54767818-rasyid-ridha

14
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Islam awal, yang memadukan prinsip-prinsip ini dan melaksanakannya sesuai dengan daya dinamis dan fleksibilitas Islam, berkembang selama dua abad menjadi suatu peradaban yang kompleks. Kemajuan sosial, dan politik, pencerahan agama dan pencapaian ilmu hadir sebagai ciri khas integral dari revolusi Islam. Keunggulan Islam yang berlipat ganda telah menjadi mercusuar bagi abad dua puluh yang berperadaban, memberikan inspirasi kepada para sarjana dari berbagai bangsa dan agama. 1 Tetapi perkembangan selama berabad-abad tersebut seakan meredup dimulai pada abad ke-16 M sampai pada permulaan abad ke-20 M. Masa- masa itu merupakan masa suram dari kekhalifahan Turki Usmani menuju kehancuran imperiumnya yang membentang dari jazirah Arab sampai dengan sebagian daratan Eropa Timur. Masa kemunduran Islam merupakan masa kemajuan dari bangsa Eropa yang telah mampu mengungguli peradaban Islam baik dalam teknologi, politik, maupun sosialnya. Bagi Ibn Khaldun, negara Islam, sebagaimana semua negara yang stabil dan baik, merupakan perpaduan antara kerajaan (mulk) dan negara yang berdasarkan syariah. Pemerintahan semacam ini terwujud pada semua kesultanan masa ituPemerintahan semacam ini terwujud pada semua kesultanan masa itu, dan juga pada Imperium Utsmani, yang dalam satu hal adalah ahli waris dari perkembangan politik Islam secara keseluruhan. Pertama-tama, imperium ini merupakan kerajaan dinasti, dengan loyalitas yang terpusat pada seorang individu-atau tepatnya sekelompok individu, sebuah keluarga. Menurunkan seorang sultan yang dipandang tidak mampu memerintah dan dinyatakan tidak mampu oleh para penjaga hukum adalah suatu yang dianggap sah, tetapi di sini terdapat perkecualian bahwa orang- 1 Prof. Dr. Abdulrahman Abdulkadir Kurdi, Tatanan Sosial Islam (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2000) hlm. 1-2 1

Upload: abu-zubair

Post on 06-Aug-2015

15 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: 54767818-rasyid-ridha

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Islam awal, yang memadukan prinsip-prinsip ini dan

melaksanakannya sesuai dengan daya dinamis dan fleksibilitas Islam,

berkembang selama dua abad menjadi suatu peradaban yang kompleks.

Kemajuan sosial, dan politik, pencerahan agama dan pencapaian ilmu hadir

sebagai ciri khas integral dari revolusi Islam. Keunggulan Islam yang berlipat

ganda telah menjadi mercusuar bagi abad dua puluh yang berperadaban,

memberikan inspirasi kepada para sarjana dari berbagai bangsa dan agama.1

Tetapi perkembangan selama berabad-abad tersebut seakan meredup

dimulai pada abad ke-16 M sampai pada permulaan abad ke-20 M. Masa-

masa itu merupakan masa suram dari kekhalifahan Turki Usmani menuju

kehancuran imperiumnya yang membentang dari jazirah Arab sampai dengan

sebagian daratan Eropa Timur. Masa kemunduran Islam merupakan masa

kemajuan dari bangsa Eropa yang telah mampu mengungguli peradaban

Islam baik dalam teknologi, politik, maupun sosialnya.

Bagi Ibn Khaldun, negara Islam, sebagaimana semua negara yang

stabil dan baik, merupakan perpaduan antara kerajaan (mulk) dan negara yang

berdasarkan syariah. Pemerintahan semacam ini terwujud pada semua

kesultanan masa ituPemerintahan semacam ini terwujud pada semua

kesultanan masa itu, dan juga pada Imperium Utsmani, yang dalam satu hal

adalah ahli waris dari perkembangan politik Islam secara keseluruhan.

Pertama-tama, imperium ini merupakan kerajaan dinasti, dengan loyalitas

yang terpusat pada seorang individu-atau tepatnya sekelompok individu,

sebuah keluarga. Menurunkan seorang sultan yang dipandang tidak mampu

memerintah dan dinyatakan tidak mampu oleh para penjaga hukum adalah

suatu yang dianggap sah, tetapi di sini terdapat perkecualian bahwa orang-

1 Prof. Dr. Abdulrahman Abdulkadir Kurdi, Tatanan Sosial Islam (Yogyakarta: pustaka

Pelajar, 2000) hlm. 1-2

1

Page 2: 54767818-rasyid-ridha

orang yang memberontak tidak pernah mempersoalkan hak keluarga ‘Utsman

untuk memerintah.2

Di dalam sebuah imperium yang sangat besar dan majemuk,

memelihara kesatuuan pelbagai komunitas yang berbeda-beda membutuhkan

penggunaan kekuasaan sultan secara konstan dan piawai untuk mengatur

pelbagai kepentingan. Akan tetapi, bahkan pada puncak kekuasaan Imperium

‘Utsmani, di masa pemerintahan Sulaiman Agung, tidak muncul suara-suara

tidak puas yang mengingatkan sultan dan para menterinya tentang betapa

rapuhnya struktur pemerintahan, dan kenyataannya mulai awal abad ke-17 M

melemahnya kekuatan imperium ini tampak jelas.3

Sepertinya pembaharuan-pembaharuan para ahli politik Islam sudah

sangat terlambat melakukan perombakan struktur serta sistem yang ada pada

saat itu. Sudah sangat sulit melakukan reformasi sistem itu karena sudah

begitu kompleknya persoalan yang dialami Imperium ‘Utsmani yang

dikarenakan rapuhnya struktur pemerintahannya.

Pada makalah ini akan dijelaskan pembaharuan yang pernah

dilontarkan oleh para ahli politik Islam pada masanya, khususnya adalah

Rasyid Ridha.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah riwayat hidup dari Rasyid Ridha?

2. Bagaimana pemikiran dari Rasyid Ridha pada masa kemunduran Islam?

3. Bagaimanakah analisis terhadap pemikiran Rasyid Ridha?

2 Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung: Mizan, 2004) hlm. 42

3 Ibid., hlm. 58

2

Page 3: 54767818-rasyid-ridha

BAB II

RIWAYAT HIDUP

Sayyid Muhammad Rasyid Ridha lahir pada hari Rabu, tanggal 27 Jumadi

al-Ula 1282 H atau 18 Oktober 1865 M di Qalamun, sebuah desa yang terletak di

pantai Laut Temgah, sekitar 3 mil jauhnya di sebelah selatan kota Tripoli,

Libanon. Saat itu Libanon merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Turki

Usmani.

Sayyid Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Muhammad Syamsuddin al-

Qalamuni adalah murid terdekat Muhammad Abduh. Menurut keterangan, ia

berasal dari keturunan Al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW dari keturunan al-

Husayn, putra Ali ibn Abi al-Thalib dengan Fathimah, putri Rasulullah SAW.

Itulah sebabnya, Ridha menyandang gelar al-Sayyid di depan namanya.4

Semasa kecil dan mencapai usia tujuh tahun ia dimasukkan ke madrasah

tradisional yang disebut Kuttab di Al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung

dan membaca Al-Quran. Beberapa tahun setelah menamatkan pelajarannya di

Kuttab, Ridha meneruskan pelajarannya di Madrasah Ibtida’iyyah al-Rusydiyyah

di Tripoli di mana ia diajarkan ilmu nahwu, sharaf, tauhid, fiqh, ilmu bumi, dan

matematika. Karena tujuan madrasah milik pemerintah Turki ini untuk

mempersiapkan sumber daya manusia bagi pemerintah, maka Ridha keluar dari

madrasah tersebut karena ia enggan menjadi pegawai pemerintah.

Di tahun 1882 M/ 1300 H, ia meneruskan pelajaran di Al-Madrasah Al-

Wataniyah Al-islamiyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Sekolah ini

didirikan oleh Al-syaikh Husain Al-Jisr, seorang ulama Islam Libanon yang telah

dipengaruhi oleh ide-ide modern yang digulirkan oleh al-Sayyid Jamal al-Din al

Afghani dan Syekh Muhammad Abduh.5 Namun, madrasah tersebut tidak

berumur panjang karena mendapat tantangan dari pemerintah Kerajaan Usmani .6

4 A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar

(Jakarta:Erlangga) hlm. 26

5 Ibid., hlm. 27

6 Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan gerakan

(Jakarta: Bulan Bintang, 1992) hlm. 69

3

Page 4: 54767818-rasyid-ridha

Rasyid Ridha memiliki perhatian pada gerakan tarekat, dan bergaul

dengan berbagai penganut tarekat, terutama tarekat naqsyabandiyah. Tetapi tidak

lama kemudian ia menjadi sangat kecewa dengan golongan-golongan tarekat

tersebut. Alasan utama karena ritual dan cara mereka berzikir dianggap tidak

sesuai dengan ajaran Islam yang benar.alasan yang lain mungkin karena ia telah

berkenalan dengan aliran pemurnian Islam dari Afgani. Karena itulah ia berubah

memusuhi penganut-penganut tarekat.7

Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang

ada di Tripoli. Tetapi hubungan dengan Al-syaikh Husain Al-Jisr berjalan terus

dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya ia

banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh

melalui majalah Al-Urwah Al-Wustqa. Ia berniat untuk menggabungkan diri

dengan Al-Afghani di Istanbul tetapi niat itu tak terwujud. Sewaktu Muhammad

Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, ia mendapat kesempatan baik untuk

berjumpa dan berdialog dengan murid terdekat Al-Afghani ini.8

Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh

pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang

pemimpin pembaru dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang pembaru

dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam dirinya

dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru pada kedua tokoh

itu.9 Keinginan untuk bertemu dengan Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena

tokoh ini lebih dahulu meninggal dunia. Ridha bertemu pertama kali dengan

Abduh pada akhir tahun 1882 sewaktu Abduh diusir dari Mesir dan datang ke

Beirut.10

7 Drs. Muhammad Azhar, MA, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat

(Jakarta: Raja Grafindo Persada) hlm. 107

8 Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan

gerakan, hlm. 70

9 http://www.suaramedia.com, Rasyid Ridha, Tokoh Reformis Dunia Islam

10 H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta:

Universitas Indonesia) hlm. 122

4

Page 5: 54767818-rasyid-ridha

Ia mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuan itu ketika masih

berada di Suria, tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari pihak Kerajaan

Usmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas dan oleh karena itu memutuskan pindah

ke Mesir, dekat dengan Muhammad Abduh. Pada bulan Januari 1898 ia sampai di

negeri gurunya. Beberapa bulan kemudian ia mulai menerbitkan majalah yang

termasyhur, Al-Manar. Majalah ini banyak menyiarkan ide-ide Muhammad

Abduh.11 Penerbitan majalah ini bertujuan melanjutkan misi majalah yang

sebelumnya, Al-Urwah Al-Wusqa. Dalam perjalanannya majalah ini banyak

mendapat sambutan, karena ide-ide pembaharuan yang dilontarkan dalam setiap

tulisannya.

Setelah menerbitkan majalah Al-Manar, Rasyid Ridha juga masih sangat

aktif menulis dan mengarang berbagai buku dan kitab. Dia sempat mengajukan

saran kepada gurunya agar menafsirkan kitab suci Alquran dengan penafsiran

yang relevan dengan perkembangan zaman.

Melalui kuliah tafsir yang rutin dilakukan di Universitas Al-Azhar, Rasyid

Ridha selalu mencatat ide-ide pembaharuan yang muncul dalam kuliah yang

diberikan Muhammad Abduh. Selanjutnya, catatan-catatan itu disusun secara

sistematis dan diserahkan kepada sang guru untuk diperiksa kembali. Selesai

diperiksa dan mendapat pengesahan, barulah tulisan itu diterbitkan dalam majalah

Al-Manar. Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah Al-

Manar inilah yang kemudian dibukukan menjadi Tafsir Al-Manar.

Pengajaran tafsir yang dilakukan Muhammad Abduh ini hanya sampai

pada surah An-Nisa ayat 125, dan merupakan jilid ketiga dari seluruh Tafsir Al-

Manar. Hal ini dikarenakan Muhammad Abduh telah dipanggil kehadirat Allah

SWT pada 1905, sebelum menyelesaikan penafsiran seluruh isi Alquran.12

Sepeninggal Abduh, Ridha melanjutkan apa yang telah dirintis bersama-

sama gurunya, yakni pembaharuan keagamaan, dengan meneruskan penerbitan

majalah Al-Manar, dan juga tafsir Al-Quran dengan nama yang sama, Al-Manar.

11 Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan gerakan, hlm.

70

12 http://www.suaramedia.com, Rasyid Ridha, Tokoh Reformis Dunia Islam

5

Page 6: 54767818-rasyid-ridha

Selain itu Ridha juga lebih aktif melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan politik

dunia Islam.13

Di tahun 1909 ia pergi ke Istanbul meminta sokongan dan bantuan tetapi

tidak berhasil. Usahanya di Kairo akhirnya berhasil, dan di tahun 1912 dapat

didirikan sekolah yang dimaksud dengan nama Madrasah Al-Da’wah wa Al-

Irsyad. Umur sekolah misi itu tidak panjang karena terpaksa ditutup di waktu

pecahnya Perang Dunia 1. Sewaktu masih di tanah airnya, Rasyid Ridha pernah

memasuki lapangan politik dan setelah pindah ke Mesir atas nasehat Muhammad

Abduh, ia menjauhi lapangan politik. Setelah gurunya meninggal dunia, barulah ia

mulai bermain politik. Ia meninggal dunia di bulan Agustus 1935, sekembalinya

dari mengantarkan Pangeran Su’ud ke kapal Suez.14

13 H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, hlm. 123

14 Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan gerakan, hlm.

71-72

6

Page 7: 54767818-rasyid-ridha

BAB III

PEMIKIRAN

Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang dimajukan Rasyid Ridha, tidak

banyak berbeda dengan ide-ide Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani.

Ia berpendapat bahwa umat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-

ajaran Islam yang sebenarnya. Dalam islam telah banyak masuk bid’ah yang

merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat. Diantara bid’ah itu ialah

pendapat bahwa dalam islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat

pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya, sedangkan

kebahagiaan di akhirat dan dunia diperoleh, melalui hukum alam yang diciptakan

tuhan.15

Rasyid Ridha mengakui terdapatnya paham fatalisme di kalangan umat

Islam. Ia sepaham dengan koleganya, Abd Al-Rahman Al-Kawakibi, bahwa salah

satu dari sebab-sebab yang membawa kepada kemunduran umat Islam ialah

paham fatalisme itu. Dan selanjutnya salah satu sebab yang membawa masyarakat

Eropa kepada kemajuan ialah paham dinamika yang terdapat di kalangan mereka.

Salah satu sebab lain bagi kemunduran umat ialah perpecahan yang terjadi di

kalangan mereka. Kesatuan yang dimaksudkan olehnya bukanlah kesatuan yang

didasarkan atas kesatuan bahasa atau kesatuan bangsa, tetapi kesatuan atas dasar

keyakinan yang sama.16

Negara yang dianjurkan Rasyid Ridha ialah Negara dalam bentuk

kekhalifahan. Kepala Negara ialah khalifah. Karena khalifah mempunyai

kekuasaan legislatif, maka harus mempunyai sifat mujtahid. Tetapi dalam pada

itu khalifah tidak boleh bersifat absolut. Ulama merupakan pembantu-

pembantunya yang utama dalam soal memerintah umat.17 Khalifah hanya bersifat

koordinator, tidaklah mungkin menyatukan umat Islam ke dalam satu sistem

15 Dr. I.A. Al-‘adawi, Rasyid Ridha, Al-Imam Al-Mujahid (Kairo; Maktabah Misr) hlm. 154

16 Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan gerakan, hlm.

73-74

17 Ibid., hlm. 74-75

7

Page 8: 54767818-rasyid-ridha

pemerintahan yang tunggal, karena khalifah hanya menciptakan Hukum

Perundang-undangan dan menjaga pelaksanaannya.18

Menurut Rasyid Ridha paham nasionalisme bertentangan dengan paham

persatuan umat Islam, karena persatuan dalam Islam tidak mengenal adanya

perbedaan bangsa dan bahasa, tetapi terciptanya persaudaraan yang tunduk di

bawah satu undang-undang yang dijalankan oleh seorang khalifah.19

Adapun pemikiran politik Rasyid Ridha terlihat di dalam karyanya Al-

khilafah au al-imamah al-uzhma berpendapat bahwa jabatan khilafah perlu

dihidupkan kembali dengan membentuk ahl al-hall wa al-aqd. Kelompok ini

bertugas mendirikan pemerintahan yang mengatur kemaslahatan umat Islam dan

semua umat manusia. Lebih jauh, ia menghendaki agar khalifah adalah orang

yang ahli fiqh (faqih).20

Kualifikasi calon khalifah, Ridha mengutip Al-Mawardi yang mengatakan,

bahwa seorang khalifah haruslah memiliki sifat adil, berilmu dan dapat berijtihad,

sehat panca inderanya, sehat anggota badannya, berpandangan luas dan berasal

dari suku Quraisy berdasarkan hadits Nabi: al-Aimmat min al-Quraisy.21 Di antara

syarat-syarat tersebut Ridha memberi tekanan pada syarat terakhir. Alasan yang

dikemukakan karena banyak riwayat yang mendukung persyaratan ini dan tidak

pernah diperselisihkan oleh Ahl al-Sunat baik Arab maupun ‘ajam.22 Namun

demikian, seandainya tidak mungkin dari orang Quraisy, maka, seorang yang

akan dipilih jadi khalifah hendaknya memiliki sifat-sifat dan watak seperti orang

Quraisy.23

Khalifah dipilih oleh para anggota ahl al-halli wa al-‘aqd yang oleh Ridha

18 Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan

dalam Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) hlm. 86

19 Ibid., hlm. 87

20 Rasyid Ridha, al-Khilafah au al-Imamah al-Udzma (Kairo: al-Manar, 1341 H) hlm.

73

21 Ibid., hlm. 18-19

22 Ibid., hlm. 7

23 Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A., Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994) hlm. 292

8

Page 9: 54767818-rasyid-ridha

disebutnya ahl al-ikhtiyar (orang-orang yang berhak memilih).24 Tetapi Ridha

membenarkan sistem pengangkatan putra mahkota oleh khalifah. Ridha

mengajukan syarat-syarat bagi ahl al-halli wa al-‘aqd yang dikutipnya dari Al-

Mawardi. Pertama, adil dengan segala syaratnya. Kedua, berilmu sehingga ia

dapat mengetahui siapa yang berhak menjadi khalifah. Ketiga, mempunyai

wawasan dan kebijakan dalam menentukan siapa yang lebih pantas menjadi

khalifah dan lebih mampu menegakkan kemaslahatan.25

Kewajiban pembentukan khalifah ini, menurut Ridha, bahwa khilafah,

imamat al-uzdma dan imamat al-mu’minin adalah kepala pemerintahan untuk

menegakkan urusan agama dan urusan dunia. Batasan ini sejalan dengan

pengertian imamah yang dikemukakan al-Taftazani dan al-Mawardi. Menurut al-

Taftazani, imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia

yang diwarisi dari Nabi. Dalam pada itu al-Mawardi berpendapat bahwa imamah

adalah pengganti Nabi dalam memelihara urusan keagamaan dan keduniaan. di

samping itu terdapat ijma’ sahabat dalam hal pengukuhan Abu Bakar sebagai

khalifah nabi sampai mereka mendahulukannya dari penguburan Nabi. Lagi pula,

adanya kewajiban taat pada Islam berdasarkan al-Quran dan Sunnah memang

menghendaki pengangkatan seorang Imam.26

Sungguhpun Ridha tetap mempertahankan sistem khilafah, tetapi ia

menginginkan adanya perbaikan dalam pemerintahan tersebut. Perbaikan itu

berwujud pelaksanaan syura dalam pemilihan khalifah yang selama ini berjalan

secara turun-temurun dan dalam perumusan dan penetapan peraturan

kebijaksanaan politik pemerintah, perang, serta pembinaan kesejahteraan umum

yang senantiasa berubah dari zaman ke zaman.27 Syura juga penting dilaksanakan

untuk memilih khalifah dan menetapkan peraturan termasuk soal agama yang

tidak punya nash dalam al-Quran dan al-Sunnah.28

Menurut dia, keanggotaan ahl al-hall wa al-aqd ini tidak hanya terdiri dari

24 Rasyid Ridha, al-Khilafah au al-Imamah al-Udzma, hlm. 15

25 Ibid., hlm. 16

26 Ibid., hlm. 10

27 Ibid., hlm. 30

28 Ibid., hlm. 15

9

Page 10: 54767818-rasyid-ridha

ulama atau ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid saja, tetapi juga

dilengkapi dengan pemuka-pemuka masyarakat di berbagai bidang. Sedangkan

peranan dan tanggungjawab lembaga tersebut tidak berakhir dengan selesainya

pengangkatan khalifah. Mereka bertugas sebagai pengawas atas jalannya

pemerintahan khalifah dan mencegah perbuatan penyelewengan meskipun dengan

kekerasan. Kemudian dalam rangka mempersiapkan calon-calon khalifah yang

memenuhi kualifikasi, maka perlu didirikan suatu lembaga pendidikan tinggi

keagamaan. Lulusan dari lembaga ini dipilih untuk dicari yang memiliki

keunggulan dalam penguasaan ilmu dan kemampuan berijtihad. Pemilihan itu

dilakukan oleh rekan-rekan sesama alumnus dengan asas bebas, yang kemudian

dikukuhkan oleh atau melalui bai’at ahl al-hall wa al-aqd dari seluruh dunia

Islam. Khalifah yang telah dibai’at ini wajib ditaati oleh tiap muslim dan dilarang

menentangnya.29

Peradaban Barat modern menurut Rasyid Ridha didasarkan atas kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk kemajuan, umat Islam harus mau

menerima peradaban Barat yang ada. Bahkan ia melihat wajib bagi umat Islam

mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Umat Islam di zaman

klasik mencapai kemajuan karena mereka maju dalam bidang ilmu pengetahuan.

Barat maju karena mau mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat

Islam itu. Dengan demikian mengambil ilmu pengetahuan Barat modern

sebenarnya berarti mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki

umat Islam.30

29 Ibid., hlm. 136

30 Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan

gerakan, hlm. 75

10

Page 11: 54767818-rasyid-ridha

BAB IV

KRITIK DAN APRESIASI

Dalam pemikirannya, ia mengemukakan bahwa salah satu kemajuan dari

Barat adalah karena adanya paham dinamisme yang berarti menghendaki adanya

perubahan di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di luar masalah

ibadat. Tetapi pada kenyataannya ia mengatakan bahwa Negara yang dianjurkan

Rasyid Ridha ialah Negara dalam bentuk kekhalifahan yang sistem ini telah

berabad-abad dipakai oleh umat Islam sejak khalifah pertama Abu Bakar. Sangat

bertolak belakang dengan pernyataannya yang semula yang menginginkan adanya

pembaharuan untuk kemajuan dan kejayaan Islam yang kala itu mengalami

kemunduran.

Menurut Ridha, meski tetap memakai sistem kekhalifahan, tetapi khalifah

tersebut tidak boleh bersifat absolut. Padahal telah diketahui, bahwa keboborokan

dan kehancuran kesultanan Turki Usmani adalah karena tindak kesewenang-

wenangan dari khalifah pada saat itu meski sudah adanya lembaga ahl al-hall wa

al-aqd yang mengawasi setiap kebijakan yang diambil oleh kerajaan.31

Kualifikasi calon khalifah, Ridha mengutip Al-Mawardi yang mengatakan,

bahwa seorang khalifah haruslah berasal dari suku Quraisy berdasarkan hadits

Nabi: al-Aimmat min al-Quraisy. Padahal dalam prinsip Islam tentang ajaran

persamaan yang disebutkan pada Surat al-Hujurat ayat 13 yang mengatakan

bahwa: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-

laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan

bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal”.

Khalifah dipilih oleh para anggota ahl al-halli wa al-‘aqd yang oleh Ridha

disebutnya ahl al-ikhtiyar (orang-orang yang berhak memilih). Tetapi anehnya,

Ridha membenarkan sistem pengangkatan putra mahkota oleh khalifah.

Pernyataannya selalu saling bertentangan yang mengakibatkan sistem yang beliau

anjurkan sering kali menjadi kabur. Karena hak dan wewenang para anggota ahl

31 Drs. Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran: Perkembangan Modern dalam Islam

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 81-82

11

Page 12: 54767818-rasyid-ridha

al-halli wa al-‘aqd menjadi tidak jelas.32

Dari teori kekhalifahan yang dianjurkan Ridha ini, banyak sekali hal-hal

yang kurang jelas ia paparkan. Contohnya tentang letak kekuasaan tertinggi dari

sistem khalifah. Ia tidak menjelaskan pendapatnya tentang dimana letak

kekuasaan tertinggi bagi pemerintah. Tetapi yang jelas bukan dari rakyat karena

khalifah dipilih oleh lembaga ahl al-halli wa al-‘aqd. Jadi dengan begitu, rakyat

tidak memiliki hak untuk memilih dan hanya menaaati hasil pilihan dari para ahl

al-ikhtiyar. Ridha juga tidak menjelaskan siapa yang berhak memilih para anggota

ahl al-halli wa al-‘aqd.33

Dijelaskan bahwa Ridha memiliki gagasan untuk mendirikan akademi

untuk mendidik dan melahirkan calon-calon khalifah baru. Lulusan dari lembaga

ini dipilih untuk dicari yang memiliki keunggulan dalam penguasaan ilmu dan

kemampuan berijtihad. Pemilihan itu dilakukan oleh rekan-rekan sesama alumnus

dengan asas bebas, yang kemudian dikukuhkan oleh atau melalui bai’at ahl al-

hall wa al-aqd dari seluruh dunia Islam. Khalifah yang telah dibai’at ini wajib

ditaati oleh tiap muslim dan dilarang menentangnya. Pandangan ridha itu semakin

jelas bahwa yang berhak memilih khalifah adalah golongan tertentu yaitu

golongan aristokrat.

Pendapat-pendapat ridha yang telah disebutkan di atas menggambarkan

bahwa ia merupakan sosok pemikir yang terikat pada tradisi dan pemikiran zaman

klasik.34 Dan sebagian besar teorinya merupakan gagasan dari para pemikir islam

yang ketika pada periode Islam klasik pernah diungkapkan dan diaplikasikan pada

zamannya seperti Al-Mawardi. Meski pada kenyataannya beliau adalah murid

terdekat dari Muhammad Abduh yang begitu menghargai konsep akal yang lebih

liberal dan radikal dalam kebebasan berpikirnya.

32 Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan

dalam Dunia Islam, hlm. 291

33 Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A., Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hlm.

291

34 Ibid., hlm. 293

12

Page 13: 54767818-rasyid-ridha

DAFTAR PUSTAKA

Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung: Mizan, 2004)

A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar

(Jakarta:Erlangga)

Drs. Muhammad Azhar, MA, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan

Barat (Jakarta: Raja Grafindo Persada)

Dr. I.A. Al-‘adawi, Rasyid Ridha, Al-Imam Al-Mujahid (Kairo: Maktabah Misr)

Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan

Pembaharuan dalam Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)

Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A., Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994)

Drs. Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran: Perkembangan Modern dalam

Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998)

H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan

Pemikiran (Jakarta: Universitas Indonesia)

Prof. Dr. Abdulrahman Abdulkadir Kurdi, Tatanan Sosial Islam (Yogyakarta:

pustaka Pelajar, 2000)

Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan

gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1992)

13

Page 14: 54767818-rasyid-ridha

Rasyid Ridha, al-Khilafah au al-Imamah al-Udzma (Kairo: al-Manar, 1341 H)

http://www.suaramedia.com, Rasyid Ridha, Tokoh Reformis Dunia Islam

14