2009p prosiding peran hutan daya dukung das2

334

Upload: eko-priyanto

Post on 23-Jun-2015

1.667 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Prosiding Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS

TRANSCRIPT

Page 1: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2
Page 2: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

i

ISBN 978-979-3145-45-7

PROSIDING WORKSHOP

PERAN HUTAN DAN KEHUTANAN DALAM MENINGKATKAN DAYA DUKUNG DAS

Surakarta, 22 Nopember 2007 Terbit Tahun 2009 Foto Sampul oleh : Sukresno dan Eko Priyanto Desain : Eko Priyanto dan Wahyu Budiarso © P3HKA 2009 Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA) Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia Telp: +62 (0251) 8633234 Fax: +62 (0251) 8638111 E-mail: [email protected] Website: http://www.p3hka.org

Page 3: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| ii |

Tim Penyunting

Koordinator : Ir. Sulistyo A. Siran, M.Sc Ketua : Dr. A. Ngaloken Gintings Anggota : Dr. Pratiwi Dr. Sunarto Gunadi Ir. Paimin, M.Sc Sekretariat : Drs. Haryono Nur Rahmat Eko Priyanto

Page 4: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| iii |

Bogor, Oktober 2009 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Ir. Adi Susmianto, M.Sc NIP. 19571221 198203 1 002

KATA PENGANTAR

Sesuai dengan pernyataan yang terkandung dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 3 butir (c) yaitu bahwa tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan meningkatkan daya dukung DAS, maka sudah menjadi suatu keharusan Departemen Kehutanan untuk berperan aktif dalam upaya peningkatan daya dukung DAS. Setiap kali muncul bencana alam khususnya banjir, kekeringan, dan tanah longsor, institusi kehutanan selalu dituding sebagai pihak yang harus bertanggungjawab. Meskipun tudingan ini tidak semuanya benar, namun perlu menjadi perhatian dan disikapi dengan bijaksana sebagai pengemban amanat UU No. 41 tersebut.

Sebagai salah satu UPT Badan Litbang Kehutanan, Balai Penelitian Kehutanan Solo (BPK Solo) telah memiliki hasil kajian sistem karakterisasi DAS yang diformulasikan untuk mendiagnose kerentanan dan potensi Sub DAS dari aspek banjir, kekeringan, kekritisan lahan, tanah longsor, dan sosial ekonomi. Sesuai dengan tugas dan fungsinya, BPK Solo menyelenggarakan Workshop dalam rangka pemasyarakatan hasil litbang dengan tema “Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS” di Surakarta pada hari Kamis tanggal 22 Nopember 2007.

Dengan terselenggaranya Workshop ini diharapkan terbangun kesepahaman dan pemikiran yang selaras dari segenap jajaran kehutanan, sehingga mampu menjawab setiap permasalahan degradasi Sub DAS yang tercermin dengan munculnya bencana alam (banjir, kekeringan dan tanah longsor), serta memahami perannya dalam menyikapi berbagai fenomena dan dinamika yang terjadi di dalam DAS.

Prosiding Workshop ini memuat 20 judul materi yang dibahas dan rangkuman serta rumusan workshop yang merangkum keseluruhan dari hasil diskusi. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyaji, Panitia Penyelenggara, Penyunting Prosiding, serta pihak-pihak yang telah mendukung sampai selesainya kegiatan. Semoga Prosiding ini bermanfaat.

Page 5: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| iv |

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR……………………………………........ iii DAFTAR ISI………………………………………………...... iv PENGARAHAN

1. Laporan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Solo.......……........ ix 2. Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan ………….......... xv RANGKUMAN DAN RUMUSAN

3. Rangkuman Workshop “Peran Hutan Dan Kehutanan Dalam Meningkatkan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai......

4. Rumusan Workshop ….………………………………….......

1 11

BIDANG PERAN HUTAN DALAM PENGENDALIAN BENCANA ALAM

5. Peran Hutan Dalam Pengendalian Bencana Banjir-Kekeringan-Tanah Longsor: Identifikasi Masalah dan Teknik Pengendalian. ( Robert J. Kodoatie)..............................................

14

6. Hubungan Luas Tutupan Hutan terhadap Potensi Banjir dan Koefisien Limpasan di Beberapa DAS di Indonesia (Nana Mulyana, Cecep Kusmana, Kamaruddin Abdulah dan Lilik B. Prasetio).............................................................................................

41

7. Peran Hutan Dalam Pengendalian Tanah Longsor (Sukresno)………………............................................................. 55

8. Hutan sebagai Pengendali (Regulator) Puncak Banjir pada DAS (Syofyan Dt.Majo Kayo , Mohamad Arief Ilyas, Dedih Setiadi, Erna Satriana)………......................................................... 71

9. Tanah Longsor di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara: Bentuk Kerusakan di Wilayah Hilir DAS Asahan (Sanudin dan Bambang S. Antoko)…………….......................................... 91

BIDANG PERAN HUTAN SEBAGAI PEMASOK AIR DAN PENGENDALI KEKERINGAN

10. Peranan Vegetasi Hutan dalam Mengatur Pasokan Air (Daniel Murdyarso dan Sofyan Kurnianto)……………......... 102

11. Analisis Tingkat Kekeringan sbg Dasar Dalam Peng. DAS Yang Berhutan di DAS Progo (Sudibyakto)……...................... 110

12. Sumbangan Hutan Terhadap Hasil Air (Sigit Hardwinarto) 116 13. Nilai Dan Distribusi Ekonomi Pengelolaan Kawasan

Lindung Sebagai Pengatur Tata Air: Kasus Di Sub Das Brantas Hulu (Kirsfianti L. Ginoga, Sylviani dan Nurfatriani) 136

14. Neraca Air Di Dalam Hutan (Irfan Budi Pramono)……......... 144 15. Pengelolaan Hutan Pinus Untuk Konservasi Sumberdaya Air

(Sudarsono dan Purwanto)………………………...................

155 16. Pemilihan Jenis Pohon Untuk Membangun Hutan Dalam

Page 6: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| v |

Daerah Aliran Sungai (A. Syaffari Kosasih, Rina Bogidarmanti dan Nina Mindawati)…………..........................

161

17. Pengelolaan Hutan Lestari Sebagai Basis Peningkatan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (Paimin)………….. 176

BIDANG PERAN KELEMBAGAAN KEHUTANAN DALAM PENGELOLAAN DAS

18. Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Saeful Rachman)…………....................................................................... 186

19. Kelembagaan Pengelolaan DAS (Hendro Prahasto)…............. 207 20. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Air Dan Hasil Air

Dari Hutan (Purwanto)……...……………………................ 234 21. Peran Pemerintah Daerah Dalam Rehabilitasi Daerah Aliran

Sungai (Sri Puryono)…………………………….................... 251 22. Peran Kawasan Konservasi Di Jawa Tengah Dalam

Mendukung Pengelolaan DAS (Minto Basuki)…………....... 263 23. Aspek Sosial Ekonomi Dan Kelembagaan Daerah Aliran

Sungai Brantas (Purwanto dan Paimin)…………………....... 273 24. Pembentukan Forum DAS Dalam Upaya Peningkatan

Fungsi DAS Bagi Lingkungan (Wawan Halwany)…............... 289 LAMPIRAN Jadwal Acara 300 Daftar Peserta 302 Diskusi 305

Page 7: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| vi |

1. LAPORAN Kepala Balai Penelitian Kehutanan Solo

dalam Rangka Workshop “Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS” Yang terhormat :

Bapak Kepala Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam yang kami hormati.

Para undangan dan peserta Workshop “Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS’ yang berbahagia

Assalaamu’alaikum Warakhmatullahi Wabarakatuh

Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua

Sebagai umat beragama, pertama-tama dan utama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, karena atas rakhmat dan hidayahNya kita pada hari ini diberi kekuatan, kesehatan dan kesempatan sehingga dapat berkumpul dan hadir pada acara Workshop “Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS’ Disamping itu kami juga mengucapkan selamat datang di kota Solo yang indah ini bagi kawan-kawan peserta dari luar kota, semoga kota Solo dapat memberi inspirasi kita untuk berkarya lebih baik.

Bapak Kepala Pusat Penelitian yang kami hormati,

Pada kesempatan ini kami selaku penanggung jawab pelaksanaan sosialisasi mohon ijin untuk melaporkan hal-hal sebagai berikut :

Yang melatarbelakangi pelaksanaan workshop adalah akhir-akhir ini kita sering melihat banyaknya kejadian bencana alam banjir, tanah longsor dan kekeringan yang menimpa di beberapa wilayah di Indonesia. Peran kita sebagai instansi kehutanan dalam menanggulangi bencana alam dan tanah longsor merupakan keharusan sebagai bentuk penjabaran dan implementasi UU Nomor 41 Tahun 1999 khusunya pada Pasal 3 butir c.

Page 8: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| vii |

Hampir setiap kejadian banjir dan tanah longsor pihak kehutanan dituding bertanggung jawab atas kejadian tersebut karena kondisi hutan yang gundul dan kritis. Kita kesulitan untuk memberikan argumentasi sehingga selalu terpojok karena belum siap sajinya data dan informasi yang relevan serta kurangnya perhatian dari institusi kehutanan sendiri dari peran yang harus dimainkan dalam mensikapi masalah tersebut sejak dini.

Badan Litbang Kehutanan dalam hal ini Balai Penelitian Kehutanan Solo telah memiliki hasil penelitian Kajian Sistem Karakterisasi DAS yang diformulasikan untuk mendiagnosa kerentanan dan potensi sub DAS dari aspek banjir, kekeringan, kekritisan lahan, tanah longsor dan sosial ekonomi Sub DAS. Formula tersebut dapat membantu mengidentifikasi masalah Sub DAS dan mendiagnosa penyebab bencana banjir dan tanah longsor. Disamping itu hasil Rakorbanghut 2006 di Cisarua Bogor khususnya pada Fokus Pengelolaan DAS juga mengamanatkan pemasyarakatan hasil litbang yang berkaitan pengelolaan DAS.

Berkenaan hal tersebut kami mencoba mensosialisasikan hasil litbang tersebut kepada pengguna terutama jajaran kehutanan antara lain lingkup Ditjen RLPS (Balai Pengelolaan DAS), Ditjen PHKA (Balai KSDA dan Taman Nasional/Jawa-Bali) dengan peserta utama para pengambil kebijakan tingkat lapangan, juga dari Pusat Diklat Kehutanan, Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan, Perum Perhutani, dan instansi lainnya.

Sebagai informasi pada bulan Agustus 2006 di ruangan ini pula telah dilakukan Seminar “PEMANTAUAN DAN MITIGASI BENCANA ALAM BANJIR, TANAH LONGSOR DAN KEKERINGAN” yang melibatkan sebagian besar stakeholder yang menangani bencana alam banjir, kekeringan dan tanah longsor.

Maksud diselenggarakannya workshop “PERAN HUTAN DAN KEHUTANAN DALAM MENINGKATKAN DAYA DUKUNG DAS” ini memasyarakatkan hasil kajian berupa formula untuk mendiagnosa kerentanan dan potensi Sub DAS dari aspek banjir, kekeringan dan tanah longsor kepada jajaran kehutanan terutama pengambil kebijakan di lapangan terkait dengan pengelolaan DAS.

Sedangkan tujuannya adalah agar jajaran kehutanan tersebut mampu menjawab setiap masalah degradasi Sub DAS serta memahami peran dalam mensikapi berbagai fenomena alam yang terjadi.

Page 9: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| viii |

Pelaksanaan Worskhop selama 1 hari yaitu pada hari Kamis tanggal 22 Nopember 2007. Materi disajikan dalam 3 pleno yaitu pleno I menyampaikan bahasan “Peran Hutan dalam Pengendalian Bencana Alam” yang berisi 5 judul materi. Pleno II membahas “ Peran Hutan sebagai Pemasok Air dan Pengendali Banjir”, yang berisi 8 materi. Pleno III membahas “Peran Kelembagaan Kehutanan dalam Pengelolaan DAS” yang berisi 7 materi.

Selanjutnya kami selaku penanggung jawab pelaksanaan Workshop menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berpartisipasi, membantu dan mendukung penyelenggaraan acara ini.

Bapak Kepala Pusat Penelitian yang kami hormati,

Pada kesempatan yang berbahagia ini kami laporkan bahwa jumlah peserta yang diundang sebanyak 100 orang, sampai saat ini berdasarkan daftar hadir peserta telah memenuhi 100 orang.

Bapak Kepala Pusat Penelitian yang kami hormati,

Kami mohon dengan hormat Bapak Kepala Pusat Penelitian berkenan membuka secara resmi serta memberi sambutan pada acara Workshop ini

Demikian laporan kami, semoga Allah SWT memberi kita kekuatan, kesehatan dan perlindungan selama pelaksanaan Workshop dengan harapan semoga membawa manfaat.

Akhir kata kami ucapkan Wabillahi taufik wal hidayah, Wassalaamu’alaikum Warakhmatullahi Wabarakatuh. KEPALA BALAI, Ir. EDY SUBAGYO, MP NIP. 19600626 198703 1 001

Page 10: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| ix |

2. SAMBUTAN Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Departemen Kehutanan Dalam Workshop Dengan Tema :

“Peran Hutan dan Kehutanan Dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS”

Yang terhormat :

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Kepala BPK Solo Para undangan dan peserta Workshop yang berbahagia

Assalaamu’alaikum Warakhmatullahi Wabarakatuh Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua Sebagai hamba Allah yang selalu dalam genggamanNya, yang pertama dan utama marilah kita bersama-sama memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas kemurahan dan rakhmatNya, kita semua diberi kesehatan dan kesempatan sehingga bisa berkumpul dalam pertemuan pagi ini. Bapak, ibu para hadirin sekalian, Saya rasa akan lebih baik, jika acara Workshop ini dibuka lebih dulu sebelum saya memberikan sambutan lebih lanjut. Dengan mengucap “Bismillahirrahmannirohiim” acara “Workshop ini kami nyatakan “DIBUKA” secara resmi. Bapak, Ibu Hadirin Sekalian, Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa, baik manfaat ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya. Dinamika alam dan sosial budaya menuntut sistem penyelenggaraan pengelolaan yang memberikan manfaat secara seimbang dan berasaskan kelestarian (keberlanjutan), kerakyatan, berkeadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Dalam mencapai manfaat secara seimbang tersebut

Page 11: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| x |

maka praktek pengelolaan hutan tidak hanya berorientasi pada hasil kayu dan hasil hutan bukan kayu tetapi diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan, termasuk plasma nutfah dan jasa lingkungan, dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Bertumpu pada prinsip dasar pengelolaan hutan yang demikian maka Workshop yang diselenggarakan ini dengan tema “Peran Hutan dan Kehutanan Dalam Meningkatkan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS)” sangat relevan dalam mendukung keberhasilan pembangunan kehutanan Indonesia. Tema yang diusung dalam Workshop selaras dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, terutama pasal 3 yang salah satunya menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan bekelanjutan dengan “meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai (DAS)”. DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Melalui daur air (hidrologi) dalam unit DAS, hutan secara umum dipandang memiliki peran penting sebagai regulator tata air dari hulu sampai hilir, baik jumlah, mutu, maupun distribusinya. Namun demikian, komunitas vegetasi hutan ternyata tidak selalu memberikan nilai positif/menguntungkan terhadap lingkungan. Dalam kondisi alami tertentu justru tanaman hutan yang rapat bisa merupakan potensi pendorong timbulnya bencana kekeringan dan tanah longsor; demikian juga pada kondisi alami dengan lapisan tanah yang tipis diatas batuan padu dengan topografi terjal, tanaman hutan hanya sedikit bisa mengurangi bencana banjir. Peran hutan sebagai penyangga lingkungan demikian inilah yang perlu terus dikaji dan diteliti sehingga indikator tingkat keberhasilan penyelenggaraan kehutanan sebagai fungsi manajemen akan disesuaikan dengan karakteristik alaminya. Peran hutan secara menyeluruh demikian perlu difahami oleh para pemangku kawasan hutan dan para pihak sehingga penyelenggaraan kehutanan yang dilakukan selaras dengan tujuan seperti diamanatkan dalam UU No 41 Tahun 1999 seperti diatas.

Page 12: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| xi |

Para Hadirin Sekalian, (Peran Hutan Dalam DAS)

Sudah sejak lama difahami bahwa secara umum hutan memiliki peran penting dalam mengendalikan air hujan sehingga sumberdaya lahan dalam kawasan hutan dan sumberdaya air yang dihasilkan dapat terjaga kelestariannya. Namun berdasarkan hasil penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa hutan tidak selalu bisa berperan seperti yang umum fahami tersebut tetapi justru sebaliknya seperti penurunan potensi hasil air akibat evapotranspirasi berlebihan. Dengan berkembangnya fenomena dan pengetahuan kehutanan yang dinamis tersebut maka diperlukan pencermataan dan telaah secara kritis, obyektif, dan seksama sehingga diperoleh kebijakan penyelenggaraan kehutanan yang lebih rasional dan optimal baik secara ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Dukungan penelitian ke depan tidak bisa ditawar lagi untuk lebih diintesifkan sehingga kebijakan yang diambil selaras dengan kondisi obyektif lapangan. Upaya memahami fenomena hutan dari aspek ekologi tata air dan lahan merupakan salah satu bentuk penjabaran dari UU No 41 Tahun 1999. Pasal 17 ayat (2) mengamanatkan agar dalam pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi DAS. Lebih lanjut dalam pasal 18 disebutkan bahwa kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap DAS dan atau pulau harus dipertahankan minimal 30%. Angka 30% ini sering disalah artikan bahwa kebutuhan luas hutan hanya 30% sehingga kelebihan luas bisa dikonversi untuk penggunaan lain tanpa mempertimbangkan kondisi DAS seperti diamanatkan dalam pasal 17. Persentase luas dalam DAS menjadi beragam tergantung dari kondisi iklim (hujan), bentuk lahan, topografi, tanah, dan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Oleh karena itu optimalisasi luas hutan dalam satuan DAS perlu diteliti lebih lanjut dengan mempertimbangkan kondisi alami dan dinamika masyarakat sekitarnya.

Page 13: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| xii |

1. Hutan Sebagai Regulator Air

Disadari bahwa DAS merupakan cadangan dan pasokan air yang sangat dibutuhkan untuk irigasi, pertanian, industri, dan konsumsi rumah tangga. Kecukupan pasokan air sangat diharapkan dari kawasan hutan yang diharapkan bisa memberikan kecukupan baik jumlah, mutu, maupun kontinyuitasnya. Hutan memiliki kemampuan sebagai penahan air hujan yang jatuh di atasnya untuk disimpan di dalam bumi yang kemudian secara alami dialirkan sepanjang tahun melalui aliran bawah permukaan (sub surface flow). Namun hasil air yang demikian tidak bisa berlaku pada seluruh ruang dan lingkungan. Pemilihan jenis tanaman rakus air yang dikembangkan pada daerah dengan keterbatasan iklim dan tanah akan berakibat pada defisit hasil air. Hasil air (jumlah, mutu, dan kontinyuitas) dari kawasan hutan tidak hanya tergantung vegetasi hutannya tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor alam lainnya, seperti jenis batuan (geologi), tanah tanah, lereng, dan iklim. Oleh karena itu pemilihan jenis tenaman hutan, terutama yang eksotik, harus dilakukan secara cermat agar tidak menimbulkan penurunan potensi hasil air. Analisis neraca air pada setiap jenis tanaman hutan sangat diperlukan sehingga dalam pemilihannya sesuai dengan kondisi lapangan setempat. Sumbangan air yang cukup besar dari kawasan hutan masih jarang dinilai secara ekonomis dalam sistem pengelolaan hutan dalam satuan DAS. Hal ini menjadi tidak adil apabila ternyata air yang dihasilkan dimanfaatkan secara komersial, seperti untuk industri air minum, konsumsi hotel, tenaga listrik, dll. Memperhatikan fakta lapangan tersebut perlu adanya pencermatan dan pemilahan nilai manfaat antara pemamfaatan publik dan komesial.

2. Hutan dan Bencana Alam

Dengan pemahaman umum tentang peran hutan sebagai pengendali air hujan, maka setiap terjadi bencana banjir, tanah longsor dan sedimentasi di daerah hilir, kawasan hutan selalu dituding sebagai sumber penyebab utamanya karena adanya deforestasi. Padahal tudingan itu tidak semuanya benar, sedangkan untuk memberikan klarifikasi proses secara rasional masih terkendala oleh pemahaman yang terbatas.

Kejadian banjir perlu dipilah antara potensi pasokan air banjir dan daerah yang rawan kebanjiran. Hutan berperan dalam mengendalikan

Page 14: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| xiii |

pasokan air banjir, tetapi besarnya pasokan air banjir tidak hanya tergantung dari komunitas tanaman hutannya (jenis, kerapatan, umur) tetapi juga tergantung dari hujan (intensitas dan durasi), morfometri DAS, lereng, jenis batuan, dan tanah. Sementara itu daerah yang secara alami rentan kebanjiran sering kurang terpelihara sistem drainasenya, seperti tanggul sungai kurang terpelihara, palung sungai yang menyempit karena tekanan pemukiman dan sarana liar lainnya.

Bencana tanah longsor akhir-akhir ini sering terjadi dan menelan kerugian yang cukup besar, baik harta benda maupun jiwa. Pendapat umum menyebutkan bahwa tanaman hutan merupakan teknik pengendalian yang paling ampuh, sehingga setiap terjadi tanah longsor dianggap sebagai dampak deforestasi. Padahal tanaman hutan hanya bisa berperan secara efektif apabila sistem perakaran mampu menembus dan terikat dengan batuan sehingga massa tanah dapat tertahan. Oleh karena itu faktor alami seperti jenis batuan, kedalaman tanah, dan lereng harus diperhatikan.

Proses banjir dan tanah longsor dapat terjadi secara simultan sehingga dampak yang ditimbulkan sangat dahsyat. Seperti peristiwa banjir bandang di Pacet dan Jember, Jawa Timur, serta di Bohorok, Sumatera Utara, ternyata banjir yang terjadi bukan banjir normal karena deforestasi atau illegal logging tetapi merupakan akumulasi dari aliran air banjir normal ditambah jebolnya air tampungan yang besar dari palung sungai yang tersumbat oleh tanah longsor dari tebing sungai. Memperhatikan adanya multi-proses tanah longsor dan banjir tersebut maka dalam menghimpun data dan informasi tidak saja berkaitan dengan karakteristik hidrometeorologi dan karakteristik DAS-nya tetapi juga faktor kekecualian lain yang terjadi di lapangan, seperti penyumbatan palung sungai oleh tanah longsor atau material hutan lainnya.

Fenomena proses bencana ini perlu diteliti lebih intensif sehingga diperoleh metode penanganan yang lebih tepat sehingga kerugian bisa ditekan serendah mungkin, melalui upaya preventif dan peringatan dini.

Para Hadirin Sekalian, (Peran Para Pihak Kehutanan) Berkaitan dengan tata air dalam DAS, banyak pihak terkait baik sebagai pemelihara maupun sebagai sebagai pemanfaat pasokan air dari kawasan hutan. Hubungan antar pihak perlu ditata secara cermat sehingga hak dan kewajibannya secara jelas dapat difahami dan tata

Page 15: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| xiv |

hubungan kerja dapat dibangun secara sinergis. Wilayah DAS tersusun dari berbagai penggunaan lahan seperti hutan, perkebunan, pertanian, pemukiman, tambang, dan industri, dll. Masing-masing penggunaan lahan bisa berfungsi sebagai pemelihara dan atau sebagai pemanfaat sumberdaya air. Namun demikian belum bisa diharapkan setiap penyelenggara kawasan/lahan memiliki kesadaran kewajiban dalam pelentarian daya dukung DAS. Secara internal kehutanan, hutan sendiri terdiri dari fungsi-fungsi produksi, lindung, dan konservasi dimana masing-masing fungsi berbeda institusi penyelenggara atau pemangkunya. Padahal Kawasan hutan produksi dan hutan lindung di bawah pemangkuan Pengusahaan Hutan (luar Jawa) dan Perum Perhutani (Jawa dan sedikit luar Jawa), sedangkan pemangkuan kawasan konsevasi (taman nasional, suaka marga satwa, taman buru, dll) di bawah DitJen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA).

Peningkatan peran para pihak kehutanan, terutama para penyelenggara kehutanan, dalam meningkatakan pasokan air, menanggulangi bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor sebenarnya merupakan keharusan sebagai salah satu bentuk penjabaran dan implementasi dari UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada Pasal 3 butir (c) seperti disebutkan sebelumnya. Dengan demikian tidak terlalu salah tuduhan bahwa apabila daya dukung DAS rendah, seperti timbulnya banjir, kekeringan, dan tanah longsor merupakan cerminan penyelenggaraan kehutanan yang kurang benar; meskipun banyak kasus tidak demikian adanya.

Kegamangan peran setiap institusi kehutanan dalam mensikapi bencana banjir dan tanah longsor, terutama dalam menyiapkan data dan informasi, karena :

1. Keterbatasan dalam pemahaman dasar pengetahuan banjir dan tanah longsor sehingga dalam mendiagnose sebab-akibat sering menggunakan rumusan umum yang bersifat tunggal, padahal kenyataan lapangan bersifat multi-proses.

2. Kekakuan atau kurang lenturnya penjabaran tugas pokok dan fungsi institusi dalam mensikapi masalah banjir , kekeringaan, dan tanah longsor

3. Lemahnya koordinasi sistem wilayah kerja dengan wilayah permasalahan yang bersifat daerah tangkapan air (DAS) sehingga melemahkan koordinasi antar institusi dalam memformulasikan masalah dalam suatu wilayah kerja.

Page 16: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| xv |

Agar jajaran kehutanan mampu menjawab setiap masalah banjir dan tanah longsor tersebut secara jitu dan cepat maka kelemahan dan kekurangan peran institusi kehutanan perlu ditingkatkan. Para Hadirin Yang Berbahagia, Kami mengharapkan agar workshop ini bisa menghasilkan dua hal pokok yakni :

(1) Sumbangan pemikiran terhadap sistem penyelenggaraan kehutanan untuk bisa meningkatkan daya dukung DAS.

(2) Konsep dasar penelitian dan pengembangan kehutanan yang berorientasi peningkatan daya dukung DAS.

Sumbangan pemikiran tersebut bisa mendorong para pihak penyelenggara kehutanan agar memahami dan memiliki komitmen penyelenggaraan secara sinergis, konsekuen terhadap komitmen yang telah disusun, sehingga memiliki percaya diri (konfiden) terhadap apa yang dilakukan. Sedangkan konsep dasar penelitian yang dihasilkan akan digunakan sebagai acuan Badan Litbang Kehutanan dalam penyelenggaraan penelitian ke depan. Kami percaya bahwa yang hadir disini cukup beragam, baik dari kalangan akademisi yang mumpuni dan berpengalaman, praktisi yang cukup kenyang asam garamnya penyelenggaraan kehutanan, serta para aktivis dan pemerhati kehutanan dan DAS yang sarat pengalaman lapangan, sehingga harapan kami tersebut bisa terwujud. Semoga Allah swt memberkati dan meridhoi. Amin. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Ir. WAHJUDI WARDOYO, M.Sc.

NIP. 080035208

Page 17: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| xvi |

Page 18: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 1 |

3. RANGKUMAN WORSHOP “PERAN HUTAN DAN KEHUTANAN DALAM

MENINGKATKAN DAYA DUKUNG DAERAH ALIRAN SUNGAI”

Oleh : Paimin

I. PENDAHULUAN

Pengelolaan sumberdaya hutan, yang merupakan modal pembangunan nasional bagi kehidupan dan penghidupan bangsa, diselenggarakan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan (Undang Undang No. 41 Tahun 1999, pasal 2). Dalam mencapai manfaat secara seimbang tersebut maka praktek pengelolaan hutan tidak hanya berorientasi pada hasil kayu dan hasil hutan bukan kayu tetapi diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya hutan, termasuk plasma nuftah dan jasa lingkungan, dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Bertumpu pada amanat tersebut maka perlu telaah peran hutan dalam meningkatkan daya dukung dukung daerah aliran sungai (DAS) seperti dituangkan dalam Undang Undang (UU) No 41 tahun 1999 pasal 3, amar (c) bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan ”meningkatkan daya dukung DAS”. Peran hutan yang dimainkan dalam meningkatkan daya dukung DAS sangat dipengaruhi oleh penyelenggara kehutanannya itu sendiri dalam melakukan pengelolaan. Amanat ini perlu dijabarkan secara operasional sehingga para penyelenggara kehutanan bisa memahami lebih jelas dalam melakukan pengelolaan hutan secara lestari, baik aspek ekonomi, ekologi maupun sosial budaya.

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu (UU No 41 Tahun 1999). Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Hutan secara umum dipandang sebagai satuan komplek dari tanah, tegakan, akar, dan seresah yang bertindak seperti spon yang menyerap air hujan pada musim penghujan dan melepas secara pelan sebagai aliran masuk ke dalam tanah (infiltrasi) dan aliran di atas permukaan

Page 19: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 2 |

tanah. Air yang masuk ke dalam tanah diharapkan dapat disimpan dan kemudian secara ajeg (berkesinambungan) dapat dialirkan melalui bawah permukaan tanah yang kemudian muncul di permukaan tanah sebagai mata air maupun rembesan untuk pasokan air pada musim kemarau.

Pasal 47, UU No 41 tahun 1999, menerangkan bahwa perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk: (a) mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit, dan (b) mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Pasal ini merupakan dasar tumpuan Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Pasal 16 menyebutkan bahwa kerusakan yang disebabkan oleh daya-daya alam meliputi letusan gunung, tanah longsor, banjir, kekeringan, badai, dan gempa. Dalam PP No 6 Tahun 2007 pasal 25 dan 33 dinyatakan bahwa sebagian pemanfaatan dari jasa lingkungan hutan dapat dilakukan melalui: (1) pemanfaatan jasa aliran air, dan (2) pemanfaatan air. Air mengalir secara alami melalui sistem sungai, melintasi berbagai pola penggunaan lahan dengan pemangku lahan yang beragam, sehingga dapat dikuantifikasi dan terukur dalam sistem DAS. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa peran hutan dalam mengendalikan siklus air dalam DAS sangat beragaman [5, 6, 8, 10, 11, 12, 14,15, 17]1).

Bertolak dari peraturan perundangan tersebut serta hasil penelitian yang telah banyak berkembang, maka jabaran dan pemahaman tentang peran hutan dan kehutanan perlu dibedah melalui workshop “Peran Hutan dan Kehutanan Dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS” dengan bahasan pokok : (1) Peran Hutan Dalam Pengendalian Bencana Alam, (2) Peran Hutan Dalam Menyumbang Pasokan Air, dan (3) dan Peran Kelembagaan Kehutanan Dalam Pengelolaan DAS, untuk kemudian dijadikan pijakan dalam menyusun “Riset Hutan dan Kehutanan Dalam Pengelolaan DAS”. Diharapkan workshop ini bisa menghasilkan dua hal pokok yakni : (1) sumbangan pemikiran terhadap sistem penyelenggaraan kehutanan untuk bisa meningkatkan daya dukung

1) Angka-angka dalam tanda kurawal [ ] pada halaman ini dan

selanjutnya menunjukkan sumber acuan sesuai dengan nomor pidato, sambutan, dan makalah dalam prosiding ini.

Page 20: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 3 |

DAS, dan (2) konsep dasar penelitian dan pengembangan kehutanan dalam peningkatan daya dukung DAS [2].

II. PERAN HUTAN DALAM PENGENDALIAN BENCANA ALAM

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah langsor [5]. Bencana banjir dan tanah longsor lebih mudah dianalisis dan difahami melalui satuan wilayah DAS, karena dampak yang ditimbulkan tidak hanya bersifat setempat (on site) tetapi juga pada daerah hilirnya (off site) dengan mengikuti proses alami aliran air. Hutan, sebagai faktor yang bisa dipengaruhi atau diintervensi oleh manusia melalui sistem pengelolaan yang diterapkan (manageable), memiliki peran sangat penting dalam pengendalian bencana banjir maupun tanah longsor. Namun demikian kemampuan hutan dalam mengendalikan siklus atau daur air sebagai salah satu penyebab bencana sangat beragam.

Bencana Banjir Hutan bisa menahan limpasan permukaan (surface run-off),

sehingga banjir di musim penghujan berkurang dan kekeringan waktu musim kemarau dapat dihindari [5, 6, 8, 12]. Peran hutan dalam mengendalikan banjir ditunjukkan oleh nisbah/rasio limpasan permukaan dengan hujan. Hasil studi di Sub DAS Cibangban (Garut), Cikawung (Garut), Gumbasa (Palu), Manguliling (Toraja), Cilebak (Bandung), dan aplikasi model ANSWERS di Sub DAS Cikapundung-Gandok, menunjukkan bahwa semakin luas hutan dalam DAS semakin kecil banjir terjadi, demikian sebaliknya semakin sempit luas hutan dalam DAS banjir semakin besar [6, 8].

Pengendalian bencana banjir dapat dilakukan dengan prinsip dasar : (1) mengurangi pasokan air banjir dari daerah tangkapan airnnya, dan (2) meningkatkan daya tampung palung sungai. Pengurangan debit banjir dilakukan dengan merehabilitasi lahan kritis, baik secara vegetatif maupun teknik sipil [8, 16]. Pembangunan waduk kecil dan penterasering an dengan berbagai kombinasi dapat menurunkan puncak banjir berkisar dari 34% s/d 50% [8]. Jenis pohon yang digunakan untuk memulihkan lahan kritis atau terdegradasi, secara umum harus memenuhi persyaratan : (1) termasuk jenis cepat tumbuh, (2) bertajuk lebat, (3) sistem perakaran melebar, kuat, dan dalam, (4) mudah bertunas, (5) mampu tumbuh di tempat terbuka dengan penyinaran penuh (jenis pioner, intoleran, beriap besar), (6) dapat bersimbiose dengan jasad renik, (7) biji atau

Page 21: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 4 |

bagian vegetatif untuk pembiakan mudah didapat [16]. Peningkatan daya tampung sungai dilakukan pada daerah yang rentan (rawan) terkena banjir (kebanjiran) seperti pembuatan dan pemeliharaan tanggul sungai, normalisasi sungai, sudetan (by pass), floodway, dan lainnya [5].

Bencana Tanah Longsor Perubahan tata guna lahan untuk suatu peruntukan industri

maupun pemukiman dapat mengakibatkan kondisi tanah yang tadinya stabil menjadi tidak stabil, mudah bergerak atau mengembang karena perubahan struktur dan kondisi tanah, sehingga mengakibatkan terjadinya longsor [5]. Seperti tanah longsor yang terjadi di Kabupaten Asahan selain karena faktor curah hujan yang tinggi juga disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi penggunaan lahan lain seperti perkebunan [9]. Akan tetapi peran vegetasi hutan dalam pengendalikan tanah longsor, khususnya pengendalian stabilitas lereng, dapat berpengaruh positip (menguntungkan) dan atau negatip (merugikan) [7]. Peran positipnya ditunjukkan oleh kemampuan vegetasi dalam meningkatkan kuat geser tanah dan menurunkan tegangan geser tanah. Peran negatipnya ditunjukkan oleh pengaruh vegetasi dalam menurunkan kuat geser tanah dan meningkatkan tegangan geser tanah. Kemampuan vegetasi hutan dalam mempengaruhi stabilitas lereng, selain berat biomassnya juga bentuk sistem perakaran, kedalaman akar, distribusi/sebaran perakaran, susunan akar, dan kekuatan akar. Vegetasi hanya merupakan salah satu faktor penyebab tanah longsor dari faktor lainnya yakni parameter hidraulik, karakteristik material dasar, karakteristik tebing, aliran bawah tanah (subsurface flow), gelombang angin, binatang, dan manusia [5].

Teknik mengendalikan daerah rawan bencana tanah longsor dapat dilakukan secara teknik sipil maupun vegetatif. Namun demikian data terkait jenis-jenis vegetasi yang sesuai untuk pengendalian lereng rawan longsor di Indonesia belum banyak tersedia [7]. Perlu diketahui bahwa teknik pengendalian tanah longsor tidak sama dengan teknik pengendalian lahan kritis sebagai mitigasi banjir.

III. PERAN HUTAN SEBAGAI PEMASOK AIR DAN

PENGENDALI KEKERINGAN

Kebutuhan air dari waktu ke waktu terus bertambah seiring dengan pertambahan penduduk, baik untuk hidup maupun kehidupannya. Sumber air utama adalah curah hujan yang selalu bergerak secara dinamis mengikuti proses daur hidrologi atau air

Page 22: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 5 |

(hydrologic cycle). Hutan merupakan salah satu unsur pengendali daur hidrologi, baik sebagai pengguna air untuk proses kehidupannya (transpirasi) maupun sebagai sistem lingkungan yang mempengaruhi proses daur air seperti intersepsi, aliran batang (stem flow), curahan tajuk (throughfall), limpasan (permukaan dan bawah permukaan), evaporasi, dan simpanan air dalam tanah (bumi). Kebutuhan air yang diharapkan dari hutan oleh manusia adalah hasil air (water yield) yang lestari keluar dari hutan, baik kelestraian jumlah, mutu, dan kontinyuitas. Oleh karena itu melalui satuan DAS perlu dikuantifikasi masukan (inputs), keluaran (outputs), dan proses dari air dalam hutan yang tersusun dalam neraca air hutan. Dari neraca air di dalam hutan dapat diketahui proses-proses hidrologi di dalam hutan sehingga fungsi hutan sebagai tata air akan lebih mudah dipahami [10, 14]. Analisis kebutuhan (demand) dan pasokan (supply) air sangat perlu untuk memperoleh keamanan air sehingga resiko kekeringan dapat dikurangi.

Pasokan Air dari Hutan Hutan dipandang sebagai pemasok air secara lestari, namun

beberapa penelitian dan telaah menunjukkan hasil yang beragaman [10, 12, 14, 15, 17]. Hasil air yang keluar dari kawasan hutan relatif beragam, tergantung kondisi alami setempat seperti faktor geografis, biogeofisik dan iklim serta sistem pengelolaan yang diterapkanan [12]. Dengan menggunakan analisis neraca air dalam hutan dapat diketahui proses dan nilai atau besarnya komponen siklus hidrologi/air di dalam hutan sehingga fungsi hutan sebagai tata air akan lebih mudah dipahami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya intersepsi sekitar 15 % dari total curah hujan, sedangkan curahan tajuk (throughfall) dan aliran batang (stemflow) masing-masing 79 % dan 1 % [14]. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hutan tidak menambah aliran sungai (debit), tetapi justru menguranginya karena tingkat evapotranspirasinya tinggi [10, 15]. Pengaruh hutan sangat ditentukan skala penutupan lahannya namun alih-guna lahan, khususnya pengurangan penutupan hutan hingga 15 persen, tidak memberikan pengaruh yang berarti tehadap pasokan air [10].

Hutan dengan tanaman pinus menggunakan air untuk evapotranspirasi sebesar 1.353 mm/tahun lebih tinggi dibandingkan dengan hutan alam yang hanya 908 mm/tahun ,dan tanaman semusim 610 mm/tahun [15]. Oleh karena itu penanaman hutan jenis pinus diarahkan pada daerah yang mempunyai curah hujan lebih dari 2.000 mm/tahun. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa evapotranspirasi dari Acacia mangium sebesar 1495 mm atau 45 % dari total curah hujan tahunan, evapotranspirasi dari Agathis damara sebesar 1070 mm atau 22 % dari hujan [14]. Penelitian di wilayah

Page 23: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 6 |

Kalimantan Timur menunjukkan bahwa hasil (pasokan) air dari DAS berhutan, yang diukur dari nilai nisbah debit maksimum dan debit mínimum (koefisien rejim sungai), memiliki nilai dari yang baik sampai buruk secara berurutan adalah kawasan Hutan Lindung, Hutan Alam Produksi (HPH), Pemasok Air Waduk, Hutan Tanaman Industri (HTI) [12].

Potensi air dari kawasan hutan tidak hanya dari mata air hasil aíran bawah permukaan, tetapi juga air yang tertampung sebagai simpanan permukaan seperti danau dalam kawasan hutan. Di Jawa Tengah potensi air danau ini banyak terdapat di kawasan hutan cagar alam [22].

Walaupun peran hutan dalam memeberikan pasokan air sangat beragam, tetapi hutan dapat mengatur fluktuasi aliran sungai karena peranannya dalam mengatur limpasan dan infiltrasi [10], sehingga dalam analisis pasokan air dapat memberikan kepastian besarnya jumlah.

Pasokan air dari hutan dapat dikuantifikasi nilai ekonominya [13]. Agar diperoleh kelestarian pasokan air dari lingkungan hutan perlu pengalokasian kembali nilai lingkungan yang diperoleh dari penghitungan tarif normal untuk masing-masing pemanfaatan sumberdaya air kepada pengelola kawasan hutan sebagai bentuk cost benefit sharing di antara penyedia dan penerima manfaat hidrologis hutan. Upaya konkret cost benefit sharing dapat berupa peningkatan tarif pemanfaatan sumberdaya air sehingga mencerminkan internalisasi eksternalitas dimana penerimaan dari peningkatan tarif tersebut dikembalikan ke pengelolaan hutan dalam bentuk realokasi anggaran pemerintah untuk merehabilitasi dan memelihara lingkungan. Jika peningkatan tarif tidak mungkin dilaksanakan adalah dengan membatasi penggunaan (kuota) di tingkat konsumen akhir.

Becana Kekeringan Kekeringan dapat dipilah dalam dua definisi yaitu suatu

periode tanpa air hujan yang cukup dan suatu periode kelangkaan air [5]. Kekeringan karena ketidak-cukupan air hujan dapat disebut kekeringan secara meteorologis atau klimatologis yakni sebagai suatu interval waktu dimana suplai air hujan yang jatuh/turun aktual lebih pendek dibandingkan suplai air klimatologis estimasi normal. Definisi kedua, kekeringan dapat dilihat dari aspek kekeringan hidrologi, kekeringan pertanian, dan kekeringan sosial-ekonomi. Kekeringan pertanian sebagai suatu periode ketika air tanah tidak cukup memenuhi kebutuhan air tanaman sehingga pertumbuhannya tetap, bahkan tanaman mati. Kekeringan hidrologis adalah suatu periode dimana aliran sungainya di bawah normal, atau untuk waduk bila air tampungannya sangat sedikit atau habis. Kekeringan sosial ekonomi

Page 24: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 7 |

adalah hasil proses fisik yang terkait dengan aktivitas manusia yang terkena dampak kekeringan.

Untuk menghubungkan aspek-aspek kebutuhan dan pasokan dapat digunakan nilai Indeks Kekeringan, walaupun banyak formula untuk penetapan nilai tersebut [5, 11], sehingga daerah rawan kekeringan dapat dipetakan. Studi pemetaan daerah rawan kekeringan yang dilakukan di DAS Progo menunjukkan bahwa secara umum semaikn ke hilir tingkat kerawanan kekeringan semakin tinggi [11].

Kekeringan muncul karena beberapa faktor antara lain berkurangnya curah hujan, ketidakmampuan jenis tanah menahan air dalam jumlah yang cukup untuk menutup kebutuhan evapotranspirasi. Mitigasi kekeringan dapat dilakukan dengan: (1) Efesiensi Penggunaan (Penghematan) Air, (2) Pengelolaan Sumber Daya Air secara Efektif, (3) Pemanfaatan Simpanan Air Embung dan Waduk Secara Selektif dan Efektif, (4) Penyesuaian Pola dan Tata Tanam, (5) Kegiatan Yang Mendukung Kelestarian Alam, (6) Analisis Pengelolaan Sumber Daya Air [5, 11]. Pengenalan peluang waktu terjadinya kekeringan sangat diperlukan sehingga upaya mitigasi dapat dilakukan secara efektif dan efisien, seperti di Jawa umumnya terjadi pada musim kemarau, dimulai bulan Mei dan berakhir Oktober dengan puncak kekeringan terjadi di bulan Agustus dan September.

IV. PERAN KELEMBAGAAN KEHUTANAN DALAM

PENGELOLAAN DAS

Sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu terbangun dalam sistem kelembagaan. Pengertian lembaga mencakup aturan main, etika, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau suatu sistem. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa institusi atau kelembagaan didominasi oleh unsur-unsur aturan, tingkah laku atau kode etik, norma, hukum dan faktor pengikat lainnya antar anggota masyarakat yang membuat orang saling mendukung dan bisa berproduksi atau menghasilkan sesuatu karena ada keamanan, jaminan akan penguasaan atas sumber daya alam yang didukung oleh peraturan dan penegakan hukum serta insentif untuk mentaati aturan atau menjalankan institusi. Kelembagaan (institusi) bisa berkembang baik jika ada infrastruktur kelembagaan, ada penataan kelembagaan dan mekanisme kelembagaan [21].

Wilayah DAS tersusun dari berbagai penggunaan lahan seperti sawah, tegal (lahan kering), perkebunan, pemukiman, hutan

Page 25: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 8 |

dan penggunaan lainnya, dimana setiap penggunaan lahan berbeda pemangku dan sistem pengelolaannya [17]. Pengembangan kelembagaan dalam pengelolaan DAS sangat sulit mengingat kompleksnya komponen-komponen dalam pengembangannya seperti aspek ekologi, teknologi, sistem produksi pertanian, pengelolaan hutan, sosial, ekonomi dan politik. Terlepas dari kompleksitas permasalahan yang ada, kelembagaan di Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pengelolaan DAS tidak terlepas dari komponen yang bertanggung jawab dalam pengelolaan DAS pada masing-masing wilayah, utamanya kelembagaan Pertanian dan Kehutanan, Penataan Ruang dan Wilayah, Kelautan dan Perikanan, Lingkungan Hidup, dan juga kelembagaan administratif [21]. Oleh karena itu pengelolaan DAS harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan semua pemangku kepentingan baik unsur pemerintah, swasta maupun masyarakat mulai dari daerah hulu sampai daerah hilir DAS. Untuk mewujudkan itu diperlukan pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS sehingga memungkinkan terjadinya koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinerji (KISS) antar pemangku kepentingan dengan pengelolaan sumberdaya dalam DAS [18]. Koordinasi tidak hanya menyangkut kesepakatan dalam satu kerjasama yang operasional, tetapi juga koordinasi dalam pembuatan kebijakan sehingga menghasilkan kebijakan yang sistematis dan tidak berbenturan satu dengan yang lain serta sinkronisasi pengelolaan sumberdaya DAS, tanpa mengganggu target sektoral masing-masing [19]. Dari studi di DAS Brantas menunjukkan bahwa terdapat beberapa institusi sebagai perencana tetapi koordinasi satu dengan lainnya lemah, implementator terdiri berbagai Dinas Tingkat II dan UPT Pemerintah Pusat, sedangkan monitoring dan evaluasi belum dilakukan untuk seluruh DAS [23].

Sektor kehutanan melalui Balai Pengelolaan DAS di daerah, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan yang cukup berperan dalam pengelolaan DAS, telah menginisiasi dan memfasilitasi pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS di berbagai daerah dengan nama ”Forum DAS”. Akan tetapi forum-forum DAS yang ada tersebut masih harus ditingkatkan kapasitas dan perannya sehingga bisa berfungsi sebagaimana yang diharapkan [18]. Studi proses pembentukan Forum DAS di Kalimantan Selatan dengnan menggunakan analisis SWOT diperoleh hasil : (1) Kekuatan - Forum DAS dibentuk atas Partisipasi masyarakat, Kondisi DAS yang rusak, Ketersediaan Sumber Daya Manusia, Legalisasi forum DAS, (2) Kelemahan - Keterlibatan masyarakat hulu kecil, DAS di Kalimantan Selatan meliputi dua propinsi, Kurangnya sosialisasi, Sumber Dana, (3) Peluang - Isu bencana dan adanya nilai

Page 26: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 9 |

jual/kompensasi, dan (4) Ancaman - Paradigma otonomi sempit dan lemahnya koordinasi [24].

Dalam pengelolaan sumberdaya air dalam suatu DAS banyak lembaga pengelola kawasan yang berfungsi sebagai pengatur tata air, pengelola sungai dan pendistribusi air dan pemanfaat air tetapi koordinasinya masih lemah. Sebagian besar masyarakat masih memiliki pandangan bahwa air dan sumberdaya air merupakan barang publik, sementara itu masyarakat pemelihara dan pelestarinya tidak memperoleh kompensasi yang sepadan. Demikian juga kesadaran masyarakat tentang banjir yang berasal dari suatu kawasan yang dipangkunya masih lemah [20].

V. RISET HUTAN DAN KEHUTANAN DALAM

PENGELOLAAN DAS

A. Litbang Kehutanan Dalam Mitigasi Bencana Banjir dan Tanah Longsor

1. Perlu adanya penelitian yang berkesinambungan tentang peran hutan terhadap banjir pada berbagai keragaman sifat alami DAS seperti batuan (geologi), tanah, topografi, morfometri, dan pola hujan.

2. Perubahan iklim global tehadap bencana banjir, dan tanah longsor, sebagai bsis upaya mitigasi bencana.

3. Perlu pengembangan modeling hidrologi dalam mempelajari pengaruh hutan dan banjir dengan memperhatikan aspek spatial dan temporal.

4. Efektivitas tanaman hutan dalam pengendalian tanah longsor, yang meliputi jenis, sifat-sifat tanaman terhadap pengendalian longsor, teknik silvikultur (termasuk jarak tanam pada berbagai posisi lereng), yang diaplikasikan pada berbagai kondisi alami geologi (batuan), tanah, lereng, dan hujan.

5. Hasil penelitian perlu disosialisasikan sehingga pemahaman mitos hutan bisa lebih dijabarkan secara obyektif rasional.

B. Litbang Hasil Air dari Hutan dan Kekeringan

1. Penelitian yang berkaitan dengan peran hutan terhadap hasil air masih relatif sedikit dan hasil yang diperoleh masih sengit diperdebatkan, sehingga ke depan sangat perlu dilakukan penelitian dan pengembangan (litbang). Di Indonesia, hutan terbagi dalam berbagai fungsi (produksi, lindung, dan

Page 27: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 10 |

konservasi) dan sistem pengelolaan dan berada di atas kondisi alami (elevasi, iklim/hujan, bentuk lahan, batuan, topografi, tanah) yang sangat beragam. Interaksi berbagai fungsi hutan, sistem pengelolaan, jenis tanaman, dan kondisi alami, akan memerlukan litbang yang sangat luas untuk memperoleh hasil air yang optimal dan lestari. Hasil ini juga akan bisa menjawab luas hutan optimal pada suatu wilayah tertentu.

2. Pengembangan modeling hidrologi akan lebih bisa membantu untuk melakukan estimasi pasokan air dari hutan serta estimasi atau prakiraan kemungkinan terjadinya bencana kekeringan.

3. Perlu pengembangan formulasi kekeringan agar bencana kekeringan dapat diprakirakan secara lebih akurat.

4. Perubahan iklim global terhadap dinamika neraca air dari kawasan hutan.

5. Analisis ekonomi pasokan air dari hutan (publik, komersial, dan semi komersial) maupun multifungsi hutan lainnya sebagai dasar dalam internalisasi eksternalitas. Melalui analisis demikian dapat diformulasikan benefit cost sharing hulu – hilir.

6. Litbang dalam penetapan dan klasifikasi penilaian kriteria kelestarian ekologi tata air pada pengelolaan hutan lestari, karena keberagaman jenis batuan (geologi), tanah, lereng, dan iklim, serta fungsi hutannya sehingga tidak rasional apabila hanya menggunakan satu nilai.

C. Litbang Kelembagaan Kehutanan Dalam Pengelolaan DAS

1. Kajian kelembagaan pemangkuan kawasan hutan sehingga diperoleh keselarasan tugas pokok dan fungsi pengelolaan hutan untuk meningkatkan daya dukung DAS.

2. Kajian peraturan perundangan yang terkait dengan hutan dan DAS sebagai dasar penyusunan sistem kelembagaan yang selaras berisikan organisasi, aturan main, etika, kode etik, sikap, tingkah laku, dan sistem pendanaan.

3. Mengkaji kapasitas, peran dan posisi lembaga pemerintah dan non pemerintah terlkait dalam pengelolaan DAS, dimana kelembagaan kehutanan merupakan bagian dari sistem kelembagaan pengelolaan DAS, sebagai basis formulasi rancang bangun alternatif kelembagaan pengelolaan DAS yang sesuai dengan karakteristik biofisk, sosek dan permasalahan DAS setempat.

4. Kajian kelembagaan internasional untuk mengatasi masalah perubahan iklim global.

Page 28: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 11 |

4. RUMUSAN WORKSHOP

“PERAN HUTAN DAN KEHUTANAN DALAM MENINGKATKAN DAYA DUKUNG DAS”

(22 Nopember 2007) Memperhatikan arahan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan serta hasil diskusi dan pemikiran para pemakalah, dapat diambil catatan-catatan penting sebagai berikut: A. Pemikiran terhadap sistem penyelenggaraan kehutanan

untuk bisa meningkatkan daya dukung DAS.

1. Keberhasilan penyelenggaraan kehutanan lestari meliputi aspek lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi. Aspek lingkungan tata air dapat dievalusi melalui pendekatan DAS yang dicerminkan dari kelestarian sumberdaya lahan di dalam DAS (degradasi lahan rendah) dan kelestarian sumberdaya air di dalam maupun yang keluar dari kawasan hutan dalam DAS seperti pasokan air, baik untuk kebutuhan sosial/publik maupun komersial, pengendali sedimen, pengendali pencemaran, banjir, dan kekeringan. Dalam menjaga keseimbangan siklus hidrologi, hubungan hutan, banjir, kekeringan & longsor tidak sederhana, perlu penjelasan yang sederhana agar dapat dipahami & dimengerti dengan mudah.

2. Prinsip dasar mitigasi Banjir = berusahalah menahan air selama-lamanya; sedangkan Longsor = buanglah air secepat-cepatnya. Berdasar prisip tersebut hutan merupakan penahan terbesar dibandingkan jenis penutupan lahan lainnya; sebaliknya untuk mengendalikan tanah longsor tanaman hutan bersifat selektif, bukan terapi mutlak.

3. Perilaku perubahan iklim global perlu dicermati sebagai dasar dalam melakukan mitigasi bencana banjir, kekeringan, dan tanah longsor.

4. Hutan tidak meningkatkan hasil air tetapi justru sebaliknya menurunkan hasil air karena besarnya jumlah evapotranspirasi. Base flow (aliran dasar) musim kering antara hutan dan non hutan masih debatable.

Page 29: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 12 |

5. Walaupun pasokan air dari hutan berkurang dibanding areal bukan hutan tetapi peran hutan yang lebih besar perlu dipertimbangkan seperti kualitas air yang dihasilkan lebih baik, pengendalian banjir, dan kematapan kawasan penghasil air. Perubahan hutan menjadi penggunaan lain, seperti pertanian dan padang rumput, akan berdampak pada tingkat erosi, sedimentasi, banjir, jaminan pasokan hasil air. Dengan demikian penyelenggraan hutan lestari yang kemungkinan menurunkan pasokan air perlu dibandingkan kerugian yang diakibatkan oleh penggundulan dan konversi hutan. Hal ini merupakan peringatan bagi penyelenggara kehutanan untuk berhati-hati dalam mengelola hutannya sehingga tidak menimbulkan defisit pasokan air dari kawasannya.

6. Hasil air (jumlah, mutu, dan kontinyuitas) dari kawasan hutan tidak hanya tergantung vegetasi hutannya tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor alam lainnya, seperti elevasi, jenis batuan (geologi), tanah tanah, lereng, dan iklim. Pemilihan jenis tanaman hutan, terutama yang eksotik, harus dilakukan secara cermat agar tidak menimbulkan kerugian nyata dari penurunan potensi hasil air.

7. Sumbangan air dari kawasan hutan masih jarang dinilai secara ekonomis dalam sistem pengelolaan hutan dalam satuan DAS, padahal ternyata air yang dihasilkan dimanfaatkan secara komersial, seperti untuk industri air minum, konsumsi hotel, tenaga listrik, dll. Penilaian hasil secara ekonomi akan bisa menuntun upaya kompensasi antara pemanfaat dan pemelihara sumberdaya air.

8. DAS tersusun dari berbagai penggunaan lahan, termasuk hutan, sehingga dalam pengelolaannya melibatkan berbagai institusi dan sektor. Oleh karena itu perlu dikembangkan kesamaan paham dan pandangan terhadap pengertian DAS sehingga memudahkan pembangunan kelembagaan pengelolaan DAS secara terpadu. Hal penting dalam pengembangan kelembagaan adalah identifikasi pemangku kawasan, kepentingan para pihak, antisipasi konflik yang muncul, kesepakatan-kesepakatan termasuk fungsi dan peranan tiap pihak. Kelembagaan pengelolaan DAS bisa diwadahi dalam satu “Forum” atau “Dewan” yang bersifat non-struktural (bukan eksekutor) untuk membantu penetapan kebijakan & strategi serta pengambilan keputusan oleh institusi yang berwenang. Legalitas Forum atau Dewan DAS sangat diperlukan untuk penguatan peran kelembagaan. Legalitas lintas provinsi bisa dibangun dalam kerjasama antar provinsi gubernur, atau diangkat ke tingkat

Page 30: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 13 |

nasional. Berdasarkan pembagian fungsi hutan, kelembagaan Kesatuan Pengelolaan pada kawasan hutan, KPHP, KPHL, KPHK dan KPDAS, belum berjalan dengan baik seperti diamanatkan dalam UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

B. Konsep Dasar Litbang Kehutanan Dalam Peningkatan

Daya Dukung DAS

1. Persentase luas hutan dalam DAS menjadi beragam tergantung dari kondisi elevasi, iklim (hujan), bentuk lahan, batuan, topografi, tanah, dan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Oleh karena itu optimalisasi luas hutan dalam satuan DAS perlu diteliti lebih lanjut dengan keberagaman kondisi alami dan dinamika masyarakat sekitarnya.

2. Penelitian hasil air dari berbagai kondisi penutupan lahan dan kondisi alami seperti elevasi, batuan, lereng dan tanah, perlu dikembangkan untuk memperoleh nilai optimal hasil air hutan dari berbagai kondisi alam. Pada waktu bersamaan juga dilakukan penelitian “multi-fungsi hutan” untuk memperoleh dasar pertimbangan dalam mengambil langkah kebijakan pasti tentang: “tanam atau tidak tanam”; bila tanam “apa dan bagaimana tanam”.

3. Fungsi tanaman hutan dalam pengendalian tanah longsor jenis, teknik silvikultur.

4. Perubahan iklim global tehadap bencana banjir, kekeringan, dan tanah longsor, terutama bencana daerah hulu yang bersifat lokal

5. Sistem kelembagaan pengelolaan DAS masih perlu penelitian intensif sehingga diperoleh rancangan alternatif kelembagaan yang sesuai dengan kondisi biofisik, sosial ekonomi budaya serta kelembagaan formal maupun informal setempat.

Page 31: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 14 |

5. PERAN HUTAN DALAM PENGENDALIAN BENCANA BANJIR-KEKERINGAN-TANAH LONGSOR (IDENTIFIKASI MASALAH DAN TEKNIK

PENGENDALIAN)1 Oleh :

Robert J. Kodoatie2

ABSTRAK

Bencana adalah suatu kejadian alam atau buatan manusia, tiba-tiba atau progesive, yang menimbulkan dampak yang dahsyat (hebat) sehingga komunitas (masyarakat) yang terkena atau terpengaruh harus merespon dengan tindakan-tindakan luar biasa. Salah satu faktor utama terjadinya bencana adalah perilaku manusia guna mencukupi kebutuhan hidup yaitu perubahan tata guna lahan untuk keperluan mencari nafkah dan tempat tinggal. Kerusakan lingkungan yang secara implisit menambah lajunya krisis air semakin dipercepat oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi, baik secara alami maupun migrasi. Bencana-bencana banjir, longsor dan kekeringan yang sering melanda merupakan bukti dari degradasi lingkungan yang dari waktu ke waktu cenderung meningkat. Hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Hutan bisa menahan run-off (aliran permukaan), sehingga apabila hutan digunduli atau menjadi kawasan pemukiman maka aliran permukaan akan meningkat signifikan dan terjadilah banjir di musim penghujan dan waktu musim kemarau tidak ada lagi air yang tersisa sehingga terjadilah kekeringan. Selain itu, perubahan tata guna lahan untuk suatu peruntukan industri maupun pemukiman dapat mengakibatkan kondisi tanah yang tadinya stabil menjadi tidak stabil, mudah bergerak atau mengembang karena perubahan struktur dan kondisi tanah, sehingga mengakibatkan terjadinya longsor. Oleh karena itu, peran hutan sangatlah penting dalam pengendalian bencana banjir, kekeringan maupun tanah longsor. Pengaturan tata guna tanah di DAS dengan penyuluhan pada masyarakat terhadap permasalahan banjir dan pengendalian pemanfaatan daerah bantaran sungai. Kawasan hutan merupakan daerah tangkapan air (catchment area) yang mempunyai fungsi dan potensi wilayah

1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007 2 Staff Pengajar Teknik Sipil UNDIP, Jl. Prof. Sudarto, Tembalang, Telp/Fax 024-

7460060. Email:[email protected]

Page 32: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)

| 15 |

sumber daya air sebagai penyedia air. Apabila kerusakan lingkungan akibat penggundulan hutan terus terjadi maka kekeringan dan kelangkaan air akan melanda, sehingga keberadaan hutan sebagai daerah tangkapan air perlu terus dipertahankan sebagai upaya pengendalian bencana kekeringan. Pengendalian tanah longsor dapat dilakukan dengan tetap menjaga stabilitas tanah, yaitu dengan menjaga kelestarian hutan atau tumbuh – tumbuhan pada daerah lereng karena akar pohon-pohonan yang tumbuh pada lereng akan menambah kestabilan tanah. Selain itu, akar dapat mengurangi kadar air tanah karena sebagian air diserap oleh tanaman.

Kata kunci : Peran Hutan, Banjir, Kekeringan, Tanah longsor

I. LATAR BELAKANG

Pembangunan di negara-negara berkembang seperti juga Indonesia sudah barang tentu memerlukan dana. Dana itu diperoleh dari berbagai sumber. Salah satu sumber yang relatif tersedia adalah pinjaman luar negeri. Untuk membayar pinjaman itu, maka mereka (negara-negara berkembang) harus meningkatkan ekspor. Salah satu cara yang tepat untuk memenuhinya adalah dengan mengeksploitasi sumber daya alam, diantaranya minyak bumi dan gas serta sumber daya hutan. Eksploitasi ini sering dilakukan tanpa melihat kemampuan regenerasi alami hutan itu sendiri, ditambah lagi dengan lemahnya-diperlemahnya-kontrol dari masyarakat.

Kondisi hutan di Indonesia sekarang telah dan sedang menghadapi tekanan destruktif dari berbagai faktor. Tekanan destruktif itu berasal dari berbagai kekuatan, baik dari tingkat lokal, nasional maupun internasional. Tekanan-tekanan itu berdampak kompleks dan berkaitan satu dengan yang lain. Smith (1992) mengemukakan tujuh faktor yang menjadi sumber tekanan destruktif itu, yaitu (1) pembalakan (logging) komersial, baik yang dilakukan secara legal maupun illegal, (2) pertambangan, baik yang dilakukan oleh penambang kecil dengan teknologi tradisional maupun oleh penambang besar dengan teknologi canggih, (3) transmigrasi termasuk juga pemukiman penduduk lokal perambah hutan sekaligus pencetakan areal pertanian menetap, (4) perkebunan dan HTI (timber estate), (5) perladangan berpindah, (6) eksploitasi hasil hutan nonkayu dan (7) berbagai proyek pembangunan infrastruktur besar, yang kebanyakan dibiayai oleh Bank Dunia, termasuk juga sektor pariwisata.

Page 33: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 14-40

| 16 |

Sampai derajat tertentu, kebijakan politik dan ekonomi negara-negara maju menciptakan tekanan international yang memerlukan respon domestik di negara-negara berkembang. Mereka dapat menukar bantuan ekonomi dan teknologi dengan bahan mentah dan sumber daya alam bernilai tinggi yang dimiliki negara-negara berkembang. Akibatnya muncul fenomena bahwa negara maju menjual barang jadi, sementara itu, perimbangan kekuatan–politik dan ekonomi–antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang tidak setara. Negara-negara maju mempunyai kekuatan lebih sehingga dapat memaksa negara-negara berkembang untuk menukar dan membuka sumber daya yang dipunyainya. Akibat tekanan ini kebijakan kehutanan di negara-negara berkembang hanya sedikit menyentuh masalah konservasi karena kebutuhan jangka pendek untuk meraup devisa (demi berlanjutnya pembangunan) lebih diprioritaskan daripada kepentingan jangka panjang seperti masalah lingkungan global dan bencana yang akan melanda.

Hutan mempunyai peranan ekologis yang sangat penting. Hutan bukanlah semata-mata sekumpulan flora dan fauna. Hutan merupakan salah satu landasan ekosistem yang sangat besar peranannya dalam menjaga keseimbangan ekosistem dunia. Hutan menyerap, menyimpan dan mengeluarkan air. Hutan merupakan paru-paru dunia yang menyerap karbondioksida dan mengeluarkan oksigen. Hutan menjaga dan melindungi tanah dari gerusan air dan sapuan angin. Hutan pun menyediakan bahan makanan, obat-obatan, bahan bakar, bahan bangunan dan (lebih dari itu) memberi kehidupan bagi seluruh manusia di muka bumi ini. Pendeknya seluruh fungsi dan kegunaan hutan tidak terbatas dan ternilai bagi kelangsungan hidup manusia. Sayang fungsi dan kegunaan hutan yang tidak terbatas dan ternilai itu mulai terancam.

II. PENGELOLAAN BENCANA TERPADU

Bencana adalah suatu kejadian, alam atau buatan manusia, tiba-tiba atau progresive, yang menimbulkan dampak yang dahsyat (hebat) sehingga komunitas (masyarakat) yang terkena atau terpengaruh harus merespon dengan tindakan-tindakan luar biasa (Carter, 1991). Bencana dapat disebabkan oleh manusia dan alam.

Salah satu faktor utama terjadinya bencana adalah perilaku manusia guna mencukupi kebutuhan hidup yaitu perubahan tata guna lahan untuk keperluan mencari nafkah dan tempat tinggal. Kerusakan lingkungan yang secara implisit menambah lajunya krisis air semakin dipercepat oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi, baik secara alami maupun migrasi. Bencana-bencana banjir, longsor dan kekeringan

Page 34: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)

| 17 |

yang merupakan bukti dari degradasi lingkungan yang dari waktu ke waktu cenderung meningkat. Fenomena otonomi daerah yang terkadang kurang dipandang sebagai suatu kesatuan kerja antara Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota berakibat pada kurangnya koordinasi pengelolaan sumber daya air termasuk pengelolaan bencana akibat daya rusak air yang pada hakekatnya meningkatkan potensi bencana di banyak wilayah.Keterangan yang lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram sederhana kejadian bencana (Global Water

Partnership,2001;Carter, 1991; Kodoatie & Syarief, 2005)

Pengelolaan bencana didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan terapan (aplikatif) yang mencari, dengan observasi sistematis dan analisis bencana, untuk meningkatkan tindakan-tindakan (measures) terkait dengan preventif (pencegahan), mitigasi (pengurangan), persiapan, respon darurat dan pemulihan (Carter, 1991).

Pengelolaan bencana terpadu (khususnya yang terkait dengan daya rusak air) didefinisikan sebagai suatu proses yang mempromosikan koordinasi pengembangan dan pengelolaan bencana dan pengelolaan aspek lainnya yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam rangka tujuan untuk mengoptimalkan resultan kepentingan ekonomi dan kesejahteraan sosial khususnya dalam kenyamanan dan keamanan terhadap bencana dalam sikap yang cocok/tepat tanpa mengganggu kestabilan dari ekosistem-ekosistem penting. Proses ini juga mengimplementasikan suatu ilmu

Bencana2 :

Penyebab

Alam

PERLU PENGELOLA

AN

Manusia

Kerusakan Alam

Meningkat

Tsunami

Penyebab Alam

Exist (Selalu) - Banjir - Longsor - Kekeringan

Potensi Bencana Cenderung Meningkat

Jumlah Penduduk Meningkat

Kebutuhan (pokok & non

pokok meningkat)

Kejadian Alam: misal curah hujan

tinggi menimbulkan banjir

Ekonomi Dominan meningkat

Sosial Meningkat

Menurun Terabaikan Lingkungan

Exploitasi Alam

Pemanfaatan Alam

Degradasi Lingkungan

Aktifitas Meningkat

Peningkatan Infrastruktur

Alih Tata Guna Lahan Meningkat

Dalam Dimensi

Berdasarkan Siklus

Pengelolaan

Page 35: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 14-40

| 18 |

pengetahuan terapan (aplikatif) yang mencari, dengan observasi sistematis dan analisis bencana, untuk meningkatkan tindakan-tindakan (measures) yang terorganisir dan sistematis terkait dengan preventif (pencegahan), mitigasi (pengurangan), persiapan, respon darurat dan pemulihan (elaborasi dari Global Water Partnership, 2001; Carter, 1991; Panja Komisi VIII DPR RI, 2005; Kodoatie dan Sjarief, 2005).

Pengelolaan bencana terpadu dapat dikelompokkan dalam 3 elemen penting, yaitu: mengaktifkan lingkungan (the enabling environment), peran-peran institusi (institutional roles), dan alat-alat manajemen (management instruments). (elaborasi: GWP, 2001; Kodoatie dan Sjarief, 2005); seperti terlihat pada Gambar 2

Gambar 2. Elemen-elemen penting Pengelolaan Bencana Terpadu (yang terkait

dengan daya rusak air)

Walaupun setiap bencana mempunyai karakteristik yang berbeda-beda namun pada hakekatnya pola pengelolaannya secara substansi hampir sama. Oleh karena itu dapat dibuat suatu siklus pengelolaan bencana yang terpadu, seperti pada Gambar 3.

A. E

nabl

ing

Envi

ronm

ent

B. P

eran

-Per

an

Inst

itusi

C. A

lat-

Ala

t M

anaj

emen

b. Kerangka Kerja Legislatif 1. Reformasi Peraturan Yang Ada 2. Peraturan Tentang Bencana 3. Penegakan Hukum c.Finansial

a. Penciptaan Kerangka Kerja Organisasi b. Para Pihak Pengelolaan Bencana c. Pengembangan sumber daya manusia (Institutional Capacity Building)

1. Kapasitas Pengelolaan Bencana Terpadu 2. Kapasitas Pengaturan 3. Berbagi (Alih) Ilmu Pengetahuan

a. Analisis Bencana b. Perancangan dan Perencanaan Pengelolaan Bencana Terpadu c. Instrumen Perubahan Sosial d. Resolusi konflik e. Pengendalian Perencanaan Tata Guna Lahan dan Perlindungan Alam d. Pengalihan dan Pengelolaan Informasi

a. Kebijakan (Policy) 1. Penyiapan Kebijakan 2. Visi dan Misi Pengelolaan Bencana 3. Kebijakan Yang Terkait Pengelolaan Bencana

Pengelolaan Bencana Terpadu

Page 36: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)

| 19 |

Gambar 3 Diagram Siklus Pengelolaan Bencana (Carter,1991;Unesco, 1995;

Kodoatie, 2003b; Pem. Prov Jawa Tengah, 2005)

Sebagai contoh berikut ini diberikan siklus bencana banjir, longsor dan kekeringan sepanjang tahun dan tahap-tahap kegiatan pengelolaannya (Gambar 4) dan konsep manajemen bencana (Gambar 5).

Gambar 4. Diagram siklus bencana banjir, longsor dan kekeringan pada umumnya

sepanjang tahun

Page 37: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 14-40

| 20 |

Gambar 5. Diagram Konsep Manajemen Bencana

III. PERAN HUTAN

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Setiap wilayah hutan mempunyai kondisi yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan fisik, topografi, flora dan fauna, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, Namun pada umumnya semua hutan mempunyai fungsi konservasi, lindung, dan produksi. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi

pokok memproduksi hasil hutan. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi

pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk

Mitigasi: mereduksi,

mengurangi, meredakan

Persiapan & Waspada

Relokasi Rehabilitasi Rekonstruksi

Kejadian:

Penyelamatan & Minimalisasi

Dampak

Pra-Bencana

Saat Bencana

Pasca-Bencana

Teknis Penyuluhan Pelatihan Penyebaran Informasi Rencana Tindak

Teknis Sosial Budaya Ekonomi Lingkungan

Teknis Sosial Budaya Ekonomi Lingkungan Recovery

Psikologis & Teknis

Manajemen dan Rekayasa

Jauh Sebelum Bencana

Perencanaan dan Pengembangan

Teknis Sosial Budaya Ekonomi Lingkungan

Rencana Tindak Untuk Pencegahan

Penelitian/ Studi

Perencanaan

Investigasi

Persiapan

Respon saat Bencana

Recovery

Pengem bangan

Upaya lain

Berpengaruh terhadap reduksi bencana

Investigasi

Pencegahan

Mitigasi

Page 38: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)

| 21 |

mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Untuk menghindari terjadinya kerusakan serius pada hutan yang mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan, maka penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam hutan produksi atau hutan lindung dengan cara selektif.

1. PENGENDALIAN BANJIR

a. Penyebab Banjir

Banjir dan genangan yang terjadi di suatu lokasi diakibatkan antara lain oleh sebab-sebab berikut ini (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002): Perubahan tata guna lahan (land-use) di daerah aliran sungai

(DAS) Pembuangan sampah Erosi & sedimentasi Kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat Curah hujan Pengaruh fisiografi/geofisik sungai Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai Pengaruh air pasang Penurunan tanah dan rob Drainase lahan Bendung dan bangunan air Kerusakan bangunan pengendali banjir Bilamana diklasifikasikan oleh tindakan manusia dan yang

disebabkan oleh alam maka penyebab di atas dapat disusun sebagai berikut. Yang termasuk sebab-sebab banjir karena tindakan manusia adalah: Perubahan tata guna lahan (land-use) Pembuangan sampah Kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat

Page 39: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 14-40

| 22 |

Penurunan tanah dan rob Tidak berfungsinya sistem drainase lahan Bendung & bangunan air Kerusakan bangunan pengendali banjir

Yang termasuk sebab-sebab alami di antaranya adalah: Erosi & sedimentasi Curah hujan Pengaruh fisiografi/geofisik sungai Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai Pengaruh air pasang Penurunan tanah dan rob Drainase lahan Kerusakan bangunan pengendali banjir

b. Penyebab banjir paling dominan

Gambar 6. Peningkatan debit puncak akibat perubahan tata guna lahan (Raudkivi, 1979; Subarkah, 1980; Schwab dkk., 1981; Loebis, 1984)

Peningkatan Debit Akibat Perubahan Tata Guna Lahan Dengan

Hutan Sebagai Referensi

10 23 17 2550 60 63

10 2550

90

200

250

350

050

100150200250

300350400

Hut

an

Rer

umpu

tan

Tam

an

Saw

ah

Pem

ukim

an/

Rea

l Est

ate

Indu

stri

&

Perd

agan

gan

Jalan

beto

n/as

pal

MinimumMaksimum

Peningkatan debit puncak

akibat perubahan

tata guna lahan, hutan

sebagai acuan/referens

i

naik 2 -2,5 kali

naik 1,7 – 5,0 kali

naik 2,5 – 9,0 kali

naik 5,0 – 20,0 kali

naik 6,0 - 25 kali

Daerah Aliran Sungai

Deb

it Pu

ncak

Su

ngai

3

Page 40: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)

| 23 |

Gambar 7. Ilustrasi perubahan debit akibat perubahan tata guna

lahan

c. Metode Pengendalian Banjir

Pada prinsipnya ada 2 metode pengendalian banjir yaitu metode struktur dan metode non-struktur. Pada masa lalu metode struktur lebih diutamakan dibandingkan dengan metode non-struktur. Namun saat ini banyak negara maju mengubah pola pengendalian banjir dengan lebih dulu mengutamakan metode non-struktur lalu baru metode non-struktur (Tabel 1).

Tabel 1. Metode pengendalian banjir

Skala Prioritas

Metode

I

II

Metode Non-Struktur Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Pengaturan Tata Guna Lahan Law Enforcement (Penegakan hukum) Pengendalian Erosi di DAS Pengaturan dan Pengembangan Daerah Banjir Dll.

Metode Struktur: Bangunan Pengendali Banjir Bendungan (dam) Kolam Retensi Pembuatan check dam (Penangkap sedimen) Bangunan pengurang kemiringan sungai

Page 41: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 14-40

| 24 |

Skala Prioritas

Metode

III

Groundsill Retarding Basin Pembuatan Polder Dll.

Metode Struktur : Perbaikan dan Pengaturan Sistem Sungai Sistem jaringan sungai Normalisasi Sungai Perlindungan Tanggul Tanggul Banjir Sudetan (By pass) Floodway Dll.

d. Action Plan Pengendalian Banjir

Ada 4 strategi dasar untuk pengelolaan daerah banjir yang meliputi (Grigg, 1996):

modifikasi kerentanan dan kerugian banjir (penentuan zona atau pengaturan tata guna lahan).

pengaturan peningkatan kapasitas alam untuk dijaga kelestariannya seperti penghijauan.

modifikasi dampak banjir dengan penggunaan teknik mitigasi seperti asuransi, penghindaran banjir (flood proofing).

modifikasi banjir yang terjadi (pengurangan) dengan bangunan pengontrol (waduk) atau normalisasi sungai.

Tabel berikut menunjukkan penyebab, prioritas menyebab banjir dan alasan mengapa prioritas serta penyebab alami atau manusia. Tabel 2. Penyebab prioritas

No. Penyebab Banjir

Alasan Mengapa Prioritas

Oleh Alam

/aktifitas manusia

1. Perubahan tata Guna Lahan

Debit Puncak naik dari 5 sampai 35 kali karena air yang meresap kedalam tanah sedikit mengakibatkan aliran air permukaan (run off) menjadi besar, sehingga berakibat debit menjadi besar dan terjadi erosi yang berakibat sedimentasi.

Manusia

2.

Sampah

Sungai atau drainase tersumbat dan jika air melimpah keluar karena daya tampung saluran berkurang

Manusia

Page 42: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)

| 25 |

No. Penyebab Banjir

Alasan Mengapa Prioritas

Oleh Alam

/aktifitas manusia

3. Erosi & Sedimentasi

Akibat perubahan tata guna lahan, terjadi erosi yang berakibat sedimentasi masuk ke sungai sehingga daya tampung sungai berkurang.

Manusia dan alam

4. Kawasan kumuh di sepanjang sungai

Dapat merupakan penghambat aliran, maupun daya tampung sungai. Masalah kawasan kumuh dikenal sebagai faktor penting terhadap masalah banjir daerah perkotaan.

Manusia

5. Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat

Sistem pengendalian banjir memang dapat mengurangi kerusakkan akibat banjir kecil sampai sedang, tapi mungkin dapat menambah kerusakkan selama banjir yang besar. Misal: tanggul sungai yang tinggi. Limpasan pada tanggul waktu banjir melebihi banjir rencana menyebabkan keruntuhan tanggul, kecepatan air sangat besar yang melalui bobolnya tanggul sehingga menimbulkan banjir yang besar.

Manusia

6. Curah hujan

Pada musim penghujan, curah hujan yang tinggi akan mengakibatkan banjir di sungai dan bilamana melebihi tebing sungai maka akan timbul banjir atau genangan termasuk bobolnya tanggul. Data curah hujan menunjukkan maksimum kenaikan debit puncak antara 2 sampai 3 kali

Alam

7. Pengaruh Fisiografi

Fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk, fungsi dan kemiringan Daerah aliran sungai (DPS), kemiringan sungai, geometrik hidrolik (bentuk penampang seperti lebar, kedalaman, potongan memanjang, material dasar sungai), lokasi sungai dll.

Alam dan manusia

8. Kapasitas sungai

Pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai dapat disebabkan oleh pengendapan berasal dari erosi DPS dan erosi tanggul sungai yang berlebihan dan sedimentasi di sungai itu karena tidak adanya vegetasi penutup dan adanya penggunaan lahan yang tidak tepat

Manusia dan Alam

9. Kapasitas Drainasi yang tidak memadai

Karena perubahan tata guna lahan maupun berkurangnya tanaman/vegetasi serta tindakan manusia mengakibatkan pengurangan kapasitas saluran/sungai sesuai perencanaan yang dibuat

Manusia

10. Drainasi lahan

Drainasi perkotaan dan pengembangan pertanian pada daerah bantaran banjir akan mengurangi kemampuan bantaran dalam menampung debit air yang tinggi.

Manusia

11. Bendung & bangunan air

Bendung dan bangunan lain seperti pilar jembatan dapat meningkatkan elevasi muka air banjir karena efek aliran balik (backwater).

Manusia

Page 43: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 14-40

| 26 |

No. Penyebab Banjir

Alasan Mengapa Prioritas

Oleh Alam

/aktifitas manusia

12. Kerusakan bangunan pengendali banjir

Pemeliharaan yang kurang memadai dari bangunan pengendali banjir sehingga menimbulkan kerusakan dan akhirnya tidak berfungsi dapat meningkatkan kuantitas banjir.

Manusia dan Alam

13. Pengaruh air pasang

Air pasang memperlambat aliran sungai ke laut. Waktu banjir bersamaan dengan air pasang tinggi maka tinggi genangan atau banjir menjadi besar karena terjadi aliran balik (backwater). Hanya pada daerah pantai seperti Pantura, Jakarta dan Semarang

Alam

2. PENGENDALIAN KEKERINGAN

Kekeringan merupakan phenomena hidrologi yang paling kompleks, mewujudkan dan menambahkan isu-isu berkaitan dengan iklim, tata guna lahan, norma pemakaian air serta manajemen seperti persiapan, antisipasi dan sebagainya. Kompleksitas bertambah karena kita mengetahui kekeringan merupakan bencana dengan prosesnya berjalan lambat sehingga dikatakan sebagai bencana merangkak (creeping disaster).

Datangnya tidak tiba-tiba (instan) seperti banjir atau gempa bumi, namun timbul perlahan-lahan sehingga sangat mudah diabaikan. Kita tidak bisa mengetahui secara pasti awal dan kapan bencana ini berakhir, namun kita baru sadar setelah berada di periode tengahnya. Masyarakat awam umumnya baru menyadari ketika air di dalam sumurnya habis, ketika aliran PDAM macet, ketika penyedotan air tanah dengan pompa hanya keluar udara.

Untuk pertanian, kekeringan merupakan bencana terparah dibandingkan bencana lainnya. Bila kebanjiran, tanaman masih bisa hidup, kekurangan pupuk masih bisa diupayakan. Namun ketika air tidak ada, tanaman segera mati.

Kita di Indonesia sudah biasa mengalami musim kemarau, namun sejauh mana kemarau yang terkait dengan El Nino belum kita sadari secara umum. El Nino sebagai penyimpangan iklim yang mengakibatkan kemarau panjang, sedangkan penyimpangan iklim yang menyebabkan musim hujan panjang disebut La Nina. Kejadian keduanya merupakan fenomena alam yang selalu terulang pada pola tertentu. Beberapa waktu isyarat akan datangnya kemarau panjang akibat adanya El Nino sudah dikemukakan oleh beberapa pakar.

Page 44: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)

| 27 |

Dampak El Nino yang luar biasa pada tahun 1997 telah dirasakan semua pihak yang menyebabkan kekeringan berkepanjangan. Maka sumur-sumur penduduk mengering, debit air sungai menurun, dan tentu saja meluasnya kebakaran lahan dan hutan. Media massa Indonesia sering memberitakan bencana asap yang berawal dari pembakaran lahan dan hutan oleh perusahaan-perusahaan maupun masyarakat saat membuka lahan. Api kemudian menjadi tak terkendali karena kondisi amat kering. Kerugian besar tak hanya karena banyaknya orang yang harus menderita sakit akibat asap, tetapi juga penundaan pesawat, sampai ke musnahnya jutaan jenis keragaman hayati.

Namun demikian, sebenarnya ada hal lain yang tak kalah mengkhawatirkan yaitu kekurangan pangan. Kemarau panjang membuat sawah-sawah/lahan kering dan tak dapat ditanami. Dampak El Nino terhadap kehidupan manusia sangat beragam. Kemarau panjang tahun 1900-1901 telah mengakibatkan kelaparan yang hebat di India, menelan korban tidak kurang dari satu juta jiwa. Musim kering yang terjadi tahun 1932-1933 di Rusia menelan korban sampai tiga juta jiwa. Pada tahun 1984-1985 terjadi pula kelaparan di Ethiopia yang menelan korban tidak kurang dari satu juta jiwa.

Selama El Nino berlangsung, sebagian besar petani dan penduduk desa praktis kehilangan lapangan pekerjaan. Buruh tani kehilangan pekerjaan, pedagang dan usaha penggiling padi akan kehilangan bahan pokok. Pasokan pangan berkurang, sehingga dapat memicu kenaikan harga kebutuhan pokok. Selama tertundanya tanam padi, selama itu pulalah pendapatan petani tertunda. Titik awal dari rantai proses ancaman kelaparan adalah gagal panen yang menyebabkan pasokan pangan menurun. Penurunan pendapatan akibat gagal panen menyebabkan turunnya daya beli masyarakat terutama petani. Di lain pihak, harga pangan pada saat itu biasanya naik.

Bila kemarau terus berlanjut, petani yang tidak mempunyai pekerjaan alternatif dan tabungan, terpaksa harus menjual aset yang mereka miliki, ternak misalnya. Dalam situasi yang sulit, dapat terjadi penjualan ternak dalam waktu yang bersamaan sehingga harga jualmenjadi rendah. Hal ini mengakibatkan penderitaan petani yang lebih berat. Turunnya daya beli mengakibatkan konsumsi berkurang, dan menurunnya kondisi kesehatan secara umum.

Secara psikologis, dampak negatif musim kering jauh lebih parah dibanding dengan musim hujan. Kalau kejadian banjir secara tiba-tiba, petani akan cenderung menjadi kooperatif, bantuan dan perhatian

Page 45: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 14-40

| 28 |

dari pemerintah pusat akan lebih besar. Sebaliknya, bila air menjadi langka terjadi secara merangkak perlahan, petani akan cenderung 'berkelahi' untuk memperebutkan air atau sumber daya lainnya untuk kelangsungan hidup dan pemerintah pun perhatiaannya kurang. Bila El Nino berlangsung lama, jumlah pengangguran meningkat sehingga menimbulkan gejolak sosial, ekonomi dan politik, secara luas. Maka Kekeringan oleh para ahli disebut dengan bencana merangkak atau creeping disaster.

Sangat sulit merumuskan suatu program yang komprehensif untuk mengatasi kekurangan pangan bila terjadi El Nino secara beruntun. Sebelum El Nino muncul, upaya peningkatan produksi harus sungguh-sungguh diintensifkan, sehingga petani mempunyai surplus beras, yang dapat disimpan secara individual ataupun kolektif. Namun demikian dampak El Nino tidak selalu jelek, misal pada tahun 1997 waktu terjadi El Nino, produksi tanaman lombok naik, demikian pula mangga dan rambutan.

a. Strategi Pengelolaan Masalah Kekeringan

i. Definisi

Konsep kekeringan berangkat dari dua definisi yaitu suatu periode tanpa air hujan yang cukup dan suatu periode kelangkaan air. Definisi pertama dikatakan, kekeringan secara meteorologis atau klimatologis. Definisi kedua dapat disebut kekeringan dari berbagai aspek, antara lain kekeringan secara hidrologi, kekeringan secara pertanian dan kekeringan secara sosial-ekonomi.

Secara lebih spesifik kekeringan meteorologis didifinisikan oleh Palmer (1965) sebagai suatu interval waktu yang mana suplai air hujan aktual pada suatu lokasi jatuh/turun lebih pendek dibandingkan suplai air klimatologis yang sesungguhnya sesuai estimasi normal.

Changnom (1987) mendefinisikan, kekeringan pertanian sebagai suatu periode ketika air tanah tidak cukup memenuhi kebutuhan air tanaman sehingga pertumbuhannya tetap, bahkan tanaman mati. Definisi kekeringan hidrologis adalah suatu periode di mana bila untuk sungai alirannya di bawah normal atau bila untuk waduk tampungan air tidak ada (habis). Kekeringan sosial ekonomi adalah hasil proses fisik yang terkait dengan aktivitas manusia yang terkena dampak kekeringan.

ii. Pendekatan dan Strategi

Pendekatan strategis merupakan pendekatan dengan konsep keseimbangan antara suplai dan kebutuhan serta antisipasi atau

Page 46: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)

| 29 |

menghindari ancaman dari dampak kekeringan. Dengan kata lain pengelolaan masalah kekeringan harus menetapkan taraf resiko kegagalan dari suplai air yang terbingkai oleh dua pernyataan yaitu resiko dari kekurangan air dan keamanan suplai (security of supply).

iii. Indeks Kekeringan

Secara harafiah bagi para pengelola sumber daya air kekeringan berarti problem (masalah) dalam pemenuhan kebutuhan (demand). Dalam pengertian tersebut, kekeringan juga berarti tidak adanya air yang cukup untuk mencapai kebutuhan karena suplai air berada di bawah tingkat yang diharapkan. Tingkat yang diharapkan lebih cenderung dan dominan dalam aspek sosial-ekonomi. Karena keterkaitan yang erat dengan sosial ekonomi maka indeks kekeringan yang akan bermanfaat untuk pengelolaan harus menggabungkan aspek-aspek kebutuhan dan suplai.

Indeks kekeringan menggambarkan suatu ukuran dari perbedaan kebutuhan dan ketersediaan sumber air dan merupakan bagian dari sistem pendukung keputusan yang berhubungan dengan kekeringan. Untuk utilitas air lokal akan menggunakan indeks kekeringan untuk menginformasikan pembatasan penggunaan air dan mengumumkan ketersediaan air yang ada kepada pemakai (publik). Dalam skala daerah aliran sungai (DAS), pengelola akan menggunakan suatu indeks untuk informasi dan koordinasi penggunaan air di seluruh wilayah DAS. Untuk wilayah regional (kabupaten/kota sampai propinsi) indeks dapat dipakai untuk mengukur tingkat ketersediaan dan kebutuhan di seluruh wilayah tersebut.

Pada tingkatan yang berbeda-beda tersebut, indeks dapat dipakai untuk laporan, riset atau rencana aksi. Pemakai indeks yang berbeda akan membutuhkan pendukung keputusan yang berbeda. Banyaknya faktor yang mempengaruhi penentuan indeks maka beberapa pendekatan berikut dapat dipakai, yaitu:

I = Indeks = suplai air yang tersedia dibagi dengan suplai air rata-rata atau yang diharapkan.

Untuk wilayah DAS maka dapat dipakai contoh indeks berikut sebagai referensi:

I = Indeks = Bel + Jumlah (Bi) Di mana :

Bel = perbedaan elevasi saat ini suatu tampungan (waduk atau danau) dengan rata-rata bulanan untuk suatu periode yang panjang

Page 47: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 14-40

| 30 |

B = perbedaan curah hujan rata-rata bulanan yang diketahui (saat ini) dengan rata-rata bulanan untuk suatu periode yang panjang

i = angka dari 0 sampai 6. Di Indonesia (mungkin) bisa diambil angka maksimum 6 karena kita bisa berasumsi bahwa setahun musim hujan dan kemarau yang terjadi masing-masing selama 6 bulan.

iv. Strategi

Dari uraian di atas strategi yang perlu dilakukan adalah: Identifikasi daerah rawan kekeringan Pemetaan detail daerah rawan kekeringan dari berbagai aspek:

a) Identifikasi dan pemetaan sebaran penduduk dan kebutuhan air baku,

b) Pemetaan kebutuhan dan ketersediaan air Sosialisasi kebutuhan dan ketersediaan air yang ada untuk

berbagai instansi sesuai tugas pokok dan fungsinya secara kontinyu ke pihak produsen dan konsumen air.

Sosialisasi pemakaian air secara efisien dan efektif Penyusunan rencana tindak yang komprehensif, sektor dan

multi sektor Berbagai model dan analisis dapat diaplikasikan untuk tiap-tiap

aspek yang ditinjau meliputi aspek meteorologi, hidrologi, pertanian dan sosial ekonomi dll.

b. Respon dan Mitigasi

Secara umum persiapan menghadapi musim kemarau dapat disebutkan beberapa hal yaitu: i. Efesiensi Penggunaan (Penghematan) Air pemenuhan kebutuhan air secara selektif efesiensi/penghematan air setiap kebutuhan sosialisasi gerakan penghematan air

ii. Pengelolaan Sumber Daya Air secara Efektif ditinjau secara komprehensip dan terpadu potensi sumber daya air (ketersediaan) kebutuhan sumber daya air alokasi masing-masing kebutuhan (proporsional) skala prioritas

Page 48: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)

| 31 |

iii. Pemanfaatan Simpanan Air Embung dan Waduk Secara Selektif dan Efektif Review kondisi embung yang ada secara menyeluruh Analisis dan review keseimbangan kapasitas dan pemanfaatan

embung Kebutuhan peningkatan daya tampung Konservasi lahan

iv. Penyesuaian Pola dan Tata Tanam Identifikasi masalah dan solusi pola tanam existing Sosialisasi pola tanam yang terpadu kabupaten/kota dan lintas Penentuan pola tanam untuk masing-masing sistem DAS dan

irigasi v. Kegiatan Yang Mendukung Kelestarian Alam Tinjauan secara komprehensip dan terpadu Potensi sumber daya air (ketersediaan) Kebutuhan sumber daya air Alokasi masing-masing kebutuhan (proporsional) Skala prioritas

vi. Analisis Pengelolaan Sumber Daya Air Identifikasi pengelolaan sumber daya air yang ada Pemanfaatan tata guna lahan Propinsi Jawa Tengah Kajian Rencana Umum Tata Ruang Propinsi dan

Kabupaten/Kota Potensi sumber daya air yang ada dan kebutuhan sumber daya air

Hal-hal yang perlu dikaji di dalam pengelolaan masalah kekeringan adalah antara lain: Karakteristik kekeringan: alamiah, luas, durasi, bobot/beratnya Tindakan dan respon: Tambahan supplai, reduksi kebutuhan dan

minimalisasikan dampak. Detail dari tindakan dan respon dalam manajemen masalah

kekeringan ditunjukkan dalam Gambar 8.

Page 49: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 14-40

| 32 |

Gambar 8.Tindakan dan Respon dalam Manajemen Masalah Kekeringan (Grigg dan

Vlachos, 1990)

Karakteristik Kekeringan:

- Alamiah - Luas - Durasi - Bobot/Beratnya

2. Reduksi Kebutuhan

3.Minimalisasi kan Dampak

- Tampungan permukaan - Tampungan dasar - Transfer antar DAS - Pembagian fungsi silang - Konservasi DAS - Peningkatan sistem/

konservasi

- Desalinisasi Air - Modifikasi cuaca - Tampungan: waduk, embung - Pengambilan air tanah

tersistem

- Gabungan a & b - Pemakaian berantai - Pengantaran terpias-pias - Inovasi teknologi

- Tindakan legal - Insentif ekonomi - Harga ekonomis - Kebijakan zoning

/tata guna lahan - Partisipasi publik - Prioritas kebutuhan

- Program hemat air - Reduksi pemakaian

yang tidak perlu - Penggunaan

kembali/Recycling - Pemakaian terukur

- Perubahan pertanian - Penyesuaian urban

- Sistem peramalan - Pengaturan konsumsi - Kebijaksanaan pemakai - Aksi darurat antar wilayah - Manajemen konflik

- Asuransi - Penyebaran resiko - Kompensasi kerusakan - Pengurangan bencana - Cadangan dana

- Modifikasi kejadian - Pemulihan kerusakan - Perubahan penggunaan air

1. Tambahan Supplai

a. Yang Ada

b. Pembangunan Baru

c. Gabungan a & b

a. Proaktif

b. Reaktif

c. Penyesu-aian

a. Strategi Antisipasi

b. Penyerapan kerugian

c. Reduksi Kerugian

Tindakan dan

Respon

Page 50: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)

| 33 |

3. PENGENDALIAN TANAH LONGSOR

Tanah longsor adalah gerakan massa tanah dalam jumlah besar yang bergerak pada bidang geser tertentu, di mana pada bidang tersebut tahanan tanah dalam menahan geseran terlampaui.

Stabilitas tanah pada lereng dapat terganggu akibat pengaruh-pengaruh alam, iklim dan aktivitas manusia. Agar stabilitas tanah tetap terjaga pada daerah lereng perlu ditanami tanaman tahunan, karena akar pohon-pohonan yang tumbuh pada lereng akan menambah kestabilan tanah. Selain itu, akar dapat mengurangi kadar air tanah karena sebagian air diserap oleh tanaman.

Longsor terjadi karena ketidak-seimbangan gaya-gaya yang bekerja pada lereng atau gaya dorong di daerah lereng > gaya tahan yang ada di lereng tersebut.

Parameter lereng yang berpengaruh a.l.: kemiringan, jenis tanah, kohesi, sudut geser, berat tanah, air yang mengalir ke dalam yang menimbulkan lereng dalam kondisi jenuh air (saturated).

a. Penyebab Kegagalan Tebing (Longsor)

Ada banyak faktor teknis yang menyebabkan terjadinya longsor baik faktor-faktor alam maupun faktor akibat tindakan manusia, diantaranya (Richardson et al., 1990):

Parameter hidraulik: Berat spesifik G (specific weight). Temperatur. Kekentalan air. Debit. Durasi. Frekuensi. Kecepatan air. Distribusi kecepatan air. Aliran turbulen. Gaya geser. Gaya tarik (drag force). Gaya angkat (lift force). Momentum.

Page 51: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 14-40

| 34 |

Karakteristik material dasar dan tebing sungai: Ukuran. Gradasi. Bentuk. Berat jenis.

Karakteristik tebing: Material: Non cohesive atau cohesive. Tebing satu kemiringan atau stratified. Batuan (rock). Ketinggian. Kemiringan.

Aliran di dalam (subsurface flows): Gaya-gaya gelombang. Gaya-gaya rembesan. Piping dan sapping.

Gelombang angin: Gaya gelombang. Erosi permukaan.

Faktor-faktor biologis: Vegetasi. Pohon-pohonan. Semak-semak (shrubs). Rumput.

Kehidupan binatang: Yuyu. Binatang pengerat.

Faktor-faktor oleh manusia (man-induced factors): Fluktuasi kolam akibat pembangkit tenaga. Aktifitas pertanian. Penambangan. Transportasi. Urbanisasi. Drainase. Pengembangan dataran banjir. Lintas air.

Page 52: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)

| 35 |

Begitu kompleknya penyebabnya maka pemahaman yang baik tentang proses kegagalan tebing hanya dapat dilakukan dengan evaluasi yang detail dari data yang cukup dan memadai.

b. Permasalahan Dalam Manajemen Bencana Longsor

Karena longsor bisa terjadi di mana saja terutama di daerah rawan longsor maka ada beberapa permasalahan dalam manajemen bencana longsor, diantaranya:

Kesulitan akses / jalan didaerah bencana. Pencarian dan penyelamatan korban yang bisa sangat sulit. Resiko longsor susulan menghalangi upaya penyelamatan. Relokasi rentan terhadap penentangan dari masyarakat

karena secara tradisi masyarakat sudah terbiasa hidup di tempat tinggalnya sehingga sulit beradaptasi di tempat yang baru dengan berbagai alasan.

Rehabilitasi dan pemulihan bisa menjadi sangat kompleks dan mahal.

c. Mengenal Daerah Rawan Longsor

Beberapa tips sederhana mengetahui suatu daerah ada atau tidak ada potensi longsor adalah: Pada musim kemarau sedikit tanaman tumbuh (daerah gundul),

sumur dengan kedalam < 20 m kering tak ada air, daerah banyak yang retak-retak.

Pada musim penghujan air sumur penuh, retak-retak bertambah besar yang merupakan puncak bidang gelincir. Retak-retak pada bangunan terus bertambah.

Daerah rawan longsor bisa di daerah terjal (kemiringan curam) terutama yang tinggal di lereng-lereng bukit namun bisa juga di daerah agak datar (slump area). Berikut ini letak daerah yang rawan terhadap longsor: o Daerah pada waktu awalnya stabil tapi karena ada perubahan

tata guna lahan di hulu maupun di hilir maka timbul gerakan tanah aktif contoh: sebelah Selatan Kawasan Industri Candi, Kota Semarang.

o Terletak di daerah patahan bisa aktif maupun pasif. o Pusat beberapa mata air sungai-sungai kecil. o Terletak di bagian tikungan luar sungai. o Terletak di bagian wilayah dengan kerentanan gerakan tanah

menengah hingga tinggi. o Di daerah gerakan tanah tinggi, kondisi lahan tidak harus

gundul namun bisa daerah subur.

Page 53: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 14-40

| 36 |

o Wilayah yang mengalami degradasi lingkungan yang hebat. Sehingga tadinya wilayah tersebut stabil menjadi tidak stabil.

Zona Kerentanan Gerakan Tanah Menengah bisa menjadi daerah Zona Kerentanan Gerakan Tanah Tinggi apabila mengalami gangguan baik internal maupun eksternal atau lokal maupun regional. Misalnya adanya pengeprasan bukit yang berlebihan.

Untuk daerah longsor, perlu mengetahui jenis tanah di dalamnya, salah satu caranya dengan penyelidikan tanah dengan geolistrik lalu dipetakan.

Jangan membuat sumur resapan atau melakukan reboisasi (penanaman pohon) di daerah dengan gerakan tanah tinggi karena akan menambah potensi longsor. Ini berbeda dengan bencana banjir, yang butuh sumur resapan atau vegetatif untuk mengurangi banjir (memperkecil/memperlambat run-off). Artinya, secara substansi apabila suatu daerah berpotensi longsor harus diupayakan air mengalir secepat-cepatnya agar tidak ada waktu untuk masuk ke dalam tanah. Masuknya air kedalam tanah membuat tanah pasif (kondisi kering) menjadi tanah aktif (kondisi basah). Dalam hal ini sistem drainase permukaan tanah dan drainase dalam tanah perlu direncanakan dengan detail, baik dan matang.

Daerah retak di permukaan tanah adalah puncak bidang gelincir.

d. Perubahan Daerah Stabil Menjadi Tidak Stabil

Perubahan tata guna lahan untuk suatu peruntukan industri maupun pemukiman dapat mengakibatkan kondisi yang tadinya stabil menjadi tidak stabil, mudah bergerak atau mengembang karena perubahan struktur dan kondisi tanah.

Gambar 8 menunjukkan adanya proses perubahan kondisi stabil menjadi tidak stabil akibat perubahan tata guna lahan yang tidak memperhitungkan kondisi geologinya. Gambar 9 menunjukkan contoh lokasi daerah stabil menjadi tidak stabil yang terjadi yaitu di Desa Pucung, Kota Semarang. Tata guna lahan di bawah wilayah pemukiman penduduk diubah dari hutan dan semak belukar menjadi kawasan industri. Akibatnya, wilayah pemukiman tersebut menjadi tidak stabil, banyak rumah bergeser, bangunannya retak-retak.

Page 54: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)

| 37 |

1

2

34

6

6

5

75

KETERANGAN GAMBAR:1. Kondisi seimbang, stabil tidak ada gerakan2.Daerah dikembangkan (dikepras)3.Lempung kembang susut terxpose4.Bila hujan mengembang, kemarau menyusut5.Tanah bergerak akibat kembang susut6.Rumah penduduk retak-retak7.Patahan semula diam (pasif), bila di atas

terexpose patahan aktif, ada gerakan tanah

Contoh Lokasi Bila lapisan lempung

yang ekspansif mempunyai kembang susut tinggi terexspose (muncul)

Jl Purwodadi –Grobogan yang tidak pernah stabil

Hampir semua rumah penduduk di Selatan Kawasan Industri Candi Semarang retak-retak.

Gambar 8. Proses perubahan daerah stabil menjadi tidak stabil

(Kodoatie, 2002).

Gambar 9. Contoh lokasi perubahan tata guna lahan dan dampaknya (Pem. Kota

Semarang, 2000)

Lahan I dikembangkan menjadi kawasan industri Lahan II :Perumahan penduduk dan infrastruktur lainnya retak-retak dan bergeser

Contoh Lokasi bila lapisan lempung yang ekspansif mempunyai kembang susut tinggi terexpose (muncul): Jalan raya

Purwodadi-Grobogan Jawa Tengah

Hampir semua rumah penduduk dan infrastruktur lainnya retak-retak dan bergeser

Page 55: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 14-40

| 38 |

Proses ketidak stabilan akibat perubahan tata guna lahan di wilayah lain

Gambar 10. Perubahan kondisi stabil menjadi tidak stabil akibat perubahan land-use (Laboratorium Pengaliran FT. Undip, 2004)

Page 56: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)

| 39 |

DAFTAR PUSTAKA

Carter WN., 1991. Disaster Management : A Disaster Manager's Handbook. Asian Development Bank. Filipina, Manila.

Changnom, Stanley A., Jr., 1987. Detecting Drought Conditions in Illinois. Illinois State Water Survey, Champaign.

Global Water Partnership (GWP), 2001. Integrated Water Resources Management. Stockholm:GWP Box.

Grigg NS, 1996. Water Resources Management : Principles, Regulation and Cases. Mac Graw Hill. New York

Grigg, Neil and Vlachos, Evan C., 1990. Drought Water Management. Workshop Proceeding in Washington DC., November 1988.

Kodoatie, Robert J., 2003b. Manajemen Penanggulangan Bencana di Jateng (Kekeringan, Banjir Dan Longsor) Disampaikan dalam Pelatihan Tim Kaji Bencana Aparat PBP Jateng Tahun Anggaran 2003 Rabu, 21 Mei 2003.

Kodoatie, Robert J., dan Sjarief Roestam, 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Penerbit Andi, Yogyakarta.

Kodoatie, Robert J., dan Sugiyanto, 2002. BANJIR – Beberapa penyebab dan metode pengendaliannya dalam perspektif Lingkungan. Cetakan 1 Tahun 2002, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Laboratorium Pengaliran FT. Undip, 2004. Kajian Relokasi Desa Karang Pucung Kelurahan Baban Kerep Kecamatan Ngalian Kota Semarang. Kerjasama Dengan Sekretaris Daerah Kota Semarang.

Palmer, W.C., 1965: Meteorological drought. Research Paper No. 45. U.S. Weather Bureau. [NOAA Library and Information Services Division, Washington, D.C. 20852]

Pemerintah Kota Semarang, 2000. Pemetaan Digital Kota Semarang. Hasil Foto Udara dan Pengukuran Terestrial Topografi.

Smith P . 1992. Industrialization and Environment. Oxford University Press. Oxford.

Page 57: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 14-40

| 40 |

Page 58: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 41 |

6. HUBUNGAN LUAS TUTUPAN HUTAN TERHADAP POTENSI BANJIR DAN KOEFISIEN LIMPASAN DI

BEBERAPA DAS DI INDONESIA1

Oleh:

Nana Mulyana2, Cecep Kusmana3, Kamaruddin Abdulah3, Lilik B. Prasetio3

ABSTRAK

Setiap tipe dan luas hutan akan sangat mempengaruhi hasil air, jumlah resapan, evapotranspirasi dan keseimbangan neraca air maupuan hasil dari suatu DAS. Keampuhan tipe hutan dan penggunaan lahan dalam mengendalikan banjir adalah sejauh mana rasio total hujan yang mampu diresapkan kedalam tanah pada kondisi intensitas hujan tinggi. Metode penelitian dilakukan dengan cara membandingkan beberapa analisis hidrograf pada berbagai tipe Sub DAS dan total luas hutan di beberapa lokasi yaitu di Tasikmalaya, Toraja dan Bandung. Berdasarkan variasi hujan tahunan lokasi penelitaian antara 1.600-3.324 mm/th umumnya dihasilkan hasil air antara 635-2.442 mm/th dengan laju evapotranspirasi 1.400 mm/th. Penebangan hutan dengan sistem tebang habis dapat menaikan hasil air tahunan antara 600-650 mm/th dan menaikan koefisien run off dari 0.54 menjadi 0.76, dan koefisien limpasan langsung di bawah tegakan hutan selalu di bawah 5 %. Hutan sangat efektif dalam pengendalian aliran permukaan karena mempunyai jumlah resapan yang tinggi, karena sistem perakaran dan serasah sangat mendukung peresapan air. Kapasitas infiltrasi hutan selalu lebih besar dari intensitas hujan maksimum sehingga luas hutan sangat signifikan terhadap pengurangan potensi banjir. Dengan vegetasi hutan tanah di bawah tegakan hutan selalu tertutup serasah, tidak mencapai kondisi jenuh sehingga luas tutupan hutan di bagian hulu sangat penting dalam perlindungan tanah terhadap erosi, pengaturan kesimbangan air DAS dan perlindungan bahaya banjir. Kata kunci: Hutan, hasil air, kesiembangan air, koefisien aliran dan pencegahan banjir ______________________ 1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007 2 Mahasiswa PPs-IPB Program Doktor-Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, . 3 Ketua komisi dan anggota komisi pembimbing. Fahutan IPB PO Box 169 Bogor

email : [email protected]

Page 59: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 41-54

| 42 |

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Setiap aktivitas manusia yang bersifat mengubah tata guna lahan

akan mempunyai dampak terhadap besar kecilnya air yang keluar dari suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Hutan sudah sejak lama di yakini sebagai regulator air yang baik, yang mampu menyimpan air pada musim hujan dan mengeluarkannya di musim kering, sehingga daerah hulu sungai umumnya penutupannya berupa hutan. Kegiatan yang bersifat mengubah tutupan lahan dan tata guna lahan, baik akibat kegiatan penebangan, dan pengelolaan hutan tanaman akan sangat berpengaruh terhadap hasil air.

Akibat dinamika perubahan ekologis menyebabkan luas hutan semakin menyusut, seiring dengan fenomena perubahan iklim secara global sehingga menyebabkan perubahan terhadap kerakteristik hidrologi (Sun, et al.2005). Kejadian banjir dan longsor yang terjadi dibeberapa lokasi di Indonesia perlu dicari akar permasalahannya dikaitkan dengan tingkat laju kerusakan hutan dan tingkat luas penutupan lahan di setiap DAS. Problema banjir dan kebakaran hutan merupakan suatu kejadian yang terpisah dalam rentang waktu yang berbeda tetapi hakekatnya secara ekologis menimbulkan dampak ekologis yang sangat masif dan berkesinambungan. (Mulyana, 2000).

Penebangan hutan akan mengurangi evapotraspirasi (Et), meningkatkan total limpasan (water yield), meningkatkan tingi muka air tanah dangkal (water table), meningkatkan debit puncak, dan juga meningkatkan erosi dan sedimentasi. Rasio antara bagian hujan yang langsung menjadi aliran permukaan menggambarkan kualitas suatu DAS. Kriteria kualitas DAS hanya dapat dilakukan dengan efektif apabila mampu menghitung berapa rasio bagian air hujan yang dapat diresapkan kedalam suatu DAS/Sub DAS.

Bencana banjir dan tanah longsor merupakan bukti nyata ketidakmampuan air hujan diresapkan ke dalam tanah, sehingga dampak dari hujan yang turun menyebabkan banjir. Mengetahui dampak dan karakteristik hutan dengan jumlah air dalam suatu DAS akibat sistem pengelolaan hutan dan luas tutupan hutan merupakan isu lingkungan yang sangat penting. Akibat perubahan penutupan hutan terhadap karakteristik hidrologi akan sangat signifikan apabila perubahan terjadi di bagian hulu DAS. Bencana banjir merupakan agregasi dampak akibat perubahan pola penggunaan lahan, dan alih fungsi hutan yang dilakukan tanpa pendekatan memperhatikan

Page 60: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Hubungan Luas….(Nana Mulyana)

| 43 |

keseimbangan ekologis. Skala perubahan luas tutupan lahan hutan pada skala makro memerlukan kajian yang intesif pada skala mikro DAS, sehingga perilaku perubahan luas penutupan hutan terhadap respon hidrologi dapat diketahui. 1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini antara lain: 1. Mempelajari pengaruh luas vegetasi hutan terhadap

karakteristik DAS. 2. Mempelajari rasio curah hujan dengan aliran langsung (direct run

off) pada berbagai lokasi Sub DAS 3. Mempelajari karakterisrik hidrologi pada berbagai penggunaan

lahan II. TINJAUAN PUSTAKA

FAO dan CIFOR (2005) menyatakan bahwa hubungan antara hutan dan banjir adalah mitos belaka sehingga tenggelam dalam fiksi dari pada suatu fakta. Yang pada intinya tidak ada hubungan yang nyata antara luas hutan dengan banjir. Suatu pendapat yang sangat bertentangan dengan presespsi masyarakat umum. Publikasi terakhir dari Bradshaw et al (2007) menyatakan terdapat hubungan yang sangat erat antara luas hutan dan tingkat kerusakan banjir. Berdasarkan data dari 56 negara berkembang antara th 1990 s/d 2000 dari 65 kejadian banjir 14 %-nya terakait dengan deforestrasi. Setiap penurunan 10 % luaas hutan alam akan meningkatkan 4-28 % frekwensi kejadian banjir.

Menurut Farida dan Noordwijk, (2004) luas hutan dalam suatu DAS mempunyai fungsi sebagai transmisi air (transmite water), fungsi penyangga (buffrering) dan fungsi pelepasan air secara bertahap (gradually release water). Luas tutupan hutan dalam suatu DAS sangat erat kaitannya dengan jumlah luas indek daun (leaf area index, LAI), sehingga pengaruh tutupan luas hutan terhadap karakteristik hidrologi sangat dipengaruhi oleh umur tegakan, pengelolaan tegakan, luas tajuk hutan dalam suatu DAS.

Berdasarkan hasil pengukuran skala plot oleh Pudjiharta dan Sallata (1985), besarnya rasio intersepsi tegakan P. merkusii dengan curah hujan pada tegakan berumur 20 th sebesar 0.30, 0.22 pada umur tegakan 15 tahun dan 0.15 pada umur tegakan 10 tahun. Mulyana (1994) mendapatkan intersepsi tegakan hutan P. merkusii berumur 12 tahun di Gunung Walat adalah 0.14 Soejoko, et al. (1998),

Page 61: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 41-54

| 44 |

mengukur di daerah Kebasen Banyumas, Jawa Tengah, intersepsi pada tegakan P. merkusii berumur 18 tahun sebesar 0.2.

Menurut Pudjiharta dan Sallata (1985) besarnya air tembus pada tegakan P. merkusii berumur 10 tahun adalah 51,5 %, pada tegakan berumur 15 tahun 48,7 % dan pada tegakan berumur 20 tahun sebesar 46,4 %. Evapotranspirasi hutan hujan tropis di daerah dataran rendah di Indonesia berdasarkan hasil pengukuran berkisar antara 1.200-1.600 mm/th dengan rata-rata 1.400 mm/th. Sedangkan untuk kondisi pegunungan dataran tinggi (> 1.000 m dpl) di mana umumnya dijumpai hutan yang banyak diselimuti oleh awan, evapotranspirasi hutan sebesar 1.100 mm/th. (Mulyanana, 2000).

Laju infiltrasi di bawah tegakan hutan akan sangat mempengaruhi hasil air dari suatu DAS, hasil penelitian Purwanto dan Gintings (1995) di Cijambu, Sumedang, BKPH Manglayang Timur, laju infiltrasi pada kondisi jenuh pada jenis tanah inceptisol di bawah tegakan Eucalyptus sp sebesar 29.98 cm/jam, P. merkusii 26.28 cm/jam, Maesopsis eminii 8.64 cm/jam, dilahan tanaman kol (Cabbage) 4.68 cm/jam dan dibawah tegakan Eupatorium sp 29.88 cm/jam, sehingga terlihat pola penutupan lahan hutan sangat berpengaruh terhadap laju infiltrasi DAS.

Hasil penelitian di Gunung Walat, Sukabumi (750 m dpl) pada kondisi tanah Pondsolik Merah Kuning, dan kelas lereng yang sama, menujukkan bahwa hasil simulasi dengan Model Walat 1. Penutupan lahan berupa hutan merupakan tata guna lahan yang paling baik dalam meresapkan air, karena lebih dari 98,3 % air yang jatuh di atas permukaan hutan di infiltrasikan ke dalam tanah, Mulyana, (1994). Penelitian Arief et al. (1991) di daerah Cikeruh, Sumedang–Jawa Barat menunjukkan bahwa DAS hutan P. merkusii mempunyai tebal tampungan air tanah 312 mm, sedangkan pada DAS pertanian pada kondisi geologi dan topografi yang sama total tampungan air tanahnya hanya 37 mm, sedangkan pada DAS dengan penutupan lahan campuran di daerah Cikapundung - Gandok tebal tampungan permukaannya 242 mm, dan pada daerah Cigulung-Maribaya pada kondisi penutupan lahan campuran total kandungan airnya 254 mm, sehingga dengan demikian DAS berhutan lebih banyak menyimpan air tanah.

Berdasarkan hasil penelitian Pramono dan Gintings (1992) di daerah Sub DAS Ciharung, Sumedang Jawa Barat, tegakan P. merkusii dalam jangka panjang menghasilkan rasio debit dengan curah hujan sebesar 0.37, dengan kebutuhan air tahunan sebesar 1.2660 mm/th, dengan perbandingan antara aliran langsung dan interflow bervariasi

Page 62: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Hubungan Luas….(Nana Mulyana)

| 45 |

antara 6-24 %, sehingga lebih dari 75 % curah hujan di bawah tegakan hutan meresap ke dalam tanah.

Hubungan antara hutan dan air berdasarkan penelitian di Eropa telah membuktikan dengan adanya hutan debit air akan meningkat (Molchanov, 1966). Di lain pihak, beberapa hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh Bosh dan Hewlett (1982) memperlihatkan hasil yang sebaliknya. Gilmour et al. (1982), berdasarkan hasil penelitian di Quensland di bagian utara Australia menyatakan akibat penebangan hutan menyebabkan kenaikan aliran permukaan sebesar 10 % atau 297 mm/th.

Hasil penelitian akibat penebangan hutan terhadap perilaku air yang dilakukan di daerah tropis yang dilakukan oleh Rahim Nik, (1990) di Bukit Berembun, Negeri Sembilan, Malaysia. Penelitian yang dilakukan di tanah ultisol, dengan tekstur tanah bervariasi antara lempung berpasir sampai liat berpasir, dengan curah hujan 2.125 mm/th menunjukkan bahwa konsumsi air oleh vegetasi di tempat-tempat terbuka akibat aktivitas pembalakan masih tetap lebih kecil dari pada konsumsi air oleh vegetasi di hutan yang tidak ditebang serta daerah yang ditebang menujukkan adanya kenaikan aliran lambat pada musim kering.

Konversi hutan hujan tropis dataran rendah menjadi tanaman tahunan (tanaman pertanian) akan menyebabkan kenaikan hasil air sebesar 200-300 mm/th, akan tetapi perubahan ini akan sangat tergantung pada tingkat perubahan jenis vegetasi hutan dan perbandingan antara hubungan antara kenaikan laju evapotranspirasi hutan pada musim kering dan tingginya laju infiltrasi tegakan hutan pada musim hujan. III. METODA PENELITIAN

Hasil air dari suatu DAS (water yield) dapat diduga dengan

menggunakan jumlah curah hujan (P) dengan evapotrasnpirasi (Et), Y = P- Et.............................................................................................(1)

Atau dihitung bedarsarkan akumulasi debit sungai yang terjadi dalam satu tahun:

Y = ∑ q i .............................................................................................(2) Di mana qi adalah debit harian dalam setahun dalam mm.

Respon hidrologi tahunan DAS dapat dihitung dengan rumus sbb;

RHt = Y/ P .......................................................................................(3) Di mana,

Page 63: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 41-54

| 46 |

RHt = respon hidrologi tahunan Y = total water yield tahunan (mm) P = total curah hujan tahunan (mm)

Kualitas DAS dalam mengendalikan banjir dapat dihitung dengan membandingkan total aliran langsung (direct run off) tunggal dengan total hujan tunggal sehingga dapat dirumuskan:

RHh = ∑ DRO/∑ CHh ..........................................................(4) Dimana :

RHh = respon hidrologi harian DRO = total debit limpasan CHh = total curah hujan harian

Metode dengan cara membandingkan hidrograf aliran dilakukan

pada pada 5 Sub DAS terpilih tesebar di beberapa tempat (Gambar 1) yang mempunyai peralatan pengukur curah hujan dan debit sungai secara otomatis. Data debit, curah hujan harian, diambil dari data loger dengan interval 15 menit dengan menggunakan alat AWLR-Global water loger dan AWLR harian type R-20. Data ketinggian air diolah dari data loger Global Loger Wl-16, dan curah hujan diukur dengan alat sensor Global Loger RG 600 dan GL-500-2-1 dan ARR tipe siphon-theis. Data penutupan lahan dan kontur diolah dari peta skala 1: 50.000 (RBI-Bakosurtanal).

Gambar 1. Lokasi plot pengamatan hubungan luas penutupan hutan dengan curah

hujan-debit sungai.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Debit Sungai dan luas hutan

Debit sungai merupakan hasil interaksi antara faktor iklim, tanah, geologi, lereng dan penutupan lahan. Berdasarkan hasil pengamatan selama 3 tahun pada 5 Sub DAS terpilih diberbagai tempat yang mewakili berbagai tipe iklim, batuan dan penutupan lahan secara ringkas disajikan pada Tabel 1 di bawah

Page 64: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Hubungan Luas….(Nana Mulyana)

| 47 |

ini. Berdasarkan data pada Tabel 1 terlihat bahwa areal dengan luas hutan yang semakin sedikit di Sub DAS Cilebak, rasio antara debit tahunan dengan hujan mencapai 0.67 dan pada Sub DAS yang didominasi oleh tanaman holtikulktura (sayuran) rasio antara debit dengan curah hujan mencapai 0.73, sementara Sub DAS dengan luas hutan yang masih utuh (di Sub DAS Gumbasa), Maguliling dan Sub DAS Cibangban rasio antara hutan dengan curah hujan tahunan berkisar 0.45 sampai 0.63. Dari data di atas terlihat bahwa perbandingan antara total debit tahunan dengan curah hujan sangat dipengaruhi oleh penutupan lahan, dan tutupan lahan berupa hutan dan kebun mempunyai dampak yang sangat signifikan terhadap jumlah hasil air (water yield) di suatu Sub DAS/DAS, sehingga hutan berfungsi sebagai “busa raksasa” yang menyimpan sebagian hujan ke dalam tanah. Tabel 1. Rasio hujan dan debit tahunan pada berbagai Sub DAS/DAS terpilih NO SUB LUAS PENUTUPAN CURAH DEBIT RASIO

DAS/DAS (LOKASI)

(HA) LAHAN (%) HUJAN (MM)

(MM) DEBIT/ C.HUJAN

1. Cibangban 118,3 H. Alam 31.1 % 3.324. 1791, 8 0.53

(Garut) H. Pinus 68,1 %

2. Cikawung (Garut)

63,3 Hotikultura 90 % H. Pinus tua 10 %

3.324 2442, 8 0.73

3. Gumbasa 122.9 Hutan alam 1.410 635.5 0.45 (Palu) 43 71.7 % Belukar

11.7 % Pertanian sawah 4.5 % kopi dan coklat 7.2 % rumput 4.9 %

4. Manguliling (Toraja)

4.148 Hutan 0,1 %, Kebun 45,1 %, Ladang/tegalan 26.5 %, sawah 17,5 %

2006 918.7 0.45

Page 65: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 41-54

| 48 |

NO SUB LUAS PENUTUPAN CURAH DEBIT RASIO DAS/DAS

(LOKASI) (HA) LAHAN (%) HUJAN

(MM) (MM) DEBIT/

C.HUJAN

5. Cilebak (Bandung)

400,2 Hutan 14,5 % ladang, tegalan 39 % Kebun campuran, pemukiman dan sawah 46.5 %

1608 1.080 0.67

Pada percobaan dua Sub DAS yang berdampingan yaitu

pada Sub DAS Cibangban yang mewakili Sub DAS berhutan dan Cikawung (Sub DAS non hutan/bekas penebangan) di daerah di KPH Tasikmalaya –Perum PERHUTANI Unit III Jawa Barat yang mempunyai jenis batuan, curah hujan dan kondisi topografi yang sama sehingga debit sungai hanya merupakan hasil dari perbedaan penutupan lahan dan luas hutan, dari pengamatan selama 3 tahun berturut-turut terlihat bahwa penebangan hutan menyebabkan naiknya rasio antara debit dengan curah hujan sebagaimana disajika pada Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2. Rasio antara curah hujan dengan debit pada DAS berhutan dan non-

hutan

Sebelum ditebang debit aliran di Sub DAS Cikawung (63,3 ha), lebih rendah dibandingkan Sub DAS Cibangban (118,3 ha), sesuai dengan luas DAS. Setelah dilakukan penebangan pada Sub non hutan

Page 66: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Hubungan Luas….(Nana Mulyana)

| 49 |

(bekas penebangan), terlihat pada bulan ke-4 sampai bulan ke-6 setelah ditebang, debit Sub DAS Cikawung sama dengan Debit Sub DAS Cibangban, pada bulan ke-8 s/d bulan ke –19, terjadi kenaikan debit pada Sungai Cikawung, yang berarti, terjadi kenaikan run off yang besar disertai keluarnya air dari cadangan air tanah, akibat hilangnya evapotranspirasi, jumlah air yang bertambah berkisar 600-650 mm/th atau setara dengan 54 mm/bulan. Pada bulan ke 20 sampai 34 setelah ditebang dengan sistem tebang habis, hasil air antara Sub DAS Cikawung hampir sama dengan Sub DAS Cibangban. Sedangkan pada bulan ke 35 setelah ditebang, atau setelah tanaman P. merkusii muda berumur 3 tahun debit S. Cikawung lebih rendah dibandingkan dengan S. Cibangban, hal ini menunjukkan kondisi ekosistem kembali seperti keadaan sebelum ditebang, sehingga efek penebangan hutan Pinus sangat berpengaruh dan memberikan dampak yang sangat besar pada tahun ke dua sampai ke tiga setelah ditebang. Dengan demikian berkurangnya luas hutan akan sangat berpengaruh terhadap hasil air dan pada intensitas hujan tinggi akan sangat berpengaruh terhadap banjir.

Berdasarkan hasil pengamatan koefisen resesi dan jumlah air yang dapat ditampung pada musim kering terlihat bahwa pada musim kering tahun pertama di tebang pada Sub DAS berhutan kandungan air tanahnya 61,9 % lebih banyak dibandingkan DAS non hutan (bekas penebangan), sedangkan setelah 2 tahun ditebang kandungan tampungan DAS non hutan 56,71 % lebih banyak dibanding DAS berhutan, hal ini disebabkan karena hilangnya evapotranspirasi sehingga air meresap mengisi zone aquifer, akan tetapi pada tahun ke 3 setelah ditebang, yaitu pada musim kering, jumlah air tanah pada Sub DAS berhutan lebih banyak 18,1 % dibandingkan dengan Sub DAS non hutan, hal ini mengindikasikan bahwa Sub DAS berhutan jauh lebih baik dalam menyimpan air tanah, akibat infiltrasi yang besar. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Perbandingan tampungan air pada musim kering antara Sub DAS

berhutan dan non hutan.

Parameter kandungan air tanah Sub DAS

Non Hutan

Sub DAS

Berhutan Tampungan air musim kering th 1995 (mm) 5.81 9.46 Tampungan air musim kering th 1997 (mm) 8.67 4.92 Tampungan air musim kering th 1998 (mm) 19.06 22.51

Page 67: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 41-54

| 50 |

4.2 Respon Hidrologi Berdasarkan perbandingan antara data curah hujan dengan

debit pada Tabel 4 terlihat bahwa kegiatan penebangan menyebabkan naiknya total koefisien aliran permukaan dari 0,54 menjadi 0,735. Akibat penebangan menyebabkan naiknya debit base flow akibat berkurangnya evapotranspirasi, antara Sub DAS yang ditebang dan tidak ditebang terdapat selisih hasil air (water yield) sebesar 1.842 mm selama 34 bulan atau setara dengan 54,2 mm/bulan sehingga kegiatan penebangan telah menaikan air sebesar 650 mm/th atau setara dengan menaikan potensi banjir. sehingga kebutuhan evapotarspirasi hutan P. merkusii di daerah Tasikmalaya-Garut setara dengan 650 mm/th ditambah keperluan evaporasi sebesar 1,81 mm/hari atau sebesar 660 mm/tahun sehingga total air yang diuapkan ke udara adalah sebesar (650+ 660 mm) atau 1.310 mm/th, sehingga dengan demikian tanamn P. merkusii memerlukan air sebesar 3,81 mm/hari.

Tabel 3. Rasio aliran langsung dengan curah hujan pada berbagai lokasi di Indonesia.

NO SUB DAS/ DAS

PENUTUPAN LAHAN (%)

CURAH HUJAN (MM)

DIRECT RUN OFF

(DRO) (MM)

RASIO LIMPASAN

(DRO)/ CURAH HUJAN

1. Cibangban (Tasikmalaya)

H. Alam 31.1 % H. Pinus 68,1 %

87.8 22.1 0.25

2. Mararin (Toraja)

13,6 3 0.22

3. Cilebak (Bandung)

Hutan 14,5 % ladang, tegalan 39 % kebun campuran, pemukiman dan swah 46.5 %

29.86 3.7 0.12

Page 68: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Hubungan Luas….(Nana Mulyana)

| 51 |

Tabel 4.Perbandingan respon hidrologi antara Sub DAS berhutan dan non hutan (bekas penebangan)

Non Hutan (Bekas Penebangan)

Berhutan

Waktu Curah hujan Debit (mm) Respon

hidrologi Debit (mm) Respon

hidrologi Bulan 1 s/d 12 3.814 3.036 0,796 1.998 0.52 Bulan 13 s/d 24 1.307 2.225 1,702 1.205 0.92 Bulan 25 s/d 34 4.297 1.658 0,386 1.874 0.44

Total 1 s/d 34 9.419 6.919 0,735 5.077 0.54

Untuk melihat lebih akurat antara pola penggunaan lahan

hutan dan non hutan berdasarkan hasil pengamatan pada dua DAS berdampingan dengan menggunakan hidrograf satuan sebesar 100 mm/jam dengan hasil sebagaimana disajikan pada Gambar 3 di bawah ini.

Gambar 3. Perbandingan hidrograf satuan antara Sub DAS berhutan dan non hutan

Berdasarkan data debit di atas terlihat bahwa hidrograf satuan Sub DAS hutan pinus muda mempunyai debit puncak 428 liter/det sedangkan Sub DAS pinus tua dan hutan alam hanya 231 liter/det, dengan waktu puncak masing-masing 2 jam untuk Sub DAS non hutan dan 3 jam untuk Sub DAS berhutan dengan waktu dasar masing-masing 17 dan 59 jam, sehingga Sub DAS berhutan lebih baik dalam mengendalikan aliran permukaan pada saat terjadi hujan maksimum. Sub DAS berhutan mempunyai waktu alirtan dasar 3 kali lebih lama dibandingkan Sub DAS yang ditanami sayuran, dan Sub DAS berhutan mampu meredap debit puncak aliran 1/2 x lebih sedikit dibandingkan DAS yang ditanami oleh sayuran, sehingga

Page 69: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 41-54

| 52 |

membuka hutan pada daerah hulu sungai akan sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas air. Perubahan dari hutan ke non hutan sangat berpotensi menaikan resiko banjir karena meningkatkan aliran permukaan, naiknnya waktu konsentrasi dan menurunnya kualitas air.

Kegiatan penebangan hutan dengan sistem tebang habis menyebabkan perubahan koefisien aliran permukaan (rasio antara debit dengan hujan) tahunan meningkat dari 0,54 menjadi 0,74. Dengan demikian penebangan hutan menaikan jumlah air tahunan lebih dari 22 %, tetapi air tersebut sebagian besar merupakan aliran langsung (run off) yang kualitasnya juga rendah karena banyak mengandung sedimen. Perbedaan antara DAS yang ditebang dan yang tidak ditebang terdapat selisih hasil air (water yield) sebesar 54,2 mm/bulan atau sebesar 650 mm/th. Dari skala pengukuran sub DAS ternyata kebutuhan air untuk evapotraspirasi hutan Pinus 1.250 mm/th atau 3,71 mm/hari.

Dengan data-data di atas pengaruh hutan sangat signifikan terhadap jumlah dan prosentase curah hujan yang menjadi aliran permukaan. Dewasa ini tidak ada penutupan lahan yang dapat mengimbangi hutan dalam kemampuan meresapkan air hujan dan mencegah tanah mengalami erosi dan longsor. Hutan merupakan penutupan lahan yang paling baik dalam mencegah erosi dan menyimpan air tanah, sehingga penutupan hutan dalam suatu DAS sangat baik dalam mencegah terjadinya banjir, yang diakibatkan oleh intensitas curah hujan yang tinggi yang biasanya terjadi pada awal musim penghujan. V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Penebangan hutan, perubahan penutupan lahan dari hutan

menjadi non hutan akan memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap rasio debit dengan curah hujan baik secara harian maupun tahunan, sehingga pengaturan luas hutan menjadi sangat penting dalam mengurangi resiko banjir di suatu DAS.

Page 70: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Hubungan Luas….(Nana Mulyana)

| 53 |

2. Penebangan hutan dapat menyebabkan rasio aliran limpasan meningkat, base flow meningkat tetapi infiltrasi menurun, sehingga jumlah tampungan air dimusim kemarau lebih sedikit dibandingkan data DAS berhutan

3. Penebangan hutan dengan sistem tebang habis meningkatkan koefisien aliran dari 0.56 menjadi 0.74 sehingga jumlah air akan meningkat 50 % dan umumnya disebabkan karena menurunnya kapasitas infiltrasi, sehingga terdapat hubungan yang erat antara luas hutan dan resiko banjir di suatu DAS

4. Luas hutan di suatu DAS sangat erat kaitannya dengan hidrograf aliran, sehingga hutan sangat efektif dalam mengendalikan aliran pemukaan karena laju infiltrasi hutan di daerah hulu DAS lebih besar dari laju intensitas hujan.

B. Saran

1. Perlu adanya penelitian yang berkesinambungan untuk melihat pengaruh hutan terhadap banjir dan perlu ada sosialisasi hasil-hasilnya sehingga tidak terjadi misleading, mis komonikasi dan bahkan hanya dinyatakan sebagai mitos belaka.

2. Perlu aplikasi modeling dalam mempelajari pengaruh hutan dan banjir dengan menggunakan model hidrologi dengan memperhatikan aspek spatial dan temporal.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, M, I. R Effendy dan S.DM. Kayo. 1991. Hubungan Lahan Penutup (Hutan) terhadap Debit Rendah. Kolokium Hasil Penelitian Puslitbang Air Tahun 1990/1991. Bandung.

Bradshaw C.J, Navjot S. Sodhi, Kelvin S. PEH Barry W. Brook. 2007. Global Evidence that Deforestration amplifies flood risk and serverity in The Developing World. School for Environmental Research, Institute Advance Study Charles Darwin University, Darwin Australia.

FAO &CIFOR. 2005. Hutan dan Banjir, Tenggelam Dalam Suatu Fiksi atau Berkembang dalam Fakta. CIFOR-Bogor, ISBN-979-3361-75-1.

Page 71: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 41-54

| 54 |

Farida dan Noorwijk M. 2004. Analisis Debit Sungai Akibat Alih Guna Lahan Dan Aplikasi Model Genriver Pada Das Way Besai, Sumberjaya. AGRIVITA VOL. 26 NO.1. World Agroforestry Centre- ICRAF SE Asia, Bogor, ISSN : 0126 – 0537.

Gilmour, D.A., Cassells, D.S. and Bonell, M., 1982. Hydrological research in the tropical rainforests of north Queensland: Some implications for land use management. In: E.M. O'Loughlin and L.J. Bren (Editors), First National Symp. on Forest Hydrol., Melbourne, May 1982, Instit. Engrs., Canberra, Australia. Nat. Conf. Publ. 82-6, pp. 145-152.

Hewlett, Jhon D. 1982. Principles of Forest Hidrology. The University of Georgia Press. Athens.

__________, N. 1994. Simulasi Pengaruh Hutan Terhadap Sistem Tata Air di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Lembaga Penelitian IPB. Bogor.

__________, N. 2000. Pengaruh Hutan Pinus (P. merkusii) terhadap karakteristis Hidrologi di Sub DAS Ciwulan Hulu, KPH Tasikmalaya Perum Perhutani Unit III-Jawa Barat Kajian menggunakan Model POWERSIM-PINUS Ver 3.1). Thesis Fakultas Pasca Sarjana IPB-Bogor

Molchanov, A.A. 1966. The Hydrological Role of Forest Translated From Rusia. Israel Program for Scientific Translation Jarrusallem.

Pudjiharta, Ag., M.K. Sallata. 1985. Aliran Batang, Air Lolos dan Intersepsi Curah Hujan pada Tegakan Pinus merkusii di Bawah Hutan Tropik di Cikole, Lembang, Bandung Utara, Jawa Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. Buletin no 471.

Purwanto. I. dan A.Ng. Gintings. 1995. Pengaruh Berbagai Jenis Vegetasi terhadap Kapasitas Infiltrasi Tanah di Cijambu, Sumedang, Jawa Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. Buletin Penelitian Hutan No.573.

Pramono.,I. B. and A. Ng. Gintings. 1992. Hydrological Response of Pinus merkusii in Ciharung Catchment, West Java. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. Buletin Penelitian Hutan No.552.

Nik A.R. 1990 ,Effects of selective logging methods on streamflow parameters in Berembun watershed.

Page 72: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 55 |

7. PERAN HUTAN DALAM PENGENDALIAN TANAH LONGSOR1

Oleh:

Sukresno2

ABSTRAK

Bencana alam tanah longsor akhir-akhir ini kejadiannya cenderung terus meningkat, khususnya saat awal musim penghujan tiba. Namun demikian isue degradasi hutan (deforestasi) yang tinggi saat ini masih dianggap sebagai pemicu munculnya bencana alam tersebut. Sebenarnya peran vegetasi hutan tersebut dalam mengendalikan tanah longsor/stabilitas lereng adalah sangat besar, tetapi pengaruhnya dapat positip (menguntungkan) dan atau negatip (merugikan). Pengaruh positip berarti adanya vegetasi hutan dapat meningkatkan kuat geser tanah dan menurunkan tegangan geser tanah. Sebaliknya pengaruh negatif berarti adanya vegetasi dapat menurunkan kuat geser tanah dan meningkatkan tegangan geser tanah. Dengan demikian kemampuan jenis-jenis vegetasi (species) hutan dalam mempengaruhi stabilitas lereng (tanah longsor), selain berat biomassnya adalah bentuk sistem perakaran, kedalaman akar, distribusi/sebaran perakaran, susunan akar, dan kekuatan akar.

Kata kunci : Hutan, tanah longsor, kuat geser, tegangan geser, akar

I. PENDAHULUAN

Indonesia yang berada pada tiga lempeng aktif dunia, yaitu Eurasia, Pasifik, dan Australia dilaporkan terdapat 918 lokasi rawan longsor dengan kerugiaan sekitar hampir satu trilyun rupiah per tahun dan mengancam sekitar 1 juta jiwa (Anonimous, 2007). Sebaran daerah rawan longsor tersebut, antara lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara masing-masing ada 276, 327, 30, 100, dan 53 lokasi. Intensitas kejadian tanah longsor saat ini cenderung terus meningkat, seperti di Jawa Tengah pada periode 2002-2006 masing-masing terjadi sebanyak, 13, 15, 19, 7, dan 19 kali (Distamben Prop Jateng dalam Suharwanto, 2006). Kecenderungan peningkatan bencana alam tanah longsor saat ini seperti sejalan dengan peningkatan laju deforestasi di Indonesia dari 1,3 juta ha per tahun menjadi hampir 4 juta ha per tahun. __________________________ 1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007 2 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Solo, Jl. Jend. A. Yani-Pabelan, P.O Box 295 Surakarta, Telp. (0271) 716709

Page 73: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 55-67

| 56 |

Tanah longsor (Brook et al., 1991) adalah salah satu bentuk dari gerak masa tanah, batuan dan runtuhan batu/tanah yang terjadi seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan oleh gaya gravitasi dan meluncur di atas suatu lapisan yang kedap yang jenuh air (bidang luncur). Tanah longsor terjadi jika dipenuhi 3 keadaan, yaitu: 1) lereng cukup curam, 2) terdapat bidang peluncur di bawah permukaan tanah yang kedap air, dan 3) terdapat cukup air dalam tanah di atas lapisan kedap (bidang luncur) sehingga tanah jenuh air, akibatnya kuat geser tanah berkurang sedang tegangan geser tanah meningkat. Pengurangan kuat geser pada tanah disebabkan oleh kondisi geologi – jenis tanah, tekstur (komposisi), sensivitas sifat tanah lempung, adanya lapisan tanah shale, loess, pasir lepas, dan bahan organik. Pengurangan kuat geser pada batuan disebabkan oleh adanya diskontinuitas, sifat kekakuan, arah bedding, joint, orientasi lereng, derajat sementasi batuan misalnya konglomerat, batuan pasir, breksi, dan lain-lain. Peningkatan tegangan geser disebabkan antara lain oleh peningkatan kadar air oleh air hujan yang berinfiltrasi kedalam tanah/batuan pada lereng terbuka tanpa vegetasi sehingga tegangan air pori dan tekanan hidrostatis dalam tanah meningkat serta berat beban pada lereng meningkat. (Suryolelono, 2007).

Peran vegetasi (hutan) dalam memperkuat stabilitas lereng dikemukakan oleh Hardiyatmo (2006), yaitu vegetasi meningkatkan kekasaran permukaan sehingga melindungi tanah dari erosi, jaringan akar meningkatkan kuat geser tanah, dan evapotranspirasi mengurangi tekanan air pori sehingga menurunkan tegangan geser tanah. Sedang adanya pengurangan vegetasi/penebangan hutan pada lereng berakibat pada peningkatan kejadian tanah longsor karena meningkatnya erosi tanah, serta rusaknya dan pembusukan bertahap ikatan diantara akar-akarnya berakibat pada pelemahan stabilitas tanah. Penelitian terkait pengaruh pembalakan hutan terhadap peningkatan kejadian tanah longsor dikemukakan oleh Montgomery et al. (2000) untuk kejadian di Pasific Northwest, Howes (1987) di Pantai Selatan Pegunungan British Columbia, Ziemer dan Swanston (1977) di Alaska Tenggara, dan Soms

Paper ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya peran vegetasi hutan dalam kaitannya dengan peristiwa tanah longsor yang akhir-akhir ini sering terjadi, dimana vegetasi hutan dianggap sebagai pemicunya seperti yang terjadi di Jember, Banjarnegara, Trenggalek, Bohorok, dan Bogor.

Page 74: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor….(Sukresno)

| 57 |

II. TANAH LONGSOR

Tanah longsor dapat diartikan sebagai perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng (Anonimous, 2007). Proses terjadinya yaitu air yang meresap ke dalam tanah akan menambah berat tanah, selanjutnya jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng atau longsor. Ciri-ciri tanah longsor dikelompokkan atas pengaruh dari batuan/tanah, tektonik/kegempaan, morfologi, dan kadar air tanah (Hirmawan, 1994). Gejala umum tanah longsor (Anonimous, 2007) yaitu retakan pada lereng yang sejajar arah tebing, muncul mata air, tebing rapuh-batu-batu kecil berjatuhan, umumnya terjadi setelah hujan.

Jenis tanah longsor yang umum ada 6 (Gambar 1) , yaitu: 1) longsoran translasi, 2) longsoran rotasi, 3) pergerakan blok, 4) runtuhan batu, 5) rayapan tanah, dan 6) aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan (Anonimous, 2007).

Penyebab terjadinya tanah longsor adalah sangat kompleks baik alami seperti faktor geologi, hidrologi, topografi, tanah, iklim maupun adanya aktivitas manusia. Sebab alami tersebut (Hardiyatmo, 2006 dan Anonimous, 2007), a.l. yaitu: 1) penambahan beban pada lereng oleh air (hujan) dan vegetasi (tertiup angin); 2) penggalian/pemotongan lereng pada kaki tebing; 3) lereng tebing yang curam; 4) tekanan lateral air dalam tanah; 5) getaran/gempa; 6) jenis dan perubahan penggunaan lahan (hutan-non hutan); 7) erosi (tebing sungai); dan 8) bekas longsoran lama.

Page 75: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 55-67

| 58 |

Gambar 1. Jenis-jenis tanah longsor (Sumber: Anonimous, 2007)

III. PERAN VEGETASI PADA STABILITAS LERENG

Seperti telah dikemukaan pada bab sebelumnya, peran vegetasi hutan dalam mengendalikan stabilitas tanah pada lereng sangat besar, yaitu melalui peran hidromekaniknya dan biotekniknya (Hardiyatmo, 2006; VSTC, 1987; Abramson et al., 1996). Vegetasi berperan dalam aspek hidrologi yaitu menurunkan kelembaban air tanah melalui proses evapotranspirasi dan aspek mekanis perkuatan ikatan akar pada partikel-partikel tanah pada lereng (jaringan akar – penjangkaran akar sampai lapisan kedap). Greenway (1987) dalam Hardiyanto (2006) memberikan informasi peran hidromekanik vegetasi pada stabilitas lereng dari pengaruh yang menguntungkan dan merugikan seperti disajikan pada Tabel 1.

Peran yang menguntungkan dari adanya vegetasi dalam menstabilkan lereng Hardiyanto (2006) yaitu: 1) jaringan akar memperkuat tahanan geser tanah, 2) evapotranspirasi menurunkan tekanan air pori yang selanjutnya menurunkan tegangan geser tanah, 3) vegetasi menambah kekasaran permukaan yang berfungsi menahan erosi tanah, dan 4) berat pohon yang tertanam dapat mengaker tanah yang berfungsi sebagai penambah tegangan kekang (tegangan normal) yang dapat menahan gerak lereng ke bawah. Sedang peran vegetasi

1. Longsoran Translasi

2. Longsoran Rotasi

3. Pergerakan Blok

4. Runtuhan Batu

5. Rayapan Tanah

6. Aliran Bahan Rombakan

Page 76: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor….(Sukresno)

| 59 |

yang memperlemah stabilitas lereng, yaitu: 1) pertambahan beban vegetasi pada lereng berpotensi bahaya penggulingan jika jangkaran akar yang lemah maupun adanya angin kencang, 2) evapotranspirasi dapat mempercepat pengurangan kelembaban tanah menyebabkan tanah retak-retak sehingga menambah kapasitas infiltrasi, dan 3) akar vegetasi menambah kekasaran permukaan dan permeabilitasnya sehingga menambah kapasitas infiltrasi.

Peran vegetasi dalam mengendalikan stabilitas lereng sangat ditentukan oleh keberadaan sifat-sifat dari akarnya Hardiyanto (2006), yaitu 1) bentuk sistem perakaran (tunggang-serabut), 2) kedalaman akar (dangkal-dalam menembus bedrock-Gambar 2), 3) distribusi/sebaran perakaran (perbandingan dengan luas mahkotanya), 4) susunan akar (ratio akar:tanah atau berat biomass akar per satuan volume tanah), dan 5) kekuatan akar (nilai kuat tarik akar pada berbagai diameter akar dan species vegetasi). Tabel 2 menyajikan nilai kuat tarik akar untuk berbagai species vegetasi. Tabel 3, 4, dan 5 menyajikan jenis-jenis pohon berakar dalam-bercabang banyak, dalam-bercabang sedikit, dan dapat hidup pada daerah yang banyak air dan tahan pangkas. Tabel 1. Peran hidromekanik vegetasi pada stabilitas lereng

No Peran Hidromekanik Pengaruh Mekanisme secara Hidrologi 1 Daun-daun: menahan jatuhan air hujan, mengurngi

erosi, infiltrasi, meningkatkan absorsi-transpirasi Menguntungkan

2 Akar dan batang: menambah kekasaran permukaan, permeabilitas, menambah kapasitas infiltrasi

Merugikan

3 Akar menyerap air dari tanah, membantu proses transpirasi, membantu mengurangi tekanan air pori

Menguntungkan

4 Pengurangan kelembaban air tanah oleh akar menyebabkan tanah retak, menambah infiltrasi

Merugikan

Mekanisme secara Mekanis 5 Akar memperkuat tanah, memperbesar kuat geser Menguntungkan 6 Akar pohon menembus sampai ke lapisan keras,

meningkatkan kekuatan daya dukung tanah Mekanisme secara Mekanis

Menguntungkan

7 Berat pohon membebani lereng, menambah komponen gaya normal dan gaya ke bawah lereng

Merugikan Menguntungkan

8 Vegetasi menimbulkan gaya dinamik ke lereng akibat

angin Merugikan

9 Akar mengikat partikel tanah di permukaan dan menambah kekasaran permukaan, mengurangi erosi

Menguntungkan

Sumber: Greenway (1987) dalam Hardiyatmo (2006)

Page 77: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 55-67

| 60 |

Gambar 2. Bentuk jangkaran akar pohon pada perlapisan tanah/batuan Tabel 2. Nilai kuat tarik akar untuk beberapa species vegetasi pohon dan semak

Species Nama pada umumnya Nilai Kuat Tarik Rata2 (MPa)

Pohon-pohon 11-55 Acasia confuse Acasia 11 Ficus benyamina Beringin 13 Hevea braciliensis Karet 11 Pinus densiflora Pinus Merah 33 Pinus lambertiana Pinus Sugar 10 Pinus panderosa Pinus Panderosa 10 Pinus radiata Pinus Monterey 18 Semak-semak 16-71

Sumber: Schiechtl (1980) dalam Hardiyatmo (2006)

Tabel 3. Jenis-jenis pohon berakar dalam dan bercabang banyak

Jenis Vegetasi Tempat Tumbuh Kemiri (Aleurites moluccana) Mindi (Melia azedarach) Laban (Vitex pubescens) Dlingsem (Homalium tomentosum) Bungur (Lagerstroemia speciosa) Lamtoro merah (Acasia villosa) Eucalyptus alba Johar (Cassia seamea) Lamtoro (Leucaena leucocephala)

+ 1000 m + 1000 m + 300 m + 300 m + 300 m + 300 m + 300 m + 700 m + 500 m

Sumber: Sudjoko dalam Hardiyatmo (2006)

Page 78: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor….(Sukresno)

| 61 |

Tabel 4. Jenis-jenis pohon berakar dalam dan bercabang sedikit Jenis Vegetasi Tempat Tumbuh

Mahoni daun lebar (Swietenia macrophylla)

Renghas (Gluta renghas) Jati (Tectona grandis) Kesambi (Schleichera oleosa) Angsana (Pterocarpus indicus) Sonokeling (Dalbergia latifolia) Trengguli (Cassia fistula) Kupu2 (Bauhinia urpurea) Asem (Tamarindus indica) Pilang (Acasia leucophloea)

+ 700 m

+ 300 m + 500 m + 700 m + 700 m + 700 m + 700 m + 1000 m + 1000 m + 700 m

Sumber: Sudjoko dalam Hardiyatmo (2006)

Tabel 5. Jenis-jenis pohon yang tumbuh pada lingkungan basah dan tahan pangkas

Jenis Vegetasi Tempat Tumbuh Kemiri (Aleurites moluccana) Mindi (Melia azedarach) Laban (Vitex pubescens) Dlingsem (Homalium tomentosum) Bungur (Lagerstroemia speciosa) Lamtoro merah (Acasia villosa) Eucalyptus alba Johar (Cassia seamea) Lamtoro (Leucaena leucocephala)

+ 1000 m + 1000 m + 300 m + 300 m + 300 m + 300 m + 300 m + 700 m + 500 m

Sumber: Sudjoko dalam Hardiyatmo (2006)

IV. HUTAN DAN TANAH LONGSOR

Masalah kerusakan hutan di Indonesia dengan laju kerusakan hutan (deforestasi) periode 1985-1997 dan 1997-2000 dari 1,6 juta menjadi 3,8 juta hektar per tahun, selalu dikaitkan dampaknya dengan munculnya bencana alam banjir, kekeringan, dan tanah longsor, tercatat sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003 telah terjadi 647 kejadian (Bakornas PBP, 2005). Beberapa contoh kasus kejadian tanah longsor di awal tahun 2006, yaitu di Jember dan Banjarnegara dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit telah menjadi isue nasional, dimana penyebab kejadian adalah karena hutan di hulunya telah rusak. Namun demikian, apakah isue yang berkembang tersebut benar adanya. Dalam uraian di bawah akan dicoba diurai tentang adanya isue di dua lokasi tersebut.

Page 79: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 55-67

| 62 |

Tanah Longsor di Jember

Tanah longsor dan banjir (banjir bandang) di Kecamatan Panti dan Rambipuji, Kabupaten Jember pada awal tahun 2006, terjadi pada tanggal 1-2 Januari 2006, mengakibatkan 74 orang meninggal, puluhan rumah hancur, dan 340 ha sawah rusak (Nugroho, 2006). Berdasarkan data dari tiga stasiun klimatologi terdekat, curah hujan pada tanggal 1 Januari 2006 sebesar 115 mm, 138 mm, dan 179 mm, di mana curah hujan tersebut berada dalam kategori diatas normal, menyebabkan tanah longsor pada kiri-kanan tebing curam di sepanjang sungai Kali Putih, bagian lereng bawah dari kompleks Gunung Argopuro. Banjir bandang yang menimpa beberapa desa di dua kecamatan tersebut disebabkan gagalnya material tanah dari longsoran tanah yang membentuk bendungan alami di palung sungai Kali Putih di sebelah hulu (Gambar 3). Tanah longsor terjadi di area perkebunan kopi, sedang kawasan hutan (lindung) yang berada di atasnya masih dalam kondisi tutupan yang baik.(lihat Gambar 3), dari 4.500 ha kawasan hutan, hutan produksi 750 ha, hutan lindung 3.000 ha, sisanya hutan suaka margasatwa.

Tanah Longsor di Banjarnegara

Tanah longsor (Gambar 4) di Dusun Gunungraja, Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara terjadi pada tanggal 4 Januari 2006, menyebabkan korban jiwa meninggal 75 orang, 102 rumah rusak, sawah dan tegal tanaman telah tertimbun. Curah hujan harian saat kejadian dan 3 hari sebelum tanah longsor terjadi, yaitu 10 mm, 15 mm, 53,3 mm, dan 105 mm. Topografi pada lokasi tanah longsor termasuk sangat curam dengan kelerengan > 45% dan ketinggian elevasi berkisar 750-1.000 m dpl. Vegetasi penutup lahan berupa tegakan rasamala (Altingia excelsa) tanaman tahun 1931 seluas 26,1 Ha, pinus (Pinus merkusii) tanaman tahun 1963 seluas 1,5 Ha, dan pinus (Pinus merkusii) tahun 1993 seluas 3,0 Ha, masing-masing dengan kondisi tumbuh yang baik dan agak rata (Nugroho, 2006). Tumbuhan bawah umumnya berupa kerinyu, puyengan, dan salak. Pada lokasi disekitar mahkota longsor (sumber longsor), dibawah tegakan tanaman rasamala dan yang telah dibuka banyak dibudidayakan tanaman semusim kapulaga (Amomum cardamomum) yang mulai berkembang sejak tahun 2004. Tanaman kapulaga tersebut saat ini banyak dibudidayakan disekitar lokasi, dari kaki lereng bukit hingga puncak atas lereng bukit yang lahannya sudah sangat curam.

Page 80: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor….(Sukresno)

| 63 |

Gambar 3. Lokasi tanah longsor dan banjir bandang di Kecamatan Panti, Kabupaten Jember pada tanggal 1-2 Januari 2006 (Citra SPOT 4 diambil September 2006)

Upaya Pengendalian Tanah Longsor

Berbagai cara dan metode mitigasi tanah longsor telah banyak dilakukan, namun teknik mitigasi yang diperlukan seharusnya disesuaikan dengan tipe atau jenis tanah longsor yang ada di lokasi, baik dengan metode mekanis atau bioteknik. Tahapan mitigasi (pengendalian) tanah longsor perlu dilakukan tahap-tahap sebagai berikut : Bakornas PBP (2005) dalam Nugroho (2006) : 1. Identifikasi morfologi dan endapan-endapan longsor masa lalu

dengan metode geologi teknik/ geoteknik untuk memperhitungkan kemungkinan kejadian longsor kembali yang mengancam pemukiman atau prasarana penting.

2. Identifikasi faktor pengontrol yang dominan mengganggu kestabilan lereng, serta kemungkinan faktor pemicu seperti gempa bumi, badai/hujan deras, dsb.

3. Pemetaan topografi untuk mengetahui tingkat kelerengan. 4. Pemetaan geologi untuk mengetahui stratigrafi lereng,

mengetahui jenis tanah dan batuan penyusun lereng dan sifat keteknikannya, serta mengetahui sebaran tanah/batuan tersebut.

5. Pemetaan geohidrologi untuk mengetahui kondisi air tanah.

Tanah Longsor

Banjir Bandang

Area Perkebunan

Kopi

Area Hutan

Lindung

Page 81: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 55-67

| 64 |

6. Pemetaan tingkat kerentanan gerakan massa tanah/longsoran dengan cara mengkombinasikan atau menampalkan hasil penyelidikan di point 1 dan 2, serta hasil pemetaan di point 3, 4 dan 5, atau dengan metode sidik cepat dari Paimin et al. (2006).

7. Identifikasi pemanfaatan lahan yang berupa daerah tanah urugan, timbunan sampah atau tanah.

8. Antisipasi bahaya longsor susulan pada endapan longsoran yang baru terjadi.

Gambar 4.Tanah longsor di Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara kejadian tanggal 4 Januari 2006 (Citra SPOT 4 diambil September 2006)

Adapun strateginya menurut Bakornas PBP (2005) dalam Nugroho (2006), yaitu: 1. Hindarkan daerah rawan bencana untuk pembangunan

pemukiman dan fasilitas utama lainnya. 2. Mengurangi tingkat keterjalan lereng. 3. Meningkatkan/memperbaiki dan memelihara drainase baik air

permukaan maupun air tanah (fungsi drainase adalah untuk

Sumber Longsor

Wilayah Bencana

Page 82: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor….(Sukresno)

| 65 |

menjauhkan air dari lereng, menghindari air meresap ke dalam lereng atau menguras air dalam lereng ke luar lereng. Jadi drainase harus dijaga agar jangan sampai tersumbat atau meresapkan air ke dalam tanah).

4. Pembuatan bangunan penahan, jangkar (anchor) dan pilling. 5. Terasering dengan sistem drainase yang tepat (drainase pada

teras-teras dijaga jangan sampai menjadi jalan meresapnya air ke dalam tanah).

6. Penghijauan dengan tanaman yang sistem perakarannya dalam dan jarak tanam yang tepat (khusus untuk lereng curam, dengan kemiringan lebih dari 400 atau sekitar 80% sebaiknya tanaman tidak terlalu rapat serta diselingi dengan tanaman – tanaman yang lebih pendek dan ringan, di bagian dasar ditanam rumput).

7. Sebaiknya dipilih tanaman lokal yang digemari masyarakat, dan tanaman tersebut harus secara teratur dipangkas ranting-rantingnya/cabang-cabangnya atau dipanen.

8. Khusus untuk aliran butir dapat diarahkan dengan pembuatan saluran.

9. Khusus untuk runtuhan batu dapat dibuatkan tanggul penahan baik berupa bangunan konstruksi, tanaman maupun parit.

10. Pengenalan daerah yang rawan longsor. 11. Identifikasi daerah yang aktif bergerak, dapat dikenali dengan

adanya rekahan rekahan berbentuk ladam (tapal kuda). 12. Hindarkan pembangunan di daerah yang rawan longsor. 13. Mendirikan bangunan dengan pondasi yang kuat. 14. Melakukan pemadatan tanah disekitar perumahan. 15. Stabilisasi lereng dengan pembuatan teras dan penghijauan. 16. Pembuatan tanggul penahan untuk runtuhan batuan (rock fall). 17. Penutupan rekahan rekahan di atas lereng untuk mencegah air

masuk secara cepat ke dalam tanah. 18. Pondasi tiang pancang sangat disarankan untuk menghindari

bahaya liquifaction. 19. Pondasi yang menyatu, untuk menghindari penurunan yang

tidak seragam (differential settlement). 20. Penggunaan yang ada di dalam tanah harus bersifat fleksibel. 21. Dalam beberapa kasus relokasi sangat disarankan.

Page 83: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 55-67

| 66 |

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Peran vegetasi hutan dalam pengendalikan tanah longsor, khususnya pengendalian stabilitas lereng, dapat berpengaruh positip (menguntungkan) dan atau negatip (merugikan). Peran positipnya ditunjukkan oleh kemampuan vegetasi dalam meningkatkan kuat geser tanah dan menurunkan tegangan geser tanah. Peran negatipnya ditunjukkan oleh pengaruh vegetasi dalam menurunkan kuat geser tanah dan meningkatkan tegangan geser tanah. Kemampuan vegetasi hutan dalam mempengaruhi stabilitas lereng, selain berat biomassnya juga bentuk sistem perakaran, kedalaman akar, distribusi/sebaran perakaran, susunan akar, dan kekuatan akar.

Mengingat masih belum banyak data terkait jenis-jenis vegetasi yang sesuai untuk pengendalian lereng di Indonesia maka perlu penelitian sifat-sifat vegetasi dan perakarannya dari beberapa species vegetasi yang ada di sekitar lokasi bencana tanah longsor. Data dan informasi yang diperoleh selanjutnya dapat digunakan untuk program mitigasi bencana tanah longsor, khususnya pada daerah-daerah yang berpotensi dan rentan terhadap bahaya tanah longsor. Dengan demikian metode mitigasi yang dilakukan dapat disesuaikan dengan kondisi setempat dan menjadi lebih efektif.

DAFTAR PUSTAKA Abramson, L.W., T.S. Lee, S. Sharma, dan G.M. Boyce. 1996. Slope

Stability and Stabilization Methods. John Wiley & Sons, Inc., Toronto-Canada.

Anonimous. 2007. Pengenalan Gerakan Tanah. Dep. Energi dan Sumber Daya Mineral. http://merapi.vsi.esdm.go.id?static /gerakantanah/ pengenalan.htm.

Brook, K.N., P. F. Ffolliott, H.M. Gregersen, dan J.K. Thames. 1991. Hydrology and The Management of Watersheds. Iowa State University Press, Ames, USA.

Hardiyatmo, H.H.C. 2006. Penangan Tanah Longsor dan Erosi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Hirmawan, F. 1994. Pemahaman Sistem Dinamis Kestabilan Lereng Untuk Mitigasi Kebencanaan Longsor. Makalah Penunjang No. 17 Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam. Kerjasama F. Geografi UGM-Bakornas Penanggulangan Bencana. Yogyakarta.

Page 84: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor….(Sukresno)

| 67 |

Howes, D.E. 1987. A Method for Predicting Terrain Susceptible to Landslide Following Forest Harvesting: A Case Study from the Southern Coast Mountains of British Columbia. Proceeding of the Vancouver, IAHS-AISH, Publ. No. 167.Vancouver, Canada, p. 143-154.

Montgomery, D.R., K.M. Schmidt, H.H. Greenberg, dan W.E. Dietrich. 2000. Forest Clearing and Regional Landsliding. Geology, 28(4): 311-314.

Nugroho, N.P. 2006. Laporan Pelaksanaan Kegiatan ”Kajian Isu Lokal” Tahun Dinas 2006. Balai P2TPDAS IBB, Badan Litbang Kehutanan, Dep. Kehutanan, Surakarta.

Paimin, Sukresno, dan Purwanto. 2006. Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS). Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 41 pp.

Soms, J. 2006. Vegetation Cover as Factor Controlling Slope Stability Within Gully Channels: A Case Study from the Daugava Valley (SE Latvia). European Geosciences Union.

Suharwanto. 2006. Bencana alam dan Geologi: Analisa Bencana Alam Banjir dan Tanah Longsor Secara Geoteknik. Prosiding Seminar Pemantauan dan Mitigasi Bencana Alam Banjir, Tanah Longsor, dan Kekeringan. Puslitbang Sosek Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan, Surakarta.

Suryolelono, K. B. 2007. Bencana Alam Tanah Longsor Perpektif Ilmu Geoteknik. Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada. http://lib.ugm.ac.id/data/download/1079402588_bencana.doc.

VSTC. 1987. Pengendalian Erosi dan Perlindungan Lereng Secara Bioteknik. Dep. PU-JICA, Proyek Sabo, Yogyakarta.

Ziemer, R.R. dan D.N. Swanston. 1977. Root Streangth Changes After Logging in Southeast Alaska. USDA Forest Service Research Note, PNW 306, Alaska-Oregon-Washington.

Page 85: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 71|

8. HUTAN SEBAGAI PENGENDALI (REGULATOR) PUNCAK BANJIR PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI1

Oleh :

Syofyan Dt.Majo Kayo2, Mohamad Arief Ilyas 2, Dedih Setiadi 2, Erna Satriana2

ABSTRAK

Hujan yang jatuh pada suatu daerah tangkapan yang bervegetasi akan menyebabkan tertahannya sebagian air hujan di daun-daun yang disebut sebagai proses intersepsi. Apabila hujan lebih kecil dari laju intersepsi, maka air tidak akan mencapai permukaan tanah. Sebaliknya air yang mencapai permukaan tanah, akan mengalami proses infiltrasi. Laju infiltrasi akan menurun secara eksponensial, sejalan bertambahnya kelengasan tanah. Curah hujan yang melebihi laju infiltrasi akan menimbulkan akumulasi air dipermukaan tampungan depresi dan bila air melebihi kapasitas tampung air depresi, maka akan terjadi aliran permukaan (surface runoff). Fenomena alam dari curah hujan menjadi aliran yang berasal dari komponen total aliran yang membentuk hidrograph aliran merupakan penyederhanaan dari kejadian (siklus) hidrologi. Hujan badai yang melebihi tampungan intersepsi maksimum, infiltrasi konstan dan kapasitas tampungan depresi akan menghasilkan puncak hidrograph banjir yang tinggi. Hidrograph banjir dibentuk oleh curah hujan efektif, bentuk hidrograph tersebut merupakan karakteristik basin daerah aliran sungai (DAS) Karakteristik basin dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tanaman penutup lahan (hutan), tekstur/jenis tanah, besar kemiringan lereng dan besarnya curah hujan efektif.Memperbesar intersepsi, infitrasi dan kapasitas tampungan depresi akan dapat mengurangi curah hujan efektif, sehingga debit banjir dan puncak banjir akan menurun. Menanam tanaman (vegetasi) yang rapat pada bagian hulu daerah aliran sungai (DAS), dapat memperbesar intersepsi dan infiltrasi, dapat mengurangi debit dan puncak hidrograph. banjir. Membangun (membuat tampungan depresi dan infiltrasi) seperti waduk-waduk kecil untuk menampung aliran permukaan yang berasal dari curah hujan yang jatuh di daerah aliran sungai, akan dapat menurunkan puncak banjir. Guna mendekati fenomena aliran banjir yang dipengaruhi oleh sifat DAS yang heterogen dengan _________________________________________

1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007

2, Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air. Jl. Ir. H. Juanda 193 Bandung, Telp. 022 2501554.

Page 86: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 71-90

| 72 |

karakteristik basin dalam fungsi ruang dan waktu, maka model distri- busi diharapkan dapat memberikan analisis hidrograpf dan simulasi yang lebih teliti/ akurat. Analisa dan evaluasi puncak banjir dapat dilakukan atau menggunakan model hidrologi distribusi. Pada saat ini ada beberapa model Hidrologi distribusi yaitu : Model TOP, SHE, ANSWER, TOPOG, AGNPS dan CREAMS. Pada makalah penulis menggunakan model distribusi ANSWERS, dengan melakukan simulasi dalam berbagai keadaan kondisi tanaman penutup lahan (vegetasi) ataupun bangunan konservasi tanah dan air. Dengan menggunakan model ANSWERS ini dilakukan analisa dan perhitungan (simulasi) dalam beberapa alternatif. Dari hasil analisa/perhitungan didapat beberapa puncak banjir, dan dapat dipilih/ditentukan sebagai alternatif untuk pengendalian banjir yang optimal dan tepat serta menguntungkan bagi daerah tersebut (dapat dijadikan pilihan dalam perencanaan) infrastruktur bangunan pencegah banjir. Kata kunci : Hutan sebagai pengendali, Regulator, Puncak banjir. I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Hutan atau tanaman (vegetasi) yang tumbuh rapat dan menutupi lahan dan tanah di atas suatu daerah aliran sungai, dapat berfungsi sebagai penahan curah hujan melalui proses intersepsi dan infiltrasi, sehingga aliran permukaan tanah tidak langsung mengalir dan masuk kedalam sungai dengan jumlah besar dan dalam waktu cepat, seperti yang terjadi pada lahan pertanian atau tanah/lahan terbuka (gunung yang telah gundul).

Secara umum proses hidrologi adalah sebagai berikut : ”sebagian air permukaan ini menguap karena adanya panas matahari, naik keatas menjadi awan dan mengalami kondensasi pada tempat yang tinggi dan jatuh lagi kebumi berupa hujan.”

Banjir terjadi melalui tahapan (proses) yaitu curah hujan yang jatuh di daerah aliran sungai (DAS), jatuh kepermukaan tanah sebagian masuk kedalam tanah (infiltrasi) sebagian menguap keudara dan sisanya mengalir di atas permukaan tanah (over land flow), kemudian aliran permukaan ini mengalir kedalam sungai lalu terus mengalir ke laut.

Ahli Hidrologi (Hydrologist) dewasa ini melihat siklus hidrologi berupa sistem hidrologi yang besar. Gagasan dari sistem besar tersebut, tidak saja ingin menjawab bagaimana proses mengenai fenomena alam dari siklus hidrologi tapi juga menyangkut hal-hal

Page 87: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan, dkk)

| 73 |

praktis yang berkaitan dengan berbagai masalah lingkungan seperti banjir atau kekeringan.

Untuk mendapatkan hasil perhitungan yang mendekati kebenaran dan lebih rasional, secara teoritis dan matematik, konsep sistem hidrologi dalam analisisnya membutuhkan alat yang lebih modern seperti ilmu pengetahuan matematik tinggi, operations research, sistem analisis dan teknologi komputer, yang dapat digunakan untuk mengetahui/ menghitung fenomena alam, yaitu berupa hubungan antara hujan dan aliran permukaan (rainfall-runoff relationship).

1.2 Permasalahan

Beberapa tahun terakhir dan awal-awal tahun 2007 bahkan diakhir tahun 2007 (dewasa ini) masalah banjir, tanah longsor pada musim hujan dan kekurangan air atau kekeringan pada musim kemarau masih saja melanda beberapa daerah aliran sungai dan daerah-daerah rawan banjir dan rawan kekeringan di wilayah Indonesia.

Salah satu penyebab terjadinya banjir dan kekeringan tersebut, sering kali dijadi kan kambing hitamnya adalah berkurangnya luas hutan, gundulnya bukit atau gunung-gunung, akibat penebangan besar-besaran yang dilakukan secara resmi (legal) atau secara sembunyi-sembunyi (illegal), walaupun daerah hutan tersebut telah ditetapkan sebagai hutan lindung dan Cagar Alam. Di lain pihak berubahnya hutan menjadi lahan pertanian yang ditanami tanaman semusim, seperti kentang, jagung, kol dan palawija lainnya yang menyebabkan terjadi erosi yang melebihi batas yang diperkenankan, sehingga terjadi sedimentasi dan pendangkalan sungai dan waduk, yang .akibatnya umur operasi (life time) waduk semakin pendek.

1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud penulisan makalah yang berjudul ”HUTAN SEBAGAI PENGENDALI (REGULATOR) PUNCAK BANJIR PADA DAERAH ALIRAN SUNGA “ ini adalah memberikan informasi dan masukan kepada pemerintah, instansi yang berkompeten dan berwenang, serta masyarakat banyak, tentang pentingnya fungsi dan kegunaan hutan dalam rangka mengantisipasi dan mengurangi terjadi banjir besar (memperkecil tingginya puncak banjir) dan menyimpan/meresapkan air pada musim hujan, sehingga pada musim kemarau air tersebut dapat digunakan untuk memenuhi berbagai

Page 88: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 71-90

| 74 |

kebutuhan di pedesaan dan perkotaan, terutama bagi daerah yang tidak mempunyai sumber tetap. 1.4 Metode

Dalam menghitung, menganalisa dan mengevaluasi puncak banjir suatu daerah aliran sungai, digunakan Model ANSWERS yang dapat menggambarkan proses hidrologi dan menjelaskan hubungan antara aliran air dan parameter seperti hujan, infiltrasi , topografi, tanaman (vegetasi), jenis tanah dan cara pengelolaan lahan. Setiap komponen (elemen) mempunyai metoda perhitungan karakteristik aliran yang berbeda. 1.5 Hipotesis

Bila kondisi penutup lahan daerah aliran sungai ditutupi (tumbuh pohon yang rapat) atau kata lain hutan yang ada di daerah aliran sungai tersebut terpelihara baik dan memenuhi ketentuan persyaratan yang diizinkan, maka tinggi puncak banjir di daerah tersebut dapat dikendalikan dan dapat ditekan (diturunkan). 1.6 Lokasi

Lokasi daerah aliran sungai (DAS) yang dianalisa,dievaluasi sebagai contoh dalam perhitungan adalah daerah aliran sungai Cikapundung – Gandok, secara administrasi pemerintahan berada di wilayah Kota Bandung – Jawa Barat, untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Lokasi Daerah Aliran Sungai Cikapundung - Gandok.

Page 89: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan, dkk)

| 75 |

II. STUDI LITERATUR

2.1 Struktur Model ANSWERS

ANSWERS adalah model ”deterministic” yang berdasarkan atas hipotesis bahwa : Setiap titik di dalam daerah aliran sungai ( DAS ) mempunyai hubungan fungsi antara laju aliran air dan parameter hidrologinya, antara lain intensitas curah hujan, infiltrasi, topografi (kemiringan lahan), jenis dan tektur tanah, dan lain sebagainya.

Laju aliran air dapat digunakan dalam kaitannya dengan komponen lain yang berhubungan satu sama lain seperti : erosi, gerakan partikel-partikel zat kimia yang berada di dalam daerah aliran sungai.

Daerah aliran sungai dimodelkan secara konseptual yang merupakan kumpulan dari setiap elemen (kotak) bujur sangkar . Sehingga derajat variabilitas spasial (spatial) dalam DAS dapat dikeluarkan.

Dalam model ini mengasumsikan bahwa suatu DAS merupakan gabungan dari banyak elemen.

Elemen diartikan sebagai areal yang mempunyai parameter hidrologi yang sama, setiap elemen memberikan kontribusi sesuai karakteristik yang dimilikinya. Untuk lebih jelasnya tentang struktur suatu DAS dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur model ANSWERS :

Daerah Aliran Sungai dalam ”Respons units” dari suatu tata air dalam daerah aliran sungai perhitungan dibagi dalam beberapa kotak bujursangkar dipengaruhi dan dikontrol oleh karakteristik basin.

Page 90: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 71-90

| 76 |

2.2 Konsep perhitungan menurut model ANSWERS

Konsep distribusi dari model ANSWERS dapat didefinisikan secara hubungan matematika untuk semua proses simulasi.

Aliran diasumsikan melalui persamaan kinematik dan menggunakan persamaan Manning’s pada saluran dalam menghitung debit. Model ANSWERS juga mengikut sertakan semua pengaruh parameter kontrol secara spesial.

Jadi berdasarkan konsep di atas dapat digambarkan model ANSWERS suatu daerah aliran sungai dengan parameter karakter basin yang memberikan ”respon units” dalam tata air (hidrologi) DAS seperti terlihat pada Gambar 2.

2.3 Fungsi Hutan sebagai Regulator (pengatur air)

Curah hujan yang jatuh pada suatu daerah aliran sungai (daerah tangkapan) yang bervegetasi atau ada tanaman pohon kayu akan menyebabkan proses intersepsi sampai batas (nilai) intersepsi potensial.

Apabila laju curah hujan lebih kecil dari laju intersepsi, maka air hujan tidak akan dapat mencapai permukaan tanah disekitarnya, sebaliknya apabila laju curah hujan lebih besar dari laju intersepsi, maka air akan mencapai permukaan tanah dan kemudian terjadi proses infiltrasi.

Laju infiltrasi air ke dalam tanah akan menurun secara eksponensial dengan me- ningkat (bertambah) nya kelengasan tanah.

Laju curah hujan yang melebihi laju intersepsi dan infiltrasi akan menyebabkan akumulasi air di permukaan tanah depresi dan apabila akumulasi air melebihi ”kapasitas tampungan permukaan depresi”, maka akan terjadi aliran yang disebut limpasan.

2.4 Data masukan Model ANSWERS Berdasarkan struktur model di atas, maka data masukan model

dikelompokan dalam 5 (lima) kelompok yaitu : 1. Data curah hujan ( lamanya dan intensitas ) . 2. Data tanah ( kelembaban tanah, infiltrasi, drainase, erodibilitas tanah ), meliputi data porositas total ( TP ), kapasitas lapang / Field Capacity ( FC ), laju infiltrasi dalam keadaan konstan ( FC ), selisih laju infiltrasi maksimun dengan laju infiltrasi konstan (A ), persentase kejenuhan tanah (ASM ), koefisien infiltrasi (P ), ke dalam zone pengamatan infiltrasi

Page 91: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan, dkk)

| 77 |

tanah pada horizon A ( DF ) dan erodibilitas tanah ( K ) dari USLE.

3. Data penggunaan tanah dan kondisi permukaan, yaitu jenis penggunan tanah dan pengelolaannya ( P ), volume intersepsi potensial ( PIT ), persentase penutupan permukaan lahan untuk setiap jenis penggunaan ( PER ),

4. koefisien kekasaran ( RC ), tinggi kekasaran maksimum ( micro relief ) (HU ), koefisien Manning ( n ) dan faktor tanaman dan pengelolaan ( CP ) dari USLE.

5. Data saluran atau sungai meliputi lebar saluran ( CW ), dan kekasaran saluran ( koefisien Manning ).

6. Data satuan individu elemen, meliputi data kemiringan lereng, arah lereng, jenis tanah, jenis penggunaan tanah, pengelolaan tanah (tindakan konservasi ), liputan penakaran hujan, tipe saluran, kemiringan saluran dan elevasi elemen rata-rata.

2.5 Data keluaran ( Output data ) Model

Keluaran model ANSWERS dapat dikelompokan ke dalam dua kelompok,yaitu 1. Pendugaan aliran permukaan ( total limpasan ). 2. Pendugaan erosi-sedimentasi, yang meliputi erosi rata-rata,

erosi maksimum, pengendapan maksimum dan penurunan erosi karena perlakuan konservasi.

Model ini juga dapat mendeteksi lokasi penyebab (pensuplai) sedimen serta tindakan alternatif untuk pengelolaan tanah dan tanaman.

Bentuk pengelolaan dikenal sebagai struktur dan perubahan penggunaan lahan menurut best management practices, BMP.

2.6 Metodologi perhitungan Dalam penyusunan struktur model ANSWERS yang

digambarkan dengan proses hidrologi untuk menjelaskan hubungan antara aliran air dan parameter hidrologi yang dikendalikan oleh hujan, infiltrasi, topografi, vegetasi, jenis tanah dan pengelolaan lahan, maka setiap komponen mempunyai metoda perhitungan karakteristik aliran yang berbeda yaitu : 1. Debit air berupa aliran permukaan ( limpasan ) pada setiap elemen

dihitung sebagai fungsi dari waktu, dengan cara ekplisit dan cara persamaan diferensial :

I – Q = ds/dt

Page 92: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 71-90

| 78 |

Keterangan: I = laju inflow suatu elemen suatu kejadian hujan dan aliran

dari elemen didekatnya. Q = laju outflow S = volume air yang tertahan pada elemen T = waktu

Persamaan di atas dapat diselesaikan jika dikombinasikan dengan hubungan persamaan lengkung debit. Persamaan Manning dengan berbagai koefisien yang berbeda digunakan dalam hubungan tinggi muka air dan debit dalam menyelesaikan aliran bidang permukaan (Overland flow ) dan penelusuran aliran pada saluran ( Channel flow routing ). DAS yang dibentuk oleh penampilan topografi, merupakan gabungan dari elemen bujur sangkar yang merupakan matrik yang tidak beraturan. Setiap elemen berlaku sebagai aliran permukaan ( Overland flow ) yang mempunyai kemiringan tertentu dan arahnya pada lereng yang tercuram. Aliran pada saluran di analisis dengan pola terpisah dari elemen saluran.

2. Metode perhitungan produksi air untuk elemen yang mempunyai relief ganda adalah sebagai ( Gambar 4). Q1 = Q ( A1) / (A1 + A2) ) ; dan Q2 = Q ( (A2) / (A1 +A2) Keterangan : Q1 = Debit yang mengalir dari luas area A1 Q2 = Debit yang mengalir dari luas area A2 Q = Debit yang mengalir dari luas area A1 + A2

Gambar 3. Sketsa Aliran permukaan pada elemen yang mempunyai

relief ganda Volume aliran permukaan dari suatu elemen ke elemen didekatnya ( The fraction outflow goin the adjacent row element RFL ) ditentukan dengan persamaan Beasley and Huggins ( 1981 ) : RFL = 0,5 tan (ANG) jika ANG < 45 º RFL = 1 – ( 0,5 tan ( 90 º - ANG) ) jika 45 º < ANG < 90 º

Page 93: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan, dkk)

| 79 |

Aliran dasar yang berasal dari air tanah yang masuk ke sistem saluran disimulasi-kan secara garis besar saja oleh model ANSWERS. Seluruh aliran infiltrasi yang bergerak dari zona petak elemen yang lewat diasumsikan penelusurannya seperti tampungan linier air tanah. Aliran air kemudian dilepaskan kesemua saluran sesuai dengan laju yang proporsinal dan sesuai dengan volume akumulasi tampungan.

Penggunaan dari persamaan berkesinambungan yang berkaitan dengan aliran permukaan digunakan persamaan Manning dimana radius hidrauliknya di asumsikan sama dengan rata-rata kedalaman air yang tertahan di atas elemen. Lebarnya maksimum aliran sama dengan maksimum lebar elemen dan ukuran panjangnya diukur arahnya tegak lurus dengan arah aliran bidang permukaan.

Aliran yang berkaitan dengan penggunaan yang berkesinambungan yang ditampilkan sebagai aliran bidang permukaan adalah persamaan penelusuran ( Routing ) dari Manning. Untuk jari-jari hidraulik di asumsikan sama dengan rata-rata kedalaman detention disetiap elemen. Lebarnya aliran maksimum di asumsikan selebar elemen diukur panjangnya aliran tegak lurus arah aliran bidang permukaan.

Air aliran detensi pada bidang permukaan adalah total volume yang dibangun oleh aliran yang tertahan pada bidang permukaan. Kedalaman aliran detensi adalah jumlah air yang ada pada satu elemen dikurangi elemen volume retensi ( air yang hanya terinfiltrasi ), dibagi dengan luas elemen. Hal ini berarti bahwa seluruh dari volume retensi dari suatu elemen akan diisi dulu sebelum air menjadi cukup untuk mengisi tampungan air tertekan (detention) dan aliran permukaan ( run off ). Detensi permukaan merupakan komponen yang berasal dari efek karakteristik aliran permukaan dan karakteristik drainase dari daerah aliran sungai.

3. Volume air yang tertahan ( volume of storage water,DEP ) pada daerah depresi, ditentukan dengan persamaan Huggins and Mongke (1966) dan Beasley and Huggins (1981 ). Penyelidikan lapangan membuat hubungan antara potensi dari tampungan air permukaan adalah fungsi dari kedalaman air pada zona mikro-relief. Persamaan yang digunakan ialah :

DEP =HU * ROUGH * (H/HU)1/ROUGH

Keterangan: DEP = Volume air tersimpan dalam unit kedalaman

Page 94: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 71-90

| 80 |

HU = Ketinggian maksimum dari micro relief H = Ketinggian tempat pada setiap elemen ROUGH = Parameter kekasaran permukaan = RC

Untuk kemiringan,lebar dan koefisien kekasaran manning pada setiap bagian saluran diperlukan dalam perhitungan aliran bidang permukaan dari setiap elemen. Persamaan manning digunakan lagi dalam menghitung penulusuran aliran yang berkesinambungan. (routing calculation ). Kemiringan, lebar dan koefisien kekasaran Manning pada setiap bagian saluran diperlukan dalam perhitungan aliran bidang permukaan dari setiap elemen. Persamaan Manning digunakan lagi dalam menghitung penelusuran aliran yang berkesinambungan.

4. Kapasitas infiltrasi pada permukaan yang tergenang (infiltration capacity with surface inundated, FMAX ) dihitung dengan persamaan Holtan (1961) dan Overton, (1965) dalam Beasley and Huggins (1981 ) yaitu :

FMAX = FC + A * (PIV/TP )P

Keterangan : FMAX = Kapasitas inflitrasi permukaan yang tergenang FC = Kapasitas infiltrasi konstan A = Selisih laju infiltrasi maksimum dan laju infiltrasi

konstan PIV = Volume air maksimum yang tertahan untuk

mencapai titik jenuh pada zona pengamatan TP = Porositas total P = Koefisien hubungan antara laju penurunan kapasitas

infiltrasi dengan pertambahan kelembaban. 5. Laju drainase ( drainage rate of water from control zone,DR ), yang

merupakan fungsi dari kelembaban tanah pada zona pengamatan. Nilai laju drainase ini dapat di hitung, dengan memenuhi dua asumsi, yaitu : (1) Bila kelembaban tanah lebih kecil dari kapasitas lapang maka

akan terjadi perkolasi. (2) Bila kelembaban tanah melebihi kapasitas lapang maka

pergerakan air pada zona tersebut dapat ditentukan dengan persamaan :

DR = FC * {( 1 - ( PIV/GWC )}3

Keterangan : DR = laju pergerakan alian dari zona pengamatan

Page 95: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan, dkk)

| 81 |

GWC = TP – FP ( Kapasitas air gravitasi )

6. Persentase kejenuhan tanah ( ASM )

ASM = ASML + RAIN + ET - Ro - PERC Keterangan :

ASM = Persentase kejenuhan tanah ASML = Kelembaban tanah awal RAIN = Curah hujan harian ET = Evapotranspirasi

Ro = Aliran permukaan PERC = Perkolasi

III. STUDI KASUS PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI CIKAPUNDUNG - GANDOK

Sebagai contoh perhitungan pada makalah ini ditampilkan hasil Evaluasi dan Kalibrasi dalam Penerapan Model ANSWERS pada DAS Cikapundung – Gandok Bandung Jawa Barat, peta daerah aliran sungai (DAS) seperti terlihat pada Gambar 1 di atas.

Agar model dapat dipergunakan maka diperlukan pengujian. Kita memperhatikan perbedaan yang digambarkan oleh hidrograph hasil perhitungan dan debit pengamatan baik bentuk maupun besarnya.

Dalam proses perhitungan dari perubahan Fase siklus hidrologi yang digambarkan oleh model di sini ada kemungkinan akan terjadi 4 sumber kesalahan, yaitu (1) masukan data hujan dan evapotranspirasi yang salah (2) masukan data debit yang salah (3) struktur model yang tidak memadai (4) belum optimalnya nilai-nilai parameter.

Dari semua kesalahan tersebut hanya point (4) yang dapat dikurangi dengan kalibrasi, karena itu dalam mengevaluasi suatu model dapat diperkirakan berapa besar perbedaan antara simulasi dan pengamatan aliran yang ditimbulkan oleh (1) dan (2) dan berapa besar kesalahan lain yang disebabkan oleh (3).umumnya kesalahan (10 – 20%) dapat diterima sebagai hasil yang wajar.

Secara umum untuk mendapatkan parameter model yang optimal dengan kalibrasi dapat didekati dengan cara coba-coba, outomatic method - optimization dan sensitive analisis. Parameter model ANSWERS yang optimal dari DAS Cikapundung dicari dengan cara coba-coba. Kemudian bandingkan hasil output hidrograph dari model ANSWERS diatas dengan Hidrograph pengamatan lapangan. Bersamaan dengan itu dihitumg besaran indek

Page 96: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 71-90

| 82 |

koefisien deterministic dari penampilan grafik di atas yaitu dengan menghitung dengan persamaan sbagai berikut:

Fo2 - F2 R2 = ---------------- Fo2 Keterangan : Qobs = besarnya debit pengamatan Qh = besarnya debit yang dihitung oleh model Qavg = debit rata-rata pengamatan

Dari hasil kalibrasi dan nilai koef.deterministik, model dapat di evaluasi kelayakannya dengan memperhatikan :

1. Modelnya sempurna jika model nilai F2 mendekati nol,sehingga nilai R2 mendekati 1

2. Jika R2 < 0 ( negatif ), model menghasilkan simulasi yang sangat jelek dan jauh berbeda dari nilai rata-rata Qav.

Selanjutnya jika dari kalibrasi dimana koef.deterministik masih jauh dari kelayakan model, maka dengan cara coba-coba merubah-rubah parameter-parameter model agar perbedaan grafik hidrograph antara Qh dan Qobs mendekati satu sama lain.

Kalibrasi Hidrograf DAS Cikapundung – Gandok dilakukan dengan pengamatan di pos duga air di Cikapundung – Gandok Tanggal 3 April 1994 dengan input hujan yang dicatat pos Sukawarna sebesar 11 mm dan pos Bandung Jalan Cemara sebesar 39 mm. Hasil kalibrasi berupa penampilan grafik Hidrograph hasil hitungan dan hasil pengukuran/pengamatan lapangan seperti tertera pada Gambar 4

Gambar 4. Hidrograph hasil hitungan ( ANSWERS ) dan pengukuran/ pengamatan

data lapangan

Page 97: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan, dkk)

| 83 |

Berdasarkan koefisien deterministik dari kalibrasi tersebut dengan membanding kan kedua hidrograf yang penampilan bentuknya hampir sama dengan R2 = 0.9, sehingga dengan parameter-parameter model tersebut layak dipergunakan untuk simulasi dengan berbagai kondisi keadaan yang diinginkan.

IV. SIMULASI MODEL ANSWERS DI DAS CIKAPUNDUNG- GANDOK

Dalam upaya memprediksi besar dan bentuknya Hidrograph banjir di pos duga air Cikapundung – Gandok yang merupakan keluaran ( output) dari model ANSWERS ini, dapat dilakukan simulasi dalam berbagai skenario. Besar dan bentuknya Hidrograph banjir yang terjadi di-outlet DAS Cikapundung – Gandok dapat depengaruhi oleh tata guna lahan, waduk kecil ataupun bangunan terasiring dengan satu kejadian hujan tertentu.

Kemudian setelah parameter model didapat dengan kalibrasi, maka simulasi dilakukan untuk hujan tetap sebesar 38.38 mm. Berbagai kondisi karakteristik basin yang ingin di evaluasi dapat dicari dengan membuat skenario yaitu dengan merubah input data satuan individu elemen berupa jenis penggunaan vegetasi yang diinginkan dan menambah bangunan konservasi air dan tanah yaitu check dam dan teras bangku.

Pada skenario I, yang merupakan hasil perhitungan hidrograph banjir pada kondisi sekarang dimana distribusi penggunaan lahan pada sub-DAS Cikapundung-Gandok pada saat ini tertera pada Gambar 6. Komposisi tata guna lahanya terdiri dari wilayah hutan menempati 3950 Ha. (36.24%), 3150 Ha (28.90%) digunakan sebagai kebun campuran dan sekitar 1700 Ha ( 15.60% ) digunakan untuk kampung/pemukiman. Penggunaan lahan untuk perkebunan dan sawah masing-masing sebesar 950 Ha dan 975 Ha atau 8.72% dan 8.94%, sisanya sebesar 175 Ha ( 1.60% ) digunkan sebagai padang rumput.

Skenario II luas hutan diubah menjadi 50%, sedangkan sisanya berupa kebun campuran, pemukiman, perkebunan dan sawah terlihat pada Gambar 5.

Selanjutnya simulasi untuk DAS Cikapundung-Gandok pada Gambar 6 terlihat berbagai hidrograf yang diakibatkan perubahan tata guna lahan ( terutama perubahan luas hutan).

Page 98: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 71-90

| 84 |

Gambar 5. Keluaran (Out put) Hidrograph Banjir di DAS Cikapundung- Gandok

Dengan Perubahan Hutan dari 0 % s/d 82 %

Gambar 6. Keluaran (Out put) Hidrograph Banjir di DAS Cikapundung – Gandok

dari berbagai Skenario dengan curah hujan maksimum 38,38 mm. Ada 9 skenario yang dilakukan sehingga dari skenario tersebut

di atas dapat dipilih tindakan apa yang memberikan hasil.

Page 99: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan, dkk)

| 85 |

GENERAL PERDATA FILE FOR USE IN ANSWERS METRIC UNITS ARE USED ON INPUT/OUTPUT CIKAPUNDUNG0101 PRINT RAINFALL DATA FOR 1 RAINGAUGES FOR EVENT OF 15/02/93 0 0.0 0.00 0 10.0 15.00 0 25.0 20.00 0 45.0 70.00 0 60.0 10.00 0 170.0 1.00 0 210.0 0.30 0 230.0 0.20 0 2000.0 0.10 0 2500.0 0.00 SOIL INFILTATION, DRAINAGE AND GROUND WATER CONSTANTS FOLLOW NUMBER OF SOILS = 3 S 1, TP =.47,FP =.22, FC = 0.50, A = .65, P = .40, DF = .40, ASM =.22, K =.015 S 2, TP =.49,FP =.27, FC = 0.60, A = .75, P = .45, DF = .30, ASM =.29, K =.015 S 3, TP =.30,FP =.15, FC = 0.20, A = .20, P = .60, DF = .20, ASM =.10, K =.035 DRAINAGE COEFFICIENT FOR TILE DRAINS = 5.00 MM/24HR GRUNDWATER RELEASE FRACTION = 0.010 SURFASE ROUGHNESS AND CROP CONSTANTS FOLLOW NUMBER OF CROPS AND SURFACES = 7 C 1, CROP=WOODS , PIT=2.5, PER=.8 , RC=.90 , HU= 250.0 , N=.20 , C = .001 C 2, CROP=RICE , PIT=0.1, PER=.5 , RC=.40 , HU= 150.0 , N=.09 , C = .020 C 3, CROP=ESTATE , PIT=1.0, PER=.6 , RC=.45 , HU= 100.0 , N=.10 , C = .070 C 4, CROP=MIXFARM,PIT=1.0, PER=.5 , RC=.25 , HU= 90.0 , N=.10 , C = .150 C 5, CROP=BRUSH , PIT=0.5, PER=.3 , RC=.20 , HU= 133.0 , N=.15 , C = .010

Page 100: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 71-90

| 86 |

C 6, CROP=SITE , PIT=0.5, PER=.01, RC=.10 , HU= 0.1 , N=.05 , C = .250 C 7, CROP=PASTURE, PIT=0.5, PER=.2 , RC=.20 , HU= 75.0 , N=.10 , C = .200 CHANNEL SPECIFICATIONS FOLLOW NUMBER OF TYPES OF CHANNELS = 1 CHANNEL 1 , WIDHT= 7.5 M, ROUGHNESS COEFF. (N) = .06 ELEMENT SPECIFICATION FOR CIKAPUNDUNG-GANDOK EACH ELEMENT IS 500.0M SQUARE OUTFLOW FROM ROW 27 COLUMN 4 1 5 800 360 1 1 R1 2000.0 1 6 800 315 1 1 R1 1850.0 1 7 800 225 1 1 R1 1750.0 2 6 150 55 1 1 R1 1700.0 ............................................................................ ............................................................................ 26 3 50 360 3 6 R1 850.0 26 4 50 270 3 6 R1 850.0 26 5 60 180 3 6 R1 875.0 27 4 60 270 3 6 R1 748.0 Hasil terbaik dalam menurunkan puncak banjir dengan pengaturan lagi fungsi tata guna lahan ( terutama hutan ) dimana hasil resumenya tertera pada Tabel 1 dan pada Tabel 2 terdapat 10 skenario berupa simulasi dari pembangunan bangunan konservasi check-dam dan terasiring. Tabel 1. Resume simulasi prediksi puncak banjir apabila terjadi perubahan

fungsi tata guna lahan (terutama hutan) pada DAS Cikapundung - Gandok dengan hujan tetap sama sebesar 38,38 mm.

Tinggi puncak hidrograph banjir

Ske- nario Uraian

mm /jam

m /det

Waktu banjir mencapai puncak banjir (menit)

Persentase perubahan puncak banjir thdp.kondisi awal (%)

I Prediksi hidrograph pada kondisi saat ini (Luas Hutan 36 % )

3,15

94.5 237.5

0

II Simulasi jika luas hutan dikurangi menjadi 25 %

3,55

106.5

250

+ 12,7

III Simulasu jika luas hutan di kurangi lagi menjadi kebun campuran (luas hutan 15 %)

5.00

150 262,5 + 58,7

Page 101: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan, dkk)

| 87 |

Tinggi puncak hidrograph banjir

Ske- nario Uraian

mm /jam

m /det

Waktu banjir mencapai puncak banjir (menit)

Persentase perubahan puncak banjir thdp.kondisi awal (%)

IV Simulasi jika luas hutan terus dikurangi diganti menjadi kebun (luas hutan 0%)

6.00 180

267 + 90,4

V Simulasi jika kebun Campuran dan perkebunan diganti hutan (luas hutan 50%)

2.50

75

175

- 20,6

VI Simulasi jika kebun campuran dan perkebunan diganti hutan (luas hutan 60%)

2.40

72 162.5

- 23,8

VII Simulasi jika kebun campuran dan perkebunan diganti hutan (luas hutan 70%)

2.00

60

137.5

- 36,6

VIII Simulasi jika kebun campuran dan perkebunan diganti hutan (luas hutan 80%)

1.60

48

87.5

- 49,2

IX Simulasi jika kebun campuran dan perkebunan diganti hutan (luas hutan 82%)

1.40 42 82 - 55,5

Tabel 2. Resume simulasi prediksi puncak banjir apabila dilakukan pembangunan

konservasi tanah dan air (BMP) berupa pembangunan waduk kecil (check dam) dan penterasan pada DAS Cikapundung - Gandok dengan hujan tetap sebesar 38,38 mm

Tinggi puncak hidrograph banjir Skena-

Rio Uraian mm /jam

m /det

Waktu banjir mencapai puncak banjir (menit)

Persentase perubahan puncak banjir thd kondisi awal (%)

I

Prediksi Hidrograph pada kondisi saat ini

3,15

94,5

37,5

0

Page 102: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 71-90

| 88 |

II

Prediksi hidrograph apabila dibangun pemukiman baru seluas 585.5 ha

3,4

97,5

230

+ 3,17

III

Tindakan BNP setelah pembangunan perumahan (5 buah teras dan 2 buah Sediment pond)

2,4

54

285

- 44.6

IV

Tindakan BMP setelah pembangunan perumahan ( 2 buah teras dan 2 buah sediment pond)

1,5

48

120

-50

V

Tindakan BNP setelah pembangunan perumahan (1 buah teras dan 1 buah Sediment pond)

1,6

54

180

-44,6

VI

Tindakan BNP setelah pembangunan perumahan (1 buah teras dan 2 buah Sediment pond)

1,5

48

120

-50

VII

Tindakan BNP setelah pembangunan perumahan (2 buah Sediment pond)

1,5

54

180

-44,6

VIII

Tindakan BNP setelah pembangunan perumahan (1buah Sediment pond)

2,5

57

220

-41,5

IX

Tindakan BNP setelah pembangunan perumahan(2lokasi teras 2 buah sedimen pond )

1,5

48

120

-50

X

Tindakan BNP setelah pembangunan perumahan (2 buah Sediment pond)

2,15

64,5 250 -34

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari beberapa hasil simulasi diatas dengan model ANSWERS untuk DAS Cikapundung –Gandok dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain : 1. Pengaruh pengurangan luas hutan (saat ini 36% ) menjadi 25%,

15% dan 0% akan menaikan puncak banjir berturut-turut sebesar 12,7%,58,7% dan 90,4%. Jika hutan yang ada di tebang terus (habis) maka puncak banjir sungai Cikapundung-Gandok akan naik sampai dua kali lipat.

2. Pengaruh penambahan luas hutan dari 36% menjadi 50%,60%,70%, 80% dan 82% menurunkan puncak banjir sebesar 20,6, 23,8, 36,5, 49,2 dan 55,5 %. Jadi jika seluruh DAS Cikapundung dihutankan maka puncak banjir dapat diturunkan sampai setengahnya.

Page 103: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan, dkk)

| 89 |

3. Pengaruh penurunan puncak banjir oleh pembangunan waduk kecil dan penterasan dengan berbagai kombinasi dapat menurunkan puncak banjir berkisar dari 34% s/d 50%.

4. Penentuan lokasi bangunan pengendali banjir yang tepat umumnya terletak di bagian hilir akan dapat menurunkan puncak banjir.

5. Pengendalian banjir besar yang sangat mendesak terutama pada sungai yang dapat mengganggu dan menggenangi daerah urban dapat dilakukan dengan membangun (membuat) waduk- waduk kecil, karena penghutanan areal akan memerlukan waktu yang cukup lama.

6. Untuk mencari alternatif dan penempatan lokasi bangunan (waduk) perlu terlebih dahulu dilakukan perhitungan dan simulasi agar dapat dicari hasil yang tepat dan optimal.

7. Aplikasi model hidrologi distribusi dapat digunakan dengan baik jika parameter model dan data-data hidrologi (lapangan) yang digunakan benar-benar akurat, dapat di percaya dan terlebih dahulu harus melalui proses kalibrasi .

B. Saran

1. Berdasarkan informasi dan berita yang dimuat dimedia masa Surat Kabar dan media elektronik seperti Televisi yang sering menyatakan bahwa timbulnya banjir besar, tanah longsor dan kekeringan adalah disebabkan banyaknya ” Pembabatan Hutan secara besar-besaran” atau tanpa kendali dan tanpa izin, sehubungan tersebut diatas disarankan kepada instansi yang berwenang dan berkompeten di tingkat pusat maupun daerah segera melakukan inventarisasi dan mengadakan penelitian secara terpadu dan berkesinambung an.

2. Untuk pencegahan dan antisipasi jangan sampai marak dan meluasnya ”Penggundulan dan pembabatan hutan baik secara legal maupun illegal, Departemen Kehutanan dan instansi pemerintah yang terkait dan berwenang diharapkan lebih meningkatkan pengawasan dilapangan secara terpadu dan berkesinambungan.

3. Penegakan hukum serta pemberian tindakan dan sangsi yang tegas, adil kepada pelaku penebangan dan pembabatan Hutan secara illegal, perlu segera dilaksanakan dan dijatuhkan hukuman yang seberat-beratnya, tanpa ada diskriminasi dan dispensasi.

4. Penataan tata ruang pemanfaatan lahan hutan dan daerah penjangganya (lahan pertanian) yang selama ini digunakan untuk lahan pertanian oleh masyarakat/petani, perlu dinventarisasi dan

Page 104: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 71-90

| 90 |

dikaji ulang untung-ruginya, sehingga kerusakan daerah aliran sungai dimasa depan dapat ditanggulangi secara tuntas, dan tepat waktu.

DAFTAR PUSTAKA Mohamad, A.I, R. Effendi, dan S.Dt.M Kayo. 1995. ” Pengaruh

Perubahan Karakteristik Basin Terhadap Hidrograph Banjir ”, Makalah Seminar Fenomena Perubahan Watak Banjir ”, di UGM, Yogyakarta, 13 Nopember 1995.

Partowijoto, A. 2007. Pengelolaan Lahan Pertanian Untuk Konservasi Air, Makalah Lokakarya Nasional Dalam Rangka Peringatan Hari Air Sedunia ke 15, Jakarta 22 Maret 2007.

Beasley,DB, and Larry F.H. 1981. ANSWERS (Areal Nonpoint Source Watershed environment Respons Simulation),Agriculture Engineering Departement, Purdue University, Indiana.

Chow,V.T, An Introduction to systems Analysis of Hydrologikal Problems.

Chow,V.T, David R.M, Larry W.M, 1988. Applied Hydrology,McGrawHill,New York.

Dooge,J.C.I. 1973 Linear Theory of Hidrologic System,Agriculture Research Service USDA ,Washington DC.

Hendrawan, D. 2007. Konservasi Sumber Daya Air Sebagai Upaya Menangani Dampak Perubahan Tata Guna Lahan di DAS Ciliwung, Makalah Lokakarya Nasional Dalam Rangka Peringatan Hari Air Sedunia ke 15, Jakarta 22 Maret 2007.

Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan. 2007. ”Kebijakan Konservasi Sumber Daya Air Hutan Tanah Dan Air Dalam Mengatasi Permasalahan Banjir dan Kelangkaan Air, Makalah Lokakarya Nasional Dalam Rangka Peringatan Hari Air Sedunia ke 15, Jakarta 22 Maret 2007.

Pusat Dinamika Pembangunan Universitas Pajajaran. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Air Dalam Konteks Otonomi Daerah, Prosiding Seminar Nasional 28 -30 Maret 2000, Yogyakarta.

Page 105: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 91 |

9. TANAH LONGSOR DI KABUPATEN ASAHAN, SUMATERA UTARA: BENTUK KERUSAKAN DI

WILAYAH HILIR DAS ASAHAN1

Oleh:

Sanudin dan Bambang S. Antoko2

ABSTRAK Kerusakan hutan dan daerah aliran sungai (DAS) telah menyebabkan terjadinya bencana seperti tanah longsor dan banjir. Pengelolaan DAS yang masih berjalan sendiri-sendiri dan tidak mengakomodir pengaruh dari karakteristik alami seperti faktor geografis kawasan, kelerengan tinggi dan geologi kawasan pada akhirnya akan memperburuk kondisi DAS. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui penyebab terjadinya bencana tanah longsor yang ada di Kabupaten Asahan sebagai wilayah hilir DAS Asahan. Hasil penelitian menyatakan bahwa kejadian longsor di lokasi penelitian disebabkan karena : tingkat kelerengan yang tinggi pada lokasi yaitu > 60% dengan batuan penyusun konglomerat, breksi, batupasir dan serpih; perubahan penggunaan lahan dari kawasan hutan menjadi kawasan non hutan; faktor curah hujan yang tinggi; kerentanan gerakan tanah karena gempa atau pelapukan; dan keberadaan penambangan galian C yang tidak sistematis. Usaha yang dapat dilakukan oleh pengelola antara lain melakukan pemetaan lokasi kerentanan gerakan tanah (KGT) dengan skala semi detail (1:50.000); penertiban terhadap kegiatan penambangan tanpa ijin (PETI) dan dikelola tanpa kaidah tata kelola lingkungan yang baik; kegiatan fisik berupa pelandaian lereng dengan sistem bertingkat (terasering); dan penyusunan rencana tata ruang berdasarkan karakteristik alami wilayah dan keterpaduan semua sektor.

Kata kunci : pengelolaan daerah aliran sungai, longsor, penggunaan lahan, usaha

konservasi 1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007 2 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli, Jl. Raya Parapat Km. 10,5

Sibaganding, Parapat, Sumatera Utara. Telp/Fax : 0625.41659/41653. Email : [email protected] dan [email protected]

Page 106: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 91-101

| 92 |

I. PENDAHULUAN

Pola pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan faktor lingkungan dan sosial telah memberikan dampak negatif berupa hilangnya hutan, rusaknya lingkungan serta terganggunya keseimbangan ekosistem. Kerusakan/degradasi sumberdaya alam akhir-akhir ini semakin meningkat. Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat dipulihkan kembali tetapi dengan terjadinya pengurasan hutan yang melampaui kapasitas daya regenerasinya akan mengancam keberlanjutan.

Daerah Aliran Sungai (DAS), seperti dikemukakan oleh Manan (1978); Direktur Jenderal Pertanian Tanaman Pangan (1981); dan Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi (1978) dalam Sumitro (1981), merupakan suatu kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan dimana pemisah topografi adalah punggung bukit. Sementara itu Syumanda (2007) menggarisbawahi bahwa hutan dalam suatu DAS mempunyai peran dalam memelihara kontinuitas pasokan air, memberi perlindungan tanah serta mampu meminimalkan pengaruh bencana seperti bencana banjir dan longsor.

DAS Asahan dengan luas keseluruhan 353.770,34 Ha merupakan DAS level regional yang melintasi empat kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara dimana wilayah kabupaten yang paling dominan di DAS Asahan adalah Kabupaten Asahan dengan luas wilayah 311.689,88 Ha (88,11%). Menurut fungsinya hutan di Kabupaten Asahan seluas 42.701,5 Ha yang terdiri dari 18,88% hutan produksi terbatas, 76,1% hutan lindung dan 5,02% hutan produksi. Kondisi dan potensi hutan di Kabupaten Asahan pada umumnya mempunyai potensi yang telah menurun bahkan di beberapa tempat telah berubah fungsi menjadi areal penggunaan lain. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui penyebab terjadinya bencana tanah longsor yang ada di Kabupaten Asahan sebagai hilir DAS Asahan.

II. KONDISI UMUM KABUPATEN ASAHAN

Secara geografis Kabupaten Asahan berada pada 02°03’–03°26’ LU dan 99°01’–100°00’ BT dengan ketinggian 0–1.000 m di atas permukaan laut (dpl). Kabupaten Asahan mempunyai luas 311.689,88 Ha (88,11%) yang terdiri dari 20 Kecamatan dan 271 desa/kelurahan. Jumlah penduduk Kabupaten Asahan pada tahun 2004 tercatat

Page 107: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Tanah Longsor di…..(Sanudin dan Bambang)

| 93|

sebanyak 1.009.856 jiwa (212.978 KK) dan kepadatan penduduk sebesar 218 jiwa per km2.

Kabupaten Asahan merupakan salah satu sentra perkebunan di Sumatera Utara dengan salah satu komoditi pentingnya adalah karet (Hevea sp). Produksi karet pada tahun 2004 sebanyak 5.274 ton, produksi ini mengalami peningkatan dari tahun 2003 yang hanya 4.939 ton.

III. KEJADIAN LONGSOR DI KABUPATEN ASAHAN

Karakteristik geologi DAS Asahan berdasarkan peta geologi skala 1:250.000 tahun 1982 secara umum terbentuk dari batuan gunung api tufa Toba dimana batuan polimik bersusunan riolit-dasit, aliran tufa kristal, gelas, debu dengan sedikit tufa eksposif pada bagian atas. Wilayah hilir DAS Asahan didominasi oleh alluvium muda, yang terdiri dari pasir, kerikil, rawa bakau, fluviatil, asallaut dan lakustrin serta sebagian kecil juga terdapat alluvium tua yang berasal dari kerikil, pasir dan lempung.

Kecamatan di Bandar Pulau dan Pulau Pekan merupakan dua kecamatan di Kabupaten Asahan yang rawan terhadap longsor (Balai Besar Meterologi dan Geofisika Wilayah 1 Medan, 2005). Pada Kecamatan Bandar Pulau telah terjadi beberapa kejadian longsor. Pada Tahun 2004 terjadi gerakan tanah di Kampung Bedeng Tujuh dengan kerusakan sebuah rumah dan tidak ada korban jiwa. Pada Tahun 2005 terjadi longsoran di jalan poros Porsea - Bandar Pulau dengan menutup jalan sepanjang 300 meter. Awal 2006 badan jalan mengalami penurunan sepanjang 20 m yang diakibatkan oleh erosi samping Sungai Asahan.

Pada tahun 2007 telah terjadi longsor di Kecamatan Bandar Pulau dan sekitarnya. Hasil penyelidikan Tim Tanggap Darurat Bencana Alam Gerakan Tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) menyebutkan bahwa longsor yang terjadi di wilayah Kecamatan Bandar Pulau dan sekitarnya dicirikan oleh kondisi geologi setempat yang berupa daerah perbukitan memanjang dengan arah Barat Laut - Tenggara. Bentang alam daerah ini merupakan daerah perbukitan terjal dengan kemiringan lereng > 60° dengan perbedaan ketinggian mencapai 30 meter. Batuan dasar penyusun di wilayah Bedeng Tujuh dan sekitarnya terdiri dari Konglomerat, Breksi, Batupasir dan serpih. dengan pelapukan berupa lempung pasiran dan pasir berukuran kasar.

Page 108: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 91-101

| 94 |

Kejadian longsor yang terjadi ini merupakan longsoran bahan rombakan pada tebing di atas jalan dengan tinggi ± 10 m dan lebar 45 m. Dengan adanya lereng yang terjal yang mencapai kemiringan > 60° serta adanya bidang lemah antara tanah pelapukan dengan batuan dasar breksi dengan sisipan serpih telah menyebabkan keadaan lereng menjadi tidak stabil. Akibat curah hujan yang sangat tinggi pada saat kejadian maka pada lereng yang retak akibat pemotongan lereng kemudian dimasuki air hujan sehingga menambah bobot masa tanah pada lereng serta mengakibatkan naiknya tekanan air pori yang akan mengurangi daya ikat antara butir tanah. Hal ini menyebabkan tanah menjadi jenuh dan tahanan geser tanah menjadi berkurang sehingga mengakibatkan terjadinya longsoran.

IV. PENYEBAB LONGSOR

Secara umum gerakan tanah (longsor) terjadi akibat adanya beberapa faktor yang bekerja secara simultan, yaitu kemiringan lereng, jenis litologi, kegempaan dan curah hujan. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan berbagai literatur diketahui bahwa beberapa penyebab terjadinya longsor di Kabupaten Asahan adalah sebagai berikut: 1. Lereng pada daerah longsor umumnya mempunyai kemiringan >

60°, dengan batuan penyusun Konglomerat, Breksi, Batupasir, dan serpih. Kondisi batuan ini di lapangan tampak telah mengalami tingkat pelapukan yang tinggi dengan hasil pelapukan berupa batupasir berbutir kasar - sangat kasar. Tebal hasil pelapukan mencapai 1- 2 m. Akibat tingginya curah hujan, batuan pada lereng (batupasir) yang sudah retak dimasuki air hujan sehingga menambah beban pada lereng serta mengakibatkan naiknya tekanan air pori yang akan mengurangi daya ikat antara butir tanah, sehingga tahanan geser tanah akan berkurang. Selain itu air yang meresap pada tanah akan mengalir di sepanjang bidang kontak antara tanah pelapukan dengan batuan dasar, sehingga mengakibatkan terjadinya longsoran (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2005).

2. Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi non hutan dan areal penggunaan lain secara umum tata guna lahan di Kecamatan Bandar Pulau dan sekitarnya terdiri dari lahan pemukiman, perladangan, perkebunan dan hutan. Berdasarkan hasil analisis SIG dengan melakukan tumpang tindih (overlay) antara peta penggunaan lahan dan kawasan hutan Kabupaten Asahan tahun 2005 diketahui bahwa telah terjadi perubahan fungsi hutan menjadi penggunaan lahan lain seperti disajikan pada Tabel 1.

Page 109: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Tanah Longsor di…..(Sanudin dan Bambang)

| 95|

Tabel 1. Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Asahan

No.

Fungsi Hutan/ Luas (Ha)

Perubahan Penggunaan Lahan

Luas (ha) Persentase (%) Perubahan

Penggunaan Lahan

Hutan Lindung Pemukiman 1,95 0,06 Perkebunan 2.305,64 70,99

Sawah 248,10 7,64 Tambak 170,20 5,24

61.969,25 Tanah Terbuka 521,55 16,06

1

Jumlah 3.247,44 100,00 Hutan Produksi Terbatas

Pemukiman 123,77 1,62

Perkebunan 1.785,33 23,34 Tambak 954,97 12,48 Sawah 4.322,34 56,52

29.248,90 Tanah Terbuka 461,59 6,03

2

Jumlah 7.648,00 100,00 Hutan Produksi Perkebunan 6.828,40 99,96

34.667,60 Tanah Terbuka 2,67 0,04 3

Jumlah 6.831,07 100,00 Hutan Produksi yang dapat dikonversi

Perkebunan 10.021,80 74,15

20.611,93 Sawah 3.494,34 25,85

4

Jumlah 13.516,14 100,00 Total Perubahan 31.242,65 100,00

Sumber (Source): hasil analisis SIG, 2007

Berdasarkan Tabel 1 di atas diketahui bahwa pada semua fungsi hutan di Kabupaten Asahan sebagian telah berubah fungsi menjadi penggunaan lain seperti pemukiman, perkebunan, sawah, tambak, dan tanah terbuka. Hutan lindung yang luasnya 61.969,25 Ha telah berubah fungsi menjadi pemukiman, perkebunan, sawah, tambak, dan tanah terbuka sebanyak 3.247,44 Ha (5,24%). Hutan produksi terbatas dengan luas 29.248,90 Ha telah berubah fungsi menjadi pemukiman, perkebunan, sawah, tambak, dan tanah terbuka sebanyak 7.648,00 Ha (26,14%). Hutan produksi seluas 34.667,60 Ha juga telah berubah fungsi menjadi perkebunan dan tanah terbuka sebesar 6.831,07 Ha (19,70%). Kawasan hutan konversi sebanyak 13.516,14 Ha (65,57%) telah berubah fungsi menjadi perkebunan dan sawah dari luas total hutan konversi 20.611,93 Ha. Areal perkebunan merupakan perubahan penggunaan lahan terbesar yang terjadi pada seluruh kawasan hutan. Pada hutan lindung terdapat 70,99% dari 3.247,44 Ha, hutan produksi terbatas berubah 23,34% dari total 7.648,00 Ha sedangkan pada hutan produksi dan hutan konversi berturut-turut terdapat perubahan sebesar 99,96% dari 6.831,07 Ha dan 74,15% dari total 13.516,14 Ha. Selanjutnya perubahan

Page 110: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 91-101

| 96 |

penggunaan lahan menjadi sawah menempati urutan kedua terbesar dengan total 8.064,78 Ha dari 31.242,65 Ha atau sebesar 25,81%. Secara keseluruhan kawasan hutan di Kabupaten Asahan seluas 31.242,65 Ha (21,32%) telah beralih fungsi menjadi penggunaan lahan non hutan lainnya.

Pada tahun 2003 lalu, Departemen Kehutanan telah mencatat 16,95 juta hektar hutan disulap menjadi lahan perkebunan. Angkanya meningkat menjadi 17,16 juta hektar pada tahun 2004. Angka tersebut tersebar di lebih dari 56 satuan wilayah sungai selain di Jawa. Jika ditambah dengan aktivitas ekstraksi hutan sejak awal 60-an, praktis tekanan terhadap satuan wilayah sungai yang ada menjadi tinggi. Menurut Syumanda (2007), salah satu penyebab pergeseran tanah adalah karena hilangnya tutupan hutan. Dalam hal ini, akar pepohonan memainkan peran yang penting dalam menjaga stabilitas lereng dan memberikan tanah sejumlah dukungan mekanis. Tetapi hal ini terbatas pada pergerakan massa yang dangkal (< 1 meter). Jenis longsor ini dapat distabilkan dengan cepat dan biasanya tidak akan menghasilkan sedimen dalam jumlah besar yang memasuki sungai sekitarnya. Di sisi lain, dalam episode longsor yang dalam (> 3 meter), belum tentu dipengaruhi oleh ada atau tidaknya tutupan lahan yang baik. Episode longsor tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh faktor geologis, topografis, dan iklim, dibandingkan dengan ada tidaknya tutupan hutan.

Sementara itu, degradasi lahan dan erosi tanah yang sering dihubungkan dengan hilangnya tutupan hutan tidak selalu merupakan dampak dari penggundulan hutan itu sendiri, tetapi lebih kepada praktek pemanfaatan lahan yang buruk (overgrazing, pembersihan humus, perusakan materi organik, dan pembersihan lahan) yang diterapkan setelah pembersihan lahan hutan. Selain itu, banyak erosi yang terjadi setelah penebangan kayu dimana tanah berpindah karena kegiatan penebangan tersebut (seperti konstruksi jalan, atau penyaradan kayu). Pemadatan tanah menyebabkan kapasitas penyimpanan air tanah menjadi kecil dan sekaligus akan meningkatkan kecepatan aliran permukaan.

3. Curah hujan yang tinggi. Hasil analisa data hujan pada lokasi pengamatan selama 10 tahun (1992 - 2001) tersaji dalam Tabel 2 sebagai berikut.

Page 111: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Tanah Longsor di…..(Sanudin dan Bambang)

| 97|

Tabel 2. Data Curah Hujan di DAS Asahan (1994 - 2003)

Sub DAS/ Rerata Maksimum (mm)

Bulan Basah

Bulan Lem- bab

Bln Ke- ring No Lokasi

Bagian DAS

Tahunan (mm) Hjn Bulan (bln) (bln) (bln)

Asahan Hulu/

1 Stasiun Lumban

Julu, Toba Samosir

Bagian Hulu 2.199,3 493

Des 1996 9 1 2

Silau Hulu/

2 Stasiun Marihat,

Simalungun Bagian Hulu 2.866,7 618

Okt 1994 10 1 1

3 Stasiun Pulo Raja,

Asahan

Kuasan/ Bagian Hulu 2.565,8 714

Okt 2001 10 1 1

Sukaraja/ 4 Stasiun Bandar Pulau, Asahan

Bagian Tengah 2.681,9 545

Des 1996 10 1 1

5 BPP Sei

Silau Timur, Asahan

Silau Hilir/ Bagian Tengah 2.297 526

Juli 2000 10 1 1

6

BPP Sentang, Asahan

Silau Hilir/ Bagian Hilir 2.585,7 966

Des 1996 10 1 1

7 Stasiun Sei Kepayang,

Asahan

Kepayang/ Bagian Hilir 1.452,7 660

Nop 1997 8 2 2

Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika Sampali, Medan (2005)

Karakteristik hujan di DAS Asahan pada Tabel 2 didasarkan pada hasil analisa data curah hujan pada lokasi pengamatan selama 10 tahun (1994 - 2003) yang mencakup nilai rerata hujan tahunan, hujan harian maksimum selama 10 tahun dan rerata jumlah bulan basah (curah hujan > 100 mm/bulan), bulan lembab (60 - 100 mm/bulan) dan bulan kering (< 60 mm/bulan) (Schmid and Ferguson 1951). Curah hujan rerata tahunan di DAS Asahan berkisar antara 1.452,7 - 2.866,7 mm dimana hujan terendah terjadi di Stasiun Sei Kepayang, Asahan dan tertinggi terjadi di Stasiun Marihat, Simalungun. Hujan terjadi hampir merata di semua lokasi pengamatan dengan bulan kering terbanyak terjadi di Stasiun Sei Kepayang, Asahan dan Stasiun Lumban Julu, Toba Samosir. Hujan maksimum tertinggi dan terendah terjadi pada Bulan Desember 1996 dimana hujan maksimum tertinggi terjadi di BPP Sentang, Asahan sebesar 966 mm dan hujan

Page 112: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 91-101

| 98 |

maksimum terendah di Stasiun Lumban Julu, Toba Samosir sebesar 493 mm. 4. Faktor-faktor lainnya yang sangat berpengaruh terhadap bencana

longsor yaitu kerentanan gerakan tanah akibat gempa atau pelapukan. Secara alami, tanah-tanah yang berada pada kemiringan curam bisa saja longsor sekalipun tidak terjadi hujan lebat. Seperti dijelaskan di atas bahwa Kecamatan Bandar Pulau dan Pulau Pekan merupakan dua kecamatan di Kabupaten Asahan yang rawan terhadap longsor.

5. Penambangan Galian C yang tidak sistematis.Berdasarkan inventarisasi dan pemantauan penertiban usaha pertambangan yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Medan diketahui bahwa cukup banyak kegiatan penambangan di sekitar sungai termasuk di Kabupaten Asahan yang tidak memiliki izin (PETI) dan belum sepenuhnya mengacu pada tata kelola lingkungan penambangan yang baik dan benar. Hal ini terlihat dari hasil pantauan di lapangan seperti melebarnya badan sungai serta terjadinya longsor tebing sungai di beberapa lokasi penambangan.

V. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI HILIR DAS ASAHAN

Kegiatan survey dilakukan terhadap desa-desa sekitar di daerah hilir DAS Asahan yaitu Desa Marjanji Aceh dan Desa Aek Bamban, Kecamatan Bandar Pulau. Kegiatan survey dilakukan dengan melakukan wawancara menggunakan kuesioner terhadap sepuluh orang responden di tiap desa yang disurvey. Aspek yang dikaji adalah kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan kelembagaan masyarakat termasuk perilaku masyarakat dalam kegiatan pertanian dan aturan atau adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari.

Hasil pengolahan data sosial ekonomi masyarakat menyebutkan bahwa desa-desa di daerah hilir mempunyai potensi ekonomi yang menonjol di bidang pertanian dengan sumber utama penghasilan penduduk dari sektor pertanian adalah perkebunan kelapa sawit, karet dan sebagian kecil coklat. Data Potensi Desa (2005) menyebutkan bahwa persentase penduduk dan keluarga berbasis pertanian pada masing-masing desa adalah 90% dan 80%. Pada dua desa ini lahan pertanian berupa sawah justru memiliki jumlah yang paling sedikit dibandingkan tanaman perkebunan lainnya. Hal ini disebabkan karena hasil yang diperoleh oleh petani akan sangat tinggi jika mereka mengelola tanaman karet maupun kelapa sawit dibanding bertani padi

Page 113: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Tanah Longsor di…..(Sanudin dan Bambang)

| 99|

sawah. Masyarakat umumnya mengelola lahan-lahan ini secara monokultur dan campuran antara karet dan coklat. Berdasarkan pengamatan lapangan diketahui bahwa masyarakat di daerah hilir cenderung mempunyai kehidupan yang lebih baik secara ekonomi jika dibandingkan dengan masyarakat di daerah hulu.

Pada semua desa dilalui oleh sungai yang melintasi desa dimana airnya digunakan untuk mandi dan minum kecuali untuk daerah hilir dimana untuk keperluan memasak dan air minum diperoleh dari sumur dan pompa air. Desa Marjanji Aceh dan Aek Bamban terdapat keluarga yang tinggal di bantaran sungai dengan jumlah keluarga berturut-turut adalah enam keluarga dan 30 keluarga. Kedua desa ini merupakan tipe desa yang masih mempunyai tradisi kuat dalam kegiatan gotong royong terutama dalam membangun fasilitas desa. Secara umum komunitas masyarakat di daerah hilir Sungai Asahan merupakan campuran antara suku Batak dan Jawa yang sudah membaur puluhan tahun sehingga kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat juga merupakan perpaduan antara adat Batak dan Jawa.

Persentase luas sawah dibanding luas desa pada kedua desa adalah 0,01; 0,09 (sementara tidak diusahakan), dan 0,06. Tingkat pengetahuan responden terhadap daerah aliran sungai masih rendah, hal ini disebabkan karena masih rendahnya kegiatan sosialisasi terhadap masyarakat tentang daerah aliran sungai oleh pihak terkait. Sebagian besar masyarakat pada kedua desa ini juga belum mengetahui bahwa sungai merupakan bagian dari DAS dan mempunyai peran penting terkait dengan karakteristik alaminya. Hasil ini signifikan dengan pengamatan di lapangan dimana masih banyak kegiatan pertanian yang belum sesuai dengan kaidah konservasi tanah dan air seperti belum adanya pembuatan teras. Selain itu masih banyak dijumpai konversi lahan di daerah hulu dan kiri-kanan Sungai Asahan dari kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Dalam hal ini tanaman kelapa sawit memerlukan air yang cukup banyak untuk pertumbuhannya dan mempunyai kemampuan menyimpan air dan konservasi tanah yang tidak terlalu bagus dibandingkan dengan kawasan hutan.

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan diketahui bahwa kegiatan pengelolaan karet maupun kelapa sawit seringkali dilakukan pada lahan di kiri maupun kanan Sungai Asahan dan atau pada lahan yang mempunyai tingkat kelerengan di atas 40% yang notabene merupakan kawasan hutan dan seharusnya ditanami dengan jenis kayu keras untuk menghindari kejadian bencana seperti erosi maupun

Page 114: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 91-101

| 100 |

banjir. Tingkat kesadaran masyarakat yang rendah dan adanya pertimbangan ekonomi dalam mengelola lahan secara langsung atau tidak langsung telah mengakibatkan terjadinya erosi seperti yang terjadi di Desa Marjanji Aceh. Kejadian longsor di Desa Marjanji Aceh terjadi pada akhir bulan Desember tahun 2005 yang menghancurkan beberapa rumah. Bukit yang ada di sekitar Sungai Asahan yang tadinya ditanami jenis kayu - kayuan telah dikonversi menjadi perkebunan sawit dan sebagian perkebunan karet sehingga ketika musim hujan datang maka bencana erosi menjadi hal yang tidak terelakkan. Yang paling mengkhawatirkan adalah tanah-tanah yang ada di bukit tersebut dalam kondisi sudah retak sehingga jika terjadi longsor akibat tingginya curah hujan maka tanah longsor tersebut akan menutup dan menyumbat Sungai Asahan karena jarak antara bukit dengan sungai sangat dekat (<100 meter). Pada akhirnya hal ini akan memicu terjadinya banjir besar. VI. PENUTUP

Longsor yang terjadi di Kabupaten Asahan selain karena faktor curah hujan yang tinggi juga disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi penggunaan lahan lain seperti perkebunan. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meminimalkan bencana longsor diantaranya adalah (1) melakukan pemetaan lokasi kerentanan gerakan tanah (KGT) dengan skala semi detail (1:50.000), (2) penertiban terhadap kegiatan penambangan tanpa ijin (PETI) dan dikelola tanpa kaidah tata kelola lingkungan yang baik. Alasan pembangunan dan percepatan ekonomi (PAD setempat) sering digunakan untuk melakukan perubahan peruntukan berdasarkan kepentingan wilayah dan sektoral tanpa memperhatikan aspek aspek geografis, ekologi dan sosial budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005. Laporan singkat hasil Penyelidikan Tim Tanggap Darurat bencana alam gerakan tanah yang terjadi di wilayah Kecamatan Bandar Pulau dan sekitarnya, Kabupaten Asahan, Propinsi Sumatera Utara. http://www.bgl.esdm.go.id diakses pada tanggal 8 November 2007.

Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah I Medan. 2005. Intensifikasi dan Ekstensifikasi Peringatan Dini Banjir dan

Page 115: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Tanah Longsor di…..(Sanudin dan Bambang)

| 101|

Longsor serta Pemanfaatan Informasi MKG untuk Menunjang Berbagai Sektor Pembangunan. Medan.

BPS dan Bappeda Kabupaten Asahan. Kabupaten Asahan dalam Angka 2004. Kisaran.

BPS Pusat, 2005. Potensi Desa Tahun 2005 - Kabupaten Asahan. Jakarta.

Direktur Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. 1981. Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan dalam Hubungannya dengan Pengelolaan DAS secara Terpadu. Prosiding Lokakarya Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai, Jakarta, 26-27 Mei 1981. p 135-151.

Manan, S. 1978. Kaidah dan Pengertian Dasar Manajemen Daerah Aliran Sungai. Penerbit IPB Press. Bogor.

Sumitro, A. 1981. Pengembangan Daerah Aliran Sungai. Prosiding Lokakarya Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai, Jakarta, 26-27 Mei 1981.

Syumanda, R. 2007. Hutan Rusak, Bencana Datang. http://rullysyumanda.wordpress.com. Diakses pada tanggal 8 November 2007.

Page 116: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 102 |

10. PERANAN VEGETASI HUTAN DALAM MENGATUR PASOKAN AIR1

Oleh:

Daniel Murdiyarso2 dan Sofyan Kurnianto2

ABSTRAK

Pasokan (supply) air yang anteng (sustainable) merupakan indikator penting bagi keberhasilan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Untuk itu kuantifikasi masukan (inputs) dan keluaran (outputs) air serta proses yang berlangsung di dalam ekosistem DAS perlu dikuantifikasi secara baik. Untuk mengoptimalkan pasokan tersebut kajian terhadap kelompok-kelompok pengguna air yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda juga perlu dilakukan. Makalah ini mengkaji peranan vegetasi hutan dan vegetasi lainnya dalam ekosistem DAS yang berpenduduk sangat padat. Hingga saat ini memang belum terjadi konflik yang berarti tetapi dengan makin langkanya pasokan air yang memadai dalam hal kuantitas mapupun kualitas, bukan tidak mungkin konflik akan muncul di waktu yang akan datang. Masukan dan keluaran air yang dinyatakan dalam neraca air dikemas dalam model spasial dan disimulasikan untuk mengantisipasi perubahan iklim dan alih-guna lahan. Kata kunci : Vegetasi, Pasokan Air

I. PENDAHULUAN

Kuantifikasi air yang masuk dan keluar dari dalam DAS

memerlukan pengukuran, perhitungan dan prediksi atau estimasi berdasarkan asumsi-asumsi yang dapat diterima. Tanpa asumsi akan sulit melakukan pendugaan terhadap sistem yang kompleks ini. Salah satu asumsi adalah masalah kebocoran air ke dalam atau ke luar DAS. Jika kebocoran dianggap sebagai sisaan (residue) maka nilainya harus lebih kecil dari variasi nilai produksinya.

1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007 1 Center for International Forestry Research. Jl. CIFOR, Sindangbarang, Bogor Barat, 16115, [email protected]

Page 117: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peranan Vegetasi Hutan.....(Daniel Murdyarso dan Sofyan Kurnianto)

| 103 |

Pengukuran masukan berupa curah hujan relatif mudah dengan asumsi variasi antar tempat (spatial variation) dapat diatasi dengan jejaring pengukuran yang memadai sesuai dengan kondisi bentang alam. Perhitungan keluaran berupa evapotranspirasi dan aliran permukaan dan bawah-permukaan, terkait erat dengan kondisi vegetasi penutup, dan kondisi iklim setempat.

Perubahan atau alih-guna lahan sebagai bentuk intervensi manusia yang memiliki kepentingan tertentu dapat diantisipasi melalui konsultasi dan diskusi kelompok yang terfokus (Focused Group Discussion, FGD). Hal ini penting untuk menentukan aliran (sungai) yang anteng yang dapat disepakati bersama. Sudah barang tentu negosiasi atau tawar-menawar ini memerlukan perubahan yang tidak perlu merugikan siapaun, baik dari segi ekonomi maupun sosial. Setiap pihak harus memiliki posisi tawar yang sama agar konflik yang tidak perlu dapat dihindari. Mekanisme pendanaan harus diatur sedemikia rupa sehingga prinsip keadilan dan efisiensi dapat disepakati.

II. PERANAN VEGETASI DAN IKLIM

Vegetasi memiliki peranan dalam dua hal. Pertama, sebagai penutup lahan sehingga menahan air yang jatuh ke permukaan. Vegetasi dapat mengurangi energi ”pukulan” butir hujan sehingga mengurangi peluang terjadinya erosi. Dengan permukaan (tajuk) yang basah, vegetasi akan mengevaporasikan air hujan yang tertahan (diintersepsi) permukaan tanaman. Kedua, sebagai ”saluran” yang akan mengalirkan air dari tanah ke atmosfer melalui proses transpirasi. Peranan ini berlangsung ketika permukaan atau tajuk vegetasi kering.

Perbedaan tipe vegetasi berdaun jarum (konifer) dan berdaun lebar nampaknya tidak berperan lebih penting ketimbang lokasi atau kondisi iklim setempat, khususnya intensitas hujan yang menentukan durasi basahnya tajuk. Hal ini penting karena tajuk yang basah akan mengevaporasikan air yang diintersepsi dalam laju potensial. Dengan kata lain jenis vegetasi menjadi tidak terlalu penting. Table 1 menunjukkan laju evaporasi dan transpirasi dua jenis vegetasi hutan yang menerima hujan dalam jumlah yang relatif sama (sekitar 3000 mm setahun) namun mengalami kebasahan tajuk dalam durasi yang berbeda karena perbedaan intensitas hujannya. Akibatnya hutan yang terletak di kawasan beriklim sedang (sub tropis) menghabiskan sebagian besar air yang masuk melalui evaporasi, sedang hutan tropis melalui transpirasi.

Page 118: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 102-109

| 104 |

Tabel 1.Laju evaporasi dan transpirasi hutan daun jarum di daerah iklim sedang dan hutan daun lebar di kawasan tropis yang mengalami curah hujan tahunan sekitar 3000 mm

Satuan Daun jarum sedang

Daun lebar tropis

Evaporasi, Ei

Laju Total EI /Pg Tahanan

aerodinamik , ra Transpirasi, ET

Laju Total Tahanan tajuk, rs

Kehilangan air

mm/h mm/y

% s/m

mm/h mm/y s/m

0.22 790 40 4.6

0.18 310 200

1,100

0.18 595 20 8.1

0.31 886 120

1,481

Durasi kebasahan tajuk yang ditentukan oleh intensitas hujan

seperti terlihat dalam Tabel 2 mengakibatkan persentasi kehilangan air melalui evaporasi air yang terintersepsi secara signifikan. Di kawasan tropis dengan intensitas yang tinggi (di atas 10 mm/jam) akan mengalami kebasahan tajuk yang relatif pendek dan kehilangan air melalui evaporasi potensial antara 12-22 persen, sementara di kawasan sub-tropis yang intensitas hujannya hanya sepersepuluh kawasan tropis (1-2 mm/jam) mencapai 40 persen. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan hutan akan mengurangi pasokan air. Table 2. Perbedaan persentase intersepsi akibat intensitas yang berbeda.

Species/tegakan

Lokasi

Elev. (m)

Hujan tahunan

(mm)

Intensitas hujan

(mm h-1)

%

Sumber

Hutan daun jarum - iklim sedang Wales 3200 1.32

39.6 Murdiyarso (1985)

Picea sitchensis

Scotland 802 1.37 32 Gash et al. (1980)

Pinus sylvestris

East Anglia 595 1.71 36 Gash and Stewart (1977)

Page 119: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peranan Vegetasi Hutan.....(Daniel Murdyarso dan Sofyan Kurnianto)

| 105 |

Scotland 493 1.22 42 Gash et al. (1980)

Hutan daun lebar – iklim tropis Malaysia 86 2381 - 21.8 Manokaran

(1979) Tanzania 238 - - 21.5 Jackson

(1975) Kalteng 200 2199 9.8 11.4 Asdak et al.

(1998) Kalbar 240 3400 10.54 21.7 Murdiyarso

(1985) Jawa Barat 200 1900 13.20 18 Bruijnzeel

and Wiersum (1986)

Hutan tropis

Brazil 1650 - 11.6 Ubarana (1996)

Hutan berawan

Guatemala 2550 2559 - 29.0 Holder (2004)

III. NERACA AIR DAS

Masukan air ke dalam ekosistem DAS adalah curah hujan sedang keluarannya berupa evapotranspirasi. Kebocoran air baik ke dalam maupun ke luar DAS tidak teramati, kecuali pengambilan air tanah (ground water) dari sumur artesis.

Evapotranspirasi Potential (PET) dihitung berdasarkan metode Thornthwaite yang hanya memerlukan data suhu udara (Burt & Shahgedanova, 1998).

a

i

IT1016PET

i …………………………………………(1)

38263 I67,5.10I77,1.10I17,9.100,49a ….(2)

des

jani

1,516i

5TI ……………………………………………..(3)

Untuk mebedakan evapotranspirasi dari berbagai tipe penutupan

vegetasi diperlukan informasi mengenai koefisien tanaman (Doorenbos & Pruitt 1975), sehingga:

Page 120: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 102-109

| 106 |

PETi = kc.PETi…………………………………………………………………………...(4) Dimana:

T: suhu i: bulan ke-i kc: koefisien tanaman

I: indeks bahang tahunan

Kadar air tanah sangat ditentukan oleh masukan dan keluaran air di permukaan tanah. Jika selisih antara curah hujan, P dan PET positif, maka perbedaan tersebut akan menjadi tambahan bagi kadar air tanah, SWC. Tetapi jika negatif, maka, SWC merupakan fungsi exponensial kapasitas tanah dalam menahan air, WHC. Sehingga: SWCi = SWCi-1 + Pi – PETi, Jika Pi > PETi............(5) SWCi = SWCi-1exp (Pi – PETi/WHC), Jika Pi < PETi..........(6)

Evapotranspirasi actual, AET akan sama dengan PET ketika P > PET. Sebaliknya, jika P< PET, tanah akan mengering dan AET < PET dengan perhitungan sbb: AETi = Pi – SWCi + SWCi-1, Jika Pi < PETi........(7)

Perbedaan antara PET dan AET disebut defisit kadar air tanah

(SMD).

Ketika SWC mencapai nilai maksimumnya, kelebihan atau surplus air (SMS) sangat ditentukan oleh WHC, dan didefinisikan sbb: SMSi = max(0, SWCi – WHC)..........................................................(8)

Sedang SWC pada bulan tersebut dihitung sbb: SWCi = SWCi – SMSi..................................................................................................................(9)

Tabel 3 menunjukkan neraca air seluruh Sub DAS Cicatih yang dalam hal ini tidak pernah mengalami defisit karena jumlah curah hujan bulanannya selalu lebih besar dari evapotranspirasi potensialnya.

Page 121: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peranan Vegetasi Hutan.....(Daniel Murdyarso dan Sofyan Kurnianto)

| 107 |

Table 3. Neraca air Sub DAS Cicatih, Sukabumi, Jawa Barat Jan Feb Mar Ap Mei Jun Jul Ag Sep Okt Nov Des

Curah hujan

329 283 314 323 213 173 107 136 153 229 367 290

Evapo transp. Pot.

112 106 114 130 134 125 117 119 120 117 111 106

Kadar Air Tanah

243 243 243 243 243 241 223 225 229 233 242 243

Surplus 217 176 200 193 79 50 9 16 31 108 247 183

IV. ALIH-GUNA LAHAN DAN PERUBAHAN IKLIM

Sebagai konsekuensi logis dari kepentingan yang berbeda-beda, penggunaan lahan akan mengalami perubahan secara berkala. Kecenderungan yang paling umum adalah menyusutnya vegetasi tahunan berkayu, termasuk hutan. Masalahnya adalah, apakah vegetasi pengganti dapat lebih efisien dalam menahan terjadinya erosi dan dalam mengurangi evaporasi. Jika ya, sudah barang tentu pasokan air justru akan diperbaiki atau ditingkatkan ketimbang sebaliknya.

Untuk membayangkan kejadian tersebut, model neraca air perlu disusun agar dapat dimanupulasi dalam proses simulasi. Dalam eksperimen ini DAS Cicatih ternyata tidak cukup peka terhadap alih-guna lahan, khususnya dalam pengaruhnya terhadap PET. Selanjutnya SWC dan SMS juga akan tidak terpengaruh secra signifikan meskipun kawasan berhutan berkurang hingga 15 persen.

Pengaruh perubahan iklim yang diwakili oleh sembilan skenario kombinasi peningkatan suhu, ∆T = + 1, +2, +4 dan peningkatan curah hujan, ∆P = 0, +10%, + 20%. Perubahan sebesar 12 sampai 65% terjadi untuk AET, -17 sampai 0% untuk SWC, -49 sampai 26% untuk SMS dan -4 sampai 1736% untuk SMD.

Pola musiman menunjukkan peningkatan AET dan SMD di musim hujan (Oktober – Maret) yang lebih besar dibanding peningkatan di musim kemarau (April – September). Sementara itu, penurunan SWC dan SMS yang terjadi di musim kemarau lebih besar dibanding musim hujan. Akibatnya, AET and SMD di musim hujan pada skenario yang paling ekstrem (∆T =+4oC; ∆P = +20%) lebih besar pada musim kemarau.

Page 122: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 102-109

| 108 |

V. KESIMPULAN

• Peranan vegetasi (hutan) sangat tergantung pada kondisi iklim setempat. Hutan tidak menambah aliran sungai (debit), tetapi justru menguranginya. Namun demikian hutan dapat mengatur fluktuasi aliran sungai karena peranannya dalam mengatur limpasan dan infiltrasi

• Pengaruh hutan sangat ditentukan skala penutupan lahannya namun alih-guna lahan’ khususnya pengurangan penutupan hutan hingga 15 persen tidak memberikan pengaruh yang berarti tehadap pasokan air. Karena itu penggunaan lahan dapat diatur secara partisipatif sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak

• Sebaliknya perubahan iklim memberikan pengaruh yang nyata, khususnya pada musim kemarau, baik terhadap AET maupun SMD.

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C., Jarvis, P.G., van Gardingen, P., Fraser, A., 1998. Rainfall interception loss in unlogged and logged forest areas of Central Kalimantan, Indonesia. Journal of Hydrology 206, 237-244.

Bruijnzeel, L.A., Wiersum, K.F., 1987. Rainfall interception by a young Acacia auriculiformis (A Cunn) plantation forest in West Java, Indonesia: application of Gash’s analytical model. Hydrol.

Proc. 1, 309–319.Burt TP, Shahgedanova M. 1998. An historical record of evapotranspiration losses since 1815 calculated using long term observations from the Radcliffe Meteorological Station , Oxford, England. J.Hydrol.205:101-111.

Doorenbos J, Pruitt WO. 1975. Guidelines for Predicting Crop Water Requirements. FAO, Rome.

Gash, J.H.C and J.B. Stewart. 1977. The evaporation from Thetford forest during 1975. J. Hydrol. 35:385-396

Gash, J.H.C., I.R Wright, and C.R. Lloyd. 1980. Comparative estimates of interception loss from three coniferous forests in Great Britain. J. Hydrol. 48:89-105.

Holder, C.D., 2004. Rainfall interception and fog precipitation in a tropical montane cloud forest of Guatemala. Forest Ecology and Management 190, 373-384.

Page 123: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peranan Vegetasi Hutan.....(Daniel Murdyarso dan Sofyan Kurnianto)

| 109 |

Jackson, I.J., 1975. Relationships between rainfall parameters and interception by tropical forest. Journal of Hydrology 24, 215-238.

Manokaran, N. 1979. Streamflow, throughfall and rainfall interception in a lowland tropical forest in Peninsular Malaysia. Malay. Forester 42:174-201.

Murdiyarso, D. 1985. Fprest Transpiration and Evaporation. PhD Thesis. Department of Meteorology University of Reading, UK.

Ubarana, V.N., 1996. Observation and modelling of rainfall interception loss in two experimental sites in Amazonian forest. In: Gash, J.H.C., Nobre, C.A., Roberts, J.M., Victoria, R.L. (Eds.). Amazonian Deforestation and Climate, Wiley, Chichester, pp.151-162

Page 124: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 110 |

11. ANALISIS TINGKAT KEKERINGAN SEBAGAI DASAR DALAM PENGELOLAAN DAS YANG BERHUTAN

DI DAS PROGO1

Oleh :

Sudibyakto2

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo dapat dibagi kedalam beberapa Sub DAS yaitu Sub DAS Progo Hulu, Sub DAS Tangsi, Sub DAS Elo, Sub DAS Blongkeng, dan Sub DAS Progo Hilir. Wilayah DAS Progo cukup bervariasi dalam hal topografi, satuan geologi dan geomorfologi, hidrologi, jenis tanah, tipe penggunaan lahan (termasuk hutan), dan tipe curah hujan (iklim)., sehingga karakteristik fisik tersebut diharapkan berpengaruh terhadap keragaman nilai indeks kekeringan (drought index). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik hujan dan hubungannya dengan tingkat kekeringan di DAS baik secara spasial maupun temporal untuk dijadikan sebagai dasar pengelolaan DAS. Pengaruh hutan terhadap neraca air dan indeks kekeringan serta mitigasinya menjadi tujuan yang kedua. Metode yang digunakan dengan menggunakan pendekatan "spasio-temporal hidrometeorological water balance". Indeks kekeringan dihitung dengan rumus Thornthwaite. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola indeks kekeringan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor curah hujan, tipe iklim, dan kemampuan tanah memegang air (soil water holding capacity), dan pengaruh tataguna lahannya. Hutan terbukti dapat menjaga ketersediaan air atau timbulnya kekeringan akan mundur dari waktu menurunnya curah hujan. Perkembangan spasial tingkat kekeringan terutama dimulai dari bagian hilir dan meluas ke bagian tengah dengan defisit air mencapai 5-70 mm per bulan. Upaya mitigasi yang dapat dilakukan meliputi mempertahankan fungsi hutan, pembuatan sumur resapan air hujan, dan kemungkinan pembuatan waduk-waduk kecil pada lokasi yang tidak rawan longsor. Kata kunci :Kekeringan, Pengelolaan DAS ----------------------------- 1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan daya

Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007. 2 Fakultas Geografi UGM Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM e-mai :

[email protected]

Page 125: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Analisis Tingkat Kekeringan….(Sudibyakto)

| 111 |

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo seluas 1800 km2 dapat dibedakan menjadi dua wilayah, yaitu wilayah DAS Progo Hulu (termasuk wilayah administrasi Jawa Tengah) dan wilayah DAS Progo Hilir (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Aliran sungai Progo berasal dari beberapa Sub DAS antara lain Sub DAS Progo Hulu, Sub DAS Tangsi, Sub DAS Elo, Sub DAS Blongkeng, dan Sub DAS Progo Hilir.

Dulbahri (1992) mengklasifikasikan iklim di DAS Progo menajdi tiga mintakat, yaitu tipe iklim tropika basah (Am), iklim tropika basah-kering (Aw), dan iklim sedang yang lembab (Cw). Iklim Cw hanya terdapat pada bagian atas pegunungan dengan elevasi di atas 1350 m di atas permukaan air laut. Daerah di bawah elevasi 1350 m umumnya bertipe iklim Am dan Aw.

Bahan induk jenis tanah di daerah penelitian sebagian besar dari bahan vulkanis. Tim Survei Fakultas Geografi UGM (1992) mendapatkan jenis tanahnya adalah Aluvial, Latosol, Andosol, Grumusol, Regosol, dan Litisol. Tipe penggunaan lahan umumnya meliputi pertanian lahan kering (tegalan), perkebunan, hutan, Latosol, Andosol, Grumusol, Regosol, dan Litisol. Tipe penggunaan lahan umumnya meliputi pertanian lahan kering (tegalan), perkebunan, hutan, permukiman, sawah, dan sebagian kecil berupa tanah kosong (semak). Perbedaan antara jenis tanah dan jenis lahan penggunaan akan mempengaruhi perbedaan kapasitas tanah menahan air.

Atas dasar keragaman kondisi biofisik daerah penelitian tersebut, maka timbul pertanyaan bagaimanakah sebaran ruang dan waktu indeks kekurangan air dalam tanah (soil moisture deficit). Bagaimana pula pengaruh dari kondisi DAS terhadap timbulnya indeks kekeringan baik secara meteorologist dan hidrologis.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mempelajari karakteristik

hujan dan pengaruhnya terhadap sebaran indeks kekeringan, dan (2) mengetahui pengaruh kondisi biofisik DAS (hutan) terhadap timbulnya kekeringan baik secara meteorologis maupun hidrologis.

Kegunaan penelitian antara lain dapat menunjukkan perkembangan nilai (indeks) kekeringan baik secara spasial maupun temporal dan dapat dipilih upaya-upaya mitigasinya.

Page 126: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Worksho, 2009: 110-115

| 112 |

II. TINJAUAN PUSTAKA

Sudibyakto (1985) dalam penelitiannya tentang indeks kekeringan metode Palmer di daerah Kedu Selatan Jawa Tengah menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kekeringan adalah ketidakmampuan tanah untuk menahan air yang berasal dari curah hujan untuk jangka waktu tertentu. Kemampuan tanah menahan air menurut Thornthwaite-Mather sangat ditentukan oleh jenis tanah (tekstur) dan jenis vegetasi (kedalaman zone perakaran). Vegetasi yang jenisnya sama bila tumbuh pada jenis tanah yang berbeda akan mempunyai kemampuan memegang air yang berbeda pula. Perbedaan faktor tersebut akan menimbulkan perbedaan tingkat kekeringan.

ILACO (1981) mengemukakan bahwa besarnya evaporasi dan evapotranspirasi sangat besar dalam menjaga keseimbangan air dalam tanah. Indeks kebasahan (moisture index) dihitung dengan rumus :

Im = (100s - 60 d) / n dalam % Adapun s : lengas tanah (soil moisture surplus) d : kekurangan lengas tanah (soil moisture deficiency) n : kebutuhan air untuk evapotranspirasi Dalam rumus tersebut, nilai-nilai s, d, dan n merupakan nilai total tahunan, dan n dihitung berdasarkan data evapotranspirasi bulanan yang dihitung dengan rumus Thornthwaite. Apabila nilai Im = 0, maka akan ada dua kemungkinan, yaitu : - kondisi lembab/basah (humid), jika Im > 0, atau s > 0.6d - kondisi kering (arid), jika Im < 0, atau s < 0.6 d Dalam penelitian ini nilai yang digunakan adalah Indeks Kekeringan (Ia), selanjutnya dibuat kriteria sebagai berikut. -tidak terjadi kekringan jika nilai Ia < 16.7%

-kekeringan sedang, jika nilai Ia antara 16.7 % hingga 33.3% -kekeringan berat, jika nilai Ia > 33.3%.

Landasan Teori

Atas dasar tinjauan pustaka di atas dapat disusun landasan teori sebagai berikut. Keragaman kondisi biogeofisik wilayah, akan menunjukkan perbedaan indeks kekeringan menurut ruang dan waktu meskipun nilai curah hujannya kurang lebih sama. Nilai kapasitas tanah memegang air sangat penting dalam mengatasi timbulnya

Page 127: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Analisis Tingkat Kekeringan….(Sudibyakto)

| 113 |

kekeringan di suatu wilayah DAS. Jadi peranan jenis vegetasi termasuk hutan yang mempunyai kedalaman zone perakaran cukup dalam sangat penting dalam upaya mengatasi kekeringan di DAS.

III. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan secara bertahap. Tahap awal adalah pengumpulan dan pengolahan data sekunder (data curah hujan rata-rata bulanan, dan data iklim) dan analisis peta topografi untuk membatasi batas DAS dan Sub DAS, peta penggunaan lahan, dan peta jenis tanah yang berskala sama yaitu 1 : 100.000. Sumber data curah hujan dan data iklim dari BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) dengan lama pencatatan 15 tahun hingga ada yang mencapai 30 tahun. Analisis neraca air dilakukan dengan menggunakan program "WTRBLN1", metode Thornthwaite digunakan untuk menghitung evapotranspirasi, dan perhitungan "water holding capacity". Penggambaran peta sebaran indeks kekeringan menggunakan cara interpolasi linier. Analisis spasial dan ekologikal juga dilakukan untuk menentukan faktor-faktor biogeofisik yang kemungkinan berpengaruh terhadap timbulnya kekeringan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik curah hujan

Sifat hujan rata-rata bulanan dari 23 stasiun hujan manual menunjukan bahwa semakin tinggi elevasinya makin tinggi pula curah hujan, namun tidak semua lokasi konsisten dengan pernyataan ini, hal ini didukung dengan nilai koefisien korelasi hanya 0,5. Hal ini tentu dipengaruhi juga oleh faktor orientasi lereng dan karakteristik hujannya (intensitas-durasi-tebal hujan). Curah hujan rata-rata tahunan bervariasi dari 2198 mm /tahun di Sentolo (Sub DAS Progo Hilir) hingga 4075 mm/tahun dijumpai di stasiun Kaloran (Sub DAS Progo Hulu). Intensitas hujan bervariasi dari 10 hingga 25 mm/hari, namun intensitas hujan per jam sulit dianalisis.

Neraca air

Neraca air di wilayah pegunungan vulkanik mempunyai nilai evapotranspirasi potensial rendah sekitar 60 - 100 mm/bulan, sedangkan di daerah dataran aluvial dan dataran kaki vulkan berkisar antara 100-120 mm/bulan. Nilai kapasitas tanah menahan air juga bervariasi dari 100 mm pada tanah bertekstur pasiran hinggan 250-280 mm pada tanah bertekstur lempung sampai liat. Defisit air umunya terjadi mulai bulan Mei hingga mencapai puncak defisit pada bulan September dan Oktober. Defisit air terbesar mencapai 100 -

Page 128: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Worksho, 2009: 110-115

| 114 |

150 mm/bulan dan umumnya pada daerah dataran rendah. Jenis tanah Litosol yang mempunyai kedalaman solum Sangay tipis, sehingga tidak mampu menahan air dalam jumlah yang memadai.

Indeks kekeringan

Nilai indeks kekeringan ditentukan berdasarkan perbandingan antara déficit air dan evapotranspirasi potensial. Untuk mengetahui variasi nilai indeks kekeringan (Ia) dari waktu ke waktu, telah dilakukan perhitungan terhadap data rata-rata bulanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa déficit air mulai terjadi selama 5-6 bulan mulai Mei hinggá September/Oktober. Pada bulan Mei kekeringan hanya terjadi di daerah Katerban dan Sentolo dengan nilai Ia antara 8-16% (termasuk sedang). Bila dicermati maka ada wilayah-wilayah yang kondisi DAS nya masih cukup baik tataguna hutannya akan menyebabkan kemunduran waktu terjadinya kekeringan. Metode ini tentunya dapat dijadikan salah satu indikator kondisi DAS kritis hidrologis, selain indikator-indikator kekritisan DAS yang selama ini telah disepakati. Pemantauan akan terjadinya kekeringan juga dapat dilakukan bila tersedia sistem informasi kekeringan secara spasial maupun temporal, meskipun masih menggunakan data rata-rata bulanan. Verifikasi data indeks kekeringan dapat dilakukan dengan menggunakan data debit sungai maupun ada tidaknya kekurangan air pada lahan-lahan sawah dan kebutuhan air domestik di wilayah studi.

Upaya mitigasi

Kekeringan di daerah penelitian dimulai bulan Mei dan berakhir Oktober dengan puncak kekeringan terjadi di bulanm Agustus dan bahkan September. Kekeringan muncul karena beberapa faktor antara lain berkurangnya curah hujan, ketidakmampuan jenis tanah menahan air dalam jumlah yang cukup untuk menutup kebutuhan evapotranspirasi. Atas dasar itu, maka berbagai upaya mitigasi bencana kekeringan dapat dilakukan dengan alternatif, misalnya memperbaiki teknik konservasi tanah dan air, membangun sumur resapan pada lahan permukiman, pembuatan waduk-waduk kecil pada lahan yang tidak rawan longsor, dan mitigasi secara non-engineering seperti penegakan aturan perubahan fungsi lahan dan sebagainya.

V. KESIMPULAN

Wilayah DAS Progo secara hidrometeorologis dapat dibedakan menjadi tiga mintakat kekeringan, yaitu zone kekeringan ringan, sedang dan tinggi. Variasi nilai Ia (indeks kekeringan) selain

Page 129: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Analisis Tingkat Kekeringan….(Sudibyakto)

| 115 |

ditentukan oleh curah hujan, juga variasi dari nilai evapotranspirasi, kapasitas tanah menahan air, dan jenis penggunaan lahan. Secara umum, daerah penelitian dalam jangka panjang tidak mengalami defisit air (kekeringan) yang berarti terutama pada Sub DAS hulu. Namun terjadinya kekeringan akan muncul bilamana kondisi Sub DAS telah mengalami degradasi lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1995. Data Aliran Sungai-sungai di Jawa Tengah. Dinas

Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Tengah.

Dulbahri. 1992. Pemanfaatan Foto Udara Inframerah Berwarna untuk Kajian Agihan dan Pemetaan Air Tanah di Daerah Pengaliran Sungai Progo. Disertasi. Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta.

Guttman, N.B., 1991: A sensitivity analysis of the Palmer Hydrologic Drought Index. Water Resour. Bull., 27, 797-807.

Guttman, N.B., 1998: Comparing the Palmer Drought Index and the Standardized Precipitation Index. J. Amer. Water Resour. Assoc., 34, 113-121.

http://www.drought.noaa.gov/palmer.html. Palmer Drought Severity Index. 2007. NOAA Drought Information Center.

ILACO. 1981. Agricultural Compendium for Rural Development in the Tropic and Sub Tropic. Elsevier, Amsterdam.

Sudibyakto. 1985. Evaluasi Kekeirngan dengan Menggunakan Indeks Palmer di Daerah Kedu Selatan, Jawa Tengah. Tesis. Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor.

Sudibyakto. 1991. Analisis Sifat-sifat Hujan dan Pengaruhnya terhadap Respons Hidrologi DAS pada berbagai Sub DAS yang Berbeda di DAS Kali Konto, Jawa Timur. Disertasi. Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor.

Tim Fakultas Geografi UGM. 1992. Inventarisasi Data Fisik DAS Progo. Ditjen RRL, Departemen Kehutanan, Jakarta.

Page 130: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 116 |

12. SUMBANGAN HUTAN TERHADAP HASIL AIR1

Oleh:

Sigit Hardwinarto2

ABSTRAK

Vegetasi hutan telah dikenal salah satunya dapat menyumbang hasil air. Namun keberadaan hutan dewasa ini semakin terancam potensi dan fungsinya, antara lain oleh laju pertambahan penduduk dan dinamika pembangunan. Kondisi ini tentu dapat mempengaruhi hasil air dari kawasan hutan. Bahkan penelitian/kajian yang terkait dengan sumbangan hutan terhadap hasil air masih terbatas dan relatif sedikit bila dibandingkan dengan keragaman jenis vegetasi dan luasan hutan di Indonesia. Dalam makalah ini hanya bisa menyajikan beberapa data yang terbatas pada beberapa daerah, terutama data dari daerah propinsi Kalimantan Timur. Secara umum sumbangan hasil air dari beberapa kawasan hutan relatif berbeda, karena dibatasi oleh faktor geografis, biogeofisik dan iklim yang relatif beragam. Namun demikian, sebagai contoh sumbangan aliran permukaan dari beberapa jenis vegetasi/hutan seperti yang terjadi di wilayah Kalimantan Timur menunjukkan bahwa yang memiliki nilai persentase aliran permukaan terhadap curah hujan dari yang kecil sampai besar secara berurutan yaitu jenis penutupan vegetasi (cover crops), semak belukar, alang-alang, hutan tanaman berumur muda, ladang pertanian semusim, dan hutan alam. Sedangkan sumbangan hasil air dari DAS berhutan yang memiliki fluktuasi aliran air dari yang rendah sampai tinggi secara berurutan yaitu kawasan peruntukan Hutan Lindung, Pengusahaan Hutan Alam Produksi (HPH), Pemasok Air Waduk, Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), serta Kombinasi Peruntukan seperti HPH, HTI, Taman Nasional, Perkebunan, Pertambangan dan lain-lain. Selain itu, ada kemungkinan kecenderungan menurunnya nilai persentase luasan hutan terhadap luasan DAS dapat mempengaruhi penurunan kualitas air. Kata kunci : Hutan, Hasil Air ____________________________________ 1 Makalah pada Workshop : Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007 2 Staf Pengajar Lab. Konservasi Tanah dan Air, Fak. Kehutanan UNMUL dan

Peneliti pada Pusat Penelitian Sumberdaya Air (PPSA) – LEMLIT, UNMUL, Samarinda., Alamat : Kampus Gunung Kelua, Jl. Kuaro I / 5, Kotak Pos 1068, Samarinda 75119, Kalimantan Timur Telepon: (0541) 741118, 741797 Faks.: (0541) 747479, 732870

Page 131: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)

| 117 |

I. PENDAHULUAN

Vegetasi hutan telah dikenal salah satunya dapat menyumbang hasil air. Namun demikian, seiring dengan percepatan pertambahan penduduk dan dinamika pembangunan, keberadaan hutan semakin terancam potensi dan fungsinya, antara lain diakibatkan oleh ancaman konversi kawasan hutan untuk penggunaan lahan lainnya, kegiatan pembalakan hutan (logging) yang berlebihan, perambahan kawasan hutan dan pencurian kayu secara illegal (illegal logging) yang semakin marak dewasa ini serta kebakaran hutan yang terjadi secara periodik. Degradasi hutan juga dianggap sebagai kontributor terjadinya bencana banjir.

Sebenarnya sampai seberapa besar sumbangan/kontribusi hutan terhadap hasil air perlu dikaji secara seksama. Namun demikian, sampai saat ini penelitian/kajian yang berkaitan dengan sumbangan hutan terhadap hasil air masih terbatas atau relatif sedikit di negara kita. Padahal tipe dan jenis vegetasi hutan di Indonesia relatif beragam dan relatif luas kawasannya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan ketersediaan dan akurasi data yang terkait dirasa masih terbatas.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam makalah ini hanya akan disajikan beberapa data yang terbatas pada beberapa daerah, bahkan sebagai pembanding juga merujuk hasil penelitian dari negara lain. Secara umum, sumbangan hasil air dari beberapa kawasan hutan relatif berbeda, karena dibatasi oleh faktor geografis, biogeofisik dan iklim yang relatif beragam. Oleh karena itu untuk memberikan gambaran atau pembanding mengenai sumbangan hutan terhadap hasil air dalam makalah ini diambilkan contoh terutama dari kondisi hutan dan penggunaan lahan lainnya yang terkait di wilayah propinsi Kalimantan Timur. Selain itu, parameter hasil air yang dikemukakan terbatas pada aliran permukaan (surface runoff) dan aliran air (streamflow), serta kualitas air.

Tujuan makalah ini adalah untuk menyumbangkan bahan pemikiran mengenai sumbangan hutan terhadap hasil air, baik berupa nilai aliran permukaan (surface runoff), aliran air (streamflow) dan kualitas air, model pengelolaan hutan sebagai penghasil air dan kebutuhan riset peran hutan dalam pasokan air, terutama yang terdapat di wilayah hutan lembab tropis.

Page 132: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 116-135

| 118 |

II. PENGARUH HUTAN TERHADAP ALIRAN AIR

Kehilangan sebagian besar air dari kawasan hutan oleh evapotranspirasi dapat mengurangi ketersediaan aliran air (streamflow). Penelitian jangka panjang di beberapa negara telah menunjukkan bahwa sesudah penebangan hutan dapat meningkatkan total hasil air (water yield) (Stadtmüller, 1989). Selain itu, gambaran pengaruh penebangan hutan dan pertumbuhan kembali hutan terhadap aliran air disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Pengaruh Penebangan dan Pertumbuhan Kembali Hutan terhadap Aliran

Air (Hibbert, 1965 dalam Sopper, W.E. and H.W. Lull eds. dalam Soemarwoto,1991).

Gambar 1 memperlihatkan bahwa segera setelah penebangan hutan pada tahun 1938 – 39 aliran air naik dengan tajam, kemudian dengan pertumbuhan kembali hutan, aliran air turun seiring dengan

Page 133: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)

| 119 |

pertumbuhan kembali, pada tahun 1963 hutan ditebang lagi dan aliran air naik lagi dengan tajam (Soemarwoto, 1991).

Gambaran sebagian besar total aliran air yang dihasilkan oleh aliran air cepat dapat dilihat pada Gambar 2.

0

5

10

15

20

25

30

35

0 10 20 30 40 50 60 70

Interval Waktu (menit)

Dis

trib

usi A

liran

Air

(%)

Lahan Pertanian

Lahan Hutan

Gambar 2. Distribusi Aliran Air Setelah Turun Curah Hujan Lebat pada Suatu DAS

yang Tertutup oleh Hutan dan Setelah Dikonversi Menjadi Lahan Pertanian (Stadtmüller, 1989)

Gambar 2 memperlihatkan bahwa aliran air puncak pada lahan pertanian relatif tinggi yang terjadi segera setelah mulai turun hujan lebat, sementara itu aliran air yang terjadi pada lahan hutan relatif masih rendah dan naik lebih lambat bila dibandingkan dengan lahan pertanian. Aliran air yang dihasilkan oleh curah hujan lebat pada lahan hutan di suatu DAS, diantaranya dipengaruhi oleh jenis tanah dari lahan berhutan terhadap hasil proses laju infiltrasi, kapasitas retensi/penyimpanan air dan perkolasi yang mengisi cadangan air tanah secara kontinyu. Dengan demikian aliran air dari DAS berhutan berkecenderung dapat menghasilkan puncak limpasan air yang relatif rendah dan variasi limpasan air yang relatif kurang berfluktuatif, serta dapat meningkatkan mutu dari kualitas air (Stadtmüller, 1989). Gambaran pengaruh beberapa jenis hutan terhadap aliran air dari berbagai banyak percobaan dengan berbagai jenis vegetasi di daerah iklim sedang disajikan pada Gambar 3.

Page 134: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 116-135

| 120 |

Gambar 3 memperlihatkan pengaruh beberapa jenis hutan terhadap aliran air pada umumnya dapat dinyatakan bahwa setiap pengurangan 10% dalam luasnya. Hutan konifer dan Eucalyptus menambah aliran air dengan 40 mm/tahun, hutan kayu keras yang meranggas dengan 25 mm/tahun, serta hutan belukar dan padang rumput dengan 10 mm/tahun. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa hutan konifer mempunyai pengaruh terbesar terhadap aliran air, disusul oleh hutan berdaun lebar dan terkecil pada hutan belukar, sedangkan di daerah tropik kenaikan maksimum aliran air ialah 4,5% mm/tahun untuk setiap 1% pengurangan luas hutan (Soemarwoto, 1991).

Gambar 3. Pengaruh Beberapa Jenis Hutan terhadap Aliran Air (Soemarwoto, 1991) III. JENIS PENUTUPAN LAHAN/VEGETASI DAN

ALIRAN PERMUKAAN

Gambaran pengaruh beberapa jenis penutupan lahan/vegetasi yang menghasilkan nilai aliran permukaan (surface runoff) seperti yang terjadi di wilayah Kalimantan Timur disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 memperlihatkan bahwa nilai aliran permukaan relatif agak bervariasi, diantaranya dipengaruhi oleh jenis penutupan lahan/vegetasi dan perlakuan kegiatan, juga kondisi biofisik lahan setempat seperti jenis tanah, kelerengan dan curah hujan. Tabel 1 juga menunjukkan nilai persentase aliran permukaan dari beberapa jenis penutupan lahan/vegetasi sebagai berikut:

(mm)

Page 135: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)

| 121 |

1). Pada hutan alam lembab tropis yang baru dilakukan penebangan dengan sistem TPTI nilai persentase aliran permukaan meningkat dari 11,1% menjadi 27,5%;

2). Pada HTI umur 6 bulan dan 1 tahun (jenis Gmelina arborea Roxb., Eucalyptus deglupta Blume dan Acacia mangium Willd.) diperoleh nilai persentase aliran permukaan sekitar 1,3%;

3). Pada penanaman campuran umur 6 bulan pada lahan pasca kebakaran hutan diperoleh nilai persentase aliran permukaan yang relatif mendekati nilai persentase aliran permukaan pada ladang tanaman semusim (4%);

4). Pada areal revegetasi pasca tambang batu bara dengan tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Fosberg) diperoleh nilai aliran permukaan yang semakin mengecil dari tanaman yang berumur 2 tahun sampai berumur 6 tahun;

5). Pada jenis Cover Crops umur 4 bulan seperti Pueraria javanica, Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides diperoleh nilai persentase aliran permukaan yang relatif kecil berkisar antara 0,5 – 0,7%, juga pada penutupan lahan oleh semak belukar sekitar 0,5% dan penutupan lahan oleh alang-alang sekitar 1,6%.

6). Pada areal revegetasi pasca tambang batu bara dengan tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Fosberg) diperoleh nilai aliran permukaan yang semakin mengecil dari tanaman yang berumur 2 tahun sampai berumur 6 tahun;

7). Pada jenis Cover Crops umur 4 bulan seperti Pueraria javanica, Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides diperoleh nilai persentase aliran permukaan yang relatif kecil berkisar antara 0,5 – 0,7%, juga pada penutupan lahan oleh semak belukar sekitar 0,5% dan penutupan lahan oleh alang-alang sekitar 1,6%.

Tabel 1. Pengaruh Jenis Penutupan Lahan/Vegetasi terhadap Nilai Aliran

Permukaan di Wilayah Kalimantan Timur

No Jenis Vegetasi dan Kombinasi Tanaman

Jenis Tanah

Kelere- ngan (%)

Curah Hujan

Tahunan P (mm)

Aliran Perm.

Tahunan SRO (mm)

SRO P

(%)

1. Hutan Alam Lembab Tropis

a. Belum ditebang Ultisol/ Podzolik

30 2.716 302,2 11,1

b. Baru ditebang dengan sistem TPTI

Ultisol/ Podzolik

30 2.716 747,6 27,5

Page 136: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 116-135

| 122 |

No Jenis Vegetasi dan Kombinasi Tanaman

Jenis Tanah

Kelere- ngan (%)

Curah Hujan

Tahunan P (mm)

Aliran Perm.

Tahunan SRO (mm)

SRO P

(%)

2. HTI umur 6 bulan dan 1 tahun (Gmelina arboreaRoxb., Eucalyptus degluptaBlume dan Acacia mangium Willd.)

Ultisol/ Podzolik

15 2.344 31,5 1,3

Penanaman Campuran Pasca Kebakaran Hutan 1.1.1.1 a. Shorea sp. &

Soybean umur 6 bulan

Ultisol/ Podzolik

28 2.211 106,1 4,8

b. Shorea sp. & Paddy umur 6 bulan

Ultisol/ Podzolik

28 2.211 90,3 4,1

3.

1.1.1.2c. Rubber & Corn umur 6 bulan

Ultisol/ Podzolik

28 2.211 82,3 3,7

4. Ladang Tanaman Semusim

Ultisol/ Podzolik

30 2.583 104,0 4,0

Revegetasi Pasca Tambang Batu Bara a. Sengon 2 tahun Ultisol/

Podzolik 13 2.300 90,1 3,9

b. Sengon 4 tahun Ultisol/ Podzolik

13 2.300 65,3 2,8

5.

c. Sengon 6 tahun Ultisol/ Podzolik

13 2.300 43,0 1,9

Jenis Cover Crops a. Pueraria javanica umur 4 bulan

Ultisol/ Podzolik

10 2.300 11,9 0,5

b. Centrosema pubescens umur 4 bulan

Ultisol/ Podzolik

10 2.300 14,1 0,6

6.

c. Calopogonium mucunoides umur 4 bulan

Ultisol/ Podzolik

10 2.300 15,8 0,7

7. Semak Belukar Ultisol/ Podzolik

30 2.583 13,2 0,5

8. Alang-alang Ultisol/ Podzolik

30 2.583 40,9 1,6

8). Pada areal revegetasi pasca tambang batu bara dengan tanaman

Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Fosberg) diperoleh nilai aliran permukaan yang semakin mengecil dari tanaman yang berumur 2 tahun sampai berumur 6 tahun;

9). Pada jenis Cover Crops umur 4 bulan seperti Pueraria javanica, Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides diperoleh nilai

Page 137: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)

| 123 |

persentase aliran permukaan yang relatif kecil berkisar antara 0,5 – 0,7%, juga pada penutupan lahan oleh semak belukar sekitar 0,5% dan penutupan lahan oleh alang-alang sekitar 1,6%.

Penelitian lain yang berkaitan dengan aliran permukaan juga dilakukan oleh Soelistyari dan Utomo (2002) dalam Priyono (2002) tentang pengaruh pemeliharaan pada hutan tanaman pinus terhadap evapotranspirasi dan aliran permukaan, menunjukkan bahwa nilai persentase aliran permukaan pada hutan pinus sekitar 3,18%. Selain itu, penelitian tentang efek faktor pengelolaan tanaman terhadap aliran permukaan yang dilakukan pada hutan rakyat kopi dan sengon dari keempat Sub DAS di Wonosobo, Jawa Tengah (Supangat, et al., 2001) menunjukkan bahwa nilai persentase aliran permukaan dari yang kecil sampai besar pada keempat Sub DAS secara berurutan yaitu Sub DAS dengan kombinasi tanaman sengon tua + kopi muda (peremajaan), teras bangku dan tanpa tanaman semusim (0,8%), Sub DAS dengan kombinasi tanaman Sengon tua + kopi tua, teras bangku, dan tanaman semusim (26,0%), Sub DAS dengan kombinasi tanaman sengon muda + kopi muda, teras gulud dan tanpa tanaman semusim (36,9%), serta Sub DAS dengan kombinasi tanaman semusim dan teras bangku (tanpa penguat teras) dengan jenis tanaman jagung dan ketela pohon (71,2%). Penelitian di Southwest Amerika pada hutan pinus ponderosa diperoleh hasil air rataan tahunan sebesar 15 – 18% dari curah hujan tahunan (Schumann, 2005).

IV. KAWASAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) BERHUTAN DAN HASIL AIR

A. Kuantitas Hasil Air Kawasan hutan juga dapat mempengaruhi dan menyumbang

kuantitas hasil air seperti debit aliran air sungai yang terjadi pada suatu DAS, sedangkan untuk mengetahui nilai fluktuasi debit aliran air sungai dapat didekati dengan Indeks Resim Air (IRA) yang merupakan nilai atau nisbah perbandingan antara debit limpasan air sungai maksimum (Qmaks) dengan debit limpasan air minimum (Qmin) pada suatu DAS selama periode tertentu.

Kategori IRA pada suatu DAS diantaranya dapat ditunjukkan oleh klasifikasi nilai standar skala dan nilai rentangan dari IRA (Anonim, 1988) seperti tersaji pada Tabel 2.

Page 138: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 116-135

| 124 |

Tabel 2. Klasifikasi Nilai Standar Skala dan Nilai Rentangan dari Indeks Resim Air Nilai dan Rentangan Parameter

Sangat Baik

Baik Sdang Jelek Sangat Jelek

Indeks Resim Air

(Qmaks/Qmin)

1,00<1,25 1,25<1,66 1,66<2,50 2,50 < 5 5

Sumber: Anonim, 1988

Sebagai gambaran nilai fluktuasi debit aliran air sungai yang dihasilkan oleh beberapa DAS berhutan di hutan lembab tropis seperti yang terdapat di wilayah Kalimantan Timur sesuai dengan jenis peruntukannya terhadap nilai IRA disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 memperlihatkan bahwa nilai IRA pada beberapa DAS berhutan dari yang rendah sampai tinggi secara berurutan ditunjukkan oleh jenis peruntukan hutan lindung (DAS Wain) dengan IRA = 2,4, jenis peruntukan pengusahaan hutan alam produksi (HPH) pada DAS Kahala (IRA = 5,6) dan DAS Enggelam (IRA = 5,9), jenis peruntukan pemasok air waduk pada DAS Manggar IRA = 6,9 dan DAS Karangmumus dengan IRA = 7,4, jenis peruntukan pengusahaan hutan tanaman industri (HTI) pada DAS Tinjew dengan IRA = 13,1, dan beberapa kombinasi jenis peruntukan seperti HPH, HTI, taman nasional, perkebunan, pertambangan dan lain-lain pada DAS Sengata dengan IRA = 23,3.

Penelitian untuk mendapatkan perbandingan besarnya debit maksimum dan debit minimum selama 34 bulan antara tahun 1995 s/d 1998 dalam setiap tahun dari DAS yang berhutan Pinus (Sub DAS Cibangban) dan DAS yang tidak berhutan Pinus (Sub DAS Cikawung) juga dilakukan oleh IPB di KPH Tasikmalaya, Jawa Barat (Mulyana,2002 dalam Priyono, 2002). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat fluktuasi debit antara Sub DAS berhutan dan tidak berhutan sangat tinggi sekali perbedaannya, yaitu nilai Qmaks/Qmin pada DAS yang berhutan Pinus (Sub DAS Cibangban) dari tahun 1995 s/d 1998 secara berurutan yaitu 6,7; 4,1; 9,8 dan 3,9, sedangkan pada DAS yang tidak berhutan pinus (Sub DAS Cikawung) yaitu secara berurutan yaitu 12,9; 5,9; 69,4 dan 3,2. Oleh karena itu apabila didasarkan perbedaan nilai Qmaks/Qmin pada kedua DAS tersebut dapat menunjukkan bahwa tingkat fluktuasi debit pada DAS yang berhutan Pinus relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan DAS yang tidak berhutan Pinus.

Page 139: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)

| 125 |

Apabila didasarkan pada klasifikasi nilai standar skala dan nilai rentangan dari IRA (Tabel 3), maka jenis peruntukan hutan lindung (DAS Wain) termasuk kategori sedang (nilai IRA antara 1,66 – < 2,50, sedangkan jenis-jenis peruntukan kawasan lainnya termasuk kategori sangat jelek (nilai IRA 5). Perbedaan nilai IRA ini sacara umum diantaranya dapat dipengaruhi oleh intensitas curah hujan yang turun dan pelaksanaan kegiatan dari berbagai jenis peruntukan kawasan yang secara simultan dapat berdampak terhadap pengurangan tutupan kawasan hutan, perluasan kawasan semak dan belukar serta lahan terbuka yang terjadi pada suatu DAS, selain itu juga ditopang oleh kondisi geofisik pada masing-masing DAS tersebut yang secara rinci seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel 3. Nilai IRA pada Beberapa Jenis Peruntukan Kawasan DAS Berhutan di

Wilayah Kalimantan Timur

Tabel 4 menunjukkan bahwa kondisi DAS – DAS tersebut

secara umum memiliki ketinggian kawasan < 1.000 m d.pl. (termasuk dataran rendah) dengan kelerengan landai sampai bergelombang/berbukit, jenis tanah didominasi Ultisol (Podsolik Merah Kuning) yang memiliki karakterisik tekstur dari lempung

Luas Penutupan Lahan Hutan Semak Belukar Lain-lain No. Nama

DAS

Luas

(ha) (ha) (%) (ha) (%) (ha) (%)

Qmaks

(m3/dt)

Qm

in

(m3/dt)

IRA Qmaks

/ Qmin

1. Peruntukan Pengusahaan Hutan Alam Produksi (HPH) a. DAS

Kahala 82.156 67.208 81,8 10.374 12,6 4.574 5,6 45,4 8,1 5,6

b. DAS Enggelam

47.132 37.988 80,6 5.836 12,4 3.308 7,0 24,9 4,2 5,9

2. Peruntukan Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) a. DAS

Tinjew 17.067 14.097 82,6 1.672 9,8 1.298 7,6 19,7 1,5 13,1

3. Peruntukan Hutan Lindung a. DAS

Wain 5.714 4.830 84,5 744 13,0 140 2,5 6,1 2,5 2,4

4. Peruntukan Pemasok Air Waduk a. DAS

Manggar 4.574 142 3,1 2.900 63,4 1.532 33,5 5,5 0,8 6,9

b. DAS Kr. Mumus

19.041 83 0,4 15.686 82,4 3.272 17,2 30,5 4,1 7,4

5. Beberapa Kombinasi Peruntukan seperti HPH, HTI, Taman Nasional, Perkebunan, Pertambangan dan lain-lain

a. DAS Sengata

211.210 118.066 55,9 87.019 41,2 6.125

2,9 230 9,9 23,3

Page 140: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 116-135

| 126 |

berliat sampai lempung berpasir, serta mempunyai daya menahan air yang kurang (RePPProT, 1987), pola jaringan sungai (drainage network pattern) memiliki jaringan sungai bercirikan pola percabangan pohon (dendritic pattern) yang karakteristiknya gerakan aliran air sungainya relatif cepat dari bagian hulu menuju ke hilir atau muara sungai dari DAS – DAS tersebut. Selain itu, kondisi umum kawasan DAS – DAS tersebut berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson (1951) termasuk iklim A dengan nilai perbandingan antara bulan basah dan bulan kering (Q) antara 0 – 14,3 %, yaitu wilayah hutan hujan tropis dengan kejadian hujan merata sepanjang tahun, suhu berkisar antara 26 - 29°C dengan rataan sebesar 27,5°C dan kelembaban nisbi berkisar antara 83% – 85,8% dengan rataan sekitar 84,5%. Tabel 4. Kondisi Geofisik dan Curah Hujan Tahunan pada DAS – DAS Tersebut

No Nama DAS

Luas

(ha)

Tinggi (m)

d.p.l.

Kelereng

(%) Jenis

Tanah

Pola Jaringan Sungai

Curah Hujan

Tahunan Rataan

(mm) 1. DAS

Kahala 82.156 20 -300 < 8 – 45

Dominasi (8 – 15)

Dominasi Ultisol (Podsolik Merah Kuning) Gleisol Aluvial

Dendritik 2.716

2. DAS Enggelam

47.132 20 - 300 < 8 – 45 Dominasi

(16 – 25)

Dominasi Ultisol Gleisol Aluvial

Dendritik 2.716

3. DAS Tinjew

17.067 25-150 0 – 15 Dominasi Ultisol Kambisol Aluvial

Dendritik 2.500

4. DAS Wain

5.714 10 – 80 < 8 – 45 Dominasi (<8 - 15)

Dominasi Ultisol Inceptisol

Dendritik 2.719

5. DAS Manggar

4.574 10 – 70 < 8 – 45 Dominasi (8 – 15)

Dominasi Ultisol Entisol Oxisol

Dendritik 2.583

6. DAS Karangmumus

19.041 50 -150 < 8 – 45 Dominasi

(15 – 25)

Dominasi Ultisol

Dendritik 2.023

7. DAS Sengata

211.210 10 - 120 < 8 – 45 Dominasi

(25 – 45)

Dominasi Latosol Regosol Litosol Ultisol

Dendritik 2.196

Page 141: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)

| 127 |

A. Kualitas Hasil Air Kawasan hutan juga dapat mempengaruhi kualitas hasil air

yang mengalir pada saluran sungai yang terjadi di suatu DAS. Hasil penelitian kualitas air dari beberapa DAS berhutan yang terdapat di wilayah Kalimantan Timur dapat dijelaskan sebagai berikut:

1). DAS Kahala dan DAS Enggelam yang memiliki persentase luasan hutan secara berurutan yaitu 81,8% dan 80,6%, diperoleh hasil dari beberapa parameter sifat fisik maupun kimia untuk kategori kualitas air golongan B secara keseluruhan memberikan hasil cukup baik dan mengindikasikan berada dalam batas yang diizinkan/batas toleransi yang diharapkan;

2). DAS Sengata yang memiliki persentase luasan hutan sekitar 55,9%, diperoleh hasil dari beberapa parameter sifat fisik untuk kategori kualitas air golongan B secara umum memberikan hasil cukup baik, kecuali parameter TSS dan TDS di muara sungai Sengata yang memperlihatkan kondisi di atas normal (1.500 mg/l), sedangkan di bagian hulu sungai tersebut masih berada pada batas yang diharapkan. Hal ini bisa disebabkan oleh sedimentasi maupun logsoran, sehingga partikel-partikel tanah sebagian terbawa arus air sungai. Selain itu, padatan tersuspensi (TSS) masih berada dalam batas yang diizinkan. Sementara itu, hasil pengukuran parameter-parameter sifat kimia selain DO secara keseluruhan mengindikasikan berada dalam batas yang diizinkan/batas toleransi yang diharapkan;

3). DAS Karangmumus yang memiliki persentase luasan hutan sekitar 1,0% yang kawasan hilirnya merupakan kawasan pemukiman, secara umum air sungainya hanya memenuhi syarat untuk perikanan dan peternakan, serta untuk pertanian dan industri, tetapi tidak memenuhi syarat untuk keperluan domestik dan bahan baku air minum. Demikian juga parameter coliforms, ammonia, DO dan kekeruhan tidak memenuhi batas ambang yang diperbolehkan.

Didasarkan dari contoh ketiga DAS tersebut di atas, dapat menggambarkan bahwa ada kemungkinan kecenderungan dengan penurunan persentase luasan hutan pada suatu DAS, akan dapat mengindikasikan penurunan kualitas air.

Page 142: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 116-135

| 128 |

V. MODEL PENGELOLAAN HUTAN SEBAGAI PENGHASIL AIR

Model pengelolaan hutan sebagai penghasil air dapat didekati dengan model pengelolaan hutan yang umumnya terdapat di Indonesia dengan mempertimbangkan beberapa kriteria seperti pengelolaan hutan berbasis DAS, fungsi/peruntukan hutan, identifikasi kondisi kawasan hutan, analisis parameter-parameter yang terkait dengan pengelolaan hutan dan hasil air, serta evaluasi hasil air dari kawasan hutan dan kesesuaiannya dengan kriteria pengelolaan hutan. Gambaran bagan alur model pengelolaan hutan sebagai penghasil air ini secara rinci disajikan pada Gambar 4.

1. Pengelolaan Hutan Berbasis DAS Dalam pengelolaan hutan yang terkait dengan hasil air, secara

spasial/keruangan terdapat keeratan dengan satuan/unit DAS. Air yang dihasilkan oleh kawasan hutan juga mengalir melalui jejaring sungai yang terdapat pada suatu DAS. Pendekatan satuan/unit DAS ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam pengukuran atau prediksi hasil air dari kawasan hutan, karena pada suatu DAS ada kemungkinan secara keseluruhan tertutup oleh kawasan hutan atau kombinasi sebagian kawasan hutan dengan berbagai penggunaan lahan lainnya. Selain itu, karakteristik air yang berasal dari curah hujan yang turun pada suatu wilayah alirannya dibatasi oleh wilayah DAS. Oleh karena itu, untuk mengetahui hasil air dari suatu kawasan hutan bisa dilakukan pada satuan wilayah DAS berhutan, sehingga basis unit DAS dimaksudkan untuk memudahkan dalam pengelolaan hutan yang terkait dengan hasil air.

Page 143: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)

| 129 |

Gambar 4. Bagan Alur Model Pengelolaan Hutan sebagai Penghasil

Air

2. Fungsi/Peruntukan Hutan

Merujuk UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada pasal 6 disebutkan bahwa hutan mempunyai 3 (tiga) fungsi pokok yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Pada umumnya hutan yang terdapat pada kawasan hutan konservasi berupa

Identifikasi Kondisi: Manajemen Pengusahaan/Pemanfaatan Hutan Luasan (Hutan Alam, Hutan Tanaman, Penggunaan Lain) Geofisik (Topografi, Geologi, Jenis Tanah) Iklim (Curah Hujan, Suhu, Kelembaban) Hidrologi (Pola Jaringan Sungai)

Hutan Produksi: Hutan Alam Hutan Tanaman Penggunaan Lain

Hutan Konservasi:

Hutan Lindung: Hutan Alam Hutan Tanaman Penggunaan Lain

DAS Berhutan

Analisis Parameter-parameter: Sistem Pengelolaan Hutan Penutupan Vegetasi & Penggunaan Lahan Karakteristik Tanah/Sistem Lahan Karakteristik Curah Hujan Evapotranspirasi dan Infiltrasi/Simpanan Air

Tanah Aliran Air (Streamflow)/Debit Aliran Air

Sesuai dengan Kriteria Keberhasilan Pengelolaan Hutan:

Pemanfaatan Hutan/Hasil Hutan Optimal Keseimbangan Kuantitas Aliran Air Kelayakan Kualitas Air Kontinyuitas Hasil Air

Alternatif Tindakan: Revisi/Redesain

Kawasan Tindakan Rehabilitasi Tindakan Konservasi Perlindungan/

Pengamanan Tindakan Lainnya

Evaluasi Hasil Air Didasarkan pada Kombinasi Hasil Analisis Parameter-parameter

Terjamin Kesinambungan Pengelolaan Hutan sebagai Penghasil Air

Page 144: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 116-135

| 130 |

hutan alam, sedangkan pada hutan lindung dan hutan produksi bisa berupa hutan alam atau hutan tanaman atau kombinasi di antara hutan alam, hutan tanaman dan penggunaan lainnya.

Sehubungan dengan masing-masing fungsi/peruntukan hutan ini memilki perbedaan yang mendasar, juga penyusun hutannya berbeda (hutan alam, hutan tanaman dan penggunaan lainnya), sehingga model pengelolaannya juga berbeda. Perbedaan fungsi ini akan mempengaruhi sistem/metode pengelolaannya, yang selanjutnya juga dapat mempengaruhi perbedaan hasil air. Oleh karena itu, untuk memudahkan identifikasi, analisis dan evaluasi dalam model pengelolaan hutan sebagai penghasil air ini, lingkup kawasan kajian perlu dipisahkan antara kawasan hutan alam, hutan tanaman dan penggunaan lainnya.

3. Identifikasi Kondisi Kawasan Hutan Identifikasi kondisi kawasan hutan diantaranya dapat dirinci

sebagai berikut: Kondisi manajemen pengusahaan/pemanfaatan hutan, identifikasi

kondisi ini antara lain dapat berupa sistem manajemen yang diterapkan dalam pengusahaan/ pemanfaatan hutan, baik pada hutan produksi, hutan lindung maupun hutan konservasi, selain itu juga kondisi kelembagaan dan sosial ekonomi masyarakat, serta kebijakan dan peraturan perundangan yang terkait;

Kondisi luasan hutan alam, hutan tanaman dan penggunaan lainnya, identifikasi kondisi ini dimaksudkan untuk menopang analisis hasil air dari masing-masing luasan hutan tersebut, sehingga dapat diketahui kontribusi air yang dihasilkan oleh masing-masing luasan hutan tersebut terhadap luasan DAS;

Kondisi Geofisik (Topografi, Geologi, Jenis Tanah), identifikasi kondisi ini pada kawasan hutan dapat diperoleh dari peta dasar dan peta tematik diantaranya Peta Rupa Bumi, Peta Topografi (Kontur), Peta Geologi dan Jenis Tanah, Peta Sistem Lahan (Reppprot), Potret Udara dan Citra Landsat/GIS, yang diperlukan untuk menunjang analisis geofisik kawasan yang berkaitan dengan hasil air;

Iklim (Curah Hujan, Suhu, Kelembaban), identifikasi kondisi ini dapat diperoleh dari Peta Curah Hujan/Data Sekunder Curah Hujan dan anasir iklim lainnya dari Stasiun BMG terdekat, yang diperlukan untuk menunjang analisis hubungan antara curah hujan dengan hasil air yang terjadi di kawasan hutan;

Page 145: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)

| 131 |

Kondisi Hidrologi (Pola Jaringan Sungai), identifikasi kondisi ini dapat dilakukan dari Peta Hidrologi/Peta Jaringan Sungai (Pola Drainase) pada kawasan hutan/DAS berhutan, yang diperlukan untuk menunjang analisis aliran air yang mengalir sampai ke saluran sungai setempat.

4. Analisis Parameter-parameter yang Terkait dengan Pengelolaan Hutan dan Hasil Air

Analisis parameter-parameter yang terkait dengan pengelolaan hutan dan hasil air diantaranya dapat dirinci sebagai berikut: Sistem Pengelolaan Hutan, sistem pengelolaan hutan ini dapat

mempengaruhi hasil air, seperti pada hutan alam yang diperuntukan sebagai hutan produksi misalnya memiliki sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), sedangkan pada hutan tanaman misalnya pada Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat, serta pada kawasan hutan lindung maupun hutan konservasi memilki sistem pengelolaan tersendiri. Oleh karena itu, keragaman dari sistem pengelolaan ini juga dapat mempengaruhi perbedaan hasil air. Sehingga, yang perlu dianalisis antara lain pengaruh dari penerapan sistem-sistem tersebut pada suatu kawasan hutan terhadap hasil air;

Penutupan Vegetasi dan Penggunaan Lahan, jenis-jenis penutupan vegetasi seperti hutan dan tumbuhan bawah, semak belukar dan alang-alang, juga penggunaan lahan lainnya seperti untuk jalan, pemukiman, perkantoran dan pabrik yang sering dijumpai di suatu kawasan pengelolaan hutan, perlu dianalisis sumbangan/kontribusi masing-masing terhadap hasil air. Sehingga, dapat diketahui lebih akurat mengenai kontribusi peran hutan terhadap hasil air;

Karakteristik Tanah/Sistem Lahan, karakteristik tanah/sistem lahan terutama yang terkait dengan mekanisme aliran air di suatu kawasan hutan perlu dianalisis, karena perbedaan hasil air pada beberapa kawasan yang memiliki hutan yang sama antara lain juga dipengaruhi oleh karakateristik tapak (site) tempat tumbuh hutan tersebut. Selain itu, khususnya pada hutan tanaman dalam pemilihan jenisnya harus benar-benar memperhatikan kesesuaian tapak terhadap jenis tanaman (site species matching) dan tujuan melaksanakan kegiatan penanaman;

Karakteristik Curah Hujan, curah hujan ini memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan hasil air dari suatu kawasan hutan, karena

Page 146: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 116-135

| 132 |

merupakan asal/sumber utama dari aliran air. Namun demikian, karakteristik curah hujan ini perlu dianalisis, karena pada beberapa kawasan yang jenis hutannya sama, tetapi karena karakteristik curah hujannya berbeda juga dapat mengakibatkan hasil air yang berbeda.

Evapotranspirasi dan Infiltrasi/Simpanan Air Tanah, analisis evapotranspiransi dan infiltrasi/simpanan air tanah ini perlu dilakukan, karena kebanyakan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari persentase curah hujan yang turun di kawasan hutan sebagian besar berupa evapotranspirasi, bagian curah hujan yang lain selain mengalir sebagai aliran permukaan juga meresap ke dalam tanah melalui infiltrasi yang dapat menambah simpanan air tanah. Dengan demikian evapotranspiransi dan infiltrasi ini secara langsung dapat mengurangi aliran permukaan yang merupakan salah satu pemasok hasil air.

Aliran Air (Streamflow)/Debit Aliran Air, analisis aliran air ini perlu dilakukan karena merupakan hasil air (kuantitas dan kualitas) dari suatu kawasan hutan, yang kuantitas dan kualitasnya sangat dipengaruhi oleh parameter-parameter seperti tersebut di atas. Oleh karena itu keserasian hubungan antara parameter-parameter tersebut terhadap hasil air perlu dijaga atau diupayakan agar diperoleh keseimbangan dan kontinyuitas aliran air. sesuai dengan tujuan pemanfaatannya.

5. Evaluasi Hasil Air

Evaluasi hasil air ini didasarkan pada kombinasi hasil analisis parameter-parameter seperti tersebut di atas dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan kriteria keberhasilan pengelolaan hutan. Kriteria keberhasilan ini antara lain sebagai berikut: Hasil pengelolaan hutan yang berupa pemanfaatan hutan/hasil

hutan dapat diperoleh secara optimal; Kuantitas aliran air yang dihasilkan oleh suatu kawasan hutan

seimbang, baik pada periode hujan maupun kemarau; Kualitas air yang dihasilkan oleh suatu kawasan hutan tidak

tercemar sehingga layak digunakan sesuai dengan tujuan pemanfaatannya;

Kuantitas dan kualitas hasil air terjamin kontinyuitasnya.

Apabila hasil evaluasi hasil air sesuai dengan kriteria tersebut di atas, maka diharapkan dapat terjamin kesinambungan pengelolaan hutan sebagai penghasil air. Namun demikian, jika hasil evaluasi hasil

Page 147: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)

| 133 |

air kurang/tidak sesuai dengan kriteria tersebut di atas, maka perlu dicarikan solusi/alternatif tindakannya, misalnya berupa revisi/ redesain kawasan hutan, tindakan rehabilitasi, tindakan konservasi, perlindungan/ pengamanan dan tindakan lainnya. Selanjutnya, setelah dilakukan beberapa tindakan tersebut, perlu dilakukan analisis ulang terhadap parameter-parameter yang terkait dengan pengelolaan hutan dan hasil air, sehingga apabila sesuai dengan kriteria keberhasilan pengelolaan hutan, maka diharapkan dapat terjamin kesinambungan pengelolaan hutan sebagai penghasil air.

VI. KEBUTUHAN RISET PERAN HUTAN DALAM PASOKAN AIR

Sehubungan dengan penelitian khususnya yang berkaitan dengan peran hutan terhadap pasokan air masih relatif sedikit di negara kita, sehingga ke depan sangat perlu melakukan penelitian dan pengembangan penelitian bidang tersebut. Hal ini karena hasil penelitian ini sangat menunjang dalam penanganan pasokan air, dan penanganan banjir yang akhir-akhir ini menjadi masalah dan melanda di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa kebutuhan riset yang terkait dengan peran hutan dalam pasokan air antara lain dapat dirinci sebagai berikut:

Penilaian pengelolaan hutan lestari dengan pertimbangan kriteria hasil air; Penilaian penerapan sistem/metode pengelolaan hutan seperti

TPTI, HTI, Hutan Tanaman Rakyat, Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), hutan lindung dan hutan konservasi terhadap hasil air; Pengaruh perubahan jenis vegetasi hutan terhadap hasil air; Penilaian evapotranspirasi, infiltrasi/simpanan air tanah, aliran

permukaan dan hasil air pada berbagai jenis vegetasi hutan; Pengaruh konversi hutan/perubahan penutupan lahan terhadap

hasil air; Kontribusi berbagai jenis penutupan lahan/penggunaan lahan

terhadap hasil air pada suatu unit DAS; Pengaruh karakteristik kondisi DAS dan manipulasi DAS terhadap

hasil air; Pengaruh berbagai kondisi hutan dan manipulasi vegetasi hutan

terhadap perubahan iklim (curah hujan); Pengembangan pengelolaan hutan dan estimasi hasil air dengan

penggunaan kombinasi hidrologi, geomorfologi, remote sensing dan SIG.

Page 148: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009: 116-135

| 134 |

BAB VII. PENUTUP

Dapat disimpulkan secara umum sumbangan hasil air dari beberapa kawasan hutan relatif berbeda, karena dibatasi oleh faktor geografis, biogeofisik dan iklim yang relatif beragam. Namun demikian, sebagai contoh sumbangan aliran permukaan dari beberapa jenis vegetasi/hutan seperti yang terjadi di wilayah Kalimantan Timur menunjukkan bahwa yang memiliki nilai persentase aliran permukaan terhadap curah hujan dari yang kecil sampai besar secara berurutan yaitu jenis penutupan vegetasi (cover crops), semak belukar, alang-alang, hutan tanaman berumur muda, ladang pertanian semusim, dan hutan alam. Sedangkan sumbangan hasil air dari DAS berhutan yang memiliki fluktuasi aliran air dari yang rendah sampai tinggi secara berurutan yaitu kawasan peruntukan Hutan Lindung, Pengusahaan Hutan Alam Produksi (HPH), Pemasok Air Waduk, Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), serta Kombinasi Peruntukan seperti HPH, HTI, Taman Nasional, Perkebunan, Pertambangan dan lain-lain. Selain itu, ada kemungkinan kecenderungan menurunnya nilai persentase luasan hutan terhadap luasan DAS dapat mempengaruhi penurunan kualitas air.

DAFTAR PUSTAKA Keputusan Menteri Lingkungan Hidup. 1988. No. 2/1988 tentang

Baku Mutu Kualitas Lingkungan, Jakarta.

Priyono, C.N.S, 2002. Hutan Pinus dan Hasil Air (Ekstraksi Hasil-hasil Penelitian tentang Pengaruh Hutan Pinus terhadap Erosi dan Tata Air yang dilaksanakan oleh UGM, IPB, UNIBRAW dan BP2TPDAS Surakarta).

RePPProT, 1987. Review of phase I, East and South Kalimantan, Regional Planning Programme for Transmigration (RePPProT). Vol. 1, Main report, Annexes 1 and 2, Land Resources Department/Bina Program, Jakarta.

Schumann, M. 2005. Fuels Management in Ponderosa Pine Forests: Impacts on Water Yield.Forest Guild Research Center, Working Paper.

Schmidt, FH and J.H.A Ferguson 1951. Rainfall Type Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New

Page 149: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)

| 135 |

Guinea Verh. No. 42. Jawatan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.

Soemarwoto, O., 1991. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Stadtmüller, T., 1989. Watershed Management in the Humid Tropics. German Forestry Report, Samarinda.

Supangat, A.B., T. M. Basuki dan Sukresno, 2001. Efek Faktor Pengelolaan Tanaman Terhadap Erosi dan Limpasan pada Hutan Rakyat Kopi dan Sengon di Wonosobo, Jawa Tengah.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Page 150: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 136 |

13. NILAI DAN DISTRIBUSI EKONOMI PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG SEBAGAI PENGATUR TATA AIR:

Kasus di Sub DAS Brantas Hulu1

Oleh:

Kirsfianti L Ginoga2, Sylviani2 dan Nurfatriani2

ABSTRAK

Salah satu peran dan fungsi kawasan lindung seperti hutan lindung adalah pengatur tata air atau menjaga kualitas dan kesinambungan ketersediaan air sehingga ada tuntutan agar hutan perlu dikelola dengan baik. Sementara permasalahan yang berkembang adalah banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan hutan, termasuk tata air. Penelitian yang dilakukan di Sub DAS Brantas Hulu ini menunjukkan bahwa menurunnya luas tutupan hutan mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan dan menurunkan aliran dasar (base flow). Hal ini berimplikasi terhadap kemampuan Sub DAS dalam menyimpan dan menyerap serta mendistribusikan air hujan yang jatuh sehingga menyebabkan terjadinya banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Secara ekonomi, dengan metode biaya penuh, pengadaan air yang komersil di Sub DAS Brantas adalah sebesar Rp316,2 milyar/tahun. Dari total biaya tersebut diperoleh tarif normal untuk Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air bagi pemanfaatan PLTA, PDAM dan industri di DAS Brantas seharusnya masing-masing sebesar Rp 116,7/kWh, Rp 217,79/m3 dan Rp 607,34/m3. Tarif yang berlaku saat ini adalah masing-masing adalah Rp 38,21/kWh, Rp 55/m3 dan Rp 110/m3. Sehingga selisih dari nilai tersebut merupakan nilai lingkungan yang perlu dikembalikan ke kawasan hutan. Sedangkan nilai non komersial manfaat air pertanian (didekati dari kesediaan membayar petani) sebesar Rp 20,8 juta/petani/tahun atau nilai ekonomi total sebesar Rp5,9 trilyun/tahun (untuk seluruh DAS). Nilai kesediaan membayar atas manfaat air rumah tangga sebesar Rp 641.783/orang/tahun atau nilai ekonomi total manfaat air untuk kebutuhan rumah tangga sebesar Rp14,4 milyar/tahun. Besarnya kompensasi yang selayaknya diterima oleh para pengelola kawasan atas jasa air non komersil yang digunakan petani dan rumah tangga sebesar Rp 4 067 525 / thn untuk para pengusaha pertanian di Tahura Suryo , Rp 55 008,80 /tahun untuk rumah tangga di TNBTS dan 1 Makalah pada Workshop : Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung

DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007 1 Peneliti pada Puslit Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan. Jl.

Gunung Batu No. 5 PO. BOX 272 Bogor 16610 Indonesia Telp. +62-0251- 8633944 ; Fax. +62-0251-8634924 Email : [email protected]

Page 151: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Nilai dan Distribusi Ekonomi….(Kirsfianti L Ginoga, Sylviani, Nurfatriani

|137 |

sebesar Rp 679 510,40 /thn untuk rumah tangga di sekitar kawasan Perum Perhutani Sedangkan besarnya biaya lingkungan / kompensasi atas pemanfaatan air komersil yang seharusnya diterima oleh masing-masing pengelola kawasan adalah Tahura Suryo sebesar Rp 8 691 085 /ha, TNBTS sebesar Rp 2 052 400 / ha dan Perum Perhutani sebesar Rp 978 349./ha. Kata Kunci : Nilai Ekonomi, Kawasan Lindung, Tata Air, Sub DAS

Brantas Hulu I. PENDAHULUAN

Banyak kalangan menyangsikan peran nyata hutan terhadap

ketersediaan dan kesinambungan pengaturan dan produksi air. Tetapi alam menunjukkan dan manusia merasakan, seiring dengan berkurangnya luas tutupan hutan dan bertambahnya DAS kritis. semakin sering terjadi bencana seperti banjir, longsor dan kekeringan, dengan tingkat kerusakan yang semakin besar Kerusakan hutan dan DAS meningkat setiap tahunnya. Sebagai buktinya pada tahun 1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas sekitar 9,69 juta hektar, pada tahun 1994 meningkat menjadi 39 DAS kritis dengan luas sekitar 12,52 juta hektar, pada tahun 2000 meningkat lagi menjadi 42 DAS kritis dengan luas sekitar 23,71 juta hektar, dan meningkat lagi pada tahun 2004 menjadi 65 DAS kritis (Ditjen Sumberdaya Air, 2004; Soenarno, 2000; Ditjen RRL, 1999). Kondisi ini juga diperparah dengan carut marutnya pengelolaan kawasan dan hutan lindung yang ditunjukkan oleh tumpang tindihnya kebijakan dan kurangnya sinergitas antara pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS.

Atas pertimbangan di atas pengaruh hutan terhadap pengaturan tata air, seperti produksi air (water yield), aliran permukaan serta berapa luas hutan yang ditinggalkan agar kebutuhan air terpenuhi perlu diketahui, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumber daya alam yang semakin langka dan sebagai sumber informasi untuk pengelola hutan dalam menentukan rekomendasi pada kegiatan perencanaan dan pengelolaan hutan lindung.

Saat ini pengelolaan hutan lindung belum terorganisir dengan baik disebabkan karena belum adanya perda yang mengatur pengelolaan hutan lindung sebagai tindak lanjut dari otonomi daerah. Kondisi ini bertentangan dengan Undang-undang No. 41 tahun 1999 dan PP no 6 tahun 2007. Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung pun masih sebatas wacana, sehingga pengelolaan hutan

Page 152: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 136-143

| 138 |

lindung belum menjadi prioritas bagi pemerintah daerah dan menyebabkan tingginya kerusakan hutan lindung.

II. PERAN HUTAN LINDUNG SEBAGAI PENYEDIA AIR

Hutan merupakan faktor yang utama dalam menjaga kualitas dan ketersediaan air sehingga ada tuntutan dan keinginan agar hutan sebagai daerah tangkapan air dan berfungsi sebagai pengatur tata air harus dikelola dengan baik. Sebagai pengguna air baik pemerintah, swasta maupun masyarakat mempunyai tanggung jawab dalam melakukan kewajibannya untuk menjaga kelestarian hutan. Melalui analisis citra landsat tahun 1997, 2001 dan 2003, memberikan gambaran perubahan penutupan lahan hulu DAS Brantas seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Lokasi ini dipilih karena merupakan DAS yang paling banyak memiliki permasalahan, terutama polusi air permukaan, konflik air, kerusakan DAS, sedimentasi, debit berkurang dan penurunan muka air tanah, disamping merupakan sumber air utama untuk Perum Jasa Tirta (PJT) I yang merupakan BUMN pensuplai air terbesar di pulau Jawa.

Gambar 1. Perubahan Tutupan Lahan di Sub DAS Brantas

Untuk menduga suplai air yang masuk ke waduk Sutami yang merupakan waduk tertua dan terbesar dari 14 waduk di Jawa Timur digunakan Model SWAT (Soil and Water Assessment Tool) yang merupakan gabungan dari beberapa model yang telah dikembangkan oleh ARS – USDA dengan menggunakan data iklim (curah hujan, suhu, kelembaban, radiasi matahari, kecepatan angin), jenis tanah, dan data debit harian.

0.0020000.0040000.00

60000.0080000.00

100000.00120000.00140000.00160000.00

Luas

(Ha)

1997 42273.13 139145.38 2855.61 3806.61 3127.54 133.982001 39663.99 106700.13 18627.39 21233.25 5101.2 16.292003 36074.633 105625.777 31733.37 6709.523 11198.07 0.877

Hutan Kebun Campuran/Semak Persawahan Lahan Terbuka Pemukiman Badan Air

Page 153: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Nilai dan Distribusi Ekonomi….(Kirsfianti L Ginoga, Sylviani, Nurfatriani

|139 |

Berdasarkan model tersebut, diketahui bahwa semakin menurunnya luas tutupan hutan mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan dan menurunkan aliran dasar (base flow) (Gambar 2). Hal ini Hal ini merupakan implikasi dari berkurangnya kemampuan hulu DAS Brantas, yang merupakan hutan dan kawasan lindung dalam menyimpan, menyerap, meproduksi air dan mendistribusikan air.

Gambar 2. Tutupan lahan dan produksi air Waduk Sutami

III. NILAI EKONOMI MANFAAT HIDROLOGIS HUTAN LINDUNG

Berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya air yang telah berjalan di kawasan lindung di antaranya adalah :

- Pemanfaatan air yang mempunyai nilai komersil (tarif, effek ganda, dan nilai pasar) untuk kebutuhan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Perusahaan Listrik Negara ( PLN ) dan Industri

- Pemanfaatan air non komersial untuk kebutuhan pertanian dan rumah tangga.

Instansi atau stakeholder yang berfungsi sebagai pengelola SDA dan penyedia air yang mempunyai nilai komersil untuk kebutuhan Perusahaan Listrik Negara (PLN), Perusahaan Air Minum (PAM), dan industri berskala besar adalah Perusahaan Jasa Tirta (PJT) yang suplai airnya berasal dari waduk. Selain itu terdapat stakeholder yang berfungsi sebagai pengelola sumber mata air di kawasan hulu yang bersifat non komersil, karena pemanfaatannya bersifat terbatas untuk kebun, irigasi sawah, ternak, dan konsumsi air rumah tangga.

0.00

5000.00

10000.00

15000.00

20000.00

25000.00

30000.00

35000.00

40000.00

45000.00

1997 2001 2003-

500.00

1,000.00

1,500.00

2,000.00

2,500.00

3,000.00

Luas Hutan (ha) Hujan (mm/th)Q Run Off (juta m3) Q Base Flow (juta m3)Q Total (juta m3)

Page 154: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 136-143

| 140 |

Kuantifikasi manfaat air dilakukan dengan pendekatan harga pasar dan biaya pengadaan. Selanjutnya dihitung biaya penuh (full cost) pengadaan air yang telah memperhitungkan nilai lingkungan yang akan dibebankan kepada penerima manfaat secara proporsional (beneficiaries pay principle), sebagaimana terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Metode Biaya Penuh (Adaptasi : Rogers et.al, 1996)

Biaya penuh pengadaan air yang telah memasukkan nilai lingkungan di DAS Brantas adalah sebesar Rp316,2 milyar/tahun. Dari total biaya tersebut diperoleh tarif normal untuk biaya jasa pengelolaan sumber daya air bagi pemanfaatan PLTA, PDAM dan industri di Sub DAS Brantas Hulu seharusnya masing-masing sebesar Rp 116,7/kWh, Rp 217,79/m3 dan Rp 607,34/m3. Sedangkan tarif yang berlaku saat ini adalah masing-masing adalah Rp 38,21/kWh, Rp 55/m3 dan Rp 110/m3, jauh di bawah tarif normal. Selisih dari nilai tersebut merupakan nilai lingkungan yang seharusnya dikembalikan ke kawasan hutan.

Nilai non komersial manfaat air pertanian yang didekati dari kesediaan membayar petani adalah sebesar Rp 20,8 juta/kepala keluarga/tahun atau dengan nilai ekonomi total sebesar Rp5,9 trilyun/tahun untuk seluruh Sub DAS Brantas Hulu. Nilai kesediaan membayar atas manfaat air rumah tangga sebesar Rp 641.783/orang/tahun atau nilai ekonomi total manfaat air untuk kebutuhan rumah tangga sebesar Rp14,4 milyar/tahun (Nurfatriani et al., 2006)

Eksternalitas Lingkungan

Eksternalitas Ekonomi

Biaya Oportunitas

Biaya Modal

Biaya OP

Biaya Penyediaan Penuh

Biaya Ekonomi Penuh

Biaya Penuh

Nilai Guna Lestari

Page 155: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Nilai dan Distribusi Ekonomi….(Kirsfianti L Ginoga, Sylviani, Nurfatriani

|141 |

Tabel 1. Nilai Ekonomi Air untuk Pertanian.

Nilai Ekonomi Satuan DAS Brantas HuluWTP Rp/KK/th 20.829.025Harga yg dibayarkan Rp/KK/th 491.396Surplus Konsumen Rp/KK/th 20.337.629

Variabel

Permintaan air m3 1989,5

Biaya pengadaan Rp/m3 5272,4Jarak m 632,5Luas lahan Ha 1,98Jumlah panen Ton 31,48Umur petani tahun 41,9Tingkat pendidikan skor 1,74Jumlah tanggungan Orang 3,3 IV. NILAI KOMPENSASI BAGI PENGELOLA KAWASAN.

Kompensasi yang seharusnya diberikan kepada para pengelola kawasan atas jasa air yang dimanfaatkan dibedakan berdasarkan jenis pemanfaatannya, yaitu untuk komersil dan non komersil. Pemanfaatan jasa air non komersil diharapkan dapat memberikan kompensasi kepada pengelola kawasan hulu dari nilai surplus konsumen, dimana nilai ini menunjukkan bahwa konsumen menerima atau mendapat nilai lebih dari harga yang dibayarnya atau merupakan manfaat yang diterima masyarakat dari fungsi ekologis hutan sebagai penyedia air. Namun tidak seluruh nilai surplus konsumen tersebut dikembalikan, sebaliknya hanya sebagian kecil saja dari masing-masing pengguna yang dibayarkan, untuk pengguna non komersil, misalnya hanya sebesar ± 2 % yang dibayarkan kepada pengelola kawasan seperti terlihat pada Tabel 1.

Untuk nilai kompensasi atas jasa air komersil yang seharusnya diberikan ke hulu Sub DAS Brantas dihitung menggunakan pendekatan selisih tarif normal dari tarif yang berlaku, dan dari jumlah potensi produksi air (PPA)1 dari masing-masing kawasan di hulu DAS Brantas. Dengan menggunakan analisa full costing dari seluruh 1 Proporsi PPA dihitung berdasarkan hasil analisis SWAT, dimana besar kontribusi suatu Sub Sub Sub DAS dengan tutupan lahan tertentu terhadap produksi air yang masuk ke bendungan Sutami diduga. Secara keseluruhan Sub Sub DAS Ambang memberikan kontribusi sekitar 51-54 % terhadap produksi air inlet Sutami. Sub Sub DAS Lesti memberikan kontribusi sebesar 32-35 %, sedangkan Sub Sub DAS Metro memberikan kontribusi sebesar 14 % (Ginoga et al., 2006)

Page 156: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 136-143

| 142 |

komponen biaya yang dikeluarkan oleh pengelola sumberdaya air (PJT I) diketahui nilai lingkungan dari pemanfaatan komersial untuk PDAM, PLTA dan industri ini sebesar Rp 183, 83 milyar.

Selanjutnya nilai ini dibandingkan dengan proporsi PPA, sehingga masing-masing pengelola kawasan menerima nilai kompensasi lingkungan secara proporsional. Untuk mengetahui distribusi biaya dan nilai lingkungan sebagai kompensasi dari pengelolaan kawasan dapat dilihat pada Tabel 2 (Sylviani, 2006).

Tabel 2. Distribusi biaya jasa lingkungan pemanfaatan air komersil Kompensasi Jasa air

Komersil No Pengelola

Kawasan Proporsi

rata2 PPA (%) Rp( x 1000 ) Rp/ha

1 Perum Perhutani 36,92 67 870 036 978 349 2 TNBTS 20,87 38 365 321 2 052 400 3 Tahura Suryo 42,21 77 594 643 8 691 085

Jumlah 100.0 183 830 000

Dari Tabel 2 dapat diketahui besarnya biaya lingkungan atau kompensasi yang seharusnya diterima oleh masing-masing pengelola kawasan dimana Tahura Suryo menunjukkan nilai yang terbesar yaitu 8 691 085 /ha, terbesar kedua TNBTS sebesar Rp 2 052 400 / ha sedangkan Perum Perhutani sebesar Rp 978 349./ha.

8%

18%

74%

Perh utani

TNBTS

Tahura

Gambar 4. Distribusi Nilai Lingkungan Komersil

V. REKOMENDASI KEBIJAKAN

Upaya rehabilitasi di lokasi prioritas yang telah diidentifikasi perlu dilakukan secara terkoordinir, lintas sektoral, lintas administrasi dan diarahkan ke pengelolaan ekosistem hulu DAS dengan mempertimbangkan proporsionalitas penyebaran biaya dan manfaat.

Page 157: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Nilai dan Distribusi Ekonomi….(Kirsfianti L Ginoga, Sylviani, Nurfatriani

|143 |

Disarankan untuk mengalokasikan kembali nilai lingkungan yang diperoleh dari penghitungan tarif normal untuk masing-masing pemanfaatan sumberdaya air kepada pengelola kawasan hutan sebagai bentuk cost benefit sharing di antara penyedia dan penerima manfaat hidrologis hutan lindung.

Upaya konkret cost benefit sharing dapat berupa peningkatan tarif pemanfaatan sumberdaya air sehingga mencerminkan internalisasi eksternalitas dimana penerimaan dari peningkatan tarif tersebut dikembalikan ke pengelolaan hutan dalam bentuk realokasi anggaran pemerintah untuk merehabilitasi dan memelihara lingkungan. Aternatif peningkatan efisiensi jika peningkatan tarif tidak mungkin dilaksanakan adalah dengan membatasi penggunaan (kuota) di tingkat konsumen akhir.

Pengelolaan DAS yang bersifat multi sektor dan multi disiplin ilmu membutuhkan komitmen dan langkah aksi yang konkret dari masing-masing pemangku kepentingan dengan membangun kelembagaan yang dapat mengatur mekanisme cost benefit sharing ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ditjen RRL, 199. Luas Lahan Kritis di Indonesia dalam Statistik Dalam Angka. Ditjen RRL, Departemen Kehutanan, Jakarta.

Ditjen Sumberdaya Air, 2004. Sebanyak 65 DAS dalam kondisi semakin kritis. Harian Kompas tanggal 20 Agustus 2004, hal. 15, Jakarta.

Ginoga, K.L, . 2006. Kajian Optimal Luas, Jenis dan Proporsi Vegetasi serta Posisi Hutan Lindung Terhadap Produksi Air di Sub DAS Brantas Hulu. Laporan Hasil Penelitian Puslit Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Bogor. Tidak Diterbitkan.

Nurfatriani F, 2006. Kajian Nilai Ekonomi Manfaat Hidrologis Hutan Lindung. Laporan Hasil Penelitian Puslit Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Tidak Diterbitkan.

Rogers P, Bhatia R dan Hubert A. 1996. Water as a Social and Economic Good : How to put the Principle into Practice. Global Water Partnership-Technical Advisory Committe. Unpublished.

Soenarno, 2000. Daerah banjir di Indonesia bertambah. Harian Kompas tanggal 24 Oktober 2000, hal. 19, Jakarta.

Page 158: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 144 |

14. NERACA AIR DI DALAM HUTAN1

Oleh:

Irfan Budi Pramono2

ABSTRAK

Neraca air dalam hutan merupakan bagian dari siklus air secara keseluruhan. Dari neraca air di dalam hutan dapat diketahui proses-proses hidrologi di dalam hutan sehingga fungsi hutan sebagai tata air akan lebih mudah dipahami. Tulisan ini menelaah hasil-hasil penelitian neraca air pada berbagai macam kondisi hutan. Secara umum neraca air di dalam hutan digambarkan dari perjalanan hujan sampai menjadi aliran sungai. Parameter yang diukur meliputi intersepsi, curahan tajuk, aliran batang, aliran permukaan, aliran bawah permukaan, aliran dasar, evapotranspirasi, dan aliran sungai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya intersepsi sekitar 15 % dari total curah hujan, sedangkan intersepsi, curahan tajuk dan aliran batang masing-masing 15 %, 79 % dan 1 %. Berdasarkan perhitungan maka besarnya evapotranspirasi sekitar 30 % dari total hujan. Dari hujan netto sebesar 80 % yang menjadi aliran bawah permukaan sebesar 6 %, aliran dasar 59 % dan untuk transpirasi sebesar 15 %. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa evapotranspirasi dari Acacia mangium sebesar 1495 mm atau 45 % dari total curah hujan tahunan, evapotranspirasi dari Agathis damara sebesar 1070 mm atau 22 % dari hujan, dan Pinus merkusii sebesar 29 % sampai dengan 78 % dari curah hujan tergantung lokasi dan metode yang digunakan. Evapotranspirasi merupakan faktor utama dalam mengelola hutan untuk menghasilkan air. Dalam rangka pelestarian sumber daya hutan dan air maka tingkat evapotranspirasi dari jenis hutan serta tingkat infiltrasi di bawahnya harus diperhitungkan dengan teliti. Sepanjang curah hujan jauh lebih besar dari evapotranspirasi dan tingkat infiltrasi lebih besar dari tingkat evapotranspirasi maka penamanan tanaman hutan di suatu wilayah dianggap aman dari masalah kelangkaan air.

Kata kunci : evapotrasnpirasi, intersepsi, curahan tajuk, aliran batang, aliran permukaan dan aliran dasar

1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007 2 Peneliti Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah, Balai Penelitian Kehutanan Solo,

Jalan A. Yani. Pabelan, P.O.Box 295 Surakarta, Tilp.0271 716709, email:[email protected]

Page 159: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Neraca Air....(Irfan BP)

| 145 |

I. PENDAHULUAN

Setiap ada bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan tanah longsor, pasti langsung diduga karena adanya penebangan hutan. Masyarakat selama ini memandang dan mengharapkan terlalu tinggi akan fungsi hutan untuk mencegah banjir, kekeringan, dan longsor. Bencana tersebut terjadi bukan hanya karena pengaruh ada tidaknya hutan tetapi lebih disebabkan oleh intensitas hujan, kondisi geologi, kelerengan, dan kelembaban tanah sebelumnya. Penebangan hutan mungkin hanya mempunyai sedikit pengaruhnya dalam banjir skala besar (Calder, 1999; Chomitz & Kumari, 1998 dalam Kaimowitz, 2005).

Hubungan hutan dan hasil air telah lama diteliti, terutama di negara-negara maju yang beriklim temperate. Hasilnya menunjukkan bahwa penanaman hutan tidak meningkatkan hasil air. Vegetasi hutan pada umumnya memakai lebih banyak air dari pada vegetasi yang lebih rendah. Sedangkan pengaruh hutan terhadap banjir dan kekeringan hanya bersifat lokal. Penanaman hutan di daerah hulu akan menurunkan debit puncak terutama untuk hujan-hujan kecil. Namun untuk hujan besar dan DAS yang cukup luas maka hutan hanya berperan kecil.

Karena terbatasnya informasi hasil-hasil penelitian serta hasil penelitian yang beragam menyebabkan masyarakat mempunyai persepsi yang salah. Untuk itu, tugas ilmuwan mensosialisasikan hasil-hasil penelitian tentang neraca air di dalam hutan.

Neraca air di dalam hutan merupakan bagian dari siklus air di alam. Hujan yang jatuh di atas hutan akan mengalami proses yang panjang sampai menjadi aliran air sungai. Proses ini perlu diketahui untuk mendapatkan hasil air yang diharapkan dari suatu kawasan hutan. Neraca air secara umum dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 160: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 144-154

| 146|

Gambar 1. Komponen-komponen neraca air di dalam Sub DAS

Percolasi

Infiltrasi

Curahan tajuk Aliran batang

Evaporasi Transpirasi

Evaporasi Transpirasi

Evaporasi Transpirasi

Evaporasi Transpirasi

Evaporasi Transpirasi

Sub surface Runoff

Surface Runoff

Hujan

Evapotranspirasi

Tampungan Intersepsi

Tampungan permukaan

tanah

Tampungan kelembaban

tanah

Tampungan air dalam

tanah

Tampungan di saluran, danau, dan

rawa

Aliran sungai

Kapilaritas

Page 161: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Neraca Air....(Irfan BP)

| 147 |

Paper ini akan membahas hasil-hasil penelitian neraca air dalam

hutan yang meliputi evapotranspirasi dan hasil air dari hutan beserta proses dari hujan menjadi aliran . Diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat terutama dalam upaya pelestarian sumberdaya hutan dan air.

I. NERACA AIR DALAM HUTAN

Neraca air dari kawasan hutan diukur dengan satuan Daerah Aliran Sungai (DAS). Air hujan yang jatuh tertahan oleh tajuk, sebagian menjadi aliran lansung. Air yang tertahan di tajuk sebagian terinsepsi kembali ke atmosfir, sebagian mengalir ke bawah melalui batang (aliran batang), jatuh ke permukaan melalui tajuk (curahan tajuk). Setelah sampai permukaan tanah, air tersebut terinfiltrasi ke dalam permukaan tanah menjadi cadangan kelembaban tanah. Air kelembaban tanah ini dimanfaatkan oleh vegetasi untuk pertumbuhannya (transpirasi), sebagian mengalir ke bawah menjadi aliran bawah permukaan dan sebagian lagi mengisi cadangan air tanah. Aliran bawah permukaan ini bergabung dengan aliran langsung menjadi stormflow. Stormflow ini bergabung dengan aliran dasar yang berasal dari cadangan air tanah (baseflow) menjadi aliran air sungai (streamflow). Secara umum neraca air dalam hutan dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut (Manan, 1978 dalam Manan, 1998) :

Pq = (T + Ic + If + Es + W) + Q + ∆S ± L + U Et = T + Ic + If + Es + W Q = Rq + Rs + Ri Dimana: Pq = Curah hujan kasar T = Transpirasi Ic = Intersepsi tajuk If = Intersepsi lantai hutan Es = Evaporasi dari permukaan tanah W = Evaporasi dari permukaan air Q = Aliran sungai ∆S = perubahan kadar air tanah Et = Evapotranspirasi total

± L = Kebocoran kedalam dan keluar DAS U = Aliran sungai bawah tanah

Rq = Aliran dasar Rs = Aliran permukaan Ri = Aliran bawah permukaan

Page 162: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 144-154

| 148|

Apabila dianggap tidak ada kebocoran (L) dan aliran sungai bawah tanah (U) maka persamaan dapat disederhanakan menjadi:

Pq = Et + Q + ∆S

Secara umum perjalanan dari air hujan menjadi aliran sungai beserta prosentasenya dapat dilihat pada Gambar 2. Untuk daerah yang berhutan dengan hujan yang cukup tinggi (tropical rain forest) aliran permukaan yang dihasilkan langsung dari hujan hanya sekitar 5% dari total hujan, intersepsi sekitar 15 %, sedangkan curahan tajuk dan aliran batang masing-masing 79 % dan 1 %. Transpirasi sebesar 15 % sehingga evapotranspirasi menjadi 30 %. Aliran bawah permukaan tanah (sub surface flow) hanya sekitar 6 % dari total hujan, sedangkan yang mengisi air tanah sebesar 59 %. Dengan demikian air yang dihasilkan dari hutan sekitar 70 % dari total hujan.

Page 163: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Neraca Air....(Irfan BP)

| 149 |

Gambar 2. Proses-Proses Hidrologi di Dalam Hutan Sumber: Fujieda, 1997 dalam Vignola, 2005

Curah hujan

Daerah lahan basah

Daerah hutan perbukitan

Tampungan intersepsi

Intersepsi (15%)

Curahan tajuk (79%)

Aliran batang (1%)

Aliran permukaan (5%)

Evapotranspirasi (30%)

Hujan netto (80 %)

Tampungan kelembaban tanah

Transpirasi (15%)

Cadangan air tanah

Aliran bawah permukaan (6%)

Aliran air tanah (59%)

Stormflow (11%)

Aliran air sungai (70%)

Page 164: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 144-154

| 150|

II. NERACA AIR PADA BERBAGAI JENIS HUTAN

1. Neraca Air di hutan Agathis lorantifolia Bruinjzeel (1982) melakukan penelitian di Sub DAS Mondoh, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Sub DAS Mondoh dengan luas 18,7 ha, didominasi oleh Agathis lorantifolia umur 40 tahun dan tanaman bawah Euphatorium sp. Parameter yang diukur meliputi curah hujan (P), debit sungai (Q), perubahan kandungan kelembaban tanah (∆ S), perubahan kandungan air bawah tanah (∆ G), Evapotranspirasi aktual perhitungan (EaP), Evaporasi daerah terbuka (Eo), dan Evapotranspirasi aktual (Ea). Hasil pengukurannya dapat dilihat pada Gambar 2.

Neraca Air Sub DAS Mondoh (Agathis)

0100200300400500600700800

Jan.1

977

Mar. Mei. Jul.

Sep.

Nop.

Jan.1

978

Waktu

P, Q

, Ea

(mm

)

PQEa

Gambar 2. Neraca Air dari hutan Agathis

Dari Gambar 2 terlihat bahwa Evapotranspirasi bulanan dari Agathis lorantifolia sekitar 90 mm. Walaupun curah hujan sejak bulan Juli sudah sangat kecil namun debit aliran tetap ada sehingga masih ada fungsi hutan Agathis menahan air dimusim hujan dan mengalirkannya dimusim kemarau. Walapun luas sub DAS ini hanya kecil (18,7 ha) aliran sungai masih ada sepanjang tahun.

2. Neraca Air di hutan Pinus merkusii

Neraca air pada tanaman Pinus merkusii telah diteliti diberbagai tempat terutama di Jawa. Neraca air dari tanaman Pinus merkusii

Page 165: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Neraca Air....(Irfan BP)

| 151 |

diukur dengan beberapa metode seperti metode Lysimeter dan Sub DAS. Sri Astuti et al., (1998) dalam Priyono dan Siswamartana (2004) menyebutkan bahwa fluktuasi debit aliran pada bulan-bulan basah mengikuti fluktuasi hujan. Koefisien aliran tahunan hutan pinus dari tahun 1994 s/d 1997 berturut-turut sebesar 68 %, 56 %, 44 %, dan 68 %. Pudjiharta (1986) dalam penelitiannya menggunakan Lysimeter di Bogor dan Ciwidey menunjukkan bahwa evapotranspirasi Pinus merkusii berkisar dari 1000 mm sampai dengan 2500 mm/tahun. Sedangkan Pramono (1990) melakukan penelitian menggunakan Sub DAS di Sumedang menunjukkan bahwa evapotranspirasi Pinus merkusii umur 25 tahun sebesar 1260 mm/tahun. Hasil selengkapnya dapat di lihat pada Gambar 3.

Evapotranspirasi Hutan Pinus

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

( mm

)

Hujan Evapotranspirasi

Gambar 3. Evapotranspirasi Hutan Pinus

Nomor 1 sampai dengan no 5 pengukuran dengan Lysimeter di Bogor, Nomor 6 sampai dengan 10 pengukuran dengan Lysimeter di Ciwidey, Bandung Selatan, sedangkan nomor 11 adalah pengukuran dengan Sub DAS di Tanjungsari, Sumedang.

3. Evapotranspirasi pada berbagai jenis tanaman hutan

Tingkat evapotranspirasi tergantung pada jenis tanaman, iklim serta curah hujan yang terjadi. Perkiraan evapotranspirasi tahunan ET), Intersepsi (Ei), dan Transpirasi (Et) pada hutan tanaman di daerah tropika basah dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 166: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 144-154

| 152|

Tabel 1. Evapotranspirasi dari berbagai jenis pohon

Species Lokasi Elevasi (m)

Hujan Tahunan rata2 (mm)

Umur (thn)

ET (mm)

ET/Eo

Ei Et Acacia mangium

Sabah 700 3280 9-10 1495 >1.0 655 840

Agathis damara

Jawa 600 4770 11-35 1070 0.79 665 405

Cedrela odorata

Costa Rica

100 4210 4-5 1320 - 75 1245

Cordia alliodora

Costa Rica

100 4-5 1385 - 280 1110

Eucalyptus robusta

Madagaskar

1010 2000 >50 1505 - - -

Pinus caribaea

Fiji 80 1800 6 1925 1.13 540 1385

Pinus caribaea

Jamaica 1020 3745 19 1850 - 635 1215

Pinus elliotii Queensland

60 1260 >35 1082 0.76 - -

Pinus merkusii

Jawa 1300 2100 31 900 0.84 555 445

Pinus patula Kenya 2400 2305 >10 1160 0.77 560 600 Lowland rainforest

Jawa 2850 1480 0.90 595 885

Sumber: Scott et al.,2005 dalam Bonell, M dan L.A. Bruijnzeel. 2005 4. Pengaruh pertumbuhan tanaman hutan terhadap hasil air

Pengaruh pertumbuhan tanaman terhadap neraca air sudah banyak dilakukan, namun penelitian tersebut hanya dilakukan pada awal masa pertumbuhan. Selama tahap awal pertumbuhan pohon, kebutuhan akan air sangat tinggi, namun setelah dewasa kebutuhan air akan menurun. Sebagai contoh, tanaman Eucalyptus, yang terkenal rakus air, jika sudah dewasa menggunakan air lebih sedikit dibandingkan dengan vegetasi non hutan (Chappell dan Bonell, 2005). Penelitian jangka panjang telah dilakukan di Afrika Selatan. Jenis Eucalyptus mencapai kestabilan penggunaan air pada umur 5 tahun, sedangkan pada jenis Pinus mencapai kestabilan pada umur 10 sampai 20 tahun (Bruijnzeel, 2004).

Page 167: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Neraca Air....(Irfan BP)

| 153 |

III. RISET NERACA AIR DARI HUTAN YANG MASIH

DIBUTUHKAN

Dalam rangka pelestarian sumber daya alam khususnya air dan hutan maka hal-hal penting yang perlu diteliti lebih lanjut antara lain:

1. Besarnya evapotranspirasi jenis-jenis tanaman dan tingkat infiltrasi pada lokasi penanaman. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya kekurangan air akibat penanaman hutan. Jenis-jenis yang perlu diteliti terutama jenis-jenis tanaman cepat tumbuh yang ditanam terutama pada daerah-daerah beriklim kering.

2. Pengaruh penanaman hutan terhadap aliran di musim kemarau. Hutan dianggap sebagai busa yang bisa menyimpan air pada musim penghujan dan menyalurkannya pada saat kemarau. Untuk mengetahui pengaruh hutan tadi kiranya perlu dilakukan pematauan debit aliran sepanjang tahun sehingga hasil airnya selama musim kemarau dapat diketahui. Pemantauan debit aliran ini tidak hanya pada saat awal penanaman saja, namun sebaiknya sampai akhir daur.

3. Neraca air dari hutan dengan berbagai formasi geologinya. Hal ini untuk menjawab bahwa faktor penutupan hutan hanya salah satu faktor yang mempengaruhi hasil air, faktor lainnya masih banyak, diantaranya adalah formasi geologi.

IV. PENUTUP

Evapotranspirasi merupakan faktor utama dalam mengelola hutan untuk menghasilkan air. Dalam rangka pelestarian sumber daya hutan dan air maka tingkat evapotranspirasi dari jenis hutan serta tingkat infiltrasi di bawahnya harus diperhitungkan dengan teliti. Sepanjang curah hujan jauh lebih besar dari evapotranspirasi dan tingkat infiltrasi lebih besar dari tingkat evapotranspirasi maka penamanan tanaman hutan di suatu wilayah dianggap aman dari masalah kelangkaan air.

DAFTAR PUSTAKA

Bruijnzeel.L.A. 1982. Hydrological and biogeochemical of man-made

forest in South-Central Java, Indonesia. Nuffic Project ITC/GUA/VU.

Page 168: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 144-154

| 154|

Bruijnzeel, L.A. 2004. Hydrological functions of tropical forests: Not

Seeing the Soil for Trees?. Agriculture, Ecosystems, and Environment, doi:10.1016/j.agee.2004.01.015.

Chappel, N.A. dan M. Bonell.2006. Uncertainities in the hydrology of tropical reforestation. Beyond “from mountain to the tap” ETFRN News 45-46/06.

Kaimowitz, D. 2005. Useful myths and intractable truths: the politics of the link between forests and water in Central America.dalam Bonell, M dan L.A. Bruijnzeel (ed) Forest Water and People in the Humid Tropics: Past, present and future hydrological research for integrated land and water management. UNESCO. Cambridge University Press.

Manan, S. 1978. Kaidah dan Pengertian dasar managemen daerah aliran sungai. Dalam Manan, S, 1998. Hutan dan Rimbawan dan Masyarakat. IPB Press. Bogor.

Phuong, V.T. dan J. Van Dam, 2006. Linkages between forest and water: A review of research evidence in Vietnam. ETFRN News 45-46/06.

Priyono, CNS, dan Siswamartana, S. 2002. Hutan Pinus dan Hasil Air. Pusat Pengembangan Sumber Daya Hutan Perhutani, Cepu.

Pudjiharta, A. 1986. Respon dari beberapa jenis pohon dalam pengawetan air di Ciwidey, Bandung Selatan. Buletin Penelitian Hutan 472: 41-57.

Scott, D.F., L.A. Bruijnzeel, dan J. Mackensen. 2005. The hydrological and soil impacts of forestation in the tropics. Dalam Bonell, M dan L.A. Bruijnzeel (ed) Forest Water and People in the Humid Tropics: Past, present and future hydrological research for integrated land and water management. UNESCO. Cambridge University Press.

Vignola, R. 2005. Forest & hydrological services: Perpectives for climate change adaption. CATIE. Groupo Cambio Global.

Page 169: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 155 |

15. PENGELOLAAN HUTAN PINUS UNTUK KONSERVASI SUMBERDAYA AIR1

Oleh :

Sudarsono2 dan Purwanto3

ABSTRAK

Tanaman pinus merupakan salah satu tanaman yang memberikan kontribusu yang besar. Hasil hutan pinus merupakan pemasok devisa yang besar bagi Perum Perhutani setelah jati. Hutan pinus sebagai penyedia lapangan kerja sepanjang tahun dan meningkatkan hasil pendapatan bagi masyarakat di sekitarnya. Namun disisi lain hutan pinus dianggap telah menghilangkan sumber-sumber air. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian sistem pengelolaan hutan pinus yang memberikan keuntungan dari aspek sosial, ekonomi, dan tanpa merusak keseimbangan sumberdaya air. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari komponen neraca air daerah aliran sungai (DAS) dan hutan pinus, sehingga diharapkan dapat tersusun suatu system pengelolaan hutan pinus yang lebih baik secara ekologis, sosial, dan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan pinus mempunyai evapotranspirasi 1.353 - 1.795 mm/tahun lebih tinggi daripada hutan alam dan tanaman semusim. Oleh karena itu tanaman pinus disarankan ditanam pada daerah dengan curah hujan diatas 2.000 mm/tahun. Di sisi lain limpasan permukaan hutan pinus adalah 4% sehingga lebih tinggi dibandingkan dengan hutan alam, tetapi lebih keci daripada tanaman jagung, yaitu sebesar 10,59% dari curah hujan. Konservasi sumberdaya air yang dapat dilakukan pada hutan pinus adalah pemangkasan cabang/prunning dan pembuatan rorak. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kandungan air tanah. Kata kunci : hutan pinus, evapotranspirasi, kandungan air tanah, konservasi

sumber daya air. I. PENDAHULUAN

Perum Perhutani sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah berkiprah sejak 1972 mengemban tugas dan tanggung jawab 1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS Surakarta, 22 Nopember 2007. 2 Kepala Puslitbang Perum Perhutani 3 Peneliti Lingkungan Hutan pada Puslitbang Perum Perhutani. Jl. Wonosari –

Batokan Tromol Pos 6 Cepu, Jawa Tengah. Telp. : (0296) 421233 E-mail : [email protected]

Page 170: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 155-160

| 156 |

dalam pengelolaan hutan di Jawa, dengan wilayah hutan yang dikelola seluas 2,426 juta hektar yang terdiri atas hutan produksi seluas 1,767 juta hektar dan sisanya hutan lindung. Perum Perhutani sangat berperan dalam upaya membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta menyelamatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan, terutama di Pulau Jawa.

Kelimpahan sumberdaya air yang dimiliki Indonesia tidak menjamin melimpahnya ketersediaan air kawasan pada dimensi ruang dan waktu. Variasi iklim serta kerentanan sistem sumberdaya air terhadap perubahan iklim akan memperparah status krisis air, yaitu dengan meningkatnya frekwensi banjir dan panjangnya kekeringan, sehingga ketersediaan air semakin tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan air untuk berbagai penggunaan. Hutan dengan penyebarannya yang luas diharapkan mampu menyediakan manfaat yang amat besar bagi kehidupan manusia antara lain jasa produsen kayu, habitat satwa, jasa pengendali daur air, perlindungan terhadap banjir, erosi, pengendali sedimentasi dan longsor lahan.

Hutan yang kondisinya masih baik terdapat banyak sumber air. Penyerapan air hujan oleh tanaman hutan juga menurunkan volume air limpasan permukaan, sehingga debit air sungai yang kawasan daerah aliran sungai (DAS) nya masih didominasi hutan tidak mengalami kenaikan yang tajam pada musim hujan. Sebaliknya pada musim kemarau : air yang tersimpan dalam profil tanah dapat menyumbang aliran air sungai, sehingga debit sungai masih relatif tinggi.

Berbagai penelitian membuktikan bahwa DAS yang mempunyai kawasan hutan yang baik, sungainya mempunyai koefisien rejim sungai (Qmax / Qmin) rendah. Untuk tanaman pinus ternyata menunjukkan fenomena yang menarik. Konversi hutan alam dengan hutan pinus di beberapa daerah dianggap menyebabkan hilangnya sumber air.

Dengan demikian disadari bahwa kegiatan dalam DAS menyangkut berbagai aspek, seperti fisik, sosial ekonomi, kependudukan, hukum, kelembagaan dan kerekayasaan. Oleh karena itu keterpaduan dalam berbagai aspek dalam pengelolaan DAS sangat diperlukan, termasuk di dalamnya pengelolaan lahan melalui kegiatan rekontruksi lahan serta konservasi tanah dan air.

Page 171: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pengelolaan Hutan Pinus....(Sudarsono dan Purwanto)

| 157 |

Pada saat ini hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani, baik

hutan produksi maupun hutan lindung sebagian diantaranya ditanami jenis pinus (Pinus merkusii). Tanaman pinus merupakan tanaman pioner pada program penghijauan dan reboisasi. Pinus mampu tumbuh baik pada tanah yang relatif kurang baik (lahan kritis) untuk tanaman lainnya, sehingga penggunaan pinus untuk konservasi tanah merupakan alternatif yang sangat tepat. Disamping itu pinus mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan mampu menyediakan lapangan kerja (tumpangsari, penyadapan, penebangan) dalam waktu relatif lama.

Namun demikian tanaman pinus memiliki keterbatasan, yaitu adanya kekhawatiran sebagian masyarakat bahwa tanaman pinus menyebabkan kehilangan air yang besar, sehingga kurang cocok untuk tanaman pengatur tata air tanah. Kekhawatiran itu berdasarkan teori dan kenyataan di lapangan bahwa sumber air yang dulu ada sekarang menjadi kering setelah ada hutan pinus.

Penyebab kekhawatiran masyarakat akan kehilangan air adalah evapotranspirasi dan penggunaan air untuk pertumbuhan vegetasi. Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap besarnya evapotranspirasi antara lain radiasi matahari, suhu, kelembaban udara, kecepatan angin, jenis tanaman, dan ketersediaan air di dalam tanah (kelengasan tanah).

II. TUJUAN

1. Mempelajari besaran komponen neraca air DAS serta faktor – faktor yang mempengaruhi masing – masing komponen.

2. Mempelajari neraca air pada hutan pinus dengan menggunakan satuan wilayah DAS sebagai Unit Penelitian.

3. Tersusunnya suatu sistem pengelolaan hutan pinus, sehingga manfaat hutan pinus dapat dipertahankan dan dampak negatifnya dapat diperkecil.

III. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilakukan menggunakan metode petak erosi berukuran 20 m x 10 m pada berbagai penggunaan lahan dan perlakuan di hutan pinus (kontrol, pemangkasan cabang, rorak). Pengamatan meliputi : limpasan permukaan ( ditampung pada

Page 172: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 155-160

| 158 |

kolektor yang dipasang diujung bawah petak percobaan), aliran batang dan hujan lolos tajuk ( untuk menghitung intersepsi), evaporasi, transpirasi, evapotranspirasi, kandungan air tanah (dengan Neutron Probe) dan data iklim.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Mekanisme kehilangan air tampaknya disebabkan oleh tingginya penguapan (transpirasi dan intersepsi), tetapi faktor lainnya masih belum diketahui. Pada musim kemarau evapotranspirasi masih tetap tinggi karena pinus mampu mengambil air dari lapisan tanah yang lebih dalam, sehingga dapat mengurangi cadangan air dalam tanah pada akhir musim kemarau. Kehilangan air dari lahan hutan pinus lebih tinggi dibandingkan dengan hutan alam atau tanaman semusim. Hal ini karena evapotranspirasi pada tanaman pinus 1.353 mm/tahun lebih tinggi dari pada hutan alam 908 mm/tahun dan tanaman semusim 610 mm/tahun.

Di beberapa tempat, penggunaan lahan untuk hutan pinus mengindikasikan kontribusi yang negatif terhadap hasil air secara total, tetapi tanaman pinus dapat meningkatkan kemampuan tanah untuk menahan air pada musim hujan lebih baik dari pada tanaman semusim. Limpasan permukaan dari lahan pertanian jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hutan penggunaan lahan yang lain. Bila dibandingkan dengan hutan lindung maka limpasan permukaan lahan hutan pinus lebih tinggi. Nilai limpasan permukaan di hutan alam 73 mm/tahun, hutan pinus 139 mm/tahun, dan pada tanaman jagung 247 mm/tahun. Limpasan permukaan hutan pinus sebesar 4% sedangkan pada tanaman semusim 10.59% dari curah hujan (Anonim, 1999).

Hutan pinus juga meningkatkan infiltrasi dibanding lahan pertanian, sehingga limpasan permukaan jauh lebih rendah. Laju infiltrasi pada tanah terbuka dan tumpangsari 45 cm/jam, tegakan pinus umur 35 tahun 108 cm/jam, sedangkan hutan alam 204 cm/jam. Pada tegakan pinus tua banyak dijumpai serasah dan kandungan bahan organik yang menutupi lantai hutan, sehingga memperbaiki struktur tanah, yang memungkinkan curah hujan diinfiltrasikan ke bawah (Anonim, 1999). Hal ini sangat positif untuk mempertahankan kualitas terhadap kerusakan tanah karena erosi.

Page 173: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pengelolaan Hutan Pinus....(Sudarsono dan Purwanto)

| 159 |

Dari hasil penelitian diperoleh data sebagai berikut Tabel 1. Hasil Pengamatan Penelitian dengan Metode Petak Erosi

Limpasan permukaan Evapotranspirasi Keterangan Kondisi mm % CH mm 1. Kontrol 70,6 3,18 1.204 2. Pemangka- san cabang

102,7 4,62 975

3. Rorak 60,9 2,74 1.316

Berdasarkan data-data hasil penelitian diketahui bahwa

kehilangan air dari hutan pinus dapat mencapai 1.800 – 2.000 mm/tahun. Oleh karena itu, agar hutan pinus tidak mengganggu kondisi tata air, terutama sumber air maka disarankan hutan pinus ditanam pada daerah dengan curah lebih dari 2.000 mm/tahun.

Pruning/pemangkasan terhadap tanaman pinus dan semak dibawahnya serta pemberian mulsa dapat menurunkan kehilangan air melalui evapotranspirasi. Pengurangan jumlah daun pinus secara langsung akan mengurangi jumlah luas permukaan daun secara keselurahan, sehingga memperkecil jumlah air yang menguap. Dengan pemangkasan cabang dan semak maka evapotranspirasi sebesar 550 – 607 mm, sedangkan pada perlakuan tanpa pangkas evapotranspirasi mencapai 762,9 mm.

Pemangkasan tanaman pinus dapat menurunkan intersepsi hujan. Tanpa pemangkasan intersepsi hujan mencapai 33-36 mm dari hujan 161 mm. Namun pada perlakuan pangkas maka intersepsi hujan hanya 22 – 26 mm. Dengan berkurangnya intersepsi akan menambah air yang disimpan di dalam profil tanah. Pada perlakuan pangkas cabang dan semak pada hutan pinus mempunyai cadangan air yang lebih tinggi, yaitu 322,4 mm – 330,2 mm dibanding tanpa pangkas yang hanya sebesar 300,5 mm – 301,4 mm. Kelembaban tanah yang masih cukup tinggi pada musim kemarau merupakan kontribusi positif untuk memelihara iklim mikro yang baik bagi kehidupan biologi.

Salah satu kegiatan konservasi tanah dan air dapat dilakukan dengan pembuatan rorak di bawah tegakan pinus. Rorak dapat berfungsi menyerap aliran permukaan dan dapat menangkap tanah yang tererosi. Pembuatan rorak dapat menurunkan limpasan permukaan dari 70.6 mm menjadi 60.9 mm, sedangkan dengan kombinasi perlakuan pemangkasan dan rorak akan dapat menurunkan kehilangan air sebesar 30% karena evapotranspirasi dan 14% karena limpasan permukaan.

Page 174: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 155-160

| 160 |

V. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Penanaman hutan dengan jenis pinus agar diarahkan pada daerah

yang mempunyai curah hujan tinggi, sehingga tanaman pinus disarankan tidak ditanam pada daerah yang curah hujannya kurang dari 2.000 mm/tahun.

2. Kegiatan konservasi sumberdaya air pada hutan pinus dapat dilakukan dengan pengelolaan sederhana antara lain pemangkasan / pruning atau pembuatan rorak.

3. Penelitian tentang aspek hidrologi pada pengelolaan hutan pinus perlu dilanjutkan, sehingga pengelolaan hutan pinus dapat lestari dari aspek ekologis, sosial, dan ekonomi dapat terwujud.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Segenap Tim

Peneliti pada Pusat Penelitian Lingkungan Hidup,Universitas Brawijaya Malang yang telah berkenan bekerjasama dengan Perum Perhutani untuk melaksanakan penelitian dengan topik tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1996. Pengelolaan Lahan Hutan Pinus untuk Konservasi

Sumberdaya Air. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dengan Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Malang.

Anonim. 1999. Pengelolaan Hutan Pinus untuk Konservasi

Sumberdaya Air . Himpunan Hasil Penelitian Perum Perhutani Tahun 1999.

Soedjoko, S. A. dan Surjatmoko, H. 2005. Pengaruh Hutan. Fakultas

Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Utomo, W. H. 1995. Pengelolaan Lahan Hutan Pinus untuk

Konservasi Sumber Daya Air. Laporan Penelitian FP Univ. Brawijaya - Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.

Page 175: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 161 |

16. PEMILIHAN JENIS POHON UNTUK MEMBANGUN HUTAN DALAM DAERAH ALIRAN SUNGAI1

Oleh :

A. Syaffari Kosasih2, Rina Bogidarmanti2, Nina Mindawati2

ABSTRAK

Di Indonesia, terbentuknya lahan terdegradasi atau lahan kritis umumnya diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan pemanfaatan lahan yang tidak diimbangi dengan penerapan keindahan-keindahan konservasi berupa penanaman tanaman tahunan atau pepohonan seperti pola agroforestry, hutan lindung, dan pada daerah dengan fungsi konservasi yang dominan. Dengan semakin bertambahnya luasan lahan yang terdegradasi ini, dapat mengakibatkan terjadinya bencana banjir dan tanah longsor. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini, yaitu dengan kegiatan penanaman kembali lahan-lahan tersebut. Jenis-jenis pohon yang akan digunakan untuk memulihkan kondisi lahan terdegradasi, secara umum harus memenuhi persyaratan : (1) termasuk jenis cepat tumbuh, (2). bertajuk lebat, (3). sistem perakaran melebar, kuat, dan dalam, (4). mudah bertunas, (5). mampu tumbuh di tempat terbuka dengan penyinaran penuh (jenis pioner, intoleran, beriap besar), (6) dapat bersimbiose dengan jasad renik, (7). biji atau bagian vegetatif untuk pembiakan mudah didapat. Daftar jenis-jenis pohon yang dapat digunakan dalam kegiatan pemulihan lahan terdegradasi atau lahan kritis dengan cara membangun hutan, disajikan pada tulisan ini.

Kata kunci : lahan terdegradasi, lahan kritis, hutan I. PENDAHULUAN

Bencana banjir dan tanah longsor dewasa ini banyak sekali terjadi bukan saja di pulau Jawa, tapi sudah banyak meluas ke beberapa pulau besar seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Hal tersebut dipicu oleh curah hujan yang tinggi serta maraknya penebangan hutan secara liar hingga ke kawasan konservasi dimana seharusnya kawasan tersebut dipertahankan vegetasinya sebagai hutan rimba oleh seluruh

________________________ 1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007 2 Peneliti pada Pusat Litbang Hutan Tanaman, Kampus Balitbang Kehutanan Jl. Gunung Batu No.5 Bogor Po Box 331 e-mail :[email protected]

Page 176: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Prosiding Workshop, 2009 : 161-175

| 162 |

lapisan masyarakat Indonesia. Laju kerusakan hutan pada tiga pulau besar, yakni Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi antara tahun 1997 s/d 2005 mencapai 1,6 s/d 2,8 juta ha per tahun (Sumarhani, 2004).

Total luas lahan terdegradasi di Indonesia sampai tahun 2000 48,5 juta ha (RLPS, 2000) karena pengrusakan hutan masih terus berlanjut dan lebih cepat dari pada usaha penanaman kembali, maka pada tahun 2005 lahan yang terdegradasi berada pada angka 60 juta ha. (Target penanaman 500.000 ha/tahun; laju kerusakan hutan rata-rata 1,3 juta ha per tahun). Hutan rimba sebagai satuan ekologi yang mempunyai fungsi serbaguna berupa pengaturan tata air, tempat berlindung dan tumbuhnya kehidupan liar penghasil pakan dan tempat wisata alam (Balitbang Kehutanan, 1992 ).

Keberadaan vegetasi hutan dalam wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan unsur utama sebagai pengatur dan pelindung lingkungan karena tanpa adanya hutan baik dalam jumlah luasan serta mutunya maka pengelolaan DAS tidak akan berjalan dengan baik sebagaimana diinginkan untuk mengurangi terjadinya banjir, erosi, dan longsor. Dampak positif keadaan hutan tropika sebagai pengendali ekologi telah banyak dilakukan di Indonesia, dimana penelitiannya sudah dimulai tahun 1930 sebagaimana dilaporkan Fauzi (1987).

Pemilihan jenis pohon untuk membentuk kembali vegetasi hutan didalam DAS akan membantu percepatan proses keseimbangan ekologi maupun ekonomi.

Tujuan Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai

dasar-dasar pemilihan jenis-jenis pohon yang dapat digunakan untuk membangun kembali hutan dalam DAS.

II. LAHAN TERDEGRADASI

Pengertian

Sebagai salah satu sumberdaya alam yang amat penting, tanah mempunyai dua fungsi utama, yaitu (1) sebagai sumber hara bagi tumbuhan dan (2) sebagai matriks tempat akar tumbuhan berjangkar dan air tanah tersimpan, serta sebagai tempat unsur-unsur hara dan air ditambahkan. Kedua fungsi tersebut dapat menurun atau hilang, yang dikenal sebagai kerusakan tanah atau degradasi tanah (Arsyad, 1989).

Page 177: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)

| 163 |

Hilangnya fungsi yang pertama dapat terus-menerus diperbaharui dengan cara pemupukan, sedangkan hilangnya fungsi yang kedua tidak mudah untuk diperbaharui, karena diperlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk pembentukan struktur tanah yang baik seperti semula.

Lebih lanjut disebutkan bahwa kerusakan tanah dapat terjadi karena : (1) kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran, (2) terkumpulnya garam di daerah perakaran (salinisasi), terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman, (3) penjenuhan tanah oleh air (waterlogging) dan (4) erosi. Kerusakan yang dialami pada tanah tempat erosi terjadi yaitu berupa kemunduran sifat-sifat kimia dan fisik tanah, seperti kehilangan unsur hara dan bahan organik, memburuknya sifat fisik tanah yang tercermin antara lain pada menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, meningkatnya kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah dan berkurangnya kemantapan struktur tanah, sehingga menyebabkan memburuknya pertumbuhan tanaman dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitas.

Luas lahan yang terdegradasi

Berdasarkan kriteria yang terdapat dalam Statistik Kehutanan Indonesia (2001), disebutkan bahwa penetapan lahan terdegradasi/lahan kritis yaitu lahan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas toleransi. Lahan-lahan tersebut umumnya memenuhi fungsi sebagai kawasan hutan lindung, fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan dan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian. Berdasarkan kriteria tersebut, luas lahan kritis di Indonesia sampai dengan akhir tahun 2001 adalah :

- Dalam Kawasan Hutan : 8.136.646 Ha - Luar Kawasan Hutan : 15.106.234 Ha

Laju pengrusakan hutan (deferastasi) dan lahan terbuka berdasarkan citra satelit daratan Indonesia pada tahun 2000 sampai dengan 2003 mencapai 100,7 Ha dengan laju kerusakan 1,6 juta sampai dengan 2, 8 juta pertahun tapi sejak tahun 2004 sampai 2007 turun menjadi rata-rata 1,3 juta Ha pertahun.

Dengan melihat data-data luasan lahan kritis dan deforestasi yang ada di wilayah Indonesia umumnya dan di wilayah Jawa Barat, maka dipandang perlu untuk menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air berupa peghutanan kembali seperti kegiatan gerakan rehabilitasi lahan dan hutan (GERHAN) yang dimulai tahun 2003.

Page 178: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Prosiding Workshop, 2009 : 161-175

| 164 |

III. METODE PENGENDALIAN EROSI DAN KONSERVASI TANAH

Menurut Arsyad (1989) dan Cendrawasih, dkk (2000), secara garis besar, kegiatan pengendalian erosi dan konservasi tanah dapat dilakukan dengan cara :

Metode vegetatif Yaitu penggunaaan tanaman atau tumbuhan dan serasahnya

untuk mengurangi daya rusak hujan yang jatuh, serta jumlah dan daya rusak aliran permukaan/erosi. Dalam metode ini antara lain dilakukan penanaman tanaman penutup tanah secara terus menerus, penanaman dalam bentuk strip, pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau, sistem wanatani dan lain sebagainya.

Metode mekanik Metode mekanik ini meliputi semua perlakuan fisik mekanik yang

diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi serta meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. Metode ini antara lain meliputi pembuatan teras sederhana (batu, bambu, ranting), guludan, rorak, tanggul dan teras.

Metode kimia Metode ini dilakukan dengan menggunakan preparat kimia

sintesis atau alami. Preparat-preparat kimia ini dikenal dengan istilah soil conditioner. Penggunaan preparat ini bertujuan untuk membentuk struktur tanah yang stabil. Pada tahun 1950-an senyawa yang banyak digunakan yaitu campuran dimethyl dichlorosilane dan methylthrichlorosilane (MCS). Namun berhubung harga preparat ini relatif mahal, maka dicari alternatif lain yaitu yang dikenal dengan nama Emulsi Bitumen. Bahan kimia ini merupakan cairan yang mudah menguap, dimana gas yang terbentuk bercampur dengan air tanah. Senyawa yang terbentuk menyebabkan agregat tanah menjadi stabil. Disamping itu pula, permeabilitas tanah dipertinggi dan erosi menjadi berkurang. Pengaruh penggunaan senyawa ini berjangka lama, dikarenakan senyawa tersebut tahan terhadap serangan mikroba tanah.

IV. PEMILIHAN JENIS POHON

Dasar-dasar Lahan-lahan terdegradasi yang terbentuk akibat adanya

bencana banjir atau tanah longsor, umumnya memiliki kondisi tanah yang buruk, yaitu mengalami kehilangan secara berlebihan beberapa unsur hara dari daerah perakaran, serta berkuranganya kemampuan

Page 179: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)

| 165 |

tanah tersebut untuk menyerap dan menahan air. Oleh karena itu dalam hal pemilihan jenis-jenis pohon/tanaman yang akan digunakan untuk memulihkan kondisi tersebut, disarankan untuk menggunakan jenis-jenis yang dalam pertumbuhannya tidak memerlukan air yang terlalu banyak, evapotranspirasi rendah dan mempunyai sifat tahan terhadap kekeringan (Cendrawasih, dkk, 2000). Secara lebih lengkap lagi Arsyad (1989) menyebutkan bahwa jenis-jenis yang digunakan sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut : o Termasuk jenis yang cepat tumbuh. o Harus mampu menghasilkan serasah yang banyak o Bertajuk lebat o Mampu hidup dengan baik di tempat tersebut. o Sistem perakaram melebar, kuat, dalam dan berakar serabut

cukup banyak o Mudah ditanam dan tidak memerlukan pemeliharaan o Tahan terhadap hama dan penyakit o Mampu memperbaiki tanah terutama untuk kandungan unsur

nitrogen o Sedapat mungkin bernilai ekonomis dan dalam jangka pendek

dapat menghasilkan bahan makanan seperti buah-buahan, makanan ternak dan lain-lain.

Menurut Ginting dkk (1995) persyaratan yang perlu dipenuhi dalam pemilihan jenis-jenis pohon untuk tujuan reboisasi atau pemulihan lahan terdegradasi antara lain :

o Mampu tumbuh di tempat terbuka dengan penyinaran penuh (jenis pioner, intoleran, beriap besar).

o Dapat tumbuh dan bersaing dengan alang-alang serta cepat menutup tanah.

o Mudah bertunas setelah terbakar atau dipangkas o Dapat bersimbiose dengan jasad renik tanah o Biji atau bagian vegetatif untuk pembiakan mudah

didapat/diperoleh o Untuk tujuan penghijauan, jenis-jenis pohon yang dipilih harus

disenangi oleh masyarakat.

Adapun ciri-ciri jenis pioner untuk lahan kritis menurut Hendromono 2004 (dari Steenis 1941 yang diterjemahkan Hardjosoediro 1981 ) adalah:

o Tidak toleran terhadap naungan o Mampu tumbuh pada iklim dan tanah yang beragam o Perakarannya kuat dan mempunyai akar vena yang kuat o Bijinya banyak dan dapat berbuah pada umur muda

Page 180: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Prosiding Workshop, 2009 : 161-175

| 166 |

o Mudah keluar terubusan o Kebanyakan berumur pendek

Guna menunjang keberhasilan kegiatan pemulihan lahan-lahan yang terdegradasi atau lahan kritis, faktor lain yang perlu diperhatikan yaitu adanya kesesuaian antara kualitas lahan yang tersedia dengan persyaratan tumbuh jenis yang terpilih. Dalam Gintings, dkk (1995) disebutkan bahwa persyaratan tempat tumbuh yang utama, yaitu meliputi: tinggi tempat, curah hujan, temperatur, tekstur tanah/ jenis tanah, pH, drainase dan toleransi tanaman terhadap cahaya.

Disamping itu, dalam hal pemilihan jenis-jenis pohon yang akan digunakan dalam kegiatan pemulihan lahan-lahan terdegradasi, disarankan menggunakan jenis-jenis lokal atau jenis andalan setempat. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk mengurangi kegagalan pelaksanaan kegiatan tersebut, dengan asumsi bahwa jenis-jenis tersebut dianggap memiliki kemampuan yang cukup untuk dapat tumbuh baik di lingkungannya. Disisi lain jika ingin menggunakan jenis-jenis yang eksoktik, sebaiknya dipilih jenis pohon yang sudah melaui tahap domestikasi.

Faktor lainnya yang perlu diperhatikan adalah, perlu melakukan pemilihan jenis tumbuhan bawah atau tanaman sela dengan tepat. Hal ini disebabkan seringkali dalam kegiatan pemulihan lahan-lahan yang terdegradasi, yang diutamakan hanya pemilihan jenis pohon utama, sedangkan tumbuhan bawahnya terabaikan, akibatnya erosi masih dapat terjadi.

Tanaman penutup tanah tersebut pada dasarnya mempunyai peranan yang cukup besar untuk mengurangi erosi, dikarenakan dapat mengurangi dispersi air hujan, mengurangi kecepatan aliran permukaan, serta dapat memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah. Selain kriteria-kriteria di atas pemilihan jenis pohon untuk membentuk hutan menurut Landsberg dan Gower (1997) proses tata air dalam hutan dipengaruhi oleh bentuk tajuk dan kerapatan tegakan. Adapun bentuk tajuk pohon berbeda-beda menurut jenis pohon serta umur tegakan semakin tua dapat menangkap curah hujan (intersepsi) semakin banyak tetapi semakin jarang suatu tegakan semakin sedikit air yang tertahan oleh tajuk ( Kimmins, 1987 ).

Jenis-Jenis Terpilih Berdasarkan kriteria pada dasar-dasar pemilihan jenis pohon yang

telah disebutkan di atas, maka jenis-jenis yang direkomendasikan untuk dipilih dengan persyaratan tumbuh yang dapat dilihat pada Tabel 1, 2, 3, 4 dan 5 terlampir sebagai berikut :

Page 181: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)

| 167 |

Sebagai pengendali erosi Dengan ciri sebagai berikut: o Tajuk rindang dan sedang o berakar intensif dengan akar tunggang panjang, o tumbuh cepat di waktu muda.

Jenis Pohon antara lain: - Sengon (Paraserianthes falcataria) - Tisuk (Hibiscus macrophyllus) - Marmojo (Indigofera galegoides) - Gianti (Sesbania sesban) - Hahapaan (Flemingia congesta) - Kemlandingan (Leucaena glauca) - Johar (Cassia siamea) - Mindi (Melia azedarach) - Balsa (Ochroma bicolor) - Wunggu/bungur (Lagrestromia speciosa) - Alingsem (Homalium tomentosum) - Eucalyps (Eucalyptus alba) - Laban (Vitex pubescens) - Kemiri (Aleurites moluccana) - Damar (Agathis sp )

Sebagai pengendali longsor Dengan ciri sebagai berikut: - berakar kurang intensif, akar tunggang tumbuh cepat dan dalam,

pertumbuhan batang kurang cepat di waktu muda. Tajuk sedang s/d rimbun

Jenis Pohon antara lain: - Tekik (Albizzia lebeck) - Pilang (Acacia leucophlocea) - Asem (Tamarindus indica) - Tajuman (Bauhinia malabarica) - Trengguli (Cassia fistula) - Sonokeling (Dalbergia latifolia) - Sonosisso (Dalbergia sisso) - Sonokembang (Pterocarpus indicus) - Mahoni daun lebar (Swietenia macrophylla) - Rengas (Gluta renghas) - Kesambi (Schleichera oleosa) - Jati (Tectona grandis)

Pilihan jenis untuk usaha penghutanan kembali dikemukakan Manan 1992 dalam Dep. Kehutanan, sebagai berikut :

Page 182: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Prosiding Workshop, 2009 : 161-175

| 168 |

1. Hutan lindung 2. Hutan konservasi a. Schima noronhae, a. Ficus benjamina, b. Atingia excelsa, b. Tamarindus indica, c. Schima bancana, c. Antidesma bunius, d. Peronema canescens, d. Adenanthera pavonin, e. Acacia decurrens, e. Mangifera sp., f. Cassia siamea, f. Canarium sp., g. Pterocarpus indicus, g. Eugenia sp., h. Duabanga mollucana, h. Lagerstromia sp., i. Schima walichii i. Durio sp., j. Melaleuca leucadendron, j. Artocarpus integra k. Eucalyptus deglupta, l. Quercus sp,

m. Shorea stenoptera, 3. Hutan Produksi n. Aleuritas maluccana, a. Tectona grandis,

o. Arenga pinnata, b. Eucalyptus deglupta, p. Anacardium occidentale, c. E. urophylla, q. Parkia speciosa, d. Acacia mangium, r. Bambussa sp, e. A. decurrens s. Gnetum gnemon, f. Swietenia macrophylla, t. Artocarpus integra, g. Pterocarpus indicus, u. Gosampinus heptaph, h. Dalbergia latifolia, v. Durio zibethinus. i. Pinus merkusii

j. Paraserianthes falcataria Tanaman buah-buahan yang dianjurkan untuk pengawetan tanah dan air/jenis

Dengan ciri: - berumur panjang. Jenis Pohon antara lain:

- Cengkeh (Eugenia aromatica)

- Jambu mete (Anacardium occidentale) - Jambu biji (Psidium guajava) - Rambutan (Nephelium lappaceum) - Sirsak (Annona muricata) - Alpukat (Persea americana) - Nangka (Artocarpus heterophyllus) - Aren (Arenga pinnata) Untuk tujuan penyediaan makanan ternak Jenis Pohon antara lain: - Kemlandingan (Leucaena glauca) - Putri malu (Mimosa pudica) - Orok-orok (Crotalaria spp)

Page 183: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)

| 169 |

- Turi (Sesbania grandifolia) - Dadap (Erythrina lithosperma) - Rumput gajah (Pennisetum purpureum) - Sentro (Centrocema pubescens) - Stilo (Stilosanthes spp) - Rumput raja (Pennisetum purpoides) - Rumput setaria (Setaria anceps) - Rumput bahia (Paspalum notarum)

Tanaman penguat teras atau tepi sungai/tebing juga sebagai penahan longsor

Jenis Pohon antara lain:

- Aren (Arenga pinnata) - Bambu (Giganthochloa sp) - Kaliandra (Calliandra calothyrsus) - Gamal (Glyricidia sepium) - Salak (Salacca edulis) - Rotan (Calamus sp) Jenis-jenis untuk hutan rakyat

Jenis Pohon antara lain:

- Jati (Tectona grandis) - Pinus (Pinus merkusii) - Mahoni daun lebar (Switenia macrohylla) - Damar (Agathis dammara) - Sungkai (Peronema canescens) - Kayu Afrika (Maesopsis eminii) - Karet (Hevea brasiliensis) - Durian (Durio zibethinus)

Page 184: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Prosiding Workshop, 2009 : 161-175

| 170 |

DAFTAR PUSTAKA Al Rasyid, H. dan T. Samingan, 1979. Pendekatan Pemecahan

Masalah Kerusakan Kehutanan Sumber Daya Tanah dan Air daerah Aliran Sungai, Dipandang dari Segi Ekologi. Lap. No. 300. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor.

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air . Institut Pertanian Bogor.

Balai Teknologi Perbenihan, 2001. Atlas Benih Tanaman Indonesia. Jilid 2, 3, dan 4. Penyunting: Buharman, D.F. Djam’an, N. Widyana, dan Sudrajat S. Pulikasi Khusus Vol. 2 No. 6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor. Indonesia.

Cendrawasih, P; O. Setiawan ; G. Tjakrawarsa; H. Yudono SHN, dan W. Handayani, 2000. Petunjuk Teknis: Model Jalur Gamal sebagai Alternatif Penanganan Lahan Kritis. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi alam. Balai Teknologi Pengelolaan DAS Ujung Pandang.

Depertemen Kehutanan, 2001. Statistik Kehutanan Indonesia. Penyunting: Bidang Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan.

Fauzi. A. M. 1987. Perencanaan Penelitian dan Monitoring DAS secara terpadu kemungkinan dan masalahnya. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Hasil Penelitian Hidrologi dan Erosi, Batu, Malang.

Gintings, A. N.; C. A. Siregar; Masano; Hendromono; M. Y. Mile dan Hidayat. 1995. Pedoman Pemilihan Jenis Pohon Hutan Tanaman dan Kesesuaian Lahan. Jakarta.

Kimmins, J. P. 1987. Forest Ecology Macmillan Publishing Company. New York.

Landsberg and Gower. 1997. Application of Physiologycal Ecology to Forest Management, Academic Press. San Diego.

Martawijaya, A; I. Kartasujana; K. Kadir; S. Among Prawira. 1995. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I dan II. Balai Penelitian Hasil Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Indonesia.

Pratiwi, 2000. Jenis-jenis Pohon Andalan Setempat di Pulau Jawa dan Sumatera Bagian Selatan. Sebaran dan Beberapa Data

Page 185: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)

| 171 |

Dasarnya. Info Hutan No. 123. Badan Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Bogor, Indonesia.

Soerianegara, I and R.H.M.J. Lemmens (Editors). 1994. Plant Resources of South-East Asia. No. 5 (1). Timber Trees : Major Commercial Timbers. PROSEA. Bogor. Indonesia.

Sumarhani. 2004. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat sebagai solusi rehabilitasi hutan dan lahan. Prosiding expose penerapan hasil litbang. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.

Page 186: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Prosiding Workshop, 2009 : 161-175

| 172 |

LAMPIRAN

Tabel 1. Persyaratan Tumbuh beberapa Jenis Pohon Potensial

Pengendali Longsor / Erosi Persyaratan tumbuh No

Jenis Pohon

Nama Daerah

Ketinggian (m. dpl)

Curah hujan

(mm/th)

Tempe-ratur (0C)

Jenis Tanah /

pH 1. Paraserianthes

falcataria Sengon laut

Sengon laut

2000-4000 20 - 34 Tanah kering, lembab pH asam - netral

2. Hibiscus macrophyllus

Waru gunung

Waru gunung

na na Tanah lembab, mangrove

3. Indigofera galegoides

Marmojo Marmojo na na Berbagai jenis tanah

4. Sesbania saban Gianti Gianti na na Berbagai jenis tanah

5. Flemingia strobilifera

Hahapaan Hahapaan na na Berbagai jenis tanah

6. Leucaena glauca

Kemlandingan

0 - 800 600-1000 25 - 30 Berbagai jenis tanah pH asam - netral

7. Cassia siamea Johar 0 - 1000 650-1500 13 - 35 Tanah berkapur,berpasir

8. Melia azedarach

Mindi 0 - 1000 A - C na Tanah liat, berbatu

9. Ochroma bicolor

Balsa 0 - 1000 1250-3000 22 - 27 Tanah vulkanik, allluvial

10. Lagerstroemia speciosa

Bungur 0 - 800 C na Tanah basah, liat, berpasir

11. Homalium tomentosum

Alingsem 50 - 300 A - B na Tanah liat berpasir, kering

12. Eucalyptus alba

Eucalyps 0 - 1800 2500-5000 23 - 31 Berbagai jenis tanah

13. Vitex pubescens

Laban 0 - 1200 Berbagai Jenis tanah

14. Aleurites moluccana

Kemiri 0 - 1200 1100-2400 20 - 35 Tanah subur,berpasir,berkapur

15. Agathis sp Damar 0 - 2400 2000-4000 na Tanah sarang, agak dalam, subur

Page 187: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)

| 173 |

Persyaratan tumbuh No

Jenis Pohon

Nama Daerah

Ketinggian (m. dpl)

Curah hujan

(mm/th)

Tempe-ratur (0C)

Jenis Tanah /

pH 16. Albizzia lebeck Tekik 0 - 300 2000 -

4000 20-34 Tanah

kering, lembab pH netral

17. Acacia leucophlocea

Pilang 0 - 500 1500 - 3000

12-34 Tanah ultisol, latosol

18. Vitex pubescens

Asem 0 - 700 < 4000 na Berbagai jenis tanah, kapur

19. Bauhinia malabarica

Tajuman 0 - 400 na na

20. Cassia fistula Trengguli 0 - 1000 650 - 1500 13-35 Tanah di bawah tegakan jati

21. Dalbergia latifolia

Sonoke-ling

0 - 600 C , D 24-33 Tanah berbatu, keras pH asam- netral

22. Dalbergia sisso Sonosisso 0 - 1500 500 - 4000

18-33 Berbagai jenis tanah pH asam- netral

23. Pterocarpus indicus

Sono kembang

0 - 800 A - D na Berbagai jenis tanah

24. Swietenia macrophylla

Mahoni daun lebar

0 - 1000 A - D na Bersolum agak dalam, tekstur sedang- berat, pH basa-netral

25. Gluta renghas Rengas 0 - 300 A, B, C 18-32 Tanah pasir, liat

26. Schleichera oleosa

Kesambi na na na

na = data tidak tersedia

Tabel 2. Persyaratan Tumbuh beberapa Jenis Pohon Potensial Pengawetan Tanah dan Air Persyaratan tumbuh

No

Jenis Pohon

Nama Daerah

Ketinggian (m. dpl)

Curah hujan

(mm/th)

Temperatur (0C)

Jenis Tanah /

pH 1. Eugenia aromatica Cengkeh na na na Tanah

vulkanik

Page 188: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Prosiding Workshop, 2009 : 161-175

| 174 |

Persyaratan tumbuh

No

Jenis Pohon

Nama Daerah

Ketinggian (m. dpl)

Curah hujan

(mm/th)

Temperatur (0C)

Jenis Tanah /

pH 2. Anacardium occidentale Jambu

mete 0-600 80-1000 25-30 Berbagai

jenis tanah, tanah kurus

3. Psidium guajava Jambu biji 0-1500 1000-2000 15-45 Berbagai jenis tanah

4. Nephelium lappaceum Rambutan 30-600 > 500 18-25 Tanah subur,berpasir, liat

5. Annona muricata Sirsak 0-1000 > 1000 Berbagai jenis tanah

6. Persea americana Alpukat 0-1000 300-2500 25-33 Berbagai jenis tanah pH asam- netral

7. Artocarpus heterophyllus Nangka 400-1200 > 1500 16-21 Berbagai jenis tanah, drainase baik

8. Arenga pinnata Aren 500-800 > 1200 na Tanah liat, berlumpur, berpasir, pH asam

na = data tidak tersedia

Tabel 3. Persyaratan Tumbuh beberapa Jenis Pohon Potensial Makanan Ternak Persyaratan tumbuh

No

Jenis Pohon

Nama Daerah Ketinggian (m. dpl)

Curah hujan

(mm/th)

Temperatur (0C)

Jenis Tanah / pH

1. Leucaena glauca Kemlandingan 0-1500 na na na 2. Mimosa pudica Putri malu na na na na 3. Crotalaria spp Orok-orok 100-300 na na na 4. Sesbania grandifolia Turi 0-800 1000-2000 18-34 Berbaga

i jenis tanah

5. Erythrina lithosperma

Dadap > 1200 na na Tanah basah, rawa

6. Pennisetum purpureum

Rumput gajah na na na na

7. Centrosema pubescens Sentro na na na na 8. Stilosanthes spp Stilo na na na na 9. Pennisetum purpoides Rumput raja na na na na

10. Setaria sphacelata Rumput setaria 200-3000 600-1000 20-30 na 11. Paspalum notarum Rumput bahia na na na na

na = data tidak tersedia

Page 189: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)

| 175 |

Tabel 4. Persyaratan Tumbuh beberapa Jenis Pohon Potensial Penguat Teras, Tepi Sungai dan Tebing

Persyaratan tumbuh No

Jenis Pohon

Nama Daerah

Ketinggian (m. dpl)

Curah hujan

(mm/th)

Tempe-ratur (0C)

Jenis Tanah / pH

1. Arenga pinnata Aren 500-1400 > 1200 na Tanah liat, berlumpur, berpasir , pH asam

2. Giganthochloa spp

Bambu 0-1200 2000-2500 20-30 Berbagai jenis tanah, tidak terlalu kering, pH sedikit asam

3. Calliandra calothyrsus

Kaliandra 0-1800 2000-4000 25-30 Berbagai jenis tanah pH asam - netral

4. Glyricidia sepium Gamal 0-2000 500-1800 na Berbatu, berkapur

5. Salacca edulis Salak > 500 1700-3100 na Podzolik, Regosol

6. Calamus sp Rotan 800 - 1300 3500 14-24 Berbagai jenis tanah

na = data tidak tersedia Tabel 5. Persyaratan Tumbuh beberapa Jenis Pohon Andalan Di Jawa Barat

Persyaratan tumbuh No

Jenis Pohon

Nama Daerah

Ketinggian (m. dpl)

Curah hujan

(mm/th)

Tempe-ratur (0C)

Jenis Tanah / pH

1. Tectona grandis Jati 0-900 1200-3000 18-32 Tanah berkapur, pH netral - basa

2. Pinus merkusii Pinus 200-1600 2000-3000 16-30 Berbagai jenis tanah, porous pH asam- netral, vulkanik

3. Swietenia macrophylla

Mahoni daun lebar

50-1400 1400-1600 16-35 Solum agak dalam pH netral-basa

4. Agathis dammara Damar 100-1600 2000-4000 12-34 Tanah sarang, agak dalam dan subur, pH asam-netral

5. Peronema canescens

Sungkai 0-600 > 1000, A - C

24-33 Tanah kering/basah, pH asam-netral

6. Maesopsis eminii Kayu afrika

100-1500 1400-3600 16-32 Tanah bebas genangan air

7. Hevea brasiliensis Karet 0-300 2000-4000 26-28 pH netral-asam 8. Durio zibethinus Durian 50-1000 A 22-32 pH netral-asam,

vulkanik

Page 190: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 176 |

17. PENGELOLAAN HUTAN LESTARI SEBAGAI BASIS PENINGKATAN DAYA DUKUNG

DAERAH ALIRAN SUNGAI1

Oleh :

Paimin2

ABSTRAK

Penyelenggaraan kehutanan lestari pada aspek lingkungan abiotik (non hayati) diamanatkan UU No. 41 Tahun 1999 yakni bahwa tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS). Hutan memiliki kekhasan ekosistem tertentu sehingga hutan ditetapkan berdasarkan fungsi pokoknya yakni hutan konservasi, lindung, dan produksi dengan sistem pengelolaan sesuai dengan fungsinya. Melalui daur air (hidrologi) dalam unit DAS, peran hutan sebagai pelindung efektif sumberdaya tanah serta regulator tata air dapat dievaluasi untuk mengukur kelestarian penyelenggaraan kehutanan. Untuk mengelola hutan produksi, hutan alam dan hutan tanaman, pemerintah telah memberikan kriteria dan indikator yang harus dipenuhi oleh para penyelenggara hutan produksi (mandatory) melalui Keputusan Menteri Kehutanan. Disamping itu banyak institusi yang juga mengeluarkan pedoman untuk sertfikasi pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman produksi lestari, bersifat pilihan (voluntary), seperti dari LEI, ITTO, dan CIFOR. Semua pedoman pada prinsipnya menekankan tiga aspek kelestarian utama dalam pengelolaan hutan produksi lestari yakni aspek produksi (ekonomi), lingkungan, dan sosial budaya. Unsur dukungan kelestarian DAS dicerminkan dari parameter penyusun kelestarian lingkungan non hayati yakni kelestarian tanah dan tata air. Fungsi hutan sebagai pelindung tanah akan berubah dengan perubahan ekosistem tanaman hutan, seperti penebangan yang diikuti pembukaan lahan, kebakaran, dan tanah longsor. Kebakaran hutan merupakan gangguan yang besar terhadap ekosistem hutan. Meskipun tanaman pokok hutan tidak mati oleh api tetapi serasah dan tumbuhan bawah yang habis terbakar mengakibatkan tanah terbuka sehingga rentan terhadap erosi dan banjir. Sebagai regulator tata air, 1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007. 2 Peneliti Madya Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah, Balai Penelitian

Kehutanan Solo. Jl. A. Yani Po Box 295 Pabelan. Telp.+62.271.716709, Fax. +62.271.716709, email : [email protected].

Page 191: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pengelolaan Hutan Lestari....(Paimin)

| 177 |

hutan dalam satuan wilayah DAS merupakan sumber cadangan dan pasokan air yang sangat dibutuhkan untuk irigasi, pertanian, industri, dan konsumsi rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan tidak meningkatkan hasil air (pasokan) tetapi justru menurunkan hasil air karena evapotranspirasi yang tinggi.Walaupun hasil air berkurang tetapi peran hutan yang lebih besar perlu dipertimbangkan dalam membangun hutan seperti jenis tanaman, kualitas air, pengendalian banjir, kemantapan pasokan air, nilai ekonomi air, dan jasa lingkungan sebagai kompensasi pengurangan hasil air tersebut. Hasil air (jumlah, mutu, dan kontinyuitas) dari kawasan hutan tidak hanya tergantung vegetasi hutannya tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor alam lainnya, seperti jenis batuan (geologi), tanah, lereng, dan iklim. DAS merupakan integrator yang obyektif dan rasional dalam membangun jalinan instititusional antar penyelenggara lahan, baik hutan dan non hutan, secara terpadu interaktif-simbiotik.

Kata kunci : hutan lestari, DAS, lahan, tata air, integrator I. PENDAHULUAN

Sumberdaya alam dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Atas dua fungsi dasar tersebut, sumberdaya alam senantiasa harus dikelola secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional. Demikian juga sumberdaya hutan yang merupakan modal pembangunan nasional bagi kehidupan dan penghidupan bangsa, pengelolaannya diselenggarakan berasaskan manfaat dan lestari yakni setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi (UU No. 41 Tahun 1999). Dalam mencapai manfaat secara seimbang tersebut maka praktek pengelolaan hutan tidak hanya berorientasi pada hasil kayu dan hasil hutan bukan kayu tetapi diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya hutan, termasuk plasma nuftah dan jasa lingkungan, dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Unsur lingkungan hutan bersifat biotik (flora dan fauna) maupun abiotik (tanah dan air).

Penyelenggaraan kehutanan yang memperhatikan unsur lingkungan abiotik hutan diamanatkan dalam pasal 3 amar (c) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yakni bahwa tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan

Page 192: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 :176-185

| 178 |

meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS). Melalui satuan wilayah DAS maka penyelenggaraan kehutanan dapat dievalusi kelestarian sumberdaya lahan di dalam DAS dan kelestarian sumberdaya air di dalam maupun yang keluar dari kawasan hutan dalam DAS. Laju deforestasi semakin meningkat yakni 1,6 juta hektar per tahun pada periode 1985-1997 menjadi 2,1 juta hektar per tahun paada periode 1997-2001. Praktek penebangan liar dan konversi lahan hutan menimbulkan dampak yang luas dimana salah satunya adalah kerusakan ekosistem dalam tatanan DAS. Kondisi DAS kritis meningkat dari 22 DAS pada tahun 1984 menjadi berturut-turut 39, 62, dan 282 pada tahun 1992, 1998, dan 2004 (Peraturan Presiden No 7 tahun 2005). Dengan demikian indikasi lemahnya daya dukung DAS menunjukkan menurunnya penyelenggaraan pengelolaan hutan secara lestari, tidak saja pada hutan produksi tetapi juga pada hutan lindung dan hutan konservasi.

Kelestarian hutan terhadap peningkatan daya dukung DAS tidak hanya bemanfaat bagi kawasan hutannya sendiri tetapi juga bagi wilayah di luar kawasan hutan bagian hilir (off site) yakni berupa pasokan air untuk kehidupan, seperti untuk irigasi pertanian, industri, rumah tangga, sebagai pengendali banjir, dan sebagai pengurangan sedimentasi waduk, sungai, saluran air, dan bangunan air yang vital lainnya. Dari aspek jasa ternyata aliran air yang jernih dan mengalir sepanjang tahun dalam lingkungan alam yang indah bisa menjadi tempat wisata yang bisa memberikan keuntungan ekonomi, termasuk bagi masyarakat sekitarnya.

Tulisan yang disampaikan ini bertujuan untuk memberikan telaah tentang peran pengelolaan hutan dalam meningkatkan kelestarian lingkungan abiotik (lahan dan air) hutan dalam satuan wilayah DAS. Keberhasilan pengelolaan hutan juga dipengaruhi oleh penyelenggara kehutanannya sendiri dalam memahami hutan sebagai sumberdaya dan lingkungan secara menyeluruh.

II. PENGELOLAAN HUTAN LESTARI

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati (biotik) yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak bisa dipisahkan. Memperhatikan pengertian hutan seperti ini

Page 193: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pengelolaan Hutan Lestari....(Paimin)

| 179 |

maka sebagian masyarakat memahami hutan hanya sebagai komunitas pepohonan tanpa menelaah lebih dalam tentang pengertian tersebut. Sumberdaya alam hayati memberikan pengertian bahwa hutan tidak saja berisi pohon tetapi juga tanaman bawah lainnya yang sangat beragam jenisnya (flora) serta hewan dari hewan liar yang besar sampai jasad renik atau mikro-organisme. Persekutuan alam lingkungan menunjukkan interaksi menyeluruh dari sumberdaya alam hayati, non hayati (abiotik), dan iklim sehingga membentuk ekosistem hutan yang khas.

Dengan kekhasan ekosistem hutan tersebut maka hutan mempunyai tiga fungsi yakni fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Oleh karena itu hutan ditetapkan berdasarkan fungsi pokok tersebut yakni hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi (UU No. 41 Tahun 1999). Berkenaan dengan ketetapan hutan berdasarkan fungsi tersebut maka sistem pengelolaannyapun berbeda sesuai dengan fungsinya. Untuk mengelola hutan produksi, hutan alam dan hutan tanaman, pemerintah telah memberikan kriteria yang harus dipenuhi oleh para penyelenggara hutan produksi (mandatory) melalui Keputusan Menteri Kehutanan.

Sebagai pedoman penyelenggaraan pengelolaan hutan produksi alam lestari, Menteri Kehutanan telah mengeluarkan Keputusan No. 252/Kpts-II/1993 jo SK MenHut No. 4795/Kpts-II/2002. Dalam Keputusan tersebut dituangkan 4 (empat) kriteria, dengan disertai indikator-indikatornya, yakni kriteri prasarat (enam indikator), produksi (tujuh indikator), ekologi (enam indikator), dan sosial (lima indikator). Disamping itu banyak institusi yang juga mengeluarkan pedoman untuk sertfikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL), bersifat pilihan (voluntary), seperti dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI, 2002), International Timber Trade Organization (IITO, 2000), dan Center for International Forestry Research (CIFOR, 1999). Semua pedoman pada prinsipnya menekankan tiga aspek kelestarian utama dalam pengelolaan hutan alam produksi lestari yakni aspek produksi (ekonomi), lingkungan, dan sosial budaya. Unsur dukungan kelestarian DAS dicerminkan dari parameter penyusun kelestarian lingkungan non hayati (abiotik) yakni kelestarian tanah dan tata air.

Demikian juga untuk Pengelolaan Hutan Tanaman Produksi Lestari (PHTPL), pemerintah memberikan pedoman pengelolaan,

Page 194: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 :176-185

| 180 |

bersifat mandatory, melalui Keputusan Menteri Kehutanan No 177/Kpts-II/2003. Seperti pada pengelolaan hutan alam produksi, LEI dan CIFOR juga menerbitkan pedoman sertifikasi untuk PHTPL. Kriteria dan indikator telah ditetapkan dalam setiap pedoman, yang mencakup aspek produksi, lingkungan, dan sosial budaya, untuk digunakan sebagai acuan penilaian (assesssment) tingkat kelestarian dari pengelolaan hutan yang diselenggarakan.

Sementara itu untuk penyelenggaraan pengelolaan hutan lindung dan konservasi, pedoman yang tersedia belum selengkap seperti yang digunakan untuk penilaian kelestarian hutan produksi. Padahal dari interaksi sistem sumberdaya alam yang berada di dalamnya mestinya penilaian kawasan lindung tidak hanya pada tata air, dan pada kawasan konservasi tidak hanya flora dan fauna, melainkan seluruh sumberdaya alam hutan secara keseluruhan.

III. KONDISI DAS SEBAGAI INDIKATOR

KELESTARIAN HUTAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No. 7 Tahun 2004). Air di bumi selalu bergerak dalam berbagai bentuk dan letaknya mengikuti kaidah siklus/daur air (water/hydrological cycle). Daur air inilah yang membentuk hubungan wilayah hulu dan hilir dimana setiap intervensi manusia terhadap sumberdaya alam, terutama aktivitas penggunaan lahan, berdampak pada proses hidrologis (Dixon dan Easter, 1986). Melalui daur air (hidrologi) dalam unit DAS, hutan secara umum dipandang memiliki peran penting sebagai pelindung efektif sumberdaya tanah serta regulator tata air, baik jumlah, mutu, maupun distribusinya. Oleh karena itu pengelolaan hutan lestari dipandang bisa meningkatkan daya dukung DAS. Lebih lanjut diamanatkan dalam pasal 18 UU No 41 Tahun 1999 bahwa guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat, pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan

Page 195: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pengelolaan Hutan Lestari....(Paimin)

| 181 |

dan penutupan hutan untuk setiap DAS dan atau pulau minimal 30% dengan sebaran proporsional. Pengertian ini tidak hanya pada hutan lindung tapi seluruh bentuk penggunaan lahan hutan baik hutan produksi maupun hutan konservasi. Angka 30% ini sering disalah artikan bahwa kebutuhan luas hutan hanya 30% sehingga kelebihan luas bisa dikonversi untuk penggunaan lain tanpa mempertimbangkan kondisi DAS, karakteristik lahan, tipe sungai, fungsi hutan, sosial budaya, ekonomi, dan kelembagaan masyarakat seperti diamanatkan dalam pasal 17 UU No 41 tahun 1999. Persentase luas dalam DAS menjadi beragam tergantung dari kondisi iklim (hujan), geologi, bentuk lahan, topografi, tanah, dan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.

Proses interaktif antara vegetasi (hutan), tanah, dan iklim berpengaruh terhadap limpasan permukaan (surface runoff) maupun erosi. Fungsi hutan sebagai pelindung tanah akan berubah dengan perubahan dalam ekosistem tanaman hutan, seperti penebangan yang diikuti pembukaan lahan, kebakaran, dan tanah longsor. Kebakaran hutan merupakan gangguan yang besar terhadap ekosistem hutan. Meskipun tanaman pokok hutan tidak mati oleh api tetapi serasah dan tumbuhan bawah yang habis terbakar mengakibatkan tanah terbuka sehingga rentan terhadap erosi. Kerusakan erosi pada tanah terbuka di bawah tegakan pohon lebih besar dibandingkan tanah terbuka tanpa tanaman. Besarnya erosi dari kawasan hutan dapat tercermin dari sedimen yang terangkut dalam aliran air yang keluar dari Daerah Tangkapan Air (DTA) terukur. Hal ini menunjukkan kelestarian produksi/ekonomi terjaga tetapi kelestaraian sumberdaya tanah dan air (ekologi) mengalami degradasi.

Apabila tutupan hutan dan ekosistem tanaman dalam kondisi baik tetapi aliran air yang keluar dari hutan lebih keruh dari biasanya, kemungkinan terjadi tanah longsor dengan massa tanah cukup besar terangkut aliran air. Tanah longsor pada tebing sungai yang kemudian menyumbat palung sungai secara tidak sengaja akan membentuk waduk/dam. Apabila sumbat ini jebol, sementara itu tandon air di hulu waduk sudah cukup besar, maka akan mengakibatkan banjir bandang dengan kerugian besar di daerah hilirnya. Seperti peristiwa banjir bandang di Pacet dan Jember, Jawa Timur, serta di Bohorok, Sumatera Utara, ternyata banjir yang terjadi bukan banjir normal karena deforestasi atau illegal logging tetapi merupakan akumulasi

Page 196: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 :176-185

| 182 |

dari aliran air banjir normal ditambah jebolnya air tampungan yang besar dari palung sungai yang tersumbat oleh tanah longsor di tebing sungai. Memperhatikan adanya multi-proses tanah longsor dan banjir tersebut maka observasi proses demikian sangat penting pada kawasan hutan lindung dan hutan konservasi yang jarang sekali dikunjungi atau dijamah petugas.

Sebagai regulator tata air, DAS dipandang merupakan cadangan dan pasokan air yang sangat dibutuhkan untuk irigasi, pertanian, industri, dan konsumsi rumah tangga. Kecukupan pasokan air sangat diharapkan dari kawasan hutan yang bisa memberikan kecukupan baik jumlah, mutu, maupun kontinyuitasnya. Hutan memiliki kemampuan sebagai penahan air hujan yang jatuh di atasnya untuk disimpan di dalam bumi yang kemudian secara alami dialirkan sepanjang tahun melalui aliran bawah permukaan (sub surface flow), terutama pada musim kemarau. Namun berdasarkan hasil penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa hutan tidak meningkatkan hasil air tetapi justru sebaliknya menurunkan hasil air karena besarnya jumlah evapotranspirasi (Hamilton, dan Pearce, 1986). Transpirasi tanaman hutan yang tinggi mengakibatkan kandungan lengas tanah di bagian bawah (daerah perakaran dalam) lebih kering dibandingkan bagian atas yang tertutup serasah sehingga evaporasi di permukaan tanah rendah.

Walaupun pasokan air dari hutan berkurang dibanding areal bukan hutan tetapi peran hutan yang lebih besar perlu dipertimbangkan seperti pengendali kualitas air dari sedimen, pengendalian banjir, dan kemantapan kawasan sebagai kompensasi pengurangan hasil air tersebut. Perubahan hutan menjadi penggunaan lain, seperti pertanian dan padang rumput, akan berdampak pada tingkat erosi yang lebih tinggi sehingga berakibat pada penurunan kualitas lahan, kualitas air menurun karena kekeruhan dan bahan pencemar lainnya, serta penurunan fungsi sarana prasarana di daerah hilirnya akibat sedimentasi. Disamping itu debit puncak (air banjir) akan meningkat sehingga derita kerugian di hilir akan lebih besar pula. Pasokan air yang keluar dari kawasan hutan lehih mantap dibandingkan yang keluar dari penggunaan lahan lainnya yang relatif lebih dinamis sehingga jaminan pasokan lebih mudah diperhitungkan secara rasional dan obyektif. Dengan demikian penyelenggaraan hutan lestari yang kemungkinan menurunkan pasokan air bukan

Page 197: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pengelolaan Hutan Lestari....(Paimin)

| 183 |

merupakan pembenaran terhadap penggundulan dan konversi hutan. Hal ini merupakan peringatan bagi penyelenggara kehutanan untuk berhati-hati dalam mengelola hutannya sehingga tidak menimbulkan defisit pasokan air dari kawasannya. Hasil air (jumlah, mutu, dan kontinyuitas) dari kawasan hutan tidak hanya tergantung vegetasi hutannya tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor alam lainnya, seperti jenis batuan (geologi), tanah, lereng, dan iklim. Pemilihan jenis tanaman hutan, terutama eksotik, harus dilakukan secara cermat agar tidak menimbulkan penurunan potensi hasil air.

Sumbangan air yang cukup besar dari kawasan hutan masih jarang dinilai secara ekonomis dalam sistem pengelolaan hutan dalam satuan DAS. Hal ini menjadi tidak adil apabila ternyata air yang dihasilkan dimanfaatkan secara komersial, seperti untuk industri air minum, konsumsi hotel, tenaga listrik, dll. Memperhatikan fakta lapangan tersebut perlu adanya pencermatan dan pemilahan nilai manfaat antara pemanfaatan publik dan komersial. Penilaian hasil secara ekonomi akan bisa menuntun upaya kompensasi antara pemanfaat (hilir) dan pemelihara (hulu) sumberdaya air.

IV. DAS SEBAGAI INTEGRATOR PENYELENGGARA

KEHUTANAN

Berkaitan dengan tata air dalam DAS, banyak pihak terkait baik sebagai pemelihara maupun sebagai sebagai pemanfaat pasokan air dari kawasan hutan. Hubungan antar pihak perlu ditata secara cermat sehingga hak dan kewajibannya secara jelas dapat difahami dan tata hubungan kerja dapat dibangun secara sinergis. Wilayah DAS tersusun dari berbagai penggunaan lahan seperti hutan, perkebunan, pertanian, pemukiman, tambang, dan industri, dll. Masing-masing penggunaan lahan bisa berfungsi sebagai pemelihara dan atau sebagai pemanfaat sumberdaya air. Namun demikian belum bisa diharapkan setiap penyelenggara kawasan/lahan memiliki kesadaran kewajiban dalam pelestarian daya dukung DAS.

Page 198: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 :176-185

| 184 |

Gambar 1. Ekosistem DAS Sebagai Integrator Pemangku Penggunaan Lahan

Secara internal kehutanan, hutan sendiri terdiri dari fungsi-fungsi produksi, lindung, dan konservasi dimana masing-masing fungsi berbeda institusi penyelenggara atau pemangkunya. Peran para pihak kehutanan, terutama para penyelenggara kehutanan, merupakan suatu keharusan dalam meningkatkan pasokan air, menanggulangi bencana banjir, kekeringan, erosi sedimentasi, dan tanah longsor sebagai salah satu bentuk penjabaran dan implementasi dari UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada Pasal 3 butir (c) seperti disebutkan sebelumnya.

Sebagai penyatu pemahaman kesatuan lintas wilayah pemangkuan, wilayah DAS dapat digunakan bersama sebagai alat intregator seperti diilustrasikan pada skema Gambar 1. Kesatuan pemangku kawasan/wilayah penggunaan lahan dalam satuan ekosistem DAS akan memberikan dukungan sistem pengelolaan yang kuat dalam upaya menuju penyelenggaraan kehutanan lestari.

V. PENUTUP

Daerah Aliran Sungai sebagai ekosistem digunakan sebagai unit analisis untuk menilai tingkat kelestarian ekosistem abiotik hutan.

DAS

PERKEBU

NAN

PEMUKIMAN

PERTANIA

N PANGAN

HUTAN

NEGARA Hut-Lindung, Hut-Produksi, Hut-Konsvasi

HUTAN RAKYAT

DAS

HUTAN KONSERVA

SI

HUTAN

LINDUNG

HUTAN, Produksi

Page 199: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pengelolaan Hutan Lestari....(Paimin)

| 185 |

Hubungan interaktif-simbiotik sumberdaya hutan biotik-abiotik menjadikan DAS sebagai unit pengelolaan rasional semua fungsi kawasan hutan (lindung, konservasi, dan produksi). Keberhasilan penyelenggraan pengelolaan hutan dalam meningkatkan daya dukung DAS akan memberikan multi-manfaat, baik di dalam dan sekitar hutan maupun daerah hilirnya, sebagai pemasok air, baik untuk kebutuhan soial/publik maupun komersial, pengendali sedimen, pengendali pencemaran, banjir, dan kekeringan.

Nilai kelestarian ekologi tata air dan lahan dalam DAS pada pengelolaan hutan seyogyanya tidak menggunakan satu nilai karena kondisi kawasan hutan sangat beragam seperti jenis batuan (geologi), tanah tanah, lereng, dan iklim, serta fungsi hutannya. Unit DAS sangat penting untuk digunakan sebagai intregator pemangku kawasan atau pengguna lahan sehingga diperoleh hubungan hulu-hilir secara harmonis.

DAFTAR PUSTAKA Dixon, J.A., K.W. Easter. 1986. Integrated Watershed Management :

An Approach to Resource Management. Hlm. 3-15. Dalam. K.W. Easter, J.A. Dixon, and M.M. Hufschmidt. Eds. Watershed Resources Management. An Integrated Framework with Studies from Asia and the Pasific. Studies in Water Policy and Management, No. 10. Westview Press and London. Honolulu.

Hamilton, L.S., A.J. Pearce. Biophysical Aspects in Watershed Management. Hlm. 33-52 Dalam. K.W. Easter, J.A. Dixon, and M.M. Hufschmidt. Eds. Watershed Resources Management. An Integrated Framework with Studies from Asia and the Pasific. Studies in Water Policy and Management, No. 10. Westview Press and London. Honolulu.

Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009. Lembaran Negara RI Tahun 2005 Nomor 11.

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 167.

Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 32.

Page 200: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 186 |

18. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI1

Oleh:

Saeful Rachman2

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara utuh mulai dari daerah hulu sampai hilir terdiri dari berbagai tipe ekosistem yang mengandung potensi sumber daya alam hayati dan non-hayati yang sangat berguna bagi kehidupan manusia baik dari aspek ekonomi, lingkungan maupun sosial budaya. Sumber daya alam di DAS tersebut dikelola oleh berbagai sektor dalam rangka pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi karena banyak pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam DAS yang relatif sangat terbatas, maka seringkali terjadi konflik kepentingan antar para pihak tersebut dan atau terjadi pemanfataan sumberdaya alam yang melebihi daya dukung DAS. Akibatnya adalah terjadi degradasi sumbe1rdaya alam dan lingkungan DAS seperti kerusakan hutan, makin luasnya lahan kritis, tanah longsor, erosi dan sedimentasi, pencemaran tanah dan air, bencana seperti banjir dan kekeringan. Dalam suatu DAS terdapat keterkaitan yang erat antar aktivitas di hulu dengan daerah di hilirnya baik dalam hal manfaat maupun dampaknya (externalitas), Karena itu pengelolaan DAS harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan semua pemangku kepentingan baik unsur pemerintah, swasta maupun masyarakat mulai dari daerah hulu sampai daerah hilir DAS. Untuk mewujudkan itu diperlukan pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS sehingga memungkinkan terjadinya koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinerji (KISS) antar pemangku kepentingan dengan pengelolaan sumberdaya dalam DAS. Tidak terpenuhinya KISS akan mudah menimbulkan konflik kepentingan sehingga mengganggu tercapainya tujuan bersama dalam pengelolaan DAS. Kelembagaan pengelolaan DAS tersebut perlu dikembangkan, baik pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota maupun pada tingkat DAS. Sektor kehutanan melaui Balai Pengelolaan DAS di daerah yang merupakan salah satu pemangku kepentingan yang cukup berperan dalam pengelolaan DAS telah menginisiasi dan memfasilitasi 1Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007. 2Kepala Subdit Pembinaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Ditjen RLPS

Departemen Kehutanan, Gd. Manggala Wanabakti Blok I Lt 14, Telp. 021-5730303, email [email protected].

Page 201: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)

| 187 |

pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS di berbagai daerah dengan nama ”Forum DAS”. Akan tetapi forum-forum DAS yang ada tersebut masih harus ditingkatkan kapasitas dan perannya sehingga bisa berfungsi sebagaimana yang diharapakan.

Kata kunci :Kelembagaan, Pengelolaan DAS

I. PENDAHULUAN

Daerah aliran sungai atau DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No. 7 Tahun 2004, Pasal 1 ayat 11).

Pengertian DAS tersebut diatas memperlihatkan bahwa dalam suatu DAS secara utuh akan terdiri dari berbagai type ekosistem seperti hutan, perkebunan, pertanian, pemukiman, lahan basah dan wilayah pantai. Dalam berbagai ekosistem tersebut terlibat berbagai sektor dan parapihak pemangku kepentingan dengan tujuannya masing-masing. Tiap sektor biasanya selalu berusaha meningkatkan aktivitasnya dalam rangka pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi aktivitas tersebut seringkali lebih bertumpu pada kepentingan ekonomi dan kurang memperhatikan daya dukung DAS sehingga mendorong timbulnya permasalahan DAS seperti meluasnya hutan rusak dan lahan kritis; meningkatnya erosi dan sedimentasi; terjadi bencana alam banjir dan tanah longsor; kekeringan; dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Fenomena yang terjadi di banyak DAS tersebut merupakan indikasi dari rendahnya kinerja pengelolaan DAS yang dilaksanakan oleh berbagai sektor dan lembaga terkait.

Aspek yang diduga menjadi penyebab utama rendahnya kinerja pengelolaan DAS adalah masalah kelembagaan DAS yang antara lain mencakup : (1) pembagian posisi dan peran lembaga/instansi kurang sesuai untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan DAS; (2) koordinasi antar lembaga pemerintah yang terkait dalam kegiatan pengelolaan DAS kurang harmonis; dan (3) rendahnya kapasitas lembaga pemerintah dalam mengatasi masalah yang terjadi di DAS. Ketiga aspek tersebut merupakan sebagian dari aspek kelembagaan DAS yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan DAS.

Page 202: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2007: 186-206

| 188 |

Makalah ini akan mencoba mengemukakan konsepsi tentang bagaimana kelembagaan pengelolaan DAS dikembangkan dan kondisi lembaga koordinatif pengelolaan DAS yang telah ada saat ini. Akan tetapi pada awal makalah akan dikemukakan lebih dulu tentang prinsip, tujuan, ruang lingkup dan pemangku kepentingan (stakeholders) pengelolaan DAS sehingga diperoleh pemahaman yang sama tentang perlunya pengelolaan DAS secara terpadu termasuk pengembangan kelembagaannya.

II. PRINSIP, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP PENGELOLAAN DAS

A. Prinsip Pengelolaan DAS Terpadu

Prinsip-prinsip yang harus menjadi dasar acuan dalam pengelolaan DAS terpadu adalah sebagai berikut : 1. Pengelolaan DAS dilakukan dengan memperlakukan DAS

sebagai suatu kesatuan ekosistem dari hulu sampai hilir, satu perencanaan dan satu pengelolaan.

Prinsip ini menegaskan bahwa dalam satu DAS sebagai suatu kesatuan ekosistem terdapat keterkaitan hulu-hilir DAS dalam hal aktivitas pengelolaan sumberdaya dan dampak yang ditimbulkannya (”on-site” maupun ”off-site impact”). Hal ini terutama dikarenakan adanya air sebagai sumberdaya alam DAS yang mengalir dari hulu sampai dengan hilir. Hal ini yang mendasari digunakannya ekosistem DAS sebagai satuan terbaik dalam pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem dan untuk itu harus ada satu rencana pengelolaan DAS terpadu dari hulu sampai dengan hilir sehingga terdapat satu sistem pengelolaan sumberdaya DAS yang disepakati oleh para pihak yang terlibat untuk menjamin kelestarian DAS dalam jangka panjang.

2. Pengelolaan DAS terpadu melibatkan multipihak, koordinatif, menyeluruh dan berkelanjutan.

Prinsip ini menegaskan bahwa sumberdaya alam DAS yang sangat beragam (hayati dan non hayati) merupakan sistem yang kompleks sehingga pengelolaan DAS secara terpadu memerlukan partisipasi berbagai sektor dan multipihak dengan pendekatan inter-disiplin, lintas bidang keilmuan dan seringkali lintas wilayah administrasi. Kewenangan pengelolaan sumberdaya dalam DAS berada pada lebih dari satu sektor. Oleh karena itu, pengelolaan DAS terpadu memerlukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar para pihak baik dalam

Page 203: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)

| 189 |

penetapan kebijakan, perencanaan program dan kegiatan maupun dalam implementasi dan pengendalian penyelenggaraan pengelolaan DAS. Pengelolaan juga tidak hanya mencakup kegiatan pemanfaatan/pendayagunaan sumberdaya alam tetapi juga harus mengandung kegiatan perlindungan dan konservasi sumberdaya alam agar manfaatnya bisa berkelanjutan serta upaya-upaya pengendalian terhadap daya rusak yang mungkin timbul/disebabkan oleh kondisi ekstrim dari sumberdaya alam, karena itu pengelolaan DAS harus dilakukan secara holistik, komprehensif dan berkelanjutan.

3. Pengelolaan DAS bersifat adaptif terhadap perubahan kondisi yang dinamis dan sesuai dengan karakteristik DAS.

DAS merupakan suatu kesatuan ekosistem yang bersifat dinamis dimana unsur biofisik (misalnya flora, fauna, iklim, lahan, bangunan sarpras), sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat selalu berubah seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu apabila terjadi perubahan unsur-unsur ekosistem di dalam DAS maka diperlukan respon dari para penyelenggara pengelolaan DAS baik dalam hal kebijakan maupun implementasi program dan kegiatan sehingga tujuan pengelolaan DAS dapat tercapai.

4. Pengelolaan DAS dilaksanakan dengan pembagian beban biaya dan manfaat antar multipihak secara adil.

Prinsip ini menegaskan bahwa dalam pengelolaan DAS terdapat berbagai pihak yang memperoleh manfaat dari barang dan jasa DAS sekaligus juga terdapat pihak yang membuat pencemaran atau kerusakan terhadap ekosistem DAS, karena itu, sangat adil jika pembiayaan kegiatan penyelenggaraan DAS tidak hanya dibebankan kepada pemerintah, tetapi juga dibiayai dari para penerima manfaat barang dan jasa DAS dan pencemar ekosistem DAS terutama untuk kegiatan rehabilitasi, restorasi dan/atau reklamasi sumberdaya hutan, lahan dan air bagi kepentingan kelestarian ekosistem DAS itu sendiri dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas. Prinsip keadilan juga harus mempertimbangkan keterkaitan hulu dan hilir DAS dimana seringkali daerah hulu DAS harus melakukan konservasi hutan, tanah dan air untuk kepentingan kelestarian sumberdaya air di daerah hilir DAS.

5. Pengelolaaan DAS memerlukan akuntabilitas para pemangku kepentingan.

Page 204: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2007: 186-206

| 190 |

Prinsip ini menegaskan bahwa pengelolaan DAS pada dasarnya adalah keterpaduan lintas sektor dan lintas wilayah administrasi dalam pengelolaan sumberdaya dalam kerangka pembangunan secara berkelanjutan. Dalam rangka mendapatkan manfaat yang optimal dari sumberdaya alam DAS untuk manusia dan kehidupan lainnya secara berkelanjutan tersebut diperlukan akuntabilitas dari setiap sektor atau para pemangku kepentingan. Setiap sektor dalam melaksanakan misinya dan kegiatannya tidak boleh berlawanan atau kontradiktif dengan tujuan pengelolaan DAS terpadu yang telah disepakaiti bersama, tetapi kegiatann sektor tersebut harus sejalan atau menunjang pencapaian tujuan pengelolaan DAS terpadu.

B. Tujuan Pengelolaan DAS Terpadu Tujuan pengelolaan DAS terpadu sangat ditentukan oleh

karakteristik biofisik, sosial ekonomi budaya dan kelembagaan yang ada pada setiap DAS. Tetapi secara umum tujuan pengelolaan DAS terpadu adalah sebagai berikut:

1. Mewujudkan kondisi tata air DAS yang optimal meliputi kuantitas, kualitas dan distribusi menurut ruang dan waktu.

Neraca air dalam suatu DAS menggambarkan hubungan individual unsur-unsur hidrologis yang meliputi input hujan, penyimpanan (storage) di permukaan, dalam tanah dan aknifer, pengurangan dalam bentuk intersepsi, evapotranspirasi dan luaran (ouput) dalam bentuk aliran permukaan, aliran dalam tanah dan aliran akifer dalam bentuk total aliran sungai. Pengelolaan DAS menginginkan tata air yang optimal yang berarti air di DAS tersebut mendukung pemenuhan berbagai jenis kebutuhan air dalam segi kuantitas, kualitas dan distribusi menurut ruang dan waktu secara memadai dan terus menerus dalam jangka panjang.

2. Mewujudkan kondisi lahan yang produktif secara berkelanjutan.

Pengelolaan DAS sebagai salah satu upaya mengendalikan hubungan timbal balik antara manusia dengan sumberdaya alam (dalam hal ini lahan) bertujuan agar lahan sebagai salah satu unsur ekosistem DAS dan faktor produksi harus dapat menghasilkan produk barang dan jasa yang diinginkan dalam batas daya dukung dan daya tampung yang ada sehingga kapasitas produksi dapat mendukung kehidupan manusia yang dinamis saat ini dan generasi yang akan datang. Hutan dan lahan yang telah rusak (kritis) kondisinya harus direhabilitasi sehingga fungsinya bisa pulih dan meningkat.

Page 205: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)

| 191 |

3. Mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan.

Pengelolaan DAS yang terkelola dengan baik dan efektif harus terdapat keseimbangan antara potensi sumberdaya yang tinggi dan manfaat yang bisa diperoleh oleh manusia dan dapat mendukung permintaan akan barang dan jasa dari berbagai pihak berkepentingan tanpa adanya degradasi lingkungan yang lebih besar dari kemampuan pemulihan alami sehingga produksi bisa lestari, memberikan pendapatan yang memadai dan sekaligus aman bagi masyarakat. Pengelolaan DAS terpadu juga harus memperhatikan pemerataan kesejahteraan antara masyarakat di hulu dan di hilir yang perannya relatif berbeda dimana masyarakat hulu biasanya ditekankan untuk melakukan konservasi hutan, tanah, dan air, sedangkan masyarakat di hilir lebih banyak menikmati hasil-hasil konservasi atau menerima dampak dari kegiatan di hulu.

C. Ruang lingkup Kegiatan Pengelolaan DAS Terpadu

Secara garis besar ruang lingkup pengelolaan DAS terpadu meliputi kegiatan sebagai berikut : 1. Penatagunaan lahan (land use planning) untuk memenuhi berbagai

kebutuhan barang dan jasa serta kelestarian lingkungan. 2. Pengelolaan sumber daya air (pemanfaatan, perlindungan dan

pengendalian). 3. Pengelolaan lahan dan vegetasi di dalam kawasan hutan dan di luar

kawasan hutan (pemanfaatan, rehabilitasi, restorasi, reklamasi dan konservasi).

4. Pengelolaan dan pengembangan sumberdaya buatan. 5. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan

pengelolaan DAS. Bobot dan intensitas kelima ruang lingkup pengelolaan DAS terpadu tersebut bervariasi dari satu DAS ke DAS lainnya dan sangat tergantung pada karakteristik dan permasalahan DAS yang bersangkutan .

III. PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN DAS

Selama ini sejumlah kegiatan dan proyek yang berkaitan dengan pengelolaan DAS telah dilaksanakan oleh banyak pemangku kepentingan (stakeholders) baik insatansi-instansi pemerintah maupun non pemerintah yang terkait dengan sector Pekerjaan Umum, Kehutanan, Perkebunan, Pertanian, Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional, Pertambangan dan Energi, Lingkungan Hidup dan lain-

Page 206: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2007: 186-206

| 192 |

lain. Masing-masing pemangku kepentingan mempunyai pendekatan yang berbeda dalam kegiatan pengelolaan DAS baik dalam unit perencanaan maupun implementasinya sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan DAS merupakan hal yang sangat kompleks baik ditinjau dari banyaknya pihak yang terlibat maupun sumber daya yang ada di dalam suatu DAS.

Instansi/lembaga tertentu memiliki tanggung jawab untuk suatu wilayah pengelolaan atau suatu komoditas. Sebagai contoh, penataan ruang dan tataguna lahan utamanya ditangani oleh Pekerjaan Umum dan Badan Pertanahan Negara yang dasarnya adalah wilayah administrasi dan seringkali kurang mempertimbangkan kelestarian ekosistem DAS; pengelolaan sumber daya air khususnya yang mengangkut pemanfaatan/pendayagunaan dan pengendalian daya rusak air permukaan dilaksanakan oleh Direktorat Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum dan jajarannya sampai di daerah; urusan air tanah dan pertambangan ditangani oleh Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, tetapi kualitas air lebih ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan instansi Kesehatan. Pengelolaan hutan termasuk urusan konservasi tanah dan air di areal hutan menjadi tanggung jawab Departemen Kehutanan dan jajarannya sampai di daerah, sedangkan pengelolaan lahan-lahan pertanian dan perkebunan banyak ditangani oleh masyarakat dan swasta yang pembinaannya menjadi tanggung jawab instansi yang diserahi tugas mengurus pertanian dan perkebunan, walaupun kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air banyak juga yang ditangani oleh Departemen Kehutanan.

Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, masing-masing lembaga tersebut cenderung bersifat sektoral. Rencana, program dan pelaksanaan kegiatannya hanya mementingkan pencapaian misi dan target sektornya sendiri dan sering kurang memperhatikan kepentingan atau tujuan pengelolaan DAS secara terpadu. Oleh karenanya, seringkali terjadi tabrakan kepentingan (conflict of interest) antar lembaga yang terlibat dalam pengelolaan DAS. Pada era otonomi daerah setelah reformasi ini banyak kawasan lindung baik berupa kawasan hutan negara maupun lahan milik dimaksimalkan pemanfaatannya demi kepentingan ekonomi jangka pendek (meningkatkan pendapatan asli daerah) tanpa memikirkan akibat kerusakan lingkungan dalam jangka panjang. Daerah perbukitan milik masyarakat maupun badan usaha dijadikan lahan pertanian intensif atau real estate padahal dari segi kemampuan lahan seharusnya menjadi daerah dengan penutupan vegetasi permanen. Kawasan hutan negara banyak yang diserobot

Page 207: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)

| 193 |

untuk dijadikan perkebunan dan pertanian bahkan menjadi pemukiman, kemudian illegal loging dan illegal mining terjadi tidak hanya di hutan produksi tetapi sudah merambah kedalam hutan lindung dan konservasi sehingga terjadi kerusakan tegakan hutan yang relatif cepat. Semua aktivitas yang berdalih demi pembangunan ekonomi tersebut banyak menimbulkan penurunan kualitas fungsi hutan dan lahan terutama fungsi ekologisnya sehingga terjadi ketidakseimbangan kondisi hidrologi DAS seperti semakin besarnya fluktuasi debit maksimal dan minimal, bahkan menyebabkan banjir, kekeringan dan pencemaran air. Permasalahan DAS ini semakin kompleks pada DAS yang melintasi beberapa wilayah kabupaten/kota sebagai wilayah otonom. Sering timbul pernyataan “Apa adil kabupaten/kota di hulu selalu diminta untuk mengkonservasi/melindungi daerahnya berupa hutan sehingga PADnya kecil, sementara manfaatnya (supply air dan mencegah banjir) lebih banyak dinikmati oleh kabupaten/kota dibagian hilirnya?“ dan “Bagaimana mekanisme hubungan hulu-hilir tersebut supaya ada pembagian manfaat dan biaya secara rasional dan adil?” . Untuk menghindari terjadinya tabrakan kepentingan dalam suatu DAS dan pembagian manfaat dan biaya secara adil, diperlukan pengaturan kelembagaan dan regulasi yang mengatur mekanisme kerja antar lembaga/pihak berkepentingan tersebut. Kelembagaan tersebut memungkinkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar lembaga/pihak yang berkepentingan, kemudian terdapat klarifikasi dan identifikasi secara jelas tentang tugas dan wewenang masing-masing lembaga dalam menjalankan fungsinya.

IV. KONSEPSI KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN DAS

Tantangan terbesar pada tahap pelaksanaan pengelolaan DAS adalah terbangunnya organisasi dan kelembagaan yang memungkinkan berjalannya mekanisme koordinasi dan kerjasama antar lembaga pada setiap jenjang pemerintahan (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota). Aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh masing-masing pihak dalam pengelolaan DAS harus terorganisir dan terintegrasi secara solid satu dengan lainnya sehingga kinerja setiap pihak mendukung kearah tercapainya tujuan pengelolaan DAS terpadu yang telah disepakati bersama.

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu, selama ini perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya DAS dilakukan secara sektoral oleh masing-masing instansi terkait sesuai dengan tupoksinya. Sebagai hasilnya, kinerja pengelolaan DAS jauh

Page 208: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2007: 186-206

| 194 |

dari pada memuaskan. Oleh karena itu, ke depan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan DAS harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan semua pihak yang mempunyai kepentingan dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan DAS. Pengelolaan DAS Terpadu tersebut harus diarahkan untuk mencapai tujuan pengelolaan DAS sebagaimana telah dirumuskan pada bagian terdahulu.

Adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinerji (KISS) antara para pihak dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS merupakan pra-kondisi untuk mewujudkan tujuan ganda tersebut di atas. Hal ini mengandung arti bahwa aktivitas-aktivitas yang dilakukan masing - masing pihak dalam pengelolaan DAS harus terorganisir dan terintegrasi secara solid, satu dengan lainnya. Pengorganisasian dan pengintegrasian aktivitas-aktivitas yang terpadu seperti itu dapat dicapai hanya bila ada pembagian peran dan fungsi yang jelas antara para pihak, serta adanya sarana dan mekanisme kelembagaan untuk melakukan dialog diantara para pihak tersebut dalam perumusan kebijakan, rencana kegiatan dan dalam pelaksanaan dan pengawasannya (monitoring dan evaluasi). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan/pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS antar lain : 1. Identifikasi dan Pemetaan Para Pihak, Fungsi dan

Peran Langkah awal dalam menciptakan KISS adalah mengidentifikasi

para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS Terpadu. Kiranya perlu dicermati bahwa, secara umum, ada perbedaan fundamental antara keterlibatan lembaga-lembaga pemerintah dan pihak-pihak bukan pemerintah dalam pengelelolaan DAS. Peranan dan fungsi lembaga-lembaga pemerintah lebih fokus pada pengendalian kapasitas fungsi DAS yang dilakukan dalam bentuk kegiatan-kegiatan konservasi, rehabilitasi sumberdaya alam ataupun pengendalian banjir. Sementara, pihak-pihak bukan pemerintah (seperti petani, rumah tangga dan swasta) lebih fokus pada pemanfaatan kapasitas DAS untuk tujuan ekonomi.

Meskipun keterlibatan lembaga-lembaga pemerintah dalam pengelolaan DAS mengarah pada satu fokus, yaitu pemeliharaan, pemulihan dan pengendalian dayadukung DAS, bukan berarti tidak mungkin terjadi ketidak-harmonisan dalam keterlibatan masing-masing lembaga dalam pengelolaan DAS. Ketidak-harmonisan dapat terjadi karena adanya pertentangan kepentingan ataupun tidak adanya koordinasi antar lembaga. Permasalahan ini sangat mungkin terjadi

Page 209: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)

| 195 |

terutama bila DAS mencakup wilayah yang melintasi lebih dari satu pemerintahan kabupaten/kota. Oleh karena itu, proses identifikasi para pihak serta peran dan fungsinya harus bertitik-tolak pada prinsip dasar bahwa DAS harus dikelola sebagai satu kesatuan utuh, yang mencakup bagian hulu dan bagian hilir DAS, tanpa dibatasi oleh administrasi kewilayahan pemerintahan. Dengan demikian identifikasi harus mencakup semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS baik yang berada pada bagian hulu maupun pada bagian hilir DAS.

Tujuan yang hendak dicapai dalam melakukan identifikasi tersebut di atas untuk memberikan masukan bagi sinkronisasi fungsi dan peran para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS, baik di bagian hulu maupun di bagian hilir DAS. Sinkronisasi fungsi dan peran ini merupakan pintu masuk untuk menciptakan KISS dalam pengelolaan DAS.

Untuk itu, hasil identifikasi tersebut di atas harus digunakan sebagai bahan untuk pemetaan fungsi dan peran para pihak yang telibat dalam pengelolaan DAS. Selanjutnya, peta tersebut perlu dianalisis untuk mengidentifikasi area di mana telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi konflik kepentingan ataupun masalah koordinasi antar pihak. Setelah teridentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah merumuskan solusi guna mensinkronkan fungsi dan peran para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS.

2. Membuat Kesepakatan Mengenai Fungsi dan Peran Para Pihak

Hasil pemetaan, analisis potensi konflik dan masalah koordinasi serta alternatif solusi untuk sinkronisasi fungsi dan peran para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS harus dimusyawarahkan dengan para pihak yang terlibat. Musyawarah dimaksudkan untuk memperoleh kesepakatan mengenai fungsi dan peran para pihak dalam pengelolaan DAS. Kesepakatan-kesepakatan yang telah dihasilkan dalam musyawarah harus bersifat mengikat. Oleh karena itu, kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan harus dituangkan dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak dan akan menjadi pedoman dalam melaksanakan fungsi dan peran para pihak. Dokumen kesapakatan tersebut mestinya tidak bersifat abadi, sebab konteks pengelolaan DAS dapat berubah dalam perjalanan waktu, sehingga para pihak memungkinkan mengadaptasi perubahan tersebut dalam konteks pengelolaan DAS.

Page 210: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2007: 186-206

| 196 |

3. Pembentukan Lembaga Beserta Fungsi dan Perannya dalam Pengelolaan DAS Terpadu

Adanya kesepakatan mengenai fungsi dan peran dalam pengelolaan DAS dari masing-masing pihak belum akan efektif mencegah kemungkinan terjadinya masalah pertentangan kepentingan dan masalah koordinasi. Meskipun sudah ada kesepakatan mengenai hal tersebut, konflik dan masalah koordinasi akan selalu muncul bila masing-masing pihak bertindak langsung secara individual melaksanakan fungsi dan perannya dalam pengelolaan DAS.

Kesepakatan akan berguna mencegah terjadinya konflik dan masalah koordinasi dalam pengelolaan DAS hanya bila masing-masing pihak memainkan fungsi dan perannya melalui suatu struktur kelembagaan yang telah disepakati. Untuk itu, kelembagaan yang tepat untuk memfasilitasi keterlibatan para pihak ini adalah lembaga koordinasi atau forum pengelolaan DAS. Struktur kelembagaannya disusun sebagai berikut ini.

3.1. Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS Tingkat Nasional(LK-PDAS Nasional)

Pada tingkat nasional, dibentuk satu forum pengelola nasional DAS. Forum ini dinamakan Lembaga Kordinasi Pengelolaan DAS Tingkat Nasional (LK-PDAS Nasional). Forum ditetapkan oleh presiden dengan Keputusan Presiden (KEPPRES).

Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS tingkat Nasional bersifat non struktural, berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Keanggotaan Forum Nasional Pengelolaan DAS terdiri dari unsur pemerintah (para pimpinan departemen terkait), dan unsur bukan pemerintah seperti unsur BUMN/S, tokoh-tokoh nasional, pemerhati masalah-masalah DAS, LSM yang bergerak dalam penanganan masalah-masalah DAS pada level nasional, serta para pakar dari perguruan tinggi nasional dan lembaga penelitian, seperti LIPI dan BPPT yang mempunyai kepentingan dengan DAS. Sebaiknya, ketua forum dipilih secara demokratis dari para anggota forum.

Koordinasi Pengelolaan DAS Tingkat Nasional mempunyai tugas membantu Presiden dalam:

a. merumuskan kebijakan nasional dan strategi pengelolaan DAS; b. memberikan pertimbangan untuk penetapan DAS prioritas

nasional;

Page 211: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)

| 197 |

c. melaksanakan koordinasi dan konsultasi untuk memadukan dan menyelaraskan kepentingan antar sektor dan antar provinsi;

d. melaksanakan koordinasi dan konsultasi terhadap Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota;

e. memfasiltasi pembiayaan pengelolaan DAS yang bersumber dari dunia usaha dan masyarkat seacara transparan dan akuntabel.

f. melaksanakan pengendalian terhadap penggunaan dan pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh instansi sektoral, badan usaha dan masyarakat untuk DAS dalam lintas provinsi.

3.2. Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS Tingkat Provinsi (LK-PDAS Provinsi)

Forum pengelolaan DAS di tingkat provinsi dibutuhkan untuk pengelolaan DAS yang mencakup wilayah lebih dari satu kabupaten/kota dalam provinsi yang sama. Forum ini dinamakan Lembaga Kordinasi Pengelolaan DAS Tingkat Provinsi (LK-PDAS Provinsi). Forum ditetapkan oleh Peraturan Gubernur.

Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS tingkat Provinsi bersifat non struktural, berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Gubernur. Keanggotaan Forum Provinsi Pengelolaan DAS terdiri dari unsur pemerintah daerah (para pimpinan dinas terkait) dan unsur bukan pemerintah seperti unsur BUMN/D/S, para tokoh-tokoh provinsi, pemerhati/pakar masalah-masalah DAS setempat, LSM yang bergerak dalam penanganan masalah-masalah DAS pada level provinsi, para pakar dari perguruan tinggi setempat. Sebaiknya, ketua forum dipilih secara demokratis dari para anggota forum.

Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS tingkat Provinsi mempunyai tugas membantu Gubernur dalam:

a. merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan DAS lintaskabupaten/kota;

b. melaksanakan koordinasi dan konsultasi untuk memadukan dan menyelaraskan kepentingan antar sektor, antar wilayah dan para pemilik kepentingan lainnya dalam pengelolaan DAS lintas kabupaten/kota;

c. menyusun rencana pengelolaan DAS terpadu untuk DAS lintas provinsi;

d. menyusun rencana pengelolaan DAS terpadu untuk DAS lintas kabupaten/kota;

e. memfasiltasi pembiayaan pengelolaan DAS yang bersumber dari dunia usaha dan masyarakat secara transparan dan akuntabel.

Page 212: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2007: 186-206

| 198 |

f. melaksanakan pengendalian terhadap penggunaan dan pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh instansi sektoral, badan usaha dan masyarakat untuk DAS lintas kabupaten/kota.

3.3 Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS Tingkat

Kabupaten/Kota (LK-PDAS Kabupaten/Kota)

Forum pengelolaan DAS di tingkat kabupaten/kota dibutuhkan untuk pengelolaan DAS yang mencakup wilayah satu kabupaten/kota dalam provinsi yang sama. Forum ini dinamakan Lembaga Kordinasi Pengelolaan DAS Tingkat Kabupaten/Kota (LK-PDAS Kabupaten/Kota). Forum ditetapkan oleh peraturan Bupati/Walikota.

Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS tingkat kabupaten/kota bersifat non struktural, berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Bupati/Walikota. Keanggotaan Forum Kabupaten/Kota Pengelolaan DAS terdiri dari unsur pemerintah daerah ( pimpinan dinas teknis terkait dengan pengelolaan DAS yang menjadi objek forum) dan unsur bukan pemerintah seperti unsur BUMN/D/S, tokoh-tokoh setempat, pemerhati/pakar masalah-masalah DAS setempat, LSM yang bergerak dalam penanganan masalah-masalah DAS pada level kabupaten/kota, perguruan tinggi setempat. Sebaiknya, ketua forum dipilih secara demokratis dari para anggota forum.

Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS tingkat Kabupaten/Kota mempunyai tugas membantu Bupati/Walikota dalam:

a. merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan DAS di dalam kabupaten/kota;

b. melaksanakan koordinasi dan konsultasi untuk memadukan dan menyelaraskan kepentingan antar sektor dan para pemilik kepentingan lainnya dalam pengelolaan DAS di dalam kabupaten/kota;

c. menyusun rencana pengelolaan DAS terpadu untuk DAS di dalam kabupaten/kabupaten;

d. memfasiltasi pembiayaan pengelolaan DAS yang bersumber dari dunia usaha dan masyarakat secara transparan dan akuntabel.

Page 213: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)

| 199 |

4. Struktur Organisasi Internal Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS (LK-PDAS)

Efektivitas LK-PDAS dalam melaksanakan fungsinya sebagai sarana koordinasi sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan Pengelolaan DAS Terpadu mencapai tujuannya. Untuk mengefektifkan fungsi LK-PDAS sebagai sarana koordinasi, maka lembaga ini harus mempunyai organisasi birokratis yang kompeten dalam mendukung perannya sebagai sarana koordinasi dalam penyelenggaraan Pengelolaan DAS Terpadu.

Kondisi dan karakteristik sosial, ekonomi dan fisik DAS berbeda dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Oleh karena itu, adalah tidak tepat untuk membuat suatu desain organisasi LK-PDAS yang berlaku untuk semua DAS. Agar dapat berperan secara optimal, maka struktur organisasi internal LK-PDAS harus disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pengelolaan DAS Terpadu harus memutuskan secara musyawarah desain struktur organisasi LK-PDAS.

Dalam struktur organisasi yang disepakati, harus ditetapkan secara jelas dan tegas mengenai tugas dan fungsi dari setiap elemen organisasi. Juga, harus ada uraian yang jelas mengenai jalur otoritas dan komunikasi dalam struktur organisasi tersebut. Sebaiknya, jabatan-jabatan dalam organisasi diisi oleh para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pengelolaan DAS Terpadu.

5. Penyusunan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) LK-PDAS

Kedudukan, fungsi, mekanisme kerja, struktur organisasi internal dan pembiayaan LK-PDAS perlu diatur dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Para pihak perlu melakukan musyawarah untuk merumuskan AD/ART secara bersama-sama. AD/ART yang telah disepakati perlu dikonsultasikan dengan pemerintah setempat.

AD/ART yang telah disepakati dan disetujui oleh pemerintah perlu disahkan oleh pejabat pemerintah yang kompeten. Pengesahan LK-PDAS Nasional oleh Presiden, LK-PDAS Provinsi oleh Gubernur, dan LK-PDAS Kabupaten/Kota oleh Bupati/Walikota.

6. Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD) Sebagai Kelembagaan Implementatif yang Bersifat Sektoral dalam Pengelolaan DAS

Page 214: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2007: 186-206

| 200 |

Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD) merupakan kelembagaan implementatif yang bersifat sektoral dalam pengelolaan DAS. Sebagai eksekutor di lapangan, maka SPKD harus mensinkronkan rencana kegiatannya dengan rencana pengelolaan DAS terpadu yang telah disahkan pemerintah tersebut.

Sebelum mengajukan usulan kegiatannya yang terkait dengan pengelolaan DAS ke instansi yang menjadi atasannya, maka usulan tersebut harus disampaikan ke forum pengelolaan DAS yang terkait untuk dievaluasi konsistensinya dengan rencana pengelolaan DAS terpadu yang telah disahkan oleh pemerintah. Adanya rekomendasi dari forum atas usulan tersebut penting untuk memastikan konsistensinya dengan dengan rencana pengelolaan terpadu tersebut.

7. Peran Lembaga Kordinasi Pengelolaan DAS Terpadu (LK-PDAS) dalam Kegiatan Monitoring dan Evaluasi (MONEV)

Kegiatan monitoring dan evaluasi (MONEV) merupakan sarana untuk mengawasi pelaksanaan pengelolaan DAS agar tidak menyimpang dari rencana pengelolaan DAS terpadu yang telah disepakati dan diresmikan oleh pemerintah. Meskipun demikian, lembaga-lembaga koordinasi tidak perlu melakukan sendiri kegiatan monitoring dan evaluasi. Untuk menjaga objektivitas, maka kegiatan monev sebaiknya diserahkan kepada lembaga lain yang bersifat independen yang ditunjuk oleh pemerintah. Namun, hasil MONEV perlu dilaporkan kepada lembaga-lembaga koordinasi untuk dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam mengevaluasi dan memperbaiki rencana pelaksanaan Pengelolaan DAS Terpadu yang telah disusunnya.

8. Pemberdayaan Masyarakat Akar Rumput Untuk Mendorong Partisipasinya dalam Pengelolaan DAS Terpadu

Adalah suatu fakta bahwa masyarakat akar rumput banyak terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan DAS. Keterlibatan mereka sangat besar perannya dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan Pengelolaan DAS Terpadu. Dalam kenyataannya, keterlibatan mereka ini sering tidak kondusif bagi pelaksanaan Pengelolaan DAS Terpadu.

Paling sedikit ada dua faktor dibalik keterlibatan yang tidak kondusif tadi, yaitu (a) kemiskinan dan (b) kekurang-pahaman akan masalah konservasi sumberdaya alam dan lingkungan DAS di mana mereka melakukan aktivitas sosial-ekonominya. Mengingat peran keterlibatan mereka ini dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan

Page 215: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)

| 201 |

Pengelolaan DAS Terpadu, maka perlu upaya-upaya pemberdayaan untuk mengatasi kedua faktor tersebut. Upaya-upaya ini dapat dilakukan secara sektoral melalui kelembagaan - kelembagaan yang telah ada pada aras akar rumput, seperti kelompok tani dan kelompok tani hutan.

Lembaga swadaya masyarakat (LSM) sering efektif dalam menggerakkan masyarakat akar rumput dalam pelaksanaan suatu program pemerintah. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan LSM dalam pelaksanaan program-program pemberdayaan yang dimaksud di atas.

V. PERKEMBANGAN FORUM DAS

Lembaga koordinatif pengelolaan DAS terpadu dalam bentuk ”Forum DAS” sampai Oktober 2007 telah tercatat 41 Forum DAS yang pembentukannya diinisiasi oleh Balai Pengelolaan DAS dan instansi/lembaga lain terkait. Secara legalitas Forum DAS dibentuk dengan SK Gubernur untuk Forum DAS ditingkat propinsi, dan oleh Bupati untuk Forum DAS ditingkat kabupaten. Status 41 Forum DAS tersebut terdiri 13 forum DAS tingkat propinsi (SK Gubernur), 13 forum DAS tingkat Kabupaten/kota (SK Bupati/Walikota), 8 forum tingkat DAS yang belum mendapat pengukuhan dan 7 forum masih dalam pembentukan formatur. Sedangkan Forum DAS tingkat nasional sudah disepakati oleh para pihak terkait untuk dibentuk dengan keputusan Presiden (Tim teknis sedang mempersiapkan pembentukannya).

Forum-forum DAS yang telah terbentuk pada umumnya sudah melibatkan perwakilan dari pemangku kepentingan yaitu unsur pemerintah dan bukan pemerintah dimana ketuanya diplih secara demokratis atau kesepakatan diantara para anggotanya. Forum DAS yang ada tersebut masih belum berfungsi secara efektif antara lain karena faktor-faktor berikut : a) belum adanya persamaan persepsi antar para pihak dalam pengelolaan DAS terpadu, b) kendala yang terkait dengan kapasitas SDM dan sarana prasarana, c) masih kuatnya ego-sektoral, dan d) kendala pendanaan baik dalam forum itu sendiri maupun pembiayaan untuk pengelolaan DAS secara luas.

Masalah belum adanya persamaan persepsi terutama dalam hal tujuan bersama pengelolaan DAS, perencanaan dan implemntasi program, mekanisme kerja dan tangung jawab pendanaan. Kapasitas sumber daya manusia yang secara langsung terlibat dalam kepengurusan dan keanggotaan Forum DAS umumnya bukan personil yang memiliki kapasitas pengambilan keputusan, personil

Page 216: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2007: 186-206

| 202 |

yang mengikuti kegiatan forum tidak selalu tetap sehingga tidak ada kesinambungan informasi dan komunikasi. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam forum seperti untuk kesekretariatan dan pendukungnya masih sangat tidak memadai. Permasalahan egosektoral terkait dengan program sektor yang selalu mengutamakan kepentingan sektornya masing-masing tanpa atau kurang mempertimbangkan kepentingan atau tujuan bersama. Pendanaan operasional forum sampai saat ini masih lebih banyak mengandalkan dana dari BPDAS dan sangat sedikit forum DAS yang memiliki sumber dana lain walaupun di beberapa forum telah memliki dana dari non pemerintah seperti LSM, swasta maupun lembaga donor. Sedangkan pembiayaan pengelolaan DAS saat ini, terutama kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan masih mengandalkan dana pemerintah dan dari pemerintah daerah, kontribusi dari para pemanfaat barang dan jasa lingkungan DAS masih sangat sedikit.

Balai PDAS dalam pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS sangat berperan dalam inisiasi pembentukan dan fasilitasi berbagai kegiatan forum. BPDAS juga sebagai sumber utama dalam menyediakan data dan informasi DAS serta dibeberapa tempat BPDAS sebagai pusat pengelolaan sistem informasi DAS yang banyak dipergunakan oleh Forum DAS. Kegiatan forum DAS lainnya antara lain :

a. Mendukung penyelenggaraan kegiatan sosialisasi dan pembentukan sekretariat Gerakan Nasional Kemitraan Pengelolaan Air (GNKPA) ditingkat provinsi dan tingkat

b. kabupaten yang dilaksanakan secara terkoordinasi dengan Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Pertanian.

c. Identifikasi pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengelolaan DAS dan pengembangan database tentang stakeholders .

d. Terlibat dalam pembahasan rencana-rencana pengelolaan DAS, RHL, menyiapkan peraturan di daerah, mengorganisir kegiatan rapat-rapat koordinasi, sosialisasi kebijakan, lokakarya, workshop dan publikasi informasi DAS.

e. Beberapa anggota forum DAS telah terlibat dalam pelatihan teknis bagi petugas dan kelompok masyarakat. Masih sedikit sekali anggota forum DAS selain BPDAS terlibat dalam pemantauan dan evaluasi DAS.

Dengan kondisi dan permasalahan yang dihadapi forum DAS di daerah, maka masih perlu peningkatan kapasitas dan peran forum DAS.

Page 217: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)

| 203 |

VI. PENGELOLAAN HUTAN DALAM PENGELOLAAN DAS

Pengelolaan hutan didasarkan UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mempersyaratkan bahwa untuk mencapai pengelolaan hutan secara lestari perlu dibuat perencanaan hutan yang antara lain dengan tataguna hutan berdasarkan peruntukan fungsinya dimana dalam pelaksanaannya mempertimbangkan DAS sebagai unit analisis ekosistem. Kawasan hutan nasional di bagi dalam 3 kelas peruntukan yaitu Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Hutan konservasi berfungsi sebagai kawasan untuk melindungi keanekaragaman hayati (tingkat gen s/d ekosistem); hutan lindung diperuntukan berfungsi untuk perlindungan air dan tanah, dan hutan produksi terutama diperuntukan bagi menghasilkan kayu dan hasil hutan non-kayu. Klasifikasi peruntukan hutan tersebut antara lain mempertimbangkan faktor-faktor topografi, tanah, curah hujan, tata air, dan keanekeragaman hayati.

Dalam pasal 17 UU 41 tahun 1999 dinyatakan bahwa dalam rangka pengelolaan hutan perlu dibentuk wilayah pengelolaan hutan dalam berbagai tingkat yaitu untuk tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Penjelasan pasal 17 ayat 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK), kesatuan pengelolaan hutan kemasyarakatan (KPHKM), kesatuan pengelolaan hutan adat (KPHA), dan kesatuan pengelolaan daerah aliran sungai (KPDAS).

Dari penjelasan tersebut apabila suatu kawasan hutan dengan fungsi tertentu layak menjadi unit pengelolaan secara lestari, maka dapat dibentuk KPH berdasarkan fungsi hutan tersebut seperti KPHL, KPHK atau KPHP. Tetapi bagaimana jika suatu kawasan hutan dengan fungsi tertentu ternyata tidak layak menjadi KPH tersendiri? Mungkin sebaiknya disatukan dengan fungsi hutan lainnya menjadi satu KPH tanpa merubah fungsi hutan yang telah ditetapkan tersebut, penamaan KPHnya menurut fungsi hutan yang terluas

Page 218: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2007: 186-206

| 204 |

arealnya. Sedangkan yang dimaksud dengan Kesatuan Pengelolaan DAS (KPDAS) tidak secara langsung dan ekplisit diartikan sebagai Kesatuan Pemangkuan Hutan DAS, sehingga dalam hal ini dapat diartikan bahwa semua kawasan hutan yang berada dalam satu Satuan Wilayah Pengelolaan DAS (SWPDAS) harus dikelola secara efisien dan lestari untuk mendukung peningkatan kualitas fungsi DAS. Dalam suatu SWPDAS besar misalnya DAS Kapuas, Musi, Barito, kawasan hutan bisa terdiri dari beberapa KPH. Sebaliknya dalam satu SWPDAS yang terdiri dari beberapa DAS kecil misalnya di bagian barat Pulau Sumatera (Sumbar dan Bengkulu) atau di bagian tengah dan utara Pulau Sulawesi, maka satu KPH bisa terletak dalam beberapa DAS kecil.

Begitu pentingnya peranan hutan dalam menjaga kelestarian fungsi DAS, maka UU 41 dalam pasal 18 mengamanahkan kepada Pemerintah untuk menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.

Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Berapapun jumlah kawasan hutan dan apapun fungsi hutan dalam suatu DAS, pengelola/pemangku kawasan hutan tersebut harus tetap berusaha agar hutannya berfungsi secara baik dan lestari. Dengan kondisi hutan yang baik dan lestari tersebut akan menunjang pencapaian tujuan pengelolaan DAS terpadu yang diinginkan.

Kawasan hutan dengan masing-masing kelas peruntukannya saat ini dikelola oleh lembaga/instansi yang berbeda. Kawasan hutan konservasi saat ini terutama dikelola oleh Pemerintah melaui UPT Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Balai Taman Nasional kecuali Taman Hutan Raya yang dikelola oleh Dinas Kehutanan Provinsi. Hutan Produksi dikelola oleh BUMN dan swasta kecuali hutan produksi yang tidak/belum dibebani hak masih dikelola oleh pemerintah. Dan hutan lindung dikelola oleh Pemerintah Daerah dan atau Perhutani. Sedangakan KPH seperti yang dimaksud dalam pasal 17 UU 41 tahun 1999 untuk luar pulau Jawa belum terbentuk secara definitive tetapi Badan Planologi Kehutanan sampai tahun 2006 telah membangun 7 Model KPH di 6 provinsi dan tahun 2007 mulai diinisisasi 13 model KPH. Dalam konteks pengelolaan DAS secara terpadu, instansi/lembaga pengelola kawasan hutan atau kesatuan pemangkuan hutan yang seluruh atau sebagaian arealnya ada dalam

Page 219: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)

| 205 |

satu SWP DAS, maka pemangku hutan tersebut dalam mencapai tujuannya harus juga memperhatikan tujuan pengelolaan DAS terpadu. Karena itu para pemangku kawasan hutan harus terlibat dalam kelembagaan pengelolaan DAS secara terpadu dan dapat menunjukkan peran hutan dan kehutanan secara proporsional dan professional dalam mendukung kinerja DAS. Jangan sampai sektor kehutanan selalu disalahkan ketika terjadi banjir dan tanah longsor disuatu DAS, padahal hal tersebut tidak selalu benar. Kawasan hutan dalam suatu DAS tidak selalu dapat mengendalikan banjir dan tanah longsor. Banyak DAS yang proporsi kawasan hutannya relative kecil (<30%) sehingga sebaik apapun hutan tersebut jika kondisi curah hujan diatas normal, maka hutan tersebut tidak akan mampu mengendalikan banjir yang terjadi di DAS tersebut, dan banyak tanah longsor terjadi lebih dikarenakan oleh faktor geologi dan tanah bukan oleh tidak ada atau rusaknya hutan.

VII. PENUTUP

Pengelolaan DAS jelas melibatkan banyak pihak yang berkepentingan baik lintas sektoral maupun lintas wilayah administrasi sehingga untuk mewujudkan tujuan pengelolaan DAS terpadu diperlukan kelembagaan yang memadai yang dapat memfasilitasi koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinegi antar pihak berkepentingan tersebut. Walupun beberapa lembaga koordinatif ”Forum DAS” telah terbentuk namun masih banyak tugas dan fungsi forum belum berjalan secara optimal karena masih menghadapi berbagai kendala dan permasalahan yang cukup kompleks. Karena itu dimasa yang akan datang masih diperlukan penelitian atau kajian untuk mendukung pembinaan dan pengembangan kelembgaan DAS kearah yang lebih baik. Kebutuhan penelitian atau kajian kelembagaan tersebut antara lain:

1) Analisis posisi dan peran lembaga ditinjau dari aspek lembaga yang terlibat dalam kebijakan, program dan kegiatan dalam pengelolaan DAS.

2) Menganalisis kapasitas lembaga pemerintah yang terlibat dalam mengatasi masalah yang terjadi di DAS.

3) Menganalisis mekanisme koordinasi antar lembaga yang terlibat dalam pengelolaan DAS.

4) Merancang bangun alternatif kelembagaan pengelolaan DAS.

Kajian atau penelitian tersebut harus bersifat lokal suatu DAS karena masing-masing DAS memilki karakteristik biofisik, sosek dan

Page 220: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2007: 186-206

| 206 |

permasalahan yang berbeda satu sama lain. Kelembagaan DAS disuatu daerah belum tentu cocok untuk diterapkan di DAS lain.

DAFTAR PUSTAKA Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan.

Page 221: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 207 |

19. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)1

Oleh:

Hendro Prahasto2

ABSTRAK

Pembangunan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan bagian integral dari pembangunan nasional sehingga harus dilaksanakan secara bertanggung jawab dan transparan, untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dalam pengelolaan DAS idealnya harus tetap memperhatikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya sehingga pemanfaatan sumber daya DAS tidak hanya diarahkan untuk menghasilkan keuntungan ekonomi semata tetapi yang lebih penting adalah keberlanjutan fungsi sumber daya DAS itu sendiri untuk menopang kehidupan manusia antar generasi. Namun, dalam prakteknya seringkali terjadi penyimpangan. Para pemangku kepentingan masih banyak yang belum dapat membaca atau menginterpretasikan rencana yang telah disusun, karena kekurang-pahaman mengenai penataan ruang. Akibatnya banyak terjadi pemanfaatan yang menyimpang dari rencana yang telah ada. Selain itu, masih terikatnya masing-masing sektor oleh target sektoral yang sulit untuk menterjemahkan ke dalam ruang. Beberapa sektor atau departemen secara kelembagaan terkait dengan pengelolaan sumber daya DAS antara lain adalah kehutanan, pertambangan, pekerjaan umum, lingkungan hidup, pertanian dan pertanahan. Sampai saat ini konsep yang mapan dan jelas tentang pengelolaan DAS secara nasional belum dapat diwujudkan, karena sifatnya masif bersifat klausal dan sektoral sehingga pengelolaan DAS belum merupakan suatu pengelolaan yang terpadu, dimana semua kepentingan sektor dapat terakomodasi dan tidak menimbulkan konflik. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sama sekali tidak mengatur soal koordinasi antar sektor dalam rangka pengelolaan sumber daya alam. Namun, pengaturan mengenai koordinasi tersebut dapat ditemukan di sejumlah peraturan perundangan-undangan yang lain. Dalam pengelolaan sumber daya DAS perlu adanya koordinasi antar sektor terkait. Koordinasi tidak hanya menyangkut kesepakatan dalam satu kerjasama yang operasional sifatnya, tetapi juga koordinasi dalam pembuatan kebijakan.

1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007. 2 Peneliti pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Jl.

Gunung Batu No. 5 PO. BOX 272 Bogor 16610 Indonesia. Telp. +62-0251- 8633944 ; Fax. +62-0251-8634924

Page 222: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233

| 208 |

Koordinasi dalam kerjasama operasional dan kebijakan diharapkan akan menjamin terjadinya sinkronisasi pengelolaan sumber daya DAS, Dengan adanya koordinasi dalam penyusunan kebijakan diharapkan akan menghasilkan kebijakan yang sistematis dan tidak berbenturan satu dengan yang lain. Kata kunci: kelembagaan, koordinasi, daerah aliran sungai I. PENDAHULUAN

Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 52 Tahun 2001 yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utamanya. Sementara itu, pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan sumber daya manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya untuk mewujudkan kemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS serta kesejahteraan masyarakat.

Sampai saat ini, pengelolaan DAS yang ada belum optimal antara lain disebabkan tidak adanya keterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan DAS tersebut. Program atau kegiatan masing-masing sektor dan wilayah berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak belakang. Sulitnya koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa dengan adanya otonomi daerah, dimana masing-masing daerah berlomba memacu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Permasalahan ego-sektoral dan ego-kedaerahan akan menjadi sangat komplek pada DAS yang lintas kabupaten/kota atau propinsi. Oleh sebab itu, dalam rangka memperbaiki kinerja pembangunan DAS maka perlu dilakukan pengelolaan DAS secara terpadu.

Pengelolaan DAS terpadu adalah rangkaian upaya perumusan tujuan, sinkronisasi program, pelaksanaan dan pengendalian pengelolaan sumber daya DAS lintas pemangku kepentingan secara partisipatif berdasarkan kajian kondisi biofisik, ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan guna mewujudkan tujuan pengelolaan DAS. Pengelolaan DAS terpadu bertujuan untuk mewujudkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi berbagai pemangku kepentingan

Page 223: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)

| 209 |

yang terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan di dalam DAS agar dapat dicapai kondisi tata air DAS yang optimal, kondisi lahan yang produktif sesuai daya dukung wilayah dan daya tampung lingkungan serta meningkatnya kesejahteraan masyarakat (Departemen Kehutanan, 2006). Pengelolaan DAS terpadu dilakukan secara menyeluruh mulai dari keterpaduan kebijakan, penentuan sasaran dan tujuan, rencana kegiatan, implementasi program yang telah direncanakan serta monitoring dan evaluasi hasil kegiatan secara terpadu. Pengelolaan DAS terpadu selain mempertimbangkan faktor biofisik dari hulu sampai hilir juga mempertimbangkan faktor sosial-ekonomi, kelembagaan dan hukum.

Sampai saat ini konsep yang mapan dan jelas tentang pengelolaan DAS secara nasional belum dapat diwujudkan, karena masih bersifat klausal (sebab-akibat) dan sektoral sehingga pengelolaan DAS belum merupakan suatu pengelolaan yang terpadu, dimana semua kepentingan sektor dapat terakomodasi dan tidak menimbulkan konflik. Untuk tercapainya pembangunan DAS yang berkelanjutan, kegiatan pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan harus diselaraskan. Dalam hal ini diperlukan penyatuan kedua sisi pandang tersebut secara realitis, melalui penyesuaian kegiatan pengelolaan DAS dan konservasi daerah hulu ke dalam kenyataan-kenyataan ekonomi dan sosial. Oleh sebab itu, formulasi kebijakan yang harus dituntaskan apabila tujuan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dapat diwujudkan.

Pengelolaan DAS yang baik perlu didukung oleh kebijakan yang dirumuskan dengan baik pula. Dalam hal ini kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan DAS seharusnya mendorong dilaksanakannya praktek-praktek pengelolaan lahan yang kondusif terhadap pencegahan degradasi tanah dan air. Dengan demikian penataan dan pemanfaatan ruang di daerah hulu DAS harus dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif dan efisien dengan memperhatikan faktor politik , ekonomi, sosial dan budaya serta kelestarian lingkungan hidup. Harus selalu disadari bahwa biaya yang dikeluarkan untuk rehabilitasi DAS jauh lebih mahal daripada biaya yang dikeluarkan untuk usaha-usaha pencegahan dan perlindungan DAS. II. DEGRADASI LINGKUNGAN

Kerusakan lingkungan di Indonesia telah menjadi keprihatinan banyak pihak, timbulnya bencana alam yang silih berganti seperti bencana alam banjir, tanah longsor dan kekeringan yang akhir-akhir

Page 224: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233

| 210 |

ini cenderung meningkat, baik frekuensi maupun dampak kerusakan yang ditimbulkannya. Rusaknya wilayah hulu DAS sebagai daerah tangkapan air diduga merupakan sebagai salah satu penyebab utama terjadinya bencana alam tersebut. Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab terjadinya degradasi lingkungan antara lain adalah tekanan penduduk, krisis ekonomi, perubahan kebijakan terutama pada era otonomi daerah, dan inkonsistensi atau ketidak sesuaian antara penggunaan lahan dan ruang yang ada dengan arahan yang diperintahkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) serta lemahnya penegakan hukum.

Kegiatan pembangunan di suatu wilayah memerlukan dukungan sumber daya alam, baik sebagai wahana kegiatan, maupun sebagai faktor produksi yang dipergunakan guna menopang aktivitas kegiatan ekonomi yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan manusia. Ada keterkaitan yang sangat erat sekali antara penduduk dan sumber daya alam. Perubahan yang terjadi atas dinamika penduduk sangat berpengaruh terhadap pemanfaatan sumber daya alam, yang pada gilirannya nanti akan berdampak terhadap berbagai aspek lingkungannya. Selain tekanan penduduk, munculnya krisis ekonomi serta adanya penyerahan beberapa urusan dalam rangka otonomi daerah, juga mendorong terjadinya eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam. Dalam kondisi krisis ekonomi yang tidak kunjung usai, para pelaku ekonomi cenderung berusaha menciptakan kondisi untuk memaksimalkan keuntungan dengan cara menekan biaya produksi, termasuk upaya untuk mengurangi biaya pengelolaan lingkungan dan penerapan teknologi yang kurang ramah lingkungan. Semuanya ini berdampak negatif seperti: munculnya kasus pencemaran lingkungan (air, tanah dan udara); banjir dan kekeringan; degradasi sumber daya tanah yang berakibat terhadap penurunan produksi pertanian; hilangnya keanekaragaman hayati dan lain-lain. Kerusakan lingkungan ini diperparah lagi dengan lemahnya penegakan hukum sehingga degradasi lingkungan semakin cepat dan tidak terkendali.

Konsep pembangunan secara berkelanjutan sebenarnya sudah dicanangkan lebih dari dua dekade yang lalu, namun dalam prakteknya pembangunan di masa orde baru dan era reformasi masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, seperti pertimbangan peningkatan PAD, serta kepentingan lain yang berakar dari kondisi kemiskinan, ketidak-tahuan, ketidak-pedulian, dan keserakahan manusia. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini, tanpa

Page 225: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)

| 211 |

mengurangi kesempatan pemenuhan kebutuhan hidup generasi selanjutnya. Pembangunan berkelanjutan dicirikan dengan asas pembangunan yang memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan, dimana fungsi-fungsi dan interaksi antar komponen lingkungan diserasikan. Besarnya tekanan penduduk serta orientasi pembangunan yang berfokus pada keuntungan ekonomi sesaat, telah mengakibatkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan banyak dilanggar, sehingga keharmonisan lingkungan terganggu dan tingkat kerawanan terhadap bencana meningkat.

Hal ini tercermin dari banyaknya kerusakan lingkungan terjadi di seluruh Indonesia, termasuk di Propinsi Jawa Barat. Dari tahun 1994 sampai 2000, hutan lindung di Jawa Barat berkurang sekitar 106.851 ha (24%), sementara hutan produksi berkurang sekitar 130.589 ha (31%). Pesawahan dalam periode ini telah diubah menjadi lahan bukan pesawahan seluas kurang lebih 165.903 ha (17%). Gejala ini bisa menurunkan daya dukung lingkungan wilayah Jawa Barat (Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2000: Pola Dasar Pembangunan Jawa Barat 2001-2007). Kerusakan yang sama juga terjadi pada kawasan hutan di Jawa Barat yang luasnya 791.571 ha atau 22% daratan Jawa Barat, ternyata penutupan vegetasi hutannya hanya 9% atau sekitar 323.802 ha pada tahun 2000. Kerusakan hutan Jawa Barat diperkirakan akan semakin parah dalam waktu dekat apabila tidak dilakukan tindakan-tindakan yang memadai (BPLHD Jawa Barat, 2002).

Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat (2004) melaporkan bahwa luas lahan kritis di DAS Citarum Hulu sudah mencapai 150.000 ha, Cimanuk Hulu seluas 24.000 ha, Citanduy sekitar 64.000 ha dan lebih dari 9.000 ha lahan kritis di DAS Ciliwung Hulu. Lahan kritis adalah lahan yang keadaan fisiknya demikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air (Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 52 Tahun 2001). Adanya lahan-lahan kritis tersebut umumnya disebabkan oleh adanya kegiatan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, seperti pemanfaatan lereng bukit untuk lahan pertanian yang tidak menerapkan teknologi konservasi, perubahan fungsi kawasan lindung menjadi areal permukiman dan lain-lain.

Dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI dengan Kementerian Lingkungan Hidup tanggal 11 November 2003 mengungkapkan bahwa pembangunan lingkungan hidup masih banyak mengalami hambatan, antara lain disebabkan oleh:

Page 226: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233

| 212 |

o Masih rendahnya komitmen nasional pada prinsip pembangunan berkelanjutan.

o Masih rendahnya komitmen Kepada Daerah dan DPRD dalam menyikapi berbagai masalah lingkungan hidup di daerah, karena daerah pada umumnya masih berorientasi pada peningkatan PAD melalui eksploitasi sumber daya alam tanpa diimbangi dengan pelestarian fungsi lingkungan.

o Konflik permasalahan lingkungan hidup yang bersifat lintas daerah ditangani hanya dengan menggunakan pendekatan batas wilayah administrasi dan mengabaikan batas-batas ekologis.

o Pemekaran Propinsi, Kabupaten/Kota pada umumnya tidak berdasarkan pada kepentingan lingkungan, melainkan lebih banyak didasarkan pada kepentingan penguasaan sumber daya alam dan politik.

Di samping itu, banyaknya peraturan-peraturan yang bersifat sektoral juga memberikan kontribusi pada kekacauan pengendalian tata guna lahan di kawasan tersebut. Sementara terpecahnya lokasi kawasan pada beberapa daerah administrasi menyebabkan terjadinya perencanaan tata ruang yang kurang terpadu, serta upaya melempar tanggung jawab masalah konservasi Sumber Daya Alam (SDA) kepada pihak lain. Selain itu, sudah tidak ada harmoni diantara pemanfaat ruang dan tidak adanya kesepahaman antara perencana tata ruang dan pemanfaat ruang.

Untuk mengatasi degradasi lingkungan perlu adanya keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup. Selain itu, perlu diserasikan antara ketersediaan sumber daya alam dengan dinamika penduduk, terutama dalam memadukan dan mensinergikan dimensi ekonomi, sosial budaya dan lingkungan, penerapan teknologi ramah lingkungan, peningkatan kesadaran aparat, masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam dan menjaga kesinambungan lingkungan, peningkatan kemampuan aparat dan kelembagaan serta penegakan hukum dan perbaikan sistem/ perangkat hukum yang akomodatif, partisipatif dan adil perlu lebih ditingkatkan. Selain itu perlu ditingkatkan pula upaya-upaya strategis yang melibatkan berbagai pihak dalam pengelolaan, pengawasan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan.

III. PEMBANGUNAN KAWASAN HULU-HILIR DAS

Sumber utama terjadinya ketimpangan hubungan transaksional antara masyarakat di DAS bagian hulu dan hilir adalah kerangka kebijakan pembangunan yang terlalu memihak pada kawasan hilir.

Page 227: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)

| 213 |

Ketimpangan hubungan transaksional antara kawasan DAS (hulu-hilir) bermula dari bias kebijakan pemerintah, kemudian berlanjut pada marjinalisasi kawasan hulu. Ada kesejajaran antara kerusakan kawasan hulu dengan lemahnya berbagai faktor pendukung kawasan hulu ini. Beberapa jenis modal strategis di kawasan hulu sangat ketinggalan dibanding dengan kawasan hilir. Modal prasarana ekonomi, seperti sarana transportasi dan komunikasi, di kawasan hulu relatif sangat lemah. Dukungan kelembagaan modal finansial di kawasan hulu kalah jauh dibanding kawasan hilir. Pendirian kelembagaan ekonomi, seperti Koperasi dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Desa/Kecamatan, yang sarat dengan bantuan pemerintah lebih banyak diarahkan untuk pengembangan kawasan hilir (Pranadji, 2005).

Program yang banyak menyedot modal finansial, terutama untuk pengembangan konservasi kawasan DAS hulu, masih lebih banyak dengan pendekatan pemberian bantuan yang bersifat “cuma-cuma”. Di lapangan jarang ditemukan adanya program konservasi lahan dataran tinggi (upland areas) yang diintegrasikan langsung dengan transformasi perekonomian masyarakat setempat. Pemberdayaan masyarakat melalui pengikut-sertaan masyarakat secara menyeluruh dan komprehensif, yang mengarah pada keswadayaan masyarakat belum banyak ditemukan. Program pengelolaan kawasan hulu DAS yang melibatkan partisipatif aktif masyarakat setempat belum banyak dijalankan. Selain itu, juga belum ditemukan rancangan program rehabilitasi kawasan DAS hulu yang diintegrasikan dengan transformasi masyarakat pedesaan setempat.

Di samping itu, masyarakat yang mendiami kawasan hulu DAS umumnya mengalami tekanan relatif berat di bidang ekonomi, lingkungan alam, dan pemenuhan kebutuhan dasar yang telah berlangsung lama. Dari pengamatan di lapangan, menunjukkan bahwa modal atau sumber daya manusia di kawasan hulu DAS relatif lebih rendah dibanding kawasan hulir. Dengan tingkat kemampuannya yang serba terbatas, dan dihadapkan pada tekanan lingkungan yang serba berat, maka proses marjinalisasi masyarakat dan daerah tangkapan air di kawasan hulu DAS ini dari waktu ke waktu berlangsung semakin tajam.

Untuk mempertahan hidupnya, masyarakat di kawasan hulu DAS, yang serba terbatas kemampuannya ini, tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengeksploitasi daerah-daerah resapan air di lereng-lereng perbukitan yang curam. Kerusakan atau penghancuran modal alam (natural capital) oleh masyarakat kawasan hulu DAS

Page 228: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233

| 214 |

menjadi sulit dihindari. Untuk menghindari kerusakan lingkungan yang lebih parah, maka perlu adanya pengendalian pemanfaatan lahan, terutama di kawasan hulu DAS.

Pengendalian pemanfaatan di kawasan hulu DAS dapat dilakukan melalui perizinan pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Perizinan pemanfaatan ruang bertujuan untuk menertibkan pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang. Izin pemanfaatan ruang diatur oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Pemberian insentif bertujuan untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemangku kepentingan lainnya. Bentuk insentif tersebut antara lain dapat berupa keringanan pajak, pemberian kompensasi dan penghargaan. Sebaliknya, pemberian disinsentif bertujuan untuk mencegah atau membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang. Disinsentif antara lain dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi, kompensasi dan penalti. Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang maka penegakan hukum dapat dilakukan lebih tegas seperti pengenaan sanksi bagi seluruh pemangku kepentingan yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Bahkan, dalam peraturan tersebut, sanksi juga dikenakan kepada pejabat pemerintah yang menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

IV. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS

Sampai saat ini perekonomian Indonesia masih tergantung pada sektor sumber daya alam. Hal ini diperparah oleh pola pengelolaan sumber daya alam dengan pendekatan sektoral. Dengan demikian dalam satu wilayah DAS akan terdapat banyak pihak dengan masing-masing kepentingan, kewenangan, bidang tugas dan tanggung jawab yang berbeda, sehingga tidak mungkin dikoordinasikan dan dikendalikan dalam satu garis komando. Pendekatan sektoral yang selama ini digunakan dalam prakteknya sulit untuk dikoordinasikan, diintegrasikan dan disinergikan sehingga seringkali terjadi konflik kepentingan antar sektor.

Oleh karena itu koordinasi yang dikembangkan adalah dengan mendasarkan pada hubungan fungsi melalui pendekatan keterpaduan. Diantara pemangku kepentingan yang terlibat harus dikembangkan prinsip saling mempercayai, keterbukaan, tanggung jawab, dan saling

Page 229: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)

| 215 |

membutuhkan. Dengan demikian dalam pelaksanaan pengelolaan DAS terpadu ada kejelasan wewenang dan tanggung jawab setiap pihak (siapa, mengerjakan apa, bilamana, dimana, dan bagaimana). Mengingat batas satuan wilayah DAS tidak selalu bertepatan (co-incide) dengan batas unit administrasi pemerintahan, sehingga koordinasi dan integrasi antar pemerintahan otonom, instansi sektoral dan pihak-pihak terkait lainnya menjadi sangat penting.

A. Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Meningkatnya degradasi sumber daya alam pada kawasan DAS akibat kesalahan karena masalah struktural, yaitu kesalahan pengelolaan (mismanagement) DAS. Setiap instansi yang terkait dalam pengelolaan DAS melakukan tupoksinya (tugas pokok dan fungsi) masing-masing secara parsial. Selain parsial, terjadi pula konflik kepentingan, karena belum jelasnya kewenangan dan ”aturan main” dalam pengelolaan sumber daya dalam suatu DAS. Hal ini disebabkan sampai saat ini belum ada konsep yang komprehensif dan holistik tentang kelembagaan pengelolaan DAS, sehingga pengelolaan DAS belum merupakan suatu pengelolaan yang terpadu, dimana semua kepentingan sektor dapat terakomodasi dan tidak menimbulkan konflik.

Beberapa pertimbangan yang mengharuskan pengelolaan DAS dilakukan secara terpadu adalah: (i)Terdapat keterkaitan antar berbagai kegiatan (multi sektor) dalam pengelolaan sumber daya dan pembinaan aktifitasnya; (ii) Batas DAS tidak selalu bertepatan dengan batas wilayah administrasi pemerintahan; (iii) Interaksi daerah hulu sampai hilir yang dapat berdampak negatif maupun positif sehingga memerlukan koordinasi antar pemangku kepentingan. Oleh sebab itu perlu adanya adanya penataan ruang di wilayah DAS yang berasaskan keterpaduan, keserasian, keselarasan, keseimbangan, keberlanjutan, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan.

Keterpaduan mengandung pengertian bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Sementara itu, keserasian, keselarasan, keseimbangan mengandung makna bahwa penataan ruang diselenggarakan untuk mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antar daerah Undang-Undang (UU Nomor 26 Tahun 2007). Penataan ruang di wilayah DAS juga harus dilakukan secara berkelanjutan untuk menjamin kelestarian dan

Page 230: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233

| 216 |

kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan sehingga dapat mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang berada di dalamnya.

Lahirnya UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pada awalnya diharapkan mampu memunculkan koordinasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Harapan tersebut cukup rasional, karena secara normatif UU Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa dalam rangka mendayakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteran umum seperti diamanatkan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijakan nasional terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan.

1. Kebijakan di Tataran Pusat

Kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang terpadu dan menyeluruh diperlukan adanya koordinasi antar sektor yang terkait. Namun, dalam kenyataan pasca diberlakukannya UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, koordinasi dalam pengelolaan sumber daya alam antar sektor terkait belum terwujud. Sebaliknya, dalam era reformasi justru banyak lahir UU yang sifatnya sektoral seperti UU Nomor 41 tTahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, sehingga aroma ego-sektoral sangat dominan. Hal ini berdampak pada semakin ruwetnya regulasi pengelolaan sumber daya alam, karena penyusunan rencana dan implementasi kebijakan dari masing-masing sektor masih berjalan sendiri-sendiri.

Beberapa sektor atau departemen/non-departemen secara kelembagaan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, antara lain adalah kehutanan, pekerjaan umum, energi dan sumber daya mineral, pertanian dan perkebunan, kelautan dan perikanan, pertanahan, dan lingkungan hidup. Kewenangan masing-masing sektor atau departemen/non-departemen telah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen, dan Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara.

Page 231: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)

| 217 |

Untuk melaksanakan tugas dan fungsi pokoknya masing-masing departemen/non-departemen, perlu adanya koordinasi antar sektor dalam pembuatan kebijakan. Ketentuan ini telah diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Pasal 18 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa rancangan UU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh Menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-departemen, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung-jawabnya. Selanjutnya pada ayat (2) dalam pasal yang sama menyatakan bahwa pengharmonisan, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang undangan. Dalam Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001, tugas koordinasi tersebut dilimpahkan kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, yang sekarang berubah menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hanya sayang, dalam Keputusan Presiden tersebut metoda, definisi, maksud dan tujuan koordinasi tidak diuraikan lebih lanjut.

Untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi antar sektor dalam pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara Koordinator. Menurut Pasal 2 Keputusan Presiden ini, Menteri Koordinator mempunyai tugas membantu Presiden dalam mengkoordinasikan dan menyinkronkan penyiapan dan penyusunan kebijakan serta pelaksanaannya di bidang tertentu dalam kegiatan pemerintahan negara. Dalam kasus pengelolaan sumber daya alam maka Menteri Koordinator yang bertanggung jawab adalah Menteri Koordinator Perekonomian.

Dalam melaksanakan tugasnya, Menteri Koordinator Perekonomian menyelenggarakan fungsi: a. pengkoordinasian para Menteri Negara dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen dalam keterpaduan pelaksanaan tugas di bidang perekonomian, termasuk pemecahan permasalahan dalam pelaksanaan tugas; b. pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan

dalam penyiapan dan perumusan kebijakan pemerintahan Kantor Menteri Negara, Departemen, dan Lembaga Pemerintah Non Departemen di bidang perekonomian; c. pengendalian penyelenggaraan kebijakan, sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. Dalam menyelenggarakan fungsinya, Menteri Koordinator Perekonomian antara lain mempunyai kewenangan: a. penetapan

Page 232: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233

| 218 |

kebijakan secara makro untuk keterpaduan dan sinkronisasi seluruh kebijakan lembaga Pemerintah di bidangnya; b. perumusan dan penetapan agenda dan prioritas kebijakan secara makro di bidangnya; c. penyusunan rencana makro untuk menyinkronkan rencana dan program lembaga Pemerintah di bidangnya.

Pelaksanaan koordinasi oleh Menteri Koordinator dapat dilakukan melalui rapat koordinasi Menteri Koordinator atau koordinasi gabungan antar Menteri Koordinator, rapat-rapat kelompok kerja yang dibentuk oleh Menteri Koordinator, forum-forum koordinasi yang sudah ada, dan konsultasi langsung dengan para Menteri, Pemimpin Lembaga Pemerintah Non-Departemen, dan pimpinan lembaga lain terkait.

Dalam Pasal 76 Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 menyebutkan dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangannya Menteri yang memimpin Departemen berkoordinasi dan saling berkonsultasi sesama Menteri Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen, dan Pimpinan Lembaga terkait. Hal yang sama juga berlaku bagi setiap pimpinan satuan organisasi dalam melaksanakan tugas wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi serta bekerja sama baik dalam lingkup internal maupun eksternal Departemen.

Dengan demikian jelas bahwa perangkat kebijakan di tataran pusat untuk pengelolaan sumber daya alam telah diatur dengan jelas. Hanya saja dalam implementasinya di lapangan tidak seluruhnya berjalan mulus sehingga masing-masing sektor seringkali masih berjalan sendiri-sendiri dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumber daya alam.

2. Kebijakan di Tataran Provinsi dan Kabupaten/Kota

Sejak berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, muncul beberapa UU sektoral yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam. Beberapa diantaranya adalah UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, dan UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,

Dalam rangka melaksanakan ketentuan UU, Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden, masing-masing sektor menerbitkan Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Karena

Page 233: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)

| 219 |

sifatnya sebagai kebijakan sektoral, maka Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri kadangkala bertabrakan antara sektor satu dengan yang lain. Selain kebijakan yang bersifat sektoral, masing-masing Pemerintahan Daerah juga mengatur kebijakan pengelolaan sumber daya alam di daerahnya baik dalam bentuk Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota atau Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota atau Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.

Uleh karena itu tidak mengherankan bahwa dalam suatu kawasan diatur oleh banyak peraturan perundangan yang bersifat sektoral yang seringkali bertentangan satu dengan yang lain sehingga berdampak terhadap kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan karena cara pandang masing-masing sektor terhadap sumber daya alam yang terkotak-kotak dan tidak terintegrasi sehingga melahirkan kebijakan yang sifatnya sangat sektoral. Menyadari bahwa permasalahan pengelolaan sumber daya alam disebabkan oleh adanya cara pandang yang keliru terhadap sumber daya alam, maka dalam hal pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan dengan pendekatan holistik. Sumber daya alam seharusnya dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya alam tidak dibatasi oleh kewenangan sektoral dan administratif belaka, sehingga dalam implementasi kebijakan memerlukan koordinasi dan keterpaduan antar sektor dan antar daerah. Menyadari sulitnya untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi program sektoral dan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka melalui Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, diharapkan hubungan antar sektor dan pusat-daerah menjadi lebih jelas.

Pemerintahan Daerah, menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama

Page 234: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233

| 220 |

antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah. Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, berusaha untuk menjembatani kewenangan daerah terkait dengan UU sektoral. Namun, dalam rumusan kewenangan terdapat perbedaan yang cukup mendasar mengenai kewenangan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam. Sebagai contoh, dalam pengaturan sumber daya air, Pemerintahan Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) memiliki kewenangan yang setara dengan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan tatarannya. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan dalam penetapan: kebijakan pengelolaan, pola pengelolaan, rencana pengelolaan, pengelolaan kawasan lindung sumber air, dan pembentukan wadah koordinasi sumber daya air. Demikian pula kewenangan pemerintahan daerah dalam penataan ruang di era otonomi daerah cukup besar. Kewenangan pengaturan yang diberikan kepada pemerintahan daerah adalah penetapan Peraturan Daerah (PERDA) bidang penataan ruang, penetapan penataan ruang perairan, penetapan criteria penentuan dan perubahan fungsi kawasan/lahan, dan penetapan kawasan strategis di tingkat provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan tatarannya. Sebaliknya, dalam pengelolaan DAS kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota hanya terbatas pada pertimbangan teknis dalam penyusunan rencana pengelolaan dan pertimbangan teknis penyelenggaraan pengelolaan DAS skala kabupaten/kota. Keterbatasan kewenangan yang sama juga berlaku bagi Pemerintahan Daerah Provinsi. Penetapan DAS prioritas dan penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu masih ditangani oleh Pemerintah Pusat.

Sementara itu, keberhasilan pengelolaan sumber daya air tidak terlepas dari keberhasilan pengelolaan DAS, dan keberhasilan pengelolaan DAS tidak terlepas dari keberhasilan penataan ruang di kawasan konservasi atau kawasan lindung. Dengan adanya kesenjangan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya air, penataan ruang dan pengelolaan DAS, maka pemerintah daerah akan cenderung menggunakan kewenangan yang dimiliki dalam pengelolaan sumber daya air dan penataan ruang

Page 235: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)

| 221 |

untuk menata kawasan hulunya tanpa memperhatikan DAS sebagai satuan perencanaan. Dengan memperhatikan kemampuan, situasi dan kondisi daerah, sebaiknya Pemerintah Pusat dapat menyerahkan kewenangan penetapan rencana pengelolaan dan rencana pengelolaan DAS kepada daerah berdasarkan asas desentralisasi. Pada era otonomi daerah, sudah selayaknya bila pemerintah daerah memiliki kewenangan yang semakin besar dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan yang ada di daerahnya masing-masing, dengan mempertimbangkan adanya keserasian dan keterpaduan antar daerah dan antara pusat dan daerah agar tidak menimbulkan kesejanjangan antar daerah.

B. Implementasi Kebijakan Pengelolaan DAS

1. Praktek Pengelolaan DAS

Perencanaan DAS memegang peranan penting karena akan menentukan keberhasilan pencapaian tujuan. Perencanaan DAS mempunyai keterkaitan dan keterpaduan antar sektor dengan memperhatikan kepentingan masyarakat lokal, regional dan nasional yang berwawasan lingkungan. Namun, fakta yang ditemukan di lapang yang terkait dengan perencanaan DAS masih sangat jauh dari pengertian perencanaan DAS terpadu. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak-pihak terkait, terungkap bahwa penyusunan rencana pengelolaan DAS secara terpadu belum dilaksanakan oleh institusi-institusi pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan DAS atau pemanfaatan lahan di kawasan DAS. Perencanaan DAS cenderung masih disusun secara sektoral dan wilayah. Pada saat penyusunan rencana pada umumnya institusi tersebut melakukan identifikasi masalah, pengumpulan data primer/sekunder, penentuan skala prioritas dilakukan secara sendiri-sendiri, dan pada umumnya tidak melakukan koordinasi dengan instansi lain yang terkait. Masukan data dan informasi dari instansi lain untuk penyempurnaan program atau kegiatan di suatu kabupaten baru dilakukan setelah rencana atau program/kegiatan tersebut di bahas pada tataran kebupaten yang dikoordinasi oleh Bappeda. Mengingat program atau kegiatan institusi teknis tersebut pada umumnya terkait dengan misi dari departemen atau non-departemen yang ada di pusat, dan pada umumnya telah dianggarkan sehingga masukan yang diberikan oleh intutusi lain yang terkait pada umumnya tidak banyak berpengaruh terhadap program atau kegiatan yang telah ditetapkan oleh instansi teknis tersebut.

Seharusnya perencanaan DAS disusun secara konsepsional dan terpadu dalam satu kesatuan yang utuh dari berbagai perencanaan

Page 236: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233

| 222 |

kegiatan sumber daya yang ada di wilayah tersebut. Perencanaan DAS seharusnya dilaksanakan secara transparan, partisipatif, terpadu dengan memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah. Suatu perencanaan memerlukan penjabaran dan analisis dari masalah dan penyelesaiannya berdasarkan informasi yang ada serta kajian yang komprehensif. Rencana Pengelolaan DAS terpadu merupakan rencana jangka panjang yang bersifat strategis, dengan rentang waktu rencana disesuaikan dengan rencana pembangunan daerah bersangkutan dengan unit analisis DAS. Rencana jangka menengah bersifat semi detail pada tingkat wilayah yang lebih kecil seperti tingkat Sub DAS, sedangkan rencana jangka pendek merupakan rencana implementasi dan rencana teknis pada tingkat tapak. Untuk kesuksesan suatu proses perencanaan maka perlu ada suatu konsep strategi dan implementasi perencanaan yang jelas. Strategi perencanaan mengakomodasi rencana mendesak, rencana jangka pendek, rencana jangka menengah dan rencana jangka panjang.

Dengan perencanaan yang masih bersifat sektoral maka program atau kegiatan yang terkait dengan pengelolaan DAS masih dilakukan oleh berbagai instansi pemerintah di tataran kabupaten/kota atau propinsi yang secara teknis berada di bawah Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Pertambangan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, juga masih dilakukan secara sektoral.

Masalah menonjol yang masih banyak ditemui di lapangan adalah pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Banyaknya pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan di daerahnya antara lain disebabkan oleh:

o Pertambahan penduduk yang sangat cepat, o Perencanaan pembangunan yang tidak matang dan selalu

ketinggalan, o Persepsi para perancang dan pelaksana belum sama dan belum

berkembang, o Pelaksanaan yang tidak sesuai dengan perencanaan, o Kebutuhan pembangunan yang mendesak, dan o Para perencana yang belum berwawasan lingkungan dengan tidak

berpandangan ke depan.

Hal-hal inilah yang menyebabkan pembangunan di daerah sulit dikontrol sehingga terjadilah kerancuan pemanfaatan tata ruang. Dari hasil analisis yang dilakukan juga ditemukan beberapa permasalahan dalam pemanfaatan lahan antara lain:

Page 237: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)

| 223 |

o Para pelaku pembangunan belum memahami secara lengkap mengenai pentingnya keputusan-keputusan tersebut dalam pemanfaatan ruang. Selain itu, masih banyak yang belum dapat membaca atau menginterpretasikan rencana yang telah disusun karena kekurang-pahaman mengenai penataan ruang.

o Masih terikatnya masing-masing sektor oleh target sektoral yang sukar untuk menterjemahkan ke dalam ruang. Saat ini, masing-masing sektor memiliki target tertentu berdasarkan interpretasi terhadap sektor makro. Sebenarnya, hal ini bukan masalah dari sektor tersebut, melainkan masalah dalam proses tersebut.

o Sukarnya membentuk keterpaduan dana sehingga dalam pelaksanaannya sering digunakan dana yang dimiliki oleh sektor tersebut sendiri, atau tidak meratanya dana yang disalurkan untuk melaksanakan kegiatan yang telah ditetapkan di dalam rencana tata ruang.

o Kurang serasinya pemanfaatan sumber daya lahan oleh dunia usaha karena belum adanya rencana tata ruang yang diacu. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan pemukiman skala besar oleh swasta yang menyebar.

o Kurang jelasnya pihak yang bertanggung jawab dalam proses perubahan tata guna lahan, termasuk kriteria yang digunakan untuk melakukan perubahan tersebut. Akibatnya banyak lahan yang berubah fungsinya tanpa arah, seperti terjadinya perubahan lahan irigasi teknis untuk kegiatan pembangunan lainnya. Hal ini dapat memberi dampak bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat, seperti hilangnya mata pencaharian mereka dan semakin tersisih oleh pendatang. Di samping itu, alih guna lahan tersebut juga menimbulkan kerugian bagi pemerintah, karena investasi irigasi yang telah dibangun dengan biaya cukup besar akhirnya tidak dapat dimanfaatkan lagi.

Selain itu, juga terjadi masalah dalam pelibatan pemangku kepentingan dalam pembangunan di suatu daerah. Kebijakan yang dirumuskan untuk mencapai sasaran perencanaan pada umumnya hanya melihat dari sisi satu pemangku kepentingan saja yaitu pemerintah. Pembangunan daerah tidak hanya diselenggarakan oleh pemangku kepentingan pemerintah saja, tetapi juga oleh pihak swasta atau dunia usaha, dan masyarakat. Rancangan yang ada kurang peka terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat sehingga pendekatan perencanaan untuk sebuah daerah yang satu dan daerah lainnya sering

Page 238: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233

| 224 |

kali sama. Hal ini sering mengakibatkan perencanaan daerah tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Kegiatan monitoring dan evaluasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari kegiatan pengelolaan DAS secara terpadu. Berdasarkan hasil wawancara pada pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan DAS menunjukan bahwa monitoring dan evaluasi yang dilakukan hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan proyek di lingkup masing-masing institusi pemangku kepentingan tersebut. Monitoring yang dilakukan lintas instutusi yang dilakukan secara menyeluruh belum pernah dilakukan. Pelibatan personal dari instansi lain dalam kegiatan monitoring dan evaluasi hanya terbatas pada kegiatan fisik di lapang. Hasil monitoring dan evaluasi dari kegiatan institusi teknis pada umumnya tidak didistribusikan ke institusi teknis lain yang memiliki kegiatan yang berbeda pada lokasi DAS yang sama. Institusi di tataran kabupaten yang menerima hasil monitoring dan evaluasi kegiatan pengelolaan di suatu DAS dari institusi teknis hanya Bappeda. Mengingat terbatasnya kapasitas yang dimiliki oleh Bappeda di tataran kabupaten, hasil monitoring dan evaluasi yang telah dilaporkan pada umumnya hanya dikompilasi dan tidak banyak diinformasikan atau dimanfaatkan oleh institusi teknis atau pemangku kepentingan lainnya yang ada di daerah tersebut. Untuk itu dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS terpadu perlu diciptakan bagaimana mekanisme monitoring dan evaluasi dilakukan termasuk parameter-parameternya dan bagaimana informasi hasil monitoring dan evaluasi tersebut dapat diakses oleh seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat.

2. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan DAS

Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah baik di masa Orde Baru maupun era Reformasi, masih menganut paradigma pembangunan yang semata-mata menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Sumber daya alam dilihat sebagai modal yang akan tersedia secara terus-menerus, sementara pengelolaan lingkungan dianggap sebagai beban. Walaupun, ruang untuk partisipasi masyarakat pada era reformasi ini sudah lebih besar daripada ketika masa orde baru, namun bukan berarti masyarakat sudah dapat secara efektif ikut mempengaruhi kebijakan. Selama ini pemanfaatan sumber daya alam dilakukan hampir tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, terutama masyarakat setempat. Masyarakat merupakan unsur pelaku utama, sedangkan pemerintah sebagai unsur pemegang otoritas kebijakan, fasilitator dan pengawas yang direpresentasikan oleh instansi-intansi sektoral Pusat dan

Page 239: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)

| 225 |

Daerah. Masyarakat berperan penting dalam pengelolaan sumber daya alam. Peran masyarakat selain relevan bagi mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang merata, berdasarkan prinsip kebersamaan dan keseimbangan, untuk mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi, konflik sosial dan budaya dan mewujudkan perlindungan hukum bagi masyarakat lainnya, juga relevan bagi tujuan untuk melestarikan fungsi sumber daya alam yang berkelanjutan. Oleh sebab itu peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk mendorong perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam.

Dalam banyak hal, suara-suara masyarakat lokal dan marjinal tetap tidak didengar oleh para pembuat keputusan. Protes terhadap kebijakan tertentu yang dirumuskan pemerintah dan DPR sering tidak didengar. Dalam situasi di mana masyarakat tidak dapat menyampaikan pendapatnya dengan leluasa dan aman, perumusan kebijakan tetap akan didominasi oleh pemerintah dan legislatif. Hal ini akan mempertajam konflik yang ada sehingga akan memperburuk krisis lingkungan dan sumber daya alam.

Agar perannya dapat dilaksanakan, masyarakat harus memiliki hak-hak mendasar dalam pengelolaan sumber daya alam. Hak harus dijamin dalam (a) memperoleh keadilan, (b) mendapatkan kesempatan dalam menikmati hasil pemanfaatan SDA, (c) memperoleh informasi yang benar, akurat dan tepat waktu, (d) memberikan persetujuan atas rencana pengelolaan sumber daya alam yang akan berakibat pada kehidupannya, (e) memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat dari pemanfaatan SDA, (f) mendapat perlindungan untuk mempunyai hubungan sepenuhnya dengan SDA di wilayah negara Indonesia.

Dengan adanya ketentuan tersebut maka masyarakat akan memiliki peran yang lebih besar dalam proses pembuatan keputusan. Dengan demikian posisi masyarakat menjadi lebih kuat. Namun, hal ini dapat menjadi ancaman bagi sektor yang masih mengedepankan paradigma yang hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi dengan mengeksploitasi sumber daya alam, sebagaimana yang berlaku selama ini.

3. Peraturan Perundangan dan Penegakan Hukum

Persoalan krusial yang dihadapi oleh DAS seperti DAS Citarum adalah menumpuknya peraturan perundang-undangan (UU, PP, KEPPRES, PERDA, PERMEN, PERGUB, PERBUP) yang dikeluarkan oleh berbagai instasi baik di pusat maupun daerah terkait

Page 240: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233

| 226 |

untuk mengelola DAS. Sebagai gambaran, diperkirakan ada sekitar 40-50 peraturan yang terkait dengan pengelolaan DAS Citarum.

Beberapa peraturan perundang-undangan di tataran nasional (UU dan PP) yang terkait dengan pengelolaan DAS antara lain adalah:

o Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

o Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

o Undang Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman

o Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

o Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan o Undang Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan

Varietas Tanaman o Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya

Air o UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan o Undang Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan o Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Kehutanan

Perikanan o Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah o Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah o Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang o Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan

Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peranserta Masyarakat dalam penataan ruang

o Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

o Peraturan Pemerintah No 77 Tahun 2001 tentang Irigasi o Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan

Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air o Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 100 Tahun

2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara Koordinator

Page 241: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)

| 227 |

o Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara

o Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen

o Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Selain banyaknya peraturan perundangan baik di tataran pusat

maupun daerah, penyebab terjadinya kerusakan lingkungan di kawasan DAS, berdasarkan pengamatan di lapangan adalah lemahnya penegakan hukum (law enforcement). Diterbitkannya peraturan perundang-undangan (Undang Undang dan Peraturan Pemerintah) dengan tujuan agar pengelolaan sumber daya DAS dapat dilakukan secara tertib dan berwawasan lingkungan. Namun, dalam kenyataannya peraturan perundang-undangan yang ada sering dilanggar. Pelanggaran tidak diikuti dengan sanksi maupun hukuman yang tegas, walaupun sudah dinyatakan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Pengawasan dari pihak berwenang seringkali tidak dilakukan. Kasus yang sering dijumpai di lapangan adalah pembuangan sampah di drainase atau sungai. Drainase atau sungai adalah sebagai jalan air yang berfungsi untuk mengalirkan kelebihan air. Namun, karena drainase atau sungai juga berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah, maka fungsi drainase atau sungai tidak dapat berfungsi dengan baik, dan hal ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya banjir di wilayah hilir. Pembuangan sampah ke drainase atau sungai dapat dikatakan sebagai salah satu contoh bentuk pelanggaran yang dilakukan secara kolektif dan tidak ada sanksi.

Pelanggaran peraturan perundang-undangan yang juga sering terjadi adalah adanya bangunan permanen yang didirikan di bantaran drainase atau sungai. Peraturan tentang garis sempadan sungai telah diterbitkan namun tetap dilanggar. Penegakan hukum sulit dilakukan tatkala penghuni atau pemilik bangunan memiliki izin untuk mendirikan bangunan di sempadan sungai yang dikeluarkan oleh instansi resmi. Pemilik atau penghuni umumnya juga memiliki bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan juga bukti pembayaran rekening listrik, sehingga dengan izin dan bukti pembayaran dianggap sebagai bukti pengesahan untuk bangunan tersebut.

Page 242: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233

| 228 |

Pelanggaran peraturan perundang-undangan yang sangat serius adalah perubahan tata guna lahan yang tidak terkendali. Hal ini dapat mengakibatkan dampak negatif baik langsung maupun tidak langsung terhadap penurunan daya dukung lingkungan dan sumber daya air. Di daerah hulu DAS pada umumnya memiliki pesona pemandangan alam yang indah sehingga tumbuh bangunan-bangunan permanen secara pesat seperti rumah, perumahan elit, hotel dan restoran. Perubahan fungsi lahan ini berakibat terjadinya banjir di daerah hilir menjadi lebih besar dan cadangan air di dalam tanah semakin berkurang.

Dengan melihat kenyataan di lapangan tersebut maka penegakan hukum perlu terus dilakukan dengan berbagai cara dan upaya. Beberapa cara dan upaya yang dapat dilakukan antara lain adalah:

o Sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan kepada seluruh pemangku kepentingan.

o Perlu adanya shock therapy dengan menerapkan sanksi, denda atau hukuman maksimal dari peraturan yang ada. Hal ini dimaksudkan agar pemangku kepentingan menjadi jera dan mau mentaati peraturan yang berlaku.

o Perlu adanya lembaga pengawasan melekat pada instansi yang berkompeten, yang berfungsi mengawasi pengelolaan sumber daya DAS

Dengan diberlakukannya UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang diharapkan perubahan tata guna lahan di kawasan lindung atau konservasi dapat dicegah dan hukum dapat ditegakan tanpa pandang bulu.

C. Lembaga Pengelolaan DAS

Kesulitan yang dihadapi dalam mengintegrasikan pengelolaan DAS ke dalam konsep multisasaran seringkali tidak disadari oleh kebanyakan pengelola DAS. Pada tingkat awal, dapat saja sasaran atau tujuan pengelolaan didasarkan pada orientasi sumber daya. Namun pengambil keputusan juga harus menyadari adanya implikasi pengelolaan multisasaran yang berorientasi pada wilayah yang harus diperhitungkan, terutama apabila DAS sebagai unit analisis mencakup wilayah yang luas. Pengambil keputusan juga harus menyadari bahwa dalam usaha mengintegrasikan pengelolaan DAS kedalam konsep multisasaran, kemungkinan akan terjadi benturan kepentingan mengenai formulasi kebijakan pengelolaan sumber daya dan

Page 243: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)

| 229 |

mekanisme kerja kelembagaan yang terlibat. Agar penggabungan konsep multisasaran ke dalam pengelolaan DAS dapat berjalan efektif, diperlukan beberapa hal:

1. Pengukuran output dari berbagai sumber daya yang ada di tempat tersebut dan alternatif sistem pengelolaan multisasaran yang sedang diterapkan.

2. Pemahaman tentang besarnya biaya dan manfaat dari masing-masing aktivitas pengelolaan yang diusulkan.

3. Pengukuran kemungkinan timbulnya dampak di daerah hilir akibat aktivitas pengelolaan di daerah hulu seperti banjir di daerah hilir akibat meluasnya konversi hutan menjadi areal non-hutan.

Hal yang sering dijumpai dalam pengelolaan DAS di Indonesia adalah adanya fragmentasi kegiatan pengelolaan DAS antar departemen utama yang terkait dan lembaga non-departemen lainnya. Konsekuensi dari hal tersebut adalah adanya pembagian kewenangan. Pelaksana pengelolaan DAS di daerah hulu melibatkan Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian dan Departemen Dalam Negeri. Sementara di daerah tengah dan hilir, Departemen Pekerjaan Umum, mempunyai wewenang mengelola daerah irigasi. Di daerah hilir (wilayah pantai) Departemen Kehutanan juga mempunyai wewenang mengelola hutan mangrove selain Departemen Kelautan dan Perikanan yang bertanggung jawab terhadap aspek perikanan. Dengan demikian, keterlibatan dan wewenang masing-masing departemen di seluruh wilayah DAS adalah saling mengisi. Namun demikian, pada setiap daerah tersebut dapat ditentukan departemen yang mempunyai tanggung jawab lebih besar (leading agency). Beberapa departemen yang juga mempunyai kewenangan terhadap pengelolaan sumber daya alam DAS dapat disebutkan antara lain Departemen Perindustrian, Departemen Energi dan Sumber daya Mineral, dan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Pengelolaan DAS yang efektif selain memerlukan penegasan isu-isu atau permasalahan penting yang memerlukan penanganan segera juga pembagian kewenangan pengelolaan. Dengan demikian, masalah mekanisme koordinasi kelembagaan dalam pelaksanaan program pengelolaan DAS menjadi salah satu kunci keberhasilan. Selain masalah kelembagaan dan wewenang pengelolaan sumber daya, tidak kalah pentingnya adalah perumusan secara jelas permasalahan biogeofisik (kemerosotan sumber daya hutan, tanah dan air) dan sosial ekonomi (konflik pemanfaatan sumber daya dan peningkatan pendapatan petani).

Page 244: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233

| 230 |

Dalam pengelolaan DAS terpadu mempersyaratkan pendekatan ekosistem. Pendekatan ekosistem adalah kompleks karena melibatkan multi-sumber daya (alam dan buatan), multi-kelembagaan, multi-pemangku kepentingan, dan bersifat lintas batas (administratif). Dalam konteks Indonesia, pola pengelolaan DAS yang akan diterapkan masih bertumpu pada mekanisme koordinasi. Oleh karenanya, koordinasi dalam pengelolaan DAS menjadi elemen penting untuk terlaksananya pengelolaan DAS secara optimal.

Fungsi koordinasi adalah proses pengendalian berbagai kegiatan, kebijakan atau keputusan berbagai organisasi/lembaga sehingga tercapai keselarasan dalam pencapaian tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran umum yang telah disepakai bersama. Koordinasi mencakup dua aspek, yaitu (i) koordinasi kebijakan dan (ii) koordinasi kegiatan atau program.

Koordinasi kebijakan secara umum menyerupai koordinasi dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Pengelolaan DAS melibatkan beberapa departemen sektoral yang masing-masing departemen membuat kebijakan pengelolaan sumber daya sesuai dengan kepentingan sektornya masing-masing. Keadaan ini mengakibatkan tumpang-tindih kebijakan dan bahkan tabrakan kepentingan antar departemen sektoral. Untuk mencegah dan atau menyelesaikan permasalahan tersebut perlu dilakukan koordinasi. Koordinasi kebijakan dibedakan (i) koordinasi kebijakan preventif dan (ii) koordinasi kebijakan strategis. Koordinasi kebijakan preventif bertujuan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya tabrakan kepentingan antar instansi terkait. Koordinasi kebijakan strategis ditujukan untuk penyelarasan kebijakan agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai.

Koordinasi program secara umum lebih berkaitan dengan koordinasi kegiatan administratif. Koordinasi program dibedakan (i) koordinasi administrasi prosedural dan (ii) koordinasi administrasi subtansial. Koordinasi administrasi prosedural bertujuan untuk menciptakan efisiensi administrasi dan konsistensi dalam mencapai tujuan yang telah disepakati, sedangkan koordinasi administrasi subtansial bertujuan untuk menciptakan keselarasan kerja dan kegiatan (sinergi), bagi setiap unit organisasi dan perorangan demi tercapainya tujuan yang telah disepakai.

Prinsip dasar dalam penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu adalah mekanisme penyusunannya dilakukan secara partisipatif. Begitu pula pada kegiatan-kegiatan selanjutnya yaitu

Page 245: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)

| 231 |

pelaksanaan, pemantauan, dan penilaian hasil-hasilnya. Untuk menjaga keterpaduan agar tetap efektif dapat dilakukan dengan membentuk forum koordinasi pengelolaan DAS atau memberdayakan forum sejenis yang telah ada. Pada wilayah yang belum memiliki forum koordinasi, inisiasi pembentukan forum dapat dilakukan oleh pemangku kepentingan yang berkepentingan dengan pengelolaan DAS di wilayahnya. Forum komunikasi yang dibentuk harus merepresentasikan pemangku kepentingan yang ada di wilayah DAS dari hulu sampai hilir, seperti unsur pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Untuk meningkatkan efektivitas koordinasi dan partisipasi pemangku kepentingan, harus membangun suatu komunikasi yang baik dan tata kerja yang jelas yang didasarkan atas kebersamaan dan diagendakan dalam suatu program kerja. Forum DAS diarahkan sebagai organisasi non struktural, dan bersifat independen yang berfungsi untuk membantu memecahkan permasalahan yang timbul dan merumuskannya secara bersama-sama dalam wilayah DAS seperti konflik kepentingan antar sektor, antar pemerintah daerah serta dalam mengintegrasikan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.

Organisasi non struktural dalam hal ini dapat berupa Badan Koordinasi Pengelolaan DAS yang bertanggung jawab kepada Gubernur untuk DAS lintas kabupaten dan Bupati untuk DAS lokal. Tugas dari Badan Koordinasi tersebut merumuskan dan menetapkan kebijakan pengelolaan DAS terpadu yang efisien, dan efektif; mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS bencana secara terpadu; dan memberikan pedoman dan pengarahan terhadap kegiatan pengelolaan DAS.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Masih terikatnya masing-masing sektor oleh target sektoral dimana masing-masing sektor memiliki target tertentu sehingga sulit untuk melakukan koordinasi dengan sektor lain.

2. Dalam penyusunan suatu rencana, kebijakan yang dirumuskan untuk mencapai sasaran perencanaan pada umumnya hanya melihat dari sisi satu pemangku kepentingan saja yaitu pemerintah.

3. Adanya fragmentasi kegiatan pengelolaan DAS antar departemen utama yang terkait dan lembaga non-departemen lainnya sehingga konsekuensinya adalah adanya pembagian kewenangan yang saling mengisi.

Page 246: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233

| 232 |

4. Dalam pelaksanaan tata ruang di suatu daerah, dijumpai banyak hal yang tidak sesuai dengan yang direncanakan, sehingga menyebabkan pembangunan sulit dikontrol sehingga terjadilah kerancuan tata ruang.

5. Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu, pelaksanaan kegiatan, pemantauan, dan penilaian hasil-hasilnya harus dilakukan secara partisipatif. Untuk menjaga keterpaduan agar tetap efektif dapat dilakukan dengan memberdayakan forum sejenis yang telah ada. Organisasi Pengelolaan DAS bersifat non struktural dan independen dapat berupa Badan atau Dewan Koordinasi Pengelolaan DAS.

B. Saran

Untuk meningkatkan efektivitas koordinasi dan partisipasi para pihak, harus membangun suatu komunikasi yang baik dan tata kerja yang jelas yang didasarkan atas kebersamaan dan diagendakan dalam suatu program kerja. Forum DAS yang telah ada diarahkan sebagai organisasi non struktural, dan bersifat independen yang berfungsi untuk membantu memecahkan permasalahan yang timbul dan merumuskannya secara bersama-sama dalam wilayah DAS seperti konflik kepentingan antar sektor, antar pemerintah daerah serta dalam mengintegrasikan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama. Untuk dapat terciptanya Badan Koordinasi Pengelolaan DAS perlu adanya payung hukum, minimal dalam bentuk Keputusan Presiden.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat, 2002. Degradasi Sumber daya Alam. Website http://www.bplhdjabar.go.id/index. Diakses pada tanggal 12 Desember 2002

Departemen Kehutanan. 2006. Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Air Terpadu (Draft ke 13). Tidak diterbitkan.

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 100 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara Koordinator

Page 247: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)

| 233 |

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen

Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2003. Jawaban dan Tanggapan Menteri Negara Lingkungan Hidup Dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR-RI, Masa Sidang II Tahun Sidang 2003-2004 pada 11 November 2003.

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2000 tentang Pola dasar Pembangunan Jawa Barat

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Pranaji, T. 2005. Transaksi Timpang Antar Kawasan DAS (Hulu-Hilir) dan The Spirit of (Super) Capitalism.

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah daerah

Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Undang Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Page 248: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 234 |

20. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DAN HASIL AIR DARI HUTAN1

Oleh:

Purwanto2

ABSTRAK

Salah satu fungsi hutan adalah menyimpan dan mengalirkan air yang digunakan untuk memasok kebutuhan air areal lahan-lahan di bagian hulunya. Pemanfaat air baik yang berasal dari hutan maupun penggunaan lahan lainnya berbeda-beda tergantung dari kebutuhannya karena perbedaan penggunaan lahan atau karena kebutuhan zat air itu sendiri. Peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan air dan sumberdaya air sudah dalam bentuk Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 2004 namun aturan pelaksanaannya masih sering berbeda antara satu sektor dengan sektor lainnya. Pemanfaat air terbesar adalah untuk keperluan irigasi kemudian disusul yang lain seperti untuk PDAM, industri, rumah tangga, dll. Pemanfaatan air dari hutan sebaiknya dilakukan secara kolaboratif manajemen dan sebagai leading sektor adalah Gubernur, cq Bappeda Propinsi sebagai lembaga perencana dan pengendalian. Sedangkan institusi lain baik pemerintah maupun swasta turut mengambil bagian sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Kajian kelembagaan yang sebaiknya dilakukan antara lain: a). kajian peraturan pelaksanaan dan perundangan yang terkait serta kebijakan yang diambil oleh masing-masing sektor, 2). kajian kelembagaan dan kompensasi hulu hilir, 3). Kajian pola pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh sektor-sektor terkait, dan 4). Kajian kelembagaan internasional untuk mengatasi masalah perubahan iklim.

Kata Kunci : hasil air, kelembagaan pemanfaatan air I. PENDAHULUAN

Hutan yang baik merupakan sub sistem yang memiliki fungsi spongi yang dapat mempertahankan kontinuitas aliran dan kualitas air yang keluar (water yield) dari hutan tersebut. Hal ini akibat komposisi dan struktur vegetasi hutan serta serasah di lantai hutan yang memudahkan air masuk ke dalam tanah sehingga memperbesar daya

1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007 2 Peneliti Madya Bidang Ekonomi Sumberdaya Alam, Balai Penelitian Kehutanan

Solo, Jl. A. Yani, Pabelan, Surakarta, tlp. 0271 716709, email: [email protected]

Page 249: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)

| 235 |

penyimpanan air tanah (Darsono, 1992). Kondisi tersebut menyebabkan hutan dapat menghasilkan air yang terus menerus baik dalam musim hujan maupun kemarau.

Distribusi air secara spasial dari hulu ke hilir melewati berbagai penggunaan lahan sehingga air dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Disamping itu air juga memiliki potensi daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan zat air itu sendiri maupun sumber tenaga mekanik dan listrik sehingga berbagai lembaga maupun perorangan memanfaatkan air sesuai dengan kebutuhannya. Akibat dari berbagai pemanfaatan tersebut, terdapat berbagai organisasi dan lembaga pemanfaat air. Organisasi dan lembaga tersebut masih berdiri sendiri atau koordinasinya masih lemah bahkan terkadang terjadi konflik kepentingan.

Indonesia yang terletak di daerah tropis memiliki dua musim, sehingga pada saat tertentu air berlimpah bahkan menimbulkan banjir sedangkan pada saat musim kemarau terjadi kekeringan. Pada saat banjir sering terjadi saling menyalahkan antar pihak pengelola lahan di hulu yang kebanyakan adalah kawasan hutan dengan masyarakat di hilir sedangkan pada saat musim kemarau sering terjadi konflik pemanfaatan akibat defisit air.

Dari aspek legal formal, pengelolaan air dan sumberdaya air telah memiliki payung hukum yaitu Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Peraturan pelaksanaannya sudah banyak walaupun Peraturan Pemerintah yang menjabarkan UU No. 7 tahun 2004 tersebut masih dalam proses penerbitan. Masalah yang muncul dalam aspek peraturan perundang-undangan adalah di tingkat pelaksanaan dimana masing-masing sektor mengeluarkan peraturan dan kurang pas dengan peraturan dari sektor lain.

Persepsi masyarakat tentang air dan sumber daya air adalah anugrah Tuhan Yang Maha Esa sehingga masyarakat tidak perlu membayar atau turut mengelola kawasan hutan sebagai pengatur tata air. Demikian juga persepsi salah tentang konservasi air anggota masyarakat, bahwa konservasi hanya dilakukan di sekitar lokasi sumber air bukan konservasi seluruh daerah tangkapannya.

Dalam sektor kehutanan, air diharapkan merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang saat ini masih merupakan barang publik, belum merupakan barang ekonomi. Namun dengan adanya Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air: Pasal 45 ayat 2 dan 3, pengusahaan sumberdaya air dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, perseorangan, badan

Page 250: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250

| 236 |

usaha, atau kerjasama antar badan usaha berdasarkan izin pengusahaan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Pasal 45, ayat 1menyebutkan bahwa pengusahaan sumberdaya air diselenggarakan dengan memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan Undang-undang tersebut dimungkinkan adanya perubahan air sebagai barang publik menjadi barang ekonomi. Perubahan air dari barang publik menjadi barang ekonomi akan menimbulkan potensi konflik. Di sisi lain, air merupakan kebutuhan vital bagi kehidupan sehingga World Water Forum Ke- 2 di Den Haag, 17-22 Maret 2000, merekomendasikan bahwa semua pihak wajib mengusahakan pengelolaan sumberdaya air secara integral agar semua orang dapat memiliki akses pada air yang aman untuk dikonsumsi (Heynardhi dan Wermasubun, 2004).

Untuk menghindari konflik pemanfaatan air dan untuk menjaga kelestarian sumberdaya air, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air perlu dibentuk lembaga pengelolaan sumberdaya air untuk masing-masing Daerah Aliran Sungai (DAS). Makalah ini menyajikan beberapa hasil kajian analisis kelembagaan pengelolaan sumberdaya air yang berasal dari hutan. Tujuan Makalah ini adalah menyampaikan potret pengelolaan sumberdaya air dan rekomendasi kelembagaan ke depan dalam pengelolaan sumberdaya air dalam suatu DAS.

II. BEBERAPA PENGERTIAN

A. Kelembagaan atau Institusi

Menurut Kartodihardjo et al. (2000) terdapat empat faktor kunci yang berpengaruh terhadap kinerja pembangunan yaitu: 1). sumberdaya alam (natural capital), 2). sumberdaya manusia (human capital), 3). sumberdaya buatan manusia (man made capital) dan 4). pranata institusi formal maupun informal masyarakat (social capital).

Lembaga dapat diartikan sebagai organisasi untuk membantu masyarakat dengan tujuan yang lebih spesifik (Awang, 2001). Lembaga juga dapat diartikan sebagai suatu perangkat aturan yang mengatur atau mengikat dan dipatuhi masyarakat. Aturan – aturan tersebut menentukan tatacara, kerjasama dan koordinasi dengan masyarakat dalam pemantauan serta membantu mereka dalam menentukan hak serta kewajiban masing – masing (Hayami dan Kikuchi dalam Kasryno, 1984). Menurut Pakpahan (1990) dalam Kartodiharjo (1998), kelembagaan (institusi) adalah suatu sistem yang komplek, rumit, abstrak, mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Darmawan

Page 251: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)

| 237 |

(2001) mendefinisikan kelembagaan sebagai organisasi dan pranata yang didalamnya meliputi infrastruktur pendukung seperti aturan-aturan, wewenang, mekanisme dan sistem pendanaan masing-masing lembaga.

Menurut Ruttan dan Hayami dalam Djogo, et al. (2003) lembaga adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan dimana setiap orang dapat bekerja sama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Pendapat yang hampir sama disampaikan oleh Schmidt (1987), bahwa institusi merupakan seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, dimana masyarakat tersebut telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan, serta tanggungjawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak dan kewajiban tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu. Institusi juga dapat diartikan sebagai inovasi manusia untuk mengatur atau mengontrol, interdependensi antar manusia terhadap sesuatu, kondisi atau situasi melalui inovasi dalam hak kepemilikan, aturan representasi, atau batas yurisdiksi.

Kelembagaan dan kehutanan dapat dilihat sebagai hal yang saling berkaitan erat di dalam suatu sistem desa yang utuh. Sebutan desa mengandung arti bahwa dalam satu ruang tempat kehidupan berproses, hubungan antar subsistem sangat erat. Subsistem kehutanan, subsistem pertanian, pemasaran, pengairan atau subsistem manusia saling terkait satu sama lainnya (Awang, 2001).

Menurut Gilmann (1995) dalam Awang (2001) di desa terdapat lembaga yang erat atau berkaitan antar subsistem dengan subsistem lainnya, sumberdaya hutan, padang penggembalaan, sumberdaya air akan berkaitan erat dengan usaha tani masyarakat dan sistem peternakan di desa. Sedangkan Ostorm (1990), Poffenberger (1990), Branley et al. (1992), Becker dan Gibson (1996) dalam Awang (2001) menyatakan bahwa di banyak negara dunia ketiga, kebijakan konservasi sumberdaya alam pada tiga dasa warsa terakhir ini telah berubah fokus orientasinya pada kebijakan terpusat kepada negara ke arah pemecahan masalah pada tingkat Kabupaten dan Propinsi. Para pemikir mempunyai kesamaan pandang bahwa untuk mencapai tingkat keberhasilan pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat lokal, perlu diarahkan pada tiga persoalan fundamental:

Page 252: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250

| 238 |

1. Sumberdaya hutan harus dapat memberi manfaat pada masyarakat lokal,

2. Property right tiap individu harus dikembangkan bagi mereka yang menggunakan sumber daya hutan, sehingga memungkinkan mereka memperoleh manfaat,

3. Individu masyarakat tingkat Kabupaten dan Propinsi harus mempunyai kemampuan membangun lembaga-lembaga mikro untuk mengatur penggunaan sumber daya hutan.

Sebagian pakar setuju bahwa aspek penentu keberhasilan penggunaan sumberdaya hutan ditentukan oleh faktor-faktor pemanfaatan tingkat lokal, pemilihan sumber daya hutan dan kelembagaan ( Becker et al., dalam Awang 2001).

Institusi merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit dan abstrak yang mencakup idiologi, hukum, adat istiadat, aturan dan kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Institusi mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu (perorangan atau organisasi) atau dalam kondisi bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu institusi adalah instrumen yang mengatur hubungan antar individu (Kartodiharjo et al. (2000)

Menurut Schmidt (1987), North (1991) dan Barzel (1993) aturan main merupakan bentuk institusi yang menentukan interdependensi antar individu atau kelompok masyarakat yang terlibat. Implikasi bentuk interdependensi tersebut menurut Schmidt (1987) mengakibatkan siapa mendapatkan apa dalam suatu sistem ekonomi tertentu.

Dalam ekonomi kelembagaan, situasi yang melekat pada kapital, seperti inkompabilitas, biaya eksklusi, biaya transaksi, dampak bersama yang ditimbulkannya, skala ekonomi dan surplus, memberikan pengaruh yang kuat terhadap bentuk interdependency antar pelaku ekonomi yang terlibat dalam pemanfaatan kapital tersebut (Kartodiharjo, 1995). Sumberdaya air apabila berubah dari barang publik menjadi barang ekonomi, akan berubah dari barang publik menjadi kapital yang sifat kepemilikannya lebih ke quasi private goods, secara eksklusif tidak dapat ditetapkan. Kartodiharjo (1995) lebih lanjut menyatakan, kebijakan ekonomi tanpa mampu mengendalikan situasi kapital tersebut dianggap tidak akan mampu mengubah perilaku ekonomi untuk mencapai kinerja (performance) yang diharapkan.

Pada saat ini sumberdaya air dan air dikelola dan dimanfaatkan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sendiri. Menurut Fauzi

Page 253: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)

| 239 |

(2004) alokasi sumberdaya air yang dilakukan pemerintah memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Dinar et al. (1997) menyatakan bahwa alokasi yang dilakukan publik atau pemerintah dapat menjawab aspek pemerataan (equity) dalam pengelolaan sumberdaya air karena pemerintah dapat mengalokasikan air ke daerah yang tidak mencukupi sehingga masyarakat miskin dapat mengakses air. Disisi lain alokasi pemerintah sering harus dibarengi oleh subsidi untuk membantu alokasi air ke daerah-daerah dengan tingkat kebutuhan yang tinggi namun kemampuan membayarnya rendah.

B. Fungsi Hutan dalam Siklus Hidrologi

Hidrologi hutan adalah ilmu yang berkaitan dengan gerakan-gerakan masa dan perubahan fase cair dalam suatu lingkungan hutan. Parameter hidrologi hutan diukur dengan peneracaan air. Peneracaan air merupakan suatu metode kuantitatif aliran masa dan transformasi yang dapat dibuktikan dengan pengukuran langsung (Lee, 1990).

Menurut Dumairy (1992) unsur-unsur yang mempengaruhi kualitas air dapat dikategorikan menjadi: fisik, kimia dan biologi. Unsur-unsur fisik meliputi: pancaran pengaman aquifer, variasi aliran, kandungan minyak, radioaktifitas, kandungan zat terlarut dan suhu. Unsur-unsur kimiawi meliputi: keasaman dan kebasaan, kebutuhan oksigen biokimiawi, kandungan oksigen terlarut, nutrien, dan kandungan senyawa beracun. Unsur-unsur biotik meliputi: kandungan baksil, kotoran, dan kehidupan aquatik.

Hutan dan bentuk vegetasi lain mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi. Dengan adanya hutan lebih banyak air yang meresap ke dalam tanah. Sebagian lagi terserap oleh serasah di atas lantai hutan.Hutan mempunyai laju evapotranspirasi yang besar sehingga dengan adanya hutan lebih banyak air yang menguap daripada bila tidak ada hutan. Karena air yang meresap ke dalam tanah dan yang menguap lebih banyak dan sebagian lagi terserap oleh serasah maka air yang mengalir di atas permukaan tanah lebih sedikit (Soemarwoto, 1994).

Air yang masuk ke dalam tanah, sebagian akan keluar sebagai mata air di tempat lain. Air yang terserap di dalam serasah perlahan-lahan akan lepas lagi, selama serasah itu mengandung air di atas titik jenuh. Dengan demikian air tanah dan air yang terserap dalam serasah merupakan simpanan air yang tersedia lama setelah hujan jatuh. Jadi, walaupun hutan mengurangi jumlah total air yang tersedia tetapi distribusi sepanjang tahun menjadi lebih baik. Banjir pada musim

Page 254: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250

| 240 |

hujan dan kekeringan pada musim kemarau dapat dikurangi (Soemarwoto, 1994).

C. Landasan Teoritis

Teori yang digunakan sebagai landasan kajian makalah ini adalah teori kelembagaan. Teori kelembagaan yang dipilih yaitu teori kelembagaan Kartodiharjo (1995) yaitu kelembagaan terdiri dari struktur, kognitif, normatif, dan regulatif serta aktifitas yang memberikan stabilitas dan makna bagi perilaku sosial. Teori ini diperjelas oleh pendapat Geertz, Meyer, dan Zucker (Scott, 1995) yaitu menekankan sentralitas unsur kognitif dalam lembaga dan teori kelembagaan Scott (1995) yang bertumpu pada pilar normatif (Scott, 1995).

III. BEBERAPA HASIL KAJIAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR

A. Peraturan Pengelolaan Air dan Sumberdaya Air

Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan yang sudah diamandemen, pada pasal 33 dinyatakan tanah, air dan kekayaan di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, Pasal 1 ayat 7 menyebutkan bahwa Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Di dalam Undang-undang No. 41 tahun 1999, pasal 3 dikatakan penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai. Berdasarkan UUD 1945 dan UU di atas maka pengelolaan hutan merupakan bagian dari pengelolaan sumberdaya alam yang salah satunya adalah air dan sumberdaya air untuk kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestariannya.

Berbagai Peraturan pelaksanaan seperti: 1). Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah No. 341/KPTS/M/2002 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Izin Penggunaan Air dan Atau Pemanfaatan Sumber-sumber Air di Wilayah Sungai Bengawan Solo Kepada Gubernur Jawa Tengah dan Gubernur Jawa Timur, 2). Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah No. 330/KPTS/M/2004 tentang Penetapan Tarif Biaya Jasa Pengelolaan Sumberdaya Air (d/h Iuran Pembiayaan Eksploitasi dan Pemeliharaan Prasarana Pengairan) Perum Jasa Tirta I untuk

Page 255: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)

| 241 |

Perusahaan Air Minum di Wilayah Sungai Bengawan Solo Propinsi Jawa Tengah. Di tingkat Propinsi terdapat Peraturan Daerah yang mengatur pengelolaan air dan sumberdaya air misalnya: 1). Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 13 yang merupakan penyempurnaan PERDA Propinsi Jawa Tengah No. 9 tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan dan 2). Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 20 tahun 2003 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Lintas Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah.

Dari aspek legal formal tampaknya peraturan yang memayungi pengelolaan air dan sumberdaya air sudah cukup lengkap. Dari UUD 1945 sampai peraturan pelaksanaannya relatif lengkap. Namun setelah keluarnya UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya air diperlukan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan kemudian dilakukan penyesuaian terhadap peraturan-peraturan di bawahnya.

Bagiamana Peraturan Pemanfaatan air dari kawasan hutan? Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007, pasal 1 ayat 17, menyatakan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu yang selanjutnya disingkat IPHHBK adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa bukan kayu pada hutan lindung dan/atau hutan produksi antara lain berupa rotan, madu, buah-buahan, getah-getahan, tanaman obat-obatan, untuk jangka waktu dan volume tertentu. Di dalam Peraturan Pemerintah ini air dan sumberdaya air tidak disebut secara eksplisit sebagai hasil hutan bukan kayu.

Beberapa contoh ijin pemanfaatan air antara lain: pemanfaatan sumber air dari hutan lindung Baturaden oleh PDAM Kabupaten Banyumas dilakukan dengan menggunakan ijin pemanfaatan sumber air yang telah disetujui dengan SK Menteri Kehutanan 837/Menhut/II/1992. Masa berlaku ijin pemanfaatan air tersebut berakhir pada tahun 1999. PDAM Banyumas diwajibkan membayar pajak kepada Pemerintah daerah Tingkat I Jawa Tengah sebesar Rp. 12.500.000,- setiap tahunnya. Pembayaran pajak air ini didasarkan pada Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 9 Tahun 2002 tetang Pajak Pengambilan Air Bawah Tanah.dan Air Permukaan (Purwanto, 2005).

Pemanfaatan air untuk pembangkit turbin PLTA Ketenger, Baturaden, Banyumas dimulai tahun 1938 oleh Belanda. Tidak diperoleh informasi perijinan pemanfaatan air oleh PLTA Ketenger ke Perum Perhutani KPH Banyumas Timur. Namun oleh Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, PT. Indonesia Power, Banjarnegara sebagai unit usaha yang salah satu kegiatannya mengelola PLTA Ketenger,

Page 256: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250

| 242 |

diberi beban pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan sebesar Rp. 5,-/kilowatt listrik yang dihasilkan. Pajak tersebut disetorkan kepada Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Jawa Tengah (Purwanto, 2005).

Dari contoh di atas Peraturan yang memayungi pemanfaatan air relatif sudah lengkap, namun demikian di masa depan perlu dipikirkan aturan main untuk pemanfaatan air dan sumberdaya air dari hutan untuk kelestarian hutan itu sendiri maupun air dan sumberdaya air yang dimanfaatkan.

B. Pemanfaat Hasil Air

Informasi siapa atau lembaga apa yang memanfaatkan dalam suatu DAS sudah banyak diketahui oleh masyarakat. Lembaga terkecil yang memanfaatkan air adalah keluarga, kemudian kelompok masyarakat misalnya Persatuan Petani Pemakai Air (P3A), kemudian untuk memfasilitasi dan pengelolaan air di tingkat Kabupaten dibentuk Dinas Pengairan Kabupaten. Di tingkat Propinsi dibentuk Direktorat Sumberdaya Air, Balai Pengelolaan Sumberdaya Air (BPSDA), Departemen Kehutanan membentuk Direktorat Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan untuk DAS-DAS besar dibentuk Balai Besar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Di Departemen Pekerjaan Umum dibentuk, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air, Balai Sungai, dan Perum Jasa Tirta. Lembaga pemanfaat air misalnya PDAM untuk memasok kebutuhan air rumah tangga dan industri, Indonesia Power untuk pembangkit listrik dan sebagainya. Yang masih menjadi masalah adalah koordinasi seluruh pengelola, pendistribusi dan pemanfaat masih lemah. Terkadang masing-masing lembaga memiliki sistem rencana, implementasi dan monitoring sendiri-sendiri. Karena pengelolaan air dan sumberdaya air merupakan bagian dari pembangunan wilayah seharusnya Badan Perencana Pembangunan baik di tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi atau BAPPENAS tergantung dari hirarkhi Daerah Aliran Sungai, sebagai leading sektor untuk pengelolaan air dan sumberdaya air sedangkan sektor lain harus mengikuti rencana yang sudah dibangun oleh Badan Perencana Pembangunan.

Permasalahan yang lain adalah belum banyak diketahui berapa dan bagaimana aturan main dalam pemanfaatan air atau sumber air tersebut. Beberapa hasil kajian tentang siapa pemanfaat air dan berapa besarnya disampaikan sebagai berikut: Pemanfaat air yang paling besar dari suatu DAS adalah untuk kepentingan irigasi: + 75 %

Page 257: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)

| 243 |

untuk DAS Bengawan Solo dan + 70% untuk DAS Citarum (Paimin, 2005). Purwanto (2005) menyatakan hasil air dari hutan lindung Baturraden dimanfaatkan untuk kegiatan wisata, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Banyumas, sumber air untuk hotel, MCK masyarakat, irigasi, peternakan, dan sumber air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air Ketenger.

Kegiatan wisata yang memanfaatkan air dari hutan lindung Baturraden adalah: 1). Sunber air panas Pancuran Tujuh dan kamar mandi air panasnya, 2). Pancuran Tiga, 3). Goa Sarabadak 4). Telaga Sunyi, 4). Bumi Perkemahan, 5). dan 6). Loka Wisata. Sumber air panas Pancuran Tujuh dan Pancuran Tiga digunakan untuk rekreasi mandi air panas dan lulur belerang, keindahan pancurannya dan alam sekitarnya. Pemanfaat kedua air dari hutan lindung Baturraden adalah PDAM Kabupaten Banyumas. Total potensi air yang dapat digunakan untuk air minum dari Baturraden adalah 509,6 liter/detik (Purwanto, 2005).

PLTA Ketenger memanfaatkan langsung dari hutan lindung Baturraden di hulu sungai Banjaran. PLTA menyudet Sungai Sarbadak dan mengalirkan air dari hulu S. Banjaran ke Bendungan Muntu sebagai Bendungan Pengatur (regulator dam) sebelum dialirkan ke turbin PLTA Ketenger melalui pipa besi. Di bagian lebih hilir dari Sungai Banjaran, - + 3 km dari hutan lindung - dibangun dam Jepang untuk menambah debit air ke PLTA Ketenger. PLTA Ketenger memanfaatkan air sebesar + 49.373.302 m3/tahun (Purwanto, 2005).

C. Persepsi Masyarakat tentang Pemanfaatan Air

1) Persepsi Pengelolaan Hutan tentang Air

Setelah kayu sebagai produk utama hutan sudah mulai berkurang maka pemangku hutan mulai melihat hasil hutan bukan kayu sebagai alternatif hasil hutan yang bernilai ekonomi termasuk di dalamnya air. Namun demikian akibat adanya perundang-undangan maka air tidak bisa dipungut sebagai provisi hasil hutan. Kajian nilai ekonomi air dari hutan sudah banyak dilakukan untuk mengantisipasi bila air dapat dijadikan barang ekonomi.

Disisi lain, apabila terjadi banjir yang berasal dari kawasan hutan, pemangku kawasan sering dimintai pertanggungjawaban. Hal ini perlu pemahaman bahwa banjir merupakan bagian dari resiko pengelolaan kawasan. Untuk itu pemantauan kawasan terkait dengan bahaya banjir dan tanah longsor harus dimasukan ke dalam bagian dari manajemen

Page 258: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250

| 244 |

kawasan hutan sehingga tidak terjadi banjir dan tanah longsor atau kerugian yang diakibatkan dapat diminimalkan.

2) Persepsi Pengguna Air Kajian persepsi masyarakat tentang pemanfaatan air yang

hulunya berada di kawasan hutan yang dilakukan di Sub DAS Pelus dan Sub DAS Banjaran tanpaknya cukup mewakili persepsi masyarakat pengguna air pada umumnya. Purwanto (2005) menyatakan Pengelola areal wisata Baturraden (PT. Palawi dan Dinas Pariwisata Kabupaten Banyumas) sebagai salah satu pemanfaat sumberdaya air hutan lindung sangat faham pentingnya sumberdaya air sebagai aset pengembangan pariwisata yang dikelolanya. Sumber daya air baik air panas maupun air biasa merupakan aset daya tarik wisatawan. Namun kedua pengelola wisata tidak membayar provisi ke BKPH Gunung Slamet Barat sebagai pengelola kawasan hutan lindung Baturraden. Mereka mengganggap sumberdaya air tersebut sebagai endowment resource dan barang publik yang dapat dimanfaatkan tanpa harus memberi korbanan dalam bentuk biaya pemanfaatan.

Manajemen PDAM Kabupaten Banyumas mengetahui betapa pentingnya konservasi sumberdaya air. Namun pemahamannya tidak komprehensif. Salah satu usaha untuk melestarikan sumberdaya air yang dimanfaatkan, telah dilakukan penghijauan di sekitar sumber air Ketenger dengan lebar + 50 m dari sumber air. Konsep pengelolaan DAS belum diterapkan dalam kegiatan konservasi sumberdaya air tersebut, karena hulu dari sumber air Ketenger adalah Sub DAS Gemiwang sehingga untuk melestarikan sumber air Ketenger pengelolaan Sub DAS Gemiwang seharusnya yang dilakukan. Tentang provisi sumberdaya air dari hutan lindung Baturraden, manajemen PDAM juga tidak merasa berkewajiban membayar provisi ke Perum Perhutani KPH Banyumas Timur karena telah membayar pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan ke Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Jawa Tengah (Purwanto, 2005). Selanjutnya Purwanto (2005) mengatakan bahwa untuk masyarakat pemakai air dari hutan lindung yang digunakan untuk irigasi ada dua kelompok; satu kelompok yaitu masyarakat Desa-desa Karangsalam, Kotayasa, dan Limpakuwus mengetahui bahwa air irigasi yang dimanfaatkan berasal dari hutan lindung yang berada di hulu Sungai Pelus sedangkan masyarakat Desa-desa Karangnangka, Beji, dan Bobosan yang mendapatkan air dari bendungan Karangnangka, Beji dan Bobosan di Sungai Banjaran yang hulunya merupakan hutan lindung Baturraden merasa tidak mendapatkan air dari hutan lindung Baturraden karena jarak terdekat bendungan dengan hutan lindung

Page 259: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)

| 245 |

sejauh 7,1 km. Padahal pengukuran yang dilakukan pada akhir musim kemarau tahun 2006, proporsi air hutan lindung yang digunakan untuk irigasi di masing-masing: Dam Karang Nangka 57,86%, Dam Beji 39,14%, dan Dam Bobosan 37,69% dari debit air masing-masing sebesar 1,0 m3/detik, 1,6 m3/detik, dan 0,6 m3/detik. Masyarakat Desa-desa Karangsalam, Kotayasa dan Limpakuwus merasakan betapa pentingnya sumberdaya air dari hutan lindung Baturraden. Namun mereka mengganggap bahwa sumberdaya air merupakan sumberdaya berkah dari Tuhan (endowment resouce) yang cara mendapatkannya tidak perlu membayar.

Ada dua alasan, kenapa petani yang memanfaatkan air irigasi tidak perlu membayar air. Pertama, rata-rata petani hidup dalam kemiskinan. Menurut Shiva (2003) alam memberi air secara cuma-cuma, membeli dan menjual demi keuntungan merupakan tindakan yang mencederai hak inheren manusia atas anugrah alam dan menyangkal hak-hak masyarakat miskin. Kedua, pertanian pangan merupakan program Pemerintah untuk mempertahankan ketahanan pangan. Namun demikian petani harus diberi pengertian bahwa air merupakan barang ekonomi yang nilainya cukup besar sehingga petani memanfaatkan air secara efektif dan efisien.

Pengelola PLTA Ketenger sangat faham pentingnya konservasi cachment yang mengeluarkan air untuk penggerak turbin yang digunakannya. Mereka sadar pentingnya kesehatan cachment karena pada waktu musim kemarau debit air yang digunakan lebih kecil sehingga produksi listriknya pun menjadi kecil. Namun apabila ditanya apakah bersedia membayar provisi untuk pengelolaan hutan lindung di hulu, mereka mengatakan bahwa sudah membayar pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan sebesar Rp. 5,-/kilowatt listrik yang dihasilkannya.

3) Organisasi Pemanfaatan Hasil Air Para pihak (stake holders) yang terkait dengan pemanfaatan hasil

air dari hutan adalah seluruh pemangku kawasan atau lahan, pendistribusi air misalnya Jasa Tirta dan PDAM dan pemanfaat air baik untuk irigasi, industri maupun untuk kebutuhan rumah tangga. Pemangku kawasan hutan yang terkait dengan hasil air antara lain: pengelola hutan lindung yang di Pulau Jawa diberikan kepada Perum Perhutani dan di luar Jawa di serahkan kepada Dinas Kehutanan, Pemangku hutan produksi yang di P. Jawa oleh Perum Perhutani dan di luar Jawa oleh pemegang HPH serta organisasi yang terkait dengan pengelolaan air dan sumberdaya air untuk tingkat Propinsi adalah 1). Bappeda Tingkat I yaitu yang mempunyai tugas pokok

Page 260: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250

| 246 |

mempersiapkan bahan penyusunan perencanaan program pemanfaatan sumberdaya alam, pengairan, pembangunan sarana prasarana perhubungan dan pariwisata serta pembangunan tata ruang dan tata guna tanah. Di Bappeda tingkat Kabupaten ada Sub Bidang Pengairan yang memiliki tugas pokok mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program pengairan. Untuk Dinas Kehutanan Kabupaten yang terkait dengan pemanfaatan hasil air, terdapat Sub Dinas Konservasi Perlindungan yang terdapat salah satu Seksi Konservasi Lahan dimana memiliki tugas menyusun pedoman konservasi lahan, dukungan teknis konservasi lahan, dan menyelemnggarakan pengawasan dan pengendalian konservasi lahan.

Lembaga pengelolaan sumberdaya air dan pemanfaatan air sebaiknya dalam bentuk manajemen bersama (collaborative management). Pengelolaan sumberdaya air dan pemanfaatan air dari hutan harus didasarkan fungsi manajemen yaitu: perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Penyusunan rencana harus dilakukan bersama dan diusulkan agar Gubernur c.q Bappeda sebagai leading sector dan Dinas Pengairan dalam pengelolaan Air dan Sumberdaya Air lintas Kabupaten. Karena pada saat ini, Pemangku hutan merupakan salah satu institusi yang bertugas untuk memelihara kelestarian kawasan hutan agar fungsi hutan sebagai pengatur tata masih berjalan dengan baik. Implementasi dilakukan oleh masing-masing stakeholder dan masyarakat sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sedangkan monitoring dan evaluasi dilakukan oleh semua pihak ditambah dengan LSM yang konsern terhadap pengelolaan sumberdaya air dan pemanfaatan air dari hutan. Pembiayaan diusahakan dari provisi sumberdaya air yang digunakan untuk kegiatan komersial. Namun demikian dalam pemanfaatan tersebut jangan sampai terbentuk masyarakat transaksional (Soros, 1998), dimana hubungan sosial semata-mata didasarkan pada kepentingan ekonomi dan mengabaikan nilai-nilai kemanusian yang lebih luas.

D. Riset Kelembagaan Pengelolaan Air

Penelitian kelembagaan pengelolaan hasil air tidak terlepas dari permasalahan baik fisik maupun sosial ekonomi pemanfaatan air. Permasalahan fisik antara lain: 1). kualitas dan kuantitas air yang berasal dari kawasan hutan belum banyak dilakukan pengamatan, 2). Distribusi air secara spasial dan proporsi sumbangan volume air di lokasi tertentu dari bagian Daerah Aliran Sungai juga belum banyak diketahui, 3). Kebutuhan air untuk masing-masing penggunaan lahan masih perlu lebih banyak dilakukan kajian. Permasalahan sosial ekonomi antara lain: 1). Adanya tumpang tindih undang-undang,

Page 261: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)

| 247 |

peraturan pelaksanaan antar sektor diperlukan kajian peraturan pelaksanaan dan perundangan yang terkait serta kebijakan yang diambil oleh masing-masing sektor, 2). Hubungan hulu hilir dalam pemanfaatan air dan sumberdaya air sering terjadi konflik kepentingan sehingga perlu kajian kelembagaan dan kompensasi hulu hilir, 3). Karena air mengalir melalui berbagai pemanfaatan lahan diperlukan kajian pola pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh sektor-sektor terkait, dan 4). Adanya perubahan iklim menyebabkan gangguan terhadap ketersediaan air maka diperlukan kajian kelembagaan internasional untuk mengatasi masalah tersebut.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Banyak organisasi dan lembaga pengelola kawasan yang berfungsi

sebagai pengatur tata air, pengelola sungai dan pendistribusi air dan pemanfaat air tetapi koordinasinya masih lemah.

2. Peraturan pengelolaan air dan sumberdaya air relatif sudah lengkap tetapi peraturan pemerintah sebagai salah satu acuan dalam penerapan UU No. 7 tahun 2004 perlu segera untuk diterbitkan.

3. Persepsi masyarakat tentang air dan sumberdaya air, mereka masih menganggap bahwa air merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa dan bagi lembaga pemanfaat sumber air ada yang belum memahami bahwa pengelolaan air harus dilakukan pada seluruh tangkapannya bukan hanya di sekitar sumber airnya.

4. Banjir yang berasal dari suatu kawasan yang dipangku oleh lembaga tertentu belum dimasukkan ke dalam manajemen pengelolaan.

B. Saran-saran

1. Diperlukan kelembagaan yang anggotanya meliputi seluruh stakeholder baik pengelola maupun pemanfaat air dari hutan.

2. Penyelesaian konflik kepentingan antara beberapa stakeholder dapat diselesaikan melalui pemahaman bersama tentang pentingnya hutan sebagai pengatur tata air namun bukan berarti hutan dibiarkan tanpa dapat dimanfaatkan untuk produksi kayu dan non kayunya asal prinsip-prinsip kelestariannya dipertahankan.

3. Kajian kelembagaan yang sebaiknya dilakukan antara lain: a). kajian peraturan pelaksanaan dan perundangan yang terkait serta

Page 262: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250

| 248 |

kebijakan yang diambil oleh masing-masing sektor, b). kajian kelembagaan dan kompensasi hulu hilir, c). kajian pola pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh sektor-sektor terkait, dan d). kajian kelembagaan internasional untuk mengatasi masalah perubahan iklim.

DAFTAR PUSTAKA

Awang, S.A. 2001. Politik Kehutanan Masyarakat. Center for Critical Social Studies dan Kreasi Wacana. Yogyakarta.

Brazel. A. 1993. Economic Analysis of Property Rights. Cambridge Iniversity. Press. Sydney.

Darsono, V. 1992. Pengantar Ilmu Lingkungan. Edisi Revisi. Penerbit Universitas Atmajaya. Yogyakarta.

Darmawan, D.A. 2001. Analisa Kelembagaan. Paper Diskusi Pengelolaan DAS Terpada dalam Rangka Otonomi Daerah. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Departemen Kehutanan. 1999. Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan. Koperasi Karyawan Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Dinar, A., M. Rosegrant dan R. Meinzen-Dick. 1997. Water Allocation Mechanism: Principles and Examples. Policy Research Working Paper 1779. World Bank. Washington DC.

Djogo, T., Sunaryo, D. Suharjito, dan M. Sirait. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestry. World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor.

Dumairy. 1992. Ekonomi Sumberdaya Air. BPFE. Yogyakarta.

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Heynardhi, H. dan S. Wermasubun. 2004. Dagang Air. Perihal Peran Bank Dunia dalam Komersialisasi dan Privatisasi Layanan Atas Air di Indonesia. Widyasari Press. Salatiga.

Kartodiharjo, H. 1995. Kegagalan Teori Rente Ekonomi Hutan:

Implikasi terhadap Penyempurnaan Sistem Pengusahaan Hutan. Prima. Majalah Kajian Ekonomi dan Sosial. No. 2 Tahun XXIV, Februari 1995.

Page 263: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)

| 249 |

Kartodihardjo, H. 1998. Peningkatan Kinerja Pengusahaan Hutan Alam Produksi Melalui Kebijaksanaan Penataan Institusi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kartodiharjo, H., K. Murtilaksono, H.S. Pasaribu, U. Sudadi, dan N. Nuryantono. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah. Kelompok Pengkajian Pengelolan Sumberdaya Berkelanjutan (K3SB). Bogor.

Kasryno, F. 1984. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Lee, R. 1990. Hidrologi Hutan (Terjemahan Forest Hydrology oleh Sentot Subagyo). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia. 2004. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 330/KPTS/2004 tentang Penetapan Tarif Biaya Jasa Pengelolaan Sumberdaya Air (d/h Iuran Pembiayaan Eksploitasi dan Pemeliharaan Prasarana Pengairan) Perum Jasa Tirta untuk Perusahaan Daerah Air Minum di Wilayah Sungai Bengawan Solo Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004.

North, D.C. 1991. Instututions, Institutional Change, and Economic Performance. Political Economy of Institutions and Decisions. Cambridge University Press. Cambridge.

Paimin. 2005. Laporan Kajian Karakterisasi Daerah Aliran Sungai. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Barat. Surakarta.

Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 13 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan. Lembaran Daerah Propinsi Jawa Tengah Tahun 2004 Nomor 51 Seri B Nomor 1.

Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Penngendalian Pencemaran Air Lintas Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah. Lembaran Daerah Propinsi Jawa Tengah Tahun 2002 Nomor 72.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.

Page 264: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250

| 250 |

Purwanto. 2005. Laporan Hasil Kajian Nilai Ekonomi Air Hutan Lindung. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Barat. Surakarta.

Schmidt, A. 1987. Property, Power, and an Inquiry into Law and Economic. Praeger. New York.

Scott, R. 1995. Instututions and Organizations. Sage Publication: An International and Profesional Publisher. Thousand Oaks, London-New Delhi.

Shiva, V. 2003. Water Wars. Insist – WALHI. Yogyakarta.

Soemarwoto, O. 1994. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Soros, G. 1998. The Crisis of Global Capitalism: Open Society Endangered. Little Brown and Company. UK.

Page 265: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 251 |

21. PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI1

Oleh :

Sri Puryono2

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utamanya (single outlef). Daerah Aliran Sungai merupakan ekosistem di mana di dalamnya terjadi proses interaksi antara faktor-faktor biotik, non biotik dan manusia. Sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada masukan (input) ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran (output) dari ekosistem tersebut. Pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya tanah dan air. Ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS. Kompleksitas permasalahan yang ada, kelembagaan di Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pengelolaan DAS tidak terlepas dari komponen yang bertanggung jawab dalam pengelolaan DAS pada masing-masing wilayah, utamanya kelembagaan Pertanian dan Kehutanan, Penataan Ruang dan Wilayah, Kelautan dan Perikanan, Lingkungan Hidup, dan juga kelembagaan administratif. Kata kunci : Pemerintah Daerah, Dinas Kehutanan, DAS, Rehabilitasi

1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007. 2 Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah , Jl. Menteri Soepeno 1/2

Semarang 50241 Telp. (024) 8319140 Fax. (024) 8319328, email : [email protected]

Page 266: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop,2009 : 251-262

| 252 |

I. PENDAHULUAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utamanya (single outlef). Satu DAS dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya (DAS-DAS lain) oleh pemisah alam topografi, seperti punggung perbukitan dan pegunungan. Oleh karena itu, pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan yang pada dasarnya merupakan usaha-usaha penggunaan sumberdaya alam di suatu DAS secara rasional untuk mencapai tujuan produksi pertanian yang optimum dalam waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai dengan upaya untuk menekan kerusakan seminimum mungkin sehingga distribusi aliran merata sepanjang tahun (Marwah, 2001).

Cakupan luas suatu DAS di bumi kita ini sangat bervariasi mulai dari beberapa puluh meter persegi sampai dengan ratusan ribu hektar. Secara hierarkis suatu DAS yang luas/besar biasanya terdiri atas beberapa DAS yang lebih kecil. DAS-DAS yang lebih kecil tersebut dinamai sub DAS dari DAS yang lebih besar. Sub DAS mungkin juga terdiri atas beberapa sub-sub DAS.

Dalam tataran operasional pengelolaan, DAS harus diperlakukan sebagai unit kesatuan yang utuh dalam perencanaan, dan pengendalian. Perbedaan batas wilayah DAS dengan batas administrasi pemerintah daerah (provinsi maupun kabupaten) memberikan konsekuensi bagi daerah-daerah yang berada dalam satu wilayah DAS untuk lebih intensif melakukan penanganan secara kolaboratif. Hal ini mutlak dilakukan karena DAS merupakan satu kesatuan ekosistem yang pengelolaannya harus dilakukan secara terintegrasi, antara DAS bagian hulu, tengah dan hilir.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka tulisan ini akan menyajikan peran pemerintah daerah dalam rehabilitasi Daerah Aliran Sungai. Diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengambil kebijakan khususnya dalam pengelolaan DAS.

Page 267: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Pemerintah Daerah....(Sri Puryono)

| 253 |

II. TUJUAN PENGELOLAAN DAS

Daerah Aliran Sungai merupakan ekosistem di mana di dalamnya terjadi proses interaksi antara faktor-faktor biotik, non biotik dan manusia. Sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada masukan (input) ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran (output) dari ekosistem tersebut. Komponen masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan, sedangkan keluarannya terdiri dari debit air dan muatan sedimen. Komponen-komponen DAS yang meliputi : manusia, vegetasi, tanah, iklim, topografi dan saluran/ sungai bertindak sebagai prosessor/pengolah.

Pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya tanah dan air. Termasuk dalam pengelolaan DAS adalah identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, dan keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS (Asdak, 2002). Secara hidrologi, pengelolaan DAS berupaya untuk mengelola kondisi biofisik permukaan bumi, sedemikian rupa sehingga didapatkan suatu hasil air (water yield, total streamflow) secara maksimum, serta memiliki regime aliran (flow regime) yang optimum, yaitu terdistribusi merata sepanjang tahun (Purwanto, 1992).

Tujuan dari pengelolaan DAS adalah melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara rasional supaya dapat dimanfaatkan secara maksimum lestari dan berkelanjutan sehingga dapat diperoleh kondisi tata air yang baik. Sedangkan pembangunan berkelanjutan adalah pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam bagi kepentingan umat manusia pada saat sekarang ini dengan masih menjamin kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk generasi yang akan datang. Karyana (2001) mengemukakan bahwa tujuan dari pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada dasarnya adalah pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan dengan terlanjutkan (sustainable) sehingga tidak membahayakan lingkungan lokal, regional, nasional dan bahkan global.

Ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS. Aktifitas dalam DAS yang menyebabkan perubahan ekosistem, misalnya perubahan tata guna lahan di daerah hulu, dapat memberikan dampak pada daerah hilir berupa perubahan fluktuasi debit air, kandungan sedimen serta

Page 268: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop,2009 : 251-262

| 254 |

material terlarut lainnya. Pengelolaan DAS mempunyai pengaruh terhadap produktivitas dan fungsi DAS secara keseluruhan. Oleh karena itu di dalam pengelolaan DAS harus diarahkan pada target sebagai berikut :

1. Mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi; 2. Mampu menjamin kelestarian DAS, yaitu menjamin produktivitas

yang tinggi, erosi dan sedimen serendah mungkin, dan fungsi hidrologi DAS memberikan water yield yang tinggi dan cukup merata sepanjang tahun;

3. Mampu membina DAS yang lentur terhadap goncangan perubahan yang terjadi (resilient);

4. Tetap menjamin terlaksananya unsur-unsur pemerataan (equity) pada petani. (Arsyad et al., 1985 dalam Tikno, 1999)

III. KONDISI DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN

DAS DI JAWA TENGAH

A. Kondisi DAS di Jawa Tengah

Provinsi Jawa Tengah dengan luas daratan mencapai 3.254.412 Ha, terbagi dalam 5 Daerah Aliran Sungai besar, yaitu : DAS Pemali, DAS Jratun, DAS Solo, DAS Serayu dan DAS Opak Progo. Setiap wilayah DAS tersebut memiliki karakteristik dan permasalahannya masing-masing. Secara umum dapat kami sampaikan bahwa kondisi fisik secara umum DAS di Jawa Tengah telah mengalami perubahan fungsi lahan pada DAS. Wilayah hulu DAS yang seharusnya lebih dominan sebagai kawasan dengan fungsi lindung berubah untuk pemanfaatan lainnya, seperti untuk budidaya pertanian intensif dan pemukiman. Akibat lebih lanjut yang ditimbulkan dari perubahan fungsi kawasan lindung untuk pemanfaatan bukan lindung dengan pengolahan lahan yang intensif adalah menurunnya kemampuan lahan untuk menjalankan fungsi lindung serta sistem penyangga kehidupan. Fenomena kekeringan pada musim kemarau dan kejadian banjir pada musim penghujan yang telah menjadi kebiasaan pada dekade terakhir ini merupakan indikator terjadinya penurunan fungsi DAS dalam menjaga keseimbangan ekosistem DAS itu sendiri.

Luas lahan kritis di Jawa Tengah pada tahun 2005 mencapai 697.126 Ha (di dalam dan luar kawasan hutan, atau setara dengan 21,42% dari luas wilayah Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan hasil penelitian pada berbagai titik lokasi, rata-rata tingkat erosi yang terjadi mencapai 2,75 s/d 10,7 mm/tahun. Rincian kondisi kekritisan lahan di Jawa Tengah adalah sbb. :

Page 269: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Pemerintah Daerah....(Sri Puryono)

| 255 |

- luas lahan dengan kondisi Sangat kritis : 18.990 Ha, - luas lahan dengan kondisi Kritis : 156.309 Ha - luas lahan dengan kondisi agak kritis : 469.954 Ha

Terkait dengan kondisi keberadaan DAS dan lahan kritis, penanganan Daerah Aliran Sungai yang ada di Jawa Tengah umumnya merupakan kelompok DAS Prioritas, artinya DAS tersebut telah mengalami penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam serta degradasi atau kerusakan lingkungan. Permasalaan sumberdaya alam dan lingkungan yang dihadapi pada banyak DAS tersebut merupakan masalah yang bersifat multi dimensional.

Salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam dan lingkungan pada wilayah DAS adalah sistem pengelolaan yang sentralistis, dimana sejak tahap perencanaan, inisiasi kegiatan hingga implementasi dan evaluasi program seluruhnya dilakukan secara terpusat (top down). Kegiatan yang dilakukan tidak memberikan ruang yang cukup untuk menampung aspirasi lokal bisa berkembang.

B. Permasalahan Pengelolaan DAS di Jawa Tengah

Permasalahan umum dalam pembangunan pengelolaan DAS (Karyana, 2001) adalah belum mantapnya institusi dan lemahnya sistem perencanaan yang komprehensif. Gejala umum yang timbul dari kondisi di atas antara lain: (1) masyarakat dalam DAS masih ditempatkan sebagai objek dan bukan subjek pembangunan; (2) manfaat pembangunan lebih banyak dinikmati oleh elit-elit tertentu dan belum terdistribusi secara merata; (3) masyarakat belum mampu untuk berpartisipasi secara nyata dalam proses pembangunan; (4) masyarakat masih menjadi bagian terpisah (eksternal) dari ekosistem DAS.

Sedangkan permasalahan utama dalam pengelolaan DAS dan konservasi tanah berkaitan dengan masalah kelembagaan berupa : (1) perbedaan sistem nilai (value) masyarakat berkenaan dengan kelangkaan sumberdaya; (2) orientasi ekonomi yang kuat tidak diimbangi komitmen terhadap perlindungan fungsi lingkungan yang berimplikasi pada munculnya persoalan dalam implementasi tata ruang; (3) persoalan laten berkaitan dengan masalah agraria dan (4) kekosongan lembaga/instansi pengontrol pelaksanaan program (Marwah, 2001).

Page 270: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop,2009 : 251-262

| 256 |

Pendekatan yang terkotak-kotak dan cenderung mempertahankan "egoisme-regional" akan menekan efektivitas pengelolaan DAS pada tingkat terendah. Oleh karena itu setiap daerah yang bagian dari wilayahnya termasuk ke dalam wilayah DAS akan cenderung mengembangkan kawasan mereka menurut selera masing-masing. Padahal, DAS sebagai suatu kesatuan dan jejaring ekosistem, sangat rentan pada pendekatan parsial karena proses-proses pertukaran energi, materi dan informasi dalam suatu ekosistem sesungguhnya tidak "mengenal" batas wilayah administratif.

Dalam perspektif kelembagaan, terdapat hubungan sebab-akibat antara "sumberdaya alam & lingkungan" dengan "sistem sosial"-nya. Secara teoritis dan empiris, konsep "kelembagaan" dapat menjelaskan hubungan antara perubahan-perubahan sumberdaya alam dan lingkungan dan sistem sosialnya. Indikasi penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya alam erat kaitannya dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi pada tingkat rumahtangga, kelompok dan organisasi sosial, komunitas, dan masyarakat (sistem sosial). Secara sosiologis tingkatan sistem sosial tersebut dan pola hubungan antar-kelompok dan organisasi sosial tersebut dipandang sebagai suatu "kelembagaan".

Perubahan penggunaan lahan di pada wilayah DAS mengindikasikan telah terjadi proses penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. Secara sosiologis indikasi tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan-perubahan sosial di wilayah DAS, khususnya perubahan kelembagaan yang cenderung mengindikasikan bahwa kelembagaan-kelembagaan dan hubungan kelembagaan di wilayah DAS tidak berkelanjutan (institutional unsustainability).

IV. PENDEKATAN PARTISIPATIF DALAM PENGELOLAAN DAS

Perspektif tentang sistem pengelolaan dan tata kepemerintahan dalam perjalanan pembangunan di Indonesia mengalami perkembangan-perkembangan yang sangat radikal, selaras dengan berlangsungnya pergeseran nilai-nilai kehidupan sosial ekonomi dan politik pada tataran sistem sosial kemasyarakatan, selama satu dekade terakhir. Tata pemerintahan sentralisme yang dikenal otoritarian, berpendekatan serba seragam, serta mengabaikan inisiatif lokal telah digantikan oleh pendekatan yang memberikan bobot pada upaya

Page 271: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Pemerintah Daerah....(Sri Puryono)

| 257 |

perubahan berencana berbasis pada prakarsa masyarakat (akar rumput) yang sering dikenal dengan pendekatan bottom up.

Pendekatan pembangunan secara bottom up dicirikan oleh semangat partisipatif-kolaboratif, berbasis pada sumber kekuatan yang dimiliki oleh komunitas lokal, mengakui eksistensi kepentingan beragam (multistakeholders) yang didukung kuat oleh semangat demokratisme. Pendekatan pembangunan secara bottom up ini mendapat relevansi yang sangat kuat, manakala perhatian diarahkan kepada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dalam konteks kesatuan wilayah DAS. Selama ini wilayah ”lingkungan” dalam kesatuan wilayah DAS dikenal memiliki derajat konflik dari beragam pelaku kepentingan yang sangat tinggi.

Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pemberdayaan potensi dan kemampuan daerah, serta mendukung partisipasi tersebut makin kokoh kedudukannya sejak bergulir implementasi Otonomi Daerah dengan semangat desentralisme diundangkan melalui UU No. 22 tahun 1999. Sejak saat itu, masyarakat sipil mendapatkan makin banyak kesempatan dan ruang yang leluasa untuk terlibat langsung dalam proses perencanaan dan pembuatan kebijakan, yang selama beberapa dekade lalu didominasi oleh elit pemegang kekuasaan negara. Dari sisi ini dimensi ketatapemerintahan dalam pengelolaan DAS menjadi titik krusial dalam pengelolaan sumberdaya alam yang lestari dimasa mendatang.

Konsep tata-pemerintahan lingkungan (environmental governance) yang partisipatoris merupakan salah satu alternatif, oleh karena konsep ini bekerja atas dasar asumsi akomodasi atas kemajemukan cara pandang dalam menyikapi persoalan sumberdaya alam dan lingkungan dalam kerangka pengelolaan DAS. Konsep ini menekankan bahwa benturan yang selalu terjadi dan berulang karena perbedaan pandangan, akan dapat dicarikan titik-temunya melalui proses komunikasi yang multi-pihak dan kerjasama aksi yang bersifat kolaboratif.

Persoalan konflik kepentingan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam adalah masalah klasik yang selalu menjadi wacana penting. Sebagaimana diketahui, sumberdaya alam dipandang secara berbeda oleh masyarakat. Terdapat dua kutub masyarakat yang tak pernah satu pandangan, yaitu mereka yang menganut mahzab antroposentrisme melawan mereka dari golongan ekosentrisme.Kemajemukan cara pemahaman terhadap eksistensi sumberdaya alam dan lingkungan yang demikian itu, secara potensial

Page 272: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop,2009 : 251-262

| 258 |

bisa menghantarkan sebuah sistem sosial-kemasyarakatan pada situasi konflik berkepanjangan yang bisa membawa entitas sosial tersebut pada situasi disintegratif yang justru kontra-produktif terhadap keseluruhan hasil pembangunan yang diharapkan. Untuk mencari hasil optimal dan titik temu yang bisa diterima secara luas, salah satu solusinya adalah membuka akses lebih besar masyarakat sipil dan semua pihak berkepentingan kepada ruang-ruang kekuasaan yang memungkinkan para-pihak bisa membangun dialog yang kondusif dan komunikatif, terutama dalam perumusan kebijaksanaan pemanfaatan sumberdaya alam pada wilayah DAS.

V. PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH DALAM DESENTRALISASI PENGELOLAAN DAS

Kebijakan dan kelembagaan (institusi) sulit dipisahkan, seperti dua sisi sekeping mata uang. Kebijakan yang bagus tetapi dilandasi kelembagaan yang jelek tidak akan membawa proses pembangunan mencapai hasil secara maksimal. Demikian juga sebaliknya, kelembagaan yang bagus tetapi kebijakannya tidak mendukung juga membuat tujuan pembangunan sulit dicapai sesuai harapan. Pengalaman menunjukkan bahwa kegagalan pembangunan seringkali bersumber dari kegagalan negara dan pemerintah dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan yang benar serta mengabaikan pembangunan kelembagaan yang seharusnya menjadi dasar dari seluruh proses pembangunan baik sosial, ekonomi, politik, teknologi maupun pengelolaan sumber daya alam. Ringkasnya kegagalan terjadi karena tata kelola pemerintahan yang buruk.

Berbicara tentang kelembagaan, atau institusi, umumnya pandangan orang lebih diarahkan kepada organisasi, wadah atau pranata. Organisasi hanyalah wadahnya saja, sedangkan pengertian lembaga mencakup juga aturan main, etika, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau suatu sistem. Bayangkan apa yang akan terjadi di dalam suatu tim kerja, kelompok masyarakat atau tim olah raga tertentu ada organisasi tetapi tidak ada aturan mainnya? Kebijakan adalah intervensi pemerintah (dan publik) untuk mencari cara pemecahan masalah dalam pembangunan dan mendukung proses pembangunan yang lebih baik. Kebijakan adalah upaya, cara dan pendekatan pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan yang sudah dirumuskan. Kebijakan bisa juga merupakan upaya pemerintah untuk memperkenalkan model pembangunan baru berdasarkan masalah lama. Kebijakan juga adalah upaya untuk mengatasi kegagalan dalam proses pembangunan. Kegagalan itu bisa kegagalan kebijakan itu sendiri, kegagalan

Page 273: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Pemerintah Daerah....(Sri Puryono)

| 259 |

pemerintah dan negara, kegagalan dalam bidang kelembagaan, kegagalan dalam ekonomi, perdagangan dan pemasaran dan sebagainya (Djogo et al., 2003).

Pengertian kelembagaan yang digunakan untuk mendefinisikan kelembagaan dalam pengelolaan DAS adalah : Suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama.

Berbagai unsur penting dari kelembagaan dalam upaya mewujudkan pengelolaan DAS yang berkelanjutan (Djogo et al., 2003) adalah:

1. Institusi merupakan landasan untuk membangun tingkah laku social masyarakat

2. Norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat dan diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar manusia yang terstruktur

3. Peraturan dan penegakan aturan/hukum 4. Aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan

kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota

5. Kode etik 6. Kontrak 7. Pasar 8. Hak milik (property rights atau tenureship) 9. Organisasi 10. Insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan VI. PENUTUP

Dari berbagai elemen di atas dapat kita lihat bahwa definisi

institusi atau kelembagaan didominasi oleh unsur-unsur aturan, tingkah laku atau kode etik, norma, hukum dan faktor pengikat lainnya antar anggota masyarakat yang membuat orang saling mendukung dan bisa berproduksi atau menghasilkan sesuatu karena ada keamanan, jaminan akan penguasaan atas sumber daya alam yang didukung oleh peraturan dan penegakan hukum serta insentif untuk

Page 274: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop,2009 : 251-262

| 260 |

mentaati aturan atau menjalankan institusi. Tidak ada manusia atau organisasi yang bisa hidup tanpa interaksi dengan masyarakat atau organisasi lain yang saling mengikat. Perpaduan antara berbagai pendekatan ini bisa menghasilkan analisis kelembagaan yang memadai. Apa implikasi dari pembangunan atau penguatan kelembagaan bagi pengembangan wanatani? Kelembagaan (institusi) bisa berkembang baik jika ada infrastruktur kelembagaan, ada penataan kelembagaan dan mekanisme kelembagaan.

Pengembangan kelembagaan dalam pengelolaan DAS sangat sulit mengingat kompleksnya komponen-komponen dalam pengembangannya. Ada aspek ekologi, teknologi, sistem produksi pertanian, pengelolaan hutan, sosial, ekonomi dan politik. Terlepas dari kompleksitas permasalahan yang ada, kelembagaan di Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pengelolaan DAS tidak terlepas dari komponen yang bertanggung jawab dalam pengelolaan DAS pada masing - masing wilayah, utamanya kelembagaan Pertanian dan Kehutanan, Penataan Ruang dan Wilayah, Kelautan dan Perikanan, Lingkungan Hidup, dan juga kelembagaan administratif. DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Djogo, T, Sunaryo, D. Suharjito dan M. Sirait. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestri 8. World Agroforestry Center (ICRAF). Bogor.

Karyana, A. 2000. Pembangunan Partisipatoris dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, [online], (http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/01101/AKARYANA.htm), diakses tanggal 1 Januari 2004.

Marwah, S. 2001. Daerah Aliran Sungai (DAS) Sebagai Satuan Unit Perencanaan Pembangunan Pertanian Lahan Kering Berkelanjutan, [online] (http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/03112/sitti_marwah.htm), diakses tanggal 1 Januari 2004.

Page 275: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Pemerintah Daerah....(Sri Puryono)

| 261 |

Purwanto, E. (1992). Pemanfaatan dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai Dengan Menggunakan Parameter Hidrologi. Majalah Kehutanan Indonesia, Edisi No. 10 tahun 1991/1992.

Tikno, S. 1999. Pengelolaan DAS dan Kaitannya Dengan Program Pengembangan Wilayah. Prosiding Konperensi Energi, Sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPP Teknologi Jakarta, 11-13 Augustus 1999.

Page 276: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop,2009 : 251-262

| 262 |

Lampiran: Luas Lahan Kritis di Luar Kawasan Hutan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003.

Page 277: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 263 |

22. PERAN KAWASAN KONSERVASI DI JAWA TENGAH DALAM MENDUKUNG

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)1

Oleh :

Minto Basuki2

ABSTRAK

Hutan sebagai salah satu sumber daya alam hayati merupakan unsur penting dari lingkungan hidup yang mendukung hidup dan kehidupan manusia. Kerusakan hutan juga berdampak bagi ekosistem daerah aliran sungai Daerah Aliran Sungai (DAS). Sedangkan kawasan konservasi merupakan salah satu kawasan hutan yang masih tersisa pada era reformasi ini bila di bandingkan dengan kawasan hutan produksi dan yang lainnya. Selain mempunyai fungsi utama sebagai pengawetan dan pelestarian keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, kawasan konservasi juga mempunyai peranan penting dalam pengendalian sistem tata air bagi daerah sekitar kawasan terutama bagi kawasan konservasi yang ada di sekitar DAS. Kawasan konservasi merupakan benteng terakhir dalam pengelolaan hutan di Indonesia yang dikarenakan dua bentuk kawasan hutan yang lain yaitu kawasan produksi dan kawasan lindung telah tinggi tingkat degradasi hutannya oleh sebab eksploitasi hutan yang berlebihan dan konversi lahan yang tidak memenuhi kaidah lingkungan. Kata kunci : Kawasan konservasi, DAS.

I. PENDAHULUAN

Hutan sebagai salah satu sumber daya alam hayati merupakan unsur penting dari lingkungan hidup yang mendukung hidup dan kehidupan manusia. Untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan, maka manusia harus menjaga kualitas hutan dengan luas yang cukup dan kondisi yang bagus. Kerusakan hutan dan lahan yang terjadi sekarang ini telah berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan seperti menurunnya tingkat keanekaragaman hayati, menurunnya kemampuan hutan sebagai paru-paru dunia yang semakin berkurang dalam memproduksi oksigen

1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS Surakarta, 22 Nopember 2007. 2 Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah, Jl. Menteri Supeno I/2

Lt. IV Semarang. Telp 024-8414750.

Page 278: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 271-280

| 264 |

termasuk menurunnyakemampuan menciptakan stabilitas hidrologi, mengurangi banjir, mengendalikan erosi, longsor dan sedimentasi. Siklus hidrologi tak lagi stabil, akibatnya musim kemarau jadi berkepanjangan dan banjir serta tanah longsor pada musim penghujan.

Kerusakan hutan juga berdampak bagi ekosistem daerah aliran sungai Daerah Aliran Sungai (DAS). Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 458 DAS yang secara umum tidak berfungsi. Parahnya laju kerusakan hutan semakin tinggi mencapai 2,83 juta hutan/tahun (Departemen Kehutanan, 2006). Akibat banyaknya lahan kritis , ketika musim penghujan, apalagi bila Intensitas curah hujan tinggi, aliran permukaan sangat tinggi, sehingga memyebabkan kembalinya air ke laut tidak tertahankan sedangkan yang terserap ke tanah hanya sedikit. Hutan tergolong sebagai sumber daya yang terbarui (renewable resources), meski demikian bila hutan rusak maka untuk merestorasi hutan akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Hutan yang kritis akan berdampak pada kerusakan sistem DAS, baik ekologis bentang lahan maupun tata air. Hal ini berarti fungsi DAS sebagai penyedia air dalam kehidupan akan terganggu.

Kawasan konservasi merupakan salah satu kawasan hutan yang masih tersisa pada era reformasi ini bila di bandingkan dengan kawasan hutan produksi dan yang lainnya. Selain mempunyai fungsi utama sebagai pengawetan dan pelestarian keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, kawasan konservasi juga mempunyai peranan penting dalam pengendalian sistem tata air bagi daerah sekitar kawasan terutama bagi kawasan konservasi yang ada di sekitar DAS.

II. KAWASAN KONSERVASI DI PROPINSI JAWA TENGAH

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah sebagai UPT Departemen Kehutanan di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam mengelola kawasan konservasi yang tersebar di seluruh Provinsi Jawa Tengah dengan berbagai perwakilan tipe ekosistem, antara lain :

1. Ekosistem pantai :Cagar Alam (CA) Nusakambangan Barat, Nusakambangan Timur dan Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Selok;

2. Ekosistem dataran rendah : CA Pagerwunung Darupono dan CA Cabak;

Page 279: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Kawasan Konservasi....(Minto Basuki)

| 265 |

3. Ekosistem dataran Tinggi : TWA Telogo Warno/ Pengilon, CA Telogo Dringo, CA Guci dan CA Telogo Ranjeng.

Balai KSDA Jawa Tengah memangku sebanyak 35 kawasan konservasi, yang terdiri dari 29 Cagar Alam, 5 Taman Wisata Alam dan 1 Suaka Margasatwa. Luas total seluruh kawasan konservasi tersebut adalah 3.089 ha (Menteri Kehutanan, 2007). Secara administratif wilayah kerja Balai KSDA Jawa Tengah meliputi wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang terdiri atas 35 Kabupaten / kota.

Kawasan konservasi memerlukan pengelolaan dan penanganan yang intensif dan terencana. Pengelolaannya mencakup aspek-aspek ekologis, ekonomi dan sosial budaya. Faktor-faktor inilah yang menentukan kelangsungan kelestarian kawasan. Dalam perjalanan waktu hingga saat ini, kondisi kawasan suaka alam mengalami penurunan, baik kondisi habitat maupun potensi alamnya.

Dari 35 kawasan konservasi yang dikelola Balai KSDA Jawa Tengah beberapa diantaranya merupakan kawasan penyangga DAS bagi lingkungan sekitarnya.

1. Cagar Alam Nusa Kambangan Barat dan Timur

Cagar Alam Nusa Kambangan merupakan kawasan hutan hujan tropis yang masih bisa dilihat di Pulau Jawa ini. Kawasan Cagar Alam Nusa Kambangan yang terletak di Pulau Nusa Kambangan yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Cilacap berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia. Selain menyimpan potensi keanekaragaman hayati tinggi, kawasan ini merupakan benteng penyelamat bagi Kabupaten Cilacap pada saat terjadi bencana tsunami tahun 2006. Pulau Nusa Kambangan mempunyai nilai strategis dan menjadi tembok penghalang sehingga ombak besar dari tsunami tidak sampai menghancurkan kota Cilacap seperti yang terjadi di Pangandaran.

2. Cagar Alam Telogo Dringo Cagar Alam Telogo Dringo terletak di Kabupaten Banjarnegara yang berada di kawasan Pegunungan Dieng. Di tengah kawasan terdapat sebuah telaga/danau seluas ± 10 hektar. Pada saat musim kemarau danau ini menjadi tumpuan penduduk sekitar untuk memenuhi kebutuhan air, terutama untuk pertanian.

Page 280: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 271-280

| 266 |

3. Cagar Alam Guci

Kawasan yang terletak di kaki Gunung Slamet bagian wilayah Kabupaten Tegal ini mempunyai potensi utama sebagai penyangga sumber mata air panas. Sumber mata air ini dimanfaatkan oleh Pemda setempat untuk obyek wisata pemandian air panas dan disalurkan ke penginapan-penginapan/homestay yang ada di sekitar kawasan.

4. Cagar Alam Telaga Ranjeng

Cagar Alam Telaga Ranjeng adalah kawasan cagar alam yang berada di Kabupaten Brebes dan berada di kaki Gunung Slamet bagian Utara. Ciri utama kawasan ini adalah telaga air tawar dengan luasnya sekitar 18,5 hektar yang di dalamnya terdapat ribuan ikan lele yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar kawasan. Barang siapa yang berani mengambil sesuatu dari telaga pasti akan mendapat musibah demikian kepercayaan masyarakat di sana yang patut dilestarikan.

5. Cagar Alam Moga

Cagar Alam Moga berada di Kabupaten Pemalang. Di dalam kawasan ini terdapat sumber mata air Kali Granggang yang mengalir menuju Kali Comal. Sumber mata air ini digunakan masyarakat sekitar kawasan untuk kebutuhan air bersih dan pengairan.

6. Cagar Alam Curug Bengkawah

Kawasan yang terletak di Kabupaten Pemalang ini juga menyimpan potensi hidrologi bagi masyarakat sekitar kawasan. Di dalam Cagar Alam ini terdapat air terjun yang cukup besar dan alami yang dimanfaatkan oleh penduduk untuk pemenuhan kebutuhan air.

7. Cagar Alam Gunung Clering

Gunung Clering merupakan kawasan konservasi terluas di Jawa Tengah dengan total luas kawasan 1328,40 Ha. Kawasan ini berada di Kabupaten Jepara dan dekat dengan Laut Jawa. Di dalam kawasan ini terdapat beberapa mata air dan air terjun kecil yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk pemenuhan kebutuhan air bersih dan pengairan sawah.

Page 281: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Kawasan Konservasi....(Minto Basuki)

| 267 |

8. Cagar Alam Keling II/III

Cagar Alam Keling II/III berada di Kabupaten Jepara, kawasan ini berbatasan langsung dengan Laut Jawa dan berfungsi untuk mencegah abrasi dan intrusi air laut bagi daerah sekitarnya.

9. Taman Wisata Alam Gunung Selok Taman Wisata Alam Gunung Selok merupakan salah satu kawasan konservasi di Kabupaten Cilacap. Kawasan ini salah satu TWA dari 4 TWA yang dikelola oleh Balai KSDA Jawa Tengah dengan daya tarik wisatanya adalah obyek wisata gua-gua dan wisata religi. Gunung Selok berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia, selain berfungsi sebagai tempat wisata kawasan ini juga berfungsi sebagai pencegah abrasi dan intrusi air laut ke daratan di sekitarnya

10. Taman Wisata Alam Tlogo Warno/Pengilon

Taman Wisata Telogo Warno/Pengilon ini berada di kawasan Pegunungan Dieng. Di dalam kawasan ini terdapat dua buah telaga yang berdampingan yang mempunyai karakteristik yang berbeda. Air di dalam Tlogo Warno berwarna hijau dan mengandung gas CO sedangkan air di Tlogo Pengilon bening seperti cermin. Selain berfungsi sebagai tempat wisata, air dari telaga ini digunakan oleh masyarakat di sekitar kawasan terutama pada musim kemarau untuk pengairan ladang mereka, karena daerah ini dikenal sebagai sentra penghasil kentang.

11. Taman Wisata Alam Sumber Semen

Taman Wisata Sumber Semen terletak di Kabupaten Rembang, dan di dalamnya terdapat wisata pemandian. Jaringan hidrologi di kawasan TWA Sumber Semen diawali dengan adanya sumber air yang berasal dari mata air yang tersebar di pinggir Sungai Walanggabeng yang disebut Sumber Sewu, dan mata air yang mengisi pemandian Sumber Semen yang terdapat di sebelah Utara di dalam pemandian tersebut. Sumber/mata air tersebut mempunyai debit air 600 liter/detik dan tidak pernah kering sepanjang tahun. Sumber mata air ini juga dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk keperluan sehari-hari.

12. Taman Wisata Alam Grojogan Sewu

Taman Wisata Alam Grojogan Sewu merupakan salah satu kawasan wisata yang terkenal di Jawa Tengah. Kawasan ini tidak pernah sepi dari pengunjung yang datang dari berbagai kota untuk menikmati keindahan air terjun. Selain menikmati keindahan air terjun,

Page 282: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 271-280

| 268 |

pengunjung juga bisa merasakan kesejukan udara pegunungan dibawah pepohonan rindang yang terdapat di sekitar kawasan. Air terjun ini kemudian mengaliri sungai-sungai yang berada di bawah kawasan yang kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih dan pengairan sawah.

III. PERMASALAHAN Keberadaan kawasan konservasi di tengah-tengah lingkup

masyarakat akan selalu mengundang berbagai bentuk permasalahan dan tekanan yang mengancam kelangsungannya. Laju pertambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan hidup yang semakin tinggi mendorong aktivitas manusia semakin mendesak ke arah pemanfaatan sumber daya hutan di kawasan konservasi yang ada di sekitar mereka.

Di samping itu keterbatasan kemampuan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menjaga keutuhan ekosistem kawasan konservasi mengakibatkan banyak kawasan yang menjadi sumberdaya alam yang terbuka (open acces). Kondisi demikian seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk keuntungan ekonomi jangka pendek yang menimbulkan dampak negatif terhadap keutuhan ekosistem kawasan.

Beberapa permasalahan yang sering muncul di kawasan konservasi wilayah Balai KSDA Jawa Tengah antara lain :

1. Pemanfaatan tanpa ijin, baik perambahan kawasan, pemanfaatan hasil hutan maupun jasa lingkungan air illegal;

2. Belum adanya tata batas kawasan; 3. Keterbatasan sarana dan prasarana serta personil; 4. Kerusakan kawasan yang cenderung meningkat sebagai

akibat dari meningkatnya aktivitas masyarakat ke dalam kawasan.

Terdapat dua permasalahan kawasan penting di wilayah kerja Balai KSDA Jawa Tengah yang memerlukan penanganan segera dan prioritas, yaitu : 1. Batas Kawasan Konservasi

Masalah klasik yang masih menjadi kendala dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah masalah batas kawasan. Permasalahan yang sering dijumpai adalah : a. Sudah ditata batas tetapi pal batas tidak ada (CA

Nusakambangan Barat dan CA Nusakambangan Timur);

Page 283: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Kawasan Konservasi....(Minto Basuki)

| 269 |

b. Tanah timbul di TWA Gunung Selok; c. Pergeseran pal batas akibat penjarahan kawasan (TWA

Telogo Warno/ Pengilon); d. Hilang / rusaknya beberapa pal batas (CA Gunung Celering

dan CA Telogo Ranjeng); e. Terdapatnya perbedaan persepsi mengenai status kawasan

dengan Perum Perhutani (CA Vak 53 Comal).

2. Perambahan Kawasan Konservasi Seiring dengan meningkatnya laju pertambahan penduduk

yang disertai krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak tahun 1998, maka gangguan terhadap hutan dan kawasan konservasi pun ikut meningkat. Gangguan tersebut sudah pada tingkat yang membahayakan, mengingat banyaknya aktivitas di dalam kawasan konservasi, seperti penjarahan dan perambahan yang tidak terkendali sehingga hutan tidak/ kurang mampu lagi menjalankan fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan. Akibatnya adalah hilangnya plasma nutfah yang berada di dalam kawasan konservasi dan berkurangnya fungsi kawasan sebagai pelindung sistem tata air bagi kawasan sekitarnya.

Beberapa kawasan konservasi di wilayah kerja Balai KSDA Jawa Tengah tidak luput dari penjarahan dan perambahan tersebut dan kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Salah satu kawasan konservasi yang paling mendapat tekanan akibat kegiatan tersebut adalah CA Keling dan CA Gunung Celering, Kabupaten Jepara.

Modus operandi yang umumnya mereka pakai adalah menghilangkan pal batas kawasan dengan cara menimbun atau membuang pal batas ke tempat lain. Hal ini dapat ditunjukan dengan ditemukannya pal-pal yang roboh yang lokasinya jauh dari lokasi semula. Selanjutnya lahan kawasan yang dirambah masyarakat dijadikan sebagai lahan pertanian tanaman pangan, agroforestri, dan perkebunan. Kondisi tersebut jelas sangat berpengaruh terhadap kondisi kawasan, apalagi mengingat kawasan CA Keling II/III berbatasan langsung dengan pantai sehingga fungsinya sebagai pencegah abrasi dan intrusi air laut berkurang. Pada tahun 2002 Balai KSDA Jawa Tengah telah melakukan

rehabilitasi areal bekas perambahan dengan jenis endemik setempat, tetapi tanaman ini dicabuti masyarakat yang melakukan perambahan

Page 284: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 271-280

| 270 |

kawasan. Patroli pengamanan pun sering dilakukan di kawasan ini tetapi ketika petugas sudah pulang masyarakat kembali melakukan perambahan. Oleh karena itu sangat diperlukan kerjasama dengan berbagai instansi terkait untuk menyelesaikan masalah perambahan kawasan yang terjadi di kedua kawasan tersebut.

Permasalahan yang dilematis ini menyebabkan sulitnya untuk menentukan langkah pengelolaan kawasan, seperti adanya benturan dengan kepentingan vital masyarakat setempat dan peraturan yang berlaku. Status kawasan konservasi yang hanya dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan kegiatan yang menunjang budidaya menutup kemungkinan adanya pemanfaatan dan kegiatan lainnya.

Di sisi lain, segala keterbatasan baik secara fisik (sarana dan prasarana) serta sumber daya manusia (personil) tidak mampu mencegah laju kerusakan kawasan yang diakibatkan oleh berbagai faktor. Oleh karena itu, kegiatan pemulihan kawasan haruslah menjadi prioritas program dalam pengelolaan kawasan baik melalui pembinaan habitat, restorasi maupun rehabilitasi agar kawasan konservasi dapat berfungsi kembali secara optimal.

IV. ALTERNATIF SOLUSI Beberapa alternatif solusi yang bisa ditempuh antara lain :

- Melakukan rekonstruksi tata batas kawasan untuk menghindari terjadinya claim pihak-pihak tertentu terhadap kawasan;

- Sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakat guna memperkenalkan keberadaan dan pentingnya fungsi kawasan konservasi di lingkungan mereka sekaligus mengajak mereka untuk ikut menjaga dan melestarikannya;

- Melakukan pengamanan / patroli dan pengecekan kawasan secara rutin dan intensif;

- Monitoring potensi kawasan guna mengetahui perkembangan kondisi dan potensi kawasan yang dapat dijadikan dasar bagi langkah pengelolaan selanjutnya;

- Khusus untuk penanganan perambahan di CA Keling dan CA Gunung Celering perlu penanganan yang lebih lagi, alternatif solusi yang bisa ditempuh adalah dengan :

1. Evaluasi fungsi kawasan, melalui kegiatan : a. Rapat koordinasi dengan pihak terkait, seperti Dinas

Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, BPKH Wilayah XI, Dinas

Page 285: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Peran Kawasan Konservasi....(Minto Basuki)

| 271 |

Kehutanan dan Perkebunan Kab. Jepara, Perum Perhutani KPH Pati, Polres dan Polsek setempat, Kepala Desa dan tokoh masyarakat setempat, guna bersama-sama mencari solusi terbaik untuk mengatasi perambahan;

b. Bersama-sama pihak terkait mengadakan pendekatan dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pengelolaan cagar alam dalam rangka mencari bentuk kegiatan/ program untuk masyarakat agar tidak kembali merambah kawasan.

2. Monitoring kawasan; 3. Rekonstruksi tata batas yang bekerjasama dengan BPKH Wilayah

XI; 4. Apabila masyarakat masih merambah maka perlu adanya tindakan

represif melalui operasi gabungan antara Balai KSDA Jawa Tengah bersama dengan Instansi terkait;

5. Pembinaan habitat CA Keling dan CA Gunung Celering melalui kegiatan rehabilitasi/ restorasi kawasan bekas perambahan;

6. Monitoring dan pemeliharaan pasca rehabilitasi/ restorasi. V. PENUTUP

Kawasan konservasi merupakan benteng terakhir dalam pengelolaan hutan di Indonesia yang dikarenakan dua bentuk kawasan hutan yang lain yaitu kawasan produksi dan kawasan lindung telah tinggi tingkat degradasi hutannya oleh sebab eksploitasi hutan yang berlebihan dan konversi lahan yang tidak memenuhi kaidah lingkungan. Akan tetapi perkembangan jaman yang menuntut tingkat pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih tinggi menyebabkan kerusakan hutan juga merambat ke kawasan konservasi yang disebabkan karena faktor alam (bencana alam seperti banjir dan tanah longsor) ataupun faktor manusia (perambahan, pemanfaatan hasil hutan yang ilegal, illegal logging, rusak/hilang/bergesernya/belum adanya pal batas kawasan, maupun tumpang tindihnya status pengelola kawasan). Kawasan hutan harus diprioritaskan dijaga kelestariannya terutama kawasan-kawasan hutan yang terletak di DAS, baik itu DAS hulu maupun hilir karena DAS merupakan area yang berfungsi sebagai regulator (pengatur) siklus air. Oleh karenanya kawasan hutan yang berada di dalam suatu DAS harus difungsikan sebagai kawasan konservasi dan kawasan lindung dan dalam pengelolaan DAS sangat diperlukan kerjasama multi stakeholders (pemerintah pusat, daerah, BUMN, swasta/BUMS, LSM, dan

Page 286: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 271-280

| 272 |

masyarakat) yang baik agar tujuan pengelolaan hutan yaitu hutan lestari masyarakat sejahtera dapat terwujud. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 2006. S.01/II/PIK-

1/2006 tanggal 2 Januari 2006, [online], (http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/2037), diakses tanggal 1 Mei 2006.

Menteri Kehutanan Republik Indonesia, 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No : P.02/Menhut-II/2007 tentang Daftar Wilayah Kerja Seksi Konservasi Wilayah Lingkup Balai Ksda Jawa Tengah Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan. Departemen Kehutanan, 2007.

Page 287: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 273 |

23. ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) BRANTAS1

Oleh:

Purwanto2 dan Paimin2

ABSTRAK

Keluaran (output) pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dipengaruhi oleh input yang meliputi kondisi fisik, sosial, ekonomi, kelembagaan dan aktivitas manajemen itu sendiri. Dalam proses penyusunan perencanaan, masukan tersebut harus diketahui untuk menentukan strategi dan skenario pengelolaannya. Karena masukan dalam pengelolaan DAS berbeda satu DAS dengan DAS-DAS lainnya maka input tersebut merupakan ciri khas atau karakter tertentu suatu DAS. Untuk penyusunan rencana jangka panjang pengelolaan DAS dalam satu propinsi perlu diketahui karakter sosial ekonomi untuk masing-masing kota dan kabupaten dalam propinsi tersebut. Makalah ini merupakan hasil kajian karakterisasi DAS Brantas yang didasarkan pada Data Statistik Tahun 2004. Kajian dilakukan dengan pengumpulan data sekunder dan penelitian kualitatif melalui indepth interview. Parameter dalam kajian ini meliputi: kepadatan penduduk, pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, dan kelembagaan dalam pengelolaan DAS. Sebagian besar dari data dikumpulkan dari Biro Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur dan Biro Pusat Statistik Kota dan Kabupaten di DAS Brantas sedangkan data kelembagaan dikumpulkan melalui snowball analysis dengan informan kunci terdiri dari stakeholders yang terkait dengan perencanaan pengelolaan DAS Brantas. Hasil kajian menunjukkan: 1). Kepadatan penduduk di DAS Brantas adalah 1.213 orang/km2 (berdasarkan FAO, 1985 penduduk padat adalah > 250 orang/km2), 2). Pendapatan per kapita Rp. 10.129.787,-/orang/tahun (lebih rendah dari pendapatan rata-rata penduduk Propinsi Jawa Timur sebesar Rp. 10.965.076,-/orang/tahun) kecuali Kota Kediri sebesar Rp. 59.843.787,-/orang/tahun. 3). Pertumbuhan ekonomi regional di DAS Brantas 4,9% lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi Jawa Timur (4,2%) pada tahun 2004), 4). Struktur ekonomi: a. pertanian ditemukan di satu kota dan delapan kabupaten, b. struktur industri ditemukan di tiga kota dan dua kabupaten, dan c. struktur jasa ditemukan di dua kota, 5). Dari aspek kelembagaan terdapat beberapa institusi sebagai 1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS Surakarta, 22 Nopember 2007. 1 Peneliti Ekonomi Sumberdaya Hutan Balai Penelitian Kehutanan Solo Jalan A.

Yani. Pabelan, P.O.Box 295 Surakarta, Tilp.0271 716709, e-mail purwanto_ alas@ yahoo.com

Page 288: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288

| 274 |

perencana tetapi satu dengan lainnya koordinasinya lemah sedangkan implementator terdiri berbagai Dinas Tingkat II dan UPT Pemerintah Pusat sedangkan monitoring dan evaluasi belum dilakukan untuk seluruh DAS. Kata kunci: Pengelolaan DAS, Aspek Sosial Ekonomi, Karakterisasi DAS. I. PENDAHULUAN

Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai salah satu unsur utama dalam pengelolaan DAS adalah perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Dalam sektor Kehutanan, karakteristik DAS tersebut, lebih lanjut dituangkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS. Dalam Pedoman tersebut, karakteristik DAS mencakup parameter: luas, topografi, geologi, tanah, iklim, kondisi hidrologi, penggunaan lahan, kerapatan drainase, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Disamping itu DAS juga diklasifikasi berdasarkan perwilayahan yakni DAS lokal, regional, nasional, dan internasional (Dept. Kehutanan, 2001). Pengelolaan DAS dalam Surat Keputusan tersebut di atas, belum selaras dengan perencanaan pembangunan yang didasarkan pada daerah administrasi, propinsi, kota dan kabupaten.

Disisi lain, pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan bagian dari pembangunan wilayah. Secara administrasi pemerintahan, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi menjadi wilayah besar Propinsi dan wilayah kecil (kota dan Kabupaten). Oleh sebab itu rencana pembangunan daerah dibagi menjadi Rencana Pembangunan Propinsi dan Rencana Pembangunan Kota dan Propinsi.

DAS Brantas merupakan bagian dari wilayah Propinsi Jawa Timur yang meliputi 16 daerah otonom yaitu enam kota dan 10 kabupaten. Keenam belas daerah otonom tersebut memiliki ciri ekonomi regional masing-masing. Karena pengelolaan DAS merupakan bagian pembangunan wilayah secara keseluruhan maka ciri khas masing-masing kota dan kabupaten perlu diketahui dan dimanfaatkan sebagai potensi atau sumberdaya pembangunan. Disamping itu pengelolaan, DAS Brantas merupakan DAS antar kota dan kabupaten yang organisasi formal pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi, Kota dan Kabupaten disamping instansi vertikal dari pemerintah pusat. Namun demikian bagaimana hubungan antar stakeholders dalam pengelolaan DAS tersebut perlu dikaji lebih lanjut.

Page 289: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Aspek Sosial Ekonomi....(Purwanto dan Paimun)

| 275 |

Tulisan ini merupakan eksplorasi ekonomi wilayah dan kelembagaan pemerintah pusat, propinsi, kota dan kabupaten di

Propinsi Jawa Timur yang diharapkan dapat digunakan sebagai landasan penyusunan sistem perencanaan jangka panjang pada pengelolaan DAS regional yang selaras dengan unit perencanaan pembangunan daerah otonom.

II. METODE

A. Lokasi dan Waktu Kajian

Berdasarkan deliniasi peta rupa bumi (RBI) skala 1 : 250.000, Wilayah DAS Brantas mencakup luas 12.000 km2 yang secara geografis terletak pada koordinat 07o10’27” – 08o15’54” LS dan 111o30’22” – 112o55’33” BT. Secara administratif DAS Brantas berada di wilayah Kabupaten-kabupaten: Malang, Blitar, Kediri, Tulungagung, Trenggalaek, Madiun, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Sidoarjo dan Kota-kota: Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya (Gambar 1). Penelitian dilakukan pada tahun 2006.

Gambar 1. Batas DAS, Sub DAS dan Kabupaten di DAS Brantas. B. Rancangan Kajian

Parameter sosial ekonomi karakter DAS dipilih berdasarkan dugaan pengaruhnya terhadap kesehatan DAS dan herarkhi

Page 290: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288

| 276 |

perencanaan pengelolaan DAS. Parameter sosial ekonomi karakteristik DAS tersebut terdiri dari: 1). Kepadatan penduduk, 2). Struktur ekonomi, 3). Pendapatan masyarakat, 4). Pertumbuhan ekonomi, dan 5). Kelembagaan pengelolaan DAS.

Berdasarkan pengaruhnya terhadap kesehatan DAS, kepadatan penduduk diduga sangat berpengaruh terhadap kesehatan DAS. Makin tinggi kepadatan penduduk maka penggarapan lahan semakin intensif baik pada lahan pertanian maupun pemukiman. Pada lahan pertanian penggarapan intensif yang melebihi kemampuan lahan menyebabkan lahan terdegradasi. Pada kawasan pemukiman, kepadatan yang tinggi menyebabkan kebutuhan untuk perumahan dan infrastruktur makin luas sehingga kemampuan tanah menginfiltrasi air hujan semakin kecil dan peluang terjadinya banjir semakin besar.

Dari data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat diketahui struktur ekonomi suatu Kabupaten atau Kota. Untuk kabupaten yang memiliki struktur ekonomi pertanian berarti kegiatan perekonomian sebagian berasal dari sektor pertanian. Permasalahan yang mungkin timbul dalam wilayah yang demikian antara lain erosi dan sedimentasi. Semakin intensif perekonomian dalam sektor pertanian maka semakin tinggi erosi dan sedimentasi. Sedangkan apabila suatu wilayah kabupaten/kota memiliki struktur ekonomi industri biasanya akan berdampak terhadap banjir dan pencemaran yang diakibatkan oleh pembangunan infrastruktur dan kegiatan industri.

Parameter pendapatan per kapita masyarakat dan pertumbuhan ekonomi merupakan parameter yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi pendapatan per kapita masyarakat memiliki kecenderungan semakin tinggi kesejahteraan masyarakatnya dengan asumsi distribusinya yang merata. Sedangkan parameter pertumbuhan ekonomi menunjukkan kecepatan kesejahteraan suatu masyarakat dapat dicapai. Parameter kelembagaan menunjukkan kemampuan lembaga dalam melakukan pengelolaan DAS dari perencanaan, implementasi, serta monitoring dan evaluasi.

C. Pengumpulan Data

Sesuai dengan tujuan kajian yaitu untuk perencanaan jangka panjang maka data yang dikumpulkan relatif tidak detail dan merupakan data sekunder yang dikumpulkan dari instansi terkait seperti Biro Pusat Statistik Jawa Timur, Bappeda Propinsi Jawa Timur, Bapedalda Propinsi Jawa Timur, dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Brantas, Perum Jasa Tirta I di Malang dan Biro

Page 291: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Aspek Sosial Ekonomi....(Purwanto dan Paimun)

| 277 |

Pusat Statistik Kabupaten serta Kota yang ada di DAS Brantas. Disamping itu juga dilakukan wawancara terstruktur pada para pihak (stakeholders) yang terkait dengan pengelolaan DAS Brantas pada instansi tersebut di atas.

D. Pengolahan dan Analisis Data

Data kepadatan penduduk dihitung rata-ratanya dan dilakukan perbandingan dengan standar kepadatan penduduk FAO (1989) dalam BTPDAS (2000). Struktur ekonomi diolah dari PDRB kemudian dilakukan analisis proporsi untuk sektor pertanian, industri dan jasa. Parameter aglomerasi industri dihitung dari jumlah perusahaan di empat kabupaten kajian. Pendapatan per kapita masyarakat dihitung dari PDRB dan dibagi dengan jumlah penduduk. Pertumbuhan ekonomi dihitung dari:

PDRB 2004 – PDRB 2003 G = ______________________ X 100% PDRB 2003 Kelembagaan pengelolaan DAS dianalisis secara kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Kajian

1. Kepadatan Penduduk

Berdasarkan hasil perhitungan dari data Jawa Timur Dalam Angka (Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur, 2004) rata-rata kepadatan penduduk di DAS Brantas sebesar 1.213 orang/km2 dengan sebaran setiap kabupaten seperti pada Tabel 1. Menurut FAO (1985) nilai kepadatan penduduk di DAS Brantas termasuk kategori ‘padat’ (>250 orang/km2). Penduduk terpadat ditemukan di Kota Surabaya sebesar 8.152 orang/km2 dan kepadatannya paling rendah penduduknya di DAS Brantas adalah Kabupaten Trenggalek sebesar 557 orang/km2.

Tabel 1. Kepadatan Penduduk di Kota dan Kabupaten yang Ada di DAS Brantas No Kabupaten/ Kota Jumlah

Penduduk Luas (km2)

Kepadatan/km2

1. Kota Batu 177.210 92,78 1.910 2. Kota Malang 767.558 110,06 6.974

Page 292: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288

| 278 |

No Kabupaten/ Kota Jumlah

Penduduk Luas (km2)

Kepadatan/km2

3. Kota Blitar 123.343 32,57 3.787 4. Kota Kediri 252.015 63,40 3.975 5. Kota Mojokerto 111.994 16,46 6.804 6. Kota Surabaya 2.660.487 326,36 8.152 7. Kab. Malang 2.338.837 2.979,41 785 8. Kab. Blitar 1.110.564 1.588,79 699 9. Kab. Kediri 1.474.757 1.386,05 1.064 10. Kab. Tulungagung 960.430 1.046,22 918 11. Kab. Trenggalek 671.308 1.205,22 557 12. Kab. Madiun 657.059 1.010,86 650 13. Kab. Nganjuk 1.028.437 1.224,33 840 14. Kab. Mojokerto 968.318 692,15 1.399 15. Kab. Jombang 1.172.358 903,90 1.297 16. Kab. Sidoarjo 1.682.402 634,39 2.652 Jumlah/rata-rata 16.157.077 13.312,95 1.213

Sumber : Diolah dari Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2005

2. Pendapatan Masyarakat

Besarnya pendapatan rata-rata per kapita merupakan potensi kesejahteraan masyarakat. Dikatakan potensi karena masih juga dipengaruhi oleh pemerataan. Apabila pendapatan rata-ratanya besar dan merata maka kesejahteraan masyarakat secara umum akan lebih baik. Pendapatan rata-rata masyarakat di DAS Brantas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pendapatan Per Kapita Penduduk DAS Brantas Tahun 2004 No Kota dan

Kabupaten PDRB Tahun

2004 (juta Rp)

Jumlah Pendudk (orang)

Rata-rata Pndapatan

/tahun (Rp/thn)

Dibanding Rata-2

Pndapatan Prop. Jatim (Rp/thn)

1. Kota Batu 643.669 177.210 3.632.238 < 2. Kota Malang 7.737.210 767.558 10.080.293 < 3. Kota Blitar 465.823 123.343 3.776.647 < 4. Kota Kediri 15.081.532 252.015 59.843.787 >>>

Page 293: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Aspek Sosial Ekonomi....(Purwanto dan Paimun)

| 279 |

No Kota dan

Kabupaten PDRB Tahun

2004 (juta Rp)

Jumlah Pendudk (orang)

Rata-rata Pndapatan

/tahun (Rp/thn)

Dibanding Rata-2

Pndapatan Prop. Jatim (Rp/thn)

5. Kota Mojokerto

846.591 111.994 7.559.253 <

6. Kota Surabaya

48.696.101 2.660.487 18.303.453 >

7. Kab. Malang 8.284.798 2.338.837 3.542.272 < 8. Kab. Blitar 3.317.273 1.110.564 2.987.016 < 9. Kab. Kediri 3.595.506 1.474.757 2.438.032 < 10. Kab.

Tulungagung 4.697.952 960.430 4.891.509 <

11. Kab. Trenggalek

1.278.325 671.308 1.904.230 <

12. Kab. Madiun 5.929.741 657.059 9.024.670 < 13. Kab. Nganjuk 2.845.893 1.028.437 2.767.202 < 14. Kab.

Mojokerto 3.350.682 968.318 3.460.311 <

15. Kab. Jombang

3.970.319 1.172.358 3.386.609 <

16. Kab. Sidoarjo 12.788.719 1.682.402 7.601.464 < J u m l ah/Rata2 16.157.07

7 13.849.367

Sumber : Diolah dari Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2005 Keterangan > Pendapatan per kapita Kabupaten Xi lebih besar dari

pendapatan per kapita Propinsi Jawa Timur < Pendapatan per kapita Kabupaten Xi lebih kecil dari

pendapatan per kapita Propinsi Jawa Timur >>> Pendapatan per kapita Kabupaten Xi jauh lebih

besar dari pendapatan per kapita Propinsi Jawa Timur

Dari Tabel tersebut di atas, terdapat data yang memencil (out

layer) yaitu pendapatan rata-rata per kapita Kota Kediri sebesar Rp. 59.843.787,-/tahun sehingga harus dikeluarkan dari perhitungan. Pendapatan per kapita yang tinggi di Kabupaten Kediri terutama karena adanya nilai tambah dari Pabrik Rokok PT. Gudang Garam.

Page 294: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288

| 280 |

Hasil perhitungan pendapatan rata-rata masyarakat di DAS Brantas setelah dikeluarkannya Kabupaten Kediri sebesar Rp. 10.129.308,-/tahun. Bila dibandingkan dengan pendapatan rata-rata per kapita Propinsi Jawa Timur sebesar Rp. 10.965.076,- maka pendapatan rata-rata masyarakat di DAS Brantas sedikit lebih kecil. Hampir semua kota dan kabupaten di DAS Brantas memiliki pendapatan rata-rata lebih kecil dari pendapatan rata-rata masyarakat di Propinsi Jawa Timur, kecuali Kota Kediri dan Surabaya. Sedangkan untuk Kota dan Kabupaten yang memiliki pendapatan rata-rata mendekati pendapatan rata-rata penduduk Jawa Timur adalah Kabupaten Malang, Madiun, Mojokerto dan Sidoarjo.

Untuk Kabupaten yang lain, pengelolaan DAS sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan percepatan pertumbuhan ekonomi melalui investasi yang produktif disamping untuk kegiatan konservasi. Percepatan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan dengan peningkatan investasi, teknologi dan keahlian serta ketrampilan sumberdaya manusianya yang tentunya dengan mempertimbangkan konservasi sumberdaya alam yang ada di dalam DAS Brantas.

Kajian hubungan pertumbuhan ekonomi dan investasi dilakukan oleh Harod (1939) dan Domar (1946, 1947). Harold dan Domar menyatakan bahwa suatu masyarakat miskin akibat kurangnya modal (capital) untuk itu meningkatkan pendapatan masyarakat perlu dilakukan investasi dari luar. Teori tersebut didasarkan atas teori sebelumnya tentang lingkaran setan kemiskinan, vicious circle of poverty (Rosenstein-Rodan, 1943) yang menyatakan pertumbuhan ekonomi rendah akibat produktivitas masyarakat rendah. Produktivitas rendah menyebabkan pendapatan masyarakat rendah. Akibat pendapatan rendah maka tabungan menjadi rendah. Akibat tabungan rendah maka investasi menjadi rendah. Akibat investasi rendah maka pertumbuhan ekonomi menjadi rendah. Untuk itu, Harold–Domar menyampaikan teorinya untuk mengatasi investation gap maka perlu adanya investasi dari luar wilayah. Investasi akan efektif apabila ditanamkan pada sektor-sektor yang memiliki perbandingan antara output dan kapital yang kecil. Artinya untuk mencapai output tertentu diperlukan kapital yang relatif kecil dibandingkan dengan sektor lainnya. Dengan adanya keterbatasan sektor pemerintah dalam hal modal dan keahlian, penanaman investasi dapat melibatkan sektor swasta. Perencanaan dapat memberikan arah (indikatif), penciptaan iklim, dan perangsang kegiatan terhadap peran kegiatan usaha swasta tersebut.

Page 295: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Aspek Sosial Ekonomi....(Purwanto dan Paimun)

| 281 |

Dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS, untuk meningkatkan perekonomian masyarakat tidak harus menginvestasikan langsung ke on farm sektor tetapi dapat dilakukan di industri hilir. Sebagai contoh untuk meningkatkan kemajuan pembangunan hutan rakyat dapat dilakukan dengan memberi kredit kepada industriawan sehingga industri perkayuan rakyat maju dan membutuhkan bahan baku yang lebih banyak yang pada akhirnya akan mendorong pembangunan hutan rakyat. Begitu juga sebaliknya, pada kondisi industri perkayuan kekurangan bahan baku maka percepatan produksi kayu melalui penanaman jenis-jenis pohon cepat tumbuh.

3. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan perubahan PDRB tahun 2003-2004 berdasarkan harga konstan tahun 2000 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kabupaten-kabupaten di DAS Brantas sebesar 4,9% pada tahun 2003-2004 (Tabel 3). Apabila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Timur yang sebesar 4,2% maka rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten-kabupaten di DAS Brantas lebih besar dibanding pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Timur namun masih ada Kabupaten yang memiliki pertumbuhan di bawah rata-rata yaitu Kabupaten Kediri, Madiun, dan Trenggalek.

Hal ini sesuai dengan teori double sectors (Lewis, 1955) dimana sektor perkotaan (industri dan jasa) memiliki surplus ekonomi yang lebih tinggi dibanding sektor pertanian. Pendapat tersebut didukung oleh Kindleberger dan Herrick (1977) dan Todaro (1993) yang menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi pada dasarnya merupakan suatu proses transformasi struktural yang ditandai dengan terjadinya pergeseran (share) dari sektor pertanian ke sektor industri manufaktur dan jasa dalam sistem ekonomi. Tabel 3. Pertumbuhan Ekonomi Kota dan Kabupaten di DAS Brantas No Kabupaten

atau Kota PDRB Tahun

2004 (juta Rp)

PDRB Tahun

2003 (juta Rp)

Kenaikan PDRB 2003-2004

(juta Rp)

Pertumbuhan

(%)

1. Kota Batu 643.669 610.155 33.514 5.5 2. Kota Malang 7.737.210 7.314.688 422.522 5.8 3. Kota Blitar 465.823 440.646 25.177 5.7 4. Kota Kediri 15.081.532 14.267.742 813.790 5.7

Page 296: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288

| 282 |

No Kabupaten

atau Kota PDRB Tahun

2004 (juta Rp)

PDRB Tahun

2003 (juta Rp)

Kenaikan PDRB 2003-2004

(juta Rp)

Pertum-buhan (%)

5. Kota Mojokerto

846.591 800.368 46.223 5.8

6. Kota Surabaya

48.696.101 46.181.149 2.514.952 5.4

7. Kabupaten Malang

8. Kab. Blitar 3.317.273 3.171.001 146.272 4.6 9. Kab. Kediri 3.595.506 3.516.939 78.567 2.2 10. Kab.

Tulungagung 4.697.952 4.472.847 225.105 5.0

11. Kab. Trenggalek

1.278.325 1.231.792 46.533 3.8

12. Kab. Madiun 5.929.741 5.747.544 182.197 3.2 13. Kab. Nganjuk 2.845.893 2.708.191 137.702 5.1 14. Kab.

Mojokerto 3.350.682 3.193.755 156.927 4.9

15. Kab. Jombang

3.970.319 3.782.145 188.174 5.0

16. Kab. Sidoarjo 12.788.719 12.119.611 669.108 5.5 Total dan Rata-rata (Total and Average)

7.720.633 7.338.970 381.662 4.9

Sumber : Diolah dari Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2005

4. Struktur Ekonomi

Struktur ekonomi menunjukkan peranan sektor-sektor perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia di suatu wilayah. Struktur ekonomi dibentuk oleh nilai tambah yang diciptakan oleh masing-masing sektor. Struktur ekonomi kabupaten yang wilayahnya berada di DAS Brantas seperti disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Struktur Ekonomi Kota dan Kabupaten di DAS Brantas

No

Kabu-paten

Pertanian (juta Rp.)

Industri (juta Rp.)

Jasa (juta Rp.)

Total (juta Rp.)

% thd PDRB DAS

%

Per- tanian

% In- dustri

%Ja-

sa

Domi-

nan

1. Kota Batu

123.827 69.156 89.925 282.908 43,7 24,4 31,8 Perta-nian

Page 297: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Aspek Sosial Ekonomi....(Purwanto dan Paimun)

| 283 |

Sumber : Diolah dari Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2005

Sumbangan pendapatan domestik regional bruto menunjukkan sumbangan sektor pembangunan. Dari 16 Kota dan Kabupaten yang ada di DAS Brantas: sembilan Kabupaten memiliki struktur ekonomi pertanian, lima Kabupaten memiliki struktur ekonomi industri dan dua kabupaten memiliki struktur ekonomi jasa. Hal ini berarti bahwa perekonomian DAS Brantas banyak dipengaruhi oleh sektor pertanian. Sedangkan sektor industri menyebar baik di hulu-tengah maupun hilir.

No

Kabu-paten

Pertanian (juta Rp.)

Industri

(juta Rp.)

Jasa

(juta Rp.)

Total

(juta Rp.)

% thd PDRB DAS

%

Per- tanian

% In- dustri

%Ja-sa

Domi-

nan

2. Kota Malang

46.718 2.758.648 905.906 3.711.272 1,3 74,3 24,4 Industri

3. Kota Blitar

45.250 66.341 129.810 241.401 18,7 27,5 53,8 Jasa

4. Kota Kediri

30.500 11.406.712 129.810 11.567.022 0,3 98,6 1,1 Industri

5. Kota Mojokerto

9.489 92.754 102.160 204.403 4,6 45,4 50,0

Jasa 6. Kota

Surabaya

87.091 15.344.830 2.268.599 17.700.520 0,5 86,7 12,8

Industri 7. Kab.

Malang 2.648.099 1.310.339 905.906 4.864.344 54,4 26,9 18,6 Perta-

nian 8. Kab.

Blitar 1.719.890 100.358 78.380 1.898.628 90,6 5,3 4,1 Perta-

nian 9. Kab.

Kediri 1.564.525 404.481 371.440 2.340.446 66,8 17,3 15,9 Perta-

nian 10. Kab.

Tlngagung

962.649 828.829 495.448 2.286.928 42,1 36,2 21,7 Perta-nian

11. Kab. Trenggalek

472.123 92.933 244.498 809.554 58,3 11,5 30,2 Perta-nian

12. Kab. Madiun

230.657 12.750 126.457 369.864 62,4 3,4 34,2 Perta-nian

13. Kab. Nganjuk

1.021.005 315.515 244.032 1.580.552 64,6 20,0 15,4 Perta-nian

14. Kab. Mojokerto

919.592 959.512 229.540 2.108.644 43,6 45,5 10,9

Industri 15. Kab.

Jombang

1.530.232 413.512 385.535 2.329.279 65,7 17,7 16,6 Perta-nian

16. Kab. Sidoarjo

822.230 6.370.283 435.086 7.627.599 10,8 83,5 5,7

Industri Jumlah 12.233.877 40.546.953 7.142.532 59.923.362

Page 298: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288

| 284 |

5. Kelembagaan

Organisasi yang terkait dengan pengelolaan DAS Brantas antara lain Balai Pengelolaan DAS Brantas di Surabaya, Dinas yang terkait sektor Kehutanan di setiap kabupaten, Badan Pengendalian Lingkungan Daerah Kabupaten, Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Timur dan Bappeda Propinsi Jawa Timur. Rencana pengelolaan DAS Brantas telah dilakukan oleh BPDAS Brantas: adalah Pola Pengelolaan DAS (1984), Rencana Teknik Lapangan RLKT Brantas (1997), dan Rencana Teknik Lapangan RLKT Brantas (1992). Disamping Rencana tersebut di atas, BAPEDALDA Propinsi Jawa Timur menyusun Rencana Induk Pengelolaan Lingkungan Hidup Satuan Wilayah Sungai Brantas. Monitoring dan evaluasi hanya dilakukan berdasarkan hamparan untuk kegiatan Gerakan Rehabilitasi Lahan dan pada titik-titik pengamatan untuk pemantauan arus sungai dan belum dilakukan berdasarkan satuan DAS. Dari uraian tersebut di atas fungsi manajemen di DAS Brantas: perencanaan (ada), koordinasi pelaksanaan (ada) walaupun masih lemah dan monitoring dan evaluasi seluruh DAS masih parsial.

B. Analisis dan Sintesis

Jumlah penduduk memiliki korelasi positif dengan struktur ekonomi. Untuk Kota dan kabupaten yang memiliki struktur ekonomi industri dan jasa memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak dari kota dan kabupaten yang memiliki struktur ekonomi pertanian. Bila dilihat dari jumlah penduduk dan struktur ekonomi ada teori model dua sektor yang terdiri dari sektor modern yaitu industri perkotaan dan tradisional yaitu pertanian (Lewis, 1955). Sektor pertanian ditandai oleh produktivitas sangat rendah atau bahkan nol sedangkan sektor industri biasanya memiliki produktivitas yang tinggi. Tenaga kerja akan pindah dari sektor pertanian ke sektor industri perkotaan akibat adanya perbedaan tingkat upah tenaga kerja (Fei dan Ranis, 1964). Pergerakan penduduk juga disebabkan oleh adanya modernisasi pertanian yang menimbulkan berkurangnya permintaan tenaga kerja di bidang pertanian sawah (Abustam, 1989). Perserikatan Bangsa-bangsa melaporkan bahwa penduduk dunia makin lama semakin banyak tinggal di kota, pada tahun 1998 hampir separuh penduduk dunia tinggal di perkotaan. Laporan ini juga menyajikan proyeksi bahwa melewati milenium baru, penduduk perkotaan akan melampaui jumlah penduduk yang tinggal di pedesaan dan pada tahun 2030 diperkirakan 3/5 penduduk dunia akan tinggal di perkotaan (United Nation Organization 1998). Hal ini akan berakibat pada memburuknya kualitas lingkungan di perkotaan yang

Page 299: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Aspek Sosial Ekonomi....(Purwanto dan Paimun)

| 285 |

salah satunya adalah penyediaan air bersih dan pencemaran lingkungan yang merupakan bagian dari tugas pengelolaan DAS. Di kota-kota besar Indonesia, penyediaan air bersih masih menjadi problem sebagian penduduk. Hal ini juga terjadi di kota-kota pada penduduk di negara berkembang lainnya seperti: India 735 juta orang dan Cina 725 juta orang tidak memiliki sanitasi air yang memadai (Department for International Development, 2005).

Apabila dilihat dari perkembangan pembangunan maka masyarakat di DAS Brantas dapat dikategorikan dalam tahap prasyarat untuk menuju tinggal landas. Sektor pertanian merupakan sektor yang dominan. Sesuai dengan teori linear stages model of development (Rostow, 1971) menyatakan bahwa proses pembangunan dapat dibedakan menjadi 5 (lima) tahap yaitu:

1). Masyarakat tradisional (the traditional society), produktivitas per pekerja masih rendah sehingga sebagian besar sumberdaya masyarakat digunakan untuk kegiatan sektor pertanian. Pada masyarakat ini struktur masyarakatnya bersifat herarkis dan mobilitas vertikal anggota masyarakat sangat kecil.

2). Prasyarat untuk tinggal landas (the preconditions for take off), dalam tahap ini sektor pertanian memiliki peran yang penting. Peranan tersebut antara lain: Kemajuan pertanian menjamin penyediaan bahan pangan bagi penduduk pedesaan dan perkotaan. Kenaikkan produktivitas sektor pertanian akan memperluas pasar industri penghasil input pertanian, akan menaikkan penerimaan pemerintah dari sektor pertanian melalui pajak sektor pertanian, dan akan menciptakan tabungan yang digunakan sektor lain sehingga bisa meningkatkan investasi sektor lain.

3). Tinggal landas (take off), pada tahap ini pertumbuhan ini selalu terjadi, terciptanya kemajuan yang pesat dalam inovasi dan terbukanya pasar-pasar baru. Akibat perubahan tersebut akan mempercepat laju pertumbuhan pendapatan daerah dan melebihi tingkat pertumbuhan penduduk, dengan demikian tingkat pendapatan per kapita semakin besar.

4). Menuju kedewasaan (the drive to maturity); yaitu masa dimana masyarakat secara efektif menggunakan teknologi modern pada hampir semua kegiatan produksi. Pada tahap ini sektor-sektor pemimpin baru akan muncul menggantikan sektor-sektor pemimpin lama yang akan mengalami kemunduran. Sektor-sektor pemimpin baru ini coraknya ditentukan oleh perkembangan teknologi, kekayaan alam dan kebijakan pemerintah, dan

Page 300: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288

| 286 |

5). Masa konsumsi tinggi (the age of mass-consumption). Dari Teori Rostow tersebut berdasarkan pengalaman pembangunan negara-negara maju dapat dikelompokkan menjadi tiga sektor yaitu pertanian, industri, dan jasa.

Dari aspek kelembagaan; organisasi perencana, implementator dan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan DAS Brantas seluruhnya lengkap namun koordinasi masih lemah. Hal ini perlu koordinasi dari tahap perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi sehingga kegiatan pengelolaan DAS lebih efektif dan efisien.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Penduduk di DAS Brantas relatif padat, yaitu 1.213 orang/km2 2. Pendapatan rata-rata masyarakat Kota dan Kabupaten di DAS

Brantas berada di bawah pendapatan rata-rata masyarakat Jawa Timur hanya Kabupaten Kediri dan Kota Surabaya yang memiliki pendapatan rata-rata masyarakat Jawa Timur.

3. Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten-kabupaten di DAS Brantas sebesar 4,9% setahun yang berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 4,2%.

4. Terdapat sembilan kabupaten di DAS Brantas yang memiliki struktur ekonomi pertanian, tiga kota dan dua kabupaten memiliki struktur ekonomi industri dan dua kota memiliki struktur ekonomi jasa.

5. Kelembagaan pengelolaan DAS Brantas, secara organisasi terdapat perencana dan implemetator tetapi tidak ada evaluator dan koordinasi antar lembaga masih lemah.

B. Saran

Diperlukan perencanaan yang lebih detail untuk perencanaan

lima tahunan pada tingkat Sub DAS yang memuat parameter sosial, ekonomi dan kelembagaan antara lain:

1. Wilayah yang memiliki penduduk yang padat dan sangat padat.

2. Tekanan penduduk terhadap lahan akibat penduduk yang padat.

3. Kantong-kantong kemiskinan untuk memilih strategi pengelolaan DAS yang dapat meningkatkan pendapatan.

Page 301: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Aspek Sosial Ekonomi....(Purwanto dan Paimun)

| 287 |

4. Hasil analisis sektor unggulan untuk menentukan investasi yang dapat memberikan return yang optimal dalam pengelolaan DAS.

5. Pemilihan kegiatan pengelelolaan DAS yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

6. Kelembagaan lokal yang mendorong pengelolaan DAS yang lestari.

DAFTAR PUSTAKA Abustam, M.I. 1989. Gerak Penduduk, Pembangunan dan Perubahan

Sosial: Kasus Tiga Komunitas Padi Sawah di Sulawesi Selatan. Seri Tesis. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur. 2004. Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2004. Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur. Surabaya.

Departemen Kehutanan. 2001. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. DitJen. RLPS. Dit. RLKT. Jakarta.

Department for International Development. 2005. Water Sanitation and Health. DFID KAR Newsletters, p:3.

Domar, E.D. 1946. Capital Expansion, Rate of Growth and Employment. Econometrica, April 1946: 137-147.

__________ 1947. The Problem of Capital Accumulation. American Economic Review, March 1947: 35-55.

FAO. 1985. Applied Research Needs and Soil Conservation Techniques for Field Trials in the Outer Islands. Minsitry of Forestry. United Nation Development Programme. Food and Agriculture Organiation of United Nations. Solo. Indonesia.

Fei, JCH dan G. Ranis. 1964. Development of the Labour Surplus Economy: Theory and Policy. Homewood, IL: Richard A. Irwin.Inc.

Harrod, R.F. 1939. An Essay in Dynamic Theory. Economic Journal.Vol. 9: 14-33.

Kindleberger, C.P. dan B. Herrick. 1977. Economic Development. Third Development. McGraw-Hill International Book Company. Tokyo.

Page 302: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288

| 288 |

Lewis, W.A. 1954. Economic Development with Unlimited Supplies of Labour. The Manchester School of Economic and Social Studies XXII (2) Mei 1954.

Rosenstein-Rodan, P. 1943. Problems of Industrialization of Eastern and Southeastern Europe. Economic Journal 5 (210-211) Juni-September 202-211.

Rostow, W.W. 1971. The Stages of Economic Growth, rev. ed., Cambridge University Press. Cambridge.

Todaro, M. 1993. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga. Erlangga. Jakarta.

Tjokroamidjojo, 1995. Perenecaan Pembangunan. Cetakan Kedelapan belas PT. Toko Gunung Agung. Jakarta.

United Nation Organization, 1998. World Urbanization Prospects the 1996 Revision: Estimates and Projections and Urban Agglomerations. Department of Economic, Social Affairs, and Population Division. New York.

Page 303: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

| 289 |

24. PEMBENTUKAN FORUM DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DALAM UPAYA PENINGKATAN FUNGSI DAS

BAGI LINGKUNGAN (Studi kasus upaya persiapan pembentukan forum DAS

di Kalimantan Selatan)1

Oleh

Wawan Halwan2

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito merupakan salah satu dari empat DAS di Kalimantan yang kondisi lahannya sudah kritis. DAS Barito merupakan bagian dari 60 DAS kritis di Indonesia yang menjadi prioritas utama untuk direhabilitasi. Pembentukan forum DAS di setiap propinsi merupakan salah satu upaya pemerintah memfasilitasi terbentuknya wadah para pihak yang peduli dengan penyelamatan DAS-DAS kritis tersebut. Tujuan pembuatan tulisan ini adalah untuk mengkaji kelembagaan forum DAS dilihat dari aspek proses pembentukannya, dan hal-hal yang menjadi prospek dan kendala dari forum DAS di Kalimantan Selatan ini dilihat dari sisi kelembagaannya. Kekuatan : Forum DAS dibentuk atas Partisipasi masyarakat, Kondisi DAS yang rusak, Ketersediaan Sumber Daya Manusia, Legalisasi forum DAS. Kelemahan: Keterlibatan masyarakat hulu kecil, DAS di Kalimantan Selatan meliputi dua propinsi, Kurangnya sosialisasi, Sumber Dana. Peluang: Isu bencana dan adanya nilai jual/kompensasi. Ancaman: Paradigma otonomi yang sempit dan lemahnya koordinasi Kata kunci : DAS Kritis, forum DAS Kalimantan Selatan, Prospek dan

tantangan

I. PENDAHULUAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito merupakan salah satu dari empat DAS di Kalimantan yang kondisi lahannya sudah kritis. DAS Barito merupakan bagian dari 60 DAS kritis di Indonesia yang menjadi prioritas utama untuk direhabilitasi. Di Indonesia saat ini ada 1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya

Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007. 2 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru).Jl. Sei Ulin No. 28 B

Banjarbaru Kalimantan Selatan, Telp (0511) 4772085, [email protected]

Page 304: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 289-299

| 290 |

458 DAS kritis, 60 DAS yang menjadi prioritas utama untuk ditangani, 222 DAS dalam prioritas kedua, dan 176 DAS prioritas ketiga. DAS Sungai Barito yang memiliki panjang 1.160 km mengalami kerusakan ekosistem akibat hutannya terus dibabat. Kondisi sebagian sungai dan anak-anak sungainya juga rusak serta mengalami pendangkalan. Bahkan diantaranya ada yang tercemar akibat penggunaan merkuri dalam kegiatan penambangan emas tanpa izin, dan limbah rumah tangga (Kompas, 2007).

Dalam lima tahun terakhir (2000-2005) laju deforestasi (penghilangan hutan) sebesar 1,08 juta ha. Sementara laju rehabilitasi lahan yang rusak itu setiap tahunnya hanya 500.000 ha hingga 700.000 ha (Direktur Pengelolaan DAS, 2007). Dari luas hutan Indonesia 120,35 juta ha, saat ini 30,83 juta ha sudah tidak berhutan lagi. Pembentukan forum DAS di setiap propinsi merupakan salah satu upaya pemerintah memfasilitasi terbentuknya wadah para pihak yang peduli dengan penyelamatan DAS-DAS kritis tersebut. Saat ini ada 13 propinsi di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi yang sudah membentuk forum ini. Sementara di Kalimantan, semuanya masih dalam persiapan (Sunarya, 2007).

Tujuan pembuatan tulisan ini adalah untuk mengkaji

kelembagaan forum DAS dilihat dari aspek proses pembentukannya dan hal-hal apa saja yang menjadi prospek dan kendala dari forum DAS di Kalimantan Selatan ini dilihat dari sisi kelembagaannya. Diharapkan dari tulisan ini dapat memberikan sedikit masukan dalam proses pembentukan forum DAS di daerah lain sehingga forum DAS dapat bekerja sabagaimana mestinya.

II. BEBERAPA INFORMASI TENTANG FORUM DAS

Berdasarkan keterangan dari Kasubdit Pengembangan

Kelembagaan Pengelolaan DAS, latar belakang pembentukan forum DAS adalah sebagai berikut:

Menteri Kehutanan melalui surat No. S.652/Menhut-V/2006

telah meminta kepada seluruh Gubernur untuk mendorong pembentukan Forum DAS di daerahnya. Forum DAS daerah merupakan wadah koordinasi yang tidak struktural (independent) dapat berperan aktif sebagai pemerhati DAS dan membantu

Page 305: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pembentukan Forum Daerah....(Wawan Halwany)

| 291 |

pemerintah dalam merumuskan dan mengkoordinasikan pengelolaan DAS secara efektif.

Forum DAS daerah dibentuk sebagai wadah komunikasi, koordinasi, pengkajian dan perumusan kebijakan Pengelolaan DAS dari berbagai pihak (multi Stakeholders) yang peduli terhadap kelestarian ekosistem DAS dalam mendukung pembangunan di Provinsi.

Forum DAS daerah mempunyai tugas untuk mengkaji dan merumuskan kebijakan-kebijakan pengelolaan DAS dan mengoordinasikan dengan lapisan masyarakat, Instansi dan lembaga terkait sebagai bahan masukan bagi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam penetapan kebijakan yang terkait dengan kelestarian ekosistem DAS.

Forum sebagaimana dimaksud Diktum kesatu dalam melaksanakan tugasnya, melaporkan hasil pelaksanaannya dan bertanggung jawab kepada Gubernur

Biaya yang dikeluarkan akibat ditetapkannya keputusan ini dibebankan kepada Instansi yang terkait melalui program kegiatan penanganan, pengelolaan daerah aliran sungai dan sumber-sumber dana lainnya yang sah.

Forum DAS Nasional adalah wadah koordinasi multipihak di tingkat Pusat berbasis komitmen bersama untuk memantau, membina dan memfasilitasi forum DAS di daerah dalam rangka pengelolaan DAS terpadu di Indonesia.

Forum DAS Nasional bersifat nonstruktural beranggotakan dari kalangan pemerintah ditetapkan oleh Menteri. Sedangkan forum DAS daerah ditetapkan oleh Gubernur.

Forum DAS sebagai organisasi masyarakat (NGO/LSM) sifatnya nonstruktural. independent, dan legitimit karena ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota akan mampu berperan dalam mempersatukan para pihak yang terkait dalamDAS secara terpadu melakukan pengelolaan DAS.

Forum DAS tidak terpengaruh oleh hirarkhi birokrasi dan mempunyai waktu yang lebih banyak serta bebas untuk berperan aktif membantu pemerintah dalam pengelolaan DAS.

Forum DAS mempunyai SDM yang kuat perlu dimanfaatkan untuk memikirkan pengelolaan DAS secara berdaya guna.

Program sektor belum sepenuhnya diarahkan pada konteks pengelolaan DAS terpadu.

Page 306: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 289-299

| 292 |

Masih ada program sektor yang tidak berwawasan konservasi

DAS Belum ada master plan DAS terpadu. Isu DAS yang lintas sektor. Oleh karena itu dalam menghimpun

dan menyinergikan kebijakan lintas sektor perlu wadah koordinasi dalam bentuk forum DAS.

Keberadaan forum DAS tidak duplikasi, malah akan saling mendukung dengan wadah koordinasi lain di tingkat daerah.

Hubungan koordinasi antara Direktorat Pengelolaan DAS (DIT PDAS), BPDAS, Forum DAS, dan Stakeholders, dapat dilihat pada diagram alur di bawah ini : Sumber : Kasubdit Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS, 2007

Gambar 1. Diagram hubungan koordinasi multipihak

DIT PDAS FORUM DAS NASIONAL ANGGOTANYA DOMINAN UNSUR PEMERINTAH PUSAT

BPDAS

FORUM DAS DAERAH

(Anggotanya dominan non pemerintah)

STAKEHOLDERS DAERAH (dominan unsur dinas pemda)

Rekomendasi, Saran pertimbangan, informasi, pertemuan rutin, pertemuan insidentil

koordinasi

fasilitasi

pembinaan

fasilitasi

Dorong forum DAS daerah agar jalan: - arahan kebijakan - hirarkhi - instruksional

Page 307: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pembentukan Forum Daerah....(Wawan Halwany)

| 293 |

Dari Gambar 1 di atas terlihat bahwa Forum DAS Daerah (anggotanya dominan non pemerintah) berperan untuk memberikan rekomendasi, saran, pertimbangan, informasi , pertemuan rutin, dan pertemuan insidentil bagi para stakeholders daerah (dominan unsur dinas pemda). Kegiatan forum DAS daerah akan difasilitasi oleh BPDAS. Sedangkan Forum DAS Nasional berperan untuk mendorong Forum DAS Daerah dengan memberikan arahan kebijakan, instruksional dan pedoman.

III. KONDISI DAERAH ALIRAN SUNGAI DI KALIMANTAN SELATAN

Di Provinsi Kalimantan Selatan terdapat 23 DAS, salah satunya adalah DAS Barito dengan luas 1.720.491,89 ha. DAS Barito terbagi dalam dua provinsi yaitu Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. DAS Barito di Kalimantan Selatan terbagi menjadi empat Sub DAS yaitu Martapura, Alalak, Negara dan Paminggir. Berdasarkan hasil interpretasi Citra Landsat (3 Mei 2003) keadaan penutupan lahan di sub DAS Martapura adalah: hutan (165.253,20 ha), belukar (20.607,012 ha), semak /alang-alang (129.149,65 ha), lahan terbuka(29.116,61ha), Awan (22084,97 ha) dan waduk (7031,64 ha) (Sirang, 2007).

Penurunan luas dan kualitas hutan menyebabkan penurunan

infiltrasi kawasan dan seterusnya meningkatkan aliran permukaan . Apabila tanah telah jenuh, pada waktu musim hujan, aliran permukaan tinggi menyebabkan banjir. Semua sungai di DAS –Sub DAS bagian hulu mempunyai fluktuasi debit di atas batas Koefisien Regim Sungai (KRS 1 : 80). Keadaan ini dipengaruhi selain oleh faktor yang telah disebutkan terdahulu juga dipengaruhi oleh luas, bentuk sistem drainase, kedalaman tanah dan kemiringan kawasan Daerah Tangkapan Air (DTA). Keadaan air sungai tidak ada satu pun yang jernih, kecuali jauh di bagian hulu. Air sungai keruh karena di dalamnya terdapat banyak partikel tanah melayang akibat terjadinya erosi (permukaan tanah dan sungai). Pada saat ini kondisi hampir semua DAS-Sub DAS-DTA di Kalimantan Selatan sudah sangat memprihatinkan sehingga mendesak untuk segera disusun sistem pengelolaan yang menyeluruh dan berbasis masyarakat (Sirang, 2007).

Page 308: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 289-299

| 294 |

Di Kalimantan Selatan kelembagaan DAS nampaknya belum

mendapat perhatian yang memadai dari masyarakat. BPDAS Barito merupakan organisasi pemerintah pusat tidak dapat berbuat banyak karena kehadirannya tidak mempunyai wewenang memerintah kepala daerah. Padahal semua DAS-Sub DAS-DTA berada di daerah. Oleh sebab itu diperlukan sebuah kelembagaan daerah di tingkat provinsi sampai kabupaten yang bertugas melakukan koordinasi pada semua kabupaten/kota dalam melaksanakan arahan Pengelolaan DAS. Di tingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh organisasi masyarakat yang mengelola sebuah DTA dan Sub DTA; pemerintah berfungsi sebagai motivator dan pengawas (Sirang, 2007). Pembentukan forum DAS yang diprakarsai oleh BPDAS ini merupakan langkah awal yang baik yang harus didukung oleh semua pihak demi perbaikan lingkungan. IV. PROSPEK DAN KENDALA PENGEMBANGAN

FORUM DAS DI KALIMANTAN SELATAN

Berikut ini akan dibahas prospek dan tantangan dalam pengembangan forum DAS di Kalimantan Selatan. Sebagaimana diketahui forum DAS ini masih baru bagi stakeholder (parapihak) di Kalimantan Selatan. Selama ini instansi pusat yang konsen pada bidang DAS adalah BPDAS. Seiring dengan perkembangan jaman maka partisipasi masyarakat diperlukan dalam pengelolaan DAS terpadu. Namun karena hal ini dinilai mahal, masih baru, dan terdapat banyak kekurangan maka perlu dianalisis faktor-faktor yang mendukung/prospek dan tantangan dalam pengembangan forum DAS ini. A. Kekuatan a. Forum DAS dibentuk atas Partisipasi masyarakat

Forum DAS merupakan wadah yang dibentuk berdasarkan partisipasi peserta. Forum ini sifatnya independent dan bebas dari tekanan siapa pun. Pada saat ini pembentukan formatur DAS merupakan langkah awal yang baik bagi Kalimantan Selatan sehingga nantinya forum DAS ini dapat mendukung pengelolaan DAS lebih baik lagi.

b. Kondisi DAS yang rusak

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah

Page 309: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pembentukan Forum Daerah....(Wawan Halwany)

| 295 |

Kalimantan Selatan, menyatakan ada enam dari 12 DAS di empat kabupaten yang kondisinya sangat kritis karena sebagian besar tidak berhutan lagi dan lingkungan sungai yang buruk. Kondisi hutan enam DAS tersebut tinggal 30 %, akibat dari kegiatan penebangan pohon, perladangan, kebakaran hutan, penambangan baik yang legal maupun ilegal. Sungai-sungainya juga mengalami sedimentasi tinggi.

Hal ini merupakan kekuatan dari lembaga Forum DAS Daerah. Dimana forum ini diperlukan untuk memberikan masukan berdasarkan kajian-kajian dalam pengelolaan DAS. Selain itu forum ini sifatnya independent sehingga diharapkan suara dari forum DAS ini dapat didengar oleh parapihak baik itu dari pihak pertambangan, pertanian perkebunan, kehutanan, atau pihak manapun yang berkepentingan dengan Daerah Aliran Sungai khususnya DAS Barito. c. Ketersediaan SDM

Sumber daya manusia dalam forum DAS di Kalimantan Selatan cukup baik. Dimana salah satu ketuanya adalah seorang dosen dari perguruan tinggi di Kalimantan Selatan yang diakui oleh seluruh peserta yang hadir untuk memimpin forum ini Lampiran 1). Selain menguasai kondisi DAS di Kalimantan Selatan juga mempunyai perhatian yang baik terhadap kondisi DAS tersebut. Di samping itu, SDM lainnya dalam forum DAS ini juga memiliki kapasitas dalam pengelolaan DAS di Kalimantan Selatan.

d. Legalisasi forum DAS

Pembentukan forum DAS saat ini baru pada tahapan persiapan. Namun nanti pada akhirnya forum DAS yang terbentuk ini akan ditandatangani oleh pihak Gubernur. Hal ini merupakan legalitas yang cukup kuat dari forum DAS ini untuk menyuarakan pengelolaan DAS. Diharapkan forum DAS ini mempunyai posisi tawar yang baik bagi para pihak yang berkepentingan dalam memanfaatkan kawasan DAS.

B. Kelemahan a. Keterlibatan masyarakat hulu kecil

Kelemahan upaya pembentukan forum DAS di Kalimantan Selatan adalah keterlibatan masyarakat kawasan sekitar hulu DAS

Page 310: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 289-299

| 296 |

sangat kecil. Sebagai bagian dari sistem DAS, masyarakat sekitar hulu mempunyai tanggung jawab yang besar untuk menjaga DAS sehingga kondisi DAS dapat berfungsi optimal. Kita tidak bisa menyalahkan secara langsung masyarakat sekitar DAS dalam memanfaatkan kawasan hulu dari DAS tersebut. Harus ada upaya yang konkrit dari pemerintah daerah untuk membina masyarakat sekitar hulu dalam pemanfaatan lahan hulu. Masyarakat sekitar hulu tidak boleh hanya dilarang dalam pemanfaatan kawasan DAS hulu tersebut. Namun harus ada upaya strategis dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat hulu. Salah satu upaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat hulu adalah:

- Adanya pola-pola pemanfaatan lahan yang ramah lingkungan atau sustainable, seperti menerapkan pola-pola agroforestry. Dimana pada pola ini masyarakat diajak untuk peduli terhadap lingkungan selain pemanfaatan langsung bagi kehidupannya.

- Dalam proyek kehutanan masyarakat/agroforestry, partisipasi masyarakat perlu dilibatkan baik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya.

- Perlu adanya kompensasi bagi masyarakat sekitar hulu dalam menjaga kawasan hulu dari DAS. Perlu dicari pihak-pihak siapa saja yang wajib membayar dalam pemanfaatan DAS. Seperti pihak PLN daerah atau produsen air minum yang memanfaatkan air yang berasal dari DAS. Pihak yang memanfaatkan perlu membayar untuk kompensasi bagi masyarakat sekitar hulu dalam menjaga kondisi DAS di bagian hulu.

b. DAS di Kalimantan Selatan meliputi dua propinsi

Hal ini merupakan kelemahan yang harus diatasi oleh forum DAS di Kalimantan Selatan dimana pada bagian hulu DAS Barito meliputi kawasan Propinsi Kalimantan Tengah. Dengan demikian perlu dilakukan koordinasi yang lebih intensif dengan pihak provinsi Kalimantan Tengah.

c. Kurangnya sosialisasi

Sosialisasi rencana pembentukan forum DAS ini terasa kurang bagi para peserta. Peserta tidak dibekali informasi yang cukup pada saat diundang, sehingga wakil yang ada dari pihak yang diundang tidak cukup mempunyai wewenang dalam pembentukan

Page 311: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pembentukan Forum Daerah....(Wawan Halwany)

| 297 |

forum DAS ini. Oleh karena itu diharapkan perlu adanya sosialisasi yang lebih intensif lagi dalam pembentukan forum DAS ini, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan akan mengetahui mengenai fungsi dan peranan dari forum DAS daerah ini. d. Sumber Dana

Sumber dana meruapakan hal penting dalam forum DAS ini. Perlu ada keinginan yang kuat dari pemerintah daerah dalam mendukung kegiatan forum DAS ini, dan diharapkan forum DAS ini dapat bekerja sebagaimana mestinya.

C. Peluang a. Isu bencana

Musibah atau bencana alam yang hampir tiap tahun terjadi di Kalimanatan Selatan merupakan peluang bagi forum DAS dalam memberikan masukan/rekomendasi bagi daerah dalam pengelolaan lingkungan dan tata guna lahan khususnya yang menyangkut dengan Daerah Aliran Sungai. Isu bencana bisa dijadikan poin dalam menekan pihak-pihak yang memanfaatkan potensi sumber daya alam yang tidak sesuai dengan aturan yang ada dan melanggar aspek kelestarian lingkungan.

b. Adanya nilai jual/kompensasi Adanya nilai jual jasa lingkungan merupakan peluang bagi forum DAS dalam mengelola kawasan DAS di Kalimantan Selatan. Hal ini merupakan peluang bagi forum DAS dalam mengelola jasa lingkungan di Kalimantan Selatan.

D. Ancaman a. Paradigma otonomi yang sempit

Paradigma otonomi daerah yang sempit perlu ditiadakan. Anggapan bahwa otonomi daerah mempunyai wewenang penuh atas pengelolaan sumber daya alam demi pendapatan daerah perlu ditiadakan. Pengelolaan sumber daya alam khususnya Daerah Aliran Sungai harus memperhatikan aspek-aspek yang terkait. Pengelolaan DAS harus bersifat integral, lintas sektoral, dan lintas administrasi pemerintahan, sehingga otonomi daerah jangan diartikan pemerintah bebas dalam pengelolaan daerah sungai. Namun perlu diperhatikan aspek yang berkaitan dengan pengelolaan daerah sungai.

Page 312: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009 : 289-299

| 298 |

b. Lemahnya koordinasi Lemahnya koordinasi dalam pembentukan forum DAS in merupakan ancaman dalam keberlanjutan forum DAS. Sebaiknya dalam rencana pembentukan forum DAS perlu dilakukan tahapan pertemuan sebelum secara forum yang lebih besarOleh karena itu ada pemahaman yang sama mengenai forum DAS ini.

IV. PENUTUP 1. Forum DAS daerah dibentuk sebagai wadah komunikasi,

koordinasi, pengkajian, dan perumusan kebijakan Pengelolaan DAS dari berbagai pihak (multi Stakeholders) yang peduli terhadap kelestarian ekosistem DAS dalam mendukung pembangunan di Provinsi.

2. Forum DAS tidak terpengaruh oleh hirarkhi birokrasi dan mempunyai waktu yang lebih banyak serta bebas untuk berperan aktif membantu pemerintah dalam pengelolaan DAS.

3. Dalam proses pembentukan Forum DAS untuk mengoptimalkan proses sebaiknya melibatkan tim fasilitator. Diharapkan dengan menggunakan fasilitator dapat mengatur dan mengarahkan peserta dalam pemahaman mengenai tujuan pembentukan Forum DAS ini.

DAFTAR PUSTAKA

Direktur Pengelolaan DAS. 2007. Kebijakan Umum Pengelolaan

DAS. Makalah disampaikan dalam rangka Lokakarya Pembentukan Forum DAS Barito Kalimantan Selatan. Banjarbaru. Tidak dipublikasikan.

Sunaryo, N. 2007. Upaya Pengembangan Forum DAS di Indonesia.

Makalah disampaikan dalam rangka Lokakarya Pembentukan Forum DAS Barito Kalimantan Selatan. Banjarbaru. Tidak dipublikasikan.

Kompas. 2007. DAS Empat Sungai Besar di Kalimantan Selatan Makin Kritis. www.kompas.com/kompas-cetak/0710/31/daerah/3964002.htm-51k-

Sirang, K. 2007. Pembentukan Forum DAS Propinsi Kalimantan

Selatan (Aspek Kelembagaan). Makalah disampaikan dalam rangka Lokakarya Pembentukan Forum DAS Barito Kalimantan Selatan. Banjarbaru. Tidak dipublikasikan

Page 313: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Pembentukan Forum Daerah....(Wawan Halwany)

| 299 |

Lampiran 1. Draft kepengurusan forum DAS Kalimantan Selatan LAMPIRAN : KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR : TANGGAL :

SUSUNAN PERSONALIA FORUM DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERIODE 2007-2011

I. Pembina : Gubernur Kalimantan Selatan II. Ketua Umum : Ir. KARTA SIRANG, MS. Ketua I : Kepala BAPEDALDA Ketua II : HEGAR, SP. (LSM. WALHI) III. Sekretaris : Ka. BPDAS Barito Wakil Sekretaris : Ka.SubDin Bina Hutan,Dishut Prop.KalSel IV. Bendahara : PT. ADARO V. Komisi-Komisi 1. Rehabilitasi dan Konservasi DAS

Koordinator : Prof. Dr. Ir. H. M. RUSLAN, MS Anggota : 1.

2. Tata Air DAS Koordinator : Ka. Dinas KimPraswil Anggota : 1.

3. Pemberdayaan Masyarakat Koordinator : LSM. BASTARI Anggota : 1.

4. Kelembagaan/Kerjasama Koordinator : LSM. RINDANG BANUA Anggota : 1.

5. Pemantauan dan Evaluasi Koordinator : Ir. H. SYARIFUDIN K. MSi. Anggota : 1.

6. Tata Ruang/Wilayah Koordinator : Kepala Bidang Tata Ruang (BAPPEDA Kal-

Sel) Anggota : 1.

7. Sekretariat (Tempat) : Kantor BPDAS Barito Jln. Sei Ulin No. 28 A. Banjarbaru

GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

Drs. H. RUDI ARIFIN

Page 314: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009

| 300 |

JADWAL ACARA

Jam Acara 08.30 – 09.20 Pendaftaran 08.30 – 09.20 - Laporan Penyelenggaraan Workshop

- Sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah - Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan - Pembacaan Do’a

09.20 – 09.45 Istirahat/snack Pleno Bidang (1-3) : 1. Peran Hutan Dalam Pengendalian Bencana Banjir-

Kekeringan-Tanah Longsor (identifikasi masalah dan teknik pengendalian) Dr. Ir. Robert J. Kodoatie

2. Sumbangan Hutan Terhadap Pasokan Air (fisik- ekonomi) Prof. Dr. Daniel Murdyarso

3. Kelembagaan Kehutanan dalamPengelolaan Daerah Aliran Sungai Dr. Saeful Rachman, M.Sc(Direktorat Pengelolaan DAS)

12.00 – 13.00 Ishoma Sidang Kelompok/Komisi dan Sintesis (Bidang 1, 2 dan 3) 13.00 – 14.45 Sessi I Peran Hutan Dalam Pengendalian Bencana Banjir-

Kekeringan-Tanah Longsor Ketua Sidang Dr. Ir. Robert J. Kodoatie Sekretaris Ir. Nining W, M.Sc 1. Hubungan Luas Tutupan Hutan Terhadap Potensi

Banjir dan Koefisien Limpasan di Beberapa DAS di Indonesia Nana Mulyana

2. Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor Sukresno 3. Analisis Tingkat Kekeringan Sebagai Dasar dalam Pengelolaan DAS yang Berhutan di DAS Progo Sudibyakto

13.00 – 14.45 Sessi II Sumbangan Hutan Terhadap Pasokan Air Ketua Sidang Prof. Dr. Daniel Murdyarso Sekretaris Ir. Heru D. Riyanto 1. Sumbangan Hutan terhadap Hasil Air

Sigit Hardwinarto

Page 315: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Lampiran-lampiran

| 301 |

Jam Acara 2. Nilai dan Distribusi Ekonomi Pengelolaan Kawasan

Lindung Sebagai Pengatur Tata Air : Kasus di Sub DAS Brantas Hulu Kirsfianti L. Ginoga

3. Neraca Air di Dalam HutanHutan Irfan Budi Pramono

13.00 – 14.45 Sessi III Kelembagaan Kehutanan Dalam Pengelolaan DAS Ketua Sidang Dr. Saeful Rachman, M.Sc Sekretaris Ir. Dewi R I 1. Kelembagaan Pengelolaan DAS

Hendro Prahasto 2. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Air dan

Hasil Air dari Hutan Purwanto

3. Peran Pemerintah Daerah dalam Rehabilitasi DAS Sri Puryono

14.45 – 15.00 Istirahat/snack Diskusi dan Paparan Hasil 15.00 – 16.00 Diskusi Pleno Ketua Sidang Dr. Harry Santoso Sekretaris Ir. Sukresno, M.Sc 1. Paparan Hasil Sidang Komisi Bidang I

Dr. Ir. Robert J. Kodoatie 2. Paparan Hasil Sidang Komisi Bidang II

Prof. Dr. Daniel Mudyarso 3. Paparan Hasil Sidang Komisi Bidang III

Dr. Saeful Rachman, M.Sc 16.00 – 16.30 Penutupan

Page 316: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009

| 302 |

DAFTAR PESERTA

NO. NAMA INSTANSI 1. A. Kristano Balitbangda Jateng 2. Abdul Munir Dishutbun 3. Adinda Kusumadewi BPDAS Pemali 4. Agus Dwiandono Tn. Bromo Tengger Semeru 5. Agus Salim Bapedal Prov. Jateng 6. Agus Wuryanta BPK Solo 7. Anwar P3HKA 8. Aris Boediyono BPK Solo 9. Bambang S. Antoko BPK Aek Nauli

10. Bambang Sunarto Pusair 11. Beny Harjadi BPK Solo 12. C. Nugroho SP. P3HT 13. Cuk Sunaryono PSDA Jateng 14. Daniel Mudyarso CIFOR/Mipa IPB 15. Dewi Retno I BPK Solo 16. Dian Banjar Agung BTN Baluran 17. Djoko Widagdo BPK Solo 18. Dody Prakosa BPK Palembang 19. Dody Setiadi B2PD 20. Dona Octavia BPK Solo 21. Dradjad BPK Solo 22. Dwi Kristanto Forest 23. Dwianto Tn. Merbabu 24. Edy Subagyo BPK Solo 25. Eko Priyanto BPK Solo 26. Erna Satriana Pusat Litbang SDA 27. Giri Tutuko BPSDA Bengawan Solo 28. Gunarjo BPK Makasar 29. Harry Santoso P3HT 30. Hatma Fak. Kehutanan UGM 31. Hendro Prahasto Puslit Sosek 32. Henie Eka W BPK Solo 33. Heru D.R BPK Solo 34. Herudoyo BPDAS 35. Hunggul Y. BPK Makasar 36. IGD. Oka Suparta BPTP Samboja 37. Iman Santoso Puslit Sosek 38. Irfan Budi Pramono Balai Penelitian Kehutanan Solo 39. Irfan Budi Pramono BPK Solo 40. Ismatul Hakim Puslit Sosek

Page 317: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Lampiran-lampiran

| 303 |

NO. NAMA INSTANSI 41. Judi Kurniawan ESP USAID 42. Karman BPSDA Bengawan Solo 43. Kristian M. BPK Manado 44. Kumala Nurhayati BPDAS Solo 45. Lily Mahisa Pusdal Reg. II 46. Minto Basuki BKSDA Jateng 47. Nana Mulyana Fak. Kehutanan IPB 48. Nardi BPK Solo 49. Nining W BPK Solo 50. Nova Indri Hapsari BTN Gunung Cermai 51. Nurhadi BTN Gn Merapi 52. Oka Karyanto Fak. Kehutanan UGM 53. Paimin BPK Solo 54. Pamungkas B P BPK Solo 55. Pipin P. BPK Ciamis 56. Prapto Suhendro BPK Solo 57. Purwanto Puslitbang Cepu 58. Purwanto Balai Penelitian Kehutanan Solo 59. Purwijanto Wisnubroto BPK Solo 60. Purwoto Pustanling 61. Putu Sudira Fak. TP UGM 62. Radika Pusair 63. Robert J. Kodoatie Fak. T Sipil UNDIP Semarang 64. Saeful Rachman Direktorat pengelolaan DAS 65. Salamah Retnowati BPK Solo 66. Sigit Hardwinarto Fak. Kehutanan UNMUL 67. Sikamto BPK Solo 68. Sinta Damayanti BPDAS Solo 69. Soenarno P3HT 70. Soewarti BPK Solo 71. Sofyan D. Majokayo Pusat Litbang SDA 72. Sri Suparti BPDAS Pemali 73. Sudarsono Puslitbang PHT 74. Sudibyakto Fak. Geografi UGM 75. Sukirno Fak. TP UGM 76. Sukresno Balai Penelitian Kehutanan Solo 77. Sunaryo BPK Solo 78. Supri Fak. Kehutanan UGM 79. Surachman BPK Solo 80. Susi Abdiyani BPK Solo 81. Sutarman A BPK Solo 82. Sutarmin Balai Besar Wil. Sungai Brantas

Page 318: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009

| 304 |

83. Sutedjo BPK Solo 84. Sutomo BPK Solo 85. Sutopo Fak. Pertanian UNS 86. Syahrul Donie BPHPS 87. Teguh Suprapto PERSEPSI 88. Titus Muladi BKSDA Jogjakarta 89. Tri Wilaida BPTP Bogor 90. Triyono,MP Dishut Prop. Jateng 91. U.W. Heri P BPK Solo 92. Untung Suprapto BTN Merbabu 93. Wahyu Budiarso BPK Solo 94. Wardojo BPK Solo 95. Wardoyo Dishutbun Pacitan 96. Wawan Halwany BPK Banjarbaru 97. Wuri Handayani BPK Ciamis 98. Y. Sugiyono BKSDA 99. Yogi Wulan P BPK Solo

100. Yonki Indrajaya BPK Ciamis

Page 319: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Lampiran-lampiran

| 305 |

DISKUSI

Bidang I. Peran Hutan dalam Pengendalian Bencana Alam. 1. Peran Hutan Dalam Pengendalian Bencana Banjir-Kekeringan-

Tanah Longsor (Identifikasi Masalah Dan Teknik Pengendalian) )

Robert J. Kodoatie o Bencana-bencana banjir, longsor dan kekeringan yang sering

melanda merupakan bukti dari degradasi lingkungan. o Hutan bisa menahan run-off (aliran permukaan), sehingga

apabila hutan digunduli atau menjadi kawasan pemukiman maka aliran permukaan akan meningkat signifikan dan terjadilah banjir di musim penghujan dan waktu musim kemarau tidak ada lagi air yang tersisa sehingga terjadilah kekeringan.

2. Hubungan Luas Tutupan Hutan Terhadap Potensi Banjir Dan Koefisien Limpasan Di Beberapa DAS Di Indonesia

Nana Mulyana, Cecep Kusmana, Kamaruddin Abdulah, Lilik B. Prasetio

o Keampuhan tipe hutan dan penggunaan lahan dalam mengendalikan banjir adalah sejauh mana rasio total hujan yang mampu diresapkan kedalam tanah pada kondisi intensitas hujan tinggi.

o Hutan sangat efektif dalam pengendalian aliran permukaan karena mempunyai jumlah resapan yang tinggi, karena sistem perakaran dan serasah sangat mendukung peresapan air.

o Kapasitas infiltrasi hutan selalu lebih besar dari intensitas hujan maksimum sehingga luas hutan sangat signifikan terhadap pengurangan potensi banjir.

3. Peran Hutan Dalam Pengendalian Tanah Longsor

Sukresno

o Peran positif hutan dalam pengendalian longsor ditunjukkan oleh kemampuan vegetasi dalam meningkatkan kuat geser tanah dan menurunkan tegangan geser tanah.

o Peran negatifnya ditunjukkan oleh pengaruh vegetasi dalam menurunkan kuat geser tanah dan meningkatkan tegangan geser tanah.

o Vegetasi hutan mempengaruhi stabilitas lereng, dapat diketahui dari berat biomassnya, bentuk sistem perakaran,

Page 320: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009

| 306 |

kedalaman akar, distribusi/sebaran perakaran, susunan akar, dan kekuatan akar.

Bidang II: Peran Hutan Sebagai Pemasok Air Dan Pengendali Kekeringan

4. Peranan Vegetasi Hutan dalam Mengatur Pasokan Air

Daniel Murdyarso, Sofyan Kurnianto

o Peranan vegetasi (hutan) sangat tergantung pada kondisi iklim setempat. Hutan tidak menambah aliran sungai (debit), tetapi justru menguranginya. Namun demikian hutan dapat mengatur fluktuasi aliran sungai karena peranannya dalam mengatur limpasan dan infiltrasi

o Pengaruh hutan sangat ditentukan skala penutupan lahannya namun alih-guna lahan’ khususnya pengurangan penutupan hutan hingga 15 persen tidak memberikan pengaruh yang berarti tehadap pasokan air. Karena itu penggunaan lahan dapat diatur secara partisipatif sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak

o Perubahan iklim memberikan pengaruh yang nyata, khususnya pada musim kemarau, baik terhadap AET maupun SMD.

5. Analisis Tingkat Kekeringan sbg Dasar Dalam Pengelolaan DAS

Yang Berhutan di DAS Progo

Sudibyakto

o Wilayah DAS Progo secara hidrometeorologis dapat dibedakan menjadi tiga mintakat kekeringan, yaitu zone kekeringan ringan, sedang dan tinggi.

o Variasi nilai Ia (indeks kekeringan) selain ditentukan oleh curah hujan, juga variasi dari nilai evapotranspirasi, kapasitas tanah menahan air, dan jenis penggunaan lahan.

o Secara umum, daerah penelitian dalam jangka panjang tidak mengalami déficit air (kekeringan) yang berarti terutama pada Sub DAS hulu, namun terjadinya kekeringan akan muncul bilamana kondisi Sub DAS telah mengalami degradasi lingkungan.

Page 321: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Lampiran-lampiran

| 307 |

6. Sumbangan Hutan Terhadap Hasil Air

Sigit Hardwinarto

o Sumbangan hasil air dari beberapa kawasan hutan relatif berbeda, karena dibatasi oleh faktor geografis, biogeofisik dan iklim yang relatif beragam.

o Sumbangan hasil air dari DAS berhutan yang memiliki fluktuasi aliran air dari yang rendah sampai tinggi secara berurutan yaitu kawasan peruntukan Hutan Lindung, Pengusahaan Hutan Alam Produksi (HPH), Pemasok Air Waduk, Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), serta Kombinasi Peruntukan seperti HPH, HTI, Taman Nasional, Perkebunan, Pertambangan dan lain-lain.

o Ada kemungkinan kecenderungan menurunnya nilai persentase luasan hutan terhadap luasan DAS dapat mempengaruhi penurunan kualitas air.

7. Neraca Air Di Dalam Hutan

Irfan Budi Pramono

o Evapotranspirasi merupakan faktor utama dalam mengelola hutan untuk menghasilkan air.

o Dalam rangka pelestarian sumber daya hutan dan air maka tingkat evapotranspirasi dari jenis hutan serta tingkat infiltrasi di bawahnya harus diperhitungkan dengan teliti.

o Sepanjang curah hujan jauh lebih besar dari evapotranspirasi dan tingkat infiltrasi lebih besar dari tingkat evapotranspirasi maka penamanan tanaman hutan di suatu wilayah dianggap aman dari masalah kelangkaan air.

Bidang III. Peran Kelembagaan Kehutanan dalam Pengelolaan DAS

8. Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Saeful Rachman

o Pengelolaan DAS jelas melibatkan banyak pihak yang berkepentingan baik lintas sektoral maupun lintas wilayah administrasi sehingga untuk mewujudkan tujuan pengelolaan DAS terpadu diperlukan kelembagaan yang memadai yang

Page 322: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009

| 308 |

dapat memfasilitasi koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinegi antar pihak berkepentingan.

o Walupun beberapa lembaga koordinatif ”Forum DAS” telah terbentuk namun masih banyak tugas dan fungsi forum belum berjalan secara optimal karena masih menghadapi berbagai kendala dan permasalahan yang cukup kompleks.

9. Kelembagaan Pengelolaan DAS

Hendro Prahasto

o Untuk meningkatkan efektivitas koordinasi dan partisipasi para pihak, harus membangun suatu komunikasi yang baik dan tata kerja yang jelas yang didasarkan atas kebersamaan dan diagendakan dalam suatu program kerja.

o Forum DAS yang telah ada diarahkan sebagai organisasi non struktural, dan bersifat independen yang berfungsi untuk membantu memecahkan permasalahan yang timbul dan merumuskannya secara bersama-sama dalam wilayah DAS seperti konflik kepentingan antar sektor, antar pemerintah daerah serta dalam mengintegrasikan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.

o Untuk dapat terciptanya Badan Koordinasi Pengelolaan DAS perlu adanya payung hukum, minimal dalam bentuk Keputusan Presiden.

10. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Air Dan Hasil Air Dari Hutan

Purwanto

o Diperlukan kelembagaan yang anggotanya meliputi seluruh stakeholder baik pengelola maupun pemanfaat air dari hutan.

o Kajian kelembagaan yang sebaiknya dilakukan antara lain: a). kajian peraturan pelaksanaan dan perundangan yang terkait serta kebijakan yang diambil oleh masing-masing sektor, b). kajian kelembagaan dan kompensasi hulu hilir, c). kajian pola pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh sektor-sektor terkait, dan d). kajian kelembagaan internasional untuk mengatasi masalah perubahan iklim.

11. Peran Pemerintah Daerah Dalam Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai

Sri Puryono

Page 323: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Lampiran-lampiran

| 309 |

o Kompleksitas permasalahan kelembagaan di Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pengelolaan DAS tidak terlepas dari komponen yang bertanggung jawab dalam pengelolaan DAS pada masing-masing wilayah, utamanya kelembagaan Pertanian dan Kehutanan, Penataan Ruang dan Wilayah, Kelautan dan Perikanan, Lingkungan Hidup, dan juga kelembagaan administratif.

Page 324: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009

| 310 |

Lampiran 1. Susunan Acara Workshop “Peran Hutan dan

Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS” Surakarta, 22 Nopember 2007.

NO WAKTU KEGIATAN PELAKSANA

1 08.00 – 08.30 Pendaftaran Peserta Panitia 2 08.30 – 09.20 Acara Pembukaan

- Laporan Penyelenggaraan Workshop

- Kata Sambutan - Pembukaan

Workshop - Doa

MC : Insiwi Tuti W, B.Sc Ir. Edy Subagyo, M.P (Ka BPK Solo) Ir. Sri Puryono, M.P (Kepala Dinas Kehutanan Prop. Jateng) Ir. Anwar, M.Sc (mewakili Kepala Badan Litbang Kehutanan) Eko Priyanto

4 09.20 – 09.45 Break Pagi Pleno Bidang (1-3) :

1. Peran Hutan Dalam Pengendalian Bencana Banjir-Kekeringan-Tanah Longsor (identifikasi masalah dan teknik pengendalian)

Dr. Ir. Robert J. Kodoatie (F-T Sipil UNDIP Semarang)

2. Sumbangan Hutan Terhadap Pasokan Air (fisik-ekonomi)

Prof Dr. Daniel Murdyarso (CIFOR/F-Mipa IPB)

5 09.45-12.15

3. Kelembagaan Kehutanan dalamPengelolaan Daerah Aliran Sungai

Dr. Saeful Rachman, M.Sc (Direktorat Pengelolaan DAS)

6 12.00 – 13.00 ISHOMA

Page 325: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Lampiran-lampiran

| 311 |

NO WAKTU KEGIATAN PELAKSANA

Sidang Kelompok/ Komisi dan Sintesis (Bidang 1, 2 dan 3) 13.00 – 14.45 Bidang 1 Peran Hutan

Dalam Pengendalian Bencana Banjir-Kekeringan-Tanah Longsor

(Ruang : Soemardjo Ballroom) 4. Hubungan Luas

Tutupan Hutan Terhadap Potensi Banjir dan Koefisien Limpasan di Beberapa DAS di Indonesia

5. Peran Hutan terhadap Pengendalian Longsor

6. Analisis Tingkat Kekeringan Sebagai Dasar Dalam Pengelolaan DAS yang Berhutan di DAS Progo

Moderator : Dr. Ir. Robert J. Kodoatie Sekretaris : Ir. Nining W, M.Sc Ir. Nana Mulyana, M.Sc (F-Kehutanan IPB) Ir. Sukresno, MSc (BPK Solo) Dr. H.A Sudibyakto, MS (F-Geografi UGM)

7

13.00 – 14.45 Bidang 2 Sumbangan Hutan Terhadap Pasokan Air (Ruang Triwindu I, Lantai I) 1. Sumbangan Hutan

terhadap Hasil Air 2. Nilai dan Distribusi

Ekonomi Peng. Kaw. Lindung Sbg Pengatur Tata Air : Kasus di Sub DAS Brantas Hulu

3. Neraca Air Hutan

Moderator : Prof Dr Daniel Mudyarso Sekretaris : Ir. Heru D. Riyanto Dr Ir Sigit Hardwinarto, M. Agr (F-KehutananUNMUL) Dr Krisfianti L. Ginoga (Puslit Sosek dan Kebijakan Kehutanan) Drs Irfan BPramono, MSc (BPK Solo)

Page 326: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009

| 312 |

NO WAKTU KEGIATAN PELAKSANA

13.00 – 14.45 Bidang 3

Kelembagaan Kehutanan dalam Pengelolaan DAS (Ruang : Triwindhu II, lantai I) 1. Kelembagaan

Pengelolaan DAS 2. Kelembagaan

Pengelolaan Sumber Daya Airdan Hasil Air dari Hutan

3. Peran Pemerintah Daerah Dalam Rehabilitasi DAS

Moderator : Dr. Saeful Rahman, M.Sc Sekretaris : Ir. Dewi R I, M.Si Ir Hendro Prahasto, MP (Puslit Sosek) Ir Purwanto (BPK Solo) Ir. Sri Puryono, M.P (Kadishut Prop Jateng)

8 14.45 – 15.00 Break Sore Diskusi dan Paparan Hasil

Diskusi Pleno (Ruang : Soemardjo Ballroom)

Moderator : Dr. Harry Santoso Sekretaris : Ir. Sukresno, M.Sc

9 15.00 – 16.00

1. Paparan Hasil Sidang Komisi Bidang I

2. Paparan Hasil Sidang Komisi Bidang II

3. Paparan Hasil Sidang Komisi Bidang III

Dr. Ir. Robert J. Kodoatie Prof. Dr. Daniel Mudyarso Dr. Saeful Rahman, M.Sc

16.00 – 16.15 Perumusan Ir. Paimin, M.Sc (Ketua) Dr. H.A Sudibyakto, MS (Anggota) Ir. Sri Astuti Soedjoko (Anggota)

10 16.15-16.30 Penutupan Ir. Anwar, M.Sc Kapus Litbang Hutan dan Konservasi Alam

Page 327: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Lampiran-lampiran

| 313 |

Lampiran 2. Daftar Hadir Peserta Workshop “Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS” Surakarta, 22 Nopember 2007.

NO. NAMA INSTANSI 1 2 3 1. Sutarmin Balai Besar Wil. Sungai Brantas 2. Wawan Halwany BPK Banjarbaru 3. IGD. Oka Suparta BPTP Samboja 4. Sofyan D. Majokayo Pusat Litbang SDA 5. Erna Satriana Pusat Litbang SDA 6. Nova Indri Hapsari BTN Gunung Cermai 7. Tri Wilaida BPTP Bogor 8. Agus Dwiandono Tn. Bromo Tengger Semeru 9. Purwoto Pustanling

10. Agus Salim Bapedal Prov. Jateng 11. Soenarno P3HT 12. Radika Pusair 13. Salamah Retnowati BPK Solo 14. Lily Mahisa Pusdal Reg. II 15. Dona Octavia BPK Solo 16. Wuri Handayani BPK Ciamis 17. Wardojo BPK Solo 18. Gunarjo BPK Makasar 19. Hunggul Y. BPK Makasar 20. Kristian M. BPK Manado 21. Dody Setiadi B2PD 22. A. Kristano Balitbangda Jateng 23. Sinta Damayanti BPDAS Solo 24. Kumala Nurhayati BPDAS Solo 25. Dwi Kristanto Forest 26. Dwianto Tn. Merbabu 27. Wardoyo Dishutbun Pacitan 28. Adinda Kusumadewi BPDAS Pemali 29. Sri Suparti BPDAS Pemali 30. Dian Banjar Agung BTN Baluran 31. C. Nugroho SP. P3HT 32. Titus Muladi BKSDA Jogjakarta 33. Syahrul Donie BPHPS 34. Teguh Suprapto PERSEPSI 35. Y. Sugiyono BKSDA

Page 328: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009

| 314 |

1 2 3 36. Herudoyo BPDAS 37. Sutopo Fak. Pertanian UNS 38. Sudarsono Puslitbang PHT 39. Giri Tutuko BPSDA Bengawan Solo 40. Karman BPSDA Bengawan Solo 41. Yonki Indrajaya BPK Ciamis 42. Bambang S. Antoko BPK Aek Nauli 43. Nurhadi BTN Gn Merapi 44. Hatma Fak. Kehutanan UGM 45. Supri Fak. Kehutanan UGM 46. Oka Karyanto Fak. Kehutanan UGM 47. Bambang Sunarto Pusair 48. Judi Kurniawan ESP USAID 49. Cuk Sunaryono PSDA Jateng 50. Sunaryo BPK Solo 51. Agus Wuryanta BPK Solo 52. Dody Prakosa BPK Palembang 53. Putu Sudira Fak. TP UGM 54. Sukirno Fak. TP UGM 55. Susi Abdiyani BPK Solo 56. Ismatul Hakim Puslit Sosek 57. Untung Suprapto BTN Merbabu 58. Abdul Munir Dishutbun 59. Henie Eka W BPK Solo 60. Pipin P. BPK Ciamis 61. Minto Basuki BKSDA Jateng 62. Purwanto Puslitbang Cepu 63. Aris Boediyono BPK Solo 64. Soewarti BPK Solo 65. Sutedjo BPK Solo 66. Surachman BPK Solo 67. Ir. Nana Mulyana, M.Sc. Fak. Kehutanan IPB 68. Ir. Sukresno, M.sc Balai Penelitian Kehutanan Solo 69. Dr. Sudibyakto Fak. Geografi UGM 70. Dr. Ir. Sigit H, M.Agr. Fak. Kehutanan UNMUL 71. Dr. Saeful R, M.Sc. Direktorat pengelolaan DAS 72. Drs. Irfan B.P., M.Sc. Balai Penelitian Kehutanan Solo 73. Ir. Hendro P, MP. Puslit Sosek 74. Ir. Purwanto Balai Penelitian Kehutanan Solo 75. Ir. Triyono, MP. Dishut Prop. Jateng

Page 329: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Lampiran-lampiran

| 315 |

1 2 3 76. Dr. Ir. R J. Kodoatie Fak. T Sipil UNDIP Semarang 77. Prof. Dr. Ir. Daniel M CIFOR/Mipa IPB 78. Ir. Iman Santoso, M.Sc Puslit Sosek 79. Ir. Anwar, M.Sc P3HKA 80. Dr. Harry Santoso P3HT 81. Ir. Edy Subagyo, M.P BPK Solo 82. Ir. Sutarman A, M.Si BPK Solo 83. Drs. Prapto Suhendro BPK Solo 84. Pamungkas B P, S.Hut BPK Solo 85. Sikamto BPK Solo 86. Drs. Irfan B P, M.Sc BPK Solo 87. U.W. Heri P, S.Hut BPK Solo 88. Ir. Nining W, M.Sc BPK Solo 89. Yogi Wulan P, S.Si BPK Solo 90. Wahyu Budiarso BPK Solo 91. Purwijanto Wisnubroto BPK Solo 92. Eko Priyanto BPK Solo 93. Nardi BPK Solo 94. Sutomo BPK Solo 95. Djoko Widagdo BPK Solo 96. Dradjad BPK Solo 97. Ir. Paimin, M.Sc BPK Solo 98. Ir. Heru D.R BPK Solo 99. Ir. Dewi Retno I, M.P BPK Solo 100. Ir. Beny Harjadi, M.Sc BPK Solo

Page 330: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009

| 316 |

DISKUSI

Bidang I. Peran Hutan dalam Pengendalian Bencana Alam. 12. Peran Hutan Dalam Pengendalian Bencana Banjir-Kekeringan-

Tanah Longsor (Identifikasi Masalah Dan Teknik Pengendalian) )

Robert J. Kodoatie o Bencana-bencana banjir, longsor dan kekeringan yang sering

melanda merupakan bukti dari degradasi lingkungan. o Hutan bisa menahan run-off (aliran permukaan), sehingga

apabila hutan digunduli atau menjadi kawasan pemukiman maka aliran permukaan akan meningkat signifikan dan terjadilah banjir di musim penghujan dan waktu musim kemarau tidak ada lagi air yang tersisa sehingga terjadilah kekeringan.

13. Hubungan Luas Tutupan Hutan Terhadap Potensi Banjir Dan Koefisien Limpasan Di Beberapa DAS Di Indonesia

Nana Mulyana, Cecep Kusmana, Kamaruddin Abdulah, Lilik B. Prasetio

o Keampuhan tipe hutan dan penggunaan lahan dalam mengendalikan banjir adalah sejauh mana rasio total hujan yang mampu diresapkan kedalam tanah pada kondisi intensitas hujan tinggi.

o Hutan sangat efektif dalam pengendalian aliran permukaan karena mempunyai jumlah resapan yang tinggi, karena sistem perakaran dan serasah sangat mendukung peresapan air.

o Kapasitas infiltrasi hutan selalu lebih besar dari intensitas hujan maksimum sehingga luas hutan sangat signifikan terhadap pengurangan potensi banjir.

14. Peran Hutan Dalam Pengendalian Tanah Longsor

Sukresno

o Peran positif hutan dalam pengendalian longsor ditunjukkan oleh kemampuan vegetasi dalam meningkatkan kuat geser tanah dan menurunkan tegangan geser tanah.

o Peran negatifnya ditunjukkan oleh pengaruh vegetasi dalam menurunkan kuat geser tanah dan meningkatkan tegangan geser tanah.

o Vegetasi hutan mempengaruhi stabilitas lereng, dapat diketahui dari berat biomassnya, bentuk sistem perakaran, kedalaman akar, distribusi/sebaran perakaran, susunan akar, dan kekuatan akar.

Page 331: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Lampiran-lampiran

| 317 |

Bidang II: Peran Hutan Sebagai Pemasok Air Dan Pengendali Kekeringan

15. Peranan Vegetasi Hutan dalam Mengatur Pasokan Air

Daniel Murdyarso, Sofyan Kurnianto

o Peranan vegetasi (hutan) sangat tergantung pada kondisi iklim setempat. Hutan tidak menambah aliran sungai (debit), tetapi justru menguranginya. Namun demikian hutan dapat mengatur fluktuasi aliran sungai karena peranannya dalam mengatur limpasan dan infiltrasi

o Pengaruh hutan sangat ditentukan skala penutupan lahannya namun alih-guna lahan’ khususnya pengurangan penutupan hutan hingga 15 persen tidak memberikan pengaruh yang berarti tehadap pasokan air. Karena itu penggunaan lahan dapat diatur secara partisipatif sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak

o Perubahan iklim memberikan pengaruh yang nyata, khususnya pada musim kemarau, baik terhadap AET maupun SMD.

16. Analisis Tingkat Kekeringan sbg Dasar Dalam Pengelolaan DAS Yang Berhutan di DAS Progo

Sudibyakto

o Wilayah DAS Progo secara hidrometeorologis dapat dibedakan menjadi tiga mintakat kekeringan, yaitu zone kekeringan ringan, sedang dan tinggi.

o Variasi nilai Ia (indeks kekeringan) selain ditentukan oleh curah hujan, juga variasi dari nilai evapotranspirasi, kapasitas tanah menahan air, dan jenis penggunaan lahan.

o Secara umum, daerah penelitian dalam jangka panjang tidak mengalami déficit air (kekeringan) yang berarti terutama pada Sub DAS hulu, namun terjadinya kekeringan akan muncul bilamana kondisi Sub DAS telah mengalami degradasi lingkungan.

17. Sumbangan Hutan Terhadap Hasil Air

Sigit Hardwinarto

o Sumbangan hasil air dari beberapa kawasan hutan relatif berbeda, karena dibatasi oleh faktor geografis, biogeofisik dan iklim yang relatif beragam.

Page 332: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

PROSIDING Workshop, 2009

| 318 |

o Sumbangan hasil air dari DAS berhutan yang memiliki fluktuasi aliran air dari yang rendah sampai tinggi secara berurutan yaitu kawasan peruntukan Hutan Lindung, Pengusahaan Hutan Alam Produksi (HPH), Pemasok Air Waduk, Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), serta Kombinasi Peruntukan seperti HPH, HTI, Taman Nasional, Perkebunan, Pertambangan dan lain-lain.

o Ada kemungkinan kecenderungan menurunnya nilai persentase luasan hutan terhadap luasan DAS dapat mempengaruhi penurunan kualitas air.

18. Neraca Air Di Dalam Hutan

Irfan Budi Pramono

o Evapotranspirasi merupakan faktor utama dalam mengelola hutan untuk menghasilkan air.

o Dalam rangka pelestarian sumber daya hutan dan air maka tingkat evapotranspirasi dari jenis hutan serta tingkat infiltrasi di bawahnya harus diperhitungkan dengan teliti.

o Sepanjang curah hujan jauh lebih besar dari evapotranspirasi dan tingkat infiltrasi lebih besar dari tingkat evapotranspirasi maka penamanan tanaman hutan di suatu wilayah dianggap aman dari masalah kelangkaan air.

Bidang III. Peran Kelembagaan Kehutanan dalam Pengelolaan DAS

19. Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Saeful Rachman

o Pengelolaan DAS jelas melibatkan banyak pihak yang berkepentingan baik lintas sektoral maupun lintas wilayah administrasi sehingga untuk mewujudkan tujuan pengelolaan DAS terpadu diperlukan kelembagaan yang memadai yang dapat memfasilitasi koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinegi antar pihak berkepentingan.

o Walupun beberapa lembaga koordinatif ”Forum DAS” telah terbentuk namun masih banyak tugas dan fungsi forum belum berjalan secara optimal karena masih menghadapi berbagai kendala dan permasalahan yang cukup kompleks.

Page 333: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2

Lampiran-lampiran

| 319 |

20. Kelembagaan Pengelolaan DAS

Hendro Prahasto

o Untuk meningkatkan efektivitas koordinasi dan partisipasi para pihak, harus membangun suatu komunikasi yang baik dan tata kerja yang jelas yang didasarkan atas kebersamaan dan diagendakan dalam suatu program kerja.

o Forum DAS yang telah ada diarahkan sebagai organisasi non struktural, dan bersifat independen yang berfungsi untuk membantu memecahkan permasalahan yang timbul dan merumuskannya secara bersama-sama dalam wilayah DAS seperti konflik kepentingan antar sektor, antar pemerintah daerah serta dalam mengintegrasikan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.

o Untuk dapat terciptanya Badan Koordinasi Pengelolaan DAS perlu adanya payung hukum, minimal dalam bentuk Keputusan Presiden.

21. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Air Dan Hasil Air Dari Hutan

Purwanto

o Diperlukan kelembagaan yang anggotanya meliputi seluruh stakeholder baik pengelola maupun pemanfaat air dari hutan.

o Kajian kelembagaan yang sebaiknya dilakukan antara lain: a). kajian peraturan pelaksanaan dan perundangan yang terkait serta kebijakan yang diambil oleh masing-masing sektor, b). kajian kelembagaan dan kompensasi hulu hilir, c). kajian pola pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh sektor-sektor terkait, dan d). kajian kelembagaan internasional untuk mengatasi masalah perubahan iklim.

22. Peran Pemerintah Daerah Dalam Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai

Sri Puryono

o Kompleksitas permasalahan kelembagaan di Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pengelolaan DAS tidak terlepas dari komponen yang bertanggung jawab dalam pengelolaan DAS pada masing-masing wilayah, utamanya kelembagaan Pertanian dan Kehutanan, Penataan Ruang dan Wilayah, Kelautan dan Perikanan, Lingkungan Hidup, dan juga kelembagaan administratif.

Page 334: 2009P Prosiding Peran Hutan Daya Dukung DAS2