5. peranan modal sosial dan pemberdayaan rumah tangga miskin melalui pengembangan kelembagaan seb
DESCRIPTION
modal sosialTRANSCRIPT
50
PERANAN MODAL SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN RUMAH TANGGA
MISKIN MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN SEBAGAI SALAH
SATU UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN
(Studi Kasus: Rumah Tangga Miskin Di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang)
Oleh : Budi Yanti, SE.Akt. MSi.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana peran modal sosial dan
pemberdayaan rumah tangga miskin melalui pengembangan kelembagaan lokal sebagai
upaya mengentaskan kemiskinan dan sekaligus dalam rangka mendorong peningkatan
kesejahteraan di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang. Dalam konteks ini, kebijakan
pemerintah dalam upaya pemberdayaan masyarakat perlu melibatkan kerjasama lebih
intensif dengan kelembagaan lokal atau modal sosial yang ada di masyarakat. Nilai-nilai
budaya lokal dan pengetahuan lokal yang telah lama tertanam pada masyarakat itu
diharapkan senantiasa terpelihara dan berkembang menjadi modal yang bernilai
harganya dalam peningkatan kesejahteraan dan proses pembangunan.
Kelembagaan baik berupa organisasi maupun bukan merupakan salah satu
penggerak pembangunan terutama dalam pengentasan kemiskinan. Pemberdayaan
masyarakat melalui kelembagaan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan lembaga
terutama lembaga lokal dalam melaksanakan pembangunan, mulai dari perencanaan,
pelaksanan hingga tahap evaluasi. Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan
kelembagaan seiring sejalan dengan semakin meningkatnya modal social.
Dari uji hipotesa dapat disimpulkan lembaga persatuan dalam masyarakat
mempunyai peranan dalam perkembangan kesejahteraan masyarakat kelurahan yang
diproyeksikan dengan pengeluaran rumah tangga. Hal ini dapat memberikan
kemungkinan bahwa semakin luas interaksi rumah tangga dalam persatuan
kelompok/lembaga maka semakin tinggi pula kesejahteraan rumah tangga tersebut.
Kepemilikan tanah dan penghasilan rumah tangga memiliki hubungan yang kuat dengan
kesejahteraan rumah tangga.
Pada umumnya, rumah tangga miskin memiliki karakteristik lemahnya jaringan sosial
terhadap antar kelembagaan (interlinkage institution) yang ada, baik secara horizontal
maupun secara vertikal. Lemahnya akses terhadap jaringan ekonomi dan modal sosial
lainnya umumnya disebabkan karena mereka tidak memiliki persyaratan sosial yang
cukup, misalnya lemahnya pendidikan, pengetahuan, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal ini terbukti dengan hasil penelitian yang diperoleh yaitu tidak signifikannya
variable akse menabung dan akses meminjam dengan variable kesejahteraan rumah
tangga bagi masyarakat miskin di Kelurahan Lubuk Minturun Kecamatan Koto Tangah.
Kata kunci: Social capital, kelembagaan, adat istiadat, kepercayaan, partisipasi.
1. Latar Belakang
Kemiskinan merupakan permasalahan ekonomi utama yang dirasakan oleh setiap
daerah di Indonesia, khususnya di Kota Padang. Kesenjangan pendapatan antara
kelompok penduduk, salah satunya merefleksikan masih banyaknya penduduk yang
51
hidup dalam kemiskinan. Penduduk miskin adalah penduduk yang pendapatan atau
pengeluaran per kapita per bulannya berada di bawah angka garis kemiskinan yang
ditetapkan oleh BPS. Jumlah penduduk miskin dihitung oleh BPS dengan menggunakan
hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).
Selama ini di daerah telah ada seperangkat lembaga-lembaga yang muncul dan
timbul dari inisiatif masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Umumnya
lembaga-lembaga lokal ini masih bersifat sangat tradisional dengan berbagai
kekurangan-kekurangan yang ada dari segi organisasi atau kelembagaan modern.
Padahal di sisi lain pemerintah sebagai Stakeholder dari program pembangunan sangat
memerlukan lembaga yang sangat mampu untuk menjadi wadah atau saluran
pembangunan bahkan sarana paling tepat untuk percepatan pembangunan. Berpijak
pada realita semacam inilah maka pemerintah pun mengeluarkan kebijakan mengenai
perlunya pembentukan lembaga kemasyarakatan modern dalam rangka pelaksanaan
pembangunan dengan pertimbangan, bahwa lembaga kemasyarakatan modern yang
dibuat pemerintah yang memang dirancang secara khusus untuk kegiatan pembangunan
akan lebih memberikan peluang besar guna keberhasilan pembangunan itu sendiri dari
pada pemerintah menggunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada yang
umumnya bercorak kultural, agamis dan tradisional.
Pada umumnya, rumah tangga miskin memiliki karakteristik lemahnya jaringan
sosial terhadap antar kelembagaan (interlinkage institution) yang ada, baik secara
horizontal maupun secara vertikal. Lemahnya akses terhadap jaringan ekonomi dan
modal sosial lainnya umumnya disebabkan karena mereka tidak memiliki persyaratan
sosial yang cukup, misalnya lemahnya pendidikan, pengetahuan, dan kemampuan
berkomunikasi. Modal sosial (social capital) merupakan salah satu modal dasar yang
kurang diperhatikan selama ini. Dengan dasar ini, maka upaya pemberdayaan rumah
tangga miskin melalui pengembangan kelembagaan, harus didasarkan kepada
pemahaman yang utuh terhadap ragam dan sifat modal sosial yang mereka miliki,
sehingga proses pembangunan akan menjadi lebih tepat.
Kecamatan Koto Tangah adalah salah satu daerah perkotaan yang mempunyai
banyak penduduk yang miskin. Berdasarkan data BPS, 2008, terdapat 5.988 rumah
tangga miskin atau sekitar 16% di Kecamatan Koto Tangah, yang merupakan
kecamatan yang mempunyai jumlah penduduk miskin tertinggi di Kota Padang.
52
Dengan demikian, maka penting untuk dilakukan riset agar dapat dianalisis sejauh
mana peran modal sosial dan pemberdayaan rumah tangga miskin melalui
pengembangan kelembagaan lokal sebagai upaya mengentaskan kemiskinan dan
sekaligus dalam rangka mendorong peningkatan kesejahteraan di Kecamatan Koto
Tangah Kota Padang. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah dalam upaya
pemberdayaan masyarakat perlu melibatkan kerjasama lebih intensif dengan
kelembagaan lokal atau modal sosial yang ada dimasyarakat. Nilai-nilai budaya lokal
dan pengetahuan lokal yang telah lama tertanam pada masyarakat itu diharapkan
senantiasa terpelihara dan berkembang menjadi modal yang bernilai harganya dalam
peningkatan kesejahteraan dan proses pembangunan.
2. Perumusan Masalah
Berawal dari pemahaman konsep social capital dan kelembagaan, kedua konsep
tersebut sangat terkait satu dengan lainnya. Kelembagaan baik berupa organisasi
maupun bukan merupakan salah satu penggerak pembangunan. Pemberdayaan
masyarakat melalui kelembagaan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan lembaga
terutama lembaga lokal dalam melaksanakan pembangunan, mulai dari perencanaan,
pelaksanan hingga tahap evaluasi. Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan
kelembagaan seiring sejalan dengan semakin meningkatnya modal sosial. Colleta
(2000) memberikan gambaran tentang pentingnya social capital dalam pembangunan
terutama dalam pengembangan kelembagaan. Pada tingkat social capital tinggi, mampu
memunculkan lembaga baru yang memiliki tingkatan organisasi mantap. Pada tingkat
social capital yang rendah ternyata membawa dampak pada hancurnya kelembagaan
yang telah ada.
Oleh karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
a. Bagaimanakah karakteristik modal sosial yang dimiliki masyarakat khususnya
rumah tangga miskin di Kecamatan Koto Tangah.
b. Bagaimanakah karakateristik jaringan sosial dan kelembagaan yang dimiliki
rumah tangga miskin, baik formal maupun nonformal.
53
c. Bagaimanakah kontribusi dan peranan modal sosial masyarakat melalui
pengembangan kelembagaan sebagai upaya pengentasan kemiskinan di
Kecamatan Koto Tangah.
3. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis modal sosial rumah
tangga dan dampaknya terhadap peningkatan kesejahteraan rumah tangga miskin di
Kecamatan Koto Tangah. Secara spesifikasi tujuan penelitian adalah:
(1) Mempelajari karakteristik dan menganalisis modal sosial yang dimiliki
masyarakat Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.
(2) Mempelajari karakateristik jaringan sosial dan kelembagaan yang dimiliki rumah
tangga miskin, baik formal maupun nonformal, terutama kelembagaan ekonomi
yang merupakan sarana utama untuk peningkatan kesejahteraan.
Melihat dari tujuan maka diharapkan nantinya tulisan ini akan memberikan
manfaat diharapkan adanya pemecahan masalah untuk mengurangi kemiskinan dan
meningkatkan kesejahteraan rumah tangga miskin di Kecamatan Koto Tangah. Dan
sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan dalam
pengentasan kemiskinan, khususnya di Kota Padang. Selain itu juga sebagai tambahan
informasi dan bahan perbandingan untuk penelitian lebih lanjut yang meneliti mengenai
modal sosial terhadap kesejahteraan rumah tangga.
4. Hipotesis
Tidak terdapat hubungan antara indikator variabel kelembagaan, adat istiadat,
kepercayaan, partisipasi terhadap variabel kesejahteraan rumah tangga
5. Landasan teori dan tinjauan pustaka
1. Modal Sosial (Social Capital)
Modal sosial (Social Capital) awalnya dipahami sebagai suatu bentuk di mana
masyarakat menaruh kepercayaan terhadap komunitas dan individu sebagai bagian
didalamnya. Mereka membuat aturan kesepakatan bersama sebagai suatu nilai dalam
komunitasnya. Di sini aspirasi masyarakat mulai terakomodasi, komunitas dan jaringan
54
lokal (kelembagaan) teradaptasi sebagai suatu modal pengembangan komunitas dan
pemberdayaan masyarakat.
Menurut World Bank (1998), social capital adalah “…a society includes the
institutions, the relationships, the attitudes and values that govern interactions among
people and contribute to economic and social development”. Namun, social capital
tidaklah sederhana hanya sebagai jumlah dari seluruh institusi yang ada, namun ia
adalah juga semacam perekat yang mengikat semua orang dalam masyarakat. Dalam
social capital dibutuhkan adanya “nilai saling berbagi” (shared values) serta
pengorganisasian peran-peran (rules) yang diekspresikan dalam hubungan-hubungan
personal (personal relationships), kepercayaan (trust), dand common sense tentang
tanggung jawab bersama; sehingga masyarakat bukan hanya sekedar kumpulan individu
belaka.
Putnam (1995) mengartikan modal sosial sebagai “features of social
organization such as networks, norms, and social trust that facilitate coordination and
cooperation for mutual benefit”. Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu,
dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaringan kerja, sehingga terjadi kerjasama yang
saling menguntungkan, untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini juga mengandung
pengertian bahwa diperlukan adanya suatu social networks (“networks of civic
engagement”) - ikatan/jaringan sosial yang ada dalam masyarakat, dan norma yang
mendorong produktivitas komunitas. Bahkan lebih jauh, Putnam melonggarkan
pemaknaan asosiasi horisontal, tidak hanya yang memberi desireable outcome (hasil
pendapatan yang diharapkan) melainkan juga undesirable outcome (hasil tambahan).
Menurut Woolcock dan Narayan (2000), Sosial Capital adalah merupakan
bagaimana hubungan diantara pelaku ekonomi dan hubungannya dengan lembaga-
lembaga ekonomi. Dalam penelitian sosial capital dan ekonomi pembangunan dapat
dikateorikan kepada 4 perspektif yang nyata:
1. The Commutarian View
Perspektif sosial capital masyarakat yang ada pada organisasi tingkat lokal,
dimana dilihat dari jumlah anggotanya dan kepadatan grup-grup membentuk
masyarakat. Didalam kelompok yang kecil ini biasanya sosial capital akan melekat
dengan baik, makin baik dan nantinya akan membawa efek yang positif terhadap
kesejahteraan masyarakat. Perspektif ini mempunyai kontribusi yang penting untuk
55
menganalisis kemiskinan yang disebabkan oleh tekanan perkotaan, dengan ikatan sosial
membantu kemiskinan dalam menghadapi resiko.
2. The Networks View
Perspektif yang kedua dalam sosial capital ini dilihat dari bertambahnya ikatan
atau jaringan kesatuan yang terjadi diantara orang-orang, organisasi grup-grup
masyarakat dan perusahaan-perusahaan baik secara vertikal maupun secara horizontal
yang menyebabkan kuatnya persatuan atau kerja sama dalam perusahaan, grup bisnis
tersebut. Network view dari sosial capital adalah suatu bentuk dalam assosiasi yang
tertutup, dimana sosial capital disini merupakan 2 mata pisau, dapat meningkatkan nilai
jasa bagi anggota masyarakat, tetapi juga merupakan biaya-biaya non ekonomi dalam
masyarakat dengan konsekuensi negatif bagi ekonomi. Bagi grup yang kuat hal tersebut
mereka tutupi dengan informasi tentang kesempatan kerja, menggalakkan iklim usaha
dan kerja keras.
(3) Institutional view
Institutional view merupakan variabel dependent dalam sosial capital. Menurut
pandangan ini, Jaringan masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat merupakan
produk dari politik, dan lingkungan institusi formal. Dimana perspektif commutarian
dan network menciptakan sosial capital sebagai independent variabel, apakah hasil yang
diperoleh baik atau buruk. Institutional view menggantikan pandangan sosial capital
sebagai sebuah variabel dependent..
(4) The Synergy View
yaitu sinergi yang timbul dari hubungan semua kelompok dalam jaringan
masyarakat dengan pihak-pihak lain seperti perusahaan, pemerintah, dan asosiasi
lainnya. Dengan kata lain merupakan gabungan perspektif antara network view dengan
institutional view. Menurut evans (1996 dalam Woolcock 2000), salah satu kontribusi
terbesar dalam pandangan ini adalah sinergi yang muncul dari aksi pemerintah dan
penduduk kota didasarkan pada kelengkapan.
Secara umum, ada delapan elemen yang berbeda dalam social capital, yaitu
partisipasi pada komunitas lokal, proaktif dalam konteks sosial, perasaan trust dan
safety, hubungan ketetanggaan (neighborhood connection), hubungan kekeluargaan dan
pertemanan (family and friends connection), toleransi terhadap perbedaan (tolerance of
56
diversity), berkembangnya nilai-nilai kehidupan (value of life), dan ikatan-ikatan
pekerjaan (work connection).
Dari uraian di atas dapat disebutkan beberapa fungsi dan peran modal sosial
sebagai berikut;
1. Membentuk solidaritas sosial masyarakat dengan pilar kesukarelaan.
2. Membangun partisipasi masyarakat .
3. Penyeimbang hubungan sosial dalam masyarakat .
4. Sebagai Pilar demokrasi.
5. Agar masyarakat mempunyai bargaining position (posisi tawar) dengan
pemerintah.
6. Membangkitkan keswadayaan dan keswasembadaan ekonomi.
7. Sebagai bagian dari mekanisme manajemen konflik.
8. Menyelesaikan konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat.
9. Memelihara dan membangun integrasi sosial dalam masyarakat yang rawan
konflik.
10.Memulihkan masyarakat akibat konflik, yaitu guna menciptakan dan
memfasilitasi proses rekonsiliasi dalam masyarakat pasca konflik.
11. Mencegah disintegrasi sosial yang mungkin lahir karena potensi konflik sosial
tidak dikelola secara optimal sehingga meletus menjadi konflik kekerasan.
2. Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Bank Dunia (2001), empowerment adalah “…. the process of increasing
the capacity of individuals or groups to make choices and to transform those choices
into desired actions and outcomes”. Jadi, empowerment adalah proses untuk
meningkatkan asset dan kemampuan secara individual maupun kelompok. Masyarakat
yang telah berdaya (empowered) memiliki kebebasan dalam membuat pilihan dan
tindakan sendiri. Pemberdayaan mengacu kepada pentingnya proses sosial selama
program berlangsung. Jadi, ia lebih berorientasi pada proses, bukan kepada hasil.
Tujuan filosofis dari ini adalah untuk memberikan motivasi atau dorongan kepada
masyarakat dan individu agar menggali potensi yang ada pada dirinya untuk
ditingkatkan kualitasnya, sehingga akhirnya mampu mandiri. Terlihat bahwa proses
pembelajaran dan adanya proses menuju pembuatan perubahan yang permanen
merupakan kunci utama dalam pemberdayaan.
57
Bank Dunia selama ini telah memberi perhatian besar kepada tiga hal untuk
meningkatkan hasil-hasil pembangunan, yaitu “empowerment, social capital, and
community driven development (CDD)”. Ketiga konsep ini menekankan kepada
inklusifitas, partisipasi, organisasi, dan kelembagaan. Empowerment merupakan hasil
dari aktifitas pembangunan, social capital dapat diposisikan sekaligus sebagai proses
dan hasil, sedangkan CDD berperan sebagai alat operasional (World bank, 2005).
3. Konsep Kemiskinan
Pengertian kemiskinan sebagai tolak ukur kemakmuran yang sering digunakan
dalam telaahan ilmu ekonomi meliputi tinjauan terhadap aktivitas-aktivitas untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari oleh manusia sebagai pelaku ekonomi. Namun
menurut Arief (1983), kemiskinan itu pertama-tama adalah peristiwa sosial dan kedua
baru merupakan peristiwa fisik dan material.
Ciri-ciri penduduk miskin menurut Salim (1982) yaitu:
1. Rata-rata tidak mempunyai faktor produksi, seperti tanah, modal, peralatan
pekerjaan dan keterampilan.
2. Mempunyai tingkat pendidikan yang rendah
3. Kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor
informal), setengah menganggur atau menganggur.
4. Kebanyakan berada di pedesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum arae).
5. Kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah cukup) bahan
kebutuhan pokok, pangan, pakaian, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan,
angkutan, komunikasi dan kesejahteraan sosial lain.
Kriteria yang digunakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur garis
kemiskinan tersebut adalah pengeluaran minimum yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Kebutuhan minimum untuk hidup ini diukur dengan
pengeluaran untuk makanan setara 2,100 kalori perkapita perhari ditambah pengeluaran
untuk kebutuhan makanan yang meliputi perumahan, sebagai barang jasa, pakaian dan
barang tahan lama. Garis kemiskinan untuk daerah perkotaan sebesar Rp.248.525 per
kapita per bulan, sedangkan garis kemiskinan untuk daerah pedesaan sebesar Rp.
201.257 per kapita per bulan.
58
6. Metode penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survei yang dilaksanakan di Kecamatan Koto
Tangah yang dilakukan secara purposif diambil Kelurahan Lubuk Minturun dengan
pertimbangan Kelurahan tersebut termasuk daerah pinggiran Kota yang mempunyai
persentase tertinggi rumah tangga miskin di Kecamatan Koto Tangah, dimana
Kecamatan Koto Tangah adalah Kecamatan dengan tingkat persentase rumah Tangga
miskin tertinggi di Kota Padang (BPS, REKAPPLS, 2008).
Populasi dalam penelitian ini adalah Kepala rumah tangga miskin yang tinggal di
Kecamatan Koto Tangah. Jumlah rumah tangga miskin yang terdapat di Kecamatan
Koto Tangah adalah 5.988 rumah tangga (BPS, 2008). Metode pengambilan sampel
dilakukan dengan cara Simple Random Sampling di Kelurahan Lubuk Minturun. Untuk
penentuan jumlah sampel dari beberapa sumber bacaan tentang social capital tidak
menentukan dengan jelas cara penentuannya, namun pada umumnya tergantung pada
populasi yang dituju. Grootaert (1999), mengambil sampel dengan populasi masyarakat
Indonesia dengan cara acak menjadi 1200 rumah tangga.
Berdasarkan rumus pengambilan sampel maka didapat jumlah sampel sebanyak
84 rumah tangga miskin. Untuk menentukan rumah tangga yang dijadikan sebagai
sampel dilakukan dengan metode simple random sampling dengan cara acak, dimana
masing-masing rumah tangga mempunyai kesempatan dan peluang yang sama untuk
dijadikan sebagai sampel.
7. Instrumen Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian meliputi data primer dan data sekunder.
Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan alat pengumpulan
data berupa kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh dari dinas-dinas terkait
seperti Kantor Camat Koto Tangah, kantor Kelurahan Lubuk Minturun, BPS dan
sebagainya.
Berbagai metode yang dipakai adalah wawancara informasi (informal interviews),
pengamatan langsung (direct observation), diskusi secara group (collective discussions),
studi dokumen, self-analysis, dan studi historik (life-histories). Meskipun
mengutamakan bentuk studi kualitatif (qualitative research), namun dukungan data-data
kuantitatif juga merupakan komponen yang penting. Participant observation dipilih
59
agar peneliti dapat memperoleh data secara detail dan akurat kelembagaan-kelembagaan
yang telah ada (existing institutions) menjadi objek studi, untuk mempelajari
permasalahan dan kapabilitasnya. Pendekatan “penelitian berperan serta” (participant
observation) merupakan langkah awal untuk memahami kondisi dan keberadaan modal
sosial, yang selanjutnya menjadi titik tolak untuk membangun inovasi kelembagaan
(agribisnis) untuk mereka (Syahyuti, 2003).
Ada dua analisa pokok yang dilakukan dalam participant observer kegiatan ini,
yaitu:
(1) Social capital dipelajari melalui alat SOCAT (Social Capital Assessment
Tool).
SOCAT mempelajari keseluruhan kondisi dan bentuk-bentuk modal social yang
terbangun dalam masyarakat dengan menggunakan kuesioner “Community Profile”.
Interview difokuskan pada rumah tangga miskin dengan key informan adalah kepala
rumah tangga. Kuesioner ini terdiri atas enam komponen, yaitu:
1. Gambaran informasi tentang keanggotaan rumah tangga
2. Partisipasi rumah tangga dalam institusi lokal
3. Karakteristik dari grup
4. Bentuk pelayanan
5. Persepsi masyarakat terhadap kerjasama dan kepercayaan
6. Ekonomi masyarakat dan bentuk strateginya
Pada intinya pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner meliputi:
a. Kontribusi modal sosial terhadap kesejahteraan rumah tangga yaitu rumah
tangga yang mempunyai tingkat modal sosial yang lebih tinggi, ketika diukur oleh
berbagai indikator social capital sejauh ini, memiliki keadaan kesejahteraan yang lebih
baik
b. Bagaimana pentingnya modal sosial untuk mengurangi kemiskinan
c. Faktor-faktor apa yang menjadi penentu modal sosial
(2) Analisis Jaringan Sosial (Social Network Analysis/SNA).
Jaringan sosial sebagai cikal bakal kelembagaan, terutama kelembagaan
pemasaran dipalajari dalam konteks sebagai sebuah jaringan sosial dengan alat SNA.
Social network analysis [SNA] adalah “…the mapping and measuring of relationships
60
and flows between people, groups, organizations, animals, computers or other
information/knowledge processing entities”. Jadi analisa jaringan sosial adalah upaya
memetakan dan mengukur kesalinghubungan dan aliran antara orang, kelompok orang,
maupun organisasi dalam sebuah sistem sosial (dapat berupa sistem ekonomi).
Sehingga Objek keseluruhan pada penelitian ini adalah rumah tangga miskin,
kelembagaan yang ada, pelaku agribisnis di Kelurahan Lubuk Minturun Kecamatan
Koto Tangah.
8. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat empat variabel diantaranya dua kelompok besar
variabel yaitu : Variabel modal sosial masyarakat miskin terdiri dari indikator-indikator
(variabel independen) yaitu: Persatuan kelompok/kelembagaan, Adat istiadat,
Trust/kepercayaan, Partisipasi.
Variabel perkembangan ekonomi rumah tangga miskin terdiri dari indikator
(variabel independen) yaitu: Kepemilikan tanah, Penghasilan rumah tangga, Aliran
modal dan variabel kesejahteraan rumah tangga sisi pengeluaran (dependent variabel)
Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif dengan
menggunakan statistik non-parametrik dalam program. Analisis melalui beberapa tahap
yaitu Analisis univariat, untuk melihat distribusi frekuensi masing-masing variabel
yang telah ditentukan dalam penelitian yaitu variabel bebas dan variabel terikat.
Analisis bivariat, untuk melihat perbedaan proporsi, hubungan antara variabel bebas
dengan variabel terikat menggunkan uji Chi-Square.
9. Hasil dan Pembahasan
Bab ini mendiskripsikan temuan dan hasil penilaian terhadap peranan modal
sosial masyarakat kelurahan Lubuk Minturun Kecamatan Koto Tangah melalui
pengembangan kelembagaan, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan
keberlanjutan modal sosial serta hubungan antara modal sosial dengan tingkat
kesejahteraan untuk pengentasan kemiskinan. Dalam hal ini, penekanannya bagaimana
modal sosial yang ada selama ini mempengaruhi pembangunan ekonomi masyarakat
dan daerah secara umum. Untuk mengolah dan menganalisis data digunakan Program
SPSS. Selanjutnya data yang telah diolah, dianalisa dengan menggunakan metode
61
Analisis univariat dan Analisis bivariat, untuk melihat perbedaan proporsi, hubungan
antara variabel bebas dengan variabel terikat menggunkan uji Chi-Square.
Hasil pengujian Chi-square antara indikator variabel kelembagaan dengan
variabel kesejahteraan rumah tangga didapatkan bahwa nilai Chi-square hitung
(20,348) > nilai Chi-square tabel (15,507) dan Signifikansi (0,009) < 0,05. Hasil
pengujian Chi-square antara indikator variabel kepercayaan dengan variabel
kesejahteraan rumah tangga didapatkan bahwa nilai Chi-square hitung (2,388) < nilai
Chi-square tabel (9,488) dan Signifikansi (0,665) > 0,05. Hasil pengujian Chi-square
antara indikator variabel partisipasi dengan variabel kesejahteraan rumah tangga
didapatkan bahwa nilai Chi-square hitung (2,319) < nilai Chi-square tabel (9,488) dan
Signifikansi (0,677) > 0,05.
Pengujian keeratan hubungan antara indikator variabel adat istiadat dengan
variabel kesejahteraan rumah tangga miskin tidak menghasilkan keputusan. Hal ini
disebabkan tingginya pencapaian indikator adat istiadat yang dilihat dari total skor per-
responden dari seluruh jawaban pada pertanyaaan seputar adat istiadat.
Dari hasil pengujian maka Hopotesis Nol (Ho) yang menyatakan tidak terdapat
hubungan antara indikator variabel kelembagaan dengan variabel kesejahteraan rumah
tangga dapat ditolak. Sedangkan indikator variabel kepercayaan dan partisipasi
mempunyai hubungan yang tidak signifikan terhadap variabel pengeluaran rumah
tangga. sehingga Hipotesis Nol (Ho) yang menyatakan tidak terdapat hubungan antara
indikator variabel kepercayaan, partisipasi terhadap variabel pengeluaran rumah tangga
dapat diterima.
Dari uji hipotesa dapat disimpulkan lembaga persatuan dalam masyarakat
mempunyai peranan dalam perkembangan kesejahteraan masyarakat kelurahan yang
diproyeksikan dengan pengeluaran rumah tangga, karena faktor ini merupakan tingkat
kemajuan manusia dalam menguasai alam dan lingkungannya. Hal ini dapat
memberikan kemungkinan bahwa semakin luas interaksi rumah tangga dalam persatuan
kelompok/lembaga maka semakin tinggi pula kesejahteraan rumah tangga tersebut.
Hasil pengujian Chi-square antara indikator variabel kepemilikan tanah dengan
variabel kesejahteraan rumah tangga didapatkan bahwa nilai Chi-square hitung
(21,920) > nilai Chi-square tabel (15,507) dengan signifikansi (0,005) < 0,05. Artinya
terdapat hubungan yang signfikan diantara dua variabel tersebut. Hasil pengujian Chi-
62
square antara indikator variabel penghasilan rumah tangga dengan variabel
kesejahteraan rumah tangga didapatkan bahwa nilai Chi-square hitung (96,911) > nilai
Chi-square tabel (26,296) dengan signifikansi (0,000) < 0,05. Artinya terdapat
hubungan yang signifikan anatar dua variabel tersebut. Hasil pengujian Chi-square
antara indikator variabel akses menabung dengan variabel kesejahteraan rumah tangga
didapatkan bahwa nilai Chi-square hitung (2,401) < nilai Chi-square tabel (9,488)
dengan signifikansi (0,662) > 0,05. Artinya terdapat hubungan yang tidak signifikan
antara dua variabel tersebut. Hasil pengujian Chi-square antara indikator variabel akses
meminjam dengan variabel kesejahteraan rumah tangga didapatkan bahwa nilai Chi-
square hitung (3,988) < nilai Chi-square tabel (9,488) dengan signifikansi (0,408) >
0,05. Artinya terdapat hubungan yang tidak signifikan antara dua variabel tersebut.
Dari hasil pengujian, maka Hopotesis Nol (Ho) yang menyatakan tidak terdapat
hubungan antara indikator variabel kepemilikan tanah, penghasilan rumah tangga
dengan variabel kesejahteraan rumah tangga dapat ditolak. Sedangkan indikator
variabel akses menabung dan akses meminjam mempunyai hubungan yang tidak
signifikan terhadap variabel pengeluaran rumah tangga. sehingga Hipotesis Nol (Ho)
yang menyatakan tidak terdapat hubungan antara indikator variabel kepercayaan,
partisipasi terhadap variabel pengeluaran rumah tangga dapat diterima.
Dari hasil pengujian hipotesa dapat disimpulkan kepemilikan tanah dan
penghasilan rumah tangga memiliki hubungan yang kuat dengan kesejahteraan rumah
tangga. Tanah dikelola dengan baik dapat menjadi infestasi yang dapat mempengaruhi
atau menambah income/pendapatan seseorang atau rumah tangga yang pada akhirnya
akan meningkatkan kemampuan konsumsi seseorang atau rumah tangga.
Hasil pengujian Chi-square antara indikator variabel Anggota rumah tangga
dengan variabel kesejahteraan rumah tangga didapatkan bahwa nilai Chi-square hitung
(31,014) > nilai Chi-square tabel (15,507) dengan sifnifikansi (0,000) < 0,05. Artinya
terdapat hubungan yang signifikan antara dua variabel tersebut. Dari hasil pengujian,
maka Hopotesis Nol (Ho) yang menyatakan tidak terdapat hubungan antara variabel
jumlah anggota rumah tangga dengan variabel kesejahteraan rumah tangga dapat
ditolak. Hasil ini menguatkan dugaan jumlah anggota rumah tangga yang banyak,
menyebabkan tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi seluruh
kebutuhan anggota rumah tangga.
63
10. Kesimpulan dan saran
1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Keikutsertaan dalam persatuan/lembaga masyarakat miskin Kelurahan Lubuk
Minturun tergolong masih rendah dengan tingkat pencapaian 41,2%. Rendahnya
keikutsertaan rumah tangga miskin dalam persatuan kelembagaan disebabkan
rendahnya pendidikan responden dan kurangnya pengetahuan tentang fungsi suatu
bentuk persatuan/kelembagan yang merupakan salah satu kekuatan masyarakat untuk
mau bersatu dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat.
Aliran modal rumah tangga miskin tergolong sangat rendah. Akses rumah tangga
untuk memperoleh pinjaman dari lembaga keuangan sangat minim. Dilihat dari sisi
karakteristik rumah tangga miskin, pada umunya memiliki pedidikan rendah yang
berujung pada rendahnya pengetahuan dalam memperoleh modal atau pinjaman.
Sedangkan dari sisi lembaga keuangan terutama bank, lebih banyak menerapkan profit
orientation, dan berupaya untuk menghindari resiko kredit macet (NPL).
Dari hasil penelitian, salah satu indikator variabel sosial kapital yaitu persatuan
kelompok/kelembagaan memiliki hubungan yang erat terhadap kesejahteraan rumah
tangga. Namun dilihat dari tingkat pencpaiannya maka masih rendah. Hal ini
kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan rumah tangga miskin terhadap
keuntungan mengikuti dan aktif dalam persatuan kelompok/kelembagaan, dimana
interaksi dalam kelembagaan akan menyebabkan lahirnya transformasi informasi dan
pengetahuan, persatuan, kerjasaman, insentif ekonomi dan keuntungan lainnya.
Dari kesimpulan diatas dapat dirangkum bahwa modal sosial melekat pada
seperangkat hubungan antar manusia dalam suatu kelompok sosial. Hubungan antar
masyarakat bisa menjadi produktif sejauh yang diharapkan bersama, seperangkat nilai
yang disepakati dan adanya sara saling percaya antara satu sama lain. Modal sosial yang
lemah mengundang munculnya pertentangan nilai dan menonjolnya rasa saling tidak
percaya. Akan tetapi bila modal sosial yang tidak dikaitkan dengan pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable Development), bisa berakibat perhatian terhadap pentingnya
kelangsungan hidup bersama dalam masyarakat menjadi terabaikan. Modal sosial dapat
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kemampuan masyarakat, tidak sekedar
64
jumlah tetapi kehidupan masyarakat yang lebih berarti. Dengan dimensi yang ada dalam
sosial capital, persatuan, budaya/adat istiadat, kepercayaan dan partisipasi.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat berasal dari kemauan masyarakat tersebut,
artinya bila keinginan masyarakat untuk meningkatkan modal sosial lebih tinggi akan
membawa dampak terhadap peningkatan kesejahteraannya, begitu juga halnya dengan
kemauan untuk meningkatkan pendidikan dan kepemilikan tanah, yang berarti
peningkatan terhadap kualitas keluarga dan pendapatan keluarga, peningkatan tersebut
juga akan berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi
peningkatan jumlah anggota keluarga justru menurunkan kesejahteraan keluarga, karena
itu dengan diperolehnya hasil penelitian ini diharapkan masyarakat memikirkan
keluarga berencana dan kualitas anggota keluarga.
2. Saran
Dari temuan penelitian, pembahasan, dan kesimpulan yang yang telah
dikemukakan maka dapat diambil beberapa rekomendasi yang diusulkan untuk
mengatasi masalah kemiskinan dalam proses pembangunan ekonomi Kec Koto Tangah :
1. Dengan semangat peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat maka
salah satu komponen penting dalam masyarakat adalah modal sosial dalam
pembangunan ekonomi. Agar modal sosial ini menjadi terarah perlu adanya
pengorganisasian yang baik untuk kemajuan ekonomi maupun sosial budaya.
Pengorganisasian ini dibentuk benar-benar berakar dari masyarakat yang didasari
oleh persamaan nilai dan norma-norma.
2. Memanfaatkan seoptimal mungkin potensi-potensi yang dimiliki oleh masyarakat
maupun potensi yang dimiliki oleh daerah. Melaksanakan proses pembangunan
yang disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat, seperti tradisi,
nilai historis, agama dan sebagainya.
3. Mengembangkan dan menyertakan modal sosial dalam setiap kegiatan
pembangunan selain human capital (modal manusia) dan modal fisik (aset) untuk
menumbuhkan inisiatif dan dinamika masyarakat sehingga tumbuh rasa tanggung
jawab terhadap pelaksanaan pembangunan di segala bidang.
4. Meningkatkan Peranan Pemerintah yang merupakan pengayom masyarakat di
Kec. Koto Tangah dalam bentuk pengembangan kelembagaan ekonomi
masyarakat, dengan memiliki kebijakan yang strategis, terpadu, dan jelas yang
65
menempatkan masyarakat sebagai kawan seiring, sebagai pihak yang juga
memiliki kepentingan.
5. Pemerintah perlu menjaga dan membina kelembagaan sosial masyarakat yang ada
dengan melakukan tindakan berorientasi ke bawah, mendorong inisiatif, tanggung
jawab dan swadaya masyarakat lokal.
6. Peranan masyarakat lokal perlu ditingkatkan dalam merencanakan dan
menentukan kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat dalam
pembangunan agar dapat menumbuhkan tanggung jawab dan kreativitas
masyarakat dalam pembangunan.
7. Menumbuhkan tingkat kepercayaan di dalam masyarakat terhadap pemerintahnya
dan terhadap pemimpin informalnya dengan jalan menumbuhkan kewajiban moral
secara timbal balik.
DAFTAR PUSTAKA
Agusta, Ivanovich. 2002. Assumption of Empowerment at Workplace in Rural
Indonesia. Makalah: The XVth International Sociological Association (ISA)
Congress of Sociology, Brisbane, Australia. 7-13 Juli 2002.
Badan Pusat Statistik, Kecamatan Koto Tangah Dalam Angka, 2008
Badan Pusat Statistik, Kota Padang Dalam Angka 2008
Badan Pusat Statistik, REKAPPLS, 2008.
Badan Pusat Statistik.”Survei Sosial Ekonomi Nasional”. Jakarta: BPS
Coleman, James. 1990. Foundation of Social Theory. Cambridge, Mass.: Harvard
University Press, England.
Eriyatno. 2003. Sistem Ekonomi Kerakyatan: Suatu Tinjauan Dari Ilmu Sistem,
Majalah Perencanaan Pembangunan, No.04, Maret 2003.
Fukuyama, Francis. 2002. Social Capital and Development: The Coming Agenda. SAIS
Review - Volume 22, Number 1, Winter-Spring 2002, The Johns Hopkins
University Press
66
Grootaert, C. 1999. Social Capital, Household Walfare and Poverty In Indonesia. Social
Development Department. Washington DC: World Bank.
Grootaert, C. 2001. Social Capital: The Missing Link. The World Bank. Social Capital
Initiative. Working Paper no.3. Washington DC: World Bank.
Grootaert, C. and T. Van Bastelear. 2002. The Role of Social Capital In Development:
An Empirical Assesment. New York: Cambridge University Press.
Hadi Sutrisno, 1999. Metode Research dan Aplikasinya dalam Pemasaran, Jilid 2,
Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta.
Latifah, Siti. 2000. Tesis : Analisa Modal Sosial Masyaarakat Desa (Studi Kasus Nagari
Kolok, Sawahlunto), Pascasarjana Unand, Padang.
Levine, 2002. Did Industrialization Destroy Social Capital in Indonesia?, Social Capital
for Development, World Bank.
Narayan, D. 1999. Bonds and Bridges; Social Capital and Poverty. Washington DC.
World Bank.
Payne, Malcom. 1997. Modern Social Work Theory. Second Edition. MacMillan Press
Ltd., London. Hal. 266.
Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah, 2005. Metode Penelitian Kuantitatif:
teori dan aplikasi, PT Raja Grafindi Persada, Jakarta
Putnam, R. 1995. The Prosperous Community - Social Capital and Public Life”.
American Prospect. Washington DC: World Bank.
Rusdi, Zaili, 2001. Tesis : Analisis Partisipasi Masyarakat, Pascasarjana Unand,
Padang.
Sajogyo, 1992. Sosiologi Pedesaan, Gajah Mada University Press, Jokjakarta.
Serageldin. 1996. “Sustainability and The Wealth of Nation”. Fisrt Step In An On
Going Journey. Environmentally Sustainable Development (ESD) Studies and
Monographs.
Subejo. 2004. Peranan Social Capital Dalam Pembangunan Ekonomi: Suatu Pengantar
Studi Social Capital di Pedesaan Indonesia. Majalah Agro Ekonomi vol. 11. No.1
juni 2004.
Supranto, J. 1998. Metode Riset dan Aplikasinya Dalam Pemasaran, LPFE UI, Jakarta.
67
Woolcock, Michael & Narayan, Deepa, 2000. "Social Capital: Implications for
Development Theory, Research, and Policy". World Bank Research Observer,
Oxford University Press
Woolcock, Michael, 2000. "Microenterprise and social capital: A framework for theory,
research, and policy," The Journal of Socio-Economics, Elsevier, vol. 30(2).
World Bank. 2001. Empowerment and Poverty Reduction – A Sourcebook..
Washington DC: World Bank.
World Bank. 2005. Social Capital, Empowerment, and Community Driven
Development.
ttp://info.worldbank.org/etools/bspan/PresentationView.asp?PID=936&EID=482, 11
Mei 2005.
68