47-176-1-pb

Upload: anies-zhee-fitriatunnisa

Post on 02-Mar-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/26/2019 47-176-1-PB

    1/17

    Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)

    Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006 102

    RESILIENSI DAN SIKAP TERHADAP PENYALAHGUNAAN ZAT

    (STUDI PADA REMAJA)

    P. Tommy Y. S. Suyasa, Farida Wijaya

    Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, JakartaMahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta

    [email protected]

    ABSTRACT

    This research aimed to find out correlation between resiliency and attitudes toward

    substance abuse. This research also hope to bring out more details about relationship

    between resiliency dimension and attitudes toward substance abuse. Dimensions of

    resiliency are protective factors, risk factors and personal factors. Subjects are

    students of Junior High School (N=101). Data collected using two measurement: one

    to measure resiliency and other to measure attitudes toward substance abuse. Data

    analyzed using product moment correlation from Pearson. The result suggested that

    from 3 dimensions of resiliency, 1 of them found out to have positive correlation withattitudes toward substance abuse, while the other 2 did not have correlation.

    Generally, concluded that there is no correlation between resiliency and attitudes

    toward substance abuse.

    Keywords:Resiliency, attitude,substance abuse

    PendahuluanPenyalahgunaan napza perlu

    menjadi perhatian segenap pihak karena

    kecepatannya dalam menimbulkan keter-gantungan serta sukarnya dalam menangani

    dan menyembuhkan ketergantungan terse-

    but. Dari data statistik Badan NasionalNarkoba -RI diketahui bahwa 15.000 orang

    Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat

    mengkonsumsi napza (Forum, 2005).Kerugian dari segi ekonomi hingga tahun

    2009 yang disebabkan penyalahgunaan

    napza diperkirakan akan mencapai Rp. 46,5

    triliun. Selain itu, penyalahgunaan napza diIndonesia semakin banyak dimulai berkisar

    pada usia 10 tahun, pada umumnya korban

    berusia 15 sampai 25 tahun yakni remaja.

    Dalam arti, remaja menjadi sasaran utamadari kejahatan penyalahgunaan napza.

    Alasan seorang remaja untuk mulaimencoba napza dapat bersifat ekternalmaupun internal. Hal-hal eksternal dapat

    berupa penyalahgunaan napza oleh teman

    sebaya maupun keluarga. Sedangkanfaktor-faktor internal yang menjadi alasan

    umum untuk penyalahgunaan napza antara

    lain: rasa ingin tahu, pemberontakan atauekspresi dari ketidakpuasan terhadap nor-

    ma, nilai dan tekanan dari lingkungansosial, untuk kesenangan semata-mata,

    untuk meredakan ketegangan dan kekha-

    watiran, atau untuk menghadapi masalah(Rice, 1999). Walaupun faktor eksternal

    dan internal memperbesar kecenderungan

    penyalahgunaan napza dalam diri seorang

    remaja, namun penelitan Orbell dan kole-ganya (Baron dan Byrne, 2004) membuk-

    tikan bahwa sikap seorang remaja sejakawal akan menentukan kecenderungan

    subjek dalam menggunakan atau tidak

    menggunakan napza.

    Faktor-faktor internal dan eksternalyang mempengaruhi penyalahgunaan napza

    tersebut merupakan risk factors dalam

    konsep resiliensi. Individu yang memiliki

    risk factors saja atauprotective factors saja,tidak dapat dikatakan bersifat resilien.

    Karena seseorang dikatakan memiliki resi-liensi apabila ia mempunyai kedua hal

    tersebut. Dengan kata lain, apabila terdapat

    keseimbangan antara risk factors dan pro-tective factors, dan hadirnya personal

    factors, mengindikasikan seseorang yangresilien.

    Penanganan terhadap penyalahgu-naan napza adalah lebih kompleks diban-

  • 7/26/2019 47-176-1-PB

    2/17

    Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)

    Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006103

    dingkan pencegahannya. Secara ilustrasi,

    penanganan terhadap penyalahgunaannapza dapat digambarkan dengan tim ban-

    tuan yang menyediakan mobil ambulan di

    bawah jurang sebuah tebing terjal dan siap

    untuk mengobati korban yang terjatuh kejurang. Namun tindakan yang lebih baik

    adalah mencegah terjadinya penyalah-

    gunaan napza, yang dapat diilustrasikandengan tim bantuan yang menaiki ke atas

    jurang dan memagari sekeliling jurang

    untuk mencegah terjadinya korban(Hawkins dan Catalano, dikutip oleh Blum,

    1998). Resiliensi dan sikap yang negatif

    terhadap penggunaan napza masing-masing

    merupakan hal yang berperan dalam

    tindakan pencegahan terhadap penggunaannapza.

    Sikap seseorang mempengaruhicara ia bertingkah laku. Sikap yang negatif

    terhadap penggunaan napza akan mengha-

    dirkan tingkah laku yang menjauhi napza,artinya tidak mencoba-coba napza jenis

    apapun. Sebaliknya sikap yang positif

    terhadap penggunaan napza akan mengha-dirkan tingkah laku yang tidak menjauhi

    napza, artinya seseorang akan kompromi

    dan membuka kesempatan untuk mencoba-

    coba napza karena faktor-faktor yangberasal dari diri sendiri ataupun dari

    lingkungan sekitarnya.

    Indikasi resilien yang dimilikiseorang remaja dapat mencegahnya mela-kukan penggunaan napza. Sebagai contoh,

    seorang remaja yang mempunyai teman-

    teman yang menawarkan napza (risk

    factors), namun karena terdapat norma

    kedisiplinan kuat serta adanya penerimaanaspirasi remaja oleh keluarganya (protec-

    tive factors), maka remaja tersebut tetap

    berada dalam kondisi resilien. Dalam arti,

    remaja tersebut akan mempunyai konsepberpikir, jika ia menerima tawaran untuk

    menggunakan napza, ia akan ditentang oleh

    keluarganya. Remaja yang diterima aspira-sinya dengan baik dalam keluarga cende-

    rung menghindari hal tersebut. Jadi,

    resiliensi pada diri seorang remaja mampu

    memprediksikan sikap negatif remaja terha-dap penggunaan napza.

    Dengan demikian, remaja yang

    memiliki resiliensi mampu menangkalpengaruh negatif dari penyalahgunaan

    napza yang disebabkan faktor internal

    maupun eksternal. Artinya, remaja tersebutakan membentuk sikap yang negatif

    terhadap penggunaan napza dengan salah

    satu contoh: tidak pernah mau mencoba-

    coba napza. Namun hal ini hanya sebataspemikiran, belum teruji kebenarannya.

    Dengan alasan tersebutlah penelitian inidilakukan.

    ResiliensiDewasa ini banyak peneliti yang

    memilih istilah resiliensi atau stress resis-

    tence (ketahanan terhadap tekanan) dari-

    pada invulnerability (kebal atau tak dapat

    dikalahkan). Kamus Merriam Webster(2005) mengartikan resiliensi sebagai the

    capability of a (strained) body to recover its

    site and shape after deformator causalespecially by compressives stress yaitu

    kemampuan suatu benda untuk menegang

    (melenting), kemudian memperoleh kem-

    bali tempat dan bentuknya setelah melaluiakibat perusakan bentuk, khususnya oleh

    tekanan yang sangat luar biasa. Hal inisesuai dengan kata dasar resiliensi yang

    berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa

    Inggris bermakna to jump (or bounce) back,artinya melompat atau melenting kembali

    (Resiliency Center, 2004).Dengan memiliki resiliensi, terda-

    pat lebih besar kecenderungan seseoranguntuk menghadapi, mengatasi bahkankeluar dari tekanan yang mengelilinginya.

    Seorang remaja usia 15 tahun yang telahmengikuti pengajaran tentang resiliensi

    selama enam bulan mendefinisikan resi-

    liensi sebagai bouncing back from

    problems and stuff with more power and

    more smarts yang berarti melenting keluar

    dari masalah-masalah dan kesesakan

    dengan kekuatan dan kecerdasan yang lebihbesar dibandingkan yang dimiliki sebe-

    lumnya (Resiliency In Action, Inc., 2004).

    Tekanan hidup merupakan hal yangtidak terkecuali dialami semua individu,

    namun yang membedakan antara individu

    yang satu dan lainnya adalah padakeberhasilan dalam beradaptasi dengan

    tekanan-tekanan. Werner dan Smith

    (dikutip oleh Balanon, 2002) mendefi-

    nisikan resiliensi sebagai successful

    adaptation to stressful life events yang

  • 7/26/2019 47-176-1-PB

    3/17

    Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)

    Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006 104

    berarti keberhasilan beradaptasi dengan

    situasi menekan dalam hidup. Losel bahkan(dikutip oleh Balanon, 2002) mendefi-

    nisikan resiliensi sebagai good outcomedespite high-risk status and sustaining

    competence under threat. Hal ini berartibahwa status yang memiliki resiko tinggi

    sekalipun mampu memberi dampak yang

    baik bagi orang yang resilien, bahkanmembuatnya semakin kompeten.

    Faktor-faktor yang memperburuk

    kondisi seseorang disebut dengan istilahfaktor-faktor beresiko. Turner (dikutip oleh

    Balanon, 2002) berpendapat bahwa

    interaksi dinamis antara risk factors (faktor-

    faktor beresiko) dan protective factors

    (faktor-faktor pelindung) sebagai hasiladapatasi akan memampukan seseorang

    untuk menjadi resilien. Protective factorsadalah faktor-faktor yang menjadi pelin-

    dung, yang berperan dalam menurunkan

    dampak dari risk factors dalam kehidupanseseorang.

    Resiliensi merupakan proses inte-

    raksi antara faktor individual dan ling-kungan yang memberi hasil yang baik

    sementara menghadapi penderitaan hidup

    (Rutter, dikutip oleh Balanon, 2002).

    Richardson, Neiger, Jensen, dan Kumpfer(dikutip oleh Henderson dan Milstein,

    2003) mendefinisikan resiliensi sebagai

    the process of coping with disruptive,stressful, or challenging life events in a way

    that provides the individual with additional

    protective and coping skills that prior to the

    disruption that results from the eventyakni proses mengatasi masalah seperti

    gangguan, kekacauan, tekanan atau tan-tangan hidup, yang pada akhirnya mem-

    bekali individu dengan perlindungan

    tambahan dan kemampuan untuk mengatasi

    masalah sebagai hasil dari situasi yangdihadapi.

    Dari definisi-definisi yang dipero-

    leh dari beberapa sumber, penulis menarikkesimpulan bahwa resiliensi adalah inte-

    raksi dinamis antara risk factors (faktor-

    faktor beresiko) dan protective factors(faktor-faktor pelindung) sebagai hasiladaptasi yang diperoleh secara individual

    maupun dari lingkungan, yang memam-

    pukan seseorang untuk mengembangkandiri menuju ke arah yang lebih baik.

    Tinjauan Teori

    Karakteristik orang yang resilienPenelitian sepanjang 30 tahun ter-

    hadap orang-orang yang mencoba bertahan

    hidup dengan baik dalam kondisi sulit (best

    survivors) telah membuahkan pengertiantentang resiliensi beserta cara pengem-

    bangannya (Siebert, 2004). Menurutnyaorang-orang yang memiliki kualitas resi-

    liensi yang tinggi memiliki beberapa

    persamaan kualitas, yakni playful (suka

    bermain) dan memiliki rasa ingin tahuseperti pada anak-anak, secara konstan

    belajar dari pengalaman, beradapatasi

    dengan cepat, memiliki self-esteem dan

    kepercayaan diri yang kokoh, memilikipersahabatan yang baik dan hubungan yang

    penuh kasih, mengekpresikan perasaan

    secara jujur, mengharapkan sesuatu berjalandengan baik, mencoba mengerti orang lain

    dengan berempati, serta memiliki kapasitas

    intelektual (Turner, 2001) dan internal

    locus of control (Rouse, 1998). Dengan

    demikian, terdapat sepuluh karakteristik

    orang yang resilien.

    Playful (suka bermain) dan

    memiliki rasa ingin tahu seperti pada anak-

    anak. Ciri-cirinya mereka mengajukan

    banyak pertanyaan, untuk mengetahuibagaimana proses terjadinya sesuatu.

    Mereka memiliki waktu yang dapat

    dinikmati dengan baik hampir di seluruhtempat. Dalam arti, terkesan mereka lebih

    menikmati hidup dibandingkan dengan

    orang tidak memiliki resiliensi. Merekamengajukan pertanyaan seperti: Siapa

    yang dapat menjawab pertanyaan saya?

    Bagaimana kalau saya melakukan hal ini?.

    Terdapat juga humoritas dalam aspek ini,rasa humoritas memampukan seseorang

    untuk mendapatkan kegembiraan dari suatutragedi, mampu meredakan tegangan dan

    mencoba melihat dari perspektif yang lebih

    baik (Turner, 2001).

    Secara konstan belajar dari pengalaman.Artinya mereka secara cepat mencernapengalaman yang baru maupun yang tak

    terduga. Hal tersebut dikarenakan adanyakemauan untuk senantiasa belajar dari

    pengalaman, baik yang bersifat positif

    maupun negatif. Pertanyaan yang timbul

    dalam pikiran mereka seperti: Apakah

  • 7/26/2019 47-176-1-PB

    4/17

    Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)

    Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006105

    pelajaran yang saya dapatkan dari hal ini?

    Petunjuk apa yang terlewatkan olehku?Lain kali bila hal ini terjadi saya akan..

    Mereka memiliki serendipity(kesanggupan

    untuk menemukan suatu keterangan secara

    tidak disengaja ketika mencari sesuatu yanglain). Mereka dapat merubah dari situasi

    yang secara emosional tidak baik menjadi

    baik untuk mereka. Mereka berkembangdengan pesat dalam situasi yang menekan

    karena mendapatkan pelajaran yang baik

    dari pengalaman yang buruk. Merekamerubah ketidakberuntungan menjadi

    keberuntungan serta memperoleh kekuatan

    dari tekanan. Orang yang resilien

    cenderung tidak melewati suatu penga-

    laman tanpa mempelajari sesuatu darinya,mereka senantiasa mengambil hikmah dari

    pengalaman-pengalaman yang dialami,walaupun terkadang membutuhkan rentan

    waktu tertentu.

    Beradapatasi dengan cepat danbaik. Ciri-cirinya individu bersifat sangat

    fleksibel secara mental. Mereka mampu

    untuk bersikap keras maupun lembut,menggunakan perasaan atau menggunakan

    logika, bersikap tenang atau emosionil, dan

    sebagainya. Selain itu mereka merasa

    nyaman walau berhadapan dengan oranglain yang mempunyai kualitas kepribadian

    yang berlawanan dengan mereka. Individu

    mampu berpikir tentang hal terburuk yangmungkin terjadi dengan tujuan untukmenghindarinya sehingga memperoleh hasil

    yang terbaik. Selain itu mereka mampu

    untuk tetap sehat walaupun berada dalamlingkungan keluarga yang kacau. Hal ini

    dikarenakan peran model yang diperolehselain dari rumah, contohnya guru, orang

    tua dari teman, pelatih dan pembina agama

    (Turner, 2001).

    Memiliki self-esteem dan keper-cayaan diri yang kokoh. Self-esteem adalah

    apa yang dirasakan seseorang tentang

    dirinya. Mereka mengizinkan orang lainmemberikan pujian dan ucapan selamat

    pada mereka. Self-esteem berperan sebagai

    penahan dalam melawan pernyataan yang

    menyakitkan dan sekaligus mempelajarisesuatu dari kritik yang diterima. Self-esteem membuat mereka percaya diri dan

    memampukan mereka untuk melakukansesuatu dengan kapasitas maksimal mereka.

    Memiliki persahabatan yang baik

    dan hubungan yang penuh kasih. Penelitianmenunjukkan bahwa orang-orang yang

    bekerja dalam lingkungan yang terpolusi

    dapat lebih bertahan pada tekanan serta

    lebih jarang sakit jika mereka memilkikeluarga yang penuh kasih serta persa-

    habatan yang baik. Penyendiri lebih rentanterhadap kondisi sukar. Individu yang

    resilien senantiasa berkomunikasi dengan

    teman dan keluarga karena hal tersebut

    mengurangi akibat dari kesulitan yangdihadapi dan justru meningkatkan self-

    worth (kebenaran diri) dan self-esteem.

    Artinya mereka memiliki orang-orang yang

    peduli terhadap keberadaannya, sebagai

    hasil dari kemampuan sosialisasi merekayang baik (Rouse, 1998).

    Mengekpresikan perasaan secarajujur. Individu mengalami dan mengeks-

    presikan rasa marah, sayang, benci,

    penghargaan, sedih dan bermacam-macam bentuk emosi lainnya secara jujur

    dan terbuka. Mereka tidak berpura-pura

    dalam menunjukkan sikap mereka sehari-hari, mereka bertingkah laku apa adanya,

    artinya tidak berusaha untuk menyembu-

    nyikan suatu sikap tertentu. Walaupundemikian, mereka dapat menahan perasaan

    mereka apabila itu menjadi pilihan yang

    lebih baik. Intinya, mereka adalah orang

    yang disenangi orang banyak karenakejujuran sikap yang dimiliki.

    Mengharapkan sesuatu berjalan

    dengan baik. Individu memiliki optimisme

    tinggi yang dipimpin oleh nilai dan standarinternal individu. Mereka dapat bekerja

    tanpajob description (gambaran tentang halyang harus dilakukan), serta bersikap profe-

    sional. Mereka berusaha melakukan yang

    terbaik, sebagai timbal baliknya, mereka

    mempunyai keyakinan bahwa hal yangdikerjakan akan membawa hasil yang

    maksimal. Pertanyaan yang timbul di

    pikiran mereka seperti: Bagaimana sayadapat berinteraksi dengan hal ini sehingga

    hal ini dapat berjalan dengan baik?

    Mencoba mengerti orang lain

    dengan berempati. Ciri-cirinya adalahmencoba melihat sesuatu dari cara pandang

    orang lain. Mereka mencoba untuk berada

    di posisi tempat orang lain berada. Merekamemiliki pertanyaan-pertanyaan seperti:

  • 7/26/2019 47-176-1-PB

    5/17

    Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)

    Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006 106

    Apa yang orang lain pikirkan dan rasakan?

    Bagaimana kalau saya dalam posisimereka? Orang yang resilien senantiasa

    mencoba untuk mengerti apa yang sedang

    dirasakan orang, sekalipun ia sendiri tidak

    diberlakukan demikian sebelumnya.Memiliki kapasitas intelektual, ciri-

    cirinya mereka memiliki kemampuan

    verbal dan komunikasi yang baik sertamampu memberi ide, yang akhirnya mem-

    buat mereka dapat mengerti diri sendiri dan

    orang lain (Wolin dan Wolin, dikutip olehTurner, 2001). Mereka memiliki kemam-

    puan untuk memberi alasan dengan baik

    (Rouse, 1998). Dengan kata lain, walaupun

    tidak mempunyai IQ yang sangat tinggi,

    namun mereka termasuk pintar. Karenanya,mereka senantiasa mampu untuk meme-

    cahkan setiap masalah yang dihadapi.Internal locus of control, hal ini

    tampak pada masa remaja awal, dan

    akhirnya berlanjut pada tahap kehidupanberikutnya.Internal locus of control artinya

    suatu keyakinan bahwa seseorang mampu

    menentukan nasibnya. Keyakinan bahwahal-hal yang terjadi masih berada di bawah

    kendalinya. Hal ini merupakan kunci dari

    protective factors dari resiliensi (Blum,

    1998), yang merupakan hasil dari interaksiantara lingkungan dan kilas balik dari

    teman yang membawa remaja sampai pada

    kesadaran bahwa dirinya mempunyaidampak bagi lingkungan. Contohnya,mereka tidak cenderung menyalahkan hal-

    hal eksternal terhadap hal-hal buruk yang

    mereka alami, mereka mempunyai polapikir bahwa segalanya tetap dapat mereka

    kendalikan meskipun dalam situasi yangsangat sulit sekalipun. Internal locus of

    control ini berhubungan dengan penga-

    laman menerima bantuan yang diterima

    seseorang. Hal ini terus berkembang seiringdengan berjalannya waktu dan banyaknya

    kejadian yang dialami individu.

    Dengan menganalisis karakteristikdari orang yang resilien, secara tidak

    langsung dapat dibayangkan manfaat yang

    diperoleh bila resiliensi yang dibentuk dan

    dikembangkan dalam diri seseorang. Karak-teristik resiliensi dapat dikembangkan dan

    dibangun pada anak yang vulnerable (ren-

    tan terhadap pengaruh buruk lingkungan),sehingga pada akhirnya menghasilkan

    kompetensi kognitif dan sosial, serta

    berfungsi dengan baik di sekolah (Hiew danMatchett, 2001).

    NapzaNapza merupakan singkatan dari

    narkotika, psikotropika, alkohol dan bahan

    adiktif lainnya. Menurut Rice (1999), napzasecara umum dikategorikan dalam 6 jenis,

    narkotika, stimulan, depressants, hallucino-

    gens, ganja dan inhalant. Opium dan

    derivatenya (hasil pengolahan dari ampasopium), yaitu morfin, heroin dan codeine.

    termasuk dalam jenis narkotika. Amphe-tamine termasuk jenis stimulan. Depres-

    sants yang berfungsi sebagai obat penenangatau obat tidur antara lain adalah

    transquilizer. Jenis hallucinogens memiliki

    beberapa contoh antara lain ekstasi danLSD. Inhalant merupakan jenis napza yang

    dikonsumsi dengan cara dihirup, con-

    tohnya, cairan pembersih kutek, pelekat

    plastik, bensin, cairan pembersih, tiner danzat-zat hidrokarbon lainnya yang menye-

    babkan keracunan bila dihirup secara berle-bihan.

    Jenis-jenis napza yang paling

    banyak disalahgunakan adalah heroin,ganja, ekstasi, shabu-shabu dan amphe-

    tamine (Yayasan Cinta Anak Bangsa-

    YCAB). Berbagai penjelasan tentang jenis-

    jenis napza oleh YCAB (sebuah yayasanyang memberi rehabilitasi pada para korbanpenyalahgunaan napza) adalah sebagai

    berikut. Heroin merupakan obat terlarangyang sangat keras dengan zat adiktif tinggi

    dan dapat berbentuk butiran, tepung atau

    cairan. Salah satu jenis heroin yang popular

    saat ini adalah putauw. Heroin menye-babkan ketergantungan dengan cepat bagi

    pengkonsumsinya, baik secara fisik maupun

    mental, sehingga usaha mengurangipemakaiannya menimbulkan rasa sakit dan

    kejang-kejang bila konsumsi dihentikan.

    Ganja mengandung zat kimia yang dapatmempengaruhi perasaan, penglihatan dan

    pendengaran ketika dikonsumsi. Efek-efek

    yang ditimbulkan ganja yaitu: kehilangankonsentrasi, peningkatan denyut jantung,

    kehilangan keseimbangan dan koordinasi

    tubuh, rasa gelisah, panik, depresi,

    kebingungan atau halusinasi. Ganja dikenal

  • 7/26/2019 47-176-1-PB

    6/17

    Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)

    Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006107

    dengan istilah marijuana, gele, cimeng,

    kangkung, labang, rumput atau grass.Ekstasi termasuk zat psikotropika

    dan biasanya diproduksi secara illegal di

    dalam laboratorium dan dibuat dalam

    bentuk tablet atau kapsul. Ekstasi men-dorong tubuh seseorang bekerja di luar

    batas kemampuan fisiknya, pengerahan

    tenaga yang tinggi dan lama dapat menga-kibatkan kekeringan cairan tubuh. Hal

    tersebut menyebabkan beberapa pengguna

    ekstasi meninggal dunia karena terlalubanyak minum akibat rasa haus yang

    berlebihan. Ekstasi dikenal sebagai inex,

    kancing, dan lain-lain.

    Shabu-shabu berwujud kristal dan

    tidak berbau serta tidak berwarna, karenaitu diberi nama ice. Shabu-shabu memiliki

    efek yang sangat kuat pada jaringan saraf.Pengguna shabu-shabu akan mengalami

    ketergantungan secara mental, dan pema-

    kaian yang lama dapat menyebabkanperadangan pada otot hati dan bahkan

    kematian.

    Amphetamine (stimulan sintesis)yang dikenal dengan sebutan amphet yang

    dapat berbentuk pil, kapsul atau tepung. Zat

    ini dapat menjadi stimulan yang mengubah

    suasana hati. Tingkah laku yang kasar dananeh sering dijumpai di kalangan pemakai

    yang kronis. Efek yang ditimbulkan

    amphetamine adalah penurunan beratbadan, gelisah, penampilan seperti kurangtidur, tekanan darah tinggi, denyut jantung

    tidak beraturan, dan pingsan akibat

    kelelahan.Selain jenis-jenis napza tersebut di

    atas, rokok dan minuman beralkoholmerupakan dua jenis napza yang paling

    banyak dikonsumsi dan cepat menimbulkan

    ketergantungan (Rice, 1999). Aktivitas

    menghisap rokok merupakan tingkatkecanduan nomor satu dan sangat sulit

    untuk dihentikan. Penggunaan rokok dan

    minuman beralkohol terdapat di dua urutanteratas dari semua jenis napza dari tahun

    1982 sampai tahun 1994 pada remaja usia

    12 sampai 17 tahun. Penggunaan alkohol

    adalah penyalahgunaan minuman yangmengandung alkohol dalam jumlah tertentu

    yang mengakibatkan kerusakan secara fisik

    dan gangguan secara fisik, sosial, intelek-

    tual maupun pekerjaan. Contohnya seperti

    bir dan wine (anggur).

    Penyalahgunaan NapzaPenggunaan napza merupakan

    pemakaian zatzat seperti narkotika,psikotropika, alkohol dan zat adiktif

    lainnya. Penggunaan napza di luar daripadatujuan medis atau dalam jumlah dan

    administrasi yang tidak tepat mengacu pada

    penyalahgunaan napza (Rice, 1999).

    Menurut APA, penyalahgunaan napzamempunyai kriteria bahwa pemakaian zat-

    zat dilakukan secara berkala dan berke-

    sinambungan dalam jangka waktu pema-

    kaian minimal 12 bulan. Zat-zat yangdisalahgunakan termasuk alkohol, amphe-

    tamine (stimulan sintetis), kafein, ganja,

    kokain, halusinogen, inhalant, nikotin,opium,phencyclidinedan obat penenang.

    Berdasarkan DSM IV-TR (APA,

    2000) pengkonsumsian obat-obatan yang

    dikategorikan penyalahgunaan napza mini-mal mempunyai satu dari karakteristik

    berikut: (a) penggunaan zat mengakibatkankegagalan dalam memenuhi tuntutan peran

    utama dalam pekerjaan, sekolah atau rumah

    (performansi kerja yang rendah ataupunburuk, dan ketidakpedulian terhadap anak

    ataupun rumah tangga berkenaan dengan

    pemakaian obat-obatan, selain itu ketidak-

    hadiran, pendisiplinan bahkan pengeluarandari sekolah bagi yang masih bersekolah),(b) penggunaan zat-zat secara berulangkali

    dalam situasi yang membahayakan fisik(mengendarai mobil atau mengoperasikan

    mesin selagi dalam pengaruh napza),

    (c) penggunaan obat-obatan secara berulang

    kali yang mengakibatkan keterlibatandalam masalah hukum (contoh: ditahan

    karena tingkah laku yang merusak akibat

    penyalahgunaan napza), (d) terus menerusmenggunakan zat walaupun berulang kali

    mengalami masalah sosial maupun interper-

    sonal dan bahkan semakin memburuk.

    Sikap remaja awal terhadap peng-

    gunaan napzaAllport (dikutip oleh Franzoi, 2003)

    berpendapat bahwa sikap merupakan

    pondasi dasar dari bangunan ilmu

    psikologi sosial Amerika. Alasan dasar

  • 7/26/2019 47-176-1-PB

    7/17

    Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)

    Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006 108

    mengapa konsep sikap menjadi sangat

    popular dikarenakan tujuan dari ilmupsikologi adalah untuk mempelajari tingkah

    laku, dan konsep sikap dianggap turut

    mempengaruhi tingkah laku seseorang

    (Franzoi, 2003). Dengan demikian, sikapseorang remaja terhadap penggunaan napza

    akan turut mempengaruhi tindak nyatanya

    terhadap penggunaan napza. Jenis-jenisnapza yang dimaksudkan adalah rokok,

    minuman beralkohol, ganja dan lain-lain.

    Sikap terhadap penggunaan napza meru-pakan berbagai nilai, kepercayaan dan

    perasaan yang menjadi penunjuk besarnya

    derajat seseorang menyukai atau tidak

    menyukai penggunaan napza, yang turut

    mempengaruhi tingkah lakunya terhadappenggunaan napza.

    Apabila sikap terhadap penggunaannapza positif maka remaja mempunyai

    kecenderungan menggunakan napza. Hal

    ini misalnya dikarenakan keyakinan bahwapenggunaan napza tidak membahayakan

    jiwanya dan lagipula membuatnya berani

    berbicara sehingga lebih percaya diri.Sebaliknya, apabila remaja misalnya yakin

    bahwa penggunaan napza memiliki resiko

    tinggi maka sikapnya terhadap penggunaan

    napza akan melemah dan cenderungbersifat negatif terhadap penggunaan napza.

    Resiliensi pada RemajaRisk factors dan protective factors

    merupakan konsep dasar dari resiliensi.Individu yang memiliki risk factors sajaatau protective factors saja, tidak dapat

    dikatakan bersifat resilien. Karena sese-

    orang dikatakan memiliki resiliensi apabila

    ia mempunyai kedua hal tersebut. Dengankata lain bila seseorang dihadapkan pada

    risk factors namun ia memiliki protective

    factors, maka hal ini membuatnya dapatberadapatasi dan mampu menanggulangi

    masalah secara memadai (Yockey, 2001).

    Dengan demikian, bagi remaja yang resilienkehadiran risk factors tidak secara langsung

    berakibat fatal karena tersedia protective

    factors bagi dirinya. Selain itu, resiliensi

    bukanlah kualitas yang telah selesai (tidak

    akan berubah lagi), melainkan terusberkembang seiring dengan waktu dan

    keadaan yang dihadapi. Hal tersebutdihasilkan dengan terdapatnya keseim-

    bangan antara risk factors dan protectivefactors.

    Salah satu situasi yang memiliki

    resiko tinggi (risk factors) bagi remaja yang

    menjadi perhatian dalam penelitian ini

    adalah penggunaan napza. Dari penelitianEhlers, Wall, Garcia-Andrade, dan Philips(dikutip oleh Hurdle, 2003) diketahuibahwa penyalahgunaan alkohol dan napza

    merupakan merupakan risk factors yang

    sangat kuat terhadap perkembangan psiko-

    sosial remaja penduduk asli bagian baratAmerika Selatan. Pada penelitian Farrell

    dan White (dikutip oleh Ungar, 2004), yang

    melakukan observasi terhadap aktivitas

    penggunaan napza pada remaja, ditemukan

    bahwa interaksi antara orang tua dan anakdalam kualitas kehidupan keluarga meru-

    pakan aspek penting. Ungar (2004)menyatakan bahwa kehadiran orang tua pria

    memberi dampak yang positif, yakni

    sebagai pelindung terhadap pengaruh temansebaya yang negatif, dan sekaligus mem-

    bentuk identitas anak. Hal ini disebabkan

    perkembangan identitas anak memerlukankebutuhan-kebutuhan struktur dan model

    remaja dan hal ini bergantung pada orang

    tua (Pettit, Laird, Dodge, Bates, dan Criss,dikutip oleh Ungar, 2004). Hal tersebut

    berfungsi sebagaiprotective factors.

    Penelitian Moon, Jackson, dan

    Hecht (2000) menunjukkan bahwa hadirnyaresiliensi memainkan peran yang besardalam proses pertahanan terhadap peng-

    gunaan napza. Menurut hasil penelitian

    Hawkins, Catalino, dan Miller (dikutip olehLosel, 1994) terdapat beberapa perbedaan

    antara risk factors dan protective factorspada penyalahgunaan napza remaja dalam

    aspek tingkah laku, keluarga, teman sebaya

    serta budaya. Pada aspek tingkah laku,

    bentuk risk factor-nya adalah perlawananterhadap otoritas dan agresivitas, bentuk

    protective factor-nya adalah memiliki

    kemampuan coping (mengatasi masalah)yang memadai. Pada aspek keluarga, risk

    factor-nya adalah adanya pemakaian napza

    di lingkungan keluarga, sedangkan pro-tective factor-nya adalah adanya parental

    bonding (ikatan terhadap orang tua). Pada

    aspek teman sebaya risk factor-nya adalah

    memiliki teman sebaya yang menggunakannapza, sedangkan protective factor-nya

  • 7/26/2019 47-176-1-PB

    8/17

    Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)

    Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006109

    adalah penolakan teman sebaya terhadap

    penggunaan napza. Aspek terakhir yaituaspek budaya mempunyai risk factor yaitu

    tersedianya napza secara mudah, sedangkan

    protective factor-nya adalah mempunyai

    norma kelompok yang benar dan positif.

    Metode Penelitian

    Subjek PenelitianSubjek pada penelitian ini adalah

    siswa-siswi yang bersekolah di SLTP X.

    Subjek tidak dibatasi oleh suku bangsa,jenis kelamin, status sosial ekonomi, status

    kesehatan, dan agama. Jumlah keseluruhan

    murid sekolah adalah 208 orang. Sedang-

    kan jumlah subjek penelitian adalah 101orang. Pengambilan sampel penelitian

    berdasarkan teknik convinience sampling.

    Gambaran subjek penelitian dapatdilihat berdasarkan usia, jenis kelamin,

    jenjang pendidikan, jumlah sahabat, jumlah

    saudara kandung serta jumlah anggotakeluarga di rumah. Berdasarkan usia,

    diperoleh data subjek penelitian dengan

    usia minimal 11 tahun dan usia maksimaladalah 14 tahun. Rentang usia ini sudah

    sesuai dengan karakteristik subjek yang

    telah ditentukan oleh penulis. Rata-rata usia

    subjek penelitian adalah 13 tahun, denganstandar deviasi sebesar 1,16. Berdasarkan

    tabel 2, diketahui subjek yang berusia 11

    tahun berjumlah 6 orang (5.9%), subjekyang berusia 12 tahun berjumlah 31 orang(30.7%), subjek yang berusia 13 tahun

    berjumlah 45 orang (44.5%) dan subjekyang berusia 14 tahun berjumlah 19 orang

    (18.8%). Gambaran selengkapnya dapat

    dilihat pada tabel 1.

    Berdasarkan jenis kelamin, subjekpenelitian yang berjenis kelamin laki-laki

    berjumlah 56 orang (55.4%). Sedangkansubjek dengan jenis kelamin perempuan

    berjumlah 45 orang (44.6%). Gambaran

    selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.

    Tabel 1

    Gambaran subjek berdasarkan usia

    Usia Frekuensi Persentase

    11

    1213

    14

    6

    3145

    19

    5,9

    30,744,5

    18,8

    Total 101 100,0

    Sumber: Hasil Pengolahan Data

    Tabel 2Gambaran subjek berdasarkan jenis Kelamin

    Jenis kelamin Frekuensi Persentase (%)

    Laki-laki 56 55,4

    Perempuan 45 44,6

    Total 101 100.00

    Sumber: Hasil Pengolahan Data

    PengukuranPengukuran variabel resiliensi

    dilakukan dengan mengukur dimensiprotective factors, risk factors serta

    personal factors. Butir-butir pada kuesionerdisusun berdasarkan batasan konseptual,

    batasan operasional, dimensi, sub dimensidan indikator resiliensi. Dimensi variabel

    resiliensi yang digunakan berjumlah tigadimensi dan terdiri dari tujuh sub dimensi.

    Pengukuran resiliensi disusun

    berdasarkan skala Likert yang terdiri dari

    lima alternatif jawaban. Penilaian dilakukandengan memisahkan butir positif dan butir

    negatif. Pada butir positif penilaiandimensiprotective factors,dimensi risk factors, dan

    dimensi personal factors adalah sama, SS

    (Sangat Setuju) bernilai 5, S (Setuju)

    bernilai 4, RR (Ragu-ragu) bernilai 3, TS

    (Tidak Setuju) bernilai 2, dan STS (Sangat

    Tidak Setuju) bernilai 1. Sedangkan pada

    butir negatif penilaian dimensi protectivefactors, dimensi risk factors, dan dimensi

    personal factors adalah sebaliknya, SS(Sangat Setuju) bernilai 1, S (Setuju)

    bernilai 2, RR (Ragu-ragu) bernilai 3, TS(Tidak Setuju) bernilai 4, dan STS (Sangat

    Tidak Setuju) bernilai 5.

    Skor total yang diperoleh dari

    variabel resiliensi merupakan gabungandari skor yang diperoleh dari tiga dimensi

    resiliensi. Penjelasan perolehan skor darimasing-masing dimensi dalam adalah

    sebagai berikut: semakin tinggi skor

    resiliensi artinya subjek cenderungmemiliki hal-hal yang menjadi indikator

    protective factors dan personal factors, di

    antaranya yaitu: peran model positif dari

    orang dewasa, aktivitas atau hobi, self-esteem yang baik, sikap positif terhadap

    peraturan sekolah, sikap positif terhadapkepolisian, tingkah laku terbuka terhadap

  • 7/26/2019 47-176-1-PB

    9/17

    Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)

    Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006 110

    dukungan yang diterima dalam menger-

    jakan tugas sekolah, memiliki struktur danperaturan di keluarga dan memperoleh

    dukungan dan bimbingan di keluarga.

    Walaupun di pihak lain, subjek memiliki

    indikator-indikator risk factors sepertimemiliki keluarga dan teman sebaya yang

    menggunakan napza, memiliki tingkat

    kehadiran yang rendah di sekolah, mengha-dapi kesulitan di sekolah, merupakan ang-

    gota suatu geng atau memiliki teman

    sebaya yang merupakan anggota dari suatugeng dan mengalami penolakan oleh teman

    sebaya di sekolah.

    Sebaliknya, semakin rendah skor

    resilensi, mempunyai arti bahwa semakin

    kecil jumlah indikator protective factorsdan personal factors yang dimiliki subjek.

    Indikator-indikator tersebut di antaranyaseperti peran model positif dari orang

    dewasa, aktivitas atau hobi, self-esteemyang baik, sikap positif terhadap peraturansekolah, sikap positif terhadap kepolisian,

    tingkah laku terbuka terhadap dukungan

    yang diterima dalam mengerjakan tugassekolah, memiliki struktur dan peraturan di

    keluarga dan memperoleh dukungan dan

    bimbingan di keluarga. Selain itu, subjek

    juga memiliki jumlah risk factors yangrendah, artinya individu berada pada

    kondisi yang cenderung kurang merupakan

    indikator risk factors. Kondisi risk factorsseperti memiliki keluarga dan teman sebayayang menggunakan napza, memiliki tingkat

    kehadiran yang rendah di sekolah, mengha-

    dapi kesulitan di sekolah, merupakananggota suatu geng atau memiliki teman

    sebaya yang merupakan anggota dari suatugeng dan mengalami penolakan oleh teman

    sebaya di sekolah.

    Dari hasil pengujian dengan

    menggunakan SPSS 12.0, untuk dimensi

    protective factors, diperoleh nilai koefisien

    Alpha Cronbach sebesar 0.769 dengan

    jumlah butir sebanyak 17 butir. Sedangkanuntuk dimensi risk factors, diperoleh nilai

    koefisien Alpha Cronbach sebesar 0.848

    dengan jumlah butir sebanyak 17 butir.

    Untuk dimensi personal factors, diperolehnilai koefisien Alpha Cronbach sebesar

    0.820 dengan jumlah butir sebanyak 33

    butir.

    Pengukuran variabel sikap terhadap

    penggunaan napza disusun berdasarkanbatasan konseptual dan batasan operasional.

    Alat ukur variabel sikap terhadap peng-

    gunaan napza diperoleh dari wawancara

    atau elisitasi terhadap beberapa subjek yangmenghasilkan pernyataan-pernyataan umum

    tentang sikap terhadap penggunaan napza.Keseluruhan siswa berjumlah 40 orang

    siswa kelas I sampai III SLTP, terdiri dari

    18 orang laki-laki dan 22 orang perempuan.

    Pernyataan-pernyataan yang dipakai hanya-lah pernyataan yang termasuk dalam 75%

    jawaban yang sering muncul. Dari masing-

    masing pertanyaan yang diajukan diperoleh

    21 jawaban, 75% dari pertanyaan pertama,

    yaitu tentang alasan-alasan seseorangmenggunakan napza atau obat terlarang

    diperoleh 11 buah jawaban urutan teratas.Sedangkan untuk pertanyaan kedua, tentang

    dampak negatif dari penggunaan napza

    diperoleh 6 buah jawaban urutan teratas.Pengukuran sikap terhadap peng-

    gunaan napza disusun berdasarkan skala

    Likert yang terdiri dari tujuh alternatifjawaban. Penilaian dilakukan dengan

    memisahkan butir positif dan butir negatif.

    Pada butir positif penilaian sikap terhadappenggunaan napza (outcome evaluations),

    dari kiri ke kanan Sungguh Sangat

    bernilai 1, Sangat bernilai 2, Agak

    bernilai 3, Ragu-ragu bernilai 4, Agakbernilai 5, Sangat bernilai 6, danSungguh Sangat bernilai 7. Sedangkan

    pada butir negatif, penilaian dari kiri ke

    kanan adalah sebaliknya, Sungguh Sangatbernilai 7, Sangat bernilai 6, Agak

    bernilai 5, Ragu-ragu bernilai 4, Agakbernilai 3, Sangat bernilai 2, dan Sung-

    guh Sangat bernilai 1. Selain itu, penilaian

    kekuatan dari sikap (belief strength) adalah

    nilai sesungguhnya, 0 bernilai 0, 1bernilai 1, 2 bernilai 2 dan 3 bernilai 3.

    Skor sikap terhadap penggunaan napza

    adalah skor total yang diperoleh dari alatukur sikap terhadap penggunaan napza.

    Skor ini merupakan hasil perkalian dari

    skor yang diperoleh dari butir-butir

    pernyataan tentang sikap terhadap peng-gunaan napza (outcome evaluations)

    dengan skor keyakinan (belief strength)

    subjek terhadap tiap pernyataan tentangsikap terhadap penggunaan napza. Semakin

  • 7/26/2019 47-176-1-PB

    10/17

    Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)

    Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006111

    positif sikap terhadap penggunaan napza,

    artinya subjek memiliki sikap yang kuatterhadap penggunaan napza, antara lain

    bahwa penggunaan napza tidak dapat

    menyebabkan kecanduan, tidak merusak

    kesehatan dan tidak menyebabkan masadepan yang suram. Hal ini secara tidak

    langsung memberi prediksi bahwa di waktu

    yang akan datang terdapat kecenderungansubjek untuk tidak anti atau tidak menutup

    diri terhadap penggunaan napza. Sedang-

    kan apabila subjek memiliki sikap yangnegatif terhadap penggunaan napza, artinya

    subjek memiliki sikap yang lemah terhadap

    penggunaan napza atau tidak yakin bahwa

    penggunaan napza antara lain dapat

    mengatasi rasa stres, dapat membuat subjekditerima oleh lingkungannya atau dapat

    membuat subjek disukai oleh teman-teman.Hal ini secara tidak langsung memberi

    prediksi bahwa di waktu yang akan datang

    terdapat kecenderungan subjek untukmenutup diri bahkan menentang peng-

    gunaan napza.

    Pengujian reliabilitas dilakukandengan bantuan SPSS 12.0. Uji reliabilitas

    dengan internal reliability disertai dengan

    analisis butir. Butir yang memiliki nilai

    korelasi minimal 0.2 akan dibuang satu persatu untuk memperoleh hasil korelasi di

    atas ataupun sama dengan 0.2. Untuk alat

    ukur sikap terhadap penggunaan napza,diperoleh nilai koefisien Alpha Cronbachsebesar 0.889.

    ProsedurPengambilan data dengan penye-

    baran kuesioner sebanyak tiga kali

    dilakukan pada hari Sabtu, 20 Agustus2005, masing-masing dari pukul 08.00

    sampai 08.40 WIB kelas di kelas I SLTP,

    pukul 08.45 sampai 09.15 WIB di kelas IISLTP dan pukul 09.45 - 10.20 WIB di kelas

    III SLTP. Penelitian dilakukan dengan

    menyebarkan kuesioner lengkap yangterdiri dari kata pengantar, data kontrol, alat

    ukur resiliensi dan alat ukur sikap terhadap

    penggunaan napza kepada subjek, yaitu

    siswa-siswi SLTP. Penulis mendatangi

    subjek pada ruang kelas, memintakesediaan waktu selama 30 menit untuk

    mengisi kuesioner.

    Sesudah memberikan instruksi

    singkat, penulis membagikan kuesionerkepada masing-masing siswa. Kemudian

    penulis menjelaskan petunjuk-petunjuk

    pengisian kuesioner langkah demi langkah.

    Penulis mengawasi proses pengisiankuesioner sampai selesai, memberikan

    penjelasan secara individual bagi yangmengacungkan tangan dan mengumpulkan

    kembali seluruh kuesioner yang telah diisi.

    Dari tiga kali pengumpulan data, diperoleh

    data dari 101 orang subjek.

    Hasil Penelitian

    Gambaran ResiliensiGambaran resiliensi terbagi men-

    jadi tiga dimensi, dimensi protective

    factors, dimensi risk factors serta dimensi

    personal factors. Pengolahan data resiliensiadalah berdasarkan skor masing-masing

    dimensi resiliensi yang ada. Hasil rata-rata

    skor protective factors yang diperolehadalah 3.76 (s=0.48). Bila dibandingkan

    dengan titik tengah alat ukur yaitu 3

    (rentang skor 15), maka hasil yang diper-oleh adalah skor tinggi. Hal ini menun-

    jukkan bahwa subjek mempunyai peran

    model positif dari orang dewasa, seperti

    anggota keluarga, guru, pembina ataupuntokoh idola lainnya, subjek memiliki

    aktivitas atau hobi, baik di bidang olahraga,

    seni maupun kegiatan ibadah. Sedangkanhasil rata-rata cenderung rendah diperolehdari skor risk factors, yaitu 2.71 (s=0.68)

    dari titik tengah alat ukur sebesar 3 (rentangskor 15). Hal ini menunjukkan bahwa

    subjek cenderung berada dalam lingkungan

    yang kondusif terhadap penggunaan napza.

    Penggunaan napza ditemukan dalam ling-kungan keluarga dan teman sebaya subjek.

    Subjek cenderung menghadapi kesulitan disekolah, serta memiliki teman sebaya atau

    teman bermain yang beranggotakan dalam

    suatu kelompok geng dan mengalami peno-

    lakan oleh teman sebaya di sekolah.Hasil rata-rata skor personal

    factors yang diperoleh adalah 3.48

    (s=0.38). Bila dibandingkan dengan titiktengah alat ukur yaitu 3 (rentang skor 15),

    maka hasil yang diperoleh adalah skor

    tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa subjek

    mempunyai self-esteem yang baik dalam

  • 7/26/2019 47-176-1-PB

    11/17

    Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)

    Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006 112

    segi kompetensi kognitif, kompetensi fisik,

    kompetensi sosial dan penampilan fisik.Subjek memiliki sikap yang positif

    terhadap peraturan kepolisian, peraturan

    sekolah, dan memiliki tingkah laku positif

    terhadap dukungan yang diterima dalammengerjakan tugas sekolah.

    Jadi secara umum subjek tergolong

    resilien karena memiliki rata-rata skor

    protective factors dan personal factorsyang cukup tinggi yaitu 3.76 dan 3.48 dan

    risk factors cenderung rendah yaitu 2.71dari titik tengah alat ukur yaitu 3. Artinya,

    walaupun subjek masih dikelilingi oleh

    indikator risk factors namun di pihak lain,

    subjek tetap digolongkan resilien karena

    memiliki protective factors dan personalfactors yang tinggi dan bersifat menyeim-

    bangkan.

    Gambaran Sikap terhadap Peng-

    gunaan NapzaRata-rata skor yang diperoleh untuk

    variabel sikap terhadap penggunaan napza

    adalah 4.8 (s=2.84). Bila dibandingkandengan titik tengah alat ukur yaitu 0

    (rentang skor 9 sampai +9), maka skor

    rata-rata sikap terhadap penggunaan napza

    cenderung rendah. Hal ini menunjukkanbahwa subjek memiliki sikap yang cen-

    derung negatif terhadap penggunaan napza.

    Artinya, subjek memiliki sikap yang lemahterhadap penggunaan napza atau tidakyakin bahwa penggunaan napza dapat

    mengatasi rasa stres, dapat membuat subjekditerima oleh lingkungannya atau dapat

    membuat subjek disukai oleh teman-teman.

    Korelasi antara Resiliensi dan Sikap

    terhadap Penggunaan NapzaKeseluruhan variabel yang ada di

    penelitian yaitu tiga dimensi dari resiliensiyaitu protective factors, risk factors danpersonal factors serta sikap terhadap

    penggunaan napza telah melalui ujinormalitas dan hasilnya semua berdistribusi

    normal. Hasil uji normalitas menunjukkanbahwa protective factors mempunyai nilai

    signifikansi sebesar 0.692, risk factorsmempunyai nilai signifikansi sebesar 0.709,

    personal factors mempunyai nilai signi-fikansi sebesar 0.865, serta sikap terhadap

    penggunaan napza mempunyai nilai

    signifikansi sebesar 0.248.Hasil perhitungan korelasi antara

    resiliensi dan sikap terhadap penggunaan

    napza diolah berdasarkan masing-masing

    dimensi resiliensi. Skor resiliensi diperolehdari kombinasi penjumlahan skor dimensi

    protective factors, risk factors danpersonalfactors yang telah terstandarisasi (T-Score).

    Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai

    korelasi antara resiliensi dan sikap terhadap

    penggunaan napza adalah rxy (99) = 0.159, p> 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak

    ada hubungan antara resiliensi dan sikap

    terhadap penggunaan napza. Artinya sema-

    kin tinggi resiliensi yang dimiliki subjek,

    belum tentu semakin negatif sikap subjekterhadap penggunaan napza, ataupun

    sebaliknya.

    Korelasi antara Resiliensi (per

    dimensi) dan Sikap terhadap Peng-

    gunaan NapzaKorelasi antara resiliensi dimensi

    protective factors dan sikap terhadappenggunaan napza adalah rxy (99) = 0.048, p

    > 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak

    ada hubungan antara dimensi protective

    factors dan sikap terhadap penggunaan

    napza. Protective factors yang terdiri dari

    sub dimensi yaitu peran model positif dari

    orang dewasa dan kepemilikan aktivitasatau hobi. Artinya, semakin subjek memi-

    liki peran model positif dari orang dewasa

    termasuk anggota keluarga, guru, tokoh

    idola dan lain-lain, ataupun subjek memilikiaktivitas atau hobi, misalnya di bidang seni,

    olahraga dan terlibat dalam kegiatan

    religius (beribadah secara rutin menurutkeyakinan masing-masing), belum tentu

    semakin negatif sikap terhadap penggunaannapza yang dimiliki subjek.

    Korelasi antara resiliensi dimensi riskfactors adalah rxy (99) = 0.304, p < 0.01.

    Hal ini menunjukkan bahwa terdapathubungan antara dimensi risk factors dan

    sikap terhadap penggunaan napza. Dengandemikian, semakin tinggi risk factors, yaitu

    subjek memiliki keluarga dan teman sebaya

    yang menggunakan napza, memiliki tingkat

    kehadiran yang rendah di sekolah, mengha-

    dapi kesulitan di sekolah, merupakan ang-

  • 7/26/2019 47-176-1-PB

    12/17

    Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)

    Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006113

    gota suatu geng atau memiliki teman

    sebaya yang merupakan anggota dari suatugeng dan mengalami penolakan oleh teman

    sebaya di sekolah, maka semakin positif

    sikap subjek terhadap penggunaan napza.

    Korelasi antara resiliensi dimensi

    personal factorsadalah rxy (99) = -0.053, p

    > 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak

    ada hubungan antara dimensi personal

    factors dan sikap terhadap penggunaan

    napza. Artinya, semakin subjek memiliki

    hal-hal seperti harga diri (self-esteem) yangbaik, yang mencakup kompetensi secara

    kognitif; fisik dan sosial serta keyakinan

    yang positf akan penampilan fisiknya, sikap

    yang positif baik terhadap peraturan

    sekolah maupun peraturan kepolisian, sikapterbuka terhadap dukungan yang diterima

    dalam mengerjakan tugas sekolah, strukturdan peraturan di keluarga, serta dukungan

    dan bimbingan dari keluarga, belum tentu

    semakin negatif sikap subjek terhadappenggunaan napza.

    Resiliensi dan Sikap terhadap

    Penggunaan Napza berdasarkan UsiaBerdasarkan hasil analisis didapat-

    kan bahwa ada hubungan antara resiliensidan usia subjek, rxy (99) = 0.286, p < 0.01.

    Dengan demikian berarti, semakin tinggi

    usia subjek, maka semakin tinggi tingkat

    resiliensi yang dimiliki.Dari hasil analisis, didapatkan pula

    bahwa ada hubungan antara sikap terhadap

    penggunaan napza dan usia subjek, rxy (99)

    = 0.286, p < 0.01. Dengan demikian berarti,tidak ada hubungan antara sikap terhadap

    penggunaan napza dan usia subjek.

    Resiliensi dan Sikap terhadap Peng-

    gunaan Napza berdasarkan Jenis

    kelaminRata-rata skor resiliensi pada

    subjek laki-laki adalah 51.67 (s=9.65) danpada subjek perempuan adalah 47.93

    (s=10.14). Berdasarkan hasil analisis, kedua

    rata-rata tersebut tidak berbeda secara

    signifikan, t(99) = 1.89, p > 0.05.

    Rata-rata skor sikap terhadappenggunaan napza pada subjek laki-laki

    adalah 52.06 (s=10.28) dan pada subjekperempuan adalah 47.43 (s=9.10).

    Berdasarkan hasil analisis, kedua rata-rata

    tersebut tidak berbeda secara signifikan,t(99) = 2.36, p > 0.05.

    PembahasanHasil penelitian menunjukkan

    bahwa tidak ada hubungan antara resiliensi

    dengan sikap terhadap penggunaan napza.Artinya resiliensi subjek tidak secara

    langsung menentukansikap subjek terhadap

    penggunaan napza. Protective factors

    ternyata tidak berhubungan dengan sikapterhadap penggunaan napza. Artinya,

    walaupun subjek yang memiliki peran

    model positif dari orang dewasa, memiliki

    aktivitas atau hobi, dan terlibat dalamkegiatan religius, hal tersebut tidak berhu-

    bungan dengan pembentukan sikap yang

    negatif terhadap penggunaan napza.Dengan demikian terdapat kemungkinan

    sikap subjek tetap positif terhadap peng-

    gunaan napza dan subjek tetap tertarik

    untuk mencoba-coba menggunakan napza.Hal ini mungkin disebabkan bahwa ada

    tidaknya peran model positif dari orangdewasa ataupun kepemilikan aktivitas atau

    hobi tertentu tidak menjadi jaminan untuk

    seseorang membentuk sikap tertentu(positif atau negatif) terhadap penggunaan

    napza.

    Namun risk factors dan sikap

    terhadap penggunaan napza ternyata mem-punyai hubungan yang positif. Artinya,semakin tinggi risk factors, yaitu subjek

    mempunyai indikator-indikator risk factorsmaka semakin positif sikap subjek terhadap

    penggunaan napza. Sebaliknya, semakin

    rendah risk factors maka semakin negatif

    sikap subjek terhadap penggunaan napza.Subjek dengan risk factors tinggi memberi

    beberapa indikasi. Pertama, subjek yang di

    lingkungannya terdapat keluarga, temansebaya yang mencoba-coba atau meng-

    gunakan napza. Hal ini secara tidak lang-

    sung membentuk sikap yang cenderungsetuju terhadap penggunaan napza karena

    pengaruh dari lingkungan tersebut. Kedua,

    subjek mempunyai tingkat kehadiran yangrendah di sekolah dan sering menghadapi

    kesulitan di sekolah. Hal ini membuka

    peluang untuk seseorang mencoba-coba

    napza dengan anggapan awal bahwa peng-gunaan napza dapat menyelesaikan masalah

  • 7/26/2019 47-176-1-PB

    13/17

    Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)

    Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006 114

    atau menghilangkan tekanan walaupun

    hanya bersifat sementara. Ketiga, subjekmerupakan anggota dari suatu kelompok

    geng dan atau memiliki teman sebaya yang

    terlibat dalam kelompok geng dan atau

    mengalami penolakan oleh teman sebaya disekolah. Hal-hal tersebut menjadi pemicu

    dari sikap yang positif terhadap penggunaan

    napza, apalagi bila ternyata teman-temanse-gengnya adalah pengguna napza. Seba-

    liknya, semakin negatif risk factors, atau

    semakin sedikit subjek memiliki hal-halyang menjadi indikator risk factors, maka

    semakin negatif sikap subjek terhadap

    penggunaan napza. Indikator-indikator risk

    factors seperti: memiliki keluarga dan

    teman sebaya yang menggunakan napza,memiliki tingkat kehadiran yang rendah di

    sekolah, menghadapi kesulitan di sekolah,merupakan anggota suatu geng atau

    memiliki teman sebaya yang merupakan

    anggota dari suatu geng dan mengalamipenolakan terhadap teman sebaya di

    sekolah.

    Personal factors ternyata tidakberhubungan dengan sikap terhadap peng-

    gunaan napza. Subjek yang memiliki

    personal factorsmempunyai beberapa indi-

    kasi, memiliki harga diri (self-esteem)tinggi, yang mencakup kompetensi secara

    kognitif, fisik dan sosial serta keyakinan

    akan penampilan fisiknya. Selain itu subjekmemiliki sikap yang positif baik terhadapperaturan sekolah maupun peraturan

    kepolisian, maupun terhadap dukungan

    yang diterima dalam mengerjakan tugassekolah yang ditunjukkan lewat tingkah

    laku. Hal tersebut ternyata tidak berhu-bungan dengan pembentukan sikap yang

    negatif terhadap penggunaan napza.

    Jadi, kepemilikanprotective factors

    dan personal factors sebagai indikasi dariseseorang yang resiliensi ternyata tidak

    berhubungan dengan pembentukan suatu

    sikap terhadap penggunaan napza. Walau-pun demikian, seseorang yang memiliki

    risk factors menunjukkan sikap yang positif

    terhadap penggunaan napza. Pesan implisit

    dari penelitian ini adalah bahwa, hal-halyang positif yang diperoleh seseorang dari

    protective factors dan personal factors

    tidak berhubungan dengan pembentukansikap yang tentunya diharapkan negatif

    terhadap penggunaan napza. Dengan

    demikian hasil penelitian Moon, Jacksondan Hecht, (2000) yang membuktikan

    bahwa protective factors memainkan pera-

    nan yang besar di samping kehadiran risk

    factors dalam proses pencegahan terhadappenggunaan napza tidak terbukti di pene-

    litian ini.Hal yang harus diperhatikan dalam

    membentuk sikap yang negatif terhadap

    penggunaan napza (sehingga mencegah

    tingkah laku mencoba-coba atau meng-gunakan napza) ternyata bukan pada usaha

    penyediaan protective factors dan personalfactors semata-mata, melainkan dengan

    menjauhkan dan menghindarkan seseorang

    dari risk factors yang berpotensi untukmembentuk sikap yang cenderung positif

    terhadap penggunaan napza. Berarti, pene-litian Werner, Garmezy dan Rutter (dikutip

    oleh Blum, 1998) yang menyatakan bahwa

    subjek yang diteliti tidak terpengaruh olehdampak negatif dari lingkungan tidak

    terbukti di penelitian ini.

    Selain itu, sikap terhadap penggu-naan napza dan pengalaman dengan napza

    ternyata mempunyai hubungan yang positif.

    Artinya, semakin positif sikap terhadap

    penggunaan napza, semakin besar penga-laman subjek terhadap penggunaan napza.

    Sebaliknya, semakin negatif sikap terhadap

    penggunaan napza maka semakin kecilpengalaman subjek terhadap penggunaannapza. Hal ini memberi indikasi bahwa

    seseorang yang memiliki sikap yang positif

    terhadap penggunaan napza terkesan telahmempunyai pengalaman yang lebih banyak

    tentang napza karena sikap positif tersebut.Pengalaman terhadap penggunaan napza

    dilihat dari sisi mengetahui, mencium,

    menyentuh dan bahkan mencoba jenis-jenis

    napza seperti rokok, minuman beralkohol,ganja, ekstasi, morfin dan lain-lain. Hal ini

    menambah informasi bahwa alat ukur sikap

    terhadap penggunaan napza bersifat valid(atau mengukur apa yang hendak diukur)

    karena subjek yang memiliki sikap yang

    positif terhadap penggunaan napza

    seharusnya cenderung mempunyai penga-laman yang lebih banyak tentang napza dan

    sebaliknya subjek yang memiliki sikap

    yang negatif terhadap penggunaan napza

  • 7/26/2019 47-176-1-PB

    14/17

    Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)

    Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006115

    seharusnya cenderung mempunyai penga-

    laman yang minim tentang napza.

    KesimpulanDari hasil pengolahan data,

    diketahui bahwa secara umum tidak terda-pat hubungan antara resiliensi dan sikap

    terhadap penggunaan napza. Hal tersebutberarti, subjek yang memiliki resiliensi,

    belum tentu mempunyai sikap yang negatif

    atau positif terhadap penggunaan napza.

    Hasil pengolahan data per dimensi dariresiliensi dengan sikap terhadap peng-

    gunaan napza sebagai berikut:

    1. Tidak terdapat hubungan antaraprotec-

    tive factors dan sikap terhadappenggunaan napza.

    2.

    Terdapat hubungan positif antara risk

    factors dengan sikap terhadap peng-gunaan napza. Artinya, semakin tinggi

    risk factorsmaka semakin positif sikap

    terhadap penggunaan napza yang

    dimiliki oleh subjek. Sebaliknya, sema-kin rendah risk factors maka semakin

    negatif sikap terhadap penggunaannapza yang dimiliki oleh subjek.

    3.

    Tidak terdapat hubungan antara

    personal factors dan sikap terhadappenggunaan napza.

    Secara keseluruhan, dari 3 (tiga)

    dimensi resiliensi, hanya risk factors yang

    berhubungan secara positif dengan sikapterhadap penggunaan napza. Sedangkan 2(dua) dimensi resiliensi lainnya tidak

    berhubungan dengan sikap terhadap peng-gunaan napza. Dan dapat disimpulkan

    secara garis besar, bahwa tidak ada

    hubungan antara resiliensi dengan sikap

    terhadap penggunaan napza.

    Daftar PustakaAjzen, I., & Fishbein, M, Understanding

    attitudes and predicting social

    behavior Prentice-Hall, Inc, NJ,

    1980.

    Allen, L. (1 April 2004). Bouncing back:

    How to develop resiliency through

    outcame-based recreation

    programs. Diakses 23 November

    2004, www.highbeam.com/library/

    doc3.asp.

    Andrews, D. W. (1997). Understanding

    adolescent problem behavior,

    diakses 23 November 2004,

    www.highbeam.com/library/doc3.

    asp.

    American Psychiatric Association,Diagnostic and statistical manual

    of mental disorders, (4th ed.,text-

    revision), Washington D. C, 2000.

    Azwar, S, Sikap manusia: Teori dan

    pengukurannya, (edisi ke-2).

    Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1995.

    Badan Narkotika Nasional-RepublikIndonesia, Perkembangan kasus

    narkoba di Indonesia, BadanNarkotika Nasional-Republik

    Indonesia, Jakarta, 2004.

    Badan Narkotika Nasional-Republik

    Indonesia, Peran orang tua dalam

    mengatasi masalah penyalahgunaannarkoba,. Badan Narkotika

    Nasional-Republik Indonesia,

    Jakarta, 2004.

    Balanon, T. G, Integrating child centered

    approaches in childrens work,

    Program on Psychosocial Traumaand Human Rights UP Center forIntegrative and Development

    Studies, Phillipiness, 2002.

    Baron, R. A., & Byrne, D. C, Social

    psychology, (10th ed.), PearsonEducation, Inc, Ney York, 2004.

    Benard, B, The foundations of the

    resiliency framework: From

    research to practic, diakses 23

    November 2004, www.resiliency.

    com/htm/ research.htm

    Blum, R. W. M, Health youth

    development as a model for youth

    health promotion, Journal of

    Adolescent Health, 22, 368-375,

    Society for Adolescent Medicine,

    New York, 1998.

  • 7/26/2019 47-176-1-PB

    15/17

    Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)

    Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006 116

    Christantie, J. I., & Hartanti, Hubungan

    antara persepsi terhadap jurusan A-1, A-2, A-3 dan motif berprestasi

    dengan prestasi belajar,Anima, 12(47),1997.

    Daradjat, Z, Remaja: Harapan dan

    tantangan, Rohani, Jakarta, 1993.

    Davies, D, Child development: A

    pratitioners guide, The Guilford

    Press, New York, 1999.

    Dayakisni, T., & Hudaniah, Psikologi

    sosial, Buku 1, UMM Press,

    Malang, 2003.

    Dishion, T. J., & Owen, L. D,

    Longitudinal analysis offriendships and substance use:

    Bidirectional influence from

    adolescence to adulthood,Journal

    of Developmental Psychology, 38,

    480-491, 2002.

    Finsterbusch, K, Taking sides: Dashing

    views on controversial social

    issues, (10th ed.), McGraw-Hill,

    New York, 1999.

    Franzoi, S. L, Social psychology, (3rd

    ed.), McGraw-Hill, Boston, 2003.

    Forum, Bocahpun berjualan narkoba,.

    Diakses 7 Juli 2005, http://

    www.bnn.go.id, 2005.

    Fuligni, A. J., Barber, B. L., Eccles, J. S. &Clements, P, Early adolescent

    peer orientation and adjustment

    during high school, Journal of

    Developmental,37, 28-36, 2001.

    Galinsky, M. J, Risk, protection, and

    resilience: Toward a conceptualframe work for social work practice.

    Social Work Research, diakses 7

    Juli 2005, www.highbeam.com/

    library/doc3.asp, 1999.

    Gerungan, W. A, Psikologi sosial,.

    Rafika Aditama, Bandung, 2002.

    Grotberg, E. H, A guide to promotingresilience in children: Strengh-

    tening the human spirit, Bernard

    van Leer Foundation, Den Haag,

    1995.

    Grotberg, E. H, Tapping you inner

    strength: How to find the resilience

    to deal with anything, New

    Harbinger Publications, Inc,

    Canada, 1999.

    Grotberg, E. H, The International

    resilience project: Research and

    application, diakses 23 November

    2004, http://resilnet.uiuc.edu/

    library/ grotb96a.html., 2004.

    Gunarsa, Y. S. D., & Gunarsa, S. D,Psikologi Remaja, BPK Gunung

    Mulia, Jakarta, 2001.

    Harter, S, Developmental, diakses 23

    November 2004, http://www.du.

    edu/psychology/people/harter. htm.,2003.

    Henderson, N., & Milstein, M. M,Resiliency in schools: Making it

    happen for students and

    educators, (updated edition),

    Thousand Oaks, Corwin Press, CA,2003.

    Hiew, C. C, Social support, social

    competence, and parental bonding

    in promoting resilience child

    responses to adversity, Dipresen-tasikan pada: The International

    Congress of Psychology, Beijing,

    1995.

    Hiew, C. C., & Matchett, K, Resilience

    measurement: Using a resilience

    scale, Fredericton, University ofNew Brunswick, CA, 2001.

    Hiew, C. C, Resilience, self-regulation andhealth, Dipresentasikan pada

    International Congress of

    Psychology, Beijing, 2004.

  • 7/26/2019 47-176-1-PB

    16/17

    Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)

    Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 200611

    Hurdle, D. E, Resiliency factors related tosubstance use/ resistence:

    Perceptions of native adolescents

    of the southwest, Journal ofSociology and Social Welfare.

    Retrieved November 23, 2004,from www.highbeam.com/ library/

    doc3.asp2003.

    Jaccard, J., Blanton, H., & Dodge, T, Peer

    influences on risk behavior: An

    analysis of the effects of a close

    friend, Journal of Developmental

    Psychology, 41, 135-147, 2005.

    Johnson, D. W, Reaching out:

    Interpersonal effectiveness and

    self-actualization, (5th ed.), Allyn

    & Bacon, Boston, 1993.

    Jung, J, Psychology of alcohol and otherdrug: A research perspective,Thousand Oaks, Sage Publications,

    Inc, CA, 2001.

    Kindle, E, Women and the importance of

    self esteem, diakses 23 November

    2004, http://www.lifefokuscenter.

    com.html., 2003.

    Maisto, S. A., Galizzo, M., & Connors , G.

    J, Drug use and abuse, (4th

    ed.).Wadsworth, Thomson Learning,CA, 2004.

    Mangham, C., McGrath, P., Reid, G., &Stewart, M, Resiliency: Relevance to

    health promotion, diakses 23November 2004, from http://www.hc-

    sc.gc.ca/hppb/alcohol-

    therdrugs/pube/resilncy/discus.htm.,

    1995.

    Merriam-Webster Online, Retrieved July

    7, 2005, from http://www.m-w.com/home.htm., 2005.

    Moon, D. G., Jackson, K. M., & Hecht, M.

    L, Family risk and resiliency

    factors, substance use, and the drug

    resistance process in adolescence,

    Journal of drug education, 30 (4),

    hlm. 373-398. Retrieved November

    23, 2004, from

    http://www.drugabuse.gov/DirReports/DirRep501/DirectorReport5.htm

    .2000.

    Myers, D. G, Social psychology, (4thed.),McGraw-Hill, New York, 1993.

    Myers, D. G, Exploring social

    psychology, (3th ed.), McGraw-

    Hill, New York, 2004.

    Neufldt, V, Websters new world college

    dictionary, (3th ed.), Macmillan,

    New York, 1996.

    Panduan bagi orang tua untuk mengatasimasalah narkoba, Yayasan Cinta

    Anak Bangsa

    Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R.

    D, Human development, (7th

    ed.)., McGraw-Hill, New York,

    1998.

    Raising Resilient Kids, Resilience and

    futurists: Changing the lives of our

    children, diakses 23 November,2004, .,2004.

    Raising Resilient Kids, What is

    resilience?, diakses 23 November2004, http://www.raisingresilientkids.com/resources/articles/

    futurists.html., 2004.

    Ranew, L. F., & Serritella, D. A,

    Substance abuse and addiction:

    Handbook of differential treatments

    for addictions,Needham Heights,

    Allyn & Bacon, MA, 1992.

    Reivich, K., & Shatte, A, The resilience

    factor: 7 essential skills to

    overcoming lifes inevitableobstacles, Broadway Book, New

    York, 2002.

    Resiliency Center, Resiliency in

    individuals, families &

    communities: Overall concept,

    diakses 7 Juli 2005,

  • 7/26/2019 47-176-1-PB

    17/17

    Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)

    Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006 118

    http://www.resiliencycenter.com/

    welcome.shtml., 2005.

    Resiliency In Action, Inc., Retrieved

    November 23, 2004, from

    http://www.resiliency.com., 2004.

    Rice, F. P, Intimate relationships,marriage & families, (4th).

    Mountain View, Mayfield

    Publishing Company, CA, 1999.

    Rice, F. P., & Dolgin, K.G, The

    adolescent: Development,

    relationships & culture, (10th

    ed.), Allyn & Bacon, Boston, 2002.

    Romach, M., & Parker, K, Relapse.

    Encyclopedia of drugs andalcohol, vol 3, 908-909,

    Macmillan Library Reference,

    Baltimore, 1995.

    Rouse, K. A. G, Resilience from povertyand stress, Human development

    and family life bulletin: A review of

    research and practice vol 4, issue

    1. diakses 23 November 2004,

    www.highbeam.com/library/doc3.asp 1998.

    Santrock, J. W, Adolescence, (7th

    ed.,McGraw-Hill, Boston, 1998.

    Santrock, J. W, Psychology, McGraw-

    Hill, New York, 2003.

    Sarafino, E. P, Health psychology:Biopsychosocial interaction, (2

    nd

    ed.), John Wiley and Sons, New

    York, 1994.

    Sarwono, S. W, Psikologi remaja,RajaGrafindo, Jakarta, 1997.

    Shaffer, D. R, Developmental psychology:

    Childhood and adolescence, (6th

    ed.). Belmont, Wadsworth/

    Thomson Learning, CA, 2002.

    Siebert, A, How resilient are you?

    Qualities of highly resilient

    people. Diakses 23 November

    2004, http://www.cascadecenter.com/assessments/ee_resiliency_

    results.html., 2004.

    Siliman, Resilience minimises risk,diakses 23 November 2004,

    www.highbeam.com/library/doc3.asp

    Tugade, M. M., & Fredrickson, B. L.

    Resilient individuals use positive

    emotions to bounce back from

    negative emotional experiences,

    Journal of Personality and Social

    Psychology, 86, 320-333, 2004.

    Turner, S. G, Resilience and social work

    practice: Three case studies,diakses 23 November 2004,

    www.highbeam.com/library/doc3.a

    sp

    Ungar, M, The importance of parents and

    other caregivers to the resilience of

    high-risk adolescents, Retrieved

    November 23, 2004, from

    www.highbeam.com/library/doc3.asp.

    Vandiver, T. A,Risk and protective factors

    among youth offenders,diakses 23November 2004, from

    www.highbeam.com/library/doc3.a

    sp

    Woolfolk, A, Educational psychology,(9th ed.), Pearson Education, Inc,

    New York, 2004.Yockey, R. D, Correlates of resilience in

    homeless adolescents,Journal of

    Nursing Scholarship, 2001.

    Retrieved November 23, 2004, from

    www.highbeam.com/library/doc3.asp.