6-lembaga pengelola wakaf

9
52 BAN VI LEMBAGA PENGELOLA WAKAF A. PENGERTIAN Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359). Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al- manfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut: 1. Hanafiyah Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya. 2. Malikiyah Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja. 3. Syafi‘iyah Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376) Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575). 4. Hanabilah Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Upload: yuli

Post on 16-Sep-2015

94 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

BAB VILembaga Pengelola Wakaf

TRANSCRIPT

  • 52

    BAN VI

    LEMBAGA PENGELOLA WAKAF

    A. PENGERTIAN Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab Waqf yang berarti al-Habs. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti

    menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti

    tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu

    Manzhur: 9/359).

    Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik

    atas materi benda (al-ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfaah) (al-Jurjani: 328). Dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf.

    Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan.

    Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut:

    1. Hanafiyah Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan

    untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203).

    Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap

    tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih

    menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke

    atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.

    2. Malikiyah Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki

    (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang

    berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan

    keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187).

    Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau

    tempat yang berhak saja.

    3. Syafiiyah Syafiiyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah

    (al-Syarbini: 2/376)

    Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi

    bendanya (al-ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).

    4. Hanabilah Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal

    harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185).

    Itu menurut para ulama ahli fiqih.

    Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan

    perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda

    miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan

    kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

    Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf

    bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang

    yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan

    fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf

    berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk

    kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

  • 53

    B. DASAR HUKUM Menurut Al-Quran

    Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas.

    Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama

    dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran

    yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:

    Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi

    untuk kamu. (Q.S. al-Baqarah (2): 267) Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai. (Q.S. Ali Imran (3): 92)

    Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh

    bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa

    yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah (2): 261)

    Menurut Hadits

    Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan

    tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia

    meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal

    tanah dan menyedekahkan hasilnya.

    Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh

    tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi

    nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya?

    Sabda Rasulullah: Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya. Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk

    memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan

    para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang

    mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya

    sebagai sumber pendapatan.

    Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim

    dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah

    jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak soleh yang

    mendoakannya. Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat

    menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan

    yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim

    sejak masa awal Islam hingga sekarang.

    Dalam Konteks Kenegaraan

    Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat

    Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah

    menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia,

    yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-

    undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42

    tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.

  • 54

    C. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN WAKAF DI INDONESIA Salah satu faktor penting yang ikut mewarnai corak dan perkembangan wakaf di era

    modern adalah ketika negara ikut mengatur kebijakan wakaf melalui seperangkat hukum

    positif.

    Di masa penjajahan, kegiatan perwakafan mengalami perkembangan yang pesat. Hal itu

    ditandai dengan banyaknya muncul organisasi keagamaan, sekolah madrasah, pondok

    pesantren, masjid, yang semuanya dibangun dengan swadaya masyarakat di atas tanah

    wakaf. Politik pemerintah pada masa ini mengenai filantropi Islam tunduk pada

    rasionalitas politik Islam Hindia Belanda. Di mana Islam sebagai sistem nilai dibatasi

    sedemikian rupa sehingga ia dipraktekkan dalam kerangka ritual-personal semata.

    Rasionalitas semacam ini membuat tradisi wakaf sebagai lembaga pelayanan sosial.

    Namun, karena aktivitas filantropi Islam seringkali bersinggungan dengan hubungan

    antarmasyarakat maka pemerintah kolonial pada akhirnya memandang perlu untuk

    mengatur dengan ketentuan-ketentuan hukum, seperti:

    a) Surat Edaran Sekretaris Guberneman Tanggal 31 Januari 1905 Nomor 435 sebagaimana termuat dalam Bijblad Nomor 6196 Tahun 1905, Tentang Toezicht Op

    Den Bouw Van Mohammedaansche Bedehuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada

    para kepala wilayah di Jawa dan Madura supaya bupati mendata rumah-rumah

    ibadah.

    b) Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Tanggal 4 Juni 1931 Nomor 1361/A sebagaimana termuat dalam Bijblad Nomor 12573 Tahun 1931, Tentang Toezich

    Van De Regeering Op Mohammedaansche Bedehuizen, Vrijdagdiensten En Wakafs.

    Surat edaran ini mengatur tentang keharusan adanya keizinan bupati dalam berwakaf.

    Bupati memerintahkan agar wakaf yang diizinkan dimasukkan ke dalam daftar yang

    dipelihara oleh ketua Pengadilan Agama yang diberitahukan kepada Asisten Wedana

    yang selanjutnya dilaporkan ke Kantor Landrente.

    c) Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A sebagaimana termuat dalam Bijblad Nomor 12573 Tahun 1934, Tentang Toezich

    Van De Regeering Op Mohammedaansche Bedehuizen, Vrijdagdiensten En Wakafs.

    Dalam surat edaran ini diatur, tentang kewenangan bupati dalam menyelesaikan

    sengketa dalam pelaksanaan shalat jumat bila diminta oleh para pihak. d) Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A

    sebagaimana termuat dalam Bijblad Nomor 13480 Tahun 1935 Tentang Toezich Van

    De Regeering Op Mohammedaansche Bedehuizen, Vrijdagdiensten En Wakafs.

    Surat edaran ini hanya mempertegas surat edaran sebelumnya, dimana bupati dapat

    melakukan pendataan harta wakaf.

    Sayangnya, peraturan yang dibuat tidak sepenuhnya didasarkan pada keinginan politik

    (political will) yang jujur serta pemahaman yang benar tentang hakikat dan tujuan wakaf.

    Akibatnya, peraturan-peraturan ini mendapat reaksi dari organisasi-oraganisasi Islam

    karena orang yang akan berwakaf harus mendapat izin pemerintah. Sementara itu umat

    Islam memandang perwakafan merupakan tindakan hukum privat sehingga tidak perlu

    ada izin dari pemerintah. Reaksi ini merupakan penolakan terhadap campur tangan

    pemerintah kolonial terhadap urusan-urusan yang berhubungan dengan agama Islam. Ini

    berarti peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial tidak memiliki arti penting bagi

    pengembangan wakaf, selain untuk memenuhi formalisme administratif semata.

    Formalisme ini terus berlangsung sampai masa kemerdekaan. Politik filantropi Islam

    pada masa Orde Lama tidak mengalami perubahan mendasar. Peraturan-peraturan yang

    mengatur perwakafan zaman kolonial, pada zaman kemerdekaan masih tetap

    diberlakukan, karena peraturan perwakafan yang baru belum ada.

    Ada pun peraturan yang mengatur wakaf pada masa orde lama adalah:

    (1) Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1949 yang memberikan kewenangan kepada Menteri Agama untuk mengurus wakaf. Selanjutnya PP ini ditindaklanjuti oleh

    Peraturan Menteri Agama Nomor 9 Tahun 1952 yang memberikan kewenangan

    kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten untuk menyelidiki, mendata, dan

    mengawasi penyelenggaraan perwakafan. Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam

    Negeri Dan Menteri Agraria Tanggal 5 Maret 1959 Nomor Pem.19/22/23/7:

    S.K./62/Ka/59P., mengalihkan kewenangan bupati sebagai pengawas harta wakaf

    menjadi tugas Kepala Pengawasan Agraria. Secara hirarki peraturan hukum di

  • 55

    Indonesia, jelas peraturan-peraturan ini masih lemah. Kemudian, aturan tentang

    wakaf dimasukkan dalam undang-undang agraria.

    (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam Pasal 49 undang-undang ini menyatakan, negara melindungi

    keberlangsungan perwakafan di Indonesia dengan mengaturnya secara khusus dalam

    peraturan pemerintah, Namun, peraturan pemerintah itu baru lahir tahun 1977.

    Peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia berkaitan dengan

    perwakafan seperti yang terjadi pada orde lama tidak memiliki arti penting bagi

    pengembangan wakaf selain hanya untuk memenuhi formalisme administratif

    semata. Hal ini dikarenakan pemerintah pada masa orde baru ini lebih berkonsentrasi

    untuk memperkuat diri di atas kekuatan-kekuatan sipil terutama Islam, sembari

    menjalankan agenda sekularisasi politiknya secara konsisten, malah Islam hampir

    termarginalkan. Keadaan ini terus berlangsung sampai paroh kedua dasarwarsa

    1980-an ketika secara mengejutkan Islam mulai diterima di ruang publik.

    Ada pun peraturan perwakafan yang lahir pada masa orde baru adalah:

    (a) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Dengan adanya peraturan pemerintah ini, perwakafan tanah milik di Indonesia mulai

    memasuki babak baru. Perwakafan tanah milik di Indonesia mulai tertib dan terjaga.

    Ini merupakan peraturan pertama yang memuat substansi dan teknis perwakafan.

    Selama ini di Indonesia, peraturan yang mengatur perwakafan kurang memadai

    sehingga banyak muncul persoalan perwakafan di tengah masyarakat, seperti

    banyaknya sengketa tanah wakaf. Tanah wakaf yang statusnya tidak jelas, banyak

    benda wakaf yang tidak diketahui keadaannya, penyalahgunaan harta wakaf, dan

    sebagainya. Hal ini karena tidak adanya keharusan untuk mendaftarkan benda-benda

    wakaf. Barulah dengan ditetapkannya peraturan pemerintah ini perwakafan

    mempunyai dasar hukum yang kuat.

    Dengan keluarnya peraturan pemerintah ini, seluruh peraturan yang mengatur

    perwakafan seperti yang tercantum dalam Bijblad Nomor 6196 tahun 1905, dan

    bijblad tahun 1931 Nomor 12573, serta bijblad tahun 1935 Nomor 13480 sepanjang

    bertentangan dengan Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 ini dinyatakan tidak

    berlaku lagi.

    Selanjutnya, peraturan pemerintah ini ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan

    Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 Tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah

    Milik, dan Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan

    Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah

    Milik dan peraturan pelaksana teknis lainnya. Walaupun peraturan pemerintah telah

    dikeluarkan, dalam perjalanannya ternyata perturan-peraturan perwakafan yang ada

    ini belum berjalan secara efektif dalam menertibkan perwakafan di Indonesia. Untuk

    itu tanggal 30 November 1990 dikelurkan Instruksi Bersama Menteri Agama dan

    Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor. 4 Tahun 1990 dan Nomor 24 Tahun

    1990 Tentang Sertifikat Tanah Wakaf.

    (b) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

    Instruksi yang dikeluarkan tangggal 5 Februari 1991 ini adalah pedoman bagi

    instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan

    masalah-masalah di bidang perwakafan khususnya yang termuat dalam buku III.

    Kemudian inpres ini ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Agama No 154

    Tahun 1991 Tanggal 22 Juli 1991, meminta kepada seluruh instansi di lingkungan

    Departemen Agama termasuk Peradilan Agama untuk menyebarluaskan KHI. Aturan

    yang dimuat dalam buku III tentang perwakafan ini membawa pembaharuan dalam

    pengelolaan wakaf walaupun secara substansi masih berbentuk elaborasi dari aturan

    yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang

    Perwakafan Tanah Milik. Di sisi lain, instruksi presiden yang terdapat dalam buku III

    ini sebetulnya belum cukup merevitalisasi sektor wakaf. KHI masih mengadopsi

    paradigma lama yang literal yang cenderung bersifat fiqh minded. Hal ini terlihat dari

    materi hukum yang dicakup merupakan bentuk univikasi pendapat-pendapat mazhab

    dan Hukum Islam di Indonesia yang berkaitan dengan perwakafan.

    Sejalan dengan bergulirnya gelombang reformasi dan demokratisasi dipenghujung tahun

  • 56

    1990-an, membawa perubahan dan mengokohkan Islam sebagai salah satu kekuatan

    politik di panggung nasional, sampai munculnya undang-undang yang secara khusus

    mengatur wakaf. Pemerintah RI mengakui aturan hukum perwakafan dalam bentuk

    undang-undang. Pada masa reformasi, peraturan perwakafan berhasil disahkan adalah

    Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor

    42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undangundang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Produk undang-undang ini telah memberikan pijakan hukum yang pasti,

    kepercayaan publik, serta perlindungan terhadap aset wakaf. Pensahan undang-undang ini

    merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, meningkatkan

    peran wakaf, tidak hanya sebagai pranata keagamaan saja, tetapi juga memiliki kekuatan

    ekonomi yang potensial untuk memajukan kesejahteraan umum. Di samping itu, dengan

    disahkannya undang-undang ini, objek wakaf lebih luas cakupannya tidak hanya sebatas

    benda tidak bergerak saja, tapi juga meliputi benda bergerak seperti uang, logam mulia,

    surat berharga, hak sewa dan sebagainya.

    Campur tangan pemerintah terhadap wakaf hanya bersifat pencatatan dan mengawasi

    pemeliharaan benda-benda wakaf agar sesuai dengan tujuan dan maksud wakaf.

    Pemerintah sama sekali tidak mencampuri, menguasai, atau menjadikan benda wakaf

    menjadi milik negara. Kehadiran Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

    secara simbolik menandai kemauan politik negara untuk memperhatikan permasalahan

    sosial umat Islam. Perkembangan peraturan perundang-undangan tentang wakaf hari ini

    sangat ditentukan oleh dinamika internal umat Islam serta hubungan harmonis antara

    Islam dan negara. Iklim politik yang kondusif ini memungkinkan berkembangnya

    filantropi Islam seperti wakaf. Selain itu, demokrasi menyediakan arena bagi artikulasi

    politik Islam secara konstitusional. Pada akhirnya, politik filantropi Islam ditentukan oleh

    proses integrasi/nasionalisasi gagasan sosial-politik Islam ke dalam sistem dan

    konfigurasi sosial politik nasional.

    Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ini menjadi momentum

    pemberdayaan wakaf secara produktif sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang

    komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern. Dalam

    undang-undang wakaf yang baru ini konsep wakaf mengandug dimensi yang sangat luas.

    Ia mencakup harta tidak bergerak, maupun yang bergerak, termasuk wakaf uang yang

    penggunaannya sangat luas, tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial

    keagamaan. Formulasi hukum yang demikian, jelas suatu perubahan yang sangat

    revolusioner. Jika dapat direalisasikan, akan memunculkan pengaruh yang berlipat ganda

    terutama dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat. Dengan demikian,

    Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial

    (social engineering), melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku

    umat Islam agar senafas dengan semangat undang-undang tersebut.

    Dengan disahkannya undang-undang wakaf, agenda politik umat bergeser dari orientasi

    ideologis menuju visi sosial ekonomi yang lebih pragmatis. Situasi ini membantu

    pembentukan proses integrasi gagasan sosial politik Islam ke dalam sistem dan

    konfigurasi sosial politik nasional. Umat mulai menyadari bahwa eksistensi mereka lebih

    bermakna. Apabila mereka kuat secara sosial dan ekonomi dan tidak hanya sekedar

    unggul dalam statistik. Dengan posisi sosial ekonomi yang kuat, negara akan lebih

    memperhitungkan berbagai aspirasi, negosiasi, dan gerakan umat Islam.

    Dengan memperhatikan konteks dan latar belakang lahirnya undang-undang wakaf,

    sangat terkait dengan motif politik, ekonomi, dan tertib hukum. Selain bermaksud

    mengakomodasi kepentingan sosial-religius umat Islam, pemerintah menyadari bahwa

    berkembanganya lembaga wakaf dapat meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat.

    Karenanya tidak mengherankan, pemerintah diwakili Departemen Agama memainkan

    peranan yang signifikan dalam menginisiasi dan menfasilitiasi lahirnya seperangkat

    peraturan filantropi, khususnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

    Sesuai dengan kehendak politik yang tertuang dalam undang-undang ini pemerintah

    bukanlah sebagai pelaksana operasional pengelola wakaf tapi pemerintah hanya berfungsi

    sebagai regulator, motivator, fasilitator, dan publik servis bagi pengelolaan wakaf. Dalam

    menjalankan tugasnya, pemerintah dibantu oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI). Setelah

    lahirnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, pemerintah

    (Departemen Agama) melakukan berbagai upaya dalam rangka mendorong dan

  • 57

    menfasilitasi agar pengelolaan wakaf dapat dilakukan secara profesional, amanah, dan

    transparan sehingga tujuan pengelolaan wakaf dapat tercapai. Untuk itu, sebagai langkah

    kongkrit Departemen Agama dalam merespon kebutuhan tersebut, dibentuklah Direktorat

    Pemberdayaan Wakaf yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Bimbingan

    Masyarakat Islam. Dengan lahirnya Direktorat Pemberdayaan Wakaf yang terpisah dari

    Direktorat Pemberdayaan Zakat merupakan bentuk kesungguhan pemerintah dalam

    mendorong dan menfasilitasi bagi pemberdayaan wakaf secara lebih baik.

    Walaupun terlambat dari negara Islam lainnya, pembentukan Direktorat Pemberdayaan

    Wakaf di Indonesia merupakan bentuk political will pemerintah untuk menuju apa yang

    sudah dilakukan di negara-negara Islam yang terbukti berhasil mengelola wakaf. Seperti

    Mesir dan Yordania yang telah melimpahkan tugas ini pada Kementerian Wakaf. Di

    Turki Direktorat Jenderal Wakaf diberi tugas untuk mengelola dan mengawasi

    pengelolaan wakaf di negara tersebut. Arab Saudi negara Islam yang tergolong serius

    menangani wakaf, membentuk kementrian Haji dan Wakaf tahun 1381 H yang bertugas

    melaksanakan urusan terkait dengan wakaf, mengawasi, dan mengatur perwakafan.

    Tugas Menteri Haji dan Wakaf ini dibantu oleh Majelis Tinggi Wakaf yang dibentuk

    tahun 1386 H.

    D. RUKUN DAN SYARAT Rukun Wakaf Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf.

    1. Orang yang berwakaf (al-waqif). 2. Benda yang diwakafkan (al-mauquf). 3. Orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaihi). 4. Lafadz atau ikrar wakaf (sighah). Syarat-Syarat Wakaf

    1. Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif) Syarat-syarat al-waqif ada empat, yaitu:

    a. Orang yang berwakaf memiliki secara penuh harta itu, artinya dia bebas untuk mewakafkan harta itu kepada siapa yang ia kehendaki.

    b. Orang yang berakal, tidak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk.

    c. Baligh. d. Orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh,

    orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan

    hartanya.

    2. Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf) Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi

    beberapa persyaratan yang ditentukan oleh;

    a. barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga b. harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu

    tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak

    sah.

    c. harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). d. harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan)

    atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai). 3. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih)

    Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam,

    a. tertentu (muayyan), dan Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu,

    apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak

    boleh dirubah.

    b. tidak tertentu (ghaira muayyan). Yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara

    terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat

    ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf

    muayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini

  • 58

    boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila

    tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira

    muayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri

    kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.

    4. Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya

    (tabid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada

    syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti

    oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi

    maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak

    dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan

    penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia

    dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.

    E. HARTA BENDA WAKAF DAN PEMANFAATANNYA Menurut UU No. 41 tahun 2004 pasal 16 ayat 1, harta benda yang dapat diwakafkan

    terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak.

    1. Wakaf benda tidak bergerak Menurut UU No. 41 tahun 2004 pasal 16 ayat 2, benda tidak bergerak yang dapat

    diwakafkan yaitu:

    a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

    b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;

    c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah; d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan

    perundang.undangan yang berlaku;

    e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang.undangan yang berlaku.

    2. Wakaf benda bergerak Benda bergerak yang dapat diwakafkan adalah harta benda yang tidak bisa habis

    karena dikonsumsi, meliputi:

    a. uang;

    b. logam mulia;

    c. surat berharga;

    d. kendaraan;

    e. hak atas kekayaan intelektual;

    f. hak sewa; dan

    g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan

    perundang.undangan yang berlaku.

    F. BADAN WAKAF INDONESIA 1. Profil Badan Wakaf Indonesia

    Kelahiran Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan perwujudan amanat yang

    digariskan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Kehadiran

    BWI, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 47, adalah untuk memajukan dan

    mengembangkan perwakafan di Indonesia. Untuk kali pertama, Keanggotaan BWI

    diangkat oleh Presiden Republik Indonesia, sesuai dengan Keputusan Presiden

    (Kepres) No. 75/M tahun 2007, yang ditetapkan di Jakarta, 13 Juli 2007. Jadi, BWI

    adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang

    dalam melaksanakan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan manapun,

    serta bertanggung jawab kepada masyarakat.

    BWI berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat

    membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota sesuai dengan

    kebutuhan. Dalam kepengurusan, BWI terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan

  • 59

    Pertimbangan, masing-masing dipimpin oleh oleh satu orang Ketua dan dua orang

    Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota. Badan pelaksana merupakan

    unsur pelaksana tugas, sedangkan Dewan Pertimbangan adalah unsure pengawas

    pelaksanaan tugas BWI. Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling

    sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal

    dari unsur masyarakat. (Pasal 51-53, UU No.41/2004).

    Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

    Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah diangkat dan

    diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia. Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia

    diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk

    1 (satu) kali masa jabatan. Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan

    Wakaf Indonesia diusulkan kepada Presiden oleh Menteri. Pengusulan pengangkatan

    keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada Presiden untuk selanjutnya

    dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia. (Pasal 55, 56, 57, UU No.41/2004).

    2. Tugas Dan Wewenang Sesuai dengan UU No. 41/2004 Pasal 49 ayat 1 disebutkan, BWI mempunyai tugas

    dan wewenang sebagai berikut:

    a. Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.

    b. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional.

    c. Memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf.

    d. Memberhentikan dan mengganti nazhir. e. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf. f. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan

    kebijakan di bidang perwakafan.

    Terkait dengan tugas dalam membina nazhir, BWI melakukan beberapa langkah

    strategis, sebagaimana disebutkan dalam PP No.4/2006 pasal 53, meliputi:

    a. Penyiapan sarana dan prasarana penunjang operasional Nazhir wakaf baik perseorangan, organisasi dan badan hukum.

    b. Penyusunan regulasi, pemberian motivasi, pemberian fasilitas, pengkoordinasian, pemberdayaan dan pengembangan terhadap harta benda wakaf.

    c. Penyediaan fasilitas proses sertifikasi Wakaf. d. Penyiapan dan pengadaan blanko-blanko AIW, baik wakaf benda tidak bergerak

    dan/atau benda bergerak.

    e. Penyiapan penyuluh penerangan di daerah untuk melakukan pembinaan dan pengembangan wakaf kepada Nazhir sesuai dengan lingkupnya.

    f. Pemberian fasilitas masuknya dana-dana wakaf dari dalam dan luar negeri dalam pengembangan dan pemberdayaan wakaf.

    3. Visi, Misi dan Strategi BWI Visi dan Misi BWI:

    Visi BWI adalah Terwujudnya lembaga independen yang dipercaya masyarakat, mempunyai kemampuan dan integritas untuk mengembangkan

    perwakafan nasional dan internasional.

    Misi BWI yaitu Menjadikan Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga profesional yang mampu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda

    wakaf untuk kepentingan ibadah dan pemberdayaan masyarakat. Strategi BWI Adapun strategi untuk merealisasikan Visi dan Misi Badan Wakaf Indonesia adalah

    sebagai berikut:

    1. Meningkatkan kompetensi dan jaringan Badan wakaf Indonesia, baik nasional

    maupun internasional.

    2. Membuat peraturan dan kebijakan di bidang perwakafan.

    3. Meningkatkan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk berwakaf.

    4. Meningkatkan profesionalitas dan keamanahan nazhir dalam pengelolaan dan

    pengembangan harta wakaf.

    5. Mengkoordinasi dan membina seluruh nazhir wakaf.

  • 60

    6. Menertibkan pengadministrasian harta benda wakaf.

    7. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.

    8. Menghimpun, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf yang berskala

    nasional dan internasional.

    Untuk merealisasikan visi, misi dan strategi tersebut, BWI mempunyai 5 divisi,

    yakni:

    Divisi Pembinaan Nazhir,

    Divisi Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf,

    Divisi Kelembagaan,

    Divisi Hubungan Masyarakat, dan

    Divisi Peneltian dan Pengembangan Wakaf.