whistle blower yang terkait kasus dan yang tidak terkait ... · blower yang terkait kasus dan yang...

73
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user KAJIAN TEORITIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Dalam ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Disusun Oleh : TIARA RIZCKY AMMELLIA E 1107078 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

Upload: phamdung

Post on 23-Apr-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i

KAJIAN TEORITIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK

TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF

PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

Dalam ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Disusun Oleh :

TIARA RIZCKY AMMELLIA

E 1107078

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

Page 2: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

Page 3: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

Page 4: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

PERNYATAAN

Yang bertandatangan dibawah ini:

Nama : Tiara Rizcky Ammellia

NIM : E1107078

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (Skripsi) berjudul:

KAJIAN TEORITIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLE

BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT

KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI

INDONESIA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya

dalam penulisan hukum ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar

pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi)

dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Maret 2011

Tiara Rizcky Ammellia

NIM. E1107078

iv

Page 5: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

MOTTO

“Jenius adalah 1% inspirasi dan 99% keringat. Tidak ada yang menggantikan

kerja keras. Keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan

bertemu dengan kesiapan”.

(Thomas Alfa Edison)

“Suatu kehidupan yang penuh dengan kesalahan tak hanya lebih berharga namun

juga lebih berguna dibandingkan hidup tanpa melakukan sesuatu apapun”.

(George Bernard Shaw)

“Yang terpenting di dalam kehidupan bukanlah suatu kemenangan melainkan

bagaimana bertanding dengan baik”.

(Barron Pierre De Coubertin)

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah

selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang

lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”

(Q.S Alam Nasyrah: 6-8)

”Kebahagiaan terbesar dalam hidup ini adalah bila kita berhasil melakukan apa

yang menurut orang lain tidak dapat kita lakukan”

(Walter Beganhot)

v

Page 6: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Karya kecil ini penulis persembahkan kepada:

❧ Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan tak terhingga

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.

❧ Nabi Muhammad SAW, sebagai ”Suri tauladan bagiku”.

❧ Bapak dan Bundaku tercinta, tersayang yang senantiasa

mendukung kuliah, memberikan doa dan nasihat, semangat, cinta

dan kasih sayang serta kerja keras, keikhlasan yang tak ternilai

harganya demi mewujudkan cita-citaku menjadi seorang Sarjana

Hukum dan membuatku lebih menghargai setiap waktu dan

kesempatan di dalam hidupku.

❧ Kakakku tersayang ”Tiri Prabowo”, serta si kembar ”Firdaus

Novandy Kurniawan” dan ”Anisa Novidia Kurniasari” yang selalu

menghiburku serta keceriannya yang selalu memberi semangat

kepadaku.

❧ Sahabat-sahabatku di rumah dan di Solo yang memberikan

percikan dan bumbu dalam kehidupanku selama kuliah.

❧ Dia yang ada di hati.

vi

Page 7: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

ABSTRAK

TIARA RIZCKY AMMELLIA. E1107078. 2011. KAJIAN TEORITIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET. Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait kasus dan perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia. Penulisan hukum ini merupakan penulisan hukum normatif yang bersifat preskriptif, menggunakan pendekatan undang- undang dan pendekatan konseptual. Penulisan ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Metode dalam pengumpulan bahan hukum tersebut adalah studi kepustakaan. Bahan hukum yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan pendekatan Undang-Undang (statue approach). Berdasarkan hasil penelitian yang dituangkan dalam pembahasan ditarik kesimpulan, bahwa perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu berupa pengurangan tuntutan yang berimplikasi pada pengurangan pidana yang dijatuhkan oleh hakim atas kesaksian yang diberikan olehnya dan diatur pula dalam Pasal 51 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam hal delik penyertaan yang menjadi dasar untuk dilakukan asas opportunitas oleh jaksa, sehingga saksi tersebut tidak dipidana. Perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu pada Pasal 117 ayat (1), Pasal 118, Pasal 166, Pasal 173, Pasal 177, Pasal 178, Pasal 229 dan Pasal 98, dan perlindungannya diatur pula dalam Pasal 5 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kata Kunci : Perlindungan saksi, penegakan hukum pidana.

vii

Page 8: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

ABSTRACT

TIARA RIZCKY AMMELIA. E1107078. A THEORETICAL STUDY ON LAW PROTECTION FOR WHISTLE BLOWER RELATED AND UNRELATED TO THE CASE IN THE PERSPECTIVE OF CRIMINAL LAW ENFORCEMENT IN INDONESIA. LAW FACULTY OF SEBELAS MARET UNIVERSITY.

This research aims to find out the law protection for whistle blower is related and unrelated to the case in the perspective of criminal law enforcement in Indonesia.

This study belongs to a normative law research that is prescriptive in nature using statue and conceptual approaches. This research employed primary, secondary, and tertiary law materials. The method of collecting data used was library study. The law material collected was then analyzed using statue approach.

Considering the result of research put in the discussion, it can be concluded, that law protection for Whistle Blower related to the case in the perspective of criminal law enforcement in Indonesia is regulated in Article 10 clause (2) of Act Number 13 of 2006 about the Witness and Victim Protection imposed by the judge for the testimony given by the witness and also in Article 51 clause (1) Penal Code in the accompanying statement underlying the opportunity principle carried out by the judge, so that the witness is not condemned. The law protection for whistle blower unrelated to the case in in the perspective of criminal law enforcement in Indonesia is regulated in Criminal Procedural Law Code (KUHAP), in Articles 117 clause (1), 118, 166, 173, 177, 178, 229, and 98, and the protection is also regulated in Article 5 of Acts Number 13 of 2006 about the Witness and Victim Protection.

Keywords: Witness Protection, criminal law enforcement.

viii

Page 9: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur penulis haturkan kehadapan Allah SWT yang Maha pengasih

dan Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul

“KAJIAN TEORITIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLE

BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS

DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum

(skripsi) ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan baik meteriil maupun non

materiil yang diberikan oleh berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin

menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak

yang telah memberi dukungan, semangat, doa, saran dan kritik serta sarana dan

prasarana bagi Penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini, oleh sebab itu

dengan segala kerendahan hati, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta;

2. Bapak Edy Herdiyanto, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing serta Ketua

Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta;

3. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H, M.H selaku pembimbing terima kasih

atas bantuan menyusun judul dan sumbangan pemikiran serta pencerahan

terhadap Penulis dalam penulisan hukum ini;

4. Bapak Harjono, S.H., M.H., selaku Ketua Program Non Reguler

terimakasih atas saran yang memberikan kemudahan-kemudahan bagi

penulis selama menempuh pendidikan strata satu ini, serta segala

dukungan dalam penulisan hukum ini;

5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberi

dan membagikan ilmu pengetahuan dan pengalaman berharga kepada

penulis hingga menjadi seorang sarjana hukum yang dapat dijadikan bekal

ix

Page 10: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

dalam penyelesaian skripsi ini serta menghadapi persaingan di lingkungan

masyarakat luas;

6. Bapak Dwi Samudji, S. H., M.Hum., selaku Kepala Kejaksaan Negeri

Sukoharjo yang telah memberikan banyak materi-materi mengenai hukum

dan kehidupan serta informasi dan petunjuk kepada penulis selama

Kegiatan Magang Mahasiswa di Kejaksaan Negeri Sukoharjo;

7. Kedua orang tua Penulis, Bapakku Sarjono Tercinta dan Bundaku Sri

Hastuti, terimakasih atas segala doa, cinta kasih, dukungan tanpa henti

baik moril maupun materiil, kesabaran, dan kepercayaan yang diberikan

kepada Penulis tanpa pamrih apapun, sehingga penulis dapat menghargai

setiap waktu dan kesempatan di dalam hidup.

8. Kakakku tersayang Tiri Prabowo, serta adik-adikku tersayang Firdaus

Novandy Kurniawan dan Anisa Novidia Kurniasari, atas kasih sayang, dan

pengertiannya untuk berbagi disemua sisi hidup dengan Penulis selama

proses penulisan ini;

9. Embah kakung, Embah Uti, Budhe, Pakdhe, Bulek, Paklek, Mas, Mbak,

Adik dan segenap saudara, yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu

atas segala dukungan doa yang telah diberikan pada Penulis selama proses

penulisan ini, sehingga semuanya dapat terselesaikan dengan baik.

10. Teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum UNS angkatan 2007 Sylvi Ayu

Briliana “Besanku”, Novaenny Titik “Nupha”, Henggar “Marehot”, Ayu

Kusuma “Ayu Smada”, Pratiwi Suryadewi “Tiwi”, Mei , Elvira, Wawan,

Mahardika, Bibianus Hengky “Pengky”, Arifin Dwi S “Iypin”, Tannguh

Safridah K “Ganyout”, Mz Nunung Irawan “Nungsky” dan semua teman-

teman yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu atas dukungan yang

diberikan pada seminar proposal. Kalian adalah semangatku.

11. Sahabatku Sylvi Ayu Briliana “Besanku”, Achmad Mustajid “mas Ajid”,

Mbak Widya, Siti Aisah “Aisah”, Nunung Novianingsih “Nyingnying”,

Tunjung Genarsih “Mbak Njung”, Kumala Dewi “mbak Dewi”, Tiyok,

terimakasih atas doa, waktu, dan kesabarannya untuk mendengarkan

segala curahan hati Penulis selama masa perkuliah dan dikala segala

ix

x

Page 11: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

proses ini terasa begitu berat. Terima kasih untuk semua kasih sayang,

dukungan dan hiburan yang kalian berikan bagi Penulis;

12. Teman Kos Rahyll, Mbak Nitha, Nyingnying, Mb Dyah, Dina, Putria

Rahmawati “Puput”, Lice, Anis, Tiwi, Sisca, Lia, Aissah, Mba Eni,

Nunung, Mba Noew, terimakasih buat persaudaraan, persahabatan, kasih

sayang dan perhatiannya selama ini, semoga menjadi kenangan terindah;

13. Anak-anak Sekarpace dan Solo Selatan, Mas Makruf, Mas Budi, Makruf

hafidzi, Dzul, Duta, Hilman, Bayu, Mas Edi, Mas Mail, Mas Eko, Mas

Tofa, Mas Ikhsan, Mas Irfan, Rusdi, Tamimi, Imam, Syamsu, Mba Choir,

Neny, Rini, Clara, Hasna, Putri, dek Dian, Okta, Shinta, Nova, Titik, Uut,

Wulan, Khusnul dan temen-temen semua yang belum disebut, terima kasih

banyak atas dukungan dan persahabatan dari kalian.

14. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya seluruh proses

penulisan hukum ini yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu.

Terimakasih atas dukungannya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini masih jauh dari

sempurna, baik dari segi materi maupun penulisannya baik dari segi materi

pembahasan maupun penulisannya, hal ini karena manusia tidak terlepas dari

kesalahan dan kekhilafan serta keterbatasan materi, waktu, pengetahuan, serta

kadar keilmuan dari Penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan dan

saran yang menunjang kesempurnaan penulisan hukum ini.

Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya, sehingga dapat

diamalkan dalam pengembangan dan pembangunan hukum nasional dan tidak

menjadi suatu karya yang sia-sia. Amin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Surakarta, 25 Maret 2011

Penulis

xi

Page 12: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN............................................................................. iv

MOTTO ................................................................................................................ v

PERSEMBAHAN ................................................................................................ vi

ABSTRAK ............................................................................................................ vii

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ix

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................... 4

C. Tujuan Penulisan ...................................................................... 4

D. Manfaat Penulisan .................................................................... 5

E. Metode Penulisan ..................................................................... 5

F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................. 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 11

A. Kerangka Teori ........................................................................ 11

1. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum .......................... 11

2. Tinjauan Tentang Whistle Blower .................................. 14

3. Tinjauan Tentang Penegakan Hukum Pidana ................ 25

xii

Page 13: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

B. Kerangka Pemikiran ................................................................ 29

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 31

A. Perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait

kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana ................. 31

1. Pengaturan penggunaan whistle blower yang terkait

kasus (saksi mahkota) ................................................... 31

2. Ketentuan hukum perlindungan whistle blower yang

terkait kasus (saksi mahkota)……………………….. 35

3. Kelembagaan yang melindungi saksi mahkota ……... 39

B. Perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak

terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana...... 43

1. Kedudukan whistle blower yang tidak terkait kasus

(saksi kunci) .................................................................... 43

2. Ketentuan Hukum Perlindungan Saksi………………. 45

3. Kelembagaan perlindungan saksi…………………….. 53

BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 58

A. Simpulan .................................................................................. 58

B. Saran ......................................................................................... 58

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xiii

Page 14: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 29

xiv

Page 15: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Beberapa waktu terakhir masyarakat Indonesia disuguhi oleh kasus tindak

pidana penggelapan pajak dan pencucian uang oleh Gayus Halomoan Tambunan

yang disidik oleh Mabes Polri. Susno Duadji mengekspos adanya keganjilan

proses penyidikan dan penuntutan serta persidangan kasus tersebut. Ia merasa

adanya indikasi peyimpangan karena uang bukti kejahatan sebesar Rp.

25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah) di rekening Gayus Tambunan

yang dibekukan pada masa Susno Duadji sebagai Kabareskrim telah dicairkan dan

Susno Duadji juga menduga vonis pengadilan pun terdapat unsur kaganjilan.

Ditenggarai ada makelar kasus yang menggarap kasus pidana ini. Pengungkapan

keterangan Susno Duadji tersebut tentu cukup menarik untuk diikuti, didengar dan

ditindak lanjuti karena sebagai mantan pejabat yang langsung menyidik kasus

tersebut, Susno Duadji mengetahui detail tentang dinamika kasus tersebut.

Fenomena pengungkapan makelar kasus oleh Susno Duadji ini menjadi pro dan

kontra dikarenakan saat ini Susno duadji sebagai pengungkap fakta (whistle

blower) ternyata justru dijadikan tersangka. (Lawskripsi. Perlindungan Hukum

Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower) Dalam Perkara Pidana (Analisis

Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan

Saksi Dan Korban.

http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=19

2&Itemid=192>(12 November 2010 pukul 11.00).

Hal ini menimbulkan polemik, bahkan Komisaris Jenderal Susno Duadji

mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi terkait Undang-undang Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Nomor 13 tahun 2006, khususnya Pasal

10 ayat 2, yaitu: "Seorang saksi yang juga terdakwa dalam kasus yang sama tidak

dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim

dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”.

1

Page 16: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

Ada beberapa alasan mengapa secara resmi Susno Duadji mengajukan

permohonan uji materi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban ke

Mahkamah Konstitusi. Alasan Susno mengajukan judicial review adalah karena

telah kehilangan haknya dalam hukum dan pemerintahan dengan proses

penahanan dan penyelidikan. Sebagai seorang saksi, dalam Undang-undang LPSK

seharusnya Susno dilindungi dan tidak dilakukan penahanan serta dijadikan

seorang tersangka.

Kasus di atas kisah tragis sang pelapor (whistleblower) memberikan pesan

negatif bagi penegakan hukum di Indonesia dan memiliki satu kesamaan yakni

berbuah serangan balik dari pihak yang dilaporkan. Tidak banyak orang yang

bersedia mengambil resiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika dirinya,

keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang

mungkin timbul karena laporan yang dilakukan. Begitu juga dengan saksi

jikalau tidak mendapat perlindungan yang memadai, akan enggan

memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan dirasakan

sendiri.

Menurut Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana adalah sistem

pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga : Kepolisian,

Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana. Sedangkan tujuan Sistem

Peradilan Pidana adalah :

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatannya.

(Wayan P Wijaya Kusuma. Sistem Peradilan Pidana Indonesia

http://wayanpwijayakusuma.blogspot.com/2009/11/sistem-peradilan-pidana-

indonesia.html)

Saksi memainkan peranan kunci utama dalam sistem pembuktian

hukum pidana sekalipun saksi (keterangan saksi) bukan satu-satunya alat

bukti, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menganut

Page 17: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

pendekatan pembuktian negatif berdasarkan perundang-undangan atau “Negatief

Wettelijk Overtuiging”. Adakalanya seorang saksi itu memang murni dalam

pengertian saksi yang tidak terkait kasus (saksi kunci), namun ada pula saksi

yang terkait kasus (saksi mahkota). Posisi yang sebagaimana disebutkan terakhir

ini tentunya terjadi pergulatan batin saksi yang juga sebagai pelaku dan sudah

sepatutnya pula hukum (aparat penegak hukum) memberikan perhatian dan

penghargaan yang setimpal pula atas keberaniannya mengungkapkan fakta

suatu kebenaran.

Hukum Acara Pidana Indonesia (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981),

baik secara teoritis dan praktisnya tidak menaruh perhatian yang sangat serius

terhadap masalah perlindungan saksi sementara disisi yang lain saksi (keterangan

saksi) menempati peringkat utama dalam tata urutan alat bukti menurut pasal 184

KUHAP. Pasal 184 KUHAP berbunyi : Alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan

saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa;

Tentunya ada menjadi penyebab hingga pembuat undang-undang

(legislasi) menempatkan keterangan saksi pada posisi atau urutan pertama dari 5

(lima) alat bukti dalam KUHAP. Sudah barang tentu seorang atau beberapa

orang yang menjadi saksi yang kemudian menjadi alat bukti berupa

keterangan saksi memainkan peranan yang sangat penting untuk

membuktikan kesalahan tersangka atau terdakwa baik sejak di tingkat penyidikan

maupun di tingkat penuntutan. Seseorang yang menempati posisi sebagai

saksi dalam suatu tindak pidana berarti saksi tersebut adalah yang melihat

langsung dengan mata kepala sendiri bagaimana suatu perbuatan (tindak pidana)

tersebut dilakukan si tersangka atau terdakwa. Pemahaman saksi disini meliputi

saksi yang terkait kasus maupun saksi yang tidak terkait kasus, serta terdapat hal

yang menarik berupa bagaimana perlindungan hukumnya terhadap keduanya.

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas serta masih sedikitnya penelitian

terhadap hal tersebut , penulis sangat tertarik untuk mengadakan penelitian dalam

rangka skripsi dengan judul “KAJIAN TEORITIS PERLINDUNGAN

HUKUM TERHADAP WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS

Page 18: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF

PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”.

B. Rumusan Masalah

Adapun hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait

kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak

terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas yang

hendak dicapai. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam

melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai

oleh penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Tujuan obyektif

a. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap whistle blower yang

terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana.

b. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap whistle blower yang

tidak terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana.

2. Tujuan subyektif

a. Untuk memperoleh bahan dan informasi sebagai bahan utama dalam

menyusun karya ilmiah guna memenuhi persyaratan yang diwajibkan

dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan

pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan

praktek lapangan hukum yang sangat berarti bagi penulis sendiri

khususnya dan dapat memberi manfaat bagi masyarakat pada umumnya.

Page 19: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan

kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang

didapat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk memberi sumbangan pikiran dan manfaat dalam mengembangkan

ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.

b. Hasil penelitian ini dapat memberikan jawaban yang jelas mengenai

perlindungan hukum terhadap whistle blower dalam hukum acara pidana.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu tambahan referensi,

masukan data ataupun literatur bagi penulisan hukum selanjutnya yang

berguna bagi para pihak-pihak yang berkepentingan.

2. Manfaat Praktis

a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang diteliti

oleh penulis yaitu mengetahui perlindungan hukum terhadap whisle

blower yang terkait kasus dan whistle blower yang tidak terkait kasus

dalam perspektif penegakan hukum acara pidana.

b. Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan

mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal

untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberi masukan dan

sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak terkait dengan masalah yang

diteliti.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,

prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum

yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi,

Page 20: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang

dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35).

Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian

dengan baik dan dapat dipertanggung jawabkan adalah peneliti harus terlebih

dahulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin

ilmunya (Johnny Ibrahim, 2006:26). Didalam penelitian hukum, konsep ilmu

hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan

peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak

terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya (Johnny Ibrahim,

2006:28). Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Ditinjau dari sudut penelitian hukum itu sendiri, maka pada penelitian

ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian

hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama

dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan

bahan-bahan hukum (librabry based) yang fokusnya pada membaca dan

mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder (Johnny Ibrahim,

2006:44).

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat ilmu hukum

itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif.

Artinya sebagai ilmu yang besifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari

tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter

Mahmud Marzuki, 2005:22).

Oleh sebab itu, dalam penelitian ini penulis akan memberikan

preskriptif mengenai perlindungan hukum terhadap whistle blower yang

terkait kasus dan whistle blower yang tidak terkait kasus dalam perspektif

penegakan hukum pidana di Indonesia.

Page 21: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

3. Pendekatan Penelitian

Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu penelitian

normatif, maka terdapat beberapa pendekatan penelitian hukum antara lain

pendekatan Undang-Undang (statue approach), pendekatan kasus (case

approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif

(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach)

(Peter Mahmud Marzuki, 2005:93). Dari beberapa pendekatan tersebut,

penelitian ini menggunakan pendekatan Undang-Undang (statue approach)

yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban.

4. Jenis dan Sumber Bahan Penelitian

Jenis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah bahan

sekunder. Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki,

mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya

data. Sehingga yang yang digunakan adalah bahan hukum, dalam hal ini

adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer

terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah

dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2005:141). Bahan hukum primer dalam

penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban dan Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud

Marzuki, 2005:141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari

bahan yang akan digunakan di dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks

Page 22: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber

lainnya yang memuliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian

ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka. Peneliti mengumpulkan data

sekunder yang berhubungan dengan masalah yang diteliti untuk kemudian

dikategorikan, dibaca, dikaji, selanjutnya dipelajari, diklarifikasi dan

dianalisis dari buku-buku, literatur, artikel, karangan ilmiah, makalah, jurnal

dan sebagainya yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dikaji.

Prosedur pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan jalan

membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen reasmi

maupun literatur-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang

dibahas. Dari data tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai data

penunjang di dalam penelitian ini. Bahwa cara pengolahan bahan hukum

dilakukan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan

yang bersifat umum terhadap permasalahan kongkret yang dihadapi (Jonny

Ibrahim, 2006:393).

6. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan logika

deduktif. Dalam hal ini sumber penelitian yang diperoleh dengan

menggunakan intervariasi sekaligus mengkaji dari penelitian studi

kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang

membantu menafsirkan norma terkait. Kemudian sumber penelitian tersebut

diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti.

Dalam penelitian hukum ini permasalahan hukum dianalisa oleh

penulis dengan metode deduksi. Menurut Philipus M. Hadjon sebagaimana

dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki, metode deduksi sebagaimana silogisme

yang diajarkan oleh Aristoteles penggunaan deduksi berpangkal dari

pengajuan premis mayor (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan

Page 23: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

premis minor (bersifat khusus) dari kedua premis itu ditarik suatu kesimpulan

atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2006:47). Didalam logika silogistik

untuk penalaran umum yang bersifat premis mayor adalah aturan hukum

sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Dihubungkan dengan

penelitian yang saya tulis, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban sebagai premis mayor sedangkan premis

minornya adalah perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait

kasus dan perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak terkait

kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan, penganalisaan,

serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika

penulisan hukum ini sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang Latar

Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,

Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika

Penulisan Hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Kajian pustaka ini terdiri dari Tinjauan tentang Perlindungan

Hukum, Tinjauan tentang Whistle Blower, Tinjauan tentang

Penegakan Hukum Pidana. Selain itu untuk memudahkan

pemahaman alur berpikir, maka di dalam bab ini juga disertai

dengan Kerangka Pemikiran.

Page 24: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan menguraikan hasil dari penelitian yang membahas

tentang perlindungan hukum terhadap whistle blower yang

terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana dan

perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak terkait

kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini akan diuraikan simpulan dari hasil pembahasan

dan saran-saran mengenai permasalahan yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 25: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum

a. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah

adanya jaminan hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi

kepentingan sendiri maupun didalam hubungan dengan manusia lain

(Soedikno Mertokusumo,1991:9).

Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak

Asasi Manusia, perlindungan hukum adalah : “Segala daya upaya yang

dilakukan secara sadar oleh setiap orang atau lembaga pemerintah, swasta

yang bertujuan mengusahakan pengamanan, pnguasaan dan pemenuhan

kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada”.

Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap

kaum pria maupun wanita. Perlindungan hukum tersebut akan melahirkan

pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai

makhluk individu dan makhluk sosial dalam wadah Negara kesatuan yang

menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan

bersama. Berlakunya seorang manusia sebagai pembawa hak (subyek

hukum) dimulai saat berada dalam kandungan ibunya dan berakhir pada

saat ia meninggal dunia, hal ini berlangsung selama ia hidup.

b. Perlunya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban

Menjadi saksi adalah wajib menurut undang-undang, yang berarti

pula bagi siapa saja yang tidak mengindahkannya akan dikenakan sanksi

(hukuman).

Seseorang yang menyaksikan peristiwa pidana terkadang enggan

untuk memberikan kesaksiannya, hal ini dikarenakan seseorang tersebut

takut untuk menjadi saksi. Apabila seseorang yang dapat diperkenankan

sebagai saksi, kemudian dengan pertimbangan dan alasan tertentu ia tidak

11

Page 26: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

melaksanakan kewajibannya, maka dengan melihat apa yang tersirat

dalam Pasal 224 KUHP tentang kejahatan terhadap penguasa umum,

Pasal 242 KUHP tentang sumpah palsu dan keterangan palsu, dengan

pengecualian dibebaskan dari kewajiban memberikan sumpah pada Pasal

170-171 KUHAP, harus dianggap sebagai sesuatu kenyataan. Artinya,

harus dilihat hal-hal yang seharusnya dikontribusikan kepada saksi,

sehingga kenyataan tersebut dapat berubah. Perubahan tersebut dengan

cara memberikan perlindungan normatif yang berdimensi psikologis.

Perlindungan normatif diberikan oleh pembentuk undang-undang.

Pembentuk undang-undang harus memberikan jaminan kepada seorang

saksi, berupa ganti rugi yang dikeluarkan oleh saksi selama ia

memberikan kesaksiannya dalam setiap tahapan proses hukum. Seorang

saksi harus didampingi oleh penasehat hukum. Bahkan lebih dari itu,

dalam kasus-kasus tertentu, saksi harus mendapatkan pengawalan dari

aparat kepolisian.

Perlindungan psikologis perlu dilakukan karena bagi orang awam

belum dapat membedakan antara tersangka, terdakwa dan saksi. Proses

penghilangan perasaan rasa bersalah yang selanjutnya menimbulkan rasa

takut inilah yang mesti diantisipasi dengan jalan memberikan

perlindungan psikologis terhadap saksi.

Beberapa pasal dalam KUHAP yang dianggap memberikan

perlindungan pada saksi dan korban adalah Pasal 98, Pasal 117 ayat (1),

Pasal 118, Pasal 166, Pasal 177, Pasal 178, Pasal 229.

Pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban yang mempertegas adanya perlindungan

saksi dan korban adalah pada:

1) Pasal 8 yaitu “Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak

tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.

2) Pasal 31 yaitu “LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya

kepada Saksi dan/atau Korban, termasuk keluarganya, sejak

Page 27: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 30”.

3) Pasal 36 yaitu:

a) Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja lama dengan instansi terkait yang berwenang.

b) Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Perlindungan saksi dan korban sangatlah penting karena tanpa

saksi dan korban, penegakan hukum tidak akan berjalan lancar dan

berkeadilan. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang yang

melindungi saksi dan korban sangat dibutuhkan agar ada kepastian

hukum. Yang kemudian dibentuklah Undang-undang Nomor 13 Tahun

2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pasal 4 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, yang berbunyi: “Perlindungan Saksi dan

Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban

dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana”.

Seorang Saksi dan Korban berhak memperoleh perlindungan atas

keamanan pribadinya dari ancaman fisik maupun psikologis dari orang

lain, berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah

diberikannya atas suatu tindak pidana.

c. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibentuk

berdasarkan UU No 13 Tahun 2006 Bab III sampai Bab IV.

Salah satu amanat yang ada dalam Undang-Undang Perlindungan

Saksi dan Korban ini adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban (LPSK) yang dibentuk paling lambat setahun setelah UU

Perlindungan Saksi dan Korban disahkan. Dalam perkembangan

selanjutnya, LPSK dibentuk pada tanggal 8 Agustus 2008.

Page 28: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

Pasal 12 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu: “LPSK bertanggung jawab untuk

menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban

berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam undang-

undang ini”.

LPSK mempunyai visi yaitu terwujudnya perlindungan saksi dan

korban dalam sistem peradilan pidana. Sedangkan, misi dari LPSK

adalah:

1) Mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban dalam peradilan pidana;

2) Mewujudkan kelembagaan yang profesional dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban;

3) Memperkuat landasan hukum dan kemampuan dalam pemenuhan hak-hak saksi dan korban;

4) Mewujudkan dan mengembangkan jejaring dengan para pemangku kepentingan dalam rangka pemenuhan hak saksi dan korban;

5) Mewujudkan kondisi yang kondusif serta partisipasi masyarakat dalam perlindungan saksi dan korban. (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. (http://www.lpsk.go.id/humas/index.php?option=com_content&view=article&id=48&Itemid=2)

Menurut pasal 28 UU No 13 Tahun 2006, alasan perlindungan dan

bantuan yang diberikan LPSK adalah:

1) sifat pentingnya keterangan saksi dan atau korban

2) tingkat ancaman yang membahayakan

3) hasil analisis medis/psikolog

4) rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan.

2. Tinjauan tentang Whistle Blower

a. Pengertian Whistle Blower

Whistle blower atau peniup peluit adalah orang yang menginisiasi

untuk mengungkap satu kasus yang terindikasi pidana. Atau dapat

dirumuskan atau didefinisikan sebagai berikut:

Page 29: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

Whistle blower adalah istilah bagi karyawan, mantan karyawan atau pekerja, anggota dari suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar ketentuan kepada pihak yang berwenang. Secara umum segala tindakan yang melanggar ketentuan berarti melanggar hukum, aturan dan persyaratan yang menjadi ancaman pihak publik atau kepentingan publik. Termasuk didalamnya korupsi, pelanggaran atas keselamatan kerja, dan masih banyak lagi. (Wikipedia bahasa Indonesia. Whistle Blower. http://id.wikipedia.org/wiki/Whistle_Blower)

Perlindungan para pengungkap fakta atau whistleblower di buat

dengan maksud untuk memberikan sebuah landasan hukum dan skema

perlindungan khusus bagi pengungkapan yang terkait dengan

penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, melanggar hukum, kelalaian yang

mempengaruhi kepentingan umum, bahaya terhadap kesehatan,

keselamatan umum dan termasuk bahaya terhadap lingkungan.

Perlindungan ini menanamkan rasa aman pada pegawai untuk

menyuarakan pikirannya.

Di dalam dunia nyata yang mengalami pelanggaran dalam hal

hukum tidak hanya terjadi didalam perusahaan atau institusi

pemerintahan yang dapat menimbulkan ancaman secara substansial bagi

masyarakat akibat dari tindakan Whistle Blowing. Salah satu tipe dari

whistle blower yang paling sering ditemukan adalah tipe internal Whistle

Blower yaitu seorang pekerja atau karyawan didalam suatu perusahaan

atau institusi yang melaporkan suatu tindakan pelanggaran hukum kepada

karyawan lainnya atau atasannya yang juga ada didalam perusahaan

tersebut.

Selain itu juga ada tipe external Whistle blower,yaitu pihak pekerja

atau karyawan didalam suatu perusahaan atau organisasi yang

melaporkan suatu pelanggaran hukum kepada pihak diluar institusi,

organisasi atau perusahaan tersebut.

Secara lengkapnya seorang whistle blower telah menyimpang dari

kepentingan perusahaan. Jika pengungkapan ternyata dilarang oleh

Page 30: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

hukum atau diminta atas perintah eksekutif untuk tetap dijaga

kerahasiannya maka laporan seorang whistle blower tidak dianggap

berkhianat.

Kondisi saksi tidak jauh berbeda dengan tersangka atau terdakwa, mereka sama-sama memerlukan perlindungan, karena: 1) Bagi saksi (apalagi orang awam), memberikan keterangan

bukanlah suatu hal yang mudah. 2) Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada

ancaman pidan baginya karena dianggap bersumpah palsu. 3) Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya

mendapat ancaman, terror, intimidasi dari pihak yang dirugkan. 4) Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya. 5) Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi

seperti seorang tersangka atau terdakwa. (Harkristuti Harkrisnowo, 2002:7)

b. Teori Pembuktian

Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana maka perihal

pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak

yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana,

khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan

yang didakwakan kepada terdakwa (Lilik Mulyadi, 2007:49).

Pengertian pembuktian menurut Subekti yaitu yang dimaksudkan

dengan membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil

atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan (R.

Subekti, 2007:1).

Dalam pembuktian terdapat empat teori pembuktian yang

digunakan untuk menilai kekuatan pembuktian dari masing-masing alat

bukti yang ada, yaitu sebagai berikut :

1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka

(Conviction in time)

Teori didasarkan pada keyakinan hakim sendiri. Sehingga

pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat bukti dalam

Undang-Undang. Suatu sistem pembuktian untuk menentukan

bersalah atau tidaknya terdakwa semata-mata hanya berdasarkan

Page 31: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

keyakinan hakim saja. Hakim hanyalah mengikuti hati nuraninya

saja dan semua tergantung kepada kebijaksanaan hakim.

2) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dengan

alasan yang logis (Conviction Raisonnee).

Teori ini mengutamakan keyakinan hakim sebagai dasar utama

menghukum terdakwa yang keyakinan hakim itu harus disertai

pertimbangan hukum yang nyata dan logis diterima akal pikiran yang

sehat. Dan keyakinan itu tidak perlu didukung alat bukti yang sah.

3) Sistem atau teori pembuktian menurut Undang-Undang positif

(Psitief Wettelijke Bewijstheorie).

Bersalah atau tidaknya terdakwa didasarkan pada ada atau

tidaknya alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Suatu sistem

pembuktian yang ditunjukkan untuk menentukan bersalah atau

tidaknya terdakwa harus berpedoman pada prinsip pembuktian

dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-Undang.

Menurut D. Simons sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah,

sistem pembuktian menurut Undang-Undang positif ini berusaha

untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan

mengikat hukum secara ketat menurut peraturan-peraturan

pembuktian yang keras. Hati nurani hakim tidak ikut hadir dalam

menentukan salah tidaknya terdakwa (D. Simons. Dalam Andi

Hamzah, 2001 :247).

4) Sistem atau teori pembuktian menurut Undang-Undang secara

negative (Negatief Wettelijke Bewijstheorie)

Menurut sistem atau teori pembuktian menurut Undang-

Undang secara negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie) ini. Dalam

hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-

alat bukti serta cara-cara yang ditentukan oleh Undang-Undang. Itu

tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa

bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini

Page 32: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti

yang ditentukan dalam Undang-Undang. Jadi, kegiatan pembuktian

didasarkan pada 2 (dua) hal, ialah alat-alat bukti dan keyakinan yang

merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri

(Adami Chazawi, 2008: 28).

c. Alat Bukti

Yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada

hubungannya dengan perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut,

dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan

keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah

dilakukan oleh terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 11).

Alat bukti yang sah dan dapat dipergunakan di dalam pemeriksaan

di persidangan dijelaskan di dalam Pasal 184 Kita Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu sebagai berikut:

1) Keterangan Saksi

Pengertian saksi menurut pasal 1 angka 26 Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyatakan bahwa

:“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu

perkara yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri”.

Sedangkan pengertian keterangan saksi berdasarkan Pasal 1

angka 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

yaitu : “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara

pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa

pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri

dengan menyebut alas an dari pengetahuannya itu”.

2) Keterangan Ahli

Dalam Pasal 1 angka 28 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana yang menyatakan keterangan ahli, yaitu “Keterangan

ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki

Page 33: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang

suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Keterangan ahli adalah mengenai suatu penilaian mengenai

hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan

mengenai hal-hal tersebut (Andi Hamzah, 2001 : 269).

3) Surat

Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa

surat sebagaimana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat 1

huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.

4) Petunjuk

Petunjuk menurut Pasal 188 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah “perbuatan kejadian atau

keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan

yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan

bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”. Dan

dalam ayat selanjutnya disebutkan bahwa petunjuk sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari keterangan

saksi, surat, atas keterangan terdakwa.

Mengenai penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu

petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim

dengan arif dan bijaksana setelah ia melakukan pemeriksaan

dengan cermat dan teliti. Kemudian permasalahan diserahkan pada

hakim, maka pengamatan hakim dapat dijadikan sebagai alat bukti

perkara.

5) Keterangan Terdakwa

Pengertian keterangan terdakwa tercantum dalam Pasal 189

ayat (1) KUHAP, yang berbunyi “keterangan terdakwa ialah apa

yang terdakwa nyatakan di persidangan tentang perbuatan yang ia

lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”.

Page 34: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

Penempatan alat bukti terdakwa pada urutan terakhir dalam

Pasal 184 ayat (1) KUHAP, merupakan salah satu alasan yang

dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan

terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan

saksi. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 189 ayat (4) KUHAP

yang menyatakan bahwa “keterangan terdakwa saja tidak cukup

untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang

didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti

yang lain”.

Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap

dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja seperti yang disebut di

atas, tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah

melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan

harus disertai dengan alat bukti yang lain.

d. Whistle Blower yang Terkait Kasus (Saksi Mahkota) dan Whistle

Blower yang Tidak Terkait Kasus (Saksi Kunci)

1) Whistle Blower yang Terkait Kasus (Saksi Mahkota)

Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam

KUHAP mengenai saksi mahkota (kroon getuide), namun

berdasarkan perspektif empirik maka saksi mahkota didefinisikan

sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang

tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan

perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut

diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi

yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan

penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan

yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan

atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. (Lilik

Mulyadi, 2007:86).

Page 35: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

Saksi mahkota didefinisikan;

Saksi mahkota adalah saksi yang berasal dan atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan saksi tersebut (M. Sofyan Lubis. Saksi mahkota dalam peradilan pidana. http://msofyanlubis.wordpress.com/2010/07/26/saksi-mahkota/)

Saksi mahkota ini hanya ada dalam perkara pidana yang

merupakan delik penyertaan. Pengaturan mengenai saksi mahkota

ini pada awalnya diatur di dalam pasal 168 KUHAP, yang

prinsipnya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai

terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat

mengundurkan diri sebagai saksi. Kemudian dalam

perkembangannya, maka tinjauan pemahaman tentang saksi

mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 1986 K/Pid/1989

tanggal 21 Maret 1990.

Dalam Yurisprudensi tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah

Agung RI tidak melarang apabila Jaksa atau Penuntut Umum

mengajukan saksi mahkota dengan syarat bahwa saksi ini dalam

kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas

perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Dan dalam

Yurisprudensi tersebut juga ditekankan definisi saksi mahkota

adalah, teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-

sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan

penuntut umum, yang perkaranya dipisah karena kurangnya alat

bukti.

Page 36: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

Penggunaan saksi mahkota dibenarkan didasarkan pada

prinsip-prinsip tertentu yaitu, 1) dalam perkara delik penyertaan;

2). terdapat kekurangan alat bukti; dan 3). diperiksa dengan

mekanisme pemisahan (splitsing);

Sebagai imbalan atas kesaksiannya, sesuai dengan Pasal 10

ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, saksi mahkota berhak

mendapatkan insentif hukum berupa keringanan hukuman.

Selengkapnya pasal tersebut berbunyi, "Seorang saksi yang juga

tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari

tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan

pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan

dijatuhkan".

2) Whistle Blower yang Tidak Terkait Kasus (Saksi Kunci)

KUHAP tidak memberikan suatu definisi otentik mengenai

saksi kunci, namun pengertian saksi kunci adalah sesuai dengan

pengertian saksi pada pasal 1 angka 26 KUHAP.

Menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP “Saksi adalah orang

yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,

penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Tidak terkait kasus di sini bahwa saksi itu adalah orang

yang mendengar sendiri, melihat sendiri dan mengalami sendiri

suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain dan dia tidak

melakukan suatu tindak pidana yang berhubungan dengan tindak

pidana yang sedang dimintakan kesaksian kepadanya.

Berpedoman kepada uraian tersebut di atas, keberadaan

seseorang akan menjadi kata kunci dari pengungkapan sebuah

Page 37: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

perkara pidana. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian

keterangan saksi adalah:

a). Unreliable witness

Saksi dipersuasi untuk memberikan keterangan yang

memperkuat posisi jaksa, terutama jika saksi menghadapi

ancaman pidana juga.

b). Witness as product of bullying and harassment

Metode tertentu penegak hukum dalam meminta keterangan,

missal : pertanyaan yang berulang-ulang tidak relevan dan

dalam jangka waktu panjang tanpa jeda yang layak.

c). Lying witness

Memberikan keterangan yang tidak sebenarnya walaupun

sudah disumpah baik karena disuap atau intimidasi pihak lain.

d) Silent witness

Saksi yang menolak memberikan jawaban yang sesungguhnya

karena khawatir akan menyudutkan dirinya.

e) Incompetent witness

Keterangan saksi tidak layak jadi alat bukti yang sah di

pengadilan karena infant, mental disease atau mental defect.

f) Turn coat witness

Saksi yang semula disuga akan membela terdakwa ternyata

melakukan sebaliknya, sesuatu yang diluar dugaan penasehat

hukum.

Jaminan yang dapat didapat oleh saksi mahkota atas

kesaksian mereka menurut Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah:

"Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik

pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang,

atau telah diberikannya".

Page 38: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

e. Perlindungan Hak-Hak Tersangka atau Terdakwa dalam Proses

Peradilan Pidana

Definisi di dalam KUHAP tentang tersangka dan terdakwa

terdapat pada pasal 1 butir 14, mengenai tersangka sebagai berikut:

“Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau

keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku

tindak pidana”. Sedangkan butir 15 mengenai terdakwa ialah sebagai

berikut: “Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa

dan diadili di sidang pengadilan”.

Dalam penjelasan KUHAP dapat ditemukan 10 (sepuluh) asas

yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap keluhuran harkat serta

martabat manusia, yaitu:

1) Perlakuan yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun;

2) Praduga tidak bersalah;

3) Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;

4) Hak untuk mendapat bantuan hukum;

5) Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan;

6) Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;

7) Peradilan yang terbuka untuk umum;

8) Pelanggaran atas hak-hak warga Negara (penangkapan, penahanan,

penggeledahan, dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-

undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);

9) Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan

atau penahanan selain wajib diberi tahu dakwaan dan dasar hukum

apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu,

termasuk hak menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum;

10) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-

putusannya.

Page 39: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

Menurut pendapat Mardjono dalam pidatonya yang dimuat dalam

buku karya Mien Rukmini, dia berpendapat bahwa:

Hak-hak yang diberikan oleh KUHAP bukan tertuju kepada tersangka/terdakwa sebagai pelanggar hukum, akan tetapi sebagai manusia yang mempunyai hak dan kewajiban, manusia sebagai obyek dan subyek anggota masyarakat. Jika seorang tersangka/terdakwa yang diperiksa karena kebenaran materiel sungguh-sungguh adalah pelaku delik, hal itu merupakan suatu resiko perbuatannya sendiri yang melanggar hukum itu. Akan tetapi seorang tersangka/terdakwa belum tentu sungguh-sunnguh bersalah seperti yang dilaporkan, diadukan atau didakwakan. Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan hakim yang tetap bahwa ia bersalah (presumption of innocence) ( Mien Rukmini, 2003:91).

3. Tinjauan tentang Penegakan Hukum Pidana

a. Pengertian Penegakan Hukum Pidana

Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum merupakan suatu

usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan.

Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-

keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan

hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran pembuat undang-undang

yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu (Satjipto

Raharjo, 1983:24).

Secara konsepsional maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantab dan mengejawentah dan sikap tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut perbuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada di antara hukum dan moral. (Soerjono Soekanto, 1983:5)

Penggunaan hukum pidana sebagai suatu upaya untuk mengatasi

masalah sosial atau kejahatan termasuk dalam bidang penegakan hukum

Page 40: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

khususnya hukum pidana sehingga sering dikatakan bahwa politik atau

kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari penegakan hukum.

b. Aparat Penegak Hukum

1) Polisi

“Dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia, Kepolisian diartikan sebagai segala hal-ihwal

yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan

peraturan perundang-undangan”.

Sifat dari tugas polisi adalah:

a) Preventif (sifat mencegah), yaitu menjaga jangan sampai terjadi

perbuatan atau kelalaian yang dapat mengganggu ketertiban

dan keamanan.

b) Represif (sifat memberantas) yaitu mencari dan menyelidiki

peristiwa-peristiwa yang telah mengganggu ketertiban dan

keamanan.

Pelaksanaan wewenang kepolisian didasarkan pada tiga asas

yakni:

a) asas legalitas;

b) asas plichmatigheid;

c) asas subsidiaritas

Asas legalitas adalah asas di mana setiap tindakan polisi harus

didasarkan kepada undang-undang atau peraturan perundang-

undangan. Asas plichmatigheid ialah asas di mana polisi sudah

dianggap sah berdasarkan atau bersumber kepada kekuasaan atau

kewenangan umum (Momo Kelana, 1994:10).

2) Jaksa Penuntut Umum

Menurut Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia, “Kejaksaan adalah lembaga

Page 41: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang

penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”.

Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan. Di bidang pidana,

kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

a) Melakukan penuntutan;

b) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana

bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas

bersyarat;

d) Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang-undang;

e) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat

melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke

pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan

penyidik.

Menurut Pasal 1 butir butir 1 KUHAP: “Jaksa adalah pejabat

yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak

sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Pasal 1 butir 2 KUHAP: “Penuntut Umum adalah Jaksa yang

diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan

penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.

Di dalam Pasal 14 KUHAP disebutkan bahwa tugas dan

wewenang Penuntut Umum adalah:

a) menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;

b) mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

Page 42: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

c) memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

d) membuat surat dakwaan; e) melimpahkan perkara ke pengadilan; f) menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang

ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

g) melakukan penuntutan; h) menutup perkara demi kepentingan hukum; i) mengadakan tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung

jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

j) melaksanakan penetapan hakim.

3) Hakim

Menurut Pasal 1 butir 8 KUHAP, “hakim adalah Pejabat

pengadilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk

mengadili”.

Adapun yang dimaksud mengadili adalah serangkaian tindakan

hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana

berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang

pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-

undang. Wewenang hakim utamanya adalah mengadili yang meliputi

kegiatan-kegiatan menerima, memeriksa, dan memutus perkara

pidana.

Undang–undang telah menempatkan hakim pada kedudukan

yang terhormat. Diantara tolok ukurnya adalah Hakim diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara (Bambang

Waluyo,2000:73).

Page 43: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

Tindak pidana

Pembuktian

tindak pidana

Pasal 184 ayat (1) KUHAP

Saksi Ahli Surat Petunjuk Keterangan terdakwa

Tidak terkait kasus

Terkait kasus

Saksi Kunci

Saksi Mahkota

PerlindunganHukum

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1.

Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan:

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

yang mana larangan tersebut disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Oleh karena itu bersalah

atau tidaknya seseorang haruslah melalui proses pembuktian. Sistem pembuktian

Page 44: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

yang berlaku di Indonesia adalah negatief wettelijk stelsel dimana salah tidaknya

seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara

dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut UU.

Alat bukti yang sah sebagaimana diterangkan dalam pasal 184 KUHAP,

yaitu yang dimaksud alat bukti yang sah adalah : (1). keterangan saksi; (2).

keterangan ahli; (3). surat; (4). petunjuk; dan (5). keterangan terdakwa.

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang

berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuannya itu. Saksi di sini dapat merupakan saksi yang tidak terkait kasus

(saksi kunci) maupun saksi yang terkait kasus (saksi mahkota).

Pada dasarnya saksi kunci merupakan saksi sesuai dengan pengertian saksi

pada Pasal 1 angka 26 KUHAP. Sedangkan saksi mahkota adalah saksi yang

berasal dan atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa

lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana. Penggunaan saksi

mahkota dibenarkan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu, 1) dalam

perkara delik penyertaan ; 2). terdapat kekurangan alat bukti ; dan 3). diperiksa

dengan mekanisme pemisahan (splitsing);

Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak

pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan

karena tidak dapat menghadirkan saksi dan atau korban disebabkan adanya

ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Sehubungan dengan

penegakan hukum, perlu dilakukan perlindungan hukum bagi saksi dan korban

yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana.

Page 45: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

BAB III.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum terhadap Whistle Blower yang Terkait Kasus

dalam Perspektif Penegakan Hukum Pidana

1. Pengaturan Penggunaan Whistle Blower yang Terkait Kasus (Saksi

Mahkota)

Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang

mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materil

maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memiliki rumusan sistem

pembuktian tersendiri. Adapun rumusan sistem pembuktian tersebut

tentunya untuk mendukung tujuan dari hukum acara pidana, yaitu untuk

mencari dan memperoleh kebenaran.

Dengan tercapainya kebenaran materiil maka akan tercapai pula

tujuan akhir hukum acara pidana, yaitu untuk mencapai suatu ketertiban,

ketentraman, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat (Andi

Hamzah,2001:9).

Selain itu, untuk mendukung implementasi rumusan sistem

pembuktian tersebut tentunya harus berpedoman pada asas-asas yang

berlaku dalam proses peradilan pidana, seperti asas praduga tidak bersalah

(presumption of innocence), asas persamaan dihadapan hukum (equality

before the law) dan asas pemeriksaan akusator (Syamsul Bahri

Radjam,2006:273).

Salah satu bentuk dari adanya asas praduga tidak bersalah maka

terdakwa sebagai subjek dalam setiap tingkatan pemeriksaan tidak

dibebani dengan kewajiban pembuktian. Hal tersebut merupakan bentuk

hak asasi terdakwa sebagai konsekuensi dari dianutnya asas pemeriksaan

akusator dalam KUHAP. Oleh karena itu, sebagai subjek dalam

pemeriksaan maka tersangka atau terdakwa diberikan kebebasan untuk

31

Page 46: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

melakukan pembelaan diri terhadap tuduhan atau dakwaan yang ditujukan

kepada dirinya (Darwan Prinst,1998:107).

Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana maka perihal pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa (Lilik Mulyadi,2007:49). Bagi penuntut umum, maka pembuktian merupakan faktor yang

sangat determinan dalam rangka mendukung tugasnya sebagai pihak yang

memiliki beban untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hal tersebut

sesuai dengan prinsip dasar pembuktian sebagaimana yang dijelaskan

dalam Pasal 66 KUHAP yang menyatakan bahwa pihak yang

mendakwakan maka pihak tersebut yang harus membuktikan dakwaannya

(Adami Chazawi,2006:201).

Berbeda halnya dengan advokat dalam kapasitasnya sebagai

penasihat hukum, maka pembuktian merupakan faktor yang determinan

dalam rangka melakukan pembelaan yang optimal terhadap terdakwa

selaku kliennya.

Dalam kapasitasnya sebagai pihak yang memiliki kewenangan

untuk melakukan pemeriksaan pada tingkatan pengadilan maka perihal

pembuktian merupakan faktor yang juga sangat menentukan bagi hakim

dalam mendukung pembentukan faktor keyakinan hakim. Hal tersebut

sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP yang

pada pokoknya menjelaskan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana

kepada terdakwa harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah

dan keyakinan hakim yang terbentuk didasarkan pada alat bukti yang sah

tersebut. Oleh karena itu, apabila ditinjau dari perspektif yuridis maka

dalam perihal pembuktian tersebut tentunya harus berisi ketentuan tentang

jenis alat bukti dan ketentuan tentang tata cara pembuktian yang dilakukan

secara benar dan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang dengan

melanggar hak asasi terdakwa.

Page 47: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

Seringkali dalam berbagai sidang pembuktian perkara pidana,

muncul alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota. KUHAP

sebagai hukum formil telah memiliki sistem pembuktian tersendiri yang

mengacu pada alat bukti yang sah sebagaimana diterangkan dalam pasal

184 KUHAP, yaitu yang dimaksud alat bukti yang sah adalah :

a).keterangan saksi ; b).keterangan ahli ; c). surat ; d). petunjuk dan e).

keterangan terdakwa.

Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP

mengenai saksi mahkota (kroon getuide), namun berdasarkan perspektif

empirik maka saksi mahkota didefinisikan sebagai saksi yang berasal atau

diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-

sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi

tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi

yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan

penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang

sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau

dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan (Lilik Mulyadi,2007:85).

Saksi mahkota menurut Loebby Loqman, yaitu “saksi mahkota

adalah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa

penyertaan” (Loebby Loqman,1995:11).

Pada awalnya, pengaturan mengenai saksi mahkota hanya diatur

dalam ketentuan Pasal 168 huruf (c) KUHAP, yang pada pokoknya

menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak

dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi.

Kemudian dalam perkembangannya, maka tinjauan pemahaman tentang

saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1986

K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990.

Dalam yurisprudensi nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret

1990 tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang apabila

jaksa penuntut umum mengajukan saksi mahkota di persidangan dengan

Page 48: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak

termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan

kesaksian. Selain itu, dalam yurisprudensi tersebut juga telah diberikan

suatu definisi tentang saksi mahkota yaitu teman terdakwa yang

melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk

membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkara diantaranya dipisah

karena kurangnya alat bukti.

Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan saksi mahkota sebagai

alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu,

yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan

terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan

mekanisme pemisahan (splitsing), serta apabila dalam perkara pidana

bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti,

khususnya keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa

tidak terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan

pidana.

Terhadap keterangan saksi mahkota ini ada perkembangan menarik

dari Mahkamah Agung RI. Di satu pihak Mahkamah Agung berpendirian

bahwa undang-undang tidak melarang jika jaksa/penuntut umum

mengajukan ''saksi mahkota'' di persidangan dengan syarat saksi ini dalam

kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara

dengan terdakwa yang diberikan kesaksian (Putusan Mahkamah Agung RI

Nomor: 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990). Sedangkan di lain pihak

berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1174 K/Pid/1994

tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1590

K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Putusan Mahkamah Agung RI

Nomor: 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 di mana secara yuridis

pemecahan terdakwa sebagai saksi mahkota terhadap terdakwa lainnya

adalah bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi

prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).

Page 49: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 1174K/Pid/1994 dan

No. 1592 K/Pid/1994 tidak membenarkan adanya penggunaan sanksi

mahkota Dalam pembuktian perkara pidana. Menurut Yurisprudensi ini,

saksi mahkota juga adalah pelaku yang diajukan sebagai terdakwa yang

dakwaanya sama dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Saksi yang

disumpah harus berkata benar tentang apa yang ia lihat, dengar, serta ia

alami sendiri kalau tidak dapat dipidana atas kesaksiannya tersebut. Disini

saksi mahkota mengalami tekanan psikis karena secara implisit

membuktikan perbuatan yang ia lakukan, disisi yang lain bahwa kesaksian

yang benar akan diancam pidana dalam kedudukannya sebagai terdakwa

yang tidak dapat mengingkari atau membela diri karena terikat dengan

sumpah saksi.

2. Ketentuan Hukum Perlindungan Whistle Blower yang Terkait Kasus

(Saksi Mahkota)

Whistle blower (peniup peluit) merupakan istilah yang dikenal di

Amerika Serikat bagi mereka yang melaporkan terjadinya tindak pidana.

Untuk itu, AS mengeluarkan Whistle Blower Protection Act untuk

melindungi para pegawai dari pembalasan dendam pegawai lain yang

dilaporkan karena melakukan kesalahan

(http://www.asmarsaleh.com/article-a-legal-opinion/55-apresiasi-terhadap-

saksi-mahkota.html>9 maret 2011 pukul 08.17).

Saksi mahkota adalah saksi yang berasal dan/atau diambil dari

salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-

sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi

tersebut diberikan mahkota.

Apabila dikaji secara implisit maka ketentuan Pasal 168 huruf b

KUHAP yang berbunyi: “Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama

sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang

mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa

sampai derajat ketiga”. Dalam pasal tersebut, secara implisit mengatur

Page 50: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

tentang saksi mahkota. Dalam praktik peradilan, eksistensi jenis saksi ini

tampak apabila terdakwa yang sama-sama sebagai pelaku tindak pidana

tersebut kemudian perkaranya dipisakan menjadi berkas perkara tersendiri

(splitsling perkara) dalam hal ini keduanya satu sama lain saling menjadi

saksi. Kongkretnya, status mereka masing-masing adalah sebagai

terdakwa sekaligus sebagai saksi terhadap perkara lainnya.

Dari ketentuan pasal KUHAP yang mengatur secara implisit

tentang saksi mahkota apabila dikaji dari visi teoretik dan praktik

menimbulkan nuansa yuridis. Di satu sisi diajukannya saksi ini di depan

persidangan diharapkan dapat mengungkapkan kebenaran material suatu

tindak pidana yang dilakukan terdakwa, terlebih lagi terhadap tindak

pidana yang relatif cukup sulit pembuktiannya. Akan tetapi di sisi lainnya

penerapan jenis saksi ini akan berbenturan dengan aspek teoretik di mana

pengaturan saksi mahkota tidak ada diatur secara tegas dalam KUHAP.

Selain itu dari sudut pandang hukum pidana material akan menimbulkan

implikasi yuridis. Kongkretnya, pada dimensi praktik jenis saksi mahkota

dibutuhkan dalam rangka pengungkapan sebuah perkara. Sedangkan dari

dimensi lainnya pengaturan dan implikasi yuridis jenis saksi ini terlihat

dari aspek teoretiknya.

Menurut Lilik Mulyadi dalam bukunya Putusan Hakim dalam

Hukum Acara Pidana (Teori, Praktik, Teknik, Penyusunan, dan

Permasalahannya) pada hakikatnya saksi mahkota atau kroon getuige

adalah saksi yang diambil dari salah seorang tersangka/terdakwa di mana

kepadanya diberikan suatu mahkota. Dengan demikian berdasarkan visi

praktik maka dimensi saksi ini mempunyai anasir:

a. Saksi mahkota adalah seseorang yang dapat memberikan keterangan

guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu

perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri

(Pasal 1 angka 26 KUHAP).

b. Saksi mahkota diambil dari salah seorang terdakwa yaitu seorang yang

karena perbuatan atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut

Page 51: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14 KUHAP) atau

terdakwa yaitu seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili

di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 15 KUHAP). Saksi mahkota

hanya ada pada satu tindak pidana.

c. Saksi tersebut kemudian diberikan mahkota dalam artian saksi

mahkota diberikan kehormatan berupa perlakuan istimewa yaitu tidak

dituntut atas tindak pidana di mana ia sebenarnya merupakan salah

satu pelakunya atau ia dimaafkan atas kesalahannya.

Dalam praktik umumnya untuk kasus tertentu tak jarang dijumpai

bahwa penyidik sangat sulit, bahkan hampir tidak mungkin mendapatkan

saksi karena kuatnya para pelaku tindak pidana dalam menjaga

kerahasiaannya. Maka salah satu cara membongkar sindikat kejahatan

tersebut kemudian penyidik dapat memerintahkan anggotanya sebagai

penyelidik ikut bergabung dalam sindikat sebagai salah seorang pelaku

kejahatan atau mengambil salah seorang anggota sindikat untuk dijadikan

''saksi mahkota'' atas tindak pidana yang dilakukan sindikat bersangkutan.

Dengan demikian dalam praktik peradilan secara substansial

dikenal adanya dua macam gradasi saksi mahkota, yakni:

a. saksi mahkota adalah seorang petugas yang dengan sengaja

menjalankan perintah atasannya untuk melakukan tindak pidana;

b. saksi mahkota adalah orang yang betul-betul sebagai pelaku tindak

pidana.

Perlindungan pada saksi mahkota tersebut adalah:

a. Saksi mahkota yang merupakan seorang petugas yang sengaja

menjalankan perintah atasannya untuk melakukan tindak pidana.

Terhadap saksi mahkota yang merupakan seorang petugas yang

sengaja menjalankan perintah atasannya untuk melakukan tindak

pidana. maka dasar pemberian mahkotanya atau perlindungan

hukumnya adalah merujuk kepada ketentuan Pasal 51 ayat (1) Kitab

Page 52: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu : ”Barang siapa

melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang

diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.

Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) tersebut bermaksud bahwa seseorang yang melakukan

tindak pidana atas perintah atasan atau atas perintah dari penguasa

yang berwenang, maka terhadap orang tersebut tidak dipidana.

Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) ini adalah sebagai alasan pemaaf karena petugas

bersangkutan melakukan perintah jabatan.

b. Saksi mahkota yang betul-betul sebagai pelaku tindak pidana.

Terhadap saksi mahkota yang betul-betul sebagai pelaku tindak

pidana, maka pemberian mahkotanya berupa pembebasan dari

tuntutan berdasarkan asas oportunitas (opportuniteitsbeginsel) oleh

penyidik dan penuntut umum.

Asas opportunitas adalah penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan perbuatan pidana jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum asas opportunitas diakui dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia “ Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum” (Ramelan, 2006:10).

Perlindungan terhadap terdakwa yang memberikan kesaksian

tersebut sangat diperlukan. Informasi penting yang mereka berikan

membantu menyingkap kasus yang melibatkan mereka, terutama

mengungkap semua orang yang terlibat di dalamnya. Selain itu, adanya

jaminan perlindungan yang memadai membuat pelapor atau saksi lain

yang mengetahui sebuah tindak pidana, khususnya korupsi, terpicu

keberaniannya untuk memberi kesaksian.

Sebagai imbalan atas kesaksiannya, sesuai dengan Pasal 10 ayat (2)

UU Perlindungan Saksi, saksi mahkota berhak mendapatkan insentif

hukum berupa keringanan hukuman. Selengkapnya pasal tersebut berbunyi

Page 53: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

: "Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat

dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan

hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan."

3. Kelembagaan yang Melindungi Saksi Mahkota

Di Indonesia penuntut umum disebut juga Jaksa (Pasal 1 butir a dan

b serta Pasal 137 dan seterusnya KUHAP). Wewenang penuntutan

dipengang penuntut umum sebagai monopoli, artinya tiada badan lain

yang boleh melakukan itu. Ini disebut dominus litis ditangan penuntut

umum atau jaksa. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan

kepadanya. Jadi hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut

umum (Andi Hamzah,1996:14).

Dalam hubungannya dengan hak penuntutan dikenal dua asas yaitu

yang disebut asas legalitas dan opportunitas (het legaliteits en het

opportuniteits beginsel) menurut asas yang tersebut pertama penuntut

umum wajib menuntut suatu delik.

Menurut asas yang kedua, penuntut umum tidak wajib menuntut

seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan

merugikan kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum, seseorang

yang melakukan delik tidak dituntut (Andi Hamzah,1996:15).

Asas opportunitas adalah penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan perbuatan pidana jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum asas opportunitas diakui dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia “ Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum” (Ramelan, 2006:10).

Menurut A.Z. Abidin Farid memberikan perumusan asas

opportunitas sebagai berikut. “ Asas hukum yang memberikan wewenang

kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau

tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi

kepentingan umum (Abidin Farid dikutip Andi Hamzah, 2008:17).

Page 54: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

Dalam hukum acara pidana dikenal adanya suatu badan khusus

yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan ke pengadilan yang

disebut penuntut umum hal tersebut terlihat dalam Pasal 1 butir 6 no.a dan

b dan Pasal 137 KUHAP yang ditentukan sebagai berikut :

1) Pasal 1 butir a : Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh

Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta

melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap.

2) Pasal 1 butir b : Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi

wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan

dan melaksanakan penetapan hakim.

3) Pasal 137 : Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan

terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana

dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke

pengadilan yang berwenang mengadili.

Sedangkan mengenai asas opportunitas diatur dalam Pasal 35c

Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia dengan tegas menyatakan asas opportunitas itu dianut di

Indonesia. Pasal itu berbunyi sebagai berikut :“Jaksa Agung dapat

menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum”.

Keberadaan asas opportunitas dipertegas lagi dalam penjelasan

Pasal 77 KUHAP yang berbunyi : ”yang dimaksud penghentian

penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan

umum yang menjadi wewenang jaksa agung”.

Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” dalam pendeponeran

perkara itu, pedoman pelaksanaan KUHAP memberikan penjelasan

sebagai berikut : “.......Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum

dalam penerapan asas opportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk

kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan

masyarakat”.

Page 55: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

Menurut Andi Hamzah, dengan berlakunya UUD 1945 maka Jaksa

Agung mempertanggungjawabkan pelaksanaan wewenang opportunitas

kepada presiden, yang pada gilirannya presiden

mempertanggungjawabkan pula kepada rakyat.

Hukum tidak terlepas dari nilai-nilai dalam masyarakat, dan bahkan

dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan

konkretisasi daripada nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam

masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam

masyarakat. Kepekaan para penegak hukum dalam menempatkan hukum

sebagai kebutuhan yang terjadi dalam masyarakat adalah kebutuhan

pokok. Begitu pula Penuntut umum dalam melakukan penuntutan. Harus

menghubungkan antara kepentingan hukum dan kepentingan umum

karena kedua soal ini saling mempengaruhi satu sama lain. Penuntut

umum tidak hanya melihat kejahatan dan mencocokannya dengan suatu

peraturan hukum pidana,akan tetapi mencoba menempatkan kejadian itu

dengan menghubungkan pada proporsi yang sebenarnya.

Karena kepentingan umum maka penuntut umum (Jaksa Agung)

dapat menyampingkan perkara. Adapun yang dimaksud dengan

kepentingan umum tidak ada batasan pengertian yang jelas dalam

peraturan perundang-undangan. Untuk itu permasalahannya harus kita

kembalikan pada tujuan hukum atau cita-cita hukum.

Di bawah ini dapat dibandingkan antara kepentingan negara dan

kepentingan mayarakat yang harus dilindungi dalam hubungannya dengan

pelaksanaan asas opportunitas yaitu:

1) Apabila tindak pidana itu menimbulkan kerugian bagi negara dan

tidak terhadap kepentingan masyarakat, sedangkan kerugian dari

akibat tersebut dirasakan tidak mempengaruhi jalanya

pemerintahannya, maka dapat perkara itu dikesampingkan.

2) Apabila tindak tindak pidana tersebut tidak merugikan bagi

kepentingan penyelenggara negara namun berakibat terganggunya

kehidupan masyarakat atau timbulnya ketidakadilan dalam

Page 56: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

masyarakat, maka perkara tersebut tidak dapat dikesampingkan

(Andi Hamzah:2006,158-159).

United Nations Convention Against Corruption (2003), di mana

Indonesia telah turut menandatangani Konvensi tersebut, memberikan

beberapa tipe/bentuk perlindungan hukum dalam kaitannya dengan tindak

pidana korupsi, yaitu :

1) Protection of Witnesses, Experts and Victims (Pasal 32);

2) Protection of Reporting Persons (Pasal 33);

3) Protection of cooperating Persons (Pasal 37).

Pasal 37 ini memiliki persamaan ide yang dikemukakan oleh Jaksa

agung RI.

Disebutkan Pasal 37 ayat 2 :

“Setiap Negara peserta wajib mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus yang tertentu, mengurangi hukuman dari seorang tertuduh yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini”.

Pasal 37 ayat 3 :

“Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan kekebalan (immunity) dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini”.

Jadi, perlindungan terhadap orang-orang yang bekerjasama dengan

penegak hukum dikategorikan dengan 2 macam, yaitu bagi seorang

terdakwa dengan pemberian pengurangan hukuman (mitigating

punishment), dan seorang terdakwa dengan pemberian kekebalan dari

penuntutan (immunity from prosecution).

Page 57: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

Perlindungan terhadap seorang terdakwa yang bekerjasama dengan

penegak hukum (saksi mahkota) ini dilindungi oleh Jaksa,yaitu sebagai

imbalan atas kesaksiannya, sesuai dengan Pasal 10 ayat (2) UU

Perlindungan Saksi, saksi mahkota berhak mendapatkan insentif hukum

berupa keringanan hukuman.

B. Perlindungan Hukum terhadap Whistle Blower yang Tidak Terkait Kasus

dalam Perspektif Penegakan Hukum Pidana

1. Kedudukan Whistle Blower yang Tidak Terkait Kasus (Saksi Kunci)

Saksi dalam peradilan pidana menempati posisi utama, sebagaimana

dalam penempatannya pada Pasal 184 KUHP. Sebagai alat bukti utama,

dampak penggunaan saksi ini akan terasa apabila dalam suatu perkara

tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi dala proses peradilan

pidana telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana. Terungkapnya

kasus pelanggaran hukum sebagian besar berdasarkan informasi dari

masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya, di tingkat Kejaksaan

sampai pada tingkat Pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama

menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa.

Saksi merupakan kontribusi yang besar dalam upaya menegakkan hukum

dan keadilan.

Saksi memerlukan perlindungan karena:

a. Bagi saksi (apalagi orang awam hukum), memberikan keterangan

bukanlah suatu hal yang mudah;

b. Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada ancaman

pidana baginya karena dianggap bersumpah palsu.

c. Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya

mendapatkan ancaman, terror, intimidasi dari pihak yang dirugikan;

d. Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya;

e. Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti

seorang tersangka/terdakwa.

Page 58: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

Dalam KUHAP, sebagai ketentuan hukum beracara pidana di

Indonesia, tersangka/terdakwa memiliki sejumlah hak yang diatur secara

tegas dan rinci dalam suatu bab tersendiri. Namun, saksi hanya ada

beberapa pasal dalam KUHAP yang memberikan hak pada saksi, tetapi

pemberiannya pun selalu dikaitkan dengan tersangka/terdakwa. Dengan

demikian, hak yang dimiliki oleh saksi dimiliki pula oleh

tersangka/terdakwa, tetapi banyak hak tersangka/terdakwa yang tidak

dimiliki oleh saksi.

Secara normatif, KUHAP khusus memberikan hak pada saksi yaitu

pada Pasal 229 ayat (1) KUHAP. Yaitu : “saksi atau ahli yang telah hadir

memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua

tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Di Indonesia kehadiran Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu payung

hukum untuk memberikan perlindungan saksi. mengingat masih

banyaknya keluhan masyarakat mengenai perlu dan pentingnya

perlindungan saksi.

Perlindungan terhadap saksi dan korban harus diberikan bila

menginginkan proses hukum berjalan benar dan keadilan ditegakkan. Hal

ini dapat diperhatikan bahwa adanya fakta menunjukkan, banyak kasus-

kasus pidana maupun pelanggaran Hak Asasi Manusia yang tidak

terungkap dan tidak terselesaikan disebabkan adanya ancaman baik fisik

atau psikis maupun upaya kriminalisasi terhadap saksi dan korban ataupun

keluarganya yang membuat masyarakat takut memberi kesaksian kepada

penegak hukum.

Page 59: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

2. Ketentuan Hukum Perlindungan Saksi

Ada dua bentuk model perlindungan yang bisa diberikan kepada

saksi dan korban yaitu Pertama procedural rights model dan Kedua the

service model.

a. Procedural Rights Model

Model ini memungkinkan korban berperan aktif dalam proses

peradilan tindak pidana. “Korban diberikan akses yang luas untuk

meminta segera dilakukan penuntutan, korban juga berhak meminta

dihadirkan atau didengarkan keterangannya dalam setiap persidangan

dimana kepentingan korban terkait di dalamnya. Hal tersebut termasuk

pemberitahuan saat pelaku tindak pidana dibebaskan. Model ini

memerlukan biaya yang cukup besar dengan besarnya keterlibatan

korban dalam proses peradilan, sehingga biaya administrasi

peradilanpun makin besar karena proses persidangan bisa lama dan

tidak sederhana.

b. The Service Model

Model ini menentukan standar baku tentang pelayanan terhadap

korban yang dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim. Misalnya

pelayanan kesehatan, pendampingan, pemberian kompensasi dan ganti

rugi serta restitusi. Banyaknya pelayanan yang harus diberikan kepada

saksi dan korban menyebabkan efisiensi pekerjaan dari penegak

hukum tidak tercapai. Efek lain sulit memantau apakah pelayanan itu

benar-benar diterima saksi dan korban. Model yang bisa diterapkan di

Indonesia adalah kombinasi keduanya, karena di Negara Indonesia

paling susah adalah dalam hal koordinasi. Oleh karena itu, kedua

model itu harus disesuaikan dengan keadaan Indonesia, harus diukur

sejauh mana saksi dan korban bisa terlibat dalam proses peradilan.

Begitu pula tentang pemenuhan hak yang dapat diberikan kepada saksi

dan korban. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban telah memuat perlindungan yang harus

diberikan kepada saksi dan korban. Namun dalam hal ini harus ada

Page 60: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

ketentuan yang lebih rinci, seperti yang diatur dalam Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga,

misalnya tentang penanganan secara khusus berkaitan dengan

kerahasiaan korban. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai

lex specialis hendaknya ditentukan tentang bentuk dan cakupan kasus

yang dilindungi (Yenti. UU No. 13 Tahun 2006 LPSK tidak mengatur

perlindungan terhadap saksi dan korban secara spesifik. Sangat

tergantung pada anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban.http://hukumonline.com/detail.asp?id=17767&cl=Berita49k>1

1 Maret 2011).

Perlindungan bagi saksi dan korban pada prinsipnya harus

merupakan pemberian seperangkat hak yang dapat dimanfaatkan mereka

dalam posisinya pada proses peradilan pidana. Perlindungan ini

merupakan salah satu bentuk penghargaan atas kontribusi saksi dalam

proses ini.

KUHAP memang tidak mempunyai ketentuan yang secara khusus,

rinci dan lengkap tentang hak-hak saksi, termasuk saksi korban dalam

proses peradilan pidana. Akan tetapi bukan berarti dalam KUHAP tidak

ada ketentuan-ketentuan dalam hal tersebut. Adapun beberapa pasal dalam

KUHAP yang dianggap memberikan perlindungan pada saksi dan korban

adalah:

a. Pasal 117 ayat (1):

”Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan

tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun”.

b. Pasal 118:

“(1) Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara

yang ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang memberi

keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.

(2) Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan

tanda tangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara

dengan menyebut alasannya.

Page 61: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

c. Pasal 166:

“Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak bolèh diajukan baik kepada

terdakwa, maupun kepada saksi”.

d. Pasal 173:

“Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai hal

tertentu tanpa hadirnya terdakwa, untuk itu Ia minta terdakwa ke luar

dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu pemeriksaan perkara tidak

boleh diteruskan sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua hal

pada waktu ia tidãk hadir”.

e. Pasal 177:

“(1) Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim

ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau

berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus

diterjemahkan.

f. Pasal 178:

“(1) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat

menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah

orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.

(2) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menulis,

hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau

teguran kepadanya secara tertulis dan kepada terdakwa atau

saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan

selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan”.

g. Pasal 229:

“(1) Saksi atau ahli yang teIah hadir memenuhi panggilan dalam

rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan,

berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku”.

Page 62: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

h. Pasal 98:

“(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu

pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri

menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang

atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk

menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara

pidana itu”.

Menurut Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, bentuk perlindungan saksi adalah sebagai

berikut :

1) Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya

serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan,

sedang atau telah diberikan.

2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan

serta dukungan keamanan.

3) Memberikan keterangan tanpa tekanan.

4) Mendapat penerjemah.

5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat.

6) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasusnya.

7) Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.

8) Diberitahu ketika terpidana dibebaskan.

9) Mendapatkan identitas baru.

10) Mendapatkan tempat kediaman baru.

11) Penggantian biaya transportasi.

12) Mendapatkan penasihat hukum.

13) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir.

Dalam Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan saksi dan korban

disebutkan: “Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap

Page 63: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana

diatur dalam undang-undang ini”.

Sasaran perlindungan yang diberikan Undang-undang

Perlindungan Saksi dan Korban, terhadap saksi dan korban diatur dalam

Pasal 5 bahwa hak diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana

dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Pasal 6 Undang-undang

Perlindungan Saksi dan Korban, korban dalam pelanggaran hak asasi

manusia yang berat, juga berhak untuk mendapatkan:

1) bantuan medis;

2) bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

Dalam Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban ,

korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berhak

mengajukan ke pengadilan berupa:

1) hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang

berat;

2) hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab

pelaku tindak pidana.

Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh

pengadilan, dan ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi

dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Perlindungan dan hak

saksi dan korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir.

Saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman

yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian

tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang

diperiksa. Saksi dan/atau korban dapat memberikan kesaksiannya secara

tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan

membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang

Page 64: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

kesaksian tersebut. Saksi dan/atau korban dapat pula didengar

kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan

didampingi oleh pejabat yang berwenang, hal ini diatur dalam Pasal 9

Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban

menyebutkan : ‘Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara

hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan,

sedang, atau telah diberikannya”.

Menurut Pasal 28 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban,

bahwa perjanjian perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

terhadap saksi dan/atau korban tindak pidana diberikan dengan

mempertimbangkan syarat sebagai berikut:

1) sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban;

2) tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban;

3) hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban;

4) rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau

korban.

Pasal 29 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban

menyatakan bahwa Tata cara memperoleh perlindungan sebagai berikut:

1) Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri

maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan

permohonan secara tertulis kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban;

2) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban segera melakukan

pemeriksaan terhadap permohonan;

3) Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diberikan secara

tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan

diajukan.

Page 65: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

Bagi saksi dan/atau korban yang menghendaki perlindungan dari

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, saksi dan/atau korban baik atas

inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang,

mengajukan permohonan secara tertulis kepada Lembaga Perlindungan

Saksi dan Korban.

Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban lebih kongkrit

menegaskan bahwa dalam hal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

menerima permohonan saksi dan/atau korban, saksi dan/atau korban

menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan

perlindungan saksi dan korban. Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan

ketentuan perlindungan saksi dan korban memuat:

1) kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam

proses peradilan;

2) kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan

dengan keselamatannya;

3) kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara

apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban, selama ia berada dalam perlindungan

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;

4) kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada

siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban; dan

5) hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban .

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mempunyai kewajiban

memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan/atau korban,

termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan

mengikuti persyaratan tersebut dalam Pasal 30. Perlindungan atas

Page 66: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

keamanan saksi dan/atau korban hanya dapat diberhentikan berdasarkan

alasan-alasan seperti yang tercantum dalam Pasal 32 yaitu:

1) Saksi dan/atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya

dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;

2) atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan

perlindungan terhadap saksi dan/atau korban berdasarkan atas

permintaan pejabat yang bersangkutan;

3) Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis

dalam perjanjian; atau

4) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berpendapat bahwa saksi

dan/atau korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan

bukti-bukti yang meyakinkan.

Penghentian perlindungan keamanan seorang saksi dan/atau korban

harus dilakukan secara tertulis.

Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban juga mengatur

mengenai bantuan bagi saksi atau korban sebagaimana diatur dalam Pasal

33 sampai dengan Pasal 36, sebagaimana penulis jelaskan sebagai berikut

ini.

Bantuan diberikan kepada seorang saksi dan/atau korban atas

permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang

mewakilinya kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan

menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada saksi dan/atau

korban. Dalam hal saksi dan/atau korban layak diberi bantuan, Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban menentukan jangka waktu dan besaran

biaya yang diperlukan. Ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan serta

jangka waktu dan besaran biaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mengenai

pemberian bantuan kepada saksi dan/atau korban harus diberitahukan

secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7

Page 67: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

(tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan tersebut. Dalam

melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban dapat bekerja sama dengan instansi terkait

yang berwenang dan melaksanakan perlindungan dan bantuan, instansi

terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.

3. Kelembagaan Perlindungan Saksi

Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban melahirkan

lembaga baru sebagimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 yaitu

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang merupakan lembaga yang

bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain

kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam Undang--undang

ini. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, merupakan lembaga yang

mandiri dalam arti lembaga yang independent, tanpa campur tangan dari

pihak manapun. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga

berkedudukan di Ibu kota Negara Republik Indonesia dan mempunyai

perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan.

LPSK sesuai dengan ketentuan Undang-undang No 13 tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memiliki tugas dan wewenang

yaitu memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban

serta pelapor, mengkoordinasikan fungsi dan peran perlindungan saksi dan

korban dalam sistem peradilan pidana, menentukan persyaratan dalam

permohonan perlindungan, memperoleh data dan informasi untuk

kepentingan perlindungan, menerima atau menolak permohonan

pemberian perlindungan, menentukan bentuk dan jenis perlindungan pada

saksi dan korban membuat sistem dan model-model pertanggungjawaban

dalam proses pemberian perlindungan/bantuan bagi para saksi dan korban

serta mengadakan kerjasama dengan instansi terkait.

Page 68: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban bertanggung jawab

untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan

korban berdasarkan tugas dan kewenangannya, dan bertanggung jawab

kepada Presiden. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban membuat

laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas Lembaga Perlindungan

Saksi dan Korban kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling sedikit sekali

dalam 1 (satu) tahun.

Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terdiri atas 7

(tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai

pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan

hukum dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum

dan Hak Asasi Manusia, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya

masyarakat. Masa jabatan anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban adalah 5 (lima) tahun. Setelah berakhir masa jabatan, anggota

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dapat dipilih kembali dalam

jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terdiri atas Pimpinan dan

Anggota, Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terdiri atas

Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota. Pimpinan Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban dipilih dari dan oleh anggota Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pemilihan Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diatur

dengan Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali

dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan

berikutnya. Dalam pelaksanaan tugasnya, Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban dibantu oleh sebuah secretariat yang bertugas memberikan

pelayanan administrasi bagi kegiatan Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban. Sekretariat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dipimpin

oleh seorang Sekretaris yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil. Sekretaris

Page 69: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sekretaris Negara. Ketentuan

lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan, organisasi, tugas, dan

tanggung jawab sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Peraturan Presiden. Peraturan Presiden ditetapkan dalam waktu

paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban terbentuk.

Sehubungan dengan Undang-undang Perlindungan Saksi dan

Korban ini belum ada komponen hukum yang mendukung untuk

dilaksanakan, untuk pertama kali seleksi dan pemilihan anggota Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban dilakukan oleh Presiden, dan dalam

melaksanakan seleksi dan pemilihan Presiden membentuk panitia seleksi.

Panitia seleksi terdiri atas 5 (lima) orang, dengan susunan sebagai berikut:

1) 2 (dua) orang berasal dari unsur pemerintah; dan

2) 3 (tiga) orang berasal dari unsur masyarakat.

Anggota panitia seleksi tidak dapat dicalonkan sebagai anggota

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Susunan panitia seleksi, tata

cara pelaksanaan seleksi, dan pemilihan calon anggota Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan Peraturan Presiden. Panitia

seleksi mengusulkan kepada Presiden sejumlah 21 (dua puluh satu) orang

calon yang telah memenuhi persyaratan. Presiden memilih sebanyak 14

(empat belas) orang dari sejumlah calon untuk diajukan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya memilih dan

menyetujui 7 (tujuh) orang.

Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan dalam jangka

waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan

calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diterima. Dalam

hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan terhadap

seorang calon atau lebih yang diajukan oleh Presiden, dalam jangka waktu

paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya

pengajuan calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban,

Page 70: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

Dewan Perwakilan Rakyat harus memberitahukan kepada Presiden disertai

dengan alasan, dan Presiden mengajukan calon pengganti sebanyak 2

(dua) kali jumlah calon anggota yang tidak disetujui. Dewan Perwakilan

Rakyat wajib memberikan persetujuan terhadap calon pengganti dalam

jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal

pengajuan calon pengganti diterima.

Presiden menetapkan anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban yang telah memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,

dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak

tanggal persetujuan diterima Presiden. Anggota Lembaga Perlindungan

Saksi dan Korban diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat. Untuk dapat diangkat menjadi anggota Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban harus memenuhi syarat:

1) warga negara Indonesia;

2) sehat jasmani dan rohani;

3) tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana

kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun;

4) berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65

(enam puluh lima) tahun pada saat proses pemilihan;

5) berpendidikan paling rendah S 1 (strata satu);

6) berpengalaman di bidang hukum dan hak asasi manusia paling singkat

10 (sepuluh) tahun;

7) memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; dan

8) memiliki nomor pokok wajib pajak.

Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diberhentikan

karena:

1) meninggal dunia;

2) masa tugasnya telah berakhir;

3) atas permintaan sendiri;

Page 71: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

4) sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan tidak dapat

menjalankan tugas selama 30 (tiga puluh) hari secara terus menerus;

5) melakukan perbuatan tercela dan/atau hal-hal lain yang berdasarkan

Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang

bersangkutan harus diberhentikan karena telah mencemarkan

martabat dan reputasi, dan/atau mengurangi kemandirian dan

kredibilitas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; atau

6) dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan yang

ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan

pemberhentian anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diatur

dengan Peraturan Presiden. Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat, dalam hal

keputusan tidak dapat dicapai, keputusan diambil dengan suara terbanyak.

Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Lembaga Perlindungan

Saksi dan Korban dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara.

Page 72: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

BAB IV. PENUTUP

A. Simpulan

1. Perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait kasus dalam

perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia diatur dalam Pasal 10

ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban yaitu berupa pengurangan tuntutan yang

berimplikasi pada pengurangan pidana yang dijatuhkan oleh hakim

atas kesaksian yang diberikan olehnya dan diatur pula dalam Pasal 51

ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam hal

delik penyertaan yang menjadi dasar untuk dilakukan asas opportunitas

oleh jaksa, sehingga saksi tersebut tidak dipidana.

2. Perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak terkait kasus

dalam perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia diatur dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu pada

Pasal 117 ayat (1), Pasal 118, Pasal 166, Pasal 173, Pasal 177, Pasal

178, Pasal 229 dan Pasal 98, dan perlindungannya diatur pula dalam

Pasal 5 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

B. Saran

1. Dengan minimnya komponen hukum maupun mengenai pendanaan

dalam penegakkan perlindungan saksi hendaknya tidak menjadi

hukum itu lemah dan tidak efektif, demikian halnya pemerintah

sebagai pemegang mandat hendaknya ketika mandat itu telah diberikan

apapun mandat itu harus dilaksanakan selama tidak melanggar aturan

hukum yang berlaku.

2. Terkait dengan pelaksanaan perlindungan saksi dan korban, kelemahan

utama dari UU PSK ini adalah tidak mengatur kewenangan dari LPSK

tersebut. Pasal 12 UU PSK menentukan bahwa “LPSK bertanggung

58

Page 73: WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT ... · BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada

saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana

diatur dalam undang-undang ini”. Tugas LPSK dalam undang-undang

ini sangat umum, yaitu memberikan perlindungan dan bantuan kepada

saksi dan atau korban. Hingga pasal terakhir dari undang-undang ini

tidak ditemukan rincian tentang tugas dan kewenangan LPSK. Pasal-

pasal selanjutnya dalam undang-undang ini hanya mengatur tentang

tata cara pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian anggota LPSK,

pengambilan keputusan dan pembiayaan, syarat dan tata cara

pemberian perlindungan dan bantuan, bahkan ketentuan pidana bagi

yang mengancam atau memaksa saksi.

3. Perlu pengaturan tentang perlindungan saksi (korban) setelah

pemeriksaan perkara selesai, karena dalam Undang-undang Nomor 13

tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum

mengaturnya. Hal ini dapat digunakan sebagai bahan amandemen

Undang-undang Perlindungan saksi dan Korban.