5.3.9. teori ma`rifah dhu al-nun al-misriy - sopyan (revisi)

82
APLIKASI TEORI MA`RIFAH DHŪ AL-NŪN AL-MIṢRIY DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam, Psikologi, dan Tasawuf Dosen Pengampu Prof. Dr. H. Mulyadi, M.Pd.I. Dr. H. Muchlis Usman, M.A. SOPYAN NIM 15790018 REVISI

Upload: habib-milanisti

Post on 14-Jul-2016

31 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

APLIKASI TEORI MA`RIFAH DHŪ AL-NŪN AL-MIṢRIY DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam, Psikologi, dan Tasawuf

Dosen PengampuProf. Dr. H. Mulyadi, M.Pd.I.Dr. H. Muchlis Usman, M.A.

SOPYANNIM 15790018

PROGRAM DOKTOR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS STUDI INTERDISIPLINER

PASCASARJANAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG2015

REVISI

Page 2: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

KATA PENGANTAR

الحمد لله الذي أحسن تدبيره الكائنات وخلق األرض والسموات وأن��زل الم��اء من المعص��رات وأنش��أ الحب والنب��ات وق��در األرزاق واألق��وات

محم��د ذيس��يدنا وأث��اب على األعم��ال الص��الحات والص��الة والس��الم .المعجزات الظاهرات الذي حصل من نوره وجود الكائنات

Segala puji dan syukur saya persembahkan kehadirat Allah swt. Berkat petunjuk dan pertolongan-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Selawat dan salam saya hadiahkan kepada Nabi Muhammad saw., pemimpin dan teladan umat manusia di seluruh penjuru dunia, serta kepada keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau yang setia.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dan sekaligus sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran Mata Kuliah Pengembangan Inovasi Pendidikan dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang diasuh oleh Bapak Prof. Dr. H. Mulyadi, M.Pd.I. dan Bapak Dr. H. Muchlis Usman, M.A. Sehubungan dengan itu, saya sangat bermohon kepada beliau untuk memberikan arahan, bimbingan, dan petunjuk kepada saya untuk perbaikan dan pengembangan makalah ini sehingga dapat memenuhi standar mutu yang tinggi sebagai sebuah karya ilmiah.

Teknik penulisan makalah ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Tesis, Disertasi dan Makalah yang diterbitkan Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 2015.

Kepada rekan-rekan mahasiswa Program Doktor Pendidikan Agama Islam Berbasis Studi Interdisipliner Semester I Kelas B Tahun Akademik 2015/2016, saya mengharapkan kritik-konstruktif dan saran-alternatif bagi perbaikan dan pengem-bangan makalah ini.

Pada kesempatan ini, saya menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi kepada dosen pengasuh dan rekan-rekan mahasiswa yang telah berkontribusi dalam pendalaman dan pengembangan makalah ini. Semoga Allah swt. memberikan balasan kebaikan yang berlipat-lipat baik di dunia maupun di akhirat. Āmīn!

Batu, 17 Desember 2015 M06 Rabī` al-Awwal 1437 H

Penulis,

Sopyan

i

Page 3: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi adalah penyalinan bahasa tulisan dengan menggantikan aksara tertentu dengan aksara yang lain. Berdasarkan definisi ini maka yang dimaksud dengan transliterasi Arab-Latin dalam tulisan ini adalah penyalinan bahasa tulisan dengan menggantikan aksara Arab dengan aksara Latin. Sistem transliterasi yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Tesis, Disertasi dan Makalah yang diterbitkan Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 2015.

A. Konsonan

Huruf Arab ditransliterasi ke dalam huruf Latin sebagai berikut.

Huruf Arab Nama Huruf Latin Keteranganا alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan

ب bā’ b beت tā’ t teث thā’ th te dan haج jīm j je

ح ḥā’ ḥ hadengan titik di bawah

خ khā’ kh ha dan haد dāl d deذ dhāl dh de dan ha ر rā’ r erز zā’ z zet

س sīn s esش shīn sh es dan ha

ص ṣād ṣ esdengan titik di bawah

ض dlād dl de dan el

ط ṭā’ ṭ tedengan titik di bawah

ظ ḍā’ ḍ dedengan titik di bawah

ع ‘ain ‘ koma terbalik di atasغ ghayn gh ge dan haف fā’ f efق gāf q qiك kāf k kaل lām l elم mīm m emن nūn n enه� hā’ h haو wau w weء hamzah ’ apostrofي yā’ y ye

B. Vokal dan Diftong

ii

Page 4: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

Vokal dalam bahasa Arab dengan lambang berupa ḥarakah (tanda) ditransliterasi sebagai berikut.

Ḥarakah (Tanda) Nama Huruf Latin

Pendek Panjang Keterangan

........... fatḥah a ā a dengan garis di atas

........... kasrah i ī i dengan garis di atas

........... dlammah u ū u dengan garis di atas

Contoh: mūsā = م.وس.ى rijāl = ر.ج.ال.ه.م mujīb = م.ج.يب .وب qulūbahum = ق.ل

Khusus untuk bacaan yā’ nisbah, maka ditulis dengan “iy”.

Contoh:

.خ.ار.ي .ي al-Bukhāriy = الب ال al-Ghazāliy = الغ.ز.Transliterasi hanya diberlakukan pada huruf konsonan pada akhir sebuah kata, sedangkan vokal yang berada pada akhir sebuah kata tidak ditransliterasi; sehingga kaidah gramatika bahasa Arab dalam pedoman transliterasi ini tidak berlaku pada kata, ungkapan, atau kalimat yang dinyatakan dalam bentuk transliterasi Latin.

Contoh: khawāriq al-`ādah = خ.و.ار.ق. الع.اد.ة.

Diftong dalam bahasa Arab dengan lambang berupa ḥarakah dan huruf ditransliterasi sebagai berikut.

Lambang Nama Huruf Latin Keterangan

......ي..... fatḥah dan yā aw a dan we......و..... fatḥah dan wau ay a dan ye

Contoh:

.ين. ḥawla = ح.ول. bayna = ب

C. Shaddah

Dalam sistem tulisan Arab, shaddah atau tashdīd dilambangkan dengan tanda “....” dan dalam tulisan Latin ditransliterasi dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda shaddah.

Contoh: .ا ن ب rabbanā = ر. م. .ر karrama = ك

iii

Page 5: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

D. Kata Sandang Alif Lām ( ال ) dan Lafẓ al-Jalālah ( الله )

Kata sandang alif lām ma`rifah atau “al” ditransliterasi dengan ketentuan sebagai berikut:1. Kata sandang “al” ditulis secara terpisah dari kata yang mengikutinya dan

dihubungkan dengan tanda “-”.Contoh:

Al-Hādiy = اله.اد.ى2. Jika berada di awal kalimat ditulis dengan huruf kapital.

Contoh:. الق.رآن. .وم .ره.ان. ف.ي ع.ل Al-Burhān fī `Ulūm al-Qur'ān = الب

3. Jika berada di tengah kalimat ditulis dengan huruf kecil.Contoh:

.ين. ن .ح.ب المـحس. yuḥibb al-muḥsinīn =ي4. Kata sandang “al” dalam Lafẓ al-Jalālah ( ( الله yang berada di tengah

kalimat yang disandarka (idlāfah), maka tidak ditulis atau dihilangkan.Contoh:

.الله. ع.ز و.ج.ل billāh `azzā wa jallā =ب5. Lafẓ al-Jalālah yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lain

atau berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frasa nomina), ditransliterasi tanpa huruf hamzah.

Contoh:.الله dīnullāh = د.ين. الله billāh = ب

E. Tā’ Marbūṭah ( ة )

Tā’ marbūṭah ditransliterasi dengan ketentuan sebagai berikut:1. Jika berada di tengah kalimat, maka tā’ marbūṭah dengan huruf “t” ( huruf

te diberi garis bawah).Contoh:

ة. س. .لم.د.ر .ة. ل ال س. Al-risālat li al-mudarrisah = الر2. Jika berada di tengah-tengah kalimat yang terdiri atas susunan idlāfah,

maka tā’ marbūṭah ditransliterasi dengan huruf “t” yang disambungkan dengan kata berikutnya.

Contoh:حم.ة. الله. fī raḥmatillāh =ف.ي ر.

3. Jika berada di akhir kalimat, mati atau berharakat sukūn, maka tā’ marbūṭah ditransliterasi dengan huruf “h”.

Contoh: Ṭalḥah = ط.لح.ة

F. Hamzah ( ء ) Huruf hamzah yang berada di tengah atau akhir sebuah kata ditransliterasi dengan tanda apostrof ( ‘ ). Akan tetapi, jika huruf hamzah itu berada di awal sebuah kata maka tidak dilambangkan.

iv

Page 6: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

Contoh:.أخ.ذ.ون. ’al-wafā = الو.ف.اء ta’khudhūna = ت.ل. .ك .م.رت. akala = أ umirtu = أ

G. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, namun dalam sistem transliterasi ini huruf kapital tetap dipakai. Penggunaan huruf kapital mengikuti aturan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), seperti huruf kapital yang digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri dan permulaan kalimat. Bila nama diri itu didahului kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri itu, bukan huruf awal kata sandangnya.

Contoh:ول س��. ر. .ال Wa = و.م.ا م.ح.مد إ mā Muḥammadun illā rasūl .نز.ل. ف.يه. الق.رآن. ذ.ي أ م.ض.ان. ال هر. ر. -Shahru Ramadlāna al =ش.

lażī unzila fīh al-Qur'ān

H. Nama dan Kata Arab-Indonesia

Nama Arab dari orang Indonesia atau kata Arab yang sudah terindonesiakan tidak perlu ditulis dengan sistem transliterasi ini, seperti: Abdurrhaman Wahid, salat, rida, kursi.

v

Page 7: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN....................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................vi

A. PENDAHULUAN.............................................................................................1

1. Latar Belakang..............................................................................................1

2. Topik Kajian dan Pembatasan.......................................................................2

3. Tujuan dan Manfaat Pembahasan.................................................................3

B. BIOGRAFI DHŪ AL-NŪN AL-MIṢRIY.........................................................3

1. Riwayat Hidup Dhū al-Nūn al-Miṣriy..........................................................3

2. Posisi dan Kontribusi Dhū al-Nūn al-Miṣriy dalam Tasawuf.......................5

C. TEORI MA`RIFAH DHŪ AL-NŪN AL-MIṢRIY............................................6

1. Hakikat Ma`rifah...........................................................................................7

2. Corak Ma`rifah...........................................................................................12

3. Metode Ma`rifah.........................................................................................14

4. Karakteristik `Ārif.......................................................................................26

D. APLIKASI KONSEP MA`RIFAH DHŪ AL-NŪN AL-MIṢRIY DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM...................................................................32

1. Tujuan Pendidikan Agama Islam................................................................33

2. Materi Pendidikan Agama Islam.................................................................34

3. Metode Pendidikan Agama Islam...............................................................35

4. Karakteristik Pendidik Muslim dalam Pendidikan Agama Islam...............36

E. PENUTUP.......................................................................................................37

1. Kesimpulan.................................................................................................38

2. Rekomendasi...............................................................................................42

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................44

vi

Page 8: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

vii

Page 9: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

A. PENDAHULUAN

Pada bagian pendahuluan ini akan diuraikan latar belakang yang menjadi titik

tolak pembahasan makalah ini. Selain itu, untuk membantu memperjelaskan

fokus pembahasan maka pada bagian ini juga akan diberikan uraian tentang

topik kajian dan batasan masalah. Pada akhir bagian pendahuluan ini dijelaskan

tujuan pembahasan makalah ini untuk membantu memberikan arah kajian

mengenai topik yang telah ditetapkan.

1. Latar Belakang

Dalam dunia tasawuf, menurut al-Imām al-Qushayriy, ma`rifatullāh

merupakan satu di antara beberapa persoalan pokok (masā’il al-uṣūl) yang

paling utama untuk diyakini dalam agama.1 Pada bagian yang berbeda, al-

Qushayriy mengutip hadis nabawi yang diriwayatkan dari `Ā’isyah r.a.

mengenai signifikansi ma`rifatullāh dalam Islam sebagai berikut:2

عن عائشة رض��ي الل��ه عنه��ا، أن الن��بي ص��لى الل��ه علي��ه وس��لم ق��ال: "إن دعام��ة ال��بيت أساس��ه، ودعام�ة ال�دين

(أخرجه الديلميالمعرفة بالله تعالى." )Diriwayatkan dari `Ā’ishah r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya penyangga rumah itu adalah fondasinya, dan penyangga agama itu adalah ma`rifah kepada Allah swt.3

Hadis di atas menegaskan bahwa ma`rifatullāh itu sangat penting dan

memiliki peranan sentral dalam mengembangkan keberagamaan seorang

1 Persoalan-persoalan pokok (masā’il al-uṣūl) itu menurut al-Qushayriy meliputi: ma`rifatullāh ta`ālā, ṣifātullāh subḥānah, ta`rīf al-īmān, ta`rīf al-kufr, al-tawḥīd, dan al-`arsh. Al-Imām Abū al-Qāsim `Abd al-Karīm bin Hawāzin al-Qushayriy, al-Risālat al-Qushayriyyah, ditahkik oleh Aḥmad Hāshim al-Salamiy (Beirut: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2013 M/1434 H), hlm. 11–19.

2 al-Qushayriy, al-Risālat, hlm. 342. 3 Terjemahan penulis makalah.

1

Page 10: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

Muslim secara komprehensif (kāfah). Salah seorang tokoh sufi yang

memiliki posisi sebagai pelopor dan berkontribusi besar dan mendasar

dalam mengembangkan teori dan paham ma`rifah adalah Dhū al-Nūn al-

Miṣriy4 (untuk lebih lanjut dalam tulisan ini akan digunakan sebutan al-

Miṣriy). Dengan latar pendidikan yang multidisipliner, al-Miṣriy telah

mengembangkan konsep ma`rifah secara sistematis dan melahirkan corak

baru yang kemudian hari menjadi mazhab tersendiri dan merupakan sumber

pertama dan utama pengembangan teori tasawuf teosofi dalam sejarah

pemikiran dan kehidupan spiritual di dunia Islam. Dengan

mempertimbangkan posisi penting dan kontribusi besar al-Miṣriy dalam

pengembangan konsep ma`rifah dalam disiplin ilmu tasawuf Islam, maka

dinilai sangat urgen dan signifikan untuk mengkaji lebih mendalam teori-

teori yang terkait dengan ma`rifah menurut al-Miṣriy dan

mengaplikasikannya dalam pendidikan agama Islam.

2. Topik Kajian dan Pembatasan

Bertolak dari latar belakang di atas, maka topik kajian yang menjadi fokus

makalah ini adalah teori ma`rifah al-Miṣriy dan aplikasinya dalam

pendidikan agama Islam. Secara utuh sebenarnya, kontribusi al-Miṣriy

dalam disiplin ilmu tasawuf tidak hanya sebatas konsep ma`rifah saja, akan

mencakup topik-topik lain seperti al-maḥabbah, al-maqāmāt dan al-aḥwāl.

Namun demikian, disebabkan oleh keterbatasan ruang dan waktu serta

4 M. Solihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Cet. III; Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) , hlm. 152.

2

Page 11: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

supaya kajian makalah ini lebih fokus, maka topik kajian ini dibatasi pada

aplikasi teori ma`rifah Dhū al-Nūn al-Miṣriy dalam pendidikan agama

Islam.

3. Tujuan dan Manfaat Pembahasan

Sejalan dengan batasan dan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan

pembahasan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan gagasan aplikasi

teori ma`rifah al-Miṣriy dalam pembelajaran pendidikan agama Islam.

Lebih dari itu, hasil pembahasan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat

untuk memberikan kontribusi pemikiran dalam pengembangan

pembelajaran pendidikan agama Islam.

B. BIOGRAFI DHŪ AL-NŪN AL-MIṢRIY

Bagian kedua ini berisi deskripsi ringkas tentang biografi al-Miṣriy. Deskripsi

ini diharapkan dapat memberikan gambaran sekilas mengenai pertumbuhan

dan perkembangan personal al-Miṣriy yang dapat dikaitkan dengan

perkembangan intelektual-spiritualnya, terutama yang terkait dengan konsep

ma`rifah. Untuk kepentingan demikian, maka pembahasan akan diarahkan

pada uraian tentang riwayat hidup dan posisi serta kontribusi al-Miṣriy dalam

pengembangan teori-teori tasawuf.

1. Riwayat Hidup Dhū al-Nūn al-Miṣriy

Dhū al-Nūn al-Miṣriy adalah nama julukan bagi seorang sufi yang hidup

pada sekitar pertengahan abad ketiga Hijriyah. Nama lengkap al-Miṣriy

3

Page 12: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

adalah Abū al-Faydl Thawbān bin Ibrāhim Dhū al-Nūn al-Miṣriy.5 Dia

berasal dari Nawbī dan lahir di Akhmīm yang terletak di kawasan Mesir

Hulu pada tahun 770 M/155 H dan meninggal di kota Kairo pada tahun 860

M/245 H. Al-Mishri banyak mengadakan perjalanan dan pengembaraan ke

berbagai negeri. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir,

mengunjungi Bait al-Maqdis, Baghdad, Mekkah, Hijaz, Syria, Pegunungan

Libanon, Anthokiah, dan Lembah Kan’an.6 Dengan banyak perjalanan ini ia

memeroleh pengalaman yang banyak dan mendalam.

Al-Miṣriy hidup pada masa kemunculan sejumlah ulama terkemuka

dalam bidang ilmu fikih, ilmu hadis, dan tasawuf, sehingga ia dapat

berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia belajar hadis dan

meriwayatkan kitab al-Muwaṭṭa` langsung dari Imām Mālik; Dalam ilmu

tasawuf, ia belajar kepada Shaqrān al-`Abd atau Isrāfīl al-Maghribiy.

Dengan latar pendidikan inilah ia dikenal sebagai orang yang menguasai

ilmu-ilmu syariat (`ulūm al-sharī`ah). Ia juga dikenal sebagai seorang filsuf

dan penyair.7 Secara legendaries, ia dikenal sebagai seorang yang pakar

dalam ilmu kimia, dan ia memiliki beberapa karya tulis dalam bidang ini,

antara lain: Kitāb al-Rukn al-Akbar, Kitāb al-Thiqāt fī al-Ṣan`ah, dan Kitāb

al-`Ajā`ib. Selain itu, ia juga dikenal juga menguasai bahasa Suryani

(Syriac) sehingga mampu membaca dan menerjemahkan prasasti, rumus,

5 `Abd al-Ḥalīm Maḥmūd, al-`Ālim al-`Ābid al-`Ārif billāh Dhū al-Nūn al-Miṣriy (Cet. II; Kairo: Dār al-Rashād, 2004 M/1434 H), hlm. 19.

6 Īnās Musṭafā `Afat, Sumayyat Muḥammad `Abdullāh, dan Dīnā `Ādil Ghurāb (ed.), al-Mawsū`at al-`Arabiyyat al-Muyassarah (Cet. I; Saida & Beirut: al-Maktabat al-`Aṣriyyah, 2010 M/1431 H), jilid 3, hlm. 1601.

7 `Abd al-Mun`im al-Ḥafaniy, al-Mawsū`at al-Ṣūfiyyah: A`lām al-Tasawwuf wa al-Munkirīn `alayh wa al-Ṭuruq al-Ṣūfiyyah (Cet. I; Kairo: Dār al-Rashād, 1992 M/142 H), hlm. 165.

4

Page 13: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

dan gambar yang terdapat pada Piramida Mesir.8 Dari deskripsi latar

pendidikan dan pengalaman yang demikian luas, dapat disimpulkan bahwa

al-Miṣriy memiliki penguasaan yang tinggi dalam empat bidang ilmu utama,

yaitu: ilmu-ilmu syariat, ilmu-ilmu alam (sains), filsafat, dan tasawuf. Latar

belakang penguasaan beberapa disiplin ilmu inilah yang kemudian sangat

berpengaruh terhadap teori dan konsep ma`rifah al-Miṣriy yang menjadi

fokus kajian dari makalah ini.

2. Posisi dan Kontribusi Dhū al-Nūn al-Miṣriy dalam Tasawuf

Al-Miṣriy memiliki posisi penting dan memberikan kontribusi besar dalam

pengembangan teori-teori tasawuf. Ia merupakan pelopor paham ma`rifah

dalam sufisme Islam. Al-Miṣriy meletakkan dasar yang sangat penting

dalam perkembangan tasawuf selanjutnya dengan jalan pengetahuan

terhadap Allah (ma`rifah), dari pengetahuan (‘ilm) tradisional atau

intelektual, dan dikembangkan dengan cinta terhadap Allah (maḥabbah).9 Ia

merupakan sufi pertama yang memperbincangkan ma’rifah secara rinci.

Bahkan, daripadanyalah muncul untuk pertama kali karakteristik

ma`rifah.10 Terkait dengan konsep ma`rifah juga, seperti yang dinyatakan

`Abd al-Qādir Maḥmūd, ia telah memperkenalkan corak baru tentang

makrifat dalam bidang sufisme Islam.11 Mazhab al-Miṣriy tentang konsep

8 Īnās Musṭafā `Afat, Sumayyat Muḥammad `Abdullāh, dan Dīnā `Ādil Ghurāb (ed.), al-Mawsū`at, jilid 3, hlm. 1601.

9 Reynold A. Nicholson, Gagasan Personalitas dalam Sufisme, terjemahan A. Syihabulmillah (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), hlm. 15.

10 Asmaran As., Pengantar Studi Taswuf (Ed. 1; Cet. I; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 284.

11 `Abd al-Qādir Maḥmūd, al-Falsafat, hlm. 306.

5

Page 14: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

al-ma`rifah dan al-maḥabbah telah menjadi sumber pertama dan utama

dalam pengembangan tasawuf teosofi التيوزوفي) dalam sejarah (التصوف

kehidupan spiritualitas Islam.12 Kontribusi lain dari al-Miṣriy adalah bahwa

ia merupakan orang pertama di Mesir yang berbicara dan mengembangkan

teori al-maqāmāt dan al-aḥwāl.13 Demikian, beberapa fakta historis-empiris

yang membuktikan bahwa al-Miṣriy merupakan seorang tokoh sufi dengan

latar pendidikan yang multidisiplin itu memiliki posisi penting dan

kontribusi besar dalam pengembangan teori-teori tasawauf Islam.

C. TEORI MA`RIFAH DHŪ AL-NŪN AL-MIṢRIY

Pembahasan tentang teori ma`rifah menurut al-Miṣriy pada bagian ini meliputi

uraian mengenai hakikat ma`rifah, corak ma`rifah, metode ma`rifah, dan

karakteristik orang-orang yang sedang dan telah mencapai ma`rifatullāh yang

disebut dengan al-`ārif billāh atau secara ringkas disebut al-`ārif. Semua topik

bahasan ini dikaji menurut pandangan al-Miṣriy yang didasarkan pada

pernyataan-pernyataan al-Miṣriy yang diriwayatkan oleh beberapa sufi dan ahli

tasawuf, terutama dalam kitab-kitab tasawuf klasik yang monumental dan

otoritatif.

1. Hakikat Ma`rifah

12 Īnās Musṭafā `Afat, Sumayyat Muḥammad `Abdullāh, dan Dīnā `Ādil Ghurāb (ed.), al-Mawsū`at, jilid 3, hlm. 1601.

13 Teori al-maqāmāt dan al-aḥwāl menurut al-Miṣriy lebih lanjut akan dibahas kemudian pada makalah ini.

6

Page 15: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

Supaya dapat memberikan pemahaman yang tepat mengenai hakikat

ma`rifah menurut pandangan Dhū al-Nūn al-Miṣriy, maka di sini pertama-

tama perlu dikemukakan terlebih dahulu pembagian ma`rifah secara

hierakis. Secara umum, ma`rifah atau pengetahuan tentang Allah itu oleh

al-Miṣriy dibagi menjadi tiga macam dan/tingkatan yang terdiri atas:

pertama, ma`rifat al-tawḥīd, yaitu pengetahuan tentang Allah swt.

sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang Muslim secara umum; kedua,

ma`rifat al-ḥujjat wa al-bayān, yaitu pengetahuan tentang Allah swt.

sebagaimana secara khusus dipahami oleh para filsuf dan ulama; dan ketiga,

ma`rifat ṣifāt al-waḥdāniyyah, yaitu pengetahuan tentang sifat-sifat tauhid

yang secara khusus hanya dimiliki oleh para wali yang melihat Allah swt.

dengan hati mereka.14

Dalam konteks epistemologi Islam, seperti yang diteliti dan

dikonstruksi ulang oleh Muḥammad `Ābid al-Jābiriy,15 pandangan al-Miṣriy

mengenai hierarki pengetahuan manusia tentang Allah swt. itu dapat

dijelaskan sebagai berikut. Hierarki pertama, ma`rifat al-tawḥīd, dalam

konteks epistemologi Islam tidak dinilai sebagai pengetahuan yang

sistematis-metodologis sehingga tidak digolongkan ke dalam salah satu dari

14 Farīd al-Dīn `Aṭṭār, Tadhkirat al-Awliyā’, terjemahan Muḥammad al-Aṣīliy al-Wasṭāniy al-Shāfi`iy, ditahkik oleh Muḥammad Adīb al-Jādir (Damaskus: Markaz Taḥqīqāt `Ulūm Islāmiy, 2008 M/1429 H), hlm. 173; `Abd al-Ḥalīm Maḥmūd, al-`Ālim, hlm. 85.

15Sebagaimana ditulis dalam dua kitab penting: Bunyat al-`Aql al-`Arabiy: Dirāsat Taḥlīliyyat Naqdiyyat li Niẓam al-Ma`rifat fī al-Thaqāfat al-`Arabiyyah dan Takwīn al-`Aql al-`Arabiy, al-Jābiriy telah merekontruksi ulang pemikiran epistemologi Islam sehingga dikenal dengan trilogi epistemologi yang terdiri atas: epistemologi bayāniy, burhāniy, dan `irfāniy. Lihat: Muḥammad `Ābid al-Jābiriy, Bunyat al-`Aql al-`Arabiy: Dirāsat Taḥlīliyyat Naqdiyyat li Niẓam al-Ma`rifat fī al-Thaqāfat al-`Arabiyyah (Cet. IX; Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdat al-`Arabiyyah, 2009 M) dan Muḥammad `Ābid al-Jābiriy, Takwīn al-`Aql al-`Arabiy (Cet. X; Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdat al-Arabiyyah, 2009).

7

Page 16: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

trilogi epistemologi Islam. Berbeda dari yang pertama, hierarki kedua dalam

tingkatan pengetahuan menurut al-Miṣriy, yaitu ma`rifat al-ḥujjat wa al-

bayān, itu dapat dipilah menjadi dua bagian. Ma`rifat al-ḥujjat itu

merupakan pengetahuan tentang Allah swt. sebagaimana yang secara khusus

dipahami oleh para filsuf dan dalam kategori epistemologi al-Jābiriy itu

sejalan dengan dan merupakan epistemologi burhāniy.16 Sementara itu,

ma`rifat al-bayān yang merupakan pengetahuan yang secara khusus

dipahami oleh para ulama fikih dan usul fikih serta ulama kalam itu sejalan

dengan dan merupakan epistemologi bayāniy.17 Adapun tingkatan yang

ketiga dari hierarki pengetahuan al-Miṣriy yaitu ma`rifat ṣifāt al-

16Secara etimologis, dalam bahasa Arab kata al-burhān itu berarti al-ḥujjat al-fāṣilat al-bayyinah “argumen yang pasti dan jelas”. Adapun dalam bahasa Inggris kata al-burhān itu sepadan dengan kata demonstration yang berasal dari bahasa Latin demontratio dan berarti “isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan. Secara terminologis, al-Jābiriy mengutip pengertian istilah burhān yang digunakan dalam logika, yaitu: suatu aktifitas berpikir untuk menetapkan kebenaran proposisi (qadliyyah) melalui pendekatan deduktif (al-istinjāj) dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik (badīhiyyah). Lihat: al-Jābiriy, Bunyat, hlm. 383–284.

17Secara etimologis, berdasarkan analisis terhadap makna-makna yang telah diuraikan dalam kamus Lisān al-`Arab dan yang didukung Mu`jam Maqāyis al-Lughah, al-Jābiriy mengartikan al-bayān sebagai al-faṣl wa al-infiṣāl “memisahkan dan terpisah” dan al-ḍuhūr wa al-iḍhār “terang/jelas dan menerangkan/menjelaskan”. Berdasarkan kesimpulan pengertian etimologis ini kemudian al-Jābiriy membedakan pemakaian kedua makna itu berdasarkan pembedaan antara metode (al-manhaj) dan visi (al-ru`y) dalam sistem epistemologi bayāniy. Sebagai sebuah metode, bayān berfungsi untuk makna al-ḍuhūr wa al-iḍhār “terang/jelas dan menerang-kan/menjelaskan”, dan sebagai sebuah visi, bayān berfungsi untuk makna al-faṣl wa al-infiṣāl “memisahkan dan terpisah”. Adapun secara teriminologis, menurut al-Jābiriy bahwa bayān memiliki dua kategori makna, yaitu: pertama, aturan-aturan penafsiran wacana (قوانين ;(تفس��ير الخط��اب dan kedua, syarat-syarat memproduksi wacana .(ش��روط انت��اج الخط��اب) Pengertian bayān sebagai penafsiran telah dimulai sejak masa Nabi Muhammad saw. ketika para sahabat menanyakan kepada beliau tentang makksud sebagian kata dan ungkapan-ungkapan yang terdapat di dalam Al-Qur’an; atau setidak-tidaknya sejak masa al-Kulafā’ al-Rāshidūn ketika orang-orang mulai bertanya kepada para sahabat mengenai makna ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak mereka pahami. Adapun makna bayān sebagai syarat-syarat memproduksi wacana retoris yang jelas baru mulai ketika timbul partai-partai politik dan aliran-aliran teologi setelah peristiwa taḥkīm dan ketika orasi dan debat teologis dijadikan sebagai media penyebaran dakwah, rekrutmen pendukung dan mengalahkan lawan. Ibn Manḍūr, Lisān al-`Arab, ditahkik oleh `Abdullāh `Alī al-Kabīr, Muḥammad Aḥmad Ḥasabullāh, dan Hāshim Muḥammad al-Syādhiliy (Kairo: Dār al-Ma`ārif, t.th.), jilid 5, hlm. 403–408; Abū al-Ḥusayn Aḥmad bin Fāris bin Zakariyyā, Mu`jam Maqāyis al-Lughah, ditahkik dan dikoreksi oleh `Abd al-Salām Muḥammad Hārūn (Beirut: Dār al-Fikr, 1979 M/1399 H), jilid 1, hlm. 327–328; Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 883, 1058; al-Jābiriy, Bunyat, hlm. 20; A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 177–181.

8

Page 17: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

waḥdāniyyah yang merupakan pengetahuan yang secara khusus hanya

dimiliki oleh para wali Allah swt. itu sejalan dengan dan merupakan

epistemologi `irf āniy.18

Pandangan al-Miṣriy tentang hakikat ma`rifah dapat dipahami dari

jawaban beliau ketika ditanya seperti tergambar dari kutipan berikut ini:19

.��ه ال��تي ت إن المعرفة الحقيقية بالله ليس��ت العلم بوحداني يؤمن به��ا المؤمن��ون جميع��ا، كم��ا أنه��ا ليس��ت من عل��وم البره��ان والنظ��ر ال��تي هي عل��وم الحكم��اء والمتكلمين والبلغاء، ولكنها معرفة صفات الوحدانية التي هي ألولي��اء الل��ه خاص��ة ألنهم هم ال��ذين يش��اهدون الل��ه بقل��وبهم،

فتكشف لهم ماال يكشفه لغيرهم من عباده. Sesungguhnya, ma`rifah yang hakiki kepada Allah itu bukanlah ilmu tentang keesaan Allah sebagaimana yang diyakini oleh semua orang-orang mukmin; bukan pula ilmu-ilmu burhān (demonstratif-rasional) dan naḍar (teoretis) yang dimiliki oleh para filsuf (al-ḥukamā’), para teolog (al-mutakallimīn), dan para ahli retorika (al-bulaghā’). Akan tetapi, sesungguhnya ia adalah ma`rifah terhadap sifat-sifat keesaan Allah yang khusus dimiliki para wali Allah. Sebab, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan Allah dengan hati sehingga terbukalah bagi mereka apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.20

Berdasarkan kutipan di atas, maka dapat dipahami bahwa dari ketiga

pembagian al-Miṣriy mengenai pengetahuan tentang Allah, sesungguhnya

macam dan tingkatan pengetahuan ketiga, yaitu: ma`rifat ṣifāt al-

waḥdāniyyah, yang merupakan ma`rifah hakiki. Sehubungan dengan

18Dengan merujuk pada penjelasan dalam kamus Lisān al-`Arab, menurut al-Jābiriy, secara etimologis istilah `irfān merupakan bahasa Arab yang berasal dari kata dasar `arafa yang satu akar dan satu makna dengan kata ma`rifah yang berarti pengetahuan. Dalam dunia tasawuf, istilah ma`rifah itu menunjuk kepada suatu jenis pengetahuan tertinggi (naw` asmā min al-ma`rifah) yang dilimpahkan Allah swt. ke dalam hati dalam bentuk kashf atau ilhām. Lihat: Ibn Manḍūr, Lisān, jilid 4, juz 33, hlm. 2897; al-Jābiriy, Bunyat, hlm. 251.

19`Abd al-Qādir Maḥmūd, al-Falsafat, hlm. 307. Perkataan al-Miṣriy ini banyak dikutip oleh para penulis lain, antara lain: Reynold A. Nicholson, Gagasan, hlm. 15–16; M. Solihin & Rosihon Anwar, Ilmu, hlm. 153.

20Terjemahan penulis.

9

Page 18: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

hakikat ma`rifah yang terkait dengan tingkatan yang ketiga itu, pernyataan

al-Miṣriy berikut ini akan dapat memperjelas maksud dari konsep ma`rifah

yang ia kembangkan. Dalam hal ini, Al-Miṣriy berkata:21

والمعرفة ش��هود للح��ق في القلب ال��ذي استض��اءبنور الله.

Dan ma`rifah itu adalah kesaksian atas kebenaran yang ada di dalam hati yang mendapatkan cahaya Allah.22

Dari perkataan al-Miṣriy di atas, maka hakikat ma`rifah dapat diidentifikasi

pada tiga aspek, yaitu: pertama, kesaksian hati (shuhūd al-qalb). Ini sejalan

dengan pendapat al-Miṣriy mengenai dua tingkatan ma`rifah yang lebih

rendah dari ma`rifah ḥaqīqiyyah seperti yang telah diuraikan terdahulu,

bahwa pengetahuan orang awam itu diperoleh dengan menggunakan

bantuan indera lahir dan pengetahuan para ahli filsafat, kalam, dan retorika

itu diperoleh dengan menggunakan akal-rasional, sedangkan pengetahuan

orang-orang yang `ārif itu diperoleh dengan menggunakan hati (al-qalb);

kedua, kebenaran (al-ḥaqq) sebagai objek ma`rifah. Berbeda dari kebenaran

yang menjadi objek pengetahuan pada tingkatan pertama berupa realitas

empiris sehingga verifikasi kebenaran pengetahuan dalam epistemologi

bayāniy ini menggunakan teori korespondensi (kesuaian pengetahuan

dengan relialitas empiris), dan kebenaran yang menjadi objek pengetahuan

tingkatan kedua berupa realitas empiris-rasional, maka dalam epistemologi

burhāniy ini kebenaran diverifikasi dengan teori koherensi (kesesuaian

dengan pernyataan lain yang sudah dinilai benar), sedangkan kebenaran

21`Abd al-Qādir Maḥmūd, al-Falsafat, hlm. 307. 22Terjemahan penulis.

10

Page 19: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

yang menjadi objek pengetahuan tingkatan ketiga, al-ma`rifat al-

ḥaqīqiyyah, adalah realitas metafisik sehingga verifikasi kebenaran

pengetahuan dalam epistemoogi `irfāniy ini adalah teori korespondensi-

ilāhiyyah (kesesuaian pengetahuan dengan realitas metafisik); dan ketiga¸

atas anugerah dan rahmat Allah berupa cahaya ruhani yang dilimpahkan ke

dalam hati orang-orang yang menjadi wali-wali Allah swt.

Pandangan al-Miṣriy tentang hakikat ma`rifat dapat juga dipahami

dari perkataan al-Miṣriy yang diriwayatkan oleh al-Hujwiri yang

menceritakan bahwa al-Miṣriy berkata: “ma`rifah pada hakikatnya adalah

firman Tuhan tentang cahaya ruhani kepada kalbu-kalbu kita yang

terdalam.” Lebih lanjut, al-Hujwiri menjelaskan perkataan al-Miṣriy ini

dengan menyatakan: “Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari

ketercemaran sehingga semua makhluk tidak mempunyai arti lagi, bahkan

sebiji sawi pun, di dalam hatinya. Kontemplasi tentang rahasia-rahasia Ilahi,

lahir dan batin, tidak menguasainya. Tetapi bila Tuhan telah melakukan

demikian, setiap pandangannya menjadi tindak kontemplasi

(mushāhadah).23 Keterangan al-Miṣriy tentang hakikat ma`rifah

sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hujwīriy itu sejalan dengan dan

sebenarnya merupakan penegasan atas penjelasan al-Miṣriy terdahulu

bahwa hakikat ma`rifah itu adalah kesaksian atas kebenaran yang ada di

dalam hati yang mendapatkan cahaya Allah swt.

23 `Alī ibn `Uthmān al-Hujwīriy, The Kasyf al-Mahjub: The Oldest Persian Treatise on Sufism, diterjemahkan oleh Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi W.M. dengan judul Kasyful Mahjub: Buku Daras Tasawuf Tertua (Edisi Baru; Cet. I; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015 M/1436 H), hlm. 264.

11

Page 20: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

2. Corak Ma`rifah

Berdasarkan pandangan al-Miṣriy tentang hakikat ma`rifah sebagaimana

telah diuraikan di atas, oleh para peneliti al-Miṣriy dinilai telah

mengembangkan sebuah corak baru konsep ma`rifah dalam Islam dan

terutama dalam dunia tasawuf al-Miṣriy dijuluki sebagai pelopor paham

ma`rifah. Sehubungan dengan itu, Reynold A. Nicholson menyatakan: “Dhū

al-Nūn meletakkan dasar yang sangat penting dalam perkembangan tasawuf

selanjutnya dengan jalan pengetahuan terhadap Allah (ma`rifah), dari

pengetahuan (`ilm) tradisional atau intelektual, dan dikembangkan dengan

cinta terhadap Allah (maḥabbah).”24 Dalam hal yang sama, `Abd al-Qādir

Maḥmūd dalam kitab Falsafat al-Ṣūfiyyah fī al-Islām mengatakan:25

ه��و أن��ه ك��ان أول من خط��ا بالمعرف��ة الص��وفية خط��وة جدي���دة حين ف���رق بين معرف���ة الص���وفي بالل���ه، وبين المعرفة بالعقل وحده، وحين ذكر أن المعرف��ة الحقيق��ة

هي المعرفة األسمى عن طريق المشاهدة القلبية. Sungguh dia (al-Miṣriy) adalah orang pertama yang melangkah dalam pengetahuan sufistik (al-ma`rifat al-ṣūfiyyah) dengan langkah baru ketika dia membedakan antara pengetahuan sufi kepada Allah dari pengetahuan dengan akal semata; dan ketika dia menyebutkan bahwa sesungguhnya pengetahuan hakiki (al-ma`rifat al-ḥaqīqiyyah) itu adalah pengetahuan tertinggi (yang diperoleh) dari jalan penyaksian hati (al-mushāhadat al-qalbiyyah).26

Dari kedua kutipan di atas, dapat dipahami bahwa menurut para peneliti al-

Miṣriy telah berhasil memperkenalkan corak baru tentang konsep ma`rifah

dalam bidang sufisme Islam. Corak baru konsep ma`rifah yang

24 Reynold A. Nicholson, Gagasan, hlm. 15. 25`Abd al-Qādir Maḥmūd, al-Falsafat, hlm. 306.26Terjemahan penulis makalah.

12

Page 21: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

dikembangkan oleh al-Miṣriy dapat diidentifikasi sebagai berikut: Pertama,

ia membedakan antara al-ma`rifat al-ṣūfiyyah “pengetahuan sufistik” dari

al-ma`rifat al-`aqliyyah “pengetahuan rasional”. Corak pengetahuan yang

disebut pertama itu diperoleh dengan menggunakan pendekatan qalb “hati”

yang biasa digunakan oleh para sufi, sedangkan corak pengetahuan yang

kedua itu diperoleh dengan menggunakan pendekatan `aql “akal” yang biasa

digunakan oleh para teolog dan filsuf; kedua, menurut al-Miṣriy, ma`rifah

yang hakiki adalah mushāhadat qalbiyyah (penyaksian hati), dan teori

pengetahuan demikian ini menegaskan bahwa ma`rifah merupakan fitrah

dalam hati manusia sejak azali; dan ketiga, teori-teori ma`rifah yang

dikembangkan oleh al-Miṣriy menyerupai gnosis-hellenistik yang

diinspirasi oleh paham neo-platonisme. Lebih dari itu, teori-teori ma`rifah

yang dikembangkan itu kemudian dinilai oleh Maḥmūd27 sebagai jembatan

menuju teori-teori waḥdat al-shuhūd dan ittiḥād. Bahkan, seperti pendapat

Nicholson, al-Miṣriy merupakan orang pertama yang menabur benih-benih

teosofi ke dalam tasawuf Islam.28

3. Metode Ma`rifah

Dalam konteks metode ma`rifah, al-Miṣriy memiliki beberapa konsep dan

pandangan yang sangat berharga dan penting untuk diaplikasikan dalam

pendidikan pada zaman sekarang ini. Dalam tulisan ini, konsep dan

27Maḥmūd, al-Falsafat, hlm. 307. 28 Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam (London & Biston: Routledge and Kegam Paul,

1974), hlm. 71; Pernyataan Nicholson itu dikutip secara tidak langsung dalam Maḥmūd, al-Falsafat, hlm. 307; dan kemudian dikutip secara berulang-ulang oleh penulis lain, seperti: Asmaran As., Pengantar, hlm. 283; M. Solihin & Rosihon Anwar, Ilmu, hlm. 153; M. Alfatih Suryadilaga dkk., Miftahus Sufi (Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 139.

13

Page 22: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

pandangan al-Miṣriy diperoleh dari penelusuran literatur tasawuf klasik29

yang secara acak meriwayatkan pernyataan-pernyataan al-Miṣriy kemudian

dilakukan analisis dan seleksi untuk menetapkan pernyataan-pernyataan

yang relevan dengan metode untuk mencapai ma`rifatullah. Temuan dari

analisis dan pembahasan dimaksud dapat dipresentasikan pada beberapa

paragraf di bawah ini.

Dalam konteks metode mendapatkan ma`rifah, al-Miṣriy

sebagaimana diriwayatkan oleh Abū Na`īm al-Aṣfahāniy dari Yūsuf bin al-

Ḥusayn yang diceritakan oleh al-Aṣfahāniy, berkata:30

ي��ا معش��ر المري��دين من أراد منكم الطري��ق فليل��ق العلم��اء بالجه��ل والزه��اد بالرغب��ة وأه��ل المعرف��ة

بالصمت.Wahai para murid sekalian, siapa di antara kalian yang menginginkan suatu jalan (pengetahuan), maka temuilah para ulama dengan kebodohan, temuilah para zāhid dengan semangat, dan temuilah para ahli ma`rifah dengan diam.31

Kutipan di atas ini menunjukkan arahan dan bimbingan al-Miṣriy tentang

jalan pertama yang harus ditempuh oleh seorang yang menghendaki

29Kitab-kitab tasawuf klasik yang dimaksud dan dijadikan sumber primer dalam tulisan ini terdiri atas: (1) Ḥilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Aṣfiyā’ karya al-Ḥāfiḍ Abū Na`īm Aḥmad bin `Abdullāh al-Aṣfahāniy yang diterbitkan di Beirut oleh penerbit Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, tanpa keterangan tahun terbit; (2) Ṭabaqāt al-Ṣūfiyyah karya dari Abū `Abd al-Raḥmān Muḥammad bin al-Ḥusayn al-Sulamiy yang ditahkik dan diberi anotasi oleh `Abd al-Qādir `Aṭā, untuk cetakan kedua diterbitkan di Beirut oleh Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah pada tahun 2003 M/1424 H; (3) al-Risālat al-Qushayriyyah karya monumental dari al-Imām Abū al-Qāsim `Abd al-Karīm bin Hawāzin al-Qushayriy yang edisi baru ditahkik oleh Aḥmad Hāshim al-Salamiy dan diterbitkan di Beirut oleh Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah pada 2013 M/1434 H; (4) al-Luma` fī Tārīkh al-Taṣawwuf al-Islāmiy karya dari Abū Naṣr `Abdullāh bin `Alī al-Sarrāj al-Ṭūsiy dan untuk edisi baru ditahkik oleh Kāmil Muṣṭafā al-Hindāwiy yang diterbitkan di Beirut oleh Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah pada tahun 2007 M/1428 H; (5) al-Kawkab al-Duriyy fī Manāqib Dhī al-Nūn al-Miṣriy karya dari Ibn `Arabiy yang ditahkik oleh Sa`īd `Abd al-Fatāḥ dan diterbitkan di Beirut oleh Mu’assasat al-Intishār al-`Arabiy, tanpa keterangan tahun.

30 Al-Ḥāfiḍ Abū Na`īm Aḥmad bin `Abdullāh al-Aṣfahāniy, Ḥilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Aṣfiyā’ (Beirut: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.th.), juz 10, hlm. 3.

31 Terjemahan penulis makalah ini.

14

Page 23: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

ma`rifah, yaitu mempersiapkan sikap mental yang tepat sebelum menuntut

pengetahuan. Dalam hal ini, al-Miṣriy memberikan petunjuk tentang tiga

sikap mental yang berbeda ketika seorang murid atau penuntut ilmu sedang

belajar kepada guru dengan bidang ilmu dan maqām yang berbeda.

Pertama, bila sedang berguru kepada seorang ulama, maka sikap mental

yang tepat adalah merasa bodoh (bi al-jahl). Persyaratan sikap mental ini

sesuai dengan keadaan guru yang dihadapi adalah seorang ulama dengan

makna orang yang menguasai ilmu-ilmu syariat atau dalam istilah dan

kategori al-Miṣriy, seperti diuraikan terdahulu, seorang ulama fikih dan usul

fikih serta ulama kalam yang menguasai ma`rifat al-bayān. Dengan kata

lain, dalam konteks epistemologi bayāniy, seorang murid harus bersikap dan

merasa bodoh ketika berhadapan dengan seorang guru. Sebab, dalam

epistemologi bayāniy ulama itu aktif memberikan penjelasan kepada murid,

sehingga dengan demikian bila seorang murid merasa sudah tahu tentang

apa yang diajarkan oleh seorang guru, maka secara emosional pada dasarnya

dalam dirinya sudah ada keengganan dan penolakan yang disebabkan oleh

perasaan sombong dan tinggi hati, bukan tawadu dan rendah hati.

Kedua, bila seorang murid berhadapan dengan seorang guru yang

zāhid “orang yang zuhud”, maka sikap mental yang diajarkan al-Miṣriy

adalah sikap mental yang menunjukkan berhasrat (raghbah). Persyaratan

sikap mental ini sesuai dengan keadaan guru yang dihadapi adalah seorang

zāhid yang berperilaku sebagai orang yang sedang menapaki jalan spiritual.

Kondisi guru demikian seyogyanya dapat dijadikan sebagai role model bagi

15

Page 24: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

seorang murid yang sedang menuntut jalan spiritual. Karena itu, sikap

mental yang tepat menurut Miṣriy adalah semangat dan berhasrat untuk

meniru perilaku guru yang zāhid itu.

Ketiga, bila seorang murid berhadapan dengan seorang guru yang

ahli ma`rifah yaitu orang yang `ārif billāh, maka sikap mental yang

diajarkan al-Miṣriy adalah sikap diam (al-ṣumt). Persyaratan sikap mental

ini sesuai dengan keadaan guru yang dihadapi adalah orang yang `ārif billāh

di mana pengetahuan yang diperoleh itu merupakan anugerah langsung dari

Allah swt. melalui mushādat al-qalb. Karena itu, sikap mental yang tepat

bagi seorang murid yang berguru kepada seorang yang `ārif billāh adalah

diam. Sikap diam di sini dapat dimaknai sebagai perwujudan dari

ketundukan, kepatuhan, dan keridaan atas apa yang diajarkan oleh seorang

guru kepada seorang murid. Sikap demikian itu pula sebenarnya yang

menjadi sikap seorang yang `ārif billāh ketika mendapat anugerah

pengetahuan (ma`rifah) dari Allah swt.

Pengajaran al-Miṣriy lebih lanjut mengenai metode ma`rifah dapat

dipahami dari perkataannya yang diriwayatkan oleh Ibn `Arabiy dari Yūsuf

bin al-Ḥusayn yang menceritakan bahwa al-Miṣriy berkata:32

ره�ا، تن�ال المعرف�ة بثالث: ب�النظر في األم�ور كي�ف دبوفي المقادير كيف قدرها، وفي الخالئق كيف خلقها.

Ma`rifah itu diperoleh melalui tiga cara: dengan meneliti segala perkara bagaimana Allah mengaturnya, dengan meneliti

32 Ibn `Arabiy, al-Kawkab al-Duriyy fī Manāqib Dhī al-Nūn al-Miṣriy, ditahkik oleh Sa`īd `Abd al-Fatāḥ (Beirut: Mu’assasat al-Intishār al-`Arabiy, t.th.), hlm. 143.

16

Page 25: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

segala bahan bagaimana Allah menetapkan ukurannya; dan meneliti segala makhluk bagaimana Allah menciptakannya.33

Bila dicermati dengan baik, maka perkataan al-Miṣriy di atas dapat

dipahami sebagai penjelasan atas metode untuk memeroleh pengetahuan

dalam kategori ma`rifat al-ḥujjat yang merupakan pengetahuan tentang

Allah swt. sebagaimana yang secara khusus dipahami oleh para filsuf dan

dalam kategori epistemologi al-Jābiriy itu sejalan dengan dan merupakan

epistemologi burhāniy, seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu. Dalam

konteks epistemologi burhāniy ini, al-Miṣriy mengajarkan tiga metode

untuk memeroleh ma`rifah, yaitu: pertama, dengan meneliti sistem

pengaturan yang telah ditetapkan Allah swt. atas segala sesuatu; kedua,

dengan meneliti sistem penetapan ukuran yang ditakdirkan Allah swt. untuk

semua materi; dan ketiga, dengan meneliti sistem penciptaan semua

makhluk Allah swt.

Penjelasan al-Miṣriy tentang metode memeroleh ma`rifah terutama

yang masuk dalam kategori ma`rifat ṣifāt al-waḥdāniyyah, yaitu

pengetahuan tentang sifat-sifat tauhid yang secara khusus hanya

dianugerahkan Allah swt. kepada para wali melalui mushāhadat al-qalb,

dan yang sejalan dengan dan merupakan epistemologi `irfāniy, dapat

dipahami dari perkataan al-Miṣriy yang diriwayatkan oleh al-Qushayriy

sebagai berikut:34

33 Terjemahan penulis makalah.34 al-Qushayriy, al-Risālat, hlm. 344.

17

Page 26: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

معاشرة العارف كمعاشرة الل��ه تع��الى يحتمل��ك ويحلمعنك، تخلقا بأخالق الله.

Bergaul dengan orang `ārif itu bagaikan bergaul dengan Allah swt.; dia dapat membawamu dan dia dapat sabar atas dirimu, maka berperilakulah dengan akhlak Allah.35

Penjelasan al-Miṣriy ini pada dasarnya sejalan dengan dan kelanjutan dari

keterangan sebelumnya bahwa seorang murid itu bila berhadapan dengan

seorang guru yang al-`ārif billāh maka ia harus bersikap diam; tunduk,

patuh, dan rida dengan apa yang diajarkan seorang guru itu. Lebih dari itu,

pernyataan al-Miṣriy yang baru saja dikutip di atas menambahkan satu

aspek penting dalam metode memeroleh ma`rifah, yaitu dengan cara

berakhlak dengan akhlak Allah swt., tentu dengan kadar kemampuan

manusiawi.36 Hal ini menunjukkan bahwa untuk dapat sampai pada

pengetahuan mushāhadat al-qalb, seorang murid harus berusaha untuk

mengejewantahkan nama-nama Allah yang indah (al-asmā’ al-ḥusnā) dalam

diri dan kehidupan seorang murid.

Pada tingkatan yang lebih tinggi lagi, untuk memeroleh pengetahuan

mushāhadat al-qalb, menurut al-Miṣriy seperti yang diriwayatakn oleh al-

Ṭūsiy ketika ia ditanya, ditanya dengan apa engkau mengetahui Allah swt.?,

maka dia menjawab:37

عرفت الله بالل��ه، وع��رفت م��ا س��وى الل��ه برس��ول الل��هصلى الله عليه وسلم.

35 Terjemahan penulis makalah.36 Abū al-Wafā al-Ghanīmiy al-Taftāzāniy, Madkhal ilā al-Tasawwuf al-Islāmiy (Cet. III; Kairo:

Dār al-Thaqāfat li al-Nashr wa al-Tawzī`, 1979 M/1399 H), hlm. 102. 37 al-Ṭūsiy, al-Luma` fī Tārīkh, hlm. 99.

18

Page 27: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

Aku mengenal Allah dengan Allah, dan aku mengenal selain Allah dengan Rasulullah saw.38

Penjelasan al-Miṣriy ini menegaskan bahwa ma`rifatullāh melalui

mushāhadat al-qalb itu hanya dapat diperoleh dengan anugerah Allah swt.

kepada orang-orang dicintai-Nya. Sementara itu, pengetahuan tentang

sesuatu selain Allah swt. dapat diperoleh melalui dan dengan petunjuk yang

dibawa oleh Rasulullah saw. berupa Al-Qur’an dan hadis.

Secara lebih tegas lagi, bahwa pengetahuan tentang Allah swt. secara

hakiki itu hanya dapat diperoleh melalui pemberian dan anugerah-Nya

secara langsung, bukan melalui perantaan yang lain dapat dipahami dari

jawaban al-Miṣriy ketika ditanya seseorang seperti yang diriwayatkan al-

Qushayriy dari Yūsuf bin al-Ḥusayn sebagai berikut:39

فت. . ع.��ر. ى لـما ب . ر. .��و ال ى و.ل ب .��ر. ى ب ب فت. ر. : ع.��ر. ؟ ق.��ال. ك. ب فت. ر. .م.ا ع.��ر. بى. ب ر.

Dengan apa engkau mengenal Tuhanmu? Dia menjawab: “Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku dan sekiranya tidak karena Tuhanku maka sungguh aku tak akan mengenal Tuhanku.” 40

Jawaban al-Miṣriy di atas menunjukkan bahwa ma`rifatullāh itu diperoleh

atas pemberian Tuhan, bukan hasil pemikiran manusia, tetapi atas kehendak

dan rahmat Tuhan.41 Pengetahuan demikian ini dianugerahkan Allah kepada

sufi setelah menunjukkan ketekunan, kepatuhan dan ketaatan mengabdikan

38 Terjemahan penulis makalah ini.39 al-Qushayriy, al-Risālat, hlm. 345. 40 Terjemahan penulis makalah.41 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Ed. 1; Cet. VII; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hlm.

227–228.

19

Page 28: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

diri sebagai hamba Allah dengan berusaha secara konsisten dengan

melakukan riyādlah dan mujāhadah al-qalbiyyat al-rūhiyyah.

Dalam dunia tasawuf, metode untuk sampai dan mendapatkan

ma`rifah dikenal dengan istilah maqāmāt.42 Secara umum, dalam kaitan

dengan jalan yang harus ditempuh oleh seorang sālik dalam perjalanan

spiritual, maka pandangan-pandangan al-Miṣriy mengenai maqāmāt dapat

ditelusuri pada kitab-kitab yang memuat riwayat-riwayat tentang perkataan-

perkataan al-Miṣriy. Di antara kitab itu adalah al-Luma` fī Tārīkh al-

Taṣawwuf al-Islāmiy, sebuah kitab klasik yang otoritatif dalam bidang 42Secara terminologis, para sufi dan ahli tasawuf telah merumuskan pengertian maqāmāt. Al-Ṭūsiy

memberikan pengertian maqāmāt sebagai tergambar dalam kutipan berikut: مق��ام العب��د بين ي��دي الل�ه ع�ز وج��ل فيم��ا يق��ام في��ه من العب��ادات والمجاه��دات

. والرياضات واالنقطاع إلى الله عز وجلKedudukan seorang hamba di hadirat Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung, di mana diposisikan segala ibadah, mujāhadah, riyādlah, dan pengasingan hanya menuju Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung.

Sementara itu, al-Qushayriy mendefinisikan istilah maqām secara terminologis sebagai berikut: والمقام: ما يتحقق به العب��د بمنازلت��ه من اآلداب مم��ا يتوص��ل إلي��ه بن��وع تص��رف

ويتحقق به بضرب تكلب ومقاساة تكلف.Maqam adalah suatu (posisi) yang telah diperoleh oleh seorang hamba atas apa yang telah diusahakannya berupa adab-adab yang mengantarkannya kepada Tuhan dengan suatu tindakan, dan yang diperoleh dengan melakukan sesuatu yang dihendaki Tuhan, serta melaksanakan tugas-tugas (yang dibebankan kepadanya).

Menurut M. Amin Syukur, maqam adalah tingkatan yang harus diusahakan oleh seorang sufi dalam rangka menuju ma`rifatullāh yang bersifat permanen. Sedangkan menurut Moenir Nahrowi Tohir, maqam adalah jalan spiritual yang harus dilalui para sufi dalam mencapai tujuan luhurnya, melalui proses penyucian jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali ke jalan Tuhan. Bertolak dari beberapa definisi ini, maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa maqāmāt itu adalah (1) suatu hasil (outcome), yaitu posisi spiritual seorang hamba sālik di hadirat Allah swt.; (2) suatu proses (process), yaitu penyucian jiwa melalui kegiatan ibādah, mujāhadah, riyādlah; dan (3) suatu cara atau jalan (method), yaitu jalan spiritual yang harus ditempuh oleh seorang sālik untuk menggapai ma`rifatullāh. Lebih lanjut baca: Abū Naṣr al-Sarrāj al-Ṭūsiy, al-Luma`, ditahkik dan ditakhrij oleh `Abd al-Ḥalīm Maḥmūd dan Ṭāhā `Abd al-Bāqiy Surūr (Kairo dan Bagdad: Dār al-Kutub al-Ḥadīthah dan Maktabat al-Muthnā, 1960 M/1380 H), hlm. 65; al-Qushairiy, al-Risālat, hlm. 91; M. Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 22; Moenir Nahrowi Tohir, Menjelajahi Eksistensi Tasawuf: Meniti Jalan Menuju Tuhan (Cet. I; Jakarta: PT as-Salam Sejahtera, 2012), hlm. 93; dan Media Zainul Bahri, Tasawuf Mendamaikan Dunia (Jakarta: Erlengga, 2010), hlm. 89.

20

Page 29: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

tasawuf yang merupakan karya monumental Abū Naṣr `Abdullāh bin `Alī

al-Sarrāj al-Ṭūsiy.43 Untuk keperluan menjelaskan metode yang

dikembangkan al-Miṣriy dalam perjalanan meraih ma`rifah, maka dalam

tulisan ini data yang digunakan merujuk kepada kutib tersebut.

Dengan merujuk kepada karya al-Ṭūsiy di atas, maka di sini dapat

dipresentasikan pandangan al-Miṣriy tentang maqāmāt sebagai berikut.

Secara hierarkis dan sistematis, maqāmāt menurut al-Miṣriy terdiri atas

empat maqām yang meliputi: al-tawbah, al-ṣabr, al-tawakkal, dan al-ridlā.44

Seperti pendapat-pendapat sufi yang lain, maqām pertama menurut al-

Miṣriy adalah al-tawbah. Secara global, menurut al-Miṣriy al-tawbah itu

dibedakan menjadi dua kategori, yaitu al-tawbah orang awam (al-`awām)

dari dosa; dan al-tawbah orang khusus (al-khawāṣ) dari kelalaian akan

mengingat Allah.45 Lebih lanjut dan secara lebih rinci, maqām al-tawbah ini

oleh al-Miṣriy dikembangkan dengan mengklasifikasikan orang yang

bertaubat (al-tā’ib) itu menjadi tiga golongan, yaitu: pertama, golongan

orang yang bertaubat dari perbuatan dosa (al-dhunūb) dan keburukan (al-

sayyi’āt); kedua, golongan orang yang bertaubat dari kesalahan (al-zulal)

dan kelalaian (al-ghaflāt); dan ketiga, golongan orang yang bertaubat dari

memandang kebaikan (al-ḥasanāt) dan ketaatan (al-ṭā`āt)46 yang ada pada

dirinya itu karena hasil dari jerih payah sendiri, bukan karena anugerah dan

kemurahan Allah swt.43 Abū Naṣr `Abdullāh bin `Alī al-Sarrāj al-Ṭūsiy, al-Luma` fī Tārīkh al-Taṣawwuf al-Islāmiy,

ditahkik oleh Kāmil Muṣṭafā al-Hindāwiy (Beirut: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2007 M/1428 H). 44 Hierarki dan sistematika ini mengikuti urutan yang telah disusun al-Ṭūsiy dalam karya yang

disebut sebelum ini. 45al-Ṭūsiy, al-Luma` fī Tārīkh, hlm. 42. 46al-Ṭūsiy, al-Luma` fī Tārīkh, hlm. 42.

21

Page 30: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

Maqām kedua menurut al-Miṣriy adalah al-ṣabr. Pandangan al-

Miṣriy tentanng al-ṣabr ini dapat dipahami dari sebuah riwayat yang dicatat

oleh al- al-Ṭūsiy sebagai berikut:47

كما حكى عن ذي النون رحمه الله أنه قال: دخلت على مريض أع��وده، فبينم��ا ك��ان يكلم��ني أن أن��ة، فقلت ل��ه: ليس بص��ادق في حب��ه من لم يص��بر على ض��ربه، ق��ال:

فقال: بل ليس بصادق في حبه من لم يتلذذ بضربه.Sebagaimana dihikayatkan dari Dhū al-Nūn, semoga Allah memberikan rahmat kepadanya, bahwasanya ia berkata: suatu ketika saya datang menjenguk orang sakit; pada saat ia berbicara kepadaku dia merintih (kesakitan), maka aku berkata kepadanya: “Bukanlah cinta sejati bila seseorang tidak bersabar atas cobaan-Nya.” Dhū al-Nūn menceritakan (lebih lanjut), maka ia menimpali: “Bukanlah cinta sejati bila seseorang tidak merasakan nikmat dari cobaan-Nya.”48

Berdasarkan kutipan di atas dapat dipahami pandangan al-Miṣriy yang

menghubungkan al-ṣabr dengan cinta (maḥabbah); bahwa kesabaran itu

harus didasarkan atas cinta kepada Allah sehingga ketika mendapat ujian

dari Allah dalam kehidupan, seseorang akan mampu bersabar. Namun,

demikian, bagian lebih lanjut lain kutipan itu juga menunjukkan bahwa

kesabaran itu belum merupakan maqām tertinggi. Sebab, seperti tergambar

dari kutipan di atas, di atas kesabaran atas cobaan, ternyata masih ada

tingkatan yang lebih tinggi yaitu merasakan kenikmatan dengan cobaan

yang datang dari Zat yang dicinta.

Sehubungan dengan maqām al-tawakkal, ketika ditanya al-Miṣriy

menjawab:49

التوكل ترك تدبير النفس، واالنخالع من الحول والقوة.47al-Ṭūsiy, al-Luma` fī Tārīkh, hlm. 48. 48Terjemahan penulis makalah. 49al-Ṭūsiy, al-Luma` fī Tārīkh, hlm. 49.

22

Page 31: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

Tawakal ialah meninggalkan berpikir tentang diri sendiri, dan melepaskan diri dari merasa memiliki daya dan kekuatan.50

Jawaban al-Miṣriy tentang maksud tawakal menggambarkan pandangannya

hakikat tawakal baginya, yaitu penyerahan diri secara totalitas kepada Allah

swt. disertai perasaan tidak memiliki daya dan kekuatan untuk mengatasi

semua persoalan hidup di dunia dan di akhirat.

Terakhir, berkenaan dengan maqām al-ridlā, al-Ṭūsiy meriwayatkan

jawaban al-Miṣriy ketika ditanya tentang makna rida sebagaimana kutipan

berikut:51

وسئل ذو النون عن الرض��ا، فق��ال: س��رور القلب بم��رالقضاء.

Dan (ketika) Dhū al-Nūn ditanya tentang rida, ia menjawab: “kegembiraan hati atas pahit(nya) ketetapan (Allah swt.).”52

Pernyataan al-Miṣriy tentang makna rida di atas sungguh merupakan

tingkatan yang tertinggi. Sebab, rida tidak dimaknai hanya sebagai

menerima atas semua ketetapan Allah swt., lebih dari itu, rida dimaknai

sebagai kegembiraan hati atas pahitnya ketetapan Allah swt. Ini

menunjukkan bahwa konsep rida yang dikembangkan al-Miṣriy itu

didasarkan atas rasa maḥabbah yang tinggi kepada Allah swt. sehingga

segala ketetapan Allah direspon dengan hati yang penuh rasa senang,

gembira, dan bahagia.

Demikian uraian mengenai konsep dan pandangan al-Miṣriy

tentang maqāmāt sebagai jalan spiritual yang secara umum harus ditempuh

50Terjemahan penulis makalah. 51al-Ṭūsiy, al-Luma` fī Tārīkh, hlm. 50. 52Terjemahan penulis makalah.

23

Page 32: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

oleh seorang sālik dalam menggapai tingkatan-tingkatan sipritual di hadirat

Allah swt. Di sini terlihat, secara kuantitatif bahwa konsep maqāmāt al-

Miṣriy hanya terdiri atas empat tingkatan, berbeda dengan konsep maqāmāt

yang dikembangkan oleh para tokoh sufi yang datang lebih belakangan yang

secara umum lebih memiliki konsep maqāmāt dengan lebih banyak

tingkatan.53

53Para sufi dan ahli tasawuf berbeda dalam merumuskan dan menentukan ragam dan hierarki maqāmāt. Menurut al-Ṭūsiy, ragam maqāmāt itu ada tujuh dan secara hierarkis dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) al-tawbah, (2) al-wara`, (3) al-zuhd, (4) al-faqr, (5) al-ṣabr, (6) al-tawakkal, dan (7) al-ridlā. Dalam kitab al-Risālat al-Qushayriyyah, al-Qushayriy membahas beberapa ragam maqāmāt sebagai berikut: (1) al-tawbah, (2) al-mujāhadah, (3) al-khalwah wa al-`uzlah, (4) al-taqwā, (5) al-wara`, (6) al-zuhd, (7) al-ṣamt, (8) al-khawf, (9) al-rajā’, (10) al-ḥuzn, (11) al-jū` wa tark al-shahwah, (12) al-khushū` wa al-tawādlu`, (13) mukhālafat al-nafs wa dhikr `uyūbihā, (14) al-qanā`ah, (15) al-tawakkal, (16) al-shukr, (17) al-yaqīn, (18) al-ṣabr, (19) al-murāqabah, (20) al-ridlā, (21) al-`ubūdiyyah, (22) al-irādah, (23) al-istiqāmah, (24) al-ikhlaṣ, (25) al-ṣidq, (26) al-ḥayā’, (27) al-ḥurriyyah.

Berbeda dari al-Qushayriy yang membahas dua puluh tujuh maqāmāt, Ibnu `Aṭā’illāh secara lebih simpel dan praktis mengedepankan sembilan ragam dan hierarki maqāmāt sebagai berikut: (1) al-tawbah, (2) al-zuhd, (3) al-ṣabr, (4) al-shukr, (5) al-khawf¸ (6) al-rajā’, (7) al-tawakkal, (8) al-ridlā, (7) al-ṣabr, (8) al-maḥabbah, (9) al-ridlā.

Sementara itu, lebih sedikit lagi Ibnu Taymiyyah dalam kitab A`māl al-Qulūb aw al-Maqāmāt wa al-Aḥwāl menjelaskan enam ragam dan hierarki maqāmāt sebagai berikut: (1) al-tawbah, (2) al-ṣidq, (3) al-maḥabbah, (4) al-ikhlāṣ, (5) al-tawakkal¸ dan (6) al-ridlā. Tiga kali lebih banyak dari Ibnu Taymiyyah, dalam kitab Madārij al-Sālikīn, Ibn Qayyim al-Jawziyyah menjelaskan delapan belas ragam dan hierarki maqāmāt sebagai berikut: (1) al-tawbah, (2) al-tawakkal¸ (3) al-rajā’, (4) al-khawf, (5) al-inābah, (6) al-ikhbāt, (7) al-zuhd, (8) al-maḥabbah, (9) al-khashyah, (10) al-haybah, (11) al-Shukr, (12) al-ḥayā’, (13) al-uns, (14) al-ṣidq, (15) al-murāqabah, (16) al-ṭama’nīnah, (17) al-raghbah, dan (18) al-rahbah.

Muḥammad Amīn al-Kurdiy menyebut secara tidak langsung dan tidak tegas beberapa maqāmāt seperti: (1) tawbah, (2) tawakkal, (3) tafwīdl, (4) ikhlaṣ, (5) maḥabbah, (6) shawq, dan (7) wujd. Bagi Thabāthaba’ī, tahapan yang harus ditempuh oleh seorang sālik dalam perjalanan spiritual meliputi (1) irādah, (2) sabar, (3) tawakkal, (4) taslīm, (5) tafwīdl, dan (6) zuhud.

Penjelasan para peneliti Indonesia mengenai ragam dan hierarki maqāmāt dapat dipresentasikan sebagai berikut. Tohari Musnamar mengemukakan jalan menuju ma`rifatullāh itu adalah (1) menjadi ahli mushāhadah¸(2) menjadi ahli takhaṣṣuṣ¸ (3) menjadi ahli dhikr¸ (4) menjadi ahli maḥabbah¸ (5) menjadi ahli `ibādah¸ (6) menjadi ahli murāqabah¸ (7) menjadi ahli muḥāsabah¸ (8) menjadi ahli muqarrabah¸ (9) menjadi ahli muḥādlarah¸ (10) menjadi ahli tawakkal¸ (11) menjadi ahli ṣadaqah¸ (12) menjadi ahli riyādlah¸ (13) menjadi ahli mujāhadah¸ (14) menjadi ahli taqwā¸ (15) menjadi ahli tawbah¸ dan (16) menjadi ahli istiqāmah.

Bagi Ahmad Mubarok, ragam dan hierarki maqāmāt (stasiun-stasiun) itu meliputi: (1) tobat nasuha, (2) zuhud, (3) qara`, (4) faqr, (5) sabar, (6) tawakkal, dan (7) ridha. Sama jumlah ragam namun berbeda jenis dan hierarki, Moenir Nahrowi Tohir menyebut tujuh ragam dan hierarki maqāmāt yang terdiri atas (1) tawbah, (2) wara`, (3) zuhd, (4) faqr, (5) ṣabr, (6) tawakkal, dan (7) ridlā.

Dari daftar jenis-jenis dan hierarki maqāmāt sebagaimana yang telah disajikan di atas, dapat dipahami bahwa maqāmāt itu menurut para tokoh sufi dan para ahli tasawuf memang berbeda-beda dan beragam. Meskipun demikian, bila dicermati lebih jauh dapat ditemukan

24

Page 33: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

4. Karakteristik `Ārif

Penjelasan al-Miṣriy mengenai karakteristik orang-orang ahli ma`rifah dapat

ditemukan pada sebuah riwayat yang diceritakan oleh Ibn al-`Arabiy dari

Sa`īd bin Uthmān al-Khayyāṭ bahwa al-Miṣriy berkata:54

ثالثة من أعالم المعرف��ة: اإلقب��ال على الل��ه، واإلنقط��اعإلى الله، واإلفتخار بالله.

Tiga indikasi ma`rifah: menghadap Allah; memutuskan (diri) untuk (hanya) menuju Allah, dan merasa bangga dengan Allah.55

Ungkapan al-Miṣriy di atas menunjukkan tiga tanda-tanda pada seorang

`ārif billāh dalam tiga maqām yang berbeda,56 yaitu: pertama, pada maqām

al-sharī`ah, yang ditunjukkan dengan ungkapan “menghadap Allah” al-

bahwa perbedaan jumlah ragam itu disebabkan oleh pilihan mereka dalam merumuskan dan menuliskan ragam dan hierarki maqāmāt. Ada tokoh sufi dan ahli tasawuf yang menyebutkan secara sederhana dan sedikit seperti Ibnu Taymiyyah, Ṭabāṭaba’iy, Muḥammad Amīn al-Kurdiy, Ahmad Mubarok, dan Moenir Nahrowi Tohir. Sebaliknya, ada tokoh sufi dan ahli tasawuf yang menyebutkan secara luas dan banyak seperti al-Qushayriy, Ibn Qayyim al-Jawziyyah, dan Tohari Musnamar. Namun demikian, ada pula tokoh sufi yang menyebutkan dan menjelaskan ragam dan hierarki maqāmāt secara tengah-tengah dan sedang, yaitu Ibnu `Aṭā’illāh.

Baca: Al-Ṭūsiy, al-Luma`, hlm. 68–81; Al-Imām Abū al-Qāsim al-Qushayriy, al-Risālat al-Qushayriyyah, ditahkik oleh Al-Imām `Abd al-Ḥalīm Maḥmūd dan Maḥmūd bin al-Sharīf (Kairo: Mu’assasat Dār al-Sha`b, 1989 M/1409 H), hlm. 178–381; Al-Imām al-Quṭb al-Rabbāniy Sayyidiy Aḥmad bin `Aṭā’illāh al-Sakandariy (selanjutnya disebut Ibnu `Aṭā’illāh), al-Tanwīr fī Isqāṭ al-Tadbīr, ditahkik oleh Muḥammad `Abd ar-Raḥmān (Cet. I; Kairo: al-Maktabat al-Azhariyyat li at-Turāth, 2007), hlm. 27; Shaykh al-Islām Taqiy al-Dīn Aḥmad bin Taymiyyah, A`māl al-Qulūb aw al-Maqāmāt wa al-Aḥwāl (Cet. I; Tanta, Mesir: Dār al-Ṣaḥābat li al-Turāth, 1990 M/1411 H), hlm. 12–26; Al-Imām al-Salafiy al-`Allāmat al-Muḥaqqiq Abū `Abd Allāh bin Abī Bakr bin Ayyūb ibn Qayyim al-Jawziyyah (selanjutnya disebut Ibnu Qayyim al-Jawziyyah), Madārij al-Sālikīn (Cet. I; Beirut: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.th.), juz 1, hlm. 152–154; Muḥammad Amīn al-Kurdiy, Tanwīr al-Qulūb fī Mu`āmalat `Allām al-Guyūb, ditakhrij oleh Najm al-Dīn Amīn al-Kurdiy (Cet. I; Damaskus: Maṭba`at al-Ṣabāḥ, 1991 M/1411 H), hlm. 477–551; Yusno Abdullah Otta, Tasawuf Sosial: Pemikiran Sufistik Thabāthabā’i (Cet. I; Malang: UM Press, 2012), hlm. 80–107; Tohari Musnamar, Jalan Lurus Menuju Ma`rifatullah (Cet. II; Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), hlm. 169–204; Ahmad Mubarok, Meraih Bahagia dengan Tasawuf (Cet. III; Jakarta: Dian Rakyat, 2010), hlm. 168–170; Moenir Nahrowi Tohir, Menjelajahi Eksistensi Tasawuf: Meniti Jalan Menuju Tuhan (Cet. I; Jakarta: PT as-Salam Sejahtera, 2012), hlm. 95–101.

54 Ibn `Arabiy, al-Kawkab, hlm. 143.55 Terjemahan penulis makalah.56 Penggunakan tiga macam dan hierarki maq ām di sini mengacu kepada rumusan al-Ḥasaniy

seperti yang dijelaskan pada bagian terdahulu dalam tulisan ini.

25

Page 34: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

iqbāl `alallāh, seseorang yang memulai perjalanan spiritual untuk menjadi

`ārif billāh itu senantiasa konsisten dalam memfokuskan diri hanya kepada

Allah; kedua, pada maqām al-ṭarīqah yang ditunjukkan dengan ungkapan

“memutuskan (diri) untuk (hanya) menuju Allah” al-inqiṭā’ ilallāh, orang-

orang yang sedang dalam proses perjalanan spiritual untuk menjadi `ārif

billāh itu mampu melepaskan hati dan diri mereka dari keterikatan kepada

selain Allah sehingga mereka dapat terus berusaha dengan riyādlah dan

mujāhadah untuk menuju semata-mata kepada Allah swt.; dan ketiga, pada

maqām al-ḥaqīqah yang ditunjukkan dengan ungkapan “merasa bangga

dengan Allah” al-iftiqār billāh, maka orang-orang yang telah mencapai

tujuan ma`rifatullāh dan telah menjadi `ārif billāh itu tidak ada rasa

kebanggaan bagi mereka selain dengan dan bersama Allah swt.

Keterangan lebih lanjut dan lebih rinci mengenai karateristik orang-

orang yang `ārif billāh pada masing-masing maqām dapat ditemukan pada

pernyataan-pernyataan al-Miṣriy yang akan dipresentasikan sebagai berikut.

Dalam konteks proses perjalanan spiritual, al-Miṣriy menunjukkan tanda-

tanda orang yang `ārif billāh itu seperti tergambar pada ungkapannya yang

diriwayatkan oleh al-Sulamiy berikut ini:57

العارف كل يوم أخشع، ألنه كل ساعة أقرب. Seorang yang `ārif itu tiap hari (bertambah) lebih khusyuk, sebab setiap saat dia itu (bertambah) lebih dekat (dengan Allah swt.).58

57 Abū `Abd al-Raḥmān Muḥammad bin al-Ḥusayn al-Sulamiy, Ṭabaqāt al-Ṣūfiyyah, ditahkik dan diberi anotasi oleh `Abd al-Qādir `Aṭā (Cet. II; Beirut: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2003 M/1424 H), hlm. 15.

58 Terjemahan penulis makalah.

26

Page 35: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

Dari kutipan perkataan al-Miṣriy ini dapat ditarik suatu pemahaman terkait

dengan tanda-tanda orang yang `ārif billāh ketika dalam proses perjalanan

spiritual, yaitu semakin bertambah khusyuk (khushū`) dalam beribadah,

terutama ibadah shalat yang merupakan indikator utama bagi

keberagamaan seorang Muslim.

Lebih lanjut dari itu, dalam konteks ini ketika seseorang telah

sampai pada maqām al-ḥaqīqah, di antara tanda-tanda orang yang `ārif

billāh, menurut al-Miṣriy adalah seperti yang diriwayatkan al-Ṭūsiy

berikut ini:59

وقال ذو النون، رحم��ه الل��ه: عالم��ة الع��ارف ثالث��ة: ال يطفئ ن��ور معرفت��ه ن��ور ورع��ه، وال يعتق��د باطن��ا من العلم ينقض عليه ظاهرا من الحكم، وال يحمل��ه ك��ثرة نعم الله عليه وكراماته على هتك أس��تار مح��ارم الل��ه

تعالى. Dhū al-Nūn, semoga Allah merahmatinya, berkata: “Tanda-tanda orang `ārif itu ada tiga, yaitu: (1) cahaya ma’rifah-nya tidak memadamkan cahaya kewaraannya; (2) tidak meyakini bahwa ilmu batin itu dapat merusak hukum zahir; dan (3) banyaknya nikmat dan kemuliaan yang Allah anugerahkan kepadanya tidak menyebabkannya membuka tirai-tirai larangan Allah swt.60

Sebagaimana komentar al-Taftāzāniy, bahwa penjelasan al-Miṣriy terkait

dengan tanda-tanda orang al-`ārif billāh di atas menunjukkan bahwa al-

Miṣriy itu tetap berusaha mengaitkan al-ma`rifah dengan al-sharī`ah,61

yaitu pada tanda yang kedua: “tidak meyakini bahwa ilmu batin itu dapat

59 Abū Naṣr `Abdullāh bin `Alī al-Sarrāj al-Ṭūsiy, al-Luma` fī Tārīkh al-Taṣawwuf al-Islāmiy, ditahkik oleh Kāmil Muṣṭafā al-Hindāwiy (Beirut: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2007 M/1428 H), hlm. 37.

60 Terjemahan penulis makalah.61 al-Taftāzāniy, Madkhal, hlm. 101.

27

Page 36: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

merusak hukum zahir.” Dengan kata lain, meminjam terminologi yang

digunakan al-Jābiriy, dalam konteks ini tampak usaha al-Miṣriy untuk

mengintegrasikan epistemologi bayāniy (al-sharī`ah) dengan epistemologi

`irfāniy (al-ma`rifah). Di samping itu, dengan merujuk pada tanda-tanda

yang pertama, yaitu: “cahaya ma`rifah-nya tidak memadamkan cahaya

kewaraannya” dapat dipahami bahwa al-Miṣriy berusaha tetap menginte-

grasikan al-ma`rifah yang terdapat pada maqām al-ḥaqīqah dengan

kewaraan (al-wara`) yang merepresentasi-kan maqām al-ṭarīqah. Dengan

demikian, bila digunakan terminologi al-Ḥasaniy62 maka dapat ditarik

suatu pemahaman bahwa al-Miṣriy dengan ungkapan dalam kutipan di atas

telah berusaha menunjukkan dan memelihara relasi, interkoneksi, dan

integrasi antara al-Islām (maqām al-sharī`ah), al-Īmān (maqām al-

ṭarīqah), dan al-Iḥsān (maqām al-ḥaqīqah). Lebih dari itu, pada ungkapan

tanda-tanda yang ketiga: “banyaknya nikmat dan kemuliaan yang Allah

anugerahkan kepadanya tidak menyebabkannya membuka tirai-tirai

62Dalam hal ini, al-Ḥasaniy ketika memberikan syarah atas al-Ḥikam karya Ibnu `Aṭā’illāh al-Sakandariy dalam sebuah kitab yang berjudul Īqāḍ al-Himam fī Sharḥ al-Ḥikam telah menyusun ragam dan hierarki maqāmāt dalam sebuah sistematika yang apik, sederhana dan praktis. Dalam menyusun sistematika itu, al-Ḥasaniy mengacu kepada tiga dimensi ajaran Islam sebagaimana diberitakan dari Rasulullah saw. ketika beliau didatangi Malaikat Jibril a.s. untuk mengajarkan Islam. Seperti ditunjukkan oleh hadis yang dimaksud itu, tiga dimensi ajaran Islam itu meliputi (1) al-islām, (2) al-īmān, dan (3) al-iḥsān. Sistematika dan hierarki maqāmāt yang disusun oleh al-Ḥasaniy dapat dipresentasikan sebagai berikut: Pertama¸ al-islām yaitu maqām al-sharī`ah. Tujuan maqām pertama ini adalah beribadah atau menyembah Allah swt. dan berfungsi untuk memperbaiki anggota badan (اصالح الظواهر ) dengan jalan tobat (التوبة ), takwa (التقوى ), dan istikamah (االستقامة ); kedua, al-īmān, yaitu maqām al-ṭarīqah. Tujuan maqām kedua ini adalah untuk menuju Allah swt. dan berfungsi untuk memperbaiki hati ( اصالح الظم��ائر) dengan jalan ikhlas (اإلخالص ), sidik (الصدق ), dan ṭuma’nīnah (الطمأنينة ); dan ketiga, al-iḥsān, yaitu maqām al-ḥaqīqah. Tujuan maqām ketiga ini adalah untuk menyaksikan Allah swt. dan berfungsi untuk memperbaiki ruh (اصالح السرائر ) dengan jalan al-murāqabah (المراقبة ), al-mushāhadah dan ,( المشاهدة) al-ma`rifah :Baca .( المعرفة) Hadis ini merupakan hadis nomor 2 yang dimuat dalam kitab karya Al-Imām al-Ḥafiḍ al-Kabīr Muḥy al-Dīn Abū Zakariyyā bin Syaraf al-Dīn al-Nawāwiy al-Shāfi`iy, Matan al-Arba`īn al-Nawawiyyah fī al-Aḥādīṡ al-Ṣaḥīḥat al-Nabawiyyah (Kairo: Maktabat al-Shurūq al-Dawliyyah, 2010 M/1431 H), hlm. 11–12; Al-`Ārif billāh Aḥmad bin Muḥammad bin `Ajībat al-Ḥasaniy, Īqāḍ al-Himam fī Sharḥ al-Ḥikam (Kairo: Dār al-Ma`ārif, 1983), hlm. 25–28.

28

Page 37: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

larangan Allah swt.” memberikan isyarat bahwa orang yang `ārif billāh

tidak serta-merta mempublikasikan semua pengetahuan yang telah Allah

swt. anugerahkan kepadanya. Sebab, seperti telah disinggung beberapa

kali pada bagian terdahulu, bahwa manusia itu memiliki pengetahuan yang

bertingkat-tingkat sesuai dengan maqāmāt mereka masing-masing dan

seorang yang `ārif billāh dituntut untuk taat dan konsisten berkomunikasi

dengan bahasa dan komunitas yang sesuai dengan maqām mereka.

Pernyataan al-Miṣriy mengenai sifat-sifat yang menjadi karaker

orang yang `ārif billāh yang sudah mencapai puncak pendakian spiritual

dapat ditemukan pada riwayat yang ditulis oleh Farīd al-Dīn `Aṭṭār berikut

ini:63

ه وسئل عن صفات الع��ارف، ق��ال: من ال يش��اهد. نفس��. في علم وال في عين وال في حي��اة ومش��اهدة ووص��ف وكش��ف وحج��اب، فهم ال يكون��ون بهم، ب��ل يكون��ون.هم، وب��ه كالم.هم، كالم.هم كالم. الح��ق بالحق، وبه س��كونهم نظ��ر. الح��ق ج��ار من ج��ار على ألس��نتهم، ونظ��ر.وي عن النبي صلى الل��ه أعينهم، ثم قال: مصداق.ه. ما ر.ب. إلي بالنواف��ل حت م: "ال ي��زال العب��د بيق��ر عليه وسله. ال��ذي .ه. كنت. سمع.ه الذي يسمع. وبصر. ه، فإذا أحببت .حب أ

.بصر ...". بDan al-Miṣriy ditanya tentang sifat-sifat orang yang `ārif, dia menjawab: “(yaitu) orang yang tidak menyaksikan dirinya sendiri, baik dalam keadaan berilmu, berpenglihatan, dalam hidup, dalam kenyataan, dalam sifat, dalam ketersingkapan, maupun dalam hijab, mereka tidak berada dengan diri mereka sendiri; bahkan (lebih dari itu) mereka itu berada dengan (Tuhan) Yang Haq, dengan-Nya mereka diam, dengan-Nya mereka berbicara dan ucapan mereka itu adalah perkataan (Tuhan) Yang Haq yang mengalir pada lisan mereka, dan pandangan mereka adalah pandangan (Tuhan) Yang Haq yang memancar melalui mata mereka;” kemudian al-Miṣriy

63 Farīd al-Dīn `Aṭṭār, Tadhkirat, hlm. 174.

29

Page 38: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

berkata: “Pembenaran atas pandangan demikian ini adalah hadis qudsi yang diriwayatkan dari Nabi saw.: “Seorang hamba senantiasa mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya, maka bila Aku sudah mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya (yang digunakan untuk) mendengar, dan Aku menjadi penglihatannya (yang digunakan untuk) melihat.”64

Respon al-Miṣriy untuk menjawab pertanyaan seperti tergambar dalam

kutipan di atas menegaskan dan memperkuat analisis sebagian peneliti yang

menyimpulkan bahwa teori-teori ma`rifah yang dikembangkan al-Miṣriy itu

merupakan jembatan menuju teori-teori waḥdat al-shuhūd dan ittiḥād.65

Benih teori waḥdat al-shuhūd dapat ditemukan pada pernyataan al-Miṣriy

bagian: “(yaitu) orang yang tidak menyaksikan dirinya sendiri, baik dalam

keadaan berilmu, berpenglihatan, dalam hidup, dalam kenyataan, dalam

sifat, dalam ketersingkapan, maupun dalam hijab.” Dan benih teori ittiḥād

dapat ditemukan pada pernyataan al-Miṣriy bagian: “mereka tidak berada

dengan diri mereka sendiri; bahkan (lebih dari itu) mereka itu berada dengan

(Tuhan) Yang Haq, dengan-Nya mereka diam, dengan-Nya mereka

berbicara dan ucapan mereka itu adalah perkataan (Tuhan) Yang Haq yang

mengalir pada lisan mereka, dan pandangan mereka adalah pandangan

(Tuhan) Yang Haq yang memancar melalui mata mereka.”

64 Terjemahan penulis makalah.65Maḥmūd, al-Falsafat, hlm. 307.

30

Page 39: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

D. APLIKASI KONSEP MA`RIFAH DHŪ AL-NŪN AL-MIṢRIY DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Pada bagian ini akan dikemukakan gagasan mengenai aplikasi teori ma`rifah

al-Miṣriy dalam pembelajaran pendidikan agama Islam. Gagasan yang

dikembangkan dari teori ma`rifah al-Miṣriy tentu saja dipresentasikan secara

makro-konseptual berdasarkan temuan dan hasil kajian pada bagian

terdahulu. Relevan dengan realitas empiris sebagaimana yang dikatakan

Ahmad Tafsir, bahwa masalah terbesar yang dihadapi pendidikan Islam

adalah kegagalan dalam menanamkan nilai keimanan ke dalam hati para

peserta didik, 66 maka maka teori dan konsep-konsep ma`rifah yang

dikonstruksi oleh al-Miṣriy di atas dirasa sangat urgen dan signifikan.

Dari beberapa konsep yang terkait dengan teori ma`rifah menurut al-

Miṣriy di atas yang meliputi hakikat ma`rifah, corak ma`rifah, metode

ma`rifah, dan karakteristik `ārif billāh akan diaplikasikan dalam pendidikan

Islam dengan mengembangkan konsep-konsep itu dalam tujuan, materi, dan

metode pendidikan agama Islam, serta karakter pendidik Muslim.

1. Tujuan Pendidikan Agama Islam

Merujuk kepada hakikat ma`rifah menurut al-Miṣriy yang berkaitan

dengan kesaksian atas kebenaran yang ada di dalam hati yang

mendapatkan cahaya Allah, maka konsep itu dapat diaplikasikan pada

perumusan tujuan pendidikan agama Islam dengan menjadikan pendidikan

66 Ahamd Tafsir, Filsafat Pendidian Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia (Cet. V; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 140.

31

Page 40: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

hati (al-qalb) sebagai landasan, arah dan orientasi, tentu dengan tanpa

mengenyam-pingkan aspek-aspek lain, seperti aspek indrawi-sensual,

intelektual, dan emosional. Sebagai landasan memiliki makna bahwa

perumusan tujuan pendidikan agama Islam itu harus bertolak dan bermula

dari pengembangan hati sebagai alat dan sarana untuk memeroleh

ma`rifah yang hakiki. Sementara itu, sebagai arah dan orientasi memiliki

makna bahwa perumusan tujuan pendidikan agama Islam itu harus

diarahkan dan diorientasikan kepada pengembangan hati untuk memeroleh

ma`rifat ṣifāt al-waḥdāniyyah, yaitu pengetahuan tentang sifat-sifat tauhid

yang secara khusus hanya dimiliki oleh para wali yang melihat Allah swt.

dengan hati mereka. Gagasan ini juga sesuai dengan corak konsep

ma`rifah yang dikembangkan oleh al-Miṣriy, yaitu al-ma`rifat al-ṣūfiyyah

“pengetahuan sufistik” yang diperoleh dengan menggunakan pendekatan

qalb “hati” yang biasa digunakan oleh para sufi. Dengan demikian,

berdasarkan kerangka pikir di atas maka tujuan pendidikan agama Islam

yang tertinggi adalah mempersiapkan peserta didik untuk menjadi pribadi

Muslim yang memiliki ma`rifah hakiki yang diperoleh langsung dari

Allah swt. melalui mushāhadat al-qalb.

2. Materi Pendidikan Agama Islam

Materi pendidikan adalah bahan yang menjadi objek kajian dalam proses

pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

Sehubungan dengan tujuan pendidikan agama Islam berdasarkan teori

ma`rifah ḥaqīqiyyah yang dikembangkan oleh al-Miṣriy seperti

32

Page 41: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

dipresenta-sikan di atas, maka materi pendidikan agama Islam yang

relevan dan mendukung pencapaian tujuan tersebut didasarkan pada

pandangan al-Miṣriy tentang hierarki dan sistematika pengetahuan

ketuhanan.

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa sesuai

dengan latar pendidikan dan penguasaan keilmuan yang multidisipliner,

al-Miṣriy telah mengembangkan hierarki dan sistematika pengetahuan

tentang Tuhan yang meliputi: ma`rifat al-tawḥīd yang merupakan

pengetahuan tentang Allah swt. sebagaimana yang dipahami oleh orang-

orang Muslim secara umum; ma`rifat al-ḥujjat wa al-bayān, pengetahuan

tentang Allah swt. sebagaimana secara khusus dipahami oleh para filsuf

dan ulama; dan ma`rifat ṣifāt al-waḥdāniyyah, pengetahuan tentang sifat-

sifat tauhid yang secara khusus hanya dimiliki oleh para wali yang melihat

Allah swt. dengan hati mereka. Dengan demikian, berdasarkan uraian di

atas maka materi pendidikan agama Islam yang sesuai dengan tujuan yang

telah dirumuskan pada bagian terdahulu adalah meliputi: ma`rifat al-

tawḥīd, ma`rifat al-ḥujjat wa al-bayān, dan ma`rifat ṣifāt al-waḥdāniyyah.

3. Metode Pendidikan Agama Islam

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa al-Miṣriy telah

menawarkan beberapa metode untuk mendapatkan pengetahuan ketuhanan

sesuai dengan tingkatan masing-masing. Metode-metode itu pada dasarnya

dapat diterapkan pada pembelajaran pendidikan agama Islam yang terkait

33

Page 42: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

dengan tujuan dan materi pendidikan agama Islam sebagaimana telah

disajikan di atas.

Secara umum, al-Miṣriy memberikan petunjuk tentang persiapan

mental murid yang tepat sesuai dengan kategori guru yang dihadapi: (1)

bila berguru kepada seorang ulama, maka seorang murid harus bersikap

merasa bodoh, sehingga akan tumbuh keinginan yang kuat untuk menimba

ilmu dari guru itu; (2) bila berguru kepada seorang yang ahli zuhud, maka

seorang murid harus bersikap semangat dan bergairah sehingga akan

timbul kemauan yang kuat untuk meniru dan meneladani kezuhudan guru

itu; dan (3) bila berguru kepada seorang sufi yang `ārif billāh maka

seorang murid dituntut untuk bersiap diam sehingga akan muncul kesiapan

hati untuk menerima limpahan pengetahuan yang diberikan Allah secara

langsung kepada seorang sufi itu.

Lebih lanjut, dalam konteks untuk memeroleh pengetahuan dalam

kategori ma`rifat al-ḥujjat yang merupakan pengetahuan tentang Allah

swt. sebagaimana yang secara khusus dipahami oleh para filsuf, al-Miṣriy

mengajarkan tiga metode, yaitu: pertama, dengan meneliti sistem

pengaturan yang telah ditetapkan Allah swt. atas segala sesuatu; kedua,

dengan meneliti sistem penetapan ukuran yang ditakdirkan Allah swt.

untuk semua materi; dan ketiga, dengan meneliti sistem penciptaan semua

makhluk Allah swt.

Adapun metode untuk memeroleh ma`rifat ṣifāt al-waḥdāniyyah,

yaitu pengetahuan tentang sifat-sifat tauhid yang secara khusus hanya

34

Page 43: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

dianugerahkan Allah swt. kepada para wali melalui mushāhadat al-qalb,

menurut al-Miṣriy seorang murid harus berbudi dengan akhlak Allah

melalui pengejewantahan nama-nama Allah yang indah (al-asmā’ al-

ḥusnā) dalam diri dan kehidupan seorang murid. Untuk sampai tahapan

itu, seorang murid harus menempuh jalan spiritual dengan melewati

metode dan tahapan yang disebut maqāmāt. Sehubungan dengan metode

untuk mempersiapkan diri seorang sufi sehingga memeroleh ma`rifatullāh

secara hierarkis dan sistematis, al-Miṣriy telah mengembangkan maqāmāt

yang terdiri atas empat maqām yang meliputi: al-tawbah, al-ṣabr, al-

tawakkal, dan al-ridlā.

4. Karakteristik Pendidik Muslim dalam Pendidikan Agama Islam

Karakteristik seorang `ārif billāh yang dikembangkan oleh al-Miṣriy

sebagaimana yang telah dipresentasikan pada bagian terdahulu dalam

konteks sitem pendidikan agama Islam maka dapat dijadikan sebagai

karakteristik yang harus dikembangkan dan dimiliki oleh seorang pendidik

Muslim.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, karakteristik seorang

`ārif billāh yang dapat dijadikan sebagai karakteristik pendidik Muslim itu

dikelompokkan ke dalam tiga maqām yang berbeda, yaitu: pertama, pada

maqām al-sharī`ah, maka seorang pendidik Muslim harus senantiasa

konsisten dalam memfokuskan diri hanya kepada Allah; kedua, pada

maqām al-ṭarīqah, seorang pendidik Muslim harus mampu melepaskan

hati dan diri mereka dari keterikatan kepada selain Allah untuk menuju

35

Page 44: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

semata-mata kepada Allah swt.; dan ketiga, pada maqām al-ḥaqīqah, bagi

seorang pendidik Muslim itu tidak ada rasa kebanggaan selain dengan dan

bersama Allah swt. Selain itu, seorang pendidik Muslim itu harus

senantiasa memelihara ketaatan syariat sehingga terpelihara kehormanisan

antara keberagamaan eksoteris dengan keberagamaan esoteris. Dan

seorang pendidik Muslim harus secara bijaksana untuk menyampaikan dan

mengajarkan pengetahuan yang sesuai dengan tingkat kecerdasan murid.

Dan yang paling penting, seorang pendidik Muslim harus menjadi teladan

dalam mengamalkan pengetahuan yang telah diajarkan itu dalam

kehidupan sehari-hari.

E. PENUTUP

Sebagai akhir dari pembahasan makalah ini, maka pada bagian penutup ini

akan dirumuskan kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut.

1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bagian terdahulun, maka kesimpulan dari

makalah ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: pertama,

kesimpulan yang terkait dengan teori ma`rifah al-Miṣriy; dan kedua,

kseimpulan yang berhubungan dengan aplikasi teori itu dalam pendidikan

agama Islam. Kesimpulan yang terkait dengan teori ma`rifah al-Miṣriy

dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Hakikat ma`rifah yang dikembangkan oleh al-Miṣriy itu adalah

kesaksian atas kebenaran yang ada di dalam hati yang mendapatkan

36

Page 45: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

cahaya Allah. Pengetahuan jenis ini hanya dianugerahkan oleh Allah

swt. kepada para wali. Namun demikian, teori ma`rifah ini dapat

dijadikan acuan dan landasan dalam pengembangan tujuan pendidikan

agama Islam yang diarahkan pada penanaman dan pengembangan

dimensi spiritual peserta didik.

b. Corak baru konsep ma`rifah yang dikembangkan oleh al-Miṣriy adalah

al-ma`rifat al-ṣūfiyyah “pengetahuan sufistik” yang diperoleh dengan

menggunakan pendekatan qalb “hati” yang biasa digunakan oleh para

sufi. Corak ini dibedakan dari al-ma`rifat al-`aqliyyah “pengetahuan

rasional” yang dengan menggunakan pendekatan `aql “akal” yang biasa

digunakan oleh para teolog dan filsuf. Corak al-ma`rifat al-ṣūfiyyah

yang dikembangkan al-Miṣriy inilah yang kemudian oleh para sufi yang

datang belakangan sehingga berkembang sebagai teori waḥdat al-

shuhūd dan ittiḥād.

c. Maqāmāt sebagai metode untuk mempersiapkan diri seorang sufi

sehingga memeroleh ma`rifatullāh secara hierarkis dan sistematis telah

dikembangkan oleh al-Miṣriy yang terdiri atas empat maqām yang

meliputi: al-tawbah, al-ṣabr, al-tawakkal, dan al-ridlā. Selain

maqāmāt, dalam konteks metode ma`rifah al-Miṣriy memiliki beberapa

konsep dan pandangan yang sangat berharga dan penting untuk

diaplikasikan dalam pendidikan pada zaman sekarang ini, yaitu:

persiapan mental murid yang tepat sesuai dengan kategori yang

dihadapi: (1) bila berguru kepada seorang ulama, maka seorang murid

37

Page 46: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

harus bersikap merasa bodoh, sehingga akan tumbuh keinginan yang

kuat untuk menimba ilmu dari guru itu; (2) bila berguru kepada seorang

yang ahli zuhud, maka seorang murid harus bersikap semangat dan

bergairah sehingga akan timbul kemauan yang kuat untuk meniru dan

meneladani kezuhudan guru itu; dan (3) bila berguru kepada seorang

sufi yang `ārif billāh maka seorang murid dituntut untuk bersiap diam

sehingga akan muncul kesiapan hati untuk menerima limpahan

pengetahuan yang diberikan Allah secara langsung kepada seorang sufi

itu. Dalam konteks untuk memeroleh pengetahuan dalam kategori

ma`rifat al-ḥujjat yang merupakan pengetahuan tentang Allah swt.

sebagaimana yang secara khusus dipahami oleh para filsuf, al-Miṣriy

mengajarkan tiga metode, yaitu: pertama, dengan meneliti sistem

pengaturan yang telah ditetapkan Allah swt. atas segala sesuatu; kedua,

dengan meneliti sistem penetapan ukuran yang ditakdirkan Allah swt.

untuk semua materi; dan ketiga, dengan meneliti sistem penciptaan

semua makhluk Allah swt. Adapun metode memeroleh ma`rifat ṣifāt

al-waḥdāniyyah, yaitu pengetahuan tentang sifat-sifat tauhid yang

secara khusus hanya dianugerahkan Allah swt. kepada para wali melalui

mushāhadat al-qalb, menurut al-Miṣriy seorang murid harus berbudi

dengan akhlak Allah melalui pengejewantahan nama-nama Allah yang

indah (al-asmā’ al-ḥusnā) dalam diri dan kehidupan seorang murid.

Dalam hal ini, seorang murid harus menunjukkan ketekunan, kepatuhan

dan ketaatan mengabdikan diri sebagai hamba Allah dengan berusaha

38

Page 47: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

secara konsisten dengan melakukan riyādlah dan mujāhadah al-

qalbiyyat al-rūhiyyah.

d. Karakteristik seorang `ārif billāh yang dikembangkan olehal-Miṣriy itu

dikelompokkan ke dalam tiga maqām yang berbeda, yaitu: pertama,

pada maqām al-sharī`ah, seseorang yang memulai perjalanan spiritual

untuk menjadi `ārif billāh itu senantiasa konsisten dalam memfokuskan

diri hanya kepada Allah; kedua, pada maqām al-ṭarīqah, orang-orang

yang sedang dalam proses perjalanan spiritual untuk menjadi `ārif

billāh itu mampu melepaskan hati dan diri mereka dari keterikatan

kepada selain Allah untuk menuju semata-mata kepada Allah swt.; dan

ketiga, pada maqām al-ḥaqīqah, orang-orang yang telah mencapai

tujuan ma`rifatullāh dan telah menjadi `ārif billāh itu tidak ada rasa

kebanggaan bagi mereka selain dengan dan bersama Allah swt. Selain

itu, orang yang `ārif billāh itu senantiasa memelihara ketaatan syariat

sehingga terpelihara kehormanisan antara keberagamaan eksoteris

dengan keberagamaan esoteris. Dan orang yang `ārif billāh tidak serta-

merta mempublikasikan semua pengetahuan yang telah Allah swt.

anugerahkan kepadanya, akan tetapi mereka dapat mengejawantahkan

sifat-sifat ketuhanan melalui pendengaran, penglihatan, pikiran, dan

perasaan yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun kesimpulan yang berhubungnan dengan aplikasi teori

ma`rifah al-Miṣriy dalam pendidikan agama Islam dapat dikemukakan

sebagai berikut:

39

Page 48: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

a. Tujuan pendidikan agama Islam yang tertinggi adalah mempersiapkan

peserta didik untuk menjadi pribadi Muslim yang memiliki ma`rifah

hakiki yang diperoleh langsung dari Allah swt. melalui mushāhadat al-

qalb.

b. Materi pendidikan agama Islam yang sesuai dengan tujuan tersebut di

atas adalah meliputi: ma`rifat al-tawḥīd, ma`rifat al-ḥujjat wa al-bayān,

dan ma`rifat ṣifāt al-waḥdāniyyah.

c. Metode yang dapat diterapkan dalam pendidiakan agama Islam

berdasarkan teori ma`rifah al-Miṣriy adalah: pertama, persiapan mental

murid yang tepat sesuai dengan guru yang dihadapi; kedua, untuk

memeroleh pengetahuan dalam kategori ma`rifat al-ḥujjat maka metode

yang dapat diterapkan adalah dengan melakukan penelitian terhadap

alam ciptaan Allah swt.; ketiga, untuk memeroleh ma`rifatullāh secara

hierarkis dan sistematis dapat diterapkan dengan metode maqāmāt yang

terdiri atas empat maqām yang meliputi: al-tawbah, al-ṣabr, al-

tawakkal, dan al-ridlā.

d. Karakteristik pendidik Muslim berdasarkan teori ma`rifah al-Miṣriy

terdiri atas: (1) senantiasa konsisten dalam memfokuskan diri hanya

kepada Allah; (2) mampu melepaskan hati dan diri mereka dari

keterikatan kepada selain Allah untuk menuju semata-mata kepada

Allah swt.; dan (3) tidak ada rasa kebanggaan selain dengan dan

bersama Allah swt.

40

Page 49: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

2. Rekomendasi

Merujuk pada kesimpulan kajian makalah ini, maka di sini dapat

direkomendasikan bahwa untuk mengaplikasikan teori ma`rifah al-Miṣriy

secara komprehensif perlu dilakukan kajian teoretis-konseptual lebih lanjut

dan lebih mendalam; antara lain, perlu dikembangkan konsep

implementasi yang lebih spesifik pada jenis lembaga pendidikan agama

Islam yang berbeda dengan semua jenjang pendidikan dan tingkatan kelas.

Topik menarik yang perlu dikaji lebih lanjut terkait tokoh al-Miṣriy adalah

dengan latar belakang pendidikan dan keilmuan yang multidisipliner itu

bagaimana konsep dan apa kontribusi al-Miṣriy dalam

mengharmonisasikan hubungan antarilmu-ilmu yang meliputi: ilmu

syariat, sains, filsafat dan tasawuf.

Dalam konteks aplikasi dan implementasi secara praktis lebih

lanjut dari konsep-konsep yang telah dikembangkan perlu dilakukan

penelitian implementatif-eksperimental dalam dalam sebuah lembaga

pendidikan secara komprehansif dan optimal.

41

Page 50: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

DAFTAR PUSTAKA

`Afat, Īnās Musṭafā., `Abdullāh, Sumayyat Muḥammad., dan Ghurāb, Dīnā `Ādil (ed.). al-Mawsū`at al-`Arabiyyat al-Muyaasarah. Cet. I; Saida & Beirut: al-Maktabat al-`Aṣriyyah, 2010 M/1431 H.

`Arabiy, Ibn. al-Kawkab al-Duriyy fī Manāqib Dhī al-Nūn al-Miṣriy, ditahkik oleh Sa`īd `Abd al-Fatāḥ. Beirut: Mu’assasat al-Intishār al-`Arabiy, t.th.

`Aṭṭār, Farīd al-Dīn. Tadhkirat al-Awliyā’. Terjemahan Muḥammad al-Aṣīliy al-Wasṭāniy al-Shāfi`iy. Ditahkik oleh Muḥammad Adīb al-Jādir. Damaskus: Markaz Taḥqīqāt `Ulūm Islāmiy, 2008 M/1429 H.

al-Aṣfahāniy, Al-Ḥāfiḍ Abū Na`īm Aḥmad bin `Abdullāh. Ḥilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Aṣfiyā’ (Beirut: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.th.

al-Ḥafaniy, `Abd al-Mun`im. al-Mawsū`at al-Ṣūfiyyah: A`lām al-Tasawwuf wa al-Munkirīn `alayh wa al-Ṭuruq al-Ṣūfiyyah. Cet. I; Kairo: Dār al-Rashād, 1992 M/142 H.

al-Ḥasaniy, Al-`Ārif billāh Aḥmad bin Muḥammad bin `Ajībat. Īqāḍ al-Himam fī Sharḥ al-Ḥikam. Kairo: Dār al-Ma`ārif, 1983.

al-Hujwīriy, `Alī ibn `Uthmān. The Kasyf al-Mahjub: The Oldest Persian Treatise on Sufism. Diterjemahkan oleh Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi W.M. dengan judul Kasyful Mahjub: Buku Daras Tasawuf Tertua. Edisi Baru; Cet. I; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015 M/1436 H.

al-Jābiriy, Muḥammad `Ābid. Bunyat al-`Aql al-`Arabiy: Dirāsat Taḥlīliyyat Naqdiyyat li Niẓam al-Ma`rifat fī al-Thaqāfat al-`Arabiyyah. Cet. IX; Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdat al-`Arabiyyah, 2009 M.

al-Jābiriy, Muḥammad `Ābid. Takwīn al-`Aql al-`Arabiy. Cet. X; Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdat al-Arabiyyah, 2009.

al-Jawziyyah, Al-Imām al-Salafiy al-`Allāmat al-Muḥaqqiq Abū `Abd Allāh bin Abī Bakr bin Ayyūb ibn Qayyim. Madārij al-Sālikīn. Cet. I; Beirut: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.th.

al-Kalābāżiy, Al-Imām al-`Ālim al-`Ārif Abū Bakr Muḥammad bin Isḥāq al-Bukhāriy. Kitāb al-Ta`āruf li Mażhab Ahl al-Taṣawwuf. Cet. II: Kairo: Maktabat al-Khānajiy, 1994 M/1415 H.

al-Kurdiy, Muḥammad Amīn. Tanwīr al-Qulūb fī Mu`āmalat `Allām al-Guyūb. Ditakhrij oleh Najm al-Dīn Amīn al-Kurdiy. Cet. I; Damaskus: Maṭba`at al-Ṣabāḥ, 1991 M/1411 H.

al-Manāwiy, Zayn al-Dīn Muḥammad `Abd al-Ra’ūf. al-Kawākib al-Durriyyat fī Tarājim al-Sādat al-Ṣūfiyyah, ditahkik oleh Muḥammad Adīb al-Jādir. Beirut; Dār Ṣādir, t.th.

42

Page 51: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

al-Nawāwiy al-Shāfi`iy, Al-Imām al-Ḥafiḍ al-Kabīr Muḥy al-Dīn Abū Zakariyyā bin Syaraf al-Dīn. Matan al-Arba`īn al-Nawawiyyah fī al-Aḥādīṡ al-Ṣaḥīḥat al-Nabawiyyah. Kairo: Maktabat al-Shurūq al-Dawliyyah, 2010 M/1431 H.

al-Qushairiy, Al-Imām Abū al-Qāsim. al-Risālat al-Qushayriyyah. Ditahkik oleh Al-Imām `Abd al-Ḥalīm Maḥmūd dan Maḥmūd bin al-Sharīf. Kairo: Mu’assasat Dār al-Sha`b, 1989 M/1409 H.

al-Qushayriy, Al-Imām Abū al-Qāsim `Abd al-Karīm bin Hawāzin. al-Risālat al-Qushayriyyah, ditahkik oleh Aḥmad Hāshim al-Salamiy. Beirut: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2013 M/1434 H.

al-Sakandariy, Al-Imām al-Quṭb al-Rabbāniy Sayyidiy Aḥmad bin `Aṭā’illāh. al-Tanwīr fī Isqāṭ al-Tadbīr. Ditahkik oleh Muḥammad `Abd ar-Raḥmān. Cet. I; Kairo: al-Maktabat al-Azhariyyat li at-Turāth, 2007.

al-Sha`rāniy, Al-`Ārif billāh al-Imām `Abd al-Wahhāb. al-Ṭabaqāt al-Kubrā: Lawāmi` al-Anwār al-Qudsiyyat fī Manāqib al-`Ulamā’ wa al-Ṣūfiyyah, ditahkik oleh Aḥmad `Abd al-Raḥīm al-Sāyiḥ dan Tawfīq `Alī Wahbah. Cet. I; Kairo: Maktabat al-Thaqāfat al-Dīniyyah, 2005 M/1426 H.

al-Sulamiy, Abū `Abd al-Raḥmān Muḥammad bin al-Ḥusayn. Ṭabaqāt al-Ṣūfiyyah, ditahkik dan diberi anotasi oleh `Abd al-Qādir `Aṭā. Cet. II; Beirut: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2003 M/1424 H.

al-Taftāzāniy, Abū al-Wafā al-Ghanīmiy. Madkhal ilā al-Tasawwuf al-Islāmiy. Cet. III; Kairo: Dār al-Thaqāfat li al-Nashr wa al-Tawzī`, 1979 M/1399 H.

al-Ṭūsiy, Abū Naṣr `Abdullāh bin `Alī al-Sarrāj. al-Luma` fī Tārīkh al-Taṣawwuf al-Islāmiy, ditahkik oleh Kāmil Muṣṭafā al-Hindāwiy. Beirut: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2007 M/1428 H.

al-Ṭūsiy, Abū Naṣr al-Sarrāj. al-Luma`. Ditahkik dan ditakhrij oleh `Abd al-Ḥalīm Maḥmūd dan Ṭāhā `Abd al-Bāqiy Surūr. Kairo dan Bagdad: Dār al-Kutub al-Ḥadīthah dan Maktabat al-Muthnā, 1960 M/1380 H.

Attar, Farid al-Din. Tadhkirat al-Awliyā’, diterjemahkan oleh A.J. Arberry dengan judul Muslim Saints and Mystics. Ames, Iowa: Omphaloskepsis, 2000.

Bahri, Media Zainul. Tasawuf Mendamaikan Dunia. Jakarta: Erlengga, 2010.

Maḥmūd, `Abd al-Ḥalīm. al-`Ālim al-`Ābid al-`Ārif billāh Dhū al-Nūn al-Miṣriy. Cet. II; Kairo: Dār al-Rashād, 2004 M/1434 H.

Maḥmūd, `Abd al-Qādir. al-Falsafat al-Ṣūfiyyat f ī al-Islām. Cet. I; Kairo: Dar al-Fikr al-`Arabiy, 1996.

Manḍūr, Ibn. Lisān al-`Arab. Ditahkik oleh `Abdullāh `Alī al-Kabīr, Muḥammad Aḥmad Ḥasabullāh, dan Hāshim Muḥammad al-Syādhiliy. Kairo: Dār al-Ma`ārif, t.th.

Mubarok, Ahmad. Meraih Bahagia dengan Tasawuf. Cet. III; Jakarta: Dian Rakyat, 2010.

43

Page 52: 5.3.9. Teori Ma`rifah Dhu al-Nun al-Misriy - Sopyan (Revisi)

Munawir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Musnamar, Tohari. Jalan Lurus Menuju Ma`rifatullah. Cet. II; Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004.

Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Ed. 1; Cet. VII; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.

Nicholson, Reynold A. The Mystics of Islam. London & Biston: Routledge and Kegam Paul, 1974.

Otta, Yusno Abdullah. Tasawuf Sosial: Pemikiran Sufistik Thabāthabā’i. Cet. I; Malang: UM Press, 2012.

Soleh, A. Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Suryadilaga, M. Alfatih dkk. Miftahus Sufi. Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2008.

Syukur, M. Amin. Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Tafsir, Ahamd. Filsafat Pendidian Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia. Cet. V; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012.

Taymiyyah, Shaykh al-Islām Taqiy al-Dīn Aḥmad bin. A`māl al-Qulūb aw al-Maqāmāt wa al-Aḥwāl. Cet. I; Tanta, Mesir: Dār al-Ṣaḥābat li al-Turāth, 1990 M/1411 H.

Tohir, Moenir Nahrowi. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf: Meniti Jalan Menuju Tuhan. Cet. I; Jakarta: PT as-Salam Sejahtera, 2012.

Zakariyyā, Abū al-Ḥusayn Aḥmad bin Fāris bin. Mu`jam Maqāyis al-Lughah. Ditahkik dan dikoreksi oleh `Abd al-Salām Muḥammad Hārūn. Beirut: Dār al-Fikr, 1979 M/1399 H.

44