2.1 dasar teori perencanaan · pdf filesi – 40z1 tugas akhir perencanaan runway,...

35
BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN GEOMETRIK Kapasitas bandar udara adalah jumlah pergerakan pesawat yang bisa dilayani oleh suatu bandar udara dalam suatu rentang waktu tertentu dengan tundaan ratarata bagi pesawat yang akan berangkat yang masih dalam batas waktu yang diperbolehkan. Pesawat melakukan dua pergerakan utama yaitu mendarat dan tinggal landas. Jika terdapat suatu bandar udara dengan single runway dan single exit taxiway, dan diasumsikan bahwa hanya satu pesawat yang diperbolehkan menggunakan runway pada suatu waktu tertentu, maka kapasitas bandar udara akan ditentukan oleh waktu penggunaan runway oleh suatu pesawat. Runway akan beroperasi pada kapasitasnya pada saat waktu selang (interval) antara dua pergerakan yang berurutan sama dengan waktu penggunaan runway suatu pesawat. Pada prakteknya terdapat banyak variasi interval pada kedatangan–keberangkatan, sehingga menimbulkan delay (keterlambatan) pada masingmasing kedatangan dan keberangkatan pesawat tersebut. Dengan meningkatnya pergerakan pesawat per jam, maka tundaan ratarata bagi pesawat yang akan berangkat meningkat. International Civil Aviation Organization; ICAO telah mengeluarkan sistem klasifikasi bandar udara, sistem ini dituangkan dalam Aerodrome Reference Code; ARC. Sistem ini menggunakan dua notasi, yaitu angka dan huruf. Kode angka didasarkan pada panjang ARFL (Aeroplane Refrence Field Length) sedangkan kode huruf untuk menggolongkan bandar udara berdasarkan lebar sayap pesawat dan jarak main gear terluar. Kode huruf dan angka yang dipilih untuk tujuan perencanaan, dihubungkan kepada karakteristik pesawat kritis yang dapat dilayani oleh bandar udara bersangkutan. Di bawah ini adalah Tabel ARC yang dikeluarkan oleh ICAO Maret 1984. Tabel 2. 1 Aerodrome Reference Code Element Code 1 Element Code 2 Number Code ARFL Letter Code Wing Span Width Outer Main Gear Wheel Span 1 less than 800 m A < 15 m < 4,5 m 2 800 m < x 1200 m B 15 m24 m 4,5 m6m 3 1200 M < x 1800 m C 24 m36 m 6m9m 4 more than 1800 m D 36 m52 m 9m14 m E 52 m60 m 9m14 m Sumber:Aerodrome Design Manual, Part 1 Runway, ICAO,1984 Hanindita Diajeng Sunu 150 03 101 2 1 Jenary Bayu Tetha 150 03 111

Upload: lydien

Post on 29-Mar-2018

224 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

BAB II STUDI PUSTAKA 

 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN GEOMETRIK 

Kapasitas bandar udara adalah  jumlah pergerakan pesawat yang bisa dilayani oleh  suatu bandar udara dalam suatu rentang waktu  tertentu dengan  tundaan rata‐rata bagi pesawat yang akan berangkat yang masih dalam batas waktu yang diperbolehkan.  

Pesawat melakukan dua pergerakan utama yaitu mendarat dan tinggal landas. Jika terdapat suatu bandar udara dengan  single  runway dan  single  exit  taxiway, dan diasumsikan bahwa hanya satu pesawat yang diperbolehkan menggunakan runway pada suatu waktu tertentu, maka kapasitas bandar udara akan ditentukan oleh waktu penggunaan runway   oleh suatu pesawat. 

Runway  akan  beroperasi pada  kapasitasnya pada  saat waktu  selang  (interval)  antara dua pergerakan yang berurutan sama dengan waktu penggunaan runway suatu pesawat. Pada prakteknya  terdapat  banyak  variasi  interval  pada  kedatangan–keberangkatan,  sehingga menimbulkan  delay  (keterlambatan)  pada masing‐masing  kedatangan  dan  keberangkatan pesawat tersebut. Dengan meningkatnya pergerakan pesawat per  jam, maka tundaan rata‐rata bagi pesawat yang akan berangkat meningkat. 

International Civil Aviation Organization; ICAO telah mengeluarkan sistem klasifikasi bandar udara, sistem ini dituangkan dalam Aerodrome Reference Code; ARC. Sistem ini menggunakan dua notasi, yaitu angka dan huruf. Kode angka didasarkan pada panjang ARFL (Aeroplane Refrence  Field  Length)  sedangkan  kode  huruf  untuk  menggolongkan  bandar  udara berdasarkan  lebar sayap pesawat dan  jarak main gear  terluar. Kode huruf dan angka yang dipilih untuk  tujuan perencanaan, dihubungkan kepada karakteristik pesawat kritis yang dapat  dilayani  oleh  bandar  udara  bersangkutan.  Di  bawah  ini  adalah  Tabel  ARC  yang dikeluarkan oleh ICAO Maret 1984.  

Tabel 2. 1 Aerodrome Reference Code Element Code 1  Element Code 2 

Number Code 

ARFL  Letter Code 

Wing Span Width 

Outer Main Gear  Wheel Span 

1  less than 800 m  A  < 15 m  < 4,5 m 2  800 m < x ≤ 1200 m  B  15 m‐24 m  4,5 m‐6 m 3  1200 M < x ≤ 1800 m  C  24 m‐36 m  6 m‐9 m 4  more than 1800 m  D  36 m‐52 m  9 m‐14 m 

    E  52 m‐60 m  9 m‐14 m  Sumber:Aerodrome Design Manual, Part 1 Runway, ICAO,1984 

 

 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 1 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 2: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

2.1.1 Perencanaan Runway 

Runway  adalah  permukaan  berbentuk  persegi  yang  disediakan  untuk  kegiatan mendarat dan tinggal landas pesawat.  

a. Sistem Pengoperasian Runway 

Menurut  sistem  pengoperasiannya,  secara  umum  runway  dapat  dibagi  menjadi  dua jenis: 

1.   Non‐Instrument  Runway 

Operasi  runway  ini  dimaksudkan  untuk  pesawat  yang  menggunakan  prosedur pendaratan  secara  visual  (pilot  memperhitungkan  pendaratan  berdasarkan penglihatannya). 

2.  Instrumen Runway 

Operasi  runway  ini  dimaksudkan  untuk  pesawat  yang  menggunakan  prosedur pendaratan  secara  instrument  (pilot  memperhitungkan  pendaratan  menggunakan alat bantu, tidak berdasarkan penglihatannya). Instrument runway dibagi menjadi empat jenis: a. Non‐precision approach runway b. Precision approach runway kategori I c. Precision approach runway kategori II d. Precision approach runway kategori III 

b. Orientasi Arah Runway 

Runway harus ditentukan sedemikian rupa sehingga  jalur runway  tidak mengarah atau melewati daerah padat penduduk dan halangan dapat dihindari.  Salah  satu hal yang sangat berperan dalam penentuan orientasi runway adalah keadaan angin pada daerah lapangan terbang rencana.  

Salah  satu komponen angin yang  sangat berpengaruh di dalam perencanaan orientasi arah runway adalah cross wind. Cross‐wind atau angin sisi ialah angin yang bertiup tegak lurus  pesawat.  Pada  saat  take‐off  maupun  landing,  pesawat  hanya  dapat  melakukan manuver di atas runway sepanjang cross wind tidak berlebihan dan masih dapat ditahan oleh pesawat.  

Cross  wind  maximum  adalah  kecepatan  angin  maksimum  dengan  arah  tegak  lurus terhadap  panjang  pesawat  yang  masih  dapat  ditahan  oleh  badan  pesawat.  ICAO menetapkan batas cross wind maximum berdasarkan panjang runway seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.2. 

 

 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 2 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 3: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

Tabel 2. 2 Maximum Permissible Cross wind Code Letter  Runway Length  Max Permissible Cross wind 

A  length ≥ 2100 m (7000 ft)  20 knots (23 mph) 

B  1500 m (5000 ft) ≤ length < 2100 m (7000 ft)  20 knots (23 mph) 

C  900 m (3000 ft) ≤ length < 1500 m (5000 ft)  13 knots (15 mph) 

D  750 m (2500 ft) ≤ length < 900 m (3000 ft)  10 knots (11,5 mph) 

E  600 m (2000 ft) ≤ length < 750 m (2500 ft)  10 knots (11,5 mph) 

Sumber: Airport Planning Manual, Part 1 Master Planning, ICAO 1977 

Usability  factor  ialah persentase penggunaan sistem  runway di bawah batas maksimum cross‐wind.  ICAO menetapkan  bahwa  usability  factor  suatu  runway  tidak  boleh  kurang dari  95%. Hal  ini dimaksudkan di dalam  penggunaan  suatu  runway,  runway  tersebut akan dapat digunakan  sekurang‐kurangnya  selama  95% dari  jangka waktu yang  ada, jadi  distribusi  pergerakan  angin  di  suatu  tempat  yang  akan  dijadikan  runway  harus minimal 95% bertiup ke satu arah. Arah inilah yang akan menjadi arah runway.  

Orientasi arah runway dapat ditentukan menggunakan wind rose. Wind rose adalah suatu Gambaran  banyaknya  persentase  angin  tahunan  yang  melalui  suatu  area  yang ditetapkan  sebagai  suatu  area  runway.  Untuk  membuat  wind  rose,  diperlukan  data persentase angin di daerah rencana.  

Langkah‐langkah membuat wind rose: 

a. Buat sejumlah lingkaran yang berpusat pada satu titik. Jumlah lingkaran yang dibuat tergantung pada  jenis kecepatan angin yang dimiliki di daerah rencana. Jari‐jarinya harus mewakili skala kecepatan angin tersebut.  

b. Lingkaran‐lingkaran  tersebut  kemudian  dibagi  sama  rata menjadi  sejumlah  arah angin  yang  diketahui  kecepatannya  di  daerah  rencana.  Lingkaran  terekcil  yang berada  di  tengah  dibiarkan  utuh,  tidak  ikut  terbagi. Nama mata  angin  kemudian ditulis pada lingkaran terluar yang sudah terbagi. Data persentase angin yang sudah diketahui kemudian dipindahkan ke bagian lingkaran yang sudah terbagi sama rata. Nilai persentase angin calm menempati lingkaran terkecil.  

c. Buat sebuah bidang berbentuk persegi panjang dengan ukuran: 

‐ panjang  : lebih besar daripada diameter lingkaran terbesar ‐ lebar    : 2 kali nilai yang melewati batas cross wind maksimum 

Bidang persegi panjang tersebut kemudian diletakkan di atas lingkaran dengan titik pusatnya berimpit dengan  titik pusat  lingkaran. Lebar  bidang  ini dibagi dua  oleh sebuah  garis  yang  tepat  berimpit  dengan  simetri  lipatnya.  Garis  tengah  ini merepresentasikan garis tengah runway (runway centre line).  

d. Bidang  persegi  panjang  tersebut  diputar  porosnya  dengan  sudut  tertentu  untuk mendapatkan persentase total arah angin yang terbesar dengan nilai persentase lebih 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 3 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 4: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

besar dari 95%. Persentase  ini diperoleh dengan mengalikan persentase  luas  juring yang  diselimuti  oleh  bidang  persegi  panjang  dengan  nilai  persentase  angin  yang tertulis  pada  juring  tersebut.  Persentase  total  didapatkan  dengan  menjumlahkan semua persentase dari luas lingkaran yang tertutup bidang tersebut. Persentase total untuk setiap putaran bidang dihitung kemudain dibandingkan. 

e. Bidang persegi panjang ditandai  atau dilekatkan pada  lingkaran ketika persentase total terbesar diperoleh. Arah bidang ini adalah arah runway yang dicari.  

 Gambar 2. 1 Contoh Wind Rose 

c. Panjang Runway 

Panjang runway ditentukan menggunakan code dari ICAO Aerodrome Design Manual Part 1. Chapter  3  dan  5. dan didukung  dengan data manual  penerbangan  pesawat  (aircraft flight manual). Panjang  runway utama ditentukan oleh pesawat  rencana yang memiliki kebutuhan runway terpanjang, yaitu yang memiliki ARFL terpanjang di antara pesawat yang akan beroperasi di bandara rencana. Panjang ARFL dapat diketahui dari spesifikasi teknis  yang  dipublikasikan  oleh  masing‐  masing  pabrik  pembuat  pesawat  tersebut. Panjang aktual  landasan perencanaan didapat dari mengoreksi panjang ARFL pesawat desain kritis dengan beberapa faktor koreksi. Faktor koreksi yang ditetapkan oleh ICAO adalah: 

Koreksi terhadap elevasi (ketinggian) Semakin besar elevasi  maka semakin kecil kerapatan udara yang akan mengurangi gaya  angkat  sayap  pesawat  sehingga  dibutuhkan  kecepatan  pesawat  yang  tinggi. Untuk  mengantisipasinya,  maka  ditetapkan  bahwa  panjang  runway  dasar  harus ditingkatkan sebesar 7% setiap kenaikan elevasi 300 m dari permukaan air laut rata – rata. 

Koreksi terhadap temperatur Temperatur  yang  tinggi  akan membutuhkan  landasan  yang  lebih  panjang  karena semakin  tinggi  temperatur kerapatan udara  semakin  rendah,  sehingga dibutuhkan 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 4 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 5: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

daya dorong yang  lebih besar. Standar temperatur dipilih temperatur di atas muka air  laut  sebesar  59o  F  =  15oC. Menurut  ICAO  landasan  harus  dikoreksi  terhadap temperatur sebesar 1 % setiap kenaikan 1oC.  

Koreksi terhadap slope (kemiringan) Kemiringan  ke  atas  memerlukan  landasan  yang  lebih  panjang  dibanding landasan  yang  datar  atau  yang  menurun.  Hal  ini  juga  berkaitan  dengan bertambahnya  tenaga yang dibutuhkan untuk  lepas  landas. Landasan  akan bertambah 10 % tiap kemiringan seragam sebesar 1 %.  

Landasan pacu untuk  take‐off memerlukan koreksi  terhadap  seluruh  faktor di  atas sedangkan untuk  landing hanya dikoreksi  terhadap elevasi. Dari panjang  landasan untuk  take‐off  dan  landing  terkoreksi  dipilih  yang  terpanjang  sebagai  panjang landasan aktual. 

d. Lebar Runway 

Pada Tabel 2.3 dapat dilihat bahwa ICAO mengklasifikasikan lebar runway berdasarkan code letter dan code number yang diketahui dari klasifikasi bandara pada Tabel 2.1.  

Tabel 2. 3 Runway Width Classifications Berdasarkan Klasifikasi ICAO  

Sumber:Aerodrome Design Manual, Part 1 Runway, ICAO,1984 

Code Letter Code Number  A  B  C D E 

1a  18 m  18 m  23 m  ‐  ‐ 2a  23 m  23 m  30 m  ‐  ‐ 3  30 m  30 m  30 m  45 m  ‐ 

4  ‐  ‐  45 m  45 m  45 m a. The width of a precision approach runway should be not less than 30 m where the code number is 1 or 2 

Ukuran pendekatan  lebar  runway diusahakan  tidak kurang dari 30 m  jika  code number adalah 1 dan 2. 

e. Longitudinal Slope 

Longitudinal  slope  adalah  kemiringan  pada  arah  sumbu  runway.  ICAO mengklasifikasikan  slope  berdasarkan  kode  angka  landasan  bandara  seperti  yang disajikan pada Tabel 2.4.  

Tabel 2. 4 Longitudinal Slope Requirements Berdasarkan Klasifikasi ICAO Kode Angka Landasan Parameter  Slope 

4  3  2  1 Max. Effective Slope (%)  1,0  1,0  1,0  1,0 

Max. Longitudinal Slope (%)  1.25  1.5  2,0  2,0 Max. Longitudinal Slope Change (%)  1.5  1.5  2,0  2,0 Slope Change per 30 m (%)  0.1  0.2  0.4  0.4 Sumber:Aerodrome Design Manual, Part 1 Runway, ICAO,1984 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 5 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 6: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

f. Transverse Slope 

Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada arah  tegak  lurus  terhadap sumbu runway. Besarnya transverse slope maksimum yang disyaratkan oleh ICAO adalah sebagai berikut: 

1,5 % untuk code letter C, D dan E  2 % untuk code letter A dan B 

g. Runway Shoulder 

Runway  shoulder merupakan  area  di  sisi  kiri‐kanan  runway  yang  dipersiapkan  untuk mengantisipasi  kecelakaan  pada  saat  pesawat  take‐off  atau  landing.  Runway  shoulder hanya disyaratkan untuk bandar udara dengan klasfifikasi D atau E dan  lebar  runway kurang dari 60 m. 

h. Runway Strip 

Runway strip adalah area termasuk runway dan stopway (jika ada) yang ditujukan untuk mengurangi kerusakan pesawat  jika pesawat gagal berhenti dan sebagai batas dimana pesawat  tidak  boleh  terbang melewati  daerah  tersebut.  ICAO mensyaratkan  ukuran runway strip minimum menurut klasifikasi bandar udara dapat dilihat pada Tabel 2.5. 

Tabel 2. 5 Runway Strip Requirements Berdasarkan Klasifikasi ICAO Code Number  1  2  3  4 

Length Strip min (m)  30/60  60  60  60 Width Strip for instrument runway min (m)  150  150  300  300 Width Strip for non‐instrument runway min (m)  60  80  150  150 Longitudinal slope %  2  2  1.75  1.5 

Transverse slope %  3  3  2.5  2.5 Sumber:Aerodrome Design Manual, Part 1 Runway, ICAO,1984 

i. RESA 

RESA (Runway End Safety Area) adalah area persegi pada ujung runway (simetri terhadap sumbu  runway)  yang  digunakan  untuk  mencegah  kerusakan  pesawat  apabila mengalami  overshooting  atau  overruning.  Persyaratan  penyediaan  RESA  berdasarkan ICAO Aerodrome Design Manual Part 1.  

Panjang dibuat secukupnya, tetapi paling kurang 90 m.  Lebar paling kurang 2 kali runway.   Kemiringan sedemikian rupa di bawah approach surface atau take‐off climb surface.  Kemiringan  ke  bawah  tidak  boleh  lebih dari  5%,  hindari  kemiringan  yang  terlalu 

tajam dan tiba‐tiba. 

 

 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 6 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 7: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

j. Clearway 

Daerah berbentuk empat persegi panjang di atas  tanah atau air di bawah pengawasan otoritas  bandar  udara  disediakan  dan  dipilih  untuk  keperluan  initial  climbing. Persyaratan penyediaan clearway berdasarkan ICAO Aerodrome Design Manual Part 1. 

Panjang clearway tidak melebihi ½ panjang TORA.  Slope on clearway adalah 1,30%. Dalam Aerodrome Design Manual dianjurkan lebih dari 

1,25%. 

k. Stopway 

Stopway  adalah  area  berbentuk  segi  empat  pada  ujung  runway  sebagai  tempat  untuk berhenti  apabila  pesawat  mengalami  gagal  lepas  landas.  Persyaratan  kemiringan Stopway  berdasarkan  ICAO  Aerodrome  Design  Manual  Part  1  disesuaikan  dengan persyaratan landasan kecuali: 

Pembatasan kemiringan 0.8% pada perempat awal dan akhir landasan tidak berlaku.  Kemiringan stopway diukur dari ujung sebesar 0.3% tiap 30 m bagi landasan dengan 

kode 3 atau 4. 

l. Declared Distances 

Declared  Distances  adalah  jarak  yang  diinformasikan  pada  pilot  berkenaan  dengan keterbatasan suatu landasan untuk melayani berbagai manuver dari pesawat yang take‐off dan landing pada landasan tersebut meliputi: TORA, TODA, ASDA dan LDA.  TORA adalah panjang runway yang tersedia yang digunakan untuk take‐off  TODA adalah panjang TORA ditambah dengan panjang clearway jika ada.  ASDA adalah panjang TORA ditambah dengan panjang stopway jika ada  LDA adalah panjang runway yang bisa digunakan untuk pendaratan. 

2.1.2 Perencanaan Taxiway 

Taxiway merupakan daerah yang digunakan pesawat untuk berpindah dari  lokasi satu ke lokasi  lainnya di  sisi udara bandara. Taxiway diatur  sedemikian  rupa  sehingga pesawat – pesawat  tidak  saling  mengganggu  ketika  melakukan  pergerakan.  Sistem  taxiway  harus mampu melayani  pergerakan  pesawt  dengan maksimal,  baik  ketika  tingkat  penggunaan runway rendah, ataupun ketika penggunaan runway meningkat.  

Jenis – jenis taxiway : 

a. Aircraft stand taxiway Bagian dari apron yang didesain sebagai taxiway dan dimaksudkan untuk menyediakan akses ke aircraft stands. 

b. Apron taxiway Dimaksudkan untuk menyediakan jalur taxi melintasi apron. 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 7 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 8: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

c. Parallel taxiway Yaitu taxiway yang letaknya memanjang sejajar dengan panjang runway. 

d. Exit taxiway Yaitu taxiway yang berhubungan langsung dengan runway dan dimaksudkan untuk jalur keluar masuk dari dan ke runway.  

e. Rapid exit taxiway Yaitu sebuah taxiway bersudut tajam yang terhubung dengan runway dengan sudut yang landai untuk memungkinkan pesawat yang mendarat untuk berbelok dengan kecepatan yang lebih tinggi sehingga mengurangi tingkat penggunaan runway.  

Perencanaan desain taxiway dilakukan berdasarkan code Annex 14 Aerodrome Design Manual, ICAO,1984.  Code  Letter  yang  dipakai  sebagai  patokan  untuk  menentukan  perencanaan taxiway diperoleh dari pengklasifikasian bandara yang telah dilakukan pada Tabel 2.1. 

a. Lebar Taxiway 

Berdasarkan  standar  yang  diterbitkan  Annex  14 mengenai  Aerodrome  Design Manual, maka lebar taxiway dapat dilihat pada Tabel 2.6. 

Tabel 2. 6 Taxiway Width Requirements Menurut Persyaratan Annex 14 Code Letter  Taxiway Width 

A B C   D    E 

7.5 m 10.5 m 

15 m if the taxiway is intended to be used by aeroplane with a wheel base less than 18 m 18 m if the taxiway is intended to be used by aeroplane with a wheel base equal to or 

greater than 18 m 18 m if the taxiway is intended to be used by aeroplane With an outer main gear wheel 

span of less than 9 m 23 m if the taxiway is intended to be used by aeroplane with an outer main gear span 

equal to or greater than 9 m 23 m 

Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 

b. Taxiway Slope 

Berdasarkan  standar  yang  diterbitkan  Annex  14 mengenai  Aerodrome  Design Manual, maka taxiway slope dibedakan atas longitudinal dan tranverse slope. Besarnya slope tersebut adalah sebagai berikut: 

1,5 % untuk code letter C, D dan E  2 % untuk code letter A dan B 

c.  Taxiway Shoulder 

Berdasarkan  standar  yang  diterbitkan  Annex  14 mengenai  Aerodrome  Design Manual, maka bandar udara  code  letter C, D dan E harus menyediakan bahu yang memanjang 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 8 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 9: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

simetris pada kedua sisi  taxiway sehingga  lebar keseluruhan dari  taxiway dan bahunya tidak kurang dari angka yang ditunjukan pada Tabel 2.7. 

Tabel 2. 7 Taxiway Shoulder Width Menurut Persyaratan Annex 14 Reference Code Letter  Shoulder Width on each side of 

the Taxiway A (not mandatory)  3 m 

B (not mandatory)  3 m C (mandatory when used by jet propelled aeroplanes)  3.5 m D  7.5 m E  10.5 m 

 Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 

d. Taxiway Strip 

Berdasarkan  standar  yang  diterbitkan  Annex  14 mengenai  Aerodrome  Design Manual, lebar dari taxiway strip adalah sebagai berikut: 

Tabel 2. 8 Taxiway Strip Width Requirements Menurut Annex 14 Reference Code Letter  Taxiway Strip Width 

A  32.5 m B  43 m C  52 m D  81 m 

E  95 m  Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 

e.  Taxiway Curve 

Taxiway curve diperlukan jika terjadi perubahan arah pesawat terhadap landasan. Radius belokan tersebut ditentukan oleh kecepatan tempuh pesawat pada taxiway. Persyaratan radius belokan taxiway dapat dilihat pada Tabel 2.9. 

Tabel 2. 9 Taxiway Curve Radius Requirements Menurut Annex 14 Taxiway Design Speed  Radius of Curve 

20 km/h  24 m 30 km/h  54 m 

40 km/h  96 m 50 km/h  150 m 60 km/h  216 m 70 km/h  294 m 80 km/h  384 m 90 km/h  486 m 

100 km/h  600 m  Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 

Rapid  exit  didesain  untuk  memungkinkan  pesawat  yang  mendarat  untuk  berbelok dengan  kecepatan  yang  lebih  tinggi.  Pada Tabel  2.10 dapat dilihat  persyaratan  radius 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 9 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 10: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

belokan  rapid  exit  taxiway  berdasarkan  ICAO  Aerodrome  Design Manual.  Sudut  putar antara runway terhadap rapid exit taxiway adalah antara 25º dan 45º, namun lebih disukai 300 (ICAO, 1983).  

Tabel 2. 10 Radius Curve of Exit Taxiway Requirements Menurut ICAO Code  Radius of Curve  Exit Speed 1 , 2  275 m  65 km/h 

3 , 4  550 m  93 km/h  Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 

f. Minimum Separation Distance 

Persyaratan  jarak minimum  separation distance menurut  ICAO Aerodrome Design Manual dapat dilihat pada Tabel 2.11. 

Tabel 2. 11 Minimum Separation Distance Requirements Menurut ICAO To precision approach runway centre line 

Code letter 

Runway code number  A  B  C  D  E 1 2 3 4 

82.5 m 82.5 m 157.5 m ‐ 

87 m 87 m 162 m ‐ 

93 m 93 m 168 m 168 m 

‐ ‐ 

176 m 176 m 

‐ ‐ ‐ 

182.5 m To precision approach runway centre line 

Code letter 

Runway code number  A  B  C  D  E 1 2 3 4 

52.5 m 52.5 m 82.5 m ‐ 

57 m 57 m 87 m ‐ 

63 m 63 m 93 m 168 m 

‐ ‐ 

176 m 176 m 

‐ ‐ ‐ 

182.5 m  To non‐instrument runway centre line  Code letter Runway code number  A  B  C  D  E 

1 2 3 4 

37.5 m 47.5 m 52.5 m ‐ 

42 m 52 m 57 m ‐ 

48 m 58 m 63 m 93 m 

‐ ‐ 

101 m 101 m 

‐ ‐ ‐ 

107.5 m To another taxiway centre line  Code letter 

A  B  C  D  E  

23.75 m  33.5 m  ‐  66.5 m  80 m To object  Code letter 

A  B  C  D  E  16.25 m  21.5 m  ‐  40.5 m  47.5 m 

 Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 

 

 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 10 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 11: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

g. Jarak Minimum Taxiway Terhadap Apron Centre Line 

Ketentuan  jarak minimum  taxiway  terhadap apron  center  line menurut  ICAO Aerodrome Design Manual dapat dilihat pada Tabel 2.12. 

Tabel 2. 12 Minumum Distance of Taxiway and Apron Center Line Menurut ICAO Between  Formula  A  B  C  D  E 

wingspan (Y)  15  24  36  52  60 

3   

4.5  6  9  9 +2x maximum lateral deviation 

(X) +increment (Z)  3  3  4.5  7.5  7.5 

Taxiway centre line and taxiway center line (apron taxiway centre line and taxiway centerline) 

(S)  21  31.5  46.5  68.5  76.5  Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 

Dimensi  taxiway  dapat  dihitung  berdasarkan  data  karakteristik  pesawat  kritis,  sebagai berikut: 

h. Lebar minimal taxiway 

Minimum taxiway width WT dapat dihitung dengan persamaan: 

2 WT = TM + 2C                          ...(Pers.2. 1) 

Keterangan:   WT   = lebar taxiway minimum TM   = main gear span C   = main gear to taxiway edge clearance 

i. Minimum Separation Distance antara Taxiway dan Object 

Merupakan  jarak  pisah  minimum  antara  taxiway  centre  line  terhadap  objek. 

( ) zCWsS ++= 2                ...(Pers.2. 2) 

Keterangan:   Ws   = wingspan C   = clearance antara outer main gear dan taxiway edge z   = wingtip clearance 

j. Minimum Separation Distance antara Runway dan Taxiway 

Merupakan  jarak  pisah  antara  garis  tengah  runway  terhadap  garis  tengah  taxiway. 

( WsSwS += 21 )                 ...(Pers.2. 3) 

Keterangan:  Sw   = taxiway strip width Ws   = wingspan 

k. Aircraft Stand Taxiline ke Object 

Merupakan jarak pisah antara pesawat pada apron taxiline dengan object lain.  

( ) zdWsS ++= 2                ...(Pers.2. 4) 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 11 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 12: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

Keterangan:   Ws   = wingspan d   = minimum deviation z   = wing tip clearance 

2.1.3 Perencanaan Apron 

Apron merupakan tempat bagi pesawat yang melakukan ground service. Apron direncanakan untuk menampung lebih dari satu pesawat. Untuk mengakomodasi kebutuhan tiap pesawat agar dapat melakukan  ground  service maupun manuver dengan  aman, maka  apron diatur melalui pengaturan konfigurasi parkir. Hal ini tergantung pada luasan area dan banyaknya pesawat yang dilayani.  

Jenis apron berdasarkan fungsinya yaitu : a. Terminal apron 

Jenis  apron  ini  dirancang  untuk manuver  dan  parkir  pesawat  yang  bersebelahan  atau mudah dihubungkan dengan fasilitas terminal penumpang. Tempat ini digunakan oleh penumpang  untuk  naik  ke  pesawat  dari  terminal.  Dalam  fasilitas  pergerakan penumpang,  terminal  apron digunakan untuk mengisi bahan bakar dan pemeliharaan pesawat dan untuk menaikkan barang – barang serta kargo. 

b. Cargo apron Cargo  apron  digunakan  untuk  tempat  berhenti  dan menaikkan muatan  pesawat  yang hanya mengangkut barang – barang, kargo, surat, dan sejenisnya tanpa penumpang. 

c. Parking apron Sebuah  lapangan  terbang dapat memiliki  sebuah  tempat parkir  khusus,  yang disebut parking apron, yang diperuntukkan bagi pesawat yang harus berada di lapangan terbang untuk  jangka  waktu  yang  panjang.  Apron  ini  bisa  digunakan  untuk  melakukan perawatan  ringan  pesawat.  Penempatan  parking  apron  ini  seharusnya  diletakkan sedekat mungkin dengan terminal apron. 

d. Service dan Hangar Apron Service apron adalah sebuah tempat terbuka untuk melakukan perawatan serta perbaikan terhadap pesawat yang lokasinya berdekatan dengan hanggar pemeliharaan. Sedangkan hangar apron adalah lokasi pemindahan pesawat dari dan menuju hangar.  

Dalam tugas akhir ini,   yang akan dilakukan perencanaan desainnya adalah terminal apron, yang mempunyai fokus untuk melayani pergerakan penumpang ke pesawat. 

a. Persyaratan Clearance untuk Perencanaan Apron 

Sebuah pesawat yang berada dalam aircraft stand dengan bangunan/pesawat/objek lain mempunyai nilai clearence masing – masing tergantung kepada jenis kode pesawat yang beroperasi. 

  

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 12 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 13: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

Tabel 2. 13 Minimum Cleariance Distance antara Aircraft Requirements 

A B C D EWing Tip Clearance 3.0 m 3.0 m 4.5 m 7.5 m 7.5*m

Code Letter

 *10 m where the parking position is defined for free moving parking (AL 1/89) Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 

Tabel 2. 14 Minimum Separation Distances antara Aircraft Parking Position Taxiline dan Object 

A B C D ESeparation 12.0 m 16.5 m 24.5 m 36.0 m 42.5 m

Code Letter

 * measured from centre line to object Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 

b. Persyaratan Kemiringan Apron 

Apron  disyaratkan  harus  memiliki  kemiringan  yang  cukup  sehingga  tidak  terjadi penggenangan air di permukaan apron. Kemiringan maksimum yang disyaratkan adalah 1%. 

Di  daerah  pemuatan  BBM  pesawat,  harus  diusahakan  kemiringan  apron  sekitar  ½% transversal  sumbu  pesawat  untuk  menjamin  ketelitian  pengukuran  minyak  BBM. Kemiringan  apron  harus menjauhi  bangunan  terminal,  terutama  di  daerah  pengisian minyak. 

c. Konfigurasi Parkir Pesawat 

Terdapat  beberapa  konfigurasi  parkir  pesawat  yang  dapat  dipertimbangkan  dalam merencanakan  suatu  bandara.  Konfigurasi  –  konfigurasi  tersebut memiliki  kelebihan dan kelemahan masing – masing yang dapat dijadikan bahan pertimbangan.  

1. Nose – in dan angled nose – in Kelebihan : a. Semburan  jet  tidak  ke  terminal  sebab  hidung  pesawat  yang menghadap  ke 

terminal. b. Kebisingan saat mau parkir lebih kecil sebab yang menghadap terminal adalah 

bagian hidung pesawat, bukan bagian belakang. c. Pintu penumpang yang turun lebih dekat ke terminal. Kelemahan: a. Dibutuhkan banyak tenaga untuk berputar keluar sebab pada saat itu pesawat 

penuh dengan muatan (termasuk penumpang).  b. Kebisingan  yang  besar  langsung  mengarah  ke  terminal  saat  pesawat  mau 

keluar sebab saat itu pesawat dipenuhi muatan yang memperbesar kerja mesin pesawat. 

 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 13 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 14: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

2. Nose – out dan angled nose – out Kelebihan : a. Kebisingan yang berasal dari pesawat tidak mengarah langsung ke terminal. b. Pintu penumpang yang naik lebih dekat ke terminal. Kelemahan : Kelemahan yang paling utama dari konfigurasi parkir  ini adalah semburan  jet dari pesawat langsung mengarah ke terminal penumpang. 

3. Parallel System Kelebihan : Jarak antara pintu masuk dan pintu keluar penumpang dengan terminal sama. Kelemahan : a. Membutuhkan ruang yang lebih banyak daripada konfigurasi lainnya. b. Semburan jet langsung mengarah ke terminal penumpang. c. Kebisingan  tinggi yang berasal dari pesawat  langsung mengarah ke  terminal 

penumpang. 

d. Sistem Parkir Pesawat 

Perencanaan  parkir  pesawat  dapat  dilaksanakan  dapat  direncanakan  dalam  beberapa sistem, yaitu : 1. System linear  

Sistem ini cocok untuk bangunan terminal dengan pintu maksimum 4 pintu 2. System pier (finger) 

Jika dibutuhkan lebih atau sama dengan 9 pintu, konfigurasi ini cocok diberlakukan.  3. System satellite 

Dibuat  untuk  memungkinkan  adanya  ruang  apron  yang  bebas  dari  gangguan, memungkinkan adanya pola parkir pesawat yang rapat. 

4. Sistem apron terbuka Merupakan  sistem  parkir  pesawat  di  mana  pesawat  diparkir  di  depan  terminal dengan  lebih dari dua barisan parkir. Keuntungannya  jarak  taxiing dari  runway ke apron menjadi jauh lebih berkurang. 

e. Jumlah Pintu Gerbang 

Apron  akan  menampung  sejumlah  pesawat  sesuai  perhitungan  jumlah  pergerakan pesawat setiap jenis pada jam sibuk. Maka, Jumlah pintu pada apron harus sama dengan pesawat yang mampu ditampung oleh apron pada waktu jam puncak (jam sibuk). 

f. Perkiraan Luas Apron 

Perkiraan luas apron dapat dihitung sebagai berikut : L apron  = Luas Area – Luas Terminal Penumpang  

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 14 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 15: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

2.2 DASAR TEORI PERENCANAAN PERKERASAN  

Struktur perkerasan dikelompokkan dalam dua golongan, yaitu struktur perkerasan lentur dan struktur perkerasan kaku. Pengelompokan struktur perkerasan didasarkan pada bahan perkerasan  yang digunakan.  Struktur perkerasan  lentur umumnya menggunakan  lapisan beton aspal sebagai  lapisan permukaan, terkadang  juga digunakan pada  lapisan‐lapisan di bawahnya. Sedangkan struktur perkerasan kaku menggunakan pelat beton semen sebagai  komponen struktur utamanya. 

Teori dasar yang digunakan untuk mendesain struktur perkerasan  lentur berbeda dengan struktur  perkerasan  kaku.  Desain  struktur  perkerasan  lentur  didasarkan  pada  analisis sistem  lapisan  dimana  beban  kendaraan  dipikul  oleh  semua  lapisan  perkerasan  sebagai suatu  kesatuan.  Kontribusi  setiap  lapisan  perkerasan  dalam  memikul  beban  kendaraan ditentukan  oleh  karakteristik  bahan  dan  tebal  dari  masing‐masing  lapisan  perkerasan tersebut.  Bahan  perkerasan  dengan  kualitas  yang  lebih  baik  pada  umumnya  digunakan sebagai  lapisan  perkerasan  yang  lebih  atas.  Lapisan‐lapisan  dibawahnya  menggunakan bahan  perkerasan  dengan  kualitas  yang  lebih  rendah  namun  harus  tetap  lebih  baik  dari kualitas  tanah  dasar  pendukungnya.  Sedangkan,  proses  desain  struktur  perkerasan  kaku lebih  didasarkan  pada  analisis  struktural  terhadap  pelat  beton  yang  dianggap memikul beban kendaraan melalui kelenturan (bending) yang tinggi dari pelat beton tersebut. 

Dalam pemakaiannya, struktur perkerasan  lentur  secara umum memberikan kenyamanan yang  lebih baik. Di  sisi  lain,  struktur perkerasan kaku akan  lebih  cocok untuk  jalan yang sering memikul beban statis dan/atau beban horizontal. 

 Gambar 2. 2 Potongan Melintang Struktur Perkerasan Lentur Tipikal 

Gambar 2.2 memperlihatkan potongan dari struktur perkerasan  lentur  tipikal, yang  terdiri dari lapisan permukaan, lapisan pondasi, dan lapisan pondasi bawah. Keseluruhan lapisan harus  sudah membentuk  kemiringan  jalan  sesuai dengan  yang  telah ditentukan. Lapisan permukaan,  yang  umumnya  menggunakan  bahan  campuran  aspal  dan  agregat,  dapat dibedakan menjadi dua lapisan, yaitu lapisan penutup (wearing) dan lapisan utama (binder). Bahan lapisan utama seringkali dibuat sama dengan bahan lapisan penutup, kadang‐kadang lapisan  utama menggunakan  ukuran  nominal  agregat  yang  lebih  besar.  Lapisan  pondasi dan  lapisan pondasi bawah dapat menggunakan bahan agregat dengan atau  tanpa bahan pengikat  (aspal,  semen,  atau  kapur).  Perkerasan  lentur  pada  bahu  jalan  terdiri  lapisan 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 15 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 16: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

pondasi  dan/atau  lapisan  pondasi  bawah,  sebaiknya  diberi  lapisan  penutup  tipis  (surface treatment).  

Yang  dikategorikan  sebagai  struktur  perkerasan  adalah  lapisan  permukaan,  termasuk lapisan tambahan yang dibangun sesudahnya, lapisan pondasi, dan lapisan pondasi bawah. Tanah  dasar  tidak  dikategorikan  sebagai  bagian  dari  struktur  perkerasan  tetapi  sebagi lapisan pendukung struktur perkerasan. Pada kasus‐kasus  tertentu, bagian atas dari  tanah dasar dapat merupakan hasil dari proses perbaikan tanah (improved subgrade). Dalam kasus tersebut,  tanah  dasar  hasil  perbaikan  tersebut  dapat  dikategorikan  sebagai  bagian  dari struktur perkerasan. 

Struktur  perkerasan  lentur  yang  ketiga  lapisannya  terbuat  dari  bahan  campuran  aspal dikenal  sebagai perkerasan  full  depth.  Jika hanya  lapisan permukaan dan  lapisan pondasi saja yang  terbuat dari bahan campuran aspal, maka struktur perkerasan  lentur  ini dikenal dengan istilah perkerasan deep strength.  

 

 Gambar 2. 3 Potongan Melintang Struktur Perkerasan Kaku Tipikal 

Gambar 2.3 memperlihatkan potongan dari  struktur perkerasan kaku  tipikal, yang  terdiri dari pelat beton semen dengan atau tanpa lapisan pondasi bawah. Struktur perkerasan kaku dapat  dibedakan  ke  dalam  empat  tipe,  yaitu  bersambung  tanpa  tulangan,  bersambung dengan tulangan, menerus dengan tulangan, dan menerus dengan tulangan prategang.  

Pada struktur perkerasan kaku bersambung, pelat beton umumnya dibuat dengan panjang 5  m  atau  6  m  selebar  lajur  jalan.  Di  setiap  sambungan  yang  teratur  tersebut  dibuat perkuatan yang berfungsi untuk menyalurkan  tegangan dari  satu pelat ke pelat beton di sebelahnya.  Jika pelat beton bersambung  ini diberi  tulangan, maka  fungsi  tulangan  tidak untuk  memikul  beban  kendaraan  tetapi  hanya  untuk  mengikat  retakan  yang  mungkin terjadi  pada  saat  jalan  ini  dioperasikan,  sekaligus  untuk menyalurkan  beban  kendaraan pada bagian pelat beton yang retak tersebut. 

Struktur  perkerasan  kaku menerus  harus  selalu  diberi  tulangan  yang  fungsinya  adalah untuk  menyalurkan  beban  kendaraan  pada  bagian  pelat  beton  yang  retak.  Struktur perkerasan  kaku menerus memberikan  kenyamanan  yang  lebih  baik  karena  tidak  terjadi kebisingan yang biasa terjadi saat kendaraan melintasi sambungan. Akan tetapi, keretakan melintang pada struktur perkerasan kaku menerus mungkin terjadi secara acak yang dapat merusak estetika jalan. 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 16 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 17: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

Struktur  perkerasan  kaku  menerus  dengan  tulangan  prategang  dimaksudkan  untuk menjadikan  pelat  beton  agar  selalu  dalam  kondisi  tertekan  agar  dapat  mengimbangi tegangan  tarik  yang  ditimbulkan  oleh  beban  kendaraan.  Sifat  dari  bahan  beton  semen, seperti  telah  diketahui  secara  umum,  adalah  sangat  baik  dalam menerima  beban  tekan tetapi lemah dalam menerima beban tarik. 

Tidak  seperti  pada  perkerasan  lentur,  dimana  lapisan  pondasi  dan  pondasi  bawah  ikut memperngaruhi daya dukung perkerasan, pada perkerasan kaku,  lapisan pondasi bawah pada struktur perkerasan kaku bukan merupakan komponen utama untuk memikul beban kendaraan.  Daya  dukung  perkerasan  diperoleh  dari  pelat  beton.  Meskipun  demikian, pemberian  lapisan  pondasi  bawah  akan  dapat meningkatkan  daya  dukung  tanah  dasar, khususnya jika kondisi tanah dasar kurang baik. Fungsi utama dari lapisan pondasi bawah adalah untuk mengendalikan pengaruh kembang  susut  tanah dasar, mencegah  terjadinya intrusi  tanah dasar  pada  sambungan, memberikan daya dukung  yang  baik dan  seragam terhadap  pelat  beton,  dan  sebagai  landasan  kerja  selama  pekerjaan  konstruksi.  Lapisan pondasi  bawah  dapat  menggunakan  bahan  agregat  dengan  atau  tanpa  bahan  pengikat (aspal, semen, atau kapur). 

Pendekatan  desain  untuk  struktur  perkerasan  pada  prinsipnya  dapat  dikelompokkan  ke dalam dua pendekatan, yaitu pertama, pendekatan yang didasarkan pada beban kendaraan desain yang akan menyebabkan tingkat kerusakan yang diijinkan; kedua, pendekatan yang didasarkan  pada  jumlah  repetisi  kendaraan  standar  yang  akan  menyebabkan  tingkat kerusakan yang diijinkan. 

2.2.1. Penentuan Repetisi Beban Ekivalen  

Volume  pergerakan  pesawat  udara  terdiri  dari  volume  keberangkatan  dan  volume kedatangan. Akan tetapi, hanya volume keberangkatan tahunan saja yang digunakan dalam proses penentuan tebal perkerasan desain (ICAO, 1983). Dalam proses desain, data volume keberangkatan tahunan dianggap konstan selama masa layan rencana struktur perkerasan. Pada umumnya umur masa layan struktur perkerasan ditetapkan 20 tahun. 

Untuk  pendekatan  desain  yang  berdasarkan  pesawat  udara  desain  kritis  (pesawat  yang menyebabkan  kerusakan  paling  dominan),  struktur  perkerasan  diperhitungkan  hanya untuk memikul  sejumlah  repetisi  beban  sumbu  roda  ekivalen dari pesawat udara desain kritis  tersebut  selama masa  layan  rencana  yang  ditetapkan.  Pengaruh  dari  jenis  pesawat udara  lainnya  yang  beroperasi  terhadap  kerusakan  struktur  perkerasan  diperhitungkan dengan menggunakan faktor ekivalen repetisi beban. Untuk  lalu  lintas campuran, ada tiga faktor ekivalen repetisi beban yang diperlukan, yaitu: 

 

 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 17 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 18: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

a. Faktor ekivalen konfigurasi sumbu roda (FES) 

Meskipun beban sumbu roda yang bekerja adalah sama, pengaruh dari berbagai konfigurasi sumbu  roda pesawat udara  terhadap kerusakan  struktur perkerasan dapat berbeda. Oleh karena itu, konfigurasi sumbu roda yang berbeda dengan konfigurasi sumbu roda pesawat udara  desain  kritis  perlu  dikonversikan  dengan  menggunakan  nilai  FES,  seperti diperlihatkan pada Tabel 2.15  

Tabel 2. 15 Faktor Ekivalen Sumbu Roda (FES) 

No. Faktor EkivalenDari Ke FES

1 Sumbu Tunggal Roda Tunggal (S) D 0.8DT 0.5DDT 0.5

2 Sumbu Tunggal Roda Ganda (D) S 1.3DT 0.6DDT 0.6

3 Sumbu Tandem Roda Ganda (DT) / S 2Sumbu Tandem Roda Ganda Dobel (DDT) D 1.7

Sumber: ICAO,1983

Konversi Konfigurasi Sumbu Roda Pesawat

 

b. Faktor ekivalen beban (FEB) 

Variasi beban roda pesawat udara memberikan derajat kerusakan pada struktur perkerasan yang  juga bervariasi. Makin berat beban roda pesawat udara, maka akan makin besar pula derajat  kerusakan  yang  ditimbulkan  pada  struktur  perkerasan.  Di  lain  pihak,  derajat kerusakan struktur perkerasan berbanding lurus dengan jumlah repetisi beban sumbu roda pesawat  udara.  Sehingga,  dalam  hal  ini,  persamaan  di  bawah  dapat  digunakan  untuk mengkonversikan  jumlah repetisi beban sumbu roda dari setiap  jenis pesawat udara yang beroperasi (R2) ke dalam jumlah repetisi beban sumbu roda pesawat udara desain kritis (R1) berdasarkan akar perbandingan antara beban roda masing‐masing jenis pesawat udara yang beroperasi tersebut (W2) dengan beban roda pesawat udara desain kritis (W1). (ICAO, 1983). 

( ) ( )1

221 loglog

WW

RR ⋅=               ...(Pers.2. 5) 

Kemudian, nilai FEB dapat dihitung dari persamaan: 

( )

2

log1

22

10W

FEBWW

R ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛⋅

=                ...(Pers.2. 6) 

Beban  roda pesawat udara  (nilai W1 dan nilai W2) harus sudah dikalikan  terlebih dahulu dengan nilai FES. 

 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 18 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 19: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

c. Faktor repetisi beban (LRF) 

Setiap  lintasan  sumbu  roda  dari  jenis  pesawat  udara  tertentu  pada  perkerasan  biasanya tidak selalu berada pada  jalur lintasan yang tetap. Untuk keperluan perhitungan nilai LRF, pergeseran  lintasan sumbu roda pesawat udara dianggap  terdistribusi secara normal yang menyebar di sekitar jalur lintasan sumbu roda rata‐rata yang dianggap terletak pada ½ jarak antara kaki  roda dari  sumbu perkerasan. Faktor  repetisi beban  (LRF) untuk  jenis pesawat udara  tertentu merupakan  faktor  koreksi  terhadap  derajat  kerusakan  yang  ditimbulkan pada struktur perkerasan di jalur lintasan sumbu roda rata‐rata akibat terjadinya pergesaran lintasan sumbu roda tersebut. 

Tabel 2. 16 Faktor Repetisi Beban (LRF) 

No. Konfigurasi Sumbu Roda Pass to Coverage Ratio, Faktor Repetisi Beban,PCR LRF

1 Sumbu Tunggal Roda Tunggal (S) 5.18 0.1932 Sumbu Tunggal Roda Ganda (D) 3.48 0.2873 Sumbu Tandem Roda Ganda (DT) 3.68 0.2724 Sumbu Tandem Roda Ganda Dobel (DDT) 3.7 0.27

Sumber: ICAO,1983  Jumlah  repetisi  beban  sumbu  roda  ekivalen  dari  pesawat  udara  desain  kritis  dapat diperoleh dengan mengalikan data keberangkatan tahunan dari setiap  jenis pesawat udara yang beroperasi dengan faktor ekivalen repetisi beban, sebagai berikut: 

( ){ LRFFEBFESRdesainRi

iii ⋅⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡⋅⋅= ∑ 21 }         ...(Pers.2. 7) 

Keterangan:  i     = jenis pesawat udara yang beroperasi dalam lalu lintas campuran (R2)i     = keberangkatan tahunan  FESi     = faktor ekivalen konfigurasi sumbu roda FEBi     = faktor ekivalen beban LRF     = faktor repetisi beban dari pesawat udara desain kritis R1 desain   = jumlah repetisi beban sumbu roda ekivalen dari pesawat udara desain kritis  

2.2.2 Perencanaan Perkerasan Lentur 

Struktur  perkerasan  pada  runway  dan  taxiway  direncanakan  menggunakan  perkerasan lentur.  Metode  desain  struktur  perkerasan  lentur  untuk  runway  dan  taxiway  dilakukan dengan menggunakan metode CBR. Metode CBR yang umum dikenal adalah metode U.S. Army Corps of Engineers  (USACE). Prinsip dasar dari metode CBR  adalah menyediakan tebal  lapisan  perkerasan  yang  sesuai  dengan  kualitas  bahan  yang  digunakan  untuk melindungi lapisan di bawahnya dari kerusakan alur (deformasi plastis) selama masa layan perkerasan yang umumnya ditetapkan 20 tahun. 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 19 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 20: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

Berdasarkan  code  ICAO,  kekuatan  tanah  dasar  untuk  desain  struktur  perkerasan  lentur dibagi dalam empat kategori yang dijelaskan dalam Tabel 2.17. 

Tabel 2. 17 Kategori Perkerasan Lentur berdasarkan Kekuatan Tanah Dasar 

Kode  Kategori  Nilai Wakil  Rentang Nilai A  High Strength  CBR 15  CBR > 12.5 B  Medium Strength  CBR 10  8 < CBR < 12.5 C  Low Strength  CBR 6  4.5 < CBR < 8 D  Ultra Low Strength  CBR 3  CBR < 4.5 

Sumber : ICAO, 1983 

Dalam metode CBR, digunakan anggapan bahwa,  jika tebal lapisan perkerasan dan kualitas bahan yang digunakan  cukup memadai maka kerusakan alur  sebagian besar akan  terjadi pada  tanah  dasar.  Oleh  karena  itu,  desain  struktur  perkerasan  dapat  dikontrol  dengan membatasi tegangan yang terjadi pada tanah dasar agar akumulasi dalam alur yang terjadi selama masa  layan  akibat  repetisi dari  tegangan  tersebut  tidak melebihi  nilai  batas  yang diijinkan. 

Hubungan antara ketebalan perkerasan  lentur dengan beban roda dan tekanan ban adalah sebagai berikut: 

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡−=

πpCBRPt 1

1.81

              ...(Pers.2. 8) 

Hubungan  antara ketebalan perkerasan  lentur dengan beban  roda dan  tekanan ban yang telah dikoreksi terhadap repetisi lalu lintas, dapat dilihat dalam persamaan berikut:  

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡−

+=

πpCBRP

Ct 1

1.81

100)4.14log31.2(

        ...(Pers.2. 9) 

Ruas  (23.1  log C + 14.4) dalam persamaan diatas merupakan persentase dari  jumlah stress coverages  yang  terjadi  selama masa  layan. Kedua persamaan di  atas dapat diaplikasikan untuk tanah dasar dengan nilai CBR kurang dari 10 sampai 12. 

Penelitian lebih lanjut terhadap ketebalan perkerasan lentur dengan beban roda dan tekanan ban untuk kendaraan dengan beban berat menghasilkan persamaan sebagai berikut: 

⎪⎭

⎪⎬⎫

⎪⎩

⎪⎨⎧

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

⎛−⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

⎛−=

32

log473.0log6414.0log1562.10481.0eee

i pCBR

pCBR

pCBRAt α   ... (Pers.2. 10) 

Keterangan:  t   = ketebalan lapisan perkerasan (in) αi   = load repetition factor = 23.1 log C + 14.4 C   = beban sumbu standar kumulatif 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 20 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 21: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

A   = luas bidang kontak lingkaran dari satu roda kendaraan pada sumbu standar (in2) pe   =  tekanan beban  (psi) pada bidang kontak A akibat ESWL  (Equilvalent Single Wheel 

Load) yang memberikan respon struktural (tegangan, regangan, atau lendutan) yang sama pada tanah dasar atau struktur perkerasan 

CBR   = kekuatan tanah dasar (%) 

Di  luar perhitungan nilai ESWL yang  relatif kompleks,  solusi persamaan dapat diperoleh dengan memasukkan  nilai C dan CBR  tanah dasar  ke dalam  persamaan  (Kosasih,  2006). Dari persamaan di atas, USACE menurunkan kurva desain untuk pesawat udara B767‐400 ER. Kurva desain disajikan dalam Gambar 4.2. 

Data  desain  yang  diperlukan  untuk  mendapatkan  tebal  perkerasan  lentur  dengan menggunakan  kurva  desain  adalah  data  CBR  tanah  dasar,  data  beban  sumbu  utama pesawat, dan data keberangkatan tahunan pesawat. 

 

Gambar 2. 4 Kurva Desain Perkerasan Lentur 

(U.S. Army Corps of Engineers Method, 2002) 

2.2.3 Perencanaan Perkerasan Kaku 

Struktur perkerasan pada  apron direncanakan menggunakan perkerasan kaku. Perkerasan kaku yang akan digunakan adalah perkerasan kaku bersambung tanpa tulangan.  

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 21 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 22: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

Dalam perencanaan perkerasan kaku, kekuatan beton  tidak dinyatakan dalam kuat  tekan (compressive  strength)  tapi dalam kuat  tarik  (flexural  strength), yaitu kuat  lentur  tarik yang diperlukan  untuk mengatasi  tegangan  yang  diakibatkan  oleh  beban  roda  dari  lalu  lintas rencana;  bentuk  keruntuhan  pada  perkerasan  kaku  umumnya  berupa  retakan  yang diakibatkan  oleh  tegangan  lentur  tarik  berlebih.  Kuat  lentur  beton  ditentukan  dengan pengujian terhadap pembebanan di tiga titik sesuai dengan ASTM C‐87 terhadap benda uji berumur 28 hari. Kuat lentur tarik (Mr) pada umur 28 hari dianjurkan 40 Kg/cm2.  

Kekuatan  tanah  dasar  dalam  perencanaan  perkerasan  kaku  dinyatakan  dalam modulus reaksi  tanah dasar  (subgrade  strength), k. Harga k didapat dari pengujian plate bearing di lapangan,  dalam  keadaan  terpaksa  nilai  k  dapat  ditentukan  berdasarkan  nilai  CBR (Siswosubroto,  2006).  Apabila  kekuatan  tanah  dasar  sangat  buruk  (k<2  Kg/cm3),  tanah tersebut  perlu  diperbaiki  sampai  diperoleh  peningkatan  nilai  k.  Pada  setiap  konstruksi perkerasan  kaku,  lapisan pondasi  bawah harus  selalu  ada, minimum  10  cm. Kecuali  jika tanah dasar mempunyai mutu yang sama dengan material sub base. 

Berdasarkan code ICAO, kekuatan tanah dasar untuk desain struktur perkerasan kaku dibagi dalam empat kategori sebagai berikut: 

Tabel 2. 18 Kategori Perkerasan Kaku berdasarkan Kekuatan Tanah Dasar 

Kode  Kategori  Nilai Wakil  Rentang Nilai A  High Strength  k = 150  k > 120 B  Medium Strength  k = 80  60 < k < 120 C  Low Strength  k = 40  25 < k < 60 D  Ultra Low Strength  k = 20  k < 25 

* k dalam satuan MN/m3

Sumber : ICAO, 1983 

Metode  desain  struktur  perkerasan  kaku  landasan  pesawat  yang  umum  dikenal  salah diantaranya adalah metoda FAA (Yoder, 1975). Metode FAA merupakan metode pendekatan desain berdasarkan pesawat desain kritis. Struktur perkerasan diperhitungkan hanya untuk memikul sejumlah repetisi beban sumbu roda ekivalen dari pesawat desain kritis  tersebut selama masa  layan  rencana  yang  ditetapkan.  Pengaruh  dari  jenis  pesawat  lainnya  yang beroperasi  terhadap kerusakan struktur perkerasan diperhitungkan dengan menggunakan faktor ekivalen repetisi beban. Untuk lalu lintas campuran, ada tiga faktor ekivalen repetisi beban, yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu: 

a. Faktor ekivalen konfigurasi sumbu roda (FES) b. Faktor ekivalen beban (FEB) c. Faktor repetisi beban (LRF) 

Gambar  2.5  menunjukkan  kurva  desain  dari  metode  FAA  untuk  menentukan  tebal perkerasan kaku dengan pesawat rencana B767‐400 ER. Data desain yang diperlukan untuk 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 22 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 23: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

mendapatkan tebal perkerasan kaku dengan menggunakan kurva desain FAA adalah data subgrade strength, data tegangan lentur pelat beton yang akan digunakan, data beban sumbu utama pesawat, dan data keberangkatan tahunan pesawat. 

 

 Gambar 2. 5 Kurva Desain Perkerasan Kaku 

(FAA Design Method, 2002) 

 2.3 DASAR TEORI PERENCANAAN GEOTEKNIK 

Perencanaan pada bidang geoteknik yang akan dilakukan meliputi: a. Interpretasi parameter tanah  b. Perencanaan pengupasan (stripping) c. Perencanaan perataan (land grading) d. Perencanaan kompaksi  

2.3.1 Interpretasi Parameter Tanah 

Interpretasi  terhadap  nilai  N‐SPT  dilakukan  untuk  mendapatkan  nilai  berat  jenis,  γ, unconfined  compression  strength,  qu,  dan  sudut  geser,  φ.  Tabel  4.35 menunjukkan  korelasi berat  jenis, unconfined  compression  strength, dan  sudut geser  terhadap nilai N‐SPT  tertentu untuk tanah kohesif dan non kohesif. 

Nilai pendekatan yang umum digunakan antara nilai kohesi, c, terhadap N‐SPT adalah: c (ton/m2) = 2/3 N‐SPT             ...(Pers.2. 11) 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 23 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 24: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

Sementara menurut Stroud, korelasi antara kohesi dengan N‐SPT adalah: c(KN/m2) = (3.5‐6.5)N‐SPT             ...(Pers.2. 12) 

Dalam perencanaan ini digunakan pendekatan  c(KN/m2) = 5 N‐SPT               ...(Pers.2. 13) 

Tabel 2. 19 Korelasi  N‐SPT terhadap Beberapa Parameter Tanah 

Cohesionless Soil 

N  0‐10  11‐30  31‐50  >50 

Unit weight, γ, kN/m3 12‐16  14‐18  16‐20  18‐23 

Angle of friction, φ  25‐32  28‐36  30‐40  >35 

State  Loose  Medium  Dense  Very Dense 

Cohesive Soil 

N  <4  4‐6  6‐15  16‐25  >25 

Unit weight, γ, kN/m3 14‐18  16‐18  16‐18  16‐20  >20 

qu, kPa  <25  20‐50  30‐60  40‐200  >100 

Consistency  Very Soft  Soft  Medium  Stiff  Hard 

 

2.3.2 Perencanaan Pengupasan 

Lapisan  teratas  tanah di  lokasi konstruksi  seringkali berupa  lapisan organik yang berasal dari pembusukan  tumbuhan. Material  ini  tidak  tepat untuk digunakan dalam konstruksi. Penanganan  terhadap  lapisan  organik  tersebut dapat dilakukan dengan  cara pengupasan (stripping). Kedalaman pengupasan pada umumnya berkisar antara 0.2‐0.5 m. 

2.3.3 Perencanaan Perataan 

Perataan (land grading) dilakukan dengan tujuan memberikan permukaan yang datar untuk mempermudah  pekerjaan  kompaksi  di  atasnya.  Dalam  pelaksanaan  land  grading, permukaan  tanah akan diratakan ke elevasi yang menghasilkan volume  cut  sama dengan atau mendekati volume  fill. Karena keterbatasan data profil  tanah,  land grading dilakukan hanya  pada  lokasi  runway.  Lokasi  taxiway  dan  apron  diasumsikan  memiliki  elevasi permukaaan yang seragam sesuai dengan elevasi bore hole terdekat.  

2.3.4 Perencanaan Kompaksi 

Tanah pada lokasi konstruksi tidak selalu mampu menahan beban dari struktur yang akan dibangun  diatasnya.  Tanah  dalam  kategori  very  loose  memiliki  kemungkinan  akan mengalami penurunan elastik yang besar. Selain itu, tanah kedalaman awal biasanya berupa lapisan  soft  saturated  clay  (Das, 1998). Tebal  lapisan clay dan besar beban  rencana struktur 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 24 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 25: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

akan mempengaruhi besar konsolidasi yang  akan  terjadi. Untuk kedua  contoh kondisi di atas, diperlukan perlakuan  khusus untuk membuat  tanah  lebih padat  agar daya dukung tanah meningkat.  

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan daya dukung tanah adalah kompaksi.  Kompaksi  adalah  proses menaikkan  berat  jenis  tanah  dengan  cara mendesak tanah dengan  energi mekanis  agar partikel  solid pada  tanah  lebih memadat dan menjadi kompak serta mengurangi partikel udara yang mengisi rongga pada massa tanah.  

Beberapa tujuan perlunya dilakukan kompaksi adalah: a. Mengurangi kompresibilitas b.  Menaikkan kekuatan tanah c.  Mengurangi potensi likuifaksi d.  Mengontrol shrinkage dan swelling e.  Mengurangi hydraulic compressibiliy/permeabilitas f.  Menaikkan daya tahan terhadap erosi g.  Mengontrol resilience properties 

Dalam pekerjaan kompaksi, dilakukan penambahan air ke dalam tanah dalam jumlah kecil dan  kemudian  dipadatkan.  Perlakuan  ini  akan meningkatkan  berat  jenis  tanah. Apabila kadar air ditingkatkan secara berkala dan kompaksi dilanjutkan dengan besar energi yang tetap, berat jenis kering tanah akan meningkat.  

Derajat pemadatan tanah diukur dari berat  isi kering tanah (γd). Air yang ditambahkan ke massa tanah pada saat pemadatan akan berfungsi seperti pelumas yang akan mengerakkan partikel  tanah ke posisi yang  lebih padat. Pada saat kadar air, w = 0   maka, berat  jenis  (γ) akan sama dengan berat  jenis kering   (γd) atau γ = γd (w = 0) = γ1  . Pada usaha pemadatan yang sama, penambahan kadar air   akan menyebabkan penambahan berat  jenis. Misalnya pada saat w = w1, maka γ = γ2. Sehingga, γd (w = w1) = γd (w = 0) + Δ γd

Sampai suatu kadar air tertentu, pertambahan kadar air cenderung menurunkan berat jenis kering  tanah. Hal  ini disebabkan  karena  partikel  air  akan mengisi  ruang  yang ditempati partikel padat. Kadar air pada saat berat  jenis kering mencapai maksimum  (γdmax) disebut dengan kadar air optimum (wopt). 

Menurut Proctor, pemadatan tanah ditentukan oleh keempat hal berikut: a. Energi pemadatan b. Tipe tanah  c. Kadar air (w) d. Berat jenis kering (γd) 

Spesifikasi  pemadatan  lapangan  mensyaratkan  agar  berat  jenis  kering  lapangan  harus mencapai 90–95% berat jenis kering maksimum di laboratorium yang ditentukan melalui tes 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 25 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 26: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

Proctor  Standar  atau Proctor Modifikasi. Evaluasi  terhadap  berat  jenis  kering maksimum dan kadar air optimum dilakukan berdasarkan uji laboratorium Standard Proctor test (ASTM designation D‐698)  dan Modified  Proctor  test  (ASTM  designation D‐1557).  Spesifikasi  teknis kedua pengujian tersebut disajikan dalam Tabel 2.20. 

Tabel 2. 20 Spesifikasi Peralatan Tes Proctor Standar dan Proctor Modifikasi 

  Tes Proctor Standar (ASTM D698) 

Tes Proctor Modifikasi (ASTM D1557) 

Berat Hammer  24.5 N (5.5 lb)  44.5 N (10 lb) Tinggi Jatuh Hammer  305 mm (12 in)  457 mm (18 in) Jumlah Layer  3  5 Jumlah Pukulan/Lapis  25  25 Volume Mold    0.0009422 m3 (1/30 ft3) Energi Kompaksi (CE)  595 kJ/m3 (12400 lb.ft/ft3)  2698 kJ/m3 (56250 lb.ft/ft3) Tanah    (‐) Saringan No.4 

 Tanah yang ditemukan di alam hampir selalu  terdiri dari kombinasi berbagai  jenis  tanah. Setiap jenis tanah memiliki sifat yang berbeda bergantung pada kepadatan maksimum dan kadar air optimumnya. Oleh karena itu, masing‐masing tanah mempunyai persyaratan dan kontrol  kompaksi  tersendiri di  lapangan. Dalam  sistem AASHTO  (American Association  of State Highway and Transportation Officials), tanah diklasifikasikan ke dalam 15 tipe. Berbagai tipe tanah tersebut disusun oleh kombinasi dari tiga kelompok mendasar tanah, yaitu tanah kohesif (cohesive soils), tanah berbutir (cohesionless solils), dan tanah organik. 

Secara  umum  tanah  diklasifikasikan  berdasarkan  ukuran  butir  yang  didapatkan  dengan cara melewatkan  tanah pada berbagai macam ukuran  ayakan untuk memisahkan ukuran butiran yang berbeda.  

Yang termasuk dalam cohesive soils adalah lempung atau campuran antara beberapa macam partikel  tanah  dimana  partikel  lempungnya  dominan.  Tanah  kohesif  memiliki  partikel terkecil. Lempung memiliki rentang ukuran partikel antara 0.00004 ‐ 0.002 in. Lanau berkisar antara 0.0002  ‐ 0.003  in. Kuat geser tanah  lempung didapat dari  ikatan antar partikel yang tidak tergantung dari gaya‐gaya normal yang bekerja. Jenis tanah ini tetap mempunyai kuat geser walaupun  dalam  kondisi  unconfined.  Tanah  ini mempunyai  koefisien  permeabilitas yang sangat kecil sehingga aliran air melalui pori‐pori tanah akan lambat. 

Yang  termasuk  dalam  cohesionless  soils  adalah  gravels,  sand,  dan  nonplastic  silt.  Ukuran partikel  tanah berkisar  antara  0.003  ‐  0.08  in  (pasir) dan  0.08  ‐  1  in  (batuan halus  sampai menengah). Kuat geser dari jenis tanah ini didapat dari tahanan geser dan interlocking antar partikel  yang  tergantung  pada  gaya‐gaya  tekan  (confining  pressure)  yang  bekerja  pada partikel tersebut. Jenis tanah ini mempunyai koefisien permeabilitas yang besar sehingga air dapat mengalir melalui pori‐porinya dengan cepat.  

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 26 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 27: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

Gradasi  tanah  yang  baik  terdiri  dari  berbagai macam  ukuran  partikel  dengan  partikel‐partikel  kecil mengisi  rongga  yang  ada  diantara  partikel‐partikel  besar. Hasilnya  adalah struktur  padat  yang menyebabkannya  baik  untuk  kompaksi. Kondisi  tanah menentukan jenis peralatan kompaksi yang akan digunakan.  

Peralatan pemadatan di lapangan yang umum digunakan adalah : a. Smooth wheel roller 

Smooth wheel roller sesusai untuk digunakan saat finishing pada pemadatan tanah pasir atau  lempung.  Smooth  wheel  roller  dapat  memberikan  100%  coverage  dengan  contact pressure  sebesar  310  –  380  kN/m2. Alat  ini  tidak  cocok  digunakan  pada  lapisan  yang tebal. 

b. Pneumatic rubber‐tired roller Pneumatic rubber roller dapat digunakan pada pemadatan tanah pasir maupun lempung. Pemadatan  dilakukan  dengan  kombinasi  tekanan  dan  pemijatan.  Alat  ini  dapat memberikan 70‐80% coverage dengan contact pressure sebesar 585 – 690 kN/m2. 

c. Sheepsfoot roller Sheepsfoot  roller merupakan  alat  yang  paling  efektif  pada  pemadatan  tanah  lempung. Alat ini mampu memberikan contact pressure sebesar 1380 – 6900 kN/m2. 

d. Vibratory roller  Vibratory roller merupakan alat yang paling efektif pada pemadatan tanah pasir. 

Tabel  2.21 menguraikan  peralatan  dan metode  kompaksi  untuk  persyaratan  γd  lapangan harus mencapai 90 – 95% γd maksimum di laboratorium untuk masing‐masing peralatan. 

Kompaksi dilakukan bertahap dengan ketebalan tertentu sampai mencapai ketebalan yang sesuai.  Tebal  lapisan  tanah  kompaksi  adalah  tebal  antara  elevasi  tanah  dasar  yang  telah diratakan dan elevasi perkerasan bagian bawah. Tebal lapisan tanah kompaksi dipengaruhi oleh dua hal, yaitu daya dukung  lapisan  tanah di bawahnya dan besar konsolidasi pada lapisan‐lapisan tanah di bawah lapisan kompaksi.  

Semakin besar tebal lapisan tanah kompaksi, semakin besar pula daya dukung yang harus dimiliki  oleh  lapisan  di  bawahnya. Dan  dengan  bergantung  pada  daya  dukung  lapisan‐lapisan  tanah di bawahnya, semakin besar  tebal  lapisan  tanah kompaksi, konsolidasi yang terjadi akan semakin besar.  

 

 

 

 

 

 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 27 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 28: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

Tabel 2. 21 Peralatan dan Metode Pemadatan Tanah (NAVDOCKS DM‐7) 

 

3-wheel roller for compaction of fine-grained soil; weight from 5 to 6 tons for materials of low plasticity to 10 tons for materials of high plasticity

6 coverages6 to 8Maybe used for fine-grained soils other than in earth dams. Not suitable for clean well-

graded sands or silty uniform sands.

Do…

such as provided by wobble-wheel equipment, may be substituted for heavy-wheel load if lift thickness is decreased. For cohesionless soils, large-size tires ate desirable to avoid shear and rutting 3-Wheel rollers obtainable in wide range of sizes. 2-Wheel tandem rollers are available in the ring of 1 to 20 ton weight. 3-axle tandem rollers are generally used in the range of 10 to 20 ton weight. Very heavy rollers are used for proof rolling of subgrade or base course.

Tire inflation pressures in excess of 65 p.s.i. For fine-grained soils of high plasticity. For uniform clean sands or silty fine sands, use large size tires with pressures of 40 to 50 p.s.I.Tandem type rollers for base course or subgradecompaction, 10 to 15 ton weight. 300 to 500 lb. Per lineal in. of width of rear roller

4 to 6 coverages.

4 coverages

6 to 8

8 to 12

For fine-grained soil or well-graded, dirty coarse-grained soils with more than 8

percent passing the No. 200 sieve

Appropriate for sugrade or base course compaction of well-graded sand-gravel

mixtures

Do…

Smooth Wheel Rollers

Wide variety of rubber tire compaction equipment is available. For cohe- sivesoils, light-wheel loads,

Tire inflation pressures of 60 to 80 p.s.i. for clean granular material or base course and subgrade compaction. Wheel load 10•000 to 25,000 lb.

3 to 5 coverages.

10For clean, coarse-grained soils with 4 to 8 percent passing the No. 200

sieve.

Rubber Tire Rollers.

Efficient compaction of soils wet of optimum requires less contact pressures than the same soils at lower moisture contents

For earth dam, highway and airfield work drum of 00 in. dia. loaded to 1.5 to 3 tons per lineal ft. of drum generally is utilized. For smaller projects 40 in. dia. drum; loaded to 0.75 to 1.75 tons per lineal ft. ofdrum is used. Foot contact pressure should be regulated so as to avoid shearing the soil on the third or fourth pass.

Foot Contact Pressure

p.s.i.

250 to 500

200 to 400

150 to 250

Foot Contact AreaSq.in

5 to 12

7 to 14

10 to 14

Soil Type

Fine-grained soil PI>30

Fine-grained soil PI<30

Coarse-grained soil

4 to 6 passesFor

fine-grained soil.

6 to 8 passes for coarse-

grained soil.

6For fine-grained soils or dirty coarse-grained soils with more than 20 percent passing the No. 200 sieve. Not Suitable for clean coarse-

grained soils. Particularly appropriate for compaction of impervious zone for earth dam or linings where bonding of lifts is

important.

SheepsfootRollers

Dimensions and Weight of EquipmentPasses or Coverages

Compacted Lift

Thickness, in

Possible Variations in Equipment

Reqirements for Compaction of 95 to 100 Precent Standard Proctor Maximum Density

ApplicabilityEquipment Type

3-wheel roller for compaction of fine-grained soil; weight from 5 to 6 tons for materials of low plasticity to 10 tons for materials of high plasticity

6 coverages6 to 8Maybe used for fine-grained soils other than in earth dams. Not suitable for clean well-

graded sands or silty uniform sands.

Do…

such as provided by wobble-wheel equipment, may be substituted for heavy-wheel load if lift thickness is decreased. For cohesionless soils, large-size tires ate desirable to avoid shear and rutting 3-Wheel rollers obtainable in wide range of sizes. 2-Wheel tandem rollers are available in the ring of 1 to 20 ton weight. 3-axle tandem rollers are generally used in the range of 10 to 20 ton weight. Very heavy rollers are used for proof rolling of subgrade or base course.

Tire inflation pressures in excess of 65 p.s.i. For fine-grained soils of high plasticity. For uniform clean sands or silty fine sands, use large size tires with pressures of 40 to 50 p.s.I.Tandem type rollers for base course or subgradecompaction, 10 to 15 ton weight. 300 to 500 lb. Per lineal in. of width of rear roller

4 to 6 coverages.

4 coverages

6 to 8

8 to 12

For fine-grained soil or well-graded, dirty coarse-grained soils with more than 8

percent passing the No. 200 sieve

Appropriate for sugrade or base course compaction of well-graded sand-gravel

mixtures

Do…

Smooth Wheel Rollers

Wide variety of rubber tire compaction equipment is available. For cohe- sivesoils, light-wheel loads,

Tire inflation pressures of 60 to 80 p.s.i. for clean granular material or base course and subgrade compaction. Wheel load 10•000 to 25,000 lb.

3 to 5 coverages.

10For clean, coarse-grained soils with 4 to 8 percent passing the No. 200

sieve.

Rubber Tire Rollers.

Efficient compaction of soils wet of optimum requires less contact pressures than the same soils at lower moisture contents

For earth dam, highway and airfield work drum of 00 in. dia. loaded to 1.5 to 3 tons per lineal ft. of drum generally is utilized. For smaller projects 40 in. dia. drum; loaded to 0.75 to 1.75 tons per lineal ft. ofdrum is used. Foot contact pressure should be regulated so as to avoid shearing the soil on the third or fourth pass.

Foot Contact Pressure

p.s.i.

250 to 500

200 to 400

150 to 250

Foot Contact AreaSq.in

5 to 12

7 to 14

10 to 14

Soil Type

Fine-grained soil PI>30

Fine-grained soil PI<30

Coarse-grained soil

4 to 6 passesFor

fine-grained soil.

6 to 8 passes for coarse-

grained soil.

6For fine-grained soils or dirty coarse-grained soils with more than 20 percent passing the No. 200 sieve. Not Suitable for clean coarse-

grained soils. Particularly appropriate for compaction of impervious zone for earth dam or linings where bonding of lifts is

important.

SheepsfootRollers

Dimensions and Weight of EquipmentPasses or Coverages

Compacted Lift

Thickness, in

Possible Variations in Equipment

Reqirements for Compaction of 95 to 100 Precent Standard Proctor Maximum Density

ApplicabilityEquipment Type

Tabel 2. 21 Peralatan dan Metode Pemadatan Tanah (NAVDOCKS DM‐7) (Lanjutan) 

 

Weights up to 250 lb., foot diameter 4 to

10 in.

30 lb. minimum weight. Considerable range is tolerable, depending on materials and conditions

2 coverages4 to 60 in. for silt orclay, 6 in. for coarse-

grained soils.

For difficult access, trench back-fill. Suitable for all

inorganic soils.

PowerTamper or Rammer.

Tractor weights up to 60.000 lb.

No smaller than D8 tractor with blade, 34,500 lb. weight, for high compaction.

3 to 4 coverages

10 to 12Best suited for coarse-grained soils with less than 4 to 8 percent passing No.

200 sieve, placed thoroughly wet.

CrawlerTractor

Vibrating pads or plates are available. hand -propelled fir self-propelled, single or in gangs, with width of coverage from 1/2 to 15 ft. Various types of vibrating-drum equipment should be considered for compaction in large areas.

Single pads or plates should weigh no less than 200 Ill.May be used in tandem where working space is Available. for clean coarse-grained soil, vibration frequency should be no less thin 1,600 cycles per minute.

3 coverages8 to 10For coarse- grained soils with less than about12

percent passing No. 200 sieves. Best suited for materials with 4 to 8

percent passing No. 200, placed thoroughly wet

Vibrating Baseplate

compactors

Dimensions and Weight of EquipmentPasses OfCoverages

CompactedLift

Thickness, in.

Possible Variations in Equipment

Requirements for Compact ion of 95 to 100 Percent Standard ProctorMaximum Density

ApplicabilityEquipment

Type

Weights up to 250 lb., foot diameter 4 to

10 in.

30 lb. minimum weight. Considerable range is tolerable, depending on materials and conditions

2 coverages4 to 60 in. for silt orclay, 6 in. for coarse-

grained soils.

For difficult access, trench back-fill. Suitable for all

inorganic soils.

PowerTamper or Rammer.

Tractor weights up to 60.000 lb.

No smaller than D8 tractor with blade, 34,500 lb. weight, for high compaction.

3 to 4 coverages

10 to 12Best suited for coarse-grained soils with less than 4 to 8 percent passing No.

200 sieve, placed thoroughly wet.

CrawlerTractor

Vibrating pads or plates are available. hand -propelled fir self-propelled, single or in gangs, with width of coverage from 1/2 to 15 ft. Various types of vibrating-drum equipment should be considered for compaction in large areas.

Single pads or plates should weigh no less than 200 Ill.May be used in tandem where working space is Available. for clean coarse-grained soil, vibration frequency should be no less thin 1,600 cycles per minute.

3 coverages8 to 10For coarse- grained soils with less than about12

percent passing No. 200 sieves. Best suited for materials with 4 to 8

percent passing No. 200, placed thoroughly wet

Vibrating Baseplate

compactors

Dimensions and Weight of EquipmentPasses OfCoverages

CompactedLift

Thickness, in.

Possible Variations in Equipment

Requirements for Compact ion of 95 to 100 Percent Standard ProctorMaximum Density

ApplicabilityEquipment

Type

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 28 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 29: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

2.3.4.1 Daya Dukung Tanah 

Daya dukung  tanah  yang  akan diperhitungkan  adalah daya dukung  tanah dasar  lapisan teratas akibat pembebanan dari: 

a. Beban timbunan tanah kompaksi b. Beban perkerasan c. Beban lalu lintas 

Daya dukung ultimit, qu,  menurut Terzaghi, didefinisikan sebagai berikut: 

qu = qc + qq + qγ  = cNc + qNq + ½ γNγ             ...(Pers.2. 14) 

Keterangan:  c     = kohesi q     = γDf

γ     = unit weight  Nc, Nq, Nγ  = faktor daya dukung 

Besar daya dukung ultimit dalam persamaan  2.7  secara  berurutan merupakan  kontribusi dari  kohesi,  beban  luar  (surchage),  dan  berat  volume  tanah  untuk  daya  dukung  batas. Persamaan  tersebut  merupakan  persamaaan  daya  dukung  ultimit  untuk  pondasi  lajur, pondasi dengan rasio panjang dan lebar lebih besar dari 5.  

Dengan  menganggap  tanah  kompaksi  berlaku  sebagai  pondasi  lajur,  maka  besar  daya dukung ultimit  lapisan  tanah di bawah  lapisan  tanah kompaksi dapat ditentukan  sebagai berikut: 

Untuk :  Df   = 0 m  Φ   = 0° (clay) 

Nc, Nq, Nγ = 5.14, 1.00, 0.00 (untuk Φ = 0°) 

Didapat :  qu   = qc + qq + qγ    = cNc + qNq + ½ γNγ

= 5.14 c + γDf  

Karena Df sama dengan nol maka diperoleh: qu = 5.14 c               ...(Pers.2. 15) 

Melalui persamaan 2.8 dapat diketahui bahwa untuk pondasi lajur dengan kedalaman 0 m dan  sudut geser dalam  tanah  sebesar 0°, daya dukung  tanah  tersebut hanya dipengaruhi oleh besar kohesi. Tidak ada kontribusi dari beban luar (surchage) dan berat volume tanah untuk daya dukung batas. 

 

 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 29 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 30: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

2.3.4.2 Penurunan Konsolidasi 

Penambahan  beban di  atas  suatu permukaan  tanah dapat menyebabkan  lapisan  tanah di bawahnya  mengalami  pemampatan.  Pemampatan  tersebut  disebabkan  oleh  adanya deformasi partikel  tanah,  relokasi partikel, keluarnya air atau udara dari dalam pori, dan sebab‐sebab  lain yang  tergantung pada keadaan  tanah yang bersangkutan. Secara umum, terdapat dua  jenis penurunan  (settlement) pada  tanah yang disebabkan oleh pembebanan, yaitu: 

a. Penurunan  konsolidasi  (consolidation  settlement),  merupakan  hasil  dari  perubahan volume tanah jenuh air sebagai akibat keluarnya air yang menempati pori‐pori tanah. 

b. Penurunan segera  (immediate settlement), merupakan akibat dari deformasi elastis tanah kering, basah dan jenuh air tanpa adanya perubahan kadar air.  

Bila  suatu  lapisan  tanah mengalami pembebanan diatasnya maka  air pori  akan mengalir dari lapisan tersebut dan volumenya akan menjadi lebih kecil, yaitu terjadinya konsolidasi. Pada  umumnya  konsolidasi  ini  berlangsung  dalam  satu  arah  saja  atau  disebut  juga  one dimensional  consolidation.  Pergerakan  dalam  arah  horizontal  dapat  diabaikan,  karena tertahan oleh  lapisan tanah sekelilingnya. Selama peristiwa konsolidasi berlangsung beban diatasnya akan mengalami penurunan (settlement). 

Konsolidasi  adalah  proses  pengecilan  volume  secara  perlahan‐lahan  pada  tanah  jenuh sempurna dengan permeabilitas rendah akibat pengaliran sebagian air pori. Proses tersebut berlangsung  terus  menerus  sampai  kelebihan  tekanan  air  pori  yang  disebabkan  oleh kenaikan  tegangan  total  telah  benar‐benar  hilang.  Proses  pemuaian  (swelling),  kebalikan dari konsolidasi, adalah bertambahnya volume tanah secara perlahan‐lahan akibat tekanan air pori  berlebihan negatif.   

Dua hal yang penting mengenai penurunan konsolidasi yaitu: a. Besar penurunan yang terjadi. b. Kecepatan penurunan. 

a. Besar Penurunan Konsolidasi 

Perhitungan besar penurunan konsolidasi dilakukan terhadap lapisan tanah lempung. Besar penurunan  akibat  konsolidasi,  sc,  untuk  lempung  normally  consolidated menurut  Terzaghi diformulasikan sebagai berikut:  

0

0

0

log1 p

ppeHCS avcc

cΔ+

+=               ...(Pers.2. 16) 

Keterangan:  p0   = tekanan efektif akibat berat sendiri Δpav   = tambahan tekanan efektif akibat beban di atas lapisan kompresibel eo   = initial void ratio 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 30 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 31: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

Cc   = compression index Hc   = tebal lapisan lempung 

Harga  Cc  (indeks  pemampatan)  diperoleh  dari  pengujian  laboratorium  terhadap  contoh tanah yang akan diperhitungkan besar penurunan konsolidasinya. 

b. Kecepatan Penurunan 

Kecepatan  penurunan  berhubungan  dengan  waktu  yang  dibutuhkan  untuk  penurunan tersebut. Lama penurunan konsolidasi diformulasikan sebagai berikut:   

    t THCv

2

=               ...(Pers.2. 17) 

Keterangan:  t     = Lama penurunan konsolidasi  T   = Faktor waktu H   = Jarak lintas drainase (tergantung susunan lapisan tanah). Cv   = Koefisien konsolidasi 

Besarnya Cv ditentukan dari lengkung konsolidasi dalam pengujian laboratorium terhadap contoh  tanah  yang  akan diperhitungkan  besar  penurunan  konsolidasinya.  Persamaan  2.7 dan 2.8 diatas berlaku untuk kondisi tanah homogen dan drainase hanya satu arah. 

2.4 PERENCANAAN BIAYA 

Proyek  konstruksi  adalah  rangkaian  kegiatan  untuk  membangun  bangunan/konstruksi yang bersifat unik, yaitu dengan waktu  tertentu, mutu  tertentu, serta membutuhkan biaya atau sumber daya 5 M (money, man, material, machine, method) (Soekirno, 2005). Kelima sumber daya  tersebut saling berkaitan satu sama  lain demi menghasilkan suatu proyek konstruksi tepat  sasaran  sesuai dengan  rencana. Keberhasilan  suatu proyek konstruksi dapat diukur dari  parameter‐parameter  yang  memiliki  keterkaitan  antara  satu  dengan  lainnya,  yaitu biaya, waktu, kualitas, serta keamanan. Semua parameter yang  telah disebutkan  tadi pada akhirnya akan berujung pada satu kesimpulan, yaitu menciptakan pembiayaan konstruksi yang tidak melebihi anggaran yang telah ditetapkan.  

Estimasi  biaya  dapat  dilakukan  secara  aproksimasi  (pendekatan)  dan  secara  mendetail. Estimasi detail dilakukan untuk mengetahui biaya suatu proyek menyeluruh secara detail. Estimasi  jenis ini umumnya dilakukan ketika membuat dokumen penawaran suatu proyek untuk diajukan ke dalam suatu pelelangan.  

Langkah‐langkah yang akan dilakukan untuk merencanakan suatu estimasi detail adalah:  

1. Pembuatan WBS 2. Pembuatan BoQ 3. Penentuan metode pelaksanaan 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 31 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 32: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

4. Perhitungan produktivitas alat dan pekerja 5. Pembuatan AHS 6. Pembuatan RAB 

Detail pelaksanaan estimasi akan dijabarkan pada bab 3 dan bab 4. Dalam pembuatan RAB akan dicantumkan biaya overhead dan contingency. 

Biaya dalam estimasi detail (detailed estimation) terbagi menjadi : 1. Biaya material 2. Biaya peralatan 3. Biaya tenaga kerja 4. Biaya overhead  5. Biaya contingency 

Dalam  proses  desain  runway,  taxiway,  dan  apron  (RTA)  untuk  BIJB  ini,  hanya  akan difokuskan pada pembahasan biaya material, biaya peralatan, serta biaya tenaga kerja. 

1. Biaya material Biaya  material  yang  dimaksud  adalah  total  biaya  untuk  material  meliputi  harga material, serta biaya pemindahan material ke lokasi proyek. Biaya pemindahan meliputi biaya pengelolaan  (bongkar muat, penyimpanan, dan  lain –  lain),  serta pengangkutan material. 

a. Harga Material  Harga material dipengaruhi oleh jenis material, lokasi proyek konstruksi, dan tempat penjualan material. 

b. Pengelolaan Material Pengelolaan material bisa dilakukan dengan bantuan manusia atau peralatan. Untuk pengelolaan material yang dilakukan oleh manusia, keefektifan pengelolaan tersebut rata – rata diukur dalam satuan jam kerja per satuan volume pekerjaan atau bisa juga dalam  volume  pekerjaan  per  jam. Waktu  yang  dibutuhkan  seorang  tenaga  kerja untuk  mengambil,  menaruh,  serta  menyusun  bahan  material  bergantung  dari spesifikasi material  (jenis, berat, ukuran), kondisi  setempat,  serta kemampuan dan ketrampilan pekerja.  

c. Pengangkutan Material Kapasitas sebenarnya dari alat angkut biasanya 80% dari kapasitas yang  tercantum pada alat  tersebut. Hal  ini karena adanya variasi muatan, cara memuat, kecepatan serta  kondisi  kendaraan. Waktu  yang  terbuang  untuk  satu  kali  angkut  dihitung kurang lebih 10 menit yang dialokasikan untuk menunggu muatan, bila ban kempes, mesin rusak, dan lain – lain.  

 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 32 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 33: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

2. Biaya Peralatan Meliputi  alat  berat,  ringan,  serta mesin  – mesin. Biaya  peralatan  ini  punya  pengaruh besar dalam perencanaan biaya detail, karena peralatan tersebut merupakan penggerak dalam pelaksanaan suatu proyek konstruksi.  Kepemilikan peralatan selama proyek konstruksi bisa dilakukan dengan cara pembelian atau  penyewaan.  Pada  tugas  akhir  ini  diasumsikan  perolehan  peralatan  dengan  cara menyewa.  Penyewaan  didasarkan  pada  perjanjian  jangka  pendek  (harian, mingguan, bulanan). Diasumsikan bahwa durasi jam kerja dalam satu hari adalah 8 jam. 

Selain sewa, pengeluaran lain yang harus dikalkulasi dalam perhitungan biaya peralatan ini adalah biaya pengoperasian alat berat.  Biaya yang dikeluarkan selama pengoperasian alat berat adalah : 1. Bahan bakar, untuk menggerakkan alat berat 2. Pelumas, meliputi  pengeluaran  –  pengeluaran  untuk  pelumasan  rutin  harian  dan 

penggantian pelumas secara periodik. 3. Perbaikan ringan dan pemeliharaan 4. Perbaikan dan penggantian ban 

Pemilihan alat berat yang  tepat untuk masing – masing pekerjaan sangat berpengaruh kepada  total  biaya peralatan. Hal  ini  bisa  terjadi  karena  setiap  alat  berat mempunyai produktivitas  berbeda  yang  akan  berujung  pada  keefektivan  masing  –  masing  alat tersebut. Jenis – jenis alat berat yang biasa digunakan dalam proyek konstruksi : 1. Traktor 

Penggunaan utama dari traktor adalah sebagai penarik atau pendorong beban yang memerlukan  tenaga  agak  besar. Pada prinsipnya  traktor dibagi menjadi  2  bagian, yaitu traktor kelabang (crawler tractor) dan traktor roda ban (wheel tractor).  

2. Dozer Dozer  adalah  traktor yang dilengkapi  alat  tambahan  (dozer  attachment), yaitu  blade. Menurut track‐shoe nya, dozer dapat dibedakan menjadi crawler dozer dan wheel dozer. Dozer  dapat  digunakan  untuk  pekerjaan  seperti:  pemindahan  (dengan  cara mendorong)  material,  menghancurkan  batuan,  pembersihan  lahan,  membantu scrapper pada proses loading material, serta menarik peralatan konstruksi lainnya.  

3. Scraper Scraper  digunakan  untuk  mengambil,  membawa,  dan  menaruh  material  (loose material)  dari  satu  tempat  ke  tempat  yang  lain.  Scraper  baik  digunakan  untuk memindahkan material ke tempat yang berjarak antara 152 m – 914 m.  

 

 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 33 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 34: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

4. Excavator Excavator  atau  alat penggali  terdiri dari  Front  Shovel, Hoe, dan  Loader.  Front  Shovel pada  umumnya  digunakan  untuk  menggali  tanah  atau  material  yang  punya ketinggian  jauh  di  atas  permukaan  tanah. Arah  pergerakan  galian  front  shovel  ini adalah dari bawah ke atas. Hoe, atau bisa juga disebut sebagai backhoe atau backshovel, pada  umumnya  digunakan  untuk  menggali  material  yang  berada  di  bawah permukaan tanah. Arah pergerakan galian hoe ini adalah dari atas menuju ke bawah.  

5. Truck Truck  digunakan  sebagai  alat  pengangkut  jarak  jauh  pada  pekerjaan  –  pekerjaan konstruksi, khususnya pada pekerjaan tanah. Sebab utama truck disukai sebagai alat pengangkut jarak jauh adalah karena kecepatan pergerakan yang cukup tinggi, serta biaya angkut yang ditawarkan relatif murah. 

6. Grader Grader  adalah  salah  satu  finishing  equipment  yang  sering  dipakai  dalam  proyek konstruksi.  Grader  merupakan  alat  pembentuk  permukaan  tanah  dengan  cara permukaan  tanah.  Kegunaannya  antara  lain  meratakan  tebing,  badan  jalan, membuat selokan samping, dan lain lain. Grader dapat digunakan untuk menggusur, menggelar, serta meratakan tanah. 

7. Peralatan pemadatan Pemadatan  pada  konstruksi  jalan  raya  dilakukan  dengan  cara  penggilasan  oleh suatu alat penggilas (roller). Pada dasarnya, peralatan pemadatan ini dibagi menjadi : a. Smooth steel rollers (alat penggilas dengan permukaan halus) 

Alat ini dibedakan atas three wheel rollers (penggilas roda tiga) dan tandem rollers (penggilas tandem). 

b. Pneumatic tired rollers (penggilas roda ban angin) c. Sheep foot type rollers (penggilas kaki kambing) 

3. Biaya Tenaga Kerja Pemberian upah  tenaga kerja  seharusnya dilakukan  sesuai dengan produktivitas kerja masing – masing pekerja. Tetapi, produktivitas masing – masing  tenaga kerja berbeda‐ beda,  oleh  karena  itu  produktivitas  sulit  untuk  ditentukan. Maka,  nilai  satuan  upah tenaga kerja ditentukan melalui upah bekerja dalam 1 hari kerja  (8  jam). Upah  tenaga kerja  akan  bervariasi  bergantung  pada  kemampuan  dan  ketrampilan masing‐masing pekerja.  Jenis tenaga kerja dapat dibedakan menjadi : 1. pekerja 2. pekerja setengah terampil 3. pekerja terampil 4. tukang (batu, kayu, dan lain – lain) setengah terampil 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 34 Jenary Bayu Tetha                150 03 111 

Page 35: 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN · PDF fileSI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada

SI – 40Z1 TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BIJB

5. tukang (batu, kayu, dan lain – lain)terampil 6. kepala tukang 7. mandor 8. operator alat – alat berat 9. supir truk 10. kenek 11. penjaga malam 

4. Biaya overhead Biaya  overhead  adalah  biaya  yang  diperlukan  untuk  biaya  operasional  selama  di lapangan. Biaya ini meliputi mobilisasi peralatan dan pekerja, peralatan kantor proyek, listrik, telepon, dokumentasi, tes material, tes bahan, air, sewa kantor, biaya perjalanan dinas,  furniture,  gaji  pegawai  kantor.  Besar  persentase  biaya  overhead  dari  biaya  total pekerjaan bergantung pada pengalaman serta engineering judgement kontraktor. 

5. Biaya contingency Biaya  contingency  atau  biaya  tak  terduga  ini diperlukan  untuk mengantisipasi  hal‐hal yang  tidak  terduga yang mengkin  terjadi dalam suatu proyek seperti masalah differing site  condition dimana kondisi di  lapangan  tidak  sesuai dengan  spesifikasi dan Gambar kerja  yang  terdapat dalam dokumen  kontrak. Besar  persentase  biaya  contingency  dari biaya  total  pekerjaan  bergantung  pada  pengalaman  serta  engineering  judgement kontraktor. 

 

Hanindita Diajeng Sunu     150 03 101    2 ‐ 35 Jenary Bayu Tetha                150 03 111