201-selesai

52
Hindari pemberian sedasi pada pasien dengan ensefalopati. 10. MANAJEMEN INTRAOPERATIF Hindari kontak langsung dengan darah dan cairan tubuh pasien, hal ini dikarenakan kemungkinan pasien menderita hepatitis B atau C. Pilihan obat-obatan dan teknik anestesi yang tebaik pada pasien dengan sirosis tidaklah diketahui. Respon terhadap obat anestesi pada pasien sirosis tidak dapat diperkirakan. Hal ini dikarenakan terjadi perubahan pada sensitivitas saraf pusat, volume distribusi, ikatan proein, dan eliminasi obat. Peningkatan volume distribusi pada obat dengan struktur ion yang besar seperti pelemas obat menyebabkan kebutuhan dosis obat yang lebih besar, tetapi untuk obat-obatan yang metabolismenya terjadi di hati (pancuronium, vecuronium.dan rocuronium) harus dikurangi dosisnya. Apabila kita memakai suksinilkolin sebagai pelemas otot, terdapat resiko untuk pemanjangan efek obat dikarenakan penurunan kadar pseudokolinesterase. Pada pasien sirosis telah terjadi penurunan aliran darah vena porta. Hindari penurunan perfusi hepar. Induksi dengan menggunakan barbiturat atau propofol dengan pemeliharaan memakai isofluran dengan campuran oksigen dan air merupakan teknik yang sering dipergunakan. Lakukan intubasi awake atau rapid sequence induction dengan penekanan krikoid pada pasien yang tidak stabil atau dengan perdarahan aktif dengan menggunakan ketamin atau etomidat dan suksinilkolin. Hindari penggunaan halotan. Penggunaan suplemen opioid dapat mengurangi pemakaian volatile sehingga meminimalisasi penurunan MAP, tetapi waktu paruh opioid akan memanjang secara signifikan yang akan menyebabkan depresi pernafasan yang memanjang. Atrakurium merupakan pelumpuh otot pilihan dikarenakan metabolismenya yang bersifat nonhepatik. Obat anestesi innalasi yang menjadi pilihan utama adalah isofluran, hal ini dikarenakan isofluran mempunyai efek yang paling kecil terhadap aliran darah hepar. Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan aliran darah hepar harus dihindari. Faktor-faktor ini adalah: hipotensi, rangsangan simpatis yang berlebihan, tahanan jalan nafas yang terlalu besar pada saat melakukan ventilasi kontrol. Teknik regional anestesi dapat dilakukan bila tidak terdapat gangguan

Upload: egi-adi-perdana

Post on 14-Apr-2016

4 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

201-selesai

TRANSCRIPT

Page 1: 201-selesai

Hindari pemberian sedasi pada pasien dengan ensefalopati.

10. MANAJEMEN INTRAOPERATIFHindari kontak langsung dengan darah dan cairan tubuh pasien, hal inidikarenakan kemungkinan pasien menderita hepatitis B atau C.Pilihan obat-obatan dan teknik anestesi yang tebaik pada pasien dengansirosis tidaklah diketahui.Respon terhadap obat anestesi pada pasien sirosis tidak dapatdiperkirakan. Hal ini dikarenakan terjadi perubahan pada sensitivitassaraf pusat, volume distribusi, ikatan proein, dan eliminasi obat.Peningkatan volume distribusi pada obat dengan struktur ion yang besarseperti pelemas obat menyebabkan kebutuhan dosis obat yang lebihbesar, tetapi untuk obat-obatan yang metabolismenya terjadi di hati(pancuronium, vecuronium.dan rocuronium) harus dikurangi dosisnya.Apabila kita memakai suksinilkolin sebagai pelemas otot, terdapat resikountuk pemanjangan efek obat dikarenakan penurunan kadarpseudokolinesterase.Pada pasien sirosis telah terjadi penurunan aliran darah vena porta.Hindari penurunan perfusi hepar.Induksi dengan menggunakan barbiturat atau propofol denganpemeliharaan memakai isofluran dengan campuran oksigen dan airmerupakan teknik yang sering dipergunakan.Lakukan intubasi awake atau rapid sequence induction denganpenekanan krikoid pada pasien yang tidak stabil atau dengan perdarahanaktif dengan menggunakan ketamin atau etomidat dan suksinilkolin.Hindari penggunaan halotan.Penggunaan suplemen opioid dapat mengurangi pemakaian volatilesehingga meminimalisasi penurunan MAP, tetapi waktu paruh opioidakan memanjang secara signifikan yang akan menyebabkan depresipernafasan yang memanjang.Atrakurium merupakan pelumpuh otot pilihan dikarenakanmetabolismenya yang bersifat nonhepatik.Obat anestesi innalasi yang menjadi pilihan utama adalah isofluran, halini dikarenakan isofluran mempunyai efek yang paling kecil terhadapaliran darah hepar.Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan aliran darah hepar harusdihindari. Faktor-faktor ini adalah: hipotensi, rangsangan simpatis yangberlebihan, tahanan jalan nafas yang terlalu besar pada saat melakukanventilasi kontrol.Teknik regional anestesi dapat dilakukan bila tidak terdapat gangguankoagulasi dan keadaan hipotensi.Pada saat preoperatif kita sering melakukan restriksi sodium, tetapi padamasa intraoperatif prioritas kia adalah menjaga volume intravascular dandieresis.Gunakan cairan predominan koloid untuk menghindari kelebihan sodiumdan untuk meningkatkan tekanan onkotik.

202

Page 2: 201-selesai

Berikan manitol bila diuresis tidak mencukupi secara persisten setelah sebelumnya diberikan cairan intravascular yang cukup. Pada pemberian transfusi terdapat kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya keracunan sitrat, hal ini dikarenakan metabolismenya oleh hati yang terganggu sehingga teradi hipokalsemia akiat kalsium serum yang diikat oleh sitrat. Berikan kalsium intravena untuk mencegah efek inotopik negatif akibat penurunan konsentrasi kalsium ionisasi.

11. MONITORING- EKGPulse oksimetriPemeriksaan AGD untuk melakukan evaluasi status asam basa Intraarterial pressure (pada pasien dengan resiko perdarahan dan perpindahan cairan ke ruang ketiga yang banyak)- CVP

Urine output

12. MANAJEMEN PASCAOPERASIObservasi terhadap kemungkinan perburukan fungsi hepar akibat pemakian obat anestesi.Pada pasien dengan kebiasaan minum alkohol terdapat resiko alcohol withdrawal syndrome setelah 48-72 jam dari waktu terakhir mengkonsumsi alkohol.

13. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis- Lembar informed consent

14. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah, dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

15. REFERENSI:Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with liver disease. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 789-801 Stoelting RK, Dierdorf SF. Disease of the liver and billiary track. Dalam: Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 221-238.

203

Page 3: 201-selesai

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN CHRONIC KIDNEY DISEASE(CKD)

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam peiaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan CKD yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP :Memahami penyebab dari sindrom uremiaMengoptimalkan fisiologi tubuh yang terganggu akibat CKD/ sindromuremiaMenjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah timbulnyakomplikasi.

3. KEBIJAKAN:Mengelola kondisi. gangguan organ dan keseimbangan (elektrolit, asambasa, hormonal)Menentukan tindakan hemodialisa sesuai indikasiMempertahankan aliran darah ginjal seoptimal mungkinMenentukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan

4. PENGERTIAN :Sindrom Uremia merupakan kumpulan keadaan klinis yang berhubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit, hormonal, asam basa, serta kelainan metabolic yang berkembang seiring dengan terjadinya kerusakan ginjal.

5. MANIFESTASI CHRONIC KIDNEY DISEASE DENGAN UREMIANeurologis: neuropati perifer, neuropati otonom, muscle twitching,ensefalopati ( asterixis,myoclonus, letargi, confusion, kejang, koma)Kardiovaskular; kelebihan cairan, congestive heart failure, hipertensi,perikarditis, aritmia, blok konduksi, kalsifikasi vascular.aterosklerosis.Pulmonal: hiperventilasi, edema interstisial, edema alveolar, effusepleura.Gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah, gangguan pengosonganlambung, hiperasiditas, ulserasi mukosa, perdarahan, ileus.Metabolik; metabolic asidosis, hiperkalemia, hiponatremia,hipermagnesemia, hiperfosfatemia.hipokalsemia, hiperurisemia,hipoalbuminemia.Hematologis; anemia,disfungsi platelet, disfungsi leukosit.Endokrin; intoleransi glukosa, hiperparatiroid skunder,hipertrigliseridemia.Skeletal; osteodistrofi, kalsifikasiKulit; hiperpigmentasi, ekimosis, priritus

6. MANAJEMEN PREOPERATIFEvaluasi prabedah dimulai dengan mengumpulkan data-data untuk mengetahui riwayat medis lengkap tentang keadaan kondisi umum yang

204

Page 4: 201-selesai

meliputi tanda manifestasi dan uremia dan hasil pemeriksaanlaboratorium/ penunjang secara lengkap untuk memastikan apakahpasien berada dalam kondisi medis yang optimal. Semua manifestasiuremia yang telah disebutkan di atas harus dikontrol.Pemeriksaan fisik dan evaluasi laboratorium harus difokuskan padapemeriksaan fungsi jantung dan respirasi.Perhatikan tanda-tanda hipovolemia atau hypervolemia. Periksakesadaran, membrane mukosa, perubahan ortostatik terhadap laju nadidan tekanan darah, dieresis, laju nadi, isi dan tekanan nadi, tekanandarah, dan turgor kulit.Pemeriksaan EKG untuk mendeteksi tanda-tanda hiperkalemia atauhipokalsemia, iskemik, blok konduksi, hipertropi ventrikel.Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah darah rutin.waktuperdarahan dan faktor koagulasi (terutama bila akan dilakukan anestesiregional), serum elektrolit, BUN, kreatinin, gula darah.Pada pasien yang sesak sebaiknya diperiksa AGD untuk mengetahuiapakah terdapat hipoksemia dan status asam basa.Transfusi darah hanya diberikan pada pasien dengan anemia berat (hb <6-7 g/dL) atau bila diperkirakan pada saat operasi akan terjadiperdarahan yang banyak.Pemeriksaan EKG untuk mendeteksi tanda-tanda hiperkalemia atauhipokalsemia, iskemik, blok konduksi, hipertropi ventrikel.

INDIKASI HAEMODIALISA Hipervolemia Hiperkalemia Asidosis berat Ensefalopati metabolic Perikarditis Koagulopati

Gejala gastrointestinal yang refrakter Toksisitas obat

MANAJEMEN INTRAOPERATIFTeknik anestesi dapat dilakukan dengan anestesi umum atau anestesi regional (disesuaikan dengan daerah operasi dan kondisi masing-masing pasien). Monitoring:• Alat monitoring standar: EKG, pulse oxymetri, NIBP, temperature, kateter

urin dipergunakan pada operasi yang tidak lama dan kehilangan cairan yang diperkirakan hanya sedikit.

• Monitor intraarterial, vena sentral, dan arteri pulmonal diperlukan pada operasi yang diperkirakan akan terjadi perdarahan/ perpindahan cairan yang banyak.

• Arterial line juga diperlukan pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol dimana dapat terjadi perubahan tekanan darah yang cepat.

205

Page 5: 201-selesai

Induksi:• Pertimbangkan induksi dengan teknik rapid sequence induction dengan

penekanan krikoid pada pasien dengan riwayat mual, muntah serta perdarahan gastrointestinal.

• Dosis obat induksi pada pasien sakit berat/ kritis harus dikurangi, dapat diberikan thiopental 2-3 mg/ kg, propofol 1-2 mg/ kg, sedangkan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil dapat diberikan etomidat 0,2-0,4 mg/ kg.

• Respon hipertensi terhadap intubasi dapat ditumpulkan dengan menggunakan opioid, beta bloker (esmolol), atau lidokain.

• Penggunann suksinilkolin sebagai pelumpuh otot masih dapat ditolerir pada kadar kalium < 5 meq/L.

• Pemilihan pelumpuh otot pada pasien dengan hyperkalemia adalah rocuronium (0,6 mg/kg), cisatrakurium (0,15 mg/kg), atrakurium (0,4 mg/kg), atau mivakurium (0,15 mg/kg). Sebagai altematif masih mungkin untuk menggunakan vekuronium 0,1 mg/ kg dengan tetap memperhatikan kemungkinan terjadinya efek obat yang memanjang.

Pemeliharaan• Idealnya kita harus mampu mengontrol tekanan darah tanpa mempengaruhi

cardiac output.• Obat anestesi inhalasi yang menjadi pilihan adalah gas yang metabolitnya

tidak memperburuk gangguan fungsi ginjal yang telah ada, yaitu: isofluran dan desfluran.

• Penggunaan gas N2O harus hati-hati pada pasien dengan fungsi ventrikel yang tidak baik dan sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan kadar hb yang sangat rendah (<7 g/dL).

• Hindari penggunaan meperidin, hal ini dikarenakan terjadinya akumulasi metabolit aktif normeperidin yang dapat mencetuskan terjadinya kejang. Penggunaan morfin masih memungkinkan dengan kemungkinan efek yang akan memanjang.

• Lakukan kontrol ventilasi untuk menghindari terjadinya hiperkarbia karena pernafasan yang tidak adekuat dan dapat menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik yang akan memperberat kondisi asidosis yang sudah ada, depresi pernafasan, dan akan meningkatkan kadar potassium serum.

• Alkalosis repiratorik juga harus dihindari karena akan menyebabkan pergeseran ke kiri kurva disosiasi hb dan akan menurunkan aliran darah serebral.

Bila dilakukan anestesi regional harus dipastikan terlebih dahulu tidak adanya gangguan koagulasi. Keadaan asidosis dapat menurunkan ambang kejang yang berhubungan dengan pemakaian anestesi lokal.

MANAJEMEN PASCAOPERASI

206

Page 6: 201-selesai

Pemantauan dilakukan di ruang intermediet dengan monitoring standaruntuk mengevaluasi kesadaran, pernafasan, hemodinamik, dan dieresis.Penggunaan opioid sebagai analgetik pascaoperasi hams dipantauterhadap kemungkinan terjadinya penurunan kesadarn dan hipoventilasi.Berikan nalokson jika terjadi efek samping akibat pemakaian opioid.Hindari penggunaan analgetik golongan NSAID yang dapatmemperburuk fungsi ginjalLakukan pemeriksaan EKG serial untuk mengevaluasi disritmia akibathyperkalemia.Berikan oksigen suplemen terutama pada pasien dengan anemia danperdarahan yang memerlukan transfuse.Kesadaran dan pernafasan yang tidak adekuat, asidosis berat danhemodinamik yang tidak stabil menendakan adanya kegagalan organdan merupakan indikasi untuk perawatan di ruang intensif dan penilaianuntuk perlu tidaknya dilakukan hemodialisa pascaoperatif.

10. UNIT TERKATT: Anestesiologi dan terapi intensif, llmu penyakit dalam sub divisi ginjal dan hipertensi, kardiologi, dan bedah di lingkungan RSHS.

16. DOKUMEN TERKAIT: Status rawat pasien, status anestesi, surat izin operasi, surat izin anestesi.

17. REFERENSI:Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with kidney disease. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 746-751. Stoelting RK, Dierdorf SF. Endocrine disease. Dalam: Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 255-268.

207

Page 7: 201-selesai

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN PPOK (BRONKITIS KRONIS DAN EMFISEMA)

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan PPOK yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Diagnosa, tanda klinis, komplikasi, manajemen pre, intra, dan pascaoperasi.

3. KEBIJAKAN : Regional anestesi (bila memungkinkan) merupakan teknik pilihan untuk mengurangi kemungkinan komplikasi pascaoperasi.

4. PENGERTIAN :Penyakit Paru Obstruktif Kronis adalah penyakit pada paru-paru dengan karakteristik berupa adanya hambatan terhadap aliran udara yang berkembang progresif dan bersifat irreversible. Terminologi PPOK lebih mengarah kepada bronchitis obstruktif kronis ( obstruksi pada small air way ), dan emfisema ( pelebaran ruang udara dan destruksi parenkim paru, hilangnya elastisitas paru, dan penutupan dari small airway).

5. TANDA KLINIS DAN DIAGNOSISBronkitis kronis dan emfisema ditandai dengan:

Riwayat merokok Batuk produktif kronis (> 3 bulan) Sesak

Keterbatasan aktivitas fisik karena sesakPasien yang predominan bronchitis kronis lebih dominan dengan gejala batuk produktif kronis, sedangkan pada pasien predominan emfisema lebih didominasi dengan gejala sesak nafas.Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda obstruksi jalan nafas saat ekspirasi dengan masa ekspirasi yang memanjang Pada pemeriksaan Tes Fungsi Paru terdapat penurunan rasio FEVi/ FVC, dan terdapat penurunan Forced Expiratory Flow antara 25%-75% dari Vital Capacity. Residual Volume meningkat, FRC dan Kapasitas paru total dapat normal atau meningkat. Rongent toraks: Hiperlusen dan hiperinflasiAGD: pada pasien Bronkitis kronis biasanya meningkat (>40 mmHg), sedangkan pada emfisema PaC02 normal atau < 40 mmHg.

6. EVALUASI FAKTOR RESIKO KOMPLIKASI PARU PASCAOPERASI:Pre-existing pulmonary diseaseOperasi pada abdomen bagian atas atau toraksMerokokObesitasUmur >60 tahunAnestesi umum yang memanjang (>3 jam)

208

Page 8: 201-selesai

7. MANAJEMEN PREOPERATIFPada operasi elektif pasien dengan PPOK harus optimal teiiebih dahulu(tidak ada sesak, wheezing, dan batuk, atau dengan sesak/ wheezing/batuk minimal)Lakukan intervensi untuk koreksi hipoksemia, bronkospasme,mengurangi sekresi, dan bila ada infeksi pada saluran nafas harusdiberikan terapi dengan antibiotic.Hentikan merokok selama 6-8 minggu sebelum operasi untukmengurangi sekresi dan komplikasi pascabedah. Paling tidak pasienyang tidak merokok selama 24 jam akan meningkan Oxygen Carryingcapacity.Fisioterapi pemafasan preoperative dengan perkusi dan drainasepostural.Apabila didapatkan hipertensi pulmonal harus diterapi denganmeningkatkan oksigenasi, dan apabila terdapat corpulmonal dilakukandigitalisasi terutama bila terdapat gagal jantung kanan.

8. MANAJEMEN INTRAOPERASTIFRegional anestesi (bila memungkinkan) merupakan teknik pilihan untukmengurangi kemungkinan komplikasi pascaoperasi.Pemberian sedasi pada pasien yang dilakukan regional anestesidiberikan secara incremental oleh karena pada pasien ini (terutamageriatric) sangant sensitive terhadap efek depresan dari obatOobatsedative.Bila dilakukan anestesi umum maka pertama kali harus dilakukanpreoksigenasi untuk mencegah terjadinya desaturasi oksigen yang cepat.induksi harus dilakukan dengan smooth. Reflek bronkospasme dapatditekan dengan memberikan tambahan thiopental (1-2 mg/kg), ventilasidengan volatile 2-3 MAC selama 5 menit, atau pemberian lidokainintravena atau intratrakeal 1-2 mg/ kgPemilihan obat-obatan harus menghindari obat yang bersifat histaminerelease (kurare, atrakurium, rnorfin, meperidin), atau bila digunakanharus diberikan dengan sangat perlahan.Obat induksi golongan hipnotik yang dapat dijadikan pilihan adalahpropofol, etomidat, dan pada pasien dengan hemodinamik yang tidakstabil pilihannya adalah ketamin yang bersifat sebagai bronkodilator.Halotan dan sevofluran merupakan obat pilihan induksi inhalasi yangpaling smooth.Selama operasi harus dilakukan ventilasi kontrol dengan tidal volumeyang kecil-sedang dan frekuensi yang lambat untuk menghindari "airtrapping"Penggunaan N2O harus dihindari pada pasien dengan bullae danhipertensi pulmanal.Pengukuran kadar CO2 harus dilakukan sebeiumnya sebagai panduandalam melakukan ventilasi selama operasi.

209

Page 9: 201-selesai

Pada akhir operasi dilakukan ekstubasi dengan smooth. Ekstubasi pada saat anestesi dalam dapat menurunkan resiko reflek bronkospasme, tetapi harus dipastikan terlebih dahulu bahwa pemafasan pasien sudah adekuat.

9. MANAJEMEN PASCAOPERASIIntubasi trakeal dan ventilasi mekanik dipertimbangkan untuk dilanjutkanpada operasi abdominal dan intratorakal pada pasien yang sebelumnya(preoperative) didapatkan hasil pemeriksaan PCO2 > 50 mmHg danFEW FVC < 0,5.PaC>2 harus dijaga pada rentang 60-100 mmHg dan PaC02 harus beradapada rentang yang mempertahankan pHa 7,35-7,45Lakukan maneuver untuk ekspansi volume paru (bemafas dalam, CPAP,spirometri insentif)Chest fisioterapiAnalgesia pascaoperasi yang adekuat (neuraxial opioids, blok interkostal,PCA)

10. DOKUMEN TERKAIT : - Catatan rekam medisLembar informed consent

11. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis, dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

12. REFERENSI:- Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with respiratory

disease. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 576-578.- Stoelting RK, Dierdorf SF. Endocrine disease. Dalam: Handbook for Anesthesia

and Co-existing Disease.2002,h: 137-146.

210

Page 10: 201-selesai

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN ASMA BRONKIAL

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan asma bronkial yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Manifestasi klinis, diagnosis, terapi asma/ status asmatikus, manajemen pre,intra, dan pascaoperasi.

3. KEBIJAKAN: Target utama pemberian anestesi umum adalah induksi dan emergence yang harus smooth.

4. PENGERTIAN :Asma merupakan penyakit kronis dengan karakteristik berupa inflamasi dan hipereaktifitas pada jalan nafas (bronkus) akibat berbagai stimulus yang mengakibatkan terjadinya obstruksi aliran udara ekspirasi yang reversibel.

5. MANIFESTASI KLINIS- Manifestasi klinis klasik asma adalah: wheezing, batuk, dan sesak.- Beratnya derajat obstruksi terhadap ekspirasi direfleksikan dari Forced exhaled volume

in 1 second (FEVi) dan maximum mid expiratory flowrate.Severity FEVi (%

predicted)FEF25.75 (%

predicted)Pa02(mmHg)

PaC02 (mmHg)

Mild (asimptomatik) 65-80 60-75 >60 <40Mode rat 50-64 45-59 >60 <45Marked 35-49 30-44 <60 >50Severe (status asthmaticus)

<35 <30 <60 >50

FEVi: Forced Expiratory Volume in 1 second; FEF25-75: Forced Expiratory Flow 25-75% forced vital capacity

Asma yang ringan biasanya ditandai dengan Pa02 normal dan PaC02 normal atau menurun. Takipnoe dan hiperventilasi selama serangan asma akut lebih merupakan refleksi dari reflek-reflek neural pada paru-paru dibanding dengan hipoksia arterial. Pada keadaan terjadi kelelahan pada otot-otot pernafasan akan mengakibatkan terjadinya hiperkarbia. Nilai PaC02 normal atau tinggi merupakan indikasi bahwa pasien tidak dapat lebih lama lagi mengkompensasi work of breathing dan merupakan tanda impending respiratory failure.Pemeriksaan EKG pada obstruksi jalan nafas yang berat ditandai dengan pulsus paradoksus, perubahan ST-segment, right-axis deviation, dan RBBB. Diagnosa banding asma adalah: trakeobronkitis, sarkoidosis, rheumatoid arthritis, epiglotitis, croup, gagal jantung kongestif, emboli paru.

211

Page 11: 201-selesai

6. TERAPI FARMAKOLOGIAntiinflamasi: Glukokortikoid; menurunkan responsivitas jalan nafas dengan

menurunkan inflamasi pada jalan nafas dan meningkatkan stabilitas pada membran. Pembenan glukokortikoid sangat berguna baik pada keadaan serangan akut maupun sebagai terapi maintenan, tetapi membutuhkan waktu beberapa jam untuk bekerja dengan efektif.

Cromolyn; menghambat proses inflamasi dengan menghambat pelepasan mediator-mediator kimia. Diberikan secara inhalasi selama 7 hari sebelum terjadi paparan terhadap allergen, dan tidak efektif apabila dalam serangan. Leukotien inhibitor

Bronkodilator:Agonis (3-adrenergik (misal: albuterol); merupakan obat yang palingbermanfaat dan paling sering digunakan. Efek samping yang mungkinterjadi adalah stimulasi simpatis (takikardia, disritmia) dan perpindahanpotassium ke dalam sel.Antikolinergik (iptratropiurn); efek bronkodilatasinya disebabkan oleh aksiantimuskariniknya dan dapat memblok reflek bronkokonstriksi.Methylxanthine; menghasilkan bronkodilatasi dengan cara menghambatphosfodiesterase.

7. TERAPI STATUS ASMATIKUSP2-agonis tiap 15-20 menit (merupakan terapi yang paling efektif pada saatemergensi)Kortikosteroid; kortisol 2 mg/kg iv dilanjutkan dengan 0,5 mg/ kg/ jam, ataumetilprednisolon 60-125 mg iv tiap 6 jamOksigen suplemenIntubasi trakeal dan ventilasi mekanik dilakukan apabila PaC02 > 50mmHg.Terapi antibiotik

8. MANAJEMEN PREOPERATIFAnamnesa yang harus dilakukan adalah tentang: onset terjadinya serangan,pencetus, riwayat dirawat di rumah sakit akibat asma, faktor alergi, batuk,sputum (wama dan karakteristiknya), terapi sebelumnya.Keadaan yang optimal untuk operasi elektif adalah apabila dari pemeriksaantidak didapatkan wheezing, batuk, dan sesak. Pada keadaan operasiemergensi harus diberikan terapi yang agresif sebelumnya.Pasien yang sering mengalami serangan bronkospasme atau dalam kondisikronik harus mendapatkan terapi regimen bronkodilator yang optimal.Terapiyang dapat diberikan berupa (32-agonis dan glukokortikoid.Lakukan pemeriksaan ronsen toraks untuk menilai adanya air trapping(hiperinflasi, diafragma datar, jantung terlihat kecil, paru-paru hiperiusen).Lakukan pemeriksaan fungsi paru untuk mengkonfirmasi keadaan klinisyang didapatkan.

212

Page 12: 201-selesai

Pemeriksaan AGD hanya dilakukan apabila kita meragukan adekuasiventilasi atau oksigenasi arterial.Sedasi preoperatif dapat diberikan terutama pada pasien yang penyakitnyadipengaruhi oleh komponen emosional. Secara umum benzodiazepinememberikan efek yang memuaskan sebagai sedasi preoperatif pada pasienasma.Hindari pemberian premedikasi dengan opioid, antikolinergik, dan antagonisH-2. Antikolinergik diberikan apabila terdapat sekresi yang kental atauapabila akan memakai ketamin sebagai obat induksi.- Premedikasi dengan antagonis H-2 karena akan menyebabkan aktivitas H-1

lebih dominan sehingga dapat terjadi bronkokonstriksi.- Terapi asma harus tetap diberikan sampai menjelang operasiPasien yang mendapatkan terapi glukokortikoid jangka panjang harus mendapatkan terapi suplemen untuk mengkompensasi supresi adrenal. Terapi suplemen yang paling sering diberikan adalah hidrokortison 50-100 mg pada saat preoperatif dan pada saat Postoperatif diberikan 100 mg tiap 8 jam selama 1-3 hari berikutnya.- Berikan hidrasi perioperatif dengan cairan knstaloid untuk menjaga hidrasiyang adekuat dan mengurangi kekentalan sekret.

9. MANAJEMENINTRAOPERATIF- Saat yang paling berbahaya pada pemberian anestesi pada pasien asma adalah

pada saat akan dilakukan tindakan instrumentasi pada jalan nafas.- Pemilihan teknik anestesi umum dengan memakai masker atau regional anestesi

akan mengatasi masalah di atas, tetapi tetap tidak menghilangkan resiko terjadinya serangan bronkospame.

- Target utama pada manajemen anestesi umum adalah induksi dan emergence yang smooth/ lancer.

- Bronkospasme juga dapat dicetuskan oleh stimulasi dalam keadaan anestesi yang dangkal, nyeri, dan stress emosional.

- Pastikan kedalaman anestesi telah tercapai sebelum dilakukan tindakan laringoskopi-intubasi dan stimulasi bedah.

- Hindari penggunaan obat-obatan yang menyebabkan pelepasan histaminekurare.atrakurium, mivakurium, morfin, dan meperidin) atau bila terpaksa digunakan berikan dengan sangat periahan.

Propofol dan etomidat merupakan pilihan obat induksi yang relatif aman.- Ketamin merupakan satu-satunya obat induksi yang mempunyai efek bronkodilator

dan merupakan pilihan yang baik pada pasien yang juga dalam keadaan hemodinamik yang tidak stabil. Jangan memberikan ketamin pada pasien dengan level teofilin yang tinggi karena interaksi kedua obat tersebut dapat memicu terjadinya kejang.

- Reflek bronkospasme akibat laringoskopi-intubasi dapat ditumpulkan dengan sebelumnya memberikan tambahan dosis thiopental (1-2 mg/kg), ventilasi dengan volatile 2-3 mac selama 5 menit, atau dengan memberikan lidokain i.v 1-2 mg/ kg. Pemberian antikolinergik (atropine 2 mg atau glikopirolat 1 mg) dapat juga memblok reflek bronkospasme kan tetapi dapat menyebabkan takikardia.

213

Page 13: 201-selesai

- Halotan dan sevofluran merupakan pilihan obat induksi inhalasi pada anak yang paling smooth. Isofluran dan desfluran juga sebenarnya mempunyai efek bronkodilatasi yang sama baiknya dengan halotan dan sevofluran akan tetapi tidak cocok digunakan untuk induksi inhalasi.

- Maintenan anestesi dengan volatile anestesi memberikan keuntungan pada pasien asma karena mempunyai efek bronkodilator.

- Apabila isofluran dan desfluran dipergunakan sebagai maintenan anestesi, maka dosisnya harus ditingkatkan secara perlahan agar tidak menimbulkan iritasi pada jalan nafas.

- Hindari pemakaian halotan bersamaan dengan aminofilin dan p-agonis karena akan menyebabkan sensitisasi pada jantung.

- Lakukan ventilasi kontrol dengan gas humidifikasi yang telah dihangatkan. Berikan tidal volume < 10 ml/ kg dengan memanjangkan fase ekspirasi sehingga dapat menyeragamkan distribusi aliran udara kedua paru dan mencegah air trapping.

- Bronkospasme yang berat ditandai dengan peningkatan peak inspiratory pressure dan ekshalasi inkomplit.

- Bila terjadi bronkospasme intraoperatif akan didapatkan tanda-tanda berpa wheezing, peningkatan peak pressure, penurunan volume tidal ekshalasi, atau terdapat bentuk peningkatan gelombang kapnograf yang melambat.

- Tindakan yang dilakukan bila terjadi bronkospasme intraoperatif adalah dengan mendalamkan anestesi dengan meningkatkan konsentrasi volatile.

- Apabila bronkospasme tidak teratasi dengan meningkatkan konsentrasi volatile maka harus disingkirkan kemungkinan-kemungkinan lain sebelum memberikan obat-obatan yang lebih spesifik.

- Kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, seperti: ETT yang tertekuk, sekret, overinflasi balon, intubasi bronchial, edema paru, emboli paru, atau pneumotoraks.

- Kemudian bronkospasme harus diatasi dengan memberikan p-agonis dalam bentuk inhaler atau metered dose melalui jalur inspirasi dari sirkuit pernafasan, dan hidrokortison i.v. 1,5-2 mg/ kg terutama pada pasien yang sebelumnya telah mendapatkan terapi glukokortikoid.

- Pemberian reversal pelemas otot dengan antikolinesterase tidak akan menyebabkan bronkokonstriksi apabila disertai dengan pemberian entikolinergik dengan dosis yang tepat.

- Lakukan ekstubasi dalam (bila tidak ada kontraindikasi) untuk mencegah terjadinya bronkokonstriksi saat pasien bangun.

- Untuk menumpulkan reflek jalan nafas saat ekstubasi dapat diberikan bolus lidokain 1,5-2 mg/ kg atau dengan infus kontinyu 1 -2 mg/ menit.

10. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis- Lembar informed consent

12. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah, dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

214

Page 14: 201-selesai

13. REFERENSI:Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with respiratory disease. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 573-576 - Stoelting RK, Dierdorf SF. Asthma. Dalam: Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 147-156.

215

Page 15: 201-selesai

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN OBESITAS

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan obesitas yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Klasifikasi obesitas, manifestasi klinis, manajemen pre,intra, dan pascaoperasi.

3. KEBIJAKAN : obesitas biasanya disertai dengan penyakit penyerta dan perubahan fisiologis pada pasien.

4. PENGERTIAN :Overweight dan obesitas diklasifikasikan menggunakan indeks massa tubuh (Body Mass Index/ BMI). Overweight didefinisikan apabila BMI > 24 kg/ m2, Obesitas bila BMI > 30, dan morbid obesity bila BMI 2 40. Resiko penyakit akan semakin meningkat dengan meningkatnya derajat obesitas.

5. MANIFESTASI KLINIS:Obesitas biasanya berhubungan dengan berbagai penyakit penyerta, seperti:- Hipertensi sistemik ringan-sedang; hipertensi pada pasien dengan abesitas terjadi

karena peningkatan volume cairan ekstraselular, peningkatan cardiac output, dan hiperinsulinemia. Pada keadaan hipoksia arterial kronik/ peningkatan volume darah paru akan disertai dengan hipertensi pulmonal.

- Congestive heart failure; keadaan hipertensi sistemik yang kronis akan menyebabkan terjadinya hipertropi konsentrik pada ventrikel kiri, bila disertai dengan hipervolemia akan meningkatkan resiko terjadinya congestive heart failure.

- Diabetes mellitus; peningkatan jaringan lemak akan meningkatkan resistensi jaringan perifer terhadap efek insulin.

- Penyakit hepatobillier; Pada pasien obesitas sering ditemui tes fungsi hati yang tidak normal dan infiltrasi fatty liver.

- Penyakit tromboembolik; resiko untuk terjadinya deep vein thrombosis pada pasien obesitas yang akan menjalani pembedahan akan meningkat.

- Sindrom metabolik: obesitas, hipertensi, dan DM tipe II.Walaupun tidak terdapat penyakit penyerta, pada morbid obesity akan terjadi perubahan fisiologis sebagai konsekuensinya.

Perubahan Fisiologis pada pasien obesitas:- Perubahan fisologis yang terjadi dapat berupa peningkatan laju metabolik yang

proporsional terhadap berat badan sehingga terjadi peningkatan kebutuhan oksigen, produksi CO2, dan ventilasi alveolar.

- Komplain, resistensi paru, dan work of breathing; Jaringan lemak yang berlebihan pada dinding dada akan menurunkan komplain dinding dada, walaupun komplain dari paru sendiri sebenamya tidak berubah. Work of

216

Page 16: 201-selesai

breathing akan meningkat sehingga pasien bernafas cepat dan dangkal terutama pada posisi supine.Peningkatan massa intraabdomen akan mendesak diafragma ke sefalad sehingga menyebabkan gambaran penyakit paru restriksi.- Pengurangan volume paru akan bertambah besar dengan posisi supine atau

trendelenburg.- Apabila FRC turun di bawah closing capacity maka beberapa alveoli akan menutup

saat ventilasi dengan tidal volume sehingga terjadi ketidaksesuaian ventilasi/ perfusi.

- Pasien obesitas biasanya ditemukan dalam keadaan hipoksik, apabila terjadi keadaan hiperkapnik maka kita harus waspada akan segera timbulnya komplikasi.

- Sindrom obesitas-hipoventilasi (Pickwickian syndrome) merupakan komplikasi dari morbid obesity yang ditandai dengan hiperkapnia, sianosis, polisitemia, gagal jantung kanan, dan somnolen.

- Pasien dengan Obstuctive Sleep Apnoe Syndrome (OSAS) biasanya berhubungan dengan komplikasi pascaoperasi: hipertensi, hipoksia, aritmia, myocardial infark, edema paru, dan stroke.

Beban kerja jantung akan meningkat oleh karena memberikan perfusi ke tambahan ke simpanan lemak. Peningkatan cardiac output dengan meningkatkan stroke volume pada suatu saat akan menyebabkan terjadinya hipertensi dan hipertropi ventrikel kiri.- Peningkatan aliran darah pulmonal dan vasokonstriksi pembuluh darah paru akibat

hipoksia yang persisten akan menyebabkan hipertensi pulmonal dan cor pulmonal.- Obesitas menyebabkan gangguan gastrointestinal berupa: hiatal hernia, refluk

gastroesofageal, gangguan pengosongan lambung, hiperasiditas cairan lambung, dan beresiko untuk terjadinya kanker lambung.

6. MANAJEMEN PREOPERATIFPasien obes beresiko untuk terjadinya pneumonia aspirasi. Oleh karena itu pertimbangkan untuk diberikan premedikasi dengan antagonis H2 dan metoklopramid.- Pemberian premedikasi dengan obat yang dapat menimbulkan depresi pernafasan

harus dihindari pada pasien yang sebelumnya sudah terdapat hipoksia, hiperkapnia, dan obstructive sleep apnoe.

- Pemeriksaan fisik pada pasien dengan morbid obesity harus difokuskan pada fungsi kardiopulmonal dengan didukung pemeriksaan penunjang foto toraks, EKG, AGD, dan tes fungsi paru.

- Tekanan darah harus diukur dengan manset yang berukuran tepat. Perhatikan kemungkinan terdapatnya kesulitan jalan nafas. Pasien obesity biasanya sulit untuk dilakukan intubasi dikarenakan pergerakan sendi temporomandibula dan atlantooksipital yang terbatas, jalan nafas atas yang sempit, dan pendeknya jarak antara mandibula dengan lemak di sternum.

7. MANAJEMEN INTRAOPERATIF- Pilhan taknik dan obat anestesi yang terbaik sampai saat ini tidak diketahui.

217

Page 17: 201-selesai

- Bila dilakukan anestesi umum, harus dipertimbangkan terdapatnya kesulitanventilasi dengan masker dan intubasi trakeal (timbunan lemak pada wajahdan pipi, leher pendek, lidah besar, jaringan lunak palatal dan faring yangberlebihan, dada yang besar).

Pasien obes mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya aspirasi pulmonal.- Jika diperkirakan terdapat kesulitan intubasi maka sebaiknya intubasi

dilakukan dalam keadaan awake, direkomendasikan dengan memakaibronkoskopi fiberoptik.

Pemakaian gas anestesi belum terbukti menyebabkan lama bangun pada pasien meskipun pada operasi yang lama, hal ini dikarenakan distribusi gas anestesi ke jaringan lemak yang begitu lambat.- Obat-obatan yang larut dalam lemak (benzodiazepine, opioid) diberikan dengan

dasar berat badan aktual.- Obat-obatan yang larut dalam air (misal; pelemas otot) diberikan dengan dosis

berdasarkan berat badan ideal untuk menghindari kelebihan dosis.- Lakukan kontrol ventilasi dengan konsentrasi oksigen inspirasi yang reiatif tinggi

untuk mencegah terjadinya hipoksia, terutama bila pasien berada pada posisi litotomi, trendelenburg, atau tengkurap.

- Pemakaian abdominal pack yang diletakkan pada daerah subdiafragma akan memperburuk ventilasi pasien dan mengganggu venous return.

- Untuk meningkatkan oksigenasi dapat dilakukan dengan memberikan PEEP saat ventilasi. Namun pemberian PEEP pada pasien dengan morbid obesity dapat memperburuk keadaan hipertensi pulmonal bila didapatkan sebelumnya.

8. MANAJEMEN PASCAOPERATIF- Pasien harus tetap terintubasi sampai pernafasan adekuat.- Ekstubasi dilakukan setelah tidak ada lagi efek dari pelemas otot dan pasien sudah

benar-benar bangun.- Bila ektubasi dilakukan di kamar bedah, berikan suplemen oksigen saat

transportasi pasien ke ruang pemulihan.- Posisikan pasien setengah duduk ( 45") untuk meningkatkan ventilasi dan

oksigenasi.- Resiko terjadinya hipoksia dapat berlangsung selama beberapa hari pascaoperasi,

oleh karenanya harus tetap dilakukan monitoring walaupun pasien sudah di ruangan.

6. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis- Lembar informed consent

7. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah, dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

218

Page 18: 201-selesai

8. REFERENSI:- Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with endocrine disease.

Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 813-815- Stoelting RK, Dierdorf SF. Nutritional disease and inborn errors of metabolism.

Dalam: Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 333-344.

219

Page 19: 201-selesai

PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN DIABETESMELLITUS

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan diabetes yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Pemeriksaan preoperatif, komplikasi terhadap target organ, manajemen kadar gula darah perioperatif.

3. KEBIJAKAN: Tujuan utama dalam manajemen untuk mengatasi keadaan hiperglikemia adalah menghindari terjadinya hipoglikemia.

4. PENGERTIAN :Diabetes mellitus merupakan penyakit endokrin dimana terjadi gangguan metabolisme yang disebabkan oleh defisiensi insulin absolut maupun relatif atau gangguan pada responsivitas insulin yang menimbulkan keadaan hiperglikemia dan glukosuria.

5. KLASIFIKASIDiabetes mellitus diklasifikasikan dalam 4 tipe, yaitu:- Tipe I (IDDM) : defisiensi insulin absolut akibat gangguan imunitas atau

idiopatik, onset pada usia muda, resiko terjadi ketosis, terdapat antibodi terhadap sel islet.

- Tipe II (NIDDM): resistensi insulin walaupun sekresi insulin adekuat, onset biasanya pada usia > 40 tahun, resistensi ketosis, obesitas.

- Tipe III (Diabetes Sekunder): tipe diabetes mellitus spesifik sebagai akibat sekunder, seperti: penyakit pankreas.

- Tipe IV (gestasional): terjadi intoleransi glukosa, onset 24-30 minggu usia kehamilan.

6. MANIFESTASI KLINIS- IDDM: hiperglikemia, poliuria, polidipsia, penurunan berat badan.- NIDDM: hiperglikemia, poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, gula

darah puasa >140 mg/ dl_, tes toleransi glukosa peroral abnormal.- DM gestasional: tes toleransi glukosa peroral abnormal.- DM sekunder: hiperglikemi, poliuria, polidipsia, penurunan berat badan.- Pasien dengan NIDDM biasanya asimptomatik atau hanya menunjukkan

sedikit gejala ( 50% tidak terdiagnosis).

7. KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS dan PENATALAKSANAANNYATerdapat 4 komplikasi dari DM, yaitu: Metabolik:

ketoasidosis, hipoglikemia Makrovaskular: CAD, CVD, peripheral vascular disease. Mikrovaskular. retinopati, nefropati. Nervous system: neuropati otonom, neropati perifer.

220

Page 20: 201-selesai

Penatalaksanaannya adalah dengan membenkan resusitasi cairan dengan normal saline, dosis kecil insulin, dan suplemen potasium.

HIPOGLIKEMIAHipoglikemia pada pasien diabetes disebabkan karena kelebihan relativeinsulin terhadap intake karbohidrat.Terlebih lagi pada pasien diabetic tidak bias mengkompensasi keadaanhipoglikemia dengan sekresi glucagon atau epinefrin ( counterregulatoryfailure).Ketergantungan otak terhadap glukosa sebagai sumber energimenyebabkan otak menjadi sangat sensitive tehadap keadaan hipoglikemia.Jika hipoglikemia tidak teratasi akan terjadi perubahan status mental darikeluhan kepala yang melayang menjadi confusion, konvulsidan koma yangpermanen.Hipoglikemia terjadi bila kadargula darah puasa < 50 mg/dL.Terapi hipoglikemia adalah dengan memberikan dekstrosa 50% dimana tiapml dari gukosa 50% akan meningkatkan kadar glukosa darah pasiendengan berat 70 kg kira-kira sebesar 2 mg/ dL.

MANAJEMEN PREOPERATIFLevel Hemoglobin Aic akan membantu untuk mengidentifikasi pasiendengan resiko terbesar untuk terjadinya hiperglikemia perioperatif sehinggaakan meningkatkan komplikasi dan memperburuk outcome.Morbiditas perioperatif pada pasien diabetik berhubungan dengankerusakan end-organ preoperative akibat komplikasi DM. Oleh karenanyatentukan gangguan target organ preoperatif.Lakukan pemeriksaan yang teliti terhadap fungsi paru, kardiovaskular, dansystem renal.Lakukan pemeriksaan ronsen toraks untuk menilai adanya kemungkinanpembesaran jantung, kongesti pembuluh darah paru, atau efusi pleura.Lakukan pemeriksaan EKG. Pada pasien diabetes terjadi peningkatanabnormalitas pada ST-segmen dan gelombang T. Lakukan evaluasi apakahterdapat tanda iskemia myocardial walaupun dari anamnesa tidakdidapatkan riwayat hal ini dikarenakan terdapat resiko terjadinya silentmyocardial ischemia/ infarct.Pasien DM yang disertai hipertensi mempunyai 50% kemungkinan untukterjadinya neuropati otonom.Tanda-tanda neuropati otonom adalah: hipertensi, painless myocardialischemia, hipotensi ortostatik, hilangnya variabilitas denyut jantung(variabilitas denyut jantung pada orang normal pada saat bernafas dalam/6x permenit adalah lebih dari 10 denyut/ menit), resting takikardia,neurogenic bladder, tidak berkeringat, impotensi.Neuropati otonom akan membatasi kemampuan kompensasi jantungterhadap perubahan volume intravascular dan merupakan factorpredisposisi instabilitas hemodinamik (hipotensi post induksi) dan dapatmenyebabkan kematian mendadak. Insiden akan meningkat denganpemakaian ACE inhibitor.

222

Page 21: 201-selesai

Neuropati otonom juga akan memperlambat pengosongan lambung. Olehkarenanya berikan premedikasi dengan antacid non partikulat danmetoklopramid pada pasien dengan tanda neuropati otonom.Disfungsi renal pertama kali ditandai dengan proteinuria dan diikutipeningkatan serum kreatinin.Perhatikan tanda-tanda limited-mobility joint syndrome yang terjadi akibatglikosilasi protein jaringan pada keadaan hiperglikemia kronik.Lakukan evaluasi rutin terhadap gerakan sendi temporomandibular danmobilitas servikal untuk mengantisipasi kesulitan intubasi.Pemakaian obat-obat anti hiperglikemik oral dapat terus diberikan sampaihari operasi, KECUALI sulfonylurea dan metformin yang memiliki waktuparuh yang panjang.Sulfonilurea dan metformin harus dihentikan 24-48 jam sebelumpembedahan, dan dapat diberikan lagi pascaoperasi setelah pasien bolehminum dan telah dipastikan fungsi ginjal dan hati yang adekuat.Perlu diperhatikan pula bahwa pada pasien dengan penurunan fungsi ginjalakan terjadi pemanjangan efek obat antihiperglikemia oral dengan masakerja yang singkat.Manajemen gula darah preoperatif pada pasien yang mendapatkan terapiinsulin dilakukan dengan memberikan setengah dari dosis insulin(intermediate acting) yang seharusnya diberikan pada pagi hari menjelangoperasi.Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hipoglikemia, maka pemberianinsulin dapat diberikan setelah dilakukan pemasangan jalur intravenadengan pemberian cairan dekstrosa 5% (1,5 ml/ kg/jam) dan pemeriksaankadar gula darah pagi.

. MANAJEMEN INTRAOPERATIFTarget utama dari pengelolaan gula darah adalah menghindari keadaanhipoglikemia. Keadaan hiperglikemi sendiri berhubungan denganhiperosmolalitas, infeksi, gangguan penyembuhan luka dan dapatmemperburuk fungsi neurologisHiperglikemia yang terjadi intraoperatif dikoreksi dengan memberikanregular insulin intravena dengan metode sliding scale atau dengan infusekontinyu.Keuntungan dengan metode infusa kontinyu adalah dapat mengkontrolkadar gula darah yang lebih presisi.Infus insulin kontinyu dimulai dengan dosis 0,1 u/ kg/ jam. Penyesuaiandosis berikutnya mengikuti formula sebagai berikut:Unit perjam = Glukosa plasma (mg/dL) /150Target kadar gula darah intraoperatif adalah 120-150 mg/ dLUntuk menghindari resiko terjadinya hipokalemia karena perpindahankalium kedalam intrasel akibat pemberian insulin maka harus diberikantambahan 20 mEq KCL untuk setiap liter cairan.

223

Page 22: 201-selesai

gula darah perioperatif:Pemberian BolusD5W (1,5 ml/ kg/ jam) NPH insulin (setengah dosis pagi)

Regular insulin (slidingscale)_________________Regular insulin (slidingscale)_________________

D5W(1ml/kg/jam) Regular insulin: Unit/jam= Glukosa plasma/ 150= preoperative

= preoperative

10. MANAJEMEN PASCAOPERATIFMonitoring gula darah hams dilanjutkan post operatif karena terdapat variasiindividual dari onset dan duration of action dari insulin (regular dan NPH),selain itu dapat terjado progresi dari stress hiperglikemia saat periodepemulihan.Apabila durante operasi diberi banyak Ringer Lactate (RL) gula darahbiasanya akan naik 24-48 jam Postoperatif saat hepar mengkonversi laktatmenjadi glukosa.Karakteristik dan bioavaibilitas dari insulin :

Insulin type Onset Peak action

Duration

Short acting LisproRegular, Actrapid,VelosulinSemilente,Semitard

10-20min15-30min30-60min

30-90 min 1-3 hr 4-6 hr

4-6 hr 5-7 hr 12-16 hr

Intermediate Lente, Lentard, NPH, Monotard

2-4 hr 8-10 hr 18-24 hr

Long Acting Ultralente, Ultratard, PZI

4-5 hr 8-12 hr 25-36 hr

11. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis

- Lembar informed consent

12. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian

Teknik manajemenInfus Kontinyu

PreoperatifIntraoperatifPascaoperatif

Page 23: 201-selesai

Anestesiologi dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah, dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

13. REFERENSI:Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with endocrine disease. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 808-809 Stoelting RK, Dierdorf SF. Endocrine disease. Dalam: Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 301-315.

224

Page 24: 201-selesai

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN HIPERTIROID

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam peiaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan hipertiroid yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Diagnosa hipertiroid, manajemen pre.intra, dan pascaoperasi, krisis tiroid, komplikasi tiroidektomi.

3. KEBIJAKAN : Pada operasi elektif pasien harus dalam keadaan eutiroid dan gejala klinis yang sudah terkontrol.

4. PENGERTIAN :Hipertiroid merupakan suatu keadaan disfungsi kelenjar tiroid dengan produksi hormone triiodotironin (T3) dan atau tiroksin (T4) yang bertebihan. Hormon tiroid menyebabkan peningkatan metabolisme karbohidrat dan lemak yang sangat berperanan dalam kecepatan pertumbuhan dan metabolism. Peningkatan metabolism akan menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi C02 yang secara tidak langsung meningkatkan ventilasi semenit, denyut jantung, kontraktilitas, dan produksi panas/energi.

5. MANIFESTASI KLINIS:GoiterTakikardiaAnsietasTremor halusPenurunan berat badanIntoleransi terhadap panas.Kelemahan ototFatigueEksoptalmusCardiac signs dapat berupa: sinus takikardia, atrial fibrilasi, gagal jantungkongestif.

6. DIAGNOSISDiagnosis hipertiroid ditegakkan dengan pemeriksaan tes fungsi tiroid yang abnormal dimana terjadi peningkatan kadar total (terikat dan tidak terikat) T4, T3 serum dan T4 bebas (tidak terikat).

7. TERAPI HIPERTIROIDTerapi Medikamentosa Inhibitor sintesa hormon: propiltiourasil, metimazol Inhibitor

pelepasan hormon: potassium, sodium iodide Aktivitas adrenergik yang bertebihan diatasi dengan antagonis 3-adrenergic, misal: propanolol, nadolol, atenolol.

225

Page 25: 201-selesai

Pemberian antagonis p-adernergik juga akan menurunkan konversi T4menjadi T3 di perifer.Iodine radioaktif dapat menghancurkan fungsi sel tiroid. Pemberian iodineradioaktif ini dapat menyebabkan keadaan hipotiroid dan dikontraindikasikanpada wanita hamil.Reflek-reflek hiperaktif

Terapi Pembedahan Tiroidektomi subtotal merupakan alternative dari terapi medikamentosa Biasanya tindakan pembedahan ini dilakukan pada struma multinodular toksik yang berukuran besar, adenoma soliter toksik, struma berukuran besar yang dapat menimbulkan kompresi trakea, atau untuk alasan kosmetik.

MANAJEMEN PREOPERATIFSemua prosedur operasi elektif harus ditunda sampai gejala-gejala klinisterjadi perbaikan dan pasien harus dalam keadaan eutiroid dengan terapimedikamentosa.Pada pemeriksaan preoperatif harus dipastikan keadaan eutiroid dengan tesfungsi tiroid yang normal dan direkomendasikan laju nadi dalam keadaanistirahat < 100 x/ menit.Terapi antrtiroid dan antagonis (3 tetap diteruskan sampai saat pagimenjelang operasi.Pada keadaan emergensi pasien dapat dioptimalisasi dalam waktu kurangdari 1 jam dengan mengkontrol keadaan sirkulasi yang hiperdinamikmenggunakan infus esmoloi secara titrasi dengan dosis 100-300 ug/ kg/menit atau dengan propanolol dengan target laju nadi < 100x/ menit.Lakukan evaluasi terhadap kemungkinan obstruksi jalan nafas bagian atas.Obat pilihan untuk sedasi preoperatif adalah dengan obat golonganbenzodiazepine.Hindari obat antikolinergik sebagi premedikasi.

MANAJEMEN INTRAOPERATIFTeknik regional anestesi (bila memungkinkan) dapat memberikan keuntungan yang sangat besar karena dapat memblokade system saraf simpatis/ stress response.Bila dilakukan anestesi umum harus dipilih obat-obatan induksi yang mempunyai efek minimal terhadap kardiovaskular. Tiopental merupakan pilihan yang terbaik karena mempunyai efek antitiroid pada dosis besar. Hindari pemakaian ketamin, pankuronium, dan obat-obatan yang dapat menstimulasi system saraf simpatis karena dapat menyebabkan peningkatan laju nadi dan tekanan darah.Pastikan kedalaman anestesi yang adekuat sudah tercapai sebelum melakukan laringoskopi/ intubasi atau saat stimulasi pembedahan untuk menghindari terjadinyaq takikardia, hipertensi, dan aritmia ventrikel.

226

Page 26: 201-selesai

Pastikan pasien dalam keadaan normovolum sebelum induksi karenapasien-pasien hipertiroid biasanya dalam keadaan hipovolemik kronisdengan sirkuasi yang cenderung mengalami vasodilatasi.Maintenance anestesi dapat dilakukan dengan isofluran, desfluran, atausevofluran dengan N20.Keadaan hipertiroid tidak meningkatkan kebutuhan anestetik.Lakukan pemantauan ketat terhadap fungsi kardiovaskular dan suhu tubuhuntuk mengetahui tanda-tanda badai tiroid/ thyroid storm.Lindungi mata pasien selama operasi dengan baik, karena keadaaneksoptalmus akan meningkatkan resiko terjadinua abrasi dan ulkus komea.

10. KRISIS TIROID/ THYROID STORM dan PENATALAKSANAANNYAKrisis tiroid merupaka keadaan emergensi medikal yang memerlukanmanajemen dan monitoring yang agresif. Tanda dari krisis tiroid adalahmunculnya gejala-gejala hipertiroid secara tiba-tiba akibat pelepasanhormon T3 dan T4 secara mendadak.Tanda-tanda yang didapatkan berupa: takikardia, hipertermia,agitasi/delirium/ koma, kelemahan oto skeletal, gagal jantung kongestif,dehidrasi, syok.Krisis tiroid dapat terjadi pada periode intraoperatif akan tetapi paling seringterjadi pada saat 6-24 jam pascaoperasi.Gejala krisis tiroid yang terjadi intraoperatif sangat mirip dengan malignanthyperthermia, yang membedakannya adalah pada malignant hyperthermiaterjadi rigiditas otot, peningkatan kreatinin kinase, dan asidosis respiratorik/metabolik yang berat.Penatalaksanaan krisis tiroid adalah dengan hidrasi dan pendinginandengan menggunakan cairan infus yang dingin, infus kontinyu esmolol ataupropanolol (dosis incremental dimulai dengan 0,5 mg sampai laju nadi <100/ menit), PTU (250-500 mg tiap 6 jam secara oral atau melalui NGT),sodium iodide (1g dalam 12 jam), dan lakukan koreksi terhadap faktorpencetus.Pemberian kortisol 100-200 mg tiap 8 jam direkomendasikan untukmencegah timbulnya komplikasi akibat supresi kelenjar adrenal.

11. MAJEMEN PASCAOPERATIFLakukan monitoring terhadap tanda-tanda krisis tiroid paling tidak selama 24jam, hal ini dikarenakan krisis tiroid paling sering terjadi pada periode 6-24jam pascaoperasi.Lakukan evaluasi terhadap terjadinya komplikasi tiroidektomi subtotal, yaitu: 1.

Kerusakan nervus laryngeus recurrent; bila unilateral ditandai dengan paralisis pita suara dan suara serak, bilateral ditandai dengan paralisis pita suara, afonia dan stridor (obstruksi jalan nafas). Fungsi pita suara dapat segera dinilai dengan laringoskopi segera setelah dilakukan ekstubasi dalam. Kegagalan 1 atau kedua pita suara untuk bergerak memerlukan tindakan intubasi untuk membebaskan jalan nafas.

227

Page 27: 201-selesai

2. Perdarahan pascaoperatif pada daerah leher; keadaan mi menimbulkan hematom yang dapat menimbulkan gangguan jalan nafas akibat kompresi pada trakeal. Tindakan yang dilakukan adalah dengan sesegera mungkin membuka kembali luka insisi untk evakuasi bekuan darah.

3. Trakeomalasia; lakukan penilaian apakah diperlukan tindakan intubasi.4. Hipoparatiroid; terjadi karena kelenjar paratiroid yang tidak sengaja

terangkat. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya hipokalsemia akut yang terjadi dalam 12-72 jam.

5. Pneumotoraks; dapat terjadi secara tidak sengaja saat dilakukannya eksplorasi pada daerah leher. Segera lakukan pemasangan CTT untuk mengatasinya.

6. Hipotiroid permanen.

12. DOKUMEN TERKAIT - Catatan rekam medis- Lembar informed consent

13. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah, dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

14. REFERENSI:Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with endocrine disease. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 807-808. Stoelting RK, Dierdorf SF. Endocrine disease. Dalam: Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 315-319.

228

Page 28: 201-selesai

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN HIPOTIROID

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan hipotiroid yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Diagnosa hipotiroid, gejala klinis, komplikasi, terapi, manajemen anestesi pre, intra, dan pascaoperasi.

3. KEBIJAKAN : Keadaan paling ideal untuk dilakukan operasi elektif adalah eutiroid, tetapi hipotiroid ringan-sedang bukanlah kontraindikasi absolute. Operasi elektif ditunda pada hipotiroid berat (T4< 1mg/dL)

4. PENGERTIAN :Hipotiroid merupakan disfungsi kelenjar tiroid yang ditandai dengan penurunan produksi hormone tiroid T3 dan atau T4. Hipotiroid dapat disebabkan primer oleh penyakit autoimun, tiroidektomi, pemakaian iodine radioaktif, medikasi dengan antitiroid, defisiensi iodine, atau sekunder akibat kegagalan hypothalamic-pituitary axis.

5. MANIFESTASI KLINIS:Hipotiroid yang terjadi pada masa neonatal akan mengakibatkan kretinismyang ditandai dengan gangguan pertumbuhan fisik, dan retardasi mental.Pada dewasa gejala hipotiroid tidak begitu jelas terlihat.LetargiPeningkatan berat badanIntoleransi terhadap dinginFatigueKonstipasiHiporeflekDepresiBradikardiaKontraktilitas jantung, stroke volume, dan cardiac output menurun.Ekstremitas dingin dan mottled akibat vasokonstriksi periferAtropi kortek adrenalHiponatremiaKadang terdapat efusi pleural, abdominal, dan pericardial.Pada keadaan hipotiroid subklinis gangguan kardiovaskular jarang terjadi

6. DIAGNOSISDiagnosis hipotiroid ditegakkan dengan kadar T4 bebas yang rendah. Hipotiroid primer dibedakan dengan hipotiroid sekunder dengan peningkatan kadar TSH.

7. TERAPITerapi pengganti dengan preparat hormone tiroid (T4)

229

Page 29: 201-selesai

8. PERMASALAHAN PERIOPERATIFPeningkatan sensitivitas temadap obat yang menimbulkan depresiHipodinamik kardiovaskularPenurunan laju jantungPenurunan cardiac outputMetabolisme obat menjadi lambatReflek baroreseptor yang tidak responsifKegagalan respon ventilasi terhadap hipoksemia dan hiperkarbiaHipovolemiaGangguan pengosongan lambungHiponatremiaHipotermiaAnemiaHipoglikemiaInsufisiensi adrenal

9. KOMPLIKASI HIPOTIROID (KOMA MYXEDEMA)Koma Myxedema merupakan komplikasi dari hipotiroid yang ekstrim. Gejalanya yaitu: penurunan kesadaran, hipoventilasi, hipotermi, hiponatremia (akibat sekresi ADH), kolaps kardiovaskular, koma, dan dapat menyebabkan kematian.Sering terjadi pada orang tua yang dicetuskan oleh proses pembedahan, infeksi, atau trauma.Penatalaksanaannya adalah dengan memberikan hormon tiroid T3 atau T4 intravena, dengan dosis awal levotiroksin sodium 300-500 mg (pada pasien tanpa penyakit jantung) diikuti dengan dosis pemeliharaan 50 mg/ hari, steroid (misalnya hidrokortison 100 mg tiap 8 jam). Selama terapi lakukan pemantauan EKG terhadap tanda-tanda iskemik atau aritmia. Pertimbangkan bantuan ventilasi dan pemanasan eksternal bila diperiukan.

10. MANAJEMEN PREOPERATIFPasien yang akan menjalani operasi elektif dengan keadaan hipotiroidberat (T4 < 1 mg/dl) atau koma myxedema harus ditunda.Pasien dengan hipotiroid berat (T4< 1 mg/ dl_) atau koma myxedemayang akan menjalani operasi emergensi harus mendapatkan terapidengan hormone tiroid terlebih dahulu sebelum operasi.Keadaa preoperatif yang ideal adalah pasien dalam keadaan eutiroid,tetapi keadaan hipotiroid ringan-sedang bukan merupakan kontraindikasiabsolute untuk dilakukan operasi.Evaluasi semua permasalahan yang mungkin ada akibat hipotiroid (poinno.8)Berikan terapi pengganti hormon tiroid untuk mencapai keadaan eutiroidpada saat operasi.Berikan kortisol suplemen sebagai medikasi preoperatif.Pada keadaan hipotiroid pasien sangat sensitif terhadap obat-obatansedasi yang dapat menimbulkan depresi jalan nafas dan pada keadaan

230

Page 30: 201-selesai

mi mereka tidak mampu mengkompensasi hipoksia dengan meningkatkan ventilasi semenit. Biasanya pada pasien hipotiroid tidak memerlukan sedasi preoperatif.Berikan premedikasi dengan antagonis histamine H-2 dan metoklopramid karena pada pasien ini terjadi perlambatan pengosongan lambung. Pasien yang mendapatkan terapi tiroid harus tetap diberikan sampai saat pagi menjelang operasi.

11. MANAJEMEN INTRAOPERATIFObat pilihan untuk induksi adalah dengan ketamin, hal ini dikarenakanpasien dengan hipotiroid sangat rentan terhadap efek hipotensi dari obatanestesi akibat dari penurunan cardiac output, reflek baroreseptor yangtidak responsif, dan penurunan volume intravaskular.Evaluasi semua permasalahan yang mungkin ada akibat hipotiroid (poinno.8)Pada keadaan hipotensi yang refrakter pertimbangkan kemungkinanterjadinya insufisiensi adrenal dan gagal jantung kongestif.Kemungkinan terdapat kesulitan intibasi dikarenakan lidah yang besar.Pemeliharaan anestesi dapat diberikan inhalasi, N20, dan bila diperlukandiberikan opioid kerja singkat, benzodiazepine, atau ketamin.Lakukan pemantauan terhadap kemungkinan depresi kardiovaskular danhipotermi (naikkan temperatu kama operasi, pakai selimut penghangat,berikan cairan infus yang hangat).

12. MANAJEMEN PASCAOPERASIProses pemulihan dari anestesi umum dapat menjadi lambat akibat keadaan hipotermi, depresi nafas, atau metabolism obat yang lambat. Pada keadaan ini sering kali terjadi memanjangnya ventilasi mekanik yang diberikan.Pasien harus tetap terintubasi sampai bangun dan normotermi. Pilihan obat untuk manajemen nyeri adalah obat golongan non-opioid (misal ketorolak) dikarenakan pasien sensitif terhadap efek depresi nafas dari obat yang diberikan.

13. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis- Lembar informed consent

14. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah, dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

15. REFERENSI:Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient withendocrine disease. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 808-809Stoelting RK, Dierdorf SF. Endocrine disease. Dalam: Handbook forAnesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 318-321.

231

Page 31: 201-selesai

ANESTESI PADA PASIEN HIPERTENSI

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam penatalaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan hipertensi yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Diagnosa hipertensi, penatalaksanaan perioperatif hipertensi.

3. KEBIJAKAN : Pada operasi elektif, tekanan darah pasien harus dalam keadaan klinis yang sudah terkontrol.

4. PENGERTIAN :Hipertensi sistemik : tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih padadua saat pengukuran yang terpisah paling sedikit 1 sampai 2 minggu.Hipertensi krisis : tekanan darah > 180/120 mmHg, dibagi menjadi 2kategoriHipertensi emergensi : bila didapatkan kerusakan target organ yangakut. Tujuan terapi : menurunkan tekanan diastolik secara cepatnamun bertahap (penurunan MAP sebanyak 20% dalam 60 menitpertama dan kemudian secara bertahap)Hipertensi urgensi : peningkatan tekanan darah yang berat, tetapitidak didapatkan tanda-tanda kerusakan target organ. Gejala yangmungkin timbul adalah nyeri kepala, epistaxis, atau kecemasan.Hipertensi borderline : tekanan diastolik 85-89 mmHg atau tekanansistolik 130-139 mmHgHipertensi berat : peningkatan tekanan darah secara progresif danterus menerus, di mana tekanan diastolik melebihi 110-119 mmHg dandidapatkan disfungsi renal.Hipertensi malignan : 'true medical emergency', dengan tanda-tandahipertensi berat (> 210/120 mmHg), papilledema, dan ensefalopati.

5. PATOFISIOLOGI:Essensial/primer (idiopatik) : 80-95% kasus dan berhubungandengan peningkatan yang abnormal dari baseline cardiac output,tahanan vaskuler sistemik, atau keduanya.Sekunder : penyakit ginjal, hiperaldosteronism primer, sindromaCushing, acromegaly, pheochromocytoma, kehamilan, atau terapiestrogen.

6. DIAGNOSISDiagnosis hipertensi tidak dapat dibuat hanya berdasarkan satu kali pemeriksaan preoperasi saja, namun memerlukan konfirmasi melalui adanya riwayat peningkatan tekanan darah yang konsisten. Dalam hal ini, hasil pengukuran tekanan darah dipengaruhi oleh postur, waktu dilakukan pemeriksaan (siang atau malam), kondisi

232

Page 32: 201-selesai

PANDUAN ANESTESI REGIONAL

232

Page 33: 201-selesai

PROSEDUR ANESTESI SPINAL

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi spinal pada pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP:

3. KEBIJAKAN :

4. PENGERTIAN : Suatu teknik regional anestesi dengan melakukan blockade neuroaksial melalui penyuntikan obat anestesi ke dalam sub arachnoid.

5. PROSEDUR:Penentuan Indikasi:Operasi abdomen bagian bawah, inguinal, urogenital, rectal, dan ekstremitas bagian bawah

Kontra Indikasi: Absolut:infeksi pada daerah tempat tusukanPasien menolakKoagulopati atau gangguan perdarahanHipovolemia beratPeningkatan tekanan intracranialSevere aortic/ mitral stenosis

Relatif:SepsisPasien tidak kooperatif Defisit neurologis sebelumnya Severe spinal deformity

Kontroversi:Bekas operasi pada tempat tusukanPasien yang tidak bisa berkomunikasiProsedur operasi yang kompleks (durasi lama, perdaraha banyak)

PERSIAPAN ALAT/ OBAT:SumberoksigenPeralatan manajemen Jalan Nafas (lihat pedoman persiapan pra-bedah)Obat-obatan emergensi/ resusitasiMonitor tekanan darah, pulse oximetry, EKGRegional set steril, bethadine, alkoholJarum spinal no. 25/27/29Spuite 3cc / 5cc

233

Page 34: 201-selesai

Obat anestesi local untuk spinal (hiperbarik atau isobaric)

PERSIAPAN PASIEN:Pada prosedur pembedahan elektif pasien tetap harus dipuasakan 6-8 jamsebelumnyaDilakukan informed consent tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan,keuntungan, dan kerugiannyaSebaiknya diberikan sedasi untuk memfasilitasi kooperasi pasien pada tingkatansedasi yang membuat pasien nyaman tetapi tetap kooperatif dan komunikatif

TEKNIK PELAKSANAAN:Dilakukan terlebih dahulu pengukuran tekanan darah, laju nadi, dan saturasioksigen periferPemasangan jalur intravena dengan kateter vena no. 18Preloading cairan RL sebanyak 10-20 cc/ kgbb 15 menit sebelum penyuntikanspinal

Posisi pasien: Lateral Decubitus:Pasien diposisikan tidur miring ke salah satu sisi badan dengan punggung yang paralel dengan meja operasi. Sendi panggul dan lutut di-fleksikan maksimal sehingga lutut pasien berada dekat dengan abdomen dan dada bagian bawah. Leher berda pada posisi fleksi. Bahu dan panggul harus berada dalam satu garis lurus sehingga tidak terjadi rotasi pada tulang punggung. Posisi dan kelengkungan pada tulang belakang harus dipertahankan oleh seorang asisten. Posisi Duduk:Pasien diposisikan duduk dengan tungkai menggantung di sisi meja operasi dan kaki ditopang dengan kursi/footrest. Bantal diletakkan di pangkuan pasien dengan kedua lengan atas berada pada posisi merangkul bantal. Kemudian pasien diperintahkan untuk menunduk dan melenkungkan ke depan tulang belakangnya sambil memeluk bantal. Posisi dan kelengkungan tulang belakang ini harus dipertahankan oleh seorang asisten.

Dilakukan identifikasi ruang intervertebral L2-3, L3-4, L4-5 dengan panduanTuffier LineUntuk mengurangi resiko infeksi maka dokter anestesi harus mencuci tanganterlebih dahulu dengan prosedur cuci tangan yang telah ditetapkan. Kemudianmengenakan sarung tangan steril.Dilakukan tindakan desinfeksi kulit pada daerah tusukan dengan menggunakanpovidon iodine dan biarkan mongering. Kemudian dibersihkan dengan kassasehingga daerah tusukan bersih dari zat antiseptikDaerah tusukan ditutupi dengan kain/ duk bolong steril.Penusukan jarum spinal:

Midline approach:Jarum spinal ditusukkan pada garis tengah celah intervertebral yang telah ditentukan dengan arah angulasi sedikit sefalad dan sumbu jarum searah dengan sumbu tulang belakang pasien.

234

Page 35: 201-selesai

8.4. Premedikasi:■ Untuk mengurangi kecemasan pada masa preoperatif■ Pada hipertensi preoperatif ringan sampai sedang dapat diberikan obat anxiolytic

(midazolam)■ Obat antihipertensi preoperatif:Obat yang telah diberikan dilanjutkan sampai saat hari operasidijadwalkan.ACE inhibitor dapat menimbulkan efek hipotensi intraoperatifCentral a2-adrenergic agonists (clonidine 0,2 mg) merupakan obattambahan untuk premedikasi pasien hipertensi, dapat menambahefek sedasi, menimbulkan hipotensi intraoperatif dan bradikardia.8.5. Penundaan operasi:■ Untuk operasi elektif : bila didapatkan tekanan darah diastolik > 110 mmHg,

operasi ditunda sampai tekanan darah terkontrol.■ Keputusan penundaan operasi dengan mempertimbangkan : Derajat beratnya

peningkatan tekanan darah yang ditemukan Penyakit penyerta yang didapatkan seperti iskemik miokard, disfungsi ventrikel, komplikasi serebral atau ginjal

Jenis pembedahan■ Hipertensi preoperatif dapat disebabkan karena ketidakteraturan pasien dalam

menjalani terapi yang telah diberikan.■ Pasien dengan hipertensi yang tidak mendapat terapi atau tidak terkontrol dapat

mengalami iskemia miokard, aritmia, hipertensi, maupun hipotensi selama intraoperatif.

9. MANAJEMENINTRA-OPERASI9.1. Tuiuan :• Mempertahankan stabilitas tekanan darah yang sesuai dengan kisaran awal

(baseline)• Pasien dengan hipertensi borderline diperlakukan sebagai pasien dengan

normotensi• Pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol atau hipertensi lama mengalami

perubahan pada autoregulasi aliran darah serebral (CBF), sehingga tekanan darah rata-rata dipertahankan sedikit lebih tinggi dari normal untuk menjaga aliran darah serebral yang adekuat.

• Tekanan darah arteri dipertahankan dalam kisaran 10-20% dari level preoperatif:■ Penurunan MAP sampai 25% akan mencapai batas autoregulasi yang lebih

rendah.■ Penurunan MAP sampai 55% akan mengakibatkan hipoperfusi serebral

simtomatis.• Bila terjadi hipertensi berat (>180/120 mmHg) pada saat

preoperatif, tekanan darah arterial dipertahankan dalam kisaran

normal tinggi (150-140/90-80 mmHg)

II ll II II

235

Page 36: 201-selesai

Jarum spinal akan menembus kulit, sub kutis, ligamentum supra spinosus,ligamentum interspinosus, dan ligamentum flavum.Bila tusukan berada pada arah yang tepat, maka kita akan merasakan duaperubahan tahanan.Tahanan pertama terjadi saat kita menembus ligamentum flavum dan tahanankedua saat menembus permukaan membrane dura-arachnoid.Setelah tahanan yang kedua (terasa seperti loss of resistance atau "pop"),tusukan jarum dihentikan. Pada saat ini ujung telah berada di ruang subarachnoid.Tarik stylet dari jarum spinal sehingga LCS mengalir bebas. Apabila LCS tidakkeluar maka dicoba untuk mendorong jarum spinal.Urutan tindakan di atas diulangi sampai didaptkan LCS

Paramedian ApproachBiasanya dilakukan pada pasien yang telah mengalami kalsifikasi padaligamentum interspinosus atau kesulitan untuk memposisikan pasien pada posisifleksi.Tentukan daerah tusukan dengan menarik garis 2 cm ke lateral dari aspek inferiordari prosesus spinosus superior dari daerah yang diinginkan.Jarum spinal ditusukkan dengan membentuk sudut 10-25 derajat kea rah garistengah.Identifikasi ligamentum flavum pada paramedian tidak begitu dapat kita rasakandibandingkan dengan pendekatan median.Jika jarum membentur tulang pada saat jarum masuk tidak begitu dalam, makabiasanya jarum membentur bagian medial dari lamina bagian bawah. Untuk itujarum harus diarahkan kembali sedikit ke atas dan lebih ke lateral.Sebaliknya bila jarum membentur tulang setelah jarum dimasukkan begitu dalam,maka biasanya jarum membentur bagian lateral dari lamina bawah. Jarum harusdiarahkan kembali sedeikit lebih ke atas dan medial dari garis tengah.Sebelum menghubungkan spuit dengan hub dari jarum spinal, pastikan teriebihdahulu tidak ada darah pada aliran LCS. Tunggu sampai aliran LCS benar-benarbening.Lakukan barbotase dan kemudian masukkan obat lokal anestesi dengankecepatan 1 cc/ 3 detik. Dosis yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:

Dosis (mg)Obat (hiperbarik) Perineum,

Lower LimbsAbdomen Bawah Abdomen Atas

Procaine 75 125 200Bupivacaine 4-10 12-14 12-18Tetracaine 4-8 10-12 10-16Lidocaine 25-50 50-75 75-100Ropivacaine 8-12 12-16 16-18

Posisikan pasien sesuai dengan kebutuhan prosedur operasi yang akan dilakukan.

235

Page 37: 201-selesai

I

II

II II II11

I9.2.

Induksi:■ Indu

ksi dan intubasi endotrakheal merupaka

n periode yang rawan untuk terjadinya ketidakstabilan hemodinamik. Hal ini disebabkan karena dalam periode tersebut dapat terjadi respon hipotensi yang menonjol akibat induksi anestesi, diikuti dengan respon hipertensi yang berlebihan akibat tindakan intubasi.

■ Respon hipotensi terjadi akibat efek samping depresi sirkulasi oleh obat-obat anestesi maupun dari obat antihipertensi (vasodilator, depresi jantung, atau kedua-duanya), atau berkurangnya volume cairan intravaskuler.

■ Obat-obat simpatolitik dapat menurunkan tonus simpatis dan meningkatkan aktivitas vagal.

■ Sekitar 25% pasien dengan hipertensi dapat mengalami hipertensi berat setelah intubasi endotrakheal, sehingga tindakan intubasi sebaiknya dilakukan pada tahap anestesi dalam.

■ Teknik anestesi yang dapat dilakukan untuk menumpulkan respon hipertensi:

o Mendalamkan anestesi dengan menggunakan obat inhalasi selama5-10 menit o Pemberian opioid : fentanyl 2,5-5 ug/kg iv, alfentanyl 15-25

ug/kg,sufentanyl 0,25-0,5 ug/kg, atau remifentanyl 0,5-1 pg/kg o Pemberian

lidokain 1,5 mg/kg iv atau intratrakheal o Memberikan ^-adrenergic blocker seperti esmolol 0,3-1,5 mg/kg,

propranolol 1-3 mg, atau labetalol 5-20 mg o Menggunakan obat topikal■ Obat induksi: propofol, barbiturat, benzodiazepine, dan etomidate■ Ketamin kontraindikasi untuk prosedur elektif, karena menyebabkan

stimulasi simpatis (bila digunakan dapat disertai dengan pemberian dosis kecil propofol atau benzodiazepin)

■ Obat pelumpuh otot:o Semua obat pelumpuh otot dapat digunakan secara rutino Pancuronium dapat menyebabkan blokade vagal dan melepaskankatekolamin, terutama bila diberikan dengan dosis besar secarabolus, sehingga dapat menimbulkan efek hipertensi pada pasien

dengan hipertensi yang tidak terkontrol o Pancuronium bermanfaat bila digunakan pada keadaan di manaterjadi tonus vagal yang berlebihan akibat obat opioid ataumenipulasi pembedahan

9.3. Monitoring :• Tekanan darah arterial invasif, pada pasien dengan keadaan :o Perubahan tekanan darah dalam kisaran yang lebaro Menjalani pembedahan mayor yang berhubungan dengan perubahan yang

besar dan cepat terhadap preload atau afterload jantung• EKG : deteksi tanda-tanda iskemik

236

Page 38: 201-selesai

Pengukuran tekanan darah dan laju nadi harus sesegera mungkm dilakukansetelah obat disuntikkan.Pengukuran dilakukan tiap menit pada 15 menit pertamakemudian tiap 3 menit setelahnya.Bila terjadi hipotensi berikan vasopresor (efedrin 5-10 mg) dan/ cairanSensasi suhu diperiksa dengan menggunakan kapas alcohol, dan distribusi bloksensoris dinilai dengan tes pinprickSelama operasi berikan suplemen oksigen dengan nasal kanul 2-3 l/menit.

6. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis- Lembar informed consent

7. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis, dokter residen di bagian Anestesiologi danTerapi Intensif di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

236

Page 39: 201-selesai

• Urine output : pemasangan folley catheter pada prosedurpembedahan yang diperkirakan > 2 jam, atau pada pasien dengangangguan ginjal.

• Pemasangan monitor hemodinamik invasif (PA catheter):o Tekanan pulmonary capillary wedge yang tinggi (12-18 mmHg)diperlukan untuk mempertahankan volume left ventricular end-diastolic dan cardiac output.

9.4. Rumatan :■ Dapat dilanjutkan penggunaan obat inhalasi dengan atau tanpa nitrous

oxide■ Balanced technique : opioid + nitrous oxide + obat pelumpuh otot, atau

teknik intravena total■ Penggunaan obat inhalasi atau penambahan vasodilator intravena dapat

mempermudah pengendalian tekanan darah selama intraoperatif■ Obat inhalasi yang diberikan secara titrasi dapat menyebabkan vasodilatasi

dan depresi miokard secara cepat dan reversibel dalam menurunkan tekanan darah

• Penggunaan obat vasopresor:Pada pasien dengan hipertensi dapat terjadi respon yangberlebihan, baik yang disebabkan oleh katekolamin endogen(akibat intubasi atau manipulasi pembedahan) maupun secaraeksogen akibat pemberian obat sympathetic agonistsBila terjadi hipotensi dapat diberikan dosis kecil direct acting agent(phenylephrine 25-50 ug) atau ephedrine 5-10 mg iv (bila terjadipeningkatan tonus vagal)Pemberian epinephrine dengan dosis yang tidak tepat pada pasiendengan hipertensi dapat mengakibatkan morbiditas kardiovaskuleryang bermakna■ Bila terjadi hipertensi:■ Kedalaman anestesi dapat ditingkatkan dengan obat-obat anestesi

terutama obat inhalasi. Bila masih terjadi hipertensi, dipertimbangkan obat antihipertensi/vasodilator parenteral (iv).

■ Sebelum mulai memberikan obat antihipertensi iv, dipastikan terlebih dahulu tingkat kedalaman anestesi sudah adekuat, tidak terjadi hipoksemia maupun hiperkapnia.

■ Pemilihan obat antihipertensi berdasarkan :/ Beratnya, timbulnya dan penyebab hipertensiS Derajat beratnya hipertensi/ Fungsi ventrikel baseline•/ Laju nadi/ Ada tidaknya penyakit bronkhospastik pulmonal• Pengelolaan tekanan darah :o Selama operasi berlangsung, tekanan darah dipertahankan dalam batas

normal tinggi MAP untuk mempertahankan autoregulasi dan

I

1

IIII II II

II II

237

Page 40: 201-selesai

III II

IIperfusi serebral, di mana perubahan tekanan darah dijaga pada level 10-

20% preoperatif. o Obat-obat yang dapat digunakan :■ (3-adrenergic blockade : obat terpilih untuk pasien dengan fungsi

ventrikel yang baik dan terjadi peningkatan laju nadi• Nicardipine digunakan pada pasien dengan penyakitbronkhospastik■ Nitroprusside : paling cepat dan efektif untuk penatalaksanaan

hipertensi moderat dan berat intraoperatif■ Nitroglycerin : bermanfaat untuk terapi atau mencegah iskemik miokard■ Fenoldopam : memperbaiki atau mempertahankan fungsi renal■ Hydralazine : mengontrol tekanan darah secara konstan, mula kerja

lebih lambat, dapat menimbulkan efek takikardi

10. PENATALAKSANAAN PASCA-OPERASI• Hipertensi pasca operasi dapat terjadi dan harus diantisipasi terutama

pada pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol.• Observasi ketat dilakukan terhadap tekanan darah selama periode dini

pasca operasi di ruang pemulihan.• Penyebab hipertensi pada pasca operasi bersifat multifaktorial: masalah

respirasi, volume overload, nyeri, distensi bladder, dan diawasi secara ketat pula adanya iskemik miokard, CHF, terjadinya hematom di daerah luka operasi maupun gangguan vaskularisasi.

• Bila penyebab tersebut sudah diatasi dan masih terjadi hipertensi, dapat diberikan obat antihipertensi parenteral, seperti labetalol (hipertensi disertai takikardi) atau nicardipine (menurunkan laju nadi terutama bila dicurigai adanya iskemik miokard atau bronkhospasme).

• Bila pasien sudah memungkinkan untuk minum, obat-obat antihipertensi oral sebelumnya dapat diberikan.

11.DOKUMENTERKAIT:- Catatan rekam medis- Lembar informed consent

12. UNITTERKAIT:Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, dokter/residen bedah, dokter/residen IPD, dokter/residen Kardiologi di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

II

t I238