23 june 2009

141
23 June 2009 Megawati dan Fatmawati Posted by iman under: BERBANGSA ; SEJARAH ; SOEKARNO . Ada satu yang tak dapat saya mengerti tentang Megawati. Kenapa ia harus – keras kepala – maju lagi dalam pencalonan kali ini. Apakah hanya karena keputusan kongres partai yang mengharuskan itu. Sesakral itukah ? Ia bisa sangat marah ketika beberapa pengurus partai dan orang dekatnya memberikan fakta, bahwa ia sudah tak terlalu popular di mata rakyat. Ia mempersilahkan penasehat partai Sabam Sirait untuk makan di ruang sebelah. Tidak satu ruangan dengannya. Sabam Sirait tidak salah. Jaman sudah berubah, tidak seperti lebih sepuluh tahun lalu, ketika ia dipersepsikan sebagai simbol perlawanan terhadap orde baru. Saya berani bertaruh, jika saat itu pemilihan presiden sudah dilakukan secara langsung, pasti dengan mudah ia akan memenangi kontes itu. Mungkin keras kepala ini, salah satu sifat yang menurun dari ibunya. Bung Karno konon tidak sekeras Fatmawati istrinya. Kilas balik dalam pembuangan di tanah Bengkulu , Fatwamati adalah teman anak anak angkat Bung Karno yang bersekolah di sebuah sekolah katolik di sana. Ketika Bung Karno menyatakan keinginannya untuk memperistri. Saat itu Fatmawati berusia 19 tahun dan Bung Karno 41 tahun. Ia dengan tegas menolak, kecuali Bung Karno menceraikan istrinya terlebih dahulu. Ia tak mau dimadu.

Upload: wilujeng-mulyaningsih-suroto

Post on 03-Jul-2015

370 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: 23 June 2009

23 June 2009

Megawati dan Fatmawati

Posted by iman under: BERBANGSA; SEJARAH; SOEKARNO .

Ada satu yang tak dapat saya mengerti tentang Megawati. Kenapa ia harus – keras kepala – maju lagi dalam pencalonan kali ini. Apakah hanya karena keputusan kongres partai yang mengharuskan itu. Sesakral itukah ?Ia bisa sangat marah ketika beberapa pengurus partai dan orang dekatnya memberikan fakta, bahwa ia sudah tak terlalu popular di mata rakyat. Ia mempersilahkan penasehat partai Sabam Sirait untuk makan di ruang sebelah. Tidak satu ruangan dengannya.Sabam Sirait tidak salah. Jaman sudah berubah, tidak seperti lebih sepuluh tahun lalu, ketika ia dipersepsikan sebagai simbol perlawanan terhadap orde baru.Saya berani bertaruh, jika saat itu pemilihan presiden sudah dilakukan secara langsung, pasti dengan mudah ia akan memenangi kontes itu.

Mungkin keras kepala ini, salah satu sifat yang menurun dari ibunya. Bung Karno konon tidak sekeras Fatmawati istrinya.

Kilas balik dalam pembuangan di tanah Bengkulu , Fatwamati adalah teman anak anak angkat Bung Karno yang bersekolah di sebuah sekolah katolik di sana. Ketika Bung Karno menyatakan keinginannya untuk memperistri. Saat itu Fatmawati berusia 19 tahun dan Bung Karno 41 tahun. Ia dengan tegas menolak, kecuali Bung Karno menceraikan istrinya terlebih dahulu. Ia tak mau dimadu.Ada cerita menarik di balik ini. Sebenarnya justru Fatmawati sedang meminta pendapat Bung Karno tentang pinangan seorang anak wedana terhadap dirinya. Alih alih mendapat jawaban, justru Bung Karno mengutarakan perasaan cintanya.

Kelak Fatmawati bersikeras keluar dari istana setelah mengetahui Bung Karno memperistri Hartini. Bung Karno juga menghormati pilihan itu. Sampai akhir hayatnya istri istrinya tidak ada yang tinggal secara resmi di Istana.

Ada satu hal yang mungkin tidak di miliki Megawati. Kepekaan. Berbeda dengan Fatwamati yang mengikuti arus kemerdekaan bersama suaminya. Ia peka terhadap semangat revolusioner negerinya. Diam diam ia menjahitkan sebuah bendera merah putih untuk dikibarkan pada hari kemerdekaan.

Page 2: 23 June 2009

Mestinya Megawati juga teringat salah satu pidato ayahnya. Jasmerah. Jangan sekali kali meninggalkan sejarah. Ia sudah kehilangan kesempatan ketika sempat memimpin negeri ini. Sejarah pasti menulisnya.

Dalam segala aspek Megawati tak akan bisa menyamai ayahnya. Ia hanya teh celup rasa Soekarno. Begitu kolumnis Buddiarto Shambazy pernah menulis.Ketika ia mengingatkan rakyat Jawa Barat tentang imperialisme dalam kampanyenya minggu lalu, dengan mengutip ajaran ayahnya. Sesungguhnya ia tidak memberikan sebuah pemikiran.

Saya tak tahu apa yang dilakukan oleh Megawati pada tanggal 21 Juni kemarin. Peringatan tanggal wafatnya Bung Karno. Apa dia pernah menyelami pemikiran ayahnya saat memutuskan mundur dari kekuasaan. Rela, demi menghindarkan pertumpahan darah sesama bangsa, karena saat itu sebagian rakyat dan militer masih mendukung Soekarno.

Keras kepala tidak menghasilkan apa apa kecuali kepuasaan diri sendiri yang prematur. Pembuktian di bilik suara kelak akan menjadi jawaban. Tanpa mengesampingkan 14 persen suara fanatik PDI-P. Apakah ia masih dicintai rakyatnya. Megawati mestinya memilih mencintai bangsa ini dengan cara yang lain. Tanpa harus keras kepala memutuskan maju lagi.

Fatmawati tetap keras kepala sampai ajal Bung Karno. Ia tak mau menghadiri ke pemakaman suaminya. Ia tetap tak bisa memaafkan tindakan suaminya mengawini orang lain. Namun satu hal , ia tetap mencintai Bung Karno. Dengan caranya sendiri.Ia hanya mengirim karangan bunga bertuliskan.“ Cintamu yang selalu menjiwai rakyat. Cinta Fat “

berguna.

Sunday, May 04, 2008

Lima Periode Kesederhaan Fatmawati

Pada bidang putih, seukuran meja pingpong yang berdiri tegak, foto reproduksi keluarga presiden pertama RI, Soekarno, terpajang. Yang

Page 3: 23 June 2009

menarik perhatian, di sebelah foto besar itu terdapat kata-kata dengan huruf warna merah berbunyi: O, Fatma, jang menjinarkan tjahja. Terangilah selaloe djalan djiwakoe, soepaja sampai dibahagia raja. Dalam swarganya tjinta-kasihmoe....Itulah penggalan kalimat rayuan Bung Karno kepada Fatmawati yang tertulis dalam sebuah surat cinta pada 11 September 1941. Fragmen ini menjadi bagian menarik “Pagelaran Foto Film Dokumenter dan Benda Kenangan Fatmawati Soekarno”, yang digelar di Jogja Gallery, Jalan Pekapalan, Alun-alun Utara Yogyakarta, 14-21 April 2008. Sebanyak 124 koleksi foto terpajang rapi di ruang pamer, mulai lantai pertama hingga lantai kedua.Selain foto, diputar pula dua film dokumenter berjudul Bu Fat dalam Kenangan dan Tjinta Fatma, yang merupakan karya dokudrama. Tjinta Fatma mengisahkan masa-masa muda Fatmawati di Bengkulu, kisah percintaan dan pernikahannya dengan Bung Karno, hingga perannya dalam proklamasi kemerdekaan. Pameran ini merupakan rangkaian kegiatan mengenang 85 tahun Fatmawati Soekarno, yang digagas Yayasan Bung Karno sekaligus memperingati Hari Kartini yang jatuh pada bulan April.Kegiatan pertama dilaksanakan pada Februari dan Maret lalu di Jakarta, kemudian di Bengkulu, tanah kelahiran Fatmawati, dan mulai Maret lampau di Yogyakarta melalui kegiatan sosial. Melalui pameran ini, figur fatmawati muncul kembali. Sosok Fatmawati terlihat pada berbagai masa, peristiwa, dan lokasi yang beragam.Benang merah dari seluruh foto yang tampil sepertinya berupaya menunjukkan potret keseharian Fatmawati yang sederhana dan rileks, jauh dari ingar-bingar kemewahan layaknya first lady negara lain. Fatmawati, oleh keluarga, kerabat, dan kawan dekatnya, dikenal luwes bergaul, peramah, dan riang. “Banyak hal yang bisa saya pelajari dari Ibu. Buat saya, dia guru saya,” kata Guruh Soekarnoputra, Ketua Yayasan Bung Karno, ketika membuka pameran.Seluruh foto dalam pameran ini dikumpulkan dan diseleksi Yayasan Bung Karno dan Yayasan Fatmawati. Sumbernya dari koleksi keluarga, yayasan, media cetak, dan pribadi. Foto-foto itu dipajang menurut periode hidup Fatmawati, yakni periode Bengkulu, periode pendudukan Jepang, periode Yogyakarta, periode Istana Merdeka, dan periode Sriwijaya. Periode Bengkulu menampilkan masa muda Fatmawati, yang pada usia empat tahun pernah diramalkan akan mendapat jodoh orang yang kedudukannya tertinggi di negeri ini.Periode pendudukan Jepang mengisahkan Fatmawati, yang setelah menikah dengan Bung Karno, hijrah ke Jakarta. Periode ini termasuk masa-masa lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, Fatmawati menjahit bendera pusaka Merah-Putih pada 1944, hingga proklamasi 17 Agustus 1945. Fatmawati terekam dalam empat bingkai foto hasil bidikan fotografer Frans Mendur selama detik-detik proklamasi.Pada periode Yogyakarta, ketika muncul gejolak revolusi kemerdekaan, berbagai kericuhan, masalah kenegaraan, dan pemberontakan di dalam republik, sehingga ibu kota RI dipindahkan ke Yogyakarta, Fatmawati berhasil membangun tradisi rumah tangga kepresidenan. Fokus paling besar pameran sepertinya berada pada periode ini. Pada periode ini, terdapat foto-foto Fatmawati ketika tinggal di Istana Gedung Agung.Satu di antaranya memperlihatkan Fatmawati ketika mencuci pakaian keluarga di Kali Code, Yogyakarta. Ia juga sering membersihkan dan memangkas rumput di halaman istana. Menurut Guruh, pada masa-masa inilah, banyak kenangan manis yang terekam. “Jakarta memang kota proklamasi, tapi Yogyakarta adalah kota untuk mempertahankan proklamasi,” katanya.Setelah pusat pemerintahan kembali ke Jakarta, dalam pameran ini digolongkan dalam periode Istana Merdeka, foto-foto yang tampil menunjukkan kegiatan Fatmawati mendampingi suaminya dalam kegiatan kenegaraan. Ketika itulah Fatmawati mendapat pengalaman

Page 4: 23 June 2009

melakukan perjalanan kenegaraan ke luar negeri. Perjalanan ke India, Pakistan, dan Burma menjadi rangkaian kunjungannya yang perdana.Periode Sriwijaya menampilkan potret Fatmawati sehari-hari di rumahnya di Jalan Sriwijaya. Jauh dari ikatan protokoler, dari tempat tinggalnya Fatmawati banyak menggelar kegiatan sosial. Ia juga tak pernah melupakan untuk mengasuh dan membesarkan lima putra-putrinya, yang pada saat itu mulai tumbuh dewasa. Keseharian yang penuh keakraban dengan keluarga hampir dapat dijumpai di sebagian besar koleksi foto.Melalui pameran ini, Yayasan Bung Karno ingin lebih mengenalkan sosok Fatmawati, yang tak berbeda dari kaum wanita biasa lainnya. Sebagai penghormatan, Fatmawati telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Namanya pun dipakai sebagai nama Rumah Sakit Fatmawati di Jakarta Selatan dan Bandara Fatmawati Soekarno di kota kelahirannya.Foto : Dari undangan pagelaran diatas.Oleh : Sigit Indra (Yogyakarta)Seni, Gatra Nomor 24 Beredar Kamis, 24 April 2008

Naskah Drama RengasdegklokPERISTIWA RENGASDENGKLOK

16 AGUSTUS 1945Pada tanggal 14 Agustus 1945, para pemuda mengdakan rapat di Jakartayang hadir dalam rapat itu antara lain Chairul saleh, sutan shrir, sukarni, singgih, suhud dan lain sebagainya.  Sutan Syahrir                : (Membuka pembicaraan ) assalamu’alaikum Semuanya yg hadir  : Waalaikum SalamSutan sahrir                  : (Membuka rapat itu dengan menyampaikan berita yang ia

ketahui tentang Jepang )Saudara-saudara ku saya mendengar berita yang mengembirakan bagi kita semua yaitu menyerahnya Jepang terhadap sekutu saya mendengar berita tersebut dari radio Lua Negeri  itu berarti terjadi klekosongan kekuasaan di Indonesia ( sutan syahrir menjelaskan dengan penuh semangat )

Sukarni                          : ‘itu merupakan kabar yang sangat menggembirakan bagi kita semua, tapi yang saya bingungkan maksud tua tadi berbicara   terjadi kekosongan kekuasaan itu apa ?

(Sukarni dengan penuh keheranan saat menanyakan hal tersebut pada sutan syahrir)Sutan Syahrir                  : “maksud saya, Jepang tidak lagi berkuasa terhadap negeri kita karena menyerah kepada sekutu, sedang sekutu belum sepenuhnya menguasai Indonesia.

Page 5: 23 June 2009

Sukarni                         : “oh, Ya  mengerti maksud tuan, terima kasih atas penjelasannya tuan  (sat sutan syariri menjelaskan sukarni hanya mengangguk –ngangguk dan tersenyum)

Suta Sahrir                   : “(membalas dengan senyuman )Chairul Saleh                : “lalu sekarang apa yang harus kita lakukan  untuk mengisi

kekosongan kekuasaan ini ?”(dengan a\nda bicara penuh kecemasan)

Sutan syahriri                    : “Bagaimana kalau kita mengajukan kepada soekarno dan Moh. Hatrta agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secepatnya.

Chairul Saleh                  : ‘Saya setuju usul anda tuan, karena waktu itu inilah yang tepat bagi kita semua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

 Mendengar yang dibicarakan  Chairul saleh para pemuda ricuh, mereka begitu gembiranya mendengar Indonesia akan memproklamasikan kemerdekaannya Sepertinya mereka tidak sabar untuk membicarakan keinginan rakyat ini bersama Soekarno dan Moch Hatta, Chairul Saleh yang melihat sikap para pemuda tersebut kemudian mencoba  untuk menenangkan mereka. Chaerul Saleh               : ‘Tenang, tenang semua tenang, saya mohon duduk kalian di

kursi masing-masing (dengan suara lantang ia menengakan para pemuda)Para pemuda duduk dan  dan susasana tenang kembali  Chairul Saleh                : kalau kalian sudah setuju, besok kita akan mendatangi rumah

Soekarno dan kita bicarakan  maksud  keinginan  kita semua , bagaimana kalau  rapat ini kita cukupkan sekian lebih baik kita pulang kerumah masing-masing.

 Rapatpun akhirnya  selesai, para pemuda kembali pulang dan kembali kerumah masing-masing Keesokan harinya  pada tanggal  15 Agustus 1945 para pemuda  mendatangi  rumah soekarno dengan maksud memberitahukan Soekarno tentan keinginan para pemuda  itu. Sutan Syahrir                : ok-tok     , asalamu’alaikum , ?Fatmawati                    : “fatmawati membukan pintu “ waalaikumSalam ! Sutan syahrir                 : “maaf bu, apakah Bungkarnonya ada , kami ingin bertemu

Page 6: 23 June 2009

    dengannyaFatmawati                    : “yah kang mas ada didalam, memang ada apa yah mencari

   kang masChairul Saleh                : Begini Bu  ada hal  yang penting   yang harus kami icarakan

  dengan nya.Fatmawati                    : “oh kalau begitu   ya sudah ayo slahkan masuk, silahkan

  dudukChairul saleh                 : ‘terima kasih Bu !”Fatmawati                    : Sama-sama  (sambil tersenyum ) kalau begitu saya

  panggilkan dulu kangmas Fatmawati akhirnya pergi meninggalkan para pemuda di ruang tamu dan kemudian ia menemui Soekarno Soekarno                     : “saat fatmawati menghampiri Soekarno di ruang baca.

  Soekarno betanya “Siapa Bu yang datangFatmawati                    : itu para pemuda datang mereka ingin  berbicara penting

  katanya Soekarno                     : (Soekarno kemudian beranjak dari kursi dan pergi untuk

  menghampiri para pemuda  Akhirnya Soekarno datang bersama fatmawati kemudian para pemuda berjabat tangan dengan Soekarno. Dan menceritakan maksud kedatangan mereka. Fatmawatipun pergi meninggalkan Soekarno dan para pemuda. Fatmawati                    : Ya sudah kang mas saya kembali ke belakang dulu. Masih

banyak pekerjaan yang belum saya kerjakan. Oh ya tuan-tuan ini mau minum apa, biar saya ambilkan dulu !

Soekarno                : “Saya dengar dari istri saya katanya ada yang ingin kalian     bicarakan memang apa

Chairul saleh            : “Kami ingin membicarakan tentang keinginan kami untuk secepatnya Indonesia memperoklamsikan kemerdekaannya

Soekarno                : “Maksud kalian apa saya tidak mengerti?Chairul saleh            : maksud kami adalah menginginkan  agar secepatnya Indonesia

memproklamasikan kemerdekaannyaSoekarno                : “Lalu kenapa kalian ingin memproklamasikan kemerdekaan

Indonesia

Page 7: 23 June 2009

Sutan sahir              : “Karena inilah kesempatan yang baik bagi kita semua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, karena Jepang sudah menyerah pada sekutu

Soekarno                : “Apa kalian tidak memikirkan bahaya apa saja apabila bila kita tetap nekad memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Apa lagi kekuatan militer Jepang yang masih berada di Indonesia mampu menggagalkan rencana untuk memperoklamasikan Indonesia

Sutan sahir              : “Yang jelas kami menginginkan kemerdekaan Indonesia secepatnya!

Soekarno                : “Apa ini tidak terlalu tergesa-gesa ! sedangkan kebenaran berita menyerahkan Jepang kepada sekutu masih di ragukan, lebih baik kita cek dahulu dari sumber yang resmi

Sutan sahir              : “Jadi usulan kami belum dapat di setujui tapi saya yakin berita tersebut benar adanya

Soekarno                : “Nanti saja kita bicarakan lagi lebih lanjut dengan anggota PPKI lainnya karena saya sendiri tidak bisa mengambil keputusan sendiri

Sutan sahir              : “Ya sudah kalau memang keputusan Bung Karno seperti itu apa boleh buat

Chairul saleh            : “Mungkin pembicaraan ini kita cukupkan sekian saja karena sudah terlalu malam. Sebelumnya kami meminta maaf mungkin kedatangan kami menganggu waktu istirahat Bung

Soekarno                : “Tidak apa-apa, silahkan! (Merekapun berjabat tangan dan berpamitan pulang)malam harinya para pemuda mengadakan rapat lagi tepatnya jam 20.00 WIB untuk membahas mengenai sikap Soekarno yang kurang mendukung keinginan para pemuda. Chairul saleh            : “Bagaimana kalau apa yang kita bicarakan ini kita rundingkan

kembali dengan Soekarno dan Moch Hatta Semua yang hadir    : SetujuAkhirnya mereka berangkat ke rumah Soekarno, tak lama kemudian mereka sampai di rumah Soekarno Chairul saleh                 : “Asalamu’alaikum !”Fatmawati                    : “Oh mancari Kang Mas ada didalam, ayo masuk wah kebetulan

sekali yah, tokoh-tokoh tua juga sedang berkumpul disiniSukarni                         : Apa Bu,tokoh tua juga ada disini ?                                    (Sukarni bertanya dengan penuh rasa kaget)

Page 8: 23 June 2009

fatmawari                : “Ya ada, seperti Moch Hatta, Dr Samsi, Buntaran, dan yang lainnya, maaf saya keasyikan ngobrol, mari masuk, silahkan duduk, saya penggilkan dulu Kang Mas

sukarni                         : “Silahkan Bu ! Tidak lama kemudian Soekarno datang bersama tokoh-tokoh tuaChairul saleh            : “Maaf Bung, lagi-lagi kami menganggu waktu andaSoekarno                : Ah tak apa-apa, lalu apa yang ingin kalian bicarakanChairul saleh            : “Begini, Bung sendiri sudah tehukah bahwa kami menginginkan

Indonesia segera memproklamasikan kemerdekaannyaSoekarno                : “Yah saya tahu, kalian begitu menginginkan Indonesia segera

memperoklamasikan kemerdekaan, sama saya juga menginginkanLatif Hendraningrat  : :Lalu kenapa Bung tidak menyetujui, kalau Bung menginginkan

kemerdekaan IndonesiaSoekarno                : “Saya tidak bisa seenaknya menyetujui usul anda, tanpa mengadakan

rapat dahulu dengan anggota PPKISutan sahir              : :Saya berharap Bung tidak akan mengadakan rapat dengan anggota

PPKI, karena yang saya takutkan nanti Jepang malah mengetahui rencana ini Bung, kita tahukan PPKI memang di bentuk oleh Jepang

Soekarno                : “Yah saya tahu itu bahwa memang PPKI itu dibentuk oleh Jepang, tapi itu merupakan satu-satunya jembatan bagi kita unruk memperoklamasikan kemerdekaan Indonesia

Chairul saleh            : “Tetapi kami tidak ingin Jepang ikut campur tangan dalam rencana ini Bung!

Ahmad Soebarjo     : “Jadi maksudnya kita memutuskan segala ikatan dengan Jepang, begitu kan

Sutan sahir              : yah begituSoekarno                : “Tetapi saya tidak menyetujuinya, lebih baik kita bicarakan masalah

ini dengan anggota PPKI< agar nantinya saat memperoklamasikan kemerdekaan Indonesia kita tidak mengalami banyak masalah

Sutan sahir              : TapiSoekarno                : (Memotong pembicaraan sutan sahir) “Tidak ada tapi-tapiab yang

tidak akan mengikuti keinginan kalian (dengan nada bicara yang tinggi. Sambil emosi yang meluap luap)

 Semakin a lot perundingan, para pemuda dan Soekarno berisitegang keadaan semakin panas. Tiba-tiba Moch Hataan datang Hatta                       : “Asalamu’alaikum”!

Page 9: 23 June 2009

Soekarno                : “Waalaikum salam!”Hatta                            : “ada apa ini para pemuda dan tokoh Bung datang berkumpul di

siniSoekarno                : “Ah tidak apa-apa saya senang sekjali Bung datang kemari. Kami

sedang membicarakan keinginan para pemuda iniHatta                       :”Memang apa keinginan para pemuda itu, yang saya dengar kalau

tidak salah mereka ingin memproklamasikan kemerdekaan IndonesiaSoekarno                : “Yah benar sekali itu yang mereka inginkan, tepi yang saya tidak

setujui karena saya tidak bisa mengambil keputusan ini sendiriHatta                       : “Bagaimana kalau kita rundingkan dulu masalah ini tanpa para

pemuda, kita renungkan bersama para tokoh tuaSoekarno                : “Baiklah saya setuju!”Hatta                       : tapi bagaimana dengan para pemuda iniSoekarno                : “Biarkan para pemuda itu duduk di serambi belakang (Pemuda keluar dari rumah Soekarno dan menunggu tokoh tua yang berunding. Mereka menunggu di serambi belakang)(Bung Karno dan Bung Hatta serta para tokoh nasionalis tua berunding Hatta                            : “Lalu apa yang sekarang kita lakukan sedangkan para pemuda

terus mendesak agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Soekarno                : “tapi kita tidak tahu kebenaran berita tersebut, lagi pula kalau memang Berita tersebut benar tentu saja seharusnya kitalah dahulu yang mengetahuinya.

Hatta                            : Jadi maksud bung kita tidak akan mengikuti keinginan para pemuda

Soekarno                : “benar, karena yang saya takutkan natinya malah terjadi  prtumpahan darah, mengingat kekuatan militer masih siap siaga dan kuat disini.

Buntaran                 :” Ya sudah bagaimana  kalau keputusan anda dan bung Hatta ntuk tidak menyetujui keinginan para pemuda ini kita sampaikan kepada para pemuda”

Hatta                            : ‘Ya sudah ayo kita hampiri mereka! (kemudian para tokoh nasionalis tua itu beranjak keluar dan menemui para pemuda yang sejak tadi menunggu di serambi belakang. Suhud                     : “bagaiman keputusan anda Bung.?”

Page 10: 23 June 2009

Soekarno                :”Saya tetap pada pendirian saya, bahwa kami (sambil menunjuk Bung Hatta) tetap tidak ingin memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sekarang ini, jika memang kalian tetap pada pendirian kalian maka saya persilahkan anda untuk mencari tokoh yang lain.

 Sutan Syahrir           :!bailah kalau pendirian adan seperti itu kami tidak bisa melakukan

apa-apa , tapi yang jelas kami akan berusaha memproklamasikan kemedekaan Indonesia secepatnya.

 Akhirnya para pemudapu poergi dari rumah Soekarno dengan kekecewaan yang mendalam. Pukul 24.00menjelang tanggal 16 Agustus 1945 para pemuda mengadakan rapat di

Cikini. Chaerul Saleh          : sekarang apa yang harus kita lakukan Soekarno dan Moh. Hatta

tetap bersikeras tidak menyetujuinya usul kita apalagi mereka berdua tetap tidak percaya dengan berita itu.

 Sutan syahrir         :”Begini saja saya mengusulkan agar Bung Karno dan Moh. Hatta kita

aasingkan saja keluar Jakarta untujk menjauhkan mereka dari pengaruh  Jepang, apakalian setuju usul saya!

 Sukarni, Yusup Kamto, Muwardi berkata “ Setuju “ Sutan syahrir           : “tapi yang saya bingungkan kita akan membawa kedua tokoh

Nasionalis itu kemana ya!.Sukarni                   : ‘Kema yah ( sambil kebingungan )Muwardi                 : “Kita serahkan saja tugas ini kepada Singgih dan latif Hendra

ningrat karena mereka berdua adalah anggota peta”Latif                        : baiklah akan saya pikirkan dahulu (sekitar 15 menit mereka berpikir)latif                          : “Bagaimana kalau kita bawa mereka dua ke renggas dengklok dekat

Karawang, karena disana dekat dengan tempat salah satu pemusatan tentara peta yang keamanannya terjamin

singgih                     : “benar, apa kalian menyetujuinya?”suhud                      : :”Bagus, kami setuju dengan rencana tersebut  

Page 11: 23 June 2009

latif hendra ningrat dan Singgihpun kemudian pergi ke rumah Soekarno. Tidak lama kemudian mereka sampai di rumah Soekarno. Singgi                           : “Tok.tok.tok….Assalamualaikum?”Fatmawati               : “Walaiku salam (Fatmawati membuka pinti) Ada apa yach malam-malam begitu bertamu kemari Latif                             : “maaf Bu, kami tidak bermaksud mengenaggu waktu istirahat

Ibu, tapi ada hal penting yang harus kami bicarakan dengan Bung Karno, sekali lagi kami minta maaf!

Fatmawati                    : “Ah tidak apa-apa, mari silahkan masuk, silahkan duduk!Latif                             : “Terima kasih bu” (Fatmawati : Sama-sama, kalau begitu tunggu sebentar yah saya panggilkan dulu Bung Karnonya. Oh ya hampir lupa kebetulan Bung Hatta juga menginap di sini katanya mereka ingin membahas keinginan para pemuda, apa Bung Hatta juga perlu saya panggilkan” latif                               : “Ya, Bu silahkan(Fatmawati meninggalkan mereka berdua, ia menemui suaminya dan Bung Hatta untuk memberitahukan kedatangan para pemuda. Tak lama kemudian Bung Karno datang ia di temani oleh Moch Hatta dan Fatmawati singgih dan Latif       “ Asalamu’alaikum”(Mereka berdiri saat Soekarno dan Moch Hatta datang) soekarno                 : Waalaikum salam ayo silahkan duduksinggih                     : Terima kasihsoekarno                 : Sama-sama. Bu kok tamunya tidak di tawarin minum dulufatmawati                : Maaf Kang Mas Ibu lupa. Oh ya tuan-tuan ini mau minum apalatif                          : Ah ngerepotin Bu, enggak usah saja Bu, terima kasihfatmawati                : Biasa saja, jadi tuan ini mau minum apasinggih                     : Apa saja Bu yang penting halalfatmawati                : Ya sudah saya kebelakang dulu(Fatmawati pergi ke dapur untuk membuat air minum)soekarno                 : “Katanya kalian ingin membicarakan hal yang penting dengan saya,

memang hal yang penting hal apa. Apa berkaitan dengan yang tadi siang

Page 12: 23 June 2009

singgih                          : “Sebelumnya kamu meminta maaf lagi-lagi kami mengganggu waktu istirahat Bubg, memang kedatangan kamu kemari memang berkaitan dengan kejadian tadi siang

soekarno                 : “Begini Bung, kami sebenarnya di utus kemari karena mendapat tugas untuk membawa Bung Karno dan Bung Hatta keluar kota

hatta                        : “Kemana ?”latif                          :”Kekerawang!”hatta                        : “Memang kenapa kamu harus pergi keluar kota?”latif                          : “Untuk menghindar dari pengaruh Jepang!Hatta                       : “Tapi kalau kami tidak mau?”Latif                        : “Sekarang tuan bukan waktunya untuk berdebat cepat ikut kamiBung Karno            : “Apakah ini semua penting?”Latif                             : “Sangat penting!”Bung Karno            : “Baiklah kami akan ikut tapi saya berpamitan dulu dengan

Fatmawati (Soekarno pergi dan menemui Fatmawati di dapur)soekarno                 : Bu, Kang Mas pamit dulu, Kang Mas akan pergi dengan para

pemuda itu fatmawati                : “Kemana?”soekarno                 : “Ke Karawang!”fatmawati                : “Bolehkah saya ikut. Saya merasa akhir-akhir ini perasaan saya

tidak enak tentang Kang Mas!”soekarno                 : “Baiklah ayo cepat!”(Akhirnya Soekarno dan Fatmawatipun kembali)singgih                          : Maaf Bung, apakah sudah selesai bicaranya kalau begitu

bagaimana kalau sekarang kita berangkat agar lebih cepatBung Karno            : “Ya sudah kita berangkat Akhirnya mereka meninggalkan rumah Soekarno dan langsung menuju Renggas dengklok di Karawang disana para pemuda sudah berkumpul menunggu kedatangan Soekarno dan Moch Hatta. Setelah lama di perjalanan akhirnya mereka sampai di sebuah rumah. Di sana Soekarno dan Moch. Hatta terus di desak oleh pemuda. Namun ternyata sungguh besar wibawa mereka berdua hingga para pemuda menjadi naik pitam. Latif                             : “Bung Karno, tunggu apa lagi waktu inilah yang tepat bagi kita

semua memperoklamasikan kemerdekaan Indonesia

Page 13: 23 June 2009

Singgih                    : “Iya, sebaiknya Bung setuju usul kami ini Soekarno dan Muhammad Hatta            Terdiam ketika para pemuda terus mendesak Soekarno dan Moh Hatta agar menyetujui keinginan para pemuda. Namun Soekarno tetap saja bersikeras dengan pendirinnya

Soekarno                : Maaf tapi saya tidak bisa Jawaban itu membuat Singgih geramSinggih                    : “(Sambil menodongkan pistol kepada Soekarno“Proklamasikan Kemerdekaan Indonesia secepatnya kalau tidak kubunuh kau, apa kau

mau seperti ini door door door (Peluru pistol keluar dari pistol)Fatmawati yang melihat kejadian ini kemudian ia menghampiri dan merangkul Soekarno dan bertanya kepada para pemuda Fatmawati               : “apa-apaan kalian ini(Ia bertanya dengan penuh emosi yang meluap-luap)sutan sahrir              : “Tidak apa-apa bu, kami cuma ingin memproklamasikan Indonesia

secepatnya. Namun Bung Karno menolakfatmawati                : “Ya saya tahu itu. Tapi jalannya tidak seperti ini. Lagi pula kalau

Kang Mas menolak untuk memperoklamasikan kemerdekaan Indonesia saat ini. Pasti ia mempunyai alasan tersendiri

sukarni                    : “Lalu dengan jalan bagaimana padahal keputusan ada di tangan kedua pemimpin tersebut

fatmawati                : “Ya sudah bagaimana kalau masalah kalian ini kita bicarakan lagi dengan kepala yang dingin tidak dengan emosi

akhirnya Fatmawatipun berhasul meyakinkan para pemuda agar kembali berunding dengan Soekarno dan Moh Hatta.Disisi lain achmad Soebardjo yang mengetahui keberadaan Soekarno dan Fatmawati serta

Muhamad Hatta berusaha meyakinkan para pemuda agar kedua tokoh nasional itu di bawa kembali ke Jakarta

Ahmad Soebarjo     : “Sudahlah Chairul Soleh sebaliknya kalian jangan menahan Soekarno dan Moch Hatta

Chairul Saleh           : “Memang kenapa, apa alasannya?”Ahmad soebarjo      : “Rasanya tidak arif apabila kita menahan kedua tokoh nasionalis ituChairul saleh            : “Tidak arif bagaimana, kami sudah mencoba untuk meyakinkan

mereka namun tetap saja mereka menolak

Page 14: 23 June 2009

Ahmad soebarjo      : “Saya yakin kalau kita bicara baik-baik pasti keinginan kalian akan di penuhi saya akan membantu kalian untuk meyakinkan Soekarno dan mhch Hatta

Yusuf Kamto           : “Apakah yang Bung bicarakan ini dapat di pegang, yang kami inginkan adalah kemerdekaan Indonesia besok harus di laksanakan

Ahmad soebarjo      : “Percayalah, saya akan meyakinkan tokoh nasionalis itu agar menyetujui usul kalian itu!

Chairul saleh            : “Ya sudah sebaiknya kita sekarang berangkat ke Kerawang untuk menjemput Soekarno dan Moch hatta

Yusuf kamto            : “Baiklah ayo kita berangkat!Kemudian mereka berangkat ke Renggas dengklok tepatnya sampai di Renggas dengkok

dan bertemu dengan Soekarno dan Moch Hatta. Setelah sampai mereka langsung berangkat legi menuju. Hotel Den Hendels tepatnya di Jakarta. Akhirnya mereka sampai di Hotel Hendels. Kemudian Sayuti melik menghampiri pelayan restoran

Sayuti melik             : “Maaf tuan apakah ada kamar Hotel yang masih kosong untuk kami!

Pelayan hotel           : “Maaf tuan semua kamar hotel di sini sudah penuh!Sayuti melik             : Oh begitu, terima kasihKemudian Sayuti melik kembali menemui Ahmad subarjo dan yang lainnya.Sayuti melik             : “Kamarnya penuh, bagaimana yachAhmad subarjo        : “Bagaimana kalau kita kerumah Laksamana maeda, ia adalah teman

karib saya dia juga orang yang mendukung mekerdekaan IndonesiaSayuti melik             : “Kalau tidak salah juga dia merupakan salah satu perwira tinggi

angkatan darat, jadi pasti keamanannya terjaminSuhud                     : saya setuju, karena seperti yang dikatakan sayuti melik

keamanannya terjaminSoekarno                : Ya sudah kalau begitu kita berangkat ke rumah kalsamana maeda Mereka berangkat ke rumah Laksamana maeda tidak lama kemudian mereka sampai di rumah laksamana maedaSoekarno                : “Tok.tok.tok…! Permisi selamat malam bisakah kami bertemu

dengan tuan laksamana maedaOrang Jepang          : Baiklah silahkan masuk tuan ada di dalam Hatta                            : terima kasih(Sesaat kemudian Soekarno dan Moch Hatta bertemu dengan laksamana maeda)soekarno                 : “Selamat malam tuan?”laksamana maeda    : (membalas sapaan dengan senyuman) ada apa, kenapa tuan-tuan ini

mendatangi kediaman saya. Apakah ada masalah yang serius

Page 15: 23 June 2009

Soekarno                : Maaf mungkin kedatangan kami menganggu waktu istirahat tuanLaksamana sobarjo   : Kami bermaksud untu menanyakan apakah benar berita

menyerahnya Jepang terhadap sekutu itu?Laksamana maeda   : “Dari mana tuan mendengar berita tersebutSoekarno                     : Kami mendengar berita tersebut dari salah satu pemuda. Katanya

dia mendengar berita tersebut dari radio luar negeriLaksamana maeda   : Memang benar berita tersebut tapi kami masih merahasiahkannya

agar tidak timbul kekacauan karena kami masih bertanggung jawab terhadap keamanan Indonesia

Moch Hatta             : Sekarang tuan yang kami bingubngkan para pemuda terus mendesak agar memperoklamasikan kemerdekaan Indonesia secepatnya

Laksamana maeda   : “Wah itu merupakan gagasan yang bagus mengingat inilah waktu yang tepat untuk memperoklamasikan kemerdekaan Indonesia

Moch Hatta             : “Berarti tuan menyetujuinyaLaksamanmaeda     : (Membalas dengan senyuman)Ahmad soebrjo       : “Begini, kalau maeda mengiinkan kami boleh meminjam rumah

andaLaksamana maeda   : “Boleh memang untuk apaHatta                       : “Kami telah sepakat apabila berita itu kami akan secepatnya

memproklamasikan kemerdekaan Indonesia rencananya kami akan memperoklamasikan kemerdekaan Indonesia besok pagi jadi apakah tuan keberatan

Laksamana maeda   : “Tidak tidak sama sekali lalu persiapan apa yang akan kita siapkan!Soekarno                : rencanaynya kami akan membuat naskah proklamasi kemerdekaan

IndonesiaLaksamana maeda   : ya sudah ayo sekarang kita buat bersama naskahnya di ruang

makan. Kita tidak boleh membuang waktu percuma kan!Soekarno                : “Rasanya terlalu banyak orang kalau kita mengerjakan naskah ini

bila bersama bagaimana kalau anda, Bung Hatta, ahmad subarjo serta saya mengerjakan naskah ini bersama

Suhud                           : Benar, sebaliknya memang merekalah yang harus menuju ruang makan

Hatta                            : “Tapi bagaimana dengan para pemuda iniLaksamana maeda   : Biarkan mereka disini menunggu kita, ayo Soekarno. Moch Hatta,

Ahmad subarjo dan laksamana maeda bersama beberapa pemuda pergi ke ruang makan untuk menyusun naskah proklamasi

Soekarno                : Biarkan saya yang mencatatAhmad subarjo        : BaiklahSoekarno                : untuk pembukaan kata apa yang bagus ya ?”

Page 16: 23 June 2009

Hatta                       : “Bagaimana untuk pembukaannya kata proklamasi sepertinya kata itu cocok untuk naskah ini

Soekarno                :Yah bagus (Kemudian ia menulisnya dalam secarik kertas) lalu untuk isinya apa?

Ahmad subarjo        : “Tunggu sebentar biarkan saya berpikir dulu (sekitar 5 menit ahmad subarjo berpikir)

Yach, bagaimana kalau begini “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia

Hatta                            : “Itu bagus, karena kan naskah ini menyatakan kemerdekaan bangsa kita (kemudian ia menulisnya dalam secarik kertas)

Soekarno                : “Itukan bagian dari pembukaan sekarang isinya bagaimana?”Hatta                       : “Sayasudah berpikir begini “Hal-hal yang mengenai pemindahan

dan kekuasaan dll, di selenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya

Soekarno                : Yah bagus semua sudah selesai, jadinya seperti iniAhmad soebarjo      : “Alhamdulillah akhirnya selesai jugaBagaimana kalau sekarang kita menghampiri para pemuda apakah mereka menyetujuinya

isi naskah iniSoekarno                : Ya sudah ayo kita menghampiri para pemuda(Tidak lama kemudian mereka sampai di serambi belakang di tempat para pemuda

menunggu)sutan sahrir              : “Bagaimana naskahnya sudah selesai Bung”soekarno                 : “Sudah akan saya bacakan 

PROKLAMASIKami bangsa Indonesia dengan ini kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal yang mengenai pemindahan dan kekuasaan dll.Di laksanakan dengan djara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

 Djakarta, 17 – 8- 05

Wakil Bangsa Indonesia Soekarno                ; Mungkin ada yang ingin menambahkanSukarni                   : Ada, kata-kata ada sedikit yang janggal jadi perlu di beri perubahan

sedikitSoekarno                : “Baiklah kita akan memperbaikinya sekali lagi!”Sukarni                   : “Itu lebih baik!”Akhirnya mereka merundingkan kembali naskah tersebut bersama para pemuda.

Kemudian mereka melakukan sedikit perubahan pada naskah

Page 17: 23 June 2009

proklamasi itu. Setelah selesai melakukan sedikit perubahan kemudian Soekarno menyruh sayuti melik mengetik naskah proklamasi

Soekarno                : Maaf, apakah sayuti melik bisa mengetik naskah ini dengan perubahan-perubahannya?”

Sayuti melik             : Saya bisa, BungSoekarno                : Ya sudah tolong ketik naskah ini dengan cepatSayuti melik             : Baiklah Sayuti melikpun mengetik naskah proklamasi, kemudian setelah selesai. Naskah itu di berikan pada Soekarno Sayuti melik             : Ini Bung naskahnya sudah selesai sekarang tinggal siapa yang akan

menandatanagni naskah iniSoekarni                 : Terima kasih, bagaimana kalau naskah ini yang menandatangi

adalah kita semua yang hadir disiniHatta                       : Yah saya setuju. Agar mengacu pakta deelaration of independceChairul saleh            : Saya tidak setuju lebih baik anda dan Bung Hatta yang

menandatangi naskah tersebut atas nama bangsa IndonesiaSemua yang hadir    : “Setuju, itu lebih baik !”Soekarno                : Nah sekaraqng naskah sudah selesai lalu, sekarang yang harus kita

pikirkan di mana naskah ini akan di bacakanSukarni                   : Kami sudah menyiapkan tempat kita akan membacakan teks

proklamasi iniHatta                       : “Dimana?”Sukarni                   : “Dilapangan Ikada”Soekarno                “ Saya menolak”Sukarni                   : “Kenapa anda menolak?”Soekarno                : “Karena kalau kita membacakan naskah proklamasi ini di lapangan

Ikada pasti akan timbul bentrokan dengan tentara JepangSukarni                   : Iya juga yah ! Kenapa saya tidak berpikir sampai kesana?Soekarno                : Bagaimana kalau kita membacakan teks proklamasi ini di rumah

sayaHatta                       : Saya setuju, mungkin dengan itu tentara Jepang tidak akan

mengacaukan  proklamasi kemerdekaan IndonesiaSemua yang hadir    : setujuLaksamana maeda   : :”Ya sudah naskah sudah selesai disusun bagaimana kalau kalian

pulang ke rimah masing-masing dan istirahat saja lihat kalian begitu lelah. Pagi harinya kita berkumpul di rumha Soekarno

Page 18: 23 June 2009

Soekarno                : “Yah kami semua sudah lelah, sebaiknya kami semua pulang saja, sebelumnya kami ingin mengucapkan terima kasih atas izin tuan

Laksamana maeda   ; Ah tidak apa-apaAhmad                    : Ya sudah tuan kami pamit duluAkhirnya dini harinya tanggal 17  semua pulang ke rumah masing-masing, tetapi para

pemuda tidak pulang ke rumahnya, tetapi mereka menghimpun rekan-rekannya untuk menyebar luaskan berita itu kesegenap masyarakat Jakarta.

Dengan cepat mereka mempersiapkan fomlet-fomlet dan mobil pengeras suara untuk memberitahukan kepada penduduk tentang kabar gembira ini.Pagi harinya pemuda-pemuda dan penduduk sekitar berkumpul di Jakarta yaitu di rumah Ir. Soekarno.Muwardi                 : “Bung karno para pemuda telah berkumpul mereka sudah tidak lagi

untuk m,endengarkan anda membacakan naskah proklamasiSoekarno                : “Tunggulah sebentar Bung Hatta belum datang saya akan menunggu

Bung Hatta duluMuwardi                 : “Ya sudah silahkan, tapi jangan terlalu lama. Kami sudah tidak

sabar untuk menunggu senebtar lagi kan sudah pukul 10.00Soekarno                : “Ehm … baiklahSuhud                     : (Tiba-tiba datang)“Maaf Bung Karno apakah kita akan melakukan pengibaran bendera merah putihsoekarno                 : Ya haruslah, itukan sebagai simbol kalau kita telah merdekasuhud                      : belumsoekarno                 : Ya sudah biar saya yang mengurus benderanya, saya akan menyuruh

Fatmawati menjahitkannya sekarang jugasuhud                      : Ya sudah Bung biar saya yang mencari tiang bambunya, saya

permisi dulusoekarno                 : Ya silahkan, Wikana tolong panggilkan Fatmawati kemari”Wikana                   : “Baik Bung Karno”Sesaat kemudian Fatmawati datangFatmawati               : “Ada apa Kang Mas memanggil saya?”Soekarno                : Bu tolong jahit bendera merah putihnya disini. Bukankah ibu

mempunyai kain merah putihFatmawati               : Entahlah tapi seingat kain itu sudah ibu buat rokSoekarno                : Pokonya Kang Mas minta sekarang jahitkan benderanyaKemudian fatmawati mancari kain itu, setelah selesai mencari fatmawati menjahit dengan

tangan. Tidak lama kemudian Moch Hatta datang tepat pukul 19.45Hatta                       : Maaf terlalu lama menunggu saya

Page 19: 23 June 2009

Soekarno                : Ah tidak apa-apa, kebetulan persiapannya juga beleum selesaiHatta                       : Memang persiapan apaSoekarno                : Persiapan untuk pengibaran bendera sedang menjahit benderanya

sebentar lagi juga sudah beres Akhirnya segala persiapan proklamasi kemerdekaan Indonesia selesai benera sudah dijahit, begitu pula dengan tiang bambu suhud sudah mencarinya. Kemudian latif menjemput kedua tokoh nasionalis itu di kamar Soekarno Latif                        : Maaf Bung bisakah proklamasi ini segera di mulaiSoekarno                : “Bisa, ayo silahkan kita menuju halaman depan(Saat Soekarno dan Moch Hatta keluar dari rumahnya dan naik ke panggung mereka di

sambut dengan antusiasme yang penuh oleh para penduduk yang sudah berkumpul)

tak lama kemudain Soekarno membacakan pidatonyaassalamu’alaikum Wr. Wb 

Pada kesempatan pagi ini kita berkumpul untuk menjadi saksi dari peristiwa  penting yang selama ini kita tunggu, yaitu peristiwa yang selalu menjadi impian dan harapan sebagai bangsa yang terjajah. Dari bertahun-tahun yang lalu sampai beratus-ratus tahun yang lalu kita memperjuangkan kemerdekaan kita agar bebas dari penjajahan.

Hari ini kita mengibarkan kemerdekaan kita dengan harapan dapat menjadi tombak agar kehidupan kitaa bisa berubah menjadi lebih baik labih layak dari sebelumnya.

Terima kasih kepada para pejuang yang kokoh dan teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsa kita dengan segenap jiwa dan raganya dari mulai penjajahan Bangsa Portugis, Inggris, Jepang dan Belanda. Kita selama ini seolah seperti orang yang selalu tunduk di hadapan penjajah. Kita seolah mengabdi kepada mereka. Namun di dalam hati kita, kita tetap menjungjung tinggi keinginan dan impian kita untuk kemerdekaan bangsa kita.

Kini semua harapan kita itu bukanlah sebuah angan-angan belaka, melainkan sebuah perjuangan yang hasilnya dapat kita saksikan saat ini, prolkamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia, dengan di tandai pembacaan Naskah proklamasi.      

Page 20: 23 June 2009

PROKLAMASIKami bangsa Indonesia dengan ini kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal yang mengenai pemindahan dan kekuasaan dll.Di laksanakan dengan djara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

 Djakarta,hari, 17  Boelan 8 tahoen 1945

Atas nama bangsa Indonesia 

Soekarno Hatta 

Demikianlah naskah Proklamasi ini sebagai tanda bahwa bangsa kita bangsa indonesia yang telah merdeka. Kemudian sebagai simbol kebebsan dan kemerdekaan kita, kita kibarkan  bendera merah putih. Suhud dan latif kemudian mengibarkan bendera merah putih.Latif dan suhud kemudian mengibarkan bendera merahputihLatif dan Suhud maju kedepanLatif                 : Siap Grak, jalan ditempat grak, maju jalanSetelah itu ia mengibarkan bendera merah putihLatif                 : Hormat Grak (seluruh yang hadir disana memberi hormat kepada sang saka merah putihLatif                 : Tegak grak  Dengan ditandai pembacaan naskah proklamasi dan pengibaran sangsaka merah putih maka sejak itu bangsa kita lepas dari belenggu penjajahan. Namun kemudian yang harus mereka lakukan adalah bagaimana mempertahakan kemerdekaan itu.

24 Komentar

Filed under Uncategorized

SukaBe the first to like this post.

24 Responses to Naskah Drama Rengasdegklok

1. fathoni

November 18, 2009 pukul 11:14 am

terima kasih saya lagi butuh

Page 21: 23 June 2009

Balas

2. syifa

Januari 20, 2010 pukul 12:43 pm

apakah ada dialong yang lain mengenai hari menjelang proklamasi ???

Balas

o sriyandi

Februari 10, 2010 pukul 2:25 am

ada sebenarnya, tapitinggal kreatifitas kita khok, selamat berkreatifitas ajaaaaaaa

Balas

3. ade riski

Februari 5, 2010 pukul 11:58 am

maaf ya apa gak kepanjangan naskah teskproklamasi ya ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….????????????????????????????????????

Balas

o sriyandi

Februari 10, 2010 pukul 2:24 am

namanya juga naskah drama, pastilah panjang, kalo nggak mau panjang ya jangan drama donk, di tv aja drama berbulan-bulan, panjangnya sepanjang apa coba?

Page 22: 23 June 2009

Balas

angel

Oktober 20, 2010 pukul 8:59 am

haahaaaaaaaaa … betulll

4. mita

Februari 9, 2010 pukul 8:19 am

situs ini sangat bermanfaat,karena kita bisa tau bagaimana detik-detik saat proklamasi kemerdekaan akan di kumandangkan.

Balas

o sriyandi

Februari 10, 2010 pukul 2:23 am

bagi-bagi info pendidikanlah, khan ada manfaatnya, benerrrr?

Balas

5. jamblang

Februari 15, 2010 pukul 8:00 am

tolong bikinin darama tentang mempersiapkan menghadapi ujian nasional entar malam harus udah jadi ya?????????????????

Balas

o sriyandi

Februari 16, 2010 pukul 1:14 am

Page 23: 23 June 2009

kalo mau ke jakarta ada yang mau naik bus ekonomi, kalau anda? mau naik bus ekonomi, patas ac, patas eksklusif?????????????

Balas

6. jamblang

Februari 15, 2010 pukul 8:03 am

tolong buatin darama tentang mempersiapkan menghadapi ujian nasional ya entar malam harus udah jadi ya terima kasih????????????

Balas

o sriyandi

Februari 16, 2010 pukul 1:09 am

drama ujian nasional?, gampang itumah atuhhhhhhhhhh, mauuuuuuuuuuuu?????????????????

Balas

ronta

September 5, 2010 pukul 9:37 am

maw….

7. ardy setiawan

Maret 26, 2010 pukul 12:39 pm

ini khan bagian dri sejarah bangsa indonesia

Balas

Page 25: 23 June 2009

November 15, 2010 pukul 11:29 am

ahhhh betul banget pas banget saya juga lagi butuh teks ini ahhhhhh bagus banget euyyyy

Balas

o djoeweri sriyandi

Januari 15, 2011 pukul 12:37 pm

kemanfaatan blog ini tidak dibatasi oleh siapapun, termasuk anda, terima kasih ada manfaatnya buat anda

Balas

13. vitaa

November 15, 2010 pukul 11:29 am

-_-

Balas

14. cah hidayatullah semarang

November 23, 2010 pukul 10:29 pm

PERJUANGAN YG BAGUS,SEMANGAt 45!!!

Balas

15. djoeweri sriyandi

Januari 15, 2011 pukul 12:27 pm

buat fariha, makasih banget dah liat blog saya, dengan senang hati silakan di buat dramanya, kalo bisa difilm kan, kebetulan naskah itu saya juga gunakan sebagai

Page 26: 23 June 2009

bahan mentah kegiatan role playing mata pelajaran sejarah di sekolah kami, ada contohnya di fb saya, thank”s

Balas

16. djoeweri sriyandi

Januari 15, 2011 pukul 12:35 pm

buat irfa, makasih dah nengok blog saya, indonesia harus punya jati diri dan harga diri di mata dunia internasional, makanya indonesia harus tetap berkibar di belahan dunia, thank”s

Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *

Nama *

Email *

Situs web

Anda dapat menambahkan HTML serta atribut-atribut berikut: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <pre> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>

Beritahu saya mengenai komentar-komentar selanjutnya melalui surel.

Beritahu saya tulisan-tulisan baru melalui surel.

Halaman

Page 27: 23 June 2009

o

o

o About o Diktat Sejarah SMP Kls   IX o Manipulasi Sejarah di Lokasi   Sejarah o Pembelajaran   Variatif

 April 2009

S S R K J S M« Mar   Mei »  1 2 3 4 56 7 8 9 10 11 1213 14 15 16 17 18 1920 21 22 23 24 25 2627 28 29 30  

Arsipo Mei 2010 o Maret 2010 o Oktober 2009 o September 2009 o Mei 2009 o April 2009 o Maret 2009

Blogrollo dunia pendidikan o Pendidikan sejarah o WordPress.com o WordPress.org

Metao Daftar o Masuk log o RSS Entri o RSS Komentar o WordPress.com

Pencarian untuk:

Tulisan Terkinio Pendidikan Lingkungan   Hidup o Metode Belajar   Jigsaw o Peristiwa G 30 Sep   1965 o Kofrontasi dengan   Malaysia

Page 31: 23 June 2009

o Soal-soal Ulangan Tahap 3 Semester 2 Kelas 3 o METODE ROLE PLAYING o Sekitar CIA dan G.30.S/PKI/1965 o Manipulasi Sejarah di Lokasi Sejarah

Flickr Photos

More Photos Kategori

o Uncategorized Kategori

o Uncategorized

RIWAYAT HIDUP SINGKAT DAN PERJUANGAN IBU FATMAWATI RIWAYAT HIDUP SINGKAT DAN PERJUANGANIBU FATMAWATI

I. Lahirnya Seorang Pejuang Wanita Sejati Orang boleh beranggapan, bahwa Bengkulu masih tergolong wilayah periferal (wilayah pinggiran) yang dianggap jauh dari arus aktivitas kehidupan baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Akan tetapi sejarah telah membutktikan, bahwa di Bengkulu inilah telah banyak melahirkan tokoh-tokoh patriotik yang mampu mengukir namanya di panggung sejarah Nasional. Dan di Bengkulu inilah telah dilahirkan seorang anak perempuan yang ternyata dikelak kemudian hari menjadi seorang ibu negara (first lady) Republik Indonesia, dan terlibat langsung dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.Di tengah-tengah merebaknya semangat patriotik serta bergolaknya pergerakan nasional, telah lahir seorang anak perempuan yang manis, tepatnya pada hari Senin, jam 12.oo (WIB) pada tanggal 5 Februari 1923, di sebuah rumah bergandeng di kampung Pasar Malabero, Bengkulu. Oleh orang tuanya, diberilah nama Fatmawati, yang mengandung arti, Bunga Teratai. Ayahnya bernama Hassan Din dan ibunya bernama Siti Chadidjah. Sebetulnya ayahnya telah menyiapkan dua nama untuk anaknya yang akan lahir, yaitu Fatmawati dan Siti Djubaidah. Namun kemudian nama Fatmawati itulah yang diambilnya. Ayahnya, Hassan Din adalah seorang Pengurus (pemimpin) organisasi Muhammadiyah cabang Bengkulu. Di samping, juga bekerja di Borsumij (Borneo - Sumatra Maatschappij), yaitu sebuah perusahaan swasta milik orang Belanda. Akan tetapi, ketika Hassan Din dihadapkan pada salah satu alternatif pilihan, beliau memilih

Page 32: 23 June 2009

keluar dari Borsumij, dan lebih memusatkan diri pada Muhammadiyah yang dipimpinnya. Sepasang suami-istri ini selanjutnya terlibat aktif dalam perserikatan Muhammadiyah.

II. Masa RemajaPada umumnya, kehidupan keluarga sangat berpengaruh terhadap masa kecil seseorang. Demikian juga Fatmawati1. Sosialisai dan Jati-diri yang Matang Di tengah merebaknya gelombang pergerakan rakyat Indonesia yang telah dibikin sadar karena ulah kaum kolonialis, telah lahir seorang anak perempuan pada tanggal 5 Februari 1923 di Bengkulu, yang diberi nama Fatmawati, yang berarti : Bungai Teratai. Ayahnya bernama Hassan Din, seorang aktivis terkemuka organisasi Muhammadiyah di Bengkulu pada zaman itu. Bibit jati diri dengan prinsip yang teguh dan kokoh, disertai semangat kemandirian yang kuat telah tersemai dalam masa remaja seorang Fatmawati. Pengaruh sosialiasi melalui ajaran dan pengalaman dalam kehidupan keluarga dan lingkungan sosialnya, telah mampu membentuk karakter Fatmawati, menjadi seorang anak yang tidak sekedar patuh pada tradisinya, tetapi lebih cenderung untuk menyikapi segala bentuk potret kehidupan sosio-kulturalnya. Sebelum memasuki usia sekolah, Fatmawati kecil ini telah menempa diri dengan “ngaji” belajar agama (membaca dan menulis Al-qur’an) pada sore hari baik kepada datuknya (kakeknya), maupun kepada seorang guru agama, di samping membantu mengurus pekerjaan orang tuanya. Semangat untuk belajar agama secara ekstra terutama di Sekolah Standar Muhammadiyah masih terus dilakukan meskipun sudah mulai memasuki sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsch School) pada tahun 1930 (Fatmawati, 1978:20-21). Jadwal belajar yang padat dengan pemandangan sehari-hari selalu dijadikannya sebagai bahan ajaran bagi kehidupannya. Bahkan di usia yang masih remaja, atau kalau boleh dibilang masih anak-anak, Fatmawati telah mengalami pencerahan yang cukup matang sehingga mampu melampaui batas-batas nilai kapasitas umumnya anak remaja. Bersekolah sambil berjualan untuk membantu meringankan beban orang tuanya, menunggu warung, serta berobat sendiri ke rumah sakit, merupakan bukti diri akan semangat kemandirian serta rasa percaya diri yang matang, dan untuk ukuran usia yang baru menginjak tujuh tahun itu sangat mengagumkan. Bahkan salah seorang dari keluarga ibunya sempat geleng-geleng kepala karena dibikin kagum, sambil berkata: “Tema (panggilan akrabnya) tu anak yang pemberani nian, seorang ajo nyo pai ke rumah sakit, idaknyo takut-takut jo dokter” (hlm. 23).

2. Prinsip Anti PoligamiAntara masa sekolah dan masa perjuangan seringkali begitu akrab bergumul dalam entitas waktu. Oleh karenanya, tidaklah menyurutkan semangat bagi seorang Fatmawati ketika harus berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari rumah yang satu ke rumah yang lain, dari satu sekolah ke sekolah yang lain, mengikuti gerak langkah perjuangan ayahnya selaku pucuk pimpinan perserikatan Muhammadiyah di Bengkulu. Sebaliknya, pengalaman-pengalaman tersebut justru semakin menempa mentalitas kejuangannya. Terlebih setelah mengenal Bung Karno sebagai gurunya (yang kemudian menjadi kekasihnya), Fatmawati yang baru menginjak usia 15 tahun, telah mampu diajak dalam perbincangan dan diskusi mengenai filsafat Islam, hukum-hukum

Page 33: 23 June 2009

Islam, termasuk masalah gender dalam pandangan hukum Islam. Bahkan Bung Karno sendiri sebagai gurunya telah mengakui kecerdasan Fatmawati (Cindy Adams, 1966: 185-198). Karena jiwa, semangat, dan ketajaman berpikir terhadap ajaran agama Islam yang telah menempanya, serta ketajaman menyikapi fenomena sosio-kulturalnya, beliau mampu mengoperasionalisasikan fungsi rasionalitasnya sebagai pengendali dari unsur-unsur emosi yang selalu merangsang dalam setiap detik kehidupan manusia. Maka, ketika Bung Karno menyatakan keinginannya untuk memperistri beliau, meskipun secara emosional beliau juga terpikat kuat oleh Bung Karno, tetapi beliau tidaklah mudah untuk menerimanya begitu saja. Penolakan tersebut, di samping alasan-alasan yang mendasar, juga rasa emphaty terhadap sesama kaum feminis. Dan disinilah seorang Fatmawati telah matang jiwanya, meneguhkan prinsipnya untuk menolak sebuah tradisi yang bernama poligami, yang dianggap sangat tidak menguntungkan bagi kedudukan dan peranan wanita dalam kehidupan sosialnya. Bahkan kalau boleh dibilang, sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia khususnya, bagi pegawai negeri, seorang Fatmawati telah mendahului masanya dengan tekad, sikap, dan prinsip anti poligami. Oleh karenanya, sudah sangat patutlah bagi generasi muda sekarang, khususnya kaum wanita, untuk mensyukuri, menghormati, serta meneladani, nilai-nilai perjuangan Ibu Fatmawati terutama terhadap harkat dan maratabat kaum wanita Indonesia.

3. Berjuang di tengah Api Revolusi Setelah menikah secara wali pada bulan Juni 1943, Ibu Fatmawati segera berangkat ke Jakarta tidak sekedar untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri Bung Karno, pemimpin pejuang rakyat Indonesia, tetapi juga ikut berperan aktif, bergabung bersama para tokoh pejuang nasional lainnya untuk membela Nusa dan Bangsanya. Bahkan Bung Karno selaku pemimpin pejuang tidak ragu-ragu untuk sering meminta pendapat maupun pertimbangan mengenai langkah-langkah perjuangannya. Ketika Ibu Fatmawati ikut hadir pada Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia), dan usai menyaksikan pidatonya Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, yang dikemudian hari dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila itu, secara reflektif beliau memprediksikan angannya: “Inilah nantinya yang akan diterima oleh majelis, dan serasa seakan Indonesia Merdeka pada hari itu sudah terwujud” (hlm. 81; Roeslan Abdulgani, 1987: 131).Di tengah gejolaknya api revolusi, menjelang kemerdekaan (15 Agustus 1945), sekelompok pemuda pejuang bangsa yang tergabung dalam barisan PETA, telah memaksa Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera meninggalkan kota Jakarta menuju ke Rengasdengklok. Dan dalam situasi yang kritis itu, Ibu Fatmawati dengan semangat reflektif, sambil menggendong anak pertamanya Moh.Guntur yang masih bayi, segera mengayunkan langkah juangnya mengikuti kedua tokoh pejuang bangsa bersama beberapa anggota PETA menuju Rengasdengklok.

4. Ibu Fatmawati dan Sang Saka Merah PutihPerjuangan bangsa Indonesia pada akhirnya telah mencapai titik kulminasi, yaitu dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur, 56 Jakarta, oleh Soekarno - Hatta atas nama bangsa Indonesia. Dan bendera Merah Putih pun segera berkibar sebagai wujud simbolis terhadap kebebasan bangsa

Page 34: 23 June 2009

Indonesia dalam menentukan nasibnya sendiri. Lalu, siapakah di antara sekian ratus bahkan sekian ribu tokoh pejuang bangsa Indonesia yang telah memikirkan tentang arti sebuah bendera bagi sebuah kemerdekaan bangsa ? Dan kenyataannya selama ini belum pernah ada klaim dari salah seorang pejuang yang mengaku telah mempersiapkan sebuah bendera untuk Kemerdekaan Indonesia, kecuali Ibu Fatmawati. Untuk lebih jelasnya, berikut petikan dari karya tulisan beliau yang berjudul: Catatan Kecil Bersama Bung Karno (Fatmawati, 1978: 86):Ketika akan melangkahkan kakiku keluar dari pintu terdengarlah teriakan bahwa bendera belum ada, kemudian aku berbalik mengambil bendera yang aku buat tatkala Guntur masih dalam kandungan, satu setengah tahun yang lalu. Bendera itu aku berikan pada salah seorang yang hadir di tempat di depan kamar tidurku.

Atas dasar petikan tersebut di atas, cukuplah jelas, bahwa buah refleksi pemikiran perjuangan Ibu Fatmawati ternyata telah mampu melampaui batas-batas pemikiran para pejuang bangsa pada umumnya. Karena Ibu Fatmawati telah menyiapkan bendera Merah Putih selama satu setengah tahun yang lalu. Dan di sinilah sebuah fakta telah berbicara, bahwa Ibu Fatmawati tidak sekedar berperan sebagai penjahit sebuah bendera pusaka, sebagaimana yang hanya dipahami oleh para generasi masa sekarang. Akan tetapi jiwa dan semangat juang yang telah diperankan beliau terasa sangat jauh dan sangat mendalam. Maka sungguhlah amat sulit untuk mengukur secara konkrit betapa besarnya jiwa kepahlawanan yang telah beliau sumbangkan kepada Nusa dan Bangsa Indonesia.

5. Perjuangan Ibu Fatmawati dalam Perang GerilyaSemenjak diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, gejolak api revolusi semakin membara. Meskipun mendapat rintangan keras dari bala tentara Jepang maupun tentara Sekutu, para pejuang bangsa Indonesia tetap bertekad bulat untuk tetap mempertahankan kemerdekaan bangsanya, dan tidak tidak miris sedikitpun menghadapi kaum imperialis dan kolonialis.Oleh karena situasi keamanan di ibukota Jakarta hingga akhir tahun 1946 dianggap sangat membahayakan, maka pada tanggal 4 Januari 1946, Presiden dan Wakil Republik Indonesia memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta demi keselamatan para pemimpin bangsa maupun pemerintahan Republik Indonesia (30 Tahun Indonesia Merdeka I, 1985:79). Dan sebagai ibu negara, tentu saja Ibu Fatmawati sekeluarga ikut hijrah ke Yogya, meskipun harus melewati pagar berduri (Fatmawati, 1978: 128).Selama di Yogya, Ibu Fatmawati tidak saja berperan sebagai pengatur rumah tangga kepresidenan yang setiap saat harus melayani dan menjamu para pejuang yang sering datang hilir mudik. Bahkan beliau tidak segan-segan pernah pergi sendiri tanpa pengawal berbelanja ke pasar (hlm.133). Di samping itu, beliau juga sering mendampingi Presiden ke daerah-daerah baik Jawa Tengah, Jawa Timur, maupun Jawa Barat, untuk memberikan wejangan-wejangan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dan sekali-kali, beliau dimintai langsung oleh rakyat Ceribon untuk tampil di mimbar (hlm.134).Ketika terjadi clash II (19 Desember 1948), ibukota Yogyakarta diserang oleh tentara Belanda, Presiden dan Wakil Presiden ditawan dan selanjutnya di terbangkan ke Bangka (30 tahun Indonesia Merdeka, 1985:191-192). Sementara itu, Ibu Fatmawati sekeluarga, dan keluarga Hatta, serta beberapa menteri, ajudan, maupun sekretarisnya, diizinkan tetap

Page 35: 23 June 2009

tinggal di Gedung Kepresidenan Yogya sebagai tawanan. Namun tidak lama lagi, seluruh tawanan termasuk Ibu Fatmawati sekeluarga segera diusirnya. Selanjutnya Ibu Fatmawati sekeluarga pindah ke rumah kosong di Batanawarsa, dekat Kali Code. Meskipun pasukan Belanda sering mengawasi rumah yang ditempati oleh beliau, tetapi beliau masih tetap menjalin kontak dengan para pejuang yang bergerilya. Secara sembunyi-sembunyi beliau membantu mengirim perbekalan para pejuang yang bergerilya baik berupa makanan, maupun pakaian. Bahkan beliau pernah menyerahkan beberapa butir pelor yang ditemukan di halamannya untuk diserahkan kepada gerilyawan. Di samping itu, beliau juga membagikan makanan kepada para istri pejuang yang ditinggal bergerilya (hlm. 139).

6. Prinsip Tegas Anti PoligamiMeskipun beliau sudah menjadi first ladynya Indonesia, jati-diri yang sudah lama tertanam sejak masih remaja, masih tetap merekat kuat, tidak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas. Kepribadiannya yang kokoh dengan dilandasi oleh kesederhaannya yang tanpa pamrih, memang sulit untuk diterjemahkan, tetapi akan menjadi jelas bila dipahami melalui beberapa fakta sejarah. Misalnya, ketika beliau akan mendampingi Bung Karno melawat ke luar negeri (India dan Pakistan), beliau terpaksa harus meminjam atau dipinjami perhiasan milik istri Sekretaris Negara (hlm. 172). Hal tersebut membuktikan, bahwa kehidupan beliau sebagai Ibu Negara jelas tidak mencerminkan pola kehidupan yang glamour, tetapi justru lebih menunjukkan kesederhaan dan keprasajaan. Dan hendaknya dipahami pula, bahwa dasar peminjaman sebuah perhiasan tersebut bukanlah untuk glamour ataupun pamer, tetapi semata karena posisinya sebagai Ibu Negara yang akan bertemu dengan tuan rumah dari negera lain, maka harus saling menghormati (seperti pepatah Jawa mengatakan: “ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana”). Semangat juang yang gigih dan tangguh serta ketabahan beliau yang luar biasa baik selama perang kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan pun takkan pernah pudar. Keimanan serta ketabahan beliau kembali teruji, bahkan kali ini yang mengujinya bukan siapa-siapa, melainkan presidennya sendiri, Bung Karno, suami tercinta yang dikaguminya. Suatu hari, tepatnya pada tanggal 15 Januari 1953 (dua hari setelah beliau melahirkan anak yang kelima, yang bernama Mohammad Guruh Irianto Soekarno Putra), tiba-tiba Bung Karno menyatakan keinginannya untuk kawin lagi. Dengan perasaan yang tabah, beliaupun menjawab: “boleh saja, tapi Fat minta dikembalikan pada orang-tua. Aku tak mau dimadu dan tetap anti poligami”(hlm. 175). Dan di tahun 1954 krisis rumah tangga beliau semakin memuncak. Demi mempertahankan harga diri dan tetap berprinsip anti poligami, maka beliau bertekad meninggalkan istana, berpisah dengan suami dan anak-anaknya yang dicintainya, meskipun Bung Karno tidak mengizinkannya untuk meninggalkan istana (hlm. 267). Sungguhlah tidak bisa kita bayangkan, betapa tulus pengabdian beliau kepada seorang suami yang sekaligus seorang presiden, dan betapa besarnya pengorbanan beliau selama masa perjuangan baik sebelum kemerdekaan maupun pasca kemederkaan bangsa Indonesia, yang kemudian harus menjalani kehidupan seorang diri, benar-benar “sepi ing pamrih”.

7. PenutupDemikianlah paparan yang singkat dan sederhana mengenai liku-liku perjuangan Ibu Fatmawati baik semasa kecilnya di Bengkulu, maupun setelah mendampingi Bung

Page 36: 23 June 2009

Karno, dan terlibat secara aktif dalam perjuangan membela nusa dan bangsanya, serta rela menempuh kehidupan seorang diri demi mempertahankan sebuah prinsip dan harga diri seorang ibu. Mengingat betapa besarnya sumbangsih dan jasa yang telah beliau abdikan kepada bangsa Indonesia, baik selama perjuangan sebelum Indonesia merdeka maupun pasca Indonesia Merdeka, maka sungguhlah bijak dan sudah sepantasnya bilamana bangsa Indonesia, dalam hal ini Pemerintah Orde Baru Republik Indonesia, melalui tangan Bapak Presiden, berkenan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada almarhumah Ibu Fatmawati.

“Biarpun bunga teratai telah membangkai, kenangan harumnya takkan sirna,biarlah peristiwa itu telah terlupa, tapi fakta tetap bicara”

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani, Roeslan, 1987. Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: Pustaka Merdeka.

Adams, Cindy. 1966. Bung Karno Penyambung Lidah rakyat Indonesia (Alih bahasa: Mayor Abdul Bar Salim). Jakarta: Gunung Agung.

Croce, Benedetto, 1959. History and Chronicle, dalam The Philosophy of History in our time: An Anthology Selected, and with an Introduction and Comentary, by Hans Meyer Hoff. New York: Doubleday & Company.

Fatmawati, 1978. Catatan Kecil Bersama Bung Karno. Jakarta: Sinar Harapan.

Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1985. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada.

diposkan oleh Bengkoelen @ 06:51   0 Komentar

FATMAWATI DALAM DUNIA KOSMOS BENGKULU FATMAWATI DALAM DUNIA KOSMOS BENGKULU

PrologSejarawan T. Ibrahim Alfian, mengawali pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Ilmu Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 12 Agustus 1985, dengan mengambil kalimat singkat dari Ortega, “masa lampau adalah prologue”. Totalitas pengalaman manusia di masa lampau manfaatnya amat berharga dipetik untuk dijadikan bekal menghadapi masa depan yang terentang di hadapan kita .

Page 37: 23 June 2009

Sepuluh tahun kemudian, sejarawan Taufik Abdullah naik mimbar kehormatan dalam predikat pengukuhan jabatan Guru Besar Ilmu Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 27 November 1995. “Pengalaman, Kesadaran, dan Sejarah,” itulah topik centralnya dengan mengutip kalimat Michael Sturner, yang agak keras. “Di negeri yang tanpa sejarah, masa depan masyarakatnya akan dikuasai oleh mereka yang menentukan isi ingatan, serta yang merumuskan konsep dan menafsirkan masa lampau” . Rupanya, Sartono Kartodirdjo, yang juga disebut sebagai empu nya sejarawan Indonesia pun tak pernah ketinggalan dalam mencermati masalah-masalah yang bersinggungan dengan ilmu sejarah dan kesadaran sejarah. “Maka benarlah ucapan Cicero yang menyatakan, bahwa barang siapa tak kenal sejarahnya, akan tetap menjadi anak kecil”. Dengan bahasa lain, orang yang melupakan masa lampaunya, berarti telah menghilangkan mata rantai kekiniannya, dan selanjutnya akan kehilangan identitas atau jatidirinya. Oleh karena telah kehilangan jatidirinya, maka iapun terlepas dari ikatan norma-norma kehidupan kebudayaan masyarakatnya . Dan jangan lupa, bahwa jauh sebelumnya, orang Yunani Kuno pun sempat mengeluarkan adagiumnya, “Historia Vitae Magistra” (sejarah adalah guru kehidupan). Tak hanya itu, Bung Karno juga sempat mengingatkan kita tentang “Jasmerah” (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Bahkan jauh sebelumnya, tepatnya di depan landsraad, Bandung pada tahun 1930, Bung Karno pernah mengajukan pidato pembelaannya yang mengandung unsur dedaktik dari kesadaran sejarah. Andaipun kalimat-kalimat ampuh tersebut kita sepakati, mampukah kita mengatakan, bahwa kesadaran sejarah adalah sebuah titian, dan sekaligus tolak balak dalam menghadapi segala bentuk tantangan – masalah serius yang menghadang perjalanan hidup bangsa Indonesia. Tentu saja kita mampu mengatakannya, tetapi takkan mampu mewujudkannya. Atau barangkali, tepatnya, ini hanyalah sebuah wacana biasa. Tetapi sah saja kita mengatakan, bahwa kesadaran sejarah itu amat urgen bagi perjalananan kehidupan umat manusia. Tanpa sebuah kesadaran sejarah, orang tak mampu menangkap manfaat masa lampaunya secara jernih. Lalu, bagaimana dengan modernitasnya zaman yang kian mengglobal, menjadikan ajang pertarungan antar budaya yang cenderung sengit, dahsyat, sadis, entah apalagi kata yang pas itu itu. Terlebih pertarungan yang tak seimbang antar produk budaya lokal dengan produk budaya luar (baca: asing) dapat berakibat fatal - teralienasi, tererosi, tersingkir, atau bahkan kemudian geheel op (lenyap) ditelan zaman. Jikalau totalitas produk kebudayaan dan sejarah masyarakat itu telah terkubur oleh arus zaman, bagaimana kita dapat menemukan kembali ? atau bahasa sejarahnya “merekonstruksi” entitas (keseluruhan) identitas - jatidiri masyarakatnya. Tentulah tidak segampang mengumpulkan mainan anak kecil yang berserakan di lantai. Dan bilamana masyarakat telah kehilangan identitas – jatidirinya, maka sesungguhnya masyarakat tersebut telah mati suri – dengan kata lain, jasadnya ada, tetapi ruhnya terbang melayang. Atau barangkali menurut bahasa Sartono ini cukup pas, yaitu “dekulturasi”. Kata Sartono, “apabila bahaya dekulturasi menjadi sebuah realita, yang ditandai oleh kesimpang-siuran norma-norma, kemerosotan nilai yang terbawa arus modernisasi – maka diperlukan akulturasi – agar dapat membendung erosi kulturalnya” . Lalu, bagaimana dengan tawaran alternatif yang disebut kesadaran sejarah itu sendiri? Sanggupkah, kita menjelaskan bahwa sebuah kesadaran itu biasanya muncul setelah melalui proses pengetahuan, wawasan dan pemahaman. Sebab, tanpa melalui proses

Page 38: 23 June 2009

pengetahuan, wawasan, dan pemahaman tentang ilmu sejarah, sulit dipercaya untuk dapat memunculkan sebuah kesadaran sejarah. Kalaupun muncul, hanyalah sebatas kesadaran sejarah yang semu. Dengan kesadaran sejarah yang tinggi, kesalahan-kesalahan yang terjadi pada masa lampau dapat dipetik sebagai pelajaran agar tak terulang lagi. Termasuk di dalamnya kesalahan-kesalahan dalam merekonstruksi “history as past actuality” (sejarah sebagai peristiwa masa lampau). Setidaknya, kesalahan-kesalahan sejarawan yang dipaparkan oleh sejarawan Kuntowijoyo secara rinci dapat dijadikan cermin kesadaran sejarah .

Bengkulu Dalam Selintas Sejarah Secara geografis, Bengkulu termasuk dalam kategori wilayah periferal (pinggiran). Meski masuk dalam kategori periferal, tidaklah cenderung ekslusif ataupun esoteris. Akan tetapi dalam perjalanan sejarahnya, Bengkulu justru menjadi ajang pelarian kaum migran maupun interniran dari berbagai etnis, baik etnis domestik (Bugis, Madura, Jawa, Melayu, Minang, Aceh, Bali, Nias, dan lain-lain), maupun etnis manca (Eropa, Afrika, India, Cina, Persia, Arab, dan lain-lain). Dan mereka (para migran maupun interniran) itu berlatar belakang kelas sosial yang bervariatif. Ada yang dari kelas adel (bangsawan), ambtenaar (pegawai), legger (tentara), handelaar (pedagang), hingga slaven (budak)6.Setelah terjadi kontak sosial yang cukup intens dengan masyarakat setempat (baca : masyarakat Bengkulu), benturan sosio-kultural pun tak terelakkan. Dan benturan sosio-kultural tersebut telah membawa implikasi proses enkulturasi (pembudayaan) baik secara akulturatif maupun asimilatif dalam kehidupan kebudayaan masyarakat Bengkulu.Kontak sosio-kultural yang relatif lama membuka kesempatan membangun koloni (perkampungan atau pemukiman) yang namanya sering didasarkan atas geneologis etnisnya, seperti Kampung Melayu, Kampung Kepiri, Kampung Cina, Kampung Bali, Kampung Aceh, Kampung Bugis, Kampung Jawa, dan lain-lain. Di samping itu, ada juga nama-nama tempat/wilayah menunjukan identitas etnis seperti Kerkap, Manna, Talo dan lain-lain.Berbagai sebutan, gelar, atau jabatan seperti Pangeran, kalipa, Daing, Radin, Sultan, Pasirah, Pemangku, Pembarab, Depati, Perowatin, Penghulu, Datuk Syabandar, Puggawa Lima, dan lain-lain, yang pernah populer dalam masyarakat Bengkulu juga menunjukkan keragaman corak dari berbagai budaya masyarakatnya.Tradisi seperti Bimbang (Gedang dan Kecil), Bimbang Malim, Bimbang Melayu, Bimbang Ulu7, Perkawinan Adat Jujur, Samendo, Tabot, dan pranata-pranata, serta bentuk-bentuk ritual yang lain, juga mewarnai keragaman budaya masyarakat Bengkulu.Dan tentu saja berbagai ragam bahasa, sastra, kesenian, perumahan, pakaian, peralatan, serta wujud fisik lainnya (Rejang, Pasemah, Lembak, Serawai, Melayu, Muko-muko dan lain-lain)8 pun memiliki kontribusi yang sangat berharga dalam memperkaya identitas budaya masyarakat Bengkulu.Dalam peta sejarah pun membuktikan, bahwa Bengkulu telah melahirkan tokoh-tokoh sejarah patriotik dan dedaktif yang mampu mengukir namanya di panggung sejarah Nasional, bahkan Internasional. Salah satunya adalah Ibu Fatmawati, yang sudah mengukir namanya dalam panggung sejarah bangsa Indonesia sebagai seorang first lady (ibu negara) Republik Indonesia, dan terlibat langsung dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Page 39: 23 June 2009

Untuk mengenal lebih dekat latar belakang kehidupan sosio-kultural Ibu Fatmawati, kita perlu mencermati latar belakang kehidupan kebudayaan masyarakatnya, yaitu kehidupan kebudayaan masyarakat Bengkulu, khusunya dalam perspektif kosmogonis.

Fatmawati dalam Mitos Sang Putri Dalam perspektif mitos, masyarakat tradisional Bengkulu mempercayai bahwa yang pertama kali mendiami negeri Bangkahoeloe (Bengkulu) adalah Ratu Agung, yaitu seorang raja setengah dewa dari Gunung Bungkuk yang memerintah kerajaan Sungai Serut (kerajaan yang pertama kali di Bengkulu)9Ratu Agung mempunyai anak tujuh orang, terdiri dari enam anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Nama keenam anak laki-laki yaitu : Radin Cili, Manuk Mincur, Lemang Batu, Rindang Papan, Tajuk Rompong, dan Anak Dalam Muara. Adapun anak perempuannya yang paling bungsu diberi nama Putri Gading Cempaka. Selanjutnya dikisahkan, bahwa sepeninggal Ratu Agung, si bungsu Putri Gading tumbuh berkembang menjadi seorang putri yang amat cantik, namun tetap dalam kesahajaan, serta halus budi bahasanya. Kecantikan Putri Gading Cempaka yang tiada taranya itu telah menarik perhatian para raja muda yang datang berlomba-lomba untuk meminangnya. Salah satu diantara raja muda yang jatuh hati pada kecantikan Putri Gading Cempaka adalah Pangeran Muda dari kerajaan Aceh. Oleh sebab itulah Pangeran Raja Muda dari kerajaan Aceh bersama rombongannya datang ke kerajaan Sungai Serut untuk meminang Putri Gading Cempaka. Namun sayang kedatangan Pangeran Muda dari kerajaan Aceh yang bermaksud untuk meminang itu ditolak oleh Putri Gading Cempaka. Akibat ditolaknya pinangan tersebut, terjadilah perang hebat antara pasukan kerajaan Sungai Serut dengan pasukan kerajaan Aceh. Kerajaan Sungai Serut diceriterakan hancur akibat peperangan dengan kerajaan Aceh. Putri Gading Cempaka bersama keenam saudara tuanya pun harus meninggalkan kerajaannya dan bersembunyi di Gunung Bungkuk. Kerajaan Sungai Serut yang sudah hancur dan ditinggalkan oleh penguasanya, kemudian menjadi rebutan para Pasirah (Kepala Suku) Rejang. Ditengah kemuelut perebutan kekuasaan, muncullah Baginda Maharaja Sakti dari kerajaan Pagarruyung. Atas kesepakatan keempat kepala suku Rejang, Maharaja Sakti diangkat menjadi raja di negeri Bangkahoeloe. Putri Gading Cempaka dan keenam saudara tuanya dijemput dari tempat persembunyiannya di Gunung Bungkuk. Ceritera singkatnya, Baginda Maharaja Sakti menikah dengan Putri Gadng Cempaka. Kerajaan Sungai Serut yang sudah hancur kemudian dibangun kembali oleh Baginda Maharaja Sakti, dan berganti nama Kerajaan Sungai Lemau. Jika kita cermati, ada pola kemiripan antara kisah perjalanan hidup Fatmawati dengan mitos Putri Gading Cempaka. Dalam Tamboe Bangkahoeloe, Putri Gading Cempaka tercatat sebagai first lady (permaisuri ) Kerajaan Sungai Lemau dan sekaligus menjadi cikal bakal serta tonggak awal keberlangsungan tata kehidupan Kerajaan Sungai Lemau di negeri Bangkahoeloe (Bengkulu).Demikian halnya dengan Fatmawati yang telah tercatat dalam sejarah sebagai fisrt lady (ibu negara) Republik Indonesia. Kepribadian, karakter, serta teguhnya pendirian yang dimiliki oleh Fatmawati juga tercermin dalam mitos Putri Gading Cempaka. Penolakan Putri Gading Cempaka

Page 40: 23 June 2009

terhadap pinangan seorang Pangeran Muda dari Kerajaan Aceh merupakan sebuah keberanian yang luar biasa dan jarang terjadi dalam deskripsi kehidupan kaum wanita pada umumnya khususnya dalam konteks masyarakat tradisional. Dalam perspektif kajian wanita, khususnya pada masyarakat tradisional, kaum wanita sering diposisikan sebagai obyek penderita, pelengkap pasangan hidup yang biasa disebut dengan istilah “dapur, pupur, dan kasur” atau dengan sebutan lain yang punya pengertian sama, yaitu : “masak, macak, manak” . Akan tetapi dalam konteks kajian masyarakat tradisional Bengkulu, ternyata tidak semua memposisikan kaum wanita sebagai obyek penderita 10. Kisah Putri Gading Cempaka meninggalkan kerajaannya bersama keenam saudaranya menuju ke Gunung Bungkuk dapat diinterpretasikan sebagai sebuah pengembaraan, petualangan, pengalaman, dan sekaligus sebagai sebuah bukti peneguhan prinsip dalam menjalani kehidupan. Demikian halnya dengan mitos Putri Serindang Bulan. Sebuah legenda dari tanah Rejang (wilayah Rejang Lebong, Propinsi Bengkulu). Dikisahkan, bahwa Putri Serindang Bulan mampu hidup mandiri selama masa pengembaraan (pembuangan). Di ujung ceriteranya, Putri Serindang Bulan bertemu dengan Raja Inderapura. Dan akhirnya, iapun menjadi first lady (permaisuri) di Kerajaan Inderapura11.

Fatmawati dalam Tradisi Islami BengkuluMasuknya ajaran Islam beserta kebudayaannya pada masyarakat Bengkulu yang diperkirakan pada abad ke 16 12 telah membawa implikasi perubahan sosio-kultural masyarakatnya. “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” yang menjadi pedoman dalam hukum adat di Bengkulu merupakan bukti nyata adanya pengaruh kebudayaan Islam yang cukup dominan. Kuatnya tradisi Islami pada masyarakat Bengkulu dapat dilihat melalui banyaknya bangunan seperti masjid, langgar, surau di berbagai tempat perkampungan. Kuatnya tradisi Islami pada masyarakat Bengkulu tercermin melalui gaya hidup sosok Fatmawati. Sebelum memasuki usia sekolah, Fatmawati kecil ini telah menempa diri dengan “ngaji” belajar agama (membaca dan menulis Al-qur’an) pada sore hari baik kepada datuknya (kakeknya), maupun kepada seorang guru agama, di samping membantu mengurus pekerjaan orang tuanya. Sudah menjadi tradisi pada masyarakat Bengkulu, bahwa apabila pihak kelapa keluarga tidak sempat mengajari ngaji anaknya, maka anak tersebut diserahkan kepada seorang guru ngaji. Biasanya, penyerahannya disertai dengan seperangkat sirih, sepotong rotan, sebotol minyak tanah, dan secupak beras13. Semangat untuk belajar agama secara ekstra terutama di Sekolah Standar Muhammadiyah masih terus dilakukan meskipun sudah mulai memasuki sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsch School) pada tahun 1930 (Fatmawati, 1978:20-21). Jadwal belajar yang padat dengan pemandangan sehari-hari selalu dijadikannya sebagai bahan ajaran bagi kehidupannya. Bahkan di usia yang masih remaja, atau kalau boleh dibilang masih anak-anak, Fatmawati telah mengalami pencerahan yang cukup matang sehingga mampu melampaui batas-batas nilai kapasitas umumnya anak remaja. Bibit jati diri dengan prinsip yang teguh dan kokoh, disertai semangat kemandirian yang kuat telah tersemai dalam masa remaja seorang Fatmawati. Pengaruh sosialiasi melalui ajaran dan pengalaman dalam kehidupan keluarga dan lingkungan sosialnya, telah

Page 41: 23 June 2009

mampu membentuk karakter Fatmawati, menjadi seorang anak yang tidak sekedar patuh pada tradisinya, tetapi lebih cenderung untuk menyikapi segala bentuk potret kehidupan sosio-kulturalnya. Antara masa sekolah dan masa perjuangan seringkali begitu akrab bergumul dalam entitas waktu. Oleh karenanya, tidaklah menyurutkan semangat bagi seorang Fatmawati ketika harus berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari rumah yang satu ke rumah yang lain, dari satu sekolah ke sekolah yang lain, mengikuti gerak langkah perjuangan ayahnya selaku pucuk pimpinan perserikatan Muhammadiyah di Bengkulu. Sebaliknya, pengalaman-pengalaman tersebut justru semakin menempa mentalitas kejuangannya. Terlebih setelah mengenal Bung Karno sebagai gurunya (yang kemudian menjadi kekasihnya), Fatmawati yang baru menginjak usia 15 tahun, telah mampu diajak dalam perbincangan dan diskusi mengenai filsafat Islam, hukum-hukum Islam, termasuk masalah gender dalam pandangan hukum Islam. Bahkan Bung Karno sendiri sebagai gurunya telah mengakui kecerdasan Fatmawati14. Karena jiwa, semangat, dan ketajaman berpikir terhadap ajaran agama Islam yang telah menempanya, serta ketajaman menyikapi fenomena sosio-kulturalnya, beliau mampu mengoperasionalisasikan fungsi rasionalitasnya sebagai pengendali dari unsur-unsur emosi yang selalu merangsang dalam setiap detik kehidupan manusia. Maka, ketika Bung Karno menyatakan keinginannya untuk memperistri beliau, meskipun secara emosional beliau juga terpikat kuat oleh Bung Karno, tetapi beliau tidaklah mudah untuk menerimanya begitu saja. Penolakan tersebut, di samping alasan-alasan yang mendasar, juga rasa emphaty terhadap sesama kaum feminis. Dan disinilah seorang Fatmawati telah matang jiwanya, meneguhkan prinsipnya untuk menolak sebuah tradisi yang bernama poligami, yang dianggap sangat tidak menguntungkan bagi kedudukan dan peranan wanita dalam kehidupan sosialnya. Bahkan kalau boleh dibilang, sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia khususnya, bagi pegawai negeri, seorang Fatmawati telah mendahului masanya dengan tekad, sikap, dan prinsip anti poligami. Oleh karenanya, sudah sangat patutlah bagi generasi muda sekarang, khususnya kaum wanita, untuk mensyukuri, menghormati, serta meneladani, nilai-nilai perjuangan Ibu Fatmawati terutama terhadap harkat dan maratabat kaum wanita Indonesia.Jika kita bercermin dari ceriterra-ceritera mitos yang berkembang pada masyarakat tradisional Bengkulu, kita tidak akan pernah menjumpai kisah seorang raja atau pangeran (kepala wilayah) yang memiliki permaisuri atau istri lebih dari satu. Bahkan dalam catatan sejarah disepanjang zamannya sekalipun tidak dijumpai keterangan ada seorang kepala pribumi Bengkulu yang memiliki istri lebih dari satu15. Berbeda dengan kehidupan para raja di Jawa disepanjang sejarahnya. Prinsip poligami justru sering terjadi pada kehidupan para priyayi maupun para raja di Jawa. Bahkan, ada semacam pelegitimasian secara politis, bahwa semakin banyak selir maupun gundik, semakin membuktikan kejayaan, kesaktian, pada diri seorang raja. Satu hal lagi yang membedakan antara para priyayi ataupun para raja di Jawa dengan para kepala pribumi Melayu, khususnya Bengkulu, adalah mengenai status kekuasaannya. Jika para raja di Jawa mempunyai status sebagai raja yang feodalistis, maka sebaliknya para kepala pribumi di Bengkulu statusnya lebih demokratis. Oleh karenanya, dalam konteks hubungan sosial yang dibangun antara pemimpin dan pengikut (dalam bahasa budaya Bengkulu, lebih dikenal dengan istilah: antara kalipah

Page 42: 23 June 2009

dan anak buah), lebih bersifat horizontal-oriented… hubungan yang akrab. Dengan bahasa lain, bahwa kehidupan para kepala pribumi Bengkulu juga tidak jauh berbeda dengan pola kehidupan rakyat pada umumnya. Dan tata kehidupan masyarakatnya lebih mengacu pada tata kehidupan yang sudah diatur dalam hukum adat dan hokum syariat. Oleh sebab itulah, ada peribahasa yang sudah lazim dalam masyarakat Melayu (termasuk masyarakat Bengkulu) : “hukum bersendikan adat, adat bersendikan syariat”.

Fatmawati dan Sang Merah PutihPerjuangan bangsa Indonesia pada akhirnya telah mencapai titik kulminasi, yaitu dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur, 56 Jakarta, oleh Soekarno - Hatta atas nama bangsa Indonesia. Dan bendera Merah Putih pun segera berkibar sebagai wujud simbolis terhadap kebebasan bangsa Indonesia dalam menentukan nasibnya sendiri. Lalu, siapakah di antara sekian ratus bahkan sekian ribu tokoh pejuang bangsa Indonesia yang telah memikirkan tentang arti sebuah bendera bagi sebuah kemerdekaan bangsa ? Dan kenyataannya selama ini belum pernah ada klaim dari salah seorang pejuang yang mengaku telah mempersiapkan sebuah bendera untuk Kemerdekaan Indonesia, kecuali Ibu Fatmawati. Untuk lebih jelasnya, berikut petikan dari karya tulisan beliau yang berjudul: Catatan Kecil Bersama Bung Karno16 Ketika akan melangkahkan kakiku keluar dari pintu terdengarlah teriakan bahwa bendera belum ada, kemudian aku berbalik mengambil bendera yang aku buat tatkala Guntur masih dalam kandungan, satu setengah tahun yang lalu. Bendera itu aku berikan pada salah seorang yang hadir di tempat di depan kamar tidurku.

Atas dasar petikan tersebut di atas, cukuplah jelas, bahwa buah refleksi pemikiran perjuangan Ibu Fatmawati ternyata telah mampu melampaui batas-batas pemikiran para pejuang bangsa pada umumnya. Karena Ibu Fatmawati telah menyiapkan bendera Merah Putih selama satu setengah tahun yang lalu. Dan di sinilah sebuah fakta telah berbicara, bahwa Ibu Fatmawati tidak sekedar berperan sebagai penjahit sebuah bendera pusaka, sebagaimana yang hanya dipahami oleh para generasi masa sekarang. Akan tetapi jiwa dan semangat juang yang telah diperankan beliau terasa sangat jauh dan sangat mendalam. Maka sungguhlah amat sulit untuk mengukur secara konkrit betapa besarnya jiwa kepahlawanan yang telah beliau sumbangkan kepada Nusa dan Bangsa Indonesia.

Prinsip Tegas Anti PoligamiMeskipun beliau sudah menjadi first ladynya Indonesia, jati-diri yang sudah lama tertanam sejak masih remaja, masih tetap merekat kuat, tidak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas. Kepribadiannya yang kokoh dengan dilandasi oleh kesederhaannya yang tanpa pamrih, memang sulit untuk diterjemahkan, tetapi akan menjadi jelas bila dipahami melalui beberapa fakta sejarah. Misalnya, ketika beliau akan mendampingi Bung Karno melawat ke luar negeri (India dan Pakistan), beliau terpaksa harus meminjam atau dipinjami perhiasan milik istri Sekretaris Negara (hlm. 172). Hal tersebut membuktikan, bahwa kehidupan beliau sebagai Ibu Negara jelas tidak mencerminkan pola kehidupan yang glamour, tetapi justru lebih menunjukkan kesederhaan dan keprasajaan. Dan hendaknya dipahami pula, bahwa dasar peminjaman sebuah perhiasan tersebut bukanlah untuk glamour ataupun pamer, tetapi semata karena posisinya sebagai Ibu Negara yang

Page 43: 23 June 2009

akan bertemu dengan tuan rumah dari negera lain, maka harus saling menghormati (seperti pepatah Jawa mengatakan: “ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana”). Semangat juang yang gigih dan tangguh serta ketabahan beliau yang luar biasa baik selama perang kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan pun takkan pernah pudar. Keimanan serta ketabahan beliau kembali teruji, bahkan kali ini yang mengujinya bukan siapa-siapa, melainkan presidennya sendiri, Bung Karno, suami tercinta yang dikaguminya. Suatu hari, tepatnya pada tanggal 15 Januari 1953 (dua hari setelah beliau melahirkan anak yang kelima, yang bernama Mohammad Guruh Irianto Soekarno Putra), tiba-tiba Bung Karno menyatakan keinginannya untuk kawin lagi. Dengan perasaan yang tabah, beliaupun menjawab: “boleh saja, tapi Fat minta dikembalikan pada orang-tua. Aku tak mau dimadu dan tetap anti poligami”(hlm. 175). Dan di tahun 1954 krisis rumah tangga beliau semakin memuncak. Demi mempertahankan harga diri dan tetap berprinsip anti poligami, maka beliau bertekad meninggalkan istana, berpisah dengan suami dan anak-anaknya yang dicintainya, meskipun Bung Karno tidak mengizinkannya untuk meninggalkan istana (hlm. 267). Sungguhlah tidak bisa kita bayangkan, betapa tulus pengabdian beliau kepada seorang suami yang sekaligus seorang presiden, dan betapa besarnya pengorbanan beliau selama masa perjuangan baik sebelum kemerdekaan maupun pasca kemederkaan bangsa Indonesia, yang kemudian harus menjalani kehidupan seorang diri, benar-benar “sepi ing pamrih”.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, Cindy. 1966. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Alih bahasa: Mayor Abdul Bar Salim). Jakarta: Gunung Agung.

Page 44: 23 June 2009

Abdullah, Taufik, 1995. Pengalaman, Kesadaran, dan Sejarah. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Ilmu Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 27 November 1995.

Alfian, T. Ibrahim, 1985. Sejarah dan Permasalahan Masa Kini. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Ilmu Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 12 Agustus 1985.

______________(ed.,). 1987. Dari Babad dan hikayat sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Fatmawati, 1978. Fatmawati Catatan Kecil Bersama Bung Karno. Jakarta: Sinar Harapan.

Delais. H. & Hassan, J. 1933. Tambo Bangkahoeloe. Batavia Centrum.

Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historigrafi Indonesia Suatu Alternatif. Jakarta : Gramedia._____________, 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Kuntowijoyo, 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Pangeran Muhamad Shah, 1859. Bahoewa Inilah Asal Oesoel. Bataviaasch Genoot-schap, ML. 143, Latijn-schrift, dan ML. Arab Maleisch-schrift, gedat:

Setiyanto, Agus, 1998. Wanita dan Tradisi : Kedudukan dan Peranan Wanita dalam Sistem Perkawinan Adat Jujur di Bengkulu pada Abad XVIII-XIX. Bengkulu : Balai Penelitian Universitas Bengkulu.______________, 2001. Elite Pribumi Bengkulu Perspektidf Sejarah Abad ke 19. Jakarta: Balai Pustaka.

Sekitar CIA dan G.30.S/PKI/1965

CIA, badan Intelijen AS sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Dalam kaitannya dengan peristiwa G 30 S/PKI, banyak pergunjingan yang menekankan keterlibatan CIA. Dalam suasana peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 1995 baru lalu, banyak orang termasuk kalangan elit politik Indonesia yang membicarakan risalah CIA yang baru saja dipublisir dengan judul Indonesia 1965: The Coup That Backfired. Risalah ini berisi catatan intelejen AS yang beroperasi di Indonesia sekitar 1965 mengenai tragedi berdarah G 30 S/PKI.Kontroversi tentang peran CIA dalam peistiwa G 30 S/PKI hingga kini belum usai. Julius Mader dalam bukunya, Who’s Who in CIA, mencatat 77 nama agen CIA yang bertugas di Indonesia hingga tahun 1967. Sebagian nama yang disebut Mader bukan nama yang asing bagi sejumlah orang Indonesia. Hanya saja nama nama tsb tidak dikenal sebagai agen CIA melainkan nama pejabat di Kedubes AS sekitar 1965 yang suka berdiskusi,

Page 45: 23 June 2009

mengajak berolahraga bersama, membuat resepsi atau mengundang makan. Rosihan Anwar bekas pemimpin redaksi majalah Pedoman ketika membaca nama nama tsb mengenali beberapa diantaranya Edward E. Masters (Sekretaris Atase Politik Kedubes AS di Jakarta 1965, Jack Wilson Lydman (orang kedua di Kedubes AS), Burton Levin (Sekretaris III Bidang Politik Kedutaan, 1959), dan Francis T. Underhill (pegawai Kedubes AS).Rosihan Anwar yang dulu sering bergaul dengan banyak orang AS, sudah mencurigai gerak gerik pejabat pejabat tadi. Mereka pada umumnya pandai bergaul dan mengajak bermain Badminton atau makan malam. Sahata Hutagalung yang dahulu pemimpin koran Sinar Harapan di Medan masih mengingat nama nama Dean J. Almy Jr. dan Robert L. Taylor bekas pejabat Konsul AS di Medan sekitar 1965. Robert L. Taylor yang ramah itu tidak saja akrab dengan Sahata tetapi juga dengan Syamsudin Manan (dari koran Mimbar Umum), Dahlan (harian Bintang Indonesia), dan Syarifudin (harian Bukit Barisan). Lewat organisasi English Conversation yang didirikannya, Robert L. Taylor dengan rekan rekan Indonesianya berbicara mengenai banyak hal termasuk masalah politik dan gerakan PKI. Dari persahabatan itu pula tiga pemimpin redaksi dari Medan tadi sempat melancong ke AS. Sahata Hutagalung yang kini 65 dan pengusaha Restoran Tip-Top di medan itu tidak menyangka bahwa rekanan ASnya adalah agen CIA.Sekitar lima tahun yang silam, perpustakaan Lindon B. Johnson membuka dokumen mengenai hubungan Indonesia-AS di seputar 1965. Dokumen ini digunakan oleh Gabriel Kolko, seorang ahli Indonesia asal AS untuk menerbitkan bukunya The Roots of American Foreign Policy yang antara lain berisikan keterlibatan AS melalui CIA dalam peristiwa G 30 S/PKI. Manai Sophiaan dalam bukunya Kehormatan Bagi Yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G 30S/PKI memperkuat pendapat G. Kolko. Sebelum G. Kolko ada penulis lain dari luar negri yang mengemukakan thesis yang berbeda sekali dengan pandangan resmi di Indonesia. Benedict R. Anderson dan Ruth Mc.Vey, dua ahli politik Indonesia dari Cornell University AS menerbitkan apa yang disebut Cornell Paper yang menyebutkan bahwa G 30 S/PKI sebenarnya berawal dari konflik intern Angkatan Darat yang pada saat saat terakhir menyeret PKI. Di Indonesia sendiri belum lama ini terbit Memoar Oei Tjoe Tat yang kemudian dilarang beredar. Dalam bukunya Oei Tjoe Tat menyebutkan bahwa G 30 S/PKI merupakan kudeta terselubung Angkatan Darat. Pada bulan September 1993, Wimanjaya K. Liotohe membuat tulisan yang dipublisir di Amsterdam. Dalam bukunya yang berjudul Primadosa, tanpa bukti autentik ia menuduh Panglima Kostrad Soeharto mendalangi G 30 S/PKI. Kabakin Sudibjo dalam dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI 7 Pebruari 1994 menyatakan bahwa hanya orang gila yang menuduh Pak Harto mendalangi G 30S/PKI. Menurut laporan GATRA, dokumen CIA Indonesia 1965: The Coup That Backfired yang terdiri dari 311 halaman dan tersimpan di Library of Congress memuat laporan laporan resmi agen CIA sejak 1964-1967. Anehnya, didalam dokumen tsb. tidak diungkapkan keterlibatan CIA dalam peristiwa G 30 S/PKI dan juga tidak mengungkapkan kecurigaan CIA terhadap Angkatan Darat RI! Hal ini bertentangan dengan semua tulisan tulisan mengenai G 30 S/PKI sebelumnya, kecuali dengan buku putih terbitan Sekretariat Negara yang berjudul Gerakan 30 September Pemberontakan PKI: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya. Dokumen CIA secara kontroversial justru menyebutkan kecurigaan CIA terhadap Bung Karno yang sebelumnya sudah mengetahui rencana kudeta dan seolah olah tidak dapat berbuat apa apa untuk menghindarinya. Uraian CIA selanjutnya mirip

Page 46: 23 June 2009

dengan uraian buku putih keluaran Sekneg.Dalam dokumen CIA disebutkan bahwa Kapuspen Hankam dan bekas ajudan Bung Karno, Jendral Sugandhi, pada 27 September 1965 diberi tahu oleh Sudisman tentang rencana PKI tanggal 30 September 1965. Sugandhi memberi tahu Bung Karno tentang hal tsb namun Bung Karno malah menuduh Sugandhi sebagai komunisto phobi. Menanggapi hal ini, Manai Sophiaan mantan Sekjen PNI dan Dubes RI untuk Moskow berkata: Dalam buku saya (Kehormatan Bagi Yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G 30 S/PKI), saya menyebutkan pertemuan Sudisman dan Sugandhi 27 September 1965; tapi saya meragukan isi pembicaraan mereka. Masa iya orang kedua PKI berbicara masalah penting dengan orang yang tidak dipercayainya sepenuh hati. Itu kan riskan dan tak masuk akal. Sugandhi memang datang ke istana untuk melapor tapi Sugandhi keburu dimarahi dan diusir Bung Karno sebelum memberikan laporannya. Saya yakin Bung Karno tidak mengetahui rencana G 30 S/PKI!! Saya ingat betul justru para diplomat AS berperan sebagai agen CIA; misalnya Robert J. Martens yang mengungkapkan nama 5000 anggota PKI kepada TNI AD.Bernardo Hugh Tovar, 73, direktur CIA yang bertugas di Jakarta pada 1964 hingga 1966 menngaku tidak banyak tahu tentang peristiwa 30 September 1965 di Jakarta dan membantah keterlibatan CIA dalam peristiwa G 30 S/PKI. CIA hanya mengobservasi keadaan dan membuat laporan detail tentang keadaan waktu itu, tuturnya. Selanjutnya Bernardo mengakui bahwa CIA mengetahui rencana PKI untuk mengadakan kudeta tapi CIA tidak membantu TNI AD dalam menumpas PKI.Bekas Kepala Staf ABRI Jendral (purnawirawan) AH. Nasution juga membantah keterlibatan CIA dalam peristiwa G 30 S/PKI. Ketika ditanya mengenai laporan Sugandhi kepada Bung Karno mengenai rencana PKI (seperti juga yang ditercantum dalam buku Nasution Memenuhi Panggilan Tugas), Nasution mengatakan bahwa sekalipun dalam pemeriksaan Mahmilub Sugandhi mengakui bahwa ia telah melaporkan rencana PKI itu, tetapi Bung Karno tidak pernah diadili, jadi sulit membuktikan apakah benar Bung Karno mengetahui jauh hari sebelum peristiwa G 30 S/PKI.Majalah Tiras juga melaporkan dokumen CIA tsb. tetapi dengan nada yang lain sekali. Menurut laporan Tiras, hanya militer yang terlibat dalam kudeta 30 September 1965 dan kejadian itu sepenuhnya merupakan masalah intern TNI AD. Isi dokumen CIA belum tentu semuanya mengandung kebenaran. Seperti dokumen lain, tentunya tak bebas dari bias sehingga memerlukan telaah historis. Namun diluar semua itu, keterlibatan CIA di Indonesia bukan hanya sebuah mitos, tetapi juga merupakan realitas sejarah.Prof George Mc. T Kahin, ahli Indonesia dari Cornell University AS, mengatakan bahwa pengungkapan peristiwa G 30 S/PKI sangat sulit karena banyak dokumen yang tersembunyi. Prof. Kahin bahkan mensinyalir keterlibatan dinas rahasia Inggris M16 karena Inggris berkepentingan menggulingkan Bung Karno karena politik Ganyang Malaysianya. Dr. Taufik Abdullah, sejarawan LIPI mengatakan bahwa dokumen CIA bukanlah jaminan kebenaran sejarah. Dua tahapan sebagai prasyarat penting bagi pengujian suatu dokumen haru dilewati yaitu: tahapan pengujian internal (diuji logika uraiannya) dan secara eksternal (diuji kebenarannya dengan cara empiris dan diuji dengan fakta dari dokumen sahih lainnya). Menurut Dr. Taufik Abdullah dokumen berstempel CIA belum tentu lulus tahapan ujian diatas.

Pertja

Page 47: 23 June 2009

Teater Salihara

PertjaOyag ForumSutradara: Benny YohanesNaskah: Benny YohanesPemain: Irwan Jamal, Yani Mae, Ryzzki Ryzcika Riani, Yani Nurmayani, Nanan Supriatna

Teater SaliharaHTM Rp 50.000,-Mahasiswa/Pelajar Rp 25.000,- (tempat terbatas)

Naskah Pertja merupakan pemenang utama dalam Sayembara Penulisan Lakon Realis 2010 yang diselenggarakan oleh Komunitas Salihara. Bercerita tentang tiga perempuan bersaudara yang kisah hidupnya berkelindan, naskah ini digarap dengan konsep realisme urban – bentuk reapresiasi dan redefinisi konsep realisme yang tumbuh subur di era 1950-an sampai 1960-an. Dramaturgi Pertja dibangun di atas ketegangan antar-tokoh sampai kepada klimaks yang meski tidak menyelesaikan masalah tapi telah berkembang sedemikian rupa, menyisakan sejumlah pertanyaan bagi penonton. Pertja menyuguhkan manusia urban yang terjepit antara “perbudakan tata cara” dan kehendak bebas, kemiskinan dan impian kekayaan, kebangkrutan dan penyelamatan, ketercerai-beraian dan keutuhan sebuah keluarga. Naskah ini menonjolkan karakter sebagai kekuatan internal pertunjukan dan pengungkapan lapis demi lapis meta-narasi akan menjadi kekuatan estetiknya.

Naskah ini akan dimainkan oleh Oyag Forum, sebuah gabungan dari sejumlah kelompok pegiat seni teater, penulisan kreatif, dan musik yang memiliki latar belakang pendidikan formal seni. Oyag Forum didirikan pada 2008 oleh Benny Yohanes alias BenJon, Soeko Sri Setiati (Teater Re-Publik), Irwan Jamal dan M. Wail Irsyad (Teater Cassanova), Wida Waridah (Sireum Hideung), Taufik Darwis (Sarekat Ababil), Asep Holidin dan Silvester Petara Hurit (Daun Jati), S. Lawe NH (Kelompok Musik Ketuk), dan Semmi Ikra Anggara (Rose Black Theatre), yang semuanya berdomisili di Bandung.

Bang Bang You’re Dead

Teater Salihara

Bang Bang You’re DeadSakti Aktor Studio (SAS)Sutradara: Eka D. SitorusNaskah: William MastrosimonePemain: Syaiful Bahri, Wendy Arvida, Adi Putra, Karina Salim, Brillian Chakim, Monica Chreesty, Joanne Verlysha Evigan, Ayu Monalisa, Wahyu Wibi, Stanley Saklil, Nurtizza Radia, Simon Kharisman, Putri Handayani

Page 48: 23 June 2009

Teater SaliharaHTM Rp 50.000,- | Mahasiswa/Pelajar Rp 25.000,- (tempat terbatas)

Bang Bang You’re Dead, yang ditulis oleh William Mastrosimone pada 1999, merupakan naskah drama yang dipengaruhi oleh kekerasan yang terjadi di sekolah di Amerika pada 1998. Ketika itu, seorang siswa SMU, Kip Kinkel, membunuh orang tuanya dan 27 teman-teman sekelasnya di Thurston High School, Springfield, Oregon. Mastrosimone menulis naskah ini untuk memperlihatkan dampak pelecehan, penyiksaan, dan penganiayaan antar-remaja di sekolah dan berharap publik bisa melihat tragedi sebelum semuanya terlambat. Pada Oktober 2002, hanya tiga tahun setelah publikasi pertamanya pada 7 April 1999 di Thurston High School, naskah ini sudah dipentaskan lebih dari 15.000 kali.

Lakon Bang Bang You’re Dead akan dibawakan oleh kelompok SAS – inilah kali pertama mereka memainkan naskah tersebut untuk publik. Bagi SAS, drama bisa menjadi terapi yang baik untuk mengatasi kekerasan yang terjadi di sekolah-sekolah dan naskah ini pun dapat membantu mengurangi kekerasan yang terjadi. SAS pertama kali didirikan pada 22 April 2002, menanggapi banyaknya kegelisahan yang diutarakan oleh para aktris sinetron yang kerap menampilkan akting yang berlebihan dan palsu. SAS didirikan atas dasar metode akting realisme Constantin Stanislavski, aktor dan sutradara teater asal Rusia, yang mengutamakan ekspresi akting yang jujur, tulus dan subtil. Sejak didirikan sampai sekarang, SAS telah berhasil mendidik sekitar 800 siswa.

Lithuania

Teater Salihara

LithuaniaSaturday Acting Club (SAC)Sutradara: Rukman RosadiNaskah: Rupert BrookePemain: Rukman Rosadi, Intan Komalasari, Wheni P. Putri, Jamal Abdul Nasir, Nurdyanto (Khan), Romansha

Page 49: 23 June 2009

Teater SaliharaHTM Rp 50.000,- | Mahasiswa/Pelajar Rp 25.000,- (tempat terbatas)

Lithuania merupakan naskah karya penyair Inggris yang hidup di abad ke-20, Rupert Brooke. Dalam naskah ini, Brooke dengan telak membidik wajah kota dalam pikiran para pemimpinya: konfrontasi antara kegemilangan kota dengan mentalitas manusia yang terbuai dalam lingkaran kemiskinan. Dengan tajam dan terperinci, Brooke mengambil gambar wajah-wajah, pemikiran, serta mimpi manusia kota yang penuh dengan pesona romantik, namun berujung pada tragedi. Paradoks yang muncul dalam teks ini mengharuskan para aktor mengamati dua wilayah kenyataan untuk menemukan jurang yang memisahkan keduanya: kemiskinan pada satu sisi dan kemapanan pada sisi lain. Naskah Lithuania telah diadaptasi ke dalam konteks budaya Indonesia untuk pementasan ini.

SAC secara resmi berdiri pada 2006 sebagai usaha untuk mengkaji, menggali, dan mengolah seni peran, serta membuka ruang bagi para peminatnya. Dimotori oleh Rukman Rosadi dan sekelompok mahasiswa Jurusan Teater di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, SAC kini terdiri dari sekitar 50 anggota dengan latar belakang yang beragam: mahasiswa, pelajar, dan umum, yang berkonsentasi pada kajian dan penciptaan akting serta mengeksplorasi beragam gaya akting yang ada. Selain menggelar pementasan, SAC juga mengadakan lokakarya, diskusi dan pendidikan akting.

Selamat Jalan Anak Kufur

Teater Salihara

Selamat Jalan Anak KufurTeater CiliwungSutradara: Irwan SoesiloNaskah: Utuy Tatang SontaniPemain: Sri Suyanti, Lefi Wilmala, Bobby Kardi, James Rajagukguk, Rahmat Hidayat, Ferry Chaniago, Ferry Fernando, Fachri Marasabesy, Isro, Ade Bilal Perdana

Teater SaliharaHTM Rp 50.000,- | Mahasiswa/Pelajar Rp 25.000,- (tempat terbatas)

Selamat Jalan Anak Kufur bercerita tentang seorang pelacur yang tinggal di kawasan pantai utara Jawa (Pantura) dengan segala “kemesuman” dan benturan-benturan sosial yang ia alami. Namun di balik itu, naskah ini juga mengutarakan persoalan kesetaraan jender, sikap, kejujuran, dan cinta. Naskah ini dibuat tentu bukan untuk menghakimi masyarakat Pantura, melainkan mengangkat kesetiaan mereka terhadap seni tradisi leluhur; bahwa seni sebagai tuntutan profesi harus dilestarikan secara turun temurun. Problematika sosial yang dialami para pesinden, seperti persoalan kawin-cerai atau menjadi seorang primadona yang dapat mempopulerkan sebuah kelompok tarling, terjadi pula di kalangan masyarakat Pantura.

Page 50: 23 June 2009

Teater Ciliwung berdiri pada 1984, di bekas pabrik batik milik keluarga H. Ahmad Yusuf yang berada di pinggiran kali Ciliwung. Ahmad Yusuf kini menjadi ketua umumnya, memimpin beberapa rekannya yang juga merupakan mantan anggota Teater Lingkar Minggi pimpinan Muchlis Raya. Sejak 1980-an sampai sekarang, Teater Ciliwung tetap aktif memproduksi beragam lakon, seperti misalnya Bla Bla Bla (2003) yang ditulis oleh Agus Safari dan Sandiwara di atas Sandiwara (2004) karya Danarto – keduanya disutradarai oleh (alm.) Christi Maharsi; dan Kisah Cinta di Hari Rabu (2010) karya Anton Chekov yang disutradarai oleh Irwan Soesilo.

Manipulasi Sejarah di Lokasi Sejarah

Di mana letaknya tempat yang disebut ’Gedung Proklamasi’?” Pertanyaan yang sederhana mengenai tempat kelahiran negara Indonesia, tetapi jawaban yang muncul banyak mengarah kepada “tidak tahu”. Sesungguhnya, jawaban “tidak tahu” jauh lebih baik daripada percaya kepada informasi yang sekarang terdapat di lokasi ini. Sangat menyedihkan, apa yang dimasyarakatkan oleh Pemprov DKI Jakarta mengenai “Gedung Proklamasi” kenyataannya mengandung pembodohan dan manipulasi data sejarah. Mengapa demikian?

Kediaman Bung Karno inilah yang dulu disebut “Gedung Proklamasi”, karena di tempat ini proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Ir Soekarno dan Drs Moh Hatta hari Jumat legi (manis) tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi. Proklamasi kemerdekaan itu bertepatan dengan peringatan turunnya Al Quran (Nuzulul Quran, sehingga khotbah para khatib shalat Jumat pun menginformasikan peristiwa penting tentang kelahiran bangsa dan negara Indonesia).

Sayang seribu kali sayang, rumah historis ini musnah sudah sejak tahun 1960 (43 tahun lalu). Kecuali lahan, tidak sedikit pun bangunan tersisa. Tidak ada lagi peninggalan sejarah kemerdekaan yang dapat dijadikan kenangan bagi generasi penerus. Tidak ada informasi yang natural, normatif, orisinal, sesuai hakikat peristiwa yang terjadi di kediaman Bung Karno ini.

Ceritanya, tahun 1960 Bung Karno menyetujui usul Wakil Gubernur Daerah Chusus Jakarta (DCI) Henk Ngantung agar rumah tersebut direnovasi. Waktu itu Presiden Soekarno sudah bermukim di Istana Negara. Ternyata, renovasi tidak terealisasi.

Di lokasi ini Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961 melakukan pencangkulan pertama tanah untuk pembangunan tugu, “Tugu Petir”, yang kemudian disebut tugu proklamasi. Tugu ini berbentuk bulatan tinggi berkepala lambang petir, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tulisan yang kemudian dicantumkan, “Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta”.

Sekitar 50 meter di belakang tugu ini dibangun gedung yang menandai dimulainya pelaksanaan “Pembangunan Nasional Semesta Berencana”. Hanya bangunan ini yang berdiri di lokasi tersebut. Satu dan satu-satuya gedung yang ada sampai sekarang.

Page 51: 23 June 2009

Menjawab kebohongan

Melihat data di atas, sungguh aneh dan ajaib ada papan petunjuk di Jalan Proklamasi bahwa belok kiri menuju “Gedung Proklamasi”. Tidak yakin dengan keterangan ini karena papan petunjuk ini dibuat oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta? Kerja pemerintah daerah ini pastilah melibatkan dinas atau instansi terkait, tidak asal-asalan.

Ada data autentik yang menjawab hal ini. Lihat halaman 170 buku 30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1964 (cetakan keenam 1985) berjudul “Peresmian Dimulainya Pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana”. Tulisan yang tercantum, antara lain, “Presiden Soekarno meresmikan dimulainya Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 1961-1969 dalam suatu upacara pencangkulan tanah di Jl Pegangsaan Timur 56 Jakarta”.

Kata pengantar buku disampaikan Menteri/Sekretaris Negara Sudharmono SH selaku Ketua Panitia Nasional Penyelenggara Peringatan RI XXX. Buku yang hak ciptanya dimiliki Sekretariat Negara dan dicetak pertama kali tahun 1977 itu memuat pula sambutan Presiden Soeharto. Jadi, buku bersampul reproduksi lukisan Dullah milik presiden waktu itu, Soeharto, adalah dokumen resmi yang diterbitkan Pemerintah Indonesia.

Data akurat tentang “Gedung Pola” ditulis sebagai berikut: Di halaman belakang Gedung Proklamasi yang kemudian dirobohkan dibangun Gedung Pameran Pola Pembangunan Nasional Semesta (Gedung Pola). Pada masa ini dimulai perencanaan dan pembangunan berbagai proyek yang tersebar di seluruh Indonesia, terutama di bidang industri dan prasarana. Di bidang industri, titik berat diletakkan kepada pembangunan industri berat dan industri kimia dasar. Antara lain mulai dibangun pabrik super- fospat di Cilacap (Jawa Tengah), pabrik peleburan baja di Cilegon (Jawa Barat), serta pabrik semen, pabrik gula, dan pabrik kertas di berbagai tempat di Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan.

Apakah informasi ini diperhatikan Pemprov DKI Jakarta? Kalau “ya”, cerita di Jalan Proklamasi 56 tentulah tidak seperti sekarang. Amburadul, penuh kebohongan, dan pemalsuan sejarah yang merugikan generasi penerus bangsa dalam mengisi kemerdekaan.

Perhatikan halaman utara “Gedung Pola” (menghadap Kantor Telkom), ada baliho bertuliskan huruf-huruf besar: GEDUNG PERINTIS KEMERDEKAAN. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), baliho berarti publikasi yang besar-besaran agar menarik masyarakat. Di bagian belakang gedung juga ada tulisan serupa yang ditempel ke tembok menghadap lokasi proklamasi. Beberapa hurufnya rusak dan menggelantung, menandakan tidak terkontrol.

Istilah “Gedung Perintis Kemerdekaan” jelas salah, salah besar dalam arti sejarah, bahasa, dan pengertian politik. Dari segi sejarah, gedung ini dibangun hampir 16 tahun kemudian setelah kemerdekaan (17 Agustus 1945-1 Januari 1961) dan diberi nama

Page 52: 23 June 2009

“Gedung Pola”. Dari segi bahasa, menurut KBBI, kata perintis berarti usaha pertama atau permulaan; pembuka jalan. Pameran Pola Pembangunan Nasional Semesta tahun 1963 adalah pameran pertama tentang pembangunan setelah Indonesia merdeka. Kalau mau jujur, “Gedung Pola” disebut “Gedung Perintis Pembangunan” tentulah pas.

Kalau mau bicara tentang gedung perintis kemerdekaan, yang paling pas adalah bekas rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No 1 (waktu itu Miyako Dori, Jakarta Pusat). Gedung ini sekarang mendapat predikat “Museum Perumusan Naskah Proklamasi” (Formulation of Proclamation Text Museum). Seharusnya ada pula penyebutan “Gedung Perintis Kemerdekaan”.

Di tempat ini anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokoritu Zyunbi Tyoosakai) mengadakan sidang pada 28 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945 (Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), diterbitkan Sekretariat Negara, cetakan kelima edisi III, 1995, semasa Menteri/Sekretaris Negara Moerdiono). Badan ini diketuai Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat, dibantu Itibangase Yosio dan RP Soeroso (keduanya wakil ketua), beranggota 60 orang dan anggota tambahan enam orang.

Jadi, konsesi dan filosofi apa yang ingin dimasyarakatkan dengan tulisan “Gedung Perintis Kemerdekaan” atas “Gedung Pola”? Menyedihkan dan memprihatinkan. Pada zaman sekarang sangat susah menemukan saksi yang bisa menceritakan secara lengkap tentang hal-ihwal gedung ini. Akan tetapi, berapa juta warga dan mahasiswa yang terkecoh dan meyakini benarnya tulisan tersebut karena dibuat oleh pemerintah Padahal, kualitas informasi tersebut bobrok adanya. Informasi yang tidak ada nilai, hanya merusak pikiran sehat, dan pikiran jernih. Tanaman pohon hias untuk pembatas halaman ternyata hanya menjadikan tempat ideal untuk pacaran dan orang tidur. Setidaknya itu yang Kompas lihat ketika beberapa kali berkunjung pada siang hari.

“Tugu Proklamasi”

Di dekat pintu keluar ada papan berwarna coklat bertuliskan “Monumen Proklamasi Kemerdekaan RI”. Tulisan lain, “Jakarta Metropolitan City, Tourism Development Board” dan angka 59, mungkin nomor papan ini. Penyebutan nama monumen proklamasi kemerdekaan itu tidak jelas untuk bangunan mana karena “Tugu Petir” yang menjulang tinggi terletak sekitar 50 meter di belakangnya, terhalang halaman yang ditanami pohon kelapa dan tumbuhan lain. Adanya rumah berukuran sekitar 8 x 6 meter yang berjarak lima meter di belakang papan memberikan kesan “rumah itulah monumen proklamasi”. Padahal, rumah tersebut untuk, katakanlah, kantor.

Di sisi lain dari pintu keluar ini ada papan petunjuk yang lebih besar bertuliskan Monumen Pahlawan Proklamator Kemerdekaan RI Soekarno-Hatta, dibuat oleh Pemprov DKI Jakarta. Sekitar 100 meter di belakangnya di sebelah selatan memang ada monumen Soekarno-Hatta membacakan naskah proklamasi, diresmikan Presiden Soeharto tanggal 17 Agustus 1980. Aneh juga, antara nama dan monumen letaknya berjauhan.

Page 53: 23 June 2009

Di antara bangunan yang terdapat di lokasi ini, hanya “Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia” yang langsung terkait dengan nuansa revolusi karena diresmikan tanggal 17 Agustus 1946 di masa Sekutu berkuasa. Di atas tulisan yang dipahat di bahan marmer itu ada tulisan lain, “Atas Oesaha Wanita Djakarta”. Di dinding sebaliknya ada kutipan naskah proklamasi dan peta Indonesia juga dari marmer. Bentuk tugu ini mirip lambang Polda Metropolitan Jakarta asalkan dibuang kepalanya yang bergambar api berkobar.

Kisah tugu ini diceritakan oleh sang pembuat, Dra Yos Masdani Tumbuan, dalam buku 19 Desember 1948 Perang Gerilya Perang Rakyat Semesta, hasil wawancara dengan Titiek WS. Buku yang diterbitkan Yayasan 19 Desember 1948 (cetakan pertama 1998) itu berisi perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda serta 52 tulisan saksi dan pelaku sejarah perang kemerdekaan Indonesia.

Diungkapkan, pada bulan Juni 1946, Yos Masdani sebagai seorang mahasiswi anggota Ikatan Wanita Djakarta diminta membuat tugu peringatan proklamasi. Permintaan itu disampaikan Ratulangi dan Mien Wiranatakusumah (kemudian hari dikenal sebagai Ny Mien Sudarpo Sastrosatomo). Tidak disediakan dana, kecuali disebutkan nama pelaksananya, yaitu Aboetardjab dari Biro Teknik Kores Siregar, mantan mahasiswa Tehnische Hoge School (sekarang Institut Teknologi Bandung/ITB). Dana harus dicari bersama kawan-kawan lain.

Pada menjelang peresmian, ada hambatan karena Wali Kota Jakarta Suwiryo melarang peresmian pada tanggal 17 Agustus 1946. Ada larangan dari Sekutu di Jakarta. Mr Maramis yang hadir dalam pertemuan ini pun khawatir, kalau dipaksakan, akan terjadi tragedi seperti di Amritsar (India).

Pucuk dicinta ulam tiba. Sutan Sjahrir tanggal 16 Agustus 1946 tiba di Jakarta dari Yogyakarta. Ia menganggap peresmian itu ide yang bagus dan ia bersedia meresmikannya. Pada waktu hari peresmian, memang patroli Sekutu dan Gurkha hilir-mudik, tetapi tidak terjadi keributan. Mungkin karena kehadiran Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Peristiwa mengejutkan terjadi tanggal 14 Agustus 1960. Surat kabar Keng Po memberitakan, Angkatan ’45 menginginkan agar tugu peringatan yang mereka sebut “Tugu Linggarjati” harus dimusnahkan. Pendapat yang aneh karena Perjanjian Linggarjati terjadi pada 10 November 1946, tiga bulan setelah tugu peringatan diresmikan. Menurut Yos Masdani, waktu itu komunis punya kekuatan untuk mengubah wajah sejarah. Tanggal 15 Agustus 1960, tugu peringatan itu lenyap.

Bersama sejumlah tokoh wanita, antara lain Mr RA Maria Ulfah Santoso dan Lasmidjah Hardi, menemui Gubernur Sumarno di Balaikota. Dalam kesempatan ini, Gubernur menyerahkan tiga lempengan marmer yang tadinya melekat di tugu. Atas saran para wanita yang hadir, lempengan marmer itu disampaikan kepada Yos Masdani.

Page 54: 23 June 2009

Tahun 1968 kepada Gubernur Ali Sadikin disampaikan usulan agar tugu proklamasi dibangun kembali. Usul ini ditanggapi positif, terbukti urusan pemugaran sampai ke Sekretariat Negara. Pemugaran tertunda karena Yos Masdani berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar. Ia menolak tawaran Cornell University yang akan membeli marmer-marmer itu dengan harga tinggi.

Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1972, Tugu Proklamasi diresmikan Menteri Penerangan Budiardjo di lokasi asal, dihadiri banyak tokoh masyarakat dan tokoh politik. Di antara yang hadir adalah mantan Wakil Presiden Drs Moh Hatta (mengundurkan diri 1 Desember 1956). Ini menunjukkan tingginya nilai perjuangan tugu peringatan yang dibangun oleh para wanita itu.

Kisah menarik ini seharusnya bisa dibaca di lokasi ini, menjadi acuan bagi oknum yang suka mengotori bangunan untuk sadar. Ada oknum organisasi mahasiswa yang menulis “2003 FKPPRI DKI” dengan cat kuning di marmer naskah proklamasi dan peta Indonesia. Ada pula tulisan grup pemuda berisi nama-nama anggotanya. Tulisan dari mereka yang tangannya gatal dan tidak peduli dengan nilai sejarah.

60 tahun Indonesia

Di lokasi proklamasi sekarang ini tidak tergambar sejarah kepahlawanan bangsa merebut kemerdekaan. Hati menangis, rasa sedih dan prihatin yang muncul. Lantai di pelataran depan Patung Bung Karno-Bung Hatta banyak yang dicungkil orang. Ada yang sudah diperbaiki dengan disemen, tetapi masih banyak yang terpotong-potong sisa tangan jahat.

Republik Indonesia tahun 2005 berusia 60 tahun. Selama ini peringatan hari kemerdekaan dilaksanakan di halaman depan Istana Merdeka, tempat bekas kantor dan kediaman Gubernur Jenderal Belanda. Padahal, jati diri Indonesia berada di lokasi proklamasi di Jalan Proklamasi 56. Merebut kemerdekaan dengan cara dramatik berlangsung di tempat ini, ketika bala tentara Jepang di Jawa masih berkuasa walaupun Tokyo sudah takluk kepada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945.

Lokasi proklamasi kini disia-siakan. “Kembalikan jati diri Indonesia!” Itulah yang harus dipikirkan, direncanakan, dan dilaksanakan. Lokasi ini, kalau diratakan dan didesain ulang, hampir seluas halaman Istana Merdeka.

Jangan dilupakan pula, dibangun gedung perpustakaan untuk buku-buku kisah perjuangan bangsa dan informasi lain tentang kepahlawanan yang murni. Masih cukup waktu untuk berbuat ke arah itu. Martabat bangsa dengan segala dimensinya akan muncul dan lokasi ini menjadi obyek pariwisata yang menjanjikan secara global.

Alangkah membanggakan dan menggugah kepahlawanan dalam berjuang di alam merdeka bila peringatan HUT Ke-60 Indonesia dirayakan di tempat lahirnya jati diri Indonesia.

Page 55: 23 June 2009

Di tempat kediamannya ini, Presiden Soekarno pernah menulis, “Sedjak 1 September 1945 kita meneriakan pekik ’Merdeka’. Dengoengkan teroes pekik itu, sebagai dengoengan Djiwa yang merdeka! Djiwa merdeka, jang berdjoang dan bekerdja! BERDJOANG dan BEKERDJA. Buktikan itu! (30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949).

Visa

Teater Salihara

VisaTeater SatuSutradara: Iswadi PratamaNaskah: Goenawan MohamadPemain: Imas Sobariah, Budi Laksana, Yelly Shinta Laras Utami, Vita Oktaviana, Desi Susanti, Sugianto “Jayen”, Deri Efwanto, Ruth Marini, Rendie Arga, Akhmad Andika Ikra Negara, Rarai Masae Soca Wening Ati, Melinda, Ayu Fitrianingsih, Fabian Randi, Muhammad Sabil Ryandika

Teater SaliharaHTM Rp 50.000,- | Mahasiswa/Pelajar Rp 25.000,- (tempat terbatas)

Karya ini bercerita tentang orang-orang yang sedang mengantri dan hendak memohon visa di Konsulat Amerika. Melalui naskah ini, Goenawan Mohamad menciptakan sebuah montase dari berbagai pokok pikiran, citra, dan peristiwa yang dialami tokoh-tokohnya. Semua itu dibingkai oleh tiga pertanyaan mendasar yang sekaligus menjadi “isi” naskah ini: “Siapa Anda?”, “Apa tujuan Anda pergi ke Amerika?” dan “Mengapa kita semua hendak pergi?” Pertanyaan-pertanyaan itu merupakan pertanyaan standar dan utama dalam sebuah formulir permohonan visa, yang bagi sang penulis, seperti hendak meringkas hidup dan diri seseorang. Lakon ini hendak menyuguhkan sebuah ironi dari realitas yang berlapis-lapis dalam berbagai gambar, kesan atau bentuk dalam sebuah komposisi yang mengelak menjadi “lazim”.

Naskah ini dibawakan oleh Teater Satu, sebuah komunitas seni-budaya yang berdiri pada 16 Oktober 1996. Sejak awal berdirinya, kelompok teater ini aktif melakukan penelitian, diskusi, seminar, apresiasi, dan penciptaan seni pertunjukan dan sastra. Ia didapuk menjadi Grup Teater Terbaik Indonesia tahun 2008 versi Majalah Berita Mingguan Tempo, melalui pertunjukan monolog Perempuan di Titik Nol yang dipentaskan di Festival Salihara (2008).

Profil Ibu Fatmawati Written by Administrator    Thursday, 22 April 2010 15:30

Page 56: 23 June 2009

Masa Kecil Fatmawati

Fatmawati lahir pada hari Senin, 5 Pebruari 1923 Pukul 12.00 Siang di Kota Bengkulu, sebagai putri tunggal keluarga H. Hassan Din dan Siti Chadidjah. Masa kecil Fatmawati penuh tantangan dan kesulitan, akibat sistem kolonialisme yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Ayahandanya, Hassan Din semula adalah pegawai perusahaan Belanda, Bersomij di Bengkulu. Tetapi karena tidak mau meninggalkan kegiatannya sebagai anggota Muhammadiyah, ia kemudian keluar dari perusahaan itu. Setelah itu, Hassan Din sering berganti usaha dan berpindah ke sejumlah kota di kawasan Sumatera Bagian Selatan.

Tidak banyak diketahui orang bahwa sebenarnya Fatmawati merupakan keturunan dari Kerajaan Indrapura Mukomuko. Sang ayah Hassan Din adalah keturunan ke-6 dari Kerajaan Putri Bunga Melur. Putri Bunga Melur bila diartikan adalah putri yang cantik, sederhana, bijaksana. Tak heran bila Fatmawati mempunyai sifat bijaksana dan mengayomi.

 

Kisah Cinta Bung Karno dan Fatmawati

Jalinan cinta antara Bung Karno dan Fatmawti pada awalnya membutuhkan perjuangan yang sangat berat. Demi memperoleh Fatmawati yang begitu dicintainya Bung Karno dengan perasaan yang sangat berat terpaksa harus merelakan kepergian Bu Inggit, sosok wanita yang begitu tegar dan tulusnya mendampingi Bung Karno dalam perjuangan mencapai Indonesia Merdeka.  Pahit getir sebagai orang buangan (tahanan Belanda) sering dilalui Bung Karno bersama Bu Inggit. Namun sejarah berkata lain. Perjalanan waktu berkehendak lain, kehadiran Fatmawati diantara Bung Karno dan Bu Inggit telah merubah segalanya.

Pada tahun 1943 Bung Karno menikahi Fatmawati, dan oleh karena Fatmawati masih berada di Bengkulu, sementara Bung Karno sibuk dengan kegiatannya di Jakarta sebagai pemimpin Pusat Tenaga Rakyat (Putera), pernikahan itu dilakukan dengan wakil salah seorang kerabat Bung Karno, Opseter Sardjono. Pada 1 Juni 1943, Fatmawati dengan diantar orang tuanya berangkat ke Jakarta, melalaui jalan darat, sejak itu Fatmawati mendampingi Bung Karno dalam perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.

Perjalanan sepasang merpati penuh cinta ini, akhirnya dikaruniai lima orang putra-putri: Guntur, Mega, Rachma, Sukma, dan Guruh. Belum genap mereka mengarungi bahtera rumah tangga, Sukarno tak kuasa menahan gejolak cintanya kepada wanita lain bernama Hartini. Inilah salah satu pangkal sebab terjadinya perpisahan yang dramatis antara Sukarno dan Fatmawati.

 

Proklamasi 17 Agustus 1945

Page 57: 23 June 2009

Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur kala, embun pagi masih menggelantung di tepian daun, para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi.

Tepat pukul 10.00, dengan suara mantap dan jelas, Soekarno membacakan teks proklamasi, pekik Merdeka pun berkumandang dimana-mana dan akhirnya mampu mengabarkan Kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia.

Kalau ada yang bertanya, apa peran perempuan menjelang detik-detik proklamasi kemerdekaan? Tentu kita akan teringat dengan sosok Fatmawati, istri Bung Karno. Dialah yang menjahit bendera Sang Saka Merah Putih. Setelah itu, ada seorang pemudi Trimurti yang membawa nampan dan menyerahkan bendera pusaka kepada Latief Hendraningrat dan Soehoed untuk dikibarkan. Dan, semua hadirin mengumandangkan lagu Indonesia Raya di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Pada hari itu, Ibu Fatmawati ikut dalam upacara tersebut dan menjadi pelaku sejarah Kemerdekaan Indonesia.

 

Ibu Negara Pertama

Salah satu butir keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya tanggal 19 Agustus 1945 adalah memilih Bung Karno dan Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia. Pada tanggal 4 Januari 1946 pusat pemerintahan Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta karena keadaan Jakarta dirasakan makin tidak aman, menyusul hadirnya tentara NICA yang membonceng kedatangan tentara sekutu.

Di kota gudeg itu, Ibu Fatmawati mendapatkan banyak simpati, karena sikapnya yang ramah dan mudah bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat. Sebagai seorang Ibu Negara, Ibu Fatmawati kerap mendampingi Bung Karno dalam kunjungan ke berbagai wilayah Republik Indonesia untuk membangkitkan semangat perlawanan rakyat terhadap Belanda dan mengikuti kunjungan Presiden Soekarno ke berbagai Negara sahabat.

Peran serta wanita dalam pembangunan telah ditunjukkan Ibu Fatmawati, beliau sering melakukan kegiatan social, seperti aktif melakukan pemberantasan buta huruf, mendorong kegiatan kaum perempuan, baik dalam pendidikan maupun ekonomi.

 

Penghargaan dan Mengenang Ibu Fatmawati

Rumah Sakit Fatmawati pada mulanya bernama Rumah Sakit Ibu Soekarno, terletak di Kelurahan Cilandak Barat, Kecamatan Cilandak, Wilayah Jakarta Selatan, Didirikan pada

Page 58: 23 June 2009

tahun 1954 oleh Ibu Fatmawati Soekarno.

Semula direncanakan untuk dijadikan sebuah Sanatorium Penyakit Paru-paru bagi anak-anak. Pada tanggal 15 April 1961 penyelenggaraan dan pembiayaan rumah sakit diserahkan kepada Departemen Kesehatan sehingga tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi RS Fatmawati. Dalam perjalanan RS Fatmawati, tahun 1984 ditetapkan sebagai Pusat Rujukan Jakarta Selatan dan tahun 1994 ditetapkan sebagai RSU Kelas B Pendidikan.

Di Kota Bengkulu, sebagai kota kelahiran Ibu Fatmawati, Pemerintah Daerah beserta seluruh elemen memberikan apresiasi terhadap Ibu Fatmawati. Sebagai bentuk penghargaan dan sekaligus untuk mengenang Ibu Fatmawati, maka pada tanggal 14 Nopember 2001, Bandar Udara Padang Kemiling diubah menjadi Bandar Udara Fatmawati. Perubahan nama Bandar udara ini diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri.

Perjuangan Ibu Fatmawati selama masa sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan diakui oleh Pemerintah Pusat, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 118/TK/2000 tanggal 4 Nopember 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid, maka Pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Ibu Fatmawati.

Fatmawati

Hubungan

Ibu

Riwayat

Page 59: 23 June 2009

Fatmawati merupakan putri dari pasangan Hasan Din dan Chadijah yang lahir pada tanggal 5 Februari 1923. Nama Fatmawati mempunyai arti bunga teratai (Lotus). Sehari-harinya Fatmawati kecil biasa dipanggil “Ma”, bukan Fat seperti di kemudian hari orang-orang memanggilnya. Ada suatu kejadian menarik ketika Fatmawati berusia empat tahun, seorang ahli nujum terkenal dari India membaca suratan tangan Hasan Din. Ahli Nujum tersebut mengatakan bahwa kelak jika anak perempuannya besar nanti akan mendapatkan jodoh orang yang mempunyai kedudukan tertinggi di negeri ini. Hasan Din tidak begitu saja mempercayai ramalan tersebut, karena di masa itu jabatan tertinggi dipegang oleh orang Belanda sementara orang pribumi paling tinggi menjabat sebagai Wedana. Ketika berusia enam tahun, Fatmawati dimasukkan ke Sekolah Gedang (Sekolah Rakyat) namun pada tahun 1930 dipindahkan ke sekolah berbahasa Belanda (HIS). Ketika duduk di kelas tiga, Fatmawati dipindahkan lagi oleh ayahnya ke sekolah HIS Muhammadiyah dan sebagai akibatnya Hasan Din harus meninggalkan pekerjaannya di Borsumij. Hasan Din menghadapi masalah ekonomi yang cukup berat dan untuk meringankan beban orang tuanya, Fatmawati membantu menjajakan kacang bawang yang digoreng oleh ibunya atau menunggui warung kecil di depan rumahnya. Akhirnya keluarga Hasan Din pindah ke kota Palembang dan mencoba membuka usaha percetakan, sementara itu Fatmawati melanjutkan sekolah kelas 4 dan kelas 5 di HIS Muhammadiyah Palembang. Suatu hari Fatmawati diajak oleh ayahnya untuk bersilaturahmi dengan seorang tokoh pergerakan yang dibuang ke Bengkulu, yaitu Ir. Soekarno. Kesan pertama Fatmawati terhadap Soekarno pada waktu itu adalah sosok yang tidak sombong, memiliki sinar mata berseri-seri, berbadan tegap serta tawanya lebar. Hubungan keluarga Soekarno dengan keluarga Hasan Din terjalin erat dengan adanya kesamaan pikir untuk memajukan serta merubah kehidupan bangsa yang semakin hari semakin tertindas. Dengan bantuan Soekarno pula Fatmawati dapat melanjutkan sekolah di RK Vakschool meski terbentur persyaratan untuk menyelesaikan sekolah HIS terlebih dahulu. Fatmawati yang telah menganggap dekat dengan keluarga Soekarno, bermaksud meminta pandangan Soekarno tentang pinangan seorang pemuda anak Wedana. Ketika hal tersebut disampaikan, Fatmawati melihat perubahan raut wajah Soekarno dan akhirnya dengan suara pelan dan berat Soekarno mengeluarkan isi hatinya. Fatmawati sangat kaget ketika mendengar bahwa sebenarnya Soekarno telah jatuh cinta seja pandangan pertama kepadanya namun hal itu tidak diungkapkan karena Fatmawati masih terlalu muda. Fatmawati sangat gelisah, sebagai seorang wanita ia tidak mau mengkhianati kaumnya

Page 60: 23 June 2009

karena Soekarno telah beristri sehingga akhirnya disampaikan kegelisahan tersebut pada ayahnya. Tidak lama setelah itu terdengar kabar bahwa rumah tangga Soekarno dengan Inggit Garnasih telah berakhir. Fatmawati dan Bung Karno sempat terpisah akibat suasana peralihan yang cepat dari kekuasaan penjajah Belanda kepada tentara Jepang, namun melalui teman-temannya Bung Karno memberi kabar serta mengatur jalan menuju keperkawinan. Fatmawati menikah dengan Soekarno ketika berusia 20 tahun pada bulan Juli 1942. Seusai pernikahan, Fatmawati meninggalkan kota Bengkulu dengan diiringi kedua orang tuanya menuju kota Jakarta. Hubungan Fatmawati dengan suaminya sangat harmonis, Soekarno membuka pandangan-pandangannya tentang perjuangan bangsa Indonesia dan selalu memberinya perhatian.Tahun 1944 Fatmawati melahirkan putra pertamanya yang diberi nama Muhammad Guntur Soekarno Putra. Para petinggi Jepang yang mengenal dekat Bung Karno juga menyambut gembira kelahiran ini, bahkan Jendral Yamamoto menamai Muhammad Guntur dengan nama Osamu. Mendekati pertengahan Agustus 1945 mulai terdengar kekalahan Jepang dan puncaknya pada tanggal 14 Agustus Jepang bertekuk lutut pada tentara Sekutu. Fatmawati menghadapi masalah yang sangat pelik ketika Bung Karno dan Bung Hatta mendapat tuduhan sebagai antek-antek Jepang, namun Fatmawati tetap yakin bahwa suaminya tidak mungkin menghianati perjuangan bangsa Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945, Fatmawati melihat banyaknya orang berkumpul di rumahnya dan memanggil Bung Karno agar segera keluar dari rumah dan mengambil tindakan. Pagi itu juga, sekitar pukul sembilan bertempat di Pegangsaan Timur Jakarta, dibacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Setelah pembacaan Proklamasi, situasi Jakarta semakin gawat sehingga pada tanggal 19 September, Bung Karno berpidato yang dihadiri ribuan rakyat di lapangan Ikada Jakarta. Dalam mendampingi Bung Karno sebagai Presiden, penampilan Fatmawati tetap sederhana, ia memberikan teladan yang baik bagi kaum perempuan Indonesia baik dalam bersikap, bertingkah laku maupun dalam berpakaian. Kemanapun pergi, Fatmawati selalu memakai kerudung yang menjadi ciri khasnya dan Bung Karno selalu memujinya. Fatmawati juga mendampingi Bung Karno ketika terpaksa harus hijrah ke Yogyakarta dan kemudian melahirkan anak kedua yang diberi nama Megawati Soekarno Putri. Kelahiran anak keduanya ini tepat pada saat beduk adzan Maghrib berbunyi pada tanggal 23 Januari 1946 dan ditandai dengan turunnya hujan yang sangat lebat disertai bunyi halilintar. Hal yang paling membuat hatinya pilu adalah ketika ia dituntut untuk mandiri karena Bung

Page 61: 23 June 2009

Karno dan Bung Hatta harus diasingkan ke Pulau Bangka, sementara keluarganya tidak diperbolehkan turut serta. Ketika peperangan usai, Soekarno – Hatta kembali ke Yogyakarta dan kemudian dilantik sebagai Presiden RIS dan wakilnya untuk kemudian pindah ke Jakarta. Pada tanggal 27 September 1951 Fatmawati melahirkan anak perempuan lagi yang diberi nama Dyah Permana Rachmawati. Menyusul kemudian anak keempat yang diberi nama Dyah Mutiara Sukmawati. Keinginan Fatmawati memiliki anak laki-laki lagi terkabul dengan lahirnya Muhammad Guntur Irianto Sukarno Putra pada 13 Januari 1953. Setelah melahirkan Guntur, Soekarno meminta ijin untuk menikah lagi dengan Hartini dan Fatmawati meminta Soekarno untuk mengembalikannya lagi kepada orang tua serta menyelesaikan permasalahan secepatnya. Fatmawati tetap berprinsip tidak menyetujui poligami yang menginjak martabat wanita dan ia memilih berpisah dengan suaminya. Fatmawati meninggal dunia pada tanggal 14 Mei 1980, setelah ia menunaikan ibadah Umroh karena terkena serangan penyakit jantung ketika pesawat singgah di Kuala Lumpur dalam penerbangan menuju Jakarta dari Mekkah. Jenasahnya dikebumikan di pemakaman umum Karet Jakarta.

Sumber : Ibu Indonesia Dalam Kenangan oleh Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, dkk. Diterbitkan oleh Bank Naskah Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Biografi Indonesia, 2004

Sosbud

Jadikan Teman | Kirim Pesan

Affa

http://www.fathulhidayah.co.cc

Fatmawati, Sosok Panutan Ibu IndonesiaOPINI | 14 April 2010 | 09:12 1319 1 3 dari 3 Kompasianer menilai Inspiratif

Ini adalah bulannya Raden Ajeng Kartini. Seorang pahlawan wanita asal Jepara, Jawa Tengah yang menjadi symbol emansipasi wanita Indonesia. “Habis Gelap Terbitlah Terang” adalah karya nyata yang menjadi landasan bagi para wanita Indonesia untuk muncul ke permukaan bahwa kaum hawa kini dan di masa yang akan datang memiliki kesempatan sama dengan laki-laki dalam segala bidang, termasuk pemimpin. Namun, dalam tulisan ini saya tidak membahas tentang RA Kartini, melainkan sosok perempuan

Page 62: 23 June 2009

lainnya yang tak kalah bersejarah. Ibu Fatmawati namanya. Salah satu istri dari Presiden pertama Ir. Soekarno.

Foto di atas, adalah koleksi majalah Life. Salah satu foto langka yang sarat makna. (http://rosodaras.files.wordpress.com/2009/08/fatmawati-pidato-1946.jpg?w=470&h=590)

Sejak saya belajar sejarah di sekolah dasar hingga SMA, nama Fatmawati selalu menghiasi lukisan perjuangan bangsa merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda dan Jepang. Yang paling terkenal tentu adalah ketika beliau menjahit dengan tangannya sendiri bendera pusaka Merah Putih yang dikibarkan dalam upacara proklamasi di pagi hari tanggal 17 Agustus 1945.

Page 63: 23 June 2009

Fatmawati yang bernama asli Fatimah, lahir di Bengkulu pada tahun 1923 dan meninggal dunia di Jakarta pada tahun 1980 dan dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta.

Fatmawati, usianya baru 19 tahun ketika disunting Bung Karno yang waktu itu 41 tahun. Fatmawati, putri Hasan Din yang asli Bengkulu, menjadi first lady yang menorehkan sejarah. Fatmawati, dinikahi Bung Karno pada era pendudukan Jepang dan mengikuti pasang dan surut perjuangan mencapai kemerdekaan. Dalam masa awal kemerdekaan, tak jarang Fatmawati yang memiliki penguasaan bagus dalam hal nilai-nilai keagamaan,didaulat bericara di atas podium. (foto atas).

http://rosodaras.files.wordpress.com/2009/06/bung-karno-fatmawati1.jpg?w=228&h=300

Dalam masa berkabung pasca meninggalnya Bung Karno, Fatmawati, istri ketiga, yang pergi meninggalkan Istana setelah Bung Karno menikahi istri lainnya, Hartini. Fatmawati adalah sosok perempuan yang teguh pendirian. Ia sudah bertekad tidak akan datang ke Wisma Yaso, tempat persemayaman terakhir Bung Karno di Jakarta seperti yang dilakukan istri lainnya, Inggit Garnasih (istri kedua).  Karenanya, begitu mengetahui ayah dari lima putra-putrinya telah meninggal, ia segera memohon kepada Presiden Soeharto agar jenazah suaminya disemayamkan di rumahnya di Jl. Sriwijaya, Kebayoran Baru, meski sebentar. Sayang, Soeharto menolak permintaan Fatmawati.

Hati Fatmawati benar-benar galau. Antara jerit hati ingin melihat wajah suami untuk terakhir kali, dengan keteguhan prinsip. Bahkan, putra-putrinya pun tidak ada yang bisa mempengaruhi keputusan Fatmawati untuk tetap tinggal di rumah. Meski, atas kesepakatan semua pihak, peti jenazah tidak ditutup hingga batas akhir jam 24.00, dengan harapan, Fatmawati datang pada detik-detik terakhir. Apa hendak dikata, Fatmawati tak juga tampak muka.

Page 64: 23 June 2009

http://rosodaras.files.wordpress.com/2009/10/bk-dan-fatmawati-bersepeda.jpg?w=296&h=300

Pengganti kehadiran Fatmawati, adalah sebuah karangan bunga dari  si empunya nama. Dengan kalimat pendek dan puitis, Fatma menuliskan pesan, “Tjintamu yang menjiwai hati rakyat, tjinta Fat”… Sungguh mendebarkan kalimat itu, bagi siapa pun yang membacanya.

Fatmawati, sosok ibu yang tidak pernah dibenci anak-anaknya. Dia mungkin tak sehebat dan sepopuler RA Kartini. Dia juga bukan termasuk pahlawan nasional. Namun, dialah sosok wanita tegar, wanita yang rela cintanya terbagi, wanita yang telah melahirkan sosok-sosok wanita super. Dan salah satu anaknya Megawati pernah menjadi pemimpin negeri ini.

Indonesia bangga memiliki Ibu Fatmawati, permaisuri “Raja” Indonesia bernama Bung Karno.

Behind Every Great Man, There's a Great Woman, (Di balik laki-laki besar, selalu ada wanita besar).

<a href='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?n=a3126491&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img src='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=951&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=a3126491' border='0' alt='' /></a>

Sebuah peribahasa Amerika yang terdapat di Dictionary American Proverbs ini sepertinya sering kali diasosiasikan dengan sepak terjang ibu negara yang berada di belakang para pemimpin.

Page 65: 23 June 2009

Peribahasa itu juga yang tepat mencerminkan kekuatan Fatmawati Soekarno, ibu negara pertama negara ini, yang berada di balik kebesaran sang proklamator, Bung Karno.

Setidaknya, dalam pergelaran foto, film dokumenter, dan benda kenangan Fatmawati Soekarno di Jogja Gallery Yogyakarta, hal tersebut terungkap. Pergelaran yang digelar 14 - 21 April ini merupakan peringatan 85 tahun Fatmawati Soekarno.

Menurut Guruh Soekarnoputra, Ketua Yayasan Bung Karno sebagai penyelenggara pameran ini, Ibu Fatmawati merupakan sosok yang banyak menjadi panutan bagi kalangan perempuan pada masa perjuangan di Yogyakarta. Baik sebagai ibu negara, ibu rumah tangga kepresidenan, maupun ibu bagi anak-anaknya, katanya.

Guruh menuturkan, sosok Bung Karno dan Fatmawati telah banyak terlupakan dalam ingatan banyak orang. Apalagi dengan jeda Orde Baru yang begitu lama. Dalam pameran ini, sejarah akan kembali terungkap, tutur Guruh sembari mengisahkan gambar-gambar pada pengunjung.

Untuk itu, penyelenggaraan pameran ini juga merupakan sebuah alur flashback sejarah yang memperkenalkan kembali Fatmawati kepada masyarakat luas.

Berbagai foto, film dokumenter, dan benda peninggalan yang dipamerkan ini memang seperti kumpulan saksi sejarah yang menceritakan potret keseharian Fatmawati.

Dalam berbagai momen yang dihadirkan, kesederhanaan, kesahajaan, dan kemandirian tampak pada perempuan yang telah menjadi ibu negara ketika menginjak usia 22 tahun ini.

Tengok saja sebuah foto yang memperlihatkan bagaimana Fatmawati bersama dua perempuan lainnya tengah mencuci di Kali Code, Yogyakarta, atau foto ketika ibu negara RI ini memotong rumput dalam kerja bakti di lingkungan Istana Negara.

Lainnya, gambar Fatmawati dalam balutan kebaya Jawa yang menemani Bung Karno berbincang sembari minum bersama dengan masyarakat Sarangan, Jawa Timur. Itulah Fatmawati, ibu negara yang mau berbaur dengan rakyatnya sebegitu dekat, ujar Hendra Rahtomo, salah seorang cucunya yang hadir pada pembukaan pameran ini.

Lima periode

Rangkaian 127 foto yang terpajang di dinding Jogja Gallery ini terbagi dalam lima periode waktu, dari masa Bengkulu, pendudukan Jepang, Yogyakarta, Istana Merdeka, dan Sriwijaya. Setiap periode waktu mengisahkan perjalanan hidup sang ibu negara dengan karakter yang terpisah.

Selain itu, ditayangkan pula dua buah film dokumenter yang berjudul Bu Fat dalam Kenangan yang sebelumnya telah ditayangkan pada 2 Maret di Jakarta dan Tjinta Fatma,

Page 66: 23 June 2009

film dokudrama yang merekonstruksi percintaan Fatmawati muda dengan Bung Karno di Bengkulu.

Kurator Yayasan Bung Karno, Bambang Eryudhawan, menambahkan, periode Yogyakarta mengambil bagian terbanyak dalam pameran ini karena Yogyakarta menjadi saksi hidup perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan selama periode 1946-1949.

Dalam periode inilah, Fatmawati yang baru berusia 23 tahun menghadapai tantangan terbesar dalam hidupnya dengan terlibat sebagai pelaku sejarah, ujarnya.

Di tengah-tengah gejolak revolusi kemerdekaan, lanjut Bambang, Fatmawati berhasil membangun tradisi rumah tangga kepresidenan dari nol. Tentunya ketangguhan Bung Karno yang menghadapi berbagai masalah kenegaraan seperti peristiwa 3 Juli dan pemberontakan PKI Madiun juga tidak terlepas dari peran Fatmawati sebagai pendamping.

Kekuatan magis

Dalam masa pendudukan Jepang, peran historis Fatmawati juga dapat ditelusuri dalam bendera pusaka Merah Putih yang dijahit sendiri olehnya dan dikibarkan pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Dalam pameran itu juga terlihat bagaimana Fatmawati seperti memiliki kekuatan magis, tidak hanya di hadapan rakyatnya namun juga di hadapan sang proklamator sendiri. Seperti apa yang tertuang dalam surat cinta Bung Karno kepadanya tertanggal 11 September 1941.

Fat, dari riboean dara di doenia. Koemoeliakan engkaoe sbagai dewikoe. Koepoedja dengan njanjian moelia : kembang dan setanggi doepa hatikoe,

O, Fatma, jang menjinarkan tjahja. Terangilah selaloe djalan djiwakoe, soepaja sampai di bahagia raja. Dalam swarganya tjinta- kasihmoe.

Itulah Fatmawati yang pesonanya membuat sang founding fathers negara ini pun takluk. Kuat dalam karakter kesederhanaan dan cahaya kelembutan.

Fatmawati juga tidak hanya dikenang sebagai ibu negara namun juga insan pejuang. Untuk itulah, Fatmawati Soekarno dianugerahi gelar Pahlawan Nasional sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. Tidak hanya itu, hingga saat ini nama Fatmawati juga diabadikan sebagai salah satu nama rumah sakit dan jalan di daerah Jakarta Selatan. (A06)

Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by

Share

Page 67: 23 June 2009

Ada 0 Komentar Untuk Artikel Ini.  

 Kirim Komentar AndaSilakan login untuk kirim komentar Anda. Komentar

Redaksi menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar. <a href='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?n=a7aa5aba&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img src='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=20&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=a7aa5aba' border='0' alt='' /></a> <a href='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?oaparams=2__bannerid=3891__zoneid=22__cb=b0909ddb0c__oadest=http%3A%2F%2Fd.pantaumaya.com%2Fpx%2Fwww%2Fdelivery%2Fck.php%3Fn%3Da669fcef%26amp%3Bcb%3Db0909ddb0c' target='_blank'><img src='http://d.pantaumaya.com/px/www/delivery/avw.php?zoneid=194&amp;n=a669fcef&amp;ct0=http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?oaparams=2__bannerid=3891__zoneid=22__cb=b0909ddb0c__oadest=' border='0' alt='' /></a>

Nasional Terpopuler Terkomentari

Selengkapnya Korban Kecelakaan Merpati di Kaimana

Page 68: 23 June 2009

Ada 1.000 Hakim Nakal di Indonesia... Presiden: Selamatkan Korban Merpati Merpati Jatuh karena Cuaca? Tujuh Penumpang Merpati Belum Ditemukan

Benda Kenangan Fatmawati, rtfMay 27, '08 11:11 AMfor everyone

Di Balik Pameran Foto, Dokumenter dan Benda Kenangan Fatmawati di Jogjakarta

MENGETUK RASA, PINTU BATIN BANGSA DAN NEGARAWAN

 

            Bila di Jember, Jatim dan Banyumas, Jateng beredar issue pencairan dana revolusi

Bung Karno, di Jogjakarta ada pameran foto kehidupan Fatmawati Soekarno di masa lalu.

Pameran foto, film dokumenter dan benda kenangan Fatmawati itu juga digelar di tengah

ontran ontran Keistimewaan DIJ. Ada apa di balik semua itu?

 

POSMO-Seperti sengaja menyentil keadaan yang kini sedang terjadi, Yayasan Bung

Karno dan Yayasan Fatmawati Sukarno menggelar pameran foto, film dokumenter dan

benda kenangan Fatmawati Soekarno di Jogja Galllery, jalan Pekapalan Alun Alun Utara

Kasultanan Jogjakarta, 14-21 April, kemarin. Seratus foto kenangan Ibu Fatmawati

semasa kecil di Bengkulu hingga kehidupan beliau di Jogjakarta, dipamerkan secara

polos dengan fokus penataan kronologis pada kisah di Jogjakarta.

            Seratus foto, film dokumenter dan benda kenangan Fatmawati Soekarno yang

ditampilkan secara apa adanya justru menghentak nurani bangsa ini. Betapa Fatmawati

telah berperan sebagai Ibu Negara sekaligus sebagai ibu rumah tangga biasa sebagaimana

dikodratkan. Gambaran mengharukan tampak pada foto Fatmawati ketika mencuci

pakaian di Kali atau Sungai Code (1949) dan memotong rumput di halaman Gedung

Agung Jogjakarta (1950). Pemandangan itu mustahil bisa ditemukan di zaman sekarang.

Page 69: 23 June 2009

Apa yang dilakukan oleh Fatmawati itu kiranya bukan karena keadaan atau

keterpaksaan. Sebab, betapa pun miskinnya bangsa Indonesia ketika itu, seorang Ibu

Negara tentu mampu menyuruh seorang batur atau pembantu untuk mencucikan pakaian

dan memotong rumput. Setidaknya, bila tak mampu secara financial, derajat kepangkatan

Fatmawati cukup membuat beliau pantas meyuruh seseorang. Pada kenyataannya, hal itu

tidak dilakukan. Sungguh, foto tersebut seolah hendak mengetuk rasa, pintu batin bangsa

ini yang jauh dari sikap kebersahajaan dan kejujuran seorang negarawan.

Belum lagi foto foto keluarga Bung Karno bersama Fatmawati dan para putra dan

putri beliau seperti Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Sebuah foto

Bung Karno dan Ibu Fatmawati sedang menabuh gamelan bersama putra putrinya (1956),

merupakan gambaran peran orangtua dalam mendidik anak dengan kebudayaan bangsa

sendiri.

Teristimewa adalah foto Guruh Sukarno Putra saat dipangku oleh mendiang Sri

Sutan HB IX, berangka tahun 1956. Ditambah lagi, beragam benda kenangan Fatwati dan

sejumlah film dokumenter yang mengisahkan penggal peristiwa antara tahun 1946-1949.

Semua menunjukkan peran besar keluarga Bung Karno, Sri Sultan HB IX dan rakyat

Jogjakarta dalam membentuk sekaligus mempertahankan kedaulatan negara RI, yang saat

itu berada di ambang kehancuran.

 

Peringatan Sejarah Bagi Bangsa

            Komposisi foto, film dokumenter dan benda kenangan Fatmawati serta lokasi

penyelenggaran pameran tersebut, seperti sengaja ingin mengingatkan memori bangsa

ini, akan peran historis Bung Karno, Sultan HB IX dan rakyat Jogja di tengah polemik

keistimewaan DIJ. Foto foto tersebut sudah dengan sendirinya berbicara dalam bahasa

visual, akan peran besar kota Jogjakarta. Tak berlebihan bila kemudian Jogjakarta

dikatakan sebagai pusat pikiran, perasaan dan tindak pejuangan bangsa Indonesia, kala

itu. Pameran itu juga seakan digelar bertepatan dengan ontran ontran dana revolusi Bung

Page 70: 23 June 2009

Karno, yang kembali merebak di sejumlah daerah. Adakah kaitan pameran tersebut

dengan dua peristiwa yang kini sedang hangat terjadi?

            Rutney Sigit Lingga, panitia divisi pameran foto tersebut mengatakan kepada

posmo, pameran ini diharapkan bisa menjadi pemicu, agar segenap elemen bangsa ini

semakin sadar akan peran sejarah anak bangsanya di masa lalu. Tanpa sengaja

mengkaitkan pameran tersebut dengan polemik keistimewan DIJ, Rutney mengatakan,

dipilihnya Jogjakarta sebagai tempat penyelenggaraan puncak acara pameran tersebut,

adalah peran Jogja di masa lalu. Sebagaimana diketahui, Jogjakarta memegang peranan

kunci dari hidup matinya RI pada periode waktu 1946-1949. Saat itu, Jakarta tak bisa

dipertahankan karena penetrasi penjajah dan pindah ke Jogjakarta. Di kota inilah RI

muda bertahan dengan bantuan penuh Kraton Jogjakarta.

            Pameran foto di Jogja Gallery merupakan puncak rangkaian acara peringatan 85

tahun Ibu Fatmawati. Dimulai sejak 5 Februari lalu, di Jakarta, dengan acara ziarah dan

pengajian. Pada 2-4 Maret pameran foto di Jakarta dan di Bengkulu pada 21 Maret.

Bengkulu adalah kota kelahiran Fatmawati, 5 Februari 1923, silam. Jogjakarta dipilih

sebagai tempat diselenggarakannya puncak keseluruhan hajatan itu karena nilai

historisnya. Rutney mengatakan, meski hanya 100 foto yang dikumpulkan dari koleksi

keluarga, yayasan dan dokumen surat kabar tempo dulu, namun pameran ini merupakan

yang terbesar dan pertama di Indonesia.

            Selain itu, rangkaian acara yang bertepatan dengan 85 tahun Ibu Fatmawati ini

sengaja diadakan di tahun 2008 karena banyak momen besar. Antara lain Hari Kartini,

21April dan 100 Tahun Kebangkitan Nasional, 20 Mei mendatang serta berbagai

peristiwa yang terjadi di negeri ini. Rutney mengatakan, pameran yang diharapkan bisa

menjadi pemicu agar bangsa ini semakin sadar akan sejarahnya, sebenarnya adalah tugas

pemerintah.

            Terkait ontran ontran dana revolusi Bung Karno yang kini kembali mencuat,

Rutney mengatakan, selama ini Yayasan Bung Karno tak pernah menemukan surat wasiat

yang menunjukkan Bung Karno memiliki sejumlah harta seperti yang dimaksudkan

Page 71: 23 June 2009

sebagai dana revolusi. “Bila benar memang ada, tentunya dana itu sudah digunakan oleh

Megawati ketika menjadi presiden untuk membangun negara ini”, ujar Rutney.

            Kepada posmo, Rutney juga mengatakan, issue dana revolusi Bung Karno sengaja

dihembuskan oleh pihak pihak tertentu yang ingin mendapatkan keuntungan. Entah

material maupun keuntungan politis. “Artinya ada pihak pihak yang ingin mengail di air

keruh”, ujar Rutney, seraya mengimbuhkan, pihaknya sering didatangi oleh sejumlah

orang yang mengaku bertemu dengan Bung Karno dan mengatakan Bung Karno masih

hidup. Namun hingga kini, semua pengakuan itu tidak terbukti. Begitu pula dengan dana

revolusi Bung Karno. KOKO T.

berguna.

Friday, December 22, 2006

Sebelum menikah dengan Hartini. Soekarno tidak melakukan Poligami

Dalam bukunya "Mohammad Hatta, memoir", Bung Hatta yang ayah Menteri Peranan Wanita Meutia Hatta ini bercerita soal proses perkawinan Soekarno dan Fatmawati pada zaman Jepang : "Pada suatu waktu aku dengar berita, bahwa Soekarno akan kawin lagi dengan seorang anak didiknya di Bengkulu, yang namanya yang asli diubah menjadi Fatmawati. Wanita ini tidak lama lagi akan datang ke Jakarta. Alasan Soekarno ialah bahwa Ibu Inggit tidak dapat mempunyai anak lagi, sedangkan Soekarno ingin mempunyai turunan. Menurut Kyai Mansur, mungkin Ibu Inggit tidak berkeberatan, sebab ia sendiri kenal Fatmawati. Waktu di Bengkulu, Fatmawati sering datang ke rumahnya dan sering pula bergaul dengan dia. Malahan dipandangnya sebagai anaknya sendiri. Dalam pada itu, atas petunjuk Soekarno, Shimizu dapat mengusahakan, supaya Pegangsaan Timur 56 dapat ditentukan untuk rumah kediaman Soekarno. Ibu Inggit

Page 72: 23 June 2009

masih tinggal di rumah di pojok jalan Oranye Boulevard dan jalan Mampang. Pada suatu hari Soekarno datang ke kantorku, mengatakan kepadaku, bahwa ia terpaksa bercerai dengan Inggit, tetapi beberapa syarat yang berhubungan dengan perceraian itu dibuat di muka anggota empat serangkai lainnya. Aku menjawab bahwa apabila perceraian itu tidak dapat dihindarkan, aku bersedia, syarat-syarat akibat perceraian itu dibuat oleh empat serangkai pada kantorku itu. Harinya kami tentukan keesokan harinya, kira-kira jam 10 pagi dan Soekarno akan memberitahukan kepada Dewantoro dan Kiayi Mansur. Keesokan harinya pada jam 10 pagi kami bersidang dikamarku. Syarat itu ialah : 1. Soekarno akan memberi belanja hidup saban bulan kepada Inggit selama hidupnya. 2. Soekarno akan membelikan sebuah rumah di Bandung untuk kediaman Inggit seumur hidupnya. Kedua syarat itu dibuat dimuka empat serangkai dan ditanda tangani oleh empat serangkai masing-masing. Aku kira syarat itu tidak berat dan masuk akal. Soalnya ialah siapa yang akan mengawasi bahwa kedua syarat itu dilaksanakan oleh Soekarno ?". Shimizu adalah kepala pusat propaganda bala tentara Jepang ke 16 yang amat berkuasa untuk membagi-bagi rumah tinggalan Belanda. Oranye Boulevard adalah jalan Diponegoro sekarang dan jalan Mampang adalah jalan Tjikditiro sekarang. Empat serangkai adalah istilah kelompok para pemimpin Indonesia dizaman Jepang yang dijuluki oleh Soekardjo Wirjopranoto pimpinan surat kabar Asia Raya. Mereka adalah Soekarno, Hatta, Kiayi Mas mansur dan Kihajar Dewantoro. Foto atas : Hari Ibu tanggal 22 Desember 1947 bertempat dialun-alun Yogya. Tampak baris depan, dari kiri kekanan Bu Dirman, Bu Fatmawati, Pak Dirman dan Presiden Soekarno. Sedang berpidato Ibu SK Trimurti.

Fatmawati Sukarno dan Yogyakarta

Joko Widiyarso - GudegNet

Ibu Fat, demikian sapaan akrabnya. Fatmawati Sukarno, seorang ibu itu baru berusia 23 ketika harus menyandang predikat dan tugas yang tidak mudah sebagai Ibu Negara pertama RI dan ibu bagi kelima putra-putrinya pada periode Pendudukan Jepang, periode Yogyakarta, periode Istana Merdeka, dan periode Sriwijaya.

Bagi beberapa pihak, kenangan Ibu Negara penjahit bendera Pusaka ini mungkin telah terlupakan. Atas dasar itulah, sebagai rangkaian kegiatan peringatan 85 tahun meninggalnya Fatmawati Sukarno, Yayasan Bung Karno dan Yayasan Fatmawati Sukarno menggelar kegiatan pameran Pergelaran Foto, Film Dokumenter & Benda Kenangan "Fatmawati Sukarno".

"Pameran ini diadakan oleh Yayasan Bung Karno dan Yayasan Fatmawati Sukarno sebagai rangkaian kegiatan peringatan 85 tahun Ibu Fat sejak meninggal tahun 1980. Diharapkan dengan pameran ini bangsa Indonesia dapat kembali mengenang Ibu Negara

Page 73: 23 June 2009

pertama RI Fatmawati Sukarno," kata Guruh.

Pameran yang digelar di Jogja Gallery (JG) ini Senin malam (14/04) dibuka oleh ketua umum Yayasan Bung karno, Guruh Sukarno Putra. Pameran yang akan berlangung hingga 21 April 2008 ini menampilkan koleksi foto Fatmawati Sukarno, dua film dokumenter berjudul "Bu Fat Dalam Kenangan" dan Tjinta Fatma, serta benda kenangan yang merupakan barang pribadi Fatmawati dan Bung karno seperti koleksi pakaian Ibu Fat dan Bung Karno yang baru kali ini ditampilkan dalam sebuah pameran.

Jogja merupakan kota penting dalam sejarah bangsa Indonesia termasuk bagi Fatmawati Sukarno. Berbagai peristiwa penting terjadi pad bangsa ini seperti peristiwa 3 Juli, clash I dan II, dan pemberontakan PKI Madiun. Pada masa tersebut,  Bung Karno didampingi Ibu Fat berhasil melalui hari-hari yang berat. Alasan tersebut merupakan alasan mengapa pameran ini diselengarakan di Jogja. "Jogja itu spesial bagi sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Momen berharga dilalui Ibu Fat dan Bung Karno di Jogja," katanya.  

Pada pameran ini dapat dilihat dokumentasi berbagai kegiatan Fatmawati Sukarno baik sebagai Ibu Negara maupun ibu rumah

tangga di Istana Presiden Yogyakarta (Gedung Agung). Koleksi dokumentasi tersebut dikumpulkan oleh Yayasan Bung Karno, Yayasan Fatmawati, koleksi keluarga, dan berbagai media cetak tempo dulu. Sebagai salah satu pengemban amanat Bung Karno, Guruh Sukarno Putra senantiasa berusaha menjaga barang peninggalan presiden pertama RI itu. Salah satu wujudnya adalah bersama ke-8 putra putri Bung Karno yakni Guntur Sukarno Putra, Megawati Sukarno Putri, Rachmawati Sukarno Putri, Sukmawati Sukarno Putri, Taufan Sukarno Putra, Bayu Sukarno Putra dan Kartika  Sari Sukarno Putri, Guruh Sukarno Putra mendirikan Yayasan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1978.

Bu Fatmawati Soekarno dalam Sekilas KedaulatanOPINI | 27 August 2010 | 13:35 362 5 1 dari 1 Kompasianer menilai Menarik

Ramai dalam pemberitaan, ramai dalam perbincangan, ramai dalam berbagai Media beberapa waktu belakangan seputar menegangnya hubungan RI-Malaysia. Berbagai pendapat muncul mulai dari keterangan yang kuat dan lemah, positif dan negatif, dan seakan kita semua diajak untuk mengingat kembali Masa - masa Bung Karno yang begitu lantang dalam pidatonya yang keras untuk Menggayang Malaysia. Permadi pun laris tampil di beberapa media untuk mengobarkan semangat nasionalisme Bung Karno. Seakan semua orang kini kembali mengingat Kewibawaan Bung Karno yang sempat terlupa. Aksi - aksi demonstrasi menuntut ketegasan Pemerintah Indonesia mulai marak terjadi, terakhir aku lihat aksi mereka melalui layar televisi yang menginjak - injak

Page 74: 23 June 2009

bendera Malaysia dan kemudian membakarnya di hari kemarin. Jujur, rasanya agak geram melihat Polisi yang berniat melarang aksi itu, bila aku adalah Polisi yang bertugas saat itu, mungkin akan aku biarkan saja mereka melakukan aksinya, hitung - hitung mewakili kekesalan hatiku juga hahaha… untunglah aku bukan aparat hahaha….

Dialog - dialog pun mulai panas membahas masalah ini, dengan topik Kedaulatan RI, apalagi setelah pernyataan setengah menantang dan mengancam dari Pemerintah Malaysia yang disampaikan melalui Menlunya. Wuiiihhhh…. ruwet rasanya bila dipikirkan, terlihat jelas ke-stress-an yang menyelimuti wajah tampan Menlu kita Marty Natalegawa. Tapi sudahlah, kali ini aku mau bicara masih seputar Indonesia tetapi Indonesia yang sedikit berbeda. Bila semua konsentrasi terpusat pada Kebijakan dan Sosok Bung Karno terkait Malaysia, maka aku mau membahas yang pernah berarti dalam hidup Bung Karno “Fatmawati Soekarno” jiaaahhh apa hubungannya Bu Fatma, Bung Karno dan ketegangan Hubungan RI - Malaysia yang sekarang tengah terjadi?? hahahaha…. entahlah tapi tiba - tiba saja aku mengingat Bu Fatma dan ingin menulis sedikit pengetahuanku tentang Beliau.

Aku lahir tahun 1987, sementara Beliau meninggal di tahun 1980 saat melaksanakan Umroh, wah tentu saja aku tak punya bayangan apapun tentang Beliau. Ibu Negara yang pertama kali aku kenali lewat Koran langganan keluarga dan Televisi ( masih jaman TVRI ) adalah Ibu Tien Soeharto yang selalu dan selalu terlihat tersenyum. Aku lupa kapan tepatnya aku mengenal sosok Bu Fatma, tapi yang jelas ketika aku tahu Beliau adalah penjahit bendera Merah Putih yang pertama kali atau kita kenal dengan Bendera Pusaka, hatiku tiba - tiba saja mengagumi Beliau, mungkin aku waktu kecil sudah punya nasionalisme dan rasa memiliki terhadap Indonesia yang cukup besar hehehe….

Ibu Fatmawati lahir di Bengkulu pada 05 Febuari 1923 ( seusia Eyangku), Beliau merupakan putri tunggal dari Tokoh Muhammadiyah Bengkulu Hassan Din dan Istrinya Siti Khadijah. Keluarga ini menarik buatku, berdasarkan beberapa cerita yang aku dengar, sumber yang aku baca, dan sebuah dokumenter tentang Bu Fatma.  Keluarga Hassan Din sangatlah sederhana. Konon, Beliau dulu mempunyai pekerjaan di kantor pemerintahan yang gajinya lumayan bahkan lebih dari cukup. Namun, ketika pemerintah Kolonial Belanda melarang Hassan Din banyak membantu perjuangan rakyat Indonesia, Hassan Din pun mengundurkan diri dan hanya memilih untuk menjadi tokoh Muhammadiyah dan memilih untuk berjuang  bersama masyarakat Bengkulu. Walau dari keluarga yang begitu Islami, Hassan Din selalu mengajarkan toleransi kepada Fatmawati.

Page 75: 23 June 2009

Tidak seperti orang tua pada umumnya yang tidak begitu memikirkan nasib anak gadisnya kala itu, Hassan Din justru membentuk Fatmawati menjadi perempuan yang pantas untuk dihargai.

Selain Ilmu Agama tentunya, Hassan Din dan Istrinya mendidik Ibu Fatma sedari kecil untuk cinta pada Tanah Air, memikirkan Kemerdekaan dan berkorban demi Tanah Air. Hassan Din sadar, untuk menjadikan seorang Fatma yang berfikiran maju dan berwawasan luas maka haruslah didukung dengan pendidikan yang bagus. Kendati tokoh Muhammadiyah yang terpandang, Hassan Din toh tidak terlalu fanatik terhadap kehidupan sehari -harinya. Ibu Fatma justru disekolahkan di sekolah Katolik, bahkan Bu Fatma pernah memerankan Bunda Maria dalam sebuah teatrikal sekolah yang juga dihadiri oleh kedua orang tuanya. Sang Ibu pun tak kalah perannya bagi perjuangan masyarakat Indonesia. Konon, Siti Khadijah juga mengajari perempuan - perempuan Bengkulu membaca. Maka tak heran bila Ibu Fatma disekolahkan di sekolah Katolik. Dulu, ketika mama menyekolahkan aku ke sekolah Katolik, banyak temannya yang mempertanyakan, takut - takut kalau aku tidak bisa membedakan mana ajaran Agama Islam ( Agamaku ) dan mana ajaran Agama Katolik ( dari sekolahku ). Bagi mama, semua agama mengajarkan kebaikan jadi ya diambil positifnya saja, toh ketakutan teman - teman Mama juga tidak terbukti.

Ibu Fatma dikenal cerdas, pandai, berbakti pada orang tua, Agama, dan Nusa Bangsa. Ibu Fatma dikenal memiliki pemikiran yang maju, bahkan putri pertamanya, Megawati Soekarno Putri dalam Harlah Ibu Fatma yang ke 85 mengatakan Ibunya sebagai sosok perempuan yang maju, ideal, dan sebagai perempuan yang sangat mumpuni. Megawati juga pernah bilang dalam sebuah acara Talk show berkualitas di Indonesia “Ibu saya pergi dengan begitu elegan dari Istana karena tidak mau melihat suaminya berpoligami“. Ibu Fatma memang terlihat seperti memiliki sifat yang keras. Dulu, Hassan Din tidak setuju Bung Karno memilih putrinya untuk dipinang karena Bung Karno telah memiliki seorang istri yang juga dikenal baik oleh keluarga Hassan Din “Inggit Garnasih”. Ibu Fatma baru diijinkan menikah dengan Bung Karno setelah Bung Karno bercerai dengan Bu Inggit karena alasan keturunan.

Bersama Bu Fatma, Bung Karno dikarunai lima orang anak. Bu Fatma juga turut mendukung perjuangan Bung Karno dalam memerdekakan Indonesia yang kini kondisinya carut marut gak karuwan. Bu Fatma pula yang mendampingi Bung Karno menyampaikan gagasan rumusan Pancasila dalam RAPAT PPKI. Bu Fatma juga yang menjahit Bendera Merah Putih dengan tangannya sendiri. Konon, Bu Fatma dulu sempat menjahit bendera tersebut dengan mesin jahit, namun karena Beliau sedang mengandung, dokter menyarankan Beliau untuk tidak menjahit dengan gerakan kaki. Alhasil, Beliau jahit secara manual dengan kedua tangannya seraya menyanyikan lagu Indonesia Raya dan bonus titikan air mata Beliau. Bu Fatma juga dikenal luwes ketika menyambut tamu Negara.

Ibu Fatma yang cerdas, berpendidikan, berwawasan luas, suka berdebat, dan luwes dalam bersosialisasi ini memang memutuskan keluar dari Istana ketika Bung Karno memilih untuk menikah lagi. Bagiku disinilah letak keistimewaan Bu Fatma. Beliau memilih

Page 76: 23 June 2009

meninggalkan Istana, tidak menjadi Ibu Negara, dan tidak tinggal satu atap bersama ke lima anaknya. Ibu Fatma meninggal ketika dalam Ibadah Umroh di tahun 1980. Sebagai penjahit Bendera Pusaka, dan menjahitnya dengan air mata seraya bernyanyi lagu Indonesia Raya, mungkin Beliau kini pun tengah menangis melihat Kedaulatan Negara yng disaksikannya Belum Merdeka hingga Merdeka dijadikan sebuah permainan oleh negara yang tak begitu besar dan Hobi mencari masalah.

Mega Bocorkan Rahasia Soekarno Jatuh Cinta ke Fatmawati

Selasa, 5 Februari 2008 15:24 wib

 0  0Email0

JAKARTA - Sebagai anak mantan Presiden RI, Megawati tentu menjadi sorotan banyak orang. Apalagi mengenai kiprah kedua orangtuanya, Soekarno dan Fatmawati, yang disebut Mega sebagai figur ideal. Dalam sebuah kesempatan, Mega pun membocorkan rahasia bagaimana ayahnya jatuh cinta kepada Fatmawati.

"Ibu saya itu orangnya suka berdebat," cerita Megawati mengenang kisah Fatmawati ketika masih hidup bersama. Mega menceritakan hal itu dalam acara peringatan Harlah Fatmawati ke-85 di Gedung Pola, Tuga Proklamasi, Jakarta, Selasa (5/2/2008).

Mega menambahkan, meski suka berdebat, namun Fatmawati tidak pernah melukai perasaan orang yang diajaknya berdebat. "Itulah yang menurut saya kenapa bapak (Soekarno) jatuh cinta kepada ibu (Fatmawati)," kenang Mega.

Mega juga menyanjung sang ibu sebagai seorang wanita yang maju, ideal, dan sebagai perempuan yang sangat mumpuni. (Rahmat Sahid/Sindo/ahm)

Rumah Fatmawati Soekarno Kurang Dikenal Wisatawan

Selasa, 14 September 2010 20:27 WIB | 1711 Views

ilustrasi (ANTARA/Hendri/ss/hp)

Berita Terkait

Page 77: 23 June 2009

Biaya Nikah? Itu Gratis Tim SAR Lanjutkan Pencarian Nelayan Hilang Enam Gajah Latih Kembali ke PLG Sebalat Paket Diduga Bom Ternyata Isinya Kabel Lahan Pusat Latihan Gajah "Disunat" Demi Tambang?

Video Perkara Agusrin Akhirnya Disidangkan Mahfud Kembalikan Uang Dirwan

Bengkulu (ANTARA News) - Objek wisata rumah Fatmawati Soekarno di Jalan Fatmawati Kota Bengkulu kurang dikenal wisatawan karena minimnya sosialisasi. "Meskipun jumlah wisatawan pada lebaran ini berjumlah ribuan orang berkunjung ke Bengkulu tetapi yang datang kesini hanya beberapa ratus orang saja," kata penjaga rumah Fatmawati Soekarno Bayu, Selasa.

Ia mengatakan sejak dibuka pada H+3 dan H+4 jumlah wisatawan yang berkunjung hanya sekitar 100 orang."Mereka ada yang datang dari Jakarta, Bali dan Jawa Timur," katanya.

"Hanya beberapa rombongan yang datang kesini padahal setahu saya pengunjung ke rumah pengasingan Soekarno di jalan Soekarno yang tidak jauh dari sini hingga ribuan orang," katanya.

Pada hari biasa ia mengatakan rata-rata pengunjung objek wisata tersebut yakni pelajar selain itu juga orang-orang dari luar Provinsi Bengkulu yang ingin mengetahui salah satu bukti sejarah didaerah ini.

Ia menambahkan setiap wisatawan yang berkunjung ke rumah Fatmawati tersebut tak lupa diberinya petunjuk menuju objek wisata lain yang berada di Kota Bengkulu.

"Kami selalu memberitahu keberadaan objek wisata lain di Kota Bengkulu ini kepada para wisatawan agar mereka mempunyai informasi mengenai keberadaan tempat wisata lain yang bisa dikunjungi tetapi entah bagi para penjaga objek wisata yang lain tersebut," katanya.

Ia mengatakan pengunjung biasanya banyak pada saat ada perayaan di Bengkulu seperti saat Seleksi Tilawatil Quran (STQ) dan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) yang dilaksanakan beberapa waktu lalu.

Rumah Fatmawati merupakan objek wisata yang menyimpan benda-benda peninggalan istri Presiden Republik Indonesia tersebut.Di dalamnya terdapat foto-foto fatmawati dari kecil hingga menikah dengan Presiden Soekarno.

Selain itu dalam ruangan tersebut juga terdapat puisi buatan Fatmawati dan presiden Sukarno yang terkenal dengan jiwa seninya. "Puisi "Sarinah" ini merupakan puisi yang

Page 78: 23 June 2009

dibuat presiden Sukarno untuk Fatmawati," katanya.

Fatmawati yang merupakan wanita keturunan Bengkulu tersebut dikaruniai lima orang anak ketika menikah dengan Presiden Sukarno.

"Hanya Guruh dan Sukmawatiyang sering berkunjung kerumah ini," katanya.

Ia mengharapkan agar peninggalan sejarah tersebut selalu dipelihara sehingga keberadaannya dapat disaksikan oleh generasi penerus mendatang.(*)

(ANT-213/R009)

Kata Terakhir Ibu Fatmawati Soekarno : “AKU BERDO’A UNTUK CITA-CITA   INDONESIA   MERDEKA”

Artikel dari majalah Panji Masyarakat No.297, 15 Juni 1980, Tahun XXI , 2 Sya’ban 1400

Halaman 41

Beruntun berturut-turut para janda tiga pemimpin revolusi kita mengunjungi Tanah Suci melaksanakan ibahdah Haji Umrah. Mulanya berangkat Ny.Rahmi Hatta, lalu disusul oleh Ny.Fatmawati Soekarno, kemudian tiba di Jeddah tanggal 10 Mei 1980 rombongan Ny.Siti Wahyunah Poppy Sjahrir. Pada tanggal 11 Mei 1980 bertepatan dengan hari ulang tahun ke-60 Ny.Sjahrir, dutabesar Hadi Thayeb mengadakan jamuan makan di kediamannya dan di situ hadir Ny.Fatmawati Soekarno. Tiga hari kemudian, pada perjalanan kembali ke tanah air, Ny.Fatmawati meninggal dunia di Kuala Lumpur. Wartawan Indonesia terakhir yang mewancarainya di Jeddah ialah H.Rosihan Anwar yang kebetulan sedang melaksanakan ibadah Haji Umrah.

Ny.Fatmawati berkata waktu itu : “Datang ke Mekah sudah menjadi pendaman cita-citaku. Saban hari aku melakukan zikir dan mengucapkan syahadat serta memohon supaya diberi kekuatan mendekat kepada Allah. Juga memohon supaya diberi oleh Tuhan, keberanian dan melanjutkan perjuangan fi sabilillah. Aku berdo’a untuk cita-cita seperti semula yaitu cita-cita Indonesia Merdeka. Jangan sampai terbang Indonesia Merdeka:.

Sejurus ia berhenti. Ia melanjutkan : “Aku mendo’a di Masjidil Haram……”. Ia berhenti lagi. “Bagaimana perasaan Ibu Fat ketika itu?”tanya H.Rosihan Anwar.

“Seperti di alam sorga. Ternganga aku”‘, sahut Ny.Fatmawati. Ia tambahkan : “Bahagia sekali aku dapat mencium Hajar Aswad pada malam Jum’at”.

Page 79: 23 June 2009

Dalam pada itu Ny.Rahmi Hatta sekembalinya dari Mekkah ketika diwawancarai oleh H.Rosihan Anwar mengatakan : “Ber-umrah lain daripada diwaktu Haji. Memang dimaksud melaksanakan ibadah Haji Umrah itu tadinya ialah bersama-sama dengan Bung Hatta. Tapi sejak tahun yang lalu Bung Hatta sakit-sakitan. Setelah Bung Hatta tidak ada, kami pergi juga. Di Ka’bah saya menangis, karena saya sendiri. Senyum Bung Hatta selalu terbayang-bayang, dan kami selalu mendo’akan Bung Hatta. Berumrah itu memang nikmat. Ka’bah itu memang mempunyai daya tarik sendiri buat orang Islam, membuat kita terharu bila melihatnya. Dengan tiada sengaja keluar air mata”.

Sedangkan Ny.Siti Wahyunah Poppy Sjahrir mengatakan dia bersyukur dan berbahagia karena telah dapat melaksanakan ibadah Haji Umrah. Pada akhir tahun yang lalu dia memperoleh suatu petunjuk ghaib : “Kau harus pergi ke Mekkah”. Alhamdulillah hal itu sudah dilaksanakannya. (HRA)

HRA : H.Rosihan Anwar

Fatmawati

Hubungan

Istri

Riwayat

Page 80: 23 June 2009

Fatmawati (ada yang berkata nama aslina Fatimah. Red.) lahir pada tanggal 5 Pebruari 1923, dari suami-isteri Hassan Din dan Siti Chatidjah. Tidak memiliki rumah sendiri (dan selalu menyewa atau, menumpang), Hassan Din bukan orang berada. Kemelaratan ini lebih-lebih lagi melanda ketika Hassan Din harus keluar dari Borsumi dan aktif dalam gerakan Muhammadiyah di Bengkulu.

Pernah, ketika masih duduk di kelas II HIS Muhammadiyah, Fatmawati berjualan ketoprak seusai sekolah. "Inilah jalan yang aku tempuh untuk meringankan beban orangtuaku," tulisnya. Usia 12 tahun, sudah bisa dilepas di warung beras ayahnya.

Ketika usianya 15 tahun, Fatmawati bertemu dengan Sukarno. Bahkan seluruh keluarga -- ayah, ibu, Fatma dan adik ayahnya -- naik delman mengunjungi rumah Sukarno di Curup. "Masih kuingat, aku mengenakan baju kurung warna merah hati dan tutup kepala voile kuning dibordir." Pendapat Fatmawati tentang Inggit, yang waktu itu jadi isteri Bung Karno: "Inggit mempunyai pembawaan halus, pandai tersenyum dan gemar makan sirih. Berpakaian rapi, tak banyak reka-reka menurut model sebelum generasiku, memakai gelur bono Priangan. Pada penglihatanku, Ibu Inggit seorang yang tidak spontan, gerak-geriknya hati-hati. Bercakap pun demikian. Matanya kelihatan seakan-akan suka marah dan kesal. Jika orang tak kuat batin, rasanya susah berdekatan dengan beliau

Saat yang paling penting dalam kehidupannya, di saat-saat menjelang proklamasi 17 Agustus 1945, demikian Fatmawati. Ibu Negara ini yang menggunting dan menjahit bendera pusaka yang kini disimpan. Di masa-masa pergolakan ada beberapa catatan penting tentang soal yang bisa saja dianggap remeh-remeh. Misalnya: Kunjungan beliau yang pertama ke luar negeri adalah ke India. Beliau ketika itu memakai perhiasan pinjaman dari isteri Sekretaris Negara, seorang keturunan bangsawan kraton yang kebetulan punya persediaan.

Tentang Yogya - dan Fatma berdiam di gedung yang kini namanya Gedung Negara -- ia menulis: "Satu kali kami menjamu Merle Cochran dengan perabot dan pecah-belah pinjaman dari kiri-kanan dengan protokol `perjuangan`nya." Artinya: protokol yang juga sibuk pinjam taplak meja di rumah lain kalau kebetulan ada tamu negara. Juga protokol yang, tanpa bisa dilihat oleh tamu negara, bersembunyi dan memberi tahukan kepada Bung Karno, kapan dia harus angkat gelas. Istana waktu itu memang bukan Istana yang sekarang.

Page 81: 23 June 2009

Fatmawati meninggal pada tahun 1980 dan dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta. Ia adalah istri ke-3 dari Presiden Pertama Indonesia, Soekarno. Ia juga dikenal akan jasanya dalam menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang turut dikibarkan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945. Dari pernikahananya dengan Soekarno ia dikaruniai 5 orang anak.

Istri-Istri   Soekarno

Rumah bercat hijau di Jalan Bonang 62, Jakarta Pusat, cukup unik. Di tembok terasnya tertulis ”Srihana-Srihani”. Tulisan itu cukup mencolok, berwarna kuning keemasan setinggi 40 sentimeter. Setiap orang yang melintas di depan rumah itu selalu menduga, Srihana-Srihani adalah nama pemilik rumah. Padahal, si empunya rumah bernama Hartini, janda mantan Presiden Soekarno, atau Bung Karno (BK).

Srihana-Srihani adalah nama samaran ketika BK berkirim surat dengan Hartini. Srihana nama samaran BK, sementara Srihani untuk Hartini. ”Ah, itu kenangan lama. Tapi, saya suka nama samaran pemberian Bapak,” katanya mengenang. Seperti apa isi surat-surat itu? ”Itu urusan pribadi, tapi Bapak selalu menulis yang indah-indah,” Hartini menambahkan.

Soal surat-menyurat, BK sangat pintar memanjakan istri-istrinya dengan kata-kata puitis. Seperti surat-suratnya pada Yurike Sanger. Lihat saja cuplikan surat untuk Yurike saat BK tak bisa mengunjunginya.

Dear darling Yury,Today I cannot come.

Page 82: 23 June 2009

I’m so busy, thatI cannot find time tosee you. But I dosee you in my heart.Take good care of yourself

Gaya puitisnya ternyata menular juga ke Fatmawati. Saat BK meninggal pada 21 Juni 1970, Fatmawati tidak hadir melepas kepergian suaminya. Namun, ia mengirim karangan bunga bertuliskan: ”Tjintamu jang selalu mendjiwai rakjat. Tjinta Fat.’

Makna pandangan pertama BK tak dapat ditebak. Sekadar perhatian, atau menanamkan simpati bagi perempuan yang kelak diperistrinya. Kadang-kadang, ia melakukan hal yang tak terduga. Saat Fatmawati minta pendapat pada BK tentang pinangan anak wedana terhadapnya, BK malah menjawab pinangan itu untuk dirinya sendiri. BK minta Fatmawati menolak pinangan itu, dan menjanjikan waktu enam bulan untuk ”menyelesaikan urusan” dengan Inggit Ganarsih, istri pertamanya.

Hartini merasa, perhatian BK natural, tidak dibuat-buat, saat pertama kali ia bertemu dengannya di Salatiga. Ketika bersalaman, BK bertanya: rumahnya di mana, anaknya berapa, suaminya siapa. Setelah pertemuan itu, datang sepucuk surat untuk Hartini. Lewat surat-menyurat itulah, hati mereka bertaut.

Yurike Sanger tak menduga saat orang nomor satu di Indonesia kala itu menghampirinya ketika ia menjadi anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika. Barisan pemuda-pemudi berpakaian daerah sebagai pagar betis, saat Presiden Soekarno ada acara resmi dengan tamu negara.

BK menghentikan langkahnya di depan Yurike saat berjalan menuju mobilnya. ”Siapa namamu?” ”Yurike, Pak,” jawabnya sambil tergagap. Sebelum BK pergi, ia sempat berpesan: Yurike tak boleh memakai nama berakhiran ”ke” atau ”ce”. ”Pakai Yuri saja, ya,” pesan BK. Pandangan pertama dan perhatian sangat manusiawi yang dilakukan BK itu membuat Yurike takluk ketika BK meminangnya.

Banyak hal yang membuat para istri dan mantan istri BK menilai BK adalah suami dan bapak yang bertanggung jawab. Sikapnya penuh perhatian, telaten, dan tak pilih kasih. ”Bapak telaten dan penuh perhatian pada semua istrinya. Kita ndak dibeda-bedakan,” kata Hartini. Setiap Jumat sampai Minggu, BK menyempatkan diri berkunjung ke Bogor, tempat Hartini dan kedua anaknya tinggal di pavilyun Istana Bogor.

”Ia tahu dan menghormati kewajibannya,” kata Yurike. Meskipun, hal itu kadang menjengkelkannya. Maklum, BK punya kebiasaan harus kembali ke Istana Merdeka pagi-pagi sekali, sehabis menginap di rumahnya, di Cipinang Cempedak, Jakarta Timur. Kadang-kadang, BK pergi dengan tergesa dan tak sempat cuci muka.

Semua itu dilakukan agar di mata anak-anaknya, BK tetap menjadi seorang bapak yang penuh perhatian. ”Bung Karno harus mencium anak-anaknya satu per satu sebelum

Page 83: 23 June 2009

mereka berangkat ke sekolah. Mengecek pekerjaan rumah dan memeriksanya dengan teliti,” tutur Yurike.

Untuk urusan sekolah anak-anak, BK selalu turun tangan. ”Semua rapor anak-anak, Bapak sendiri yang neken,” kata Hartini. Bukan itu saja, jika ada pelajaran yang jelek nilainya, BK turun tangan memberikan penjelasan langsung.

Tanggung jawabnya yang tinggi itu membuat semua istri dan mantan istri BK menaruh hormat kepada sang suami. Dalam sejarah hidup BK, ada delapan wanita yang pernah menjadi istrinya.

Ketika masih mahasiswa, BK dijodohkan dengan Utari, putri pendiri Sarekat Islam (SI), H.O.S. Tjokroaminoto. Saat itu, BK mondok di rumah Haji Sanusi, yang kebetulan aktivis SI, di Bandung.

Dalam perjalanannya, hubungan mereka lebih sebagai kakak beradik. BK justru lebih dekat dengan Inggit Ganarsih, istri Haji Sanusi. Jalinan hubungan itu makin serius, yang mendorong mereka berterus terang kepada Haji Sanusi dan Tjokroaminoto.

Utari akhirnya dikembalikan kepada orangtuanya oleh BK, dalam keadaan masih gadis. Sementara itu, Inggit –yang lebih tua 12 tahun dari BK– dinikahi setelah masa idah cerainya dari Haji Sanusi selesai, pada 1923.

Biaya studi Kusno –begitu panggilan Inggit terhadap BK– setelah menikah dengan Inggit, ditanggung Inggit sampai ia mendapat gelar insinyur pada 1926. Inggit berperan besar dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan yang dilakukan BK.

Saat BK dipenjarakan di Sukamiskin, karena kegiatan politik, Inggit setia menemani dan menunggu sampai masa hukumannya habis. Karena hanya dia yang boleh menjenguk BK di penjara, otomatis Inggit yang menjadi penghubung antara suaminya dan para pejuang lain, secara sembunyi-sembunyi.

Untuk menulis pesan BK, Inggit menggunakan kertas rokok lintingan. Ketika itu, Inggit memang berjualan rokok buatan sendiri. Rokok yang diikat dengan benang merah hanya dijual kepada para pejuang, di dalamnya berisi pesan-pesan BK.

Hal yang sama juga dilakukan saat BK diasingkan di Ende, Flores (1934), hingga ia dipindah ke Bengkulu (1938). Inggit bisa membesarkan hati BK, memberikan dorongan semangat, membagi suka-duka. Tak mengherankan jika di depan peserta Kongres Indonesia Raya di Surabaya (1932), Soekarno menjuluki Inggit sebagai ”Srikandi Indonesia”.

Meski pernikahan Inggit dengan BK tidak diakaruniai anak, mereka memiliki dua anak angkat: Ratna Djuami dan Kartika. Inggit akhirnya diceraikan BK pada 1942. Alasannya, ia tak mau dimadu, ketika Soekarno mengajukan permohonan menikah dengan Fatimah alias Fatmawati.

Page 84: 23 June 2009

Fatmawati adalah anak tunggal pasangan Hassan Din dan Siti Khatidjah, yang saat di Bengkulu mondok di rumah BK. Usianya masih 15 tahun, dan menjadi teman sekolah kedua anak angkat BK dan Inggit di sekolah Katolik, Rooms-Katholik Vakschool.

Alasan ketertarikan BK pada Fatmawati, salah satunya, adalah ingin mendapatkan keturunan setelah 18 tahun menikah tidak dikaruniai putra. Fatmawati menyetujuinya asalkan tidak dimadu. Bahkan, ia akan menerima BK jika sudah menceraikan Inggit secara baik-baik.

Untuk urusan itu, BK meminta pendapat dari rekan seperjuangannya, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansyur. Pada 1943, BK menikah dengan Fatmawati secara wali. Saat itu, usia Fatmawati 19 tahun, dan Soekarno 41 tahun. Nama Fatmawati adalah pemberian BK, yang berarti bunga teratai.

Fatmawati banyak menenami BK sejak menjelang proklamasi kemerdekaan. Ketika BK dan Bung Hatta diculik ke Rengasdengklok, ia menyertainya bersama Guntur yang masih bayi. Di masa kemerdekaan, Fatmawati menjadi ibu negara. Setelah pengakuan kedaulatan RI, keluarga BK tinggal di Jakarta, menempati Istana Merdeka. Dari pernikahan itu, terlahir lima anak: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh.

Kisah Hartini yang dinikahi BK pada Januari 1952 agak berbeda dari istri sebelumnya. Ia bersedia dimadu. Hartini memutuskan menikah dengan BK setelah mendapat restu dari kedua orangtuanya. ”Kata orangtua saya, dimadu itu abot (berat), biarpun oleh raja atau presiden,” kata Hartini menirukan nasihat orangtuanya.

Sebelum dinikahi, Hartini mengajukan syarat agar Ibu Fatmawati tidak diceraikan dan tetap menjadi first lady. ”Saya tidak mau Ibu Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita,” kata Hartini, yang melahirkan dua anak dari BK: Taufan (almarhum) dan Bayu.

Ratna Dewi Soekarno, atau Dewi Soekarno, 61 tahun, dikenalkan pada BK karena adanya latar politik bisnis. Pertemuan terjadi pada Juni 1959, ketika Bung Karno mengunjungi kelab malam Copacabana di Tokyo. Dewi, nama aslinya Naoko Nemoto, bekerja sebagai penyanyi di kelab malam tersebut. Saat itu usianya masih 19 tahun. Ia menyanyikan Bengawan Solo saat menyambut BK.

Dengan dicomblangi Masao Kubo, Direktur Utama Tonichi Inc, hubungan mereka berlanjut sampai ke pelaminan, 3 Maret 1962. Berkat peran Dewi itulah, Tonichi mendapat banyak proyek dari Pemerintah RI.

Kehadiran Dewi mampu menyisihkan Sakiko Kanase, yang lebih dulu diperkenalkan kepada BK oleh perusahaan Kinoshita. Sakiko, yang sempat masuk Islam dan berganti nama menjadi Saliku Maisaroh, kecewa dan bunuh diri, tiga minggu setelah Dewi menikah dengan BK.

Page 85: 23 June 2009

Dewi, yang belakangan pernah menghebohkan dengan buku Madamme D’Syuga, pada awalnya kurang mendapat simpati di kalangan putra-putri BK. Guntur, misalnya, memelesetkan nama Dewi menjadi ”Deweh”. Dan ia menjuluki istri-istri BK, selain Fatmawati, sebagai ”hinul-hinul markindul”.

Di sisi lain, Dewi sangat berbakat di bidang politik. Dialah yang merekatkan hubungan BK yang retak dengan militer pasca-G-30-S/PKI. Dewi berupaya mengakrabkan kembali Soekarno dengan Jenderal Soeharto, dan Jenderal Nasution. Dengan BK, Dewi dianugerahi satu putri, Kartika Sari Dewi Soekarno.

Pernikahan BK dengan Haryati tidak banyak terekspose. Ia tidak begitu menonjol dibandingkan dengan istri-istri BK lainnya. Pada 1980-an, namanya mencuat saat berperkara soal tanah hadiah dari BK di Jalan Comal, Surabaya. Atau, saat ia kehilangan kancing-kancing baju dan sekaligus beberapa baju peninggalan BK. Setelah bercerai dengan BK, Haryati menikah dengan Sakri. Dari pernikahannya dengan BK, ia dikaruniai satu putri, Ayu Gembirowati.

Yurike Sanger, atau Yuri, adalah istri terakhir dan termuda BK. Saat dinikahi, usianya baru sweet seventeen, dan masih kelas II SMA. Anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika itu pada dasarnya seorang yang minder dan pemalu. Ia justru menjadi percaya diri setelah sering diajak ngobrol oleh BK. ”Hanya orang minder sajalah yang tidak berani menghadapi, dan melarikan diri dari persoalan yang menghadangnya,” kata Yurike menirukan pesan BK.

”Kalau saya tidak menerima tawaran Ibu Lia untuk menjadi Barisan Bhinneka Tunggal Ika, tak mungkin saya bisa bertemu dan hidup bersama dengan Bung Karno,” tuturnya. Yuri mengaku cepat dewasa dalam berpikir, karena BK banyak mengajari berbagai hal, termasuk bagaimana harus menempatkan diri.

Sekarang, genap satu abad lahirnya Bung Karno. Rangkaian seremoni disiapkan untuk menggelar gawe besar itu. Hartini, salah satu istri BK yang masih hidup, mengaku terharu mendengar akan digelarnya acara tersebut. ”Saya merasa terharu, dan senang,” kata penggemar warna ”hijau botol” itu. ”Saya ingat saat-saat terakhir Bapak. Dikucilkan. Hanya boleh ketemu sama keluarganya, dan dokter saja.”

Di usianya yang 77 tahun, Hartini kini menghabiskan waktunya dengan aktivitas yang ringan. ”Kegiatan saya sehari-hari, ya, ngebon (berkebun), ngaji, baca koran, menata rumah, arisan, kadang belanja. Itu saja. Nggak neko-neko (aneh-aneh).” Hidupnya sangat sederhana. Sebagai janda presiden, ia mendapat tunjangan pensiun dari pemerintah. Jumlahnya? Ia tak mau menyebut angka. ”Ya, kalau jujur, tidak cukup untuk kebutuhan rumah tangga. Tapi, saya selalu berupaya agar bisa membayar rekening listrik, telepon, pembantu….”

Ketika ditanya tentang pengalamannya yang paling berkesan bersama BK, wanita yang tidak berkebaya sejak BK meninggal itu menuturkan, ”Selama mendampingi Bapak, seluruh hidup saya sangat berkesan. Makanya, saya sangat berterima kasih, Allah telah

Page 86: 23 June 2009

menunjuk saya mendampingi Bapak sampai akhir hayatnya,” katanya dengan suara serak dan mata berkaca-kaca

Inggit Garnasih dan Fatmawati : Antara Perjuangan dan Status Sosial Ditulis Oleh Cak Faris . 21 April 2009 Topik Sejarah Ir. Soekarno adalah sang proklamator kemerdekaan Indonesia yang begitu kharismatik dan disegani banyak orang. Tinta emas sejarah Indonesia telah mencatat segala perjuangan Soekarno dalam membangun kemerdekaan Indonesia. Tetapi sayang, banyak tinta merah tertuang dalam perjuangannya setelah ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Dari persoalan pribadi beliau hingga ke persoalan eksternal beliau entah itu menyangkut kebijakan dalam negeri atau ketidak-tegasan beliau dalam menentukan sikap politik luar negeri yang akhirnya berdampak tidak jelasnya situasi politik dalam negeri.

Salah satu kenangan negatif tentang Soekarno adalah banyaknya istri-istri yang pernah beliau miliki. Hal ini berasal dari diri Soekarno sendiri yang menyukai perempuan cantik. Memang ini adalah persoalan pribadi beliau, tetapi bagaimanapun juga kehidupan pribadi seorang pemimpin pasti juga menjadi salah satu faktor dalam setiap keputusan politis yang pernah diambil. Manusia itu lebih banyak bersikap dan berfikir subjektif daripada objektif, karena ketika seseorang itu bersikap maka yang diperjuangkan adalah kepentingan dirinya. Begitu juga dengan Soekarno, segala keputusan dan kebijakan yang pernah beliau ambil pasti tidak bisa lepas dari faktor kehidupan pribadi beliau. Dan kehidupan pribadi seorang pemimpin pasti akan banyak disorot oleh orang-orang dibawahnya, ini karena seorang pemimpin adalah orang yang paling layak untuk ditiru serta mampu menjadi inspirator seseorang dalam perjuangan hidupnya.

Diantara sekian banyak istrinya itu, dua nama patut diberi apresiasi dalam sejarah Indonesia. Mereka adalah Inggit Garnasih dan Fatmawati. Inggit Garnasih adalah seorang ibu kos kala Soekarno kuliah di Holland Indlandsche School (sekarang ITB). Saat itu Soekarno memiliki seorang istri bernama Utari, putri dari HOS Tjokoaminoto. Sementara Inggit Garnasih adalah istri dari Sanusi, seorang pengusaha kaya yang juga pengurus Sarekat Islam afdeling Bandung yang mendapat rekomendasi dari HOS Tjokroaminoto agar merawat Soekarno di rumahnya.

Hubungan suami-istri antar Soekarno dan Utari tidak berjalan mulus. Soekarno lebih merasa menjadi kakak bagi Utari daripada menjadi suami. Bahkan, konon mereka belum sekalipun berhubungan suami-istri sejak menikah hingga bercerai. Soekarno sering menceritakan persoalan pribadinya itu pada ibu kosnya, Inggit Garnasih. Dan selayaknya ibu kos yang baik, Inggit pun sering mendengarkan keluh kesah Soekarno dan memberinya saran. Bahkan Inggit saat itu menyuruh Soekarno agar memperbaik hubungannya dengan Utari. Tetapi saran dari Inggit itu tak pernah dilaksanakan oleh Soekarno. Utari pun diceraikan dan dikembalikan ke ayahnya, HOS Tjokroaminoto.

Soekarno pun semakin dekat dengan Inggit Garnasih. Mereka terlihat akrab dan dekat hingga akhirnya timbul gunjingan-gunjingan dari orang-orang disekitar mereka. Sadar akan situasi tersebut, Sanusi pun rela melepas Inggit Garnasih. Bahkan dengan segala

Page 87: 23 June 2009

keikhlasannya, Sanusi berpesan kepada Inggit agar menjadi sandaran bagi Soekarno dan membantu perjuangan Soekarno dalam mewujudkan impiannya.

Dan mereka pun menikah. Inggit Garnasih benar-benar menjadi orang yang setia disamping Soekarno dalam perjuangan beliau untuk mewujudkan impiannya. Dia rela menemani Soekarno dalam masa-masa tersulit perjuangan beliau. Bahkan ketika Soekarno telah putus asa dan kehilangan jalur dalam perjuangannya, Inggit lah yang selalu berusaha mengingatkan dan menyemangati beliau. Ketika Soekarno ditahan di Penjara Sukamiskin dan dibuang ke Ende (Flores) serta ke Bengkulu, Inggit Garnasih setia tetap disampingnya. Bahkan ia menguras tabungannya, menjual perhiasan, dan menjual segala harta benda untuk membiayai segala aktivitas Soekarno dalam dunia pergerakan.

Ketika Soekarno diasingkan di Bengkulu, hadirlah sosok Fatimah dalam kehidupan Soekarno dan Inggit Garnasih. Fatimah lahir pada 5 Februari 1923 dari pasangan Hassan Din dan Siti Khatidjah. Ketika Soekarno diasingkan di Bengkulu, Fatimah sering bermain ke rumah Soekarno karena ia adalah kawan sepermainan anak angkat Soekarno. Fatimah juga akrab dengan Inggit Garnasih, bahkan Inggit menganggap Fatimah seperti anaknya sendiri.

Sayangnya Inggit memiliki satu kekurangan yang menjadi sebuah pukulan telak baginya. Inggit tidak mampu menghadirkan keturunan bagi Soekarno. Inggit adalah seorang perempuan mandul. Walaupun saat itu Soekarno dan Inggit memiliki dua anak angkat, Soekarno tetap menginginkan keturunan langsung dari dirinya. Sayangnya hal itu tak mampu diberikan oleh seorang Inggit Garnasih.

Dan Fatimah pun menjadi solusi dalam pikiran Soekarno. Beliau lalu mengajak Fatimah untuk menikah, tetapi Fatimah memiliki prinsip bahwa dia tidak bersedia untuk dimadu. Begitu juga ketika Soekarno berkata ingin memadu Inggit, dengan tegas Inggit menolak keinginan tersebut. Ia mengijinkan Soekarno untuk menikah lagi dengan Fatimah, tetapi ia meminta untuk diceraikan terlebih dahulu. Inggit Garnasih lebih memilih merelakan diri untuk bercerai dengan Soekarno daripada harus dimadu oleh Soekarno. Dia merelakan segala kesempatan menjadi seorang first lady bagi bangsa Indonesia.

Dengan segala pertimbangan dan keputusan dari rapat antara Soekarno, Moh. Hatta, K.H. Mas Mansjur, dan Ki Hadjar Dewantara, maka diambil keputusan bahwa Soekarno hendak menceraikan Inggit dan menikahi Fatimah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1942. Dengan ditemani K.H. Mas Mansjur, Soekarno mengantarkan Inggit Garnasih kembali ke kediaman keluarganya. Dan melalui sebuah pertemuan yang dingin dan kaku dengan keluarga Inggit Garnasih, Soekarno pun menceraikan ia dan mengembalikan Inggit kepada orangtuanya. Sebuah doa dan harapan diberikan Inggit kepada Soekarno ketika proses perceraian itu telah usai, doa itu berbunyi : “Selamat jalan dan semoga selamat dalam perjalanan”.

Pada tahun 1943 Fatimah dibawa ke Jakarta. Sesampainya disana, nama Fatimah diganti oleh Soekarno menjadi Fatmawati yang berarti “bunga teratai”. Ketika mereka menikah,

Page 88: 23 June 2009

umur Soekarno 41 tahun dan Fatmawati 19 tahun. Fatmawati banyak menemani perjuangan Soekarno pada saat mendekati proklamasi kemerdekaan dan masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Beliau turut menorehkan tinta emas dengan menjahit bendera pusaka merah-putih dengan tangan beliau sendiri, bendera itu digunakan pada saat upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Bahkan ketika golongan pemuda menculik Soekarno dalam peristiwa Rengasdengklok, Fatmawati turut serta menyertai Soekarno dengan membawa Guntur yang saat itu mash bayi. Fatmawati pun menjadi ibu negara setelah proklamasi dikumandangkan. Walaupun dirinya adalah ibu negara, tapi kehidupannya lebih merakyat dan inklusif. Dia berusaha membangun image menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik bagi keluarga. Keluarga Soekarno dan Fatmawati ini menghasilkan lima anak, mereka adalah Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh.

Sayang, semakin tua usia Soekarno tidak membuat sadar dirinya sudah ‘bau tanah’. Soekarno malah melirik wanita-wanita cantik dalam usianya yang semakin menua. Fatmawati yang memiliki prinsip menolak dimadu membuatnya memilih jalan cerai ketika Soekarno hendak menikahi Hartini. Fatmawati menanggalkan statusnya sebagai ibu negara dan merelakan semua fasilitas-fasilitas yang diperolehnya ketika masih menjadi istri Soekarno. Beliau bahkan rela hidup miskin dan benar-benar memulai dari nol di Jl. Sriwijaya, Cilandak, sambil merawat kelima anaknya. Fatmawati akhirnya meninggal pada tahun 1988 sepulang dari menunaikan umrah ke Tanah Suci. Fatmawati dikenal sebagai seorang ibu negara yang bersahaja, menyayangi keluarga, suka menolong serta memiliki keteladanan bagi keluarga dan masyarakat.

Sekelumit tentang Inggit Garnasih dan FatmawatiREP | 21 April 2011 | 11:45 130 4 Nihil

Tulisan ini adalah tulisan sejarah pertama saya. Saya menulis ini tepat tiga tahun yang lalu, April 2008, untuk buletin Suryakanta yang diterbitkan oleh Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah UGM. Tulisan ini aslinya sangat ‘hancur’ sekali, cenderung emosional dan meledak-ledak, bahkan juga menghujat. Oleh karena sekarang saya sudah 3 tahun lebih tua, saya re-make dan editing sedikit tulisan ini, tetapi mungkin sisi emosional saya masih belum bisa hilang. Tulisan ini tentang Soekarno dan istri-istrinya, selamat menikmati.

Diantara sekian banyak istrinya itu, dua nama patut diberi apresiasi dalam sejarah Indonesia. Mereka adalah Inggit Garnasih dan Fatmawati. Inggit adalah ibu kos kala Soekarno kuliah di Technische Hooge School (THS - sekarang ITB). Saat itu Soekarno memiliki seorang istri bernama Utari, putri dari H.O.S. Tjokoaminoto, sementara Inggit adalah istri dari Sanusi, seorang pengusaha kaya yang juga pengurus Sarekat Islam afdeling Bandung yang mendapat rekomendasi dari H.O.S. Tjokroaminoto agar merawat

Page 89: 23 June 2009

Soekarno di rumahnya. Hubungan suami-istri antar Soekarno dan Utari tidak berjalan mulus. Soekarno lebih merasa menjadi kakak bagi Utari daripada menjadi suami. Bahkan, konon mereka belum sekalipun berhubungan suami-istri sejak menikah hingga bercerai. Soekarno sering menceritakan persoalan pribadinya itu pada Inggit. Selayaknya ibu kos yang baik, Inggit pun sering mendengarkan keluh kesah Soekarno dan memberinya saran. Bahkan Inggit saat itu menyuruh Soekarno agar memperbaiki hubungannya dengan Utari. Tetapi saran dari Inggit itu tak pernah dilaksanakan oleh Soekarno, Utari pun diceraikan dan dikembalikan ke ayahnya, H.O.S. Tjokroaminoto.

Soekarno semakin dekat dengan Inggit, mereka terlihat akrab dan dekat hingga akhirnya timbul gunjingan-gunjingan dari orang-orang disekitar mereka. Sadar akan situasi tersebut, Sanusi rela melepas Inggit. Bahkan dengan segala keikhlasannya, Sanusi berpesan kepada Inggit agar menjadi sandaran bagi Soekarno dan membantu perjuangan Soekarno dalam mewujudkan impiannya akan kemerdekaan. Soekarno dan Inggit pun menikah, dan Inggit benar-benar menjadi orang yang setia disamping Soekarno dalam perjuangan beliau untuk mewujudkan impiannya. Inggit rela menemani Soekarno dalam masa-masa tersulit perjuangan beliau. Ketika Soekarno telah putus asa dan kehilangan jalur dalam perjuangannya, Inggit adalah sosok yang selalu berusaha mengingatkan dan menyemangati beliau. Begitu juga saat Soekarno ditahan di Penjara Sukamiskin dan dibuang ke Ende (Flores) serta ke Bengkulu, Inggit Garnasih setia tetap disampingnya. Bahkan Inggit rela menguras tabungannya, menjual perhiasan, dan menjual segala harta benda untuk membiayai segala aktivitas Soekarno dalam dunia pergerakan.

Saat Soekarno diasingkan di Bengkulu, hadirlah sosok Fatimah dalam kehidupan Soekarno dan Inggit. Fatimah lahir pada 5 Februari 1923 dari pasangan Hassan Din dan Siti Khatidjah. Ketika Soekarno diasingkan di Bengkulu, Fatimah sering bermain ke rumah Soekarno karena ia adalah kawan sepermainan anak angkat Soekarno. Fatimah juga akrab dengan Inggit Garnasih, bahkan Inggit menganggap Fatimah seperti anaknya sendiri. Sayangnya Inggit memiliki satu kekurangan yang menjadi sebuah pukulan telak baginya, yakni Inggit tidak mampu menghadirkan keturunan bagi Soekarno. Inggit adalah seorang perempuan mandul. Walaupun saat itu Soekarno dan Inggit memiliki dua anak angkat, Soekarno tetap menginginkan keturunan langsung dari dirinya. Sayangnya hal itu tak mampu diberikan oleh seorang Inggit Garnasih.

Fatimah pun menjadi solusi dalam pikiran Soekarno. Beliau lalu mengajak Fatimah untuk menikah, tetapi Fatimah memiliki prinsip bahwa dia tidak bersedia untuk dimadu. Begitu juga ketika Soekarno berkata ingin memadu Inggit, dengan tegas Inggit menolak keinginan tersebut. Inggit mengijinkan Soekarno untuk menikah lagi dengan Fatimah, tetapi ia meminta untuk diceraikan terlebih dahulu. Inggit lebih memilih merelakan diri untuk bercerai dengan Soekarno daripada harus dimadu oleh Soekarno. Dia merelakan segala kesempatan menjadi seorang first lady bagi bangsa Indonesia. Dengan segala pertimbangan dan keputusan dari diskusi antara Soekarno, Moh. Hatta, K.H. Mas Mansjur, dan Ki Hadjar Dewantara, maka diambil keputusan bahwa Soekarno hendak menceraikan Inggit dan menikahi Fatimah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1942, dengan ditemani K.H. Mas Mansjur, Soekarno mengantarkan Inggit Garnasih kembali ke kediaman keluarganya. Melalui sebuah pertemuan yang dingin dan kaku dengan keluarga

Page 90: 23 June 2009

Inggit, Soekarno pun menceraikan dan mengembalikan Inggit kepada orangtuanya. Sebuah doa dan harapan diberikan Inggit kepada Soekarno ketika proses perceraian itu telah usai, doa itu berbunyi: “selamat jalan dan semoga selamat dalam perjalanan“.

Pada tahun 1943 Fatimah dibawa ke Jakarta. Sesampainya disana, nama Fatimah diganti oleh Soekarno menjadi Fatmawati yang berarti “bunga teratai”. Ketika mereka menikah, umur Soekarno 41 tahun dan Fatmawati 19 tahun. Fatmawati banyak menemani perjuangan Soekarno pada saat mendekati proklamasi kemerdekaan dan masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Fatmawati turut menggoreskan sejarah Indonesia dengan menjahit bendera pusaka merah-putih dengan tangan beliau sendiri, bendera itu digunakan pada saat upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ketika golongan pemuda menculik Soekarno dalam peristiwa Rengasdengklok, Fatmawati turut serta menyertai Soekarno dengan membawa Guntur Soekarnoputra yang saat itu mash bayi. Fatmawati pun menjadi ibu negara setelah proklamasi dikumandangkan. Walaupun dirinya adalah ibu negara, tapi kehidupannya lebih merakyat dan inklusif. Dia berusaha membangun image menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik bagi keluarga. Keluarga Soekarno dan Fatmawati ini menghasilkan lima anak, mereka adalah Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.

Sayang sekali, Fatmawati yang memiliki prinsip menolak dimadu membuatnya memilih jalan cerai ketika Soekarno hendak menikahi Hartini. Fatmawati menanggalkan statusnya sebagai ibu negara dan merelakan semua fasilitas-fasilitas yang diperolehnya ketika masih menjadi istri Soekarno. Beliau rela hidup memulai dari nol di Jl. Sriwijaya, Cilandak, sambil merawat kelima anaknya. Fatmawati akhirnya meninggal pada tahun 1988 sepulang dari menunaikan umrah ke Tanah Suci. Fatmawati dikenal sebagai seorang ibu negara yang bersahaja, menyayangi keluarga, suka menolong serta memiliki keteladanan bagi keluarga dan masyarakat.

Sekelumit tentang Inggit Garnasih dan FatmawatiREP | 21 April 2011 | 11:45 130 4 Nihil

Tulisan ini adalah tulisan sejarah pertama saya. Saya menulis ini tepat tiga tahun yang lalu, April 2008, untuk buletin Suryakanta yang diterbitkan oleh Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah UGM. Tulisan ini aslinya sangat ‘hancur’ sekali, cenderung emosional dan meledak-ledak, bahkan juga menghujat. Oleh karena sekarang saya sudah 3 tahun lebih tua, saya re-make dan editing sedikit tulisan ini, tetapi mungkin sisi emosional saya masih belum bisa hilang. Tulisan ini tentang Soekarno dan istri-istrinya, selamat menikmati.

Diantara sekian banyak istrinya itu, dua nama patut diberi apresiasi dalam sejarah Indonesia. Mereka adalah Inggit Garnasih dan Fatmawati. Inggit adalah ibu kos kala Soekarno kuliah di Technische Hooge School (THS - sekarang ITB). Saat itu Soekarno

Page 91: 23 June 2009

memiliki seorang istri bernama Utari, putri dari H.O.S. Tjokoaminoto, sementara Inggit adalah istri dari Sanusi, seorang pengusaha kaya yang juga pengurus Sarekat Islam afdeling Bandung yang mendapat rekomendasi dari H.O.S. Tjokroaminoto agar merawat Soekarno di rumahnya. Hubungan suami-istri antar Soekarno dan Utari tidak berjalan mulus. Soekarno lebih merasa menjadi kakak bagi Utari daripada menjadi suami. Bahkan, konon mereka belum sekalipun berhubungan suami-istri sejak menikah hingga bercerai. Soekarno sering menceritakan persoalan pribadinya itu pada Inggit. Selayaknya ibu kos yang baik, Inggit pun sering mendengarkan keluh kesah Soekarno dan memberinya saran. Bahkan Inggit saat itu menyuruh Soekarno agar memperbaiki hubungannya dengan Utari. Tetapi saran dari Inggit itu tak pernah dilaksanakan oleh Soekarno, Utari pun diceraikan dan dikembalikan ke ayahnya, H.O.S. Tjokroaminoto.

Soekarno semakin dekat dengan Inggit, mereka terlihat akrab dan dekat hingga akhirnya timbul gunjingan-gunjingan dari orang-orang disekitar mereka. Sadar akan situasi tersebut, Sanusi rela melepas Inggit. Bahkan dengan segala keikhlasannya, Sanusi berpesan kepada Inggit agar menjadi sandaran bagi Soekarno dan membantu perjuangan Soekarno dalam mewujudkan impiannya akan kemerdekaan. Soekarno dan Inggit pun menikah, dan Inggit benar-benar menjadi orang yang setia disamping Soekarno dalam perjuangan beliau untuk mewujudkan impiannya. Inggit rela menemani Soekarno dalam masa-masa tersulit perjuangan beliau. Ketika Soekarno telah putus asa dan kehilangan jalur dalam perjuangannya, Inggit adalah sosok yang selalu berusaha mengingatkan dan menyemangati beliau. Begitu juga saat Soekarno ditahan di Penjara Sukamiskin dan dibuang ke Ende (Flores) serta ke Bengkulu, Inggit Garnasih setia tetap disampingnya. Bahkan Inggit rela menguras tabungannya, menjual perhiasan, dan menjual segala harta benda untuk membiayai segala aktivitas Soekarno dalam dunia pergerakan.

Saat Soekarno diasingkan di Bengkulu, hadirlah sosok Fatimah dalam kehidupan Soekarno dan Inggit. Fatimah lahir pada 5 Februari 1923 dari pasangan Hassan Din dan Siti Khatidjah. Ketika Soekarno diasingkan di Bengkulu, Fatimah sering bermain ke rumah Soekarno karena ia adalah kawan sepermainan anak angkat Soekarno. Fatimah juga akrab dengan Inggit Garnasih, bahkan Inggit menganggap Fatimah seperti anaknya sendiri. Sayangnya Inggit memiliki satu kekurangan yang menjadi sebuah pukulan telak baginya, yakni Inggit tidak mampu menghadirkan keturunan bagi Soekarno. Inggit adalah seorang perempuan mandul. Walaupun saat itu Soekarno dan Inggit memiliki dua anak angkat, Soekarno tetap menginginkan keturunan langsung dari dirinya. Sayangnya hal itu tak mampu diberikan oleh seorang Inggit Garnasih.

Fatimah pun menjadi solusi dalam pikiran Soekarno. Beliau lalu mengajak Fatimah untuk menikah, tetapi Fatimah memiliki prinsip bahwa dia tidak bersedia untuk dimadu. Begitu juga ketika Soekarno berkata ingin memadu Inggit, dengan tegas Inggit menolak keinginan tersebut. Inggit mengijinkan Soekarno untuk menikah lagi dengan Fatimah, tetapi ia meminta untuk diceraikan terlebih dahulu. Inggit lebih memilih merelakan diri untuk bercerai dengan Soekarno daripada harus dimadu oleh Soekarno. Dia merelakan segala kesempatan menjadi seorang first lady bagi bangsa Indonesia. Dengan segala pertimbangan dan keputusan dari diskusi antara Soekarno, Moh. Hatta, K.H. Mas Mansjur, dan Ki Hadjar Dewantara, maka diambil keputusan bahwa Soekarno hendak

Page 92: 23 June 2009

menceraikan Inggit dan menikahi Fatimah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1942, dengan ditemani K.H. Mas Mansjur, Soekarno mengantarkan Inggit Garnasih kembali ke kediaman keluarganya. Melalui sebuah pertemuan yang dingin dan kaku dengan keluarga Inggit, Soekarno pun menceraikan dan mengembalikan Inggit kepada orangtuanya. Sebuah doa dan harapan diberikan Inggit kepada Soekarno ketika proses perceraian itu telah usai, doa itu berbunyi: “selamat jalan dan semoga selamat dalam perjalanan“.

Pada tahun 1943 Fatimah dibawa ke Jakarta. Sesampainya disana, nama Fatimah diganti oleh Soekarno menjadi Fatmawati yang berarti “bunga teratai”. Ketika mereka menikah, umur Soekarno 41 tahun dan Fatmawati 19 tahun. Fatmawati banyak menemani perjuangan Soekarno pada saat mendekati proklamasi kemerdekaan dan masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Fatmawati turut menggoreskan sejarah Indonesia dengan menjahit bendera pusaka merah-putih dengan tangan beliau sendiri, bendera itu digunakan pada saat upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ketika golongan pemuda menculik Soekarno dalam peristiwa Rengasdengklok, Fatmawati turut serta menyertai Soekarno dengan membawa Guntur Soekarnoputra yang saat itu mash bayi. Fatmawati pun menjadi ibu negara setelah proklamasi dikumandangkan. Walaupun dirinya adalah ibu negara, tapi kehidupannya lebih merakyat dan inklusif. Dia berusaha membangun image menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik bagi keluarga. Keluarga Soekarno dan Fatmawati ini menghasilkan lima anak, mereka adalah Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.

Sayang sekali, Fatmawati yang memiliki prinsip menolak dimadu membuatnya memilih jalan cerai ketika Soekarno hendak menikahi Hartini. Fatmawati menanggalkan statusnya sebagai ibu negara dan merelakan semua fasilitas-fasilitas yang diperolehnya ketika masih menjadi istri Soekarno. Beliau rela hidup memulai dari nol di Jl. Sriwijaya, Cilandak, sambil merawat kelima anaknya. Fatmawati akhirnya meninggal pada tahun 1988 sepulang dari menunaikan umrah ke Tanah Suci. Fatmawati dikenal sebagai seorang ibu negara yang bersahaja, menyayangi keluarga, suka menolong serta memiliki keteladanan bagi keluarga dan masyarakat.

9 Istri - Istri Soekarno dan Sekilas tentang mereka.oleh: bogisubasti     Pengarang : bogi subasti

Summary rating: 3 stars (9 Tinjauan) Kunjungan : 1340 kata:600 

More About : fatmawati istri soekarno  1.Siti Oetari (1921-1923)Merupakan putri sulung Hadji Oemar Said Tjokroaminoto tokoh Sarekat Islam sekaligus merupakan istri dari Presiden Indonesia pertama Soekarno. Soekarno menikahi Oetari usianya berumur 16 tahun. Soekarno menikahi Oetari pada tahun 1921 di Surabaya. Sewaktu itu Soekarno menumpang di rumah HOS Tjokroaminoto ketika sedang

Page 93: 23 June 2009

menempuh pendidikan di sekolah lanjutan atas. Beberapa saat sesudah menikah, Bung Karno meninggalkan Surabaya, pindah melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di THS (sekarang ITB). Soekarno kemudian menceraikan Oetari.2.Inggit Garnasih (1923-1943)Inggit menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan, Inggit menghibur ketika Soekarno kesepian. Inggit hadir ketika Soekarno muda membutuhkan kehangatan perempuan baik sebagai Ibu maupun teman. Inggit bagi Soekarno laksana Khadijah bagi Muhammad.Inggit menemani Soekarno yang sakit di pembuangan. Jauh di Pulau Ende lalu di Bengkulu, Inggit tetap menemani, Dia merupakan wanita yang menyemangati kehidupan Soekarno yang menderita. Di ujung masa penjajahan Soekarno berkata pada Inggit, “Euis, aku akan menikah lagi supaya punya anak seperti orang-orang lain.”3.Fatmawati (1943-1956)Ada yang bilang nama aslina Fatimah.Beliau lahir pada tanggal 5 Pebruari 1923, dari suami-isteri Hassan Din dan Siti Chatidjah. Ketika usianya 15 tahun, Fatmawati bertemu dengan Sukarno.Ia berkata, saaat yang paling penting dalam kehidupannya adalah di saat-saat menjelang proklamasi 17 Agustus 1945.

4.Hartini (1952-1970)Lahir di Ponorogo Jawa Timur pada tanggal 20 September 1924 beragama Islam. Beralamat di Jalan Proklamasi No. 62 di Jakarta Pusat. Resmi menjadi istri Soekarno, setahun setelah pertemuannya yang pertama di Prambanan, Yogyakarta tahun 1952.Enam belas tahun dalam suka maupun duka, Menikah dengan Soekarno, ia mendapat dua anak. 5. Kartini Manoppo (1959-1968)

6.Ratna Sari Dewi (1962-1970)Adalah wanita berdarah Jepang bernama asli Naoko Nemoto, merupakan istri kelima dari mantan presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno, Lahir di Tokyo, 6 Februari 1940. Menikah dengan Soekarno pada tahun 1962 ,beralamat di Shibuya-Ku, Kamiyama-Cho, 31-1, Tokyo.Dialah geisha yang begitu indah di mata Sukarno. Kecantikannya begitu mempesona, sehingga Soekarno sangat mencintainya.

7.Haryati (1963-1966)

8. Yurike Sanger ( 1964-1968)

9. Heldy Djafar (1966-1969)Perkawina Heldy hanya berlangsung selama dua tahun.

Sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/politics/2083284-istri-istri-soekarno-dan-sekilas/#ixzz1LfrEIoW4

Apakah agan-agan kenal dengan nama Fatmawati Soekarno?...Ane sempat terusik ketika membaca bahwa kisah salah satu istri mantan Presiden Soekarno akan difilm kan. Ane bertanya-tanya, kenapa tidak Ibu Fatmawati, bukankah dia adalah istri Soekarno yang

Page 94: 23 June 2009

paling besar jasa-jasanya bagi negri ini. Dialah the first Indonesia’s first lady, dia juga yang menjahit Bendera Sang Saka Merah Putih saat akan dikibarkan pada Proklamasi 17 Agustus 1945. Dia juga ibu dari anak-anak hebat seperti : Guntur SoekarnoputraMegawati SoekarnoputriRachmawati SoekarnoputriSukmawati SoekarnoputriGuruh SoekarnoputraBahkan dia juga orang yang berani menentang Presiden Soekarno saat akan dipoligami, ia lebih memilih dikembalikan ke orang tuanya saat Presiden Soekarno akan memadunya dengan Hartini.Mari kita simak sedikit sejarah sosok yang baru diangkat menjadi Pahlawan Nasional tahun 2000 ini. Fatmawati Soekarno sang Teratai, kisah Ibu Negara Pertama yang terlupakan.Fatmawati merupakan putri dari pasangan Hasan Din dan Chadijah yang lahir pada tanggal 5 Februari 1923. Nama Fatmawati mempunyai arti bunga teratai (Lotus). Sehari-harinya Fatmawati kecil biasa dipanggil “Ma”, bukan Fat seperti di kemudian hari orang-orang memanggilnya. Ada suatu kejadian menarik ketika Fatmawati berusia empat tahun, seorang ahli nujum terkenal dari India membaca suratan tangan Hasan Din. Ahli Nujum tersebut mengatakan bahwa kelak jika anak perempuannya besar nanti akan mendapatkan jodoh orang yang mempunyai kedudukan tertinggi di negeri ini. Hasan Din tidak begitu saja mempercayai ramalan tersebut, karena di masa itu jabatan tertinggi dipegang oleh orang Belanda sementara orang pribumi paling tinggi menjabat sebagai Wedana. Ketika berusia enam tahun, Fatmawati dimasukkan ke Sekolah Gedang (Sekolah Rakyat) namun pada tahun 1930 dipindahkan ke sekolah berbahasa Belanda (HIS).

Ketika duduk di kelas tiga, Fatmawati dipindahkan lagi oleh ayahnya ke sekolah HIS Muhammadiyah dan sebagai akibatnya Hasan Din harus meninggalkan pekerjaannya di Borsumij. Hasan Din menghadapi masalah ekonomi yang cukup berat dan untuk meringankan beban orang tuanya, Fatmawati membantu menjajakan kacang bawang yang digoreng oleh ibunya atau menunggui warung kecil di depan rumahnya. Akhirnya keluarga Hasan Din pindah ke kota Palembang dan mencoba membuka usaha percetakan, sementara itu Fatmawati melanjutkan sekolah kelas 4 dan kelas 5 di HIS Muhammadiyah Palembang. Suatu hari Fatmawati diajak oleh ayahnya untuk bersilaturahmi dengan seorang tokoh pergerakan yang dibuang ke Bengkulu, yaitu Ir. Soekarno. Kesan pertama Fatmawati terhadap Soekarno pada waktu itu adalah sosok yang tidak sombong, memiliki sinar mata berseri-seri, berbadan tegap serta tawanya lebar. Hubungan keluarga Soekarno dengan keluarga Hasan Din terjalin erat dengan adanya kesamaan pikir untuk memajukan serta merubah kehidupan bangsa yang semakin hari semakin tertindas. Dengan bantuan Soekarno pula Fatmawati dapat melanjutkan sekolah di RK Vakschool meski terbentur persyaratan untuk menyelesaikan sekolah HIS terlebih dahulu.

Fatmawati yang telah menganggap dekat dengan keluarga Soekarno, bermaksud meminta pandangan Soekarno tentang pinangan seorang pemuda anak Wedana. Ketika hal tersebut disampaikan, Fatmawati melihat perubahan raut wajah Soekarno dan akhirnya dengan suara pelan dan berat Soekarno mengeluarkan isi hatinya. Fatmawati sangat kaget ketika

Page 95: 23 June 2009

mendengar bahwa sebenarnya Soekarno telah jatuh cinta seja pandangan pertama kepadanya namun hal itu tidak diungkapkan karena Fatmawati masih terlalu muda. Fatmawati sangat gelisah, sebagai seorang wanita ia tidak mau mengkhianati kaumnya karena Soekarno telah beristri sehingga akhirnya disampaikan kegelisahan tersebut pada ayahnya. Tidak lama setelah itu terdengar kabar bahwa rumah tangga Soekarno dengan Inggit Garnasih telah berakhir.

Fatmawati dan Bung Karno sempat terpisah akibat suasana peralihan yang cepat dari kekuasaan penjajah Belanda kepada tentara Jepang, namun melalui teman-temannya Bung Karno memberi kabar serta mengatur jalan menuju keperkimpoian. Fatmawati menikah dengan Soekarno ketika berusia 20 tahun pada bulan Juli 1942. Seusai pernikahan, Fatmawati meninggalkan kota Bengkulu dengan diiringi kedua orang tuanya menuju kota Jakarta. Hubungan Fatmawati dengan suaminya sangat harmonis, Soekarno membuka pandangan-pandangannya tentang perjuangan bangsa Indonesia dan selalu memberinya perhatian.Tahun 1944 Fatmawati melahirkan putra pertamanya yang diberi nama Muhammad Guntur Soekarno Putra. Para petinggi Jepang yang mengenal dekat Bung Karno juga menyambut gembira kelahiran ini, bahkan Jendral Yamamoto menamai Muhammad Guntur dengan nama Osamu. Mendekati pertengahan Agustus 1945 mulai terdengar kekalahan Jepang dan puncaknya pada tanggal 14 Agustus Jepang bertekuk lutut pada tentara Sekutu. Fatmawati menghadapi masalah yang sangat pelik ketika Bung Karno dan Bung Hatta mendapat tuduhan sebagai antek-antek Jepang, namun Fatmawati tetap yakin bahwa suaminya tidak mungkin menghianati perjuangan bangsa Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945, Fatmawati melihat banyaknya orang berkumpul di rumahnya dan memanggil Bung Karno agar segera keluar dari rumah dan mengambil tindakan. Pagi itu juga, sekitar pukul sembilan bertempat di Pegangsaan Timur Jakarta, dibacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Setelah pembacaan Proklamasi, situasi Jakarta semakin gawat sehingga pada tanggal 19 September, Bung Karno berpidato yang dihadiri ribuan rakyat di lapangan Ikada Jakarta.

Dalam mendampingi Bung Karno sebagai Presiden, penampilan Fatmawati tetap sederhana, ia memberikan teladan yang baik bagi kaum perempuan Indonesia baik dalam bersikap, bertingkah laku maupun dalam berpakaian. Kemanapun pergi, Fatmawati selalu memakai kerudung yang menjadi ciri khasnya dan Bung Karno selalu memujinya. Fatmawati juga mendampingi Bung Karno ketika terpaksa harus hijrah ke Yogyakarta dan kemudian melahirkan anak kedua yang diberi nama Megawati Soekarno Putri. Kelahiran anak keduanya ini tepat pada saat beduk adzan Maghrib berbunyi pada tanggal 23 Januari 1946 dan ditandai dengan turunnya hujan yang sangat lebat disertai bunyi halilintar. Hal yang paling membuat hatinya pilu adalah ketika ia dituntut untuk mandiri karena Bung Karno dan Bung Hatta harus diasingkan ke Pulau Bangka, sementara keluarganya tidak diperbolehkan turut serta. Ketika peperangan usai, Soekarno – Hatta kembali ke Yogyakarta dan kemudian dilantik sebagai Presiden RIS dan wakilnya untuk kemudian pindah ke Jakarta. Pada tanggal 27 September 1951 Fatmawati melahirkan anak perempuan lagi yang diberi nama Dyah Permana Rachmawati. Menyusul kemudian anak keempat yang diberi nama Dyah Mutiara Sukmawati. Keinginan Fatmawati memiliki anak laki-laki lagi terkabul dengan lahirnya Muhammad Gu Irianto Sukarno Putra pada 13 Januari 1953. Setelah melahirkan Guruh, Soekarno meminta ijin untuk

Page 96: 23 June 2009

menikah lagi dengan Hartini dan Fatmawati meminta Soekarno untuk mengembalikannya lagi kepada orang tua serta menyelesaikan permasalahan secepatnya. Fatmawati tetap berprinsip tidak menyetujui poligami yang menginjak martabat wanita dan ia memilih berpisah dengan suaminya. Fatmawati meninggal dunia pada tanggal 14 Mei 1980, setelah ia menunaikan ibadah Umroh karena terkena serangan penyakit jantung ketika pesawat singgah di Kuala Lumpur dalam penerbangan menuju Jakarta dari Mekkah. Jenasahnya dikebumikan di pemakaman umum Karet Jakarta. Salah satu pesan yang terkenal yang pernah ditulis Ibu Fatmawati untuk melepas jenazah Bung Karno dari Wisma Yaso,” Tjintamu menjiwa rakyat, Tjinta Fat.