4. penentuan berat molekul senyawa kompleks
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam ilmu kimia, kompleks atau senyawa koordinasi
merujuk pada molekul atau entitas yang terbentuk dari
penggabungan ligan dan ion logam. Dulunya, sebuah kompleks
artinya asosiasi reversibel dari molekul, atom, atau ion melalui
ikatan kimia yang lemah. Pengertian ini sekarang berubah,
beberapa kompleks logam terbentuk secara reversibel, dan
banyak diantaranya mereka yang memiliki ikatan yang cukup
kuat.
Rumus kimia (juga disebut rumus molekul) adalah cara
ringkas memberikan informasi mengenai atom-atom yang
menyusun suatu senyawa kimia tertentu. Untuk senyawa
molekular, rumus ini mengidentifikasi setiap unsur kimia
penyusun dengan simbol kimianya dan menunjukkan jumlah
atom dari setiap unsur yang ditemukan pada masing-masing
molekul diskret dari senyawa tersebut.
Ligan oksalat mempunyai empat atom donor yang
berfungsi sebagai jembatan. Jembatan oksalat merupakan
mediator yang baik untuk interaksi antara ion-ion logam. Ion-ion
logam dengan ion oksalat membentuk kompleks polimer
homonuklir dan heteronuklir. Struktur ligan oksalat berkoordinasi
dengan ion logam membentuk jembatan.
Pembentukkan utama bagi pengelompokkan banyak zat
sebagai senyawaan koordinasi adalah pada kimiawinya, yang
dapat diberikan secara tepat dalam bentuk spesies kation pusat
Mn+ yang secara hakiki tetap, tempat berbagai ragam ligan L, L1,
L” dan sebagainya, dapat diletakkan dalam sejumlah kombinasi
66
tidak terbatas yang diperlukan. Muatan keseluruhan pada
kompleks yang dihasilkan [MLxL1yL”
z..] ditentukan oleh muatan M
dan jumlah muatan ligannya. Oleh karena itu, percobaan ini
dilakukan untuk mengetahui stoikiometri pembuatan senyawa
kompleks besi (II) oksalat, menentukan rumus molekul senyawa
kompleks besi (II) oksalat, mengetahui karakteristik kristal besi
(II) oksalat, mengetahui BM dari Fe2+, mengetahui massa kristal
besi (II) oksalat yang terbentuk, dan untuk mengetahui aplikasi
dari besi (II) oksalat dalam kehidupan sehari-hari.
1.2 Tujuan Percobaan
- Mengetahui karakteristik kristal besi (II) yang terbentuk
- Mengetahui BM dari Fe2+ dalam percobaan
- Mengetahui massa kristal besi (II) oksalat yang terbentuk
1.3 Prinsip Percobaan
Prinsip percobaan ini adalah berdasarkan pembentukkan kompleks
besi (II) oksalat melalui reaksi stoikiometri dan rekristalisasi. Dimana, besi (II)
oksalat didapatkan dari mereaksikan garam Mohr dengan asam oksalat. Garam
Mohr akan terhidrolisis dengan penambahan air dan asam sulfat pekat, yang mana
akan dihasilkan ion Fe2+ yang akan digunakan sebagai atom pusat dalam
pembentukkan senyawa kompleks tersebut. Kemudian digunakan asam oksalat
yang telah dlarutkan dalam air untuk pembentukkan senyawa kompleks tersebut,
dimana oksalat itu akan bertindak sebagai ligan bagi ion Fe2+. Kemudian
dilakukan proses penjenuhan dimana akan didapatkan kristal besi (II) oksalat.
Lalu dilakukan proses titrasi dengan KMnO4 dimana kristal yang dihasilkan,
dilarutkan dalam asam sulfat kemudian dititrasi, sehingga terjadi reaksi redoks
antara ion Fe2+ dan KMnO4 sehingga dapat ditentukan berat molekul dari Fe
berdasarkan hasil perhitungan.
67
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Kimia koordinasi atau kimia kompleks adalah bagian dari
ilmu kimia yang mempelajari senyawa-senyawa koordinasi atau
senyawa kompleks. Senyawa-senyawa ini molekul tersusun dari
gabungan dua atau lebih molekul yang sudah jenuh, misalnya:
BF3 + NH3 BF3.NH3
4KCN + Fe(CN)2 Fe (CN)2.4KCN
CoCl3 + 6NH3 CoCl3.6NH3
PtCl2 + KCl + C2H4 PtCl2.KCl.C2H4
Walaupun senyawa-senyawa kompleks mempunyai bilangan
koordinasi, yang paling banyak dijumpai adalah empat dan
enam, strukturnya planar atau tetraherdal dan oktahedral.
Namun demikian ternyata kompleks adalah tetraherdal
(Sukardjo, 1985).
Dalam pelaksanaan analisis anorganik kualitatif banyak
digunakan reaksi-reaksi yang menghasilkan pembentukan
kompleks. Suatu ion (atau molekul) kompleks terdiri dari satu
atom (ion) pusat itu. Jumlah relative komponen-komponen ini
dalam kompleks yang stabil. Nampak mengikuti stoikiometri
yang sangat tertentu, meskipun ini tidak dapat ditafsirkan di
dalam konsep valensi yang klasik. Atom pusat ini ditandai oleh
bilangan koordinasi, suatu angka bulat yang menunjukkan
jumlah ligan (monodentat) yang dapat membentuk kompleks
yang stabil dengan satu atom. Pada kebanyakan kasus, bilangan
koordinasi adalah G. (seperti dalam kasus: Fe2+, Fe3+, Zn2+, Cr3+,
Co3+, Ni2+, Cd2+) kadang-kadang 4 (Cu2+,Cu+,Pt2+), tetapi
68
bilangan-bilangan 2 (Ag+) dan 8 (beberapa ion dari golongan
Platinum) juga terdapat.
Bilangan koordinasi menyatakan jumlah ruangan yang
tersedia di sekitar atom atau ion pusat dalam apa yang disebut
bulatan koordinasi, yang masing-masingnya dapat dihuni satu
Ligan (monodentat). Susunan logam-logam di sekitar ion pusat
adalah simetris. Jadi, suatu kompleks dengan satu atom pusat
dengan bilangan koordinasi G, terdiri dari ion pusat, di pusat
suatu oktahedron,sedangkan keenam lainnya menempati ruang-
ruang yang dinyatakan oleh sudut-sudut oktahedron itu. Bilangan
koordinasi 4 biasanya menunjukkan suatu susunan yang datar
(atau hampir datar), dimana ion pusat berada di pusat suatu
bujur sangkar itu adalah juga umum (Svehla, 1990).
Ikatan antara inti dan ligan yang bersifat kovalen, yaitu
terjadi sepasang elektron dipakai bersama antara kedua atom
yang berikatan. Dalam ikatan kovalen biasa, kedua pihak
masing-masing memberikan satu elektron sehingga terbentuklah
pasangan elektron tersebut. Dalam membentuk kompleks, ion
logam tidak memberikan elektron, karena sebagai ion positif ia
tidak mempunyai elektron bebas untuk keperluan tersebut maka
kedua elektron disediakan oleh ligan. Ikatan kovalen yang terjadi
karena kedua elektron dan pasangan diberikan oleh satu pihak
saja, disebut ikatan kovalen koordinat. Ligan sebagai “pemberi”
disebut donor pasangan elektron dan inti bersifat sebagai
akseptor pasangan elektron. Dan sini jelas, bahwa ligan haruslah
suatu atom atau gugus atom yang mempunyai kelebihan
pasangan elektron. Yang biasanya menjadi ligan ialah:
1. Ion halogenida (F-, Cl-, Br-, I-), OH- baik dari basa maupun dalam
persenyawaan organik, CN-, gugus karbonil (>C = O), dan
karboksil (-COOH)
69
2. Basa nitrogen (NH3) amina alifatik, piridin dan sebagainya.
3. Beberapa gugus atom yang berisi S,P dan As.
(Harjadi,
1990).
Rumus molekul suatu zat menjelaskan jumlah atom setiap
unsur dalam satu molekul zat itu. Jadi rumus molekul karbon
dioksida ialah CO2; setiap molekul karbon dioksida mengandung
satu atom karbon dan dua atom hidrogen. Rumus molekul
glukosa ialah C6H12O6. Setiap molekul glukosa mengandung 6
atom karbon, 6 oksigen dan 12 hidrogen. Rumus molekul dapat
ditentukan untuk semua zat berwujud gas dan cairan serta
padatan, seperti glukosa, dengan subunit molekul yang
terdefinisikan dengan baik.
Sebaliknya, rumus empiris suatu senyawa ialah rumus
paling sederhana yang memberikan jumlah atom relatif yang
betul untuk setiap jenis atom yang ada di dalam senyawa itu.
Misalnya rumus empiris glukosa ialah CH2O; ini menyatakan
bahwa jumlah atom karbon, hidrogen dan oksigen memiliki
nisbah 1:2:1. Bila rumus molekul diketahui, jelas akan lebih baik,
karena lebih banyak informasi yang didapatkan. Namun
demikian, dalam beberapa padatan dan cairan, tidak ada
molekul kecil yang benar-benar unik, sehingga rumus kimia yang
bermakna hanyalah rumus empiris.
Rumus molekul merupakan kelipatan bilangan bulat dan
rumus empiris. Untuk menentukan rumus molekul diperlukan
pengetahuan mengenai massa molar perkiraan dari senyawa
yang ingin diketahui. Dari hipotesis Avogadro, nisbah massa
molar senyawa gas sama dengan nisbah rapatannya, asalkan
rapatan tersebut diukur pada suhu dan tekanan yang sama
(Oxtoby, 2001).
70
Suatu senyawa koordinasi, sering juga disebut kompleks
koordinasi, mengandung logam atau pusat atau ion yang
dikelilingi oleh sejumlah ion-ion bermuatan berlawanan atau
molekul netral (pemilik pasangan elektron sunyi) yang dikenal
sebagian ligand.
Jika suatu ligand mampu membentuk lebih dari satu ikatan
dengan logam atau ion atom pusat, maka struktur cincin yang
dihasilkan dikenal sebagai logam kelat, gugus-gugus pembentuk
cincin tersebut dijelaskan sebagai agen pengkelat atau ligan
polidentat.
Bilangan koordinasi dari atom atau ion pusat merupakan
jumlah total tempat tempat (sites) yang diduduki ligan-ligan.
Catatan: ligan bidentat menggunakan 2 situs, tridentat 3 situs
dan sebagainya (Retno, 2008).
Istilah oksidasi mengacu pada setiap perubahan kimia
dimana terjadi kenaikan bilangan oksidasi, sedangkan reduksi
digunakan untuk setiap penurunan bilangan oksidasi. Berarti
proses oksidasi disertai dengan hilangnya elektron sedangkan
reduksi memperoleh elektron. Oksidator adalah senyawa dimana
atom yang terkandung mengalami penurunan bilangan oksidasi.
Sebaliknya pada reduktor, atom yang terkandung mengalami
kenaikan bilangan oksidasi. Oksidasi-reduksi harus selalu
berlangsung bersama dan saling mengkompensasi satu sama
lain. Istilah oksidator reduktor mengacu kepada suatu senyawa,
tidak kapada atomnya saja. Jika suatu reagen berperan baik
sebagai reduktor dan oksidator, maka dikatakan zat tersebut
mengalami auto oksidasi dan disporporsional.
Banyak sekali metode volumetri yang berprinsipkan pada
transfer elektron. Pemisahan pada transfer elektron. Pemisahan
oksidasi reduksi menjadi komponen-komponennya, yaitu reaksi
71
separuhnya adalah cara untuk menunjukkan masing-masing
spesies yang memperoleh ataupun kehilangan elektron. Reaksi
oksidasi reduksi berasal dari transfer langsung elektron dari
donor ke akseptor. Bermacam reaksi redoks dapat digunakan
untuk analisis titrasi volumetrik asalkan kesetimbangan yang
tercapai setiap penambahan titran dapat berlangsung dengan
cepat. Dan diperlukan juga adanya indikator yang mampu
menunjukkan titik ekuivalen stikiometri dengan akurasi yang
tinggi. Banyak titrasi redoks selalu dalam kesetimbangan pada
seluruh titik setelah mulainya titrasi sehingga potensial reduksi
untuk separuh sel adalah identik pada seluruh titik. Sedangkan
potensial sel yaitu E sel berubah selama titrasi, perubahannya
spesifik. Pada sekitar titik ekuivalen perubahan potensial adalah
yang paling besar. Variasi E sel dengan volume titran
menunjukkan bahwa sistem titrasi redoks dapat digunakan untuk
menentukan titrasi yang paling sulit ditentukan titik
ekuivalennya. Karena informasi mengenai laju atau mekanisme
reaksinya tidak ada maka potensial elektroda dapat berperan
sebagai penunjuk pengenai kondisi kesetimbangan. Banyak
reaksi redoks yang berlangsung lambat, sehingga sering
digunakan suatu katalis untuk mempercepatnya. Kurva titrasi
dapat dibuat dengan mengalirkan potensial sel terhadap volume
titran (Khopkar, 2007).
Ion-ion dan molekul-molekul anorganik sederhana seperti
NH3, CN-, Cl-, H2O membentuk ligan monodentat, yaitu satu ion
atau molekul menempati salah satu ruang yang tersedia sekitar
ion pusat dalam bulatan koordinasi, tetapi ligan bidentat (seperti
dipiridil), tridentat dan juga tetradentat dikenal orang. Kompleks
yang terdiri dari ligan-ligan polidentat sering disebut sepit
(chelate). Nama ini berasal dari kata Yunani untuk sepit kepiting,
72
yang menggigit suatu objek seperti ligan-ligan polidentat itu
“menangkap” ion pusatnya. Pembentukan kompleks sepit
dipakai secara ekstensif dalam analisis kimia kuantitatif (titrasi
kompleksometri).
Rumus dan nama beberapa ion kompleks adalah sebagai
berikut:
[Fe(CN)6]4- heksasianoferrat (II)
[Fe(CN)6]3- heksasianoferrat (III)
[Cu(NH3)4]2+ tetraaminakuprat (II)
[Cu(CN)4]3- tetrasianokuprat (I)
[Co(H2O)6]3+ heksaakuokobaltat (III)
[Ag(CN)2]- disianoargentat (I)
[Ag(S2O3)4]2+ ditiosufatoargentat (I).
Dari contoh-contoh ini kaidah tatanama nampak jelas.
Atom pusat (seperti Fe, Cu, Co, Ag) diikuti oleh rumus ligan (CN,
NH3, H2O, S2O3) dengan bilangan indeks stoikiometri (yang dalam
hal ligan monodentat adalah sama dengan bilangan koordinasi).
Rumus ini ditaruh antara tanda kurung itu menurut cara biasa.
Bila menyatakan konsentrasi kompleks, akan dipakai tanda
kurung tipe [ ] untuk menghindari kekacauan. Dalam nama
ionnya mula-mula dinyatakan jumlah (bahasa yunani) ligan, lalu
nama ligan diikuti oleh nama atom pusat serta bilangan oksidasinya (valensinya).
Untuk menyatakan komposisi bahan yang molekul-molekulnya terdiri dari
atom-atom yang labih banyak, dipakai rumus empiris. Ini terdiri dari lambang
unsur-unsur yang membentuk zat tersebut. Jumlah atom suatu unsur tertentu
dalam molekul itu, ditulis sebagai subskrip di balakang lambang unsur itu (tetapi
1 tak pernah ditulis sebagai subskrip, karena lambang unsur itu sendiri sudah
menyatakan satu atom).
Meskipun tak ada kaidah-kaidah yang ketat mengenai urut-urutan lambang atom
dalam suatu rumus kimia, untuk zat-zat anorganik, umumnya lambang logam
(metal) atau lambang hidrogen ditulis paling pertama, diikuti dengan nonlogam
73
(atau metaloid), dan akhirnya oksigen. Dalam rumus zat-zat organik urut-urutan
yang umum berlaku adalah C, H, O, N, S, P.
Penentuan rumus empiris suatu senyawa dapat dilakukan secara
eksperimen, dengan menentukan persentase jumlah unsur-unsur yang terdapat
dalam zat itu, memakai metode analisis kimia kuantitatif. Bersamaan dengan ini,
massa molekul relatif senyawa itu juga harus diukur. Dari data ini, rumus empiris
dapat ditentukan dengan suatu perhitungan yang sederhana. (Svehla, 1990).
Dua penerapan titrasi yang paling lazim digunakan melibatkan reaksi
netralisasi asam-basa dan reaksi oksidasi reduksi (redoks). Dalam reaksi redoks
elektron berpindah diantara spesies-spesies yang bereaksi sewaktu mereka
berkombinasi membentuk produk. Pertukaran ini sebagai perubahan bilangan
oksidasi reaktan: bilangan oksidasi spesies yang memberikan elektron meningkat
(Oxtoby, 2001).
74
BAB 3
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat-alat
Corong kaca
Beaker glass
Hot plate
Neraca analitik
Spatula
Batang pengaduk
Labu Erlenmeyer
Gelas ukur
Botol semprot
Pipet tetes
Termometer
Buret
Klem
Tiang statif
3.1.2 Bahan-bahan
Garam Mohr
Aquades (H2O)
Larutan H2SO4 (P)
Larutan H2C2O4 0,1N
Larutan H2SO4 2M
Larutan KMnO4 0,12N
75
Kertas saring
Vaselin
Aluminium foil
Tissue
Kertas label
3.2 Prosedur percobaan
3.2.1 Pembuatan kristal
Diambil 4 garam kristal garam Mohr
Ditambah 12 mL H2O
Ditambah 10 tetes H2SO4 pekat dan dihomogenkan
Ditimbang 2 gr H2C2O4
Ditambah 15 mL H2O, dihomogenkan
Dicampurkan larutan tersebut
Dipanaskan hingga mendidih
Diendapkan campuran larutan
Disaring (endapan diambil dan filtrat dibuang)
Dicuci endapan dengan H2O panas
Disaring
Dikeringkan endapan dalam oven
Ditimbang berat padatan kristal
3.2.2 Proses Titrasi
Diambil 0,01 gram kristal yang terbentuk
Ditambah 5 mL H2SO4 2M
Dipanaskan pada suhu 60°−80℃
Dititrasi dengan KMnO4 0,1M
Dicatat volume titrasi yang didapatkan
76
3.3 Flowsheet
77
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tabel Pengamatan
Perlakuan Pengamatan
1. Pembuatan Kristal
- 4 gr kristal garam Mohr + 12 ml
H2O + 10 tetes H2SO4 (p) ,
homogenkan
- 2 gr H2C2O4 + 15 ml H2O
homogenkan
- Dicampurkan
- Panaskan hingga mendidih,
endapkan
- Saring
- Cuci endapan dengan air panas
dalam kertas saring
- Saring, keringkan , timbang
- Kristal hijau keputihan, kuning
keruh larutan homogen bening
kehijauan
- Kristal putih, larutan bening
- Kuning keruh
- Mulai terbentuk endapan kuning
- Endapan kuning , filtrat bening
kekuningan
- Massanya = 1,67 gr dan serbuk
kuning halus
2. Standarisasi KMnO4
- 10 ml H2C2O4 0,1 N
- 10 ml H2SO4 4 N
- Dicampur ke Erlenmeyer
- Dipanaskan dengan suhu 60 - 80°
C
- Titrasi dengan KMnO4
- Catat volume titrasi
- Hitung konsentrasi KMnO4
- Larutan bening
- Larutan bening
- Larutan bening
- Larutan merah lembayung
- Volumenya 9 mL
- V1.N1 = V2.N2
10 . 0,1 = 9 . N2
N2 = 19=0,11N
3. Proses Titrasi
- Ambil 0,01 gr kristal yang
78
terbentuk
- Ditambah 5 ml H2SO4 2 M
- Panaskan pada suhu 60 - 80° C
- Titrasi dengan KMnO4 0,11 N
hingga terbentuk perubahan
warna
- Catat volume KMnO4 yang
dipakai
- Menjadi larutan kuning keruh
- Larutan menjadi merah jambu
- Volume KMnO4 yang digunakan
sebanyak 2,9 ml.
4.2 Reaksi-reaksi
4.2.1 KMnO4 + Fe2+
Oksidasi : Fe2+ Fe3+
Fe2+ Fe3+ + e-
KMnO4 MnO4-
Reduksi : MnO4- Mn2+
MnO4- Mn2+ + 4 H2O
MnO4- + 8 H+ Mn2+ + 4 H2O
MnO4- + 8 H+ + 5 e- Mn2+ + 4 H2O
Oksidasi : Fe2+ Fe3+ + e- x 5
Reduksi : MnO4- + 8 H+ + 5 e- Mn2+ + 4 H2O x 1
5 Fe2+ 5 Fe3+ + 5e-
MnO4- + 8 H+ + 5 e- Mn2+ + 4 H2O
MnO4- + 5 Fe2+ + 8 H+ Mn2+ 5 Fe3+ + 4 H2O
Reaksi lengkap:
2 KMnO4 + 15 FeSO4 + 3 H2SO4 5 Fe2 (SO4)3 + 2 MnSO4 + 4 H2O +
K2SO4
4.2.2 KMnO4 + H2C2O4
H2C2O4 2 H+ + C2O42-
Oksidasi : C2O42- CO2
C2O42- 2 CO2
79
C2O42- 2 CO2 + 2 e-
KMnO4 K+ + MnO4-
Reduksi : MnO4- Mn2+
MnO4- Mn2+ + 4 H2O
MnO4- + 8 H+ Mn2+ + 4 H2O
MnO4- + 8 H+ + 5 e- Mn2+ + 4 H2O
Oksidasi : C2O42- 2 CO2 + 2 e- x 5
Reduksi :MnO4- + 8 H+ + 5 e- Mn2+ + 4 H2O x 2
5 C2O42- 10 CO2 + 10 e-
2 MnO4- + 16 H+ + 10 e- 2 Mn2+ + 8 H2O
2 MnO4- + 5 C2O4
2- + 16 H+ 2 Mn2+ + 10 CO2 + 8 H2O
4.2.3 rekasi garam Mohr dengan H2SO4
(NH4)2 Fe(SO)4.6 H2O + H2SO4 (NH4)2 Fe(SO4)2 6 H2O(l) + H2SO4
4.2.4 Reaksi Fe2+ dengan H2C2O4
(NH4)2 Fe(SO4)2. 6 H2O(l) + H2C2O4 FeC2O4 + 5 H2O + (NH4)2
(SO4)2 + H2SO4
4.3 Perhitungan
M KMnO4 = N KMnO 4
Koefisien Fe 2+¿¿
¿ 0.115
= 0.022 M
Mol KMnO4= M x V
= 0.022 M X 2,9 x 10-3 L
= 6,38 x 10-5 mol
Mol Fe2+ = koef .Fe2+¿ x mol KMnO 4
koef . KMnO4
¿
80
= 5 x 6,38.10−5
1
= 3,19 x 10-4 mol
BM Fe2+ = gr
mol
= 0.01 gr
3,19 x 10−4 mol
= 31,348 gr/mol
4.4 Pembahasan
Pada percobaan kali ini metode yang digunakan adalah metode
volumetri, yaitu penambahan larutan standar yang konsentrasinya diketahui
kepada larutan cuplikan yang konsentrasinya diketahui kepada larutan cupikan
yang konsentrasinya diketahui kepada larutan cuplikan yang konsentrasinya tidak
diketahui hingga titik akhir titrasi. Sehingga dapat diketahui konsentrasi larutan
contoh dan jumlah larutan standar yang bereaksi secara ekuivalen dengan larutan
contoh.
Terdapat macam-macam titrasi, antara lain:
Titrasi asidi-alkalimetri, yaitu titrasi yang menyangkut asam dan basa.
Dalam titrasi ini perubahan terpenting yang mendasari penentuan titik
akhir dan cara perhitungan ialah perubahan pH titrat.
Titrasi presipitimetri, yaitu titrasi dimana terbentuk endapan. Semakin
kecil kelarutan endapan semakin sempurna reaksinya.
Titrasi kompleksometri, yaitu titrasi berdasarkan pembentukkan
persenyawaan kompleks (ion kompleks atau garam yang sukar
mengion).
Titrasi redoks, yaitu titrasi yang melibatkan perpindahan elektron,
disini terdapat unsur yang mengalami perubahan tingkat oksidasi.
Percobaan kali ini menggunakan jenis titrasi redoks. Alasannya karena Fe
(II) merupakan zat yang mudah mengalami oksidasi. Sehingga untuk mengetahui
jumlah Fe (II) dalam senyawa yang terbentuk, digunakan larutan standar yang
merupakan oksidator kuat, yaitu KMnO4.
81
KMnO4 memiliki daya oksidasi yang besar dalam keadaan asam. Sehingga
banyak digunakan sebagai larutan standar dalam titrasi redoks. Selain itu, KMnO4
memiliki warna yang khas sehingga tidak memerlukan indikator lain untuk
menentukan tercapainya titik akhir titrasi.
Pada praktikum kali ini, ditimbang 4 gr kristal garam mohr. Kristal garam
mohr berupa kristal hijau keputihan. Kristal ditambah 12 mL aquades, menjadi
larutan kuning keruh. Kemudian tambahkan 10 tetes H2SO4 pekat dan
dihomogenkan. Larutan menjadi bening kehijauan, inilah larutan garam mohr.
Kemudian ditimbang 2 gr H2C2O4. Kristal H2C2O4 berupa kristal putih. Kristal ini
ditambahkan aquades. Terbentuklah larutan H2C2O4 berupa larutan bening.
Larutan garam mohr dicampurkan dengan larutan H2C2O4 larutan inipun
menjadi kuning keruh. Kemudian larutan dipanaskan hingga mendidih. Pada
proses pemanasan larutan mulai berubah menjadi kuning. Kemudian kita
endapkan larutan. Pada peristiwa ini mulai terbentuk endapan kuning. Lalu
disaring, endapan berada dikertas saring dan bewarna bening, sedangkan filtrat
berwarna bening kekuningan. Jika masih ada endapan yang terdapat pada dinding
gelas kimia dapat dicuci endapan dengan air panas, dan tuangkan pada kertas
saring. Air panas juga berfungsi untuk mengikat zat-zat pengotor. Kertas saring
yang berisi endapan dapat dikeringkan, dengan bantuan oven. Setelah kering,
kertas saring ditimbang, massa kristal yang diperoleh sebanyak 1,67 gr.
Karakteristik kristal yang terbentuk berupa serbuk kuning, memiliki luas
permukaan yang besar dan halus.
Kemudian serbuk yang diperoleh, ditimbang sebanyak 0,01 gr. Lalu
tambahkan 5 mL larutan H2SO4 2M. Terbentuklah larutan kuning keruh.
Kemudian larutan dipanasakan antara suhu 60°−80℃. Pada kisaran suhu ini
reaksi akan berjalan stabil. Jika suhu berada dibawah 60℃, maka endapan MnO2
akan terbentuk dari KMnO4 dan jika berada diatas suhu 80℃ maka C2O42- dan
larutan akan terurai dan menguap menjadi CO2. Setelah pemanasan, larutan di
titrasi dengan larutan KMnO4 0,11 N hingga terbentuk perubahan warna. Disinilah
titik akhir titrasi terjadi, yaitu larutan merah jambu. Volume KMnO4 yang
digunakan sebanyak 2,9 mL. Tercapainya titik akhir titrasi menandakan mol
82
KMnO4 yang bereaksi setara dengan mol Fe (II) dalam larutan, sehingga dari
perhitungan dapat diketahui BM dari I2 yang terkandung dalam larutan yaitu 31,35
gr/mol. Hasil yang diperoleh berbeda dengan BM Fe (II) dari literatur yaitu 56
gr/mol. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor kesalahan yaitu:
Kesalahan pada saat penimbangan
Larutan KMnO4 yang sudah teroksidasi oleh cahaya matahari
Pada saat penitrasian suhu larutan mungkin tidak berada antara 60
°−80℃
Pada percobaan ini, terdapat beberapa perlakuan yang berfungsi sebagai berikut:
Pemanasan, berfungsi untuk mempercepat reaksi dalam hal terbentuknya
endapan
Pengendapan, berfungsi untuk memudahkan proses pemisahan endapan
dengan filtratnya
Penyaringan, berfungsi untuk memisahkan endapan dari filtratnya,
dimana endapan akan digunakan pada percobaan selanjutnya
Pencucian endapan, berfungsi untuk mengikat pengotor yang masih ada
di dalam endapan yang masih mengalir ke dalam erlenmeyer.
Pengeringan, berfungsi agar endapan menjadi kering hingga menjadi
kristal
Penimbangan, berfungsi untuk mengetahui massa dari garam mohr,
kristal H2C2O4 dan kristal yang diperoleh dari percobaan.
Pemanasan 60°−80℃, jika pemanasan berlangsung dibawah 60℃,
senyawa KMnO4 akan mengendap menjadi MnO2 namun jika dilakukan
pemanasan pada suhu 80℃. Senyawa C2O42- yang ada akan menguap
menjadi CO2 dengan H2O.
Titrasi berfungsi untuk mengetahui kandungan Fe (II) dalam senyawa
yang terbentuk.
Pencampuran larutan Fe(II) dengan larutan oksalat untuk membentuk
senyawa kompleks dari hasil reaksi kedua larutan.
Selain perlakuan, adapula beberapa reagen yang berfungsi, antara lain:
83
Garam mohr berfungsi sebagai bahan baku, sebagai penghasil garam Fe
(II).
H2O brfungsi sebagai pelarut.
H2SO4 berfungsi sebagai katalis dan pemberi suasana asam.
H2C2O4 berfungsi sebagai pembentuk ligan oksalat.
H2O panas berfungsi untuk mencuci endapan hasil reaksi antara garam
mohr dengan H2C2O4 setelah penyaringan.
KMnO4 berfungsi sebagai larutan standar dalam titrasi redoks untuk
mengetahui kandungan Fe (II) dalam senyawa yang terbentuk.
Autokatalisator adalah bahan yang digunakan dalam suatu reaksi,
selain sebagai reaktan dia juga berlaku sebagai katalis yang mengakibatkan aju
reaksi akan bertambah cepat. Pada percobaan ini yang bertindak sebagai
autokatalisator yaitu H2SO4 2M.
Autoindikator adalah bahan yang digunakan dalam suatu reaksi, selain
sebagai reaktan dia juga berlaku sebagai indikator yang memberikan perubahan
warna pada saat proses titrasi untuk menentukan konsentrasi. Dalam percobaan ini
yang bertindak sebagai autoindikator yaitu larutan KMnO4 dengan konsentrasi
0,11 N.
84
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Karakteristik kristal besi (II) oksalat yang terbentuk pada
percobaan kali ini adalah butiran halus berwarna kuning
terang.
Pada percobaan dapat diketahui BM Fe2+ yang di dapat
dari hasil perhitungan. Berat molekul dari Fe2+ adalah
15,38 gr/mol.
Massa kristal besi (II) oksalat yang terbentuk dalam
percobaan kali ini adalah 2,14 gr.
5.2 Saran
Sebaiknya pada percobaan selanjutnya menggunakan
oksidator lain pada proses titrasi seperti K2Cr2O7 agar
pengetahuan praktikan bertambah.
85
DAFTAR PUSTAKA
Hardjadi .1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Gramedia.
Khopkar, S.M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-Press.
Oxtoby, David W. 2001. Prinsip-Prinsip Kimia Modern. Jakarta: Erlangga.
Retno, Dwi Suyanti. 2008. Kimia Koordinasi pendukung Kimia Anorganik Fisik.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Svehla, G. 1990. Buku Teks Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro. Jakarta:
Kalman Media Pustaka.
86