2 tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · juga ilegal di seluruh indonesia. bom buatan sendiri...
TRANSCRIPT
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengeboman Ikan
Destructive fishing merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan
ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi
pelanggaran hukum. Secara umum, maraknya destructive fishing disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu: (1) Rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan tidak
seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yang ada saat ini, (2) Terbatasnya
sarana dan armada pengawasan di laut, (3) Lemahnya kemampuan SDM nelayan
Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi,
(4) Masih lemahnya penegakan hukum, (5) Lemahnya koordinasi dan komitmen
antar aparat penegak hukum (Mukhtar, 2007).
Pengeboman ikan adalah cara penangkapan ikan yang sangat merusak, dan
juga ilegal di seluruh Indonesia. Bom buatan sendiri dibuat dengan mengemas
bubuk ke dalam botol bir atau minuman ringan. Sumbu biasanya dibuat dari
kepala korek yang digerus dan dimasukkan ke dalam pipa sempit, lalu diikat kuat
dengan kawat. Sumbu dinyalakan lalu botol dilemparkan ke dalam air. Bom akan
meledak di bawah air dan memberikan guncangan fatal di sepanjang perairan,
yang dapat membunuh hampir semua makhluk hidup di sekitarnya. Nelayan
hanya mengumpulkan ikan konsumsi yang berharga, tetapi banyak ikan dan
hewan laut lain ditinggalkan dalam keadaan mati di antara pecahan karang yang
mungkin tidak dapat pulih kembali (Erdmann, 2004). Kerusakkan terumbu
karang terindikasi oleh faktor fisik seperti penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak, dan pengambilan biota laut lainnya dengan benda
keras, seperti pembongkaran terumbu karang dengan menggunakan linggis
(Suharyanto, 2006).
Alat tangkap destruktif yang digunakan di Indonesia pada umumnya
adalah bom dan bius. Penggunaan bom dimaksudkan untuk mencegah ikan lolos
melarikan diri setelah ditangkap sebelum diangkat naik ke kapal/perahu. Ikan
dibom dulu supaya mati, lalu tinggal dipunguti, dimasukkan ke jaring, lalu
diangkat naik ke atas kapal atau perahu. Sebelum membom ikan, di atas
8
kapal/perahu, para nelayan biasanya mengamati terlebih dahulu kualitas (dalam
hal ini jenisnya) dan kuantitas ikan yang akan dibom. Ritual ini untuk
memprakirakan berapa keuntungan mereka kelak jika membom suatu jenis ikan,
termasuk di dalamnya menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk membeli
mesin dan alat tangkap, bagi hasil dengan punggawa, sampai penjualannya.
Setiap kilogram bom yang meledak, radius menghancurkan bisa mencapai 5
meter. Bisa dibayangkan berapa ratus ribu bahkan mungkin ratus juta biota laut
yang ikut rusak dan mati terkapar tak berdaya jika radius 250 kg bom menjangkau
ribuan meter. Apalagi jika ditambah makhluk-makhluk laut (misalnya plankton)
yang tidak kasat mata (mikroskopis). Ini hanya untuk satu jenis alat tangkap,
yakni bom. Alat dan bahan yang digunakan untuk merakit bom di antaranya
detonator (umumnya berjenis 66 dan 88), bubuk bom yang dicampur minyak
tanah, laddo sebagai pemberat agar bom mudah tenggelam hingga ke dasar laut,
penyulut (biasanya obat nyamuk) untuk menyalakan sumbu, pappaca’ (pemadat),
kantong plastik untuk membungkus detonator agar tidak basah terkena air,
kemasan (botol minuman, jerigen, atau galon) dan sumbu untuk membakar. Ada
berbagai ukuran sumbu yang digunakan, misalnya 12 cm, 7 cm, 5 cm, 3 cm, dan 2
cm ,tergantung kedalaman laut lokasi penangkapan. Jika lautnya dalam, maka
sumbunya harus panjang, dan jika lautnya dangkal, sumbunya juga harus pendek.
Ini dimaksudkan agar bom meledak tepat waktu dan sasaran. Sumbu yang
ukurannya 2 cm disebut juga sumbu bismillah sebab pembom harus mengucapkan
”Bismillah” tepat di saat bom dilepas ke laut supaya tidak meledak di tangan.
Ikan target pemboman biasanya ikan yang bergerombol (sejenis) dan ikan yang
berlindung/berkumpul di karang-karang (tidak sejenis). Adapun ciri-ciri ikan
yang sudah dibom di antaranya tulangnya patah-patah, mata menonjol keluar dan
dagingnya lembek (Anonimous, 2008).
Penggunaan bahan peledak seperti bom dapat memusnahkan biota dan
merusak lingkungan. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di
sekitar daerah terumbu karang, menimbulkan efek samping yang sangat besar,
selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga dapat
menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan.
Penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas
9
terhadap ekosistem terumbu karang. Penangkapan ikan dengan cara
menggunakan bom, mengakibatkan biota laut seperti karang menjadi patah,
terbelah, berserakan dan hancur menjadi pasir, dan meninggalkan bekas lubang
pada terumbu karang. Indikatornya adalah karang patah, terbelah, tersebar
berserakan dan hancur menjadi pasir, meninggalkan bekas lubang pada terumbu
karang (Mukhtar, 2007).
Mukhtar (2007) lebih lanjut mengatakan bahwa, secara umum penanganan
destructive fishing dapat dilakukan dengan cara:
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi, penyuluhan atau
penerangan terhadap dampak negatif yang diakibatkan oleh penangkapan
ikan secara illegal.
2. Mencari akar penyebab kenapa destructive fishing itu dilakukan, apakah
motif ekonomi atau ada motif lainnya, dan setelah diketahui permasalahan,
upaya selanjutnya melakukan upaya preventif.
3. Meningkatkan penegakan dan penaatan hokum.
4. Melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya ikan.
5. Perlu adanya dukungan kelembagaan dari pemerintah, yang artinya harus
ada yang mengurusi kasus ini.
2.2 Mata Pencaharian Alternatif
Kegiatan mata pencaharian alternatif bertujuan untuk menyediakan jenis
usaha berkelanjutan bagi masyarakat yang selama ini melakukan kegiatan usaha
yang bersifat tidak ramah lingkungan. Mata pencaharian alternatif yang
berkelanjutan ini harus menguntungkan dan tidak merusak lingkungan.
Kelompok masyarakat yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi yang
merusak lingkungan seperti penangkapan dengan bom atau meting, perlu merubah
jenis usahanya sebelum terlambat dan tidak ada yang tersisa untuk generasi
mendatang (Erdmann, 2004).
Pomeroy and Williams (1999) diacu dalam Nikijuluw (2002),
menyatakan bahwa keberhasilan manajemen sumberdaya perikanan lebih
bergantung pada keterlibatan atau partisipasi pemegang kepentingan
(stakeholder). Jika nelayan adalah salah satu pemegang kepentingan tersebut,
10
biarkanlah nelayan memutuskan sendiri keinginan dan tujuannya. Jika
keinginannya untuk meningkatkan pendapatan, hal tersebut harus ditempatkan
sebagai salah satu tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan.
Fakor-faktor yang menyebabkan pendapatan nelayan rendah antara lain
adalah unit penangkapan yang terbatas yang dikarenakan penguasaan teknologi
yang rendah, skala usaha/modal yang dimiliki kecil dan masih bersifat tradisional.
Kemampuan nelayan dalam memanfaatkan peluang usaha dan mengatasi
tantangan lingkungan yang rendah, dikarenakan masyarakat yang masih
bergantung pada musim penangkapan. Dalam penentuan fishing ground, nelayan
yang mempunyai izin untuk melakukan operasi di tempat tersebut akan
memperoleh hasil yang banyak, tetapi bagi nelayan yang tidak memiliki akses ke
lokasi yang produktif tersebut, selain hasil tangkapan yang tidak maksimal juga
biaya operasi yang tinggi. Eksternalitas teknologi terjadi karena nelayan
cenderung melakukan penangkapan ikan pada lokasi yang sama, atau setidaknya
saling berdekatan satu dengan yang lain, sehingga terjadi pertemuan antara alat
tangkap ikan yang digunakan, yang menjurus pada kerusakan atau perusakan
(Nikijuluw, 2002). Faktor lainnya adalah law enforcement yang tidak berpihak
kepada nelayan, diantaranya terjadinya ego sektoral, regulasi yang tidak
mendukung, terbatasnya peran kelembagaan, baik pemerintah maupun non
pemerintah, penetapan bahan baku (ikan) yang kurang adil, belum ditetapkannya
undang-undang anti monopoli, pembagian keuntungan yang tidak proporsional,
dan kebijakan ekonomi secara mikro yang lebih banyak memberikan kerugian di
pihak nelayan, dibandingkan memberikan keuntungan.
2.3 Pemberdayaan Masyarakat
Bantuan dari pemerintah dapat diberikan kepada pihak swasta (pengusaha
kecil) maupun kepada koperasi. Bentuk campur tangan pemerintah ini dapat
berupa pemberian kredit produksi dengan bunga rendah tanpa agunan,
pembebasan bea masuk komponen-komponen alat pengolahan dan unit
penangkapan, pembebasan PPN penjualan dalan negeri, pengembangan teknologi
pengolahan yang tepat guna, penetapan UMR bidang perikanan dan kemudahan
perizinan investasi. Peningkatan pendapatan nelayan diukur dari tingkat upah
11
berdasarkan upah minimum regional. Efisiensi tata niaga diukur dari keuntungan
masing-masing biaya perniagaan (harga ikan segar, biaya angkut, restribusi TPI)
dan keuntungan pedagang pengumpul. Efektifitas ekspor dapat dilihat dari jumlah
dan nilai ekspor produk perikanan dan kontribusi ekspor produk perikanan
terhadap PDB nasional. Perluasan lapangan kerja dapat diukur dari persentase
angkatan kerja yang terserap. Peningkatan devisa dapat diukur dari persentase
peningkatan sumbangan devisa dari ekspor produk-produk perikanan. Parameter
kebijakan berdasarkan pada tercapainya seluruh output yang dikehendaki
seoptimal mungkin, dan menghindari munculnya output yang tidak dikehendaki,
(Sari, 2004).
Kusnadi (2003), menganalisa bahwa terdapat sebab yang kompleks
mengapa kemiskinan nelayan terus terjadi. Ia menjelaskan ada sebab internal
dalam masyarakat nelayan dan ada problem eksternal. Sebab internal antara lain:
keterbatasan sumber daya manusia, kemampuan modal usaha, relasi pemilik-
nelayan buruh, kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan dan
ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut. Sebab kemiskinan yang
bersifat eksternal yang berkaitan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas kerja
nelayan, antara lain: kebijaksanaan pembangunan perikanan yang berorientasi
pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, sistem
pemasaran hasil perikanan yang mengundang pedagang perantara, kerusakan
ekosistem pesisir dan laut, penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah
lingkungan, penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan, dan
kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut
sepanjang tahun.
Lebih lanjut Kusnadi (2003) menambahkan bahwa problem kemiskinan
masyarakat nelayan mulai muncul ke permukaan, setelah satu dekade
dilaksanakannya kebijakan nasional tentang motorisasi perahu dan modernisasi
peralatan tangkap pada awal tahun 1970-an. Kebijakan ini dikenal dengan istilah
revolusi biru (blue revolution). Proyek besar ini berimplikasi pada keserakahan
sosial atas sumber daya perikanan yang mendorong setiap individu untuk
berkuasa penuh terhadap sumber daya tersebut. Keserakahan ini akan berakibat
pada kelangkaan sumber daya perikanan. Kompetisi yang semakin tinggi dan
12
kesenjangan akses dan pendapatan yang berimplikasi pada timbulnya kesenjangan
sosial ekonomi antar pengguna sumber daya perikanan.
Kebijakan motorisasi dan modernisasi, ternyata banyak menimbulkan
kritik dari berbagai pihak. Beberapa penelitian memperlihatkan dampak negatif
dari proyek yang dikenal dengan istilah blue revolution ini. Donald K. Emerson
(1979) diacu dalam Mubyarto et al. (1984) menyatakan bahwa, pemberian
bantuan teknologi motorisasi, memberikan dampak negatif bagi produktivitas
nelayan; karena motorisasi, ikan-ikan yang semula biasa ditangkap nelayan
tradisional akan disedot oleh nelayan yang memiliki kapal modern bermesin
dengan alat yang berdaya tangkap besar.
Purna (2000), menyatakan bahwa salah satu permasalahan mendasar bagi
pembangunan kelautan dan perikanan, khususnya yang bergerak dalam skala
mikro dan kecil adalah sulitnya akses permodalan dari lembaga
keuangan/perbankan formal. Akibatnya nelayan seringkali terjerat oleh renteneer
yang menawarkan pinjaman dengan cepat dan mudah, namun diimbangi dengan
tingkat bunga yang tinggi. Keterbatasan permodalan ini diperburuk dengan sistem
penjualan yang cenderung dimonopoli oleh para tengkulak. Akibatnya nelayan
tidak memiliki bargaining power yang memadai sehingga pendapatan yang
diperoleh habis untuk bayar hutang dan makan. Lingkaran kemiskinan ini selalu
berputar dan menyebabkan di sektor kelautan dan perikanan lekat dengan
kemiskinan.
Peran lembaga perbankan dalam penyaluran kredit komersial untuk
membantu pemgembangan usaha kecil dan menengah tidak efektif. Hal ini
disebabkan oleh kecenderungan bank-bank umum mendanai sektor-sektor usaha
yang bergerak dalam bidang industri pengolahan hasil laut, serta pedagang besar
hasil laut, dan belum menyentuh pada nelayan secara individu. Hal ini
disebabkan oleh kebijakan prudential banking serta persyaratan pada pemberian
kredit yang ditetapkan oleh otoritas moneter, yang memberikan batasan gerak bagi
perbankan umum, untuk dapat menjangkau masyarakat miskin, khususnya
masyarakat miskin yang ada di daerah pesisir (Saleh, 2004). Selanjutnya
dikatakan bahwa, keterbatasan yang selama ini cukup dominan dalam pemberian
kredit kepada masyarakat/pelaku ekonomi di daerah pesisir adalah, penyediaan
13
jaminan yang merupakan syarat pemberian kredit oleh bank umum. Fasilitas
kredit yang diberikan untuk membantu kelancaran usaha lebih dikenal dengan
kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan perbankan guna membantu para
pengusaha untuk memperlancar dan meningkatkan kegiatan usahanya, yang terdiri
dari kredit investasi dan kredit modal kerja.
2.4 Pengelolaan Perikanan yang Berkelanjutan (Berwawasan Lingkungan)
Dalam rangka mendayagunakan potensi perikanan secara optimal sebagai
ujung tombak perekonomian daerah, maka kebijakan pembangunan kelautan dan
perikanan di Kabupaten Halmahera Utara diarahkan untuk :
1. Memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan
berkelanjutan.
2. Meningkatkan penerimaan devisa negara dari ekspor hasil perikanan.
3. Meningkatkan kesejahteraan nelayan.
4. Meningkatkan kecukupan gizi dari hasil perikanan.
5. Meningkatkan penyerapan tenaga kerja di bidang kelautan dan perikanan.
Untuk pencapaian tujuan yang telah digariskan, maka perlu adanya
dukungan kebijakan pemerintah terhadap beberapa komponen yang mencakup
kebijakan tentang infrastruktur, kebijakan sumberdaya nelayan, kebijakan
perikanan tangkap, kebijakan perikanan budidaya, kebijakan pemasaran hasil
perikanan, serta pembangunan dan pengembangan pelabuhan perikanan.
Secara umum, teknologi ramah lingkungan adalah teknologi yang hemat
sumberdaya lingkungan (meliputi bahan baku material, energi dan ruang), dan
karena itu juga sedikit mengeluarkan limbah (baik padat, cair, gas, kebisingan
maupun radiasi) dan rendah resiko menimbulkan bencana. Penggunaan kapal
perikanan modern yang lebih ramah lingkungan perlu dikembangkan, yakni yang
menggunakan mesin dan sekaligus layar mekanis. Layar dapat dikembangkan
otomatis jika arah dan kecepatan angin menguntungkan. Penggunaan energi
angin dapat menghemat bahan bakar hingga 50%. Teknologi energi dan
transportasi yang ramah lingkungan termasuk yang saat ini paling
dilindungi oleh industri negara maju dan karenanya paling mahal. Namun,
teknologi modern yang ramah lingkungan ini sangat diperlukan dalam
14
pengelolaan sumber daya laut meskipun mengeluarkan biaya yang tidak sedikit
(http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/agribisnis/1id30666.html).
Secara teoritis, ada dua bentuk regulasi dalam pengelolaan sumber daya
kelautan dan perikanan, yakni open access dan controlled access regulation.
Open access adalah regulasi yang membiarkan nelayan menangkap ikan dan
mengeksploitasi sumber daya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun
jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Regulasi ini mirip ”hukum rimba” dan
”pasar bebas”. Secara empiris, regulasi ini menimbulkan dampak negatif, antara
lain apa yang dikenal dengan tragedy of common baik berupa kerusakan sumber
daya kelautan dan perikanan maupun konflik antar nelayan. Sebaliknya, contolled
access regulation adalah regulasi terkontrol yang dapat berupa (1) pembatasan
input (input restriction), yakni membatasi jumlah pelaku, jumlah jenis kapal, dan
jenis alat tangkap, (2) pembatasan output (output restriction), yakni membatasi
berupa jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan kuota. Salah satu
formulasi dari pembatas input itu adalah territorial use right yang
menekankan penggunaan fishing right (hak memanfaatkan sumberdaya
perikanan) dalam suatu wilayah tertentu dalam yurisdiksi yang jelas. Pola
fishing right system ini menempatkan pemegang fishing right yang berhak
melakukan kegiatan perikanan di suatu wilayah, sementara yang tidak
memiliki fishing right tidak diizinkan beroperasi di wilayah itu
(http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian /agribisnis/1id30666.html).
Selain diatur siapa yang berhak melakukan kegiatan perikanan, juga diatur
kapan dan dengan alat apa kegiatan perikanan dilakukan. Sistem yang menjurus
pada bentuk pengkavlingan laut ini menempatkan perlindungan kepentingan
nelayan kecil yang beroperasi di wilayah pantai-pesisir serta kepentingan
kelestarian fungsi sumber daya sebagai fokus perhatian. UU No. 32 tahun 2004
yang membuat pengaturan tentang yurisdiksi laut provinsi (12 mil) dan
kabupaten/kota (4 mil) mengindikasikan bahwa produk hukum itu menganut
konsep pengkavlingan laut. Konsep pengkavlingan laut merupakan instrumen
dari konsep regulasi akses terkontrol (contolled access regulation) dalam pola
pembatasan input (territorial use right). UU No. 32 tahun 2004 sebenarnya entry
point penerapan territorial use right.
15
2.5 Perikanan Tangkap
Perikanan tangkap adalah usaha ekonomi dengan mendayagunakan
sumber hayati perairan dan alat tangkap untuk menghasilkan ikan dan memenuhi
permintaan akan ikan (Achmad, 1999). Pengusahaan perikanan yang tidak
terawasi dapat mengakibatkan penangkapan yang berlebih (overfishing),
penurunan mutu, bahkan dapat merusak produktivitasnya (Naamin, 1991).
Sumberdaya ikan terdiri dari ikan pelagis dan ikan demersal, dimana ikan
pelagis mencakup ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil yang hidup di
pemukaan laut atau didekatnya (Djatikusumo, 1975; Merta et al., 1998). Ikan
pelagis yang banyak terdapat di wilayah perairan dekat pantai adalah pelagis
kecil, misalnya ter, kembung, laying, selar dan bentong (Merta et a.,l 1998).
Ikan demersal merupakan kelompok ikan yang hidup di dasar atau dekat
dasar perairan, dimana beberapa spesiesnya merupakan spesies ikan karang yang
mempunyai nilai ekonomis penting, yakni bambangan (Lutjanidae), kerapu
(Serranidae), baronang (Siganidae) ekor kuning (caesionidae) serta species-
species ikan hias seperti napoleon (Labridae) dan ikan konsumsi lainnya
(Aoyama, 1973; Badrudin et a.,l 1998; Djamali et al., 1998).
Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang sifatnya terbatas dan
dapat pulih (renewable), yang berarti bahwa setiap pengurangan yang disebabkan
kematian maupun penangkapan akan dapat memulihkan sumberdaya tersebut
kembali ke tingkat produktivitas semula (Anonymous 1993). Namun apabila
tekanan pengusahaan atau penangkapan tersebut cukup tinggi intensitasnya
hingga melampaui daya dukung, maka untuk pulih kembali akan memerlukan
waktu yang relatif lama (Anonymous, 1993; Dahuri, 1999).
Sumber daya dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut,
termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture). Sumber daya
tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas
(Dahuri, 2000; Halim, 2003).
16
2.5.1 Alat penangkapan ikan
Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan karang umumnya
bersifat pasif sehingga dibutuhkan suatu pemikat, agar ikan berenang mendekati
alat tangkap. Contoh pemikat ini adalah umpan. Saat ini terdapat berbagai jenis
alat yang dapat digunakan untuk menangkap ikan-ikan karang. Secara umum alat
penangkap ikan tersebut tergolong kedalam jenis bubu, muro ami dan teknik lain
dengan menggunakan peledak dan racun (Antariksa dan Bandiyono, 1999).
Alat tangkap ikan yang merupakan salah satu sarana pokok adalah penting
dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan secara optimal dan
berkelanjutan (Anonymous, 1993). Adapun jenis alat tangkap yang dominan
digunakan, mencakup jaring insang (gill net), rawai (longline), pukat cincin (purse
seine) dan jaring udang (trawl) (Ayward, 1992; Mulyanto, 1995).
Jaring insang merupakan alat tangkap yang mempunyai besar mata jaring
yang disesuaikan dengan sasaran ikan atau non-ikan yang akan ditangkap. Ikan
tertangkap karena terjerat pada bagian tutup insangnya (Subani dan Barus, 1989;
Mulyanto, 1995). Rawai merupakan alat tangkap yang berbentuk rangkaian
tali temali panjang yang bercabang-cabang dan setiap ujung cabangnya
diikatkan sebuah mata pancing (hook) dengan berbagai ukuran
(Hayward, 1992; Subani dan Bares, 1989).
Pukat cincin merupakan alat tangkap yang dilengkapi dengan cincin dan
tali kerut pada bagian bawah jaring, yang gunanya untuk menyatukan bagian
bawah jaring sewaktu operasi dengan cara menarik tali kerut tersebut ( Hayward,
1992; Mulyanto, 1995; Subani dan Bares, 1989). Pukat udang dari segi
operasionalnya sama dengan pukat harimau yang penggunaannya dilarang oleh
pemerintah (Keppres No.39 tahun 1980) , yang membedakan adalah adanya
tambahan alat pemisah ikan (Subani dan Bares, 1989; Mulyanto, 1995).
Perkembangan alat penangkap ikan di Kabupaten Halmahera Utara sejak
tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 menurut jenis alat tangkap, disajikan pada
Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa alat tangkap pukat pantai mempunyai
jumlah yang tetap selama selang waktu 2004-2008. Beberapa jenis alat tangkap
yang mengalami kenaikkan jumlah yang relatif kecil adalah: alat tangkap pukat
17
cincin, jaring lingkar, trammel net, bagan tancap, rawai tetap, rawai tuna, pancing
tonda dan sero.
Tabel 1 Jumlah unit penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara
No Alat tangkap
menurut jenisnya
Jumlah alat menurut tahun
2004 2005 2006 2007 2008
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Pukat pantai
Pukat cincin
Jaring lingkar
Jaring insang hanyut
Jaring insang tetap
Jaring klitik
Trammel net
Bagan perahu
Bagan tancap
Rawai tetap
Rawai tuna
Rawai hanyut
Huhate
Pancing tonda
Pancing ulur
Sero
Bubu
23
32
26
43
35
4
16
59
7
21
32
8
50
122
859
2
27
23
33
28
43
35
4
17
60
8
21
33
7
52
124
939
4
27
23
37
28
43
35
4
17
60
8
22
33
8
53
124
1.029
4
30
23
37
28
41
33
3
18
60
8
22
34
10
55
124
1.155
4
27
23
40
30
41
33
3
18
40
8
22
34
10
40
140
1.250
4
26
Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009.
Alat tangkap yang mengalami kenaikkan jumlah yang cukup signifikan
pada setiap tahun yaitu: pancing ulur. Alat tangkap yang mengalami penurunan
jumlah sampai pada akhir tahun 2008 yaitu: jaring insang hanyut, jaring insang
tetap, jaring klitik, bagan perahu, huhate dan bubu. Jumlah unit penangkapan
tersebut melaksanakan operasi penangkapan sebanyak jumlah tripnya
sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa fluktuasi
jumlah trip setiap tahun selang periode 2004-2008 tidak sama dengan fluktuasi
jumlah alat tangkap, kecuali pada alat tangkap pancing ulur, terlihat jelas terjadi
kenaikkan jumlah trip setiap tahun secara signifikan. Jumlah trip penangkapan
menunjukkan besarnya aktivitas penangkapan dari setiap alat penangkapan dalam
beroperasi.
18
Tabel 2 Jumlah trip penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara
No Alat tangkap
menurut jenisnya
Jumlah trip menurut tahun
2004 2005 2006 2007 2008
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Pukat pantai
Pukat cincin
Jaring lingkar
Jaring insang hanyut
Jaring insang tetap
Jaring klitik
Trammel net
Bagan perahu
Bagan tancap
Rawai tetap
Rawai tuna
Rawai hanyut
Huhate
Pancing tonda
Pancing ulur
Sero
Bubu
5.796
6.680
6.240
4.320
7.400
402
3.005
1.872
588
2.764
5.376
1.524
9.088
21.600
254.880
168
2.268
5.646
7.600
6.320
4.343
7.140
432
3.060
9.840
640
3.549
5.544
1.428
10.608
24.396
262.639
176
2.510
5.106
8.140
5.712
4.301
7.022
435
3.043
9.509
672
3.696
5.537
1.632
10.812
25.296
276.221
180
2.670
5.244
7.548
5.600
4.018
7.194
324
3.564
9.840
669
3.586
6.120
1.800
11.220
29.140
296.835
200
2.144
5.380
8.200
6.240
4.961
7.260
331
3.672
6.720
656
3.960
6.188
1.790
7.860
28.021
317.500
232
2.755
Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009.
Fluktuasi jumlah trip disesuaikan dengan keadaaan iklim dan cuaca pada
setiap tahunnya. Perubahan-perubahan cuaca dan iklim yang tidak seragam setiap
tahun membuat kesempatan melaut juga berbeda setiap tahun. Sekalipun
demikian diharapkan dunia perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Utara
dapat menjawab tantangan peningkatan taraf hidup masyarakat di waktu yang
akan datang.
2.5.2 Armada perikanan
Unit penangkapan ikan yang ada di Kabupaten Halmahera Utara terdiri
dari beberapa unit penangkapan ikan yang mencakup kapal, alat tangkap dan
nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah
penangkapan. Dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, kapal perikanan
didefinisikan sebagai perahu, kapal, atau alat apung lain yang digunakan untuk
melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, mendukung
19
operasi pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan
perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan.
Kategori berdasarkan ukuran kapal atau perahu di Indonesia menurut
Statistik Kelautan dan Perikanan (Ditjen Perikanan Tangkap DKP, 2005) terdiri
atas tiga kategori yaitu:
(1) Perahu Tanpa Motor
(2) Motor Tempel, dan
(3) Kapal Motor, yang selanjutnya terbagi menurut ukuran Gross Tonagenya
yaitu: < 5 GT; 5-10 GT; 10-20 GT; 20-30 GT; 30-50 GT; 50-100 GT; 100-
200 GT dan > 200 GT.
Perkembangan jumlah kapal perikanan di Kabupaten Halmahera Utara,
disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, terlihat dengan jelas bahwa kapal
penangkap didominasi oleh Kapal motor berukuran 0 – 5 GT. Kapal motor jenis
ini di Kabupaten Halmahera Utara didominasi oleh perahu jenis pambut dengan
mesin jenis katinting. Perahu jenis ini banyak digunakan karena memiliki daya
jelajah yang cukup jauh, serta mampu bergerak dalam keadaan laut yang
bergelombang karena bahan perahunya yang ringan, dan memiliki keseimbangan
yang baik.
Tabel 3 Jumlah nelayan menurut jenis ukuran kapal di Halmahera Utara
No Tahun 2004 2005 2006 2007 2008
1 PTM 318 346 415 451 455
2 Motor Tempel 183 205 263 290 348
3 Kapal Motor :
0 - 5 GT 762 865 1.021 1.117 1.176
5 - 10 GT 50 58 60 62 64
10 - 20 GT 17 21 25 27 31
20 - 30 GT - - - - -
30 - 50 GT - - - - -
50 - 100 GT - - - - -
100 - 200 GT - - - - -
> 200 GT - - - - -
Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009.
20
2.5.3 Nelayan
Penduduk Kabupaten Halmahera Utara pada tahun 2009 tercatat sebanyak
163.836 jiwa. Bila dibandingkan dengan luas wilayah daratannya, maka tingkat
kepadatan penduduk di wilayah Kabupaten Halmahera Utara pada setiap
kecamatan dapat disajikan seperti pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa,
penyebaran penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Tobelo, yaitu 746
jiwa/km2, sedangkan konsentrasi yang relatif rendah terdapat di Kecamatan Kao
Barat dan Tobelo Barat, yakni masing-masing sebanyak 14 jiwa/km2
dan 15
jiwa/km2. Adapun faktor yang mempengaruhi tidak meratanya persebaran
penduduk adalah faktor topografi wilayah dan kurangnya aksebilitas jalan yang
berakibat rendahnya kegiatan perekonomian di daerah-daerah tersebut.
Tabel 4 Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk menurut kecamatan di
Kabupaten Halmahera Utara, tahun 2009
No Kecamatan Jumlah penduduk
(jiwa)
Luas daerah
(km2)
Kepadatan
penduduk
(jiwa/km2)
1 Kao Teluk 6.911 135,4 51
2 Malifut 10.349 374,1 28
3 Kao 7.212 111,2 65
4 Kao Barat 8.632 596,7 14
5 Kao Utara 7.112 128,8 55
6 Tobelo Barat 4.497 294,7 15
7 Tobelo Timur 6.828 120 57
8 Tobelo Selatan 13.411 204,3 66
9 Tobelo Tengah 10.713 56 191
10 Tobelo 24.604 33 746
11 Tobelo Utara 10.427 100,4 104
12 Galela 7.910 138,7 57
13 Galela Selatan 8.948 84,5 106
14 Galela Barat 9.636 45,5 212
15 Galela Utara 8.951 255,3 35
16 Loloda Utara 10.231 390,4 26
17 Loloda Kepulauan 7.464 63,3 118
Jumlah 163.836 3.132
Sumber: Dinas Catatan Sipil Kabupaten Halmahera Utara, 2009.
21
Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya menangkap
ikan/binatang air lainnya dilaut. Secara umum nelayan dapat dikategorikan
sebagai : nelayan tetap, nelayan sambilan utama, nelayan sambilan tambahan,
nelayan pengusaha, maupun buruh nelayan dan biasanya bermukim didaerah
pesisir sehingga sering disebut sebagai masyarakat pesisir (Sari, 2004).
Menurut Undang-undang (UU) No 31 tahun 2004 tentang Perikanan,
nelayan adalah orang yang mata pencariannya melakukan penangkapan ikan.
Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi
penangkapan ikan, binatang air lainnya atau tanaman air. Orang yang hanya
melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat atau
perlengkapan ke dalam perahu atau kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan.
Ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap dimasukkan
sebagai nelayan, walaupun tidak secara langsung melakukan penangkapan.
Berdasarkan curahan waktu kerjanya nelayan dibedakan menjadi:
1. Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya dipergunakan
untuk melakukan operasi penangkapan ikan
2. Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu
kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan
3. Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil dari
waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan
(Direktorat Jenderal Perikanan, 1999).
Menurut Hermanto (1986), berdasarkan bagian yang diterima dalam usaha
penangkapan ikan, nelayan dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Juragan darat adalah orang yang mempunyai perahu dan alat penangkapan
ikan laut. Juragan darat hanya menerima bagi hasil tangkapan yang
diusahakan oleh orang lain. Pada umumnya juragan darat menanggung
seluruh biaya operasi penangkapan.
2. Juragan laut adalah orang yang tidak punya perahu dan alat tangkap, tetapi
bertanggung jawab dalam operasi penangkapan ikan di laut.
3. Juragan darat-laut adalah orang yang memiliki perahu dan alat tangkap
sekaligus ikut dalam operasi penangkapan ikan di laut. Juragan darat-laut
22
menerima bagi hasil sebagai nelayan dan bagi hasil sebagai pemilik unit
penangkapan.
4. Buruh atau pandega adalah orang yang tidak memiliki unit penangkapan
dan hanya berfungsi sebagai anak buah kapal, umumnya menerima bagi
hasil tangkapan dan jarang diberikan upah harian.
5. Anggota kelompok adalah orang yang berusaha pada suatu unit
penangkapan secara berkelompok. Perahu yang dioperasikannya adalah
perahu yang dibeli dari modal yang dikumpulkan oleh semua anggota
kelompok.
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 mendefinisikan nelayan sebagai
orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Ahli mesin dan
juru masak yang bekerja di atas kapal penangkapan dikategorikan sebagai nelayan
meskipun mereka tidak melakukan kegiatan menangkap (Dirjen Perikanan
Tangkap 2004). Dengan demikian maka yang dimaksud dengan nelayan adalah
semua orang yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Selanjutnya berdasarkan waktu yang dialokasikan untuk
melakukan penangkapan ikan, nelayan dapat diklasifikasikan dalam tiga
kelompok yaitu:
1. Nelayan yang seluruh waktunya dialokasikan untuk melakukan
penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan penuh
2. Nelayan yang sebagian besar waktunya dialokasikan untuk melakukan
penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan sambilan utama. Dalam
kategori ini, nelayan dapat pula mempunyai pekerjaan lain
3. Nelayan yang sebagian kecil waktunya dialokasikan untuk melakukan
penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan sambilan tambahan.
Dalam kategori ini, nelayan mempunyai pekerjaan pokok yang lain.
Sebagian besar nelayan di Kabupaten Halmahera Utara merupakan
nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan, karena mereka
mempunyai kebun, sehingga pada saat panen tanaman pertanian, mereka istirahat
melaut. Jumlah nelayan menurut jenis alat periode tahun 2004–2008 lihat Tabel 5.
23
Tabel 5 Jumlah nelayan menurut jenis alat tangkap
No Jumlah nelayan
menurut jenisnya
Jumlah trip menurut tahun
2004 2005 2006 2007 2008
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Pukat pantai
Pukat cincin
Jaring lingkar
Jaring insang hanyut
Jaring insang tetap
Jaring klitik
Trammel net
Bagan perahu
Bagan tancap
Rawai tetap
Rawai tuna
Rawai hanyut
Huhate
Pancing tonda
Pancing ulur
Sero
Bubu
276
628
364
130
98
6
18
59
7
28
35
8
900
124
859
2
10
276
646
358
130
98
6
20
60
8
28
38
7
930
126
939
4
10
274
722
360
130
98
6
20
61
8
30
38
9
954
126
1.029
4
10
276
722
360
120
86
5
22
61
8
30
40
11
990
126
1.155
4
10
276
780
386
120
86
5
22
40
8
30
40
11
720
142
1.250
4
8
Sumber Data : DKP Kabupaten Halmahera Utara 2009.
Tabel 5 menunjukkan bahwa nelayan sebagian besar menggunakan alat
tangkap pancing, berikut jaring insang tetap, pukat cincin, jaring lingkar dan
huhate. Alat tangkap pancing dan jaring insang merupakan alat tangkap yang
sederhana dengan mayoritas kepemilikan tunggal dengan tingkat penyerapan
tenaga kerja per unit penangkapan sangat rendah. Pada kelompok alat ini, setiap
unit penangkapan ikan menyerap 1 – 3 tenaga kerja saja. Alat tangkap pukat
cincin, jaring lingkar dan huhate merupakan alat tangkap dengan daya penyerapan
tenaga kerja yang tinggi per unit penangkapan. Setiap unit penangkapan dari
ketiga jenis alat ini mampu menyerap tenaga kerja antara 12 – 20 orang bahkan
terkadang ada yang lebih dari 20 orang.
24
2.5.4 Produksi
Produksi hasil perikanan merupakan output dari proses penangkapan ikan.
Produksi tersebut ditentukan oleh berbagai faktor seperti sarana penangkapan
ikan, kemampuan atau keterampilan nelayan, manajemen, dan beberapa faktor
lainnya termasuk infrastruktur pendukung seperti pelabuhan perikanan atau
pangkalan pendaratan ikan. Data yang diperoleh dari hasil survei lapangan di
seluruh Kabupaten Halmahera Utara, diperoleh data produksi dari setiap jenis alat
tangkap untuk periode tahun 2004–2008, dapat disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Produksi ikan total menurut jenis alat
No Alat tangkap Jumlah produksi (ton) menurut tahun
2004 2005 2006 2007 2008
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Pukat pantai
Pukat cincin
Jaring lingkar
Jaringinsang hanyut
Jaring insang tetap
Jaring klitik
Trammel net
Bagan perahu
Bagan tancap
Rawai tetap
Rawai tuna
Rawai hanyut
Huhate
Pancing tonda
Pancing ulur
Sero
Bubu
417,688
4.858,05
354,883
224,924
231,884
4,257
96,61
2.962,76
257,643
287,416
877,615
117,922
4.683,22
742,804
620,401
9,758
52,006
634,82
5.690,42
371,496
226,026
264,67
2,998
45,938
6.283,03
359,292
207,588
2.700,13
99,063
8.272,82
1.904,72
579,4
21,627
54,373
501,407
5.847,04
376,284
272,039
285,237
4,066
89,968
2.853,66
231,719
477,624
1.232,78
142,215
7.860,60
1.337,26
569,838
8,264
55,34
444,297
6.319,49
386,195
226,147
267,427
4,032
91,753
2.705,99
205,375
484,474
1.522,95
160,423
8.471,56
1.240,11
895,291
4,892
49,702
615,194
8.625,46
439,9
181,431
245,757
3,188
166,886
3.146,17
122,681
535,3
2.148,58
235,03
7.773,09
1.506,32
1.213,72
3294
50,648
Jumlah 16.800 27.718 22.145 23.480 30.303
Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara 2009.
Tabel 11 menunjukkan bahwa, sumbangan hasil tangkapan terbesar
diperoleh dari operasi perikanan yang menggunakan perikanan pukat cincin dan
huhate, dilihat dari rata-rata hasil tangkapan pertahun, maka alat tangkap huhate
memberikan sumbangan terbesar, berikut adalah alat tangkap pukat cincin. Alat
tangkap yang memberikan sumbangan hasil tangkapan paling rendah yaitu jaring
klitik dan sero.
25
2.5.5 Pemasaran
Komoditas perikanan yang dijual di pasar lokal di Kabupaten Halmahera
Utara hampir seluruhnya berasal dari produksi perikanan tangkap dan dalam
keadaan segar. Untuk ikan segar yang berukuran besar, biasanya sebelum dijual
dipotong-potong terlebih dahulu menjadi beberapa potong.
Ikan hasil tangkapan sebagian besar tanpa pengawet es. Ikan didaratkan
dan diletakkan begitu saja di dalam keranjang plastik tanpa adanya upaya
penanganan. Ikan diangkut atau menunggu untuk diangkut ke pasar tanpa adanya
pemberian es untuk mencegah proses kemunduran mutu. Pemberian es baru
dilakukan setelah ikan tiba di pasar dan akan disimpan dalam kotak pendingin
untuk dijual pada hari berikutnya. Salah satu kendala tidak diterapkannya
pengawetan ikan tersebut adalah karena harga es balok untuk penanganan ikan
masih terbatas dan mahal harganya, kareana permintaan untuk kepentingan lain
juga cukup besar.
Akibat penanganan yang kurang baik ini, maka mutu ikan segar cepat
menurun, sehingga nelayan dan pedagang menerima harga yang rerlatif rendah,
sementara konsumen juga memakan ikan yang rendah kualitasnya. Sekalipun
demikian, mutu ikan yang rendah ini hanya diperoleh pada daerah-daerah yang
jauh dari lokasi pasar. Secara umum daerah penangkapan terletak tidak terlalu
jauh dari lokasi pasar sehingga dugaan turunnya mutu ikan tangkapan masih tidak
terlalu besar. Sebagian besar ikan yang dikonsumsi masih tergolong segar,
walaupun belum kena bahan pengawet es.
Kegiatan pemasaran terutama diperankan oleh pedagang borongan
(penyalur) yang kemudian disalurkan ke pedagang eceran. Rata-rata setiap unit
penangkapan telah memiliki pedagang penyalur yang disebutkan sebagai
pengurus (istilah daerah setempat). Pengurus memegang peranan penting dalam
menyalurkan hasil tangkapan untuk sampai di tangan konsumen.
26
2.6 Keadaan Umum Lokasi Penelitian
2.6.1 Luas dan letak geografis
Wilayah Halmahera Utara dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 1
Tahun 2003 dan secara administratif kenegaraan, resmi menjadi wilayah
kabupaten baru pada tanggal 31 Mei 2003. Kabupaten Halmahera Utara memiliki
luas wilayah sebesar 24.983,32 km2, dan luas daratan sebesar 5.447,3 km
2 atau
sebesar 22% dari luas wilayah kabupaten. Luas perairannya sebesar 19.536,02
km2 atau sebesar 78% dari luas wilayah kabupaten.
Kabupaten Halmahera Utara secara administratif terdiri dari 22 kecamatan
yang terdiri dari 260 desa. Sebagian besar wilayah kecamatannya yakni 18
kecamatan merupakan kecamatan pesisir dan 4 kecamatan lainnya merupakan
kecamatan pedalaman. Kabupaten Halmahera Utara memiliki 94 buah pulau
sedang maupun kecil, berpenghuni maupun tidak berpenghuni.
Kabupaten Halmahera Utara secara geografis terletak di bagian Utara dari
Pulau Halmahera, tepatnya berada pada koordinat 1o57’-3
o00’ LU dan 127
o17’-
128o08’ BT, serta memiliki wilayah yang terbentang dari utara ke selatan
sepanjang 333 km dan dari barat ke timur sepanjang 148 km. Peta Kabupaten
Halmahera Utara dapat dilihat pada Gambar 2.
Secara geografis dan administratif, Kabupaten Halmahera Utara memiliki
batas-batas wilayah yang berbatasan dengan wilayah daerah lain, sebagai berikut:
(1) sebelah utara berbatasan dengan samudera pasifik, (2) sebelah timur
berbatasan dengan Kecamatan Wasilei, Kabupaten Halmahera Timur, (3) sebelah
selatan berbatasan dengan Kecamatan Jailolo Selatan, Kabupaten Halmahera
Barat, (4) sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Loloda Selatan, Kabupaten
Halmahera Barat dan laut Sulawesi.
Sumber daya alam pantai yang banyak terdapat di Kabupaten Halmahera
Utara yaitu : ketam kenari (Birgus latro), penyu, burung laut, dan hutan
mangrove. Di samping itu, juga terdapat jenis udang (Penaied sp), kepiting
(Brachyura sp), cumi-cumi (Chaphalopoda sp), kerang mutiara (Pinctada
maxima), tapis-tapis (Pinctada margarititera), lola (Thodws nilotice), teripang
(Holothuridae sp), dan rumput Laut (sea weeds).
27
Gambar 2 Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Utara.
Perairan laut Kabupaten Halmahera Utara diperkirakan memiliki potensi
sumber daya perikanan tangkap (standing stock) sebesar 89.865,69 ton/tahun,
dengan potensi lestari (MSY) atau potensi ikan yang boleh dimanfaatkan sebesar
44.932,85 ton/tahun, yang terdiri dari perikanan pelagis sebesar 26.946,41
ton/tahun dan perikanan demersal sebesar 17.986,44 ton/tahun. Potensi hutan
mangrove terdiri dari mangrove primer 3.720,612 Ha dan mangrove sekunder
1.456,880 Ha (Data Tata Ruang 2007), serta Potensi terumbu karang seluas
539,6 Ha dan padang lamun seluas 6.126,14 Ha.
Kecamatan Kao Utara adalah sebuah kecamatan yang berada di bagian
pesisir sebelah Timur Pulau Halmahera dan terletak di sebelah selatan dari ibu
kota Kabupaten Halmahera Utara, yang dapat dijangkau dengan mudah
U
28
mempergunakan kendaraan darat, dengan jarak tempuh sekitar 50 km dari ibu
kota Kabupaten. Kecamatan ini memiliki topografi wilayah yang sebagian besar
datar dengan bukit-bukit kecil dan tampak subur ditanami berbagai jenis tanaman.
Pada wilayah pantai, yang menghadap perairan Teluk Kao, kecamatan ini
memiliki areal terumbu karang yang cukup besar, dan tersebar di seluruh pesisir
wilayah, dengan areal pantai berpasir dan karang. Kedalaman perairan laut dalam
wilayah Kecamatan Kao Utara tidak terlalu dalam, hanya paling tinggi 80 m dari
permukaan laut.
Batas wilayah kecamatan Kao Utara pada bagian Utara, berbatasan dengan
Kecamatan Tobelo Barat, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kao Barat,
Sebelah Selatan Berbatasan dengan Kecamatan Kao, dan bagian timur berbatasan
di perairan Teluk Kao dengan Kecamatan Wasiley Kabupaten Halmahera Timur.
Jumlah desa yang ada di dalam wilayah Kecamatan Kao Utara berjumlah
12 desa, 9 desa memiliki wilayah dan areal pemukiman penduduk berada di
pesisir pantai, 2 desa memiliki wilayah dan areal pemukiman yang tidak
berbatasan langsung dengan pantai, sedangkan 1 desa, yakni Desa Bobale
memiliki wilayah dan areal pemukiman pada sebuah pulau kecil yang bernama
Pulau Bobale, dengan luas daratan pulau sekitar 4 km², yang terletak di tengah
perairan Teluk Kao.
2.6.2 Penduduk
Berdasarkan data pada Kantor Kecamatan Kao Utara, penduduk
Kecamatan Kao Utara pada tahun 2008 berjumlah 11.115 jiwa dari 2.694 kk, yang
tersebar pada 12 desa dengan kepadatan penduduk terbesar berada pada Desa
Daru yang merupakan Ibu kota Kecamatan Kao Utara, sedangkan jumlah
penduduk paling sedikit terdapat pada desa Boulamo (Tabel 7).
Kondisi penduduk yang terdapat pada setiap desa terlihat masih
tradisional, dengan rata-rata penduduk berprofesi sebagai petani dan nelayan.
Sebagai petani, masyarakat menggarap lahan pertanian yang umumnya ditanami
kelapa untuk menghasilkan kopra yang dipanen setiap 4 bulan sekali. Untuk
tanaman pala, cengkih, juga terdapat di wilayah ini, namun jumlahnya tidak
terlalu banyak. Ketela pohon, ubi, padi ladang dan pisang, juga ditanami oleh
29
sebagian masyarakat, namun sebagian besar hasilnya tidak untuk dijual, tetapi
hanya untuk konsumsi keluarga.
Tabel 7 Data penduduk Kecamatan Kao Utara tahun 2008
No. Desa Kepala Keluarga Jumlah
Penduduk
1 Daru 423 1.679
2 Wateto 197 793
3 Warudu 88 318
4 Tunuo 212 878
5 Pediwang 338 1.456
6 Bori 260 1.145
7 Doro 394 1.695
8 Dowongimaiti 75 263
9 Bobale 197 857
10 Gamlaha 277 1.067
11 Boulamo 46 190
12 Gulo 187 774
Jumlah 2.694 11.115
Sumber : Laporan Penduduk Kantor Kecamatan Tahun 2009.
Disamping mengandalkan hasil perkebunan, masyarakat di Kecamatan
Kao Utara juga menggarap berbagai potensi laut yang ada di perairan Teluk Kao.
Berbagai macam ikan, baik demersal maupun pelagis menjadi tangkapan rutin,
disamping beberapa jenis kerang laut yang juga sering mereka peroleh dari areal
terumbu karang, pada saat air laut surut.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor CSR (Corporate Social
Responsibility) PT. Nusa Halmahera Minerals, jumlah kelompok nelayan yang
mengusulkan program untuk memperoleh bantuan alat tangkap di Kecamatan Kao
Utara, berjumlah 27 kelompok nelayan, dengan rata-rata jumlah anggota sebanyak
10 sampai 12 orang. Sedangkan data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Halmahera Utara menyatakan bahwa jumlah nelayan
sambilan utama yang berada di Kecamatan Kao Utara berjumlah 162 orang,
dengan jumlah Rumah Tangga Perikanan sebanyak 87 RTP.
30
2.6.3 Ekonomi
Kondisi perekonomian di Kecamatan Kao Utara terlihat masih
terbelakang. Untuk menjual hasil panen perkebunan, dilakukan oleh masyarakat
kepada pedagang-pedagang keturunan yang membuka toko-toko kecil yang juga
menjual kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat. Pasar untuk kebutuhan harian
hanya dilakukan setiap hari Rabu dan Sabtu di ibu kota kecamatan, yakni Desa
Daru. Dimana oleh masyarakat nelayan, hasil-hasil tangkapan yang diperoleh
banyak dijual di pasar tersebut, disamping dijual kepada pedagang pengumpul
(dibo-dibo) yang berkeliling desa-desa untuk mengumpulkan ikan yang dibeli dari
nelayan yang melakukan penangkapan ikan.
Lembaga-lembaga ekonomi seperti perbankan tidak ditemukan di
kecamatan ini. Lembaga-lembaga koperasi yang beranggotakan masyarakat
nelayan atau petani ada di beberapa tempat, namun aktifitasnya tidak terlihat.
Koperasi yang terlihat aktif adalah koperasi-koperasi simpan pinjam yang dimiliki
secara pribadi oleh oknum-oknum tertentu, yang dengan berkedok koperasi,
melakukan praktek simpan pinjam kepada masyarakat setempat dengan bunga
yang sangat tinggi.