5. halaman 40

14
GALLERY FOTO Foto bersama para pejabat BPK RI, DPRD dan Pemprov Jatim. Saat MoU BPK RI dengan DPRD se-jatim Sekjen BPK RI Hendar Ristriawan bersama Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni menandatangani MoU, disaksikan Ketua BPK RI Hadi Poernomo dan Mendagri Gamawan Fauzi. Ketua BPK RI Hadi Poernomo selepas upacara Peusijuek saat berkunjung ke Kantor BPK RI perwakilan Provinsi Aceh. Pelantikan Pejabat Eselon I BPK RI Penandatanganan pernyataan komitmen pencapaian kinerja satuan kerja 40 Warta BPK JANUARI 2011 40 - 41 galeri foto.indd 40 06/01/2011 1:11:52

Upload: phunghuong

Post on 19-Jan-2017

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 5. Halaman 40

GALLERY FOTO

Foto bersama para pejabat BPK RI, DPRD dan Pemprov Jatim. Saat MoU BPK RI dengan DPRD se-jatim

Sekjen BPK RI Hendar Ristriawan bersama Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni menandatangani MoU, disaksikan Ketua BPK RI Hadi Poernomo dan Mendagri Gamawan Fauzi.

Ketua BPK RI Hadi Poernomo selepas upacara Peusijuek saat berkunjung ke Kantor BPK RI perwakilan Provinsi Aceh.

Pelantikan Pejabat Eselon I BPK RI

Penandatanganan pernyataan komitmen pencapaian kinerja satuan kerja

40 Warta BPKJANUARI 2011

40 - 41 galeri foto.indd 40 06/01/2011 1:11:52

Page 2: 5. Halaman 40

Foto bersama peserta rapat koordinasi teknis kehumasan BPK RI di Hotel Century

Penandatanganan pernyataan komitmen pencapaian kinerja satuan kerja

Anggota V BPK RI Sapto Amal Damandari tengah mencoba alat Assessment Center BPK RI.

Serah terima jabatan Sekjen BPK RI dari Dharma Bhakti ke Hendar Ristriawan.

41Warta BPK JANUARI 2011

40 - 41 galeri foto.indd 41 06/01/2011 1:12:24

Page 3: 5. Halaman 40

pantau

Krakatau Steel yang Menggiurkan dan Diributkan

Nama Krakatau Steel

dari dulu sampai

sekarang membumbung

tinggi. Salah satu

perusahaan BUMN ini

punya sejarah yang

panjang, prestise,

prospektif, namun kini

banyak diributkan.

Terkait dengan IPO.

IPO (Initial Public Offering) Krakatau mulai serius di-endorse pada 2006, masa pimpinan Menteri BUMN Sugi-

harto. Tahun berikutnya, Menteri BUMN Sofian Djalil meneruskan rencana itu dan sempat ditargetkan IPO pada akhir tahun.

Namun, karena masih merugi, IPO Krakatau diundur ke 2008. Akhirnya, pada 18 September 2008, DPR me-nyetujui IPO Krakatau maksimal 30% saham. Persetujuan ini tidak memiliki masa efektif atau masa berlaku.

Sofian Djalil sempat akan mengekse-kusi IPO Krakatau pada akhir 2008 juga pertengahan dan akhir 2009. Namun, rencana tersebut urung dilakukan ka-rena pasar keuangan sedang dihantam krisis global.

Tepatnya 10 November 2010 ini, pe-rusahaan penghasil baja pelat merah ini resmi mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kegiatan ini meru-pakan puncak dari serangkaian proses privatisasi yang telah direncakan Perse-roan beberapa tahun terakhir.

Harga saham Perseroan telah di-tetapkan sebesar Rp. 850 per lembar dengan nilai nominal Rp.500 per saham. Jumlah saham yang dilepas ke publik se-banyak 3,155 miliar saham atau setara

dengan 20% dari keseluruhan saham. Sementara pemerintah masih punya porsi 80 persen saham kepemilikan perusahaan ini. Perkiraan dana (kotor) yang dapat diraih Perseroan dari IPO ini adalah sebesar Rp2,68 triliun.

Saham perdana (IPO) yang dita-warkan melalui proses bookbuilding (penawaran awal) mencatat kelebihan permintaan (oversubscribe) sebanyak 9 kali. Dalam penawaran ini, Perseroan menunjuk PT. Bahana Securities, PT. Da-nareksa Sekuritas dan PT. Mandiri Seku-ritas sebagai para penjamin pelaksana emisi. Dalam proses bookbuilding yang telah digelar, Krakatau Steel mempe-roleh pesanan hingga 30 miliar saham atau hampir 9 kali dari jumlah saham yang dilepas ke publik.

Dari jumlah saham baru ditawarkan, sebanyak 5% dijatahkan secara khusus untuk program MESA Perseroan. Sela-in itu, Perseroan merencanakan untuk memberikan opsi kepada Peserta Prog-ram MESOP dengan mengeluarkan hak opsi sebanyak-banyaknya 2% dari jum-

lah saham yang disetor penuh setelah Penawaran Umum dalam 3 tahap.

Direktur Utama Krakatau Steel Faz-war Bujang berkeyakinan bahwa IPO ini merupakan momentum yang tepat un-tuk tinggal landas dimana dengan ma-suknya dana dari IPO, Perseroan memi-liki kemampuan untuk meningkatkan efesiensi dan optimalisasi kapasitas pro-duksi serta mengembangkan usahanya. Selain itu, IPO ini akan memberikan po-sisi yang lebih kuat dalam menghadapi peningkatan permintaan baja domestik dan juga dalam menghadapi persaingan usaha global dimasa depannya.

Adapun alokasi penggunaan dana hasil IPO ini antara lain adalah 35,8% untuk mendanai investasi barang modal sehubungan dengan rencana modernis-asi dan ekspansi kapasitas produksi pab-rik baja lembaran canai panas menjadi 3,5 juta ton yang diharapkan akan sele-sai pada tahun 2013; 24,2% digunakan untuk peningkatan modal kerja; 25% untuk membiayai pematangan lahan se-luas kurang lebih 388 hektar yang akan

42 Warta BPKJANUARI 2011

42 - 46 pantau.indd 42 16/03/2011 16:04:33

Page 4: 5. Halaman 40

digunakan perseroan sebagai penyer-taan pada proyek pabrik baja terpadu PT Krakatau POSCO; dan 15% sisanya akan digunakan untuk peningkatan pe-nyertaan modal pada anak perusahaan yaitu KBS dan KDL untuk peningkatan kapasitas bongkar muat pelabuhan dan peningkatan kapasitas pembangkit list-rik.

Dengan adanya pengembangan usaha ini, pihak Direksi berkeyakinan akan mempunyai prospek yang cerah di masa mendatang, mengingat pertum-buhan permintaan baja seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi negara. Semakin tinggi laju pertumbuhan eko-nominya maka semakin besar permin-taan bajanya. Indonesia sebagai negara berkembang dengan memiliki jumlah penduduk yang besar diproyeksikan akan tumbuh dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5-7%, dimana sektor pendukung utama adalah konstruksi dan industri. Sektor ini memerlukan bahan baja cukup besar.

Peluang lain adalah konsumsi baja per capita Indonesia juga masih rendah jika dibandingkan dengan negara-nega-ra di ASEAN, yaitu sebesar 29 kg/orang di tahun 2009, sedangkan Vietnam se-besar 123 kg/orang, Malaysia sebesar 256 kg/orang, Thailand sebesar 154 kg/orang dan Singapore sebesar 515 kg/orang.

Dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5-7% pada 5 tahun mendatang (2015), diharapkan konsumsi produk baja Indonesia meningkat dari 8,4 juta metrik ton menjadi 12 juta metrik ton, atau dengan rata-rata peningkatan per tahun sebesar 8,5%.

Saham yang Terlalu Murah?Terjunnya Karakatau Steel ke bursa

efek memang sudah diperkirakan, na-mun apa yang diributkan adalah harga saham per lembar yang dinilai banyak kalangan terlalu murah. Untuk peru-sahaan BUMN yang prospektif, banyak kalangan menilai bahwa harga saham per lembar terlalu murah.

Ada beberapa alasan yang menun-jukkan bahwa harga saham IPO Kraka-tau itu memang cenderung bergerak ke

arah harga murah. Pertama, situasi pasar finansial In-

donesia masih bullish. Dari 3,155 miliar saham IPO yang ditawarkan saat proses pembentukan harga, permintaan yang datang hampir 30 miliar atau 9 kali lipat.

Kedua, Krakatau yang berpengala-man lebih dari 40 tahun adalah pengu-asa pasar baja di Indonesia. Prospeknya cerah sebab ekspektasi kenaikan per-tumbuhan ekonomi diyakini akan men-dongkrak permintaan baja domestik.

Ketiga, Rencana korporatnya juga ekspansif, paling tidak jika dibanding-kan dengan produsen baja lokal. Sampai 2014, belanja modal dipatok Rp10,21 triliun, Rp3,31 triliun dialokasikan 2011, dan Rp5,69 triliun 2012-2014.

Keempat, tingkat risiko investa-sinya juga kecil karena selain industri strategis, statusnya adalah milik negara dan ukurannya relatif besar sehingga peringkat investasinya cenderung iden-tik dengan peringkat pemerintah.

Kelima, dengan rasio harga ter-hadap laba bersih per saham (PE) 9,9x, nilai kapitalisasi Krakatau Rp13,4 tri-liun. Harga Rp850 murah karena ada banyak produsen baja Asia yang setara kapitalisasinya dengan PE di atas 11x.

Keenam, saham IPO Krakatau di-negosiasikan pada harga premium 6%-30% di pasar gelap. Kecilnya ja-tah saham investor ritel yang diterima sindikasi penjamin, hanya 0,1% dari saham dilepas, ikut mengondisikan si-tuasi itu.

Ilustrasi pasar gelap ini seperti tiket kereta saat mudik Lebaran. Pemerintah bisa menggelar konferensi pers dan menyebut harga tiket naik 25%. Na-mun, kenyataannya tiket di semua loket sudah habis.

Tiket yang ada tinggal tiket di calo yang harganya naik 100%. Sementara itu, politisi, pejabat sipil militer, atau wartawan, bisa mengontak kahumas stasiun untuk meminta dibuatkan tiket dan membayarnya pada harga normal.

Alasan-alasan itulah yang agaknya menjelaskan kenapa Menteri BUMN Mustafa Abubakar kemudian sempat mencoba menaikkan harganya, tapi ga-

gal karena sudah terlambat dan inves-tor mengancam akan menuntut.

Kendati demikian, selain itu tadi, tentu saja penepatan harga Rp. 850 ada rasionalisasinya. Perlu diingat, bahwa kemudian rasionalisasi itu tidak pernah disampaikan terbuka, itu soal lain.

Di sini, paling tidak ada empat fak-tor yang perlu dicermati.

Pertama, kinerja keuangannya yang jauh di bawah ekspektasi, dengan margin laba besih yang terus mengecil. Dalam dua kuartal pertama tahun ini, Krakatau membukukan pendapatan Rp. 9 triliun dan laba bersih Rp. 997 miliar. Sampai kuartal III, pendapatan-nya Rp.11,88 triliun dengan laba bersih Rp.1,05 triliun.

Apabila kinerja kuartal ketiga itu dilihat lebih dekat, maka dalam periode 3 bulan tersebut atau Juli ke September, Krakatau praktis hanya membukukan pendapatan Rp2,88 triliun dengan laba bersih Rp.52 miliar.

Padahal, dalam dua kuartal sebe-lumnya, pendapatan Krakatau Rp. 9 tri-liun dan laba bersih Rp. 997 miliar. Itu berarti, jika dipukul rata, pendapatan-nya per kuartal Rp. 4,5 triliun dengan laba bersih mendekati Rp. 500 miliar.

Dari angka itu, margin laba ber-sih—kemampuan mencetak laba ber-sih dengan menimbang faktor non ope-rasional—Krakatau terjun bebas 83%, dari rata-rata kuartal sebelumnya 11% menjadi hanya 1,8%. Memburuknya ki-nerja keuangan itu pula yang kemudian menyebabkan Krakatau terlempar dari daftar 10 BUMN penyumbang laba ber-sih terbesar sepanjang 9 bulan pertama tahun ini.

Kedua, konstrain tentang pasok dan harga bahan baku. Pasokan bahan baku Krakatau, baik pellet (bahan baku bijih besi), scrap (bijih besi daur ulang) maupun slab (baja setengah jadi) prak-tis bergantung pada impor.

Ketergantungan itu menjadi masa-lah serius tatkala harga bahan baku me-lejit. Apabila itu terjadi, Krakatau tidak akan bisa langsung mentransmisikan-nya ke struktur harga jualnya karena akan menggerus volume penjualan.

Asimetri inilah yang menjelaskan

43Warta BPK JANUARI 2011

42 - 46 pantau.indd 43 16/03/2011 16:04:34

Page 5: 5. Halaman 40

pantau

PENgAMAT Pasar Modal, Adler Manurung, melihat kasus IPO Krakatau Steel ini didasarkan pada tiga hal: Harga saham yang terlalu murah, tidak adanya pemer-ataan bagi pembeli saham, dan keterbukaan dalam pros-es IPO.

Harga yang dipatok Rp.850 per saham sangat meng-herankan. Menurutnya, Krakatau Steel sebagai perusa-haan milik negara sebenarnya sangat prospektif. Perusa-haan ini merupakan salah satu BUMN yang strategis.

“Kebutuhan baja, bukan hanya di tingkat lokal, di tingkat internasional pun sangat besar permintaannya,” singkat Adler.

Dengan prospektifnya Krakatau Steel, sudah seha-rusnya harga saham bisa lebih dari Rp. 850 per lembar saham. Harga yang ideal sekitar Rp. 1200 per lembar saham. Hal ini juga terlihat di hari kedua Krakatau Steel berada di bursa. Harganya merangkak naik. Sayangnya, lanjut Adler, sebagian besar 20 persen saham kepemi-

likan yang dilepas, telah dibeli saat harga Rp. 850 per lembar.

Di sisi lain, selain harga per saham Krakatau Steel yang murah, dalam proses pelepasan saham tidak ada pemerataan dan keadilan. Hanya be-berapa orang atau badan saja yang memperoleh keuntungan dari penjualan 20 persen saham kepemilikan. Padahal, semua komponen masyara-kat Indonesia khususnya, yang berminat membeli saham Krakatau Steel pun seharusnya diberi kes-empatan yang sama besar.

Dalam proses pelepasan saham pun, tidak ada keterbukaan kepada publik. Sehingga ada banyak pertanyaan, kenapa dalam proses penjualannya tidak terbuka. “IPO itu seharusnya terbuka, tetapi ini tidak, hanya beberapa gelintir orang saja yang menikmatinya. Kita ini semua membayar pajak, kenapa tidak semua juga diberi kesempatan un-tuk memiliki saham ini,” ucap Adler.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa untuk BUMN-BUMN yang strategis bagi negara, sebenarnya sa-ham kepemilikannya tetap dimiliki pemerintah,

walau itu hanya sebagian kecil saja. Sebab, mengandung hajat orang banyak.

Adler mengharapkan, agar IPO BUMN pada umum-nya, pihak lokal yang diutamakan dalam pembelian sa-ham, jika IPO harus digulirkan. Setelah itu, baru pihak asing, atau dari luar negeri, atau disebut sebagai second-er buyer.

Terkait tentang permintaan beberapa pihak agar BPK berperan aktif di dalam permasalahan IPO Krakatau Steel ini, Adler mengatakan bahwa BPK bisa meneliti efektivitas IPO Krakatau Steel. Apakah benar-benar ses-uai aturan, ataupun sesuai dengan tujuan IPO itu send-iri. Ada kerugian negara atau tidak dengan realitas IPO yang dianggap terlalu murah itu. Jika dikalkulasikan 20 persen saham kepemilikan Krakatau Steel, apakah ses-uai dengan tingkat prospektivitas BUMN ini. AAK

Tiga hal dalam kasus IPO KS

kenapa kinerja kuartal III Krakatau be-gitu terpuruk. Hal yang sama juga ter-jadi pada produsen baja lain seperti PT Jaya Pari Steel Tbk yang berbalik dari semula untung menjadi rugi.

Ketiga, teknologi yang tertinggal dan inefisiensi. Kerja sama Krakatau dengan produsen baja Korea Selatan, Pohang Iron and Steel Company Ltd ten-tu akan membantu masalah ini. Akan

tetapi, itu tidak menjamin 100% karena pabrik baja di Eropa dan Amerika yang berteknologi tinggi pun harus mengaku kalah dengan teknologi China dan India yang terbukti lebih murah dan efisien.

Rendahnya margin laba bersih Krakatau tahun lalu yang hanya 2,92% tentu bukan disengaja. Dengan total karyawan hampir 12.000, Krakatau lebih mirip perusahaan padat karya.

Akibatnya, daya saing produknya pun tergerus.

Keempat, membanjirnya produk impor legal dan ilegal. Proteksi peme-rintah terutama melalui hambatan ta-rif sejauh ini memang bekerja. Namun, dengan mengingat rezim perdagangan bebas, proteksi ini niscaya tak bertahan lama. AAK

(Diolah dari beberapa sumber)

n Adler Manurung

44 Warta BPKJANUARI 2011

42 - 46 pantau.indd 44 16/03/2011 16:04:36

Page 6: 5. Halaman 40

pantau

TERKAIT pengalihan hak pemungutan BPHTB dari pusat ke

daerah, UU tersebut menga-manatkan: Pertama, mulai 1 Januari 2011 hak pungut BPHTB menjadi salah satu pajak kabupaten atau kota. Kedua, UU No. 21/1997 qq UU No.20/2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dinyatakan tidak berlaku lagi terhitung satu tahun sejak UU PDRD di-berlakukan atau tepatnya per 1 Januari 2011 ini.

Untuk dapat memungut pajak ini, kabupaten/kota pa-ling tidak harus menyiapkan Peraturan daerah, Peraturan Bupati/walikota, Standar Operating Procedure; serta menyiapkan perangkat keras dan perangkat lunak. Namun dari pemberitaan sejumlah media massa maupun infor-masi langsung dari sejumlah Kepala Wilayah Pajak dan bu-pati diperoleh informasi seba-gian besar mereka belum siap

untuk mengambilalih pemungutan pajak tersebut. Sebagian besar daerah belum mempunyai Perda BPHTB.

Koran Kompas menulis bahwa sampai dengan akhir No-vember 2010, baru 17 kabupaten/kota—dari 490 kabupaten kota—yang siap memungut BPHTB. Data terakhir dari Dep-keu per 23 Desember 2010, sebanyak 160 daeah sudah siap dengan perda BPHTB dan 108 daerah lainnya masih dalam proses penyelesaian perda di legilatif. Sementara 224 kabu-paten kota lainnya, atau setara 45%, sama sekali belum ada infirmasi. Dengan demikian, pada awal tahun baru ini, daerah yang siap memungut BPHTB baru 32,5%.

Mengapa daerah tidak siap?Tampaknya ada beberapa penyebab mengapa pengalihan

BPHTB ke daerah menjadi terbengkelai. Pertama, UU PDRD disahkan di penghujung tahun 2009 di mana sebagian besar daerah telah menyampaikan RAPBD tahun anggaran 2010 ke DPRD. Mereka tidak mencantumkan anggaran khusus untuk persiapan pengalihan pajak ini, mulai dari pembuatan per-da hingga pengadaan komputernya. Salah satu indikasinya

adalah beberapa daerah mengaku tidak punya anggaran un-tuk membuat perda BPHTB ini.

Kedua, pemerintah pusat kurang melakukan komunika-si dan sosialisasi pengalihan pajak ini ke daerah. Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri men-genai persiapan pengalihan BPHTB, misalnya, baru ditan-datangani pada 18 Oktober 2010. Pasal 182 UU PDRD men-jelaskan bahwa Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri bertanggung jawab untuk mempersiapkan proses pengali-han hak pemungutan BPHTB dari Pusat ke Daerah. Seorang gubernur yang ditemui Warta-BPK bahkan mengaku sama sekali tidak tahu bahwa per 1 Januari 2011 ini BPHTB sudah sepenuhnya menjadi pajak kabupaten kota.

Ketiga, daerah menganggap kecil penerimaan dari BPHTB. Berdasatkan Permenkeu 205/2009 tentang Bagi Hasil BPHTB terdapat puluhan kabupaten/kota yang pe-nerimaan BPHTB langsung kurang dari Rp 100 juta. Di sisi lain, UU PDRD membolehkan daerah tidak memungut suatu jenis pajak jika potensi dianggap kecil atau tidak memadai. Namun daerah-daerah ini bisa mendapatkan bagi hasil dari BPHTB di atas Rp3 miliar dari bagian pemerintah pusat yang dibagiratakan ke seluruh kabupaten kota. Mereka lupa, mulai tahun 2011, komponen bagi hasil BPHTB dari pusat sudah tidak ada lagi.

Masalahnya, pengenaan BPHTB terkait dengan prosedur pengalihan hak atas tanah di Badan Pertanahan Nasional. Sa-

Daerah Belum Siap Kelola BPHTBWarta BPK: Dilihat dari cirri-cirinya, pajak atas

property memang memenuhi semua

syarat untuk menjadi pajak daerah. Namun

keputusan untuk mendaerahkan Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan sebagaimana diatur

dalam UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah rupanya tidak

berjalan sebagaimana diharapkan.

45Warta BPK JANUARI 2011

42 - 46 pantau.indd 45 16/03/2011 16:04:36

Page 7: 5. Halaman 40

pantau

lah satu prosedur untuk balik nama ta-nah dan atau bangunan adalah adanya bukti pembayaran BPHTB. Bagaimana sikap BPN saat bukti tersebut tidak ada? Apakah prosesnya akan tetap dijalankan? Jika proses di BPN untuk pengalihan hak atas tanah, khususnya di kabupaten kota, yang belum men-genakan BPHTB , tetap menjadi per-syaratan maka masyarakat akan diru-gikan. Sehingga BPN harus membuat pengecualian syarat pengalihan hak tanah bagi daerah yang belum atau ti-dak memungut BPHTB.

Potensi PAD hilangBagi sebagian daerah, terutama

di daerah yang tingkat ekonominya kurang maju atau daerah yang baru dibentuk, kontribusi bagi hasil dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan BPHTB memberikan konribusi lebih dari 50% Pandapatan Asli Daerah. Kontribusi tersebut terbagi dalam BPHTB yang secara langsung men-jadi hak daerah dimana transaksi itu terjadi (64% dari nilai transaksi lo-kal) dan bagi hasil secara rata (20% penerimaan nasional dibagi jumlah kab/kota).

Daerah dengan ekonomi maju se-perti DKI Jakarta, penerimaan BPHTB justru akan naik. Jika pada tahun ang-garan 2010 bagi hasil dari BPHTB mencapai Rp2 triliun, maka tahun 2011 DKI akan menerima paling ti-dak Rp2,5 triliun, dengan kondisinya sama dengan 2010.

DKI akan mendapat kembali hak-nya atas BPHTB sebesar 20% yang selama ini menjadi jatah pusat, seba-liknya seluruh daerah rata-rata akan kehilangan Rp1 miliar hanya dari DKI Jakarta saja. Kontribusi daerah dae-rah-daerah maju lainnya di seluruh In-donesia, seperti dari Jawa Tmur, Jawa Barat, Sumatera Utara selurunya akan mencapai Rp2 miliar per kab/kota.

Apakah ketiadaan BPHTB ini ti-dak menjadi masalah bagi pusat? Sebenarnya Pemerintah Pusat juga akan mengalami kesulitan. Paling ti-dak dalam memantau kepatuhan wa-jib pajak yang melakukan transaksi penjualan tanah (PPh Pasal 4 ayat 2)

Daerah Tetap Ambil Alih BPHTBKAPUSPEN Kemendagri Rey Donnyzar Moenek

tak memungkiri bahwa masih banyak daerah yang belum siap mengambil alih pengelolaan BPHTB. Kendala utamanya, menurut dia, adalah banyaknya rancangan Perda yang harus digodok pemerintah daerah dengan DPRD di waktu yang bersamaan. Namun, pihaknya yang bekerjasama dengan Ke-menterian Keuangan, terutama Ditjen Pajak, untuk terus melakukan asistensi, supervisi, bimbingan, dan advokasi kepada daerah-daerah.

Kegiatan-kegiatan asistensi itu sendiri berda-sarkan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri No. 186/PMK.07/2010 dam Nomor 53 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Sebagai Pajak Daerah. Peraturan bersama tersebut diterbitkan tanggal 18 Oktober 2010.

“Intinya, tetap kita dorong agar jangan terjadi potential loss. Ya, potential loss terhadap sejumlah penerimaan pendapatan atas BPHTB bagi pendapatan bagi pemerintah daerah,” ucap Rey.

Adanya kemungkinan dimana daerah-daerah molor dalam penyusunan dan penerbitan perda BPHTB, pun diakui Rey. Namun, lanjutnya, itu resiko bagi pe-merintah daerah untuk tidak menerima sejumlah pendapatan, karena pemerin-tah pusat sudah tidak lagi melakukan penarikan.

“Kalau molor tidak karena itu undang-undang. Efektivitas pelaksanaan Per-da-nya saja yang tidak tepat waktu pada tanggal 1 Januari, itu saja. Intinya, efekti-vitas pelaksanaan Perda bisa tidak tepat waktu pada 1 Januari, karena itu sudah dimandatorikan kepada daerah,” tegasnya.

Terkait dengan UU PDRD yang menyatakan bahwa jika potensi pajak diang-gap kurang, dalam hal ini pemasukan dari BPHTB, daerah boleh tidak memungut, Rey mengatakannya sebagai keleluasaan. Namun, bukan berarti pemerintah da-erah sama sekali tidak memungut potensi pajak yang bernilai kecil.

UU PDRD, tegasnya, merupakan amanah yang dilimpahkan kepada pemerin-tah daerah untuk menjadi penerimaan pendapatan. Jadi, tetap harus dipungut. Ini bukan soal besar kecilnya, tetapi efektifitas penerimaan harus tetap dijamin.

“Itu keleluasaan, tetapi mandatory-nya tetap harus dilakukan pemungutan. Soal kemudian daerah diberikan kelulasaan untuk tidak melakukan pemungu-tan manakala itu tidak layak, maka itu sah-sah saja. Intinya, selama ini kan dae-rah sudah menerima dari bagi hasil pusat atas pajak retribusi itu, nah tetap kita dorong ke sana. Soal kemudian daerah tidak mau memungut, itu persoalan lain. Tetapi kewajiban daerah untuk melakukan pemungutan itu tetap ada. Suatu yang sudah dilimpahkan ke daerah,” papar Rey. (AAK)

karena data pembanding dan cek atas transaksi tersebut tidak ada lagi.

Untuk mengatasi masalah ini, mungkin perlu dipertimbangkan agar Presiden menerbitkan Peraturan Pe-merintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) yang menyatakan bagi dae-rah yang sudah siap mengelola BPHTB per 1 Januari 2011, dipersilahkan

tetap jalan. Selanjutnya, bagi daerah yang belum siap mengelola BPHTB per 1 Januarii 2011, maka hak pengelolaa-nya diambil alih pemerintah pusat dan diserahkan kepada Ditjen Pajak untuk mengelolanya sampai dengan daerah yang bersangkutan siap mengelola BPHTB sampai waktu yang tidak ter-lalu lama. (wit)

n Rey Donnyzar Moenek

46 Warta BPKJANUARI 2011

42 - 46 pantau.indd 46 16/03/2011 16:04:36

Page 8: 5. Halaman 40

KOLOM

Sebagai bendahara negara, Menteri Keuangan dan jajaran Kementerian Keuangan bertanggung jawab terhadap 4 area utama. Yaitu penerimaan negara, belanja negara, pembiayaan aPbN dan pengelolaan aset (terutama piutang) negara. Jika kita lihat secara obyektif dan kritis, kinerja di ke-empat area tersebut selama beberapa tahun terakhir terlihat jauh dari memuaskan.

Secara kualitatif, kita mengetahui bahwa kinerja belanja negara diwarnai oleh kelemahan yang sangat kronis. ini meliputi kegagalan penyerapan aPbN, alokasi budget yang tidak efisien, alokasi anggaran yang kurang maksimal mendorong pembangunan, dan kebocoran anggaran. Dari sisi pembiayaan aPbN, Kementerian Keuangan cenderung melepas SbN dengan yield yang mahal sehingga menjadi beban yang lebih mahal dari semestinya di masa mendatang. Piutang negara baru tertagih sekitar 0.8% setelah puluhan tahun. Jika negara diibaratkan sebagai korporasi, maka kita mempunyai departemen treasurer yang senang mengambil utang mahal tapi tidak mampu membelanjakan dana dengan benar, serta tidak mampu menagih piutang sebagaimana mestinya.

Dalam hal penerimaan negara, kinerja Kementerian Keuangan ternyata sangat memprihatinkan sebagaimana terlihat dari data dan analisis berikut.

Jika dikategorikan menurut struktur organisasi Kemenkeu, di luar hibah terdapat 4 kelompok utama penerimaan negara, yaitu pajak dalam negeri di luar PPh Migas dan pendapatan cukai, penerimaan negara bukan pajak (PNbP), pajak perdagangan internasional dan cukai (untuk mudahnya disebut bea dan cukai), dan PPh Migas. Kelompok pertama menjadi tanggung jawab Ditjen Pajak, kelompok kedua dan keempat Ditjen anggaran, serta kelompok ketiga Ditjen bea Cukai.

Khusus untuk kelompok ke-2 dan ke-4, peranan kementerian/lembaga (K/L) lain sangat besar, sehingga DJa (Ditjen anggaran) lebih berperan sebagai lembaga penampung. Misalnya, penerimaan dividen sangat dipengaruhi oleh kinerja Kemenneg bUMN dan para direksi bUMN, demikian juga dengan penerimaan sumber daya alam oleh K/L sektoral.

berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang telah diaudit oleh bPK, di luar hibah, selama 4 tahun terakhir dalam periode 2006-2009 negara memperoleh penerimaan sebesar Rp 3166 triliun. ini terdiri dari:

1. Pajak dalam negeri di luar PPh Migas dan cukai (selanjutnya disebut “pajak DJP”) Rp 1684 triliun (53.2%),

2. PbNP Rp 989 triliun (31.2%), 3. bea Cukai Rp 279 triliun (8.8%), dan 4. PPh Migas Rp 214 triliun (6.8%).

Seluruh penerimaan perpajakan (pajak DJP, bea cukai dan PPh Migas) menyumbang Rp 2177 triliun atau 68.8% dari penerimaan negara di luar hibah. Nilai hibah relatif bisa diabaikan karena kecil sekali.

Mari kita analisis satu persatu Tabel 1 hingga Tabel 5 di bawah ini. Untuk tahun 2010 penerimaan negara di luar hibah per akhir November terkumpul Rp 832 triliun, masih shortfall Rp 158.7 triliun terhadap target aPbN-P. bila dibagi rata per bulan, secara teori shortfall-nya seharusnya Rp 83 triliun. Dengan kata lain, Kementerian Keuangan harus mengejar ketinggalan 2 bulan dalam sebulan terakhir 2010.

Persoalan utamanya bukan di sana. Yang memprihatinkan, DJP (Ditjen Pajak) sebagai ujung tombak penerimaan negara malah menyumbang tiga per empat dari shortfall tersebut. DJP masih

Memprihatinkan, Kinerja Penerimaan Negara 2006-2010Oleh : Dradjad WibowoSustainable Development Indonesia (SDI)

47Warta BPK JaNUaRi 2011

47 - 50 kolom.indd 47 06/01/2011 1:15:52

Page 9: 5. Halaman 40

KOLOM

mengalami shortfall Rp 119.1 triliun per akhir November, atau 75.1% dari keseluruhan shortfall tersebut. bahkan dibandingkan dengan Ditjen lain, DJP menunjukkan tingkat

realisasi penerimaan terendah. Padahal target DJP sudah diturunkan dari aPbN sebesar Rp 5.1 triliun.

ini sangat kontras dengan PNbP yang meskipun dinaikkan hampir

Rp 42 triliun dalam aPbN-P ternyata malah membukukan realisasi yang jauh lebih tinggi dari DJP. Tampaknya PNbP pada akhir tahun tidak akan meleset terlalu jauh dari target. Ditjen bea Cukai (DJbC) malah sudah melebihi target aPbN-P, meski masih lebih rendah dari target aPbN. Selengkapnya disajikan dalam Tabel 1.

Dalam periode 2006-2009 realisasi pendapatan pajak dalam negeri yang ditangani DJP malah lebih memprihatinkan (Tabel 2). Dibandingkan dengan target aPbN, shortfall kumulatif nya mencapai Rp 123 triliun selama 4 tahun, atau rata-rata Rp 31 triliun per tahun. Kalau aPbN-P yang dijadikan rujukan, shortfall nya adalah Rp 53 triliun atau sekitar Rp 13 triliun setahun. ini pun masih tertolong oleh kinerja tahun 2008 yang Rp 13 triliun di atas target. Dugaan saya, hal ini disebabkan oleh PPN migas mengingat PPh Migas juga melebihi target.

gambaran yang lebih jelas terlihat dari perbandingan dengan pertumbuhan PDb. Secara teori, dengan peningkatan PDb tentu penerimaan pajak juga meningkat. Yang lebih ideal adalah apabila peningkatan pajak kira-kira setara dengan

peningkatan PDb. Di sini kita menggunakan PDb nominal, bukan riil, karena penerimaan pajaknya juga dihitung nominal.

48 Warta BPKJaNUaRi 2011

47 - 50 kolom.indd 48 06/01/2011 1:15:53

Page 10: 5. Halaman 40

KOLOM

Realisasi pajak dalam negeri di luar PPh Migas dan cukai tahun 2009 adalah 57% di atas realisasi tahun 2006. Di sisi lain PDB nominal tahun 2009 mencapai 68% di atas PDB 2006, sementara PDB tanpa sektor migas tahun 2009 naik 73% dari tahun 2006. Karena DJP tidak mengelola PPh Migas, maka PDB tanpa migas lebih cocok dijadikan acuan. Dari data di atas terlihat, penerimaan pajak tertinggal 16% dibanding PDB tanpa migas.

Jadi penerimaan pajak DJP berjalan jauh kalah cepat dari pertumbuhan PDB. Ditambah dengan kinerja tahun 2010 yang kurang bagus, hal ini berarti DJP masih belum mampu memaksimalkan penerimaan pajak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain masih terdapat “under-taxing” yang cukup besar dalam perekonomian. Catatan: jika penerimaan pajak melaju jauh lebih cepat dari PDB, hal ini juga tidak ideal bagi perekonomian karena mengindikasikan “over-taxing”.

Masalahnya, dalam beberapa kasus bukan tidak mungkin pelaku usaha merasa “over-taxed” atau mungkin takut terhadap kekuasaan DJP yang sangat besar. Jika merujuk pada cuplikan resume bPK, kekhawatiran tersebut tampaknya beralasan.

Dalam “Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja atas Proses Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak terhadap 6 (enam) Wajib Pajak pada DJP Kemenkeu” No 042/LHP/XV/12/2010 tanggal 6 Desember 2010, bPK menyebutkan:

“… proses kinerja pemeriksaan dan penyidikan serta kegiatan terkait lainnya terhadap 6 (enam) WP belum sepenuhnya mematuhi ketentuan perundangan yang berlaku sehingga tidak sepenuhnya efektif.” bahkan bPK menggunakan kata-kata seperti:

“… tidak sepenuhnya didukung dengan dokumen yang memadai”,

“… tidak sah dilaksanakan tidak sesuai ketentuan.”,

“… tidak mempunyai dasar hukum dan merupakan kebijakan Kepala Kanwil …”,

“Jangka waktu pelaksanaan pemeriksaan bukti permulaan … melebihi ketentuan …”, “… belum menyerahkan barang bukti …”,

“… DJP baru menyetujui permohonan restitusi … terlambat antara 1 sampai dengan 7 bulan …”,

“… penghitungan dan penetapan PPN … tersebut tidak tepat.”

“… prosedur himbauan dan konsultasi … tidak diberikan sebelum dilakukan pemeriksaan khusus.”

Kalimat-kalimat di atas mengindikasikan ketidakpatuhan oknum DJP terhadap peraturan, dan menimbulkan kekhawatiran adanya kesemena-menaan (abuse of power) oleh oknum DJP. Di sini Menkeu agus

Martowardojo perlu mengevaluasi apakah “hard power” yang bisa menimbulkan “abuse of power” lebih efektif dibandingkan dengan “soft power”. Kelemahan kinerja DJP selama 2006-2010 menjadi “wake up call” (lonceng pengingat) bagi Menkeu dan jajaran DJP.

Dari sisi PNbP (Tabel 3), sekilas terlihat PNbP periode 2006-2009 cenderung memenuhi target aPbN-P. bahkan, meskipun aPbN-P secara kumulatif dinaikkan dari aPbN, realisasi PNbP masih Rp 60 triliun di atas target selama 2006-2009. Jajaran Lapangan banteng perlu menyadari bahwa pencapaian ini lebih merupakan hasil kerja K/L di luar Lapangan banteng. Selain itu, realisasi PNBP terlihat sangat fluktuatif dengan selang yang mencapai Rp 105 triliun (antara Rp 215 s/d Rp 320 triliun). Pertumbuhannya pun jauh kalah cepat dari pertumbuhan PDb. Tampaknya hal ini tidak lepas dari fluktuasi harga minyak dunia, selain harga-harga komoditas seperti kayu dan perikanan.

Dengan kinerja PNBP yang

49Warta BPK JaNUaRi 2011

47 - 50 kolom.indd 49 06/01/2011 1:15:53

Page 11: 5. Halaman 40

KOLOM

sangat fluktuatif seperti itu, risikonya terhadap stabilitas fiskal menjadi terlalu besar kalau kita terlalu mengandalkan PNBP. Porsi PNBP yang hampir sepertiga dari penerimaan negara membutuhkan pengelolaan yang lebih fokus dan terpadu antar K/L agar risiko fiskal dari PNBP bisa di-mitigasi. Apalagi K/L penghasil PNBP belum memperoleh remunerasi sebesar Kemenkeu yang notabene “penampung” saja. Ini bisa menimbulkan kecemburuan karena K/L dengan remunerasi rendah malah menyumbang sepertiga penerimaan negara.

Dari sisi bea dan Cukai (Tabel 4), data memang menunjukkan DJbC selama 2006-2009 cenderung mampu memenuhi targetnya, bahkan melebihi target sebesar Rp 18 triliun. Meskipun demikian, hambatan birokrasi yang dialami para penerima jasa bC di berbagai pelabuhan masih belum membaik dengan signifikan. Selain itu, jika tahun 2009 dan 2006 dibandingkan, realisasi penerimaan bC naik hanya 47%, jauh di bawah DJP yang 57%.

Artinya, DJBC mampu memenuhi target karena kenaikan targetnya di bawah DJP. Target APBN-P DJBC tahun 2009 misalnya hanya naik 40% dari tahun 2006, sementara DJP 59%. Jika targetnya naik sebesar DJP, maka DJBC juga akan mengalami shortfall. Padahal volume perdagangan ekspor dan impor Indonesia naik pesat. Kemenkeu perlu mengevaluasi dampak dari liberalisasi perdagangan yang terlalu cepat terhadap penerimaan DJBC, selain tentunya dampak multiplier-nya terhadap perekonomian dan penerimaan negara secara keseluruhan. Realisasi PPh Migas tidak dibahas secara khusus di sini, tapi datanya bisa dilihat pada Tabel 5.

Sebagai penutup, Menkeu diharapkan memperbaiki berbagai kelemahan dalam kinerja penerimaan

negara di atas. Semua lini Kemenkeu cenderung “under-performing”, baik dalam hal penerimaan, belanja, pembiayaan maupun pengelolaan aset. Jika ditambah sisi regulasi dan pengawasan pasar modal/lembaga keuangan, kinerja Kemenkeu sejak 2006 sebenarnya tidak sebagus yang

digembar-gemborkan di berbagai media. Kita harapkan Menkeu agus Martowardojo dapat membersihkan “performance bubble” di Lapangan banteng, termasuk jika perlu merombak jajaran sesuai dengan kinerjanya.

50 Warta BPKJaNUaRi 2011

47 - 50 kolom.indd 50 06/01/2011 1:15:53

Page 12: 5. Halaman 40

lintas peristiwa

Badan Pemeriksa keuangan (BPk) akan mengawal secara ketat pelaksanaan pembatasan penggunaan BBm ber-subsidi oleh pemerintah. Lembaga auditor negara tersebut mengharapkan tidak ada distorsi atau ketimpangan ketika implementasi pembatasan penggunaan BBm tersebut.demi-kian diungkapkan oleh anggota iV BPk ali masykur musa di gedung BPk, Jalan gatot subroto, Jakarta, baru baru ini. “kita akan melakukan monitoring dan akan mengawal ketat pemba-tasan BBmbersubsidi,” ujar ali.

ia menjelaskan, landasan BPk dalam melakukan monitor-ing tersebut yakni melihat aPBn-P 2010 dimana subsidi BBm tercatat sebesar 38,5 juta kL. atau menurut ali, angka terse-

but ekuivalen dengan rp 80 triliun. “itu yang dipegang BPk ka-lau ada aturan subsidi seperti pembatasan BBm itu urusan pe-merintah. Jika ada alokasi aPBn yang berubah misalnya nanti digunakan untuk infrastruktur atau misalnya public transport-ation maka itu harus menggunakan sistem hukum yang benar,” paparnya.

Lebih lanjut ali menyimpulkan BPk akan fokus terhadap dua hal dalam memantau pelaksanaan pembatasan BBm ber-subsidi. Yakni sisa anggaran aPBn dan monitoring secara ketat. “kesimpulan saya ada dua aspek yakni melihat sisa anggaran penghematan BBm dan kedua adalah melakukan monitoring ketat sehingga tidak jadi distorsi,” tukasnya. dTk

BPk Pantau kebijakan Pembatasan Premium

Banda aCeH---kepala Badan Pemeriksa keuangan (BPk) memberi opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) ter-hadap laporan keuangan 14 pemerintah daerah di indonesia tahun anggaran 2009. “Opini WTP ini diberikan karena pemerintah daerah mengelola keuangannya dengan baik,” kata ketua BPk ri Hadi Poernomo di Banda aceh, kamis (16/12).

Pernyataan itu disampaikannya usai menghadiri penan-datanganan kesepakatan tata cara penyerahan hasil peme-riksaan antara BPk ri dengan dPr aceh dan 23 dPrk di provinsi itu. selain opini WTP, kata dia, BPk juga memberi opini Wajar dengan Pengecualian (WdP) kepada 259 la-poran keuangan pemerintah daerah, 30 opini Tidak Wajar (TW), dan 45 laporan keuangan mendapat opini Tidak mem-

beri Pendapat (TmP).dari 14 opini WTP tersebut, enam di antaranya diraih

oleh pemerintah daerah di Provinsi aceh. Yakni kota Banda aceh, kota sabang, kota Lhokseumawe, kota Langsa, kabu-paten aceh Tengah, dan kabupaten nagan raya. Hadi men-gatakan, dari 24 pemerintah daerah, satu provinsi dan 23 ka-bupaten/kota di aceh, BPk memberi 15 opini wajar dengan pengecualian (WdP), satu tidak wajar (TW), dan satu tidak memberi pendapat (TmP) dan satu laporan masih dalam proses penyelesaian.

“Perolehan opini WTP tahun anggaran 2009 di Provinsi aceh ini menurun ketimbang tahun 2008. Tahun lalu ada tu-juh pemerintah daerah di aceh menerima opini WTP,” ujar mandan dirjen Pajak ini. reP/anT

BPk: 14 Pemerintah daerah Berlabel WTP

semarang--- dari 35 kabupaten dan kota di Jawa Ten-gah, tak ada satu pun yang steril dari korupsi. Pada tahun 2010, jumlahnya kasus korupsi menumpuk hingga menca-pai 174 kasus.

Berdasarkan monitoring komite Penyelidikan dan Pem-berantasan kkn (kP2kkn) Jateng, dari 174 kasus sejak ta-hun 2000 itu, ranking pertama diraih kota semarang dengan 11 kasus. Temanggung menyusul dengan 9 kasus dan kendal 8 kasus. Jumlah kasus di daerah-daerah lain bervariasi, anta-ra 2-7 kasus. Hanya Pekalongan yang punya 1 kasus.

“Total dana yang dikorupsi sekitar rp 193 milyar,” kata sekretaris kP2kkn, eko Haryanto saat menyampaikan lapo-ran akhir tahun di kantornya.

eko menyebutkan, meski semarang juara dalam hal jumlah kasus, soal besaran dana yang dikorupsi diraih Cila-cap. di daerah yang terletak di barat daya semarang ini, dana yang digerogoti koruptor sebanyak rp 31 miliar, disusul oleh karanganyar rp 22 miliar, dan salatiga rp 20 miliar.”Yang dikorupsi, terbanyak di sektor anggaran daerah. kemudian, infrastruktur dan bantuan sosial,” terangnya. dTk

174 kasus korupsi menumpuk di Jateng selama 2010

51Warta BPK Januari 2011

51 - lintas peristiwa.indd 51 06/01/2011 1:17:23

Page 13: 5. Halaman 40

aksentuasi

SeSuai ketentuan uu, BPK sebagai lembaga audit negera wajib memperhatikan permintaan DPR untuk menga-udit suatu masalah. Salah satunya adalah permintaan

DPR kepada BPK untuk melakukan audit kinerja terhadap proses pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan atas enam Wajib Pajak, yang sebelumnya telah dipanggil oleh Panitia Kerja DPR untuk masalah perpajakan.

Keenam WP tersebut adalah PT Permata Hijau Sawit, asi-an agri Group, PT Wilmar Nabati indonesia, PT alfa Kurnia, PT iNG internasional dan RS emma Mojokerto. Di antara ke-enam WP tersebut, tiga kasus yang menyangkut asian agri Group, PT Permata Hijau Sawit dan PT Wilmar Nabati in-

donesia sebelumnya banyak menyedot perhatian public. Ka-sus aaG bahkan sudah menjadi konsumsi public sejak 2007, namun hingga kini kasusnya belum juga tuntas.

Pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan yang dilakukan DJP umumnya terkait dengan permohonan restitusi atau permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan oleh WP. Ditjen Pajak berpendapat ke-enam WP tersebut diduga mengguna-kan Faktur Pajak fiktif sehingga perlu dilakukan upaya peny-idikan.

Berikut adalah gambaran ringkas Laporan Hasil Pemerik-saan BPK terhadap ke-enam WP tersebut yang telah disam-

Laporan Hasil Pemeriksaan 6 Wajib Pajak

Ditjen Pajak Harus Lebih Patuh pada Aturan Main

n Ketua Panitia Kerja Perpajakan Komisi XI DPR Melchias Markus Mekeng bersama Dirjen Pajak Moch. Tjiptardjo

52 Warta BPKJaNuaRi 2011

52 - 53 aksentasi.indd 52 06/01/2011 1:21:34

Page 14: 5. Halaman 40

paikan ke Pimpinan DPR beberapa waktu lalu.

1. Ringkasan LHP atas nama PT PHS. a. Semua proses law enforcement mulai dari penga

matan hingga penerbitan surat perintah penyidi kan tidak didukung oleh dokumen yang mema dai dan tidak sesuai dengan peraturan pelaksanaan yang ada.

b. Permohonan restitusi PT PHS senilai Rp138 mi liar melewati jangka waktu 12 bulan dan belum di cairkan oleh DJP sehingga menjadi DiaNGGaP Di KaBuLKaN dan terdapat potensi pengeluaran kom pensasi bunga sebesar 2% maksimal 24 bulan.

2. Ringkasan LHP atas nama AAGa. Proses pemeriksaan bukti permulaan hingga

proses penyidikan atas aaG bermasalah. b. SPDP disampaikan ke Kejati DKi Jakarta melalui

korwas PPNS Mabes Polri, seharusnya disampai kan ke Jaksa agung.

c. Proses penggeledahan bermasalah. Sehingga DJP kalah saat WP mengajukan Prapaeradilan ke PN Ja karta Selatan.

d. Proses Penyitaan dokumen oleh DJP juga bermasa lah. Sehingga DJP kalah saat WP menggugat ke PN.

e. Proses pemberkasan dari P18 ke P19 selalu mele wati batas waktu yang ditetapkan Ja.

f. Sampai dengan LHP diselesaikan, ternayata doku men pendudkung kasus aaG yang sudah dinya takan P-21 belum dilengkapi oleh DJP sehingga Ke jaksaan aGung terpaksa harus berkali-kali memin ta agar dokumen dan alat bukti segera diserahkan ke Ja.

3. Ringkasan LHP atas nama PT Wilmar Nabati In- donesia:

a. PT WNi merupakan WP patuh yang mengajukan permohonan restitusi PPN sebesar Rp1,8 triliun (Masa Sept 2009 – april 2010). KPP LTO 2 meng indikasikan WNI menggunakan FP fiktif shinga pe nerbitan Surat Keputusan Pengembalian Pendahu luan Kelebihan Pajak (SKP-PKP) terlambat diterbit kan.

b. Permohonan restitusi diterbitkan antara 4 juni 2010 - 16 Sept 2010 (terlambat 1 bulan hingga 7 bulan) sebesar Rp1,8 triliun.

c. Proses BuPeR sebagai upaya DJP untuk menahan restitusi adalah salah, karena untuk WP dengan sta tus wp PaTuH, penghentikan permohonan restitu si harus dengan penyidikan.

d. Kinerja pelayanan restitusi tidak bagus.

4. LHP atas nama Alfa Kurniaa. PT aK mengajukan permohonan restitusi sekitar

Rp 1 triliun. atas permohonan tersebut dikeluar

kan SKP nihil (artinya tidak ada restitusi atau resti tusi ditolak). PT aK mengajukan keberatan atas ke putusan tersebut. Proses masih berlangsung sam pai dengan pemeriksaan BPK dilakukan.

b. DJP berpendapat ekspor udang beku yang dila kukan PT aK tidak bisa DiKReDiTKaN. Terdapat beda pendapat apakah atas ekspor tsb BeBaS PPN atau TiDaK DiPuNGuT PPN. Namun berdasarkan Se Dirjen Pajak sendiri yang mneyatakan bahwa ekspor udang beku TiDaK termasuk yang dibebas kan ekepornya berarti PPN nya bisa dikreditkan.

c. Keputusan KPP yang menyatakan SKP Nihil salah, seharusnya permohonan restitusi diterima. Nega ra berportensi mengalami kerugian negara karena harus membayar bunga sebesar Rp115 juta.

5. LHP atas nama ING Internasional:a. PT iNG diperiksa karena (1) SPT Tahunan PPh ba

dan dan SPT Masa PPN periode 2005, 2006, 2007 menyatakan lebih bayar (2) SPT Masa PPN dan SPT PPh terlambat disampaikan.

b. KPP menerbitkan 45 Surat Tagihan Pajak dan 36 SKPKB senilai Rp122,6 miliar (STP Rp6,2 miliar dan SKPKB Rp116 ,4 miliar).

c. iNG internasional tidak dikenakan BuPeR atau penyidikan. WP ini yang justru dating ke Panja DPR untuk mengadu. Meski ada ketidakakuratan di DJP, namun PT iNG ini sendiri bermasalah karena tidak kooperatif dalam memberikan data dan informna si, tidak dating saat pembahasan akhir.

6. LHP atas RS Emma Mojokerto:a. RS emma diperiksa pajaknya karena dinilai memi

liki risiko tinggi terkait pembelian yang tidak sela ras dengan PM (antara barang dan faktur berbeda), ada kegiatan membangun sendiri yang tidak dila porkan pajaknya.

b. DJP kurang sosialisasi dan pelayanan. Permohonan kebaratan RS emma tengah diproses.

audit Lanjutan

audit kinerja yang dilakukan BPK tersebut memang ha-nya menguji apakah pemeriksaan oleh Ditjen Pajak tersebut telah memenuhi kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. BPK tidak masuk ke dalam materi pemeriksaan-nya. Sehingga, BPK juga tidak menetapkan apakah restitusi mereka sah atau tidak; kalau sah berapa restitusi yang harus dibayar.

Ketua Panitia Kerja Perpajakan Komisi Xi DPR Melchias Markus Mekeng menyatakan Panja akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menindaklanjuti LHP BPK tersebut. Melchias juga akan meminta Pusat Pelaporan dan analisis Transaksi Keuangan untuk menindaklanjuti dan mendalami temuan BPK tersebut. (wit)

53Warta BPK JaNuaRi 2011

52 - 53 aksentasi.indd 53 06/01/2011 1:21:35