5 level prevention
TRANSCRIPT
5 Level Prevention (5 Tingkat Pencegahan)
This entry was posted on November 11, 2011. Bookmark the permalink. Leave a comment 1. 1. Peningkatan kesehatan (health promotion)
Pada tingkat ini dilakukan tindakan umum untuk menjaga keseimbangan proses bibit penyakit-pejamu-lingkungan, sehingga dapat menguntungkan manusia dengan cara meningkatkan daya tahan tubuh dan memperbaiki lingkungan. Tindakan ini dilakukan pada seseorang yang sehat.
Contoh :
Penyediaan makanan sehat dan cukup (kualitas maupun kuantitas) Perbaikan hygiene dan sanitasi lingkungan, misalnya penyediaan air bersih,
pembuangan sampah, pembuangan tinja dan limbah.
Pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Misalnya untuk kalangan menengah ke atas di negara berkembang terhadap resiko jantung koroner.
Olahraga secara teratur sesuai kemampuan individu.
Kesempatan memperoleh hiburan demi perkembangan mental dan sosial.
Nasihat perkawinan dan pendidikan seks yang bertanggung jawab.
Rekreasi atau hiburan untuk perkembangan mental dan sosial
1. 2. Perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit-penyakit tertentu (general and specific protection)
Merupakan tindakan yang masih dimaksudkan untuk mencegah penyakit, menghentikan proses interaksi bibit penyakit-pejamu-lingkungan dalam tahap prepatogenesis, tetapi sudah terarah pada penyakit tertentu. Tindakan ini dilakukan pada seseorang yang sehat tetapi memiliki risiko terkena penyakit tertentu.
Contoh :
Memberikan immunisasi pada golongan yang rentan untuk mencegah penyakit dengan adanya kegiatan Pekan Imunisasi Nasional (PIN )
Isolasi terhadap penderita penyakit menular, misalnya yang terkena flu burung ditempatkan di ruang isolasi.
Pencegahan terjadinya kecelakaan baik di tempat umum maupun tempat kerja dengan menggunakan alat perlindungan diri.
Perlindungan terhadap bahan-bahan yang bersifat karsinogenik, bahan-bahan racun maupun alergi.
Pengendalian sumber-sumber pencemaran, misalnya dengan kegiatan jumsih “ jum’at bersih “ untuk mebersihkan sungai atau selokan bersama – sama.
Penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV/AIDS
1. 3. Penegakkan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat (early diagnosis and prompt treatment)
Merupakan tindakan menemukan penyakit sedini mungkin dan melakukan penatalaksanaan segera dengan terapi yang tepat.
Contoh :
Pada ibu hamil yang sudah terdapat tanda – tanda anemia diberikan tablet Fe dan dianjurkan untuk makan makanan yang mengandung zat besi
Mencari penderita dalam masyarakat dengan jalan pemeriksaan . Misalnya pemeriksaan darah, rontgent paru.
Mencari semua orang yang telah berhubungan dengan penderita penyakit menular (contact person) untuk diawasi agar bila penyakitnya timbul dapat segera diberikan pengobatan.
Melaksanakan skrining untuk mendeteksi dini kanker
1. 4. Pembatasan kecacatan (dissability limitation)
Merupakan tindakan penatalaksanaan terapi yang adekuat pada pasien dengan penyakit yang telah lanjut untuk mencegah penyakit menjadi lebih berat, menyembuhkan pasien, serta mengurangi kemungkinan terjadinya kecacatan yang akan timbul.
Contoh :
Pengobatan dan perawatan yang sempurna agar penderita sembuh dan tak terjadi komplikasi, misalnya menggunakan tongkat untuk kaki yang cacat
Pencegahan terhadap komplikasi dan kecacatan dengan cara tidak melakukan gerakan – gerakan yang berat atau gerakan yang dipaksakan pada kaki yang cacat.
Perbaikan fasilitas kesehatan sebagai penunjang untuk dimungkinkan pengobatan dan perawatan yang lebih intensif.
1. 5. Pemulihan kesehatan (rehabilitation)
Merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk mengembalikan pasien ke masyarakat agar mereka dapat hidup dan bekerja secara wajar, atau agar tidak menjadi beban orang lain.
Contoh :
Mengembangkan lembaga-lembaga rehabilitasi dengan mengikutsertakan masyarakat. Misalnya, lembaga untuk rehabilitasi mantan PSK, mantan pemakai NAPZA dan lain-lain.
Menyadarkan masyarakat untuk menerima mereka kembali dengan memberikan dukungan moral setidaknya bagi yang bersangkutan untuk bertahan. Misalnya dengan tidak mengucilkan mantan PSK di lingkungan masyarakat tempat ia tinggal.
Mengusahakan perkampungan rehabilitasi sosial sehingga setiap penderita yang telah cacat mampu mempertahankan diri.
Penyuluhan dan usaha-usaha kelanjutan yang harus tetap dilakukan seseorang setelah ia sembuh dari suatu penyakit.
1.4 Early Diagnosis pada HIV/AIDS
Seorang wanita sedang menggunakan alat tes antibodi OraQuick Advance Rapid HIV ½
Umumnya, ada tiga tipe deteksi HIV, yaitu :
1. tes PCR,
2. tes antibodi HIV, dan
3. tes antigen HIV.
Tes reaksi berantai polimerase (PCR) merupakan teknik deteksi berbasis asam nukleat
(DNA dan RNA) yang dapat mendeteksi keberadaan materi genetik HIV di dalam tubuh
manusia. Tes ini sering pula dikenal sebagai tes beban virus atau tes amplifikasi asam nukleat
(HIV NAAT). PCR DNA biasa merupakan metode kualitatif yang hanya bisa mendeteksi ada
atau tidaknya DNA virus. Sedangkan, untuk deteksi RNA virus dapat dilakukan dengan
metode real-time PCR yang merupakan metode kuantitatif. Deteksi asam nukleat ini dapat
mendeteksi keberadaan HIV pada 11-16 hari sejak awal infeksi terjadi. Tes ini biasanya
digunakan untuk mendeteksi HIV pada bayi yang baru lahir, namun jarang digunakan pada
individu dewasa karena biaya tes PCR yang mahal dan tingkat kesulitan mengelola dan
menafsirkan hasil tes ini lebih tinggi bila dibandingkan tes lainnya.
Untuk mendeteksi HIV pada orang dewasa, lebih sering digunakan tes antibodi HIV yang
murah dan akurat.Seseorang yang terinfeksi HIV akan menghasilkan antibodi untuk melawan
infeksi tersebut. Tes antibodi HIV akan mendeteksi antibodi yang terbentuk di darah, saliva
(liur), dan urin. Sejak tahun 2002, telah dikembangkan suatu penguji cepat (rapid test) untuk
mendeteksi antibodi HIV dari tetesan darah ataupun sampel liur (saliva) manusia. Sampel
dari tubuh pasien tersebut akan dicampur dengan larutan tertentu. Kemudian, kepingan alat
uji (test strip) dimasukkan dan apabila menunjukkan hasil positif maka akan muncul dua pita
berwarna ungu kemerahan. Tingkat akurasi dari alat uji ini mencapai 99.6%, namun semua
hasil positif harus dikonfirmasi kembali dengan ELISA. Selain ELISA, tes antibodi HIV lain
yang dapat digunakan untuk pemeriksaan lanjut adalah Western blot.
Tes antigen dapat mendeteksi antigen (protein P24) pada HIV yang memicu respon
antibodi. Pada tahap awal infeksi HIV, P24 diproduksi dalam jumlah tinggi dan dapat
ditemukan dalam serum darah. Tes antibodi dan tes antigen digunakan secara
berkesinambungan untuk memberikan hasil deteksi yang lebih akurat dan lebih awal. Tes ini
jarang digunakan sendiri karena sensitivitasnya yang rendah dan hanya bisa bekerja sebelum
antibodi terhadap HIV terbentuk.
Keuntungan diagnosis dini :
Intervensi pengobatan fase infeksi asimsomatik dapat diperpanjang
Menghambat perjalanan penyakit ke arah AIDS
Pencegahan infeksi oportunistik
Konseling dan pendidikan untuk kesehatan umum penderita
Penyembuhan ( bila mungkin ) hanya dapat terjadi bila pengobatan pada fase
dini ( Tjokronegoro&Hendra,2003 )
1.5 Prompt Treatment pada HIV/AIDS
ARV (Anti Retro Viral) adalah sebuah obat yang digunakan dalam terapi bagi ODHA
(Orang Dengan HIV dan AIDS) dengan tujuan menekan jumlah HIV sehingga virus ini tidak
secara signifikan merusak kekebalan tubuh orang yang telah terinfeksi oleh virus ini.
Anti Retro Viral (ARV) merupakan satu-satunya obat untuk pasien HIV/AIDS saat
ini. Fungsinya adalah menekan jumlah virus HIV di dalam tubuh penderita, sehingga tidak
melemahkan sel daya tahan tubuhnya. Dengan dijaganya virus untuk tidak menyerang sel
pertahanan tubuh, pasien HIV akan bisa hidup normal dan tidak cepat menderita sakit.
World Health Organization (WHO), saat ini mendesak pengobatan setelah penyakit
tersebut berkembang ke suatu titik tertentu, atau ketika tubuh T-sel, atau jumlah CD4,
mencapai atau turun di bawah tingkat 350 sel/mm3.
ARV telah terbukti secara ilmiah efektif dalam meningkatkan kualitas hidup ODHA.
ODHA yang mengkonsumsi ARV secara teratur telah terbukti dapat bertahan hidup lama
dengan tingkat kesehatan yang tinggi. ARV bahkan menunjukkan efektivitasnya pada ODHA
dengan menekan kadar HIV dalam tubuh hingga tingkat tidak terdeteksi oleh alat-alat tes
sehingga penggunaan secara teratur dalam kerangka upaya pencegahan penularan HIV telah
mulai dipertimbangkan.
ARV juga menjadi salah satu faktor yang memberikan gambaran baik terhadap
infeksi HIV sehingga orang-orang tidak takut untuk memeriksakan kondisi tubuhnya terkait
infeksi HIV dan mampu secara lebih dini mendapatkan akses perawatan yang dibutuhkan bila
ternyata ia terinfeksi HIV.
Pemberian ARV ternyata tidak hanya satu jenis. Pasien HIV diberikan kombinasi dari
3 jenis obat ARV. ARV dari segi waktu minum obatnya, ada yang 12 jam sekali dan ada
yang 24 jam sekali. Periode minum obat ini harus tepat waktu dan tidak boleh berhenti.
Dengan kata lain, pasien HIV harus meminum ARV seumur hidup mereka.
ARV terbagi menjadi beberapa golongan. Yang paling popular adalah digolongkan
dalam beberapa tingkatan lini. Lini di sini dimaksudkan untuk memberikan pilihan bagi
ODHA ketika ARV yang dikonsumsinya tidak cocok atau sudah menjadi kebal dalam
menekan kadar HIV dalam tubuh. Jadi ketika ARV lini pertama sudah tidak efektif lagi
menekan kadar HIV maka yang bersangkutan harus berganti ARV lini kedua.Jika ARV yang
biasa diberikan mengalami resistensi, ada pilihan ARV line dua. ARV line dua harganya
mahal karena hanya bisa dibeli di luar negeri.
Apabila tidak mengonsumsi ARV secara teratur, pasien HIV akan mengalami resistensi
terhadap obat yang diberikan. Efeknya, virus menjadi kebal terhadap obat dan kembali
bertambah banyak. Penyebab terjadinya resistensi, bisa karena pasien tidak disiplin minum
obat atau tubuh pasien tidak cocok dengan ARV yang diberikan.
ARV menjadi kebal dikarenakan beberapa faktor. Salah satu faktor terbesarnya adalah
ARV tidak diminum secara teratur. ARV harus diminum secara teratur setiap harinya dengan
mengikuti pola jam minum yang ketat. Ketidak tepatan waktu meminum ARV akan
menimbulkan potensi besar terjadinya kekebalan pada tubuh ODHA sehingga ARV tidak lagi
efektif dan yang bersangkutan harus berpindah lini ARV berikutnya. Jadi ketersediaan ARV
secara teratur menjadi salah satu kunci keberhasilan terapi ARV bagi ODHA.
ARV yang selama ini beredar adalah versi Generik. Jumlah terbesar di import dari India
dan selanjutnya yang berasal dari Kimia Farma. Dana pembelian berasal dari Global Fund
(donor AIDS) untuk ARV generik India dan APBN untuk ARV Generik Kimia Farma.
ARV pertamakali masuk ke Indonesia pada tahun 1997. Pada tahun itu, Pokdisus
(Poliklinik Pendidikan Khusus) AIDS RSCM mengimport langsung ARV namun harganya
tidak terjangkau oleh mayoritas ODHA. Pada tahun 2001, bertepatan dengan
ditandatanganinya Deklarasi Komitment UNGASS, beberapa jenis ARV generic telah mulai
masuk ke Indonesia meskipun harganya pun masih tetap mahal, mencapai lebih dari satu juta
rupiah untuk setiap bulannya sesuai kondisi ekonomi saat itu.
Tahun 2003 PT Kimia Farma meluncurkan produk ARV buatan dalam negeri untuk
pertama kalinya. Hal ini kemudian diperkuat dengan keluarnya Peraturan Presiden mengenai
Lisensi Wajib ARV pada tahun 2004 dan penyediaan ARV di subsidi penuh oleh pemerintah.
Peraturan mengenai lisensi wajib ini mencakup 2 jenis ARV yaitu Lamivudine dan
Nevirapine dan kemudian ditahun 2007 ditambah dengan satu jenis ARV yaitu Efavirenz.