36.penatalaksanaan infeksi pada kaki diabetik
DESCRIPTION
ipdTRANSCRIPT
P a g e | 1
Penatalaksanaan Infeksi pada Kaki Diabetes dengan Selulitis/Ulkus
Sarwono Waspadji
Pusat Diabetes dan Lipid Jakarta, Divisi Metabolik‐Endokrin,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta
Kaki Diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik Diabetes Melitus (DM)
yang paling ditakuti karena hasil pengelolaan yang sering berupa kecacatan. Angka
kematian dan angka amputasi akibat kaki diabetes masih cukup tinggi. Kaki DM
merupakan sebab utama perawatan pada DM di banyak tempat, termasuk di
RSUPN‐CM. Biaya pengobatan yang sangat tinggi, sering tidak terjangkau oleh
masyarakat umum.
Berbagai faktor secara bersama‐sama berperan pada kejadian ulkus/gangren
diabetes. Mulai dari faktor DM yang jika tidak dikelola dengan baik akan
menimbulkan berbagai komplikasi kronik, adanya neuropati perifer maupun
neuropati autonom, disertai faktor komplikasi vaskular yang memperburuk aliran
darah ke kaki tempat luka, dan faktor kerentanan terhadap infeksi akibat respons
kekebalan tubuh yang menurun pada keadaan DM tidak terkendali, kemudian
ditambah lagi dengan faktor pengetahuan pasien yang rendah sehingga terjadilah
masalah kaki diabetes tersebut. (Lampiran 1). Neuropati, kelainan vaskular dan
infeksi merupakan tiga faktor penting yang harus diperhatikan pada kaki diabetes
dan juga pada pengelolaan kaki diabetes.
Keadaan kaki penyandang diabetes digolongkan berdasar risiko kejadian dan
risiko besar masalah yang mungkin timbul.
Penggolongan Kaki Diabetes Berdasar Risiko Kejadian Masalah (Frykberg) 1. Sensasi Normal Tanpa Deformitas 2. Sensasi Normal dengan Deformitas atau Tekanan Plantar Tinggi 3. Insensitivitas Tanpa Deformitas 4. Iskemia Tanpa Deformitas 5. Kombinasi/Complicated:
Kombinasi insensitivitas, iskemia dan/atau deformitas Riwayat tukak, Deformitas Charcot
P a g e | 2
Tidak semua kasus kaki diabetes memerlukan antibiotik. Ulkus plantar
dengan kalus tanpa infeksi tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik, tetapi
sangat memerlukan pengelolaan ortotik untuk mengurangi beban penekanan pada
plantar pedis tempat tukak agar luka dapat sembuh. Demikian juga kaki diabetes
dengan masalah vaskular yang nyata, tidak selalu memerlukan antibiotik dalam
pengelolaannya, tetapi lebih memerlukan tindakan bedah penyelamatan vaskular.
Sebaliknya kaki diabetes dengan infeksi seperti selulitis, ulkus yang terinfeksi, jelas
memerlukan pengelolaan dengan pemberian antibiotik yang adekuat.Diagnosis
infeksi tidak ditegakkan berdasar data mikrobiologis, tetapi secara klinis, ditegakkan
atas gejala/tanda sebagai berikut:
Demam, menggigil
Leukositosis, marker inflamasi
Sekresi purulen
Tanda radang (tumor, rubor, kalor, dolor)
Selulitis, gangren, jaringan nekrotik, bau
Luka yang tidak sembuh walaupun sudah dikelola dengan memadai
Pengelolaan Kaki Diabetes
Jika sudah terjadi tukak, usaha penyelamatan kaki secara umum terdiri atas:
Mengamati perkembangan kaki dengan teratur
Mengelola tukak yang sudah terjadi
Memperbaiki kelainan vaskular yang ada
Memberikan alas kaki khusus
Menjamin adanya kerja‐sama tim yang baik
Memberikan penyuluhan kepada pasien
Berbagai klasifikasi tukak diabetes diadakan untuk mempermudah usaha
penyelamatan kaki, terkait dengan rencana tindakan dan prognosis. Yang dahulu
banyak dipakai adalah klasifikasi Wagner, kemudian klasifikasi Liverpool, yang
masing‐masing mempunyai keunggulan sendiri.
P a g e | 3
Klasifikasi Wagner 0. Kulit intak / utuh 1. Tukak superfisial 2. Tukak Dalam (sampai tendo, tulang) 3. Tukak Dalam dengan Infeksi 4. Tukak dengan gangren pada 1‐2 jari
kaki 5. Tukak dengan gangren luas seluruh
kaki
Klasifikasi Liverpool Klasifikasi Primer:
Vaskular
Neuropati
Neuroiskemik Klasifikasi Sekunder:
Tukak sederhana, tanpa komplikasi
Tukak dengan komplikasi
Klasifikasi Wagner walaupun jelas sekali manfaatnya untuk prognosis,
terutama lebih dikaitkan dengan luas permasalahan vaskular (gangren) saja.
Beberapa tukak yang disangka hanya superfisial, dengan vaskularisasi yang baik
dapat merebak karena faktor infeksi yang tidak tertangani dengan baik.
Klasifikasi mutakhir menggabungkan keduanya, tampak sebagai Klasifikasi Texas
Stadium Grade 0 1 2 3 A Tanpa tukak Luka superfisial, Luka sampai Luka atau pasca tukak, tidak sampai tendo tendo atau kapsul sampai
Kulit intak / utuh kapsul sendi atau sendi tulang/sendi tulang B ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ D e n g a n I n f e k s i‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ C ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ D e n g a n I s k e m i a ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ D ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ D e n g a n I n f e k s i dan I s k e m i a ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐
Grade 0. Tanpa tukak, umumnya grade 0 ini dapat dikelola secara rawat jalan,
tentu saja dengan pemantauan yang baik dengan memperhatikan prinsip‐prinsip
pengelolaan tukak diabetes.
Grade 1. Luka superfisial, belum mencapai tendon atau kapsul sendi. Jika
tidak jelas adanya infeksi, dan yang mencolok adalah persoalan neuropati dengan
callus, pengelolaan juga dapat dilakukan secara rawat jalan, dengan memanfaatkan
berbagai sarana poliklinik kaki untuk membersihkan luka, menipiskan callus dsb.
Harus dilakukan tindakan penilaian luka agar yakin bahwa luka tidak sampai tendon
atau kapsul sendi.
P a g e | 4
Jika didapatkan infeksi penyerta, tentu harus diberikan antibiotik yang adekuat,
mungkin perlu perawatan di rumah sakit. Tambahan stadium B (dengan infeksi), C
(dengan iskemia), dan D (infeksi dan iskemia), sangat membantu untuk menentukan
tindakan yang harus dikerjakan.
Grade 2. Pengelolaan tukak grade ini hampir sama dengan grade 1, dengan
perhatian dan pemantauan yang lebih baik dari grade 1.
Grade 3. Tukak grade ini umumnya memerlukan perawatan di rumah sakit,
tindakan yang lebih agresif dan lebih terencana untuk dapat menyelamatkan kaki.
Saat ini dikembangkan suatu klasifikasi riset untuk kaki diabetes, yang
didasarkan pada dasar kelainan patofisiologi (impaired Sensation, impaired
Perfusion, Infection) dan dasar kondisi lukanya (Tissue loss dan Size of the wound)
yang disebut sebagai SPITS system. Dengan klasifikasi baru yang diilhami oleh sistem
TNM pada klasifikasi keganasan, dapat dibandingkan dengan baik hasil
pengelolaan/penelitian di berbagai tempat yang berbeda, apalagi kalau kemudian
dipergunakan sebagai sistem skoring. Kemudian klasifikasi tersebut dikembangkan
lagi dan pada International Symposium on Diabetic Foot di Noordwijkerhout 2003
ditetapkan sebagai kriteria PEDIS. (Perfusion, Extends, Depth, Infection, Sensation)
seperti yang tampak di bawah ini:
Perfusion impairment Grade 0 = none 1 = PAD + 2 = Critical Limb Ischemia
Extends/ Size in MM2
Depth/ Tissue Loss Grade 0 = No ulcer/partial thickness, membrane intact 1 = Superficial fullthickness, not deeper than dermis
2 = Deep ulcer, below dermis Infection Grade 0 = No infection 1 = infection of Skin only 2 = involving subcutaneous structure, no systemic sign 3 = infection with systemic manifestation fever, leucocytosis, shift to the left metabolic instability hypotension, azotemia Sensation impairment Grade 0 = absent 1 = present
P a g e | 5
Penyembuhan luka selalu terjadi melalui tahapan tertentu, berurutan, mulai
dari proses inflamasi, proses proliferasi, dilanjutkan dengan proses pematangan
penutupan luka tersebut. Jika timbul kendala sedemikian rupa, misal inflamasi
belum selesai‐infeksi masih ada, proses penyembuhan tidak akan berlanjut pada
proses berikutnya dan akan didapatkan luka yang sulit sembuh seperti yang sering
ditemui pada kasus tukak diabetes. Tindakan debridement yang baik pada tukak
diabetes sangat penting untuk mendapatkan hasil pengelolaan yang memadai.
Penundaan tindakan debridement atau debridement yang tidak adekuat akan
memperlambat proses kesembuhan luka. Demikian pula keberadaan proses
peradangan yang berkelanjutan juga jelas akan menghambat laju kesembuhan tukak
diabetes. Di samping debridement yang adekuat, pemberian antibiotik merupakan
langkah penting lain untuk mengatasi infeksi yang timbul/menyertai kaki diabetes.
Pada pengelolaan kaki diabetes berbagai tindakan untuk mendapatkan hasil
pengelolaan yang baik harus dikerjakan bersama‐sama, sekaligus memanfaatkan
debridement luka yang adekuat, perawatan dan pemantauan luka yang baik,
pengendalian kadar glukosa darah, penggunaan antibiotik yang tepat dan adekuat,
semuanya diharapkan dapat memberikan hasil pengelolaan yang lebih baik. Berbagai
tindakan dan sarana mutakhir dapat ditambahkan sejauh tidak melupakan
pengelolaan dasar untuk menolong menyelamatkan kaki diabetes. Tentu saja juga
dengan memperhatikan biaya yang harus dikeluarkan, agar tidak menambah beban
pada pasien. Berbagai hal yang penting diperhatikan dalam pemanfaatan antibiotik
untuk menyelamatkan kaki diabetes akan dibicarakan kemudian dengan lebih rinci
pada makalah ini.
Prinsip dasar pengelolaan Tukak Diabetes adalah:
Evaluasi keadaan Tukak dengan cermat
Keadaan klinis luka
Dalamnya luka
Gambaran radiologi‐ Benda asing ?
Osteomielitis ?
Adanya gas subkutis ?
Lokasi luka
P a g e | 6
Vaskularisasi luka
Pengendalian keadaan metabolik sebaik‐baiknya
Debridement luka yang adekuat dan radikal, hingga mencapai bagian yang
hidup
Biakan kuman baik aerobik maupun anaerobik
Antibiotik yang adekuat –sering/umumnya perlu parenteral
Perawatan luka yang baik. Balutan yang memadai sesuai dengan tingkat
keadaan luka
Mengurangi edema
Non weight bearing Tirah baring
Tongkat penyangga
Kursi roda
Alas kaki khusus
Total contact casting
Perbaikan sirkulasi – vascular surgery
Tindakan bedah rehabilitatif untuk memperbaiki kemungkinan dan kecepatan
penyembuhan
Rehabilitasi
Secara keseluruhan pengelolaan Ulkus/gangren diabetik meliputi dan harus
mencakup berbagai hal di bawah ini:
Kontrol keadaan Metabolik
Kontrol keadaan Infeksi
Kontrol keadaan luka
Kontrol keadaan vaskular
Kontrol tekanan pada kaki/telapak kaki
Edukasi yang memadai pada pasien dan keluarganya
Antibiotik pada Pengelolaan Kaki Diabetes.
Seperti sudah diutarakan di atas, tidak semua kasus kaki diabetes
memerlukan antibiotik. Data yang ada menunjukkan bahwa 40‐60 % penyandang
P a g e | 7
kaki diabetes yang diobati untuk ulkus/gangren memerlukan pengobatan dengan
antibiotik. Untuk menentukan kasus mana yang memerlukan antibiotik dipakai
patokan klinis adanya infeksi.(vide supra). Penentuan macam mikroba penyebab
infeksi sangat penting, karena tidak semua hasil biakan merupakan penyebab infeksi
pada kaki diabetes. Diperlukan cara pengambilan yang sesuai prosedur baku untuk
mendapatkan hasil biakan yang dapat dipergunakan dengan baik. Bahan/jaringan
dari bagian dalam tukak lebih baik daripada bahan superfisial. Bahan hasil kuret/
sampel jaringan dengan sayatan lebih baik daripada bahan yang didapat dari
usapan/swab. Bahan untuk biakan kuman harus segera dikirim, seyogyanya dengan
media transport.
Dalam mengelola infeksi, derajat berat infeksi harus ditentukan dengan
cermat agar dicapai hasil pengelolaan yang memadai. Dinilai derajat berat infeksi
dengan memeriksa luka dengan teliti dan cermat, tungkai bawah serta tidak lupa
pula keadaan umum pasien secara keseluruhan. Pada Infeksi Mild, infeksi terbatas
pada kaki atau kulit. Pada Infeksi Moderat, proses menembus jaringan sampai ke
daerah subkutis atau menunjukkan selulitis yang ekstensif, sedangkan Infeksi Berat
mencakup jaringan yang lebih dalam, terjadi pada kaki iskemik atau dengan
didapatkannya keadaan toksik sistemik.
Pola kuman dan resistensi antibiotik dapat berbeda dari tempat satu dengan
yang lain. Banyak data mengenai hal tersebut yang dapat diperoleh dari
kepustakaan. Pada kasus dengan infeksi akut yang belum mendapat pengobatan,
biasanya didapatkan Gram positif aerobik, tetapi untuk luka kronik apalagi yang
dalam umumnya didapatkan mikroorganisme multiple termasuk adanya kuman
Gram negatif dan kuman anaerob. Pada banyak kasus yang dirawat didapatkan
mikroorganisme multipel sehingga paling sedikit perlu diberikan antibiotik dengan
spektrum luas pada awal perawatan, bahkan sering ditambah antibiotik yang juga
bermanfaat untuk kuman anaerob (terutama untuk kasus infeksi berat, luas dan
dalam serta berbau). Kenyataan sudah diberikannya antibiotik sebelum
pemeriksaan biakan kuman, dapat mengubah gambaran pola kuman yang didapat.
Pemberian antibiotik pada awalnya diberikan secara empirik berdasar data
empirik lokal, baru kemudian disesuaikan dengan hasil pemeriksan biakan kuman.
Untuk antibiotik empirik kasus baru dari luar rumah sakit harus dipakai antibiotik
P a g e | 8
yang sensitif terhadap Stafilokok dn Streptokok. Untuk kasus berat atau kasus yang
sudah diobati terlebih dahulu, harus memakai antibiotik dengan spektrum lebih luas,
yang mencakup juga kuman batang gram negatif dan juga enterokokus. Luka yang
dalam, disertai jaringan nekrotik, kematian jaringan (gangren) dan berbau busuk
umumnya juga memerlukan antibiotik anti anaerobik. Jika hasil biakan sudah ada,
dipilih antibiotik dengan spektrum yang lebih sempit sesuai dengan hasil resistensi
kuman. Jika secara klinis didapatkan hasil yang baik dan pasien berespons baik,
mungkin antibiotik tidak usah ditukar walaupun hasil biakan kumannya resisten
sekali pun. Evaluasi klinis secara keseluruhan lebih penting dari hasil in vitro.
Sebaliknya kalau ternyata secara klinis tidak responsif, antibiotik dapat pula ditukar
dengan antibitotik dengan spektrum yang lebih luas, walaupun antibiotik awal
tersebut secara in vitro cukup bermanfaat.
Anjuran khusus Terapi antibiotik pada infeksi kaki diabetes dari Konsensus
International mengenai kaki diabetes adalah sebagai berikut:
1. General principles
i. Treat all clinically infected wounds, but do not prescribe
antibiotics for uninfected wounds.
ii. Select the narrowest spectrum therapy possible for mild or
moderate infections.
iii. Choose initial therapy based on the commonest pathogens
and known local antibiotic sensitivity data.
iv. Adjust (broaden or constrain) empiric therapy based on the
culture results and clinical response to the initial regimen.
2. Specific choices (see below)
i. Cover staphylococci and streptococci in almost all cases.
ii. Broaden the spectrum if necessary based on the clinical
picture, or previous culture or current Gram‐stained smear
results.
iii. Topical therapy for mild superficial infections has not been
adequately studied; oral therapy is effective for most mild to
moderate infections; parenteral therapy (at least initially) is
advisable for most severe infections.
P a g e | 9
iv. Choose agents that have demonstrated efficacy in treating
complicated skin and soft tissue infections. These include semi
synthetic‐penicillins, cephalosporins, penicillin‐β‐lactamase
inhibitors, clindamycin, fluoroquinolones, carbapenems, and
perhaps oxazolidinones.
v. Treat soft tissue infections for 1‐2 weeks if mild infections, and
2‐4 weeks for most that are moderate and severe.
Suggested antibiotic regimens for treating diabetic foot infections1
Severity of Infection Usual Pathogen(s) Potential Regimens
Non‐severe (oral for entire course)
No complicating features
Recent antibiotic therapy
Drug allergies
GPC
GPC +/‐ GNR
S‐S pen; 1 G Ceph
FQ, β‐L‐ase
Clindamycin; FQ; T/S
Severe (intravenous until stable, then switch to oral equivalent)
No complicating features
Recent antibiotic/necrosis
GPC2 +/‐ GNR
GPC + GNR/anaerobes
β‐L‐ase; 2/3 G Ceph
¾ G Ceph;
FQ +Clindamycin
Life‐threatening (prolonged intravenous)
MRSA unlikely MRSA likely
GPC + GNR + anaerobes Carbapenem; Clindamyci Aminoglycoside
Glycopeptide or linezolid + + ¾ G Ceph or FQ + metronidazole
1 Given at usual recommended doses for serious infections; modify for azotemia, etc.; based upon theoretical considerations and available clinical trials 2A high local prevalence of methicillin‐resistance among staphylococci may require using vancomycin or other appropriate antistaphylococcal agents active against these organisms GPC = gram‐positive cocci GNR = gram‐negative rod S‐S pen = semi‐synthetic (anti‐staphylococcal) penicillin (e.g., flucloxacillin, oxacillin) 1 G Ceph = first generation cephalosporins (e.g., cephalexin, cefazolin) FQ = fluoroquinolones (e.g., ciprofloxacin, levofloxacin) β‐L‐ase = lactam‐ β lactamase‐ β inhibitor (e.g., amoxicillin/clavulanate, piperacillin/tazobactam) T/S = trimethoprim/sulfamethoxazole 2/3/4 G Ceph = 2nd/3rd/4th generation cephalosporins (e.g., cefoxitin, ceftazidime, cefepime, cefixime) Carbapenem: e.g., imipenem/cilastatin, meropenem, ertapenem Aminoglycoside: e.g., gentamicin, tobramycin, amikacin Glycopeptide: e.g., vancomycin, teicoplanin
P a g e | 10
Dari berbagai tempat di Indonesia didapatkan data mutakhir biakan kuman dan resistensinya sebagai berikut:
Jakarta (2002, RSUPN‐CM, Kasus Yang Dirawat dengan Ulkus/gangren) Gram Negatif: Gram Positif: Proteus mirabilis 24,3 % Staphylococcus aureus 15,5 %Pseudomonas aeruginosa 13,6 % Streptococcus anhemolyticus 8,7 % Escherichia coli 11,7 % Streptococcus B hemolyticus 5,8 % Klebsiella pneumoniae 3,9 % Staphylococcus epidermidis 2,9 % Coliform bacteria 3,9 % Staphylococcus viridans 0,75 % Klebsiella oxytoca 3,9 % Enterococcus aerogenes 2,9 % Serratia marcecens 1,9 % Acinetobacter spp 0,75 % Alkaligenes faecalis 0,75 % Providencia strantii 0,75 %
Antibiotik yang paling sensitif : Vankomisin 93,75 % Siprofloksasin 85,42 % Sefpirom 81,55 % Amikasin 80,39 % Sefotaksim 80,0 %
Denpasar Staphylococcus aureus 23,6 % Proteus spp 18,05 % Klebsiella spp 15,3 % Enterobacter spp 13,9 % Pseudomonas aeruginosa 13,9 %
E coli 9,7 % Streptococcus spp 8,3 %
Bacillus spp 5,5 % Antibiotik yang sensitif : Fosfomisin, Dibekasin dan Ceftasidim
Palembang Proteus mirabillis 24,5 % Staphylococcus aureus 13‐ 20 % E coli 13‐ 20 % Pseudomonas aeruginosa 13‐ 20 % Klebsiella pneumoniae 13‐ 20 %
Antibiotik yang sensitif : Highly sensitive > 60 % amikasin cefotaksim gentamisin Moderate sensitive 30‐60 % sulbenisilin, kanamisin,
kloramfenikol, cotrimoxazole Non sensitive (<30 %) ampisilin, penisilin, tetrasiklin, eritromisin
Surabaya (Pasien Rawat Inap) Enterobacter spp 34,29 % Coagulase pos Staphylococcus 22,86 %
P a g e | 11
Pseudomonas spp 20 % E coli 14,29 % Staphylococcus aureus 8,75 % Acinetobacter 8,75 %
Antibiotik yang didapatkan paling sensitif adalah: Imipenem 19,05 %, ceftasidim 15,8 % , netilmisin 13,49 %, siprofloksasin 9,52 %, dan vankomisin 8,75 %.
Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala sebaiknya setiap 6
bulan sekali untuk masing‐masing daerah yang berbeda. Di RSCM data terakhir
(2004‐2005) menunjukkan bahwa pada pasien yang datang dari luar, umumnya
didapatkan infeksi bakteri yang multipel, anaerob dan anerob. Antibiotik yang
dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan resistensinya.
Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004‐2005 di RSUPN dr CiptoMangunkusumo,
umumnya didapatkan pola kuman yang polimikrobial, campuran gram positif dan
gram negatif serta kuman anaerob untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu
untuk lini pertama pemberian antibiotik harus diberikan antibiotik dengan spektrum
luas, mencakup kuman Gram positif dan negatif (seperti misalnya golongan
sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap kuman
anaerob (seperti misalnya metronidazol). Pola kepekaan kuman yang ditunjukkan
dengan urutan sepuluh antibiotik dengan kepekaan tertinggi pada Ulkus Kaki
Diabetes di RSUPN dr Ciptomangunkusumo 2004‐2005, dapat dilihat di bawah ini:
Sesudah tukak sembuh persoalan kaki diabetes belumlah selesai. Di depan
kita masih terbentang panjang berbagai persoalan rehabilitasi pasien dengan tukak
diabetes. Rehabilitasi bahkan sebenarnya sudah harus dimulai jauh sebelum terjadi
tukak (dengan alas kaki yang baik untuk mencegah terjadinya tukak), diteruskan
berkesinambungan tanpa kenal bosan, berlanjut dan terkait pula dengan rehabilitasi
saat perawatan dan kemudian rehabilitasi untuk mencegah terjadinya tukak baru.
Imipenem 92,3 % Sefepim 81,7 % Sefpirom 78,3 % Fosfomisin 78,1 % Amikasin 76,0 % Seftriakson 75,4 % Seftazidim 70,3 % Sefoperazon 65,6 %
P a g e | 12
Tukak yang terjadi kemudian mempunyai prognosis yang lebih buruk dari tukak
sebelumnya. Dalam usaha pencegahan terjadinya tukak berulang tentu saja
pemberian antibiotik secara benar dan dini sangat pula penting di samping berbagai
usaha seperti tersebut di atas.
Daftar Bacaan:
1. Boulton AJM. The Diabetic Foot. Medicine International 2002; 2(1): 36‐40. 2. Kominsky SJ. Outpatient management of pedal complications. Dalam: Kominsky SJ, editor.
Management of Diabetic Foot. St Louis Mosby Company; 1994. p. 223‐47. 3. Levin ME. Pathogenesis and management of diabetic foot lesions. Dalam: Levin ME, O’Neal
LW, Bowker JH, editors. The Diabetic Foot. Edisi 5. St. Louis. The CV Mosby Company; 1993. p. 17‐55.
4. Stadelman WK, Digenis AG, Tobin GR. Impediment to wound healing. Am J Surg. 1998; 176(suppl 12A): 39 S‐47S.
5. Konsensus Penggunanan antiubiotik pada kaki diabetes. International Symposium on Diabetic Foot . Noordwijkerhout May, 2003.
2. Klasifikasi Riset Ulkus Diabetik. International Symposium on Diabetic Foot . Noordwijkerhout May, 2003.
3. Arnadi, Em Yunir, Gatut Semiardji, Sarwono Waspadji. Bacterial pattern and antibiotic sensitivity in diabetic subjects with foot infection in Ciptomangunkusumo Hospital Jakarta. Jafes 2002;20(1):80.
4. I Gede Pande Sastrawan, Wira Gotera, Juli Maryati, I Ktut Swastika, Dwi Sutanegara. Pattern of bacterial culture and antibiotic susceptibility in diabetic ulcer/gangrene at RSU Sanglah, Denpasar. Jafes 2002;20(1):93.
5. Mohammad Muin, Alwi Shahab, R Surasmo Prastajaya. Microbiologic profile of diabetic foot and its antibiotic susceptibility in hospitalized diabetic patients in Moh Husin Hospital, Palembang. Jafes 2002;20(1):103.
6. Djoko Heri H, Subagio Adi, Ari Sutjahyo, Askandar Tjokroprawiro. Microbe pattern of pus culture in NIDDM patients with lower extremities gangrene. Jafes 2002;20(1):114.
11. Sarwono Waspadji. Antibiotic choices in the infected diabetic foot /ulcer. Acta Medica Indonesiana 2005;37(2): 94‐101.
12. Kusmardi Sumarjo. Hubungan gambaran klinis penderita dan jenis kuman penyebab infeksi kaki diabetes. Tesis PPDS Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2005.
P a g e | 13
Lampiran 1. Patofisiologi Terjadinya Tukak Diabetes
Diabetes Melitus Hiperlipidemia
Merokok
Neuropati Penyakit Pemb. Darah Perifer
Neuropati Somatik Neuropati Autonomik Rasa Nyeri Proprioseptif Problem Ortopedik Gerak Sendi Keringat Pengaturan Drh Terbatas Berubah
Tekanan Plantar Kulit Kering Vena mengembang, Fisura Kaki hangat
Otot Hipotrofi Callus
Tukak Kaki Kaki Iskemik
Infeksi
Sumber: Boulton AJM. Diabetic Med 1996: 3: (Suppl.1)