25 tahun kehutanan sebuah refleksi

7
1 25 TAHUN HARI BAKTI RIMBAWAN : MOMENTUM KEBANGKITAN KEHUTANAN KALTIM Oleh : Achmad Husry 1 Bulan Maret 2008 ini, kesibukan gedung Manggala Wana Bakti (MWB) yang merupakan markas besar institusi pemerintah yang membawahi hutan dan kehutanan Indonesia tampak meningkat pesat. Hiruk pikuk acara hampir setiap hari terlihat di seputaran gedung megah berlantai 14 itu. Beragam spanduk, umbul-umbul dan baliho menghiasi segenap sudut gedung yang menandakan bahwa sang penguhi gedung sedang punya hajat besar. Pun, berbagai kegiatan ramai dilaksanakan, mulai dari pameran, bakti sosial, pertandingan olah raga, pembinaan mental, acara kesenian -yang menghadirkan icon sastrawan Indonesia WS. Rendra dan penyanyi kritis sekaligus idola kawula muda Iwan Fals-, hingga acara puncak berujud penenaman pohon. Begitupun di seluruh penjuru nusantara, di setiap kantor dinas kehutanan propinsi maupun kabupaten juga tengah bersolek dan mengalami kesibukan luar biasa dibanding hari-hari biasa pada tahun tahun sebelumnya. Adalah hari bakti rimbawan yang jatuh setiap tahun pada bulan Maret. Di bulan Maret tahun ini, seluruh jajaran aparat Departemen Kehutanan kembali sibuk menyongsong hari bakti rimbawan. Berbeda dengan acara hari bakti rimbawan yang setiap tahun selalu diperingati, maka hari bakti rimbawan tahun 2008 ini memiliki makna strategis karena bertepatan dengan usia 25 tahun Departemen Kehutanan. Sebuah usia yang memiliki berbagai dimensi dan makna dikaitkan dengan kiprah dan perannya dalam berbagai perspektif kepentingan masyarakat lokal, nasional bahkan global melalui aktivitas pembangunan. Terlebih, di tengah derasnya sorotan kinerja sektor kehutanan yang dewasa ini terus dipertanyakan eksistensi dan fungsinya. Intinya, pertanyaan bahkan gugatan semua pihak bermuara pada pencapaian dua hal mendasar yang menjadi visi sekaligus misi utama keberadaan Departemen 1 Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komisariat Daerah Kalimantan Timur.

Upload: administrator-aphi-kaltim

Post on 21-Feb-2016

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

25 TAHUN KEHUTANAN SEBUAH REFLEKSI

TRANSCRIPT

Page 1: 25 TAHUN KEHUTANAN SEBUAH REFLEKSI

1

25 TAHUN HARI BAKTI RIMBAWAN : MOMENTUM KEBANGKITAN KEHUTANAN KALTIM

Oleh :

Achmad Husry1

Bulan Maret 2008 ini, kesibukan gedung Manggala Wana Bakti (MWB)

yang merupakan markas besar institusi pemerintah yang membawahi hutan dan

kehutanan Indonesia tampak meningkat pesat. Hiruk pikuk acara hampir setiap

hari terlihat di seputaran gedung megah berlantai 14 itu. Beragam spanduk,

umbul-umbul dan baliho menghiasi segenap sudut gedung yang menandakan

bahwa sang penguhi gedung sedang punya hajat besar. Pun, berbagai kegiatan

ramai dilaksanakan, mulai dari pameran, bakti sosial, pertandingan olah raga,

pembinaan mental, acara kesenian -yang menghadirkan icon sastrawan

Indonesia WS. Rendra dan penyanyi kritis sekaligus idola kawula muda Iwan

Fals-, hingga acara puncak berujud penenaman pohon. Begitupun di seluruh

penjuru nusantara, di setiap kantor dinas kehutanan propinsi maupun kabupaten

juga tengah bersolek dan mengalami kesibukan luar biasa dibanding hari-hari

biasa pada tahun – tahun sebelumnya.

Adalah hari bakti rimbawan yang jatuh setiap tahun pada bulan Maret. Di

bulan Maret tahun ini, seluruh jajaran aparat Departemen Kehutanan kembali

sibuk menyongsong hari bakti rimbawan. Berbeda dengan acara hari bakti

rimbawan yang setiap tahun selalu diperingati, maka hari bakti rimbawan tahun

2008 ini memiliki makna strategis karena bertepatan dengan usia 25 tahun

Departemen Kehutanan. Sebuah usia yang memiliki berbagai dimensi dan

makna dikaitkan dengan kiprah dan perannya dalam berbagai perspektif

kepentingan masyarakat lokal, nasional bahkan global melalui aktivitas

pembangunan. Terlebih, di tengah derasnya sorotan kinerja sektor kehutanan

yang dewasa ini terus dipertanyakan eksistensi dan fungsinya. Intinya,

pertanyaan bahkan gugatan semua pihak bermuara pada pencapaian dua hal

mendasar yang menjadi visi sekaligus misi utama keberadaan Departemen

1 Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komisariat Daerah Kalimantan Timur.

Page 2: 25 TAHUN KEHUTANAN SEBUAH REFLEKSI

2

Kehutanan, yaitu kelestarian hutan di satu sisi dan kesejahteraan masyarakat di

sisi lain.

Refleksi 25 Tahun Kehutanan Kalimantan Timur

Jauh sebelum kehadiran Departemen Kehutanan di pusat pada tahun

1983 dan Dinas Kehutanan maupun Kantor Wilayah Kehutanan di Propinsi,

praktek pengusahaan hutan berbasis sistem HPH (kinidisebut dengan IUPHHK

Hutan Alam) di Kalimantan Timur telah berlangsung selama hampir empat

dekade. Sistem pengusahaan hutan berbasis HPH merupakan cikal bakal

kegiatan pengusahaan hutan alam tropis di luar Jawa pasca diterbitkannya UU

No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan. Kebijakan pengusahaan hutan berbasis

HPH tersebut ditetapkan sebagai implementasi dari PP No 21 tahun 1971

tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan.

Semangat pengusahaan hutan dengan sistem HPH pada saat itu

dilandasi oleh kebutuhan Pemerintah akan masuknya modal asing bagi upaya

membantu pergerakan roda pembangunan setelah terjadi proses pergantian

rezim pemerintahan dari Orde Lama yang berorientasi pada pembangunan

politik sebagai panglima ke tangan rezim Orde Baru yang berorientasi pada

pembangunan ekonomi. Hal itu sejalan dengan penerbitan UU No. 1 Tahun 1967

tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang disusul dengan penerbitan UU No.

5 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Maka,

dimulailah kegiatan ekstraksi “emas hijau” hutan tropis Indonesia, termasuk di

kawasan Propinsi Kalimantan Timur yang dikenal sebagai salah satu pemilik

kawasan hutan tropis terluas di Indonesia.

Harus diakui, bahwa konsep pembangunan yang digagas Pemerintah

Orde Baru memang sesuai dengan tantangan dan kebutuhan zaman pada saat

itu. Terbukti, dengan beroperasinya berbagai perusahaan kehutanan, maka

perekonomian Kalimantan Timur pun menggeliat dan bangkit. Investasi asing

mengalir deras yang berdampak terhadap peningkatan pundi-pundi penerimaan

negara melalui pajak maupun devisa. Lebih lanjut, angkatan kerja terserap

Page 3: 25 TAHUN KEHUTANAN SEBUAH REFLEKSI

3

melalui penciptaan lapangan kerja. Kondisi tersebut kian meningkat tatkala

industrialisasi kehutanan mulai berkembang pada pertengahan dekade 1980-an

melalui pelarangan ekspor kayu bulat dan kewajiban mendirikan pabrik

pengolahan hasil hutan kayu yang berintikan pabrik kayu lapis. Maka, sektor

kehutanan Kalimantan Timur tumbuh menjadi salah satu pilar bahkan kiblat

kehutanan nasional. Sektor kehutanan menjelma menjadi salah satu tulang

punggung perekonomian regional Kalimantan Timur. Keberadaan dan peran

instansi kehutanan yang pada saat itu adalah setingkat dengan direktorat jendral

di bawah institusi Departemen Pertanian, kian penting tatkala sejak tahun 1983

mulai ditingkatkan menjadi sebuah lembaga yang membawahi sebuah

departemen penuh, yaitu Departemen Kehutanan dengan Menteri Kehutanan

pertama adalah Dr. Soejarwo.

Persoalannya, dalam perkembangan pengelolaan dan pengusahaan

hutan nasional timbul berbagai permasalahan yang bermuara pada lahirnya

berbagai dampak negatip. Berbagai dampak negatip tersebut bermuara pada

beberapa permasalahan mendasar yang tidak pernah diupayakan solusinya

sehingga tumbuh berkembang dan menjadi akumulatif. Salah satu permasalahan

dalam praktek pengusahaan hutan berbasis HPH yang berlangsung selama

hampir empat dekade tersebut adalah pendekatan sistemnya yang bersifat

sentralistis. Implikasinya, keberadaan dan peran Departemen Kehutanan

demikian dominan, sementara di daerah kepentingan pusat diaktualisasikan

melalui institusi Kantor Wilayah Kehutanan Propinsi sedangkan di tingkat

kabupaten ditangani oleh Kantor Cabang Dinas Kehutanan. Praktis pada saat

itu, semua berasal dari pusat mulai dari perencanaan, pengorganisasian,

pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi (Monev). Bahkan, setiap ide

maupun gagasan berkenaan dengan kegiatan kehutanan harus berasal dan

bersumber dari pusat. Maka, berkembanglah sebuah paham kelola hutan yang

disebut dengan pengelolaan hutan berbasis negara atau stated based forest

management. Tak mengherankan bila kemudian berkembang sebuah pemeo

kritis yang menyatakan bahwa pemerintah daerah hingga masyarakat lokal yang

langsung berhadapan (baca : memiliki) sumber daya hutan hanya sekedar

Page 4: 25 TAHUN KEHUTANAN SEBUAH REFLEKSI

4

menjadi penonton. Komentar yang lebih sarkastis (baca : vulgar) justru

mengemuka bahwa keberadaan dan peran pemerintah daerah dan masyarakat

lokal tidak lebih hanya sekedar menjadi pelengkap. Ironisnya, jabatan pelengkap

mereka masih diembel-embeli dengan sebutan pelengkap penderita.

Karakter lain menonjol yang menjadi permasalahan mendasar dalam

praktek pengusahaan hutan berbasis HPH adalah keseragaman (uniformitas)

sistem kelola hutannya. Pada saat itu, sistem kelola hutan menerapkan sistem

silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia atau TPTI yang ditetapkan pada

tahun 1989 sekaligus merupakan penyempurnaan dari sistem silvikultur Tebang

Pilih Indonesia atau TPI yang ditetapkan pada tahun 1972. Secara garis besar,

sistem silvikultur TPTI mengatur tata cara penebangan dengan pembatasan

ukuran limit diameter dan jenis-jenis pohon komersial tertentu yang boleh

ditebang. Pasca penebangan, setiap pemilik HPH harus melakukan penanaman

kembali (baca : rehabilitasi) sekaligus pemeliharaan tegakan tinggal yang akan

menjadi sumber panenan tegakan pada siklus berikutnya. Peraturan yang berisi

sistem kelola hutan tropis Indonesia yang memiliki berbagai karakteristik khas

dan spesifik tersebut -yang sesungguhnya sangat bagus dan ideal- namun

karena lemahnya pengawasan pemerintah pusat justru menjadi salah satu

kelemahan kelola hutan Indonesia, termasuk kelola hutan Kalimantan Timur.

Sistem TPTI justru menjadi salah satu sumber penyimpangan hingga akronim

TPTI diplesetkan untuk menggambarkan rendahnya komitmen pengusaha HPH

menjadi Tebang Pasti Tanam Insya allah, atau singkatan TPTI digunakan untuk

menggambarkan perilaku koruptif aparat birokrasi kehutanan menjadi Telepon

Pengusaha Terima Imbalan. Perilaku masa lalu yang kemudian menuai bencana

di masa kini. Termasuk dampak buruknya berupa stigma kehutanan dalam

bentuk hujatan dan cemoohan, baik kepada aparat kehutanan maupun kalangan

pengusahanya.

Terakhir, kelemahan sistem kelola hutan berbasis HPH di masa lalu

bermuara pada ketimpangan penguasaan hak kelola hutan (baca : HPH) yang

hanya berada pada segelintir individu yang umumnya merupakan kroni

penguasa atau pejabat pusat. Merupakan sebuah fakta umum pada saat itu,

Page 5: 25 TAHUN KEHUTANAN SEBUAH REFLEKSI

5

tatkala seorang pengusaha hutan menguasai hingga jutaan hektar hutan

produksi dalam bentuk HPH. Sementara, para pengusaha pribumi, apalagi

pengusaha lokal yang umumnya tidak cukup memiliki akses ke pusat atau ring

terdalam penguasa hanya mampu menjadi “mitra semu” pemegang saham

minoritas dalam bentuk koperasi sebagai penunjuk bahwa sang pengusaha -

penguasa jutaan hektar telah melibatkan partisipasi stakeholder lokal. Sebuah

struktur penguasaan hutan dan lahan yang dalam sejarah kehutanan Indonesia

kemudian menghasilkan sebuah revolusi ideologis dalam bentuk jargon hutan

untuk rakyat atau forest for people.

Tantangan dan Peluang Kehutanan Ke Depan

Sesuai amanat konstitusi, hutan merupakan salah satu kekayaan negara

yang harus dikelola secara adil dan berkelanjutan bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Dengan perkembangan sosial, ekonomi, politik dan budaya

dewasa ini maka keberadaan dan peran hutan di berbagai tingkatan menjadi

kian strategis. Di tingkat lokal, keberadaan sumber daya hutan menjadi salah

satu tumpuan terbesar pemerintah daerah dan masyarakat setempat untuk dapat

menjadi sumber penghidupan yang akan dapat meningkatkan kesejahteraannya.

Sementara di tingkat nasional eksistensi dan fungsi hutan menjadi sangat vital

mengingat peran yang diemban bersifat multidimensi. Selain fungsi ekonomi,

hutan juga mengemban fungsi ekologi dan sosial. Hutan juga menjadi tumpuan

bagi pengembangan berbagai sektor lain yang kini memiliki potensi dan nilai

ekonomi yang sangat besar, seperti kebun sawit, tambang batu bara, pertanian,

perumahan, serta berbagai kepentingan lain. Tak kalah penting, di tingkat global

hutan tropis Indonesia –yang merupakan hutan tropis terluas ketiga setelah

Brazil dan Kongo- juga menjadi tumpuan harapan komunitas internasional dalam

upaya meredam ancaman bahaya pemanasan global atau global warming yang

bermuara pada terjadinya perubahan iklim (climate change). Sebuah situasi

global yang juga akan sangat mencancam eksistensi seklaigus kelangsungan

kehidupan umat manusia di seluruh muka bumi. Sebuah tantangan namun juga

Page 6: 25 TAHUN KEHUTANAN SEBUAH REFLEKSI

6

peluang yang akan mampu meningkatkan peran kehutanan dan eksistensi

bangsa Indonesia di kancah pergaulan internasional. Semua itu akan

menghasilkan berbagai skema dan skenario yang harus mampu memberikan

kontribusi optimal bagi kepentingan masyarakat dan Bangsa Indonesia.

Dengan konfigurasi perkembangan dan perubahan lingkungan strategis

tersebut di atas, maka tantangan terbesar sektor kehutanan kedepan adalah

konflik hutan dan lahan. Dewasa ini, kawasan hutan menjadi ajang perebutan

atas penguasaannya yang akan tercermin dari hak kelola dan hak pemanfaatan

para pihak. Mengingat potensi hutan tiudak semata-mata dalam bentuk tegakan,

melainkan juga lahan beserta isi bumi di bawahnya, maka ancaman konversi

untuk kepentingan sektor lain, terutama kebun dan tambang menjadi sangat

dominan. Meskipun secara konseptual Departemen Kehutanan selalu memiliki

komitmen untuk mempertahankan kawasan hutan, kenyataannya konversi areal

hutan menjadi kawasan non hutan terus mengalami penngkatan. Termasuk

konversi hutan untuk kepentingan lain di kawasan hutan lindung sebagaimana

tercermin dari PP No. 2 Tahun 2008 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak

(PNBP) yang kini menuai kontroversi.

Jelas, dewasa ini sangat dibutuhkan sebuah revitalisasi di jajaran

Departemen Kehutanan dan dinas-dinas kehutanan di seluruh Indonesia

sehingga jajaran aparat kehutanan mampu mengantisipasi sekaligus merespon

secara konstruktif tantangan zaman yang dihadapi. Pengalaman 25 tahun kiprah

Departemen Kehutanan beserta seluruh jajarannya harus mampu memberikan

sebuah proses pembelajaran, bagaimana merumuskan kebijakan pembangunan

kehutanan nasional ke depan yang lebih memberikan peran secara sejajar

pemerintah daerah dalam kerangka desentralisasi dan dekonsentrasi.

Sementara, kemajemukan kondisi hutan Indonesia pasca empat dekade

pengelolaan hutan berbasis HPH juga harus mampu memberikan peluang

seluas-luasnya pengembangan sistem kelola hutan yang bersifat lokal sesuai

potensi sosial, ekonomi, lingkungan dan budaya komunitas lokalnya. Bukan lagi

zamannya bila Pemerintah menerapkan sebuah sistem yang seragam,

sementara kondisi hutan sudah sangat beragam.

Page 7: 25 TAHUN KEHUTANAN SEBUAH REFLEKSI

7

Pada akhirnya, di tengah usia seperempat abad tantangan Departemen

Kehutanan maupun sektor kehutanan ke depan akan semakin berat dan

kompleks, seiring dengan perkembangan dan perubahan lingkungan strategis di

tingkat lokal, nasional maupun global. *******