4 kasus terkait kekayaan negara

8
TUGAS SEMINAR MANAJEMEN KEKAYAAN NEGARA Sigit Luhur Pambudi Kelas IX C Akuntansi Kurikulum Khusus, Absen 24, NPM 144060006249 Politeknik Keuangan Negara – STAN 1. KONSEKUENSI HUKUM DAN ADMINISTRATIF DARI STATUS “DIKUASAKAN” DAN “DISERAHKAN” PADA UU NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA Undang-undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pada Pasal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Lalu pada ayat berikutnya dijelaskan lebih lanjut tentang kekuasaan yang dimaksud pada ayat 1 tersebut. Pasal 6 ayat 2: Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) : a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan; b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya; c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Dilihat pada ayat 2 diatas terdapat perbedaan penggunaan kata ‘dikuasakan’ untuk Menteri Keuangan dan menteri/pimpinan lembaga dengan penggunaan kata ‘diserahkan’ untuk gubernur/walikota/bupati. Presiden sebagai kepada pemerintahan memberikan kuasa kepada Menteri Keuangan untuk mengelola keuangan 1

Upload: sigit-luhur-pambudi

Post on 09-Feb-2016

16 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Tugas SMKN

TRANSCRIPT

Page 1: 4 kasus terkait Kekayaan Negara

TUGAS SEMINAR MANAJEMEN KEKAYAAN NEGARA

Sigit Luhur PambudiKelas IX C Akuntansi Kurikulum Khusus, Absen 24, NPM 144060006249

Politeknik Keuangan Negara – STAN

1. KONSEKUENSI HUKUM DAN ADMINISTRATIF DARI STATUS “DIKUASAKAN” DAN “DISERAHKAN” PADA UU NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA

Undang-undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pada Pasal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Lalu pada ayat berikutnya dijelaskan lebih lanjut tentang kekuasaan yang dimaksud pada ayat 1 tersebut.

Pasal 6 ayat 2: Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :

a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;

b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;

c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Dilihat pada ayat 2 diatas terdapat perbedaan penggunaan kata ‘dikuasakan’ untuk Menteri Keuangan dan menteri/pimpinan lembaga dengan penggunaan kata ‘diserahkan’ untuk gubernur/walikota/bupati. Presiden sebagai kepada pemerintahan memberikan kuasa kepada Menteri Keuangan untuk mengelola keuangan Negara (sebagai Bendahara Umum Negara ataupun sebagai Chief Operational Officer). Arti kata dikuasakan dalam hal ini adalah Menteri keuangan sebagai BUN ataupun menteri dan pimpinan lembaga lainnya bertindak sebagai pembantu presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud. Pengelolaan keuangan Negara yang dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku BUN nantinya akan dipertanggungjawabkan kepada DPR RI sebagai wakil rakyat dalam LKBUN, sementara menteri dan pimpinan lembaga lainnya akan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan Negara yang telah dikuasakan pemerintah ke dalam LKPP.

Dalam kaitannya dengan pengelolaan BMN, sebagai bagian dari keuangan Negara, maka menteri dan pimpinan lembaga sebagai unit akuntansi pengguna barang juga akan melakukan pengelolaan BMN yang ada di instansinya masing-masing.

1

Page 2: 4 kasus terkait Kekayaan Negara

Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.

Dalam hal diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota berarti bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan Negara benar-benar diserahkan kepada pimpinan daerah. Disini dapat dikatakan adanya pengalihan tanggung jawab dari pemerintah kepada pemerintah daerah atas pengelolaan keuangannya. Hal ini sesuai dengan prinsip otonomi daerah bahwa tiap daerah baik itu provinsi, kabupaten ataupun kota mempunyai pemerintahannya sendiri-sendiri dan setiap pemerintahan daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Hal tersebut diatas sesuai dengan UUD 1945 pasal 18 ayat 5 yang berbunyi ”Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat” dan pasal 18A ayat 2 dengan petikan berbunyi ”… Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang”.

Oleh karena itu, pemerintah daerah juga secara otomatis memiliki tugas dan tanggung jawab atas pengelolaan BMD yang terdapat dibawah kekuasaannya. Hal ini selaras dengan status diserahkannya pengelolaan keuangan daerah kepada pemerintah daerah masing-masing.

2. PENDELEGASIAN WEWENANG YANG DIATUR DALAM PMK NOMOR 04 TAHUN 2015 DIKAITKAN DENGAN PERATURAN DIATASNYA

Pengelolaan BMN/D diatur dalam PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Peraturan Pemerintah tersebut antara lain mengatur bahwa Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang  mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menetapkan status penguasan dan penggunaan Barang Milik Negara, sedangkan Menteri / Pimpinan Lembaga sebagai Pengguna Barang mempunyai kewenangan dan tanggung jawab antara lain mengajukan permohonan penetapan status penggunaan Barang Milik Negara yang  berada dalam penguasaannya kepada Pengelola Barang. Pada PP tersebut diatur mengenai wewenang pengelola barang milik Negara untuk mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab tertentu kepada pengguna/kuasa pengguna barang (Pasal 4 ayat 2-3). Sementara pada ayat 4 lebih dijelaskan lagi bahwa pendelegasian tersebut akan diatur lebih rinci dalam peraturan menteri keuangan.

2

Page 3: 4 kasus terkait Kekayaan Negara

Oleh karena itu, maka terbitlah PMK Nomor 04 Tahun 2015 tentang pendelegasian kewenangan dan tanggung jawab tertentu dari pengelola barang kepada pengguna barang. Peraturan Menteri ini meliputi pendelegasian kewenangan dan tanggung jawab pengelola barang kepada pengguna barang terhadap pengelolaan BMN berupa Penggunaan, Pemindahtanganan, Pemusnahan dan Penghapusan.

Jika kita merunut peraturan diatasnya dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara antara lain menyatakan bahwa Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal mempunyai tugas melaksanakan fungsi Bendahara Umum Negara, sedangkan Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai Pengguna Barang mempunyai tugas mengelola barang milik / kekayaan Negara yang menjadi tanggung jawabnya.

2. Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara antara lain menyatakan bahwa selaku bendahara umum Negara berwenang menetapkan kebijakan, dan pedoman pengelolaan,serta penghapusan barang milik Negara sedangkan Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna barang berwenang menggunakan barang milik Negara.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah antara lain menyatakan bahwa Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara adalah pengelola barang mempunyai kewenangan dan tanggung jawab merumuskan kebijakan, mengatur, menetapkan pedoman pengelolaan barang milik Negara, menetapkan status penguasaan dan penggunaan barang milik Negara, disamping itu Pengelola Barang dapat mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab tertentu kepada Pengguna Barang / Kuasa Pengguna Barang.

Secara teoritis peraturan perundang-undangan merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki dan tidak membenarkan adanya pertentangan antara unsur-unsur atau bagian-bagian di dalamnya. Peraturan perundangan akan menjadi sebuah hukum nasional karena satu dengan yang lain harus ada keterkaitan dan melebur menjadi suatu sistem. Peraturan perundangan yang harmonis dan terintegrasi akan mewujudkan ketertiban dan menjamin kepastian dan perlindungan hukum.

Pada kasus terkait pendelegasian kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan BMN kepada pengguna/kuasa pengguna barang menurut saya tidak ada disharmoni hukum disini. PMK Nomor 04 Tahun 2015 sebagai turunan dari PP Nomor 27 tahun 2014 telah mengatur secara teknis syarat dan ketentuan pendelegasian tersebut. Pelaksanaan penerapan peraturan terkait pendelegasian pengelolaan BMN ini menurut saya efektif dilakukan saat ini mengingat bahwa kedepan pengelolaan BMN akan semakin kompleks sehingga diperlukan peraturan yang

3

Page 4: 4 kasus terkait Kekayaan Negara

meringankan atau mempercepat birokrasi tanpa melanggar peraturan perundangan yang sudah berlaku sebelumnya.

3. PERBEDAAN RUANG LINGKUP PERENCANAAN KEBUTUHAN BMN ANTARA PMK NOMOR 150 TAHUN 2014 DENGAN PP NOMOR 27 TAHUN 2014

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan BMN/D disebutkan bahwa salah satu tahapan dalam pengelolaan BMN/D adalah tahap perencanaan kebutuhan dan penganggaran BMN yang diatur dalam BAB III (Pasal 9-11). Peraturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan BMN/D yang secara lebih lanjut mengatur perencanaan kebutuhan dan penganggaran BMN adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150 Tahun 2014 tentang Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara.

Yang menarik dari dua peraturan yang saling terkait tersebut adalah pada PP Nomor 27 Tahun 2014 mengatur tentang perencanaan kebutuhan BMN antara lain meliputi perencanaan pengadaan, pemeliharaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, dan Penghapusan Barang Milik Negara/Daerah. Ada 5 (lima) kategori perencanaan kebutuhan BMN yang disebutkan dalam PP tersebut. Sementara pada peraturan turunannya yaitu PMK Nomor 150 Tahun 2014 mengatur bahwa perencanaan kebutuhan BMN adalah meliputi perencanaan pengadaan BMN dan perencanaan pemeliharaan BMN. Hanya ada 2 (dua) kategori perencanaan kebutuhan BMN.

Hal tersebut terjadi bukan karena bertentangan dengan PP diatasnya tetapi ingin agar PMK yang menjadi turunan PP dapat mengatur secara jelas dan spesifik mengenai perencanaan pengadaan dan pemeliharaan. Selain itu kedua kategori perencanaan BMN tersebut berhubungan langsung dengan fungsi penganggaran sehingga patut untuk diatur lebih rinci. Sementara mengenai perluasan definisi perencanaan yang baru akan diatur dalam PMK yang lain secara lebih rinci. Hal ini bertujuan untuk menghindari multitafsir karena semua sudah tertuang secara tertulis dalam aturan.

4. PENGARUH PENERAPAN SISTEM AKUNTANSI BERBASIS AKRUAL TERHADAP PENGELOLAAN BMN

Sebagaimana diketahui bahwa mulai Tahun Anggaran 2015 Pemerintah wajib menerapkan system akuntansi berbasis akrual. Sistem akuntansi berbasis akrual ini memiliki perbedaan dengan system akuntansi kas menuju akrual yaitu pada pengakuan pendapatan, belanja, transfer dan pembiayaan. Ketika full accrual basis sudah diterapkan maka pendapatan, belanja, transfer dan pembiayaan harus diakui ketika terjadi transaksi yang akan mempengaruhi akun pemerintah.

Efek dari perubahan tersebut terlihat dalam pencatatan transaksi BMN. Perubahan dalam pencatatan transaksi BMN pada sistem akuntansi berbasis akrual antara lain:

4

Page 5: 4 kasus terkait Kekayaan Negara

1. Pengadaan AsetDalam sistem akuntansi akrual perolehan asset dilakukan dengan menunjukkan informasi apakah asset tersebut diperoleh secara tunai atau kredit. (Commonwealth of Australia, 1996). Nilai bersih asset diakui dengan cara mengurangi depresiasi asset pada tahun berjalan dari nilai historis asset tersebut.

2. Penggunaan AsetPengakuan nilai depresiasi atas penggunaan asset selama tahun berjalan harus diakui dengan membuat mata anggaran untuk nilai yang terdepresiasi. Nilai depresiasi didapat dengan membagi estimasi sumber daya yang digunakan untuk memperoleh asset tersebut didasarkan pada umur manfaat asset sesuai dengan peraturan pemerintah.

3. Pelepasan AsetJika asset telah usang dan tidak digunakan lagi maka asset tersebut sudah waktunya untuk di disposal. Harga jual asset akan dinyatakan sebagai kas. Surplus dan deficit didapat dari selisih antara harga jual dan nilai buku yang tercatat (harga beli dikurangi dengan nilai depriasi).

Sistem akuntansi akrual mewajibkan untuk dilakukannya penyusutan terhadap asset tetap/BMN. Saat ini untuk penerapan penyusutan pada BMN dilakukan dengan menggunakan metode garis lurus dan tanpa nilai sisa sesuai dengan umur masa manfaat BMN tersebut. Beberapa kendala yang perlu diperhatikan dalam penerapan penyusutan BMN antara lain adalah:

1. Penyusutan dengan metode garis lurus terkadang tidak memberikan nilai BMN yang sesungguhnya karena pada akhir masa manfaat sebenarnya BMN masih memiliki nilai sisa yang tidak sama dengan 0 (nol);

2. Penerapan masa manfaat ekonomi disamaratakan untuk tiap jenis BMN. Misalkan kendaraan, apakah itu kendaraan pejabat ataupun kendaraan operasional sehari-hari memiliki umur masa manfaat yang sama;

3. Keberadaan dan kondisi asset itu sendiri kadang masih diragukan. Daftar Aset Tetap pada satuan kerja yang seharusnya mencerminkan keberadaan dan kondisi aset pada satuan kerja menjadi informasi yang sering diragukan, karena banyak Aset Tetap tidak di-update kondisinya;

4. Belum semua asset tetap tercatat dalam daftar asset tetap dan belum memiliki harga perolehan yang dianggap wajar.

5