575-632-1-pb

5
Editorial Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 4, April 2008 Profesionalisme bagi Profesi Dokter Zunilda Djanun Sadikin Badan Pengembangan dan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) Ikatan Dokter Indonesia 95 Kata profesionalisme merupakan kata kunci dalam Undang-Undang RI no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang sempat membuat gerah kalangan dokter. Yang langsung tampak oleh para dokter, khususnya para spesialis, adalah “pembatasan gerak” mereka dalam bentuk pembatasan jumlah tempat praktik. Itu suatu reaksi yang alami dalam suatu upaya pembenahan, seperti halnya pembenahan pedagang K-5. Sebagai organisasi, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentu tidak mungkin mengambil langkah reaktif. Hal tersebut dibuktikan dalam muktamarnya tahun 2006 yang berhasil merumuskan visi dan misi organisasi. Visinya sungguh berat, tetapi tampaknya memang patut dituju, yaitu terwujudnya dokter Indonesia dengan kompetensi global yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Untuk mencapai visi itu dirancanglah 5 strategi utama (grand strategy) yaitu: 1 1. Memperkuat infrastruktur organisasi di tingkat pusat, wilayah, dan cabang. 2. Membina kompetensi dan etika dokter di Indonesia sesuai dengan standar kompetensi dan kode etik kedokteran Indonesia. 3. Membangun sistem pembiayaan organisasi yang mandiri. 4. Membangun sistem pelayanan kedokteran terpadu 5. Membangun citra IDI sebagai organisasi profesi dokter yang aktif dalam pembangunan kesehatan. Dalam strategi kedua terdapat misi pembinaan secara bersistem dalam suatu program pengembangan keprofesian bersinambung atau continuing professinal development. Secara salah kaprah program itu resmi disebut sebagai pro- gram pengembangan dan pendidikan keprofesian ber- kelanjutan, atau program P2KB. Organ IDI yang bertang- gungjawab mengelola program pembinaan ini, yaitu Badan Pengembangan dan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan, yang memiliki kepanjangan tangan di tingkat wilayah, BP2KB Wilayah. Dalam badan otonom tersebut duduk dokter dan spesialis yang mewakili perhimpunan sekaligus kolegiumnya. Akhir Juni 2007 Ketua Umum IDI, Dr. dr. Fahmi Idris, M.Kes, mengundang para ketua perhimpunan dokter spesialis di lingkungan IDI serta para ketua IDI Wilayah sebagai langkah pertama dalam upaya mewujudkan program P2KB. Setelah arahan dari Ketua Umum dan Ketua Badan P2KB, tiga pembicara lain tampil membahas soal P2KB dan resertifikasi secara lebih rinci. Kalau ditelusuri empat sasaran strategi kedua IDI dalam menuju visinya, maka akan ditemukan benang merah P2KB yang mengait ke majalah ini. Berikut empat sasaran dalam membina kompetensi dan etika dokter: 1. Setiap anggota memperoleh Continuing Professional Development dengan akses cepat dan biaya terjangkau. 2. Setiap anggota mendapat Jurnal IDI secara teratur

Upload: affan-msfl

Post on 21-Oct-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

fjhfgdsfdufjds

TRANSCRIPT

Page 1: 575-632-1-PB

Editorial

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 4, April 2008

Profesionalisme bagiProfesi Dokter

Zunilda Djanun Sadikin

Badan Pengembangan dan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)

Ikatan Dokter Indonesia

95

Kata profesionalisme merupakan kata kunci dalam

Undang-Undang RI no. 29 tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran yang sempat membuat gerah kalangan dokter.

Yang langsung tampak oleh para dokter, khususnya para

spesialis, adalah “pembatasan gerak” mereka dalam bentuk

pembatasan jumlah tempat praktik. Itu suatu reaksi yang alami

dalam suatu upaya pembenahan, seperti halnya pembenahan

pedagang K-5. Sebagai organisasi, Ikatan Dokter Indonesia

(IDI) tentu tidak mungkin mengambil langkah reaktif. Hal

tersebut dibuktikan dalam muktamarnya tahun 2006 yang

berhasil merumuskan visi dan misi organisasi. Visinya

sungguh berat, tetapi tampaknya memang patut dituju, yaitu

terwujudnya dokter Indonesia dengan kompetensi global

yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Untuk mencapai

visi itu dirancanglah 5 strategi utama (grand strategy) yaitu:1

1. Memperkuat infrastruktur organisasi di tingkat pusat,

wilayah, dan cabang.

2. Membina kompetensi dan etika dokter di Indonesia

sesuai dengan standar kompetensi dan kode etik

kedokteran Indonesia.

3. Membangun sistem pembiayaan organisasi yang

mandiri.

4. Membangun sistem pelayanan kedokteran terpadu

5. Membangun citra IDI sebagai organisasi profesi dokter

yang aktif dalam pembangunan kesehatan.

Dalam strategi kedua terdapat misi pembinaan secara

bersistem dalam suatu program pengembangan keprofesian

bersinambung atau continuing professinal development.

Secara salah kaprah program itu resmi disebut sebagai pro-

gram pengembangan dan pendidikan keprofesian ber-

kelanjutan, atau program P2KB. Organ IDI yang bertang-

gungjawab mengelola program pembinaan ini, yaitu Badan

Pengembangan dan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan,

yang memiliki kepanjangan tangan di tingkat wilayah, BP2KB

Wilayah. Dalam badan otonom tersebut duduk dokter dan

spesialis yang mewakili perhimpunan sekaligus kolegiumnya.

Akhir Juni 2007 Ketua Umum IDI, Dr. dr. Fahmi Idris,

M.Kes, mengundang para ketua perhimpunan dokter spesialis

di lingkungan IDI serta para ketua IDI Wilayah sebagai

langkah pertama dalam upaya mewujudkan program P2KB.

Setelah arahan dari Ketua Umum dan Ketua Badan P2KB,

tiga pembicara lain tampil membahas soal P2KB dan

resertifikasi secara lebih rinci.

Kalau ditelusuri empat sasaran strategi kedua IDI dalam

menuju visinya, maka akan ditemukan benang merah P2KB

yang mengait ke majalah ini. Berikut empat sasaran dalam

membina kompetensi dan etika dokter:

1. Setiap anggota memperoleh Continuing Professional

Development dengan akses cepat dan biaya terjangkau.

2. Setiap anggota mendapat Jurnal IDI secara teratur

Page 2: 575-632-1-PB

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 4, April 200896

3. Setiap anggota mendapat perlindungan hukum dan

perlindungan kerja secara proporsional sesuai dengan

wewenang IDI

4. Terbitnya Guideline Audit Medik untuk memastikan

penerapan standar kompetensi dan kode etik kedokteran.

IDI memang terasa dormant selama ini. Orang sempat

bertanya, apa manfaatnya menjadi anggota IDI dan apa

ruginya tidak menjadi anggota IDI. Geliatan pertama berupa

program P2KB ini, agaknya mengejutkan bagi sebagian

anggotanya, bahkan sangat mengejutkan bagi sebagian

besar lainnya. Bagi mereka yang terlibat dalam kepengurusan

pusat sejak periode yang lalu, 4 sasaran di atas bukan gerakan

mimpi apalagi gerak latah, melainkan suatu keniscayaan.

Lebih-lebih kalau kita mau sedikit merenungkan napas yang

terkandung dalam Undang-Undang RI no. 29 tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran,2 atau mau sedikit menengok apa

yang terjadi di luar sana.3-6

Ruh UUPK adalah “melindungi masyarakat dalam

menerima layanan profesi dokter”. Lalu, cobalah tengok dunia

luar dengan kaca mata jernih, kaca mata profesional, maka

kita akan lega melihat 4 sasaran di atas. Itu bukan sasaran

yang mengada-ada, tetapi tentu saja, semua dituntut untuk

siap berubah dan siap menghadapi perubahan.

Pembinaan Profesi

“Pembinaan” adalah kata yang banyak sekali muncul

dalam tatanan lembaga (organisasi), tetapi arti sebenarnya

mungkin tak jelas benar bagi kebanyakan orang. Beberapa

direktoral general atau direktorat di lingkungan Departemen

Kesehatan yang menggunakan kata “pembinaan” atau

“Bina” pada namanya juga rasanya tak sepenuhnya men-

jelaskan arti “pembinaan” itu. Apakah pembinaan benar-benar

sudah terjadi di sekitar kita? Nah kini, dikaitkan pula dengan

profesi.

Kalau kita lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka

pengertian pembinaan diuraikan sebagai berikut: upaya,

tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna

dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.

Lalu apakah pembinaan profesi? Tampaknya ada euphemism

dalam mengangkat istilah “pembinaan” karena pada

kenyataannya, pembinaan profesi yang dimaksud dalam pro-

gram P2KB ini lebih tepat kalau disebut sebagai bagian dari

upaya pengawasan profesi (professional oversight).3 IDI

kepengurusan 2006-2009 melansir program ini setelah Komisi

III Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian IDI periode

kepengurusan sebelumnya menggodog gagasan itu selama

2 tahun.

Program P2KB pada dasarnya memang merupakan upaya

pembinaan bersistem yang dimaksudkan agar dokter

senantiasa dapat menjalankan profesinya dengan baik dan

itu baru bisa terjadi kalau pengetahuan (knowledge) dan

keterampilan (skill) senantiasa ditingkatkan, serta sikap

(attitude) profesionalnya terjaga.5,7 Oleh karena itu, upaya

ini tidak dapat dilepaskan dari mekanisme licensure atau

pemberian izin praktik. Perlu diketahui bahwa Continuing

Professional Development bukan monopoli profesi dokter,

karena semua profesi yang memberikan jasanya untuk

kepentingan masyarakat luas punya program ini.8 Dengan

demikian, jelas agak aneh kalau CPD dikacaukan penger-

tiannya dengan CME, atau lebih parah lagi, CPD disebutkan

sebagai “menggantikan CME”.

Tidak bisa tidak program P2KB harus dilihat sebagai

bagian dari professional oversight.3 Dalam masa kehidupan

profesinya seorang dokter (juga profesi lain) senantiasa harus

memperbarui ilmu dan keterampilannya karena ilmu

kedokteran selalu berkembang, masalah kedokteran dan

kesehatan senantiasa berubah. Terakhir, tak berlebihan

kiranya kalau dikatakan bahwa kerja dokter berhubungan

dengan kesejahteraan, bahkan, hidup mati seseorang. Oleh

karena itu, IDI bertanggungjawab menjamin bahwa dokter

yang bekerja di Indonesia adalah dokter yang kompeten untuk

memikul tugasnya. Di masa lalu, tanggung jawab itu hanya

dijalankan secara “administratif”, yaitu dengan memberikan

rekomendasi bagi dokter yang akan mengurus izin praktiknya.

Di masa depan tanggung jawab tersebut akan dijalankan

dengan sebenar-benarnya yaitu melalui proses sertifikasi dan

resertifikasi. Untuk itu semua perhimpunan (spesialis maupun

nonspesialis) di bawah IDI harus terlibat: mereka harus

menyelenggarakan pembinaan bersistem bagi anggotanya.

Bukan saja Undang-undang Praktik Kedokteran yang

menuntut demikian, tetapi zaman pun menuntut.

Profesionalisme bagi dokter meliputi kompetensi, etika,

altruism, collegiality, dan accountability.9 Mengembangkan

profesionalisme merupakan kewajiban profesi (professional

imperative) bagi setiap dokter dan itu dimulai saat seorang

calon dokter menjalani pendidikan di fakultas kedokteran.

Oleh karena itu umumnya dokter muda/baru yang baru

memperoleh kompetensinya, yang baru mempelajari etika

kedokteran, dan yang baru mulai melangkah menapaki cita-

citanya tampak “idealis”. Namun, kita tidak dapat menjamin

idealisme itu masih tetap ada setelah beberapa tahun ia

berpraktik. Terlalu banyak faktor yang membuat seseorang

“terpaksa” meninggalkan cita-cita awalnya untuk me-

ngabdikan diri bagi kemanusiaan. Semua unsur pro-

fesionalisme yang seharusnya dipertahankan dan/atau

dikembangkan dalam kehidupan seorang profesional, terasa

sulit sekali diwujudkan. Tentu saja ada CME, tetapi itu tidak

cukup karena CME hanya menyangkut kompetensi. Apalagi

dengan CME yang kita kenal sekarang yang lebih banyak

berupa pengalihan (transfer) pengetahuan, yang belum tentu

mencakup juga keterampilan. Apakah pengetahuan yang

diperoleh dari CME itu membuat seorang dokter berpraktik

lebih baik (bermutu), itu masalah lain. Di sinilah letak

kepentingan organisasi profesi yang pada akhirnya, secara

lembaga, bertanggungjawab atas pelayanan profesinya

kepada masyarakat.2

Profesionalisme bagi Profesi Dokter

Page 3: 575-632-1-PB

Profesionalisme bagi Profesi Dokter

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 4, April 2008 97

Beberapa Prinsip dalam P2KB

Berbeda dengan prinsip dalam pendidikan kedokteran

dasar dan pendidikan spesialis yang berstruktur, P2KB

merupakan kegiatan belajar mandiri dengan ciri self-directed

dan practice-based (Gambar 1). Oleh karena itu

keberlangsungan program P2KB sangat bergantung pada

motivasi para dokter itu sendiri. Dari sudut pandang dokter,

motivasi untuk menjalani P2KB seyogyanya muncul dari tiga

dorongan utama:

1. Dorongan profesional untuk memberikan layanan yang

terbaik kepada pasien

2. Dorongan untuk memenuhi kewajiban kepada pemberi

kerja

3. Dorongan untuk memperoleh kepuasan kerja dan

mencegah “kejenuhan” (burn out)

Banyak bukti telah memperlihatkan bahwa suatu P2KB

ternyata baru efektif bila didukung oleh (a) adanya kebutuhan

untuk mempelajari suatu tema/topik, (b) cara belajar yang

sesuai dengan kebutuhan itu, dan (c) kesempatan untuk

menerapkan hasil belajar itu.5

Dokter sudah lama dikenal sebagai profesi yang akan/

harus belajar sepanjang hidup profesionalnya (life-long

learning profession). Hanya pribadi masing-masing

dokterlah yang tahu apa yang harus atau perlu dipelajarinya.

Banyak cara untuk menetapkan kebutuhan belajar seseorang,

mulai dari ujian formal yang mengacu ke standar kompetensi,

sampai ke cara yang umum dalam kehidupan sehari-hari

seperti penilaian atasan atau teman sekerja, medical audit,

bahkan juga perenungan (refleksi) diri. Berdasarkan learn-

ing needs itu seorang dokter hendaknya menyusun sendiri

rencana pengembangan dirinya dalam bentuk rencana

pengembangan diri (RPD) atau personal development plan.4

Dari uraian di atas jelas bahwa P2KB diperlukan oleh setiap

orang yang menjalankan profesinya. Untuk IDI, P2KB

kedokteran harus dijalani oleh dokter yang berpraktik umum

maupun spesialis.

Coba berhenti sejenak dan kita lihat sasaran keempat

dalam strategi “membina kompetensi dan etika dokter di In-

donesia sesuai dengan standar kompetensi dan kode etik

kedokteran Indonesia”. Tampaklah bahwa medical audit yang

saat ini belum populer di kalangan kita pada dasarnya

merupakan sarana untuk dokter meningkatkan pro-

fesionalismenya, bukan sekedar untuk mencari kesalahan

dalam penanganan pasien. Kita berharap mudah-mudahan

sasaran keempat itu segera tercapai sehingga lebih banyak

peluang untuk menjalankan P2KB.

Prinsip pertama dalam P2KB adalah pembelajarannya

bersifat self-directed dan practice-based, maka unsur utama

untuk dapat berlangsungnya P2KB adalah pencatatan untuk

tujuan pemantauan oleh perhimpunannya. Dalam hal ini

pemanfaatan teknologi informasi akan sangat membantu.

Prinsip kedua, P2KB mengacu kepada kompetensi yang

ditetapkan oleh kolegium.5 Untuk dokter umum kolegium ini

adalah Kolegium Dokter dan Dokter Keluarga Indonesia

dan kompetensinya adalah kompetensi yang ditetapkan oleh

Page 4: 575-632-1-PB

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 4, April 2008

Profesionalisme bagi Profesi Dokter

Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).10 Dengan demikian,

suatu program P2KB seyogyanya mencakup semua kegiatan

practicing doctors dan kebijakan umum dalam pelaksanaan

programnya disepakati oleh perhimpunan dan kolegiumnya

melalui Badan P2KB IDI, sedangkan implementasinya

diserahkan kepada perhimpunan. Saat ini perhimpunan

spesialis maupun perhimpunan dokter pelayanan primer di

lingkungan IDI sedang giat menyusun kebijakan operasional

(petunjuk pelaksanaan teknis) P2KB sesuai dengan ciri

layanan bidang profesinya masing-masing.7

P2KB dan Sertifikasi

Seperti telah diuraikan di atas, P2KB bagi seorang dokter

merupakan upaya pembelajaran yang dilaksanakannya

melalui kegiatan praktiknya. Setiap dokter berpraktik berhak

memperoleh kesempatan untuk menjalani program P2KB IDI

yang dikelola oleh perhimpunan dokter yang sesuai dengan

jenis layanan kedokterannya. Tentu sang dokter harus jadi

anggota perhimpunan itu dulu. Program ini merupakan bagian

yang tak terpisahkan dari proses resertifikasi yang di-

butuhkan untuk mendapatkan izin praktik (lisensure).

Proses resertifikasi adalah proses pemberian surat

keterangan pengakuan oleh perhimpunan profesi dan/atau

kolegiumnya yang menyatakan bahwa seorang dokter dinilai

telah memiliki kemampuan profesi yang setara dengan standar

profesi dan standar kompetensi yang ditetapkan oleh

kolegium yang bersangkutan. Surat keterangan itu bernama

sertifikat kompetensi. Untuk mendapatkan serifikat

kompetensi tersebut dokter tersebut harus mengumpulkan

sejumlah tertentu nilai kredit yang dapat dijadikan ukuran

kompetensinya. Tentu saja nilai itu hanya dapat diperoleh

dari berbagai kegiatannya sebagai dokter karena kompetensi

dokternyalah yang diukur, bukan kompetensinya mengelola

sebuah rumah sakit, misalnya. IDI menetapkan bahwa jumlah

nilai yang harus dikumpulkan adalah 50 per tahun atau 250

per lima tahun.7 Sertifikat kompetensi ini juga diperlukan

untuk registrasi ulang di KKI.

Pembelajaran dalam P2KB

Pertanyaannya sekarang dari mana angka 50 per tahun

itu dapat dikumpulkan? Dalam sosialisasi pertama program

P2KB di kalangan intern pengurus IDI, memang ada beberapa

keberatan tentang jumlah nilai yang dituntut ini, tetapi mari

kita lihat latar belakang munculnya gagasan P2KB (CPD) di

kalangan profesional, dan tujuannya.

Latar belakang munculnya gagasan P2KB adalah

gagalnya upaya pembelajaran bersinambung (CME)

membuat seorang dokter menjadi lebih kompeten. Bayangkan

saja, bagaimana kehadiran dalam sebuah seminar tentang

sirkumsisi dapat membuat seorang terampil melakukan

sirkumsisi? Dapatkah sertifikat kehadiran dalam seminar

tentang tata laksana hepatitis menjadi jaminan bahwa seorang

dokter mampu menangani hepatitis? Hanya praktik melakukan

sirkumsisi yang membuat seseorang terampil melakukannya

dan hanya dengan menangani hepatitis seorang dokter dapat

dinilai kompetensinya dalam menangani hepatitis.

Tujuan dilaksanakannya program P2KB adalah membuat

pelayanan kedokteran lebih bermutu agar masyarakat

pengguna layanan terlindungi.2 Dengan demikian kegiatan

P2KB pun mestinya dirunut ke pekerjaan dokter itu sendiri.

Itulah yang dimaksud dengan practice-based. Masing-

masing spesialis tentu sudah ada standar pelayanannya,

demikian juga dokter praktik umum. Dengan melakukan

tugasnya sebagai dokter puskesmas atau dokter praktik

umum, seseorang dapat mempertahankan kemampuannya

sebagai dokter praktik umum, dan bila dilakukan audit pada

pekerjaannya mutu layanannya pun dapat dijaga. Itulah

pembinaan yang dimaksud dalam strategi kedua mencapai

visi IDI.1 Bagi sejawat yang pernah bekerja di puskesmas,

P2KB mungkin mengingatkannya pada proses pengumpulan

nilai kum kenaikan pangkat.11 Bedanya, dalam P2KB, lebih

banyak kegiatan yang dapat menghasilkan nilai pendidikan/

pembelajaran yang disebut sebagai SKP IDI. Masing-masing

perhimpunan akan membuat petunjuk teknis untuk ini.

Mari kita lihat Tabel 1 (dimodifikasi dari pustaka 7).

Hampir semua kegiatan dalam tabel ini, termasuk penelitian,

sebenarnya merupakan kegiatan yang seharusnya dilakukan

oleh semua dokter, umum maupun spesialis, tetapi kita tidak

melakukannya, entah dengan alasan apa. Program P2KB IDI

ingin mendorong anggotanya untuk melakukan apa yang

seharusnya dilakukan, karena hanya dengan itu pengetahuan,

keterampilan, dan sikap profesional kita dapat diasah.

Tabel 1. Berbagai Kegiatan yang Memberikan Nilai SKP IDI

Kegiatan Jenis kegiatan

Membaca jurnal dan menjawab uji-dirinya. Pembelajaran

Memberikan penyuluhan. Pengabdian masyarakat

Membuat tulisan populer Pengabdian masyarakat

Menulis tinjauan kasus/ tinjauan pustaka/ Karya ilmiah

buku/monograf.

Terlibat dalam suatu panitia/pokja Pengabdian masyarakat/

profesi

Menangani pasien (dengan/tanpa Kegiatan profesional

intervensi)

Melakukan edukasi pasien (perorangan/ Kegiatan profesional

kelompok)

Melakukan kajian mitra bestari Kegiatan professional

(peer review)

Melaporkan kejadian efek samping obat Kegiatan professional

Melakukan skrining kesehatan Kegiatan professional

Menyajikan makalah dalam acara ilmiah Pengembangan ilmu

Membuat penelitian Pengembangan ilmu

Melakukan penelusuran informasi/ Pembelajaran

sesi EBM

Mengajar/membuat soal ujian Pengembangan ilmu

Menjadi penyelia (supervisor) Pengembangan ilmu

Kegiatan 14 dan 15 selama ini hanya dilakukan oleh

mereka yang bekerja di lembaga yang terlibat dalam kegiatan

98

Page 5: 575-632-1-PB

Profesionalisme bagi Profesi Dokter

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 4, April 2008

pendidikan dokter, tetapi dengan berubahnya paradigma

pendidikan kedokteran sekarang ini, bukan tak mungkin

dokter di puskesmas atau yang berpraktik bersama di sebuah

klinik dokter keluarga, dapat menjadi penyelia calon dokter

atau dokter lain yang sedang belajar.

Selama ini kita mengira bahwa kegiatan no. 11, 12, dan

13 hanya patut untuk mereka yang bekerja di perguruan tinggi

atau lembaga penelitian. Anggapan tersebut sama sekali tidak

benar karena pasien yang dihadapi dokter sehari-hari

merupakan sumber data yang dapat diolah untuk

menghasilkan sesuatu (informasi) berharga. Sementara itu,

pelaporan efek samping obat yang sebenarnya sangat

dianjurkan (kalau tak mau disebut diwajibkan) oleh

Departemen Kesehatan hanya tinggal wacana walaupun

lembaga yang bertanggungjawab untuk itu sebenarnya

sudah ada.

Dari Tabel 1. itu juga terlihat bahwa sebenarnya kegiatan

yang dapat dilakukan oleh seorang dokter dapat dibedakan

atas 5 macam yaitu:

1. Kegiatan pembelajaran

2. Kegiatan profesional, yaitu yang berhubungan dengan

tugasnya sebagai dokter

3. Kegiatan pengabdian masyarakat/profesi

4. Kegiatan penulisan karya ilmiah

5. Kegiatan pengembangan ilmu

Budaya Tulis

Suatu body of knowledge yang kita kuasai sekarang ini

pada dasarnya terbentuk dari sebuah budaya tulis. Apa yang

dikenal sebagai kebenaran ilmu direkam dalam berbagai

tulisan, mulai dari pengamatan pribadi, temuan suatu

eksperimen, makalah ilmiah, monograf, sampai ke buku ajar

(textbook). Apa yang ditemui dalam penerapan suatu ilmu,

kedokteran misalnya, seharusnya juga direkam karena

kebenaran ilmu berubah dari waktu ke waktu. Apa yang

ditemui oleh dokter A pada pasiennya belum tentu sama

dengan apa yang tertulis dalam buku ajar tentang penyakit

sang pasien dan mungkin berbeda pula dengan apa yang

ditemui sejawatnya. Hal itu yang belum menjadi kesadaran

kita sehingga segala harta berharga yang tersimpan dalam

berbagai kasus yang ditangani sehari-hari sirna begitu saja.

Kegiatan 4, 8, dan 9 dalam Tabel 1. di atas merupakan kegiatan

yang mungkin baru bagi sebagian besar kita, tetapi melalui

P2KB ini IDI ingin mendorong anggotanya untuk

melakukannya.

MKI sebagai jurnal resmi IDI membuka pintu selebar-

lebarnya untuk memuat rekaman pengalaman para dokter

untuk dibagi bersama sejawat lainnya. Mulai dari pengalaman

pribadi yang unik dalam menangani pasien atau masalah

kesehatan, laporan kasus sulit, temuan baru pada pasien,

termasuk efek samping, sampai ke keraguan atas sesuatu

yang dibaca atau suatu hasil penelitian. Apapun, di sinilah

tempat kita berbagi. Oleh karena itu sejak April 2008 ini, selain

memuat rubrik yang dapat dijadikan ajang belajar dan menguji

kemampuan diri (kegiatan 1 dalam Tabel 1), MKI mengundang

seluruh dokter Indonesia untuk mengungkapkan apa yang

dapat dibagi dengan sesama sejawat dan dengan itu Anda

akan mendapatkan nilai SKP !

Pertanyaan berikut hampir dapat diramalkan munculnya:

bagaimana cara menuliskannya?

Memang dunia kedokteran kita masih berada pada era

peralihan antara budaya tutur dan budaya tulis sehingga

kegiatan publikasi tampak sebagai kegiatan elite. Padahal,

tidaklah demikian. Menulis sesuatu di jurnal, identik dengan

berkomunikasi dengan pasien atau dengan sesama sejawat.

Mula-mula tersendat, lama-lama biasa. Oleh karena itu, redaksi

MKI dengan senang hati menerima tulisan apapun

menyangkut kinerja Anda sebagai dokter, lalu proses

pembiasaan akan kita jalani. Inilah benang merah P2KB yang

mengait ke MKI. Insya Allah

Daftar Pustaka

1. Rapat Kerja Ikatan Dokter Indonesia, Cipayung, Januari 2007.

2. Undang-Undang RI no. 29 tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran.

3. Greiner A. Health professions education: a bridge to quality. Insti-

tute of Medicine, 2003.

4. Davis D, Barnes BE, Fox R. The continuing professional devel-

opment of physicians: from research to practice. American Medi-

cal Association, 2003.

5. World Federation for Medical Education. Continuing professional

development of medical doctors: WFME Global Standards for

Quality Improvement, 2003.

6. Federation of Royal Colleges of Physicians of the UK. Continu-

ing professional development, 2002.

7. Badan P2KB IDI. Pedoman Pelaksanaan Program Pengembangan

dan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan IDI, Jakarta 2007.

8. http://www.rtpi.org.uk/cgi.bin/item.cgi; diunduh tanggal 10 Juli

2007.

9. Sastroasmoro S. Role of professional development in improving

standards of care, 2004).

10. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter,

Jakarta 2006.

11. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Petunjuk Teknis

Penghitungan Angka Kredit Jabatan Fungsional Tenaga Kesehatan

di Lingkungan DinKes Prop.DKI Jakarta, 2003.

SS

99