47-176-1-pb
TRANSCRIPT
-
7/26/2019 47-176-1-PB
1/17
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006 102
RESILIENSI DAN SIKAP TERHADAP PENYALAHGUNAAN ZAT
(STUDI PADA REMAJA)
P. Tommy Y. S. Suyasa, Farida Wijaya
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, JakartaMahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta
ABSTRACT
This research aimed to find out correlation between resiliency and attitudes toward
substance abuse. This research also hope to bring out more details about relationship
between resiliency dimension and attitudes toward substance abuse. Dimensions of
resiliency are protective factors, risk factors and personal factors. Subjects are
students of Junior High School (N=101). Data collected using two measurement: one
to measure resiliency and other to measure attitudes toward substance abuse. Data
analyzed using product moment correlation from Pearson. The result suggested that
from 3 dimensions of resiliency, 1 of them found out to have positive correlation withattitudes toward substance abuse, while the other 2 did not have correlation.
Generally, concluded that there is no correlation between resiliency and attitudes
toward substance abuse.
Keywords:Resiliency, attitude,substance abuse
PendahuluanPenyalahgunaan napza perlu
menjadi perhatian segenap pihak karena
kecepatannya dalam menimbulkan keter-gantungan serta sukarnya dalam menangani
dan menyembuhkan ketergantungan terse-
but. Dari data statistik Badan NasionalNarkoba -RI diketahui bahwa 15.000 orang
Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat
mengkonsumsi napza (Forum, 2005).Kerugian dari segi ekonomi hingga tahun
2009 yang disebabkan penyalahgunaan
napza diperkirakan akan mencapai Rp. 46,5
triliun. Selain itu, penyalahgunaan napza diIndonesia semakin banyak dimulai berkisar
pada usia 10 tahun, pada umumnya korban
berusia 15 sampai 25 tahun yakni remaja.
Dalam arti, remaja menjadi sasaran utamadari kejahatan penyalahgunaan napza.
Alasan seorang remaja untuk mulaimencoba napza dapat bersifat ekternalmaupun internal. Hal-hal eksternal dapat
berupa penyalahgunaan napza oleh teman
sebaya maupun keluarga. Sedangkanfaktor-faktor internal yang menjadi alasan
umum untuk penyalahgunaan napza antara
lain: rasa ingin tahu, pemberontakan atauekspresi dari ketidakpuasan terhadap nor-
ma, nilai dan tekanan dari lingkungansosial, untuk kesenangan semata-mata,
untuk meredakan ketegangan dan kekha-
watiran, atau untuk menghadapi masalah(Rice, 1999). Walaupun faktor eksternal
dan internal memperbesar kecenderungan
penyalahgunaan napza dalam diri seorang
remaja, namun penelitan Orbell dan kole-ganya (Baron dan Byrne, 2004) membuk-
tikan bahwa sikap seorang remaja sejakawal akan menentukan kecenderungan
subjek dalam menggunakan atau tidak
menggunakan napza.
Faktor-faktor internal dan eksternalyang mempengaruhi penyalahgunaan napza
tersebut merupakan risk factors dalam
konsep resiliensi. Individu yang memiliki
risk factors saja atauprotective factors saja,tidak dapat dikatakan bersifat resilien.
Karena seseorang dikatakan memiliki resi-liensi apabila ia mempunyai kedua hal
tersebut. Dengan kata lain, apabila terdapat
keseimbangan antara risk factors dan pro-tective factors, dan hadirnya personal
factors, mengindikasikan seseorang yangresilien.
Penanganan terhadap penyalahgu-naan napza adalah lebih kompleks diban-
-
7/26/2019 47-176-1-PB
2/17
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006103
dingkan pencegahannya. Secara ilustrasi,
penanganan terhadap penyalahgunaannapza dapat digambarkan dengan tim ban-
tuan yang menyediakan mobil ambulan di
bawah jurang sebuah tebing terjal dan siap
untuk mengobati korban yang terjatuh kejurang. Namun tindakan yang lebih baik
adalah mencegah terjadinya penyalah-
gunaan napza, yang dapat diilustrasikandengan tim bantuan yang menaiki ke atas
jurang dan memagari sekeliling jurang
untuk mencegah terjadinya korban(Hawkins dan Catalano, dikutip oleh Blum,
1998). Resiliensi dan sikap yang negatif
terhadap penggunaan napza masing-masing
merupakan hal yang berperan dalam
tindakan pencegahan terhadap penggunaannapza.
Sikap seseorang mempengaruhicara ia bertingkah laku. Sikap yang negatif
terhadap penggunaan napza akan mengha-
dirkan tingkah laku yang menjauhi napza,artinya tidak mencoba-coba napza jenis
apapun. Sebaliknya sikap yang positif
terhadap penggunaan napza akan mengha-dirkan tingkah laku yang tidak menjauhi
napza, artinya seseorang akan kompromi
dan membuka kesempatan untuk mencoba-
coba napza karena faktor-faktor yangberasal dari diri sendiri ataupun dari
lingkungan sekitarnya.
Indikasi resilien yang dimilikiseorang remaja dapat mencegahnya mela-kukan penggunaan napza. Sebagai contoh,
seorang remaja yang mempunyai teman-
teman yang menawarkan napza (risk
factors), namun karena terdapat norma
kedisiplinan kuat serta adanya penerimaanaspirasi remaja oleh keluarganya (protec-
tive factors), maka remaja tersebut tetap
berada dalam kondisi resilien. Dalam arti,
remaja tersebut akan mempunyai konsepberpikir, jika ia menerima tawaran untuk
menggunakan napza, ia akan ditentang oleh
keluarganya. Remaja yang diterima aspira-sinya dengan baik dalam keluarga cende-
rung menghindari hal tersebut. Jadi,
resiliensi pada diri seorang remaja mampu
memprediksikan sikap negatif remaja terha-dap penggunaan napza.
Dengan demikian, remaja yang
memiliki resiliensi mampu menangkalpengaruh negatif dari penyalahgunaan
napza yang disebabkan faktor internal
maupun eksternal. Artinya, remaja tersebutakan membentuk sikap yang negatif
terhadap penggunaan napza dengan salah
satu contoh: tidak pernah mau mencoba-
coba napza. Namun hal ini hanya sebataspemikiran, belum teruji kebenarannya.
Dengan alasan tersebutlah penelitian inidilakukan.
ResiliensiDewasa ini banyak peneliti yang
memilih istilah resiliensi atau stress resis-
tence (ketahanan terhadap tekanan) dari-
pada invulnerability (kebal atau tak dapat
dikalahkan). Kamus Merriam Webster(2005) mengartikan resiliensi sebagai the
capability of a (strained) body to recover its
site and shape after deformator causalespecially by compressives stress yaitu
kemampuan suatu benda untuk menegang
(melenting), kemudian memperoleh kem-
bali tempat dan bentuknya setelah melaluiakibat perusakan bentuk, khususnya oleh
tekanan yang sangat luar biasa. Hal inisesuai dengan kata dasar resiliensi yang
berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa
Inggris bermakna to jump (or bounce) back,artinya melompat atau melenting kembali
(Resiliency Center, 2004).Dengan memiliki resiliensi, terda-
pat lebih besar kecenderungan seseoranguntuk menghadapi, mengatasi bahkankeluar dari tekanan yang mengelilinginya.
Seorang remaja usia 15 tahun yang telahmengikuti pengajaran tentang resiliensi
selama enam bulan mendefinisikan resi-
liensi sebagai bouncing back from
problems and stuff with more power and
more smarts yang berarti melenting keluar
dari masalah-masalah dan kesesakan
dengan kekuatan dan kecerdasan yang lebihbesar dibandingkan yang dimiliki sebe-
lumnya (Resiliency In Action, Inc., 2004).
Tekanan hidup merupakan hal yangtidak terkecuali dialami semua individu,
namun yang membedakan antara individu
yang satu dan lainnya adalah padakeberhasilan dalam beradaptasi dengan
tekanan-tekanan. Werner dan Smith
(dikutip oleh Balanon, 2002) mendefi-
nisikan resiliensi sebagai successful
adaptation to stressful life events yang
-
7/26/2019 47-176-1-PB
3/17
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006 104
berarti keberhasilan beradaptasi dengan
situasi menekan dalam hidup. Losel bahkan(dikutip oleh Balanon, 2002) mendefi-
nisikan resiliensi sebagai good outcomedespite high-risk status and sustaining
competence under threat. Hal ini berartibahwa status yang memiliki resiko tinggi
sekalipun mampu memberi dampak yang
baik bagi orang yang resilien, bahkanmembuatnya semakin kompeten.
Faktor-faktor yang memperburuk
kondisi seseorang disebut dengan istilahfaktor-faktor beresiko. Turner (dikutip oleh
Balanon, 2002) berpendapat bahwa
interaksi dinamis antara risk factors (faktor-
faktor beresiko) dan protective factors
(faktor-faktor pelindung) sebagai hasiladapatasi akan memampukan seseorang
untuk menjadi resilien. Protective factorsadalah faktor-faktor yang menjadi pelin-
dung, yang berperan dalam menurunkan
dampak dari risk factors dalam kehidupanseseorang.
Resiliensi merupakan proses inte-
raksi antara faktor individual dan ling-kungan yang memberi hasil yang baik
sementara menghadapi penderitaan hidup
(Rutter, dikutip oleh Balanon, 2002).
Richardson, Neiger, Jensen, dan Kumpfer(dikutip oleh Henderson dan Milstein,
2003) mendefinisikan resiliensi sebagai
the process of coping with disruptive,stressful, or challenging life events in a way
that provides the individual with additional
protective and coping skills that prior to the
disruption that results from the eventyakni proses mengatasi masalah seperti
gangguan, kekacauan, tekanan atau tan-tangan hidup, yang pada akhirnya mem-
bekali individu dengan perlindungan
tambahan dan kemampuan untuk mengatasi
masalah sebagai hasil dari situasi yangdihadapi.
Dari definisi-definisi yang dipero-
leh dari beberapa sumber, penulis menarikkesimpulan bahwa resiliensi adalah inte-
raksi dinamis antara risk factors (faktor-
faktor beresiko) dan protective factors(faktor-faktor pelindung) sebagai hasiladaptasi yang diperoleh secara individual
maupun dari lingkungan, yang memam-
pukan seseorang untuk mengembangkandiri menuju ke arah yang lebih baik.
Tinjauan Teori
Karakteristik orang yang resilienPenelitian sepanjang 30 tahun ter-
hadap orang-orang yang mencoba bertahan
hidup dengan baik dalam kondisi sulit (best
survivors) telah membuahkan pengertiantentang resiliensi beserta cara pengem-
bangannya (Siebert, 2004). Menurutnyaorang-orang yang memiliki kualitas resi-
liensi yang tinggi memiliki beberapa
persamaan kualitas, yakni playful (suka
bermain) dan memiliki rasa ingin tahuseperti pada anak-anak, secara konstan
belajar dari pengalaman, beradapatasi
dengan cepat, memiliki self-esteem dan
kepercayaan diri yang kokoh, memilikipersahabatan yang baik dan hubungan yang
penuh kasih, mengekpresikan perasaan
secara jujur, mengharapkan sesuatu berjalandengan baik, mencoba mengerti orang lain
dengan berempati, serta memiliki kapasitas
intelektual (Turner, 2001) dan internal
locus of control (Rouse, 1998). Dengan
demikian, terdapat sepuluh karakteristik
orang yang resilien.
Playful (suka bermain) dan
memiliki rasa ingin tahu seperti pada anak-
anak. Ciri-cirinya mereka mengajukan
banyak pertanyaan, untuk mengetahuibagaimana proses terjadinya sesuatu.
Mereka memiliki waktu yang dapat
dinikmati dengan baik hampir di seluruhtempat. Dalam arti, terkesan mereka lebih
menikmati hidup dibandingkan dengan
orang tidak memiliki resiliensi. Merekamengajukan pertanyaan seperti: Siapa
yang dapat menjawab pertanyaan saya?
Bagaimana kalau saya melakukan hal ini?.
Terdapat juga humoritas dalam aspek ini,rasa humoritas memampukan seseorang
untuk mendapatkan kegembiraan dari suatutragedi, mampu meredakan tegangan dan
mencoba melihat dari perspektif yang lebih
baik (Turner, 2001).
Secara konstan belajar dari pengalaman.Artinya mereka secara cepat mencernapengalaman yang baru maupun yang tak
terduga. Hal tersebut dikarenakan adanyakemauan untuk senantiasa belajar dari
pengalaman, baik yang bersifat positif
maupun negatif. Pertanyaan yang timbul
dalam pikiran mereka seperti: Apakah
-
7/26/2019 47-176-1-PB
4/17
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006105
pelajaran yang saya dapatkan dari hal ini?
Petunjuk apa yang terlewatkan olehku?Lain kali bila hal ini terjadi saya akan..
Mereka memiliki serendipity(kesanggupan
untuk menemukan suatu keterangan secara
tidak disengaja ketika mencari sesuatu yanglain). Mereka dapat merubah dari situasi
yang secara emosional tidak baik menjadi
baik untuk mereka. Mereka berkembangdengan pesat dalam situasi yang menekan
karena mendapatkan pelajaran yang baik
dari pengalaman yang buruk. Merekamerubah ketidakberuntungan menjadi
keberuntungan serta memperoleh kekuatan
dari tekanan. Orang yang resilien
cenderung tidak melewati suatu penga-
laman tanpa mempelajari sesuatu darinya,mereka senantiasa mengambil hikmah dari
pengalaman-pengalaman yang dialami,walaupun terkadang membutuhkan rentan
waktu tertentu.
Beradapatasi dengan cepat danbaik. Ciri-cirinya individu bersifat sangat
fleksibel secara mental. Mereka mampu
untuk bersikap keras maupun lembut,menggunakan perasaan atau menggunakan
logika, bersikap tenang atau emosionil, dan
sebagainya. Selain itu mereka merasa
nyaman walau berhadapan dengan oranglain yang mempunyai kualitas kepribadian
yang berlawanan dengan mereka. Individu
mampu berpikir tentang hal terburuk yangmungkin terjadi dengan tujuan untukmenghindarinya sehingga memperoleh hasil
yang terbaik. Selain itu mereka mampu
untuk tetap sehat walaupun berada dalamlingkungan keluarga yang kacau. Hal ini
dikarenakan peran model yang diperolehselain dari rumah, contohnya guru, orang
tua dari teman, pelatih dan pembina agama
(Turner, 2001).
Memiliki self-esteem dan keper-cayaan diri yang kokoh. Self-esteem adalah
apa yang dirasakan seseorang tentang
dirinya. Mereka mengizinkan orang lainmemberikan pujian dan ucapan selamat
pada mereka. Self-esteem berperan sebagai
penahan dalam melawan pernyataan yang
menyakitkan dan sekaligus mempelajarisesuatu dari kritik yang diterima. Self-esteem membuat mereka percaya diri dan
memampukan mereka untuk melakukansesuatu dengan kapasitas maksimal mereka.
Memiliki persahabatan yang baik
dan hubungan yang penuh kasih. Penelitianmenunjukkan bahwa orang-orang yang
bekerja dalam lingkungan yang terpolusi
dapat lebih bertahan pada tekanan serta
lebih jarang sakit jika mereka memilkikeluarga yang penuh kasih serta persa-
habatan yang baik. Penyendiri lebih rentanterhadap kondisi sukar. Individu yang
resilien senantiasa berkomunikasi dengan
teman dan keluarga karena hal tersebut
mengurangi akibat dari kesulitan yangdihadapi dan justru meningkatkan self-
worth (kebenaran diri) dan self-esteem.
Artinya mereka memiliki orang-orang yang
peduli terhadap keberadaannya, sebagai
hasil dari kemampuan sosialisasi merekayang baik (Rouse, 1998).
Mengekpresikan perasaan secarajujur. Individu mengalami dan mengeks-
presikan rasa marah, sayang, benci,
penghargaan, sedih dan bermacam-macam bentuk emosi lainnya secara jujur
dan terbuka. Mereka tidak berpura-pura
dalam menunjukkan sikap mereka sehari-hari, mereka bertingkah laku apa adanya,
artinya tidak berusaha untuk menyembu-
nyikan suatu sikap tertentu. Walaupundemikian, mereka dapat menahan perasaan
mereka apabila itu menjadi pilihan yang
lebih baik. Intinya, mereka adalah orang
yang disenangi orang banyak karenakejujuran sikap yang dimiliki.
Mengharapkan sesuatu berjalan
dengan baik. Individu memiliki optimisme
tinggi yang dipimpin oleh nilai dan standarinternal individu. Mereka dapat bekerja
tanpajob description (gambaran tentang halyang harus dilakukan), serta bersikap profe-
sional. Mereka berusaha melakukan yang
terbaik, sebagai timbal baliknya, mereka
mempunyai keyakinan bahwa hal yangdikerjakan akan membawa hasil yang
maksimal. Pertanyaan yang timbul di
pikiran mereka seperti: Bagaimana sayadapat berinteraksi dengan hal ini sehingga
hal ini dapat berjalan dengan baik?
Mencoba mengerti orang lain
dengan berempati. Ciri-cirinya adalahmencoba melihat sesuatu dari cara pandang
orang lain. Mereka mencoba untuk berada
di posisi tempat orang lain berada. Merekamemiliki pertanyaan-pertanyaan seperti:
-
7/26/2019 47-176-1-PB
5/17
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006 106
Apa yang orang lain pikirkan dan rasakan?
Bagaimana kalau saya dalam posisimereka? Orang yang resilien senantiasa
mencoba untuk mengerti apa yang sedang
dirasakan orang, sekalipun ia sendiri tidak
diberlakukan demikian sebelumnya.Memiliki kapasitas intelektual, ciri-
cirinya mereka memiliki kemampuan
verbal dan komunikasi yang baik sertamampu memberi ide, yang akhirnya mem-
buat mereka dapat mengerti diri sendiri dan
orang lain (Wolin dan Wolin, dikutip olehTurner, 2001). Mereka memiliki kemam-
puan untuk memberi alasan dengan baik
(Rouse, 1998). Dengan kata lain, walaupun
tidak mempunyai IQ yang sangat tinggi,
namun mereka termasuk pintar. Karenanya,mereka senantiasa mampu untuk meme-
cahkan setiap masalah yang dihadapi.Internal locus of control, hal ini
tampak pada masa remaja awal, dan
akhirnya berlanjut pada tahap kehidupanberikutnya.Internal locus of control artinya
suatu keyakinan bahwa seseorang mampu
menentukan nasibnya. Keyakinan bahwahal-hal yang terjadi masih berada di bawah
kendalinya. Hal ini merupakan kunci dari
protective factors dari resiliensi (Blum,
1998), yang merupakan hasil dari interaksiantara lingkungan dan kilas balik dari
teman yang membawa remaja sampai pada
kesadaran bahwa dirinya mempunyaidampak bagi lingkungan. Contohnya,mereka tidak cenderung menyalahkan hal-
hal eksternal terhadap hal-hal buruk yang
mereka alami, mereka mempunyai polapikir bahwa segalanya tetap dapat mereka
kendalikan meskipun dalam situasi yangsangat sulit sekalipun. Internal locus of
control ini berhubungan dengan penga-
laman menerima bantuan yang diterima
seseorang. Hal ini terus berkembang seiringdengan berjalannya waktu dan banyaknya
kejadian yang dialami individu.
Dengan menganalisis karakteristikdari orang yang resilien, secara tidak
langsung dapat dibayangkan manfaat yang
diperoleh bila resiliensi yang dibentuk dan
dikembangkan dalam diri seseorang. Karak-teristik resiliensi dapat dikembangkan dan
dibangun pada anak yang vulnerable (ren-
tan terhadap pengaruh buruk lingkungan),sehingga pada akhirnya menghasilkan
kompetensi kognitif dan sosial, serta
berfungsi dengan baik di sekolah (Hiew danMatchett, 2001).
NapzaNapza merupakan singkatan dari
narkotika, psikotropika, alkohol dan bahan
adiktif lainnya. Menurut Rice (1999), napzasecara umum dikategorikan dalam 6 jenis,
narkotika, stimulan, depressants, hallucino-
gens, ganja dan inhalant. Opium dan
derivatenya (hasil pengolahan dari ampasopium), yaitu morfin, heroin dan codeine.
termasuk dalam jenis narkotika. Amphe-tamine termasuk jenis stimulan. Depres-
sants yang berfungsi sebagai obat penenangatau obat tidur antara lain adalah
transquilizer. Jenis hallucinogens memiliki
beberapa contoh antara lain ekstasi danLSD. Inhalant merupakan jenis napza yang
dikonsumsi dengan cara dihirup, con-
tohnya, cairan pembersih kutek, pelekat
plastik, bensin, cairan pembersih, tiner danzat-zat hidrokarbon lainnya yang menye-
babkan keracunan bila dihirup secara berle-bihan.
Jenis-jenis napza yang paling
banyak disalahgunakan adalah heroin,ganja, ekstasi, shabu-shabu dan amphe-
tamine (Yayasan Cinta Anak Bangsa-
YCAB). Berbagai penjelasan tentang jenis-
jenis napza oleh YCAB (sebuah yayasanyang memberi rehabilitasi pada para korbanpenyalahgunaan napza) adalah sebagai
berikut. Heroin merupakan obat terlarangyang sangat keras dengan zat adiktif tinggi
dan dapat berbentuk butiran, tepung atau
cairan. Salah satu jenis heroin yang popular
saat ini adalah putauw. Heroin menye-babkan ketergantungan dengan cepat bagi
pengkonsumsinya, baik secara fisik maupun
mental, sehingga usaha mengurangipemakaiannya menimbulkan rasa sakit dan
kejang-kejang bila konsumsi dihentikan.
Ganja mengandung zat kimia yang dapatmempengaruhi perasaan, penglihatan dan
pendengaran ketika dikonsumsi. Efek-efek
yang ditimbulkan ganja yaitu: kehilangankonsentrasi, peningkatan denyut jantung,
kehilangan keseimbangan dan koordinasi
tubuh, rasa gelisah, panik, depresi,
kebingungan atau halusinasi. Ganja dikenal
-
7/26/2019 47-176-1-PB
6/17
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006107
dengan istilah marijuana, gele, cimeng,
kangkung, labang, rumput atau grass.Ekstasi termasuk zat psikotropika
dan biasanya diproduksi secara illegal di
dalam laboratorium dan dibuat dalam
bentuk tablet atau kapsul. Ekstasi men-dorong tubuh seseorang bekerja di luar
batas kemampuan fisiknya, pengerahan
tenaga yang tinggi dan lama dapat menga-kibatkan kekeringan cairan tubuh. Hal
tersebut menyebabkan beberapa pengguna
ekstasi meninggal dunia karena terlalubanyak minum akibat rasa haus yang
berlebihan. Ekstasi dikenal sebagai inex,
kancing, dan lain-lain.
Shabu-shabu berwujud kristal dan
tidak berbau serta tidak berwarna, karenaitu diberi nama ice. Shabu-shabu memiliki
efek yang sangat kuat pada jaringan saraf.Pengguna shabu-shabu akan mengalami
ketergantungan secara mental, dan pema-
kaian yang lama dapat menyebabkanperadangan pada otot hati dan bahkan
kematian.
Amphetamine (stimulan sintesis)yang dikenal dengan sebutan amphet yang
dapat berbentuk pil, kapsul atau tepung. Zat
ini dapat menjadi stimulan yang mengubah
suasana hati. Tingkah laku yang kasar dananeh sering dijumpai di kalangan pemakai
yang kronis. Efek yang ditimbulkan
amphetamine adalah penurunan beratbadan, gelisah, penampilan seperti kurangtidur, tekanan darah tinggi, denyut jantung
tidak beraturan, dan pingsan akibat
kelelahan.Selain jenis-jenis napza tersebut di
atas, rokok dan minuman beralkoholmerupakan dua jenis napza yang paling
banyak dikonsumsi dan cepat menimbulkan
ketergantungan (Rice, 1999). Aktivitas
menghisap rokok merupakan tingkatkecanduan nomor satu dan sangat sulit
untuk dihentikan. Penggunaan rokok dan
minuman beralkohol terdapat di dua urutanteratas dari semua jenis napza dari tahun
1982 sampai tahun 1994 pada remaja usia
12 sampai 17 tahun. Penggunaan alkohol
adalah penyalahgunaan minuman yangmengandung alkohol dalam jumlah tertentu
yang mengakibatkan kerusakan secara fisik
dan gangguan secara fisik, sosial, intelek-
tual maupun pekerjaan. Contohnya seperti
bir dan wine (anggur).
Penyalahgunaan NapzaPenggunaan napza merupakan
pemakaian zatzat seperti narkotika,psikotropika, alkohol dan zat adiktif
lainnya. Penggunaan napza di luar daripadatujuan medis atau dalam jumlah dan
administrasi yang tidak tepat mengacu pada
penyalahgunaan napza (Rice, 1999).
Menurut APA, penyalahgunaan napzamempunyai kriteria bahwa pemakaian zat-
zat dilakukan secara berkala dan berke-
sinambungan dalam jangka waktu pema-
kaian minimal 12 bulan. Zat-zat yangdisalahgunakan termasuk alkohol, amphe-
tamine (stimulan sintetis), kafein, ganja,
kokain, halusinogen, inhalant, nikotin,opium,phencyclidinedan obat penenang.
Berdasarkan DSM IV-TR (APA,
2000) pengkonsumsian obat-obatan yang
dikategorikan penyalahgunaan napza mini-mal mempunyai satu dari karakteristik
berikut: (a) penggunaan zat mengakibatkankegagalan dalam memenuhi tuntutan peran
utama dalam pekerjaan, sekolah atau rumah
(performansi kerja yang rendah ataupunburuk, dan ketidakpedulian terhadap anak
ataupun rumah tangga berkenaan dengan
pemakaian obat-obatan, selain itu ketidak-
hadiran, pendisiplinan bahkan pengeluarandari sekolah bagi yang masih bersekolah),(b) penggunaan zat-zat secara berulangkali
dalam situasi yang membahayakan fisik(mengendarai mobil atau mengoperasikan
mesin selagi dalam pengaruh napza),
(c) penggunaan obat-obatan secara berulang
kali yang mengakibatkan keterlibatandalam masalah hukum (contoh: ditahan
karena tingkah laku yang merusak akibat
penyalahgunaan napza), (d) terus menerusmenggunakan zat walaupun berulang kali
mengalami masalah sosial maupun interper-
sonal dan bahkan semakin memburuk.
Sikap remaja awal terhadap peng-
gunaan napzaAllport (dikutip oleh Franzoi, 2003)
berpendapat bahwa sikap merupakan
pondasi dasar dari bangunan ilmu
psikologi sosial Amerika. Alasan dasar
-
7/26/2019 47-176-1-PB
7/17
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006 108
mengapa konsep sikap menjadi sangat
popular dikarenakan tujuan dari ilmupsikologi adalah untuk mempelajari tingkah
laku, dan konsep sikap dianggap turut
mempengaruhi tingkah laku seseorang
(Franzoi, 2003). Dengan demikian, sikapseorang remaja terhadap penggunaan napza
akan turut mempengaruhi tindak nyatanya
terhadap penggunaan napza. Jenis-jenisnapza yang dimaksudkan adalah rokok,
minuman beralkohol, ganja dan lain-lain.
Sikap terhadap penggunaan napza meru-pakan berbagai nilai, kepercayaan dan
perasaan yang menjadi penunjuk besarnya
derajat seseorang menyukai atau tidak
menyukai penggunaan napza, yang turut
mempengaruhi tingkah lakunya terhadappenggunaan napza.
Apabila sikap terhadap penggunaannapza positif maka remaja mempunyai
kecenderungan menggunakan napza. Hal
ini misalnya dikarenakan keyakinan bahwapenggunaan napza tidak membahayakan
jiwanya dan lagipula membuatnya berani
berbicara sehingga lebih percaya diri.Sebaliknya, apabila remaja misalnya yakin
bahwa penggunaan napza memiliki resiko
tinggi maka sikapnya terhadap penggunaan
napza akan melemah dan cenderungbersifat negatif terhadap penggunaan napza.
Resiliensi pada RemajaRisk factors dan protective factors
merupakan konsep dasar dari resiliensi.Individu yang memiliki risk factors sajaatau protective factors saja, tidak dapat
dikatakan bersifat resilien. Karena sese-
orang dikatakan memiliki resiliensi apabila
ia mempunyai kedua hal tersebut. Dengankata lain bila seseorang dihadapkan pada
risk factors namun ia memiliki protective
factors, maka hal ini membuatnya dapatberadapatasi dan mampu menanggulangi
masalah secara memadai (Yockey, 2001).
Dengan demikian, bagi remaja yang resilienkehadiran risk factors tidak secara langsung
berakibat fatal karena tersedia protective
factors bagi dirinya. Selain itu, resiliensi
bukanlah kualitas yang telah selesai (tidak
akan berubah lagi), melainkan terusberkembang seiring dengan waktu dan
keadaan yang dihadapi. Hal tersebutdihasilkan dengan terdapatnya keseim-
bangan antara risk factors dan protectivefactors.
Salah satu situasi yang memiliki
resiko tinggi (risk factors) bagi remaja yang
menjadi perhatian dalam penelitian ini
adalah penggunaan napza. Dari penelitianEhlers, Wall, Garcia-Andrade, dan Philips(dikutip oleh Hurdle, 2003) diketahuibahwa penyalahgunaan alkohol dan napza
merupakan merupakan risk factors yang
sangat kuat terhadap perkembangan psiko-
sosial remaja penduduk asli bagian baratAmerika Selatan. Pada penelitian Farrell
dan White (dikutip oleh Ungar, 2004), yang
melakukan observasi terhadap aktivitas
penggunaan napza pada remaja, ditemukan
bahwa interaksi antara orang tua dan anakdalam kualitas kehidupan keluarga meru-
pakan aspek penting. Ungar (2004)menyatakan bahwa kehadiran orang tua pria
memberi dampak yang positif, yakni
sebagai pelindung terhadap pengaruh temansebaya yang negatif, dan sekaligus mem-
bentuk identitas anak. Hal ini disebabkan
perkembangan identitas anak memerlukankebutuhan-kebutuhan struktur dan model
remaja dan hal ini bergantung pada orang
tua (Pettit, Laird, Dodge, Bates, dan Criss,dikutip oleh Ungar, 2004). Hal tersebut
berfungsi sebagaiprotective factors.
Penelitian Moon, Jackson, dan
Hecht (2000) menunjukkan bahwa hadirnyaresiliensi memainkan peran yang besardalam proses pertahanan terhadap peng-
gunaan napza. Menurut hasil penelitian
Hawkins, Catalino, dan Miller (dikutip olehLosel, 1994) terdapat beberapa perbedaan
antara risk factors dan protective factorspada penyalahgunaan napza remaja dalam
aspek tingkah laku, keluarga, teman sebaya
serta budaya. Pada aspek tingkah laku,
bentuk risk factor-nya adalah perlawananterhadap otoritas dan agresivitas, bentuk
protective factor-nya adalah memiliki
kemampuan coping (mengatasi masalah)yang memadai. Pada aspek keluarga, risk
factor-nya adalah adanya pemakaian napza
di lingkungan keluarga, sedangkan pro-tective factor-nya adalah adanya parental
bonding (ikatan terhadap orang tua). Pada
aspek teman sebaya risk factor-nya adalah
memiliki teman sebaya yang menggunakannapza, sedangkan protective factor-nya
-
7/26/2019 47-176-1-PB
8/17
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006109
adalah penolakan teman sebaya terhadap
penggunaan napza. Aspek terakhir yaituaspek budaya mempunyai risk factor yaitu
tersedianya napza secara mudah, sedangkan
protective factor-nya adalah mempunyai
norma kelompok yang benar dan positif.
Metode Penelitian
Subjek PenelitianSubjek pada penelitian ini adalah
siswa-siswi yang bersekolah di SLTP X.
Subjek tidak dibatasi oleh suku bangsa,jenis kelamin, status sosial ekonomi, status
kesehatan, dan agama. Jumlah keseluruhan
murid sekolah adalah 208 orang. Sedang-
kan jumlah subjek penelitian adalah 101orang. Pengambilan sampel penelitian
berdasarkan teknik convinience sampling.
Gambaran subjek penelitian dapatdilihat berdasarkan usia, jenis kelamin,
jenjang pendidikan, jumlah sahabat, jumlah
saudara kandung serta jumlah anggotakeluarga di rumah. Berdasarkan usia,
diperoleh data subjek penelitian dengan
usia minimal 11 tahun dan usia maksimaladalah 14 tahun. Rentang usia ini sudah
sesuai dengan karakteristik subjek yang
telah ditentukan oleh penulis. Rata-rata usia
subjek penelitian adalah 13 tahun, denganstandar deviasi sebesar 1,16. Berdasarkan
tabel 2, diketahui subjek yang berusia 11
tahun berjumlah 6 orang (5.9%), subjekyang berusia 12 tahun berjumlah 31 orang(30.7%), subjek yang berusia 13 tahun
berjumlah 45 orang (44.5%) dan subjekyang berusia 14 tahun berjumlah 19 orang
(18.8%). Gambaran selengkapnya dapat
dilihat pada tabel 1.
Berdasarkan jenis kelamin, subjekpenelitian yang berjenis kelamin laki-laki
berjumlah 56 orang (55.4%). Sedangkansubjek dengan jenis kelamin perempuan
berjumlah 45 orang (44.6%). Gambaran
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1
Gambaran subjek berdasarkan usia
Usia Frekuensi Persentase
11
1213
14
6
3145
19
5,9
30,744,5
18,8
Total 101 100,0
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Tabel 2Gambaran subjek berdasarkan jenis Kelamin
Jenis kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki-laki 56 55,4
Perempuan 45 44,6
Total 101 100.00
Sumber: Hasil Pengolahan Data
PengukuranPengukuran variabel resiliensi
dilakukan dengan mengukur dimensiprotective factors, risk factors serta
personal factors. Butir-butir pada kuesionerdisusun berdasarkan batasan konseptual,
batasan operasional, dimensi, sub dimensidan indikator resiliensi. Dimensi variabel
resiliensi yang digunakan berjumlah tigadimensi dan terdiri dari tujuh sub dimensi.
Pengukuran resiliensi disusun
berdasarkan skala Likert yang terdiri dari
lima alternatif jawaban. Penilaian dilakukandengan memisahkan butir positif dan butir
negatif. Pada butir positif penilaiandimensiprotective factors,dimensi risk factors, dan
dimensi personal factors adalah sama, SS
(Sangat Setuju) bernilai 5, S (Setuju)
bernilai 4, RR (Ragu-ragu) bernilai 3, TS
(Tidak Setuju) bernilai 2, dan STS (Sangat
Tidak Setuju) bernilai 1. Sedangkan pada
butir negatif penilaian dimensi protectivefactors, dimensi risk factors, dan dimensi
personal factors adalah sebaliknya, SS(Sangat Setuju) bernilai 1, S (Setuju)
bernilai 2, RR (Ragu-ragu) bernilai 3, TS(Tidak Setuju) bernilai 4, dan STS (Sangat
Tidak Setuju) bernilai 5.
Skor total yang diperoleh dari
variabel resiliensi merupakan gabungandari skor yang diperoleh dari tiga dimensi
resiliensi. Penjelasan perolehan skor darimasing-masing dimensi dalam adalah
sebagai berikut: semakin tinggi skor
resiliensi artinya subjek cenderungmemiliki hal-hal yang menjadi indikator
protective factors dan personal factors, di
antaranya yaitu: peran model positif dari
orang dewasa, aktivitas atau hobi, self-esteem yang baik, sikap positif terhadap
peraturan sekolah, sikap positif terhadapkepolisian, tingkah laku terbuka terhadap
-
7/26/2019 47-176-1-PB
9/17
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006 110
dukungan yang diterima dalam menger-
jakan tugas sekolah, memiliki struktur danperaturan di keluarga dan memperoleh
dukungan dan bimbingan di keluarga.
Walaupun di pihak lain, subjek memiliki
indikator-indikator risk factors sepertimemiliki keluarga dan teman sebaya yang
menggunakan napza, memiliki tingkat
kehadiran yang rendah di sekolah, mengha-dapi kesulitan di sekolah, merupakan ang-
gota suatu geng atau memiliki teman
sebaya yang merupakan anggota dari suatugeng dan mengalami penolakan oleh teman
sebaya di sekolah.
Sebaliknya, semakin rendah skor
resilensi, mempunyai arti bahwa semakin
kecil jumlah indikator protective factorsdan personal factors yang dimiliki subjek.
Indikator-indikator tersebut di antaranyaseperti peran model positif dari orang
dewasa, aktivitas atau hobi, self-esteemyang baik, sikap positif terhadap peraturansekolah, sikap positif terhadap kepolisian,
tingkah laku terbuka terhadap dukungan
yang diterima dalam mengerjakan tugassekolah, memiliki struktur dan peraturan di
keluarga dan memperoleh dukungan dan
bimbingan di keluarga. Selain itu, subjek
juga memiliki jumlah risk factors yangrendah, artinya individu berada pada
kondisi yang cenderung kurang merupakan
indikator risk factors. Kondisi risk factorsseperti memiliki keluarga dan teman sebayayang menggunakan napza, memiliki tingkat
kehadiran yang rendah di sekolah, mengha-
dapi kesulitan di sekolah, merupakananggota suatu geng atau memiliki teman
sebaya yang merupakan anggota dari suatugeng dan mengalami penolakan oleh teman
sebaya di sekolah.
Dari hasil pengujian dengan
menggunakan SPSS 12.0, untuk dimensi
protective factors, diperoleh nilai koefisien
Alpha Cronbach sebesar 0.769 dengan
jumlah butir sebanyak 17 butir. Sedangkanuntuk dimensi risk factors, diperoleh nilai
koefisien Alpha Cronbach sebesar 0.848
dengan jumlah butir sebanyak 17 butir.
Untuk dimensi personal factors, diperolehnilai koefisien Alpha Cronbach sebesar
0.820 dengan jumlah butir sebanyak 33
butir.
Pengukuran variabel sikap terhadap
penggunaan napza disusun berdasarkanbatasan konseptual dan batasan operasional.
Alat ukur variabel sikap terhadap peng-
gunaan napza diperoleh dari wawancara
atau elisitasi terhadap beberapa subjek yangmenghasilkan pernyataan-pernyataan umum
tentang sikap terhadap penggunaan napza.Keseluruhan siswa berjumlah 40 orang
siswa kelas I sampai III SLTP, terdiri dari
18 orang laki-laki dan 22 orang perempuan.
Pernyataan-pernyataan yang dipakai hanya-lah pernyataan yang termasuk dalam 75%
jawaban yang sering muncul. Dari masing-
masing pertanyaan yang diajukan diperoleh
21 jawaban, 75% dari pertanyaan pertama,
yaitu tentang alasan-alasan seseorangmenggunakan napza atau obat terlarang
diperoleh 11 buah jawaban urutan teratas.Sedangkan untuk pertanyaan kedua, tentang
dampak negatif dari penggunaan napza
diperoleh 6 buah jawaban urutan teratas.Pengukuran sikap terhadap peng-
gunaan napza disusun berdasarkan skala
Likert yang terdiri dari tujuh alternatifjawaban. Penilaian dilakukan dengan
memisahkan butir positif dan butir negatif.
Pada butir positif penilaian sikap terhadappenggunaan napza (outcome evaluations),
dari kiri ke kanan Sungguh Sangat
bernilai 1, Sangat bernilai 2, Agak
bernilai 3, Ragu-ragu bernilai 4, Agakbernilai 5, Sangat bernilai 6, danSungguh Sangat bernilai 7. Sedangkan
pada butir negatif, penilaian dari kiri ke
kanan adalah sebaliknya, Sungguh Sangatbernilai 7, Sangat bernilai 6, Agak
bernilai 5, Ragu-ragu bernilai 4, Agakbernilai 3, Sangat bernilai 2, dan Sung-
guh Sangat bernilai 1. Selain itu, penilaian
kekuatan dari sikap (belief strength) adalah
nilai sesungguhnya, 0 bernilai 0, 1bernilai 1, 2 bernilai 2 dan 3 bernilai 3.
Skor sikap terhadap penggunaan napza
adalah skor total yang diperoleh dari alatukur sikap terhadap penggunaan napza.
Skor ini merupakan hasil perkalian dari
skor yang diperoleh dari butir-butir
pernyataan tentang sikap terhadap peng-gunaan napza (outcome evaluations)
dengan skor keyakinan (belief strength)
subjek terhadap tiap pernyataan tentangsikap terhadap penggunaan napza. Semakin
-
7/26/2019 47-176-1-PB
10/17
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006111
positif sikap terhadap penggunaan napza,
artinya subjek memiliki sikap yang kuatterhadap penggunaan napza, antara lain
bahwa penggunaan napza tidak dapat
menyebabkan kecanduan, tidak merusak
kesehatan dan tidak menyebabkan masadepan yang suram. Hal ini secara tidak
langsung memberi prediksi bahwa di waktu
yang akan datang terdapat kecenderungansubjek untuk tidak anti atau tidak menutup
diri terhadap penggunaan napza. Sedang-
kan apabila subjek memiliki sikap yangnegatif terhadap penggunaan napza, artinya
subjek memiliki sikap yang lemah terhadap
penggunaan napza atau tidak yakin bahwa
penggunaan napza antara lain dapat
mengatasi rasa stres, dapat membuat subjekditerima oleh lingkungannya atau dapat
membuat subjek disukai oleh teman-teman.Hal ini secara tidak langsung memberi
prediksi bahwa di waktu yang akan datang
terdapat kecenderungan subjek untukmenutup diri bahkan menentang peng-
gunaan napza.
Pengujian reliabilitas dilakukandengan bantuan SPSS 12.0. Uji reliabilitas
dengan internal reliability disertai dengan
analisis butir. Butir yang memiliki nilai
korelasi minimal 0.2 akan dibuang satu persatu untuk memperoleh hasil korelasi di
atas ataupun sama dengan 0.2. Untuk alat
ukur sikap terhadap penggunaan napza,diperoleh nilai koefisien Alpha Cronbachsebesar 0.889.
ProsedurPengambilan data dengan penye-
baran kuesioner sebanyak tiga kali
dilakukan pada hari Sabtu, 20 Agustus2005, masing-masing dari pukul 08.00
sampai 08.40 WIB kelas di kelas I SLTP,
pukul 08.45 sampai 09.15 WIB di kelas IISLTP dan pukul 09.45 - 10.20 WIB di kelas
III SLTP. Penelitian dilakukan dengan
menyebarkan kuesioner lengkap yangterdiri dari kata pengantar, data kontrol, alat
ukur resiliensi dan alat ukur sikap terhadap
penggunaan napza kepada subjek, yaitu
siswa-siswi SLTP. Penulis mendatangi
subjek pada ruang kelas, memintakesediaan waktu selama 30 menit untuk
mengisi kuesioner.
Sesudah memberikan instruksi
singkat, penulis membagikan kuesionerkepada masing-masing siswa. Kemudian
penulis menjelaskan petunjuk-petunjuk
pengisian kuesioner langkah demi langkah.
Penulis mengawasi proses pengisiankuesioner sampai selesai, memberikan
penjelasan secara individual bagi yangmengacungkan tangan dan mengumpulkan
kembali seluruh kuesioner yang telah diisi.
Dari tiga kali pengumpulan data, diperoleh
data dari 101 orang subjek.
Hasil Penelitian
Gambaran ResiliensiGambaran resiliensi terbagi men-
jadi tiga dimensi, dimensi protective
factors, dimensi risk factors serta dimensi
personal factors. Pengolahan data resiliensiadalah berdasarkan skor masing-masing
dimensi resiliensi yang ada. Hasil rata-rata
skor protective factors yang diperolehadalah 3.76 (s=0.48). Bila dibandingkan
dengan titik tengah alat ukur yaitu 3
(rentang skor 15), maka hasil yang diper-oleh adalah skor tinggi. Hal ini menun-
jukkan bahwa subjek mempunyai peran
model positif dari orang dewasa, seperti
anggota keluarga, guru, pembina ataupuntokoh idola lainnya, subjek memiliki
aktivitas atau hobi, baik di bidang olahraga,
seni maupun kegiatan ibadah. Sedangkanhasil rata-rata cenderung rendah diperolehdari skor risk factors, yaitu 2.71 (s=0.68)
dari titik tengah alat ukur sebesar 3 (rentangskor 15). Hal ini menunjukkan bahwa
subjek cenderung berada dalam lingkungan
yang kondusif terhadap penggunaan napza.
Penggunaan napza ditemukan dalam ling-kungan keluarga dan teman sebaya subjek.
Subjek cenderung menghadapi kesulitan disekolah, serta memiliki teman sebaya atau
teman bermain yang beranggotakan dalam
suatu kelompok geng dan mengalami peno-
lakan oleh teman sebaya di sekolah.Hasil rata-rata skor personal
factors yang diperoleh adalah 3.48
(s=0.38). Bila dibandingkan dengan titiktengah alat ukur yaitu 3 (rentang skor 15),
maka hasil yang diperoleh adalah skor
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa subjek
mempunyai self-esteem yang baik dalam
-
7/26/2019 47-176-1-PB
11/17
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006 112
segi kompetensi kognitif, kompetensi fisik,
kompetensi sosial dan penampilan fisik.Subjek memiliki sikap yang positif
terhadap peraturan kepolisian, peraturan
sekolah, dan memiliki tingkah laku positif
terhadap dukungan yang diterima dalammengerjakan tugas sekolah.
Jadi secara umum subjek tergolong
resilien karena memiliki rata-rata skor
protective factors dan personal factorsyang cukup tinggi yaitu 3.76 dan 3.48 dan
risk factors cenderung rendah yaitu 2.71dari titik tengah alat ukur yaitu 3. Artinya,
walaupun subjek masih dikelilingi oleh
indikator risk factors namun di pihak lain,
subjek tetap digolongkan resilien karena
memiliki protective factors dan personalfactors yang tinggi dan bersifat menyeim-
bangkan.
Gambaran Sikap terhadap Peng-
gunaan NapzaRata-rata skor yang diperoleh untuk
variabel sikap terhadap penggunaan napza
adalah 4.8 (s=2.84). Bila dibandingkandengan titik tengah alat ukur yaitu 0
(rentang skor 9 sampai +9), maka skor
rata-rata sikap terhadap penggunaan napza
cenderung rendah. Hal ini menunjukkanbahwa subjek memiliki sikap yang cen-
derung negatif terhadap penggunaan napza.
Artinya, subjek memiliki sikap yang lemahterhadap penggunaan napza atau tidakyakin bahwa penggunaan napza dapat
mengatasi rasa stres, dapat membuat subjekditerima oleh lingkungannya atau dapat
membuat subjek disukai oleh teman-teman.
Korelasi antara Resiliensi dan Sikap
terhadap Penggunaan NapzaKeseluruhan variabel yang ada di
penelitian yaitu tiga dimensi dari resiliensiyaitu protective factors, risk factors danpersonal factors serta sikap terhadap
penggunaan napza telah melalui ujinormalitas dan hasilnya semua berdistribusi
normal. Hasil uji normalitas menunjukkanbahwa protective factors mempunyai nilai
signifikansi sebesar 0.692, risk factorsmempunyai nilai signifikansi sebesar 0.709,
personal factors mempunyai nilai signi-fikansi sebesar 0.865, serta sikap terhadap
penggunaan napza mempunyai nilai
signifikansi sebesar 0.248.Hasil perhitungan korelasi antara
resiliensi dan sikap terhadap penggunaan
napza diolah berdasarkan masing-masing
dimensi resiliensi. Skor resiliensi diperolehdari kombinasi penjumlahan skor dimensi
protective factors, risk factors danpersonalfactors yang telah terstandarisasi (T-Score).
Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai
korelasi antara resiliensi dan sikap terhadap
penggunaan napza adalah rxy (99) = 0.159, p> 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan antara resiliensi dan sikap
terhadap penggunaan napza. Artinya sema-
kin tinggi resiliensi yang dimiliki subjek,
belum tentu semakin negatif sikap subjekterhadap penggunaan napza, ataupun
sebaliknya.
Korelasi antara Resiliensi (per
dimensi) dan Sikap terhadap Peng-
gunaan NapzaKorelasi antara resiliensi dimensi
protective factors dan sikap terhadappenggunaan napza adalah rxy (99) = 0.048, p
> 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan antara dimensi protective
factors dan sikap terhadap penggunaan
napza. Protective factors yang terdiri dari
sub dimensi yaitu peran model positif dari
orang dewasa dan kepemilikan aktivitasatau hobi. Artinya, semakin subjek memi-
liki peran model positif dari orang dewasa
termasuk anggota keluarga, guru, tokoh
idola dan lain-lain, ataupun subjek memilikiaktivitas atau hobi, misalnya di bidang seni,
olahraga dan terlibat dalam kegiatan
religius (beribadah secara rutin menurutkeyakinan masing-masing), belum tentu
semakin negatif sikap terhadap penggunaannapza yang dimiliki subjek.
Korelasi antara resiliensi dimensi riskfactors adalah rxy (99) = 0.304, p < 0.01.
Hal ini menunjukkan bahwa terdapathubungan antara dimensi risk factors dan
sikap terhadap penggunaan napza. Dengandemikian, semakin tinggi risk factors, yaitu
subjek memiliki keluarga dan teman sebaya
yang menggunakan napza, memiliki tingkat
kehadiran yang rendah di sekolah, mengha-
dapi kesulitan di sekolah, merupakan ang-
-
7/26/2019 47-176-1-PB
12/17
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006113
gota suatu geng atau memiliki teman
sebaya yang merupakan anggota dari suatugeng dan mengalami penolakan oleh teman
sebaya di sekolah, maka semakin positif
sikap subjek terhadap penggunaan napza.
Korelasi antara resiliensi dimensi
personal factorsadalah rxy (99) = -0.053, p
> 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan antara dimensi personal
factors dan sikap terhadap penggunaan
napza. Artinya, semakin subjek memiliki
hal-hal seperti harga diri (self-esteem) yangbaik, yang mencakup kompetensi secara
kognitif; fisik dan sosial serta keyakinan
yang positf akan penampilan fisiknya, sikap
yang positif baik terhadap peraturan
sekolah maupun peraturan kepolisian, sikapterbuka terhadap dukungan yang diterima
dalam mengerjakan tugas sekolah, strukturdan peraturan di keluarga, serta dukungan
dan bimbingan dari keluarga, belum tentu
semakin negatif sikap subjek terhadappenggunaan napza.
Resiliensi dan Sikap terhadap
Penggunaan Napza berdasarkan UsiaBerdasarkan hasil analisis didapat-
kan bahwa ada hubungan antara resiliensidan usia subjek, rxy (99) = 0.286, p < 0.01.
Dengan demikian berarti, semakin tinggi
usia subjek, maka semakin tinggi tingkat
resiliensi yang dimiliki.Dari hasil analisis, didapatkan pula
bahwa ada hubungan antara sikap terhadap
penggunaan napza dan usia subjek, rxy (99)
= 0.286, p < 0.01. Dengan demikian berarti,tidak ada hubungan antara sikap terhadap
penggunaan napza dan usia subjek.
Resiliensi dan Sikap terhadap Peng-
gunaan Napza berdasarkan Jenis
kelaminRata-rata skor resiliensi pada
subjek laki-laki adalah 51.67 (s=9.65) danpada subjek perempuan adalah 47.93
(s=10.14). Berdasarkan hasil analisis, kedua
rata-rata tersebut tidak berbeda secara
signifikan, t(99) = 1.89, p > 0.05.
Rata-rata skor sikap terhadappenggunaan napza pada subjek laki-laki
adalah 52.06 (s=10.28) dan pada subjekperempuan adalah 47.43 (s=9.10).
Berdasarkan hasil analisis, kedua rata-rata
tersebut tidak berbeda secara signifikan,t(99) = 2.36, p > 0.05.
PembahasanHasil penelitian menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan antara resiliensi
dengan sikap terhadap penggunaan napza.Artinya resiliensi subjek tidak secara
langsung menentukansikap subjek terhadap
penggunaan napza. Protective factors
ternyata tidak berhubungan dengan sikapterhadap penggunaan napza. Artinya,
walaupun subjek yang memiliki peran
model positif dari orang dewasa, memiliki
aktivitas atau hobi, dan terlibat dalamkegiatan religius, hal tersebut tidak berhu-
bungan dengan pembentukan sikap yang
negatif terhadap penggunaan napza.Dengan demikian terdapat kemungkinan
sikap subjek tetap positif terhadap peng-
gunaan napza dan subjek tetap tertarik
untuk mencoba-coba menggunakan napza.Hal ini mungkin disebabkan bahwa ada
tidaknya peran model positif dari orangdewasa ataupun kepemilikan aktivitas atau
hobi tertentu tidak menjadi jaminan untuk
seseorang membentuk sikap tertentu(positif atau negatif) terhadap penggunaan
napza.
Namun risk factors dan sikap
terhadap penggunaan napza ternyata mem-punyai hubungan yang positif. Artinya,semakin tinggi risk factors, yaitu subjek
mempunyai indikator-indikator risk factorsmaka semakin positif sikap subjek terhadap
penggunaan napza. Sebaliknya, semakin
rendah risk factors maka semakin negatif
sikap subjek terhadap penggunaan napza.Subjek dengan risk factors tinggi memberi
beberapa indikasi. Pertama, subjek yang di
lingkungannya terdapat keluarga, temansebaya yang mencoba-coba atau meng-
gunakan napza. Hal ini secara tidak lang-
sung membentuk sikap yang cenderungsetuju terhadap penggunaan napza karena
pengaruh dari lingkungan tersebut. Kedua,
subjek mempunyai tingkat kehadiran yangrendah di sekolah dan sering menghadapi
kesulitan di sekolah. Hal ini membuka
peluang untuk seseorang mencoba-coba
napza dengan anggapan awal bahwa peng-gunaan napza dapat menyelesaikan masalah
-
7/26/2019 47-176-1-PB
13/17
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006 114
atau menghilangkan tekanan walaupun
hanya bersifat sementara. Ketiga, subjekmerupakan anggota dari suatu kelompok
geng dan atau memiliki teman sebaya yang
terlibat dalam kelompok geng dan atau
mengalami penolakan oleh teman sebaya disekolah. Hal-hal tersebut menjadi pemicu
dari sikap yang positif terhadap penggunaan
napza, apalagi bila ternyata teman-temanse-gengnya adalah pengguna napza. Seba-
liknya, semakin negatif risk factors, atau
semakin sedikit subjek memiliki hal-halyang menjadi indikator risk factors, maka
semakin negatif sikap subjek terhadap
penggunaan napza. Indikator-indikator risk
factors seperti: memiliki keluarga dan
teman sebaya yang menggunakan napza,memiliki tingkat kehadiran yang rendah di
sekolah, menghadapi kesulitan di sekolah,merupakan anggota suatu geng atau
memiliki teman sebaya yang merupakan
anggota dari suatu geng dan mengalamipenolakan terhadap teman sebaya di
sekolah.
Personal factors ternyata tidakberhubungan dengan sikap terhadap peng-
gunaan napza. Subjek yang memiliki
personal factorsmempunyai beberapa indi-
kasi, memiliki harga diri (self-esteem)tinggi, yang mencakup kompetensi secara
kognitif, fisik dan sosial serta keyakinan
akan penampilan fisiknya. Selain itu subjekmemiliki sikap yang positif baik terhadapperaturan sekolah maupun peraturan
kepolisian, maupun terhadap dukungan
yang diterima dalam mengerjakan tugassekolah yang ditunjukkan lewat tingkah
laku. Hal tersebut ternyata tidak berhu-bungan dengan pembentukan sikap yang
negatif terhadap penggunaan napza.
Jadi, kepemilikanprotective factors
dan personal factors sebagai indikasi dariseseorang yang resiliensi ternyata tidak
berhubungan dengan pembentukan suatu
sikap terhadap penggunaan napza. Walau-pun demikian, seseorang yang memiliki
risk factors menunjukkan sikap yang positif
terhadap penggunaan napza. Pesan implisit
dari penelitian ini adalah bahwa, hal-halyang positif yang diperoleh seseorang dari
protective factors dan personal factors
tidak berhubungan dengan pembentukansikap yang tentunya diharapkan negatif
terhadap penggunaan napza. Dengan
demikian hasil penelitian Moon, Jacksondan Hecht, (2000) yang membuktikan
bahwa protective factors memainkan pera-
nan yang besar di samping kehadiran risk
factors dalam proses pencegahan terhadappenggunaan napza tidak terbukti di pene-
litian ini.Hal yang harus diperhatikan dalam
membentuk sikap yang negatif terhadap
penggunaan napza (sehingga mencegah
tingkah laku mencoba-coba atau meng-gunakan napza) ternyata bukan pada usaha
penyediaan protective factors dan personalfactors semata-mata, melainkan dengan
menjauhkan dan menghindarkan seseorang
dari risk factors yang berpotensi untukmembentuk sikap yang cenderung positif
terhadap penggunaan napza. Berarti, pene-litian Werner, Garmezy dan Rutter (dikutip
oleh Blum, 1998) yang menyatakan bahwa
subjek yang diteliti tidak terpengaruh olehdampak negatif dari lingkungan tidak
terbukti di penelitian ini.
Selain itu, sikap terhadap penggu-naan napza dan pengalaman dengan napza
ternyata mempunyai hubungan yang positif.
Artinya, semakin positif sikap terhadap
penggunaan napza, semakin besar penga-laman subjek terhadap penggunaan napza.
Sebaliknya, semakin negatif sikap terhadap
penggunaan napza maka semakin kecilpengalaman subjek terhadap penggunaannapza. Hal ini memberi indikasi bahwa
seseorang yang memiliki sikap yang positif
terhadap penggunaan napza terkesan telahmempunyai pengalaman yang lebih banyak
tentang napza karena sikap positif tersebut.Pengalaman terhadap penggunaan napza
dilihat dari sisi mengetahui, mencium,
menyentuh dan bahkan mencoba jenis-jenis
napza seperti rokok, minuman beralkohol,ganja, ekstasi, morfin dan lain-lain. Hal ini
menambah informasi bahwa alat ukur sikap
terhadap penggunaan napza bersifat valid(atau mengukur apa yang hendak diukur)
karena subjek yang memiliki sikap yang
positif terhadap penggunaan napza
seharusnya cenderung mempunyai penga-laman yang lebih banyak tentang napza dan
sebaliknya subjek yang memiliki sikap
yang negatif terhadap penggunaan napza
-
7/26/2019 47-176-1-PB
14/17
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006115
seharusnya cenderung mempunyai penga-
laman yang minim tentang napza.
KesimpulanDari hasil pengolahan data,
diketahui bahwa secara umum tidak terda-pat hubungan antara resiliensi dan sikap
terhadap penggunaan napza. Hal tersebutberarti, subjek yang memiliki resiliensi,
belum tentu mempunyai sikap yang negatif
atau positif terhadap penggunaan napza.
Hasil pengolahan data per dimensi dariresiliensi dengan sikap terhadap peng-
gunaan napza sebagai berikut:
1. Tidak terdapat hubungan antaraprotec-
tive factors dan sikap terhadappenggunaan napza.
2.
Terdapat hubungan positif antara risk
factors dengan sikap terhadap peng-gunaan napza. Artinya, semakin tinggi
risk factorsmaka semakin positif sikap
terhadap penggunaan napza yang
dimiliki oleh subjek. Sebaliknya, sema-kin rendah risk factors maka semakin
negatif sikap terhadap penggunaannapza yang dimiliki oleh subjek.
3.
Tidak terdapat hubungan antara
personal factors dan sikap terhadappenggunaan napza.
Secara keseluruhan, dari 3 (tiga)
dimensi resiliensi, hanya risk factors yang
berhubungan secara positif dengan sikapterhadap penggunaan napza. Sedangkan 2(dua) dimensi resiliensi lainnya tidak
berhubungan dengan sikap terhadap peng-gunaan napza. Dan dapat disimpulkan
secara garis besar, bahwa tidak ada
hubungan antara resiliensi dengan sikap
terhadap penggunaan napza.
Daftar PustakaAjzen, I., & Fishbein, M, Understanding
attitudes and predicting social
behavior Prentice-Hall, Inc, NJ,
1980.
Allen, L. (1 April 2004). Bouncing back:
How to develop resiliency through
outcame-based recreation
programs. Diakses 23 November
2004, www.highbeam.com/library/
doc3.asp.
Andrews, D. W. (1997). Understanding
adolescent problem behavior,
diakses 23 November 2004,
www.highbeam.com/library/doc3.
asp.
American Psychiatric Association,Diagnostic and statistical manual
of mental disorders, (4th ed.,text-
revision), Washington D. C, 2000.
Azwar, S, Sikap manusia: Teori dan
pengukurannya, (edisi ke-2).
Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1995.
Badan Narkotika Nasional-RepublikIndonesia, Perkembangan kasus
narkoba di Indonesia, BadanNarkotika Nasional-Republik
Indonesia, Jakarta, 2004.
Badan Narkotika Nasional-Republik
Indonesia, Peran orang tua dalam
mengatasi masalah penyalahgunaannarkoba,. Badan Narkotika
Nasional-Republik Indonesia,
Jakarta, 2004.
Balanon, T. G, Integrating child centered
approaches in childrens work,
Program on Psychosocial Traumaand Human Rights UP Center forIntegrative and Development
Studies, Phillipiness, 2002.
Baron, R. A., & Byrne, D. C, Social
psychology, (10th ed.), PearsonEducation, Inc, Ney York, 2004.
Benard, B, The foundations of the
resiliency framework: From
research to practic, diakses 23
November 2004, www.resiliency.
com/htm/ research.htm
Blum, R. W. M, Health youth
development as a model for youth
health promotion, Journal of
Adolescent Health, 22, 368-375,
Society for Adolescent Medicine,
New York, 1998.
-
7/26/2019 47-176-1-PB
15/17
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006 116
Christantie, J. I., & Hartanti, Hubungan
antara persepsi terhadap jurusan A-1, A-2, A-3 dan motif berprestasi
dengan prestasi belajar,Anima, 12(47),1997.
Daradjat, Z, Remaja: Harapan dan
tantangan, Rohani, Jakarta, 1993.
Davies, D, Child development: A
pratitioners guide, The Guilford
Press, New York, 1999.
Dayakisni, T., & Hudaniah, Psikologi
sosial, Buku 1, UMM Press,
Malang, 2003.
Dishion, T. J., & Owen, L. D,
Longitudinal analysis offriendships and substance use:
Bidirectional influence from
adolescence to adulthood,Journal
of Developmental Psychology, 38,
480-491, 2002.
Finsterbusch, K, Taking sides: Dashing
views on controversial social
issues, (10th ed.), McGraw-Hill,
New York, 1999.
Franzoi, S. L, Social psychology, (3rd
ed.), McGraw-Hill, Boston, 2003.
Forum, Bocahpun berjualan narkoba,.
Diakses 7 Juli 2005, http://
www.bnn.go.id, 2005.
Fuligni, A. J., Barber, B. L., Eccles, J. S. &Clements, P, Early adolescent
peer orientation and adjustment
during high school, Journal of
Developmental,37, 28-36, 2001.
Galinsky, M. J, Risk, protection, and
resilience: Toward a conceptualframe work for social work practice.
Social Work Research, diakses 7
Juli 2005, www.highbeam.com/
library/doc3.asp, 1999.
Gerungan, W. A, Psikologi sosial,.
Rafika Aditama, Bandung, 2002.
Grotberg, E. H, A guide to promotingresilience in children: Strengh-
tening the human spirit, Bernard
van Leer Foundation, Den Haag,
1995.
Grotberg, E. H, Tapping you inner
strength: How to find the resilience
to deal with anything, New
Harbinger Publications, Inc,
Canada, 1999.
Grotberg, E. H, The International
resilience project: Research and
application, diakses 23 November
2004, http://resilnet.uiuc.edu/
library/ grotb96a.html., 2004.
Gunarsa, Y. S. D., & Gunarsa, S. D,Psikologi Remaja, BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 2001.
Harter, S, Developmental, diakses 23
November 2004, http://www.du.
edu/psychology/people/harter. htm.,2003.
Henderson, N., & Milstein, M. M,Resiliency in schools: Making it
happen for students and
educators, (updated edition),
Thousand Oaks, Corwin Press, CA,2003.
Hiew, C. C, Social support, social
competence, and parental bonding
in promoting resilience child
responses to adversity, Dipresen-tasikan pada: The International
Congress of Psychology, Beijing,
1995.
Hiew, C. C., & Matchett, K, Resilience
measurement: Using a resilience
scale, Fredericton, University ofNew Brunswick, CA, 2001.
Hiew, C. C, Resilience, self-regulation andhealth, Dipresentasikan pada
International Congress of
Psychology, Beijing, 2004.
-
7/26/2019 47-176-1-PB
16/17
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 200611
Hurdle, D. E, Resiliency factors related tosubstance use/ resistence:
Perceptions of native adolescents
of the southwest, Journal ofSociology and Social Welfare.
Retrieved November 23, 2004,from www.highbeam.com/ library/
doc3.asp2003.
Jaccard, J., Blanton, H., & Dodge, T, Peer
influences on risk behavior: An
analysis of the effects of a close
friend, Journal of Developmental
Psychology, 41, 135-147, 2005.
Johnson, D. W, Reaching out:
Interpersonal effectiveness and
self-actualization, (5th ed.), Allyn
& Bacon, Boston, 1993.
Jung, J, Psychology of alcohol and otherdrug: A research perspective,Thousand Oaks, Sage Publications,
Inc, CA, 2001.
Kindle, E, Women and the importance of
self esteem, diakses 23 November
2004, http://www.lifefokuscenter.
com.html., 2003.
Maisto, S. A., Galizzo, M., & Connors , G.
J, Drug use and abuse, (4th
ed.).Wadsworth, Thomson Learning,CA, 2004.
Mangham, C., McGrath, P., Reid, G., &Stewart, M, Resiliency: Relevance to
health promotion, diakses 23November 2004, from http://www.hc-
sc.gc.ca/hppb/alcohol-
therdrugs/pube/resilncy/discus.htm.,
1995.
Merriam-Webster Online, Retrieved July
7, 2005, from http://www.m-w.com/home.htm., 2005.
Moon, D. G., Jackson, K. M., & Hecht, M.
L, Family risk and resiliency
factors, substance use, and the drug
resistance process in adolescence,
Journal of drug education, 30 (4),
hlm. 373-398. Retrieved November
23, 2004, from
http://www.drugabuse.gov/DirReports/DirRep501/DirectorReport5.htm
.2000.
Myers, D. G, Social psychology, (4thed.),McGraw-Hill, New York, 1993.
Myers, D. G, Exploring social
psychology, (3th ed.), McGraw-
Hill, New York, 2004.
Neufldt, V, Websters new world college
dictionary, (3th ed.), Macmillan,
New York, 1996.
Panduan bagi orang tua untuk mengatasimasalah narkoba, Yayasan Cinta
Anak Bangsa
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R.
D, Human development, (7th
ed.)., McGraw-Hill, New York,
1998.
Raising Resilient Kids, Resilience and
futurists: Changing the lives of our
children, diakses 23 November,2004, .,2004.
Raising Resilient Kids, What is
resilience?, diakses 23 November2004, http://www.raisingresilientkids.com/resources/articles/
futurists.html., 2004.
Ranew, L. F., & Serritella, D. A,
Substance abuse and addiction:
Handbook of differential treatments
for addictions,Needham Heights,
Allyn & Bacon, MA, 1992.
Reivich, K., & Shatte, A, The resilience
factor: 7 essential skills to
overcoming lifes inevitableobstacles, Broadway Book, New
York, 2002.
Resiliency Center, Resiliency in
individuals, families &
communities: Overall concept,
diakses 7 Juli 2005,
-
7/26/2019 47-176-1-PB
17/17
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006 118
http://www.resiliencycenter.com/
welcome.shtml., 2005.
Resiliency In Action, Inc., Retrieved
November 23, 2004, from
http://www.resiliency.com., 2004.
Rice, F. P, Intimate relationships,marriage & families, (4th).
Mountain View, Mayfield
Publishing Company, CA, 1999.
Rice, F. P., & Dolgin, K.G, The
adolescent: Development,
relationships & culture, (10th
ed.), Allyn & Bacon, Boston, 2002.
Romach, M., & Parker, K, Relapse.
Encyclopedia of drugs andalcohol, vol 3, 908-909,
Macmillan Library Reference,
Baltimore, 1995.
Rouse, K. A. G, Resilience from povertyand stress, Human development
and family life bulletin: A review of
research and practice vol 4, issue
1. diakses 23 November 2004,
www.highbeam.com/library/doc3.asp 1998.
Santrock, J. W, Adolescence, (7th
ed.,McGraw-Hill, Boston, 1998.
Santrock, J. W, Psychology, McGraw-
Hill, New York, 2003.
Sarafino, E. P, Health psychology:Biopsychosocial interaction, (2
nd
ed.), John Wiley and Sons, New
York, 1994.
Sarwono, S. W, Psikologi remaja,RajaGrafindo, Jakarta, 1997.
Shaffer, D. R, Developmental psychology:
Childhood and adolescence, (6th
ed.). Belmont, Wadsworth/
Thomson Learning, CA, 2002.
Siebert, A, How resilient are you?
Qualities of highly resilient
people. Diakses 23 November
2004, http://www.cascadecenter.com/assessments/ee_resiliency_
results.html., 2004.
Siliman, Resilience minimises risk,diakses 23 November 2004,
www.highbeam.com/library/doc3.asp
Tugade, M. M., & Fredrickson, B. L.
Resilient individuals use positive
emotions to bounce back from
negative emotional experiences,
Journal of Personality and Social
Psychology, 86, 320-333, 2004.
Turner, S. G, Resilience and social work
practice: Three case studies,diakses 23 November 2004,
www.highbeam.com/library/doc3.a
sp
Ungar, M, The importance of parents and
other caregivers to the resilience of
high-risk adolescents, Retrieved
November 23, 2004, from
www.highbeam.com/library/doc3.asp.
Vandiver, T. A,Risk and protective factors
among youth offenders,diakses 23November 2004, from
www.highbeam.com/library/doc3.a
sp
Woolfolk, A, Educational psychology,(9th ed.), Pearson Education, Inc,
New York, 2004.Yockey, R. D, Correlates of resilience in
homeless adolescents,Journal of
Nursing Scholarship, 2001.
Retrieved November 23, 2004, from
www.highbeam.com/library/doc3.asp.