struktur wacana,

seperti membuka percakapan; dan (6) mengembangkan keefektifan berkomunikasi, seperti

mengkonfirmasi pernyataan lawan bicara.

Menurut teori tindak tutur (speech act ), ketika orang menggunakan bahasa (yaitu

mengucapkan kata-kata atau kalimat) ia tidak semata-mata mengucapkan kata-kata atau

kalimat itu melainkan sedang berupaya mengerjakan sesuatu dengan kata-kata atau

k alimat tersebut. Menurut istilah Austin (1965: 94), “By saying something we do

something". Seorang hakim yang mengatakan "Dengan ini saya menghukum kamu

dengan hukuman penjara selama lima tahun" sedang melakukan tindakan menghukum

terdakwa. Kata-kata yang diucapkan oleh hakim tersebut menandai dihukumnya terdakwa.

Terdakwa tidak akan masuk penjara tanpa adanya kata-kata di atas dari hakim (Clark dan

Clark, 1977).

Kata-kata yang diucapkan oleh pembicara memiliki dua jenis makna sekaligus,

yaitu makna proposisional atau makna lokusioner (  Locutionary meaning) dan makna

ilokusioner (  Illocutionary meaning). Makna proposisional adalah makna harfiah kata-kata

yang terucap itu. Untuk memahami makna itu pendengar cukup melakukan awakode

(decoding) terhadap kata-kata tersebut dengan bekal pengetahuan gramatika dan kosa kata.Makna ilokusioner merupakan efek yang ditimbulkan oleh kata-kata yang diucapkan oleh

pembicara kepada pendengar. Sebagai ilustrasi, dalam ungkapan "Saya haus" makna

proposisionalnya adalah pernyataan yang menggambarkan kondisi fisik pembicara bahwa

ia haus. Makna ilokusioner-nya adalah efek yang diharapkan muncul dari pernyataan

tersebut terhadap pendengar. Pernyataan tersebut barangkali dimaksudkan sebagai

permintaan kepada pendengar untuk menyediakan minuman bagi pembicara.

Dalam kaitan ini, Searle (1986) membagi tindak tutur menjadi lima. Pertama adalah

komisif (commissive), yaitu tindak tutur yang menyatakan bahwa pembicara akan

melakukan sesuatu di masa mendatang, seperti janji atau ancaman. Contoh: Saya akan

memberi kamu uang besok . Kedua adalah deklaratif (declarative), yaitu tindak tutur yang

dapat mengubah keadaan. Contoh,   Dengan ini Anda saya nyatakan lulus. Kata-katatersebut mengubah status seseorang dari keadaan belum lulus ke keadaan lulus. Ketiga

5/14/2018 61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah 7/15

 

adalah direktif (directive), yaitu tindak tutur yang berfungsi meminta pendengar

melakukan sesuatu, seperti saran, permintaan, dan perintah. Contoh, Silakan duduk .

Keempat adalah ekspresif (expressive), yaitu tindak tutur yang digunakan oleh pembicara

untuk mengungkapkan perasaan dan sikap terhadap sesuatu. Contoh,   Makanan ini enak 

sekali. Kelima adalah representatif (representative), yaitu tindak tutur yang

menggambarkan keadaan atau kejadian, seperti laporan, tuntutan, dan pernyataan. Contoh,Ujian dimulai pukul delapan.

Klasifikasi dari Searle (1986) di atas memperlihatkan bahwa tindak tutur

merupakan fungsi bahasa (language function), yaitu tujuan digunakannya bahasa,

sebagaimana yang dikemukakan oleh van Ek dan Trim (1991). Fungsi-fungsi tersebut tidak 

dapat ditentukan hanya dari bentuk gramatikalnya, tetapi juga dari konteks digunakannya

bahasa itu. Sebagai contoh, kalimat deklaratif yang secara tradisional digunakan untuk 

membuat pernyataan (statement ) dapat digunakan untuk menyatakan permintaan atau

perintah (Sinclair dan Coulthard, 1975).

Oleh karena itu, dalam teori tindak tutur dikenal istilah tindak tutur tidak langsung

(indirect speech act ), yaitu tindak tutur yang dikemukakan secara tidak langsung.

Bandingkan kedua ujaran berikut ini, yang diucapkan seorang suami kepada istrinya: (1) Bu, ambilkan saya segelas air minum, dan (2) Bu, saya haus. Kalimat (1) adalah contoh

tindak tutur langsung dan kalimat (2) adalah contoh tindak tutur tidak langsung. Dalam

komunikasi sehari-hari, tindak tutur tindak langsung sering dianggap lebih sopan daripada

tindak tutur langsung, terutama apabila berkaitan dengan permintaan (requests) dan

penolakan (refusals).

Dalam hal ini, orang dituntut untuk bersikap tanggap atas apa yang dikatakan

pembicara secara tidak langsung, yang seringkali sangat berbeda dari apa yang sebenarnya

dimaksudkan. Itulah sebabnya kemudian muncul istilah implikatur percakapan 

(conversational implicature). Istilah tersebut dipakai oleh Grice (1975) untuk menerangkan

apa yang mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda

dengan apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur itu (Brown dan Yule, 1996). Menurut

Levinson (1983), implikatur percakapan merupakan penyimpangan dari muatan semantik 

suatu kalimat. Dikatakan bahwa:

... they generate inferences beyond the semantic content of the sentences uttered. Such

inferences are, by definition, conversational implicatures, where the term implicature 

is intended to contrast with the terms like logical implication, entailment and logical

consequences which are generally used to refer to inferences that are derived solely

from logical and semantic content. For implicatures are not semantic inferences, but

rather inferences based on both the content of what has been said and some specific

assumptions about the co-operative nature of ordinary verbal interaction (103-104).

Pemahaman terhadap implikatur percakapan tidak terlepas dari asas kerja sama

(cooperative principles) yang dikemukakan oleh Grice (Brown dan Yule, 1996). Asas

umum kerja sama tersebut berbunyi: “Berikan sumbangan Anda pada percakapan

sebagaimana diperlukan, pada tahap terjadinya, oleh tujuan yang diterima atau arah

 pertukaran pembicaraan yang Anda terlibat di dalamnya.” Asas umum tersebut terrefleksi

dari beberapa maksim sebagai berikut:

a. Maksim kuantitas: 

Berikan sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan (sesuai dengan tujuan

percakapan sekarang). Jangan memberikan sumbangan yang lebih informatif dariyang diperlukan

5/14/2018 61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah 8/15

 

b. Maksim kualitas:

Jangan mengatakan apa yang Anda yakini tidak benar. Jangan mengatakan sesuatu

apabila Anda tidak memiliki bukti tentangnya.

c. Maksim hubungan:

Berbicaralah yang relevan.d . Maksim Cara:

Nyatakan dengan jelas. Hindarkan ungkapan yang kabur. Hindarkan kata-kata yang

memiliki arti ganda. Berbicaralah dengan singkat (jangan bertele-tele). Berbicaralah

dengan teratur.

Pengingkaran terhadap maksim-maksim di atas mengakibatkan lahirnya arti

tambahan pada ari harfiah ujarannya. Arti tambahan itu merupakan implikatur percakapan.

Perhatikan contoh percakapan antara A dan B berikut ini.

A: Saya kehabisan bensin. 

B: Itu ada pom bensin di sudut jalan.

Dari percakapan di atas tampak bahwa B melanggar maksim hubungan (berbicaralah yang

relevan). Implikaturnya, yang berasal dari anggapan bahwa B menganut asas kerja sama,

adalah (1) bahwa ada pompa bensin di sudut jalan; (2) bahwa pompa bensin tersebut masih

buka dan menjual bensin; dan (3) bahwa di sudut jalan yang dimaksud bukanlah jarak 

yang jauh. Di samping itu, kita harus menafsirkan bahwa kata-kata A tidak hanya

merupakan deskripsi keadaan tertentu saja, melainkan juga sebagai permintaan bantuan,

misalnya.

3. Budaya

Budaya berkenaan dengan cara hidup manusia. Oleh karena itu, istilah tersebut

memiliki cakupan makna yang sangat luas. Apa yang dilakukan manusia, apa yang

diketahuinya, dan benda-benda yang dibuat dan digunakannya merupakan manifestasi dari

budaya. Spradley (1980) menamai ketiga unsur di atas perilaku budaya (cultural

behaviour ), pengetahuan budaya (cultural knowleldge), dan benda-benda budaya (cultural

artifacts). Menurutnya meskipun perilaku dan benda-benda budaya sangat mudah dilihat,

keduanya merefleksikan hanya permukaan yang tipis dari sebuah danau yang sangat

dalam. Di bawah permukaan danau tersebut tersembunyi simpanan pengetahuan budaya

yang sangat banyak yang tidak mudah dilihat. Meskipun tersembunyi, pengetahuan

budaya tersebut menjadi unsur yang sangat mendasar karena manusia menggunakannya

sepanjang masa untuk membentuk perilaku dan menginterpretasikan pengalaman-pengalamannya.

Berkenaan dengan konsep budaya yang luas tersebut Richards, Platt, dan Platt

(1993) mendefinisikan budaya dengan keseluruhan tatanan kepercayaan, sikap, adat-

istiadat, perilaku, kebiasaan sosial, dan lain-lain dari para anggota masyarakat tertentu.

Kata keseluruhan dalam pengertian di atas bukan sekedar berarti kumpulan unsur-unsur

tetapi mengacu pada sistem. Oleh karena itu, Condon (1973) menganggap budaya sebagai

suatu sistem pola terpadu, baik disadari maupun tidak, yang mengatur perilaku manusia.

Dengan demikian, budaya menjadi konteks perilaku kognitif dan afektif setiap eksistensi

personal dan sosial.

Setiap masyarakat memiliki budayanya sendiri, yang berbeda satu sama lain.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa tidak ada masyarakat yang hidup tanpa budaya, yangberfungsi sebagai perekat yang mengikat masyarakat untuk hidup bersama dan sebagai

5/14/2018 61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah 9/15

 

pedoman yang membimbing perilaku manusia di masyarakat itu. Kenyataan tersebut juga

menunjukkan bahwa tidak ada budaya universal yang mengatur cara hidup semua orang.

Oleh karena itu, tidak ada dua masyarakat dengan budaya yang sama. Bahkan di dalam

satu masyarakat atau satu budaya dapat dijumpai sejumlah subbudaya, yaitu suatu

komunitas rasial, etnik, regional, ekonomi atau sosial yang memperlihatkan pola perilaku

yang membedakannya dari subbudaya-subbudaya lainnya dalam suatu budaya ataumasyarakat yang melingkupinya (Parker dan Samovar, 1996).

Ketika bergaul dengan kelompok-kelompok budaya lain seringkali orang terjebak 

dalam etnosentrisme, yaitu memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai

pusat segala sesuatu itu dan hal-hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan

kelompoknya. Penyebab utamanya adalah ia cenderung menganggap budayanya sebagai

suatu keniscayaan tanpa mempersoalkannya lagi; dan oleh karena itu, ia menggunakannya

sebagai standar untuk mengukur dan menilai budaya-budaya lain tersebut. Apabila orang

lain tidak menyetujui nilai-nilai dalam budayanya, itu sebenarnya tidak berarti bahwa

orang lain tersebut salah. Alih-alih, secara kultural orang itu sedikit berbeda darinya.

Etnosentrisme terjadi apabila ia langsung berkesimpulan tentang orang lain itu berdasarkan

informasi terbatas yang ia miliki tentang kelompoknya itu (Deddy Mulyana, 1996).Pandangan-pandangan etnosentris tersebut antara lain berbentuk stereotip, yaitu

suatu generalisasi atas kelompok orang, objek, atau peristiwa yang secara luas dianut suatu

budaya (Deddy Mulyana, 1996). Sebagai contoh, orang-orang Jawa, terutama Sala dan

Yogyakarta, dikenal sebagai orang yang halus bahasanya; Orang-orang Padang

distereotipkan sebagai orang-orang yang suka merantau dan berdagang; Orang-orang Barat

diidentikkan dengan orang-orang modern, sedang orang-orang Asia dianggap sebagai

orang-orang tradisional. Tidak semua stereotip salah. Namun apabila diterapkan pada

individu, kebanyakan stereotip tidak akurat.

Dalam komunikasi antarbudaya etnosentrisme sering menimbulkan

kesalahfahaman. Mahasiswa Indonesia di Amerika menganggap orang bule yang

memberikan buku dengan tangan kiri kepadanya tidak sopan, padahal orang Amerika

tersebut tidak bermaksud demikian karena dalam budayanya menggunakan tangan kiri

merupakan kelaziman. Seorang wanita Australia heran ketika dalam perjalanan kereta api

dari Bandung ke Yogyakarta ia melihat seorang wanita Indonesia menyusui anaknya di

depan umum. Ia menganggap perilaku itu primitif karena di negerinya sendiri hal itu tidak 

pernah dilakukan wanita Australia.

Kesalahpahaman-kesalahpahaman antarbudaya di atas dapat dikurangi apabila

orang memahami budaya lain. Namun hal itu tidak mudah dilakukan karena budaya tidak 

dapat secara langsung diamati. Sebagaimana diuraikan di muka, sebagian besar budaya

berbentuk pengetahuan budaya yang sudah terinternalisasi (tacit knowledge), yang berada

di luar ambang kesadaran manusia. Apa yang teramati, baik berupa perilaku manusiamaupun benda-benda yang digunakannya, merefleksikan hanya sebagian kecil wajah

budaya. Setiap tindakan yang dilakukan manusia mengandung makna lebih dari sekedar

apa yang dapat diamati. Seorang ayah yang mencubit pipi putrinya yang berusia dua tahun

tidak harus dipahami sebagai ayah yang kejam. Boleh jadi ia merasa sayang dan gemas

kepada putrinya itu.

Dalam kaitan ini Spradley (1980) mengatakan bahwa orang memahami makna

budaya dengan cara menarik simpulan. Ada tiga jenis informasi yang dapat digunakan

sebagai dasar untuk menarik simpulan tersebut, yaitu perilaku budaya, benda-benda

budaya, dan apa yang dikatakan orang (speech massage). Dua jenis informasi yang

pertama diperoleh melalui pengamatan, dan jenis informasi ketiga diperoleh melalui

wawancara. Peneliti etnografi menggunakan cara-cara ini untuk melihat realitas di balik yang teramati dan terdengar guna mencapai pemahaman yang benar akan makna budaya.

5/14/2018 61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah 10/15

 

10 

Penarikan simpulan tersebut melibatkan proses penalaran baik secara induktif (melalui

bukti-bukti di lapangan) maupun secara deduktif (melalui premis-premis yang

diasumsikan). Secara skematik, proses penarikan simpulan makna budaya tersebut

disajikan dalam gambar 1 (Spradley, 1980).

Gambar 1. Proses Penarikan Simpulan Makna Budaya

4. Berbahasa dalam Budaya Konteks Rendah dan Budaya Konteks Tinggi Istilah budaya konteks rendah (BKR) dan budaya konteks tinggi (BKT)

diperkenalkan oleh Edward T. Hall (1976). Menurutnya, BKR mengacu pada kelompok 

budaya yang menghargai orientasi individu dan sandi-sandi komunikasi yang jelas serta

mempertahankan struktur norma yang heterogen dengan ciri-ciri aturan budaya yang

longgar. Sebaliknya BKT mengacu pada kelompok budaya yang menghargai orientasi

kelompok dan sandi-sandi komunikasi yang samar serta mempertahankan struktur norma

yang homogen dengan ciri-ciri aturan budaya yang ketat. Menurut Hall, BKR cenderung

dimiliki oleh negara-negara Eropa dan Amerika, seperti Jerman, Swiss, Skandinavia, dan

Amerika Serikat; sedangkan BKT cenderung dimiliki oleh negara-negara Asia seperti

Cina, Jepang, Korea, dan Vietnam.

Ketika berbicara tentang teori konflik dan budaya, Ting-Toomey (1985)

mengajukan sejumlah proposisi sebagai berikut. (1) Orang-orang di dalam BKR cenderung

memahami penyebab konflik sebagai instrumen, sedangkan orang-orang di dalam BKTmemahaminya sebagai ekspresi. (2) Konflik cenderung terjadi di dalam BKR apabila

norma-norma individu dilanggar, sedangkan konflik cenderung terjadi di dalam BKT

apabila norma-norma kolektif dilanggar. (3) Orang-orang di dalam BKR cenderung

menghadapi konflik secara langsung dan bersifat konfrontatif, sedangkan orang-orang di

dalam BKT cenderung menghadapinya secara tidak langsung dan bersifat non konfrontatif.

(4) Orang-orang di dalam BKR cenderung menggunakan gaya induktif-faktual atau

deduktif-aksiomatif untuk memecahkan konflik, sedangkan orang-orang di dalam BKT

cenderung menggunakan gaya intuitif-afektif untuk mengatasi konflik. 

Dalam kaitannya dengan perilaku berbahasa, Hall (1976) mengatakan bahwa

orang-orang di dalam BKR cenderung mengungkapkan seluruh maksudnya melalui kata-

kata. Di dalam sistem budaya tersebut kata-kata dapat menggambarkan kebenaran dankekuatan. Lawan bicara dapat dengan mudah memahami maksud pembicara hanya dengan

Shared

cultural

knowledge 

Ethnographic

description of 

informants’ cultural

knowledge

cultural

behaviour 

cultural

artifacts

speech

messages 

observes generates 

infers 

  

5/14/2018 61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah 11/15

 

11

mengandalkan kata-kata yang diucapkan oleh pembicara. Sebaliknya, orang-orang di

dalam BKT cenderung mengungkapkan maksudnya melalui sandi-sandi non verbal. Hanya

sedikit kata yang disampaikan; oleh karena itu, apa yang tidak dikatakan kadangkala lebih

penting daripada yang dikatakan. Untuk memahami maksud pembicara lawan bicara harus

memiliki pengetahuan yang memadai tentang konteks, yang antara lain meliputi latar

belakang sosial dan budaya pembicara. Di samping itu, orang-orang di dalam BKRcenderung bersifat spesifik dan langsung ke permasalahan. Sementara itu orang-orang di

dalam BKT cenderung berputar-putar dan tidak langsung menuju permasalahan, sehingga

lawan bicara harus menyimpulkan sendiri maksud pembicara yang sebenarnya.

Dalam kaitannya dengan pendapat Hall di atas, R. Okabe (1983) membandingkan

gaya retorika orang Amerika Serikat dan orang Jepang, yang masing-masing mewakili

BKR dan BKT. Ia menyimpulkan bahwa orang Amerika lebih tergantung pada komunikasi

verbal, sedangkan orang Jepang lebih tergantung pada komunikasi non verbal. Masih

berkaitan dengan pendapat Hall, Naotsuka (dalam Smith, 1985) mengatakan bahwa orang-

orang Barat sering mendekati pokok pembicaraan dengan cara-cara yang lebih langsung

(linear straight-line logic), sedangkan orang-orang Jepang sering menggunakan cara-cara

yang melingkar-lingkar (in a spiral way).

5. Fenomena Berbahasa Orang Indonesia Setelah mengkaji skemata Hall tentang BKR dan BKT dengan ciri-ciri

sebagaimana diutarakan di atas, saya ingin mendeskripsikan fenomena berbahasa orang

Indonesia, terutama para pejabat dan/atau elite politiknya. Deskripsi tersebut saya dasarkan

pada pengamatan dan analisis dangkal saya atas ucapan-ucapan mereka melalui mass

media, baik cetak maupun elektronik.

Secara umum dapat dikatakan bahwa Indonesia termasuk negara yang memiliki

BKT, seperti negara-negara Asia pada umumnya. Dengan demikian, cara orang Indonesia

berbahasa cenderung memperlihatkan karakteristik yang sama dengan orang-orang di BKT

lainnya, sebagaimana telah dikemukakan di muka. Saya katakan secara umum karena

Indonesia sendiri memiliki subbudaya-subbudaya yang masing-masing memperlihatkan

kadar konteks yang berbeda-beda. Budaya Batak, misalnya, distereotipkan memiliki

konteks yang lebih rendah daripada budaya Jawa. Di dalam budaya Jawa sendiri diakui

bahwa Jawa Surabaya lebih rendah konteksnya daripada Jawa Yogyakarta.

Secara kasar, gaya berbahasa para pejabat dan/atau elite politik Indonesia dapat

diklasifikasikan ke dalam empat tipe kecenderungan. Jumlah tersebut mungkin masih

dapat bertambah. Keempat kecenderungan tersebut adalah   pengingkaran terhadap

kenyataan, eufemistik, samar-samar, dan berputar-putar. Berikut ini adalah penjelasan

singkat dari masing-masing tipe tersebut.

5.1. Pengingkaran terhadap kenyataan

Pengingkaran terhadap kenyataan merujuk pada fenomena berbahasa dengan cara

mengatakan sesuatu secara tidak jujur. Orang dengan sengaja menutupi kenyataan yang

sebenarnya dengan maksud tertentu yang seringkali tidak dapat atau tidak boleh secara

terbuka dipahami orang lain/masyarakat.  Dengan kata lain, mereka secara sengaja

melakukan kebohongan publik. Akibatnya, masyarakat dibiarkan mereka-reka kejadian

sesungguhnya berdasarkan persepsi mereka masing-masing. Sebagai contoh, seorang

bawahan dimutasi atau diberhentikan dari jabatannya karena ia tidak mau menuruti

kemauan atasannya yang dianggap oleh bawahannya tersebut sebagai suatu pelanggaran.

Namun ketika ditanya oleh wartawan, si atasan tersebut mengatakan bahwa pemutasian

atau pemberhentian tersebut bukan karena alasan di atas melainkan sebagai prosedur biasadalam kedinasan atau karena yang bersangkutan sudah saatnya pensiun.

5/14/2018 61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah 12/15

 

12 

5.2. Eufemistik 

Eufemistik adalah gejala berbahasa dengan cara menggunakan ungkapan yang

lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar. Hal itu -- secara sengaja

atau tidak -- dimaksudkan untuk menutupi kenyataan yang sesungguhnya yang boleh jadi

tidak menyenangkan dan dapat memalukan orang/pejabat yang bersangkutan. Apabiladiketahui orang lain/atasannya, kenyataan yang tidak menyenangkan tersebut dapat

dianggap sebagai indikator ketidakberhasilan kepemimpinannya. Sebagai contoh, seorang

pejabat mengatakan bahwa daerahnya tergolong daerah  prasejahtera. Kata  prasejahtera 

tersebut digunakan sebagai pengganti kata miskin, yang dianggapnya terlalu jelas

memperlihatkan ketidakberhasilan pembangunan di daerahnya itu.

5.3. Samar-samar 

Samar-samar merujuk pada gejala berbahasa dengan cara menggunakan kata-kata

yang memiliki makna yang terlalu umum, yang dapat memiliki interpretasi jamak. Hal itu

barangkali disebabkan oleh ketidakmampuan orang yang bersangkutan mengemas kata-

kata yang pas, atau barangkali disebabkan oleh ketidakmauan orang tersebut menanggungresiko dari akibat yang mungkin diterima dari kata-katanya itu. Dengan kata lain, ia ingin

menghindar dari tanggung jawab secara tidak langsung. Sebagai contoh, seorang atasan

memberi perintah kepada bawahannya dengan kata-kata, “Urus dia!” Ketika bawahan

yang diperintah tersebut menerjemahkan perintah atasannya itu dengan cara, misalnya,

memecat orang yang dimaksud dan hal itu kemudian mendapat protes keras dari

masyarakat luas, secara diplomatis atasan yang memberi perintah tadi mengatakan bahwa

dia tidak meminta bawahannya untuk melakukan pemecatan. Alih-alih, ia menuduh

bawahannya tersebut salah menafsirkan perintahnya.

5.4. Berputar-putar 

Berputar-putar adalah gejala berbahasa yang terefleksi dari penggunaan bahasa

yang tidak langsung menukik pada persoalan. Ia tidak secara lugas mengutarakan maksud

yang sebenarnya melainkan menggunakan pernyataan-pernyataan yang boleh jadi tidak 

terkait dengan persoalannya. Hal itu barangkali karena ia tidak memiliki keberanian untuk 

menyatakan maksudnya secara langsung, atau karena ia tidak memiliki argumentasi

proposisional yang memadai. Sebagai contoh, seorang atasan ingin memecat bawahannya

yang dianggapnya tidak sejalan dengannya. Namun, ia tidak melakukannya secara

langsung dengan terlebih dulu mengutarakan alasan yang dapat diterima oleh yang

bersangkutan, melainkan meminta kepada yang bersangkutan untuk mengajukan

pengunduran diri karena dengan cara itu yang bersangkutan akan terpelihara harga dirinya.

6. Penutup Pada awal tulisan ini telah dijelaskan bahwa salah satu fungsi bahasa adalah untuk 

berkomunikasi, dan fungsi utama berkomunikasi adalah mereduksi ketidakpastian. Agar

kegiatan berkomunikasi dapat berfungsi secara maksimal, orang perlu menggunakan

bahasa yang komunikatif, yaitu yang dapat mengungkapkan maksud secara jelas tanpa

mengakibatkan kesalahpahaman di antara komunikator dan komunikan. Penggunaan

bahasa yang samar-samar dan bersifat eufemistis, misalnya, cenderung mendistorsi

informasi yang berpotensi melahirkan kesalahpahaman. Bukan kejelasan yang didapat,

melainkan ketidakpastian.

Dengan reformasi di berbagai bidang kehidupan yang sudah dirintis sejak satu

tahun yang lalu rakyat bertekad untuk menuju masyarakat Indonesia baru, yaitumasyarakat yang demokratis dan penuh keterbukaan. Sistem demokratis dan terbuka

5/14/2018 61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah 13/15

 

13 

memungkinkan mengalirnya informasi secara efektif baik secara vertikal (ke atas dan ke

bawah) maupun secara horisontal. Hal ini dapat berjalan dengan baik apabila didukung

oleh penggunaan bahasa yang jelas, terus terang, dan jernih, khususnya yang berkenaan

dengan sistem penyelenggaraan negara. Pada acara pembukaan Kongres Bahasa Indonesia

VII bulan Oktober 1998 presiden Habibie mengharapkan bangsa Indonesia, terutama

  jajaran birokrasi pemerintahan, untuk menjauhkan kecenderungan berbahasa secaraeufemistis. Ia mengharapkan bahwa masyarakat menggunakan bahasa secara lugas, dan

tidak menyembunyikan kenyataan pahit kalau memang keadaannya seperti itu. Kesadaran

akan kondisi yang demikian justru dapat mendorong bangsa Indonesia untuk membangun

diri lebih giat menuju kehidupan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Austin, J.L. 1965. How to do Things with Words . Oxford: Oxford University Press.

Brown, Gillian dan Yule, George. 1996.  Analisis Wacana. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama.Clark, Herbert H. Dan Clark Eve V. 1977. Psychology and Language . New York: Harcourt

Brace Javanovich, Inc.

Condon, E.C. 1973.  Introduction to Cross Cultural Communication. New Jersey: Rutgers

University.

Deddy Mulyana. 1996. “Mengapa dan untuk Apa Kita Mempelajari Komunikasi

Antarbudaya.” Dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rachmat (ed), Komunikasi

  Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya,

pp. v-xiv. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Gudykunst, W.B. 1985. “A Model of Uncertainty Reduction in Intercultural Encounters.”

 Journal of Language and Social Psychology, 4, 79-98.

Hall, Edward T. 1976. Beyond Culture . New York: Anchor Press.

Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics . Cambridge: Cambridge University Press.

Okabe, R. 1983. “Cultural Assumptions of East and West: Japan and the United states.”

Dalam W. B. Gudykunst (ed.),   Intercultural Communication Theory: Current 

Perspectives, pp.21-44. Beverly Hills: Sage.

Porter, Richard E. dan Samovar, Larry A. 1996. “Suatu Pendekatan terhadap Komunikasi

Antarbudaya.” Dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rachmat (ed), Komunikasi

  Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya,

pp. 11-35. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Richards, Jack C.; Platt, John; dan Platt, Heidi. 1993.   Longman Dictionary of Language

Teaching and Applied Linguistics. England: Longman.Searle, John R. 1986.   Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts. 

Cambridge: Cambridge University Press.

Sinclair, J.Mch. dan Coulthards, R.M. 1984. Towards an Analysis of Discourse: The

 English Used by Teachers and Pupils. London: Oxford University Press.

Smith, Larry E. 1985. EIL versus ESL/EFL: “What’s the Dif erence and What Difference

Does the Difference Make?”. English Teaching Forum , XXIII, No. 4. pp. 2-6

Spradley, James P. 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Ting-Toomey, Stella. 1985. “Toward a Theory of Conflict and Culture.” Dalam W.B.

Gudykunst, L. Stewards, dan Stella Ting-Toomey (ed.), Communication and 

Culture and Organizational Processes, pp.71-86. USA: Sage Publication.

Van Ek, J.A. dan Trim, J. L. M. 1991. Threshold 1990 . Cambridge: Cambridge UniversityPress.

5/14/2018 61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah 14/15

 

14 

Widdowson, H.G. 1983. Teaching Language as Communication. Oxford: Oxford

University Press.

Bagian III

Belajar dari Contoh

Dari contoh artikel di atas dapat dipetik pelajaran berkenaan dengan beberapa

aspek metodologis dan teknis penulisan. Di antaranya, yang dianggap penting, adalah

sebagai berikut:

1. Sebagai karya ilmiah, pendapat-pendapat yang kita tuangkan dalam artikel harus

memiliki dasar teoretis; oleh karena itu, kita harus merujuk pada teori-teori terdahulu

yang relevan. Dalam kaitan ini, kita perlu memperhatikan beberapa prinsip cara

merujuk:

a. Rujukan bisa dalam bentuk kutipan langsung (direct quotation), paraphrase

( paraphrase), dan ringkasan (summary).

b. Kita harus menyebutkan sumber rujukan, yang meliputi: nama penulis, tahunpenerbitan, dan nomor halaman (Contoh: Levinson, 1983: 103-104).

c. Nama penulis yang ditulis di sini hanya nama keluarga (Levinson), bukan nama

lengkap (Stephen C. Levinson). Bagi penulis Indonesia yang tidak mencantumkan

nama keluarga atau nama marga, nama yang ditulis adalah nama pemberian saat dia

dilahirkan.

d. Nomor halaman perlu dicantumkan untuk mempermudah pengecekan, baik oleh

penulis sendiri maupun oleh pembaca.

e. Semua sumber rujukan dalam tubuh artikel selanjutnya ditulis di dalam bagian

Daftar Pustaka, pada akhir artikel. Contoh: Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics . 

Cambridge: Cambridge University Press.

2. Pendapat-pendapat pakar terdahulu yang kita rujuk hendaknya tidak hanya didaftar

sebagai pajangan dalam tulisan yang hanya menghasilkan karya kompilasi, tetapi harus

dianalisis sampai kita dapat menghasilkan konstruk. Langkahnya adalah sebagai

berikut:

a. Memilih sumber-sumber teori yang relevan dengan konsep yang akan dikembangkan.

b. Mendeskripsikan masing-masing teori yang telah dipilih.

c. Melakukan analisis kritis terhadap masing-masing teori, dengan cara mengemukakan

kelebihan dan kekurangan masing-masing teori.

d. Melakukan analisis komparatif antarteori untuk menentukan teori mana yang me-

ngandung banyak kelebihan dan teori mana yang mengandung sedikit kelemahan.e. Menentukan sikap. Di sini peneliti memiliki dua pilihan: memilih salah satu teori

yang dianggap paling baik, atau membuat sintesis dari berbagai teori tersebut.

3. Berikut ini adalah teknik merujuk sebagaimana telah disebut pada butir 1a di atas.

a. Kutipan langsung:

Di sini kita mengutip kalimat-kalimat yang terdapat dalam naskah asli apa

adanya tanpa perubahan sedikitpun. Bila yang dikutip lebih dari 40 kata, kalimat-

kalimat tersebut diblok. Contoh:

Menurut Levinson (1983: 103-104), implikatur percakapan merupakan

penyimpangan dari muatan semantik suatu kalimat. Dikatakan bahwa:

5/14/2018 61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/61180404-37679460-arti-jurnal-ilmiah 15/15

 

15 

... they generate inferences beyond the semantic content of the sentences

uttered. Such inferences are, by definition, conversational implicatures, where

the term implicature is intended to contrast with the terms like logical

implication, entailment and logical consequences which are generally used to

refer to inferences that are derived solely from logical and semantic content.

For implicatures are not semantic inferences, but rather inferences based onboth the content of what has been said and some specific assumptions about

the co-operative nature of ordinary verbal interaction.

Bila yang dikutip kurang dari 40 kata, kalimat-kalimat tersebut menyatu dalam

paragraph. Contoh:

Menurut Levinson (1983: 103-104), ” Such inferences are, by definition,

conversational implicatures, where the term implicature is intended to contrast with

the terms like logical implication, entailment  and logical consequences which are

generally used to refer to inferences that are derived solely from logical and semanticcontent.” 

b. Parafrase:

Melakukan parafrase adalah mengemukakan gagasan orang lain dengan kata-

kata kita sendiri, yang panjangnya kurang lebih sama dengan pernyataan aslinya.

Contoh:

Menurut Levinson (1983: 103-104), penarikan simpulan seperti itu dinamakan

implikaur percakapan. Istilah implikatur di sini dikontraskan dengan logical

implication, entailment  dan logical consequences yang umumnya mengacu pada

penarikan simpulan yang semata-mata didasarkan pada muatan logis dan semantis.

c. Ringkasan

Membuat ringkasan adalah mengemukakan pokok-pokok pikiran penting

seseorang dengan kata-kata kita sendiri, yang panjangnya lebih pendek dari naskah

aslinya. Contoh, Menurut Levinson (1983: 103-104), implkikatur percakapan

merupakan bentuk penyimpangan dari prinsip-prinsip kooperatif Grice.