575-632-1-pb
DESCRIPTION
fjhfgdsfdufjdsTRANSCRIPT
Editorial
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 4, April 2008
Profesionalisme bagiProfesi Dokter
Zunilda Djanun Sadikin
Badan Pengembangan dan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)
Ikatan Dokter Indonesia
95
Kata profesionalisme merupakan kata kunci dalam
Undang-Undang RI no. 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran yang sempat membuat gerah kalangan dokter.
Yang langsung tampak oleh para dokter, khususnya para
spesialis, adalah “pembatasan gerak” mereka dalam bentuk
pembatasan jumlah tempat praktik. Itu suatu reaksi yang alami
dalam suatu upaya pembenahan, seperti halnya pembenahan
pedagang K-5. Sebagai organisasi, Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) tentu tidak mungkin mengambil langkah reaktif. Hal
tersebut dibuktikan dalam muktamarnya tahun 2006 yang
berhasil merumuskan visi dan misi organisasi. Visinya
sungguh berat, tetapi tampaknya memang patut dituju, yaitu
terwujudnya dokter Indonesia dengan kompetensi global
yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Untuk mencapai
visi itu dirancanglah 5 strategi utama (grand strategy) yaitu:1
1. Memperkuat infrastruktur organisasi di tingkat pusat,
wilayah, dan cabang.
2. Membina kompetensi dan etika dokter di Indonesia
sesuai dengan standar kompetensi dan kode etik
kedokteran Indonesia.
3. Membangun sistem pembiayaan organisasi yang
mandiri.
4. Membangun sistem pelayanan kedokteran terpadu
5. Membangun citra IDI sebagai organisasi profesi dokter
yang aktif dalam pembangunan kesehatan.
Dalam strategi kedua terdapat misi pembinaan secara
bersistem dalam suatu program pengembangan keprofesian
bersinambung atau continuing professinal development.
Secara salah kaprah program itu resmi disebut sebagai pro-
gram pengembangan dan pendidikan keprofesian ber-
kelanjutan, atau program P2KB. Organ IDI yang bertang-
gungjawab mengelola program pembinaan ini, yaitu Badan
Pengembangan dan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan,
yang memiliki kepanjangan tangan di tingkat wilayah, BP2KB
Wilayah. Dalam badan otonom tersebut duduk dokter dan
spesialis yang mewakili perhimpunan sekaligus kolegiumnya.
Akhir Juni 2007 Ketua Umum IDI, Dr. dr. Fahmi Idris,
M.Kes, mengundang para ketua perhimpunan dokter spesialis
di lingkungan IDI serta para ketua IDI Wilayah sebagai
langkah pertama dalam upaya mewujudkan program P2KB.
Setelah arahan dari Ketua Umum dan Ketua Badan P2KB,
tiga pembicara lain tampil membahas soal P2KB dan
resertifikasi secara lebih rinci.
Kalau ditelusuri empat sasaran strategi kedua IDI dalam
menuju visinya, maka akan ditemukan benang merah P2KB
yang mengait ke majalah ini. Berikut empat sasaran dalam
membina kompetensi dan etika dokter:
1. Setiap anggota memperoleh Continuing Professional
Development dengan akses cepat dan biaya terjangkau.
2. Setiap anggota mendapat Jurnal IDI secara teratur
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 4, April 200896
3. Setiap anggota mendapat perlindungan hukum dan
perlindungan kerja secara proporsional sesuai dengan
wewenang IDI
4. Terbitnya Guideline Audit Medik untuk memastikan
penerapan standar kompetensi dan kode etik kedokteran.
IDI memang terasa dormant selama ini. Orang sempat
bertanya, apa manfaatnya menjadi anggota IDI dan apa
ruginya tidak menjadi anggota IDI. Geliatan pertama berupa
program P2KB ini, agaknya mengejutkan bagi sebagian
anggotanya, bahkan sangat mengejutkan bagi sebagian
besar lainnya. Bagi mereka yang terlibat dalam kepengurusan
pusat sejak periode yang lalu, 4 sasaran di atas bukan gerakan
mimpi apalagi gerak latah, melainkan suatu keniscayaan.
Lebih-lebih kalau kita mau sedikit merenungkan napas yang
terkandung dalam Undang-Undang RI no. 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran,2 atau mau sedikit menengok apa
yang terjadi di luar sana.3-6
Ruh UUPK adalah “melindungi masyarakat dalam
menerima layanan profesi dokter”. Lalu, cobalah tengok dunia
luar dengan kaca mata jernih, kaca mata profesional, maka
kita akan lega melihat 4 sasaran di atas. Itu bukan sasaran
yang mengada-ada, tetapi tentu saja, semua dituntut untuk
siap berubah dan siap menghadapi perubahan.
Pembinaan Profesi
“Pembinaan” adalah kata yang banyak sekali muncul
dalam tatanan lembaga (organisasi), tetapi arti sebenarnya
mungkin tak jelas benar bagi kebanyakan orang. Beberapa
direktoral general atau direktorat di lingkungan Departemen
Kesehatan yang menggunakan kata “pembinaan” atau
“Bina” pada namanya juga rasanya tak sepenuhnya men-
jelaskan arti “pembinaan” itu. Apakah pembinaan benar-benar
sudah terjadi di sekitar kita? Nah kini, dikaitkan pula dengan
profesi.
Kalau kita lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka
pengertian pembinaan diuraikan sebagai berikut: upaya,
tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna
dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Lalu apakah pembinaan profesi? Tampaknya ada euphemism
dalam mengangkat istilah “pembinaan” karena pada
kenyataannya, pembinaan profesi yang dimaksud dalam pro-
gram P2KB ini lebih tepat kalau disebut sebagai bagian dari
upaya pengawasan profesi (professional oversight).3 IDI
kepengurusan 2006-2009 melansir program ini setelah Komisi
III Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian IDI periode
kepengurusan sebelumnya menggodog gagasan itu selama
2 tahun.
Program P2KB pada dasarnya memang merupakan upaya
pembinaan bersistem yang dimaksudkan agar dokter
senantiasa dapat menjalankan profesinya dengan baik dan
itu baru bisa terjadi kalau pengetahuan (knowledge) dan
keterampilan (skill) senantiasa ditingkatkan, serta sikap
(attitude) profesionalnya terjaga.5,7 Oleh karena itu, upaya
ini tidak dapat dilepaskan dari mekanisme licensure atau
pemberian izin praktik. Perlu diketahui bahwa Continuing
Professional Development bukan monopoli profesi dokter,
karena semua profesi yang memberikan jasanya untuk
kepentingan masyarakat luas punya program ini.8 Dengan
demikian, jelas agak aneh kalau CPD dikacaukan penger-
tiannya dengan CME, atau lebih parah lagi, CPD disebutkan
sebagai “menggantikan CME”.
Tidak bisa tidak program P2KB harus dilihat sebagai
bagian dari professional oversight.3 Dalam masa kehidupan
profesinya seorang dokter (juga profesi lain) senantiasa harus
memperbarui ilmu dan keterampilannya karena ilmu
kedokteran selalu berkembang, masalah kedokteran dan
kesehatan senantiasa berubah. Terakhir, tak berlebihan
kiranya kalau dikatakan bahwa kerja dokter berhubungan
dengan kesejahteraan, bahkan, hidup mati seseorang. Oleh
karena itu, IDI bertanggungjawab menjamin bahwa dokter
yang bekerja di Indonesia adalah dokter yang kompeten untuk
memikul tugasnya. Di masa lalu, tanggung jawab itu hanya
dijalankan secara “administratif”, yaitu dengan memberikan
rekomendasi bagi dokter yang akan mengurus izin praktiknya.
Di masa depan tanggung jawab tersebut akan dijalankan
dengan sebenar-benarnya yaitu melalui proses sertifikasi dan
resertifikasi. Untuk itu semua perhimpunan (spesialis maupun
nonspesialis) di bawah IDI harus terlibat: mereka harus
menyelenggarakan pembinaan bersistem bagi anggotanya.
Bukan saja Undang-undang Praktik Kedokteran yang
menuntut demikian, tetapi zaman pun menuntut.
Profesionalisme bagi dokter meliputi kompetensi, etika,
altruism, collegiality, dan accountability.9 Mengembangkan
profesionalisme merupakan kewajiban profesi (professional
imperative) bagi setiap dokter dan itu dimulai saat seorang
calon dokter menjalani pendidikan di fakultas kedokteran.
Oleh karena itu umumnya dokter muda/baru yang baru
memperoleh kompetensinya, yang baru mempelajari etika
kedokteran, dan yang baru mulai melangkah menapaki cita-
citanya tampak “idealis”. Namun, kita tidak dapat menjamin
idealisme itu masih tetap ada setelah beberapa tahun ia
berpraktik. Terlalu banyak faktor yang membuat seseorang
“terpaksa” meninggalkan cita-cita awalnya untuk me-
ngabdikan diri bagi kemanusiaan. Semua unsur pro-
fesionalisme yang seharusnya dipertahankan dan/atau
dikembangkan dalam kehidupan seorang profesional, terasa
sulit sekali diwujudkan. Tentu saja ada CME, tetapi itu tidak
cukup karena CME hanya menyangkut kompetensi. Apalagi
dengan CME yang kita kenal sekarang yang lebih banyak
berupa pengalihan (transfer) pengetahuan, yang belum tentu
mencakup juga keterampilan. Apakah pengetahuan yang
diperoleh dari CME itu membuat seorang dokter berpraktik
lebih baik (bermutu), itu masalah lain. Di sinilah letak
kepentingan organisasi profesi yang pada akhirnya, secara
lembaga, bertanggungjawab atas pelayanan profesinya
kepada masyarakat.2
Profesionalisme bagi Profesi Dokter
Profesionalisme bagi Profesi Dokter
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 4, April 2008 97
Beberapa Prinsip dalam P2KB
Berbeda dengan prinsip dalam pendidikan kedokteran
dasar dan pendidikan spesialis yang berstruktur, P2KB
merupakan kegiatan belajar mandiri dengan ciri self-directed
dan practice-based (Gambar 1). Oleh karena itu
keberlangsungan program P2KB sangat bergantung pada
motivasi para dokter itu sendiri. Dari sudut pandang dokter,
motivasi untuk menjalani P2KB seyogyanya muncul dari tiga
dorongan utama:
1. Dorongan profesional untuk memberikan layanan yang
terbaik kepada pasien
2. Dorongan untuk memenuhi kewajiban kepada pemberi
kerja
3. Dorongan untuk memperoleh kepuasan kerja dan
mencegah “kejenuhan” (burn out)
Banyak bukti telah memperlihatkan bahwa suatu P2KB
ternyata baru efektif bila didukung oleh (a) adanya kebutuhan
untuk mempelajari suatu tema/topik, (b) cara belajar yang
sesuai dengan kebutuhan itu, dan (c) kesempatan untuk
menerapkan hasil belajar itu.5
Dokter sudah lama dikenal sebagai profesi yang akan/
harus belajar sepanjang hidup profesionalnya (life-long
learning profession). Hanya pribadi masing-masing
dokterlah yang tahu apa yang harus atau perlu dipelajarinya.
Banyak cara untuk menetapkan kebutuhan belajar seseorang,
mulai dari ujian formal yang mengacu ke standar kompetensi,
sampai ke cara yang umum dalam kehidupan sehari-hari
seperti penilaian atasan atau teman sekerja, medical audit,
bahkan juga perenungan (refleksi) diri. Berdasarkan learn-
ing needs itu seorang dokter hendaknya menyusun sendiri
rencana pengembangan dirinya dalam bentuk rencana
pengembangan diri (RPD) atau personal development plan.4
Dari uraian di atas jelas bahwa P2KB diperlukan oleh setiap
orang yang menjalankan profesinya. Untuk IDI, P2KB
kedokteran harus dijalani oleh dokter yang berpraktik umum
maupun spesialis.
Coba berhenti sejenak dan kita lihat sasaran keempat
dalam strategi “membina kompetensi dan etika dokter di In-
donesia sesuai dengan standar kompetensi dan kode etik
kedokteran Indonesia”. Tampaklah bahwa medical audit yang
saat ini belum populer di kalangan kita pada dasarnya
merupakan sarana untuk dokter meningkatkan pro-
fesionalismenya, bukan sekedar untuk mencari kesalahan
dalam penanganan pasien. Kita berharap mudah-mudahan
sasaran keempat itu segera tercapai sehingga lebih banyak
peluang untuk menjalankan P2KB.
Prinsip pertama dalam P2KB adalah pembelajarannya
bersifat self-directed dan practice-based, maka unsur utama
untuk dapat berlangsungnya P2KB adalah pencatatan untuk
tujuan pemantauan oleh perhimpunannya. Dalam hal ini
pemanfaatan teknologi informasi akan sangat membantu.
Prinsip kedua, P2KB mengacu kepada kompetensi yang
ditetapkan oleh kolegium.5 Untuk dokter umum kolegium ini
adalah Kolegium Dokter dan Dokter Keluarga Indonesia
dan kompetensinya adalah kompetensi yang ditetapkan oleh
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 4, April 2008
Profesionalisme bagi Profesi Dokter
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).10 Dengan demikian,
suatu program P2KB seyogyanya mencakup semua kegiatan
practicing doctors dan kebijakan umum dalam pelaksanaan
programnya disepakati oleh perhimpunan dan kolegiumnya
melalui Badan P2KB IDI, sedangkan implementasinya
diserahkan kepada perhimpunan. Saat ini perhimpunan
spesialis maupun perhimpunan dokter pelayanan primer di
lingkungan IDI sedang giat menyusun kebijakan operasional
(petunjuk pelaksanaan teknis) P2KB sesuai dengan ciri
layanan bidang profesinya masing-masing.7
P2KB dan Sertifikasi
Seperti telah diuraikan di atas, P2KB bagi seorang dokter
merupakan upaya pembelajaran yang dilaksanakannya
melalui kegiatan praktiknya. Setiap dokter berpraktik berhak
memperoleh kesempatan untuk menjalani program P2KB IDI
yang dikelola oleh perhimpunan dokter yang sesuai dengan
jenis layanan kedokterannya. Tentu sang dokter harus jadi
anggota perhimpunan itu dulu. Program ini merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari proses resertifikasi yang di-
butuhkan untuk mendapatkan izin praktik (lisensure).
Proses resertifikasi adalah proses pemberian surat
keterangan pengakuan oleh perhimpunan profesi dan/atau
kolegiumnya yang menyatakan bahwa seorang dokter dinilai
telah memiliki kemampuan profesi yang setara dengan standar
profesi dan standar kompetensi yang ditetapkan oleh
kolegium yang bersangkutan. Surat keterangan itu bernama
sertifikat kompetensi. Untuk mendapatkan serifikat
kompetensi tersebut dokter tersebut harus mengumpulkan
sejumlah tertentu nilai kredit yang dapat dijadikan ukuran
kompetensinya. Tentu saja nilai itu hanya dapat diperoleh
dari berbagai kegiatannya sebagai dokter karena kompetensi
dokternyalah yang diukur, bukan kompetensinya mengelola
sebuah rumah sakit, misalnya. IDI menetapkan bahwa jumlah
nilai yang harus dikumpulkan adalah 50 per tahun atau 250
per lima tahun.7 Sertifikat kompetensi ini juga diperlukan
untuk registrasi ulang di KKI.
Pembelajaran dalam P2KB
Pertanyaannya sekarang dari mana angka 50 per tahun
itu dapat dikumpulkan? Dalam sosialisasi pertama program
P2KB di kalangan intern pengurus IDI, memang ada beberapa
keberatan tentang jumlah nilai yang dituntut ini, tetapi mari
kita lihat latar belakang munculnya gagasan P2KB (CPD) di
kalangan profesional, dan tujuannya.
Latar belakang munculnya gagasan P2KB adalah
gagalnya upaya pembelajaran bersinambung (CME)
membuat seorang dokter menjadi lebih kompeten. Bayangkan
saja, bagaimana kehadiran dalam sebuah seminar tentang
sirkumsisi dapat membuat seorang terampil melakukan
sirkumsisi? Dapatkah sertifikat kehadiran dalam seminar
tentang tata laksana hepatitis menjadi jaminan bahwa seorang
dokter mampu menangani hepatitis? Hanya praktik melakukan
sirkumsisi yang membuat seseorang terampil melakukannya
dan hanya dengan menangani hepatitis seorang dokter dapat
dinilai kompetensinya dalam menangani hepatitis.
Tujuan dilaksanakannya program P2KB adalah membuat
pelayanan kedokteran lebih bermutu agar masyarakat
pengguna layanan terlindungi.2 Dengan demikian kegiatan
P2KB pun mestinya dirunut ke pekerjaan dokter itu sendiri.
Itulah yang dimaksud dengan practice-based. Masing-
masing spesialis tentu sudah ada standar pelayanannya,
demikian juga dokter praktik umum. Dengan melakukan
tugasnya sebagai dokter puskesmas atau dokter praktik
umum, seseorang dapat mempertahankan kemampuannya
sebagai dokter praktik umum, dan bila dilakukan audit pada
pekerjaannya mutu layanannya pun dapat dijaga. Itulah
pembinaan yang dimaksud dalam strategi kedua mencapai
visi IDI.1 Bagi sejawat yang pernah bekerja di puskesmas,
P2KB mungkin mengingatkannya pada proses pengumpulan
nilai kum kenaikan pangkat.11 Bedanya, dalam P2KB, lebih
banyak kegiatan yang dapat menghasilkan nilai pendidikan/
pembelajaran yang disebut sebagai SKP IDI. Masing-masing
perhimpunan akan membuat petunjuk teknis untuk ini.
Mari kita lihat Tabel 1 (dimodifikasi dari pustaka 7).
Hampir semua kegiatan dalam tabel ini, termasuk penelitian,
sebenarnya merupakan kegiatan yang seharusnya dilakukan
oleh semua dokter, umum maupun spesialis, tetapi kita tidak
melakukannya, entah dengan alasan apa. Program P2KB IDI
ingin mendorong anggotanya untuk melakukan apa yang
seharusnya dilakukan, karena hanya dengan itu pengetahuan,
keterampilan, dan sikap profesional kita dapat diasah.
Tabel 1. Berbagai Kegiatan yang Memberikan Nilai SKP IDI
Kegiatan Jenis kegiatan
Membaca jurnal dan menjawab uji-dirinya. Pembelajaran
Memberikan penyuluhan. Pengabdian masyarakat
Membuat tulisan populer Pengabdian masyarakat
Menulis tinjauan kasus/ tinjauan pustaka/ Karya ilmiah
buku/monograf.
Terlibat dalam suatu panitia/pokja Pengabdian masyarakat/
profesi
Menangani pasien (dengan/tanpa Kegiatan profesional
intervensi)
Melakukan edukasi pasien (perorangan/ Kegiatan profesional
kelompok)
Melakukan kajian mitra bestari Kegiatan professional
(peer review)
Melaporkan kejadian efek samping obat Kegiatan professional
Melakukan skrining kesehatan Kegiatan professional
Menyajikan makalah dalam acara ilmiah Pengembangan ilmu
Membuat penelitian Pengembangan ilmu
Melakukan penelusuran informasi/ Pembelajaran
sesi EBM
Mengajar/membuat soal ujian Pengembangan ilmu
Menjadi penyelia (supervisor) Pengembangan ilmu
Kegiatan 14 dan 15 selama ini hanya dilakukan oleh
mereka yang bekerja di lembaga yang terlibat dalam kegiatan
98
Profesionalisme bagi Profesi Dokter
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 4, April 2008
pendidikan dokter, tetapi dengan berubahnya paradigma
pendidikan kedokteran sekarang ini, bukan tak mungkin
dokter di puskesmas atau yang berpraktik bersama di sebuah
klinik dokter keluarga, dapat menjadi penyelia calon dokter
atau dokter lain yang sedang belajar.
Selama ini kita mengira bahwa kegiatan no. 11, 12, dan
13 hanya patut untuk mereka yang bekerja di perguruan tinggi
atau lembaga penelitian. Anggapan tersebut sama sekali tidak
benar karena pasien yang dihadapi dokter sehari-hari
merupakan sumber data yang dapat diolah untuk
menghasilkan sesuatu (informasi) berharga. Sementara itu,
pelaporan efek samping obat yang sebenarnya sangat
dianjurkan (kalau tak mau disebut diwajibkan) oleh
Departemen Kesehatan hanya tinggal wacana walaupun
lembaga yang bertanggungjawab untuk itu sebenarnya
sudah ada.
Dari Tabel 1. itu juga terlihat bahwa sebenarnya kegiatan
yang dapat dilakukan oleh seorang dokter dapat dibedakan
atas 5 macam yaitu:
1. Kegiatan pembelajaran
2. Kegiatan profesional, yaitu yang berhubungan dengan
tugasnya sebagai dokter
3. Kegiatan pengabdian masyarakat/profesi
4. Kegiatan penulisan karya ilmiah
5. Kegiatan pengembangan ilmu
Budaya Tulis
Suatu body of knowledge yang kita kuasai sekarang ini
pada dasarnya terbentuk dari sebuah budaya tulis. Apa yang
dikenal sebagai kebenaran ilmu direkam dalam berbagai
tulisan, mulai dari pengamatan pribadi, temuan suatu
eksperimen, makalah ilmiah, monograf, sampai ke buku ajar
(textbook). Apa yang ditemui dalam penerapan suatu ilmu,
kedokteran misalnya, seharusnya juga direkam karena
kebenaran ilmu berubah dari waktu ke waktu. Apa yang
ditemui oleh dokter A pada pasiennya belum tentu sama
dengan apa yang tertulis dalam buku ajar tentang penyakit
sang pasien dan mungkin berbeda pula dengan apa yang
ditemui sejawatnya. Hal itu yang belum menjadi kesadaran
kita sehingga segala harta berharga yang tersimpan dalam
berbagai kasus yang ditangani sehari-hari sirna begitu saja.
Kegiatan 4, 8, dan 9 dalam Tabel 1. di atas merupakan kegiatan
yang mungkin baru bagi sebagian besar kita, tetapi melalui
P2KB ini IDI ingin mendorong anggotanya untuk
melakukannya.
MKI sebagai jurnal resmi IDI membuka pintu selebar-
lebarnya untuk memuat rekaman pengalaman para dokter
untuk dibagi bersama sejawat lainnya. Mulai dari pengalaman
pribadi yang unik dalam menangani pasien atau masalah
kesehatan, laporan kasus sulit, temuan baru pada pasien,
termasuk efek samping, sampai ke keraguan atas sesuatu
yang dibaca atau suatu hasil penelitian. Apapun, di sinilah
tempat kita berbagi. Oleh karena itu sejak April 2008 ini, selain
memuat rubrik yang dapat dijadikan ajang belajar dan menguji
kemampuan diri (kegiatan 1 dalam Tabel 1), MKI mengundang
seluruh dokter Indonesia untuk mengungkapkan apa yang
dapat dibagi dengan sesama sejawat dan dengan itu Anda
akan mendapatkan nilai SKP !
Pertanyaan berikut hampir dapat diramalkan munculnya:
bagaimana cara menuliskannya?
Memang dunia kedokteran kita masih berada pada era
peralihan antara budaya tutur dan budaya tulis sehingga
kegiatan publikasi tampak sebagai kegiatan elite. Padahal,
tidaklah demikian. Menulis sesuatu di jurnal, identik dengan
berkomunikasi dengan pasien atau dengan sesama sejawat.
Mula-mula tersendat, lama-lama biasa. Oleh karena itu, redaksi
MKI dengan senang hati menerima tulisan apapun
menyangkut kinerja Anda sebagai dokter, lalu proses
pembiasaan akan kita jalani. Inilah benang merah P2KB yang
mengait ke MKI. Insya Allah
Daftar Pustaka
1. Rapat Kerja Ikatan Dokter Indonesia, Cipayung, Januari 2007.
2. Undang-Undang RI no. 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran.
3. Greiner A. Health professions education: a bridge to quality. Insti-
tute of Medicine, 2003.
4. Davis D, Barnes BE, Fox R. The continuing professional devel-
opment of physicians: from research to practice. American Medi-
cal Association, 2003.
5. World Federation for Medical Education. Continuing professional
development of medical doctors: WFME Global Standards for
Quality Improvement, 2003.
6. Federation of Royal Colleges of Physicians of the UK. Continu-
ing professional development, 2002.
7. Badan P2KB IDI. Pedoman Pelaksanaan Program Pengembangan
dan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan IDI, Jakarta 2007.
8. http://www.rtpi.org.uk/cgi.bin/item.cgi; diunduh tanggal 10 Juli
2007.
9. Sastroasmoro S. Role of professional development in improving
standards of care, 2004).
10. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter,
Jakarta 2006.
11. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Petunjuk Teknis
Penghitungan Angka Kredit Jabatan Fungsional Tenaga Kesehatan
di Lingkungan DinKes Prop.DKI Jakarta, 2003.
SS
99