4. analisis kasus

7
BAB III ANALISA KASUS Penegakkan diagnosis eritroderma didasarkan pada anamnesis, gejala klinis, dan status dermatologikus pasien. Berdasarkan anamnesa yang telah didapatkan, diagnosa merujuk kepada eritroderma yang ditandai dengan bercak eritem yang cepat sekali meluas dan terasa gatal. Pada pasien ini ditemukan adanya kelainan kulit yang ditandai adanya skuama hiperpigmentasi kasar selapis pada seluruh tubuh dengan dasar kulit eritem. Sesuai dengan definisinya bahwa eritroderma ialah penyakit kulit yang ditandai dengan adanya kemerahan seluruh tubuh atau hamper seluruh tubuh (> 90% luas tubuh), dapat disertai skuama atau tidak (Kartowigno, 2012). Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa pasien ini mengalami kelainan kulit berupa eritroderma. Pada eritroderma, tidak dibutuhkan diagnosa banding, hanya membandingkan kausa dari eritroderma tersebut, yaitu: 1. Perluasan penyakit, berupa dermatitis (kontak/atopik) dan psoriasis 2. Drug eruption Case Report Stase Ilmu Kulit dan Kelamin | "Eritroderma ec Drug Eruption” 21

Upload: william-doktrian-julius

Post on 16-Dec-2015

12 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jygkasdjasj

TRANSCRIPT

BAB IIIANALISA KASUS

Penegakkan diagnosis eritroderma didasarkan pada anamnesis, gejala klinis, dan status dermatologikus pasien. Berdasarkan anamnesa yang telah didapatkan, diagnosa merujuk kepada eritroderma yang ditandai dengan bercak eritem yang cepat sekali meluas dan terasa gatal. Pada pasien ini ditemukan adanya kelainan kulit yang ditandai adanya skuama hiperpigmentasi kasar selapis pada seluruh tubuh dengan dasar kulit eritem. Sesuai dengan definisinya bahwa eritroderma ialah penyakit kulit yang ditandai dengan adanya kemerahan seluruh tubuh atau hamper seluruh tubuh (> 90% luas tubuh), dapat disertai skuama atau tidak (Kartowigno, 2012). Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa pasien ini mengalami kelainan kulit berupa eritroderma.

Pada eritroderma, tidak dibutuhkan diagnosa banding, hanya membandingkan kausa dari eritroderma tersebut, yaitu:1. Perluasan penyakit, berupa dermatitis (kontak/atopik) dan psoriasis2. Drug eruption

Berdasarkan data yang didapat melalui anamnesis, pasien mengeluh tubuhnya menjadi bengkak-bengkak yang dimulai dari kedua kelopak mata, lalu ke wajah, tangan, perut sampai ke kaki. Keluhan bengkak ini disertai perasaan gatal dan perubahan warna kulit menjadi merah seperti kepiting rebus setelah pasien mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan oleh mantri sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien tidak mengetahui apa merk obat yang diberikan, namun pasien mengingat bahwa ia diberi 4 macam obat, diantaranya adalah obat 1 dan 2 berupa tablet kecil berwarna kuning, obat 3 berupa kapsul berwarna merah-biru dan obat 4 berupa tablet besar berwarna biru. Satu minggu kemudian atau 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, keluhan yang dirasa semakin memberat. Pasien juga mengeluh demam yang naik-turun. Demam dirasa terutama pada malam hari atau bila cuaca dingin. Warna kulit berubah dari merah muda menjadi merah gelap. Sesudah satu minggu dimulai gejala eksfoliasi (pembentukan skuama) yang khas dan biasanya dalam bentuk serpihan kulit yang halus yang meninggalkan kulit yang licin serta berwarna merah dibawahnya: gejala ini disertai denganpembentukan sisik yang baru ketika sisik yang lama terlepas.

Secara klinis dapat dijumpai salah satu gejala akibat alergi obat berupa eritem yang timbul secara luas diseluruh permukaan tubuh. Kemerahan pada kulit terjadi akibat melebarnya pembuluh darah. Warna merah akan hilang pada penekanan. Secara pemeriksaan fisik ditemukan lesi kulit berupa skuama hiperpigmentasi kasar selapis, universal, berukuran plakat dengan bentuk tidak teratur, berbatas jelas dengan dasar eritem. Hal ini menggambarkan salah satu bentuk klinis dari erupsi alergi obat. Untuk menentukannya diperlukan anamnesis yang teliti, yang dimaksudkan alergi obat secara sistemik adalah masuknya obat ke dalam badan dengan cara apa saja, misalnya melalui mulut, hidung dengan cara suntikan/infus, melalui rectum dan vagina. Selain itu alergi dapat pula terjadi karena obat mata, obat kumur, tapal gigi, dan melalui kulit sebagai obat luar (Djuanda, 2010).

Pada pemeriksaan dermatologis, tidak didapatkan adanya fenomena Koebner(yakni munculnya lesi-lesi baru akibat trauma fisis disekitar lesi lama), tanda Auspitz (adanya bercak kemerahan akibat terkelupasnya skuama yang ada) juga positif, fenomena tetesan lilin (bila ada skuama digaruk, maka timbul warna putih keruh seperti tetesan lilin) sehingga menyingkirkan diagnosa eritroderma ecpsoriasis. Dermatitis seboroik merupakan dermatitisyangterjadi pada daerah seboroik (daerah yang banyak mengandung kelenjar sebasea/lemak), seperti batok kepala, alis, kelopak mata, lekukan nasolabial, dengan kelainan kulit berupa lesi dengan batas tak teratur, dasar kemerahan, tertutup skuama agak kuning dan berminyak. Tidak ditemukannya skuama agak kuning dan berminyak pada pasien ini menyingkirkan diagnosis eritroderma e.c dermatitis seboroik dari diagnosa kerja. Dermatitis kontak alergi merupakan dermatitis yang terjadi setelah adanya kontak dengan suatu bahan secara imunologis.Reaksi ini termasuk reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV. Wujud kelainan kulit bisa berupa eritem/edema/vesikel yang bergerombol atau vesikel yang membasah, disertai rasa gatal. Bila kontak berjalan terus, maka dermatitis ini dapat menjalar ke daerah sekitarnya dan keseluruh tubuh. Namun karena riwayat gatal-gatal akibat makanan tertentu disangkal, maka dapat menyingkirkan diagnosis eritroderma e.c dermatitis kontak alergi.

Berdasarkan hasil anamnesis dan gejala klinisnya maka kami menyimpulkan bahwa eritroderma yang terjadi pada pasien ini disebabkan oleh erupsi alergi obat yang meluas.

Terdapat dua bentuk tatalaksana yaitu secara umum dan khusus. Tujuan penatalaksanaan eritroderma adalahuntuk mempertahankan keseimbangan cairan serta elektrolit danmencegah infeksi tetapi bersifat individual serta suportifdan harus segera dimulai begitu diagnosisnya ditegakkan. Pasien harus dirawat dirumah sakit dan harus tirah baring. Suhu kamar yang nyaman harus dipertahankan karena pasientidakmemiliki kontrol termolegulasiyang normal sebagai akibat dari fluktuasi suhu karena vasodilatasi dan kehilangan cairan melalui evaporasi.

Tatalaksana secara umum yang harus dilakukan adalah menghentikan segera pengkonsumsian obat-obatan sebelumnya; diet tinggi protein dikarenakan kehilangan skuama yang berlebih dapat mengakibatkan kehilangan protein tubuh, selain itu kondisi pasien yang edem anasarka menunjukan kadar protein tubuh berkurang. Kebutuhan maintenance protein pada kondisi normal untuk usia 30-49 tahun yaitu sebesar 64,5 gram. Pada pasien dengan eritroderma, kebutuhan diperlukan diet tinggi protein yaitu sebesar 130% dari kebutuhan normal, maka pada pasien ini dibutuhkan diet protein sebesar 83,85 gram; menjaga balans cairan tubuh sehingga tidak memperparah kondisi edem pasien.

Gejala eritroderma disertai dengan pembentukan sisik yang baru ketika sisik yang lama terlepas. Kerontokan rambut dapat menyertai kelainan ini eksaserbasi sering terjadi. Efek sistemiknya mencakup gagal jantung kongestif high-output, gangguan intestinal, pembesaran payudara, kenaikan kadar asam urat dalam darah (hiperurisemia) dan gangguan temperatur. Peningkatan perfusi darah kulitmunculpada eritroderma yang menyebabkan disregulasi temperatur (menyebabkan hipotermia) dan kegagalan output jantung. Kadar metabolic basal meningkat sebagai kompensasi dari kehilangan suhu tubuh. Epidermis yang matur secara cepat kegagalan kulit untuk menghasilkan barier permeabilitas efektif di stratum korneum. Ini akan menyebabkan kehilangan cairan transepidermal yangberlebihan. Normalnya kehilangan cairan dari kulit diperkirakan 400 ml setiap hari dengan dua pertiga dari hilangnya cairan ini dari proses transpirasi epidermis. Kekurangan barier pada eritroderma ini menyebabkan peningkatan kehilangan cairan ekstrarenal. Kehilangan cairan transepidermal sangat tinggi ketika proses pembentukan sisik (scaling)memuncakdan menurun 5-6 hari sebelum sisik menghancur. Hilangnya sisik eksfoliatif yangbias mencapai 20-30 gr/hari memicu kapada timbul kaedaan hipoalbuminemia yang biasa dijumpai pada dermatitis exfoliatif. Hipoalbuminemia yang muncul harus diterapi dengan diet tinggi protein. Edema biasanya paling sering ditemukan, biasanya akibat peralihan cairan ke ekstrasel.

Tatalaksana secara khusus untuk pengobatan eritroderma adalah dengan pemberian kortikosteroid. Pada kasus eritroderma akibat alergi obat secara sistemik diberikan prednison 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari (Djuanda, 2010). Pada kasus ini kami memilih terapi prednison 3 x 10 mg sehari. Pada pasien ini ditemukan keluhan gatal-gatal, oleh karena itu kami memberikan antipruritus berupa Cetrizin 1 x 10 mg sehari. Berdasarkan hasil laboratorium darah rutin ditemukan leukositosis dengan jumlah 16.700 /ul (normal 4.500-10.700/ul). Hal ini menunjukkan adanya proses infeksi. Menurut Djuanda, jenis antibotik golongan penisilin dan derivatnya sering menyebabkan reaksi alergi obat, maka kami memberikan antibiotik berupa Ceftriaxon 1 g/12 jam. Untuk mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema, maka kami juga memberikan terapi topikal berupa emolien linolin 10%. Selain itu, Djuanda mengatakan bahwa eritroderma yang termasuk golongan I yakni karena alergi obat sistemik, prognosisnya baik.Case Report Stase Ilmu Kulit dan Kelamin | "Eritroderma ec Drug Eruption22