2. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · memiliki beberapa karakteristik, ... oksigen...

12
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Genus Artemia mempunyai beberapa spesies, antara lain Artemia salina Leach, A. parthenogenetica, A. franciscana Kellog, A. urmiana Gunther, A. tunisiana Bowen, A. persimilis Prosdocimi dan Piccinelli, A. monica Verril, dan A. odesssensisr. Artemia merupakan zooplankton yang diklasifikasikan ke dalam filum Arthropoda dan kelas Crustacea. Secara lengkap klasifikasi Artemia menurut Bougis (1979) in Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) adalah sebagai berikut. Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Subkelas : Branchiopoda Ordo : Anostraca Famili : Artemidae Genus : Artemia Spesies : Artemia salina Artemia diperjualbelikan dalam bentuk telur dorman (istirahat) yang disebut dengan kista. Kista tersebut berbentuk bulatan–bulatan kecil berwarna kelabu kecoklatan dengan diameter berkisar antara 200–350 mikron. Satu gram kista Artemia kering rata–rata terdiri dari 200.000–300.000 butir kista. Kista yang berkualitas baik akan menetas sekitar 18–24 jam apabila diinkubasikan dalam air bersalinitas 5–70‰. Terdapat beberapa tahap (proses) penetasan Artemia, yaitu tahap hidrasi, tahap pecah cangkang, dan tahap payung atau tahap pengeluaran. Pada tahap hidrasi terjadi penyerapan air sehingga kista yang diawetkan dalam bentuk kering tersebut akan menjadi bulat dan aktif melakukan metabolisme. Tahap selanjutnya adalah tahap pecah cangkang, disusul dengan tahap payung yang terjadi beberapa saat sebelum nauplius keluar dari cangkang. Tahap penetasan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 (Sorgeloos 1980). Artemia yang baru menetas disebut nauplius. Nauplius berwarna oranye, berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron, dan berat 0,002 mg. Ukuran–ukuran tersebut sangat bervariasi, tergantung pada galur (strain). Nauplius mempunyai sepasang antenulla dan sepasang antenna. Antenulla berukuran lebih kecil dan pendek dibandingkan dengan antenna. Selain itu, di antara antenulla terdapat bintik mata yang disebut dengan ocellus. Sepasang mandibulla

Upload: nguyenkhuong

Post on 27-Mar-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi

Genus Artemia mempunyai beberapa spesies, antara lain Artemia salina Leach, A.

parthenogenetica, A. franciscana Kellog, A. urmiana Gunther, A. tunisiana Bowen, A.

persimilis Prosdocimi dan Piccinelli, A. monica Verril, dan A. odesssensisr. Artemia

merupakan zooplankton yang diklasifikasikan ke dalam filum Arthropoda dan kelas

Crustacea. Secara lengkap klasifikasi Artemia menurut Bougis (1979) in Isnansetyo

dan Kurniastuty (1995) adalah sebagai berikut.

Filum : Arthropoda

Kelas : Crustacea

Subkelas : Branchiopoda

Ordo : Anostraca

Famili : Artemidae

Genus : Artemia

Spesies : Artemia salina

Artemia diperjualbelikan dalam bentuk telur dorman (istirahat) yang disebut

dengan kista. Kista tersebut berbentuk bulatan–bulatan kecil berwarna kelabu

kecoklatan dengan diameter berkisar antara 200–350 mikron. Satu gram kista

Artemia kering rata–rata terdiri dari 200.000–300.000 butir kista. Kista yang

berkualitas baik akan menetas sekitar 18–24 jam apabila diinkubasikan dalam air

bersalinitas 5–70‰. Terdapat beberapa tahap (proses) penetasan Artemia, yaitu

tahap hidrasi, tahap pecah cangkang, dan tahap payung atau tahap pengeluaran. Pada

tahap hidrasi terjadi penyerapan air sehingga kista yang diawetkan dalam bentuk

kering tersebut akan menjadi bulat dan aktif melakukan metabolisme. Tahap

selanjutnya adalah tahap pecah cangkang, disusul dengan tahap payung yang terjadi

beberapa saat sebelum nauplius keluar dari cangkang. Tahap penetasan tersebut

dapat dilihat pada Gambar 2 (Sorgeloos 1980).

Artemia yang baru menetas disebut nauplius. Nauplius berwarna oranye,

berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron, dan

berat 0,002 mg. Ukuran–ukuran tersebut sangat bervariasi, tergantung pada galur

(strain). Nauplius mempunyai sepasang antenulla dan sepasang antenna. Antenulla

berukuran lebih kecil dan pendek dibandingkan dengan antenna. Selain itu, di antara

antenulla terdapat bintik mata yang disebut dengan ocellus. Sepasang mandibulla

4

rudimenter terdapat di belakang antenna. Labrum (semacam mulut) terdapat di

bagian ventral. Morfologi nauplius disajikan pada Gambar 3 (Sorgeloos 1980).

Gambar 2. Tahapan Penetasan Artemia (Sorgeloos 1980)

Gambar 3. Morfologi nauplius Artemia (1) bintik mata (2) antennula (3) antenna

(4) calon thoracopoda (5) saluran pencernaan (6) mandibula (Sorgeloos

1980)

Nauplius berangsur–angsur mengalami perkembangan dan perubahan

morfologis dengan 15 kali pergantian kulit hingga menjadi dewasa. Setiap tingkatan

pergantian kulit disebut dengan instar, sehingga dikenal instar I hingga instar XV.

Setelah cadangan makanan yang berupa kuning telur habis dan saluran pencernaan

berfungsi, nauplius mengambil makanan ke dalam mulutnya dengan menggunakan

setae pada antenna. Artemia mulai mengambil makanan setelah mencapai instar II

5

(Sorgeloos 1980). Sekitar 24 jam setelah menetas, nauplius instar I akan berubah

menjadi instar II (Mudjiman 1989).

Saat instar kedua, pada pangkal antenanya tumbuh gnatobasen setae, suatu

struktur yang menyerupai duri menghadap ke belakang (Isnansetyo dan Kurniastuty

1995). Perubahan morfologis yang sangat mencolok terjadi setelah masuk instar X.

Antenna mengalami perubahan sesuai dengan jenis kelaminnya. Thoracopoda

mengalami diferensiasi menjadi tiga bagian, yaitu telopodite dan endopodite yang

berfungsi sebagai alat gerak dan penyaring makanan, serta eksopodite yang berfungsi

sebagai alat pernafasan (Lavens and Sorgeloos 1996).

Artemia dewasa (Gambar 4) biasanya berukuran panjang 8–10 mm yang

ditandai dengan adanya tangkai mata yang jelas terlihat pada kedua sisi bagian kepala,

antenna sebagai alat sensori, saluran pencernaan yang terlihat jelas, dan 11 pasang

thoracopoda. Pada Artemia jantan, antenna berubah menjadi alat penjepit (mascular

grasper) dan sepasang penis di bagian belakang tubuh. Pada Artemia betina, antenna

mengalami penyusutan dengan sepasang indung telur atau ovari terdapat di kedua sisi

saluran pencernaan di belakang thoracopoda. Telur yang sudah matang akan

disalurkan ke sepasang kantong telur atau uterus (Sorgeloos 1980).

Artemia dewasa dapat hidup selama beberapa bulan (sampai 6 bulan). Di bawah

kondisi optimal, Artemia dapat tumbuh dari nauplius sampai dewasa hanya dalam

waktu 8 hari (Lavens and Sorgeloos 1996) atau 14 hari (Mudjiman 1989). Sementara

itu, setiap 4–5 hari sekali mereka dapat memperbanyak diri secara cepat, dengan

menghasilkan anak (pada kondisi lingkungan yang baik) dengan rata-rata 300

nauplius atau bertelur (pada lingkungan yang buruk) sebanyak 50–300 butir.

Menurut Harefa (1997), perkembangan Artemia dari proses penetasan sampai

menjadi individu dewasa membutuhkan waktu sekitar 7–10 hari. Artemia dewasa bila

diletakkan di air tawar akan bertahan 2–3 jam. Untuk sebagian besar strain, toleransi

salinitas maksimum adalah 200‰. Artemia mencapai tingkat dewasa dalam 16-19

hari ketika dibudidayakan pada kolam air garam (Kulasekarapandian and

Ravichandran 2003 in Soundarapandian and Saravanakumar 2009). Menurut

Soundarapandian and Saravanakumar (2009), salinitas air laut (35-55‰) yang sesuai

untuk budidaya Artemia ditunjukkan dengan kelangsungan hidup yang lebih tinggi

(80%), ukuran yang lebih besar (1,2 cm) dan durasi yang lebih pendek (14 hari) untuk

mencapai tingkat dewasa. Menurut Vos (1979), morfologi dan penampilan umum

dewasa berubah pada salinitas yang berbeda. Semakin tinggi salinitas, semakin kecil

clasper pada Artemia jantan. Pada salinitas tinggi juga, tubuh menjadi lebih panjang

6

dan lebih kurus. Istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada

Lampiran 2.

Gambar 4. Morfologi Artemia dewasa (Sorgeloos 1980)

2.2. Artemia sebagai pakan alami

Artemia atau “brine shrimp” tergolong famili Artemiidae yang merupakan salah

satu jenis pakan alami yang sangat penting dalam pembenihan ikan laut, Crustacea,

ikan konsumsi air tawar, dan ikan hias. Hal ini dikarenakan Artemia memiliki nilai gizi

yang tinggi dan ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut hampir seluruh jenis larva

ikan.

Artemia memiliki posisi yang unik dalam sistem akuakultur dan sebagai pakan

hidup yang lebih dari 85% spesies yang dibudidayakan di seluruh dunia. Artemia

memiliki beberapa karakteristik, yang membuatnya menjadi ideal untuk kegiatan

budidaya. Artemia mudah untuk dipelihara, adaptasi yang lebar terhadap kondisi

lingkungan, non-selective filter feeder, mampu tumbuh pada padat tebar yang sangat

tinggi. Selain itu, Artemia juga memiliki nilai nutrisi yang tinggi, efesiensi konversi

yang tinggi, waktu untuk menghasilkan keturunan yang cepat, rataan fekunditas yang

tinggi, dan masa hidup yang sangat panjang. Artemia terdistribusi sebagian besar pada

danau hypersaline, kolam air asin, dan laguna. Artemia berkembang dengan sangat

baik pada air laut alami dan memiliki toleransi salinitas pada kisaran 3-300‰.

Sebagian besar peneliti mencoba untuk membudidayakan Artemia pada salinitas yang

lebih tinggi (>70‰) untuk memproduksi biomasa dan percobaan dilakukan hanya

7

pada kolam air garam (Gilchrist 1960; Arna 1987; Kulasekarapandian and

Ravichandran 2003 in Soundarapandian and Saravanakumar 2009).

Pembudidaya memperhatikan dua hal, yaitu menyediakan organisme dengan

ukuran yang tepat sebagai pakan pertama larva dan menyediakan jumlah yang cukup

dengan kelangsungan hidup yang tinggi dan pertumbuhan yang cepat mencapai

tingkat dewasa sehingga dapat digunakan untuk pakan organisme (Arulvasu and

Munuswamy 2009).

Naupli Artemia salina instar I yang baru menetas umumnya digunakan sebagai

pakan hidup untuk larva ikan. Selain dalam bentuk naupli, A. salina juga digunakan

dalam bentuk dewasa. Tingkatan naupliar (contohnya. instar II, III, atau metanauplii)

tidak sesuai lagi sebagai pakan larva ikan, karena memiliki panjang 50% lebih besar,

berenang lebih cepat dan mengalami penurunan nilai nutrisi (Watanabe et al. 1987;

Dye 1980; Sorgeloos et al. 2001 in John et al. 2005). Oleh karena itu, penyediaan

nauplius A. salina dilakukan melalui penetasan harian dari kista yang langsung

diberikan untuk larva ikan. Selain itu, untuk mengurangi waktu kerja laboran dan

proses yang tidak praktis, terdapat teknik lain berupa penyimpanan dingin dari nauplii

A. salina yang dilakukan pada strain A. salina yang berbeda (Baust and Lawrence

1980a,b; Leger et al. 1983 in Soundarapandian and Saravanakumar 2009).

Menurut Mudjiman (1989), kedudukan Artemia dalam dunia budidaya ikan

memiliki peranan penting, bukan hanya telurnya, melainkan juga Artemia dewasa.

Artemia dewasa merupakan pakan alami yang baik, terutama untuk pembesaran dan

pematangan gonad induk. Kandungan protein pada Artemia dewasa lebih besar

daripada anak Artemia (nauplius). Kandungan protein pada anak Artemia (nauplius)

adalah 42% dan Artemia dewasa 60% dari berat kering. Selain itu, kandungan lemak

Artemia dewasa lebih kecil dari nauplius Artemia.

Biomasa Artemia merupakan permintaan yang tinggi sebagai sumber dari pakan

yang berkualitas tinggi untuk budidaya ikan dan Crustacea (Persoone and Sorgeloos

1982 in Royan et al. 1990). Artemia dewasa dapat menjadi sumber berharga dengan

kualitas protein tinggi sebagai pakan hewan. Selain itu, pembesaran dan pematangan

beberapa spesies penaeid lebih efektif menggunakan Artemia dewasa. Rataan

pertumbuhan yang baik diamati pada Penaeus indicus, P. monoceros, dan P. monodon

ketika diberi pakan hidup Artemia dewasa (Royan et al. 1987 in Royan et al. 1990).

Menurut Mudjiman (1989), Kandungan nutrisi Artemia terdiri dari protein,

karbohidrat, lemak, air, dan abu. Protein merupakan kandungan terbesar, yaitu antara

40-60%. Kandungan protein yang tinggi inilah yang menyebabkan Artemia digunakan

8

sebagai pakan alami yang sulit digantikan dengan pakan yang lain. Menurut hasil

penelitian Fakultas Peternakan (1994), kandungan protein di dalam Artemia dapat

mencapai 58,58 %. Kandungan nutrisi lainnya adalah lemak 6,15%, karbohidrat

30,15%, abu 5,12%, dan kandungan energi 5,02 kkal/g.

Selain Artemia, terdapat jenis zooplankton yang dapat dimanfaatkan sebagai

pakan alami berbagai jenis ikan atau hewan air lainnya, misalnya Daphnia sp. Namun,

kandungan nutrisi Daphnia sp. lebih kecil jika dibandingkan dengan Artemia

(Mudjiman 1989). Secara umum larva-larva ikan-ikan laut berukuran sangat kecil

dengan ukuran mulut yang kecil pula, misalnya ikan kerapu (Kohno et al. 1997 in

Suwirya et al. 2001). Keadaan ini menyulitkan dalam manajemen pakan, dimana

secara fisik diperlukan pakan berukuran kecil, seperti rotifer tipe-SS. Rotifer dewasa

tipe-S dan tipe-L masih terlalu besar untuk stadia awal larva dari kebanyakan spesies

ikan kerapu (Lim 1993 in Suwirya et al. 2001). Asam lemak esensial bagi ikan-ikan

laut adalah kelompok n-3 HUFA (Izquierdo et al. 1989). Untuk menyesuaikan

kandungan asam lemak pakan hidup sehingga dapat memenuhi kebutuhan larva ikan

telah dikembangkan dengan metode pengkayaan, baik dengan menggunakan plankton,

pakan buatan, atau langsung dengan emulsi minyak yang mempunyai kandungan asam

lemak yang tinggi (Teshima et al. 1981 in Suwirya et al. 2001). Menurut Watanabe et

al. (1983b), komposisi asam lemak nauplii Artemia salina lebih besar daripada

komposisi asam lemak rotifer (Brachionus plicatilis) yang dikultur dengan pakan yang

berbeda.

2.3. Ekologi, Fisiologi, dan Reproduksi

Artemia terdistribusi di seluruh dunia, terdapat pada setiap benua kecuali

Antartika. Artemia ditemukan di danau bergaram dan daerah bergaram komersial.

Artemia dapat mentolerir salinitas naik lima kali lebih tinggi daripada air laut (Browne

and MacDonald 1982). Udang kecil ini mendiami danau hypersaline dan kolam yang

memiliki variasi komposisi ionik, suhu, dan altitute (ketinggian) (Triantaphyllidis et al.

1998). Populasi Artemia ditemukan di sekitar 600 danau garam alami dan danau

buatan manusia yang tersebar di seluruh zona beriklim tropis, subtropis, dan iklim

sedang, sepanjang garis pantai (Van Stappen 2002 in El-Gamal 2010).

Kehidupan Artemia dipengaruhi oleh faktor–faktor eksternal, yaitu salinitas,

oksigen terlarut, suhu, dan pH. Suhu di perairan dipengaruhi oleh musim, lintang,

ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran, dan

9

kedalaman badan air. Perubahan suhu air berpengaruh terhadap sifat fisika, kimia,

dan biologi perairan. Selain itu, peningkatan suhu juga dapat menyebabkan

peningkatan laju metabolisme dan respirasi. Menurut Nontji (1993), suhu yang sangat

ekstrim serta perubahannya dapat berdampak buruk bagi kehidupan organisme

akuatik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Suhu air permukaan di perairan

Indonesia umumnya berkisar antara 28–31 °C. Menurut Mudjiman (1989), Artemia

secara umum tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25–30 °C .

Suhu merupakan parameter lingkungan yang mudah berubah sesuai dengan

perbedaan tempat dan waktu. Suhu secara langsung berpengaruh terhadap proses

metabolisme organisme air. Pada suhu tinggi, metabolisme terpacu; sedangkan pada

suhu rendah, metabolisme lambat. Suhu air yang tinggi dan terlalu rendah

mengakibatkan oksigen terlarut dalam air menjadi rendah (Supriya et al. 2002).

Menurut Nontji (2007), salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam gram)

yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan ‰. Unsur–

unsur kimia terlarut dalam air laut, sebagian besar terdiri atas unsur makro (~95%)

dan hanya sebagian kecil yang merupakan unsur mikro (~5%). Oleh karena itu,

kandungan unsur makro (Na+, Mg2+, K+, Ca2+, Cl–, SO42–) sangat menentukan salinitas

suatu perairan. Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti

pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai.

Salinitas merupakan parameter yang penting untuk mengontrol pertumbuhan

dan kelangsungan hidup dari Artemia. Artemia merupakan organisme euryhaline,

tetapi Artemia merasa nyaman ketika berada pada salinitas yang optimum. Pada

lingkungan yang alami, temperatur (suhu), makanan, dan salinitas merupakan faktor

penting yang mempengaruhi populasi Artemia (Wear and Huslett 1987 in

Soundarapandian and Saravanakumar 2009). Menurut Vanhaecke et al. (1987) in

Kaiser et al. (2006), salinitas merupakan faktor lingkungan paling penting yang

menentukan sebaran Artemia dengan populasi yang ditemukan di danau garam pada

tingkat salinitas sekitar 40‰, dimana ikan dan banyak predator invertebrata tidak

ada. Organisme hypersaline beradaptasi pada salinitas tinggi dengan beberapa

mekanisme fisiologi, termasuk osmoregulasi, sintesis, dan akumulasi berbagai larutan

yang cocok. Artemia merupakan makrozooplankton yang dominan yang terdapat pada

lingkungan hypersaline (Wurtsbaugh and Gliwicz 2001 in Eimanifar and Mohebbi

2007).

Salinitas yang diperlukan agar Artemia dapat menghasilkan kista bervariasi

tergantung pada strainnya; pada umumnya membutuhkan salinitas di atas 100‰.

10

Penetasan kista Artemia membutuhkan salinitas kurang dari 85‰. Apabila salinitas

air yang digunakan untuk penetasan tersebut lebih dari 85‰, maka kista tidak akan

menetas. Hal ini disebabkan oleh tekanan osmosis di luar kista lebih besar, sehingga

kista tidak dapat menyerap air yang diperlukan untuk proses metabolisme (Mudjiman

1989). Pada usaha penetasan kista, umumnya digunakan air laut (salinitas 30–33‰).

Namun pada penelitian Vanhaeckeet et al. in Purwanti (2004) ditemukan laju

penetasan yang lebih tinggi dengan menggunakan salinitas lebih rendah dari air laut.

Menurut Sorgeloos (1980), hal tersebut terjadi karena pada salinitas yang lebih rendah

dari air laut terjadi penurunan kebutuhan energi untuk memecahkan cangkang.

Dengan demikian, proses penetasan kista lebih mudah. Salinitas yang dibutuhkan

untuk penetasan kista Artemia secara optimal adalah 20–30‰ (Direktorat Jendral

Perikanan dan Kelautan 2003). Pertumbuhan biomassa Artemia yang baik terjadi pada

kisaran salinitas 30–50‰ (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).

Salinitas dapat berfluktuasi karena pengaruh penguapan dan hujan. Salinitas

dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan zooplankton. Kisaran

salinitas yang tidak sesuai berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup dan

tingkat pertumbuhannya (Supriya et al. 2002).

Oksigen terlarut (Dissolved oxygen/DO) merupakan jumlah gas oksigen yang

ditemukan terlarut di dalam air (mg/l). Jumlah oksigen yang terlarut ini tergantung

pada suhu, salinitas, tekanan atmosfer, dan turbulensi air. Semakin tinggi temperatur

dan salinitas perairan, semakin rendah tingkat kelarutan oksigen dalam air. Lapisan

atas permukaan laut dalam keadaan normal mengandung oksigen terlarut sebesar 4,5–

9,0 mg/l. Selain temperatur dan salinitas, oksigen terlarut juga dipengaruhi oleh

tekanan hidrostatik. Semakin dalam laut, semakin rendah kandungan oksigen yang

terlarut dalam perairan tersebut (Sanusi 2006).

Oksigen terlarut dalam perairan sangat dibutuhkan oleh semua organisme yang

ada di dalamnya untuk pernafasan dalam rangka melangsungkan metabolisme dalam

tubuh mereka. Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari difusi, hasil fotosintesa

fitoplankton dan adanya aliran air baru (Supriya et al. 2002).

Dalam penentuan persyaratan pemeliharaan zooplankton, kandungan oksigen

perairan bukan merupakan faktor utama. Kebutuhan akan oksigen terlarut tersebut

dapat dipenuhi dari sumber pengudaraan tersendiri, yaitu dengan menggunakan

blower (Supriya et al. 2002).

Toleransi yang ekstrim terhadap konsentrasi oksigen terlarut adalah sifat umum

untuk beberapa spesies Artemia yang sukses menghadapi kondisi buruk dibawah

11

kondisi ekstrim (Amat 1985 in Nunes et al. 2005). Artemia termasuk hewan

euroksibion, yaitu hewan yang mempunyai kisaran toleransi yang lebar terhadap

kandungan oksigen. Kandungan oksigen yang baik untuk pertumbuhan Artemia

adalah di atas 3,0 mg/l. Untuk kehidupan biota laut secara layak oksigen terlarut

harus lebih besar dari 5,0 mg/l (Kep.51/MENLH/2004) (Lampiran 1).

Salah satu parameter lingkungan penting yang dapat mempengaruhi

pertumbuhan dan keberadaan organisme air termasuk zooplankton adalah pH.

Menurut Boyd (1982), dekomposisi bahan organik dan respirasi akan menurunkan

kandungan oksigen terlarut, yang berdampak pada meningkatnya kadar CO2 bebas,

sehingga mengakibatkan menurunnya pH air.

Sverdrup et al. (1960), mengatakan bahwa konsentrasi ion hidrogen dari air laut

umumnya bersifat basa. Ion H+ dan OH– merupakan bagian dari kesetimbangan,

beberapa pengertian dari sistem karbon dioksida memerlukan pengetahuan dari

konsentrasi mereka. Air hasil sulingan murni dibagi menjadi ke dalam ion hidrogen

dan hidroksil:

H2O H+ + OH–

Jika konsentrasi ion H+ melebihi ion OH–, maka larutan adalah asam, dan jika

lebih sedikit adalah basa. Konsentrasi ion hidrogen dinyatakan secara normal sebagai

kesetimbangan per liter dan dinyatakan sebagai :

pH = log +

1

[H ]

Jadi, larutan netral memiliki pH sekitar 7, larutan asam memiliki pH kurang dari

7, dan larutan basa memiliki pH lebih dari 7.

Kondisi pH air juga mempengaruhi kehidupan Artemia. Artemia membutuhkan

pH air yang sedikit bersifat basa untuk kehidupannya. Nilai pH air sangat berpengaruh

terhadap efisiensi penetasan kista. Efesiensi penetasan kista akan menurun pada pH

yang kurang dari 8 (Mudjiman 1989). Artemia dapat tumbuh dengan baik pada pH air

yang berkisar antara 7,5–8,5 (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Untuk kehidupan

biota laut secara layak nilai pH harus dalam kisaran 7,0–8,5 (Kep.51/MENLH/2004)

(Lampiran 1).

Amonia (NH3) yang terkandung dalam suatu perairan merupakan salah satu

hasil dari proses penguraian bahan organik. Amonia ini berada dalam dua bentuk,

yaitu amonia tak berion (NH3) dan amonia berion (NH4). Amonia tak berion bersifat

racun, sedangkan amonia berion bersifat tidak beracun. Tingkat peracunan amonia

12

tak berion berbeda untuk setiap species, tetapi pada kadar 0,6 ppm dapat

membahayakan organisme tersebut (Boyd 1982).

Efesiensi penetasan kista Artemia dipengaruhi oleh suhu, salinitas, pH, oksigen

terlarut dan intensitas cahaya. Pengaruh intensitas cahaya terhadap 4 strain geografi

dari kista Artemia menunjukkan bahwa kista Great Salt Lake memiliki perbedaan yang

minimum dalam derajat penetasan dengan perlakuan intensitas cahaya berbeda

(Sorgeloos 1973 in Vanhaecke et al. 1981).

Amonia biasanya timbul akibat kotoran dan hasil aktivitas mikroorganisme

dalam proses dekomposisi bahan organik yang kaya akan nitrogen. Bahan organik

yang terkandung di dalam air berasal dari organisme yang mati, hasil ekskresi

(kotoran organisme), dan sisa pakan. Tingginya kadar amonia biasanya diikuti

naiknya kadar nitrit. Tingginya kadar nitrit terjadi akibat lambatnya perubahan dari

nitrit ke nitrat oleh bakteri Nitrobacter (Supriya et al. 2002).

Artemia memiliki ketahanan terhadap kandungan amonia yang tinggi. Menurut

Sorgeloos (1980), konsentrasi amonia sebesar 2 mg/l dapat menghambat penelanan

makanan. Untuk kehidupan biota laut secara layak, nilai amonia total (NH3–N) harus

kurang dari 0,3 mg/l (Kep.51/MENLH/2004) (Lampiran 1).

Artemia bersifat pemakan segala atau omnivora. Makanan Artemia berupa

plankton, detritus, dan partikel–partikel halus yang dapat masuk ke dalam mulut.

Dalam mengambil makanan, Artemia bersifat penyaring tidak selektif (non selectif filter

feeder). Oleh karena itu, kandungan gizi Artemia sangat dipengaruhi oleh kualitas

pakan yang tersedia pada perairan tersebut. Ukuran terbesar dari partikel pakan yang

dapat ditelan Artemia adalah 50 mikron. Artemia mengambil pakan dari media

hidupnya terus–menerus sambil berenang. Pengambilan makanan dilakukan

menggunakan antenna kedua pada nauplius, dan menggunakan telopodite yang

merupakan bagian dari thoracopoda pada Artemia dewasa (Isnansetyo dan

Kurniastuty 1995).

Dalam melakukan proses tumbuh, Artemia secara periodik melakukan ganti kulit

(molting) yang frekuensinya tergantung dari stadium siklus hidup dan kondisi

lingkungan tempat hidupnya. Pada proses ganti kulit ini, aktivitas osmoregulasi

memegang peranan penting yang berhubungan dengan besarnya energi yang

digunakan (Riani 1990 in Purwanti 2004).

Menurut Locwood (1989) in Purwanti (2004), walaupun ganti kulit hanya

merupakan bagian yang pendek dari seluruh siklus hidup, tetapi periode ini cukup

berbahaya dan tingkat kematian sering tinggi pada saat ini. Sumber dari bahaya

13

tersebut ada tiga macam, yaitu meliputi faktor mekanik, fisiologi, dan biologi. Masalah

fisiologi yang timbul adalah akibat beragamnya rasio ionik dan konsentrasi total ion

dalam cairan tubuh pada saat ganti kulit dan hasil pengenceran akibat penarikan kadar

air yang masuk ke dalam sel dan dari perubahan permeabilitas pada permukaan

tubuh.

Menurut cara reproduksinya, Artemia dipilah menjadi dua, yaitu Artemia yang

bersifat biseksual dan Artemia yang bersifat parthenogenetik. Artemia biseksual

berkembangbiak secara seksual dengan perkembangbiakan yang didahului oleh

perkawinan antara jantan dan betina. Artemia parthenogenetik berkembangbiak

secara parthenogenesis, yaitu betina menghasilkan telur atau nauplius tanpa adanya

pembuahan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).

Siklus hidup Artemia cukup unik, baik jenis biseksual maupun partenogenetik

(Gambar 5). Perkembangbiakannya dapat secara ovovivipar maupun ovipar

tergantung kondisi lingkungan, terutama salinitas. Pada salinitas tinggi akan

dihasilkan kista yang keluar dari induk betina, sehingga disebut perkembangbiakan

secara ovipar. Pada salinitas rendah tidak akan dihasilkan kista, tetapi telur langsung

menetas menjadi nauplius, sehingga disebut perkembangbiakan secara ovovivipar

(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).

Dalam kehidupan Artemia, baik pada perkembangan biseksual maupun

parthenogenesis kedua–duanya dapat terjadi secara ovovivipar maupun ovipar. Pada

cara ovovivipar (menghasilkan nauplius), sel telur yang telah dibuahi di dalam uterus

berkembang menjadi embrio melalui stadia blastula dan gastrula. Dalam keadaan

lingkungan yang baik, gastrula akan berkembang lebih lanjut menjadi nauplius, yang

akhirnya dikeluarkan dari tubuh induknya. Apabila keadaan lingkungan tersebut

buruk, perkembangannya terhenti sampai pada tingkat gastrula. Selanjutnya stadia

gastrula dibungkus dengan cangkang telur yang kuat dan mengandung hematin yang

dihasilkan oleh kelenjar cangkang telur, yang dikeluarkan dari tubuh induknya dalam

bentuk kista. Kista akan menjadi nauplius melalui proses penetasan lebih dahulu yang

disebut dengan cara ovivar (Mudjiman 1989).

Menurut Mudjiman (1989), ovoviviparitas biasanya terjadi apabila keadaan

lingkungan cukup baik dengan salinitas air berkisar antara 100–150‰ ke bawah,

sehingga burayak yang masih lembut itu dapat hidup tanpa gangguan. Oviparitas

biasanya terjadi apabila keadaan lingkungan sangat buruk, terutama kadar oksigennya

sangat rendah dan salinitas lebih dari 150‰. Dengan demikian, kista yang

bercangkang tebal dan kuat itu mampu menghadapi keadaan yang buruk sambil

14

beristirahat. Apabila keadaan lingkungan sudah membaik, kista menetas menjadi

nauplius, dan memulai kehidupan baru.

Pada jenis biseksual, perkembangbiakan diawali dengan perkawinan.

Perkawinan diawali dengan adanya pasangan jantan dan betina yang berenang

bersama (riding pair). Artemia betina di depan, sedangkan Artemia jantan “memeluk”

dengan menggunakan penjepit di belakangnya. Riding pair berlangsung cukup lama,

walaupun perkawinan/kopulasinya hanya membutuhkan waktu singkat. Artemia

jantan memasukkan penis ke dalam lubang uterus betina dengan cara

membengkokkan tubuhnya ke depan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).

Gambar 5. Siklus Hidup Artemia (Mudjiman 1989)