2 tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · juga ilegal di seluruh indonesia. bom buatan sendiri...

24
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengeboman Ikan Destructive fishing merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi pelanggaran hukum. Secara umum, maraknya destructive fishing disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) Rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan tidak seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yang ada saat ini, (2) Terbatasnya sarana dan armada pengawasan di laut, (3) Lemahnya kemampuan SDM nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi, (4) Masih lemahnya penegakan hukum, (5) Lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum (Mukhtar, 2007). Pengeboman ikan adalah cara penangkapan ikan yang sangat merusak, dan juga ilegal di seluruh Indonesia. Bom buatan sendiri dibuat dengan mengemas bubuk ke dalam botol bir atau minuman ringan. Sumbu biasanya dibuat dari kepala korek yang digerus dan dimasukkan ke dalam pipa sempit, lalu diikat kuat dengan kawat. Sumbu dinyalakan lalu botol dilemparkan ke dalam air. Bom akan meledak di bawah air dan memberikan guncangan fatal di sepanjang perairan, yang dapat membunuh hampir semua makhluk hidup di sekitarnya. Nelayan hanya mengumpulkan ikan konsumsi yang berharga, tetapi banyak ikan dan hewan laut lain ditinggalkan dalam keadaan mati di antara pecahan karang yang mungkin tidak dapat pulih kembali (Erdmann, 2004). Kerusakkan terumbu karang terindikasi oleh faktor fisik seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, dan pengambilan biota laut lainnya dengan benda keras, seperti pembongkaran terumbu karang dengan menggunakan linggis (Suharyanto, 2006). Alat tangkap destruktif yang digunakan di Indonesia pada umumnya adalah bom dan bius. Penggunaan bom dimaksudkan untuk mencegah ikan lolos melarikan diri setelah ditangkap sebelum diangkat naik ke kapal/perahu. Ikan dibom dulu supaya mati, lalu tinggal dipunguti, dimasukkan ke jaring, lalu diangkat naik ke atas kapal atau perahu. Sebelum membom ikan, di atas

Upload: vuongquynh

Post on 06-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengeboman Ikan

Destructive fishing merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan

ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi

pelanggaran hukum. Secara umum, maraknya destructive fishing disebabkan oleh

beberapa faktor, yaitu: (1) Rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan tidak

seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yang ada saat ini, (2) Terbatasnya

sarana dan armada pengawasan di laut, (3) Lemahnya kemampuan SDM nelayan

Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi,

(4) Masih lemahnya penegakan hukum, (5) Lemahnya koordinasi dan komitmen

antar aparat penegak hukum (Mukhtar, 2007).

Pengeboman ikan adalah cara penangkapan ikan yang sangat merusak, dan

juga ilegal di seluruh Indonesia. Bom buatan sendiri dibuat dengan mengemas

bubuk ke dalam botol bir atau minuman ringan. Sumbu biasanya dibuat dari

kepala korek yang digerus dan dimasukkan ke dalam pipa sempit, lalu diikat kuat

dengan kawat. Sumbu dinyalakan lalu botol dilemparkan ke dalam air. Bom akan

meledak di bawah air dan memberikan guncangan fatal di sepanjang perairan,

yang dapat membunuh hampir semua makhluk hidup di sekitarnya. Nelayan

hanya mengumpulkan ikan konsumsi yang berharga, tetapi banyak ikan dan

hewan laut lain ditinggalkan dalam keadaan mati di antara pecahan karang yang

mungkin tidak dapat pulih kembali (Erdmann, 2004). Kerusakkan terumbu

karang terindikasi oleh faktor fisik seperti penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan peledak, dan pengambilan biota laut lainnya dengan benda

keras, seperti pembongkaran terumbu karang dengan menggunakan linggis

(Suharyanto, 2006).

Alat tangkap destruktif yang digunakan di Indonesia pada umumnya

adalah bom dan bius. Penggunaan bom dimaksudkan untuk mencegah ikan lolos

melarikan diri setelah ditangkap sebelum diangkat naik ke kapal/perahu. Ikan

dibom dulu supaya mati, lalu tinggal dipunguti, dimasukkan ke jaring, lalu

diangkat naik ke atas kapal atau perahu. Sebelum membom ikan, di atas

8

kapal/perahu, para nelayan biasanya mengamati terlebih dahulu kualitas (dalam

hal ini jenisnya) dan kuantitas ikan yang akan dibom. Ritual ini untuk

memprakirakan berapa keuntungan mereka kelak jika membom suatu jenis ikan,

termasuk di dalamnya menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk membeli

mesin dan alat tangkap, bagi hasil dengan punggawa, sampai penjualannya.

Setiap kilogram bom yang meledak, radius menghancurkan bisa mencapai 5

meter. Bisa dibayangkan berapa ratus ribu bahkan mungkin ratus juta biota laut

yang ikut rusak dan mati terkapar tak berdaya jika radius 250 kg bom menjangkau

ribuan meter. Apalagi jika ditambah makhluk-makhluk laut (misalnya plankton)

yang tidak kasat mata (mikroskopis). Ini hanya untuk satu jenis alat tangkap,

yakni bom. Alat dan bahan yang digunakan untuk merakit bom di antaranya

detonator (umumnya berjenis 66 dan 88), bubuk bom yang dicampur minyak

tanah, laddo sebagai pemberat agar bom mudah tenggelam hingga ke dasar laut,

penyulut (biasanya obat nyamuk) untuk menyalakan sumbu, pappaca’ (pemadat),

kantong plastik untuk membungkus detonator agar tidak basah terkena air,

kemasan (botol minuman, jerigen, atau galon) dan sumbu untuk membakar. Ada

berbagai ukuran sumbu yang digunakan, misalnya 12 cm, 7 cm, 5 cm, 3 cm, dan 2

cm ,tergantung kedalaman laut lokasi penangkapan. Jika lautnya dalam, maka

sumbunya harus panjang, dan jika lautnya dangkal, sumbunya juga harus pendek.

Ini dimaksudkan agar bom meledak tepat waktu dan sasaran. Sumbu yang

ukurannya 2 cm disebut juga sumbu bismillah sebab pembom harus mengucapkan

”Bismillah” tepat di saat bom dilepas ke laut supaya tidak meledak di tangan.

Ikan target pemboman biasanya ikan yang bergerombol (sejenis) dan ikan yang

berlindung/berkumpul di karang-karang (tidak sejenis). Adapun ciri-ciri ikan

yang sudah dibom di antaranya tulangnya patah-patah, mata menonjol keluar dan

dagingnya lembek (Anonimous, 2008).

Penggunaan bahan peledak seperti bom dapat memusnahkan biota dan

merusak lingkungan. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di

sekitar daerah terumbu karang, menimbulkan efek samping yang sangat besar,

selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga dapat

menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan.

Penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas

9

terhadap ekosistem terumbu karang. Penangkapan ikan dengan cara

menggunakan bom, mengakibatkan biota laut seperti karang menjadi patah,

terbelah, berserakan dan hancur menjadi pasir, dan meninggalkan bekas lubang

pada terumbu karang. Indikatornya adalah karang patah, terbelah, tersebar

berserakan dan hancur menjadi pasir, meninggalkan bekas lubang pada terumbu

karang (Mukhtar, 2007).

Mukhtar (2007) lebih lanjut mengatakan bahwa, secara umum penanganan

destructive fishing dapat dilakukan dengan cara:

1. Meningkatkan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi, penyuluhan atau

penerangan terhadap dampak negatif yang diakibatkan oleh penangkapan

ikan secara illegal.

2. Mencari akar penyebab kenapa destructive fishing itu dilakukan, apakah

motif ekonomi atau ada motif lainnya, dan setelah diketahui permasalahan,

upaya selanjutnya melakukan upaya preventif.

3. Meningkatkan penegakan dan penaatan hokum.

4. Melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya ikan.

5. Perlu adanya dukungan kelembagaan dari pemerintah, yang artinya harus

ada yang mengurusi kasus ini.

2.2 Mata Pencaharian Alternatif

Kegiatan mata pencaharian alternatif bertujuan untuk menyediakan jenis

usaha berkelanjutan bagi masyarakat yang selama ini melakukan kegiatan usaha

yang bersifat tidak ramah lingkungan. Mata pencaharian alternatif yang

berkelanjutan ini harus menguntungkan dan tidak merusak lingkungan.

Kelompok masyarakat yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi yang

merusak lingkungan seperti penangkapan dengan bom atau meting, perlu merubah

jenis usahanya sebelum terlambat dan tidak ada yang tersisa untuk generasi

mendatang (Erdmann, 2004).

Pomeroy and Williams (1999) diacu dalam Nikijuluw (2002),

menyatakan bahwa keberhasilan manajemen sumberdaya perikanan lebih

bergantung pada keterlibatan atau partisipasi pemegang kepentingan

(stakeholder). Jika nelayan adalah salah satu pemegang kepentingan tersebut,

10

biarkanlah nelayan memutuskan sendiri keinginan dan tujuannya. Jika

keinginannya untuk meningkatkan pendapatan, hal tersebut harus ditempatkan

sebagai salah satu tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan.

Fakor-faktor yang menyebabkan pendapatan nelayan rendah antara lain

adalah unit penangkapan yang terbatas yang dikarenakan penguasaan teknologi

yang rendah, skala usaha/modal yang dimiliki kecil dan masih bersifat tradisional.

Kemampuan nelayan dalam memanfaatkan peluang usaha dan mengatasi

tantangan lingkungan yang rendah, dikarenakan masyarakat yang masih

bergantung pada musim penangkapan. Dalam penentuan fishing ground, nelayan

yang mempunyai izin untuk melakukan operasi di tempat tersebut akan

memperoleh hasil yang banyak, tetapi bagi nelayan yang tidak memiliki akses ke

lokasi yang produktif tersebut, selain hasil tangkapan yang tidak maksimal juga

biaya operasi yang tinggi. Eksternalitas teknologi terjadi karena nelayan

cenderung melakukan penangkapan ikan pada lokasi yang sama, atau setidaknya

saling berdekatan satu dengan yang lain, sehingga terjadi pertemuan antara alat

tangkap ikan yang digunakan, yang menjurus pada kerusakan atau perusakan

(Nikijuluw, 2002). Faktor lainnya adalah law enforcement yang tidak berpihak

kepada nelayan, diantaranya terjadinya ego sektoral, regulasi yang tidak

mendukung, terbatasnya peran kelembagaan, baik pemerintah maupun non

pemerintah, penetapan bahan baku (ikan) yang kurang adil, belum ditetapkannya

undang-undang anti monopoli, pembagian keuntungan yang tidak proporsional,

dan kebijakan ekonomi secara mikro yang lebih banyak memberikan kerugian di

pihak nelayan, dibandingkan memberikan keuntungan.

2.3 Pemberdayaan Masyarakat

Bantuan dari pemerintah dapat diberikan kepada pihak swasta (pengusaha

kecil) maupun kepada koperasi. Bentuk campur tangan pemerintah ini dapat

berupa pemberian kredit produksi dengan bunga rendah tanpa agunan,

pembebasan bea masuk komponen-komponen alat pengolahan dan unit

penangkapan, pembebasan PPN penjualan dalan negeri, pengembangan teknologi

pengolahan yang tepat guna, penetapan UMR bidang perikanan dan kemudahan

perizinan investasi. Peningkatan pendapatan nelayan diukur dari tingkat upah

11

berdasarkan upah minimum regional. Efisiensi tata niaga diukur dari keuntungan

masing-masing biaya perniagaan (harga ikan segar, biaya angkut, restribusi TPI)

dan keuntungan pedagang pengumpul. Efektifitas ekspor dapat dilihat dari jumlah

dan nilai ekspor produk perikanan dan kontribusi ekspor produk perikanan

terhadap PDB nasional. Perluasan lapangan kerja dapat diukur dari persentase

angkatan kerja yang terserap. Peningkatan devisa dapat diukur dari persentase

peningkatan sumbangan devisa dari ekspor produk-produk perikanan. Parameter

kebijakan berdasarkan pada tercapainya seluruh output yang dikehendaki

seoptimal mungkin, dan menghindari munculnya output yang tidak dikehendaki,

(Sari, 2004).

Kusnadi (2003), menganalisa bahwa terdapat sebab yang kompleks

mengapa kemiskinan nelayan terus terjadi. Ia menjelaskan ada sebab internal

dalam masyarakat nelayan dan ada problem eksternal. Sebab internal antara lain:

keterbatasan sumber daya manusia, kemampuan modal usaha, relasi pemilik-

nelayan buruh, kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan dan

ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut. Sebab kemiskinan yang

bersifat eksternal yang berkaitan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas kerja

nelayan, antara lain: kebijaksanaan pembangunan perikanan yang berorientasi

pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, sistem

pemasaran hasil perikanan yang mengundang pedagang perantara, kerusakan

ekosistem pesisir dan laut, penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah

lingkungan, penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan, dan

kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut

sepanjang tahun.

Lebih lanjut Kusnadi (2003) menambahkan bahwa problem kemiskinan

masyarakat nelayan mulai muncul ke permukaan, setelah satu dekade

dilaksanakannya kebijakan nasional tentang motorisasi perahu dan modernisasi

peralatan tangkap pada awal tahun 1970-an. Kebijakan ini dikenal dengan istilah

revolusi biru (blue revolution). Proyek besar ini berimplikasi pada keserakahan

sosial atas sumber daya perikanan yang mendorong setiap individu untuk

berkuasa penuh terhadap sumber daya tersebut. Keserakahan ini akan berakibat

pada kelangkaan sumber daya perikanan. Kompetisi yang semakin tinggi dan

12

kesenjangan akses dan pendapatan yang berimplikasi pada timbulnya kesenjangan

sosial ekonomi antar pengguna sumber daya perikanan.

Kebijakan motorisasi dan modernisasi, ternyata banyak menimbulkan

kritik dari berbagai pihak. Beberapa penelitian memperlihatkan dampak negatif

dari proyek yang dikenal dengan istilah blue revolution ini. Donald K. Emerson

(1979) diacu dalam Mubyarto et al. (1984) menyatakan bahwa, pemberian

bantuan teknologi motorisasi, memberikan dampak negatif bagi produktivitas

nelayan; karena motorisasi, ikan-ikan yang semula biasa ditangkap nelayan

tradisional akan disedot oleh nelayan yang memiliki kapal modern bermesin

dengan alat yang berdaya tangkap besar.

Purna (2000), menyatakan bahwa salah satu permasalahan mendasar bagi

pembangunan kelautan dan perikanan, khususnya yang bergerak dalam skala

mikro dan kecil adalah sulitnya akses permodalan dari lembaga

keuangan/perbankan formal. Akibatnya nelayan seringkali terjerat oleh renteneer

yang menawarkan pinjaman dengan cepat dan mudah, namun diimbangi dengan

tingkat bunga yang tinggi. Keterbatasan permodalan ini diperburuk dengan sistem

penjualan yang cenderung dimonopoli oleh para tengkulak. Akibatnya nelayan

tidak memiliki bargaining power yang memadai sehingga pendapatan yang

diperoleh habis untuk bayar hutang dan makan. Lingkaran kemiskinan ini selalu

berputar dan menyebabkan di sektor kelautan dan perikanan lekat dengan

kemiskinan.

Peran lembaga perbankan dalam penyaluran kredit komersial untuk

membantu pemgembangan usaha kecil dan menengah tidak efektif. Hal ini

disebabkan oleh kecenderungan bank-bank umum mendanai sektor-sektor usaha

yang bergerak dalam bidang industri pengolahan hasil laut, serta pedagang besar

hasil laut, dan belum menyentuh pada nelayan secara individu. Hal ini

disebabkan oleh kebijakan prudential banking serta persyaratan pada pemberian

kredit yang ditetapkan oleh otoritas moneter, yang memberikan batasan gerak bagi

perbankan umum, untuk dapat menjangkau masyarakat miskin, khususnya

masyarakat miskin yang ada di daerah pesisir (Saleh, 2004). Selanjutnya

dikatakan bahwa, keterbatasan yang selama ini cukup dominan dalam pemberian

kredit kepada masyarakat/pelaku ekonomi di daerah pesisir adalah, penyediaan

13

jaminan yang merupakan syarat pemberian kredit oleh bank umum. Fasilitas

kredit yang diberikan untuk membantu kelancaran usaha lebih dikenal dengan

kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan perbankan guna membantu para

pengusaha untuk memperlancar dan meningkatkan kegiatan usahanya, yang terdiri

dari kredit investasi dan kredit modal kerja.

2.4 Pengelolaan Perikanan yang Berkelanjutan (Berwawasan Lingkungan)

Dalam rangka mendayagunakan potensi perikanan secara optimal sebagai

ujung tombak perekonomian daerah, maka kebijakan pembangunan kelautan dan

perikanan di Kabupaten Halmahera Utara diarahkan untuk :

1. Memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan

berkelanjutan.

2. Meningkatkan penerimaan devisa negara dari ekspor hasil perikanan.

3. Meningkatkan kesejahteraan nelayan.

4. Meningkatkan kecukupan gizi dari hasil perikanan.

5. Meningkatkan penyerapan tenaga kerja di bidang kelautan dan perikanan.

Untuk pencapaian tujuan yang telah digariskan, maka perlu adanya

dukungan kebijakan pemerintah terhadap beberapa komponen yang mencakup

kebijakan tentang infrastruktur, kebijakan sumberdaya nelayan, kebijakan

perikanan tangkap, kebijakan perikanan budidaya, kebijakan pemasaran hasil

perikanan, serta pembangunan dan pengembangan pelabuhan perikanan.

Secara umum, teknologi ramah lingkungan adalah teknologi yang hemat

sumberdaya lingkungan (meliputi bahan baku material, energi dan ruang), dan

karena itu juga sedikit mengeluarkan limbah (baik padat, cair, gas, kebisingan

maupun radiasi) dan rendah resiko menimbulkan bencana. Penggunaan kapal

perikanan modern yang lebih ramah lingkungan perlu dikembangkan, yakni yang

menggunakan mesin dan sekaligus layar mekanis. Layar dapat dikembangkan

otomatis jika arah dan kecepatan angin menguntungkan. Penggunaan energi

angin dapat menghemat bahan bakar hingga 50%. Teknologi energi dan

transportasi yang ramah lingkungan termasuk yang saat ini paling

dilindungi oleh industri negara maju dan karenanya paling mahal. Namun,

teknologi modern yang ramah lingkungan ini sangat diperlukan dalam

14

pengelolaan sumber daya laut meskipun mengeluarkan biaya yang tidak sedikit

(http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/agribisnis/1id30666.html).

Secara teoritis, ada dua bentuk regulasi dalam pengelolaan sumber daya

kelautan dan perikanan, yakni open access dan controlled access regulation.

Open access adalah regulasi yang membiarkan nelayan menangkap ikan dan

mengeksploitasi sumber daya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun

jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Regulasi ini mirip ”hukum rimba” dan

”pasar bebas”. Secara empiris, regulasi ini menimbulkan dampak negatif, antara

lain apa yang dikenal dengan tragedy of common baik berupa kerusakan sumber

daya kelautan dan perikanan maupun konflik antar nelayan. Sebaliknya, contolled

access regulation adalah regulasi terkontrol yang dapat berupa (1) pembatasan

input (input restriction), yakni membatasi jumlah pelaku, jumlah jenis kapal, dan

jenis alat tangkap, (2) pembatasan output (output restriction), yakni membatasi

berupa jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan kuota. Salah satu

formulasi dari pembatas input itu adalah territorial use right yang

menekankan penggunaan fishing right (hak memanfaatkan sumberdaya

perikanan) dalam suatu wilayah tertentu dalam yurisdiksi yang jelas. Pola

fishing right system ini menempatkan pemegang fishing right yang berhak

melakukan kegiatan perikanan di suatu wilayah, sementara yang tidak

memiliki fishing right tidak diizinkan beroperasi di wilayah itu

(http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian /agribisnis/1id30666.html).

Selain diatur siapa yang berhak melakukan kegiatan perikanan, juga diatur

kapan dan dengan alat apa kegiatan perikanan dilakukan. Sistem yang menjurus

pada bentuk pengkavlingan laut ini menempatkan perlindungan kepentingan

nelayan kecil yang beroperasi di wilayah pantai-pesisir serta kepentingan

kelestarian fungsi sumber daya sebagai fokus perhatian. UU No. 32 tahun 2004

yang membuat pengaturan tentang yurisdiksi laut provinsi (12 mil) dan

kabupaten/kota (4 mil) mengindikasikan bahwa produk hukum itu menganut

konsep pengkavlingan laut. Konsep pengkavlingan laut merupakan instrumen

dari konsep regulasi akses terkontrol (contolled access regulation) dalam pola

pembatasan input (territorial use right). UU No. 32 tahun 2004 sebenarnya entry

point penerapan territorial use right.

15

2.5 Perikanan Tangkap

Perikanan tangkap adalah usaha ekonomi dengan mendayagunakan

sumber hayati perairan dan alat tangkap untuk menghasilkan ikan dan memenuhi

permintaan akan ikan (Achmad, 1999). Pengusahaan perikanan yang tidak

terawasi dapat mengakibatkan penangkapan yang berlebih (overfishing),

penurunan mutu, bahkan dapat merusak produktivitasnya (Naamin, 1991).

Sumberdaya ikan terdiri dari ikan pelagis dan ikan demersal, dimana ikan

pelagis mencakup ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil yang hidup di

pemukaan laut atau didekatnya (Djatikusumo, 1975; Merta et al., 1998). Ikan

pelagis yang banyak terdapat di wilayah perairan dekat pantai adalah pelagis

kecil, misalnya ter, kembung, laying, selar dan bentong (Merta et a.,l 1998).

Ikan demersal merupakan kelompok ikan yang hidup di dasar atau dekat

dasar perairan, dimana beberapa spesiesnya merupakan spesies ikan karang yang

mempunyai nilai ekonomis penting, yakni bambangan (Lutjanidae), kerapu

(Serranidae), baronang (Siganidae) ekor kuning (caesionidae) serta species-

species ikan hias seperti napoleon (Labridae) dan ikan konsumsi lainnya

(Aoyama, 1973; Badrudin et a.,l 1998; Djamali et al., 1998).

Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang sifatnya terbatas dan

dapat pulih (renewable), yang berarti bahwa setiap pengurangan yang disebabkan

kematian maupun penangkapan akan dapat memulihkan sumberdaya tersebut

kembali ke tingkat produktivitas semula (Anonymous 1993). Namun apabila

tekanan pengusahaan atau penangkapan tersebut cukup tinggi intensitasnya

hingga melampaui daya dukung, maka untuk pulih kembali akan memerlukan

waktu yang relatif lama (Anonymous, 1993; Dahuri, 1999).

Sumber daya dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut,

termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture). Sumber daya

tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas

(Dahuri, 2000; Halim, 2003).

16

2.5.1 Alat penangkapan ikan

Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan karang umumnya

bersifat pasif sehingga dibutuhkan suatu pemikat, agar ikan berenang mendekati

alat tangkap. Contoh pemikat ini adalah umpan. Saat ini terdapat berbagai jenis

alat yang dapat digunakan untuk menangkap ikan-ikan karang. Secara umum alat

penangkap ikan tersebut tergolong kedalam jenis bubu, muro ami dan teknik lain

dengan menggunakan peledak dan racun (Antariksa dan Bandiyono, 1999).

Alat tangkap ikan yang merupakan salah satu sarana pokok adalah penting

dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan secara optimal dan

berkelanjutan (Anonymous, 1993). Adapun jenis alat tangkap yang dominan

digunakan, mencakup jaring insang (gill net), rawai (longline), pukat cincin (purse

seine) dan jaring udang (trawl) (Ayward, 1992; Mulyanto, 1995).

Jaring insang merupakan alat tangkap yang mempunyai besar mata jaring

yang disesuaikan dengan sasaran ikan atau non-ikan yang akan ditangkap. Ikan

tertangkap karena terjerat pada bagian tutup insangnya (Subani dan Barus, 1989;

Mulyanto, 1995). Rawai merupakan alat tangkap yang berbentuk rangkaian

tali temali panjang yang bercabang-cabang dan setiap ujung cabangnya

diikatkan sebuah mata pancing (hook) dengan berbagai ukuran

(Hayward, 1992; Subani dan Bares, 1989).

Pukat cincin merupakan alat tangkap yang dilengkapi dengan cincin dan

tali kerut pada bagian bawah jaring, yang gunanya untuk menyatukan bagian

bawah jaring sewaktu operasi dengan cara menarik tali kerut tersebut ( Hayward,

1992; Mulyanto, 1995; Subani dan Bares, 1989). Pukat udang dari segi

operasionalnya sama dengan pukat harimau yang penggunaannya dilarang oleh

pemerintah (Keppres No.39 tahun 1980) , yang membedakan adalah adanya

tambahan alat pemisah ikan (Subani dan Bares, 1989; Mulyanto, 1995).

Perkembangan alat penangkap ikan di Kabupaten Halmahera Utara sejak

tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 menurut jenis alat tangkap, disajikan pada

Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa alat tangkap pukat pantai mempunyai

jumlah yang tetap selama selang waktu 2004-2008. Beberapa jenis alat tangkap

yang mengalami kenaikkan jumlah yang relatif kecil adalah: alat tangkap pukat

17

cincin, jaring lingkar, trammel net, bagan tancap, rawai tetap, rawai tuna, pancing

tonda dan sero.

Tabel 1 Jumlah unit penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara

No Alat tangkap

menurut jenisnya

Jumlah alat menurut tahun

2004 2005 2006 2007 2008

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

Pukat pantai

Pukat cincin

Jaring lingkar

Jaring insang hanyut

Jaring insang tetap

Jaring klitik

Trammel net

Bagan perahu

Bagan tancap

Rawai tetap

Rawai tuna

Rawai hanyut

Huhate

Pancing tonda

Pancing ulur

Sero

Bubu

23

32

26

43

35

4

16

59

7

21

32

8

50

122

859

2

27

23

33

28

43

35

4

17

60

8

21

33

7

52

124

939

4

27

23

37

28

43

35

4

17

60

8

22

33

8

53

124

1.029

4

30

23

37

28

41

33

3

18

60

8

22

34

10

55

124

1.155

4

27

23

40

30

41

33

3

18

40

8

22

34

10

40

140

1.250

4

26

Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009.

Alat tangkap yang mengalami kenaikkan jumlah yang cukup signifikan

pada setiap tahun yaitu: pancing ulur. Alat tangkap yang mengalami penurunan

jumlah sampai pada akhir tahun 2008 yaitu: jaring insang hanyut, jaring insang

tetap, jaring klitik, bagan perahu, huhate dan bubu. Jumlah unit penangkapan

tersebut melaksanakan operasi penangkapan sebanyak jumlah tripnya

sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa fluktuasi

jumlah trip setiap tahun selang periode 2004-2008 tidak sama dengan fluktuasi

jumlah alat tangkap, kecuali pada alat tangkap pancing ulur, terlihat jelas terjadi

kenaikkan jumlah trip setiap tahun secara signifikan. Jumlah trip penangkapan

menunjukkan besarnya aktivitas penangkapan dari setiap alat penangkapan dalam

beroperasi.

18

Tabel 2 Jumlah trip penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara

No Alat tangkap

menurut jenisnya

Jumlah trip menurut tahun

2004 2005 2006 2007 2008

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

Pukat pantai

Pukat cincin

Jaring lingkar

Jaring insang hanyut

Jaring insang tetap

Jaring klitik

Trammel net

Bagan perahu

Bagan tancap

Rawai tetap

Rawai tuna

Rawai hanyut

Huhate

Pancing tonda

Pancing ulur

Sero

Bubu

5.796

6.680

6.240

4.320

7.400

402

3.005

1.872

588

2.764

5.376

1.524

9.088

21.600

254.880

168

2.268

5.646

7.600

6.320

4.343

7.140

432

3.060

9.840

640

3.549

5.544

1.428

10.608

24.396

262.639

176

2.510

5.106

8.140

5.712

4.301

7.022

435

3.043

9.509

672

3.696

5.537

1.632

10.812

25.296

276.221

180

2.670

5.244

7.548

5.600

4.018

7.194

324

3.564

9.840

669

3.586

6.120

1.800

11.220

29.140

296.835

200

2.144

5.380

8.200

6.240

4.961

7.260

331

3.672

6.720

656

3.960

6.188

1.790

7.860

28.021

317.500

232

2.755

Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009.

Fluktuasi jumlah trip disesuaikan dengan keadaaan iklim dan cuaca pada

setiap tahunnya. Perubahan-perubahan cuaca dan iklim yang tidak seragam setiap

tahun membuat kesempatan melaut juga berbeda setiap tahun. Sekalipun

demikian diharapkan dunia perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Utara

dapat menjawab tantangan peningkatan taraf hidup masyarakat di waktu yang

akan datang.

2.5.2 Armada perikanan

Unit penangkapan ikan yang ada di Kabupaten Halmahera Utara terdiri

dari beberapa unit penangkapan ikan yang mencakup kapal, alat tangkap dan

nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah

penangkapan. Dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, kapal perikanan

didefinisikan sebagai perahu, kapal, atau alat apung lain yang digunakan untuk

melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, mendukung

19

operasi pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan

perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan.

Kategori berdasarkan ukuran kapal atau perahu di Indonesia menurut

Statistik Kelautan dan Perikanan (Ditjen Perikanan Tangkap DKP, 2005) terdiri

atas tiga kategori yaitu:

(1) Perahu Tanpa Motor

(2) Motor Tempel, dan

(3) Kapal Motor, yang selanjutnya terbagi menurut ukuran Gross Tonagenya

yaitu: < 5 GT; 5-10 GT; 10-20 GT; 20-30 GT; 30-50 GT; 50-100 GT; 100-

200 GT dan > 200 GT.

Perkembangan jumlah kapal perikanan di Kabupaten Halmahera Utara,

disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, terlihat dengan jelas bahwa kapal

penangkap didominasi oleh Kapal motor berukuran 0 – 5 GT. Kapal motor jenis

ini di Kabupaten Halmahera Utara didominasi oleh perahu jenis pambut dengan

mesin jenis katinting. Perahu jenis ini banyak digunakan karena memiliki daya

jelajah yang cukup jauh, serta mampu bergerak dalam keadaan laut yang

bergelombang karena bahan perahunya yang ringan, dan memiliki keseimbangan

yang baik.

Tabel 3 Jumlah nelayan menurut jenis ukuran kapal di Halmahera Utara

No Tahun 2004 2005 2006 2007 2008

1 PTM 318 346 415 451 455

2 Motor Tempel 183 205 263 290 348

3 Kapal Motor :

0 - 5 GT 762 865 1.021 1.117 1.176

5 - 10 GT 50 58 60 62 64

10 - 20 GT 17 21 25 27 31

20 - 30 GT - - - - -

30 - 50 GT - - - - -

50 - 100 GT - - - - -

100 - 200 GT - - - - -

> 200 GT - - - - -

Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009.

20

2.5.3 Nelayan

Penduduk Kabupaten Halmahera Utara pada tahun 2009 tercatat sebanyak

163.836 jiwa. Bila dibandingkan dengan luas wilayah daratannya, maka tingkat

kepadatan penduduk di wilayah Kabupaten Halmahera Utara pada setiap

kecamatan dapat disajikan seperti pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa,

penyebaran penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Tobelo, yaitu 746

jiwa/km2, sedangkan konsentrasi yang relatif rendah terdapat di Kecamatan Kao

Barat dan Tobelo Barat, yakni masing-masing sebanyak 14 jiwa/km2

dan 15

jiwa/km2. Adapun faktor yang mempengaruhi tidak meratanya persebaran

penduduk adalah faktor topografi wilayah dan kurangnya aksebilitas jalan yang

berakibat rendahnya kegiatan perekonomian di daerah-daerah tersebut.

Tabel 4 Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk menurut kecamatan di

Kabupaten Halmahera Utara, tahun 2009

No Kecamatan Jumlah penduduk

(jiwa)

Luas daerah

(km2)

Kepadatan

penduduk

(jiwa/km2)

1 Kao Teluk 6.911 135,4 51

2 Malifut 10.349 374,1 28

3 Kao 7.212 111,2 65

4 Kao Barat 8.632 596,7 14

5 Kao Utara 7.112 128,8 55

6 Tobelo Barat 4.497 294,7 15

7 Tobelo Timur 6.828 120 57

8 Tobelo Selatan 13.411 204,3 66

9 Tobelo Tengah 10.713 56 191

10 Tobelo 24.604 33 746

11 Tobelo Utara 10.427 100,4 104

12 Galela 7.910 138,7 57

13 Galela Selatan 8.948 84,5 106

14 Galela Barat 9.636 45,5 212

15 Galela Utara 8.951 255,3 35

16 Loloda Utara 10.231 390,4 26

17 Loloda Kepulauan 7.464 63,3 118

Jumlah 163.836 3.132

Sumber: Dinas Catatan Sipil Kabupaten Halmahera Utara, 2009.

21

Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya menangkap

ikan/binatang air lainnya dilaut. Secara umum nelayan dapat dikategorikan

sebagai : nelayan tetap, nelayan sambilan utama, nelayan sambilan tambahan,

nelayan pengusaha, maupun buruh nelayan dan biasanya bermukim didaerah

pesisir sehingga sering disebut sebagai masyarakat pesisir (Sari, 2004).

Menurut Undang-undang (UU) No 31 tahun 2004 tentang Perikanan,

nelayan adalah orang yang mata pencariannya melakukan penangkapan ikan.

Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi

penangkapan ikan, binatang air lainnya atau tanaman air. Orang yang hanya

melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat atau

perlengkapan ke dalam perahu atau kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan.

Ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap dimasukkan

sebagai nelayan, walaupun tidak secara langsung melakukan penangkapan.

Berdasarkan curahan waktu kerjanya nelayan dibedakan menjadi:

1. Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya dipergunakan

untuk melakukan operasi penangkapan ikan

2. Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu

kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan

3. Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil dari

waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan

(Direktorat Jenderal Perikanan, 1999).

Menurut Hermanto (1986), berdasarkan bagian yang diterima dalam usaha

penangkapan ikan, nelayan dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:

1. Juragan darat adalah orang yang mempunyai perahu dan alat penangkapan

ikan laut. Juragan darat hanya menerima bagi hasil tangkapan yang

diusahakan oleh orang lain. Pada umumnya juragan darat menanggung

seluruh biaya operasi penangkapan.

2. Juragan laut adalah orang yang tidak punya perahu dan alat tangkap, tetapi

bertanggung jawab dalam operasi penangkapan ikan di laut.

3. Juragan darat-laut adalah orang yang memiliki perahu dan alat tangkap

sekaligus ikut dalam operasi penangkapan ikan di laut. Juragan darat-laut

22

menerima bagi hasil sebagai nelayan dan bagi hasil sebagai pemilik unit

penangkapan.

4. Buruh atau pandega adalah orang yang tidak memiliki unit penangkapan

dan hanya berfungsi sebagai anak buah kapal, umumnya menerima bagi

hasil tangkapan dan jarang diberikan upah harian.

5. Anggota kelompok adalah orang yang berusaha pada suatu unit

penangkapan secara berkelompok. Perahu yang dioperasikannya adalah

perahu yang dibeli dari modal yang dikumpulkan oleh semua anggota

kelompok.

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 mendefinisikan nelayan sebagai

orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Ahli mesin dan

juru masak yang bekerja di atas kapal penangkapan dikategorikan sebagai nelayan

meskipun mereka tidak melakukan kegiatan menangkap (Dirjen Perikanan

Tangkap 2004). Dengan demikian maka yang dimaksud dengan nelayan adalah

semua orang yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan baik secara langsung

maupun tidak langsung. Selanjutnya berdasarkan waktu yang dialokasikan untuk

melakukan penangkapan ikan, nelayan dapat diklasifikasikan dalam tiga

kelompok yaitu:

1. Nelayan yang seluruh waktunya dialokasikan untuk melakukan

penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan penuh

2. Nelayan yang sebagian besar waktunya dialokasikan untuk melakukan

penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan sambilan utama. Dalam

kategori ini, nelayan dapat pula mempunyai pekerjaan lain

3. Nelayan yang sebagian kecil waktunya dialokasikan untuk melakukan

penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan sambilan tambahan.

Dalam kategori ini, nelayan mempunyai pekerjaan pokok yang lain.

Sebagian besar nelayan di Kabupaten Halmahera Utara merupakan

nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan, karena mereka

mempunyai kebun, sehingga pada saat panen tanaman pertanian, mereka istirahat

melaut. Jumlah nelayan menurut jenis alat periode tahun 2004–2008 lihat Tabel 5.

23

Tabel 5 Jumlah nelayan menurut jenis alat tangkap

No Jumlah nelayan

menurut jenisnya

Jumlah trip menurut tahun

2004 2005 2006 2007 2008

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

Pukat pantai

Pukat cincin

Jaring lingkar

Jaring insang hanyut

Jaring insang tetap

Jaring klitik

Trammel net

Bagan perahu

Bagan tancap

Rawai tetap

Rawai tuna

Rawai hanyut

Huhate

Pancing tonda

Pancing ulur

Sero

Bubu

276

628

364

130

98

6

18

59

7

28

35

8

900

124

859

2

10

276

646

358

130

98

6

20

60

8

28

38

7

930

126

939

4

10

274

722

360

130

98

6

20

61

8

30

38

9

954

126

1.029

4

10

276

722

360

120

86

5

22

61

8

30

40

11

990

126

1.155

4

10

276

780

386

120

86

5

22

40

8

30

40

11

720

142

1.250

4

8

Sumber Data : DKP Kabupaten Halmahera Utara 2009.

Tabel 5 menunjukkan bahwa nelayan sebagian besar menggunakan alat

tangkap pancing, berikut jaring insang tetap, pukat cincin, jaring lingkar dan

huhate. Alat tangkap pancing dan jaring insang merupakan alat tangkap yang

sederhana dengan mayoritas kepemilikan tunggal dengan tingkat penyerapan

tenaga kerja per unit penangkapan sangat rendah. Pada kelompok alat ini, setiap

unit penangkapan ikan menyerap 1 – 3 tenaga kerja saja. Alat tangkap pukat

cincin, jaring lingkar dan huhate merupakan alat tangkap dengan daya penyerapan

tenaga kerja yang tinggi per unit penangkapan. Setiap unit penangkapan dari

ketiga jenis alat ini mampu menyerap tenaga kerja antara 12 – 20 orang bahkan

terkadang ada yang lebih dari 20 orang.

24

2.5.4 Produksi

Produksi hasil perikanan merupakan output dari proses penangkapan ikan.

Produksi tersebut ditentukan oleh berbagai faktor seperti sarana penangkapan

ikan, kemampuan atau keterampilan nelayan, manajemen, dan beberapa faktor

lainnya termasuk infrastruktur pendukung seperti pelabuhan perikanan atau

pangkalan pendaratan ikan. Data yang diperoleh dari hasil survei lapangan di

seluruh Kabupaten Halmahera Utara, diperoleh data produksi dari setiap jenis alat

tangkap untuk periode tahun 2004–2008, dapat disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Produksi ikan total menurut jenis alat

No Alat tangkap Jumlah produksi (ton) menurut tahun

2004 2005 2006 2007 2008

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

Pukat pantai

Pukat cincin

Jaring lingkar

Jaringinsang hanyut

Jaring insang tetap

Jaring klitik

Trammel net

Bagan perahu

Bagan tancap

Rawai tetap

Rawai tuna

Rawai hanyut

Huhate

Pancing tonda

Pancing ulur

Sero

Bubu

417,688

4.858,05

354,883

224,924

231,884

4,257

96,61

2.962,76

257,643

287,416

877,615

117,922

4.683,22

742,804

620,401

9,758

52,006

634,82

5.690,42

371,496

226,026

264,67

2,998

45,938

6.283,03

359,292

207,588

2.700,13

99,063

8.272,82

1.904,72

579,4

21,627

54,373

501,407

5.847,04

376,284

272,039

285,237

4,066

89,968

2.853,66

231,719

477,624

1.232,78

142,215

7.860,60

1.337,26

569,838

8,264

55,34

444,297

6.319,49

386,195

226,147

267,427

4,032

91,753

2.705,99

205,375

484,474

1.522,95

160,423

8.471,56

1.240,11

895,291

4,892

49,702

615,194

8.625,46

439,9

181,431

245,757

3,188

166,886

3.146,17

122,681

535,3

2.148,58

235,03

7.773,09

1.506,32

1.213,72

3294

50,648

Jumlah 16.800 27.718 22.145 23.480 30.303

Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara 2009.

Tabel 11 menunjukkan bahwa, sumbangan hasil tangkapan terbesar

diperoleh dari operasi perikanan yang menggunakan perikanan pukat cincin dan

huhate, dilihat dari rata-rata hasil tangkapan pertahun, maka alat tangkap huhate

memberikan sumbangan terbesar, berikut adalah alat tangkap pukat cincin. Alat

tangkap yang memberikan sumbangan hasil tangkapan paling rendah yaitu jaring

klitik dan sero.

25

2.5.5 Pemasaran

Komoditas perikanan yang dijual di pasar lokal di Kabupaten Halmahera

Utara hampir seluruhnya berasal dari produksi perikanan tangkap dan dalam

keadaan segar. Untuk ikan segar yang berukuran besar, biasanya sebelum dijual

dipotong-potong terlebih dahulu menjadi beberapa potong.

Ikan hasil tangkapan sebagian besar tanpa pengawet es. Ikan didaratkan

dan diletakkan begitu saja di dalam keranjang plastik tanpa adanya upaya

penanganan. Ikan diangkut atau menunggu untuk diangkut ke pasar tanpa adanya

pemberian es untuk mencegah proses kemunduran mutu. Pemberian es baru

dilakukan setelah ikan tiba di pasar dan akan disimpan dalam kotak pendingin

untuk dijual pada hari berikutnya. Salah satu kendala tidak diterapkannya

pengawetan ikan tersebut adalah karena harga es balok untuk penanganan ikan

masih terbatas dan mahal harganya, kareana permintaan untuk kepentingan lain

juga cukup besar.

Akibat penanganan yang kurang baik ini, maka mutu ikan segar cepat

menurun, sehingga nelayan dan pedagang menerima harga yang rerlatif rendah,

sementara konsumen juga memakan ikan yang rendah kualitasnya. Sekalipun

demikian, mutu ikan yang rendah ini hanya diperoleh pada daerah-daerah yang

jauh dari lokasi pasar. Secara umum daerah penangkapan terletak tidak terlalu

jauh dari lokasi pasar sehingga dugaan turunnya mutu ikan tangkapan masih tidak

terlalu besar. Sebagian besar ikan yang dikonsumsi masih tergolong segar,

walaupun belum kena bahan pengawet es.

Kegiatan pemasaran terutama diperankan oleh pedagang borongan

(penyalur) yang kemudian disalurkan ke pedagang eceran. Rata-rata setiap unit

penangkapan telah memiliki pedagang penyalur yang disebutkan sebagai

pengurus (istilah daerah setempat). Pengurus memegang peranan penting dalam

menyalurkan hasil tangkapan untuk sampai di tangan konsumen.

26

2.6 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

2.6.1 Luas dan letak geografis

Wilayah Halmahera Utara dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 1

Tahun 2003 dan secara administratif kenegaraan, resmi menjadi wilayah

kabupaten baru pada tanggal 31 Mei 2003. Kabupaten Halmahera Utara memiliki

luas wilayah sebesar 24.983,32 km2, dan luas daratan sebesar 5.447,3 km

2 atau

sebesar 22% dari luas wilayah kabupaten. Luas perairannya sebesar 19.536,02

km2 atau sebesar 78% dari luas wilayah kabupaten.

Kabupaten Halmahera Utara secara administratif terdiri dari 22 kecamatan

yang terdiri dari 260 desa. Sebagian besar wilayah kecamatannya yakni 18

kecamatan merupakan kecamatan pesisir dan 4 kecamatan lainnya merupakan

kecamatan pedalaman. Kabupaten Halmahera Utara memiliki 94 buah pulau

sedang maupun kecil, berpenghuni maupun tidak berpenghuni.

Kabupaten Halmahera Utara secara geografis terletak di bagian Utara dari

Pulau Halmahera, tepatnya berada pada koordinat 1o57’-3

o00’ LU dan 127

o17’-

128o08’ BT, serta memiliki wilayah yang terbentang dari utara ke selatan

sepanjang 333 km dan dari barat ke timur sepanjang 148 km. Peta Kabupaten

Halmahera Utara dapat dilihat pada Gambar 2.

Secara geografis dan administratif, Kabupaten Halmahera Utara memiliki

batas-batas wilayah yang berbatasan dengan wilayah daerah lain, sebagai berikut:

(1) sebelah utara berbatasan dengan samudera pasifik, (2) sebelah timur

berbatasan dengan Kecamatan Wasilei, Kabupaten Halmahera Timur, (3) sebelah

selatan berbatasan dengan Kecamatan Jailolo Selatan, Kabupaten Halmahera

Barat, (4) sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Loloda Selatan, Kabupaten

Halmahera Barat dan laut Sulawesi.

Sumber daya alam pantai yang banyak terdapat di Kabupaten Halmahera

Utara yaitu : ketam kenari (Birgus latro), penyu, burung laut, dan hutan

mangrove. Di samping itu, juga terdapat jenis udang (Penaied sp), kepiting

(Brachyura sp), cumi-cumi (Chaphalopoda sp), kerang mutiara (Pinctada

maxima), tapis-tapis (Pinctada margarititera), lola (Thodws nilotice), teripang

(Holothuridae sp), dan rumput Laut (sea weeds).

27

Gambar 2 Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Utara.

Perairan laut Kabupaten Halmahera Utara diperkirakan memiliki potensi

sumber daya perikanan tangkap (standing stock) sebesar 89.865,69 ton/tahun,

dengan potensi lestari (MSY) atau potensi ikan yang boleh dimanfaatkan sebesar

44.932,85 ton/tahun, yang terdiri dari perikanan pelagis sebesar 26.946,41

ton/tahun dan perikanan demersal sebesar 17.986,44 ton/tahun. Potensi hutan

mangrove terdiri dari mangrove primer 3.720,612 Ha dan mangrove sekunder

1.456,880 Ha (Data Tata Ruang 2007), serta Potensi terumbu karang seluas

539,6 Ha dan padang lamun seluas 6.126,14 Ha.

Kecamatan Kao Utara adalah sebuah kecamatan yang berada di bagian

pesisir sebelah Timur Pulau Halmahera dan terletak di sebelah selatan dari ibu

kota Kabupaten Halmahera Utara, yang dapat dijangkau dengan mudah

U

28

mempergunakan kendaraan darat, dengan jarak tempuh sekitar 50 km dari ibu

kota Kabupaten. Kecamatan ini memiliki topografi wilayah yang sebagian besar

datar dengan bukit-bukit kecil dan tampak subur ditanami berbagai jenis tanaman.

Pada wilayah pantai, yang menghadap perairan Teluk Kao, kecamatan ini

memiliki areal terumbu karang yang cukup besar, dan tersebar di seluruh pesisir

wilayah, dengan areal pantai berpasir dan karang. Kedalaman perairan laut dalam

wilayah Kecamatan Kao Utara tidak terlalu dalam, hanya paling tinggi 80 m dari

permukaan laut.

Batas wilayah kecamatan Kao Utara pada bagian Utara, berbatasan dengan

Kecamatan Tobelo Barat, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kao Barat,

Sebelah Selatan Berbatasan dengan Kecamatan Kao, dan bagian timur berbatasan

di perairan Teluk Kao dengan Kecamatan Wasiley Kabupaten Halmahera Timur.

Jumlah desa yang ada di dalam wilayah Kecamatan Kao Utara berjumlah

12 desa, 9 desa memiliki wilayah dan areal pemukiman penduduk berada di

pesisir pantai, 2 desa memiliki wilayah dan areal pemukiman yang tidak

berbatasan langsung dengan pantai, sedangkan 1 desa, yakni Desa Bobale

memiliki wilayah dan areal pemukiman pada sebuah pulau kecil yang bernama

Pulau Bobale, dengan luas daratan pulau sekitar 4 km², yang terletak di tengah

perairan Teluk Kao.

2.6.2 Penduduk

Berdasarkan data pada Kantor Kecamatan Kao Utara, penduduk

Kecamatan Kao Utara pada tahun 2008 berjumlah 11.115 jiwa dari 2.694 kk, yang

tersebar pada 12 desa dengan kepadatan penduduk terbesar berada pada Desa

Daru yang merupakan Ibu kota Kecamatan Kao Utara, sedangkan jumlah

penduduk paling sedikit terdapat pada desa Boulamo (Tabel 7).

Kondisi penduduk yang terdapat pada setiap desa terlihat masih

tradisional, dengan rata-rata penduduk berprofesi sebagai petani dan nelayan.

Sebagai petani, masyarakat menggarap lahan pertanian yang umumnya ditanami

kelapa untuk menghasilkan kopra yang dipanen setiap 4 bulan sekali. Untuk

tanaman pala, cengkih, juga terdapat di wilayah ini, namun jumlahnya tidak

terlalu banyak. Ketela pohon, ubi, padi ladang dan pisang, juga ditanami oleh

29

sebagian masyarakat, namun sebagian besar hasilnya tidak untuk dijual, tetapi

hanya untuk konsumsi keluarga.

Tabel 7 Data penduduk Kecamatan Kao Utara tahun 2008

No. Desa Kepala Keluarga Jumlah

Penduduk

1 Daru 423 1.679

2 Wateto 197 793

3 Warudu 88 318

4 Tunuo 212 878

5 Pediwang 338 1.456

6 Bori 260 1.145

7 Doro 394 1.695

8 Dowongimaiti 75 263

9 Bobale 197 857

10 Gamlaha 277 1.067

11 Boulamo 46 190

12 Gulo 187 774

Jumlah 2.694 11.115

Sumber : Laporan Penduduk Kantor Kecamatan Tahun 2009.

Disamping mengandalkan hasil perkebunan, masyarakat di Kecamatan

Kao Utara juga menggarap berbagai potensi laut yang ada di perairan Teluk Kao.

Berbagai macam ikan, baik demersal maupun pelagis menjadi tangkapan rutin,

disamping beberapa jenis kerang laut yang juga sering mereka peroleh dari areal

terumbu karang, pada saat air laut surut.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor CSR (Corporate Social

Responsibility) PT. Nusa Halmahera Minerals, jumlah kelompok nelayan yang

mengusulkan program untuk memperoleh bantuan alat tangkap di Kecamatan Kao

Utara, berjumlah 27 kelompok nelayan, dengan rata-rata jumlah anggota sebanyak

10 sampai 12 orang. Sedangkan data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan

Perikanan Kabupaten Halmahera Utara menyatakan bahwa jumlah nelayan

sambilan utama yang berada di Kecamatan Kao Utara berjumlah 162 orang,

dengan jumlah Rumah Tangga Perikanan sebanyak 87 RTP.

30

2.6.3 Ekonomi

Kondisi perekonomian di Kecamatan Kao Utara terlihat masih

terbelakang. Untuk menjual hasil panen perkebunan, dilakukan oleh masyarakat

kepada pedagang-pedagang keturunan yang membuka toko-toko kecil yang juga

menjual kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat. Pasar untuk kebutuhan harian

hanya dilakukan setiap hari Rabu dan Sabtu di ibu kota kecamatan, yakni Desa

Daru. Dimana oleh masyarakat nelayan, hasil-hasil tangkapan yang diperoleh

banyak dijual di pasar tersebut, disamping dijual kepada pedagang pengumpul

(dibo-dibo) yang berkeliling desa-desa untuk mengumpulkan ikan yang dibeli dari

nelayan yang melakukan penangkapan ikan.

Lembaga-lembaga ekonomi seperti perbankan tidak ditemukan di

kecamatan ini. Lembaga-lembaga koperasi yang beranggotakan masyarakat

nelayan atau petani ada di beberapa tempat, namun aktifitasnya tidak terlihat.

Koperasi yang terlihat aktif adalah koperasi-koperasi simpan pinjam yang dimiliki

secara pribadi oleh oknum-oknum tertentu, yang dengan berkedok koperasi,

melakukan praktek simpan pinjam kepada masyarakat setempat dengan bunga

yang sangat tinggi.