4-jenis jasa keu islam

19
24 BAB IV JENIS JASA KEUANGAN ISLAM Konsep Dan Sistem Kerja Perbankan Syariah Dewasa ini lembaga keuangan berlabel syari’at berkembang dalam skala besar dengan menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan istilah-istilah berbahasa Arab. Banyak masyarakat yang masih bingung dengan istilah-istilah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk tersebut adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syari’at ataukah hanya rekayasa semata. Untuk menjawab pertanyaaan tersebut marilah kita mencoba mengkaji produk-produk keuangan syariah. Kita perlu mengetahui konsep dan sistem kerja perbankan Syariah yang bisa digambarkan sebagai berikut: Bank syariah menghimpun dana yang berasal dari pemilik dana/masyarakat yang selanjutnya disalurkan kepada masyarakat/pengguna dana. Masyarakat/pengguna dana melaksanakan bagi hasil dengan Bank Syariah, selanjutnya Bank Syariah melakukan bagi hasil dengan pemilik dana/masyarakat. Proses penyaluran dana kepada masyarakat dapat digambarkan sbb: Selanjutnya kita membatasi permasalahan pada pembiayaan (financing) yang terdiri dari:

Upload: yuli

Post on 06-Nov-2015

86 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

BAB IVJenis Jasa Keuangan Islam

TRANSCRIPT

  • 24

    BAB IV

    JENIS JASA KEUANGAN ISLAM

    Konsep Dan Sistem Kerja Perbankan Syariah

    Dewasa ini lembaga keuangan berlabel syariat berkembang dalam skala besar dengan menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan istilah-istilah berbahasa Arab.

    Banyak masyarakat yang masih bingung dengan istilah-istilah tersebut dan masih ragu

    apakah benar semua produk tersebut adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syariat ataukah hanya rekayasa semata.

    Untuk menjawab pertanyaaan tersebut marilah kita mencoba mengkaji produk-produk

    keuangan syariah.

    Kita perlu mengetahui konsep dan sistem kerja perbankan Syariah yang bisa digambarkan

    sebagai berikut:

    Bank syariah menghimpun dana yang berasal dari pemilik dana/masyarakat yang selanjutnya

    disalurkan kepada masyarakat/pengguna dana. Masyarakat/pengguna dana melaksanakan

    bagi hasil dengan Bank Syariah, selanjutnya Bank Syariah melakukan bagi hasil dengan

    pemilik dana/masyarakat.

    Proses penyaluran dana kepada masyarakat dapat digambarkan sbb:

    Selanjutnya kita membatasi permasalahan pada pembiayaan (financing) yang terdiri dari:

  • 25

    A. Bagi Hasil (Profit & Loss Sharing) Yang dilakukan dalam bentuk kerjasama dengan sistem:

    1. Musyarakah a. Pengertian

    Akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana

    masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau keahlian dengan

    kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai

    dengan kesepakatan.

    Musyarakah ditinjau dari besarnya modal selama masa akad kerjasama, dapat

    digolongkan atas:

    1) Musyarakah permanen Adalah musyarakah yang jumlah modalnya tetap sampai akhir masa

    musyarakah.

    2) Musyarakah menurun. Adalah musyarakah yang jumlah modalnya secara berangsur-angsur menurun

    karena dibeli oleh mitra musyarakah.

    Musyarakah ditinjau dari partisipasi modal selama masa akad kerjasama

    dibedakan atas:

    1) Syirkah Inan Akad kerja sama antara dua orang atau lebih, masing-masing memberikan

    kontribusi dana dan berpartisipasi dalam kerja. Porsi dana dan bobot

    partisipasi dalam kerja tidak harus sama, bahkan dimungkinkan hanya salah

    seorang yang aktif mengelola usaha yang ditunjuk oleh partner lainnya.

    Sementara itu, keuntungan atau kerugian yang timbul dibagi menurut

    kesepakatan bersama.

    2) Syirkah Mufawadhah Akad kerja sama antara dua orang atau lebih, masing-masing memberikan

    kontribusi dana dalam porsi yang sama dan berpartisipasi dalam kerja

    dengan bobot yang sama pula. Setiap partner saling menanggung satu sama

    lain dalam hak dan kewajiban. Tidak diperkenankan salah seorang

    memasukkan modal yang lebih besar dan memeroleh keuntungan yang lebih

    besar pula dibandingkan dengan partner lainnya. Keuntungan maupun

    kerugian yang diperoleh harus dibagi secara sama.

    3) Syirkah Amal Kesepakatan kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki profesi

    dan keahlian tertentu, untuk menerima serta melaksanakan suatu pekerjaan

    secara bersama dan berbagi keuntungan dari hasil yang diperoleh.

    4) Syirkah Wujuh Syirkah ini terbentuk antara dua orang atau lebih, tanpa setoran modal.

    Modal yang digunakan hanyalah nama baik yang dimiliki, terutama karena

    kepribadian dan kejujuran masing-masing dalam berniaga. Dengan memiliki

    reputasi seperti itu, mereka dapat membeli barang-barang tertentu dengan

    pembayaran tangguh dan menjualnya kembali secara tunai. Keuntungan yang

    diperoleh akan dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama.

    b. Musyarakah dalam Teknis Perbankan Musyarakah merupakan akad kerja sama pembiayaan antara Islamic

    Banking, atau beberapa lembaga keuangan secara bersama-sama, dan

    nasabah untuk mengelola suatu kegiatan usaha. Masing-masing memasukkan

    penyertaan dana sesuai porsi yang disepakati. Pengelolaan kegiatan usaha,

    dipercayakan kepada nasabah.

    Selaku pengelola, nasabah wajib menyampaikan laporan berkala mengenai perkembangan usaha kepada bank-bank sebagai pemilik dana. Di samping

    itu, pemilik dana dapat melakukan intervensi kebijakan usaha.

  • 26

    c. Ketentuan Dalam Musyarakah

    Dalam definisi yang lain disebutkan bahwa Musyarakah adalah akad kerjasama yang

    terjadi diantara para pemilik modal (mitra musyarakah) untuk menggabungkan

    modal dan melakukan usaha secara bersama dalam suatu kemitraan, dengan nisbah

    pembagian hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung secara

    proporsional sesuai dengan kontribusi modal. Adapun ketentuan dalam musyarakah

    menurut fatwa di atas adalah sebagai berikut:

    1) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan

    hal-hal berikut:

    a) Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).

    b) Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak. c) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan

    menggunakan cara-cara komunikasi modern.

    2) Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:

    a) Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. b) Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra

    melaksanakan kerja sebagai wakil.

    c) Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.

    d) Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan

    aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa

    melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.

    e) Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.

    3) Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian) a) Modal

    (1) Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama.

    (2) Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih

    dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.

  • 27

    (3) Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar

    kesepakatan.

    (4) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat

    meminta jaminan.

    b) Kerja (1) Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan

    musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan

    syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang

    lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan

    tambahan bagi dirinya.

    (2) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi

    kerja harus dijelaskan dalam kontrak.

    c) Keuntungan/Kerugian (1) Keuntungan/kerugian harus dikuantifikasi dengan jelas untuk

    menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi

    keuntungan/kerugian atau penghentian musyarakah.

    (2) Setiap keuntungan/kerugian mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan/kerugian dan tidak ada jumlah yang

    ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.

    (3) Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan/kerugian melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan

    kepadanya.

    (4) Sistem pembagian keuntungan/kerugian harus tertuang dengan jelas dalam akad.

    2. Mudharabah a. Pengertian Mudharabah, berasal dari kata dharb, artinya memukul atau berjalan. Pengertian

    memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan

    kakinya dalam menjalankan usaha.

    Secara teknis mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana

    pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak

    lainnya menjadi pengelola.

    Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan

    dalam kontrak, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian

    itu bukan akibat kelalaian pengelola.

    Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian pengelola,

    maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut .

    Secara lebih spesifik, pengertian mudharabah :

    Mudharabah adalah akad kerja sama antara pemilik dana (shahibul mal), yang menyediakan seluruh kebutuhan modal, dan pihak pengelola usaha

    (mudharib) untuk melakukan suatu kegiatan usaha bersama. Keuntungan

    yang diperoleh dibagi menurut perbandingan (nisbah) yang disepakati.

    Dalam hal terjadi kerugian, maka ditanggung oleh pemilik modal selama bukan diakibatkan kelalaian pengelola usaha. Sedangkan, kerugian yang

    timbul karena kelalaian pengelola akan menjadi tanggung jawab pengelola

    usaha itu sendiri.

    Pemilik modal tidak turut campur dalam pengeloalaan usaha, tetapi memunyai hak untuk melakukan pengawasan.

    Secara garis besar kerja sama akad Mudharabah dapat digambarkan sebagai berikut:

  • 28

    b. Landasan Hukum Mudharabah QS Al-Jumuah [62]: 10 Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebarkanlah kamu di muka bumi dan

    carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

    Hadis riwayat Ibnu Majah Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk

    keperluan rumah, bukan untuk dijual. c. Jenis Mudharabah

    1) Mudharabah Muthlaqah Pemilik dana (shahibul mal) memberikan keleluasaan penuh kepada

    pengelola (mudharib) dalam menentukan jenis usaha maupun pola

    pengelolaan yang dianggapnya baik dan menguntungkan sepanjang tidak

    bertentangan dengan ketentuan syariah.

    2) Mudharabah Muqayyadah Pemilik dana memberikan batasan-batasan tertentu kepada pengelola usaha

    dengan menetapkan jenis usaha yang harus dikelola, jangka waktu

    pengelolaan, lokasi usaha, dan sebagainya.

    d. Ketentuan dan Rukun Mudharabah Menurut mazhab Hanafi, dalam kaitannya dengan kontrak tersebut, unsur yang

    paling mendasar adalah ijab dan qabul (offer and acceptence).

    Artinya bersesuaiannya keinginan dan maksud dari dua pihak tersebut untuk

    menjalin ikatan kerja sama (Nyazee,1997).

    Mazhab lain, seperti Syafii, mengajukan beberapa unsur mudharabah yang tidak hanya adanya ijab dan qabul, tetapi juga adanya dua pihak, adanya kerja,

    adanya laba, dan adanya modal (Al-Ramli, vol.V).

    1) Ijab dan qabul.

    Pernyataan kehendak yang berupa ijab dan qabul antara kedua pihak.

    Syarat-syarat, yaitu:

    a) Harus jelas menunjukkan maksud untuk melakukan kegiatan mudharabah. Dalam menjelaskan maksud tersebut, bisa menggunakan

    kata mudharabah, qiradh, muqaradhah, muamalah, atau semua kata yang semakna dengannya. Bisa pula tidak menyebutkan kata

    mudharabah dan kata-kata sepadan lainnya jika maksud dari

    penawaran tersebut sudah dapat dipahami. Misalnya, Ambil uang ini dan gunakan untuk usaha dan keuntungan kita bagi berdua. (Al-Kasani, 1990).

    b) Harus bertemu. Artinya, penawaran pihak pertama sampai dan diketahui oleh pihak kedua. Ijab yang diucapkan pihak pertama harus

  • 29

    diterima dan disetujui oleh pihak kedua sebagai ungkapan kesediaan

    bekerja sama. Kesediaan tersebut bisa diungkapkan dengan kata-kata

    atau gerakan tubuh (isyarat) lain yang menunjukkan kesediaan.

    Misalnya, dengan mengucapkan, Ya, saya terima, atau Saya setuju, atau dengan isyarat-isyarat setuju lain seperti menganggukkan kepala,

    diam, atau senyum. Oleh karena itu, peristiwa ini harus terjadi dalam

    satu majlis akad agar terhindar dari kesalahpahaman.

    c) Harus sesuai maksud pihak pertama, cocok dengan keinginan pihak kedua. Secara lebih luas, ijab dan qabul tidak saja terjadi dalam

    soal kesediaan dua pihak untuk menjadi pemodal dan pengusaha, tetapi

    juga kesediaan untuk menerima kesepakatan-kesepakatan lain yang

    muncul lebih terinci. Dalam hal ini, ijab (penawaran) tidak selalu

    diungkapkan oleh pihak pertama. Begitu juga sebaliknya. Keduanya

    harus saling menyetujui. Artinya, jika pihak pertama melakukan ijab

    (penawaran), maka pihak kedua melakukan qabul (penerimaan). Begitu

    juga sebaliknya. Ketika kesepakatan-kesepakatan itu disetujui, maka

    terjadilah hukum

    2) Adanya dua pihak (pihak penyedia dana dan pengusaha).

    Para pihak (shahibul mal dan mudharib) disyaratkan:

    a) Cakap bertindak hukum secara syari. Artinya, shahibul mal memiliki kapasitas untuk menjadi pemodal

    dan mudharib memiliki kapasitas menjadi pengelola. Jadi,

    mudharabah yang disepakati oleh shahibul mal yang memunyai

    penyakit gila temporer tidak sah. Namun, jika dikuasakan oleh

    orang lain, maka sah. Bagi mudharib, asalkan ia memahami

    maksud kontrak saja sudah cukup sah mudharabah-nya.

    b) Memiliki walayah tawkil wa wakalah (memiliki kewenangan

    mewakilkan/memberi kuasa dan menerima pemberian kuasa), karena penyerahan modal oleh pihak pemberi modal kepada pihak

    pengelola modal merupakan suatu bentuk pemberian kuasa untuk

    mengolah modal tersebut.

    3) Adanya modal.

    disyaratkan:

    a) Harus jelas jumlah dan jenisnya dan diketahui oleh kedua belah pihak pada waktu dibuatnya akad mudharabah, sehingga tidak

    menimbulkan sengketa dalam pembagian laba karena ketidakjelasan

    jumlah. Kepastian dan kejelasan laba itu penting dalam kontrak ini.

    b) Harus berupa uang (bukan barang). Mengenai modal harus berupa uang dan tidak boleh barang adalah pendapat mayoritas

    ulama. Mereka beralasan, mudharabah dengan barang itu dapat

    menimbulkan kesamaran, karena barang pada umumnya bersifat

    fluktuatif. Jika barang bersifat tidak fluktuatif seperti emas dan

    perak, mereka berbeda pendapat. Imam Malik dalam hal ini tidak

    tegas untuk melarang atau membolehkannya. Oleh karenanya, para

    muridnya berbeda pendapat. Sebagian membolehkan dan sebagian

    lain, seperti Ibnu Al-Qasim, membolehkannya dengan catatan emas

    dan perak tersebut belum menjadi barang perhiasan. Dalam kaitan

    mudharabah dengan emas atau perak ini, Imam Syafii melarangnya. Secara umum fuqaha yang melarang mudharabah dengan emas atau

    perak beralasan bahwa keduanya disamakan dengan barang,

    sedangkan yang membolehkannya, termasuk di antaranya Ibnu Abi

    Laila, beralasan bahwa keduanya disamakan dengan dinar dan

    dirham. Keduanya hanya berbeda sedikit dalam harga (tidak

    fluktuatif). Dalam kaitannya dengan modal ini pula, para fuqaha

    sepakat bahwa jika barang yang diserahkan tersebut tidak untuk

    mudharabah, tetapi untuk dijadikan sebagai sebuah modal

    mudharabah dengan cara menjualnya terlebih dahulu, maka hal ini

    diperbolehkan. Menurut Ibnu Hazm, karena hal ini telah banyak

    disebutkan dalam hadis Nabi Saw.

  • 30

    c) Uang bersifat tunai (bukan hutang). Mengenai keharusan uang dalam bentuk tunai (tidak hutang)

    bentuknya adalah, misalnya, shahibul mal memiliki piutang kepada

    seseorang. Piutang pada seseorang tersebut kemudian dijadikan

    modal mudharabah bersama si berhutang. Ini tidak dibenarkan

    karena piutang itu sebelum diterimakan oleh si berhutang kepada si

    berpihutang, masih merupakan milik siberhutang. Jadi, apabila ia

    jalankan dalam suatu usaha, berarti ia menjalankan dananya sendiri,

    bukan dana si berpihutang. Selain itu, hal ini bisa membuka pintu

    perbuatan riba, yaitu memberi tangguh kepada si berhutang yang

    belum mampu membayar hutangnya dengan kompensasi si

    berpihutang mendapatkan imbalan tertentu. Dalam hal ini, para

    ulama fikih tidak berbeda pendapat. Perselisihan pendapat para

    fuqaha terletak pada orang yang menyuruh orang lain untuk

    menerima hutang dari orang ketiga, kemudian orang tersebut

    memutarkannya berdasarkan mudharabah. Imam Malik dan para

    pengikutnya tidak membolehkan hal tersebut, karena memandang

    bahwa pada cara tersebut terdapat penambahan kerja dari orang

    tersebut kepada orang yang bekerja (memutarkan harta). Kerja

    tambahan tersebut adalah suruhan untuk menerimanya. Alasan ini

    didasarkan pada aturan pokok mudharabah dalam mazhab Maliki

    bahwa barangsiapa mensyaratkan manfaat yang lebih dalam

    mudharabah, maka batal. Sementara itu, Imam Syafii dan Abu Hanifah membolehkannya dengan alasan orang tersebut telah

    mewakilkan penerimaan kepada orang lain. Jadi, ia tidak menjadikan

    penerimaan sebagai syarat pemutaran uang.

    d) Modal diserahkan sepenuhnya kepada pengelola secara langsung. Jika tidak diserahkan kepada mudharib secara langsung dan tidak

    diserahkan sepenuhnya (berangsur-angsur) dikhawatirkan akan

    terjadi kerusakan pada modal, yaitu penundaan yang dapat

    mengganggu waktu mulai bekerja dan akibat yang lebih jauh

    mengurangi kerjanya secara maksimal. Jumhur fuqaha sepakat akan

    hal ini. Hanya, sebagian dari mazhab Hanafi lebih fleksibel

    menambahkan apabila pengangsuran kucuran modal tersebut

    dikehendaki oleh mudharib, maka tidak batal.

    4) Adanya usaha (amal).

    Sebagian ulama, khususnya Imam Syafii dan Maliki, mensyaratkan hanya berupa usaha dagang (commercial). Mereka menolak usaha

    yang berjenis kegiatan industri (manufacture) dengan anggapan bahwa

    kegiatan industri itu termasuk dalam kontrak persewaan (ijarah) yang

    semua kerugian dan keuntungan ditanggung oleh pemilik modal

    (investor), sementara para pegawainya digaji secara tetap (Udovitch,

    1970). Tetapi, Abu Hanifah membolehkan usaha apa saja selain

    berdagang, termasuk kegiatan kerajinan atau industri. Seseorang dapat

    memberikan modalnya kepada pekerja yang akan digunakannya untuk

    membeli bahan mentah untuk dibuat sebuah produk dan kemudian

    dijual. Keuntungan ini dapat dibagi dua antara keduanya. Ini memang

    tidak termasuk jenis perdagangan murni yang seseorang hanya terlibat

    dalam pembelian dan penjualan. Tetapi, hal tersebut dapat dibenarkan,

    sebab persekutuan antara modal dan tenaga terjadi dalam kegiatan ini;

    bahkan mengenai keuntungan kadang-kadang lebih dapat dipastikan,

    sehingga bagi hasil akan selalu dapat diwujudkan. Kalau ditarik lebih

    jauh ke era modern ini, makna perdagangan menjadi meluas. Semua

    kerja ekonomi yang mengandung kegiatan membuat atau membeli

    produk atau jasa, kemudian menjualnya atau menjadikan produk atau

    jasa tersebut menjadi sebuah keuntungan merupakan arti dari

    perdagangan. Oleh karena itu, tampaknya semua kegiatan ekonomi itu

    mengandung unsur perdagangan. Jadi sesungguhnya, dalam hal ini,

  • 31

    dapat dikatakan bahwa jenis usaha yang diperbolehkan adalah semua

    jenis usaha. Tentu saja tidak hanya menguntungkan, juga harus sesuai

    dengan ketentuan syariah, sehingga merupakan usaha yang halal

    (Anwar, 2001).

    Dalam menjalankan usaha ini, shahibul mal tidak

    boleh ikut campur dalam teknis operasional dan manajemen usaha,

    dan tidak boleh membatasi usaha mudharib sedemikian rupa

    sehingga mengakibatkan upaya pemerolehan keuntungan maksimal

    tidak tercapai. Tetapi, di lain pihak, pengelola harus senantiasa

    menjalankan usahanya dalam ketentuan syariah secara umum.

    Apabila usaha itu dijalankan di bawah akad mudharabah terbatas,

    maka ia harus memenuhi klausul-klausul yang ditentukan oleh

    shahibul mal.

    5) Adanya keuntungan

    Disyaratkan bahwa:

    (a) Keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan persentase dari jumlah modal yang diinvestasikan, melainkan hanya

    keuntungannya saja setelah dipotong besarnya modal. Dalam hal

    ini, penghitungan harus dilakukan secara cermat. Setiap keadaan

    yang membuat ketidakjelasan penghitungan akan membawa kepada

    suatu kontrak yang tidak sah.

    (b) Keuntungan untuk setiap pihak tidak ditentukan dalam jumlah nominal, misalnya satu juta, dua juta, dan seterusnya. Jika

    ditentukan dengan nilai nominal, berarti shahibul mal telah

    mematok untung tertentu dari sebuah usaha yang belum jelas

    untung dan ruginya. Ini akan membawa pada perbuatan riba.

    (c) Nisbah pembagian ditentukan dengan persentase, misalnya 60:40%, 50:50%, dan seterusnya. Penentuan persentase tidak harus terikat

    pada bilangan tertentu. Artinya, jika nisbah bagi hasil tidak

    ditentukan pada saat akad, maka setiap pihak memahami bahwa

    keuntungan itu akan dibagi secara sama, karena aturan umum

    dalam penghitungan ini adalah kesamaan. Namun, tindakan berupa

    penyebutan nisbah bagi hasil pada awal kontrak adalah lebih baik

    untuk menghindari munculnya kesalahpahaman. Persentase yang

    diungkapkan oleh salah satu pihak dianggap cukup. Jika terdapat

    pihak ketiga, seorang yang membantu usaha mudharib, maka

    persentase bagi hasil tidak boleh dibagi menjadi tiga bagian.

    Namun, jika pihak ketiga itu merupakan budak (pekerja) dari

    shahibul mal, para ulama berbeda pendapat. Imam Malik, Syafii, dan Abu Hanifah membolehkannya, sementara para ulama murid

    Imam Malik tidak membolehkannya.

    (d) Keuntungan harus menjadi hak bersama sehingga tidak boleh diperjanjikan bahwa seluruh keuntungan untuk salah satu

    pihak. Pada dasarnya, mudharabah membagi keuntungan

    berdasarkan kesamaan. Namun, jika mudharib mensyaratkan

    seluruh keuntungan untuk dirinya, para fuqaha berbeda pendapat.

    Imam Malik membolehkannya, karena cara itu merupakan

    kebaikan atau kesukarelaan shahibul mal. Di lain pihak, Imam

    Syafii melarangnya. Ia menganggap cara seperti itu sebagai suatu kesamaran, karena jika terjadi kerugian, shahibul mal pun telah

    menanggung modalnya. Jadi, menurut Imam Syafii, beban risiko yang ditanggung shahibul mal itu telah berat dan tidak boleh

    ditambahi lagi. Imam Abu Hanifah, berkenaan dengan masalah ini,

    berpendapat bahwa hal itu tidak termasuk kategori mudharabah,

    melainkan qardh (pinjaman). Artinya, pelimpahan seluruh

    keuntungan ke tangan mudharib menjadikan kegiatan ekonomi itu

    sebagai sebuah pinjaman. Maka dari itu, jika terjadi kejadian yang

  • 32

    sebaliknya (kerugian), maka seluruh kerugian ditanggung oleh

    mudharib.

    B. Sistem Pembiayaan Jual Beli (Sale & Purchase) dan Sewa

    1. Murabahah

    Dewasa ini lembaga keuangan berlabel syariat berkembang dalam skala besar dengan Jual beli Murabahah (Bai al-Murabahah) demikianlah istilah yang banyak diusung lembaga keuangan tersebut sebagai bentuk dari Financing (pembiayaan)

    yang memiliki prospek keuntungan yang cukup menjanjikan.

    Jual beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syariat ini dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:

    1. al-Murabahah lil Aamir bi Asy-Syira 2. al-Murabahah lil Waid bi Asy-Syira 3. Bai al-Muwaadah 4. al-Murabahah al-Mashrafiyah 5. al-Muwaaadah Ala al-Murabahah.

    Sedangkan di negara Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah

    Kepada Pemesanan Pembelian (KPP)

    a. Pengertian Murabahah adalah akad jual beli atas suatu barang, dengan harga yang

    disepakati antara penjual dan pembeli, setelah sebelumnya penjual menyebutkan

    dengan sebenarnya harga perolehan atas barang tersebut dan besarnya

    keuntungan yang diperolehnya.

    Al-Quran tidak pernah secara langsung membicarakan murabahah meski di sana ada sejumlah acuan tentang jual beli, laba, rugi, dan perdagangan. Demikian

    pula, tampaknya tidak ada hadis yang memiliki rujukan langsung kepada

    murabahah.

    Para ulama generasi awal, semisal Malik dan Syafii yang secara khusus mengatakan bahwa jual beli murabahah adalah halal, tidak memperkuat

    pendapat mereka dengan satu hadis pun. Al-Kaff (tt), seorang kritikus

    murabahah kontemporer, menyimpulkan bahwa murabahah adalah salah satu jenis jual beli yang tidak dikenal pada zaman Nabi atau para sahabatnya.

    b. Landasan Hukum Murabahah

    Al- Quran Surah Al-Nisaa [4]: 29 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

    sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan

    yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah

    kamu membunuh dirimu [larangan membunuh diri sendiri mencakup

    juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain

    berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu

    kesatuan]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

    Hadis riwayat Tirmidzi

    Pedagang yang jujur dan terpercaya, maka dia bersama nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada.

    c. Rukun dan Syarat Murabahah

    1) Rukun Murabahah

    Baiu (penjual). Musytari (pembeli).

  • 33

    Mabi (barang yang diperjualbelikan). Tsaman (harga barang). Ijab qabul (pernyataan serah terima).

    2) Syarat Murabahah

    Syarat yang berakad (baiu dan musytari) cakap hukum dan tidak dalam keadaan terpaksa.

    Barang yang diperjualbelikan (mabi) tidak termasuk barang yang haram dan jenis maupun jumlahnya jelas.

    Harga barang (tsaman) harus dinyatakan secara transparan (harga pokok dan komponen keuntungan) dan cara pembayarannya disebutkan dengan

    jelas.

    Pernyataan serah terima (ijab qabul) harus jelas dengan menyebutkan secara spesifik pihak-pihak yang berakad.

    Secara sederhana skema Murabahah dapat digambarkan sebagai berikut:

    d. Murabahah dalam Teknis Perbankan

    Umumnya murabahah diadopsi untuk memberikan pembiayaan jangka pendek

    kepada para nasabah guna pembelian barang meskipun mungkin si nasabah tidak

    memiliki uang untuk membayar. Murabahah, sebagaimana yang digunakan

    dalam perbankan syariah, prinsipnya didasarkan pada dua elemen pokok: harga

    beli serta biaya yang terkait, dan kesepakatan atas mark-up (laba). Ciri dasar

    kontrak murabahah (sebagai jual beli dengan pembayaran tunda) adalah:

    1) pembeli harus memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan harga asli barang; batas laba (mark-up) harus ditetapkan dalam bentuk persentase

    dari total harga plus biaya-biayanya;

    2) apa yang dijual adalah barang atau komoditas, dan dibayar dengan uang;

    3) apa yang diperjualbelikan harus ada dan dimiliki oleh penjual, dan penjual harus mampu menyerahkan barang itu kepada pembeli; dan

  • 34

    4) pembayarannya ditangguhkan. Murabahah seperti yang dipahami di sini, digunakan dalam setiap pembiayaan di mana ada barang yang bisa

    diidentifikasi untuk dijual.

    2. Baiu Salam

    a. Pengertian

    Salam adalah akad jual-beli atas suatu barang dengan jenis dan dalam jumlah tertentu yang penyerahannya dilakukan beberapa waktu kemudian, sedangkan

    pembayarannya segera (di muka).

    Salam Paralel merupakan dua transaksi Salam yang dilakukan secara simultan dan melibatkan tiga pihak yang berkepentingan. Salah satu di antaranya

    bertindak sebagai pembeli dan sekaligus penjual: membeli suatu barang dari

    pihak kedua dan menjualnya kembali kepada pihak ketiga.

    b. Landasan Syariah

    QS Al-Baqarah [2]: 282

    Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara

    tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.

    Ibnu Abbas r.a. mengungkapkan, Aku bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan Allah pada kitab-Nya

    dan diizinkan-Nya, seraya membaca ayat tersebut di atas.

    Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang

    jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.

    c. Rukun Salam

    1) Pembeli (muslam)

    2) Penjual (muslam ilaih)

    3) Barang yang diperjualbelikan (muslam fih)

    4) Harga barang (rasul mal)

    5) Sighat (ijab qabul)

    Skema akad salam dapat digambarkan sebagai berikut:

  • 35

    d. Salam Pararel dalam Teknis Perbankan

    Pengertian:

    Salam Paralel merupakan transaksi pembelian atas barang tertentu yang dilakukan oleh bank dari pihak produsen atau pihak ketiga lainnya dengan

    pembayaran di muka, untuk kemudian dijual kembali kepada nasabah dengan

    waktu penyerahan yang disepakati.

    Pembayaran oleh nasabah kepada bank dapat dilakukan di muka pada saat ditandatanganinya akad salam atau secara tunai pada saat penyerahan barang

    (salam wal baiu muthlaqah) atau dengan cara mengangsur (salam wal murabahah).

    Apabila pembayaran oleh nasabah dilakukan secara tunai atau dengan cara mengangsur, biasanya bank mensyaratkan agar nasabah terlebih dahulu

    membayar sejumlah uang muka yang diperlukan.

    3. Bai Istishna

  • 36

    a. Syarat Istishna Produsen dan pemesan (shani dan mustashni) cakap hukum, tidak dalam

    keadaan terpaksa, dan tidak ingkar janji.

    Produsen (shani) memiliki kapasitas dan kesanggupan untuk membuat/mengadakan barang yang dipesan.

    Barang yang dipesan (mashnu) harus jelas spesifikasinya dan tidak termasuk yang dilarang syariah, sedangkan waktu penyerahannya sesuai kesepakatan.

    Harga barang (tsaman) harus dinyatakan secara jelas dan pembayarannya dilakukan sesuai dengan kesepakatan

    b. Aplikasi Istishna Paralel dalam Teknis Perbankan

    Pembiayaan modal kerja; misalnya, untuk modal kerja industri barang-barang konsumsi, termasuk garmen, sepatu, dan sebagainya.

  • 37

    Pembiayaan investasi; misalnya, untuk pengadakan barang-barang modal seperti mesin-mesin.

    Pembiayaan konstruksi (construction financing).

    4. Ijarah dan Ijarah Wa Iqtina

    a. Prinsip Sewa (Ijarah)

    Transaksi ijarah dilandasi dengan adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi, pada dasarnya prinsip ijarah

    sama dengan prinsip jual beli. Perbedaannya terletak pada objek transaksinya.

    Pada jual beli, objek transaksinya barang, sedangkan pada ijarah, objek

    transaksinya adalah barang maupun jasa.

    Ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang/jasa dengan membayar imbalan tertentu (Sarkhasi, al-Mabshut, 15:74; Al-Umm, 3:250).

    Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak

    guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui

    pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang

    itu sendiri (2001). Dengan demikian, dalam akad ijarah tidak ada perubahan

    kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna dari yang menyewakan kepada

    penyewa.

    b. Hak dan Kewajiban Kedua Belah Pihak

    Apa saja kewajiban penyewa dan pihak yang menyewakan? Pihak yang menyewakan wajib mempersiapkan barang yang disewakan untuk dapat

    digunakan secara optimal oleh penyewa. Misalnya, mobil yang disewa

    ternyata tidak dapat digunakan karena akinya lemah, maka yang

    menyewakan wajib menggantinya. Bila yang menyewakan tidak dapat

    memperbaikinya, penyewa memunyai pilihan untuk membatalkan akad

    atau menerima manfaat yang rusak. Bila demikian keadaannya, apakah

    harga sewa masih harus dibayar penuh? Sebagian ulama berpendapat, bila

    penyewa tidak membatalkan akad, harga sewa harus dibayar penuh (Mula

    Khasra, Syarh Al-Durr, 3:278 279, dan Al-Muhattab, 2:405). Sebagian ulama lain berpendapat, harga sewa dapat dikurangkan dulu dengan biaya

    untuk perbaikan kerusakan.

  • 38

    Penyewa wajib menggunakan barang yang disewakan menurut syarat-syarat akad atau menurut kalaziman penggunaannya. Penyewa juga wajib

    menjaga barang yang disewakan agar tetap utuh. Bagaimana dengan

    perawatan barang yang disewa? Secara prinsip tidak boleh dinyatakan

    dalam akad bahwa penyewa bertanggung jawab atas perawatan karena ini

    berarti penyewa bertanggung jawab atas jumlah yang tidak pasti (gharar).

    Oleh karena itu, ulama berpendapat bahwa bila penyewa diminta untuk

    melakukan perawatan, ia berhak untuk mendapatkan upah dan biaya yang

    wajar untuk pekerjaannya itu. Bila penyewa melakukan perawatan atas

    kehendaknya sendiri, ini dianggap sebagai hadiah dari penyewa dan ia tidak

    dapat meminta pembayaran apa pun (Al-Fatawa Al-Hindiyah, 4:443; Al-

    Buhuti, Kasyful Qina,4;416; Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, 5:264 265).

    c. Kesepakatan Mengenai Harga Sewa

    Misalnya, dikatakan, Saya sewakan mobil ini selama satu bulan dengan harga sewa Rp X. Bila penyewa ingin memperpanjang masa sewa, dapat saja harga sewanya berubah. Bahkan, pihak yang menyewakan dapat saja

    meminta harga sewa dua kali lipat daripada sebelumnya. Sebaliknya,

    penyewa dapat saja menawar setengah harga sewa sebelumnya. Semuanya

    tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak: penyewa dan pihak yang

    menyewakan. Namun, dalam periode pertama yang telah disepakati harga

    sewanya, itulah kesepakatannya. Mayoritas ulama mengatakan, Syarat-syarat yang berlaku bagi harga jual berlaku juga bagi harga sewa (Al-Dardir, Syarh Al-Shagir, 4:59; Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, 5:322, Ibnu

    Qudhamah, Al-Mughni, 5:327).

    Bagaimana dengan praktik para penjahit, misalnya menjelang lebaran, yang menentukan harga jahit makin tinggi? Ulama mazhab memberikan

    keleluasaan dalam menentukan harga sewa semacam itu.Al-Jaziri

    mencontohkan, Jika Anda menjahitkan bajuku hari ini, upahnya satu dirham; jika Anda menjahit bajuku besok, upahnya setengah dirham. Jika

    Anda tinggal di rumah ini sebagai tukang besi, sewanya sepuluh dirham;

    jika Anda tinggal di rumah ini sebagai penjual minyak wangi, sewanya

    lima dirham.

    Bagaimana pula dengan kebiasaan sebagian orang yang naik becak atau ojek tanpa kesepakatan harga terlebih dahulu? Pada prinsipnya, upah harus

    diketahui terlebih dahulu, sesuai dengan hadis Rasulullah Saw.,

    Barangsiapa mempekerjakan seorang pekerja, harus memberitahukan upahnya (HR Baihaqi dari Abu Hurairah). Fatwa ulama menjelaskan bahwa harga sewa yang lazim berlaku bila ditentukan di muka. Bila manfaat telah dinikmati, sedangkan harga sewa tidak ditentukan, maka

    sewa untuk manfaat yang sama harus dibayar. (Al-Fatawa Al-Hindiyah, 4:42; Al-Maushili, Al-Ikhtiyar, 2:507)

    d. Ijarah Muntahia Bit tamlik (IMBT)

    Baiu wal Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT) merupakan rangkaian dua buah akad, yakni baiu merupakan akad jual beli, dan IMBT merupakan kombinasi antara sewa-menyewa (ijarah) dan jual beli atau hibah pada

    akhir masa sewa. Dalam ijarah muntahia bit tamlik, pemindahan hak

    milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut ini:

    Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa;

    Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.

    Pilihan untuk menjual barang pada akhir masa sewa (alternatif 1) biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar

  • 39

    sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan relatif kecil, akumulasi

    nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir periode belum

    mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan

    oleh bank. Karena itu, untuk menutupi kekurangan tersebut, bila pihak

    penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia harus membeli barang itu

    pada akhir periode.

    Pilihan untuk menghibahkan barang pada akhir masa sewa (alternatif 2) biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar

    sewa relatif lebih besar. Karena sewa yang dibayarkan relatif besar,

    akumulasi sewa pada akhir periode sudah mencukupi untuk menutupi

    harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Dengan

    demikian, bank dapat menghibahkan barang tersebut pada akhir masa

    periode sewa kepada pihak penyewa.

    Pada Baiu wal Ijarah Muntahia Bit tamlik (IMBT) dengan sumber pembiayaan dari Unrestricted Investment Account (URIA), pembayaran

    oleh nasabah dilakukan secara bulanan. Hal ini karena pihak bank harus

    memunyai cash in setiap bulan untuk memberikan bagi hasil kepada para

    nasabah yang dilakukan secara bulanan juga.

    e. Ijarah wa Iqtina dalam Teknis Perbankan

    1) Pengertian

    Ijarah wa Iqtina (Ijarah Muntahia Bit tamlik) adalah akad sewa-menyewa atas barang tertentu antara bank sebagai pemilik barang

    (mujir) dan nasabah selaku penyewa (mustajir) untuk suatu jangka waktu dan dengan harga yang disepakati. Pada akhir masa sewa, bank

    memberikan opsi kepada nasabah untuk membeli barang tersebut dengan

    harga yang disepakati pula.

    2) Aplikasi

    Pembiayaan investasi; seperti untuk pembiayaan barang-barang modal, seperti mesin-mesin.

    Pembiayaan konsumer; seperti untuk pembelian mobil, rumah, dan sebagainya.

    3) Pembiayaan Ijarah dan IMBT di Islamic Banking

    Pembiayaan ijarah dan ijarah muntahia bit tamlik (IMBT) memiliki kesamaan perlakuan dengan pembiayaan murabahah. Sampai saat ini,

    mayoritas produk pembiayaan Islamic Banking masih terfokus pada

    produk-produk murabahah (prinsip jual-beli). Kesamaan keduanya

    bahwa pembiayaan tersebut termasuk dalam kategori natural certainty

    contract, dan pada dasarnya adalah kontrak jual beli. Perbedaan kedua

    jenis pembiayaan (ijarah/IMBT dengan murabahah) hanyahlah objek

    transaksi yang diperjualbelikan tersebut. Dalam pembiayaan

    murabahah, objek transaksi adalah barang seperti rumah dan mobil,

    sedangkan dalam pembiayaan ijarah, objek transaksinya adalah jasa,

    baik manfaat atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja. Dengan

    pembiayaan murabahah, Islamic Banking hanya dapat melayani

    kebutuhan nasabah untuk memiliki barang, sedangkan nasabah yang

    membutuhkan jasa tidak dapat dilayani. Dengan skim ijarah, Islamic

    Banking dapat pula melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa.

    e. Ijarah dan Leasing

  • 40

    Karena ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi pemindahan kepemilikan, maka banyak orang yang menyamakan ijarah ini

    dengan leasing. Ini terjadi karena kedua istilah tersebut sama-sama mengacu

    kepada hal sewa-menyewa. Menyamakan ijarah dengan leasing tidak

    sepenuhnya salah, tapi tidak sepenuhnya benar pula. Pada dasarnya, walaupun

    terdapat kesamaan antara ijarah dan leasing, ada beberapa karakteristik yang

    membedakannya. Pada bagian ini, perbedaan dan persamaan antara keduanya

    akan kita bahas.

    Tabel berikut ini memberikan ikhtisar perbedaan dan kesamaan antara ijarah dan leasing. Sedikitnya ada lima aspek yang dapat kita cermati, yakni objek,

    metode pembayaran, perpindahan kepemilikan, lease purchase, dan sale and

    lease back.

    E. Sistem Pembiayaan Lain (Other Financing)

    1. Hawalah

    a. Rukun Hawalah:

    Pihak yang berhutang (muhil)

    Pihak yang berpiutang (muhal)

    Pihak yang menerima pengalihan hutang-piutang (muhal alaih)

    Sighat (ijab qabul)

    b. Hawalah dalam Teknis Perbankan

    Pengertian:

    Hawalah adalah akad pengalihan piutang nasabah (muhal) kepada bank (muhal

    alaih). Nasabah meminta bantuan bank agar membayarkan terlebih dahulu piutangnya atas transaksi yang halal dengan pihak yang berhutang (muhil).

    Selanjutnya bank akan menagih kepada pihak yang berhutang tersebut.

    Atas bantuannya membayarkan terlebih dahulu piutang nasabah, bank dapat membebankan fee jasa penagihan. Penetapannya dilakukan dengan

    memerhatikan besar-kecilnya risiko tidak tertagihnya piutang.

  • 41

    2. Rahn

    a. Rukun Rahn

    Pihak yang menggadaikan (rahin)

    Pihak yang menerima gadai (murtahin)

    Barang yang digadaikan (marhun.

    Hutang/pinjaman (marhun bih)

    Sighat (Ijab qabul)

    b. Syarat Rahn

    Pihak yang menggadaikan (rahin) dan pihak yang menerima gadai (murtahin) cakap hukum serta sama-sama ikhlas

    Pihak yang menggadaikan (rahin) memunyai kemampuan untuk mengembalikan pinjaman.

    Barang yang digadaikan (marhun) benar-benar milik rahin dan bebas dari ikatan atau syarat apa pun.

    Jumlah hutang (marhun bih) disebutkan dengan jelas.

    c. Rahn dalam Teknis Perbankan

    Rahn merupakan produk penunjang sebagai alternatif pegadaian, terutama untuk membantu nasabah dalam memenuhi kebutuhan

    insidentilnya yang mendesak.

    Bank tidak menarik manfaat apa pun, kecuali biaya pemeliharaan dan keamanan atas barang yang digadaikan.

    Akad rahn dapat pula diaplikasikan untuk memenuhi permintaan bank akan jaminan tambahan atas suatu pemberian fasilitas pembiayaan

    kepada nasabah.

  • 42

    3. Qardh

    a. Landasan Syariah QS Al-Hadiid [57]:11

    Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memeroleh pahala yang banyak.

    Hadis riwayat Muslim, Barangsiapa yang telah melepaskan saudaranya yang muslim satu dari kesusahan dunia, maka Allah akan membantunya di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah senantiasa membantu seorang hamba selama hamba tersebut membantu

    saudaranya. Hadis riwayat Ibnu Majah, Tidaklah seorang muslim meminjamkan

    muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai)

    sedekah.Hadis riwayat Ibnu Majah, Aku melihat pada waktu malam

    di-isra-kan pada pintu surga tertulis: Sedekah dibayar sepuluh kali lipat

    dan qardh 18 kali. Aku bertanya, Wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama daripada sedekah? Ia menjawab, Karena peminta, minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam

    kecuali keperluan. b. Aplikasi dalam Perbankan

    Mengingat sifatnya bukan transaksi komersial dan tanpa kompensasi, maka qardh menggunakan sumber dana yang berasal:

    Untuk membantu dana talangan yang bersifat jangka pendek, digunakan modal bank.

    Untuk membantu usaha sangat kecil dan keperluan sosial, digunakan dana yang bersumber dari zakat, infak, dan sedekah.